Dijawa Tengah dan sebagian Jawa Timur pada tahun 1825-1830 dilanda perang besar yang
hampir meruntuhkan kekuasaan imperialis Belanda di Indonesia. Dalam peperangan tersebut
dipimpin seorang yang bernaman Pangeran Diponegoro yakni yang merupakan seorang
bangsawan kesultanan Yogyakarta. Lalu bagaimana timbulnya perang besar tersebut simak
ulasanya dibawah ini.
Perang Jawa juga terkenal dengan sebutan perang diponegoro. Perang melawan
penjajahan di Jawa Tengah dan Timur yang berlangsung antara tahun 1825 sampai
dengan 1830. Perjuangan ini ditujukan pada kekuasaan asing, yaitu penguasa Hindia
Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan pemerintah Yogyakarta, yang menjadi
pemimpin peperangan adalah putra Sultan Hamengku Buwono III dari selirnya yang
bernama Pangeran Diponegoro. Munculnya Yogyakarta sebagai suatu kekuasaan baru
merupakan hasil perjanjian Gianti (1755) antara Raja Mataram dengan pihak VOC.
Hubungan yang berlangsung antara kekuasaan kerajaan Mataram di Jawa Tengah dengan
kekuasaan VOC, membawa akibat makin merosotnya kekuasaan bumiputra tersebut.
Daerah-daerah pantai wilayah negara berangsur-angsur dianeksasi oleh Belanda, seperti
Krawang, Semarang (1677), Cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan, dan Madura
(1743). Oleh karenanya pusat negara makin dipisahkan dari pantai. Kerajaan Mataram
kembali ke dalam kegiatan agraris dan mulai melepaskan tradisi perdagangan-pelayaran.
Kekuasaan raja yang kuat seperti pada masa Sultan Agung (1623-1645), sejak masa
pemerintahan penggantinya (Amangkurat I, 1645-1677), terus-menerus berkurang.
Sebaliknya wilayah kekuasaan kompeni Belanda semakin luas, sedangkan di bidang politik
pengaruhnya pada Mataram juga semakin besar.
Makin sempitnya wilayah Mataram dan berkurangnya kekuasaan raja membawa akibat
makin sempitnya orientasi politik penguasa kerajaan. Selain di bidang politik, di bidang
ekonomi pun pengaruh Belanda cukup besar. Makin meluasnya pengaruh Belanda dalam
urusan tata pemerintahan Mataram, sebenarnya tidak terlepas dari faktor intern dalam
negara Mataram sendiri, yaitu adanya gejala pertentangan antar-bangsawan. Terpecahnya
wilayah negara setelah Perjanjian Gianti pada tahun 1755 menjadi Surakarta dan
Yogyakarta, kemudian pada tahun 1757 dengan perjanjian Salatiga ditambah dengan
munculnya kekuasaan Mangkunegara dan akhirnya pada tahun 1813 dengan munculnya
kekuasaan Pakualam, lebih mempermudah pihak Belanda untuk mengawasi dan
mempengaruhi negara-negara yang terpecah-pecah itu. Dengan demikian sejak tahun
1755 nama kerajaan Mataram sudah tidak ada lagi. Pada awalnya, perang ini hanya
bersumber dari persoalan intern keraton. Pada Juli, 1825, Patih Danureja IV yang
merupakan antek Belanda yang setia, telah memerintah para pejabat Kesultanan
Yogyakarta untuk membuat jalan. Pembuatan jalan tersebut ternyata menembus tanah
milik Diponegoro, yang juga masih kerabat Kesultanan Yogyakarta, dan neneknya di
Tegalrejo. Bahkan, tanpa sepengetahuannya, pembuatan jalan tersebut sampai
menggusur pemakaman milik keluarga Diponegoro. Hal ini jelas mendapat perlawanan
keras dari Diponegoro.
Untuk itu, Diponegoro kemudian memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencabut
semua tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan Patih Danureja IV.
Tidak hanya itu, Diponegoro juga mengemukakan protes keras dan menuntut supaya
Patih Danureja IV dipecat dari jabatannya. Tetapi, A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda
di Yogyakarta, menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja
IV. Suasana tegang inilah yang menjadi pemicu meletusnya Perang Jawa.
Lahir 11 Nopember 1785 dari ayah Sultan Hamengkubuwono III. Sejak kecil diasuh
oleh neneknya Ratu Ageng, Permaisuri Hamengkubuwono I, pendiri kerajaan Yogyakarta
yang menetap. Berkat wanita bijaksana tersebut, ia tumbuh menjadi orang alim,
sederhana dan dekat dengan rakyat. Sementara Diponegoro tumbuh dewasa, di keraton
Yogyakarta terjadi kericuhan yang disebabkan campur tangan pemerintah Belanda.
Pengangkatan dan pemberhentian raja atau patih ditentukan oleh Belanda. Di samping itu
penindasan terhadap rakyat meningkat pula. Hasil tersebut menimbulkan sikap antipati
Diponegoro terhadap Belanda. Tanggal 20 Juni 1825, seorang utusan Belanda mengantar
surat ke Tegalrejo untuk menanyakan maksud Diponegoro. Saat itu paman dari
Diponegoro (Mangkubumi) dan Dewan Perwalian Kerajaan Yogyakarta sedang di
Tegalrejo. Baru beberapa kalimat disusun, sudah terdengar tembakan meriam. Penduduk
memberi perlawanan, namun kekuatan tidak seimbang. Mereka terpaksa mengundurkan
diri. Tegalrejo diduduki Belanda. Tempat tinggal Diponegoro, masjid dan bangunan lain
dibakar oleh Belanda. Ia memerintahkan rakyat menyingkir ke Selarong dan bersama
Pangeran Mangkubumi, ia menuju Kali Saka sambil menghunus pedang. Ia berkata pada
Mangkubumi “lihatlah paman, rumah dan mesjid sudah terbakar, saya tidak mempunyai
apa-apa lagi di dunia ini”.Dari kali Saka, ia bersama Mangkubumi, menuju ke Selarong. Ia
diangkat menjadi pimpinan tertinggi. Mangkubumi sebagai penasehat dan Pangeran
Angabei penasehat khusus saat perang. Kemudian muncul Sentot Prawirodirjo yang
berusia 16 tahun dan Kyai Mojo yang memberikan corak Islam kepada perjuangan.
Maklumat perang dilakukan di berbagai tempat, Jawa Barat, Jawa Timur, Rembang,
Tuban, Bojonegoro, Madiun dan Pacitan. Seruan ini disambut rakyat karena merasa sudah
lama tertindas penjajahan Belanda.
Pasukan Belanda yang dipimpin Kumesius berangkat dari Semarang dengan
membawa empat pucuk meriam, uang dan pakaian serta perbekalan. Di sebelah Barat
Laut Yogyakarta ia dekat Pisang desa Tempet, pasukan ini disergap pasukan Diponegoro.
Sebanyak 27 orang Belanda dibunuh, senjata, pakaian dan uang 50.000 gulden jatuh di
tangan pasukan Diponegoro. Pasukan Diponegoro mengepung Yogyakarta dari berbagai
penjuru, bahkan makanan di blokir, tidak boleh masuk kota. Kolonel Van Jett, mengirim
pasukan untuk menyerang Selarong namun gagal. Tiga bulan kemudian Diponegoro
memindahkan markasnya ke Dekso. Di tempat ini ia dinobatkan sebagai Sultan dengan
gelar Sultan Ngabdulkamid Herucokro Mukmini Panoto Gomo Jowo. Selama tahun 1825
dan 1826 pasukan Diponegoro banyak memperoleh kemenangan. Bulan Agustus 1826
Sentot berhasil menyergap pasukan Belanda, semua tewas kecuali Komandan Van Green.
Dalam pertempuran di Lenkong pasukan Diponegoro dapat membunuh seorang letnan
dan Pangeran Murdaningrat serta Pangeran Ponular. Kedua pangeran ini pengganti
Diponegoro dan Mangkubumi di Dewan Perwalian. Di Sadegan pasukan Diponegoro dapat
membunuuh beberapa perwira Belanda dan seorang Bupati. Tahun 1827 Belanda mulai
melipat gandakan kekuatan dengan cara membuat “Benteng Stelsel” dan usaha
perundingan seperti perundingan di Sombiroto, di Miangi, yang diwakili Kyai Mojo, namun
gagal. Saat Kyai Mojo bersama 600 prajurit “Bukilyo”, Kyai Mojo diikuti Belanda dan
ditangkap serta diasingkan ke Menado hingga wafat. Perundingan dengan Sentot gagal,
kemudian Belanda menggunakan Bupati Madiun yang masih kerabat Sentot, untuk
membujuk. Tanggal 24 Oktober 1829, Sentot menyerah dengan syarat, boleh memeluk
agama Islam dan memimpin pasukannya.
Belanda mengirim ke Sumatra Barat agar memerangi pasukan Padri, tapi Sentot
berbalik menyerang Belanda. Ia ditangkap dan dibuang ke Cianjur, kemudian ke Bengkulu
dan wafat tahun 1855 dan dimakamkan di sana. Meskipun ditinggalkan pembantu-
pembantu dekatnya, Diponegoro tidak mau menyerah. Dalam perjalanan dari Manoreh ia
dikepung Belanda, Diponegoro terjun ke jurang berhasil meloloskan diri. Setelah kejadian
ini, ia diiringi oleh Roso dan Banteng Wareng meneruskan pembaharuan perangnya.
Karena Belanda sulit menangkap Diponegoro, maka Belanda mengumumkan bagi siapa
yang dapat menangkap akan diberi hadiah 50.000 gulden, tanah dan kedudukan. Tanggal
16 Februari 1830 ia bersedia menerima utusan Belanda, Kolonel Cleerens. Waktu itu
menjelang bulan puasa, ia tidak bersedia berunding di bulan suci. Tanggal 28 Maret 1830
Diponegoro menemui Jenderal De Kock di Magelang, didampingi Basah Martonegoro, Kyai
Badarudin dan puteranya Diponegoro Anom. Di sini ia ditangkap, dibawa ke Semarang,
kemudian ke Jakarta dan di buang ke Menado. Tahun 1834, ia dipindahkan ke Benteng
Rotterdam di Ujung Pandang. Selama 25 tahun ia dikurung. Kisah perjuangannya, ditulis
dalam “Babad Diponegoro” dalam Bahasa Jawa setebal 700 halaman.
rakyat.
Para bangsawan merasa dirugikan karena pada tahun 1823 Belanda
menghentikan sistem hak sewa tanah para bangsawan oleh pengusaha swasta.
Akibatnya para bangsawan harus mengembalikan uang sewa yang telah
diterimanya.
Banyaknya macam pajak yang membebani rakyat misalnya pajak tanah, pajak
Secara umum dalam sebuah sumber dikatakan beberapa sebab terjadinya perang
diponegoro yaitu :
1. Diponegoro kecewa Dia tidak diangkat menjadi Sultan
2. Peristiwa penyewaan tanah.
3. Wilayah-wilayah Jawa yang berkurang akibat politik anexasi yang dilakukan Belanda
4. Tekanan yang merugikan rakyat yang dilakukan pemungut cukai orang tionghoa.
5. Merosotnya Budaya dalam kehidupan orang jawa, juga budi pekertinya.
6. Ketidakcakapan para residen dan pegawai Belanda yang di Jogjakarta.
Puncaknya adalah ketika tanah nenek moyang Diponegoro di Tegalrejo, hendak
dijadikan jalan oleh Belanda tanpa meminta persetujuan kepada Diponegoro, dengan kata
lain Jalan yang akan dibuat melintasi tanah leluhur Diponegoro, ini terjadi pada tanggal 20
juli 1825, Belanda memasang tonggak-tonggak yang menjadi tanda proyek pembuatan
jalan, Diponegoro yang tetap mempertahankan apa yang menjadi hak miliknya telah
menambah suasana menjadi sedemikian panas, namun hal ini sebenarnya telah
diantisipasi oleh Masyarakat, yang sejak ditancapkannya tonggak-tonggak itu, oleh
Belanda atas perantara Patih DanurejaIV, rakyat Tegal Rejo mendukung penuh
Diponegoro, bahkan mereka memepertanyakan apa kira-kira yang akan menjadi tanda
jika perang itu memang harsu terjadi, Diponegoro menjawab setelah adanya suara
meriam. Pada tanggal 20 juli 1825, sekitar jam 5 petang, terdengarlah oleh rakyat suara
meriam Belanda.
Pihak Blanda jauh lebih unggul dari segi persenjataan dibanding pangeran
Diponegoro dan pengikutnya. Belanda sudah menggunakan berbagai model
senapan, meriam, serta mortir. Sebaliknya Pangeran Diponegoro dan pengikutnya
hanya menggunakan tombak, keris, serta senapan klasik. Tetapi yang paling
menonjol dari siasat Pangeran Dipoegoro adalah penggunaan telik sandi untuk
mendapatkan informasi tentang musuh, yaitu Belanda.
Pangeran Diponegoro yang lahir pada tahun 1785 dengan nama kecilnya yakni
Antawirya, yang merupakan putera sulung Sultan Hamengkubuwono III dari selir. Saat
remaja diasuh oleh Ratu Ageng (janda Sultan Hamengkubuwono I) di Tegalrejo, kira-kira
1 km disebelah barat stasiun Yogyakarta. Semasa hidupnya beliau berusaha
memperdalam agama islam, sering bertapa di gua Langse dan sangat mementingkan
masalah-masalah rohaniah. Sikapnya terhadap rakyat amat baik dan selalu
memperhatikan nasibnya. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V (Mas
Menol), Pangeran Diponegoro diangkat menjadi wali raja, karena pada saat itu Sultan
Hamengkubuwono V masih dibawah umur. Pangeran Diponegoro mengangkat senjata
melawan imperialis Belanda pada tahun 1825-1830 dan wafat pada tanggal 8 Januari
1855, sebagai penghargaan perjuangannya, pemerintah Indonesia mengangkat Pangeran
Diponegoro sebagai pahlawan nasional, rumah kediaman beliau di Tegalrejo dibangun
dijadikan sebuah Monumen Diponegoro, nama Diponegoro diabadikan menjadi nama
kesatuan Divisi Jawa Tengah.