Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan
tercantum dalam Staatsblad 1941, No. 47.
Saat menjadi putra mahkota beliau mengusulkan untuk dibangun benteng kraton
untuk menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta
dan menangkap Sultan Sepuh yang kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian
dipindah ke Ambon.
Sri Sultan Hamengku Buwono V (25 Januari 1820 – 1826 dan 1828 – 4 Juni 1855)
bernama kecil Raden Mas Menol dan dinobatkan sebagai raja di kesultanan
Yogyakarta dalam usia 3 tahun. Dalam memerintah beliau dibantu dewan
perwalian yang antara lain beranggotakan Pangeran Diponegoro sampai tahun
1836. Dalam masa pemerintahannya sempat terjadi peristiwa penting yaitu Perang
Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung 1825 – 1830. Setelah perang selesai
angkatan bersenjata Kesultanan Yogyakarta semakin diperkecil lagi sehingga
jumlahnya menjadi sama dengan sekarang ini. Selain itu angkatan bersenjata juga
mengalami demiliterisasi dimana jumlah serta macam senjata dan personil serta
perlengkapan lain diatur oleh Gubernur Jenderal Belanda untuk mencegah
terulangnya perlawanan kepada Belanda seperti waktu yang lalu.
Beliau mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan putra yang dapat
menggantikannya dan tahta diserahkan pada adiknya.
Biasanya dalam pergantian tahta raja kepada putera mahkota ialah menunggu
sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena
pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII
masih hidup, bahkan menurut cerita masa lalu sang ayah diasingkan oleh anaknya
pengganti putera mahkota yang wafat ke Keraton di luar keraton Yogyakarta.
Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di
dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah
menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun tahta,
Hamengkubuwono VII pernah mengatakan “Tidak pernah ada Raja yang mati di
keraton setelah saya” yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua
raja setelah dirinya yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII
meninggal dunia di tengah perjalanan di luar kota dan Hamengkubuwono IX
meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika
seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di
keraton pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri.
Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang
dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah
Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil
presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk
dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor
yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai
Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada
KKN.
Keberpihakannya pada rakyat ini memang terbukti. Pada 14 Mei 1998, ketika
gelombang demontrasi mahasiswa semakin membesar, Sultan mengatakan, “Saya
siap turun ke jalan”. Ia benar-benar tampil dan berpidato di berbagai tempat
menyuarakan pembelaan pada rakyat, sambil berpesan “Jogja harus menjadi
pelopor gerakan reformasi secara damai, tanpa kekerasan”.Aksi turun ke jalan
yang dilakukan Sri Sultan HB X itu bukan tanpa alasan. “Jika pemimpin tidak benar,
kewajiban saya untuk mengingatkan. Karena memang kebangetan (keterlaluan), ya
tak pasani sesasi tenan (ya saya puasai sebulan penuh)”, katanya.
Puasa itu dimulai 19 April dan berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X dan Sri
Paku Alam VIII tampil bersama menyuarakan “Maklumat Yogyakarta”, yang
mendukung gerakan reformasi total dan damai. Itu yang dia sebut ngelakoni. Pada
akhir puasa, ia mengaku mendapat isyarat kultural “Soeharto jatuh, manakala
omah tawon sekembaran dirubung laron sak pirang-pirang” (sepasang sarang tawon
dikerumuni kelekatu dalam jumlah sangat banyak).
Di era reformasi, bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais, Sultan Hamengku
Buwono X menjadi tokoh yang selalu diperhitungkan. Legitimasi mereka berempat
sebagai tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat bahkan melebihi legitimasi yang dimiliki
lembaga formal seperti DPR. Mereka berempat adalah deklarator Ciganjur, yang
lahir justru ketika MPR sedang melakukan bersidang. Mereka berempat, plus
Nurcholis Madjid dan beberapa tokoh nasional lain, diundang Pangab Jenderal TNI
Wiranto untuk ikut mengupayakan keselamatan bangsa, setelah pristiwa kerusuhan
di Ambon.Pada masa kepemimpinannya, Yogyakarta mengalami gempa bumi yang
terjadi pada bulan Mei 2006 dengan skala 5,9 sampai dengan 6,2 Skala Richter yang
menewaskan lebih dari 6000 orang dan melukai puluhan ribu orang lainnya.
Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7 April 2007,
ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat setelah periode jabatannya
2003-2008 berakhir. Dalam pisowanan agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga, ia
mengaku akan mulai berkiprah di kancah nasional. Ia akan menyumbangkan
pemikiran dan tenaganya untuk kepentingan bangsa dan negara.