Anda di halaman 1dari 13

Periodesasi Dakwah Walisongo

Walisongo Periode Pertama


Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka
adalah:
1; Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, berasal dari Turki ahli mengatur negara.
Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya
terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
2; Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia. Dia ahli
pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Samudra Pasai
dan wafat di sana.
3; Syekh Jumadil Qubro, berasal dari Mesir. Dia berdakwah keliling. Makamnya di
Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
4; Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko, dia berdakwah keliling.
Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5; Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M.
Makamnya di Gunung Santri.
6; Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli pengobatan. Wafat
1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
7; Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina Berdakwah keliling. Wafat pada tahun
1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
8; Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun
1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
9; Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker
yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi
menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak
tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke
Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat
Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana
ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.

Walisongo Periode Kedua


Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat.
Ketiganya adalah:
1; Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan
Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Rahmat atau Sunan Ampel
berasal dari Kerajaan Champa, (Veit Nam Selatan).
2; Sayyid Jafar Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan
Malik Isroil yang wafat pada tahun 1435 M. Dia tinggal di Kudus sehingga dikenal
dengan Sunan Kudus.
3; Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, berasal dari Palestina. Datang di Jawa
pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M.
Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.
Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil
Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana Al-Maghrobi
bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin
di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini maka masing-masing wali telah
mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.

Walisongo Periode Ketiga


Pada tahun 1463 M. Masuklah menjadi anggota Walisongo yaitu:
1; Sunan Giri kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak
dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan.
Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai.
Karena Raden Paku tinggal di Giri maka dia lebih terkenal dengan sebutan Sunan
Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
2; Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Dia adalah putra
Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh
Subakir yang kembali ke Persia.
3; Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Dia adalah
putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddin

yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di
Ampel Surabaya.

Walisongo Periode Keempat


Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana
Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya
ialah:
Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, dia adalah putra Raja Brawijaya Majapahit. Dia
diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak
pada tahun 1465 dan dinobatkan sebagai Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468.Setelah itu
Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati, dia dipilih sebagai anggota Walisongo
menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.

Walisongo Periode Kelima


Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Saidputra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.
Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota Walisongo,
namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan
umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan
Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang
telah menjadi murid Sunan Kalijaga.
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad
ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu SurabayaGresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa
Barat.

Wali Songo dan Ajaran Agama islam yang Damai

Mengingat kembali jasa para penyebar agama Islam nusantara menjadi sangat penting.
Banyak pihak yang sudah mulai lupa peran strategis tokoh Walisongo dalam menanamkan
pondasi Islam damai di bumi nusantara. Pola menghapus agama Kapitayan yang dipeluk oleh
orang Jawa kuno dilakukan dengan pendekatan budaya yang tetap mengedepankan misi
syariah Islam.
Disitu dapat dilihat bahwa agama damai menjadi solusi tepat dalam proses penyebarannya.
Lebih dari itu, warna Islam nusantara yang dibawa oleh para wali itu diawali dari benteng
istana Majapahit. Sunan Ampel yang merasakan hidup di istana Hindhu-Buda paham betul
bahwa agama Islam harus disebarkan dengan cara nirkekerasan. Maka pengalaman hidup
bersama Dwarawati (istri Raja Majapahit/sang bibi Sunan Ampel) dan pengalaman hidup di
istana Champa membuat Sunan Ampel berjiwa pluralis.
Maka tugas Sunan Ampel sebagai susuhunan ing Ngampel-Denta handamel pranataning
agami Islam kanggenipun ing titiyang Jawi (membuat peraturan yang Islami untuk
masyarakat Jawi) selalu membuat aturan yang dekat dengan budaya Jawa. Artinya bahwa
syariat Islam yang diajarkan tetap menggunakan pakem sunnah, namun budaya setempat
tidak langsung dihapus. Itulah bukti bahwa Islam hadir dengan penuh adaptasi agar tetap
disukai orang Jawa.

Apa yang dilakukan oleh Sunan Ampel ini adalah model dakwah dan tarbiyah Rasulullah.
Dimana proses islamisasi yang dilakukan selalu diawali dengan cara damai dan penuh
kesabaran. Saat Islam hadir di bumi Makkah sebagai agama sempurna tidak langsung
direspon positif secara massal. Hinaan, celaan dan umpatan selalu ditujukan pada Nabi dan ia
selalu menghadapi dengan penuh kesabaran.
Begitu juga para Wali Songo memperjuangkan agama Islam di bumi nusantara tidak pernah
lepas dari perjuangan. Badai dan hambatan apapun selalu dihadapi dengan ilmu pengetahuan
dan strategi politik yang cukup handal. Kehadiran para wali ke tanah Jawa memang dilihat
secara fisik sebagai pedagang, namun ada misi dakwah yang dikandung dalam pelayaran
ideologis ini.
Setelah perdagangan secara natural itu dilakukan, maka ada misi pengembangan ideologi
dengan cara menikah dengan putri tokoh lokal. Sunan Ampel menikah dengan Condrowati
anak Aryo Tedjo keturunan Joko Tarub. Maulana Ishaq menikah dengan Dewi Sekardadu
putri Blambangan. Sunan Gunung Jati menikah dengan Dewi Rara Santang putri Padjajaran.
Dalam dimensi sederhana bahwa pernikahan politik ini menguatkan posisi dakwah Islam
dimana tiga kerajaan sudah dikuasai: Majapahit, Blambangan dan Padjajaran.
Aspek damai lainnya dapat dilihat saat Raden Fatah (Sayyid Hasan) meminta izin Sunan
Ampel selalu guru dan mertuanya untuk menyerang kerajaan Majapahit. Sunan Ampel tidak
mengizinkan peperangan itu. Sebab Sunan Ampel adalah keponakan Raja Majapahit dan
Raden Fatah adalah anak kandung Raja Majapahit. Segala hal perbedaan yang ada perlu
diselesaikan secara kekeluargaan, tidak hanya dengan cara perang dan pertumpahan darah.
Dengan pola seperti itu justru Sri Prabu Kertawijaya sebagai Maharaja Majapahit menaruh
simpati pada Islam. Sebab dua istri yang dimiliki berasal dari Champa dan China disebutkan
memeluk agama Islam. Selain itu jabatan-jabatan strategis di daerah-daerah ia percayakan
kepada saudara-saudaranya yang beragama Islam. Arya Teja keponakannya dikasih jataban
Adipati Tuban. Keponakan istrinya Rohmatullah (Sunan Ampel) diangkat sebagai Raja
Surabaya. Termasuk Ali Murtadla (Raden Santri) diangkat sebagai Raja Pandhita Gresik dan
Raden Suta Maharaja diangkat Adipati Kendal.
Hal yang menarik lagi adalah gelar Sunan yang disandangkan para wali. Kata sunan adalah
jama dari sunnatun (hadits). Maka sangat tepat jika para wali ini disebut sebagai ahl sunnah
yang menjadi pemimpin agama. Karena kekuatannya memimpin masyarakat, maka ia juga
memiliki kemampuan berjamaah (organisasi). Jadi Sunan itu adalah gelar waliyyul ilmi dan

waliyyul amri yang dalam bahasa sederhana sebagai pemimpin ahlus sunnah wal jamaah.
Dan nyatanya sampai hari ini yang peduli dan melestarikan tradisi Wali Songo adalah
kalangan ahlus sunnah wal jamaah Indonesia lewat jamiyyah Nahdlatul Ulama.
Maka Nahdlatul Ulama sangat berkonsentrasi menyebarkan Islam damai yaitu Islam yang
diajarkan oleh Wali Songo di bumi nusantara. Islam khas nusantara ini tidak hanya bergaya
lokal saja, tapi hasil transformasi silang budaya leluhur Wali Songo yang berasal dari Persia,
Samarkand, Gujarat, China, Maroko dan Mongolia. Jadi Islam nusantara yang damai itu
adalah sebuah jawaban nyata bahwa tanah Jawi menjadi saksi bahwa Islam itu diajarkan
dengan damai bukan dengan terorisme dan kekerasan.

Dengan cara ini, Islam diterima di Indonesia

Dalam buku Atlas Wali Songo, penulis (Agus Sunyoto) mengatakan:


Dalam masa 50 tahun Wali Songo berdakwah, masyarakat sepanjang pesisir utara pulau
Jawa telah memeluk agama Islam TANPA Pertumpahan darah. Dakwah Wali Songo yang
membuahkan hasil gemilang tersebut disebabkan karena kecepatan adaptasi Wali Songo
dengan penduduk setempat.
Sejarah sudah membuktikan bahwa Islam dipeluk oleh 80% lebih oleh penduduk bumi
nusantara (Indonesia) sampai saat ini. Agama Animisme dan Atheisme yang dulu menjadi
pelukan penduduk Indonesia, bisa berubah dengan waktu yang sangat singkat yaitu 50 tahun

menjadi pemeluk Islam. Bila kita mau membaca dan mempelajari sejarah Wali Songo, kita
akan menyadari betapa indahnya cara Islam masuk di Nusantara yang dibawa oleh para wali.
Para wali yang datang ke Nusantara tidak memaksakan budaya Arab-Persia untuk diterapkan
oleh masyarakat. Ajaran yang mereka utamakan adalah ajaran ahlak (moralitas), ajaran Islam
yang sesungguhnya Rahmatan Lil Alamiin. Inilah yang membuat para wali diterima dan
dicintai.
Para wali tidak membidahkan, mengkhurafatkan apalagi mengkafirkan budaya/kultural
masyarakat. Bahkan mereka berdakwah melalui media; budaya masyarakat. Ketinggian ilmu
dan moralitas membuat para wali tidak berbicara langit dengan cara menginjak orang di
bumi, mereka begitu menghargai perbedaan, budaya/kultural masyarakat, dan dengan
menghargai kultural, dengan cara ini Islam diterima di Indonesia secara massal.
Selama puluhan tahun berdakwah, dan agama islam sudah cukup kuat, para wali tidak pernah
mengajarkan apalagi berupaya mendirikan negeri khilafah. Para wali menghargai sistem
kerajaan ditiap daerah yang telah menjadi sistem pemerintahan pada saat itu. Itulah mengapa
banyak para raja-pun menerima bahkan mengikuti agama para wali.
Itulah mengapa NU yang merupakan salah satu organisasi islam terbesar di dunia, tidak
pernah bercita-cita untuk mendirikan khilafah di negeri ini, itu karena NU berpegang teguh
untuk selalu mengikuti jalan para Wali.
Salah satu tokoh pendiri NU. KH. Abdullah Wahab Hasbullah mengatakan: Indonesia adalah
negara sah secara hukum Islam, sedangkan Khilafah sudah tidak mungkin lagi ditegakkan
karena syarat seorang Imam setingkat mujtahid sudah tidak ada lagi.
Bahkan, putera KH Hasyim Asyari yaitu KH. Wahid Hasyim pernah menjadi panitia tim
persiapan Kemerdekaan Indonesia. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila
sebagai pengganti dari Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya tidak
terlepas dari peran KH. Wahid Hasyim. Dan penghapusan 7 kata itu juga atas restu dari KH.
Hasyim Asyari, dan telah sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW.
Mudah-mudahan umat islam indonesia mau belajar dan mencontoh para wali dalam
membumikan Islam Rahmatan Lil Alamiin.

Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia

Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia


Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar. Sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi,
Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan
yang satu, yaitu Al-Quran dan Sunah. Memang betul Islam itu hanya satu dan memiliki
landasan yang satu. Akan tetapi selain memiliki landasan nash-nash syariat (Al-Quran dan
Sunah).
Islam juga memiliki acuan maqasidus syariah (tujuan syariat). Maqasidus syariah sendiri
digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqro (penelitian).
Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang dilakukan. Di antaranya adalah
melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang digali
daripadanya, illat-illat dan hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu
diperoleh simpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai,
yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan (masla
a) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang
dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah kebaikan dan kemanfaatan yang
bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyatul kams), yaitu ifzud din, ifzul
aql,
ifz un nafs, ifzul mal, dan ifz al-ird.
Ulama Ushul Fiqih membagi maslahat pada tiga bagian. Pertama, maslaat mutabara,
yaitu maslahat yang mendapat apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya seperti
kearifan dan kebijakan dalam menjalankan dakwah islamiyah. Kedua, maslaat mulgo,
yaitu maslahat yang diabaikan oleh syariat melalui salah satu nashnya seperti

menyamaratakan pembagian harta pusaka antara anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga,
maslaat mursala, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan
nash khusus, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya seperti pencatatan
akad nikah.
Tujuan negara dalam Islam sejatinya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu terwujudnya
keadilan dan kemakmuran yang berketuhanan yang Maha Esa, negara yang memiliki dimensi
kemaslahatan duniawi dan ukhrowi seperti tersebut sesungguhnya sudah memenuhi syarat
untuk disebut negara khilafah, sekurang-kurangnya menurut konsep al-Mawardi. Dalam hal
ini menurutnya, , kepemimpinan negara
diletakkan sebagai kelanjutan tugas kenabian dalam menjadi agama dan mengatur dunia.
Maqasidus syariah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam dua hal:
1. Dalam memahami nususus syariah, nash-nash syariat yang dipahami dengan
memperhatikan maqasidus syariah akan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi
juga kontekstual.
2. Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Lahirnya
dalil-dalil sekunder (selain Al-Quran dan Sunah) merupakan konsekuensi logis dari posisi
maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah al-Qiyas, Istih san,
Saddudz dzariah, Urf, dan maslah ah mursalah seperti disinggung di atas.
Al-Qiyas ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain
yang tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki illat (alasan hukum) yang sama.
Istih san ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan
hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
Saddudz dzariah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau diduga kuat mengantarkan
pada mafsadat.
Urf adalah tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal
maupun komunal. Urf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan
dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsipprinsip syariat. Mengabaikan urf yang sahih seperti tersebut bertentangan dengan cita-cita
kemaslahatan sebagai tujuan (maqasidus) syariah.
Sebagian ulama mendasarkan posisi urf sebagai hujjah syariyyah pada firman Allah,

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh. (al-Araf: 199)
Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadis riwayat Ibn Masud,

Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.
As-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsut ,

Yang ditetapkan oleh urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash.
Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya karena yang pertama bersifat
ilahiyah sementara yang kedua adalah insaniyah. Akan tetapi, berhubung Islam juga
dipraktikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insaniyah dan karenanya tidak
mengancam eksistensi kebudayaan.
Selain nususus syariah dan maqasidus syariah, Islam juga memiliki mabadius syaria
(prinsip-prinsip syariat). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri
khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-wasatiyya.
Hal ini dinyatakan langsung

oleh Allah swt dalam firman-Nya,


.
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu (al-Baqarah: 143)
Wasat hiyyah yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata moderasi
memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah al-waqiiyya (realistis). Realistis di
sini tidak berarti taslim atau menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi berarti tidak
menutup mata dari realitas yang ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal.
Banyak kaidah fiqih yang mengacu pada prinsip waqiiyyah, di antaranya:




Dakwah beberapa Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di atas. Secara terutama
adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya
lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang.
Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran-aliran) dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk
sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud,
layang kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa keraton, alunalun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif (wa yadkhuluna fi
dinillahi afwaja). Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di
antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang
Kotagede, Yogyakarta). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.
Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbolsimbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara,
gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah
wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ada cerita masyhur, suatu waktu ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama
Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi
simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat AlBaqarah yang berarti Seekor Sapi. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional
Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya mencopy-paste kisah 1001 malam
dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara fiqih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial).
Salah satu kaidah fiqih ibadat mengatakan , Allah tidak boleh disembah
kecuali dengan cara yang disyariatkan-Nya. Sebaliknya kaidah fiqih muamalat mengatakan,
, muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.

Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan manhaj Islam Nusantara sebagaimana


dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti oleh ulama Ahlis Sunah di negara ini
dalam periode berikutnya.
Islam Nusantara ialah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil
dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.
Satu lagi contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara memahami dan menerapkan ajaran
Islam adalah lahirnya Pancasila. Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia diterima
dan disepakati untuk menjadi dasar negara Indonesia meskipun pada awalnya kaum muslimin
keberatan dengan itu. Pasalnya yang mereka idealkan adalah Islam secara eksplisit yang
menjadi dasar negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara substansial Pancasila
adalah sangat Islami. Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid
dalam akidah keislaman. Sedangkan sila-sila yang lain merupakan bagian dari representasi
syariat.
Seandainya kaum muslimin ngotot dengan Islam formalnya dan kelompok lain bersikeras
dengan sekulerismenya barang kali sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Itulah
pentingnya berpegang pada kaidah , menolak mudarat
didahulukan daripada menarik maslahat.
Pemahaman, pengalaman, dan metode dakwah ulama Nusantara, sejauh ini telah memberikan
kesan yang baik, yaitu Islam yang tampil dengan wajah semringah dan tidak pongah, toleran
tapi tidak plin-plan, serta permai nan damai.
Saat ini, dunia Islam di Timur Tengah tengah dibakar oleh api kekerasan yang berujung pada
pertumpahan darah. Ironisnya, agama Islam acapkali digunakan sebagai justifikasi bagi
perusakan-perusakan tersebut. Maka cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara
ini kembali terafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.
Yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana nilai-nilai keislaman yang telah
dan sedang kita hayati ini, terus dipertahankan. Bahkan, kita harus berupaya mengekspor
Islam Nusantara ke seantero dunia, terutama ke bangsa-bangsa yang diamuk kecamuk perang
tak berkesudahan, yaitu mereka yang hanya bisa melakukan kerusakan (fasad) tapi tidak
kunjung melakukan perbaikan (sola). Tugas kita adalah mengenalkan Allah yang tidak
hanya menjaga perut hamba-Nya dari kelaparan, tapi juga menenteramkan jiwa dari segala
kekhawatiran,
.

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Kabah). Yang telah
memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka
dari ketakutan (Quraisy: 3-4). Wallau Alam...
Referensi buku atlas wali songo karya agus sunyoto

Anda mungkin juga menyukai