Anda di halaman 1dari 14

Perpecahan Kerajaan Mataram

Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III sesudah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta & Kasunanan Surakarta
tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dlm Perjanjian Giyanti [nama
diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah].
Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik & wilayah. Walaupun demikian
sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta & Kasunanan
Surakarta ialah “ahli waris” dari Kesultanan Mataram.

Pengganti Amangkurat II berturut-turut ialah Amangkurat III [1703-1708], Pakubuwana I


[1704-1719], Amangkurat IV [1719-1726], Pakubuwana II [1726-1749]. VOC tak menyukai
Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I [Puger]
sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja & ini menyebabkan perpecahan internal.
Amangkurat III memberontak & menjadi “king in exile” sampai tertangkap di Batavia lalu
dibuang ke Ceylon. Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered [1647], tak jauh
dari Karta. Selain itu, ia tak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan “sunan” [dari
“Susuhunan” atau “Yang Dipertuan”]. Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena
banyak ketidakpuasan & pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yg
dipimpin oleh Trunajaya & memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di
Tegalarum [1677] ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya,
Amangkurat II [Amangkurat Amral], sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana
banyak yg tak puas & pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi
ke Kartasura [1680], sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yg lama dianggap telah
tercemar.

http://www.sejarahnusantara.com/kerajaan-islam/sejarah-kesultanan-mataram-
1588%E2%80%931681-nagari-mataram-10011.htm jam 8.37 tgl 6/11/15

B. Perjanjian Giyanti
Ketika kerajaan Mataram berada di Keraton Kartasura, terjadi pemberontakan oleh Mas garendi
(Sunan Kuning). Alasannya karean ia mendesak Pakubuwana II (anak dari Pangeran Puger) yang
berkuasa tahun 1726 sampai 1749, agar tidak berkerja sama dengan Kompeni Belanda.
Kebijakannya diantaranya, Belanda diizinkan untuk membuat Benteng-benteng di Karatasura.
Begitu juga pemberontakan dilakukan oleh Pangeran Sambernyowo (R.M. Said), karena daerah
Sukowati yang diberikan pada ayahnya di cabut pada tahun 1742.
Akibat dari pemberontakan tersebut, akhirnya Pakubuwana II lari ke Ponorogo untuk meminta
bantuan kepada Bupati Ponorogo dan kompeni Belanda. Atas bantuan Mayor Baron Van Hanendrof
dan Adipati Bagus Suroto (Ponorogo), akhirnya pemberontakan dapat dipadamkan. Karena
keadaan keraton Kartasura yang hancur, maka PB II mengutus Tumenggung Tirtowijoyo dan
Pangeran Wijil untuk mencari tempat baru. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pada tahun
1745, Sala dipilih sebagai tempat baru kerajaan dan berubah nama menjadi “Surakarta
Hardiningrat”.
Campur tangan Belanda dalam setiap urusan di Mataram Surakarta membuat bangsawan kerajaan
Surakarta pecah menjadi dua kelompok yaitu setuju dengan Belanda. Dan yang tidak setuju
dengan Belanda. Yang tidak setuju termasuk adalah R. M Said (Pangeran Sambernyowo). Ia sering
kali mendatangi tangsi-tangsi Belanda dan Merebut senjata mereka. Belanda dibuat pusing dengan
pemberontakan tersebut dan Belanda menghadap PB II untuk meminta bantuan. Akhirnya PB II
memberikan sayembara, siapa yang dapat mengatasi pemberontakan tersebut, maka akan di beri
hadiah sebidang tanah di Surakarta (Mataram). Kemungkinan itu juga tidak lepas dari desakan
Kompeni Belanda. Pangeran Mangkubumi (adik PB II; dan menjabat sebagai penasehat raja
Mataram) menyanggupi untuk memadamkan pemberontakan Pangeran Sambernyowo tersebut.
Selain Raden Said, ada juga Ki Martapura (bekas Bupati Grobogan) yang bergabung dengan Raden
Said untuk melawan Kompeni Belanda. Sebenarnya Pangeran Mangkubumi juga tidak suka
terhadap Belanda. Akhirnya ia berbalik arah, yaitu dengan bergabung dengan Raden Said yang
sudah selama sembilan tahun (1743-1752) melawan Kompeni Belanda. Pangeran Mangkubumi
mengkabarkan ke Keraton bahwa pemberontakan sudah dipadamkan. Alangkah terkejutnya
Pangeran Mangkubumi ketika diadakan Paseban Agung (upacara besar) yang dihadiri oleh segenap
pembantu PB II dan pejabat Kompeni Belanda. Dalam acara tersebut Kompeni Belanda
mengusulkan agar sebidang tanah tersebut diberikan kepada patih mataram bukan penasehat raja
(Pangeran Mangkubumi).
Atas usul tersebut PB II bingung dan meminta pengertian dari adiknya (Pangeran Mangkubumi)
untuk bisa menerima. Pangeran Mangkubumi meminta restu kepada PB II, bahwa ia akan
mengusir Kompeni Belanda dari bumi Mataram. Mulai sejak itu Pangeran Mangkubumi
menghimpun kekuatan dengan mendirikan Pasenggerahan di Sukowati. Selain itu juga ia
bergabung denga rakyat Mataram di sebelah barat dan dengan Raden Said. Akhirnya
Pemberotakan yang sudah direncanakan matang terjadi, pihak Kompeni Belanda dan Mataram
mengalami kekalahan.
Akhirnya Belanda mengangkat topi dan memenuhi janjinya yaitu menyerahkan sebagian wilayah
Mataram kepada yang dapat memadamkan pemberontakan (Pangeran Mangkubumi). Diadakan di
Giyanti, pada tanggal 13 Februari tahun 1755, diadakan suatu perundingan perdamaian
(Perjanjian Giyanti). Intinya Mataram di bagi menjadi dua. Wilayah sebelah timur disebut
Kasunanan Surakarta dengan Pakubuwana II sebagai raja dan wilayah Barat disebut Kasultanan
Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Hamengku Buwono I (HB I).
Setelah diadakan perjajian Giyanti, Pangeran Mangkubumi menghentikan pemberontakannya.
Kemudian hidup tentram tanpa gangguan Belanda. Sedangkan Raden Said tetap melakukan
pemberontakan terhadap Kompeni Belanda di Surakarta.
C. Perjanjian Salatiga
Wilayah Mataram sudah dibagi menjadi dua, dan Pangeran Mangkubumi sudah mengakhiri
pemberotakannya. Namun tidak begitu dengan Raden Said (Pangeran Sambernyowo; 1725-1795),
ia tetap melanjutkan pemberontakannya terhadap Belanda di Surakarta. Raden Said sangat
membenci terhadap Kompeni Belanda dan menginginkan adanya persamaan hak dan kewajiban
rakyat Mataram. Sejak kecil ia sudah membenci Kompeni belanda. Pada umur 16 tahun ia sudah
memberontak bersama Sunan Kuning terhadap belanda. Tepatnya pada 30 Juni 1742.
Dengan adanya perjanjian Giyanti sebenarnya ditentang oleh Raden Said, karena hal tersebut
adalah rekayasa Kompeni Belanda untuk memecah mataram. Setelah Pangeran Mangkubumi
sudah menjadi Raja Yogyakarta, Raden Said berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua
kerajaan yaitu, Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, yang dianggapnya
berkhianat dan dirajakan oleh VOC), padahal Pangeran Mangkubumi dulunya adalah temannya
dalam melawan Kompeni Belanda, serta perlawanan pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-
1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Raden Said melakukan pertempuran sebanyak 250
kali.
Karena pemberontakan yang dilakukan terus menerus, akhirnya terjadilah perdamaian dengan
Sunan Paku Buwono III. Dengan ditanda tanganinya Perjanjian Salatiga, pada17 Maret 1757 di
Salatiga. Isinya adalah untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkoenagoro. Perjanjian ini
memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta (4000 karya, mencakup daerah yang
sekarang adalah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, dan sedikit wilayah di
Yogyakarta) dan menjadi penguasa Kadipaten Mangkunegaran.
Dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan
Hamengku Buwono I (Patih Danurejo) dan Kumpeni Belanda, juga disepakati bahwa, Raden Said
(pangeran sambernyowo) diangkat menjadi Mangkoenagoro I dan menjadi penguasa kadipaten
Mangkunegaran. Mangkunegoro hanya sebagai Adipati Miji (alias mandiri) dan tidak menyandang
gelar Sunan atau sultan. Walaupun sebagai Adipati mijil, kedudukan hukum mengenai
Mangkunagoro I, tidaklah sama dengan Kasunanan surakarta.
D. Pecahnya Yogyakarta
Ketika Jendral Deandles memerintah di Jawa (1808-1811), ia mengirimkan utusan ke Yogyakarta.
Tapi utusan tersebut ditolak oleh Hamengkubuono II (HB II). Karena sejak awal kebijakan
Deandles mengenai upacara penerimaan Residen di Istana Surakarta dan Yogyakarta. Menurut
perturan tersebut Residen di kerajaan harus diberi penghormatan dan menempatkan sejajar
dengan raja-raja. Berarti raja diturunkan martabatnya, dari raja yang merdeka menjadi raja
bawahan.
Di Istana Surakarta usul tersebut di terima, namun tidak begitu di Yogyakarta. HB II menentang
peraturan ini. Karena menentang peraturan ini, maka pada tahun 1810, HB II diturunkan
jabatannya dan bergelar “Sultan Sepuh”. Tetapi tetap boleh tinggal di Istana. Sebagai gantinya
diangkat putra mahkotanya menjadi Hamengku Buwono III (Sultan Rojo; berkuasa tahun 1810-
1811). Dalam masa pemerintahan HB III keadaan pemerintah semakin mundur dan
menguntungkan Belanda. Sultan Sepuh sangat merasakan hal ini, dan ia ingin mengambil tahta
kembali tanpa adanya keruntuhan pemerintahan. Peristiwa ini juga memberi kesempatan kepada
Deandles untuk memaksa Yogyakarta dan Surakarta untuk menerima peraturan tersebut pada
tahun 1811, yang menyebabkan keduanya kehilangan sebagian wilayahnya.
Karena kebijakan Deandles yang terlalu kejam, diantaranya pembangunan jalan dari Panarukan
sampai Anyer sepanjang 1000 km dan penyempitan wilayah kerajaan-kerajaan. Sebagian raja-
raja jawa (termasuk sultan sepuh) secara diam-diam menjalin hubungan dengan Inggris yang
pada saat itu berada di India untuk berdagang dengan bandar dagang bernama EIC (East Indian
Company). Pada waktu yang bersamaan tahun 1810, kekuasaan Louis Napoleon dicabut kembali
oleh Napoleon Bonaparte (Prancis). Jadi Belanda di bawah kekuasaan Prancis Karena prancis
terlibat konflik dengan Inggris (setelah revolusi Prancis, seluruh Eropa terkena pengaruh Prancis
kecuali Inggris), maka Prancis mengirimkan Gubernur Jendral Jansens ke Jawa untuk
mempertahankan tanah jawa. Sementara itu Deandles dipanggil ke Belanda pada tahun 1811.
Karena kekalahan Prancis dalam perang melawan Inggris di Eropa. Gilirannya Inggris datang ke
Hindia Belanda. Dengan ditanda tangani Kapitulasi Tuntang yaitu perjanjian penyerahan
kekuasaan di Nusantara atau Indonesia dari pemerintah Hindia-Belanda kepada Pemerintah
Britania-Raya pada tahun 1811 di sebuah desa yang bernama Tuntang, sekarang berada dibawah
kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang. Tempat ini dipilih karena merupakan tempat
peristirahatan para pembesar Hindia-Belanda, terletak di tepi danau Rawa Pening dan mengalir
sungai Tuntang yang bermuara ke Laut Jawa di Demak. Waktu itu Belanda sedang diduduki oleh
Perancis yang di bawah Jendral Jansens..
Sejak Ingris berkuasa di Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1811,dengan Thomas Stamford Raffles
sebagai Gubernur Jendral. HB II bisa naik tahta kembali, walaupun hanya satu tahun. Ternyata
Inggris tidak jauh beda dengan bangsa Eropa lainnya. Karena kebijakan sistem sewa tanah yang
memberatkan rakyat Mataram Khususnya. Pada tahun 1812, HB II mengajak Kasunanan untuk
mengadakan perlawanan terhadap Inggris. Melalui Pangeran Notokusumo (saudara HB II) Raffles
bisa lebih mengetahui gerak gerik HB II. Setelah mengetahui rencana Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta, akhirnya Ingris mengambil jalan kekerasan dengan menyerbu Yogyakarta.
Dan menurunkan jabatan HB II. Peristiwa ini berhasil memaksa Sultan dan Sunan untuk
menandatangani perjanjian baru pada tanggal 1 Agustus 1812. Isinya antara lain, Kedu, sebagian
dari Semarang, Rembang dan Surabaya menjadi milik Inggris. Setelah itu HB II atau Sultan Sepuh
ditangkap pada tahun 1812 dan diasingkan ke Pulau Pinang.
Kemudian Raffles mengangkat Putra Mahkotanya menjadi Hamengku Buwono III (berkuasa untuk
kedua kalinya tahun.1810-1814) dan dipaksa untuk memberikan sebagian wilayahnya kepada
Pangeran Notokusumo sebagai tanda jasa Raffles kepadanya. Peristiwa itu terjadi pada tahun
1813. Seperti Surakarta, Yogyakarta juga dibagi menjadi dua. Yaitu Kasultanan Yogyakarta
dengan HB III sebagai Raja, dan Pakualaman dengan Pangeran Notokusumo sebagai raja dengan
gelar “Kanjeng Gusti Pakualaman I”. karena jasanya, Inggris juga membantu pembangunan Istana
dan tiap bulan memberikan bantuan kepada pakualaman.
E. Perang Diponegoro
Setelah dilakukan perjanjian antara Belanda dan Inggris dalam konversi London tahun 1814.
Daerah jajahan Hindia Belanda (Indonesia) dikembalikan pada Belanda, bukan Prancis. Untuk
mengurusi daerah jajahan tersebut dikirim komisi jendral yang terdiri dari Van der Capellen, Elout
dan Buyskes. Ketika Pulau Jawa dikembalikan pada Belanda, raja-raja Jawa berharap bisa
memulihkan keadaan Kerajaan. Tetapi ternyata Belanda memperrbarui kebijakan-kebijakan yang
dilakukan Inggris.
Puncaknya di Yogyakarta, terjadi peperangan yang besar yaitu perang diponegoro (Perang Jawa)
yang terjadi tahun 1825 sampai tahun1830. Disebut Perang Jawa, karena peperangan ini melanda
hampir di seluruh Jawa. Peperangan ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (putra mahkota
Pangeran Adipati Anom). Penyebab perang adalah kerena Belanda selalu ikut campur
permasalahan di Mataram. Perang ini merupakan puncak kebencian kerajaan sejak awal
kedatangan Belanda di Jawa Tengah, yang menyebabkan kemerosotan di Mataram. Wilayah
Mataram makin sempit karena banyak dianeksi oleh Belanda sebagai imbalan atas bantuannya.
Selain itu juga penyebabnya adalah terjadinya pembagian Mataram menjadi empat wilayah yaitu,
Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman. Dan penderitaan rakyat yang semakin
berat, dengan adanya kerja Rodi dan pajak tanah. Selain sebab-sebab tersebut, terdapat sebab
khusus mengapa Pangeran Diponegoro melakukan peperangan. Yaitu adanya proyek pembuatan
jalan yang melalui makam makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danuharjo
(kaki tangan Belanda) memerintah pemasangan patok-patok di jalur itu. Pangeran Diponegoro
memerintah untuk mencabutnya, tetapi di pasang kembali. Hal tersebut terjadi berulang kali,
sehingga patok-patok tersebut diganti dengan tombak oleh Pangeran Diponegoro untuk berperang
melawan Belanda.
Dalam peperangan tersebut Pangeran Diponegoro tidak sendirian. Selain dengan pasukannya,
beliau juga dibantu oleh Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasa Prawiradiraja, dan Kiayi Mojo dari
Surakarta. Kiayi Mojo berhasil mengobarkan jihad di daerah Yogyakarta, Surakarta, Bagelen dan
sekitarnya. Tahun 1826, Pangeran Diponegoro memperoleh kemenangan gemilang di
Ngalengkong. Kemenangan ini merupakan kemenangan terbesar dalam peperangan Gerilya
(bawah tanah) yang dilakukan Pangeran Diponegoro. Rakyat menobatkan Pangeran Diponegoro
dengan gelar “Sultan Abdul Hamid Herutjokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah
Tanah Jawa”. Penobatan ini dilakukan di desa Dekso.
Selain kemenangan gemilang, dalam perang gerilya selanjutnya terjadi konflik intrnal antara
Pangeran Diponegoro dengan Kiayi Mojo. Yaitu mengenai permasalahan pemerintahan dan
keagamaan. Dalam perselisihan tersebut Kiayi Mojo berpendapat bahwa kedua masalah tersebut
harus dipegang secara terpisah, bukan dipegang oleh satu tangan. Seperti pendapat Pangeran
Diponegoro. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena usulan perang terbuka yang diusulkan
Kiayi Mojo tidak diterima oleh Pangeran Diponegoro.
Tidak hanya dengan Kiayi Mojo. Sentot Alibasa juga meninggalkan pangeran Diponegoro.
Alasannya karena Sentot alibasa mengingginkan perang terbuka, bukan perang gerilya. 1829
merupakan tahun yang kritis bagi Pangeran Diponegoro. Kerena satu demi satu pengikutnya mulai
meninggalkannya. Anehnya Sentot Alibasa menyerah kepada Belanda dengan berbagai syarat
diantaranya pemberian pinjaman sebesar 10.000 Ringgit, diberikan senapan dan tetap memeluk
Islam. Hal tersebut disambut gembira oleh belanda. Sentot diangkat menjadi Letnan Kolonel dan
langsung dibawah pimpinan Jendral De Kock.
Setelah kehilangan para pengikutnya, perang gerilya yang dilakukannya selama ini agak menjadi
lemah. Hingga pada akhirnya pada bulan februari tahun 1830 terjadi perundiang antara Belanda
dan Pangeran Diponegoro. Dari pihak Belanda diwakili oleh Jendral De Kock. Dalam perundinga
tersebut Pangeran diponegoro meminta agar berdirinya negara yang merdeka dibawah pimpinan
Sultan dan juga ingin menjadi Amirulmukminin diseluruh tanah jawa. Melihat sikap beliau yang
teguh, Belanda tidak dapat memenuhi permintaannya.
Kemudian Pangeran diponegoro ditangkap dan ditawan di Batavia, kemudian dipindahkan ke
Menado. Selanjutnya dipindahkan ke Makasar di Benteng Rotterdam. Dengan ditangkapnya
Pangeran diponegoro, maka berakhirlah perang Jawa. Dalam perang ini belanda banyak sekali
mengeluarkan biaya untuk peperangan. Tidak hanya itu, pada waktu yang bersamaan Belanda
juga menghadapi “Perang Paderi” di sumatra Barat. Belanda mengakui Perang Diponegoro
merupakan perang yang paling berat yang pernah dihadapi. Pangeran Diponegoro meninggal di
Makasar tanggal 8 Januari 1855.

https://kunen.wordpress.com/2009/02/17/kerajaan-mataram/ diakses tanggal 11/6/15


pukul 11.10

A. AWAL BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM ISLAM


Setelah kerajaan Demak runtuh, kerajaan Pajang merupakan satu-satunya kerajaan di Jawa
Tengah. Namun demikian raja Pajang masih mempunyai musuh yang kuat yang berusaha
menghancurkan kerajaannya, ialah seorang yang masih keturunan keluarga kerajaan Demak
yang bernama Arya Penangsang. Raja kemudian membuat sebuah sayembara bahwa barang
siapa mengalahkan Arya Penangsang atau dapat membunuhnya, akan diberi hadiah tanah di
Pati dan Mataram. Ki Pemanahan dan Ki Penjawi yang merupakan abdi prajurit Pajang berniat
untuk mengikuti sayembara tersebut. Di dalam peperangan akhirnya Danang Sutwijaya berhasil
mengalahkan dan membunuh Arya Penangsang. Sutawijaya adalah anak dari Ki Pemanahan,
dan anak angkat dari raja Pajang sendiri. Namun karena Sutawijaya adalah anak angkat Sultan
sendiri maka tidak mungkin apabila Ki Pemanahan memberitahukannya kepada Sultan
Adiwijaya. Sehingga Kyai Juru Martani mengusulkan agar Ki Pemanahan dan Ki Penjawi
memberitahukan kepada Sultan bahwa merekalah yang membunuh Arya Penangsang. Ki Ageng
Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.

Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-
kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah
Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga
sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak
kepada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai
raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu
wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senopati bertahta sampai wafatnya
pada tahun 1601. Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang
menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri,
Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan
Senopati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.

http://pendidikan4sejarah.blogspot.co.id/2011/11/kerajaan-mataram-islam.html 11.20 tgl


11/6/15

Anda mungkin juga menyukai