Anda di halaman 1dari 18

Bima Bungkus

Jejer Ngastina. Duhkitaning Prabu Pandu lan Dewi Kunti jalaran lahire ponang jabang bayi
kang awujud bungkus. Tan ana sanjata kang tumawa kanggo mbedah bungkus. Kurawa uga
melu cawe-cawe arsa mecah bungkus, sanadyan amung lelamisan, bakune arsa nyirnaaken si
bungkus. Wisiking dewa sang bungkus den bucal ing alas Krendawahana..
jejer hastina. sangat berduka prabu pandu dan dewi kunti karena kelahiran anak jabang bayi
yang ebrwujud terbungkus. tak ada senjata yang mampu untuk memecah bungkus. kurawa
juga ikut membantu selalu ingin mecah bungkus walopun cuma omong doangan saja, malah
tujuan utamanya penegn membunuh snag bayi itu sendiri. dapat wangsit dewata bayi bungkus
dibuang di hutan krendawahana
Ing pertapan Wukir Retawu Bagawan Abiyasa kasowanan Raden Permadi kang kaderekaken
repat punakawan. Kanjeng Eyang, kadi pundi nasibipun Kakang Bungkus, sampun
sawetawis warsa mboten wonten suraos ingkang sae, bab menika Eyaang, andadosaken
duhkitaning Kanjeng Ibu Kunti
di pertapaan wukir retawu begawan abyasa kedatangan raden permadi yang dikuti oleh
punakawan.
kakek bagaimana nasib kakak bungkus, sudah sampe beberapa tahun tak ada kabar baik
mengenai ini eyangg, menjadikan dukanya ibu kunti
Tartamtu Sang Winasis kang pancen luber ing pambudi sampun pirsa apa kang dadi lakon.
Putuku nggeeer, Permadi, mangertiya jer kakangmu nembe nglakoni karmane, ing tembe
kakangmu Si Bungkus bakal dadi satriya utama, lan bakal oleh apa kang sinebut wahyu
jati
tentu saja sang winasis yang emmang dipenuhi oleh budi luhur sudah mengetahui apa yang

jadi lelakon.
cucuku ngger, permadi, mengertilah kalo kakakmu lagi menjalani karmanya, di kemudian
hari kakamu si bungkus akan jadi satria utama dan bakal emndapat apa yang disebut wahyu
jati
Anane Si Bungkus ndadekake gegering suralaya. Bumi gonjang ganjing kadya binelah,
samodra asat.
Ing Suralaya, Batara Guru nimbali Gajahsena, putra sang batara kang awujud gajah, kinen
mecah si bungkus saengga dadi sejatining manungsa. Sang Guru ugi angutus Dewi Umayi
kinen nggladhi kawruh babagan kautaman marang si bungkus.
adanya bungkus menjdikan gegernya suralaya. bumi gonjang ganjing seperti dibelah. lautan
menjadi kering. di suralaya batara guru memanggil gajah sena putra sang batara yang
berwujud gajah untuk memecah si bungkus sehingga menjadi sejatining menungso. sang guru
juga mengutus dewi umayi untuk melatih tentang kautaman kepada si bungkus
Purna anggennya peparing ajaran marang si bungkus, Dewi Umayi aparing busana arupa
cawat bang bintulu abrit, ireng, kuning, putih, pupuk, sumping, gelang, porong, lan kuku
Pancanaka.
setelah memebrikan pengajaran kepada si bungkus, dewi umayi memberikan buana berupa
cawet bang bintulu merah, itam, kuning, putih, pupuk, sumping, gelang, porong dan kuku
pancanaka.
Salajengipun, Gajahsena mbuka bungkus. Pecahing bungkus dados sapatemon kekalihipun,
kagyat dados lan perangipun. Binanting sang Gajahsena. Sirna jasad sang gajah. Roh lan daya
kekiatanipun manjing jroning angga sang bungkus.
selanjutnya gajahsena membuka bungkus, pecahnya bungkus jadi ktemunya keduanya, kaget
lalu terjadi perang. dibantinglah gajah sena. sirna jasah gajah. roh dan daya kekuatanya
manjing dalam badan si bungkus
Praptene Betara Narada.
Si Bungkus tumakon marang Sang Kabayandewa, Heemmm, aku iki sopoh?
datanglah bhatara narada,
si bungkus bertanya pada sang kabayadewa,heeem, aku ini siapa?
Perkencong, perkencong waru doyong, ngger, sira kuwi sejatine putra nomor loro ratu ing
Amarta Prabu Pandudewanata. Sira lahir awujud bungkus, lan kersaning dewa sira kudu dadi
satriya utama, lan sira tak paringi tetenger Bratasena ya ngger
perkencong perkencong waru doyong, ngger kamu itu sejatinya putra nomer dua dari raja
dimarta prabu pandu dewanata. kamu lhir berwujud bungkus, dan kemauan dewata kamu
menjadi satria utama, dan kamu kukaish nama bratasena ya ngger
Rawuhipun Ratu saking Tasikmadu kang nyuwun senjata pitulungan marang Bratasena kinen
nyirnakaken raja raseksa aran Kala Dahana, Patih Kala Bantala, Kala Maruta lan Kala Ranu.
Para raseksa sirna. Sekakawan kekiatan saking raseksi wau nyawiji marang Raden Bratasena,
inggih punika kekiatan Geni, Lemah, Angin lan Banyu.

datanglah ratu dari tasikmadu yang meminta pertolongan kepada bratasena untuk
emnyirnakan raja raksesa bernama kala dahana. patih kala bantala, kala maruta dan kala ranu.
para raksasa sirna. dan semua kekuatan para raksasa tadi menyatu dlm tubuh raden bratasena,
itulah kekuatan api, tanah, angin dan air

Ringkasan Cerita Mahabarata


Diposkan olehCah Samin on Kamis, 14 Mei 2015 Label: Mahabharata

Mahabarata adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Bhagawan Byasa atau
Wyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa.
Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari
banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum
Masehi. Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan
saudara sepupu mereka, seratus orang Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan
kerajaan Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Puncaknya adalah perang
Bharatayuddha di Kurukshetra dan pertempuran tersebut berlangsung selama delapan belas
hari.

Ringkasan Cerita Mahabarata


Kisah Mahabharata diawali dengan pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala. Raja
Duswanta adalah seorang raja besar dari Chandrawangsa keturunan Yayati, menikahi
Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa, kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang
Bharata menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat pemerintahan
bernama Hastinapura. Sang Hasti menurunkan Para Raja Hastinapura. Dari keluarga
tersebut, lahirlah Sang Kuru, yang menguasai dan menyucikan sebuah daerah luas yang
disebut Kurukshetra. Sang Kuru menurunkan Dinasti Kuru atau Wangsa Kaurawa. Dalam
Dinasti tersebut, lahirlah Pratipa, yang menjadi ayah Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan
Kurawa
Prabu Santanu adalah seorang raja mahsyur dari garis keturunan Sang Kuru, berasal dari
Hastinapura. Ia menikah dengan Dewi Gangga yang dikutuk agar turun ke dunia, namun
Dewi Gangga meninggalkannya karena Sang Prabu melanggar janji pernikahan. Hubungan
Sang Prabu dengan Dewi Gangga sempat membuahkan 7 anak, akan tetapi semua
ditenggelamkan ke laut Gangga oleh Dewi Gangga dengan alasan semua sudah terkena
kutukan. Akan tetapi kemudian anak ke 8 bisa diselamatkan oleh Prabu Santanu yang diberi
nama Dewabrata. Kemudian Dewi Ganggapun pergi meninggalkan Prabu Santanu. Nama
Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan pratigya yaitu sumpah untuk
membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Hal itu dikarenakan Bisma
tidak ingin dia dan keturunannya berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya.

Setelah ditinggal Dewi Gangga, akhirnya Prabu Santanu menjadi duda. Beberapa tahun
kemudian, Prabu Santanu melanjutkan kehidupan berumah tangga dengan menikahi Dewi
Satyawati, puteri nelayan. Dari hubungannya, Sang Prabu berputera Sang Citranggada dan
Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, Bisma pergi ke Kerajaan Kasi dan
memenangkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga orang puteri bernama
Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada adik-adiknya. Karena Citranggada
wafat, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan Wicitrawirya, sedangkan Amba
mencintai Bisma namun Bisma menolak cintanya karena terikat oleh sumpah bahwa ia tidak
akan kawin seumur hidup. Demi usaha untuk menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja
ia menembakkan panah menembus dada Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa
kelak Amba bereinkarnasi menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu
putera Raja Drupada yang bernama Srikandi. (Kalau versi Jawa, Srikandi adalah seorang
wanita sejati) Kelak kematiannya juga berada di tangan Srikandi yang membantu Arjuna
dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.
Citranggada wafat di usia muda dalam suatu pertempuran, kemudian ia digantikan oleh
adiknya yaitu Wicitrawirya. Wicitrawirya juga wafat di usia muda dan belum sempat
memiliki keturunan.
Satyawati mengirim kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika untuk menemui
Resi Byasa, sebab Sang Resi dipanggil untuk mengadakan suatu upacara bagi mereka agar
memperoleh keturunan.
Satyawati menyuruh Ambika agar menemui Resi Byasa di ruang upacara. Setelah Ambika
memasuki ruangan upacara, ia melihat wajah Sang Resi sangat dahsyat dengan mata yang
menyala-nyala. Hal itu membuatnya menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama
upacara berlangsung, maka anaknya terlahir buta. Anak tersebut adalah Drestarastra.
Kemudian Ambalika disuruh oleh Satyawati untuk mengunjungi Byasa ke dalam sebuah
kamar sendirian, dan di sana ia akan diberi anugerah. Ia juga disuruh agar terus membuka
matanya supaya jangan melahirkan putra yang buta Drestarastra seperti yang telah dilakukan
Ambika Maka dari itu, Ambalika terus membuka matanya namun ia menjadi pucat setelah
melihat rupa Sang Bagawan Byasa yang luar biasa. Maka dari itu, Pandu (putranya), ayah
para Pandawa, terlahir pucat. Drestarastra dan Pandu mempunyai saudara tiri yang bernama
Widura. Widura merupakan anak dari Resi Byasa dengan seorang dayang Satyawati yang
bernama Datri. Pada saat upacara dilangsungkan dia lari keluar kamar dan akhirnya terjatuh
sehingga Widura pun lahir dengan kondisi pincang kakinya.
Dikarenakan Drestarastra terlahir buta maka tahta Hastinapura diberikan kepada Pandu.
Pandu menikahi Dewi Kunti,kemudian Pandu menikah untuk yang kedua kalinya dengan
Dewi Madrim, namun akibat kesalahan Pandu pada saat memanah seekor kijang yang
sedang kasmaran, maka kijang tersebut mengeluarkan kutukan bahwa Pandu tidak akan
merasakan lagi hubungan suami istri, dan bila dilakukannya, maka Pandu akan mengalami
ajal. Kijang tersebut kemudian mati dengan berubah menjadi wujud aslinya yaitu seorang
pendeta. Kemudian karena mengalami kejadian buruk seperti itu, Pandu lalu mengajak kedua
istrinya untuk bermohon kepada Hyang Maha Kuasa agar dapat diberikan anak.
Atas bantuan mantra yang pernah diberikan oleh Resi Druwasa maka Dewi Kunti bisa
memanggil para dewa untuk kemudian mendapatkan putra. Pertama kali mencoba mantra
tersebut datanglah Batara Surya, tak lama kemudian Kunti mengandung dan melahirkan
seorang anak yang kemudian diberi nama Karna. Tetapi Karna kemudian dilarung kelaut dan

dirawat oleh Kurawa, sehingga nanti pada saat perang Bharatayudha, Karna memihak kepada
Kurawa.
Kemudian atas permintaan Pandu, Kunti mencoba mantra itu lagi, Batara Guru mengirimkan
Batara Dharma untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahir anak yang pertama yaitu
Yudistira, setahun kemudian Batara Bayu dikirim juga untuk membuahi Dewi Kunti
sehingga lahirlah Bima, Batara Guru juga mengutus Batara Indra untuk membuahi Dewi
Kunti sehingga lahirlah Arjuna dan yang terakhir Batara Aswan dan Aswin dikirimkan
untuk membuahi Dewi Madrim, dan lahirlah Nakula dan Sadewa. Kelima putera Pandu
tersebut dikenal sebagai Pandawa.
Dretarastra yang buta menikahi Dewi Gendari, dan memiliki sembilan puluh sembilan orang
putera dan seorang puteri yang dikenal dengan istilah Kurawa.
Pandawa dan Kurawa merupakan dua kelompok dengan sifat yang berbeda namun berasal
dari leluhur yang sama, yakni Kuru dan Bharata. Kurawa (khususnya Duryudana) bersifat
licik dan selalu iri hati dengan kelebihan Pandawa, sedangkan Pandawa bersifat tenang dan
selalu bersabar ketika ditindas oleh sepupu mereka. Ayah para Kurawa, yaitu Drestarastra,
sangat menyayangi putera-puteranya. Hal itu membuat ia sering dihasut oleh iparnya yaitu
Sengkuni, beserta putera kesayangannya yaitu Duryudana, agar mau mengizinkannya
melakukan rencana jahat menyingkirkan para Pandawa
Pada suatu ketika, Duryudana mengundang Kunti dan para Pandawa untuk liburan. Di sana
mereka menginap di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Duryudana. Pada malam
hari, rumah itu dibakar. Namun para Pandawa bisa diselamatkan oleh Bima yang telah
diberitahu oleh Widura akan kelicikan Kurawa sehingga mereka tidak terbakar hidup-hidup
dalam rumah tersebut. Usai menyelamatkan diri, Pandawa dan Kunti masuk hutan.
(diceritakan dalam lakon Bale Sigala-gala)
Di hutan tersebut Bima bertemu dengan raksasa bernama Arimba yang ingin membalas
dendam kematian Ayahnya yaitu Arimbaka (dalam pedalangan Jawa disebut Trembaka),
Bima unggul dan membunuhnya, lalu menikahi adiknya, yaitu raseksi Hidimbi atau Arimbi
yang jatuh hati pada Bima. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca.
Setelah melewati hutan rimba, Pandawa melewati Kerajaan Pancala. Di sana tersiar kabar
bahwa Raja Drupada menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Adipati
Karna mengikuti sayembara tersebut, tetapi ditolak oleh Drupadi. Pandawa pun turut serta
menghadiri sayembara itu, namun mereka berpakaian seperti kaum brahmana.
Pandawa ikut sayembara untuk memenangkan lima macam sayembara, Yudistira untuk
memenangkan sayembara filsafat dan tatanegara, Arjuna memenangkan sayembara senjata
Panah, Bima memenangkan sayembara Gada dan Nakula Sadewa memenangkan sayembara
senjata Pedang. Pandawa berhasil melakukannya dengan baik untuk memenangkan
sayembara.
Drupadi harus menerima Pandawa sebagai suami-suaminya karena sesuai janjinya siapa
yang dapat memenangkan sayembara yang dibuatnya itu akan jadi suaminya walau
menyimpang dari keinginannya yaitu sebenarnya yang diinginkan hanya seorang Satriya

Setelah itu perkelahian terjadi karena para hadirin menggerutu sebab kaum brahmana tidak
selayaknya mengikuti sayembara. Pandawa berkelahi kemudian meloloskan diri.
sesampainya di rumah, mereka berkata kepada ibunya bahwa mereka datang membawa hasil
meminta-minta. Ibu mereka pun menyuruh agar hasil tersebut dibagi rata untuk seluruh
saudaranya. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat bahwa anak-anaknya tidak hanya
membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. (Dalam Pedalangan Jawa
Drupadi hanya menjadi istri Yudistira / Puntadewa seorang).
Agar tidak terjadi pertempuran sengit, Kerajaan Kuru dibagi dua untuk dibagi kepada
Pandawa dan Kurawa. Kurawa memerintah Kerajaan Kuru induk (pusat) dengan ibukota
Hastinapura, sementara Pandawa memerintah Kerajaan Kurujanggala dengan ibukota
Indraprastha. Baik Hastinapura maupun Indraprastha memiliki istana megah, dan di sanalah
Duryudana tercebur ke dalam kolam yang ia kira sebagai lantai, sehingga dirinya menjadi
bahan ejekan bagi Drupadi. Hal tersebut membuatnya bertambah marah kepada para
Pandawa
Untuk merebut kekayaan dan kerajaan Yudistira, Duryudana mengundang Yudistira untuk
main dadu, ini atas ide dari Arya Sengkuni. Pada saat permainan dadu, Duryudana diwakili
oleh Sengkuni sebagai bandar dadu yang memiliki kesaktian untuk berbuat curang.
Permulaan permainan taruhan senjata perang, taruhan pemainan terus meningkat menjadi
taruhan harta kerajaan, selanjutnya prajurit dipertaruhkan, dan sampai pada puncak
permainan Kerajaan menjadi taruhan, Pandawa kalah habislah semua harta dan kerajaan
Pandawa termasuk saudara juga dipertaruhkan dan yang terakhir istrinya Drupadi dijadikan
taruhan. Akhirnya Yudistira kalah dan Drupadi diminta untuk hadir di arena judi karena
sudah menjadi milik Duryudana. Duryudana mengutus para pengawalnya untuk menjemput
Drupadi, namun Drupadi menolak. Setelah gagal, Duryudana menyuruh Dursasana adiknya,
untuk menjemput Drupadi. Drupadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana
yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat
suami dan para iparnya berkumpul. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya
diminta untuk menanggalkan bajunya, namun Drupadi menolak. Dursasana yang berwatak
kasar, menarik kain yang dipakai Drupadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak
habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna yang melihat Dropadi dalam
bahaya. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka
Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.
Drupadi yang merasa malu dan tersinggung oleh sikap Dursasana bersumpah tidak akan
menggelung rambutnya sebelum dikramasi dengan darah Dursasana. Bima pun bersumpah
akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya kelak. Setelah mengucapkan sumpah
tersebut, Drestarastra merasa bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya, maka ia
mengembalikan segala harta Yudistira yang dijadikan taruhan.
Duryudana yang merasa kecewa karena Drestarastra telah mengembalikan semua harta yang
sebenarnya akan menjadi miliknya, menyelenggarakan permainan dadu untuk yang kedua
kalinya. Kali ini, siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun,
setelah itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan setelah itu berhak kembali

lagi ke kerajaannya. Untuk yang kedua kalinya, Yudistira mengikuti permainan tersebut dan
sekali lagi ia kalah. Karena kekalahan tersebut, Pandawa terpaksa meninggalkan kerajaan
mereka selama 12 tahun dan hidup dalam masa penyamaran selama setahun.
Setelah masa pengasingan habis dan sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak
untuk mengambil alih kembali kerajaan yang dipimpin Duryudana. Namun Duryudana
bersifat jahat. Ia tidak mau menyerahkan kerajaan kepada Pandawa, walau seluas ujung jarum
pun. Hal itu membuat kesabaran Pandawa habis. Misi damai dilakukan oleh Sri Kresna,
namun berkali-kali gagal. Akhirnya, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi
Pandawa berusaha mencari sekutu dan ia mendapat bantuan pasukan dari Kerajaan Kekaya,
Kerajaan Matsya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha,
Wangsa Yadawa, Kerajaan Dwaraka, dan masih banyak lagi. Selain itu para ksatria besar di
Bharatawarsha seperti misalnya Drupada, Setyaki, Drestadjumna, Srikandi, dan lain-lain ikut
memihak Pandawa.
Sementara itu Duryudana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Kurawa sekaligus
mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Kurawa. Kurawa dibantu oleh Resi
Dorna dan putranya Aswatama, kakak ipar para Kurawa yaitu Jayadrata, serta guru Krepa,
Kertawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sengkuni, Karna, dan masih banyak lagi.
Bharatayuda :
Pertempuran berlangsung selama 18 hari penuh. Dalam pertempuran itu, banyak ksatria yang
gugur, seperti misalnya Abimanyu, Durna, Karna, Bisma, Gatotkaca, Irawan, Prabu
Matswapati dan puteranya (Raden Seta, Raden Utara, Raden Wratsangka), Bhogadatta,
Sengkuni, dan masih banyak lagi.
Selama 18 hari tersebut dipenuhi oleh pertumpahan darah dan pembantaian yang
mengenaskan. Pada akhir hari kedelapan belas, hanya sepuluh ksatria yang bertahan hidup
dari pertempuran, mereka adalah: Lima Pandawa,Yuyutsu, Setyaki, Aswatama, Krepa dan
Kartamarma.
Setelah perang berakhir, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura bergelar Prabu
Kalimataya Setelah memerintah selama beberapa lama, ia menyerahkan tahta kepada cucu
Arjuna, yaitu Parikesit. Kemudian, Yudistira bersama Pandawa dan Drupadi mendaki
gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Di sana mereka meninggal dan
mencapai surga. (Diceritakan dalam kisah Pandawa Seda)
Parikesit memerintah Kerajaan Kuru dengan adil dan bijaksana. Ia menikahi Madrawati dan
memiliki putera bernama Janamejaya. Janamejaya menikahi Wapushtama (Bhamustiman)
dan memiliki putera bernama Satanika. Satanika berputera Aswamedhadatta.
Aswamedhadatta dan keturunannya kemudian memimpin Kerajaan Wangsa Kuru di
Hastinapura.

Kelahiran Antareja

Prabu Nagabaginda adalah raja Negara Bantalatelu dengan rupa badan manusia
dengan kepala naga, dan mampu merubah dirinya baik menjadi manusia betulan
hingga
berupa
naga
raksasa.
Nagabaginda kesal lantaran Batara Guru memberikan anugerah Sanghyang kepada
Anantaboga, bukan kepada dirinya padahal ia yakin lebih ganteng diantara para
bangsa ular dan naga. Yang kedua Dewi Suparti yang ditaksirnya di pinang
Sanghyang
Anantaboga.
Ketidak puasan ini akhirnya mengutus Patih Wisasarpa untuk menanyakan kepada
Dewa. Singkat cerita rombongan utusan ini telah berhadapan dengan Batara Narada.
Penjelasan Batara Narada perihal anugerah Dewa tersebut tidak diterima oleh Patih
Wisasarpa, dan terjadilah peperangan. Akan tetapi Batara Guru telah menyiapkan
Batara Brahma dengan mantra giri pawakanya, Batara Indra dengan kalajaksanya,
Batara bayu dengan angin sakti. Perlawanan Patih Wisasarpa dengan ajian wisa
sardulanya kalah dengan Batara Bayu yang menggunakan ajian Bayu Rotra.
Nagabaginda yang mengetahui kekalahan patihnya, marah besar dan berangkat

untuk mengobrak abrik Kedewatan. Batara Guru yang faham dengan kemarahan
Nagabaginda dengan mantra saktinya mengangkat tinggi Kedewatan hingga tidak
dapat dijangkau oleh Nagabaginda. Sementara itu di Suralaya, Batara Guru
mengatakan bahwa tidak ada yang dapat mengalahkan Nagabaginda selain cucu
Anantaboga. Sedangkan Dewi Nagagini sendiri masih dalam kondisi hamil.
Rombongan Batara Narada, Batara Brahma, Batara Bayu dan Batara Indra turun dari
kahyangan untuk menuju ke istana Saptaprtala tempat bersemayamnya Sanghyang
Anantaboga rupa-rupanya diketahui oleh Nagabaginda, maka ia pun berniat
menyusulnya
dengan
murka.
Atas bantuan Sanghyang Baruna, maka perjalanan keempat duta Kedewatan itu
segera sampai ke Saptapratala. Sementara itu Nagabaginda tak kuasa melewati
pagar betis pasukan samodra yang dipimpin oleh Julungwangi. Gagal mengejar
melewati samodra, rupanya Nagabaginda bertemu dengan Arjuna yang disertai para
punakawan sedang dalam perjalanan menjenguk Dewi Nagagini diutus oleh Dewi
Kunti
karena
Bima
sedang
ada
tugas
lain.
Hasilnya
gimana?
Sementara itu di Saptapratala sedang bersuka ria karena Dewi Nagagini melahirkan
seorang bayi dari perkawinannya dengan Bima yang diberi nama Bimasunu. Oleh
para duta dewa bayi ini dimandikan di air suci dan seketika badannya menjadi
besar. Untuk lebih menjadikan cucunya sakti, Sanghyang Anantaboga melumuri
seluruh badan cucunya dengan air liurnya yang kelak membuat Bimasunu kebal
terhadap
senjata.
Berhadapan dengan Bimasunu, Nagabaginda pun akhirnya takluk. Sebelum menitis
kepada Bimasunu, Nagabaginda menyerahkan negara Jangkarbumi, dan kelak
Bimasunu bergelar Prabu Antareja.

Gatotkaca Lahir
Diposkan olehhery_wae on Rabu, 25 Juli 2012 Label: Mahabharata

Setelah sekian lama ditunggu-tunggu akhirnya Dewi Arimbi mengandung anak dari Bima.
Seluruh rakyat Pringgandani sangat bersukacita, dikarenakan anak ini akan menjadi generasi
penerus sebagai Raja di Pringgandani bila Dewi Arimbi sudah tiada.
Saat itu seluruh putra Pandawa disertai Sri Batara Kresna tidak ketinggalan seluruh
punakawan Semar, Astrajingga, Dawal dan Gareng berkumpul di Istana Pringgandani, merka
sedang berkumpul menunggu saat kelahiran sang putra Bima. Tidak lama berselang terdengar
tangisan bayi menggelegar menggentarkan seantero Pringgandani, seluruhnya yang berada di
bangsal menarik nafas panjang. Sesaat kemudian ada emban yang menghaturkan berita
bahwasanya sang putra mahkota laki-laki telah lahir dalam keadaan sehat begitu juga dengan
kondisi sang ibu. Mendengar hal tersebut bertambahlah kebahagian semuanya, satu persatu
dari mereka memberikan selamat kepada Raden Aria Werkudara alias Bima atas kelahiran
putrannya.

Beberapa waktu kemudian mereka bisa masuk menjenguk kedalam kamar, disana terlihat
Dewi Arimbi sedang berbaring diatas ranjang berhiaskan emas permata beralaskan sutera
berwarna biru terlihat senang dengan senyum mengembang dibibirnya menyambut
kedatangan Bima diiringi oleh seluruh kadang wargi (saudara). Tidak jauh dari tempatnya
berbaring terlihat sebuah tempat tidur yang lebih kecil, diatasnya tergolek seorang bayi lakilaki sangat gagah dan tampat layaknya ksatria trah dewa, hanya saja ari-ari dari bayi tersebut
masih menempel belum diputus. Ketika hal tersebut ditanyakan emban menjawab bahwa
seluruh upaya untuk memotong tali ari-ari tersebut selalu gagal. Tidak ada satu senjatapun

yang

berhasil

memotongnya.

Mendengar hal tersebut Bima sangat gusar dan meminta tolong kepada saudara-saudaranya
untuk memotong tali ari-ari anaknya yang diberinama Jabang Tutuka. Bima mencoba
memotong dengan kuku pancana gagal, diikuti oleh Arjuna mencoba menggunakan seluruh
senjatanya diawali dengan keris Pancaroba, keris Kalandah, panah Sarotama bahkan panah
Pasopati semuanya gagal. Sri Batara Kresna yang saat itu hadir mencoba dengan senjata
saktinya Cakra Udaksana, hanya menghasilkan percikan-percikan api ketika dicoba
memotong tali ari-ari itu. Semuanya terbengong-bengong merasa takjub dan heran disertai
rasa putus asa, Dewi Arimbi hanya bisa menangis melihat hal tersebut dirundung rasa
khawatir jika anaknya harus membawa tali ari-ari hingga dewasa. Ditengah suasana tersebut
tanpa diketahui sebelumnya Begawan Abiyasa yang tak lain kakek dari para Pandawa atau
buyut dari Jabang Tutuka telah hadir ditempat tersebut, semua yang hadir memberikan
sembah sungkem kepadanya. Begawan yang sakti mandraguna ini mengatakan bahwa tali ariari itu hanya akan bisa dipotong oleh senjata kadewatan yang berasal dari Batar Guru. Untuk
itu Sang Begawan meminta Arjuna untuk pergi ke Kahyangan mencari senjata tersebut.
Setelah mendapat perintah dari kakeknya dan meminta ijin kepada saudara-saudaranya
Arjuna disertai oelh para punakawan segera menuju Kahyangan untuk mencari senjata yang
dimaksud oleh Begawan Abiyasa, sedangkan Sang Begawan sendiri bergegas pulang kembali
ke Padepokan setelah memberikan doa serta merapal beberapa mantra untuk buyut / cicitnya
tersebut.
Nun jauh di Kahyangan sana keadaan sedang gonjang-ganjing dikarenakan serangan dari
Naga Percona yang ingin memperistri salah satu bidadari yang bernama Dewi Supraba.
Dikarenakan Naga Percona bukan sembarang makhluk, dia adalah raja yang mempunyai
kesaktian mumpuni dan bisa dikatakan sama bahkan sedikit diatas diatas para dewa, jelas
sangat merepotkan barisan dewa-dewa yang dipimpin oleh Batara Indra dalam menghadapi
nya. Serangan petir Batara Indra tidak ubahnya lemparan daun-daun kering dari anak-anak,
kobaran api Batara Brahma hanya menjadi menjadi mainan saja. Batara Bayu yang
mendoronganya dengan badai besar tidak membutnya mundur walaupun seujung kuku,
bahkan badannya tidak goyang sedikitpun. Cakra Udaksana dari Batar Wisnu sama sekali
tidak mencenderainya, singkatnya para dewa dipukul mundur dengan kondisi babak-belur.
Batara Guru merapal mantra dan melihat Kaca Trenggana, diperoleh keterangan bahwa yang
bisa mengalahkan Naga Percona hanyalah Jabang Tutuka anak Bima yang baru lahir.
Selanjutnya Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk memberikan senjata darinya
yang bernama panah Konta Wijayadanu kepada Arjuna untuk memotong ari-ari Jabang
Tutuka dengan imbalan bayi tersebut harus menjadi panglima perang mengahadapi Naga
Percona. Disaat yang bersamaan Aradeya atau Karna sedang bertapa di tepi Sungai Gangga
mencari senjata sakti untuk dirinya, pada saat Batara Narada mendekati tempat tersebut
hatinya senang karena Aradeya ini disangkanya Arjuna, karena rupanya benar-benar mirip
dan Batara Surya yang merupakan ayah dari Aradeya sengaja mengeluarkan sinar berkilauan
disekitar Aradeya sehingga Batara Narada tidak terlalu jelas melihatnya, sehingga tidak sadar
bahwa
orang
yang
diserahi
senjata
tersebut
bukanlah
Arjuna.
Setelah mendapatkan senjata sakti kadewatan Aradeya sangat gembira dan langsung berlari
tanpa mengucapkan terima kasih kepada Batara Narada, hal itu membuat Batara Narada
tersadar bahwa dia salah orang, tidak lama kemudian Arjuan disertai oleh para Punakawan
datang ketempat tersebut, dengan sedih Batara Narada bercerita bahwa dirinya telah salah
orang menyerahkan senjata kadewatan yang seharusnya diserahkan kepada Jabang Tutuka

lewat tangan Arjuna, malah diserahkan kepada orang yang tidak dikenal dan mempunyai rupa
mirip dengan Arjuna. Mendengar hal tersebut Semar sangat menyalahkan Batara Narada
karena gegabah menyerahkan senjata sakti kepada orang asing, serta segera meminta Arjuna
mengejar
orang
tersebut.
Arjuna berlari dan berhasil menyusul Aradeya, awalnya senjata tersebut diminta baik-baik
dan dikatakan akan digunakan olehnya untuk memotong tali ari-ari keponakannya. Aradeya
tidak menggubrisnya akhirnya terjadi perang-tanding memperebutkan senjata tersebut,
sampai suatu ketika Arjuna berhasil memegang sarung senjata tersebut sedangkan Aradeya
memegang gagang panah Konta Waijayadanu. Mereka saling tarik dan akhirnya terjerembab
dikarenakan senjata Konta lepas dari warangka / sarungnya. Kemudian Aradeya berlari
kembali
dan
kali
ini
Arjuna
kehilangan
jejak.
Dengan sedih hati Arjuna menunjukkan warangka senjata Konta kepada Semar, kemudian
atas saran Semar mereka kembali ke Pringgandani sedangkan Batara Narad disuruh pulang ke
Kahyangan dan dikatakan bahwa Jabang Tutuka akan segera dibawa ke Kahyangan.
Sesampainya di Keraton Pringgandani warangka tersebut digunakan untuk memotong tali ariari Jabang Tutuka, ajaib sekali tali ari-ari putus sedangkan warangka senajata kadewatan itu
masuk kedalam udel Jabang Tutuka. Hal ini menurut Semar sudah menjadi suratan bahwa
nanti diakhir cerita peperangan besar / Bharata Yuda senjata itu akan masuk kembali
kewarangkanya, dengan kata lain Jabang Tutuka akan mati jika menghadapi senjata Konta
Wijayadanu.
Setelah tali ari-ari berhasil dipotong Arjuna hendak membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan
untuk memenuhi janji kepada Batara Narada, bahwa Jabang Tutuka akan menjadi panglima
perang dan menghadapi Naga Percona. Awalnya Bima melarang karena anaknya masih bayi
dan dirinya sanggup untuk menggantikan melawan Naga Percona. Setelah Semar berkata
bahwa Jabang Tutukalah yang harus berangkat karena dia yang dipercaya oleh dewa dan
Jabang Tutuka pula yang telah menggunakan senjata kadewatan bukan yang lain. Disamping
itu Semar menjamin jika terjadi suatu hal yang menyebabkan Jabang Tutuka celaka, Semar
berani menaruhkan nyawanya kepada Bima. Mendengar hal tersebut dari Semar, Bima yang
mempunyai pandangan linuwih dan menyadari siapa sesungguhnya Semar ini, akhirnya
mengijinkan
putra
berperang
melawan
Naga
Percona.
Arjuna disertai par Punakawan segera membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan, setelah
mendekati gerbanga Selapa Tangkep tepatnya di Tegal Ramat Kapanasan Arjuna meletakkan
Jabang Tutuka ditengah jalan menuju gerbang. Selanjutnya Arjuna memperhatikan dari jauh
bersama dengan para dewa, tak lama berselang Naga Percona datang dan melihat ada bayi
ditengah jalan. Dia meledek Batara Guru yang dikatakannya sudah gila karena menyuruhnya
bertarung dengan bayi yang hanya bisa menangis. Kemudia dia mengangkat Jabang Tutuka
dan mendekatkan wajahnya ke wajah bayi tersebut, tidak disangkan tangan Jabang Tutuka
mengayun dan berhasil meluaki satu matanya sehingga berdarah. Kontan Naga Percona
marah dan membanting Jabang Tutuk kea rah pintu gerba hingga mati. Melihat hal tersebut
para dewa tak terkecuali Batar Guru, Batara Narada dan Arjuna kaget dan was-was jika Bima
sampai tahu anaknya mati oleh Naga Percona pasti akan mengamu ke Kahyangan. Hanya saja
Semar dengan cepat berbisik ke Batara Guru untuk segera menggodok Jabang Tutuka di
Kawah Candradimuka, Batara Guru segera memerintahkan Batara Yamadipati untuk segera
membawa tubuh Jabang Tutuka ke Kawah Candradimuka dan menggodoknya. Selanjutnya
para dewa disuruhnya melemparkan / mencampurkan senajata yang dimilikinya untuk
membentuk tuduh Jabang Tutuka lebih kuat, lama-kelamaan terbentuklah tubuh satria gagah

dari dalam godogan tersebut. Kemudian para dewa membirkannya pakaian dan perhiasan
untuk Jabang Tutuka yang baru tersebut, selanjutnya diakarenakan dia mati belum waktunya
berhasil
dihidupkan
kembali
oleh
Batar
Guru.
Selain mendapat anugerah berupa pakaian, perhiasan dan senjata yang sudah membentuk
tubuhnya Jabang Tutuka juga memperoleh beberanama dari para dewa diantaranya : Krincing
Wesi, Kaca Negara, Purabaya, Kancing Jaya, Arimbi Suta, Bima Putra dan Gatotkaca. Nama
terakhir inilah yang kemudian digunakan dalam dunia pewayangan. Dengan tampilan yang
sangat beda dari sebelumnya Jabang Tutuka yang menggunakan nama baru Gatotkaca
bertempur kembali dengan Naga Percona, dan akhirnya behasil merobek mulut dan tubuh
Naga Percona menjadi dua bagian. Itulah akhir dari hidupnya Naga Percona yang membawa
kedamaian di Kahyangan, sekaligus menjadi awal kepahlawanan Gatotkaca sang putra Bima.

Arjuna Wiwaha
Diposkan olehhery_wae on Selasa, 07 Agustus 2012 Label: Mahabharata

Kahyangan Bathara Indra sedang berada dalam ancaman seorang raksasa yang bernama
Niwatakawaca. Ia sudah siap untuk menyerang dan menghancurkan kahyangan Bathara
Indra. Niwatakawaca tidak bisa dikalahkan oleh siapapun baik Dewa maupun raksasa yang
lain. Oleh karenanya, Bathara Indra memutuskan untuk meminta bantuan manusia untuk
menghadapi raksasa itu. Pilihan jatuh kepada Arjuna putra tengah Pandawa yang saat itu
sedang
bertapa
di
gunung
Indrakila.
Namun, terlebih dulu Bethara Indra menguji ketabahan Arjuna dalam melakukan pertapanya.
Tujuh orang bidadari yang kecantikannya sudah tidak bisa diragukan lagi dipanggil untuk
menjalankan tugas itu. Bidadari yang terpenting dari ketujuh bidadari tersebut adalah
Suprabha dan Tilottama. Ketujuh bidadari tersebut diutus untuk menggunakan segala
kemampuan
dan
kecantikannya
untuk
merayu
Arjuna.
Suprabha dan enam bidadari yang lain pergi ke tempat Arjuna bertapa yaitu Gunung
Indrakala untuk menunaikan tugasnya. Sampailah para bidadari yang kecantikannya sungguh
menabjukan itu di gua tempat Arjuna bertapa. Mereka berusaha menggoda Arjuna dengan
memperlihatkan segala kecantikannya dan dengan segala akal agar Arjuna bisa tergoda.
Namun, usaha mereka tak sedikitpun memberikan hasil. Tentunya mereka sangat kecewa,
dan akhirnya mereka kembali ke kahyangan dan melaporkan kepada Bathara Indra.
Mendengar laporan dari pada bidadari utusannya, Bathara Indra gembira, karena itu
membuktikan bahwa Arjuna memang orang yang tepat dan pantas untuk dia pilih sebagai
lawan Niwatakawaca. Tetapi Indra masih memiliki sedikit keraguan, dia masih bertanyatanya apa sebenarnya tujuan Arjuna bertapa, apakah untuk memperoleh kebahagiaan dan
kekuasaan untuk dirinya sendiri, sehingga ia tidak peduli degan keselamatan orang lain?
Bathara Indra kemudian turun tangan sendiri untuk hal ini, ia kemudian turun menghampiri

Arjuna dan menyamar sebagai seroang resi tua yang telah pikun dan bungkuk. Resi tua
jelmaan Bathara Indra memperolok-olok dan mengunggah kesatriaan Arjuna , Arjuna
kemudian menghentikan tapanya sebentar dan menyambut resi tua itu dengan penuh rasa
hormat. Dalam pertemuan itu terjadi diskusi falsafi yang di dalamnya terpapar suatu uraian
mengenai kekuasaan dan kenikmatan dalam makna yang sejati. Arjuna cukup memahami
segala hal yang di paparkan oleh Bathara Indra, ia lalu menegaskan bahwa satu-satunya
tujuan ia melakukan tapa brata adalah untuk memenuhi kewajibannya selaku seorang ksatria
serta membantu kakaknya Yudhistira untuk merebut kembali kerajaannya demi kesejahteraan
dunia. Mendengar jawaban dari Arjuna, Bathara merasa puas dan yakin, maka ia
mengungkapkan siapa dia sebenarnya. Bathara Indra kemudian kembali ke kahyangan,
sementara
Arjuna
melanjutkan
tapa
bratanya.
Raja Raksasa mendengar apa yang terjadi di Gunung Indrakila. Ia kemudian mengutus
seorang raksasa yang bernama Muka untuk membunuh Arjuna. Muka merubah wujudnya
menjadi seekor babi hutan , dan mengacaukan hutan di sekitar Arjuna bertapa. Arjuna yang
mendengar kegaduhan itu segera keluar dari guanya dengan membawa senjatanya. Pada saat
yang sama, Bathara Siwa juga sudah mendengar bagaimana Arjuna bertapa, ia kemudian juga
turun
dalam
wujud
seorang
pemburu
dari
suku
Kirata.
Arjuna melepaskan panahnya untuk membunuh babi hutan yang membuat kerusuhan itu, dan
pada waktu yang bersamaan pemburu Kirata jelmaan Siwa pun melakukan hal yang sama.
Kedua anak panah mereka ternyata menjadi satu dan menewaskan babi hutan jelmaan Muka
itu. Terjadilah perselisihan antara Arjuna dan pemburu dari Kirata itu, siapa yang membunuh
Babi hutan itu. Terjadilah perdebatan yang sengit diantara keduanya dan akhirya mereka
berkelahi. Arjuna hampir saja kalah, kemudian ia memegang kaki lawannya , namun pada
saat
itu
wujud
si
pemburu
lenyap
dan
Siwa
menampakkan
diri.
Bathara Siwa bersemayam selaku ardhanariswara Setengah Pria, setengah Wanita, di atas
bunga Padma. Dengan penuh rasa hormat dan tulus Arjuna memujanya dengan suatu madah
pujian dan yang mengungkapkan pengakuannya terhadap Siwa yang hadir dalam segala
sesuatu. Siwa kemudian memberikan hadiah kepada Arjuna panah sepucuk panah yang
bernama Pasupati. Arjuna juga diberikan pengetahuan gaib bagaimana mempergunakan
panah
itu.
Sementara Arjuna sedang berpikir apakah ia sebaiknya kembai ke sanak saudaranya,
datanglah dua aspara (makhluk setengah dewa, setengah manusia) utusan dari kahyangan
yang membawa sepucuk surat dari bathara Indra. Isi dari surat itu, meminta kesediaan Arjuna
menghadap untuk membantu para Dewa untuk membunuh Niwatakawaca. Arjuna menjadi
ragu-ragu karena berarti ia akan lebih lama terpisah dari keluarganya. Namun, akhirnya ia
menyetujui, kemudian mereka bertiga pergi ke kahyangan Bathara Indra.
Sesampainya di Kahyangan, tentu saja Arjuna disambut oleh para bidadari yang tergila-gila
melihat ketampanannya. Bathara Indra kemudian menceritakan keadaan di Kahyangan akibat
ulah Niwatakawaca. Raksasa itu hanya bisa dikalahkan oleh seorang manusia tetapi harus
mengetahui
titik
lemahnya
terlebih
dahulu.
Bidadari yang akan mendapat tugas untuk peri ke istana dan mengetahui rahasia raksasa itu
adalah Suprabha. Dia sudah lama menjadi incaran raksasa itu. Arjuna mendapat tugas untuk
menemani Suprabha dalam melakukan misi tersebut. Arjuna menyanggupinya dan kemudian
turun
ke
bumi.

Akhirnya mereka sampai di istana raja raksasa tersebut, disana sedang diadakan persiapan
untuk perang melawan para Dewata. Suprabha awalnya merasa ragu apakah bisa
menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya, namun Arjuna memberi semangat kepadanya
bhawa ia akan berhasil asal ia mempergunakan segala rayuan seperti yang ia lakukan ketika
menggoda
Arjuna
saat
bertapa.
Suprabha kemudian menuju sebuah sanggar mestika (balai Kristal murni), di tengah-tengah
halaman istana. Sementara Arjuna mengikutinya, namun ia menggunakan aji supaya ia tidak
terlihat oleh orang. Beberapa dayang yang sedang bercengkarama melihat kedatangan
Suprabha dan menyambutnya dengan gembira sambil menanyakan keadaan kahyangan.
Beberapa dayang tersebut dulunya juga berada di istana Indra. Suprabha menceritakan bahwa
ia meninggalkan kahyangan atas kemauannya sendiri, karena ia tahu bahwa itu akan
dihancurkan; sebelum ia bersama degan segala barang rampasan ditawan, ia menyebarang ke
Niwatakawaca.
Dua orang dayang menghadap raja dan membawa berita yang memang sudah dinantikannya
sekian lama. Sang raja langsung menuju taman sari dan menimang dengan memangku
Suprabha. Suprabha menolak segala desakan Niwatakawaca yang penuh nafsu birahi dan
memohon
agar
sang
raja
menunggu
sampai
fajar
menyingsing.
Suprabha mencoba merayu dengan memuji kesaktian raja yang tak terkalahkan itu, lalu ia
bertanya, tapa seperti apa yang bisa menjadikan ia dianugerahi kesaktian yang luar biasa.
Niwatakaca terbujuk oleh rayuan Suprabha, dan membeberkan rahasianya. Ia
mengatakanbahwa
ujung
lidahnya
merupakan
tempat
kesaktiannya.
Ketika Arjuna telah mendengar pengakuan Niwatakawaca, ia kemudian meninggalkan
persembuyiannya dan menghancurkan gapura istana. Niwatakawaca terkejut mendengar
kegaduhan dahsyat itu, Suprabha menggunakan saat itu untuk melarikan diri bersama Arjuna.
Menyadari bahwa ia tertipu, meluaplah angkara murka sang raja, ia kemudian
memerintahkan pasukannya agar segera berangkat untuk melawan para Dewa. Kahyangan
diliputi rasa gembira karena Arjuna dan Suprabha bisa kembali dengan selamat terlebih Indra
sudah berhasil mengetahui apa kelemahan dari Raksasa yang membuat onar di kahyangan.
Para Dewa kemudian membicarakan taktik bagaimana untuk memukul mundur musuh,
namun hanya Indra dan Arjuna yang tahu senjata apa yang telah mereka miliki untuk
menghancurkan lawan . Bala tentara para dewa, apsara dan gandharwa menuju ke medan
pertempuran
di
lereng
selatan
pegunungan
Himalaya.
Terjadilah pertempuran sengit, Niwatakawaca terjun ke medan perang dan mengobrak-abrik
barisan para dewa yang dengan rasa malu terpaksa mundur. Arjuna yang berada di belakang
barisan tentara yang mundur, berusaha menarik perhatian Niwatakaca. Arjuna pura-pura
hanyut oleh tentara yang lari terbirit-birit, tetapi busur telah disiapkannya.
Saat raja raksasa itu mulai mengejarnya dan berteriak-teriak dengan penuh amarah, Arjuna
menarik busurnya. Arjuna yang memang dikenal sebagai ahli dalam ilmu memanah,
sasarannya tidak meleset sedikitpun. Anak panah yang dilepaskannya melesat masuk ke
mulut raja raksasa itu dan menembus ujung lidahnya. Ia jatuh tersungkur dan mati.
Pasukan raksasa melarikan diri atau terbunuh, sementar para dewa yang tadinya mundur, kini

kembali menjadi pemenang. Para tentara kahyangan yang tadinya mati dihidupkan lagi
dengan
air
amrta.
Atas jasanya, Arjuna mendapatkan penghargaan dari kahyangan. Selama tujuh hari (menurut
perhitungan kahyangan, sama dengan tujuh bulan di bumi manusiaia akan bersemayam
bagaikan seorang raja di atas singgasana Indra. Selain itu, setelah ia dinobatkan, disusullah
pernikahannya dengan tujuh bidadari. Yang pertama ialah Suprabha, ia mendapat hak
pertama, karena ia sudah menempuh perjalanan yang penuh bahaya. Kemudian yang kedua,
adalah Tilottama, dan kelima bidadari yang lain. Nama bidadari yang lain yang disebutkan
adalah Palupy dan Menaka,sementara tiga lainnya tidak disebutkan. Dalam Serat Mintaraga
karya Sunan Paku Buwana III, bidadari yang disebut adalah Gagarmayang, Supraba,
Tilottama, Warsiki dan Warsini. Sedangkan dalam dua ceita yang berjudul Mintaraga
(Mayer,1924:124), disebutkan hanya lima bidadari, yaitu Supraba, Wilotama, Warsiki,
Surendra
dan
Gagarmayang.
Hari demi hari berlalu, Arjuna mulai gelisah, ia rindu dengan saudara-saudaranya. Ia
mengurung diri dalam sebuah balai di taman dan mencoba menyalurkan perasaannya lewat
sebuah syair. Hal ini tidak luput dari perhatian Menaka dan Tilottama. Dan yang terakhir, ia
berdiri di balik pohon dan mendengar kesulitan Arjuna menggubah baris penutup bait kedua
sayairnya. Tilottama lalu menamatkannya dengan sebuah baris yang lucu.
Setelah genap tujuh hari (tujuh bulan di bumi), Arjuna akhirnya pamit kepada Indra, ia
kemudian diantar kembali ke bumi oleh Matali dengan kereta Sorgawi.

Anda mungkin juga menyukai