Anda di halaman 1dari 22

BIOGRAFI ABDURRAUF SINGKEL

Abdurrauf Singkel orang Melayu dari Fansur, Singkel, di wilayah


pantai barat-laut Aceh. Nama lengkapnya Abd Rauf bin Ali al-Jawi alFansuri as-Sinkili. Tak ditemukan keterangan yang pasti tentang tahun
kelahirannya.
Hanya saja, mengikuti perhitungan mundur Rinkes, sebagaimana
disinggung Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama, as-Sinkili lahir sekitar
tahun 1024/1615. Oleh sejumlah besar sejarawan, tahun ini disepakati
sebagai tahun kelahirannya.
Nenek moyang as-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke
Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian
menetap di Fansur (Barus) sebuah kota pelabuhan tua yang penting di
Sumatera Barat.
Sayang, latar belakang keluarga as-Sinkili tidak terekam secara
jelas. Informasi yang cukup membantu disodorkan Peunoh Daly dalam
Naskah Mi'ratut Thullab karya Abdurrauf Singkel adalah bahwa ayah asSinkili berasal dari Arab yang menikahi seorang wanita dari Fansur.
Hal ini amat mungkin, sebab waktu itu Samudera Pasai dan Fansur
kerap dikunjungi pedagang dari Cina, India, Yahudi, Persia, dan Arab.
Pendidikan as-Sinkili di masa kecil ditangani oleh ayahnya--seorang
alim yang mendirikan madrasah dengan murid-murid berasal dari
pelbagai tempat di Kesultanan Aceh. Ia lantas pergi ke Banda Aceh
untuk berguru kepada Syam ad-Din as-Samartrani.
Pada tahun 1052/1642, as-Sinkili mengembara ke Tanah Haram
untuk menambah pengetahuan agama sekaligus menunaikan ibadah
haji.
Dalam perjalanannya, as-Sinkili singgah di beberapa tempat. Mulai
dari Doha, Qatar, ia belajar kepada Abd al-Qadir al-Mawrir. Lalu ke Baitul

Faqih, Yaman, berguru kepada ulama dari keluarga Jam'an seperti


Ibrahim bin Muhammad bin Jam'an, Ibrahim bin Abdullah bin Jam'an,
Qadi Ishaq bin Abdullah bin Jam'an.
Setelah dari Baitul Faqih, as-Sinkili ke Jeddah dan berguru kepada
Abd al-Qadir al-Barkhali. Kemudian ia ke Mekkah dan belajar kepada
Badr ad-Din al-Lahuri dan Abdullah al-Lahuri. Terakhir ke Madinah,
berguru kepada Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.
Dalam pengembaraan ini, as-Sinkili memakan waktu kurang lebih
selama 19 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, ia belajar agama
kepada tak kurang dari 19 guru, 27 ulama masyhur, dan 15 tokoh mistik
kenamaan. Dari sejumlah gurunya, tampaknya yang paling
berpengaruh adalah Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.
Pada sekitar tahun 1072/1661 as-Sinkili kembali ke Aceh. Dalam
waktu singkat kharisma as-Sinkili menguat dan mampu memagut
simpati Sultanah Safiyyatuddin yang memerintah Kesultanan Aceh
ketika itu, tahun 1645-1675).
As-Sinkili kemudian diangkat sebagai Qadi Malik al-'Adil atau mufti
yang betanggung jawab atas masalah-masalah keagamaan. Hingga
pada tahun 1693, ia wafat dan dikebumikan di samping makam Teungku
Anjong yang dianggap paling keramat di Aceh.
Tonggak Mufasir Indonesia
As-Sinkili adalah ulama yang sangat produktif. Tak kurang dari 30
kitab dari pelbagai disiplin ilmu telah dihasilkan. Di bidang fiqh
misalnya, Mir'ah at-Tullab fi Tashil Ma'rifah al-Ahkam asy-Syar'iyyah li alMalik al-Wahhab, Bayan al-Arkan, Bidayah al-Baligah, dan sebagainya.
Di bidang tasawuf seperti 'Umdah al-Muhtajin ila Suluk Maslak alMufarridin, Daqa'iq al-Huruf, Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq alQusyasyi,dan sebagainya.
Di bidang hadis misalnya Syarh Latif 'ala 'Arbain Hadisan li al-Imam
an-Nawawi dan al-Mawa'iz al-Badi'ah. Di bidang tafsir Al-Qur'an seperti
Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawwiyy.
Dalam bidang tafsir Alquran, as-Sinkili memang bertekad untuk
menulis tafsir terlengkap berbahasa Melayu. Sebelum Tarjuman alMustafid memang telah ada sepenggal tafsir atas Surah al-Kahfi yang
ditulis pada masa Hamzah al-Fansuri. Namun sayang, tidak diketahui
secara pasti siapa penulisnya.
Meski as-Sinkili tidak menorehkan angka tahun untuk penyelesaian
Tarjuman al-Mustafid, namun diyakini tafsir ini ditulis selama masa
karirnya yang panjang di Aceh pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke18.

Tafsir ini tercatat sebagai tafsir paling awal yang ditulis secara
lengkap. Karena itulah, sangat wajar jika tafsir ini beredar luas di
wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan edisi cetaknya juga tersebar di
komunitas Melayu di Afrika Selatan.
Yang tak kalah penting, edisi cetaknya tak cuma diterbitkan di
Penang, Singapura, Jakarta, dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah.
Di Istanbul, tafsir ini diterbitkan oleh Mathba'ah al-Utsmaniyyah pada
1302/1884.
Di kemudian hari, tafsir ini juga diterbitkan di Kairo oleh Sulaiman
al-Maragi, dan di Mekkah oleh al-Amiriyyah. Di Jakarta, tafsir ini
diterbitkan pada tahun 1981.
BIOGRAFI WALI SONGO

1. Sunan Gunung Jati


Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah yang kemudian digelari
dengan Sunan Gunung Jati, beliau lahir pada tahun 1448 / 1450 dan
wafat pada tahun 1569 Masehi, ayah beliau bernama Syarif Abdullah
bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar (musafir dari Gujarat yang hijrah ke
jawa), terkenal dengan nama Syekh Maulana Akbar dan ibunya yaitu
Nyai Rara Santang (Putri Prabu Siliwangi). Makam beliau terletak di
Gunung Sembung, Desa Astana, Kec. Gunung Jati, Kab. Cirebon, Jawa
Barat. Keterangan Lain menyebutk beliau termasuk keturunan ke 23
dari Nabi Muhammad SAW
2. Sunan Kali Jaga.
Nama asli beliau yaitu Raden said, dan masyarakat memanggilnya
dengan sebutan Sunan Kalijogo, beliau lahir sekitar tahun 1450, namun
mengenai wafatnya tidak ada sumber menyebutkannya mengenai
waktunya. Nama ayahnya bernama Tumenggung Wilwatikta (Adiapti
Tuban), dan dari keturuanan ibu tidak ada yang menyebutkan siapa ibu
beliau. Makam beliau terletak di Desa Kadilangu, Kabupaten Demak,
Jawa Tengah. Dalam menyebarkan agama Islam beliau Terkenal
menggunakan kesenian sebagai media dakwah, (Wayang dan Suluk)
Pencipta lagu lir ilir dan gundul-gundul pacul. Beberapa muridnya yang

terkenal adalah Sunan Bayat (Klaten), Sunan Geseng (Kediri), Syekh


Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak)
3. Sunan Kudus.
Nama Asli belua adalah Jafar Shodiq dan kemudia dipanggil
dengan panggilan Sunan Kudus. Beliau wafat pada tahun 1550 Masehi
dan Beliau dimakamkan di Kota Kudus, Jawa Tengah Ayah beliau
bernama Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) dan ibu bernama Syarifah
Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai
Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Beliau dimakamkan di Kota Kudus,
Jawa Tengah. Beliau termasuk Keturunan ke 24 Dari Nabi Muhammad
SAW dan Pernah menjadi panglima perang kerajaan demak
4. Sunan Muria
Nama Aslinya Raden Umar Said, menenai kapan lahir dan wafatnya
tidak ada sumber yang sahih menyebutkannya, akan tetapi dimana
dimakamkannya beliau dimakamkan Gunung Muria, Desa Colo,
Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Beliau termasuk
keturunan Sunan Kalijaga dan sunan kalijaga sendiri sebagai
ayahandanya dengan ibunya bernama Dewi Sarah (Adik Sunan Giri)
binti Maulana Ishaq. Beliau Terkenal sangat dekat dengan rakyat jelata
5. Sunan Bonang
Nama Aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim yang dipanggil
dengan kanjeng Sunan Bonang. Lahir beliau pada tahun 1465 Masehi
dan wafatnya pada tahun 1525 M dan dimakamkan di Tuban, Jawa
Timur. Ayah beliau adalah Sunan Ampel dan ibunya Nyai Ageng Manila
(Putri Addiapti Tuban Arya Teja). Keterangan menyebutkan beliau
Merupakan keturunan ke 23 dari Nabi Muhammad SAW dan beliau juga
adalah Pengarang tembang tombo ati
6. Sunan Derajat
Nama Aslinya Raden Qosim dilahirkan pada tahun 1470 M yang
kemudian wafat pada tahun 1522 M. beliau juga termasuk anak dari
Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila (Putri Addiapti Tuban Arya Teja).
Makam beliau ada di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kab. Lamongan,
Jawa Timur dan beliau Merupakan keturunan ke 23 dari Nabi
Muhammad SAW, Pencipta tembang Macapat Pangkur.
7. Sunan Gresik
Nama Aslinya adalah Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkandy
(Asia Tengah) awal abad 14 dari Maulana Jumadil Kubro (Keturunan ke
10 dari Husein / Cucu Nabi Muhammad SAW) dan wafat pada tahun
1419 Masehi kemudian dimakamkan di Desa Gapuro Wetan, Kota
Gresik, Jawa Timur. Menurut keterangan beliau Merupakan keturunan ke

22 dari Nabi Muhammad SAW dan juga Merupakan Walisongo paling tua
/ pertama.
8. Sunan Giri.
Nama Aslinya adalah Raden Paku / Raden Ainul Yaqin lahir di
Blambangan, 1442 M. Ayah beliau adalah Maulana Ishak dan ibunya
Dewi Sekardadu, (Putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan),
beliau Wafat pada tahun1506 M dan dimakamkan di Desa Giri,
Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur . beliau Merupakan
keturunan ke 23 dari Nabi Muhammad SAW dan Pencipta mainan
cublak-cublak suweng
9. Sunan Ampel
Nama Aslinya adalah Raden Rahmad yang kemudian digelari
dengan pangggilan Sunan Ampel lahir di Champa (Kamboja) 1401
Masehi dari ayah yaitu Sunan Gresik / Maulana Malik Ibrahim dan ibu
beliau adalah Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari
Dinasti Ming. Beliau wafat pada tahun 1481 M dan makam beliau ada di
Sebelah Barat Masjid Sunan Ampel, Desa Ampel, Kota Surabaya, Jawa
Timur. Beliau merupakan keturunan ke 22 dari Nabi Muhammad SAW,
Beliaulah yang mengenalkan istilah Molimo (moh main, moh ngombe,
moh maling, moh madat, moh madon), 2 Orang muridnya yang sangat
terkenal yaitu mbah sholeh (Penjaga Masjid Ampel yang makamnya ada
9) dan mbah bolong (Melubangi pengimaman untuk melihat
kabah/arah kiblat dalam pembangunan Masjid Ampel).
BIOGRAFI: SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI

Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dinihari 15


Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak pertama dari
keluarga muslim yang taat beragama , yaitu Abdullah dan Siti Aminah.
Sejak masa kecilnya Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada
dirinya yang membedakannya dengan kawan sebayanya. Dimana dia
sangat patuh dan ta'zim kepada kedua orang tuanya, serta jujur dan
santun dalam pergaulan bersama teman-temannya. Allah SWT juga

menganugrahkan kepadanya kecerdasan berpikir serta bakat seni,


khususnya di bidang lukis dan khat (kaligrafi).
Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan
Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, dan
sampailah ke kampung Lok Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan
manakala melihat lukisan yang indah dan menawan hatinya. Maka
ditanyakanlah siapa pelukisnya, maka dijawab orang bahwa Muhammad
Arsyad lah sang pelukis. Mengetahui kecerdasan dan bakat sang
pelukis, terbesitlah di hati sultan keinginan untuk mengasuh dan
mendidik Muh. Arsyad kecil di istana yang ketika itu baru berusia 7
tahun.
Sultanpun mengutarakan goresan hatinya kepada kedua orang tua
Muh. Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istrinya merasa enggan
melepas anaknya yang tercinta. Tapi demi masa depan sang buah hati
yang diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara
dan orang tua, maka diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian
Muh. Arsyad dalam membawa diri, sifatnya yang rendah hati,
kesederhanaan hidup serta keluhuran budi pekertinya menjadikan
segenap warga istana sayang dan hormat kepadanya. Bahkan
sultanpun memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.
Setelah dewasa beliau dikawinkan dengan seorang perempuan
yang solehah bernama tuan "BAJUT", seorang perempuan yang ta'at
lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling
pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersamasama meraih ridho Allah semata. Ketika istrinya mengandung anak
yang pertama, terlintaslah di hati Muh. Arsyad suatu keinginan yang
kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka
disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka
yang masih muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang
suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah
mendapat restu dari sultan berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci
mewujudkan cita-citanya.Deraian air mata dan untaian do'a mengiringi
kepergiannya.Di Tanah Suci, Muh. Arsyad mengaji kepada masyaikh
terkemuka pada masa itu. Diantara guru beliau adalah Syekh 'Athoillah
bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi
dan al 'Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd. Karim al Samman al
Hasani al Madani. Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muh.
Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muh.
Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah
darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Menurut riwayat, Khalifah al Sayyid Muhammad al Samman di
Indonesia pada masa itu, hanya empat orang, yaitu Syekh Muh. Arsyad
al Banjari, Syekh Abd. Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abd.

Wahab Bugis dan Syekh Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat
dikenal dengan "Empat Serangkai dari Tanah Jawi" yang sama-sama
menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain. Setelah lebih kurang 35
tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman.
Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang diarak barisan
pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di
pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang
akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu
sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186
H bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya
Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.
Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau
dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengeluelukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya
diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau
sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu
pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat
ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultanpun termasuk
salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang 'alim lagi wara'.
Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muh. Arsyad mempunyai
beberapa metode, di mana antara satu dengan yang lain saling
menunjang. Adapun metode-metode tersebut, yaitu:
Bil-hal : Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan
dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur-kata sehari-hari dan
disaksikan secara langsung oleh murid-murid beliau.
Bil-lisan : Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa
diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan.
Bil-kitabah : Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulismenulis, sehingga lahirlah lewat ketajaman penanya kitab-kitab yang
menjadi pegangan umat. Buah tangannya yang paling monumental
adalah kitab Sabilal Muhtadin Littafaqquh Fiddin, yang kemasyhurannya
sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand selatan).
Setelah 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di
wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H
(1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia
beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau
juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.
BIOGRAFI K.H. HASYIM ASY'ARI

KH Hasyim Asy'ari lahir pada tanggal 10 April 1875 di Demak, Jawa


Tengah. Beliau merupakan pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan
juga perintas salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di
Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga dikenal sebagai tokoh
pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam
pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku
pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, KH Hasyim
Asy'ari mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai
Asyari dan Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu
mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi
kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren
karena kepandaian yang dimilikinya.
Karena Hasrat tak puas akan ilmu yang dimilikinya, Beliaupun
belajar dari pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di
Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban),
Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji
(Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang
kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Di tahun 1892, KH Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan
menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib
dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis. Dalam
perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan
mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari
mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren
terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai
Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat
pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia
dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim
Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi
pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun

1900, Kyai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi


pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan,
tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf
latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum,
berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat
reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak
mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti
memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka
untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan
Kiai Hasyim Asy'ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur
ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan
pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam
tradisional lainnya, Kiai Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama,
yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan
banyak anggotanya. Pengaruh Kyai Hasyim Asy'ari pun semakin besar
dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu
dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan
Kyai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah
menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun
perkotaan di Jawa. Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia
tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah
perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia
mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar
asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan
Jepang, KH Hasyim Asy'ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, KH
Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu
diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena
terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.
Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim
Asyari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani
berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia
pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di
Tebuireng.

K.H. AHMAD DAHLAN

KH. Ahmad Dahlan Lahir: 1 Agustus 1868, Yogyakarta. KH. Ahmad


Dahlan merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga
K.H. Abu Bakar, ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan
Yogyakarta saat itu. Ibunya adalah putri H. Ibrahim, yang juga bekerja
sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta. Sejak kecil, pendidikan agama
Islam sudah ditanamkan oleh sang ayah kepada Ahmad Dahlan yang
terlahir dengan nama Muhammad Darwisy. Karena itulah, Ahmad
Dahlan kemudian pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji
sebagai pengabdiannya pada agama Islam.
Usai menjalankan ibadah haji, Ahmad Dahlan menetap di
Mekkah selama 5 tahun untuk memperdalam ilmu agamanya. Ia
berguru ilmu agama kepada siapa saja karena bagi beliau, ilmu bisa
didapatkan dari siapa pun. Di antara gurunya terdapat Muhammad
Abduh Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Tidak lama setelah
kembali ke tanah air, Muhammad Darwis mengganti namanya menjadi
Ahmad Dahlan dan juga menikah dengan Siti Walidah (sepupu beliau).
Siti Walidah kemudian dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan yang juga
merupakan seorang Pahlawan Nasional.
Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota Budi Utomo dan Sarikat
Islam (SI) sebelum akhirnya Ahmad Dahlan membentuk organisasi
bernapaskan Islam bernama Muhammadiyah pada 18 November 1912
di Kampung Kauman, Yogyakarta. Namun, Ahmad Dahlan menegaskan
bahwa organisasi yang dibentuknya ini bukan bersifat politik, melainkan
organisasi yang bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Ahmad Dahlan mencoba menerapkan Muhammadiyah untuk aktif


melakukan dakwah dan pendidikan yang disemangati oleh nilai-nilai
pembaruan dalam Islam.
Pada awalnya, Muhammadiyah banyak ditentang dan dianggap
menyalahi agama Islam. Bahkan KH. Ahmad Dahlan difitnah sebagai
Kyai Palsu dan Kyai Kafir. Namun, berkat usaha dan kerja keras Ahmad
Dahlan yang dibantu oleh kawan-kawannya, Muhammadiyah tetap
berdiri tegar dan membantu perjuangan kemerdekaan.
Karena pengikut Muhammadiyah terus berkembang pesat maka
KH. Ahmad Dahlan memohon izin badan hukum untuk Muhammadiyah
kepada pemerintah Hindia Belanda pada 20 Desember 1912, sayang
permohonan tersebut ditolak. Dengan semangat dan kegigihan beliau,
pada 22 Agustus 1914 turunlah izin dari Belanda, namun khusus untuk
wilayah Yogyakarta saja. Hal ini dikarenakan ada kekhawatiran dari
pihak Belanda bahwa Muhammadiyah berkembang sangat pesat. Benar
saja, sekitar tahun 1921 Muhammadiyah sudah berkembang hampir di
seluruh Indonesia. Dengan adanya Muhammdiyah, kehidupan
masyarakat Indonesia, terutama di Yogyakarta sudah lebih maju dalam
hal pemikiran, maupun kehidupan sosialnya.
Semakin hari organisasi Muhammadiyah semakin berkembang dan
menjadi salah satu organisasi sosial yang bermanfaat dan banyak
membantu masyarakat. KH. Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah
dengan demokratis. Dia selalu memberi kesempatan kepada para
anggotanya untuk selalu dapat berpartisipasi memberi masukan dan ide
demi kemajuan organisasi Muhammadiyah. Pada tanggal 23 Februari
1923, KH. Ahmad Dahlan wafat dalam usia 54 tahun di Yogyakarta dan
dimakamkan di Karangkajen.
Ahmad Dahlan adalah salah satu tokoh pergerakan yang banyak
berjasa bagi bangsa dan agama. Beliau merupakan salah satu tokoh
pembaruan Islam yang demokratis. Atas jasa dan perjuangannya itu,
pemerintah menganugerahinya gelar pahlawan. Beliau adalah salah
satu tokoh pelopor yang peduli pada kehidupan sosial masyarakat dan
patut menjadi contoh dan teladan.
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran
bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka
Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasardasar penetapan itu ialah sebagai berikut:

KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam


untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus
belajar dan berbuat;
Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan
umat, dengan dasar iman dan Islam;
Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal
usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan
dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan Dengan
organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah
mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

BIOGRAFI SYEIKH ABDUR RAUF AS SINKILYY

A.

Biografi

Nama lengkap Abdurrauf adalah Abd ar Rauf bin Ali al Jawiyy al Fansuriyy as
Sinkilyy. Beliau berasal dari Fansur, Sinkil (Singkel), pantai barat Laut Aceh. Ayahnya
bernama Syeikh Ali. Abdurrauf merupakan keturunan Bangsa Persia yang datang ke
Kesultanan Samudera Pasai akhir abad ke-14, kemudian menetap di Pantai Sumatra Barat.
Syeikh Ali sebagai ayah Abdurrauf adalah kakak dari Hamzah Fansuri. Sampai
sekarang belum ada kepastian mengenai tahun kelahirannya. Menurut Rinkes beliau lahir
sekitar tahun 1615. Rinkes memperkirakan tahun itu setelah menghitung mundur
berdasarkan tahun kembalinya (Abdurrauf) dari Arab. Beliau telah merantau di tanah Arab
selama 19 tahun, dan idealnya (pada umumnya), seseorang merantau pada usia muda (2530 tahun). Sedangkan beliau kembali ke Aceh pada tahun 1661. Abdurrauf wafat pada
tahun 1693 dan dimakamkan di dekat Kuala Sungai Aceh. Oleh karena itu beliau mendapat

sebutan Teungku di Kuala. Dan namanya diabadikan menjadi nama sebuah perguruan
tinggi di Aceh, yaitu Universitas Syaikh Kuala.

B.

Sejarah Hidup

Riwayat hidup Abdurrauf dapat diketahui dari beberapa sumber di antaranya kitab
yang ditulisnya sendiri berjudul Umdatu al Muhtajin ila Suluk Maslaki al Mufradin pada
bagian kesimpulan, selain itu terdapat pula dalam disertasi Rinkes yang berjudul
Abdoerraoef van Singkel.
Mengenai latar belakang pendidikannya, tampaknya Abdurrauf telah mempunyai
dasar agama yang cukup kuat. Barulah sekitar tahun 1642 beliau merantau ke tanah Arab.
Kepergiannya dikarenakan adanya kontroversi dan pertikaian antara Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin Sumatrani dengan Nurudin ar Raniri dan para pengikutnya. Dengan alasan ini
jelas bahwa Abdurrauf mengetahui semua permasalahan yang mengakibatkan terjadinya
penganiayaan terhadap pengikut doktrin wujudiyyah dan pembakaran karya-karya Hamzah
Fansuri. Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kepergiannya ke tanah
Arab karena untuk menunaikan ibadah haji.
Selama di tanah Arab, Abdurrauf belajar pada sejumlah guru, ulama, dan tokoh
mistik ternama di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al Faqih, dan tempat-tempat
lain. Sebagai orang yang bisa dikatakan paling berpengaruh pada diri Abdurrauf adalah
Syeikh Shafiuddin Ahmad Ad Dajjani Al Qusyasyi, guru spiritualnya di Madinah. Darinya
Abdurrauf mendapat ijazah dan khirqah untuk menjadi khalifah dalam Thariqat
Syaththariyyah dan Qadiriyyah. Abdurrauf bukanlah sekadar ulama tasawuf, tapi juga ahli
ilmu-ilmu lahir (seperti tafsir, fiqh, hadits, dsb.). Perpaduan dua bidang ilmu tersebut
sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdurrauf, yang sangat menekankan pepaduan antara
syariat dan tasawuf.
Setelah kembalinya ke Aceh, pola pemikiran Abdurrauf menarik hati Sultanah
Safiyyatudin yang saat itu memerintah Kesultanan Aceh. Oleh karena itu Abdurrauf bisa
menduduki posisi sebagai Qadi Malik al Addil yang bertanggung jawab atas administrasi
masalah-masalah keagamaan.
C.

Karya-Karyanya

Banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui muridmuridnya. Di antaranya yang lebih terkenal adalah:
1. Mirat al-Thullab f Tasyil Mawaiz al-Badrifat al-Ahkm al-Syariyyah li Malik
al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan
Sultanah Safiyatuddin.
2. Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Quran yang lengkap
berbahasa Melayu.
3. Terjemahan Hadits Arbain karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas
permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
4. Mawaiz al-Bad. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak.
5. Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran
tentang martabat tujuh.

6. Kifayat al-Muhtajin il Masyrah al-Muwahhidin al-Qilin bi Wahdatil Wujud.


Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
7. Daqiq al-Hurf. Pengajaran mengenai taswuf dan teologi.

Wafat
Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri meninggal dunia pada tahun 1693, dengan
berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh,
desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.

BIOGRAFI WALI SONGO

1. Sunan Gunung Jati


Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah yang kemudian digelari dengan Sunan
Gunung Jati, beliau lahir pada tahun 1448 / 1450 dan wafat pada tahun 1569 Masehi, ayah
beliau bernama Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar (musafir dari Gujarat
yang hijrah ke jawa), terkenal dengan nama Syekh Maulana Akbar dan ibunya yaitu Nyai
Rara Santang (Putri Prabu Siliwangi). Makam beliau terletak di Gunung Sembung, Desa
Astana, Kec. Gunung Jati, Kab. Cirebon, Jawa Barat. Keterangan Lain menyebutk beliau
termasuk keturunan ke 23 dari Nabi Muhammad SAW
2. Sunan Kali Jaga.
Nama asli beliau yaitu Raden said, dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan
Sunan Kalijogo, beliau lahir sekitar tahun 1450, namun mengenai wafatnya tidak ada
sumber menyebutkannya mengenai waktunya. Nama ayahnya bernama Tumenggung
Wilwatikta (Adiapti Tuban), dan dari keturuanan ibu tidak ada yang menyebutkan siapa
ibu beliau. Makam beliau terletak di Desa Kadilangu, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Dalam menyebarkan agama Islam beliau Terkenal menggunakan kesenian sebagai media

dakwah, (Wayang dan Suluk) Pencipta lagu lir ilir dan gundul-gundul pacul. Beberapa
muridnya yang terkenal adalah Sunan Bayat (Klaten), Sunan Geseng (Kediri), Syekh
Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak)
3. Sunan Kudus.
Nama Asli belua adalah Jafar Shodiq dan kemudia dipanggil dengan panggilan
Sunan Kudus. Beliau wafat pada tahun 1550 Masehi dan Beliau dimakamkan di Kota
Kudus, Jawa Tengah Ayah beliau bernama Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) dan ibu
bernama Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai
Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Beliau dimakamkan di Kota Kudus, Jawa Tengah.
Beliau termasuk Keturunan ke 24 Dari Nabi Muhammad SAW dan Pernah menjadi
panglima perang kerajaan demak.
4. Sunan Muria
Nama Aslinya Raden Umar Said, menenai kapan lahir dan wafatnya tidak ada
sumber yang sahih menyebutkannya, akan tetapi dimana dimakamkannya beliau
dimakamkan Gunung Muria, Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa
Tengah. Beliau termasuk keturunan Sunan Kalijaga dan sunan kalijaga sendiri sebagai
ayahandanya dengan ibunya bernama Dewi Sarah (Adik Sunan Giri) binti Maulana Ishaq.
Beliau Terkenal sangat dekat dengan rakyat jelata
5. Sunan Bonang
Nama Aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim yang dipanggil dengan kanjeng Sunan
Bonang. Lahir beliau pada tahun 1465 Masehi dan wafatnya pada tahun 1525 M dan
dimakamkan di Tuban, Jawa Timur. Ayah beliau adalah Sunan Ampel dan ibunya Nyai
Ageng Manila (Putri Addiapti Tuban Arya Teja). Keterangan menyebutkan beliau
Merupakan keturunan ke 23 dari Nabi Muhammad SAW dan beliau juga adalah Pengarang
tembang tombo ati
6. Sunan Derajat
Nama Aslinya Raden Qosim dilahirkan pada tahun 1470 M yang kemudian wafat
pada tahun 1522 M. beliau juga termasuk anak dari Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila
(Putri Addiapti Tuban Arya Teja). Makam beliau ada di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Kab. Lamongan, Jawa Timur dan beliau Merupakan keturunan ke 23 dari Nabi
Muhammad SAW, Pencipta tembang Macapat Pangkur.
7. Sunan Gresik
Nama Aslinya adalah Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkandy (Asia Tengah)
awal abad 14 dari Maulana Jumadil Kubro (Keturunan ke 10 dari Husein / Cucu Nabi
Muhammad SAW) dan wafat pada tahun 1419 Masehi kemudian dimakamkan di Desa
Gapuro Wetan, Kota Gresik, Jawa Timur. Menurut keterangan beliau Merupakan
keturunan ke 22 dari Nabi Muhammad SAW dan juga Merupakan Walisongo paling tua /
pertama.
8. Sunan Giri.

Nama Aslinya adalah Raden Paku / Raden Ainul Yaqin lahir di Blambangan, 1442
M. Ayah beliau adalah Maulana Ishak dan ibunya Dewi Sekardadu, (Putri Prabu Menak
Sembuyu, Raja Blambangan), beliau Wafat pada tahun1506 M dan dimakamkan di Desa
Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur . beliau Merupakan keturunan
ke 23 dari Nabi Muhammad SAW dan Pencipta mainan cublak-cublak suweng
9. Sunan Ampel
Nama Aslinya adalah Raden Rahmad yang kemudian digelari dengan pangggilan
Sunan Ampel lahir di Champa (Kamboja) 1401 Masehi dari ayah yaitu Sunan Gresik /
Maulana Malik Ibrahim dan ibu beliau adalah Dewi Condro Wulan binti Raja Champa
Terakhir Dari Dinasti Ming. Beliau wafat pada tahun 1481 M dan makam beliau ada di
Sebelah Barat Masjid Sunan Ampel, Desa Ampel, Kota Surabaya, Jawa Timur. Beliau
merupakan keturunan ke 22 dari Nabi Muhammad SAW, Beliaulah yang mengenalkan
istilah Molimo (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon), 2 Orang
muridnya yang sangat terkenal yaitu mbah sholeh (Penjaga Masjid Ampel yang makamnya
ada 9) dan mbah bolong (Melubangi pengimaman untuk melihat kabah/arah kiblat dalam
pembangunan Masjid Ampel).
BIOGRAFI SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI

Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang juga dikenal dengan nama Tuanta Salamakka
dan Datuk Kalampayan, lahir di Desa Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada
15 Safar 1122 H, bertepatan dengan 19 Maret 1710 M. Dia merupakan putra tertua dari
lima bersaudara, ayahnya bernama Abd Allah dan ibunya bernama Siti Aminah.
Muhammad Arsyad lahir di lingkungan keluarga yang terkenal taat beragama. Kondisi
lingkungan yang baik ini mempunyai andil yang besar dalam membentuk kepribadian
Muhammad Arsyad selanjutnya.
Ketika dia berumur sekitar tujuh tahun, Sultan Tahlil Allah (1700-1745 M), penguasa
Kesultanan Banjar pada waktu itu, meminta kepada orang tua Arsyad agar bersedia
menyerahkan anaknya untuk dididik dan dibesarkan di lingkungan istana sekaligus
diadopsi sebagai anak angkatnya. Keinginan ini dilakukan, karena Sultan tertarik dengan
kecerdasan dan ketrampilan Arsyad muda ketika mengadakan kunjungan kerja ke Desa

Lok Gabang. Meskipun Abd Allah dan Aminah, orang tua Arsyad, sebetulnya merasa
keberatan untuk melepaskan anak tertuanya itu untuk diadopsi sultan, namun mereka tidak
kuasa untuk menolak maksud baik Sultan. Merekapun menyerahkan anaknya kepada
Sultan untuk tinggal bersama anak-anak dan cucu-cucu keluarga istana. Muhammad
Arsyad tinggal di lingkungan istana Kesultanan Banjar ini selama sekitar 23 tahun, karena
pada umur sekitar 30 tahun dia merantau untuk menuntut ilmu di Haramain; Mekkah dan
Madinah. Ia belajar di Mekkah kurang lebih 30 tahun dan belajar di Madinah kurang lebih
5 tahun. Dia kembali lagi ke Banjar pada Ramadhan 1186 H/Desember 1772.
Sebelum berangkat untuk menuntut ilmu ke Mekkah dan Madinah, Muhammad
Arsyad dikawinkan oleh Sultan dengan seorang wanita bernama Bajut yang
ditinggalkannya dalam kondisi hamil. Istrinya ini melahirkan seorang bayi perempuan
yang kemudian diberi nama Syarifah, ketika Muhammad Arsyad masih berada di
perantauan, sibuk menggeluti pelajaran-pelajarannya. Ketika Syarifah sudah beranjak
dewasa, dia (sebagai wali mujbir) mengawinkannya dengan sahabatnya sendiri, Abd AlWahab Bugis, sedangkan Sultan (sebagai wali hakim) juga menikahkan dengan seseorang
yang bernama Usman (permasalahan ini dibahas lebih lanjut dalam pemikiran Syekh
Arsyad dalam Ilmu Falak).
Sekembalinya dari tanah suci, Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama
Islam di wilayah Kalimantan Selatan melalui jalur pendidikan, dakwah, tulisan dan
keluarga. Dalam jalur pendidikan, dia mendirikan pondok pesantren lengkap dengan
sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para
santrinya. Dalam jalur dakwah, dia mengadakan pengajian-pengajian umum baik untuk
kalangan kelas bawah maupun kalangan istana. Dalam tulisan, dia aktif menulis kitabkitab yang bisa dibaca hingga sekarang.
Sedangkan dalam jalur keluarga, dia melakukan dakwah dengan mengawini para
wanita-wanita terhormat untuk mempermudah penyebaran Islam di masyarakat, sehingga
dalam catatan sejarah, ada sebelas orang isteri dalam kehidupannya. Dia mengawini para
isterinya tidak bersamaan dan tidak lebih dari empat orang dalam hidupnya, tetapi apabila
salah seorang isterinya meninggal, dia menikah lagi dan begitu seterusnya. Syekh Arsyad
dapat berlaku bijaksana dan adil terhadap para isterinya, sehingga mereka hidup rukun dan
damai. Isteri-isteri Syekh Arsyad tersebut adalah: 1. Bajut; melahirkan Syarifah dan
Aisyah. 2. Bidur; melahirkan Kadi H. Abu Suud, Saidah, Abu Naim, dan Khalifah H.
Syahab Al-Din. 3. Lipur; melahirkan Abd Al-Manan, H. Abu Najib, alim al-fadhil H.
Abd Allah, Abd Al-Rahman, dan alim al-fadhil Abd Al-Rahim. 4. Guwat (keturunan
Cina; Go Hwat Nio); melahirkan Asiyah, Khalifah H. Hasanuddin, Khalifah H. Zain AlDin, Rihanah, Hafsah, dan Mufti H. Jamal Al-Din. Dalam perkawinan ini, Syekh Arsyad
berusaha menyebarkan Islam di kalangan Tionghoa, dia tidak merubah nama isterinya
untuk menunjukkan bahwa Islam tidak akan merubah tradisi mereka, asal tidak
bertentangan dengan ajaran pokok Islam. 5. Turiyah; melahirkan Nurain, Amah, dan
Caya. 6. Ratu Aminah; melahirkan Mufti H. Ahmad, Safia, Safura, Maimun, Salehah,
Muhammad, dan Maryamah. 7. Palung; melahirkan Salamah, Salman, dan Saliman. 8.
Kadarmik. 9. Markidah. 10. Liyyuhi, dan 11. Dayi, keempat isteri yang terakhir ini tidak
memberikan keturunan (Kadir, 1976).
Syekh Arsyad melakukan dakwah di Banjar selama kurang lebih 40 tahun.
Menjelang ajalnya, dia menderita sakit lumpuh, darah tinggi, dan masuk angin dan
akhirnya dia meninggal dalam usia 105 tahun (hitungan tahun Hijriyah) atau 102 tahun

(hitungan tahun Masehi). Sebelum meninggal, dia sempat berwasiat agar jasadnya
dikebumikan di Kalampayan apabila sungai dapat dilayari. Namun apabila tidak bisa, dia
minta dikebumikan di Karang Tengah, tempat isteri pertamanya, Bajut dimakamkan.
Ketika dia meninggal, air sedang surut, maka wasiat pertamanya yang dilaksanakan. Dia
meninggal pada 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812 M dan dimakamkan di Kalampayan,
Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan (sekitar 56 km dari Kota Madya Banjarmasin).

BIOGRAFI K.H. HASYIM ASY'ARI

KH. Hasyim Asyari lahir di Gedang, Jombang, Jawa Timur, hari Selasa, 24
Dzulhijjah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Ayahnya bernama Kiai
Asyari, seorang ulama asal Demak yang merupakan keturunan ke-8 dari Jaka Tingkir
yang menjadi Sultan Pajang di tahun 1568 M. Jaka Tingkir merupakan anak Brawijaya IV
yang menjadi raja Majapahit. Sedangkan Ibunya bernama Halimah, putri Kiai Usman
pendiri dan pengasuh pesantren Gedang Jawa Timur. Kiai Usman juga merupakan seorang
pemimpin Thariqah ternama pada akhir abad ke-19 M.
Sebagaimana santri pada umumnya, KH. Hasyim Asyari senang belajar di pesantren
sejak masih belia.. sebelum umur 8 tahun Kiai Usman sangat memperhatikannya.

Kemudian pada tahun 1876 M ia meninggalkan kakeknya tercinta untuk memulai


pelajarannya yang baru di pesantren orang tuanya sendiri di Keras.
Menginjak usia 15 tahun, KH. Hasyim berkelana ke berbagai pesantren yakni ke
pesantren Wonokoyo Probolinggo, pesantren Langitan Tuban, pesantren Trenggilin
Madura, pesantren Demangan Bangkalan Madura dan akhirnya ke pesantren Siwalan
Surabaya. Di pesantren Siwalan ia menetap selama 2 tahun. Karena kecerdasannya, ia
diambil menantu oleh Kiai Yakub pengasuh pesantren tersebut. Kemudian ia dikirim ke
mekah oleh mertuanya untuk menuntut ilmu disana. Ia bermukim di mekah selama 7 tahun
dan tidak pernah pulang, kecuali pada tahun pertama saat puteranya yang baru lahir
meninggal dunia kemudian disusul istrinya juga meninggal. Di tanah suci KH. Hasyim
mencurahkan pikirannya untuk belajar berbagai disiplin ilmu, sehingga pada tahun 1896 M
ia telah mampu mengajar.
Selama di Mekah, KH. Hasyim Asyari belajar dibawah bimbingan ulama terkenal,
seperti Syekh Amin al-Athor, Sayyid Sultan Ibnu Hasyim, Sayyid Ahmad Zawawi, Syekh
Mahfudz al-Tirmasi. Ia tertarik dengan ide pembaharuan, namun ia tidak setuju dengan
beberapa pemikiran Wahabi yang kebablasan dalam beberapa pembaharuannya. Gerakan
pembaruan Islam ini gencar dilakukan oleh Muhammad Abduh.
Inti gagasan Muhammad Abduh adalah mengajak umat Islam kembali kepada ajaran
Islam yang murni yang lepas dari pengaruh dan praktek-praktek luar, reformasi pendidikan
Islam di tingkat Universitas, megkaji dan merumuskan kembali doktri Islam dan
mempertahankan Islam. Rumusan-rumusan Muhammad Abduh ini dimaksudkan agar umat
Islam dapat memainkan kembali peranannya dalam bidang social, politik dan pendidikan
pada era modern. Untuk itu pula Muhammad Abduh melancarkan gagasan agar umat Islam
melepaskan diri dari keterikatan pola piker para pendiri Madzhab dan meninggalkan segala
praktek tarekat. Ide ini disambut secara antusias oleh para pelajar Indonesia yang berada di
Mekah, bahkan mendorong mereka untuk pergi ke mesir untuk melanjutkan studinya dan
mengembangkannya setelah pulang ke tanah air.
Mas inilah yang kemudian disebut oleh Zamahsari Dlofier sebagai Islamic
Revivalisme yang mempunyai dua karakteristik, yakni melepaskan diri dari ikatan
bermadzhab dan tetap berpegang pada pola pemikiran madzhab yang empat. Dalam
kelompok kedua inilah KH. Hasyim Asyari mempunyai andil yang besar dalam
melestarikannya.
KH. Hasyim Asyari setuju dengan gagasan Muhammad Abduh tersebut untuk
membangkitkan semangat Islam, tetapi ia tidak setuju dengan hal pelepasan diri dari
madzhab. KH. Hasyim Asyari berkeyakinan bahwa tidak mungkin memahami maksud
sebenarnya dari al-Quran dan Hadits tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama
besar yang ada dalam system madzhab. Menafsirkan al-Quran dan Hadits tanpa
mempelajari dan meneliti pemikiran para ulama madzhab, maka hanya akan menghasilkan
pemutarbalikan ajaran Islam yang sebenarnya.
Sementara itu dalam menanggapi seruan Muhammad Abduh dan Syeikh Ahmad
Khatib agar umat Islam meninggalkan tarekat, maka KH Hasyim Asyari menyatakan
bahwa tidak semua tarekat salah dan bertentangan dengan ajaran Islam, yakni tarekat yang
mengarah pada pendekatan diri kepada Allah SWT.

Setelah kepulangannya dari Mekah, KH Hasyim Asyari kemudian terlibat aktif


dalam pengajaran di pesantren kakaknya sebelum akhirnya mendirikan pesantren
Tebuireng. Di Pesantren Tebuireng inilah KH Hasyim Asyari mencurahkan pikirannya
sehingga kealimannya terutama dibidang Hadits, maka pesantren Tebuireng berkembang
begitu cepat dan terkenal dengan pesantren Hadits. KH Hasyim Asyari dalam mengelola
pesantren Tebuireng mampu membawa perubahan baru. Beberapa perubahan dan
pembaharuan yang dilakukan pada masa kepemimpinan KH Hasyim Asyari antara lain
mengenalkan system Madrasah. Sebelum tahun 1899 M, pesantren Tebuireng
menggunakan sistem pengajian sorogan dan bandongan. Akan tetapi sejak tahun 1916 M
mulai dikenalkan sitem Madrasah dan tiga tahun kemudian (1919 M) mulai dimasukan
mata pelajaran umum. Langkah tersebut merupakan hasil dari rumusan KH Maksum
(menantu KH Hasyim Asyari).

K.H. AHMAD DAHLAN

KH. Ahmad Dahlan Lahir: 1 Agustus 1868, Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan
merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar, ulama dan
khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta saat itu. Ibunya adalah putri H.
Ibrahim, yang juga bekerja sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta. Sejak kecil,
pendidikan agama Islam sudah ditanamkan oleh sang ayah kepada Ahmad Dahlan yang
terlahir dengan nama Muhammad Darwisy. Karena itulah, Ahmad Dahlan kemudian pergi
ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sebagai pengabdiannya pada agama Islam.

Usai menjalankan ibadah haji, Ahmad Dahlan menetap di Mekkah selama 5 tahun
untuk memperdalam ilmu agamanya. Ia berguru ilmu agama kepada siapa saja karena bagi
beliau, ilmu bisa didapatkan dari siapa pun. Di antara gurunya terdapat Muhammad Abduh
Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Tidak lama setelah kembali ke tanah air,
Muhammad Darwis mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan dan juga menikah
dengan Siti Walidah (sepupu beliau). Siti Walidah kemudian dikenal sebagai Nyai Ahmad
Dahlan yang juga merupakan seorang Pahlawan Nasional.
Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota Budi Utomo dan Sarikat Islam (SI) sebelum
akhirnya Ahmad Dahlan membentuk organisasi bernapaskan Islam bernama
Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Namun,
Ahmad Dahlan menegaskan bahwa organisasi yang dibentuknya ini bukan bersifat politik,
melainkan organisasi yang bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Ahmad
Dahlan mencoba menerapkan Muhammadiyah untuk aktif melakukan dakwah dan
pendidikan yang disemangati oleh nilai-nilai pembaruan dalam Islam.
Pada awalnya, Muhammadiyah banyak ditentang dan dianggap menyalahi agama
Islam. Bahkan KH. Ahmad Dahlan difitnah sebagai Kyai Palsu dan Kyai Kafir. Namun,
berkat usaha dan kerja keras Ahmad Dahlan yang dibantu oleh kawan-kawannya,
Muhammadiyah tetap berdiri tegar dan membantu perjuangan kemerdekaan.
Karena pengikut Muhammadiyah terus berkembang pesat maka KH. Ahmad Dahlan
memohon izin badan hukum untuk Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia Belanda
pada 20 Desember 1912, sayang permohonan tersebut ditolak. Dengan semangat dan
kegigihan beliau, pada 22 Agustus 1914 turunlah izin dari Belanda, namun khusus untuk
wilayah Yogyakarta saja. Hal ini dikarenakan ada kekhawatiran dari pihak Belanda bahwa
Muhammadiyah berkembang sangat pesat. Benar saja, sekitar tahun 1921 Muhammadiyah
sudah berkembang hampir di seluruh Indonesia. Dengan adanya Muhammdiyah,
kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di Yogyakarta sudah lebih maju dalam hal
pemikiran, maupun kehidupan sosialnya.
Semakin hari organisasi Muhammadiyah semakin berkembang dan menjadi salah
satu organisasi sosial yang bermanfaat dan banyak membantu masyarakat. KH. Ahmad
Dahlan memimpin Muhammadiyah dengan demokratis. Dia selalu memberi kesempatan
kepada para anggotanya untuk selalu dapat berpartisipasi memberi masukan dan ide demi
kemajuan organisasi Muhammadiyah. Pada tanggal 23 Februari 1923, KH. Ahmad Dahlan
wafat dalam usia 54 tahun di Yogyakarta dan dimakamkan di Karangkajen.
Ahmad Dahlan adalah salah satu tokoh pergerakan yang banyak berjasa bagi bangsa
dan agama. Beliau merupakan salah satu tokoh pembaruan Islam yang demokratis. Atas
jasa dan perjuangannya itu, pemerintah menganugerahinya gelar pahlawan. Beliau adalah
salah satu tokoh pelopor yang peduli pada kehidupan sosial masyarakat dan patut menjadi
contoh dan teladan.
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa
Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik
Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden
no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:

KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan
ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan,
dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa
ajaran Islam; dan Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah
mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi
sosial, setingkat dengan kaum pria.

Anda mungkin juga menyukai