Anda di halaman 1dari 10

https://id.wikipedia.

org/wiki/Kesultanan_Ngayogyakarta_Hadiningrat

https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_raja_di_Jawa#Mataram_Baru

Yogyakarta, (Tagar 7/3/2019) - Keraton Yogyakarta sudah berusia hampir 300 tahun. Pergantian raja
atau Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) sudah berlangsung 10 kali selama tiga abad ini.

Berikut sejarah raja-raja Keraton Yogyakarta:

Sri Sultan HB I (1755-1792)

Lahirnya Keraton Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa Perjanjian Giyanti 13 Februari
1755. Perjanjian ini merupakan kesepakatan tiga belah pihak, yakni VOC, Kasultanan Mataram yang
diwakili Sunan Paku Buwono (PB) III dan kelompok Pangeran Mangkubumi.

Perjanjian Giyanti ini sekaligus menandai berakhirnya Kasultanan Mataram secara de facto dan de
jure. Dari perjanjian ini, Kasultanan Mataram dibagi menjadi dua bagian. Sebelah timur Sungai Opak
(Prambanan Jawa Tengah) menjadi milik Kasunanan Mataram atau Surakarta, yakni Sunan Paku
Buwono III.

Sebelah barat Sungai Opak, atau Yogyakarta yang merupakan daerah Mataram yang asli, diberikan
kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono (HB) I.
Sebulan setelah Perjanjian Giyanti, tepatnya 13 Maret Keraton Yogyakarta resmi berdiri.

Siapa Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan HB I yang pendiri Keraton Yogyakarta itu?

Mengutip dari berbagai sumber, Pangeran Mangkubumi lahir pada 5 Agustus 1717 dengan nama
Bendara Raden Mas (BRM) Sujono. Dia merupakan putra Sunan Amangkurat IV melalui istri selir
bernama Mas Ayu Tejawati.
Pangeran Mangkubumi mahir dalam keprajuritan, berkuda dan bermain senjata. Selain itu, dia taat
beribadah; salat lima waktu, puasa Senin dan Kamis dan mengaji dengan tetap menjunjung tinggi
Budaya Jawa. Dia dianggap sebagai peletak dasar budaya Mataram.

Berkat kecakapannya dalam berperang, Pangeran Mangkumi yang memiliki 3.000 prajurit berhasil
membebaskan banyak daerah yang dikuasai VOC. Perjuangannya melawan VOC ini diabadikan dalam
relief di sekitar kompleks Pagelaran Keraton Yogyakarta.

Banyak peninggalan Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan HB I sepanjang hayatnya. Selain
arsitektur istana maupun Kompleks Keraton yang sarat nilai filosofis, juga membangun kompleks
istana air, Taman Sari yang fenomenal sampai saat ini. Banyak sejarawan HB I sebagai "a great
builder”, sejajar dengan Sultan Agung.

Dalam bidang seni, peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I di antaranya adalah: Beksan Lawung,
Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya, Tarian Eteng, dan seni Wayang Purwo. Gendhing
kehormatan raja “Raja Manggala” dan “Tedhak Saking” juga diciptakan pada masa pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Buwono I.

Sri Sultan HB I wafat pada 24 Maret 1972 dimakamkan di Kompleks Makam Raja, Astana Kasuwargan
Imogiri Kabupaten Bantul. Pemerintah Indonesia menganugerahi Sri Sultan HB I sebagai Pahlawan
Nasional atas jasa-jasa dalam memperjuangkan jati diri bangsa.

Sri Sultan HB II (1792-1828)

Sri Sultan HB II bernama lahir Raden Mas (RM) Sundoro, pada 7 Maret 1750. Dia merupakan anak
dari Sri Sultan HB I dari permaisuri kedua bernama Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kadipaten. Dia lahir di
lereng Gunung Sindoro saat pengungsian akibat perang melawan VOC. Saat usia delapan tahun, RM
Sundoro diangkat menjadi putra mahkota, penerus tahta.

HB I sebenarnya sangat berkeinginan menyatukan kembali Dinasti Mataram yang terpecah dua,
Surakarta dan Yogyakarta. Cara dengan menjodohkan RM Sundoro dengan putri PB III, tapi upaya itu
gagal. Dinasti Mataram semakin sulit untuk disatukan kembali.
HB II ini meneruskan perjuangan ayahnya. Mengingat daerah kekuasaan Keraton Yogyakarta banyak
yang dicaplok VOC. HB II juga membangun tembok mengelilingi alun-alun utara dan selatan
Yogyakarta. Di dalam tembok itulah istana Keraton Yogyakarta. Tembok itu bernama Baluwarti.

Peristiwa internasional berpengaruh pada masa pemerintahan HB II. Saat itu, VOC bangkrut dan
Kerajaan Belanda jatuh ke tangan Napoleon dari Perancis. Dampaknya, daerah yang dikuasai VOC
dikendalikan pemerintah Belanda di bawah kendali Perancis. Termasuk mengharuskan Raja Jawa
tunduk kepada Raja Belanda.

HB II menolak aturan itu. Daendels membawa 3.300 pasukan ke Yogyakarta menekan HB II. Sempat
terjadi peperangan, namun HB II dipaksa turun tahta dan trah mahkotanya RM Surojo sebagai HB III
pada 31 Desember 1810. HB II juga harus menandatangani perjanjian dengan Belanda dengan syarat
memberatkan.

Namun, perjanjian itu tidak sempat dilaksanakan karena Inggris datang dan memukul mundur
Belanda. HB II mengambil kembali tahtanya. Pemerintah Inggris menggempur Keraton Yogyakarta
pada 19-20 Juni 1812. Peristiwa Geger Sepehi ini keraton diduduki Inggris, harta benda termasuk
ribuan karya sastra Jawa dijarah, dibawa ke Inggris sampai saat ini.

Selama hayatnya, HB II dua kali mengalami pembuangan yakni di Pulau Pinang dan Ambon. Selama
hayatnya pula, HB II meninggalkan karya monumental. Pertama, satuan keprajuritan persenjataan
semakin baik, membangun tembok benteng Baluwarti yang dilengkapi meriam untuk melindungi
Keraton dari serangan luar. Di bidang sastra, HB II juga mewariskan karya-karya fenomenal.

Keraton Jogja

Abdi dalem: Para abdi dalem, selain melayani keraton juga bertugas membawa dan mengajarkan
seni dan budaya Keraton di tengah-tengah masyarakat. (Foto: Dok Keraton
Yogyakarta/Tagar/Ridwan Anshori)

HB III (1810 - 1814)

Lahir bernama RM Surojo pada 20 Februari 1769. Dia putra HB II dengan GKR Kedhaton. HB III orang
yang pendiam dan cenderung mengalah. Dia diangkat sebagai HB III oleh Kolonial Belanda dengan
melengserkan HB II.
Saat Inggris mengalahkan Belanda dan merebut tanah Jawa, HB III dilengserkan dari statusnya dan
kembali menjadi putra mahkota. HB II kembali naik tahta. Saat HB II meninggal, HB III resmi
menggantikannya.

HB III ini satu saudara dengan Pangeran Diponegoro, satu ayah namun beda ibu. Pangeran
Diponegoro tidak mau tinggal di dalam istana, namun memilih tinggal bersama neneknya mendalami
ilmu agama. Pangeran Diponegoro mengobarkan perlawanan terhadap Belanda yang dicatat dalam
sejarah pemerintah kolonial sebagai perang yang paling menguras energi dan biaya.

HB III wafat pada 3 November 1814 di usia 45 tahun dan dimakamkan di Kompleks Makam Raja-raja
Imogiri Bantul. HB III menjadi raja hanya 865 hari. Meski tergolong singkat, namun banyak
peninggalannya.

Salah satunya Kampung Ketandan Malioboro, sebagai pusat niaga serta budaya Tionghoa di
Yogyakarta. HB III membangun Kampung Ketandan ini sebagai tempat para pekerja pemungut pajak
yang digeluti pendatang dari China.

HB IV (1814 - 1822)

Lahir pada 3 April 1804 dengan nama kecil GRM Ibnu Jarot, anak bungsu dari HB III dengan GKR
Hageng. Dia menjadi raja saat berusia 10 tahun. Karena masih muda, HB IV dalam menjalankan
pemerintahan didampingi wali raja sampai akil balig atau usia 16 tahun.

Sejak menjalankan pemerintahan secara mandiri, HB IV meninggal dunia pada 6 Desember 1822. Dia
meninggal di usia muda, 19 tahun. Namun, memiliki sembilan istri dan dikaruniai 18 anak. Salah satu
anaknya dari permaisuri GKR Kencono, GRM Gatot Menol kelak diangkat sebagai HB V di usia 3
tahun.

Selama pemerintahannya, tidak banyak karya sastra dan seni yang dihasilkan pada masa HB IV.
Kebijakan lebih banyak dikendalikan ibu dan Belanda. Tercatat dua kereta pusaka Keraton yang
dihasilkan HB IV, yakni kereta kencana Kyai Manik Retno, Kyai Jolodoro dan kereta kecil untuk pesiar.

HB V (1823 - 1855)
Lahir pada 20 Januari 1821 dengan nama GRM Gatot Menol. Dia merupakan anak dari HB IV dengan
GKR Kencono. Diangkat menjadi raja saat berusia 3 tahun. Dalam menjalankan pemerintahan
dibantu dewan perwalian yang terdiri beberapa orang dengan ketugasan masing-masing.

Salah satu anggota dewan perwalian adalah Pangeran Diponegoro. Pada masa pemerintahan HB V
inilah terjadi perang Diponegoro (1825-1830). Perang ini dipicu karena kolonial Belanda banyak
menyewakan tanah keraton kepada orang Eropa serta menarik pajak tinggi dari masyarakat. Selain
itu, saat itu juga terjadi wabah kolera dan gagal panen yang semakin menyengesarakan rakyat.

Kondisi ini yang membuat Pangeran Diponegoro keluar dari dewan perwalian Keraton dan
mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Sejarah mencatat, Perang Diponegoro atau Perang
Jawa ini menjadi peperangan terbesar pemerintah kolonial.

Selama dua tahun pertama perang, Belanda mengerahkan 6.000 pasukan infanteri dan 1.200
pasukan artileri. Belanda mengalami kerugian besar dari perang ini. Belanda berhasil menangkap
Pangeran Diponegoro dan mengasingkannya di Manado dan wafat di Makassar pada 8 Januari 1855.

Setelah Perang Diponegoro berakhir, HB V mengambil strategi taktik perang pasif dengan Belanda.
Melawan tanpa pertumpahan darah. Hubungan Keraton dengan Belanda saling menguntungkan.
Saat masa damai ini, HB V banyak menghasilkan karya sastra, tari-tarian dan keris pusaka. HB V
wafat pada 5 Juni 1855 dan dimakamkan di Kompleks Makam Raja-raja Imogiri, Bantul.

Keraton Jogja

Beksan Lawung Agung: Para abdi dalem sedang membawakan tarian atau beksa Lawung Ageng yang
biasanya disuguhkan dalam perayaan besar Keraton atau menjamu tamu penting. (Foto: Dok
Keraton Yogyakarta/Tagar/Ridwan Anshori)

HB VI (1855 - 1877)

Lahir dengan GRM Mustojo pada 10 Agustus 1821. Dia bukan anak dari HB V, melainkan adik
kandungnya. Dengan kata lain, anak dari IV dari permaisuri GKR Kencono. HB VI naik tahta pada 5
Juli 1855.
Saat berusia 27 tahun, HB VI menikahi puteri Susuhunan Paku Buwono VIII dari Surakarta, bernama
GKR Kencono. HB VI mengangkatnya sebagai permaisuri dan bergelar GKR Hamengku Buwono.

Pernikahan ini menjadi sejarah terjalinnya Dinasti Mataram, sekaligus kembali hubungan baik di
antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang sejak Perjanjian Giyanti (1755) sering
terjadi ketegangan. HB VI juga menikahi puteri dari Kerajaan Brunei.

Pada masa HB VI, tepatnya 10 Juni 1867 terjadi gempa bumi berkekuatan 6,8 skala richter
mengguncang Yogyakarta. Gempa besar ini membuat 500-an orang meninggal, merusak ratusan
banguan milik Keraton.

HB VI meninggal pada 20 Juli 1877 saat usia 56 tahun dan dimakamkan di Astana Raja-raja Imogiri,
Bantul. HB VI meninggalkan karya seni tari yakni Bedhaya Babar Layar dan Srimpi Endra Wasesa.

HB VII (1877 - 1921)

Lahir dengan nama GRM Murtejo pada 4 Februari 1839, anak dari HB VI dengan permaisuri kedua
bernama GKR Sultan. GKR Sultan merupakan permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

Pada masa HB VII berkembang pesat industrialisasi seiring era Cultuur Stelsel. Di bawah HB VII,
berdiri 17 pabrik gula, baik milik Kasultanan, swasta maupun Belanda. Dari setiap pabrik, ia
menerima uang sebesar f 200.000 (f = florin, rupiah Belanda) dari Belanda.

Kasultanan Yogyakarta mendapat keuntungan berlakunya era liberalisme sejak 1870. Kasultanan
Yogyakarta mengenalkan sistem Hak Sewa Tanah untuk masa sewa 70 tahun. Tidak heran HB VII
dikenal sebagai Sultan Sugih. Sugih berarti kaya.

Masa HB VII merupakan masa transisi menuju modernisasi. Banyak sekolah didirikan. HB VII juga
menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi sampai Belanda. HB VII juga mendukung seni
tari diperkenalkan di luar istana Keraton. HB VII mendukung anak-anaknya mendirikan sekolah tari
gaya Yogyakarta, Krido Bekso Wiromo untuk siapa saja yang belajar.
Pola pikir HB VII yang terbuka menjadikan masa itu banyak berdiri organisasi-organisasi massa. Salah
satunya organisasi besar seperti saat ini, Muhammadiyah. Organisasi ini lahir dari lingkungan
Keraton Yogyakarta.

Pendiri Muhammadiyah, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan, merupakan abdi dalem Keraton Yogyakarta
dengan nama Raden Ngabei Ngabdul Darwis. HB VII menyekolahkan KH Ahmad Dahlan ke Arab
Saudi, lalu setelah pulang mendirikan Muhammadiyah.

Selama pemerintahannya, banyak peninggalan HB VII. Peninggalan itu antara lain pabrik gula, jalur
kereta api, bangunan bersejarah Pesanggrahan Ambarukmo, merenovasi Tugu Golog Gilig yang rusak
akibat gempa bumi. Seni tari, sastra, rias berkembang pesat, demikian juga menghasilkan keris-keris
bagus karya abdi dalem.

HB VII wafat pada 30 Desember 1921 dan dimakamkan di Makam Raja-raja Imogiri, Bantul.

Keraton Jogja

Grebeg: Ratusan warga berebut gunungan hasil bumi yang disuguhkan Keraton Yogyakarta di depan
Kagungan Dalem Masjid Ageng Kauman. Acara grebeg ini selalu dinanti warga, sampai luar
Yogyakarta. (Foto: Dok Keraton Yogyakarta/Tagar/Ridwan Anshori)

HB VIII (1921 - 1939)

Lahir dengan nama GRM Sujadi pada 3 Maret 1880, anak dari HB VII dengan GKR Hemas. HB VIII
menggantikan ayahnya, HB VII yang lengser keprabon atau turun tahta serta memilih tinggal di
pesanggrahan Amberketawang. Saat itu, HB VIII masih menempuh sekolah di Belanda.

HB VIII dengan pikiran terbuka, memanfaatkan kekayaan Keraton untuk mendorong dunia
pendidikan. Pada masa pemerintahannya, banyak organisasi juga muncul, salah satunya Sekolah
Taman Siswa Nasional yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara.

Pada masa pemerintahan HB VII, Yogyakarta mengalami perkembangan pesat di bidang pendidikan,
kesehatan dan arsitektur. Bentuk fisik Keraton sampai sekarang ini merupakan hasil renovasi pada
masa HB VIII.
Bidang seni dan sastra juga berkembang pesat. Pada masa HB VIII ini mulai ada pembakuan terhadap
pakem tari klasik Gaya Yogyakarta. Pentas wayang orang juga mengalami keemasan.

Sebelum HB VIII wafat, memanggil putra BRM Dorojatun yang sedang belajar di Belanda. Keduanya
bertemu di Batavia, lalu HB VIII menyerahkan pusaka Keraton Kyai Joko Piturun. Ini menandakan HB
VIII sudah menyerahkan penerus tahtanya kepada BRM Dorojatun. HB VIII meninggal pada 22
Oktober 1939 dan dimakamkan di Astana Saptarengga, Pajimatan Imogiri, Bantul.

HB IX (1940 - 1988)

Lahir dengan nama GRM Dorojatun pada 12 April 1912. Dia adalah anak kesembilan HB VIII dari istri
kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit. Masa muda HB IX lebih banyak di luar
lingkungan keraton sehingga jauh dari kesan bangsawan.

Masa muda HB IX bersekolah di Belanda, berkenalan akrab dengan putri Ratu Juliana yang kelak
menjadi ratu. Sebelum Perang Dunia II meletus, ayahnya memanggilnya pulang ke Tanah Air. Pada
18 Maret 1940 dinobatkan sebagai Raja dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng
Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah
Kaping IX.

HB IX bersabda pada saat penobatan sebagai raja, satu penggal kalimatnya dikenang sampai saat ini.
"Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.

Saat Indonesia merdeka, HB IX mengucapkan selamat kepada proklamator. Dua minggu setelah
proklamasi, 5 September 1945, HB IX bersama Paku Alam VIII mengeluarkan maklumat bahwa
Daerah Yogyakarta adalah bagian dari NKRI.

HB IX berujar saat itu, Yogyakarta resmi memasuki abad modern. Yogyakarta bukan lagi sebuah
entitas negara sendiri, tetapi bagian dari negara republik (NKRI). Langkah ini didukung sepenuhnya
oleh rakyat.

Keraton Jogja
Warga Yogyakarta menggelar salat berjamaah di Pagelaran Keraton Yogyakara dalam rangka
memperingati hadeging atau berdirinya Keraton Yogyakarta sebagai penerus Mataram Islam. (Foto:
Dok Keraton Yogyakarta/Tagar/Ridwan Anshori)

Saat NKRI dalam tekanan yang luar biasa oleh Belanda, HB IX mengusulkan ibu kota pindah ke
Yogyakarta. Langkah ini untuk menegaskan agar NKRI tetap berdiri, tidak jatuh kepada Belanda.
Selama beribu kota di Yogyakarta, seluruh finansial ditanggung oleh kas Keraton Yogyakarta.

HB IX tercatat menempati posisi strategis di negeri ini. Antara lain Menteri Negara era Kabinet
Syahrir (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) hingga Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949).
Menjabat Menteri Pertahanan pada masa kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949)
hingga masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950).

Menjadi Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951). Pada
1973 menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua, lalu mengundurkan diri pada 23
Maret 1978.

Peninggalan monumental HB IX adalah membuat Selokan Mataram. Saluran air mengalir membelah
Yogyakarta dari Sungai Progo dengan Kali Opak . Saluran pengairan sawah tidak pernah berhenti di
musim kemarau sekali pun.

Proyek pembuatan Selokan Mataram ini sebenarnya untuk menyelematkan rakyat Yogyakarta dalam
program kerja paksa Jepang, Romusha. Langkah KB IX ini tidak sekadar menyelamatkan nyawa
rakyatnya kala itu, namun proyek dibuatnya tetap bisa dinikmati sampai saat ini.

Seperti raja-raja Keraton pendahulunya, HB IX juga punya kepedulian yang tinggi terhadap seni dan
budaya. Antara lain menciptakan tari klasik Golek Menak yang meneguhkan karekter khas gerak tari
gaya Yogyakarta.

HB IX wafat pada 2 Oktober 1988 di George Washington University Medical Center. HB IX


dimakankan di Kompleks Pemakaman Raja-raja di Imogiri. Sepanjang perjalanan jenazah dari
Keraton Yogyakarta sampai ke pemakaman sepanjang 20 kilometer, di kanan kiri jalan dipenuhi
orang. Lautan manusia itu menangisi kepergiannya. Atas jasanya, pemerintah RI menganugerahi HB
IX gelar Pahlawan Nasional.
HB X (1989 - sekarang)

Lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito pada 2 April 1946, yang merupakan anak tertua dari Sri
Sultan HB IX dari istri kedua BRAy Adipati Anum. Menikah dengan Tatiek Drajad yang kemudian
bernama GKR Hemas dikarunia lima putri. HB X ditetapkan sebagai Gubernur DIY pada 1998 sampai
sekarang.

Berganti nama KGPH Mangkubumi saat dinobatkan sebagai putra mahkota bergelar Hamengku
Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram.

HB X naik tahta raja pada 7 Maret 1989 menggantikan ayahnya, HB IX. HB X bertahta dengan gelar
Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-
Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing
Ngayogyakarta Hadiningrat.

Pada 30 April 2015, HB X mengeluarkan Sabdaraja, yang salah satu isinya mengganti nama dan gelar.
Nama dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono dengan gelar baru menjadi Ngarsa
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng
Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing
Tata Panatagama.

HB X kembali mengeluarkan Dawuhraja 5 Mei 2015. Isi dari Dawuhraja ini mengganti nama putri
sulungnya, GKR Pembayun berubah menjadi GKR Mangkubumi dengan gelar Hamemayu Hayuning
Bawono Langgeng ing Mataram. Banyak yang menduga, penggantian nama putri sulungnya ini
merupakan pengangkatan putri mahkota yang kelak akan naik tahta.

Sabdaraja dan Dawuhraja HB X ini ditentang oleh adik-adik kandungnya atau pangeran Keraton yang
berjumlah 14 orang. Sabdaraja dan Dawuhraja ini menimbulkan polemik yang berkepanjangan dan
menimbulkan pro dan kontra di luar istana Keraton. Sejak saat itu, hubungan kelurga inti HB X
dengan para pangeran Keraton (adik-adik HB X) tidak harmonis sampai sekarang. []

Anda mungkin juga menyukai