Anda di halaman 1dari 29

KERAJAAN BANJAR DI KALIMANTAN

Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam di


pulau kalimantan yang wilayah
kekuasaannya meliputi sebagian besar
daerah kalimantan pada saat sekarang ini.
Pusat Kerajaan Banjar yang pertama
adalah daerah di sekitar Kuin Utara
(sekarang di daerah Banjarmasin) ,
kemudian dipindah ke martapura setelah
keraton di Kuin dihancurkan oleh
Belanda. Kerajaan ini berdiri pada
september 1526 dengan Sultan
Suriansyah (Raden Samudera) sebagai
Sultan pertama Kerajaan Banjar.
Kerajaan Banjar runtuh pada saat
berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905. Perang Banjar merupakan peperangan yang
diadakan kerajaan Banjar untuk melawan kolonialisasi Belanda. Raja terakhir adalah Sultan
Mohammad Seman (1862 - 1905), yang meninggal pada saat melakukan pertempuran dengan
belanda di puruk cahu.

CIKAL BAKAL KERAJAAN BANJAR

Kemunculan Kerajaan Banjar tidak lepas dari melemahnya pengaruh Negara Daha
sebagai kerajaan yang berkuasa saat itu. Tepatnya pada saat Raden Sukarama memerintah
Negara Daha, menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha
kepada cucunya yang bernama Raden Samudera. Akan tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh
ketiga anak Raden Sukarama yaitu Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung. Setelah Raden
Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung merebut kekuasaaan dari pewaris yang sah yaitu
Raden samudera dan merebut tahta kekuasaan Negara Daha.

Raden Samudera sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah
hilir sungai barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu.
Kampung orang melayu itu disebut kampung oloh masih yang artinya kampung orang
melayu pimpinan Pati Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota
banjarmasih karena ramainya perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang
menetap. Dalam pelarian politiknya, raden Samudera melihat potensi Banjarmasih dengan
sumber daya manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat,
yaitu Negara Daha. Kekuatan Banjarmasih untuk melakukan perlawaann terhadap Negara
Daha akhirnya mendapat pengakuan formal setelah komunitas melayu mengangkat Raden
Samudera sebagai kepala Negara.

Pengangkatan ini menjadi titik balik perjuangan Raden Samudera. Terbentuknya


kekuatan politik baru di banjarmasih, sebagai kekuatan politik tandingan bagi Negara Daha
ini menjadi media politik bagi Raden Samudera dalam usahanya memperoleh haknya sebagai
Raja di Negara Daha, sedangkan bagi orang Melayu merupakan media mereka untuk tidak
lagi membayar pajak kepada Negara Daha.
Setelah menjadi Raja di Banjarmasih, Raden Samudera dianjurkan oleh Patih Masih
untuk meminta bantuan Kerajaan Demak. Permintaan bantuan dari Raden Samudera diterima
oleh Sultan Demak, dengan syarat Raden Samudera beserta pengikutnya harus memeluk
agama Islam. Syarat tersebut disanggupi Raden Samudera dan Sultan Demak mengirimkan
kontingennya yang dipimpin oleh Khatib Dayan. Setibanya di Banjarmasih, kontingen
Demak bergabung dengan pasukan dari Banjarmasih untuk melakukan penyerangan ke
Negara Daha di hulu sungai Barito. Setibanya di daerah yang bernama Sanghiang Gantung,
pasukan Bandarmasih dan Kontingen Demak bertemu dengan Pasukan Negara daha dan
pertempuran pun terjadi. Pertempuran ini berakhir dengan suatu mufakat yang isinya adalah
duel antara Raden samudera dengan Pangeran Tumenggung. Dalam duel itu, Raden
Samudera tampil sebagai pemenang dan pertempuran pun berakhir dengan kemenangan
banjarmasih.

Setelah kemenangan dalam pertempuran, Raden Samudera memindahkan Rakyat


Negara Daha ke Banjarmasih dan Raden Samudera dikukuhkan sebagai Kepala negaranya.
Pembauran penduduk Banjarmasih yang terdiri dari rakyat Negara Daha, Melayu, Dayak dan
orang jawa (kontingen dari Demak) menggambarkan bersatunya masyarakat di bawah
pemerintahan Raden Samudera. Pengumpulan penduduk di banjarmasih menyebabkan daerah
ini menjadi ramai, ditambah letaknya pada pertemuan sungai barito dan sungai martapura
menyebabkan lalu lintas menjadi ramai dan terbentuknya hubungan perdagangan. Raden
Samudera akhirnya menjadikan Islam sebagai agama negara dan rakyatnya memeluk agama
Islam. Gelar yang dipergunakan oleh Raden Samudera sejak saat itu berubah menjadi Sultan
Suriansyah. Kerajaan Banjar pertama kali dipimpin oleh Sultan Suriansyah ini.

Gambar : Mesjid yang didirikan Sultan Suriansyah di Kuin

WILAYAH KERAJAAN BANJAR

Kerajaan Banjar semakin berkembang dan lama kelamaan luas wilayahnya semakin
bertambah. Kerajaan ini pada masa jayanya membentang dari banjarmasin sebagai ibukota
pertama, dan martapura sebagai ibukota pengganti setelah banjarmasin direbut belanda,
daerah tanah laut, margasari, amandit, alai, marabahan, banua lima yang terdiri dari Nagara,
Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua serta daerah hulu sungai barito. Kerajaan semakin
diperluas ke tanah bumbu, Pulau Laut, Pasir, Berau dan kutai di panati timur. Kotawaringin,
Landak, Sukadana dan sambas di sebelah barat. Semua wilayah tersebut adalah Wilayah
Kerajaan Banjar (yang apabila dilihat dari peta zaman sekarang, Kerajaan Banjar menguasai
hampir seluruh wilayah kalimantan di 4 provinsi yang ada). Semua wilayah tersebut
membayar pajak dan upeti. Semua daerah tersebut tidak pernah tunduk karena
ditaklukkan,tetapi karena mereka mengakui berada di bawah Kerajaan Banjar, kecuali daerah
pasir yang ditaklukkan pada tahun 1663

gambar : muara sungai kuin yang dulunya dekat dengan ibukota kerajaan banjar

RAJA-RAJA KERAJAAN BANJAR

Kerajaan Banjar yang berdiri pada 24 september 1526 sampai berakhirnya perang
Banjar yang merupakan keruntuhan kerajaan Banjar memiliki 19 orang raja yang pernah
berkuasa. Sultan pertama kerajaan Banjar adalah Sultan Suriansyah (1526 - 1545), beliau
adalah raja pertama yang memeluk Agama Islam. Raja terakhir adalah Sultan Mohammad
Seman (1862 - 1905), yang meninggal pada saat melakukan pertempuran dengan belanda di
puruk cahu.

Sultan Suriansyah sebagai Raja pertama mejadikan Kuin Utara sebagai pusat
pemerintahan dan pusat perdagangan Kerajaan Banjar. Sedangkan Sultan Mohammad Seman
berkeraton di daerah manawing - puruk cahu sebagai pusat pemerintahan pelarian.

Berikut adalah rincian Raja-raja Kerajaan Banjar sejak berdirinya kerajaan hingga
runtuhnya kerajaan itu :

1526 - 1545 :
Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama yang memeluk
Islam
1545 - 1570 :
Sultan Rahmatullah
1570 - 1595 :
Sultan Hidayatullah
1595 - 1620 :
Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan
inilah yang memindahkan Keraton Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin yang
hancur diserang Belanda pada Tahun 1612
1620 - 1637 :
Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah
1637 - 1642 :
Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah
1642 - 1660 :
Adipati Halid memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah,
Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa
1660 - 1663 :
Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran Adipati
Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan kekuasaan ke
Banjarmasin=
1663 - 1679 :
Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan Ke
Banjarmasin bergelar Sultan Agung
1679 - 1700 :
Sultan Tahlilullah berkuasa
1700 - 1734 :
Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning
1734 - 1759 :
Pangeran Tamjid bin Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah
1759 - 1761 :
Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
1761 - 1801 :
Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa
tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah
1801 - 1825 :
Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah
1825 - 1857 :
Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman
1857 - 1859 :
Pangeran Tamjidillah
1859 - 1862 :
Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu'mina
1862 - 1905 :
Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar

Setelah dikalahkannya Sultan Muhammad Seman oleh Belanda pada tahun 1905,
praktis seluruh wilayah Kerajaan banjar jatuh ke tangan Belanda dan Kerajaan Banjar runtuh.
Akan tetapi semangat yang dikobarkan pejuang perang Banjar melalui sumpah perjuangan
"haram manyarah waja sampai kaputing" benar-benar memberikan semangat untuk
mempertahankan Kerajaan Banjar. Walaupun akhirnya jatuh ke tangan belanda juga, kita
mesti menghargai perjuangan para pejuang yang telah mengorbankan segalanya untuk
mempertahankan Kerajaan Banjar. Kota Banjarmasin yang sekarang adalah bukti sejarah
hasil perjuangan Sultan Suriansyah dan pengikutnya.

Gambar : Kota Banjarmasin Sekarang ini


Kesultanan Banjar
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi,


cari
Kesultanan Banjar

Wilayah terakhir Kesultanan Banjar antara tahun 1826-1860,


wilayah selebihnya adalah wilayah yang diserahkan kepada VOC
Belanda oleh Sultan Banjar. Wilayah Banjar yang lebih kuno
terbentang dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru[1][2][3]

Berdiri 1520-1860

Didahului oleh Kerajaan Negara Daha

Digantikan oleh Pagustian

Ibu kota Kuin, Banjarmasin (1520)


Pemakuan (1612)[4]
Tambangan/Batang Banyu Mangapan
(1622)
Martapura (1632)
Sungai Pangeran, Banjarmasin (1663)
Kayu Tangi (1680)
Bumi Kencana (1771)[5] atau Bumi
Selamat (1806)[6]
Sungai Mesa, Banjarmasin(1857)
Baras Kuning (1865)

Bahasa Banjar
Agama Islam Sunni mazhab Syafi'i (resmi)[7]
Kaharingan
Konghucu
Nasrani

Pemerintahan Monarki
-Sultan pertama Sultan Suriansyah (1526-1550)
-Sultan terakhir Sultan Muhammad Seman (1862-1905)

Gambar kraton Sejarah


Banjarmasin di tahun -Didirikan 1520, masuk Islam 1526
1859 -Zaman kejayaan 1526-1787
-Protektorat VOC sejak 1787
-Krisis suksesi 1857
-Akhir pemerintahan darurat 1905[8]

Catatan (1526-1548 sebagai bawahan Demak)

Profil Bangsawan Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Museum Lambung Mangkurat.
Profil gadis Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Museum Lambung Mangkurat.

Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin[9][10][11][12][13][14][15][16] (berdiri 1520,


masuk Islam 24 September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860, pemerintahan
darurat/pelarian berakhir 24 Januari 1905) adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini
termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota
di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar).
Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.

Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan


Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu
kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan
Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.

Daftar isi
 1 Sejarah
 2 Masa kejayaan
 3 Wilayah Kesultanan Banjar
 4 Sistem Pemerintahan
 5 Sultan Banjar
 6 Rujukan
 7 Pranala luar
 8 Catatan kaki

Sejarah
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama
adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai
dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang
menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba
yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan
dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Jawa (Majapahit)[17]
sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu
peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota
Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi
Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan
Widianto, 1998:19-20).

Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan
Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di
Kalimantan Timur.

Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa
bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali
(Sang Kuala), raja-raja Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang
merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata.[18][19]

Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan Selatan telah berdiri suatu
pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini
digabungkan ke dalam Hindia Belanda sejak 11 Juni 1860, yaitu :

1. Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan


2. Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
3. Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
4. Keraton III disebut Kesultanan Banjar
5. Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
6. Keraton V disebut Pagustian

Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya
Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera
adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Sukarama. Wasiat tersebut
menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para Pangeran juga
berambisi sebagai pengganti Sukarama yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan
Pangeran Tumenggung. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi putra Sukarama
menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra
Sukarama. Raden Samudera sebagai kandidat raja dalam wasiat Sukarama terancam
keselamatannya, tetapi berkat pertolongan Arya Taranggana, mangkubumi kerajaan Daha, ia
berhasil lolos ke hilir sungai Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih (Kepala
Kampung Banjarmasih) dan dijadikan raja Banjarmasih sebagai upaya melepaskan diri dari
Kerajaan Negara Daha dengan mendirikan bandar perdagangan sendiri dan tidak mau lagi
membayar upeti. Pangeran Tumenggung, raja terakhir Kerajaan Negara Daha akhirnya
menyerahkan regalia kerajaan kepada keponakannya Pangeran Samudera, Raja dari
Banjarmasih. Setelah mengalami masa peperangan dimana Banjar memiliki empat laksa
(40.000) prajurit setelah mendapat tambahan pasukan dari daerah-daerah pesisir Kalimantan
dan Kesultanan Demak. Pada masa kejayaannya Kesultanan Demak memiliki 1000 jung yang
masing-masing memuat 400 prajurit.[20]) Hasil akhirnya kekuasaan kerajaan beralih kepada
Pangeran Samudera yang menjadi Sultan Banjar yang pertama, sementara Pangeran
Tumenggung mundur ke daerah Alay di pedalaman dengan seribu penduduk.

Tomé Pires melaporkan bahwa Tanjompure (Tanjungpura/Sukadana) dan Loue (Lawai)


masing-masing kerajaan tersebut dipimpin seorang Patee (Patih). Patih-patih ini tunduk
kepada Patee Unus, penguasa Demak. [21]. Kemungkinan besar penguasa Sambas dan
Banjarmasin juga telah ditaklukan pada masa pemerintahan Sultan Demak Pati
Unus/Pangeran Sabrang Lor (1518-1521) sebelum penyerbuan ke Malaka.

Masa kejayaan
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan
lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau
Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar
membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus
Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk
menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal
karena mendapat perlawanan yang sengit. [22]

Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa
dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik
(1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram
kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya
dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan
Sukadana tahun 1622.[23]

Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer
dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim
Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan
Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai
vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.[24][25][26][27]

Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi
karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada
lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat
dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh
yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi
kebudayaan Jawa.

Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga


harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram
mengadakan perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun.[22]Perang
Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan
kesultanan Gowa ke Banjarmasin.[28] Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut
doit.[29]

Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar
meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan
dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur
berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah
pecahannya, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai
gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar,
termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.

Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan.[30] Sultan Banjar


menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.[31]

Wilayah Kesultanan Banjar


Wilayah Kesultanan Banjar Raya adalah negeri-negeri yang menjadi wilayah pengaruh
mandala Kesultanan Banjar khususnya sampai pertengahan abad ke-17 dan abad
sebelumnya.[32][33][34][35][36]
Kesultanan Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan dengan
wilayah inti meliputi 5 distrik besar di Kalimantan Selatan yaitu Kuripan (Amuntai), Daha
(Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum
(Tanjung).[37] Sejak awal abad ke-16 berdirilah Kesultanan Banjar yang bertindak sebagai
wakil Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah penerus Majapahit.
Menurut Hikayat Banjar sejak zaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk
mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas
(Kerajaan Sambas kuno) sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan
(Banjar Kulan/Buranun). Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung
dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada
kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya terdapat 3 suku besar Dayak yaitu Dayak Biaju,
Dayak Dusun dan Dayak Pari (Ot Danum) yang merupakan bagian dari rakyat kerajaan
Banjar. Kesultanan Brunei merupakan kesultanan yang pertama di pulau Kalimantan, dan
kemudian disusul berdirinya Kesultanan Banjar tahun 1526. Kedua kesultanan merupakan
saingan. Kesultanan Brunei menjadi penguasa tunggal di wilayah utara Kalimantan. Pada
masa kejayaannya Kesultanan Banjar mampu menyaingi kekayaan Kesultanan Brunei dan
menarik upeti kepada raja-raja lokal. Suku/bangsa Banjar merupakan kelompok masyarakat
Melayu yang terbanyak di Kalimantan, bahkan jika dibandingkan dengan suku Brunei.
Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada abad ke-16 dan ke-17, yang pada masa itu
belum banyak suku pendatang yang mendominasi seperti saat ini seperti suku Jawa, Bugis,
Mandar, Arab dan Cina.

Teritorial kerajaan Banjar pada abad ke 15-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini
tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :

1. Negara Agung
2. Mancanegara
3. Daerah Pesisir (daerah tepi/daerah terluar)

Pada mulanya ibukota Kesultanan Banjar adalah Banjarmasin kemudian pindah ke


Martapura.[38] Pada masa kejayaannya, wilayah yang pernah diklaim sebagai wilayah
pengaruh mandala kesultanan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan
berakhir pada titik luar dari negeri Sambas di barat laut sampai ke negeri Karasikan (Banjar
Kulan/Buranun) di timur laut yang letaknya jauh dari pusat kesultanan Banjar. Negeri
Sambas dan Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) pernah mengirim upeti kepada raja Banjar.
Selain itu dalam Hikayat Banjar juga disebutkan negeri-negeri di Batang Lawai, Sukadana,
Bunyut (Kutai Hulu) dan Sewa Agung/Sawakung).[24] Negeri-negeri bekas milik Tanjungpura
yaitu Sambas, Batang Lawai, dan Sukadana terletak di sebelah barat Tanjung Sambar. Pulau
Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo), Tanjungpura
(Sukadana) dan Banjarmasin. Tanjung Sambar merupakan perbatasan kuno antara wilayah
mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah
Kotawaringin). Menurut sumber Inggris, Tanjung Kanukungan (sekarang Tanjung
Mangkalihat) adalah perbatasan wilayah mandala Banjarmasin dengan wilayah mandala
Brunei, tetapi Hikayat Banjar mengklaim daerah-daerah di sebelah utara dari Tanjung
Kanukungan/Mangkalihat yaitu Kerajaan Berau kuno juga pernah mengirim upeti kepada
Kerajaan Banjar Hindu, dan sejarah membuktikan daerah-daerah tersebut dimasukkan dalam
wilayah Hindia Belanda. [39][40]Perbatasan di pedalaman, daerah aliran sungai Pinoh (sebagian
Kabupaten Melawi) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)
yang dinamakan daerah Lawai[41] Sanggau dan Sintang juga dimasukan dalam wilayah
pengaruh mandala Kesultanan Banjar. Dari bagian timur Kalimantan sampai ke Tanjung
Sambar terdapat beberapa distrik/kerajaan kecil yang berada di bawah pengaruh mandala
kekuasaan Sultan Banjar yaitu Berau, Kutai, Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tatas, Dusun
Hulu, Dusun Ilir, Bakumpai, Dayak Besar (Kahayan), Dayak Kecil (Kapuas Murung),
Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin. Inilah yang disebut "negara Kerajaan
Banjar". Daerah-daerah kekuasaan Sultan Banjar yang paling terasa di Paser, Tanah Bumbu,
Tanah Laut, Bakumpai dan Dusun.[42] Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam
wilayah Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar kepulauan Kalimantan,
walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.[43]

Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M
hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang
menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh
pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang
merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah
Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan
Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah
Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M
dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei
melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga
seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau
membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai /
dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya
diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah
Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar
Kamaluddin).

Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat
dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan
batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan
Sultan Banjar.

 Sejak ibukota dipindahkan ke Daerah Martapura[44] maka kota Martapura sebagai Kota Raja
merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.

 Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari :

1. Tanah Laut atau Laut Darat terdiri :


1. Satui
2. Tabunio. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
3. Maluka, daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu Maluka, Liang
Anggang, Kurau dan Pulau Lamai.
2. Daerah Banjar Lama/Kuin (Banjarmasin bagian Utara) dan Pulau Tatas (Banjarmasin bagian
Barat). Tahun 1709[45][46] atau Tahun 1747 Belanda mendirikan benteng di Pulau Tatas
(Banjarmasin bagian barat) merupakan daerah yang mula-mula dimiliki VOC_Belanda.[47]
Pulau Tatas termasuk daerah yang diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787,
selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei
1826, sedangkan Banjar Lama (Kuin) sampai perbatasan daerah Margasari masih tetap
sebagai wilayah kesultanan sampai 1860.
3. Margasari. Wilayah kerajaan sampai 1860.
4. Banua Ampat artinya banua nang empat yaitu Banua Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan
Banua Gadung. Wilayah kesultanan sampai 1860.
5. Amandit. Wilayah kerajaan sampai 1860.
6. Labuan Amas. Wilayah kerajaan sampai 1860.
7. Alay. Wilayah kerajaan sampai 1860.
8. Banua Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan
Kalua. Wilayah kerajaan sampai 1860.
9. Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari kuala Anzaman ke hilir sampai kuala
Lupak. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826 bersama daerah Pulau Burung.
10. Tanah Dusun yaitu dari kuala Marabahan sampai hulu sungai Barito. Pada 13 Agustus 1787,
Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip (Dusun Hilir) dan
Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap termasuk daalam wilayah inti
Kesultanan Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.

 Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua daerah ini merupakan
wilayah asal Kesultanan Banjar sebelum pemekaran yang terdiri dari :
o Wilayah Barat yaitu wilayah Tanah Kotawaringin dan Tanah Dayak (Biaju) yaitu
meliputi daerah Kerajaan Kotawaringin (dengan distrik-distriknya: Jelai dan Kumai),
Pembuang, Sampit, Mendawai serta daerah milik Kotawaringin di Kalbar yang dihuni
Dayak Ot Danum yaitu Lawai atau Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) yang letaknya
bersebelahan dengan kawasan udik sungai Katingan/Mendawai dan berbatasan
dengan Kerajaan Sintang. Perbatasan Kerajaan Kotawaringin dengan Kerajaan
Sukadana/Matan terletak di Tanjung Sambar. Juga turut diklaim wilayah Tanah
Dayak (Rumpun Ot Danum), yang berpusat mandala di udik sungai Kahayan
(Tumbang Anoi) yaitu daerah-daerah suku Dayak Biaju dan Dayak Pari (Ot Danum)
beserta semua daratan yang takluk kepadanya. Semua distrik-distrik di wilayah
Tanah Kotawaringin dan Tanah Dayak diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13
Agustus 1787. Secara resmi daerah-daerah Dayak pedalaman tersebut diduduki
Belanda sejak Perjanjian Tumbang Anoi pada Tahun 1894.
o Wilayah Timur (Kalimantan Tenggara) : yaitu Tanah Paser dan Tanah Bumbu.
Kerajaan Paser didirikan oleh seorang panglima Kerajaan Banjar atau Kuripan-Daha,
sehingga sejak semula takluk kepada Kesultanan Banjar, namun belakangan berada
di bawah pengaruh La Madukelleng. Tahun 1703 Tanah Paser berubah dari
pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, daerah ini diserahkan kepada
Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan dimulai pada masa Sultan Paser Sultan
Mahmud Han menjalin kontrak politik dengan Hindia Belanda. Kerajaan Tanah
Bumbu didirikan Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah, yang pada mulanya
mencakup kawasan mulai Tanjung Aru sampai Tanjung Silat, belakangan wilayah
intinya terutama terdiri atas 7 divisi: Cengal (Pamukan), Manunggul, Sampanahan,
Bangkalaan (Kelumpang), Cantung, Buntar-Laut dan Batulicin. Pada bulan Juli 1825,
Raja Aji Jawi, penguasa Tanah Bumbu yang memiliki 6 daerah (Cengal, Manunggul,
Sampanahan, Bangkalaan, Cantung, Buntar-Laut) membuat kontrak politik dengan
Hindia-Belanda yang menjadikan Tanah Bumbu sebagai swapraja. Tahun 1841,
negeri Sampanahan di bawah Pangeran Mangku Bumi (Gusti Ali) menjadi swapraja
terpisah dari wilayah Tanah Bumbu lainnya. Tahun 1846 Buntar-Laut
dianeksasi/diintegrasikan oleh penguasa Cantung yang kelak menjadi swapraja
tersendiri terpisah dari wilayah Tanah Bumbu di bawah Raja Aji Mandura sebagai
Raja Cantung dan Buntar-Laut. Negeri Batulicin di bawah Pangeran Aji Musa,
kemudian digantikan puteranya Pangeran Abdul Kadir yang kelak mendapatkan
negeri Kusan dan Pulau Laut. Kerajaan Kusan pada mulanya didirikan Sultan Amir bin
Sultan Muhammadillah rival Sunan Nata Alam dalam memperebutkan tahta
Kesultanan Banjar. Sultan Banjar melantik Hasan La Pangewa sebagai kapten suku
Bugis bergelar Kapitan Laut Pulo sebagai penguasa Pagatan setelah ia berhasil
mengusir Sultan Amir dari Kerajaan Kusan. Di masa Arung Botto, Raja Pagatan
menjalin kontrak sebagai swapraja di bawah Hindia Belanda. Belakangan wilayah
Kusan digabung dengan Tanah Pagatan dan kemudian Hindia Belanda membentuk
pula swapraja Sabamban. Wilayah Kalimantan Tenggara ini diserahkan kepada VOC-
Belanda pada 13 Agustus 1787, ditegaskan lagi pada tahun 1826. Pada akhir abad
ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan
11 swapraja yang meliputi Kesultanan Paser dan wilayah Tanah Bumbu (Sabamban,
Kusan, Pagatan, Batu Licin, Pulau Laut dengan Pulau Sebuku, Bangkalaan, Cantung
dengan Buntar-Laut, Sampanahan, Manunggul, Cengal). Semua kerajaan ini
termasuk ke dalam Borneo Timur di bawah Asisten Residen yang berkedudukan di
Samarinda sejak tahun 1846.

 Teritorial/ring keempat, adalah Pesisir yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan kedua
wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi
Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I dengan VOC pada
20 Oktober 1756 yang berencana untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang
melepaskan diri yaitu Sanggau, Sintang, Lawai, Paser, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri
dari :
o Pesisir Timur disebut tanah yang di atas angin meliputi kawasan timur Kalimantan
dan jika digabung dengan kawasan selatan Kalimantan menjadi Karesidenan
Afdeeling Selatan dan Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda.[48]
Kerajaan-kerajaan di Kaltim tergolang sebagai negara dependen di dalam Kesultanan
Banjar.[49]

1. Wilayah Tanah Kutai. Tahun 1735 Kerajaan Kutai Kartanegara berubah dari pemerintahan
Pangeran Adipati menjadi kesultanan. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus
1787 dan 4 Mei 1826. Tahun 1844 Sultan Kutai mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
2. Wilayah Tanah Berau/Kuran (sejak 1810-an terbagi menjadi Gunung Tabur dan Tanjung)
beserta daerah Berau yang melepaskan diri pada abad ke-18 dan bawah pengaruh
Kesultanan Sulu (& Brunei) yaitu Tanah Bulungan dan Tanah Tidung. Diserahkan kepada
Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.
3. Wilayah terluar di timur yang telah lama melepaskan diri dan kemudian di bawah pengaruh
Brunei yaitu Karasikan atau Buranun/Banjar Kulan (Banjar Kecil).[50][51][52][40][5][53][54]


o Pesisir Barat disebut tanah yang di bawah angin meliputi kawasan barat Kalimantan
yang kemudian menjadi Karesidenan Borneo Barat pada masa kolonial Hindia
Belanda.

1. Wilayah Batang Lawai atau sungai Kapuas (Tanah Sanggau, Tanah Sintang dan Tanah
Lawai).[55] Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi
dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara ke laut Jawa
dilanjutkan perjalanan laut dekat sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan Sintang mulai
diperintah Dinasti Majapahit semenjak pernikahan Patih Logender dari Majapahit dengan
Dara Juanti (Raja Sintang ke-9). Tahun 1600 Raja Sintang mengirim utusan ke Banjarmasin
untuk menyalin kitab suci Al-Quran. Kerajaan Sintang dan Mlawai (Kabupaten Melawi) dan
Jelai termasuk daerah yang diserahkan oleh Sultan Adam kepada Hindia Belanda pada 4 Mei
1826. Mlawai sebelumnya termasuk daerah-daerah yang diserahkan oleh Sunan Nata Alam
kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Sedangkan Tanah Sanggau ditaklukan dan
berada di bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak.
2. Wilayah Tanah Sukadana (sebagian besar Kalbar)[56] Kerajaan Sukadana/Tanjungpura
diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kerajaan Sukadana menjadi vazal sejak era Kerajaan
Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustaka dengan Putri Gilang (Dayang
Gilang) cucu Sultan Mustainbillah maka sebagai hadiah perkawinan Sukadana/Matan
dibebaskan dari membayar upeti.[24] Saat itu Raja Sukadana memiliki bisnis dan tinggal di
Banjarmasin dan termasuk anggota Dewan Mahkota. Pada tahun 1622, kerajaan Sukadana
berubah dari pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, selanjutnya Panembahan Giri
Mustaka bergelar Sultan Muhammad Safi ad-Din. Pada tahun 1661 Sukadana/Matan terakhir
kalinya Sukadana mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar. Di bawah pemerintahan Sultan
Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan
Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal Kesultanan Banten setelah mengalami
kekalahan dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak dibantu Banten
& VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah
Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada 26 Maret 1778,
kemudian diserahkan oleh VOC di bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak, karena
itu gelar Sultan untuk penguasa Sukadana/Matan diubah menjadi Panembahan[57]
3. Wilayah terluar di barat adalah Tanah Sambas. Menurut Hikayat Banjar, sejak era
pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan
terakhir kalinya Dipati Sambas (Panembahan Sambas) mengantar upeti dua biji intan yang
besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan (1595-
1642).[58][59][24] Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-
Belanda. Intan Si Misim kemudian dipersembahkan oleh Sultan Banjar kepada Sultan Agung,
raja Mataram pada bulan Oktober tahun 1641 yang merupakan persembahan (bukan upeti)
terakhir yang dikirim kepada pemerintahan di Jawa (Kesultanan Mataram).[60][61][62] Semula
Kerajaan Sambas diperintah oleh Dinasti Majapahit yang bergelar Pangeran
Adipati/Panembahan Sambas, selanjutnya mulai tahun 1675 Tanah Sambas diperintah oleh
Dinasti Brunei dan berubah menjadi kesultanan bernama Kesultanan Sambas. Tahun 1855
Sambas digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan Sambas,
yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.[63]

Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan


kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama
sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja
pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya
Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke
negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu
Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan
orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari
Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di
bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC
menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan
berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri
kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk
meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada
Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam
pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada
tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana
raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826
diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam,
berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka
Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota
dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang
kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.

Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada
tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah,
perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran
Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya.
Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar
dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar
mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah
Leenstaat, atau negeri pinzaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan
keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan
beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah : [64]

1. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan
Belanda.
2. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian
dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah milik Hindia Belanda
seperti tersebut dalam Pasal 4 :
1. Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
2. Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
3. Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan sungai-
sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
4. Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai
Lumbah.
5. Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala
Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
6. Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip
sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
7. Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala
Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
8. Tanah Mandawai.
9. Sampit
10. Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya
11. Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
12. Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur sampai
batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku,
Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai
perbatasan dengan Tanah Pagatan.
13. Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau
semuanya dengan yang takluk padanya.
3. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
4. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari
dalam negeri.
5. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada
Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu
menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
1. Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
2. Padang Bajingah
3. Padang Penggantihan
4. Padang Munggu Basung
5. Padang Taluk Batangang
6. Padang Atirak
7. Padang Pacakan
8. Padang Simupuran
9. Padang Ujung Karangan
6. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan
sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual
pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.

Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar
sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah
hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap
berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar
dihapuskan dan digantikan pemerintahan regent yang berkedudukan masing-masing di
Martapura (Pangeran Jaya Pemenang) dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat
istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga meninggalnya Pangeran Suria Winata,
Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1884.

Sistem Pemerintahan
1. Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
2. Putra Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
3. Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah Mangkubumi :
Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri
Sikap memiliki 40 orang pengawal.
4. Lalawangan : kepala distrik, kedudukannya sama seperti pada masa Hindia Belanda.
5. Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
6. Mandung dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
7. Mamagarsari : Pengapit raja duduk di Situluhur
8. Parimala : Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
9. Sarageni dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng,
badik, parang, badil, meriam dll.
10. Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
11. Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman dan pedusunan
12. Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
13. Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi,
kesejahteraan
14. Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
15. Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
16. Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara
17. Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri,
dengan persetujuan Sultan.
18. Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
19. Singabana : Kepala ketenteraman umum.

Jabatan-jabatan pada masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri :

1. Mangkubumi
2. Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
3. Mantri Jaksa
4. Tuan Panghulu
5. Tuan Khalifah
6. Khatib
7. Para Dipati
8. Para Pryai

 Masalah-masalah agama Islam dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang


memimpin pembicaraan, dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah
dan Penghulu.
 Masalah-masalah hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan
dengan anggota terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
 Masalah tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
 Dalam hierarki struktur negara, dibawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa.
Urutan dalam suatu sidang negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa.
Urutan kalau Raja berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa.
Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah
keagamaan, sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
 Para Dipati, terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka
adalah kedua setelah Mangkubumi.

Sistem pemerintahan mengalami perubahan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq
Billah. Perubahan itu meliputi jabatan :
1. Mufti : hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
2. Qadi : kepala urusan hukum agama Islam
3. Penghulu : hakim rendah
4. Lurah : langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan
beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
5. Pambakal : Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
6. Mantri : pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada
yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
7. Tatuha Kampung : orang yang terkemuka di kampung.
8. Panakawan : orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan
kewajiban.

 Sebutan Kehormatan
o Sultan, disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan
o Gubernur Jenderal VOC : Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal.
o Permaisuri disebut Ratu jika keturunan bangsawan atau Nyai Ratu jika berasal dari
kalangan biasa, sedangkan para selir disebut Nyai.
o Anak laki-laki raja bergelar Gusti (= Raden/Raden Aria pada zaman Hindu & awal
Islam), dan jika anak permaisuri akan mendapat gelar Pangeran dan jika menjabat
Dipati mendapat gelar berganda menjadi Pangeran Dipati. Para Pangeran keturunan
Sultan yang memerintah menurunkan gelar "Gusti" ini kepada keturunannya baik
anak lelaki maupun wanita. Para Gusti (lelaki) yang sudah jauh garis keturunannya
dengan Sultan yang memerintah hanya menurunkan gelar Gusti hanya kepada anak
lelaki.
o Anak perempuan raja bergelar Gusti (= Raden Galuh pada zaman Hindu), jika anak
permaisuri akan mendapat gelar Putri dan setelah menikah mendapat gelar Ratu.
o Andin, menurut Tutur Candi gelar tersebut untuk keturunan kerajaan Negara Daha
yang telah dikalahkan oleh Sultan Suriansyah dan tidak diperkenankan lagi memakai
gelar Pangeran.
o Antung, gelar untuk putera/puteri dari wanita "Gusti" yang menikah dengan orang
kalangan biasa. Antung setara dengan gelar Utin (wanita) di Kotawaringin.
o Seorang lelaki dari kalangan biasa yang menikah dengan puteri Sultan, akan
mendapat gelar Raden. Raden juga merupakan gelar bagi pejabat birokrasi dari
golongan Nanang/Anang misalnya gelar Raden Tumenggung, yang selanjutnya
meningkat menjadi Raden Dipati. Menurut Hikayat Banjar, gelar Nanang diberikan
untuk kalangan keluarga Ampu Jatmika yang disebut Kadang Haji (haji= raja),
sedangkan keluarga isteri Ampu Jatmika tidak mendapat gelar tersebut atau juga
diberikan kepada lelaki dari kalangan biasa yang menikah dengan puteri Sultan
misalnya Nanang Sarang (digunakan pada abad ke-17).
o Seorang lelaki keturunan Arab yang menikah dengan puteri Sultan akan mendapat
gelar Pangeran Serip (Syarif), sedangkan puteri Sultan tersebut menjadi isteri
permaisuri disebut Ratu Serip (Ratu Syarif).[65]

Sultan Banjar
Berikut ini adalah daftar figur=figur pemimpin yang memerintah di Kesultanan
Banjar.[66][67]

No. Masa Sultan Keterangan


* Raja Banjarmasih. Nama kecilnya Raden
Samudra, Raja Banjar pertama sebagai
perampas kekuasaan yang memindahkan
pusat pemerintahan di Kampung
Banjarmasih yang menggantikan pamannya
raja Pangeran Tumenggung (Raden
Panjang), menurutnya dia ahli waris yang
sah sesuai wasiat kakeknya Maharaja
1520-1546 Sultan Suriansyah Sukarama (Raden Paksa) dari Kerajaan
1
Negara Daha. Dibantu mangkubumi Aria
Taranggana.[24] Baginda memeluk Islam
pada 24 September 1526. Makamnya di
Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan
gelar anumerta Sunan Batu Habang. Dalam
agama lama, beliau dianggap hidup
membegawan di alam gaib sebagai
sangiang digelari Perbata Batu Habang.

* Raja Banjarmasih. Pemerintahannya


dibantu mangkubumi Aria Taranggana.
Sultan Rahmatullah bin Sultan [24]
1546-1570 Makamnya di Komplek Makam Sultan
2 Suriansyah
Suriansyah dengan gelar anumerta
Panembahan Batu Putih.

* Raja Banjarmasih. Pemerintahannya


dibantu mangkubumi Kiai Anggadipa.[24]
Makamnya di Komplek Makam Sultan
Suriansyah dengan gelar anumerta
Panembahan Batu Irang. Puteranya Raden
Sultan Sultan Hidayatullah I bin Bagus dilantik sebagai raja muda dengan
3 1570-1595
Rahmatullah gelar Ratu Bagus, belakangan Ratu Bagus
ditawan di Tuban oleh Sultan Mataram dan
baru dibebaskan pada masa Sultan Mustain
Billah. Trah keturunan Sultan Hidayatullah I
menjadi Datu-datu Taliwang dan Sultan-
sultan Sumbawa.

* Raja Banjarmasih/Raja Martapura. Nama


kecilnya Raden Senapati, diduga ia
perampas kekuasaan, sebab ia bukanlah
Sultan Mustain Billah bin Sultan anak dari permaisuri meskipun ia anak
4 1595-1638
Hidayatullah I tertua. Pemerintahannya dibantu
mangkubumi Kiai Jayanagara, dilanjutkan
sepupunya Kiai Tumenggung Raksanagara.
Gelar lain : Gusti Kacil/Pangeran
Senapati/Panembahan Marhum/Raja
Maruhum dan gelar yang dimasyhurkan
Marhum Panembahan. Beliau
memindahkan ibukota ke Martapura.[24]
Oleh Suku Dayak yang menghayati
Kaharingan baginda dianggap hidup
sebagai sangiang di Lewu Tambak Raja
dikenal sebagai Raja Helu Maruhum Usang.
Keturunannya menjadi Raja-raja Banjar dan
Kotawaringin.

* Raja Martapura. Gelarnya sebelum


menjadi Sultan adalah Pangeran Dipati
Tuha [ke-1]. Pemerintahannya dibantu
adiknya Pangeran di Darat sebagai
Sultan Inayatullah bin Sultan mangkubumi. Gelar lain : Ratu Agung/Ratu
5 1642-1647
Mustain Billah Lama dimakamkan di Kampung Keraton,
Martapura. Adiknya, Pangeran Dipati Anta-
Kasuma diangkat menjadi raja muda di
wilayah sebelah barat yang disebut
Kerajaan Kotawaringin

* Raja Martapura. Nama kecilnya Raden


Kasuma Alam. Pemerintahannya dibantu
mangkubumi pamannya Panembahan di
Darat, dilanjutkan pamannya Pangeran
Dipati Anta-Kasuma, terakhir dilanjutkan
paman tirinya Pangeran Dipati
Mangkubumi (Raden Halit).[24] Gelar lain :
Sultan Saidullah bin Sultan
6 1647-1660 Wahidullah/Ratu Anum/Ratu
Inayatullah
Anumdullah/Sultan Ratu. Sultan Ratu
memiliki dua putera yaitu Pangeran Suria
Angsa (Raden Bagus/Sultan Amrullah) dan
Pangeran Suria Negara (Raden
Basus/Pangeran Dipati Tuha).[68]
Keturunannya menjadi Raja-raja Banjar dan
Tanah Bumbu.

* Raja Martapura. Nama kecilnya Raden


Halit. Ia sebagai temporary king/badal
Sultan Ri'ayatullah bin Sultan menjadi pelaksana tugas bagi Raden Bagus,
7 1660-1663 Putra Mahkota yang belum dewasa.
Mustain Billah
Sebagai Penjabat Sultan dengan gelar resmi
dalam khutbah Sultan Rakyatullah (Rakyat
Allah). Pemerintahannya dibantu
mangkubumi keponakan tirinya Pangeran
Mas Dipati bin Pangeran Dipati Antasari.
Gelar lain : Pangeran Dipati
Tapasena/Pangeran
Mangkubumi/Panembahan
Sepuh/Tahalidullah/Dipati Halit. Pada
tahun 1663 ia dipaksa menyerahkan tahta
kepada kemenakannya Pangeran Dipati
Anom II/Sultan Agung yang berpura-pura
akan menyerahkan tahta kepada Putra
Mahkota Raden Bagus tetapi ternyata
untuk dirinya sendiri yang hendak menjadi
Sultan.[24]

* Nama kecilnya Raden Bagus. Masa


pemerintahannya sering ditulis tahun
1660-1700. Pada tahun 1660-1663 ia
diwakilkan oleh Sultan Rakyatullah dalam
menjalankan pemerintahan karena ia
belum dewasa. Pada tahun 1663 paman
tirinya Pangeran Dipati Anom II/Sultan
Sultan Amrullah Bagus Kasuma Agung merampas tahta dari Sultan
8 1663-1679
bin Sultan Saidullah Rakyatullah, yang semestinya dirinyalah
sebagai ahli waris yang sah sebagai Sultan
Banjar berikutnya. [24] Sementara itu ia
telah dilantik oleh Pangeran
Tapesana/Sultan Rakyatullah dengan gelar
Sultan Amrullah Bagus Kasuma. Tahun
1663-1679 ia sebagai raja pelarian yang
memerintah dari pedalaman (Alay)

* Raja Banjarmasih. Nama kecilnya Raden


Kasuma Lalana. Mengkudeta/mengambil
hak kemenakannya Raden Bagus sebagai
Sultan Banjar. Ia dengan bantuan suku
Biaju, memindahkan pusat pemerintahan
Sultan Agung/Pangeran ke Sungai Pangeran (Banjarmasin).
9 1663-1679 Suryanata II bin Sultan Pemerintahannya dibantu mangkubumi
Inayatullah Pangeran Aria Wiraraja, putera Pangeran
Ratu. Sebagai raja muda ditunjuk adik
kandungnya, Pangeran Purbanagara. Ia
berbagi kekuasaan dengan saudara
kakeknya Pangeran Ratu (Sultan
Rakyatullah) yang kembali memegang
pemerintahan Martapura sampai
mangkatnya pada 1666. Gelar lain :
Pangeran Dipati Anom II.[24]

* Raja Kayu Tangi. Ia sempat lari ke daerah


Alay (1663-1679) kemudian menyusun
kekuatan dan berhasil membinasakan
pamannya tirinya Sultan Agung beserta
anaknya Pangeran Dipati, kemudian naik
tahta kedua kalinya. Saudara tirinya Raden
Sultan Amrullah Bagus
Basus/Suria Negara/Pangeran Dipati Tuha
10 1679-1700 Kasuma/Suria Angsa/Saidillah
diangkat sebagai Raja daerah Negara, yang
bin Sultan Saidullah
kemudian membangun kerajaan Tanah
Bumbu dengan wilayah dari Tanjung Aru
sampai Tanjung Silat yang diperuntukan
bagi anaknya yaitu Pangeran Mangu, anak
lainnya Pangeran Citra menjadi Sultan
Kelua.

* Raja Kayu Tangi. Tahmidullah I memiliki


dua putera dewasa, yang tertua adalah
Sultan Tahmidullah Sultan Ilhamidullah/Sultan Kuning/Sultan
11 1700-1717 I/Panembahan Kuning bin Sultan Badarul Alam dan yang kedua Sultan
Amrullah Sepuh/Tamjidullah I.[69] [70] Sedangkan
penguasa daerah Negara dijabat oleh
Pangeran Mas Dipati[71]

* Raja Kayu Tangi. Ia adalah mangkubumi


Panembahan Kasuma dan adik sultan sebelumnya. Iparnya yang
12 1717-1730
Dilaga/Tahlilullah bernama Raden Jaya Negara dilantik
sebagai penguasa daerah Negara

* Raja Kayu Tangi. Gelar lain : Sultan Kuning


Sultan il-Hamidullah/Sultan atau Pangeran Bata Kuning.[72] Panglima
13 1730-1734
Kuning bin Sultan Tahmidullah I perang dari La Madukelleng menyerang
Banjarmasin pada tahun 1733

* Raja Kayu Tangi. Gelar lain: Sultan


Sepuh/Panembahan Badarulalam.[72] Raja
Kayu Tangi. Ia semula mangkubuminya
Sultan Tamjidullah I bin Sultan Sultan Kuning, kemudian setelah
14 1734-1759 mangkatnya Sultan Kuning, ia bertindak
Tahmidullah I
sebagai wali Putra Mahkota Pangeran
Muhammad Aliuddin Aminullah gelar Ratu
Anom yang belum dewasa. Tamjidullah I
yang bergelar Sultan Sepuh ini berusaha
Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti
garis keturunannya. Adiknya Pangeran
Nullah (Penembahan Hirang) dilantik
sebagai mangkubumi.[73] Tamjidullah I
mangkat 1767.

* Raja Kayu Tangi. Ia menggantikan


mertuanya Sultan Sepuh/Tamjidullah I
sebagai Sultan Banjar. Setelah itu mantan
Sultan Sepuh tidak lagi memakai gelar
Sultan tetapi hanya sebagai Panembahan.
Sebagai mangkubumi adalah Pangeran
Sultan Nata dengan gelar Ratu Dipati, putera
Muhammadillah/Muhammad Sultan Sepuh. Gelar lain : Sultan
15 1759-1761
Aliuddin Aminullah bin Sultan Il- Muhammadillah/Sultan
Hamidullah/Sultan Kuning Aminullah/Muhammad Iya'uddin
Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir
ulatie ketika mangkat anak-anaknya masih
belum dewasa, tahta kerajaan kembali
dibawah kekuasaan Tamjidillah I tetapi
dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata
Dilaga sebagai wali Putra Mahkota.

* Raja Kayu Tangi. Tahun 1771 ia


memindah ibukota ke Martapura yang
dinamakan Bumi Selamat. Semula sebagai
wali Putra Mahkota dengan gelar
Panembahan Kaharuddin Halilullah.
Pamannya yang bernama Pangeran Mas
menjadi mangkubumi dengan gelar Ratu
Anom Kasuma Yuda (mangkubumi Sultan
Tahmidullah II). Ratu Anom Kasuma Yuda
kemudian wafat dan digantikan Ratu Anom
Sunan Nata Alam bin Sultan Ismail atau Ratu Anom Mangkudilaga.[73]
16 1761-1801
Tamjidullah I Gelar lain : Sultan Tahmidullah II/Sunan
Nata Alam (1772)/Pangeran Nata
Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata
Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul
Mu'minin Abdullah(1762)/Sunan Sulaiman
Saidullah I(1787)/Panembahan Batu
(1797)/Panembahan Anom. Mendapat
bantuan VOC untuk menangkap Pangeran
Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah yang menuntut tahta dengan
bantuan Arung Trawe/Petta To Rawe
pimpinan suku Bugis-Paser yang
mengalami kegagalan, kemudian Pangeran
Amir menjalin hubungan dengan suku
Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni
Belanda 14 Mei 1787, kemudian diasingkan
ke Srilangka. Sebagai balas jasa kepada
VOC maka dibuat perjanjian 13 Agustus
1787 yang menyebabkan Kesultanan Banjar
menjadi vazal VOC atau daerah
protektorat, bahkan pengangkatan Sultan
Muda dan mangkubumi harus dengan
persetujuan VOC. Sultan Tahmidullah II
mempunyai saudara perempuan bernama
Ratu Laiya yang menikah dengan Sultan
Muhammad dari Sumbawa. [74]

* Ia membangun keraton di Karang Intan


(bekas Kayu Tangi dahulu) Ia mendapat
gelar Sultan Muda atau Pangeran Ratu
Sultan Sulaiman sejak tahun 1767 ketika
berusia 6 tahun. Dibantu oleh Pangeran
Mangku Dilaga dengan gelar Ratu Anom
Mangku Dilaga sebagai mangkubumi
(dihukum bunuh karena merencanakan
Sultan Sulaiman al- kudeta), dilanjutkan puteranya sendiri
17 1801-1825 Mutamidullah/Sultan Sulaiman Pangeran Husin dengan gelar Pangeran
Saidullah II bin Tahmidullah II Mangku Bumi Nata.[75] Sultan Sulaiman
digantikan anaknya Sultan Adam.
Keturunannya menjadi Sultan Banjar dan
raja-raja Kusan, Batulicin dan Pulau Laut.
Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris,
tetapi Inggris melepaskan kekuasaannya di
Banjarmasin. Kemudian Hindia Belanda
datang kembali ke Banjarmasin untuk
menegaskan kekuasaannya.

* Baginda mendapat gelar Sultan Muda


sejak tahun 1782. Pemerintahannya
dibantu adiknya Pangeran Noh dengan
Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin gelar Ratu Anom Mangkoeboemi Kentjana
18 1825-1857
Sultan Sulaiman al-Mutamidullah sebagai mangkubumi yang dilantik Belanda
pada 1842[76], dan Pangeran Abdur Rahman
sebagai Sultan Muda. Ketika mangkatnya
terjadi krisis suksesi dengan tiga kandidat
penggantinya yaitu Pangeran Prabu Anom,
Pangeran Tamjidullah II dan Pangeran
Hidayatullah II, Belanda sebelumnya sudah
mengangkat Tamjidullah II sebagai Sultan
Muda sejak 8 Agustus 1852 juga
merangkap jabatan mangkubumi dan
kemudian menetapkannya sebagai sultan
Banjar, sehari kemudian Tamjidullah II
menandatangani surat pengasingan
kandidat sultan lainnya pamannya sendiri
Pangeran Prabu Anom yang diasingkan ke
Bandung pada 23 Februari 1858. Tahun
1853 Sultan Adam sudah mengutus surat
ke Batavia agar pengangkatan Tamjidullah
II dibatalkan. Tahun 1855 Sultan Adam
melantik puteranya Pangeran Prabu Anom
sebagai Raja Muda. Sultan Adam sempat
membuat surat wasiat yang menunjuk
cucunya Hidayatullah II sebagai Sultan
Banjar penggantinya, inilah yang menjadi
dasar perlawanan segenap bangsawan
terhadap Hindia Belanda[77]

*Sejak 1851 ia dilantik Belanda sebagai


mangkubumi menggantikan Ratu Anom
Mangku Bumi Kencana yang meninggal
dunia, kemudian tahun 1852 menjadi
Sultan Muda menggantikan ayahnya
Pangeran Abdurrahman yang meninggal
dunia 5 Maret 1852, walaupun pelantikan
ini tidak disetujui kakeknya Sultan Adam.
Pada 3 November 1857 Tamjidullah II
Sultan Tamjidullah II al-Watsiq diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar,
Billah bin Pangeran Ratu Sultan padahal ia anak selir meskipun ia sebagai
19 1857-1859
Muda Abdur Rahman bin Sultan anak tertua dan kemudian Belanda
Adam mengangkat Hidayatullah II sebagai
mangkubumi. Ia memiliki tanah lungguh di
Kota Banjarmasin karena itu sebagian
rakyat dan ulama Banjarmasin
mendukungnya. Banjarmasin menurut
tradisi berada di bawah putera tertua
Sultan. Pengangkatan Tamjidullah II
ditentang segenap bangsawan karena
menurut wasiat semestinya Hidayatullah II
sebagai Sultan karena ia anak permaisuri.
Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda
memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan
Banjar kemudian mengirimnya ke Bogor.
Sultan Seman, mertua Tamjidullah II
ditangkap dan dihukum gantung dengan
empat orang pengikutnya dengan tuduhan
melakukan pemberontakan. Sebagai
pengganti jabatan Sultan Banjar yang
kosong, Belanda melantik komisi
pemerintahan kerajaan yang terdiri atas
Pangeran Surya Mataram dan Pangeran
Muhammad Tambak Anyar. Sementara
Sultan Muda menghindari penangkapan
Belanda melarikan diri ke pulau Sumatera.

* Nama kecilnya adalah Gusti Andarun,


kemudian sebagai mangkubumi ia
memakai gelar Pangeran Hidayatullah. Ia
dikenal sebagai Sultan tanpa mahkota.
Sesuai wasiat Sultan Adam ia sebagai
Sultan Banjar penggantinya. Pada 9
Oktober 1856 ia dilantik Belanda sebagai
mangkubumi tetapi diam-diam ia menjadi
oposisi Tamjidullah II, misalnya dengan
mengangkat Adipati Anom Dinding Raja
(Jalil) sebagai tandingan adipati Banua Lima
Kiai Adipati Danu Raja yang berada di pihak
Belanda/Sultan Tamjidullah II. Pangeran
Sultan Hidayatullah Khalilullah Hidayatullah II memiliki tanah lungguh
20 1859-1862 bin Pangeran Ratu Sultan Muda meliputi Alai, Paramasan, Amandit, Karang
Abdur Rahman bin Sultan Adam Intan, Margasari dan Basung. Perjuangan
Sultan Hidayatullah II dibantu oleh tangan
kanannya Demang Lehman yang
memegang pusaka kerajaan Keris Singkir
dan Tombak Kalibelah. [78] Ketika berada di
Banua Lima pada bulan September 1859, ia
dilantik di Amuntai oleh rakyat Banua Lima
sebagai Sultan Banjar, dan Pangeran Wira
Kasuma sebagai mangkubumi. Pelantikan
ini untuk memenuhi angan-angan rakyat
Banua Lima walaupun bersifat marjinal
karena pada dasarnya seluruh wilayah
berada dalam kekuasaan Belanda.
Penobatanya ini pada umumnya disetujui
pula oleh rakyat yang berada di Banua Lima
maupun di luar Banua Lima. Pada tanggal
11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen
mengumumkan penghapusan Kesultanan
Banjar yang kelak digantikan oleh
pemerintahan seorang regent untuk
wilayah Martapura yaitu Pangeran Jaya
Pamenang dan regent untuk Banua Lima
yaitu Raden Adipati Danu Raja. Sultan
Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa
dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur

* Raja Bakumpai. Pada 14 Maret 1862,


yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah
II diasingkan ke Cianjur, rakyat Tanah
Dusun memproklamasikan pengangkatan
Pangeran Antasari sebagai pimpinan
tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan
gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul
Pangeran Antasari bin Pangeran
Mukminin. Khalifah ini dibantu
Mashud bin Sultan Amir[79] bin
21 1862 Tumenggung Surapati sebagai panglima
Sultan Muhammad Aliuddin
perang. Pusat perjuangan di Menawing,
Aminullah
pedalaman sungai Barito, Murung Raya,
Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan
Nasional, wafat 11 Oktober 1862 di
kampung Sampirang, Bayan Begak, karena
penyakit cacar. Dimakamkan kembali 11
November 1958 di Komplek Makam
Pangeran Antasari, Banjarmasin.

* Raja Pagustian. Sebagai kepala


Pemerintahan Pagustian meneruskan
perjuangan ayahnya, Pangeran Antasari
melawan kolonial Belanda dengan dibantu
kakaknya Panembahan Muda/Gusti
Muhammad Said sebagai mangkubumi dan
Sultan Muhammad Seman bin Panglima Batur sebagai panglima perang. Ia
22 1862-1905 Pangeran Antasari Panembahan melantik menantunya Pangeran
Amiruddin Khalifatul Mukminin Perbatasari bin Panembahan Muhammad
Said sebagai Sultan Muda. Pangeran
Perbatasari tertangkap di daerah Pahu,
Kutai Barat dan dibuang ke Kampung Jawa
Tondano. Sultan Muhammad Seman
sempat mengirim Panglima Bukhari ke
Kandangan untuk mengadakan perlawanan
terhadap Belanda. Muhammad Seman
gugur pada 24 Januari 1905 ditembak
Belanda yang mengakhiri Perang Banjar
dan banyak para pahlawan pejuang yang
tertangkap, Pangeran Aminullah (menantu
Pangeran Prabu Anom) dibuang ke
Surabaya, Ratu Zaleha diasingkan ke Bogor,
keturunan Tumenggung Surapati yang
tertangkap diasingkan ke Bengkulu, dan
sebagai penerus Sultan Muhammad Seman
adalah Gusti Berakit. Negeri Banjar menjadi
sepenuhnya di bawah pemerintahan
Residen Belanda dilanjutkan Gubernur
Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil,
Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman
Jepang), Pangeran Muhammad Noor
(Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi
Provinsi Kalimantan Selatan.

*Raja Muda Kesultanan Banjar. Pada 24 Juli


2010 Gusti Khairul Saleh (Bupati Kabupaten
Banjar) dilantik sebagai Pangeran dan
dinobatkan sebagai Raja Muda Banjar oleh
Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan
Pangeran Khairul Saleh, trah
23 2010 Banjar. Raja Muda (Ratu Anom), gelar
Sultan Sulaiman
untuk Mangkubumi Banjar, yang sejajar
dengan gelar raja daerah Kotawaringin,
tetapi satu level di bawah gelar Sultan
Muda Banjar. Gusti Khairul Saleh keturunan
Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman

Anda mungkin juga menyukai