Anda di halaman 1dari 1

Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Murtejo, putra tertua Sultan Sri Sultan Hamengkubuwana

VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Dia naik tahta menggantikan ayahnya pada tanggal 13
Agustus 1877.
Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang
seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk
menerima dana sebesar F200.000,00. Hal ini membuat Sultan sangat kaya sehingga sering
memperoleh julukan Sultan Sugih.[1]
Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak
sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.
Pada tanggal 29 Januari 1921 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81 tahun memutuskan
untuk turun takhta dan mengangkat putra mahkotanya yang keempat (Gusti Raden Mas Sujadi,
bergelar Gusti Pangeran Harya Purbaya) sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih
dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota yang pertama (Gusti Raden Mas Akhaddiyat,
bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara I), yang seharusnya
menggantikan ayahnya, tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab
kematiannya. Penggantinya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara II (kemudian
bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Juminah, kakek dari seniman Indonesia, Bagong Kussudiardja),
diberhentikan karena alasan kesehatan. Putra mahkota yang ketiga, Gusti Raden Mas Putro
(bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara III), meninggal dunia tanggal 21
Februari 1913 akibat sakit keras setelah kembali dari Kulon Progo.
Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera
mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang
dibuat pemerintah Batavia.
Biasanya dalam pergantian takhta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja
yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono
VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup (Ada cerita bahwa sang ayah
diasingkan oleh putera mahkota yang keempat ke Pesanggrahan Ngambarrukmo di luar keraton
Yogyakarta)
Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa
disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam
pemerintahan kerajaan. Setelah turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan "Tidak
pernah ada raja yang meninggal di keraton setelah saya" yang artinya masih dipertanyakan. Sampai
saat ini ada dua raja setelah Hamengkubuwono VII yang meninggal di luar keraton,
yaitu Hamengkubuwono VIII (meninggal dunia setelah menjemput putra mahkota, Gusti Raden Mas
Dorojatun, dari Batavia) dan Hamengkubuwono IX (meninggal dunia di Amerika Serikat). Bagi
masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya
sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukmo pada tanggal 30
Desember 1931 dan dimakamkan di Pemakaman Imogiri.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun
kepada Belanda untuk madeg pandita (menjadi pertapa)

Anda mungkin juga menyukai