Anda di halaman 1dari 4

Surakarta

KC I R E B O N

etika Ki Mendra sedang asyik duduk beristirahat di pinggir Kali Kriyan sambil menghilangkan penat
setelah seharian membantu pembuatan kuta keliling keratin Pakungwati, tiba-tiba dikejutkan oleh
sebuah benda terapung-apung di permukaan kali. Ki Mendra segera mengetahui bahwa benda itu
adalah sebuah peti, lalu bersama-sama temannya diangkatnya ke darat, betapa terkejutnya mereka,
ternyata peti itu berisi sebuah kendaga yang di dalamnya terdapat seorang bayi laki-laki yang masih
merah. Di sisinya terdapat sebuah keris “Brajadenta” dan selembar tulisan “Raden Johar Syarif
Hidayatullah”. Bayi tersebut lalu dipelihara Ki Mendra seperti terhadap anak kandungnya sendiri
hingga dewasa. Menjelang dewasa, Raden Johar yang gagah dan tampan itu sering bertapa sambil
membawa keris Barajadenta yang bersinar putih.

Oleh karena itu raden Johar senang bertapa, Ki Mendra menugaskan anak angkatnya itu untuk
bertapa di suatu tempat yang bernama Duan Sikaca. Setelah tapanya dianggap selesai, Raden Johar
mendekati duwan yang penuh berisi air jernih untuk minum sekedar menghilangkan dahaga. Sambil
mengamati suasana di sekelilingnya, secara tidak disengaja ia melihat bayangan dirinya di atas
permukaan air, seolah-olah percaya badannya kini tampak kurus kering. Saat itu pula dating seorang
orangtua berjubah putih menghampirinya dan sambil tersenyum berkata, “Anak muda, seusai
melakukan tapa tidak boleh berkaca di depan air atau cermin, sebab bias menyesali diri melihat
badannya kurus kering. Di karenakan terlanjur dilakukan, namamu sekarang adalah Surakaca…”

Setelah Raden Johar mendapat nama Surakaca, ia bermaksud menyampaikan hormat dan
menanyakan sesuatu, namun orangtua yang tampak sakti itu dalam waktu sekejap telah menghilang.
Ketika dicari ke sekelilingnya, tiba-tiba melihat dua orang laki-laki datang mendekatinya dan
menegurnya dengan sopan. Surakaca berkata terus terung kepada keduanya meminta tolong untuk
dicarikan sesuap nasi oleh karena dirinya merasa kehabisan tenaga. Kedua orang itu dengan tulus
ikhlas menyatakan kesediannya menolong Surakaca mencarikan nasi, sementara Surakaca diminta
menunggu di tempat itu.

Dengan sigap kedua orang itu pergi ke perkampungan untuk meminta bantuan kepada sesepuh
kampung yakni Nyi Mas Baduran, seorang wanita yang sangat dihormati. Ia tinggal bersama anak
perempuan semata wayangnya bernama Pulungayu yang cantik jelita. Kedua orang itu berterus terang
meninta nasi untuk menolong Surakaca yang berada di Duwan Sikaca yang kehabisan tenaga setelah
melakukan tapa berhari-hari tanpa makan dan minum. Nyi Mas Baduran berserta putrinya segera
mengambil nasi berserta lauk pauk secukupnya, kemudian dibungkus dengan rapi lalu diserahkan
kepada kedua orang itu.

Di tengah perjalanan menuju Duwan Sikaca, seseorang dari keduanya berkata, “Sebaiknya nasi
ini tidak diberikan kepada Surakaca, oleh karena dirinya pun setelah perjalanan cukup jauh merasakan
lapar.” Yang lainnya menimpali, “Jangan langsung dimakan, lebih baik nasi ini kita acak-acak saja
beserta lauknya agar orang yang baru dikenalnya itu tidak mau memakannya, sehingga nasi
pemberian Nyi Mas Baduran ini diberikan kembali kepada kita.”

Keduanya dengan terengah-engah datang menyerahkan bungkusan nasi kepada Surakaca.


Setelah mengucapkan terimakasih, dengan penuh semangat Surakaca membuka bungkusan nasi itu,
namun bukan main terkejutnya melihat isi bungkusan yang telah diacak-acak. Surakaca membungkus
kembali nasi itu, kemudian bertanya, “Siapakah yang memberikan nasi ini?” Ditanya demikian kedua
orang itu tampak gugup seraya menjawab bahwa nasi itu pemberian seorang penduduk yang kaya
raya, sambil menunjuk kea rah perkampungan Nyi Mas Baduran. Surakaca kontak tak dapat menahan
amarahnya, dengan sisa tenaganya lalu berjalan gontai untuk menemui orang yang telah memberi nasi
yang dianggapnya telah menghina dirinya.

Cerita Rakyat Asal-Usul Desa di Kabupaten Cirebon 1


Koordinator Nara Sumber : Bpk. S. Muchtar, RD & Bpk. Kartani
Sesampainya di rumah Nyi mas Baduran, tampak Pulungayu sedang duduk di teras rumah.
Dengan bertolak pinggang Surakaca bertanya sambil marah-marah, “Siapakah yang memberi
bungkusan nasi bekas ini kepadanya?” Pulungayu melihat seseorang lelaki yang tidak dikenalnya
marah-marah berlari ketakutan memanggil ibunya. Nyi Mas Baduran segera datang menemui
tamunya yang kelihatan kurus kering itu lalu bertanya, “Anak muda, apakah yang dimaksudkan nasi
bekas, mengapa marah-marah disini?”

Dengan nada semakin tinggi Surakaca berkata, “Hai, nenek tua! Engkau telah menganggp aku
sebagai pengemis, Lihat, lihatlah olehmu…, kalian telah menghinaku dengan memberikan nasi bekas
seperti ini!” kata Surakaca sambil menunjukkan nasi bungkus.

Berkatalah Nyi Mas Baduran dengan sangat lembutnya “Memang kami berdua yang memberi
nasi, namun isinya tidak diaduk-aduk seperti itu.” Surakaca dibuatnya kaget melihat orang yang
dituduh menghinanya dna disebut nenek tua itu berperangai sangat lembut, sopan santun. Surakaca
bersujud di hadapan Nyi Mas Baduran sambil memohon maaf atas kekeliruannya. Nyi Mas Baduran
terharu melihat tamunya dan memberi maaf.

Sesudah itu berkatalah Surakaca, “Hamba yakin semua itu adalah perbuatan kedua syetan itu.”
Setelah berkata demikian tiba-tiba kedua orang itu datang meminta ampun, namun wujudnya telah
berubah bukan seperti manusia. Surakaca tidak bisa berbuat apa-apa, semuanya berlangsung begitu
cepat dan di luar dugaannya. Ia hanya bisa memberi nasihat, agar keduanya yang diberi nama Cuplis
dan Griwis tabah dan sabat dalam menghadapi cobaan. Ia lalu memberi petunjuk agar Cuplis bertapa
dan mendiami suatu tempat di Pemancingan, dan Griwis di Krowokan.

Nyi Mas Baduran menduga bahwa Surakaca bukanlah keturunan orang sembarangan. Oleh
karena itu Surakaca diterima sebagai seorang tamu terhormat, bahkan berbuka dari tapanya pun di
urus oleh Nyi Mas Baduran dan anaknya Pulungayu.

Di Cirebon pada suatu ketika terjadi keributan yang di dalangi Ki Gede Palimanan. Sunan
Gunung Jati memerintahkan para gegeden dan panglima perang untuk meredam keonaran yang
ditimbulkan oleh Ki Gede Palimanan, akan tetapi kesaktian Ki Gede Palimanan sulit ditandingi.

Pada suatu hari Sunan Kalijaga mendatangi Nyi Mas Baduran dikediamannya untuk
menyampaikan tugas dari Sunan Gunung Jati bahwa Nyi Mas Baduran mendapat pancen melakukan
penjagaan di keratin. Dikabarkan pula pihak keratin telah mengeluarkan suatu maklumat, “Barang
siapa dapat mengundurkan Ki Gede Palimanandan tidak lagi mengadakan kekacauan di Cirebon, ia
akan diberi kedudukan yang layak.” Surakaca dan Pulungayu yang sedang duduk-duduk di ruang
dalam, mendengar pembicaraan kedua pengagung Cirebon itu.

Ketika Sunan Kalijaga berpamitan akan pulang, Surakaca dan Pulungayu ikut juga bersalaman.
Sunan Kalijaga bertanya kepada Nyi Mas Baduran, “Siapakah anak muda yang ikut bersalaman tadi?”
dengan senyum khasnya Nyi Mas Baduran menjawab, “Dia adalah Surakaca, dan yang perempuan
bernama Pulungayu putrinya.”

Sunan Kalijaga memuji Surakaca sebagai anak muda itu sangat tampan dan perkasa, pantas
kalau dia seorang pertapa. “Ampun yang mulia Gusti Sunan, jika diperkenankan, hamba bersedia
menggantikan ibu untuk melaksanakan tugas pancen di Cirebon, sambil tersenyum, “Kamu boleh
mewakili ibumu jika ibumu mengizinkannya.

Cerita Rakyat Asal-Usul Desa di Kabupaten Cirebon 2


Koordinator Nara Sumber : Bpk. S. Muchtar, RD & Bpk. Kartani
Nyi Mas Baduran merestui permohonan Surakaca, akan tetapi sebelumnya memberi pesan dan
amanat untuk bekal anak angkatnya. “Anakku, tugas itu amatlah berat bagimu, namun Ibu berharap
agar engkau segera dapat mengundurkan Ki Gede Palimanan dan mendapatkan kedudukan yang layak
di Cirebon. Jika telah selesai melaksanakan tugas itu segeralah pulang, karena adikmu si Pulungayu
kelihatannya sangat mengkhawatirkan akan kepergianmu.” Pulung ayu mengantarkan kepergian
Surakaca, dengan muka agak memerah menahan rasa malu, oleh karena isi hatinya telah diketahui
ibunya bahwa dirinya terpaut kepada Surakaca. Dengan penuh keyakinan Surakaca pergi bersama
Sunan Kalijaga untuk melaksanakan tugas pancen di Cirebon mewakili Ibu angkatnya.

Di Cirebon, Surakaca ditempatkan di garis depan dan langsung berhadapan seorang diri dengan
Ki Gede Palimanan seorang yang gagah perkasa yang sukar dicari tandingnya. Ki Gede Palimanan
menjadi sangat marah melihat lawannya dan ingin segera membunuhnya. Dalam waktu sekejap
Surakaca telah berada dalam genggaman Ki Gede Palimanan sehinggak tidak bisa melepaskan diri,
karena lehernya terkunci tangan kiri Ki Gede Palimanan.

Dalam suasana kritis di mana keris Ki Gede Palimanan sebentar lagi akan merobek dada
Surakaca, tiba-tiba Surakaca dapat mencabut keris Pusakanya yang terselip di pinganggnya. Ki Gede
Palimanan dengan penuh amarah menghujamkan keris ke dada Surakaca, namun keris ditanggnya
tertahan tidak bisa dihujamkan walaupun telah seluruh tenaga dan kemampuannya telah di kerahkan.
Alangkah terkejutnya Ki Gede Palimanan melihat lawannya telah menghunus sebilah keris bercahaya
putih mengarah kea rah kerisnya.

Surakaca dilempatkan dari genggamannya, namun segera bangun kembali dengan keris pusaka
di tangan. “Seranglah….! Akan aku hadapi…” Ki Gede Palimanan menjadi undur-unduran melihat
keris pusaka Surakaca yang tekenal sangat ampuh. “Kurang ajar! Bajingan tengik! Keris berkilat
putih, Brajadenta!’ Ki Gede Palimanan mengumpat dalam hatinya. Ia teringat beberapa tahun
kebelekang keris Brajadenta telah dihanyutkan ke sungai dalam sebuah kendaga bersama cucunya
yang baru lahir.

Sejenak Ki Gede Palimanan tidak memperdulikan ancaman lawannya, kemudian berkata, “Hai
anak muda, tunggu, sebelum aku membunuhmu, sebaiknya sebutkan namamu agar aku tidak
menyalahi hokum seorang kesatria.” Surakaca sejenak terpaku di tempatnya kemudian menjawab,
“Namaku Surakaca. Raden Johar juga namaku.”

Ki Gede Palimanan terkesiap mendengar lawannya menyebutkan nama Raden Johar.


Diulanginya di dalam hatinya berulang-ulang sambil mengingat peristiwa beberapa tahun ke
belakang, “Raden Johar? Cucuku…?” dan benar dugaannya, bahwa keris yang berada ditangan
Surakaca adalah Brajadenta kerisnya.

Ki Gede Palimanan berkata dingin, “Johar…, engkaulah cucuku?” Surakaca menjawabnya


keras, “Aku tidak pernah mempunyai kakek, bahkan ibu dan ayah pun aku tak punya.” Ki Gede
Palimanan berkata membujuknya, “Cucuku hentikan semua perlawananmu. Dengar baik-baik, engkau
adalah cucuku dan keris Brajadenta ditanganmu merupakan bukti nyata.” Setelah berkata demikian,
Ki Gede Palimanan undur meninggalkan perlawanan Surakaca.

Setelah Surakaca berhasil mengundurkan Ki Gede Palimanan, sesuai dengan isi maklumat ia
mendapat kedudukan sebagai adipati dari Sunan Gunung Jati, dengan nama Adipati Surantaka untuk
membangun keratin di sebelah utara Puseur Bumi “Sura” berarti berani, dan “taka” berasal dari kata
“antaka” artinya kematian, berani menghadapi kematian. Setelah wafat Adipati Surantaka
dimakamkan di bawah pohon beringin, sehingga mendapat julukan Adipati Waringin.

Lama kelamaan penyebutan Surantaka berubah menjadi Surakarta, namun hingga kini tidak
sedikit yang menyebut Desa Surakarta adalah Desa Surantaka. Desa Surakarta selanjutnya
dimekarkan menjadi dua desa yaitu Desa Surakarta dan Desa Keraton.

Cerita Rakyat Asal-Usul Desa di Kabupaten Cirebon 3


Koordinator Nara Sumber : Bpk. S. Muchtar, RD & Bpk. Kartani
Nama-nama Kepala Desa Surakarta yang diketahui antara lain :
1. Yadul : 1935 – 1940
2. Akhmad : 1940 – 1940
3. Rak : 1940 – 1953
4. Ridwan : 1957 – 1958
5. Abdul Kanan : 1958 – 1961
6. Jaenudin : 1961 – 1969
7. Muhadi : 1969 – 1971
8. Afifi : 1971 – 1985
9. Rasuma : 1985 – 1995
10. Masruri : 1995 – Sekarang ##

Cerita Rakyat Asal-Usul Desa di Kabupaten Cirebon 4


Koordinator Nara Sumber : Bpk. S. Muchtar, RD & Bpk. Kartani

Anda mungkin juga menyukai