Tafsir ini tercatat sebagai tafsir paling awal yang ditulis secara
lengkap. Karena itulah, sangat wajar jika tafsir ini beredar luas di
wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan edisi cetaknya juga tersebar di
komunitas Melayu di Afrika Selatan.
Yang tak kalah penting, edisi cetaknya tak cuma diterbitkan di
Penang, Singapura, Jakarta, dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah.
Di Istanbul, tafsir ini diterbitkan oleh Mathba'ah al-Utsmaniyyah pada
1302/1884.
Di kemudian hari, tafsir ini juga diterbitkan di Kairo oleh Sulaiman
al-Maragi, dan di Mekkah oleh al-Amiriyyah. Di Jakarta, tafsir ini
diterbitkan pada tahun 1981.
BIOGRAFI WALI SONGO
22 dari Nabi Muhammad SAW dan juga Merupakan Walisongo paling tua
/ pertama.
8. Sunan Giri.
Nama Aslinya adalah Raden Paku / Raden Ainul Yaqin lahir di
Blambangan, 1442 M. Ayah beliau adalah Maulana Ishak dan ibunya
Dewi Sekardadu, (Putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan),
beliau Wafat pada tahun1506 M dan dimakamkan di Desa Giri,
Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur . beliau Merupakan
keturunan ke 23 dari Nabi Muhammad SAW dan Pencipta mainan
cublak-cublak suweng
9. Sunan Ampel
Nama Aslinya adalah Raden Rahmad yang kemudian digelari
dengan pangggilan Sunan Ampel lahir di Champa (Kamboja) 1401
Masehi dari ayah yaitu Sunan Gresik / Maulana Malik Ibrahim dan ibu
beliau adalah Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari
Dinasti Ming. Beliau wafat pada tahun 1481 M dan makam beliau ada di
Sebelah Barat Masjid Sunan Ampel, Desa Ampel, Kota Surabaya, Jawa
Timur. Beliau merupakan keturunan ke 22 dari Nabi Muhammad SAW,
Beliaulah yang mengenalkan istilah Molimo (moh main, moh ngombe,
moh maling, moh madat, moh madon), 2 Orang muridnya yang sangat
terkenal yaitu mbah sholeh (Penjaga Masjid Ampel yang makamnya ada
9) dan mbah bolong (Melubangi pengimaman untuk melihat
kabah/arah kiblat dalam pembangunan Masjid Ampel).
BIOGRAFI: SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
Wahab Bugis dan Syekh Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat
dikenal dengan "Empat Serangkai dari Tanah Jawi" yang sama-sama
menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain. Setelah lebih kurang 35
tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman.
Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang diarak barisan
pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di
pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang
akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu
sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186
H bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya
Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.
Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau
dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengeluelukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya
diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau
sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu
pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat
ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultanpun termasuk
salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang 'alim lagi wara'.
Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muh. Arsyad mempunyai
beberapa metode, di mana antara satu dengan yang lain saling
menunjang. Adapun metode-metode tersebut, yaitu:
Bil-hal : Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan
dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur-kata sehari-hari dan
disaksikan secara langsung oleh murid-murid beliau.
Bil-lisan : Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa
diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan.
Bil-kitabah : Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulismenulis, sehingga lahirlah lewat ketajaman penanya kitab-kitab yang
menjadi pegangan umat. Buah tangannya yang paling monumental
adalah kitab Sabilal Muhtadin Littafaqquh Fiddin, yang kemasyhurannya
sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand selatan).
Setelah 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di
wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H
(1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia
beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau
juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.
BIOGRAFI K.H. HASYIM ASY'ARI
A.
Biografi
Nama lengkap Abdurrauf adalah Abd ar Rauf bin Ali al Jawiyy al Fansuriyy as
Sinkilyy. Beliau berasal dari Fansur, Sinkil (Singkel), pantai barat Laut Aceh. Ayahnya
bernama Syeikh Ali. Abdurrauf merupakan keturunan Bangsa Persia yang datang ke
Kesultanan Samudera Pasai akhir abad ke-14, kemudian menetap di Pantai Sumatra Barat.
Syeikh Ali sebagai ayah Abdurrauf adalah kakak dari Hamzah Fansuri. Sampai
sekarang belum ada kepastian mengenai tahun kelahirannya. Menurut Rinkes beliau lahir
sekitar tahun 1615. Rinkes memperkirakan tahun itu setelah menghitung mundur
berdasarkan tahun kembalinya (Abdurrauf) dari Arab. Beliau telah merantau di tanah Arab
selama 19 tahun, dan idealnya (pada umumnya), seseorang merantau pada usia muda (2530 tahun). Sedangkan beliau kembali ke Aceh pada tahun 1661. Abdurrauf wafat pada
tahun 1693 dan dimakamkan di dekat Kuala Sungai Aceh. Oleh karena itu beliau mendapat
sebutan Teungku di Kuala. Dan namanya diabadikan menjadi nama sebuah perguruan
tinggi di Aceh, yaitu Universitas Syaikh Kuala.
B.
Sejarah Hidup
Riwayat hidup Abdurrauf dapat diketahui dari beberapa sumber di antaranya kitab
yang ditulisnya sendiri berjudul Umdatu al Muhtajin ila Suluk Maslaki al Mufradin pada
bagian kesimpulan, selain itu terdapat pula dalam disertasi Rinkes yang berjudul
Abdoerraoef van Singkel.
Mengenai latar belakang pendidikannya, tampaknya Abdurrauf telah mempunyai
dasar agama yang cukup kuat. Barulah sekitar tahun 1642 beliau merantau ke tanah Arab.
Kepergiannya dikarenakan adanya kontroversi dan pertikaian antara Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin Sumatrani dengan Nurudin ar Raniri dan para pengikutnya. Dengan alasan ini
jelas bahwa Abdurrauf mengetahui semua permasalahan yang mengakibatkan terjadinya
penganiayaan terhadap pengikut doktrin wujudiyyah dan pembakaran karya-karya Hamzah
Fansuri. Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kepergiannya ke tanah
Arab karena untuk menunaikan ibadah haji.
Selama di tanah Arab, Abdurrauf belajar pada sejumlah guru, ulama, dan tokoh
mistik ternama di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al Faqih, dan tempat-tempat
lain. Sebagai orang yang bisa dikatakan paling berpengaruh pada diri Abdurrauf adalah
Syeikh Shafiuddin Ahmad Ad Dajjani Al Qusyasyi, guru spiritualnya di Madinah. Darinya
Abdurrauf mendapat ijazah dan khirqah untuk menjadi khalifah dalam Thariqat
Syaththariyyah dan Qadiriyyah. Abdurrauf bukanlah sekadar ulama tasawuf, tapi juga ahli
ilmu-ilmu lahir (seperti tafsir, fiqh, hadits, dsb.). Perpaduan dua bidang ilmu tersebut
sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdurrauf, yang sangat menekankan pepaduan antara
syariat dan tasawuf.
Setelah kembalinya ke Aceh, pola pemikiran Abdurrauf menarik hati Sultanah
Safiyyatudin yang saat itu memerintah Kesultanan Aceh. Oleh karena itu Abdurrauf bisa
menduduki posisi sebagai Qadi Malik al Addil yang bertanggung jawab atas administrasi
masalah-masalah keagamaan.
C.
Karya-Karyanya
Banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui muridmuridnya. Di antaranya yang lebih terkenal adalah:
1. Mirat al-Thullab f Tasyil Mawaiz al-Badrifat al-Ahkm al-Syariyyah li Malik
al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan
Sultanah Safiyatuddin.
2. Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Quran yang lengkap
berbahasa Melayu.
3. Terjemahan Hadits Arbain karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas
permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
4. Mawaiz al-Bad. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak.
5. Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran
tentang martabat tujuh.
Wafat
Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri meninggal dunia pada tahun 1693, dengan
berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh,
desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.
dakwah, (Wayang dan Suluk) Pencipta lagu lir ilir dan gundul-gundul pacul. Beberapa
muridnya yang terkenal adalah Sunan Bayat (Klaten), Sunan Geseng (Kediri), Syekh
Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak)
3. Sunan Kudus.
Nama Asli belua adalah Jafar Shodiq dan kemudia dipanggil dengan panggilan
Sunan Kudus. Beliau wafat pada tahun 1550 Masehi dan Beliau dimakamkan di Kota
Kudus, Jawa Tengah Ayah beliau bernama Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) dan ibu
bernama Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai
Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Beliau dimakamkan di Kota Kudus, Jawa Tengah.
Beliau termasuk Keturunan ke 24 Dari Nabi Muhammad SAW dan Pernah menjadi
panglima perang kerajaan demak.
4. Sunan Muria
Nama Aslinya Raden Umar Said, menenai kapan lahir dan wafatnya tidak ada
sumber yang sahih menyebutkannya, akan tetapi dimana dimakamkannya beliau
dimakamkan Gunung Muria, Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa
Tengah. Beliau termasuk keturunan Sunan Kalijaga dan sunan kalijaga sendiri sebagai
ayahandanya dengan ibunya bernama Dewi Sarah (Adik Sunan Giri) binti Maulana Ishaq.
Beliau Terkenal sangat dekat dengan rakyat jelata
5. Sunan Bonang
Nama Aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim yang dipanggil dengan kanjeng Sunan
Bonang. Lahir beliau pada tahun 1465 Masehi dan wafatnya pada tahun 1525 M dan
dimakamkan di Tuban, Jawa Timur. Ayah beliau adalah Sunan Ampel dan ibunya Nyai
Ageng Manila (Putri Addiapti Tuban Arya Teja). Keterangan menyebutkan beliau
Merupakan keturunan ke 23 dari Nabi Muhammad SAW dan beliau juga adalah Pengarang
tembang tombo ati
6. Sunan Derajat
Nama Aslinya Raden Qosim dilahirkan pada tahun 1470 M yang kemudian wafat
pada tahun 1522 M. beliau juga termasuk anak dari Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila
(Putri Addiapti Tuban Arya Teja). Makam beliau ada di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Kab. Lamongan, Jawa Timur dan beliau Merupakan keturunan ke 23 dari Nabi
Muhammad SAW, Pencipta tembang Macapat Pangkur.
7. Sunan Gresik
Nama Aslinya adalah Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkandy (Asia Tengah)
awal abad 14 dari Maulana Jumadil Kubro (Keturunan ke 10 dari Husein / Cucu Nabi
Muhammad SAW) dan wafat pada tahun 1419 Masehi kemudian dimakamkan di Desa
Gapuro Wetan, Kota Gresik, Jawa Timur. Menurut keterangan beliau Merupakan
keturunan ke 22 dari Nabi Muhammad SAW dan juga Merupakan Walisongo paling tua /
pertama.
8. Sunan Giri.
Nama Aslinya adalah Raden Paku / Raden Ainul Yaqin lahir di Blambangan, 1442
M. Ayah beliau adalah Maulana Ishak dan ibunya Dewi Sekardadu, (Putri Prabu Menak
Sembuyu, Raja Blambangan), beliau Wafat pada tahun1506 M dan dimakamkan di Desa
Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur . beliau Merupakan keturunan
ke 23 dari Nabi Muhammad SAW dan Pencipta mainan cublak-cublak suweng
9. Sunan Ampel
Nama Aslinya adalah Raden Rahmad yang kemudian digelari dengan pangggilan
Sunan Ampel lahir di Champa (Kamboja) 1401 Masehi dari ayah yaitu Sunan Gresik /
Maulana Malik Ibrahim dan ibu beliau adalah Dewi Condro Wulan binti Raja Champa
Terakhir Dari Dinasti Ming. Beliau wafat pada tahun 1481 M dan makam beliau ada di
Sebelah Barat Masjid Sunan Ampel, Desa Ampel, Kota Surabaya, Jawa Timur. Beliau
merupakan keturunan ke 22 dari Nabi Muhammad SAW, Beliaulah yang mengenalkan
istilah Molimo (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon), 2 Orang
muridnya yang sangat terkenal yaitu mbah sholeh (Penjaga Masjid Ampel yang makamnya
ada 9) dan mbah bolong (Melubangi pengimaman untuk melihat kabah/arah kiblat dalam
pembangunan Masjid Ampel).
BIOGRAFI SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang juga dikenal dengan nama Tuanta Salamakka
dan Datuk Kalampayan, lahir di Desa Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada
15 Safar 1122 H, bertepatan dengan 19 Maret 1710 M. Dia merupakan putra tertua dari
lima bersaudara, ayahnya bernama Abd Allah dan ibunya bernama Siti Aminah.
Muhammad Arsyad lahir di lingkungan keluarga yang terkenal taat beragama. Kondisi
lingkungan yang baik ini mempunyai andil yang besar dalam membentuk kepribadian
Muhammad Arsyad selanjutnya.
Ketika dia berumur sekitar tujuh tahun, Sultan Tahlil Allah (1700-1745 M), penguasa
Kesultanan Banjar pada waktu itu, meminta kepada orang tua Arsyad agar bersedia
menyerahkan anaknya untuk dididik dan dibesarkan di lingkungan istana sekaligus
diadopsi sebagai anak angkatnya. Keinginan ini dilakukan, karena Sultan tertarik dengan
kecerdasan dan ketrampilan Arsyad muda ketika mengadakan kunjungan kerja ke Desa
Lok Gabang. Meskipun Abd Allah dan Aminah, orang tua Arsyad, sebetulnya merasa
keberatan untuk melepaskan anak tertuanya itu untuk diadopsi sultan, namun mereka tidak
kuasa untuk menolak maksud baik Sultan. Merekapun menyerahkan anaknya kepada
Sultan untuk tinggal bersama anak-anak dan cucu-cucu keluarga istana. Muhammad
Arsyad tinggal di lingkungan istana Kesultanan Banjar ini selama sekitar 23 tahun, karena
pada umur sekitar 30 tahun dia merantau untuk menuntut ilmu di Haramain; Mekkah dan
Madinah. Ia belajar di Mekkah kurang lebih 30 tahun dan belajar di Madinah kurang lebih
5 tahun. Dia kembali lagi ke Banjar pada Ramadhan 1186 H/Desember 1772.
Sebelum berangkat untuk menuntut ilmu ke Mekkah dan Madinah, Muhammad
Arsyad dikawinkan oleh Sultan dengan seorang wanita bernama Bajut yang
ditinggalkannya dalam kondisi hamil. Istrinya ini melahirkan seorang bayi perempuan
yang kemudian diberi nama Syarifah, ketika Muhammad Arsyad masih berada di
perantauan, sibuk menggeluti pelajaran-pelajarannya. Ketika Syarifah sudah beranjak
dewasa, dia (sebagai wali mujbir) mengawinkannya dengan sahabatnya sendiri, Abd AlWahab Bugis, sedangkan Sultan (sebagai wali hakim) juga menikahkan dengan seseorang
yang bernama Usman (permasalahan ini dibahas lebih lanjut dalam pemikiran Syekh
Arsyad dalam Ilmu Falak).
Sekembalinya dari tanah suci, Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama
Islam di wilayah Kalimantan Selatan melalui jalur pendidikan, dakwah, tulisan dan
keluarga. Dalam jalur pendidikan, dia mendirikan pondok pesantren lengkap dengan
sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para
santrinya. Dalam jalur dakwah, dia mengadakan pengajian-pengajian umum baik untuk
kalangan kelas bawah maupun kalangan istana. Dalam tulisan, dia aktif menulis kitabkitab yang bisa dibaca hingga sekarang.
Sedangkan dalam jalur keluarga, dia melakukan dakwah dengan mengawini para
wanita-wanita terhormat untuk mempermudah penyebaran Islam di masyarakat, sehingga
dalam catatan sejarah, ada sebelas orang isteri dalam kehidupannya. Dia mengawini para
isterinya tidak bersamaan dan tidak lebih dari empat orang dalam hidupnya, tetapi apabila
salah seorang isterinya meninggal, dia menikah lagi dan begitu seterusnya. Syekh Arsyad
dapat berlaku bijaksana dan adil terhadap para isterinya, sehingga mereka hidup rukun dan
damai. Isteri-isteri Syekh Arsyad tersebut adalah: 1. Bajut; melahirkan Syarifah dan
Aisyah. 2. Bidur; melahirkan Kadi H. Abu Suud, Saidah, Abu Naim, dan Khalifah H.
Syahab Al-Din. 3. Lipur; melahirkan Abd Al-Manan, H. Abu Najib, alim al-fadhil H.
Abd Allah, Abd Al-Rahman, dan alim al-fadhil Abd Al-Rahim. 4. Guwat (keturunan
Cina; Go Hwat Nio); melahirkan Asiyah, Khalifah H. Hasanuddin, Khalifah H. Zain AlDin, Rihanah, Hafsah, dan Mufti H. Jamal Al-Din. Dalam perkawinan ini, Syekh Arsyad
berusaha menyebarkan Islam di kalangan Tionghoa, dia tidak merubah nama isterinya
untuk menunjukkan bahwa Islam tidak akan merubah tradisi mereka, asal tidak
bertentangan dengan ajaran pokok Islam. 5. Turiyah; melahirkan Nurain, Amah, dan
Caya. 6. Ratu Aminah; melahirkan Mufti H. Ahmad, Safia, Safura, Maimun, Salehah,
Muhammad, dan Maryamah. 7. Palung; melahirkan Salamah, Salman, dan Saliman. 8.
Kadarmik. 9. Markidah. 10. Liyyuhi, dan 11. Dayi, keempat isteri yang terakhir ini tidak
memberikan keturunan (Kadir, 1976).
Syekh Arsyad melakukan dakwah di Banjar selama kurang lebih 40 tahun.
Menjelang ajalnya, dia menderita sakit lumpuh, darah tinggi, dan masuk angin dan
akhirnya dia meninggal dalam usia 105 tahun (hitungan tahun Hijriyah) atau 102 tahun
(hitungan tahun Masehi). Sebelum meninggal, dia sempat berwasiat agar jasadnya
dikebumikan di Kalampayan apabila sungai dapat dilayari. Namun apabila tidak bisa, dia
minta dikebumikan di Karang Tengah, tempat isteri pertamanya, Bajut dimakamkan.
Ketika dia meninggal, air sedang surut, maka wasiat pertamanya yang dilaksanakan. Dia
meninggal pada 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812 M dan dimakamkan di Kalampayan,
Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan (sekitar 56 km dari Kota Madya Banjarmasin).
KH. Hasyim Asyari lahir di Gedang, Jombang, Jawa Timur, hari Selasa, 24
Dzulhijjah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Ayahnya bernama Kiai
Asyari, seorang ulama asal Demak yang merupakan keturunan ke-8 dari Jaka Tingkir
yang menjadi Sultan Pajang di tahun 1568 M. Jaka Tingkir merupakan anak Brawijaya IV
yang menjadi raja Majapahit. Sedangkan Ibunya bernama Halimah, putri Kiai Usman
pendiri dan pengasuh pesantren Gedang Jawa Timur. Kiai Usman juga merupakan seorang
pemimpin Thariqah ternama pada akhir abad ke-19 M.
Sebagaimana santri pada umumnya, KH. Hasyim Asyari senang belajar di pesantren
sejak masih belia.. sebelum umur 8 tahun Kiai Usman sangat memperhatikannya.
KH. Ahmad Dahlan Lahir: 1 Agustus 1868, Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan
merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar, ulama dan
khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta saat itu. Ibunya adalah putri H.
Ibrahim, yang juga bekerja sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta. Sejak kecil,
pendidikan agama Islam sudah ditanamkan oleh sang ayah kepada Ahmad Dahlan yang
terlahir dengan nama Muhammad Darwisy. Karena itulah, Ahmad Dahlan kemudian pergi
ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sebagai pengabdiannya pada agama Islam.
Usai menjalankan ibadah haji, Ahmad Dahlan menetap di Mekkah selama 5 tahun
untuk memperdalam ilmu agamanya. Ia berguru ilmu agama kepada siapa saja karena bagi
beliau, ilmu bisa didapatkan dari siapa pun. Di antara gurunya terdapat Muhammad Abduh
Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Tidak lama setelah kembali ke tanah air,
Muhammad Darwis mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan dan juga menikah
dengan Siti Walidah (sepupu beliau). Siti Walidah kemudian dikenal sebagai Nyai Ahmad
Dahlan yang juga merupakan seorang Pahlawan Nasional.
Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota Budi Utomo dan Sarikat Islam (SI) sebelum
akhirnya Ahmad Dahlan membentuk organisasi bernapaskan Islam bernama
Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Namun,
Ahmad Dahlan menegaskan bahwa organisasi yang dibentuknya ini bukan bersifat politik,
melainkan organisasi yang bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Ahmad
Dahlan mencoba menerapkan Muhammadiyah untuk aktif melakukan dakwah dan
pendidikan yang disemangati oleh nilai-nilai pembaruan dalam Islam.
Pada awalnya, Muhammadiyah banyak ditentang dan dianggap menyalahi agama
Islam. Bahkan KH. Ahmad Dahlan difitnah sebagai Kyai Palsu dan Kyai Kafir. Namun,
berkat usaha dan kerja keras Ahmad Dahlan yang dibantu oleh kawan-kawannya,
Muhammadiyah tetap berdiri tegar dan membantu perjuangan kemerdekaan.
Karena pengikut Muhammadiyah terus berkembang pesat maka KH. Ahmad Dahlan
memohon izin badan hukum untuk Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia Belanda
pada 20 Desember 1912, sayang permohonan tersebut ditolak. Dengan semangat dan
kegigihan beliau, pada 22 Agustus 1914 turunlah izin dari Belanda, namun khusus untuk
wilayah Yogyakarta saja. Hal ini dikarenakan ada kekhawatiran dari pihak Belanda bahwa
Muhammadiyah berkembang sangat pesat. Benar saja, sekitar tahun 1921 Muhammadiyah
sudah berkembang hampir di seluruh Indonesia. Dengan adanya Muhammdiyah,
kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di Yogyakarta sudah lebih maju dalam hal
pemikiran, maupun kehidupan sosialnya.
Semakin hari organisasi Muhammadiyah semakin berkembang dan menjadi salah
satu organisasi sosial yang bermanfaat dan banyak membantu masyarakat. KH. Ahmad
Dahlan memimpin Muhammadiyah dengan demokratis. Dia selalu memberi kesempatan
kepada para anggotanya untuk selalu dapat berpartisipasi memberi masukan dan ide demi
kemajuan organisasi Muhammadiyah. Pada tanggal 23 Februari 1923, KH. Ahmad Dahlan
wafat dalam usia 54 tahun di Yogyakarta dan dimakamkan di Karangkajen.
Ahmad Dahlan adalah salah satu tokoh pergerakan yang banyak berjasa bagi bangsa
dan agama. Beliau merupakan salah satu tokoh pembaruan Islam yang demokratis. Atas
jasa dan perjuangannya itu, pemerintah menganugerahinya gelar pahlawan. Beliau adalah
salah satu tokoh pelopor yang peduli pada kehidupan sosial masyarakat dan patut menjadi
contoh dan teladan.
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa
Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik
Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden
no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan
ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan,
dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa
ajaran Islam; dan Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah
mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi
sosial, setingkat dengan kaum pria.