Anda di halaman 1dari 6

KESULTANAN YOGYAKARTA

Oleh:

Hamid Roisul Wusti, Cila Nur Azahra, Mochammad Afifudin

Abstrak

Yogyakarta adalah salah satu daerah Istimewa yang terletak di Indonesia yang memiliki
budaya bernafaskan Islam. Secara geopolitis, keistimewaan dari wilayah Yogyakarta
dipengaruhi oleh letak strategis Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa. Berdirinya
Kasultanan Yogyakarta adalah sebagai akibat dari Perjanjian Gianti yang terjadi pada tanggal
13 Februari 1755. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Palihan Nagari. Dalam Perjanjian
Giyanti tersebut akhirnya Kerajaan Mataram dibagi dua wilayah antara Sunan Paku Buwono
III dengan P Mangkubumi. Setengah wilayah yang dikuasai oleh Sunan Paku Buwono III
tetap bertahta di Kasultanan Surakarta, sedangkan wilayah yang dikuasai oleh P Mangkubumi
bertahta di Yogyakarta.

Kata Kunci : Kesultanan Yogyakarta, Kerajaan Mataram, islam.

PENDAHULUAN

Budaya masyarakat Yogyakarta 1677). Kesultanan Mataram memiliki


yang sudah terbentuk dengan tradisi peran yang cukup penting dalam
Islamnya tidak terlepas dari peran perjalanan kerajaan-kerajaan Islam di
masuknya Islam di tanah Jawa yang Nusantara. Hal ini dapat dilihat dari
diawali dari sejarah kerajaan Mataram semangat raja-raja nya untuk memperluas
yang tidak lain merupakan kerajaan Islam daerah kekuasaan dan meng-Islamkan
kedua setelah Demak di tanah Jawa. Awal para penduduk daerah kekuasaannya,
berdirinya Kerajaan Mataram adalah pada keterlibatan para pemuka agama, hingga
tahun 1582. pusat kerajaan ini terletak di pengembangan kebudayaan yang bercorak
sebelah tenggara kota Yogyakarta, yaitu di Islam di Jawa. Kerajaan mataram islam
daerah Kotagede. Para raja yang pernah pada awal mulanya di dirikan oleh
memerintah di Kerajaan Mataram antara panembahan senopati pada tahun 1575,
lain adalah penembahan Senopati (1584- dan mencapai puncak kejayaannya pada
1601), panembahan Seda Krapyak (1601- tahun 1613 sampai 1645. Pada saat itu
wilayah kekuasaan kerajaan mataram ini secara resmi sudah menjadi bagian dari
meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Republik Indonesia pada tahun 1950,
sebagian daerah Jawa Barat. Setelah kompleks bangunan keraton ini masih
perang Trunojoyo berakhir mataram harus berfungsi sebagai tempat tinggal sultan
melepaskan daerah krawang, priangan, dan dan tempat tinggal keluarga istananya
semarang. Wilayah kerajaan ini semakin yang masih menjalankan tradisi kesultanan
menyempit setelah berakhirnya perang hingga saat ini. Keraton ini sekarang juga
Giyanti yang terjadi pada tahun 1755, adalah salah satu objek wisata yang ada di
hingga akhirnya kerajaan mataram ini Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks
dipecah dan dibagi menjadi dua bagian keraton adalah museum yang menyimpan
yaitu kerajaan Surakarta dan kerajaan banyak sekali barang koleksi milik
Yogyakarta. kesultanan, termasuk berbagai pemberian
dari raja-raja Eropa, replika pusaka
METODE PENELITIAN
keraton, dan gamelan. Dari segi
Penelitian ini menggunakan bangunannya, keraton ini adalah salah satu
metode kepustakaan (library research), contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik,
karena data-data yang diperoleh adalah mempunyai balairung-balairung mewah
melalui studi pustaka. Adapun proses dan lapangan serta paviliun yang luas.
penelitian yakni diawali dengan
Berdirinya Kesultanan Yogyakarta
menentukan subyek, pengumpulan
ini berawal berdasarkan adanya Perjanjian
sumber, analisis sumber, penyimpulan data
Giyanti pada Tanggal 13 Februari 1755
dari literature dengan cara menelaah isi
yang ditandatangani Kompeni Belanda di
dari jurnal yang berkaitan dengan tema.
bawah tanda tangan Gubernur Nicholas
PEMBAHASAN Hartingh atas nama Gubernur Jendral
Jacob Mossel. Isi dari Perjanjian Gianti
Pembentukan Kesultanan Yogyakarta
yaitu: Negara Mataram dibagi dua
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Setengah masih sebagai Hak Kerajaan
biasa dikenal dengan nama Keraton Surakarta, setengah lagi sebagai Hak
Yogyakarta adalah merupakan istana resmi Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu juga Pengeran Mangkubumi diakui
yang saat ini berlokasi di Kota sebagai Raja atas setengah wilayah
Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar
Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut Sultan Hamengku Buwono Senopati
Ingaloga Abdul Rachman Sayidin pemerintah (lurah), yang memiliki
Panatagama Khalifatullah. Adapun kedudukan sosial di bawah patuh.
wilayah-wilayah yang menjadi
Masa-Masa Pemerintahan Kesultanan
kekuasaannya adalah Mataram
Yogyakarta
(Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen,
Kedu, Bumigede dan ditambah wilayah Sultan Yogyakarta pertama adalah
mancanegara yaitu: Madiun, Magetan, Pangerana Mangkubumi yang bergelar Sri
Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Sultan Hamengkubuwono I. Beliau
Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, memerintah sejak adanya Perjanjian
Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Giyanti pada tahun 1755 hingga beliau
Wonosari, Grobogan. Setelah selesai wafat pada 24 Maret 1792. Setelah
Perjanjian Pembagian Daerah itu, Perjanjian Giyanti itu pula gelar
Pengeran Mangkubumi yang bergelar Khalifatullah melekat pada Sultan
Sultan Hamengku Buwono I segera Yogyakarta. Setelah Sultan
memutuskan bahwa Daerah Mataram yang Hamengkubuwono I wafat dia digantikan
terdapat di dalam kekuasaannya itu diberi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono II yang
nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan memiliki nama asli Raden Mas Sundoro.
beribukota di Ngayogyakarta Sultan HB II juga memiliki gelar Kanjeng
(Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara
pada tanggal 13 Maret 1755. Dalam hal Sudibya Raja Putra Nalendra Mataram.
pengawasan terhadap tanah kasultanan Sikap Sultan HB II berbeda dengan Sultan
yang sangat luas, sultan menyerahkannya HB I, karena Sultan HB II menolak tegas
pada kerabat sultan (sentana dalem) dan campur tangan atau kerjasama dengan
para pegawai (priyayi) yang ditunjuk oleh pihak asing (Belanda dan Inggris)
sultan yang disebut “patuh”, sedangkan sedangkan Sultan HB I bersedia untuk
tanah yang dikuasakan pada mereka bekerjasama dengan pihak Belanda.
disebut “tanah kepatuhan” atau “tanah Namun, Sultan HB II ini melakukan
lungguh (apanage)”. Atas tanah lungguh blunder disaat beliau menjadi seorang
tersebut, para patuh dapat memungut pajak Sultan. Beliau mengganti para penasihat
sebagai penghasilan mereka. Dalam dari Sultan HB I, padahal para
menjalankan pengawasan terhadap tanah penggantinya tersebut tidak cakap sebagai
tanah kasultanan, patuh menyerahkan hak- penasihat. Hal ini pun sangat merugikan,
hak kekuasaan mereka pada pembantu karena salah satu penasihatnya yang
mereka di perkotaan, yaitu aparat bernama Patih Danureja II yang malah
berkhianat dengan mendukung pihak raja Yogyakarta yang dinaikkan tahta tiga
Belanda. Dukungan yang lemah dari kali berturut-turut sebagai akibat dari
orang-orang sekitar raja membuat kisruh politik internal keraton. Beliau tiga
Pemerintah Kolonial Belanda untuk kali bergantian sebagai raja dengan Sultan
menggantinya dengan putra mahkotanya. HB III, Sultan HB IV dan Sultan HB V.
Hal ini dilakukan, karena pihak Belanda Pemerintahan Sultan HB II ini bisa
ingin menyetarakan residen Belanda dibilang sebagai pemerintahan yang tidak
dengan penguasa di Jawa dan hal ini stabil karena gonjang-ganjing dalam
ditolak keras oleh Sultan HB II karena pemerintahannya.
dianggap menghina kedudukannya. Pada
Setelah Sultan HB II wafat
30 Desember 1810 para pasukan Belanda
pemerintahan dipegang oleh Sultan HB V
yang dipimpin oleh Daendels bergerak
yang lahir pada tahun 1821 dan memiliki
menuju Yogyakarta untuk memaksa Sultan
nama asli G.R.M Gathot Menol. Sebelum
HB II turun dari tahta dan digantikan oleh
tahun 1828 beliau pernah menjadi raja
putar mahkotanya. Namun, Sultan HB II
termuda yang berumur 3 tahun meskipun
berhasil kembali ke tahta dan menghadapi
dibawah perwalian Sultan HB II dan
masalah baru dari Inggris. Dia beerusah
Sultan HB III. Belanda tidak suka dengan
bekerjasama dengan Kasunan Surakarta
kepemimpinan Sultan HB V yang masih
untuk mengumpulkan militer guna
dianggap terlalu muda, kurang mendapat
menyerang pasukan Inggris. Namun hal ini
dukungan dari masyarakat dan kurang
diketahui oleh mata-mata Inggris di
cakap karena pemerintahannya juga masih
Keraton Yogyakarta. Raffles akhirnya
dibawah perwalian Pangeran Diponegoro.
memutuskan untuk menyerang Keraton
Pangeran Diponegoro sendiri kurang
Yogyakarta pada Juni 1812 karena
mendapatkan hak-haknya saat menjadi
menganggap Sultan HB II tidak mau
wali dari Sultan HB V. Pangeran
bekerjasama dengan pihak Inggris.
Diponegoro akhirnya melakukan
Peristiwa inipun dikenal dengan peristiwa
perlawanan terhadap pemerintah kolonial
Geger Sepoy. Setelah peristiwa tersebut
dibantu oleh Kyai Mojo dan Sentot
Sultan HB II diasingkan ke Pulau Penang,
Prawirodirdjo. Belanda pun berupaya
lalu ke Jakarta dan Ambon. Di sisa
untuk memecah masyarakat Yogyakarta
hidupnya beliau kembali menjadi raja pada
agar tidak mendukung perlawanan dari
tahun 1826-1828. Sultan HB II dikenal
Pangeran Diponegoro. Namun, masyarakat
sebagai raja yang kontroversial dan
terus berjuang melawan pemerintah
berkepala batu. Dia menjadi satu-satunya
kolonial Belanda dengan dipimpin oleh VII terhasut oleh Belanda dan menunjuk
Pangeran Diponegoro. Walaupun, pada adik kandung R.M. Juminah yang bernama
akhirnya beliau ditangkap oleh Belanda R.M. Putro sebagai penggantinya, namun
pada 28 Maret 1830 hingga diasingkan ke upaya ini gagal karena dia meninggal pada
Manado dan meninggal di Makassar pada 20 Februari 1913. Keinginan Belanda yang
8 Januari 1855. Sultan HB V yang berupaya untuk segera menguasai garam
memerintah kerajaan ini juga meninggal yang ada di Kesultanan Yogyakarta
pada 5 Juni 1855 dalam usia 34 tahun. sehingga memaksa untuk menunjuk
Karena anak dari Sultan HB V belum lahir, pewaris tahta baru. Beliau lalu, menunjuk
akhirnya dilantiklah adik kandung Sultan Puruboyo sebagai pewaris tahta di
HB V, Raden Mas Mustojo sebagai Sultan Kesultanan Yogyakarta. Puruboyo
HB VI pada 15 Juli 1855. dinobatkan sebagai Sultan HB VIII pada 8
Februari 1921. Sultan HB VIII mempunyai
Sultan HB VI memerintah hingga
beberapa peran dalam memajukan
beliau wafat pada 20 Juli 1877 dan
pendidikan, organisasi, hingga kesehatan.
digantikan oleh anaknya yang bernama
Beliau juga menitipkan anak-anaknya di
G.R.M. Murtedjo sebagai Sultan HB VII.
luar lingkungan keraton. B.R.M.
Pada masa ini Sultan HB VII bersiap untuk
Dorojatun salah satunya, yang dititipkan
melakukan pembaharuan administratif
ke keluarga Belanda sejak berumur 4
yang dikonsepkan oleh pemerintah
tahun. B.R.M. Dorojatun akhirnya
kolonial, khususnya dalam bidang hukum
dipanggil kembali ke Yogyakarta pada
dan keamanan. Sultan HB VII memiliki 21
tahun 1939. Setelah ayahnya wafat beliau
istri serta memiliki 78 anak yang terdiri
menjadi Sultan Yogyakata yang bergelar
atas 31 putra dan 47 putri. Sultan HB VII
Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Beliau
kemudian menunjuk R.M. Juminah
menjadi sultan kesembilan sekaligus
sebagai pewaris tahta yang didasarkan
gubernur pertama Daerah Istimewa
karena beliau merupakan putra permaisuri
Yogyakarta yang berkuasa sejak tahun
pertama, Ratu Hemas. Namun, pewarisan
1940-1988. Setelah beliau wafat pada 2
tahta tersebut gagal karena Belanda
Oktober 1988, posisinya digantikan oleh
menghasut Sultan HB VII agar
B.R.M. Herjuno Darpito yang bergelar Sri
menurunkan sang pangeran dari tahtanya.
Sultan Hamengkubuwono X. Sejak saat
Hal itu dilakukan Belanda karena R.M.
itu, Sri Sultan HB X menjabat sebagai
Juminah membuat kebijakan yang
Sultan Yogyakarta sekaligus gubernur DIY
merugikan Belanda. Akhirnya, Sultan Hb
hingga saat ini. Inilah satu-satunya
pemerintahan monarki yang masih tersisa
di Indonesia hingga saat ini, oleh karena
itu daerah ini masih disebut sebagai daerah
istimewa karena gubernurnya adalah sultan
yang pemerintahnnya berganti melalui
keturunannya (tidak melalui pemilu).

Daftar Pustaka

Aulia Arif Rahman. Islam dan Budaya Masyarakat


Yogyakarta Ditinjau dari Perspektif Sejarah.

Ilmiawati Safitri. 2019. Keraton Yogyakarta Masa


Lampau dan Masa Kini : Dinamika Suksesi Raja-
Raja Jawa dan Politik Wacana Raja Perempuan
dalam jurnal Indonesian Historical Studies, Vol. 3
No. 1, 44-57. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada

Koentjoroningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta


: Balai Pustaka

Kristina Elis Wijayanti. 2007. Peranan Sultan


Hamengkubuwono I dalam Pembentukan
Kesultanan Yogyakarta Tahun 1755. Yogyakarta :
Universitas Sanata Dharma

Sartono Kartodirdjo. 1977. Sejarah Nasional


Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka

Anda mungkin juga menyukai