Anda di halaman 1dari 4

BIOGRAFI SULTAN SALAHUDDIN AL-AYYUBI :

Memerintah 1174 M – 4 Maret 1193 M


Dinobatkan 1174 M
Nama lengkap Salahuddin Yusuf al-Ayyubi
Lahir 1138 M di Tikrit, Iraq
Meninggal 4 Maret 1193 M di Damaskus, Syria
Dimakamkan di Masjid Umayyah, Damaskus, Syria
Pendahulu Nurussin Zengi
Pengganti al-Aziz
Ayah Najmuddin Ayyub
Paman Asaduddin Syirkuh

Dinasti Ayyubiyah
Sultan Nuruddin meninggal tahun 659 H/1174 M, Damaskus diserahkan kepada purtanya
yang masih kecil Sultan Salih Ismail didampingi oleh para wali. Di bawah para Wali terjadi
perebutan kekuasaan di antara putra-putra Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nuruddin
menjadi terpecah-pecah. Salahuddin al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan
keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan
persatuan. Akhirnya Salahuddin melawannya dan menyatakan diri sebagai Raja untuk
wilayah Mesir dan Syan pada tahun 571 H/1176 M dan berhasil memperluas wilayahnya
hingga Mousul, Iraq.
Salahuddin al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya
Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan
dan pindah ke daerah Tikrit (Iraq). Salahuddin lahir di benteng Tikrit, Iraq tahun 532 H/1137
M, ketika ayahnya menjadi penguasa Saljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya
mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Saljuk untuk kota Mousul, Iraq. Ketika
Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub
(ayah Salahuddin) di angkat menjadi Gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja
Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Salahuddin mengisi masa mudanya
dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Salahuddin melanjutkan
pendidikannya ke Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama 10 tahun, dalam
lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169 M, Salahuddin diangkat menjadi seorang Wazir
(konselor).
Parjalan Hidup Salahuddin al-Ayyubi
Sultan Salahuddin al-Ayyubi, namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang muslim yang
memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat
islam karena mampu menyapu bersih, menghancur leburkan tentara salib yang merupakan
tentara gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa. Jarang sekali dunia menyaksikan sikap
patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusiaan seperti yang terdapat
dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama (islam) telah ia baktikan
dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama 20 tahun, dan
akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul mundur Eropa di
bawah pimpinan Richard Lionheart dari Inggris. Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib
adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat penuh kekejaman dan kebuasan dalam
sejara umat manusia, memakan korban ribuan jiwa, di mana topan kefanatikan membabi buta
dari Kristen Eropa menyerbu secara menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang Islam.
Dalam menumbuhkan wilayah kekuasaannya Salahuddin selalu berhasil mengalahkan
serbuan para Crusader Eropa, terkecuali 1 hal yang tercatat adalah Salahuddin sempat mundur
dari peperangan Battle of Montgisard melawan Kingdom of Jerussalem (kerajaan singkat di
Jerussalem pada saat perang salib). Namun, mundurnya Salahuddin tersebut mengakibatkan
Raynald of Chatillon pimpinan perang dari The Holy Land Jerussalem memprovokasi muslim
dengan mengganggu perdagangan dan jalur Laut Merah yang digunakan sebagai jalur Jamaah
Haji ke Makkah dan Madinah. Lebih buruk lagi Raynald mengancan menyerang 2 kota suci
tersebut, hingga akhirnya Salahuddin kembali menyerang Kingdom of Jerussalem pada tahun
1187 M dalam perang Battle of Hittin, sekaligus mengeksekusi hukuman mati pada Raynald
dan menangkap Rajanya, Guy of Lusignan.
Kita sekarang juga mungkin takjub bagaimana masa lalu bisa melahirkan orang sebaik itu.
Terutama ketika orang hanya mencoba menghidpkan kembali apa yang gagah berani dari
abad ke-12 tapi meredam apa yang sabar dan damai dari sebuah zaman yang penuh
peperangan. Bahkan ketika Salahuddin al-Ayyubi wafat dan rakyat membuka peti hartanya
ternyata hartanya tak cukup untuk biaya pemakamannya, karena hartanya banyak ia berikan
kepada rakyatnya yang membutuhkan.
“Ada orang yang baginya uang dan debu sama saja”
Itulah kata-kata sebagai bukti kezuhudan dan kesahajaan dari seorang Salahuddin Yusuf al-
Ayyubi. Munkin kata-kata mutiara inilah yang harus dipegang oleh para penguasa sekarang
ini dan kepemimpinan seperti Salahuddin al-Ayyubi yang kita harapkan muncul di zaman
milenium yang serba amburadul seperti ini, walaupun itu sebuah pengharapan yang hampir
mustahil terwujud, tapi kita berharap saja ada Salahuddin-Salahuddin baru yang akan
memimpin dengan kebijaksanaan yang luar biasa. Kisah kepemimpinan dan Suri Tauladannya
masih tetap dikenang banyak orang tak terkecuali orang-orang barat baik itu melalui puisi,
novel dan sebuah saksi sejarah.
Saat Salahuddin menjadi Sultan, kondisi umat islam dalam kondisi yang mngenaskan secara
rukhyah. Penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati). Penyakit hati ini menyebar dan tumbuh
di dalam hati sebagian besar kaum muslimin sehingga api jihad benar-benar padam.
Sebagaimana kita tahu bahwa semangat jihad adalah modal yang tidak dimiliki oleh ummat
lain. Sejarah membuktikan bahwa semangat jihad inilah yang manurunkan keridhaan Allah
atas setiap kemenangan umat islam. Seperti Kemenangan Perang Badr, Kemenangan perang
Yarmuk, Kemenangan perang Khandak, dan Kemenangan perang lainnya. Di sisi lain
ukhuwah umat muslim sangatlah hancur. Secara politik umat islam terpecah-pecah dalam
beberapa kerajaan dan kesultana walaupun masih dalam satu kekhalifahan Abbasyah yang
berpusat di Baghdad.
Melihat kondisi seperti itu, Salahuddin berpikir bahwa untuk melawan Pasukan Salib tidak
hanya membutuhkan pasukan dalam jumlah besar, melainkan juga api jihad yang berkobar-
kobar dalam setiap jiwa kaum muslimin. Salahuddin ingin membangkitkan semangat jihad
dengan menghadirkan kembali semangat juang dan kepahlawanan Rasulullah Muhammad
SAW. Kemudian Salahuddin menggagas sebuah festival yang dinamai dengan Maulid Nabi
Muhammad SAW. Tujuan dari festival ini adalah untuk mengembalikan semangat juang
Rasulullah dengan mempelajari sirah-sirahnya. Di festival ini, dikaji habis-habisan sirah
nabawiyah (sejarah Nabi) dan Atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan
nilai-nilai perjuangan (jihad).
Pada awalnya, gagasan Salahuddin ini ditentang oleh para ulama, karena kegiatan ini adalah
bid’ah (kegiatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah). Salahuddin menegaskan
bahwa acara ini bukanlah kegiatan ritual yang merupakan bid’ah yang dilarang, tetapi
hanyalah kegiatan yang menyemarakkan Syiar. Kemudian Salahuddin meminta persetujuan
dari Khalifah Abbasiyah, an-Nashir di Baghdad. Dan Khalifah pun menyetujuinya.
Salahuddin sendiri tidak tinggal di istana megah. Ia justru tinggal di Mesjid kecil bernama al-
Khaganah di Via (jalan Do-lorossa, dekat Gereja makam suci. Kantornya terdiri dari 2
ruangan berpenerangan minim yang luasnya tak mampu menampung 6 orang yang duduk
berkeliling. Salahudi sangat menghindari korupsi yang sering menghinggapi para Raja
pemenang perang).
Salahuddin meninggal pada tanggal 4 Maret 1193 di Damaskus. Para pengurus jenazahnya
sempat terperangah karena Salahuddin tidak mempunyai harta. Ia hanya mempunyai selembar
kain kafan lusuh yang selalu dibawanya dalam setiap perjalanannya dan uang senilai 66
dirham Nasirian (mata uang Suriah waktu itu) di dalam kotak besinya. Untuk mengurus
penguburan panglima alim tersebut, mereka harus berhutang terlebih dahulu.
“Di Eropa, Salahuddin al-Ayyubi atau Saladin telah menyentuh alam khayalan para penyanyi
maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri tauladan
kaum ksatria”, ungkap Hitti. Sifat penyayang dan belas kasihan Salahuddin ketika peperangan
sangat jauh berbeda dibanding kekejaman Perang Salib. Ahli sejarah Kristian pun mengakui
mengenai hal itu. Penulis Barat, Lane-Poole mengagumi kebaikan hati Salahuddin yang
mampu mencegah dan meredam amarah umat islam dari upaya balas dendam. Lane-Poole
juga melukiskan Salahuddin telah menunjukkan ketinggian akhlaknya ketika orang Kristian
menyerah kalah. “Tentaranya sangat bertanggung jawab, menjaga peraturan setiap jalan,
mencegah segala bentuk kekerasan sehingga tidak ada kedengaran orang Kristian dianiaya.”
Jejak perjuangan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi :
1138 M : Salahuddin al-Ayyubi lahir di Tikrit
1152 M : Salahuddin mulai bekerja di bawah pimpinan penguasa Syria Nuruddin.
1164 M : Mulai menunjukkan kemampuannya dalam strategi militer melawan tentara Perang
Salib di Palestina.
1169 M : Salahuddin menjadi wakil komandan militer Syria
1171 M : Salahuddin menekan penguasa Fatimiyah di Mesir dan menjadi pemimpin Mesir.
Kemudian dia menggabungkan Mesir dengan khalifah Abbasiyah
1174 M : Penguasa Syria, Nuruddin meninggal. Salahuddin mengembang Basis.
1183 M : Penaklukkan kota di utara Suriah, Aleppo
1186 M : Penaklukkan Mosul di Iraq
1187 M : Dengan kekuatan baru, menyerang kerajaan latin Jerussalem dengan pertempuran
sengit selama 3 bulan.
1189 M : Perang Salib III meluas di Palestina setelah Jerussalem di kontrol Salahuddin
1192 M : Menandatangani perjanjian dengan King Richard I dari Inggris yang membagi
wilayah pesisir untuk Kaum Kristen dan Jerussalem untuk kaum muslimin
1193 M : Meninggal di Damaskus tidak lama detelah jatuh sakit

Profil Kehidupan Salahuddin Al Ayyubi


Salahudin Al-Ayubi atau tepatnya Sholahuddin Yusuf bin Ayyub, Salah Ad-Din Ibn Ayyub
atau Saladin/salahadin (menurut lafal orang Barat) adalah salah satu pahlawan besar dalam
tharikh (sejarah) Islam. Satu konsep dan budaya dari pahlawan perang ini adalah perayaan
hari lahir Nabi Muhammad SAW yang kita kenal dengan sebutan maulud atau maulid, berasal
dari kata milad yang artinya tahun, bermakna seperti pada istilah ulang tahun. Berbagai
perayaan ulang tahun di kalangan/organisasi muslim sering disebut sebagai milad atau
miladiyah, meskipun maksudnya adalah ulang tahun menurut penanggalan kalender Masehi.
Selain belajar Islam, Shalahuddin pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asaddin
Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. Kekhalifahan. Bersama dengan pamannya
Shalahuddin menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimid
(turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).
Dinobatkannya Shalahuddin menjadi sultan Mesir membuat kejanggalan bagi anaknya
Nuruddin, Shalih Ismail. Hingga setelah tahun 1174 Nuruddin meninggal dunia, Shalih Ismail
bersengketa soal garis keturunan terhadap hak kekhalifahan di Mesir. Akhirnya Shalih Ismail
dan Shalahuddin berperang dan Damaskus berhasil dikuasai Sholahuddin. Shalih Ismail
terpaksa menyingkir dan terus melawan kekuatan dinasti baru hingga terbunuh pada tahun
1181. Shalahuddin memimpin Syria sekaligus Mesir serta mengembalikan Islam di Mesir
kembali kepada jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Menaklukkan Jerusalem
Dalam menumbuhkan wilayah kekuasaannya Shalahuddin selalu berhasil mengalahkan
serbuan para Crusader dari Eropa, terkecuali satu hal yang tercatat adalah Shalahuddin sempat
mundur dari peperangan Battle of Montgisard melawan Kingdom of Jerusalem (kerajaan
singkat di Jerusalem selama Perang Salib). Namun mundurnya Sholahuddin tersebut
mengakibatkan Raynald of Châtillon pimpinan perang dari The Holy Land Jerusalem
memrovokasi muslim dengan mengganggu perdagangan dan jalur Laut Merah yang
digunakan sebagai jalur jamaah haji ke Makkah dan Madinah. Lebih buruk lagi Raynald
mengancam menyerang dua kota suci tersebut, hingga akhirnya Shalahuddin menyerang
kembali Kingdom of Jerusalem di tahun 1187 pada perang Battle of Hattin, sekaligus
mengeksekusi hukuman mati kepada Raynald dan menangkap rajanya, Guy of Lusignan.
Akhirnya seluruh Jerusalem kembali ke tangan muslim dan Kingdom of Jerusalem pun
runtuh. Selain Jerusalem kota-kota lainnya pun ditaklukkan kecuali Tyres/Tyrus. Jatuhnya
Jerusalem ini menjadi pemicu Kristen Eropa menggerakkan Perang Salib Ketiga atau Third
Crusade.
Perang Salib Ketiga ini menurunkan Richard I of England ke medan perang di Battle of
Arsuf. Shalahuddin pun terpaksa mundur, dan untuk pertama kalinya Crusader merasa bisa
menjungkalkan invincibilty Sholahuddin.
Dalam kemiliteran Sholahuddin dikagumi ketika Richard cedera, Shalahuddin menawarkan
pengobatan di saat perang di mana pada saat itu ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju
dan dipercaya.
Pada tahun 1192 Shalahuddin dan Richard sepakat dalam perjanjian Ramla, di mana
Jerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka kepada para peziarah Kristen. Setahun
berikutnya Shalahuddin meninggal dunia di Damaskus setelah Richard kembali ke Inggris.
Bahkan ketika rakyat membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk biaya
pemakamannya, hartanya banyak dibagikan kepada mereka yang membutuhkannya.
“….Anakku,” konon begitulah pesan Sultan itu kepada anaknya, az-Zahir, menjelang wafat,
“…Jangan tumpahkan darah… sebab darah yang terpercik tak akan tertidur.”Selain
dikagumi Muslim, Shalahuddin atau Saladin/salahadin mendapat reputasi besar di kaum
Kristen Eropa, kisah perang dan kepemimpinannya banyak ditulis dalam karya puisi dan
sastra Eropa, salah satunya adalah The Talisman (1825) karya Walter Scott.
Masa lalu memang tidak mudah pergi meskipun kita seperti tak ingin menengoknya. Bahkan
di salah satu tembok Masjid Umayyah yang dulu adalah Katedral Yahya Pembaptis yang
dipermak jadi masjid yang indah di tahun 700-an itu, seorang sejarawan masih menemukan
sisa inskripsi ini: “Kerajaan-Mu, ya, Kristus, adalah kerajaan abadi….”
Tapi jika masa lalu tak mudah pergi, dari bagian manakah dari Saladin yang akan datang
kepada kita kini? Dari ruang makamnya yang kusam, mitos apa yang akan kita teruskan?
Kisah Saladin adalah kisah peperangan. Dari zamannya kita dengar cerita dahsyat bagaimana
agama-agama telah menunjukkan kemampuannya untuk memberi inspirasi keberanian dan
ilham pengorbanan – yang kalau perlu dalam bentuk pembunuhan.
Tapi sebagian besar kisah Saladin – yang tersebar baik di Barat maupun di Timur dari sejarah
Perang Salib yang panjang di abad ke- 12 itu – adalah juga cerita tentang seorang yang
pemberani dalam pertempuran, yang sebenarnya tak ingin menumpahkan darah. Saladin
merebut Jerusalem kembali di musim panas 1187. Tapi menjelang serbuan, ia beri
kesempatan penguasa Kristen kota itu untuk menyiapkan diri agar mereka bisa melawan
pasukannya dengan terhormat. Dan ketika pasukan Kristen itu akhirnya kalah juga, yang
dilakukan Saladin bukanlah menjadikan penduduk Nasrani budak-budak. Saladin malah
membebaskan sebagian besar mereka, tanpa dendam, meskipun dulu, di tahun 1099, ketika
pasukan Perang Salib dari Eropa merebut Jerusalem, 70 ribu orang muslim kota itu dibantai
dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke sinagog untuk dibakar.
Dalam hidupnya yang cuma 55 tahun, ikhtiar itulah yang tampaknya dilakukan Saladin.
Meskipun tak selamanya ia tanpa cacat, meskipun ia tak jarang memerintahkan pembunuhan,
kita toh tahu, bagaimana pemimpin pasukan Islam itu bersikap baik kepada Raja Richard
Berhati Singa yang datang dari Inggris untuk mengalahkannya. Ketika Richard sakit dalam
pertempuran, Saladin mengiriminya buah pir yang segar dingin dalam salju, dan juga seorang
dokter. Lalu perdamaian pun ditandatangani, 1 September 1192, dan pesta diadakan dengan
pelbagai pertandingan, dan orang Eropa takjub bagaimana agama Islam bisa melahirkan orang
sebaik itu.
Kita sekarang juga mungkin takjub bagaimana masa lalu bisa melahirkan orang sebaik itu.
Terutama ketika orang hanya mencoba menghidupkan kembali apa yang gagah berani dari
abad ke- 12 tapi meredam apa yang sabar dan damai dari sebuah zaman yang penuh
peperangan. Tapi pentingkah sebenarnya masa silam?
Dari makam telantar orang Kurdi yang besar itu, suatu hari di tahun 1970-an, saya kembali ke
pusat Damaskus, lewat lorong bazar yang sibuk di depan Masjid Umayyah. Kota itu riuh,
keriuhan yang mungkin tanpa sejarah.

Anda mungkin juga menyukai