yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di
Ampel Surabaya.
Mengingat kembali jasa para penyebar agama Islam nusantara menjadi sangat penting.
Banyak pihak yang sudah mulai lupa peran strategis tokoh Walisongo dalam menanamkan
pondasi Islam damai di bumi nusantara. Pola menghapus agama Kapitayan yang dipeluk oleh
orang Jawa kuno dilakukan dengan pendekatan budaya yang tetap mengedepankan misi
syariah Islam.
Disitu dapat dilihat bahwa agama damai menjadi solusi tepat dalam proses penyebarannya.
Lebih dari itu, warna Islam nusantara yang dibawa oleh para wali itu diawali dari benteng
istana Majapahit. Sunan Ampel yang merasakan hidup di istana Hindhu-Buda paham betul
bahwa agama Islam harus disebarkan dengan cara nirkekerasan. Maka pengalaman hidup
bersama Dwarawati (istri Raja Majapahit/sang bibi Sunan Ampel) dan pengalaman hidup di
istana Champa membuat Sunan Ampel berjiwa pluralis.
Maka tugas Sunan Ampel sebagai susuhunan ing Ngampel-Denta handamel pranataning
agami Islam kanggenipun ing titiyang Jawi (membuat peraturan yang Islami untuk
masyarakat Jawi) selalu membuat aturan yang dekat dengan budaya Jawa. Artinya bahwa
syariat Islam yang diajarkan tetap menggunakan pakem sunnah, namun budaya setempat
tidak langsung dihapus. Itulah bukti bahwa Islam hadir dengan penuh adaptasi agar tetap
disukai orang Jawa.
Apa yang dilakukan oleh Sunan Ampel ini adalah model dakwah dan tarbiyah Rasulullah.
Dimana proses islamisasi yang dilakukan selalu diawali dengan cara damai dan penuh
kesabaran. Saat Islam hadir di bumi Makkah sebagai agama sempurna tidak langsung
direspon positif secara massal. Hinaan, celaan dan umpatan selalu ditujukan pada Nabi dan ia
selalu menghadapi dengan penuh kesabaran.
Begitu juga para Wali Songo memperjuangkan agama Islam di bumi nusantara tidak pernah
lepas dari perjuangan. Badai dan hambatan apapun selalu dihadapi dengan ilmu pengetahuan
dan strategi politik yang cukup handal. Kehadiran para wali ke tanah Jawa memang dilihat
secara fisik sebagai pedagang, namun ada misi dakwah yang dikandung dalam pelayaran
ideologis ini.
Setelah perdagangan secara natural itu dilakukan, maka ada misi pengembangan ideologi
dengan cara menikah dengan putri tokoh lokal. Sunan Ampel menikah dengan Condrowati
anak Aryo Tedjo keturunan Joko Tarub. Maulana Ishaq menikah dengan Dewi Sekardadu
putri Blambangan. Sunan Gunung Jati menikah dengan Dewi Rara Santang putri Padjajaran.
Dalam dimensi sederhana bahwa pernikahan politik ini menguatkan posisi dakwah Islam
dimana tiga kerajaan sudah dikuasai: Majapahit, Blambangan dan Padjajaran.
Aspek damai lainnya dapat dilihat saat Raden Fatah (Sayyid Hasan) meminta izin Sunan
Ampel selalu guru dan mertuanya untuk menyerang kerajaan Majapahit. Sunan Ampel tidak
mengizinkan peperangan itu. Sebab Sunan Ampel adalah keponakan Raja Majapahit dan
Raden Fatah adalah anak kandung Raja Majapahit. Segala hal perbedaan yang ada perlu
diselesaikan secara kekeluargaan, tidak hanya dengan cara perang dan pertumpahan darah.
Dengan pola seperti itu justru Sri Prabu Kertawijaya sebagai Maharaja Majapahit menaruh
simpati pada Islam. Sebab dua istri yang dimiliki berasal dari Champa dan China disebutkan
memeluk agama Islam. Selain itu jabatan-jabatan strategis di daerah-daerah ia percayakan
kepada saudara-saudaranya yang beragama Islam. Arya Teja keponakannya dikasih jataban
Adipati Tuban. Keponakan istrinya Rohmatullah (Sunan Ampel) diangkat sebagai Raja
Surabaya. Termasuk Ali Murtadla (Raden Santri) diangkat sebagai Raja Pandhita Gresik dan
Raden Suta Maharaja diangkat Adipati Kendal.
Hal yang menarik lagi adalah gelar Sunan yang disandangkan para wali. Kata sunan adalah
jama dari sunnatun (hadits). Maka sangat tepat jika para wali ini disebut sebagai ahl sunnah
yang menjadi pemimpin agama. Karena kekuatannya memimpin masyarakat, maka ia juga
memiliki kemampuan berjamaah (organisasi). Jadi Sunan itu adalah gelar waliyyul ilmi dan
waliyyul amri yang dalam bahasa sederhana sebagai pemimpin ahlus sunnah wal jamaah.
Dan nyatanya sampai hari ini yang peduli dan melestarikan tradisi Wali Songo adalah
kalangan ahlus sunnah wal jamaah Indonesia lewat jamiyyah Nahdlatul Ulama.
Maka Nahdlatul Ulama sangat berkonsentrasi menyebarkan Islam damai yaitu Islam yang
diajarkan oleh Wali Songo di bumi nusantara. Islam khas nusantara ini tidak hanya bergaya
lokal saja, tapi hasil transformasi silang budaya leluhur Wali Songo yang berasal dari Persia,
Samarkand, Gujarat, China, Maroko dan Mongolia. Jadi Islam nusantara yang damai itu
adalah sebuah jawaban nyata bahwa tanah Jawi menjadi saksi bahwa Islam itu diajarkan
dengan damai bukan dengan terorisme dan kekerasan.
menjadi pemeluk Islam. Bila kita mau membaca dan mempelajari sejarah Wali Songo, kita
akan menyadari betapa indahnya cara Islam masuk di Nusantara yang dibawa oleh para wali.
Para wali yang datang ke Nusantara tidak memaksakan budaya Arab-Persia untuk diterapkan
oleh masyarakat. Ajaran yang mereka utamakan adalah ajaran ahlak (moralitas), ajaran Islam
yang sesungguhnya Rahmatan Lil Alamiin. Inilah yang membuat para wali diterima dan
dicintai.
Para wali tidak membidahkan, mengkhurafatkan apalagi mengkafirkan budaya/kultural
masyarakat. Bahkan mereka berdakwah melalui media; budaya masyarakat. Ketinggian ilmu
dan moralitas membuat para wali tidak berbicara langit dengan cara menginjak orang di
bumi, mereka begitu menghargai perbedaan, budaya/kultural masyarakat, dan dengan
menghargai kultural, dengan cara ini Islam diterima di Indonesia secara massal.
Selama puluhan tahun berdakwah, dan agama islam sudah cukup kuat, para wali tidak pernah
mengajarkan apalagi berupaya mendirikan negeri khilafah. Para wali menghargai sistem
kerajaan ditiap daerah yang telah menjadi sistem pemerintahan pada saat itu. Itulah mengapa
banyak para raja-pun menerima bahkan mengikuti agama para wali.
Itulah mengapa NU yang merupakan salah satu organisasi islam terbesar di dunia, tidak
pernah bercita-cita untuk mendirikan khilafah di negeri ini, itu karena NU berpegang teguh
untuk selalu mengikuti jalan para Wali.
Salah satu tokoh pendiri NU. KH. Abdullah Wahab Hasbullah mengatakan: Indonesia adalah
negara sah secara hukum Islam, sedangkan Khilafah sudah tidak mungkin lagi ditegakkan
karena syarat seorang Imam setingkat mujtahid sudah tidak ada lagi.
Bahkan, putera KH Hasyim Asyari yaitu KH. Wahid Hasyim pernah menjadi panitia tim
persiapan Kemerdekaan Indonesia. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila
sebagai pengganti dari Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya tidak
terlepas dari peran KH. Wahid Hasyim. Dan penghapusan 7 kata itu juga atas restu dari KH.
Hasyim Asyari, dan telah sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW.
Mudah-mudahan umat islam indonesia mau belajar dan mencontoh para wali dalam
membumikan Islam Rahmatan Lil Alamiin.
menyamaratakan pembagian harta pusaka antara anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga,
maslaat mursala, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan
nash khusus, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya seperti pencatatan
akad nikah.
Tujuan negara dalam Islam sejatinya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu terwujudnya
keadilan dan kemakmuran yang berketuhanan yang Maha Esa, negara yang memiliki dimensi
kemaslahatan duniawi dan ukhrowi seperti tersebut sesungguhnya sudah memenuhi syarat
untuk disebut negara khilafah, sekurang-kurangnya menurut konsep al-Mawardi. Dalam hal
ini menurutnya, , kepemimpinan negara
diletakkan sebagai kelanjutan tugas kenabian dalam menjadi agama dan mengatur dunia.
Maqasidus syariah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam dua hal:
1. Dalam memahami nususus syariah, nash-nash syariat yang dipahami dengan
memperhatikan maqasidus syariah akan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi
juga kontekstual.
2. Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Lahirnya
dalil-dalil sekunder (selain Al-Quran dan Sunah) merupakan konsekuensi logis dari posisi
maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah al-Qiyas, Istih san,
Saddudz dzariah, Urf, dan maslah ah mursalah seperti disinggung di atas.
Al-Qiyas ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain
yang tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki illat (alasan hukum) yang sama.
Istih san ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan
hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
Saddudz dzariah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau diduga kuat mengantarkan
pada mafsadat.
Urf adalah tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal
maupun komunal. Urf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan
dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsipprinsip syariat. Mengabaikan urf yang sahih seperti tersebut bertentangan dengan cita-cita
kemaslahatan sebagai tujuan (maqasidus) syariah.
Sebagian ulama mendasarkan posisi urf sebagai hujjah syariyyah pada firman Allah,
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh. (al-Araf: 199)
Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadis riwayat Ibn Masud,
Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.
As-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsut ,
Yang ditetapkan oleh urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash.
Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya karena yang pertama bersifat
ilahiyah sementara yang kedua adalah insaniyah. Akan tetapi, berhubung Islam juga
dipraktikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insaniyah dan karenanya tidak
mengancam eksistensi kebudayaan.
Selain nususus syariah dan maqasidus syariah, Islam juga memiliki mabadius syaria
(prinsip-prinsip syariat). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri
khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-wasatiyya.
Hal ini dinyatakan langsung
Dakwah beberapa Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di atas. Secara terutama
adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya
lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang.
Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran-aliran) dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk
sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud,
layang kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa keraton, alunalun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif (wa yadkhuluna fi
dinillahi afwaja). Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di
antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang
Kotagede, Yogyakarta). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.
Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbolsimbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara,
gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah
wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ada cerita masyhur, suatu waktu ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama
Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi
simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat AlBaqarah yang berarti Seekor Sapi. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional
Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya mencopy-paste kisah 1001 malam
dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara fiqih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial).
Salah satu kaidah fiqih ibadat mengatakan , Allah tidak boleh disembah
kecuali dengan cara yang disyariatkan-Nya. Sebaliknya kaidah fiqih muamalat mengatakan,
, muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Kabah). Yang telah
memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka
dari ketakutan (Quraisy: 3-4). Wallau Alam...
Referensi buku atlas wali songo karya agus sunyoto