Gambar sosok musuh besar Sanherib, Marduk-apla-idina II (kiri), tokoh yang menjadi Raja Babel selama kurun waktu 722–710 SM dan 704/703–702 SM, sekaligus biang keladi dari banyak konflik yang timbul menjelang akhir hayat Sanherib
Kemangkatan Sargon di medan perang maupun ketidakjelasan ihwal keberadaan jenazahnya
dijadikan alasan untuk memberontak di berbagai pelosok wilayah Kemaharajaan Asyur Baru. [7] Sargon mulai memerintah Babel pada tahun 710 SM, sesudah mengalahkan Marduk-apla-idina II, pemimpin orang Kasdim yang menguasai Babel sesudah Salmaneser V mangkat pada tahun 722 SM.[6] Sama seperti Salmaneser, Sanherib naik takhta dengan gelar ganda, Raja Asyur merangkap Raja Babel, meskipun kekuasaannya atas Babel tidak begitu kukuh. [28] Tidak seperti Sargon dan para penguasa Babel terdahulu yang hanya menyatakan diri sebagai Syakanaku Babili (Patih Babel) demi menghormati Marduk, dewa yang dimuliakan sebagai raja resmi kota Babel, Sanherib justru terang-terangan menyatakan diri sebagai Raja Babel. Ia bahkan tidak "menjabat tangan" patung Marduk, penjelmaan sang dewa, dan dengan demikian tidak memuliakannya dengan menjalankan adat penobatan Babel sebagaimana mestinya. [32] Tindakan yang dianggap lancang ini menyulut kemarahan rakyat, sehingga timbul pemberontakan- pemberontakan yang hanya berselang satu bulan pada tahun 704 [6] atau 703 SM[28] untuk menumbangkan kekuasaan Sanherib di kawasan selatan. Mula-mula seorang tokoh Babel yang bernama Marduk-zakir-syumi II merebut takhta Babel, tetapi ditumbangkan dua[28] atau empat minggu kemudian[6] oleh Marduk-apla-idina, pemimpin kabilah Kasdim yang sebelumnya pernah merebut takhta Babel dan berperang melawan ayah Sanherib. Marduk-apla-idina mengerahkan sebagian besar rakyat Babel untuk berperang demi kepentingannya, baik warga perkotaan maupun laskar-laskar kabilah Kasdim. Ia juga mendatangkan pasukan dari Elam, negeri yang kini menjadi kawasan barat daya negara Iran. Sebenarnya Marduk-apla-idina perlu banyak waktu untuk mengumpulkan seluruh pasukan koalisi tersebut, tetapi Sanherib lamban dalam menanggapi pemberontakan ini, sehingga Marduk-apla-idina leluasa menempatkan pasukan dalam jumlah besar di kota Kuta dan kota Kisy.[33] Sebagian angkatan perang Asyur sedang ditugaskan di Tabal pada tahun 704 SM. Sikap lamban Sanherib mungkin didasari pertimbangan bahwa berperang serentak di dua tempat sekaligus terlalu berisiko, akibatnya Marduk-apla-idina leluasa beberapa bulan lamanya. Pada tahun 703 SM, sesudah ekspedisi militer di Tabal tuntas, Sanherib menghimpun angkatan perang Asyur di kota Asyur, lokasi yang kerap dijadikan titik kumpul pasukan sebelum menyerbu kawasan selatan. [30] Serbuan angkatan perang Asyur di bawah pimpinan panglima tertingginya tidak berhasil mengalahkan pasukan lawan di dekat kota Kisy, sehingga koalisi bentukan Marduk-apla-idina semakin merasa di atas angin.[34] Meskipun demikian, Sanherib menyadari kenyataan bahwa angkatan perang lawan sesungguhnya terbagi-bagi, oleh karena itu ia mengerahkan segenap angkatan perang Asyur untuk menyerang dan menghancurkan sebagian angkatan perang lawan yang ditempatkan di Kuta, baru kemudian menggempur Kisy. Marduk-apla-idina sudah lebih dulu melarikan diri meninggalkan medan perang karena mengkhawatirkan keselamatan nyawanya. [33] Tawarikh Sanherib menyebutkan bahwa di antara orang-orang yang dijadikan tawanan pascakemenangan Asyur terdapat pula anak tiri Marduk-apla-idina dan saudara laki-laki Yati'ah, seorang ratu Arab yang ikut bergabung dalam koalisi Marduk-apla-idina. [35] Sanherib selanjutnya memimpin angkatan perang Asyur bergerak menuju Babel. [36] Begitu barisan angkatan perang Asyur terlihat di kaki langit, warga Babel segera membuka pintu gapura kota besar itu. Babel menyerah tanpa perlawanan. [34] Kota itu diberi teguran keras dan dijarah sedikit, [34] tetapi warganya tidak dicelakai.[37] Sesudah beristirahat sebentar di Babel, Sanherib dan angkatan perang Asyur melancarkan serangan sistematis ke pelosok selatan Kerajaan Babel yang masih dijadikan basis perlawanan terorganisasi. Baik daerah-daerah kabilah maupun kota-kota besar akhirnya dapat ditundukkan.[36] Tawarikh Sanherib menyebutkan bahwa ada sekitar dua ratus ribu orang yang dijadikan tawanan.[35] Karena kebijakan merangkap jabatan terbukti gagal, Sanherib mencoba cara lain, yakni mengangkat Bel-ibni, tokoh asli Babel yang tumbuh besar di lingkungan istana Asyur, menjadi raja bawahannya di kawasan selatan. Sanherib menyifatkan Bel-ibni sebagai "bumiputra Babel yang membesar di istanaku tak ubahnya seekor anak anjing". [28]