Anda di halaman 1dari 19

KERAJAAN ISLAM

A. KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN


1. KERAJAAN BANJARMASIN
Kerajaan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin adalah kerajaan bercorak islam yang
berdiri pada Tahun 1520. Kerajaan ini dihapuskan secara sepihak oleh Belanda pada
tanggal 11 Juni 1860. Namun masyarakat Banjar tetap mengakui adanya pemerintahan
darurat yang baru berakhir pada 24 Januari 1905. Tetapi sejak tanggal 24 Juli 2010,
Kesultanan Banjar bangkit kembali ditandai dengan dilantiknya Sultan Khairul Saleh.
Kerajaan Banjar terletak di provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.

Kesultanan ini pada awalnya beribukota di Banjarmasin lalu dipindahkan ke berbagai


tempat dan terakhir pindah ke Martapura. Ketika ibu kota kerajaan Banjar berada di
Martapura, Kerajaan ini disebut juga Kerajaan Kayu Tangi. Nama kerajaan ini berubah-
ubah ketika ibu kotanya pindah. Waktu ibu kota kerajaan Banjar berlokasi di
Banjarmasin, kesultanan ini dikenal dengan nama Kesultanan Banjarmasin.

Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Daha yang merupakan kerajaan
Hindu. Ibu kota kerajaan Daha terletak di kota Negara, yang sekarang merupakan ibu
kota dari kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Berdasarkan mitologi dari suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan
pertama di Kalimantan bagian selatan merupakan Kerajaan Nan Sarunai yang
diperkirakan daerah kekuasaannya terhampar luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke
daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan mengenai masa-masa
kejayaan dari Kerajaan Nan Sarunai, sebuah kerajaan kuno yang dulunya menyatukan
etnis Maanyan di daerah ini dan telah mengadakan hubungan dengan pulau Madagaskar.

Kerajaan ini mendapat serbuan dari Majapahit Sehingga sebagian rakyatnya


menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis
yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai.

Ketika tahun 1996, dilakukan pengujian terhadap sampel arang dari Candi Agung. Hasil
pengujian tersebut menghasilkan angka tahun sekitar 242-226 SM. Kemunculan
Kerajaan Banjar berhubungan erat dengan melemahnya pengaruh dari Negara Daha
sebagai kerajaan yang sedang berkuasa saat itu.

Maharaja Sukarama, Raja dari Negara Daha pernah berwasiat agar penggantinya kelak
adalah cucunya yang bernama Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan
Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden
Begawan, yang merupakan saudara dari Maharaja Sukarama.
Wasiat tersebut mengakibatkan Raden Samudera terancam keselamatannya lantaran
para putra Maharaja Sukarama juga berambisi unutk menjadi raja yaitu Pangeran
Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.

Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri menggunakan sampan
ke muara sungai Barito. Setelah Maharaja Sukarama wafat, Pangeran Mangkubumi
menjadi Raja Negara Daha, kemudian digantikan Pangeran Tumenggung yang juga
merupakan putra Sukarama.

Raden Samudera sebagai pihak yang kalah lalu melarikan diri dan bersembunyi di
daerah muara sungai barito. Dia dilindungi oleh sekelompok orang melayu yang
berdiam di wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut dengan nama kampung oloh
masih yang berarti kampung orang melayu pimpinan Pati Masih. Lambat laun kampung
ini mulai berkembang menjadi kota banjarmasih karena ramainya perdagangan di
tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap.
Dalam pelarian politiknya, raden Samudera melihat potensi dari Banjarmasih dengan
sumber daya manusianya dapat dijadikan sebagai kekuatan potensial untuk melawan
balik kekuatan pusat, yaitu Negara Daha.

Kemampuan yang dimiliki Banjarmasih untuk melakukan perlawanan terhadap Negara


Daha akhirnya mendapat pengakuan formal setelah komunitas melayu tersebut
mengangkat Raden Samudera menjadi kepala Negara.

Pengangkatan ini akhirnya menjadi titik balik perjuangan bagi Raden Samudera.
Terbentuknya kekuatan politik baru di banjarmasih, yang dapat menandingi Negara
Daha ini dijadikan sebagai senjata oleh Raden Samudra untuk mendapatkan haknya
kembali sebagai Raja Negara Daha.

Sedangkan orang melayu yang menolongnya menjadikan ini sebagai media agar mereka
tidak perlu lagi membayar pajak pada Negara Daha.

Setelah berhasil menjadi Raja di Banjarmasih, Raden Samudera dianjurkan oleh Patih
Masih untuk meminta bantuan tempur kepada Kerajaan Demak.

Permintaan bantuan dari Raden Samudera diterima oleh Sultan Demak, Namun dengan
syarat Raden Samudera beserta para pengikutnya harus masuk agama Islam. Syarat
tersebut lalu disanggupi oleh Raden Samudera dan Sultan Demak akhirnya
mengirimkan pasukannya yang dipimpin oleh Khatib Dayan.

Sesampainya di Banjarmasih, pasukan Demak pimpinan Khatib Dayan bergabung


dengan pasukan dari Banjarmasih untuk melakukan penyerbuan ke Negara Daha di
muara sungai Barito.
Sesampainya di daerah yang bernama Sanghiang Gantung, pasukan Bandarmasih dan
Pasukan Demak bertemu terlibat pertempuran Pasukan Negara daha.

Pertempuran ini diakhiri dengan sebuah kesepakatan yang isinya adalah duel antara
Raden samudera dengan Pangeran Tumenggung. Dalam duel itu, Raden Samudera
berhasil mengalahkan pangeran Tumenggung dan itu menandaka kemenangan
Banjarmasih.

Setelah kemenangan dalam pertempuran, Raden Samudera lalu memindahkan Rakyat


dari Negara Daha ke Banjarmasih dan Raden Samudera diangkat sebagai Kepala
negaranya.

Bersatunya penduduk Banjarmasih yang terdiri dari rakyat Negara Daha, Melayu,
Dayak dan orang jawa (pasukan dari Demak) menunjukan bersatunya masyarakat
Banjarmasih di bawah pemerintahan Raden Samudera.

Para penduduk yang berkumpul di Banjarmasih menyebabkan daerah ini menjadi ramai.
Ditambah lokasinya yang terletak pada muara sungai barito dan martapura menjadikan
tempat ini sebagai lalu lintas perdangan.

Raden Samudera lalu menjadikan Islam sebagai agama resmi negara dan rakyatnya
memeluk agama Islam. Raden Samudra lalu bergelar Sultan Suriansyah yang menjadi
raja pertama dari kerajaan Banjar.

Silsilah Raja dari Kerajaan Banjar


1526 – 1545
Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama yang
memeluk Islam

1545 – 1570 Sultan Rahmatullah

1570 – 1595 Sultan Hidayatullah

1595 – 1620
Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil.
Sultan inilah yang memindahkan Keraton Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di
Kuin yang hancur diserang Belanda pada Tahun 1612

1620 – 1637 Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah
1637 – 1642 Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah

1642 – 1660
Adipati Halid memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah,
Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa

1660 – 1663
Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran
Adipati Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan kekuasaan
ke Banjarmasin=

1663 – 1679
Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan
Ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung

1679 – 1700 Sultan Tahlilullah berkuasa

1700 – 1734 Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning

1734 – 1759 Pangeran Tamjid bin Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah

1759 – 1761 Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah

1761 – 1801
Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum
dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah

1801 – 1825 Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah

1825 – 1857 Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman

1857 – 1859 Pangeran Tamjidillah

1859 – 1862 Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul
Mu’mina

1862 – 1905 Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan
Banjar
B. KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI
2. KERAJAAN GOWA-TALLO
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses
yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar
yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada
dibawah Kabupaten Gowa dan daerah sekitarnya yang dalam bingkai negara kesatuan RI
dimekarkan menjadi Kotamadya Makassar dan kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki raja
yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang
dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda yang dibantu oleh Kerajaan
Bone yang berasal dari Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Tapi perang ini bukan berati
perang antar suku Makassar – suku Bugis, karena di pihak Gowa ada sekutu bugisnya demikian
pula di pihak Belanda-Bone, ada sekutu Makassarnya. Politik Divide et Impera Belanda, terbukti
sangat ampuh disini. Perang Makassar ini adalah perang terbesar Belanda yang pernah
dilakukannya di abad itu.

Sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo


Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate
Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo,
Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai
cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan
Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa,
tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung,
dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya.

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses
yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku
Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini
sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini
memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan
peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu
oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka.
Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan
Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar
adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.

Letak Kerajaan Gowa Tallo


Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak
di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai
Ujungpandang. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat
dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat
persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para
pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini
mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur
perdagangan Nusantara. Berikut adalah peta Sulawesi Selatan pada saat itu.

Kondisi sosial, ekonomi dan politik Kerajaan Gowa Tallo


1. Kondisi sosial budaya Kerajaan Gowa Tallo

Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang.
Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka
yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Makasar
memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam
kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma
kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut
PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma
tersebut.Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang
terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan
“Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat
lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya
yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang
dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.Kapal Pinisi dan Lombo
merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.

2. Kondisi ekonomi Kerajaan Gowa Tallo

Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di
Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :

 letak yang strategis,


 memiliki pelabuhan yang baik
 jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-
pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.

Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak
disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya
yang datang untuk berdagang di Makasar.

Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan
ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga
tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang
pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga
menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.

3. Kondisi politik Kerajaan Gowa Tallo

Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari
Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan
raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam
adalah Sultan Alaudin. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang
sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said
(1639 – 1653).

Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan
Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat
menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan
Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah kekuasaan
Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan
Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia
menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon.
Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon
terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan
antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan.
Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.

Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk
memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin
terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan
padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan
Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone
(daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar
mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai
akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.

Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan
secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian
Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.

Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:

1. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.


2. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
3. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di
luar Makasar.
4. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap
berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin)
meneruskan perlawanan melawan Belanda.Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar,
Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai
sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.

Proses Kehancuran Kerajaan Gowa Tallo


Sepeninggal Hasanuddin, Makassar dipimpin oleh putranya bernama napasomba. Sama seperti
ayahnya, sultan ini menentang kehadiran belanda dengan tujuan menjamin eksistensi Kesultanan
Makasar. Namun, Mapasomba gigih pada tekadnya untuk mengusir Belanda dari Makassar.
Sikapnya yang keras dan tidak mau bekerja sama menjadi alasan Belanda mengerahkan pasukan
secara besar-besaran. Pasukan Mapasomba berhasil dihancurkan dan Mapasomba sendiri tidak
diketahui nasibnya. Belanda pun berkuasa sepenuhnya atas kesultanan Makassar.

Peninggalan – Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo


1. Benteng Fort Rotterdam

Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan
Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar,
Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I
manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ kallonna. Awalnya benteng ini berbahan
dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi
benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah
Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun
ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di
darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di
lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng Ujung Pandang.

2. Masjid Katangka

Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali
pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud (1818), Kadi Ibrahim
(1921), Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa
(1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan
Gowa ini.

3. Kompleks makam raja gowa tallo.

Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII
sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota
Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada
sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo. Ber¬dasarkan basil penggalian (excavation) yang
dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982) ditemukan gejala bah wa
komplek makam ber¬struktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi
bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.

Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempat¬kan di dalam bangunan kubah, jirat semu
dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok¬balok ham pasir. Bangunan
kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian dibuat dari batu bata. Penempatan
balok batu pasir itu semula tanpa memper¬gunakan perekat. Perekat digunakan Proyek
Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa dengan
bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka. Pada
kompleks ini bentuk makam dominan berciri abad XII Masehi.

C. KERAJAAN ISLAM DI MALUKU UTARA


3. KERAJAAN TERNATE
Kerajaan Gapi atau lebih dikenal dengan nama Kerajaan Ternate, telah berdiri sejak tahun
1257. Satu dari empat kerajaan Islam di Kepulauan Maluku ini didirikan oleh Baab Masyhur
Mulamo yang berkuasa pada tahun 1257-1272M. Pada catatan-catatan sejarah tidak ditemukan
keterangan jelas yang menyebutkan bahwa ia ataupun raja-raja penerusnya bahwa mereka
beragama Islam.

Sebagai salah satu kerjaan Islam tertua di Nusantara, Kerajaan Ternate mencapai masa
kejayaannya pada awal abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah nya yang terkenal
sampai Eropa.

Awal Mula
Di awal abad ke-13 pulau Ternate mulai dikunjungi oleh para pelancong dan pedagang.
Penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Pada mulanya di Ternate
terdapat 4 kampung yang tiap kampung dipimpin oleh seorang momole (kepala marga).
Merekalah yang pertama–tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari
segala penjuru mencari rempah–rempah.

Penduduk Ternate semakin bervariasi dengan bermukimnya pedagang Jawa, Arab, Tionghoa
dan Melayu. Karena perdagangan yang semakin ramai ditambah bahaya yang sering datang dari
para perompak maka atas inisiatif Momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah
untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal
sebagai raja.

Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja)
pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung
Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh
penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan orang menyebut
Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga
kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah
pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan
yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar
di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.

Kedatangan Islam
Tidak ada catatan yang menyatakan kapan awal masuk nya islam ke Ternate, namun Kolono
Marhum merupakan raja Ternate pertama yang memeluk agama Islam, setelah mendapatkan
petunjuk dari ulama islam asal Minangkabau, Datu Maulana Husen, salah seorang murid dari
Sunan Giri yang datang ke Ternate pada tahun 1465M.

Jika keterangan diatas dijadikan rujukan, maka bisa dikatakan bahwa islam dibawa dan
disebarkan oleh ulama dari Melayu dan Jawa. Tapi berdasarkan sumber dari M. Shaleh
Putuhena yang didasarkan pada tradisi lisan, pedagang Arab lah yang menyebarkan Islam di
Maluku, yaitu Syeikh Mansur, Syeikh Amin, dan Syeikh Umar.

Dari sumber-sumber diatas bisa disimpulkan bahwa masyarakat Ternate sendiri sudah
mengenal Islam dari sejak abad ke-13 dari pedagang Arab, namun Islam mulai disebarluaskan
dan berkembang di Ternate baru pada abad ke-15, hal ini kemungkinan disebabkan pendekatan
yang dilakukan oleh ulama Melayu-Jawa dalam berdakwah, lebih dapat dipahami dan diterima
oleh masyarakat Ternate.

Setelah Marhum wafat, anaknya Zainal Abidin menggantikannya. Ia lah yang menjadikan
Islam sebagai agama resmi kerajaan, dan meninggalkan gelar kolano dan menggantinya
dengan sultan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum
Islam dengan melibatkan para ulama.

Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa
perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah
memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana dia dikenal
sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).

Kedatangan Bangsa Portugal


Pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang,
rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang
diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Pada masa
ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema)
tahun 1506.

Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan
Fransisco Serrao, atas persetujuan sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate.
Portugal datang bukan semata–mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan
rempah–rempah, pala dan cengkih di Maluku.

Kedekatan Sultan dengan orang Portugis, menyebabkan timbulnya keresahan dalam


masyarakat. Apalagi mereka ikut campur tangan dalam urusan-urasan internal kerajaan, seperti
dalam pengangkatan dan penunjukan pewaris tahta. Menurut sumber yang bisa dipercaya
Sultan Bayanullah wafat karena diracuni oleh orang-orang dekatnya sendiri yang kecewa oleh
kebijakannya diatas.

Perang Saudara
Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan,
permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali.
Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu
mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, Pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan
pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese
menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.

Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang
saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung
Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh
Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang
dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai
sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan
dibuang ke Goa, India. Di sana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian
menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu
ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun (1534-1570).

Perlawanan Terhadap Portugal


Perlakuan Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad
mengusir Portugal dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga menimbulkan
kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun. Sejak masa sultan
Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama
di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511.
Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.

Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal.
Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan
di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan
untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam
kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga
terpaksa memohon damai kepada Sultan Khairun. Secara licik gubernur Portugal, Lopez de
Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam
membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.
Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan
Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan
Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia
digempur. Setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk
selamanya pada tahun 1575. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak
kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga
Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga kepulauan
Nusa Tenggara di bagian selatan.

Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga menjadikan
Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan
Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga
kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah
bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme Barat.

Penjajahan Belanda
Sepeninggal Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang telah bersatu
dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang
Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun
menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal, bahkan Sultan Said
Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.

Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda pada
tahun 1603. Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat
mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607
Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan
Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di
Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.

Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate
menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah
Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja
Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan
perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah–rempah kepada pedagang Jawa
dan Makassar.

Jatuhnya Ternate
Beberapa sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman
Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu
menyokong perjuangan rakyatnya secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji
Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah–wilayah
kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun
gagal.
Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil
menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk
Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi karena
keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut
berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji
Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan
keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan Haji
Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, dia dibuang ke
Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.

Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14
tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul
keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan Ternate namun niat itu
urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru
sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.

Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap
bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.

D. KERAJAAN ISLAM DI PAPUA

Perkembangan Kerajaan Islam di Papua


Tidak berbeda dengan wilayah lain di nusantara perkembangan Islam dan kerajaannya di Papua
berawal dari kerjasama perdagangan, dengan letak yang strategis dan kaya akan sumber daya alam
di tanah Papua ini menjadikan magnet bagi bangsa luar untuk berdagang di Papua. Dan melalui
interaksi perdagangan ini perkembangan Islam berkembang pesat sehingga banyak kerajaan-
kerajaan Islam tercipta di tanah Papua. Berikut adalah ulasan tentang perkembangan kerajaan Islam
di Papua.

Perkembangan Kerajaan Islam di Papua


Sama halnya dengan sejarah masuknya islam di kota-kota yang ada di Nusantara, dan rata-rata
melalui jalur perdagangan. Karena letak Papua yang strategis menjadikan wilayah ini pada masa
lampau menjadi perhatian dunia Barat, maupun para pedagang lokal Indonesia sendiri. Daerah ini
kaya akan barang galian atau tambang yang tak ternilai harganya dan kekayaan rempah-rempah
sehingga daerah ini menjadi incaran para pedagang. Karena kandungan mineral dan kekayaan
rempah-rempah maka terjadi hubungan politik dan perdagangan antara kepulauan Raja Ampat dan
Fakfak dengan pusat kerajaan Ternate dan Tidore, sehingga banyak pedagang datang untuk
memburu dagangan di daerah tersebut.

Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Papua sudah berlangsung sejak
lama. Bahkan, berdasarkan bukti sejarah terdapat sejumlah kerajaan-kerajaan Islam di Papua, yakni:
(1) Kerajaan Waigeo (2) Kerajaan Misool (3) Kerajaan Salawati (4) Kerajaan Sailolof (5) Kerajaan
Fatagar (6) Kerajaan Rumbati (terdiri dari Kerajaan Atiati, Sekar, Patipi, Arguni, dan Wertuar) (7)
Kerajaan Kowiai (Namatota) (8). Kerajaan Aiduma (9) Kerajaan Kaimana.

Berdasarkan sumber tradisi lisan dari keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana
dan Teluk Bintuni-Manokwari, Islam sudah lebih awal datang ke daerah ini. Ada beberapa pendapat
mengenai kedatangan Islam di Papua. Pertama, Islam dating di Papua tahun 1360 yang disebarkan
oleh mubaligh asal Aceh, Abdul Ghafar. Pendapat ini juga berasal dari sumber lisan yang
disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati ke-16 (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati ke-
17 (H. Ismail Samali Bauw). Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374) di Rumbati
dan sekitarnya. Ia kemudian wafat dan dimakamkan di belakang masjid kampung Rumbati tahun
1374.

Kedua, pendapat yang menjelaskan bahwa agama Islam pertama kali mulai diperkenalkan di tanah
Papua di jazirah Onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan dengan
gelar Syekh Jubah Biru dari negeri Arab. Pengislaman ini diperkirakan terjadi pada abad
pertengahan abad ke-16, dengan bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur sekitar 400 tahun
atau di bangun sekitar tahun 1587.

Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa Islamisasi di Papua, khususnya di Fakfak dikembangkan
oleh pedagang-pedagang Bugis melalui Banda dan Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab
bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon. Proses pengislamannya dilakukan
dengan cara khitanan. Di bawah ancaman penduduk setempat jika orang yang disunat mati, kedua
mubaligh akan dibu.nuh, namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan tersebut kemudian
penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.

Keempat, pendapat yang mengatakan Islam di Papua berasal dari Bacan. Pada masa pemerintahan
Sultan Mohammad al-Bakir, Kesultanan Bacan mencanangkan syiar Islam ke seluruh penjuru
negeri, seperti Sulawesi, Fiilipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa dan Papua. Menurut Thomas
Arnold, Raja Bacan yang pertama kali masuk Islam adalah Zainal Abidin yang memerintah tahun
1521.

Pada masa ini Bacan telah menguasai suku-suku di Papua serta pulaupulau di sebelah barat lautnya,
seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati. Sultan Bacan kemudian meluaskan kekuasaannya
hingga ke semenanjung Onin Fakfak, di barat laut Papua tahun 1606. Melalui pengaruhnya dan para
pedagang muslim, para pemuka masyarakat di pulau-pulau kecil itu lalu memeluk agama Islam.
Meskipun pesisir menganut agama Islam, sebagian besar penduduk asli di pedalaman masih tetap
menganut animisme.

Kelima, pendapat yang mengatakan bahwa Islam di Papua berasal dari Maluku Utara (Ternate-
Tidore). Sumber sejarah Kesultanan Tidore menyebutkan bahwa pada tahun 1443 Sultan Ibnu
Mansur (Sultan Tidore X atau Sultan Papua I ) memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar (Papua).
Setelah tiba di wilayah Pulau Misool dan Raja Ampat, kemudian Sultan Ibnu Mansur mengangkat
Kaicil Patrawarputera Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi ). Kapita
Gurabesi kemudian dikawinkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah.
Kemudian berdiri empat kerajaan di Kepulauan Raja Ampat tersebut, yakni Kerajaan Salawati,
Kerajaan Misool atau Kerajaan Sailolof, Kerajaan Batanta, dan Kerajaan Waigeo.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses Islamisasi tanah Papua, terutama di
daerah pesisir barat pada pertengahan abad ke-15, dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Islam di
Maluku (Bacan, Ternate dan Tidore). Hal ini didukung karena faktor letaknya yang strategis, yang
merupakan jalur perdagangan rempah-rempah (silk road) di dunia.

E. KERAJAAN ISLAM DI NUSA TENGGARA


5.KERAJAAN BIMA
Bima merupakan pusat pemerintahan atau kerajaan Islam yang menonjol di
Nusa Tenggara dengan nama rajanya yang pertama masuk Islam ialah Ruma Ta Ma
Bata Wada yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Sejak itu pula terjalin
hubungan erat antara Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa, lebih-lebih sejak
perjuangan Sultan Hasanuddin kandas akibat perjanjian Bongaya. Setelah Kerajaan
Bima terusmenerus melakukan perlawanan terhadap masuknya politik dan monopoli
perdagangan VOC akhirnya juga tunduk di bawah kekuasaannya. Ketika VOC mau
memperbaharui perjanjiannya dengan Bima pada 1668 ditolak oleh Raja Bima, Tureli
Nggampo; ketika Tambora merampas kapal VOC pada 1675 maka Raja Tambora,
Kalongkong dan para pembesarnya diharuskan menyerahkan keris-keris pusakanya
kepada Holsteijn. Pada 1691, ketika permaisuri Kerajaan Dompu terbunuh, Raja
Kerajaan Bima ditangkap dan diasingkan ke Makassar sampai meninggal dunia di
dalam penjara. Di antara kerajaan-kerajaan di Lombok, Sumbawa, Bima, dan kerajaan-
kerajaan lainnya sepanjang abad ke-18 masih menunjukkan pemberontakan dan
peperangan, karena pihak VOC senantiasa memaksakan kehendaknya dan
mencampuri pemerintahan kerajaan-kerajaan, bahkan menangkapi dan mengasingkan
raja-raja yang melawan.
Sebenarnya jika kita membicarakan sejarah Kerajaan Bima abad ke-19 dapat
diperkaya oleh gambaran rinci dalam Syair Kerajaan Bima yang menurut telaah filologi
Cambert Loir diperkirakan sangat mungkin syair tersebut dikarang sebelum 1833 M,
sebelum Raja Bicara Abdul Nabi meletakkan jabatannya dan diganti oleh putranya.
Pendek kata syair itu dikarang oleh Khatib Lukman barangkali pada 1830 M. Syair itu
ditulis dalam huruf Jawi dengan bahasa Melayu. Dalam syair itu diceritakan empat
peristiwa yang terjadi di Bima pada pertengahan abad ke-19, yaitu, letusan Gunung
Tambora, wafat dan pemakaman Sultan Abdul Hamid pada Mei 1819, seranganbajak
laut, penobatan Sultan Ismail pada 26 November 1819,Sultan Abdul Hamid dan Wazir
Abdul Nabi, pelayaran Sultan Abdul Hamid ke Makassar pada 1792, kontrak Bima pada
26 Mei 1792, pelantikan Raja Bicara Abdul Nabi, serta kedatangan Sultan Ismail,
Reinwardt, dan H. Zollinger yang mengunjungi Sumbawa dan menemui Sultan.

A.Letak
Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa Tenggara
Barat, terletak di ujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima
(pecahan dari Kota Bima). Secara geografis Kabupaten Bima berada pada posisi
117°40”-119°10” Bujur Timur dan 70°30” Lintang Selatan.
Sejarah Singkat
Bima merupakan pusat pemerintahan atau kerajaan Islam yang menonjol di Nusa
Tenggara dengan nama rajanya yang pertama masuk Islam ialah Ruma Ta Ma Bata
Wada yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Sejak itu pula terjalin
hubungan erat antara Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa, lebih-lebih sejak
perjuangan Sultan Hasanuddin kandas akibat perjanjian Bongaya. Setelah Kerajaan
Bima terusmenerus melakukan perlawanan terhadap masuknya politik dan monopoli
perdagangan VOC akhirnya juga tunduk di bawah kekuasaannya. Ketika VOC mau
memperbaharui perjanjiannya dengan Bima pada 1668 ditolak oleh Raja Bima, Tureli
Nggampo;ketika Tambora merampas kapal VOC pada 1675 maka Raja Tambora,
Kalongkong dan para pembesarnya diharuskan menyerahkan keris-keris pusakanya
kepada Holsteijn.
Silsilah Raja
• 1. ± 1620—1640 Abdul Kahir
• 2. 1640—1682 I Ambela Abi’l Khair Sirajuddin
• 3. 1682—1687 Nuruddin Abu Bakar All Syah
• 4. 1687—1696 Jamaluddin Ali Syah
• 5. 1696—1731 Hasanuddin Muhammad Syah
• 6. 1731—1748 Alauddin Muhammad Syah
• 7. 1748—1751 Kamalat Syah,
• 8. 1751—1773 Abdul Kadim Muhammad Syah,
• 9. 1773—1817 Abdul Hamid Muhammad Syah
• 10. 1817—1854 Ismail Muhammad Syah,
• 11. 1854—1868 Abdullah,
• 12. 1868—1881 Abdul Aziz,
• 13. 1881—1915 Ibrahim,
• 14. 1915—1951 Muhamad Salahuddin,
Kehidupan Budaya
• Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah
satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah
identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan makna. Rimpu merupakan
busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai
identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara
Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.
• Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten
bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama
wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian
mereka dengan menggunakan rimpu.
• Sebuah masjid tertua di Bima hingga kini masih bediri di Kelurahan Melayu
Kecamatan Asakota, Kota Bima. Hanya saja, kondisi cagar budaya itu tak terurus dan
hanya berfungsi sebagai Tempat Pendidikan Qur’an (TPQ) oleh warga setempat.
Bahkan sejumlah benda bernilai sejarah tinggi raib. Pantauan Suara NTB, mesjid yang
seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan beratap seng itu masih berdiri kokoh
diantara rumah penduduk. Konon masjid itu dibangun dua utusan Sultan Goa
Sulawesi Selatan untuk mensyi’arkan Agama Islam di Bima
Kehidupan Sosial
• Masyarakat Bima merupakan campuran dari berbagai suku bangsa. Suku asli yang
mendiami Bima adalah orang Donggo. Mereka mendiami daerah dataran tinggi.
Kepercayaan asli orang Donggo adalah animisme, yang mereka sebut dengan
marafuyu. Dalam perkembangannya, kepercayaan ini terdesak oleh agama kristen dan
islam.
• Orang Donggo yang menjadi suku asli Bima ini hidup dari bercocok tanam dengan
sistem peladangan yang berpindah-pindah. Oleh karena itu rumah mereka juga
berpindah-pindah (tidak tetap).
• Suku lain yang mendiami Bima adalah orang Dou Mbojo (migran dari daerah
Makasar).
Kehidupan Ekonomi
• Pada saat itu kerajaan Bima sangat berkembnag pesat disegi pertanian maupun
perternakan dan perikanan.Dibidang perternakan Kerajaan Biima tidak mau kalah
dengan kerajaan lain,Raja Indra Zamrud juga mengembnagkan bidang perternakan
yaitu kuda,kerbau dan sapi.Dalam kitab Negarakertagama, Kerajaan Bima disebut
sudah memiliki pelabuhan besar pada 1356.
Faktor Kemunduran
• Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia berhasil meraih Kemerdekaan pada
tahun 1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih
untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia. Siti Maryam, salah seorang
Putri Sultan, menyerahkan Bangunan Kerajaan kepada pemerintahan dan kini di
jadikan Museum. Di antara peninggalan yang masih bisa di lihat adalah Mahkota,
Pedang dan Funitur.

Anda mungkin juga menyukai