Anda di halaman 1dari 4

BABAD CIREBON

Disusun oleh P.S. Sulendraningrat

PRAKATA
Yang disuguhkan dalam tulisan ini adalah terjemahan dari tulisan/huruf pegon/huruf Arab
berbahasa Cirebon Madya yang asli/otentik. Semoga bermanfaat sebagai pegangan untuk
menengah-nengahi Babad Tanah Jawi dan Babad Cirebon dari luar yang simpang siur sejare-jare
akibat Nusantara (Indonesia) khususnya pulau Jawa yang telah dijajah lebih kurang 350 tahun.
Semoga bermanfaat.

1. Negara Pajajaran
Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Sri Sang Ratu Dewata Wisesa, masyhur disebut Sri
Mahaprabu Siliwangi memiliki putra mahkota yang bernama Walangsungsang, dari permaisuri
bernama Ratu Subanglarang. Walangsungsang mempunyai dua orang adik laki-laki dan
perempuan, yaitu Rarasantang dan Sengara.

Suatu hari, Pangeran Walangsungsang duduk termenung setelah semalam bermimpi bertemu
dengan seorang lelaki yang elok dan agung dan memberi wejangan agama mengenai agama
Islam. Melihat putranya sedang duduk termenung, kemudian Prabu Siliwangi menghampiri dan
menanyakan pada putranya. Walangsungsang kemudian menceritakan perihal mimpinya
tersebut. Kemudian Prabu Siliwangi berkata pada putranya agar tidak terlalu memikirkan mimpi
tersebut. Namun Walangsungsang tetap bersikeras ingin mendalami agama Islam. Karena
dianggapnya sang putra menentang nasehat, Sang Prabu pun murka kemudian mengusir
Pangeran Walangsungsang keluar kerajaan. Pangeran Walangsungsang pun pergi menuju arah
Timur. Selang empat hari setelah kepergian kakaknya, Rarasantang yang merasa sedih akhirnya
ikut menyusul sang kakak pergi.

Kepergian Rarasantang secara diam-diam membuat seisi kerajaan panik. Ratu Subanglarang
menangis karena kedua anaknya pergi. Sang Prabu segera memanggil menghadap seluruh para
putra sentara, patih, bupati, dan wadyabala dikumpulkan. Sang Prabu berkata, “Hai Patih
Argatala, Dipati Siput, sekarang carilah putriku Dewi Rarasantang yang hilang dari kraton dan
Walangsungsang disuruh pulang. Sungguh jangan tidak teriring keduanya”. Patih Argatala
menjawab sandika. Ia segera keluar kraton dan mengumumkan kepada seluruh wadyabala di
Pajajaran yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru mencari Putri Rarasantang dan
Pangeran Walangsungsang . Mereka takut dan tidak berani pulang sebelum mendapat karya.

1
2. GUNUNG MARAAPI

Diceritakan, Pangeran Walangsungsang telah sampai di kaki gunung Maraapi (di Rajadesa,
Ciamis Timur) sedang bersemedi, tak lama kemudian datanglah Sanghyang Danuwarsih, dan
menanyakan jatidiri Pangeran Walangsungsang. Pangeran Walangsungsang pun menjelaskan
jatidirinya dan maksud kedatangannya. Setelah cukup lama berbincang, Sanghyang Danuwarsih
kemudian mengajak Pangeran Walangsungsang ke kediamannya. Setelah sampai di
kediamannya, Sanghyang Danuwarsih mengenalkan Pangeran Walangsungsang pada anaknya,
yaitu Nyi Mas Indangayu. Eyang Danuwarsih sangat gembira bertemu dengan Pangeran
Walangsungsang dan berniat menjodohkannya dengan anaknya. Keduanya menyetujui, dan
dengan direstui oleh Sanghyang Danuwarsih, kemudian diselenggarakan acara pernikahan
mereka, pada tahun 1442 M. Pangeran Walangsungsang pada waktu itu berusia 23 tahun.

Ratu Mas Rarasantang yang sedang dalam perjalanan berada di gunung Tangkubanprahu,
kelelahan beristirahat di bawah pohon beringin dengan menggosok kakinya yang pada bengkak.
Ia menangis sambil memanggil-manggil nama kakaknya. Tak lama kemudian datang seseorang
yang bernama Nyi Indang Sukati di hadapannya dan berkata, “Wahai putri, engkau siapa dan
apa yang engkau cari di sini sendirian tanpa kawan?” Sang Dewi Rarasantang menjawab,
”Eyang, hamba sesungguhnya putri Pajajaran dari Ibu Subanglarang. Rarasantang nama hamba,
yang dituju menyusul saudara tua Walangsungsang, mohon pertolongan Eyang, semoga lekas
bertemu”. Nyi Indang Sukati merasa kasihan, dan berkata “Engkau datanglah terlebih dahulu ke
gunung Liwung, temuilah Ajar Sakti, di situlah dapat petunjuk”. Rarasantang pun pamit
melaksanakan anjuran Nyi Endang Sukati. Beberapa waktu kemudian, ia telah sampai di gunung
Liwung dan bertemu dengan Ki Ajar Sakti, dan bertanya mengenai keberadaan kakaknya. Ki Ajar
Sakti waspada penglihatannya, mengetahui maksud sang putri. Ia berkata, “Tuan Putri, kakak
engkau Walangsungsang sudah mempunyai istri, Indang Ayu namanya, putri Sanghyang
Danuwarsih yang berada di gunung Maraapi, sebaiknya engkau menyusul ke sana dan aku beri
engkau nama Ratnaeling, kelak engkau akan mempunyai putra lelaki yang punjul sebuana”.
Sang putrid mengucap terima kasih dan pamit menuju gunung Maraapi yang dimaksud oleh Ki
Ajar Sakti.

Syahdan, Pangeran Walangsungsang yang sedang duduk berbincang dengan Sang Danuwarsih.
Berkata Sang Danuwarsih, “Hai putraku Walangsungsang, terimalah cincin pusaka turunan dari
Dipati Suryalaga sama turunan engkau. Ini wataknya cincin Ampal, kalau diterawangkan tahu
isinya jagat bumi, hanya ini terimalah aji-aji dan kememayan (melumpuhkan), pengabaran
(menurut), dan pekasih (pengasihan)”. Walangsungsang mengucap terima kasih sambil
menerima semua pemberian sang ayahanda. Ketika mereka sedang duduk berbincang, tak lama
kemudian datanglah sang Dewi Rarasantang dan bertemu dengan sang kakak setelah lama tak
berjumpa. Pertemuan berlangsung mengharukan. Berkata Walangsungsang sambil menangis,
“Duhai adikku, sungguh bahagia kakanda masih bisa bertemu dengan engkau. Apa sebabnya
engkau menyusul, tidakkah engkau lebih senang di dalam kraton, dan engkau mendapat
petunjuk jalan dari siapa?”

2
Rarasantang berkata sambil menangis perihal perjalanannya dari awal hingga akhir. Istri
Pangeran Walangsungsang yaitu Nyi Indang Ayu menghampiri mereka dan bertanya pada
suaminya. Menjawab sang pangeran, “Ini saudari kandungku seayah seibu, Rarasantang
namanya”. Nyi Indang Ayu pun merangkul adik iparnya dengan perasaan haru.

3. GUNUNG CIANGKUP
Setelah antara sebulan lamanya, Sang Danuwarsih berkata, “Wahai Walangsungsang,
Indangayu dan Rarasantang, sekarang baik berguru kepada Sanghyang Nanggo di gunung
Ciangkup, mudah-mudahan mendapat sihnya guru”. Mereka bertiga mematuhi perintah
Kanjeng Rama, mengucap pamit dan menempuh perjalanan menuju gunung Ciangkup.
Walngsungsang pun bertemu dengan Sanghyang Nanggo dan mengutarakan maksud
kedatangannya. Sanghyang Nanggo menerima Pangeran Walangsungsang sebagai murid dan
memberi ilmu kanuragan seperti menghilang, kekuatan, kekebalan. Sang Nanggo juga
memberikan sebilah golok pusaka para leluhur yang disebut Golokcabang. Walangsungsang
mengucap terima kasih atas semua pemberian sang guru.

4. GUNUNG KUMBANG

Sekian lama Pangeran Walangsungsang berguru di gunung Ciangkup, Sang Nanggo berkata,
“Putraku Walangsungsang, sekarang baik engkau bergurulah lagi pada Sanghyang Naga di
gunung Kumbang, mudah-mudahan ada sihnya guru”. Walangsungsang mematuhi perintah
gurunya, ia beserta istri dan adiknya mengucap pamit dan menuju gunung Kumbang yang
dimaksud oleh sang guru. Setelah menempuh perjalanan, sampailah mereka di hadapan
Sanghyang Naga dan mengutarakan maksud kedatangan mereka. Sanghyang Naga menerima
Pangeran Walangsungsang sebagai murid dan memberikan ilmu kanuragan. Sang Naga berkata,
“Dan ini pusaka yang tiga macam kepunyaan Juwata, terimalah dari sih pemberian dewa, ialah
topi waring, kalau dipakai tidak terlihat oleh semua penglihatan, badong batok berwatak
dianuti oleh siluman dan setan pada suka asih, umbul-umbul waring berwatak rahayu dari
senjata musuh dan melemahkan musuh”. Walangsungsang menerima semua pemberian sang
guru dan mengucapkan terima kasih, kemudian jimat yang warna tiga itu disimpan dalam cincin
Ampal.

5. GUNUNG CANGAK
Sanghyang Naga berkata, “Sekarang engkau bergurulah ke gunung Cangak, di situ engkau akan
mendapat petunjuk perihal agama Islam, namun diakali dulu Ratunya Bangau hingga sampai
tertangkap”. Pangeran Walangsungsang mematuhi perintah gurunya, ia beserta istri dan
adiknya mengucap pamit dan menuju gunung Kumbang yang dimaksud oleh sang guru.

Setelah menempuh perjalanan, sampailah mereka di gunung Cangak, dan ketika sedang berada

3
di bawah pohon beringin besar, Walangsungsang terheran-heran melihat sedemikian banyak
burung bangau berseliweran, dan bermaksud mencari mana yang menjadi ratunya. Segera ia
memakai topi waring dan mengeluarkan sebuah wadah yang berisi ikan kecil diletakkan di atas
pohon. Karena ampuhnya aji penurutan Sang Nata, seekor bangau yang bertubuh lebih besar
segera turun. Ikan yang ada dalam wadah pun dipatuknya. Walangsungsang segera menangkap
leher sang Bangau dan mengancamnya dengan golok cabang. Sang Bangau memohon ampun
dan berkata, “aku janji akan memberikan pusaka tiga macam yaitu panjang, pendil, dan
bareng/bende”. Akhirnya sang Bangau dilepaskan, lalu ia berkata, “Hai manusia, susullah aku di
puncak gunung ini yang berada di pohon beringin”. Walangsungsang segera menyusul dan
berubahlah pohon beringin menjadi sebuah kraton yang besar dan megah. Walangsungsang
dijamu di dalam kraton, kemudian datanglah Sanghyang Luhung duduk sejajar.

Walangsungsang berkata, “Hai pendeta, siapakah anda yang bertemu di hadapan menjadikan
terkejutnya hatiku?” Sanghyang Luhung menjawab, “Sanghyang Bangu namaku, yang
membangun kayuwangan di gunung Cangak, sekarang aku hendak memenuhi janji
memasrahkan jimat pusaka yang tiga macam: Piring panjang berwatak tidak diisi lagi akan
mengisi sendiri lengkap dengan lauknya, Pendil berwatak kalau dikeruk nasinya bisa mencukupi
kebutuhan banyak orang, Bareng/ bende wataknya keluar air banjir dan suaranya
membingungkan musuh”. Pangeran Walangsungsang pun menerima pemberian tersebut dan
berguru pada Sang Bangu beberapa lamanya.

Anda mungkin juga menyukai