A. Latar Belakang
Daerah Istimewa Jogjakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Yogyakarta, merupakan kota
yang terkenal dengan sejarah dan warisan budayanya, seperti keraton. Masyarakat percaya bahwa
keraton merupakan referensi budaya mereka. Dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun
keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa studi yang dilakukan pada tahun 1990 menunjukkan
bahwa kesetiaan masyarakat kepada keraton sangat tinggi. Pengaruh tersebut makin meluas semenjak
raja dapat menggabungkan kepemimpinan yang karismatik dengan kepemimpinan yang rasional dan
modern.
Keraton berasal dari kata “rat” mendapat awalan “ka” atau “ke” dan akhiran “an” mempunyai
arti tempat tinggal ratu, pusat pemerintahan ratu, atau ibu kota kerajaan. Sedangkan kerajaan berasal
dari kata “raj” mendapat awalan “ke” atau “ka” dan mendapat akhiran “an” mempunyai arti tempat
tinggal raja yang erat hubungannya dengan daerah atau wilayah kekuasaan raja. Menurut Darsiti
Soeratman arti keraton memiliki beberapa makna, antara lain yang pertama negara atau kerajaan dan
yang kedua yaitu pekarangan raja, meliputi wilayah di dalam cepuri (tembok yang mengelilingi
halaman). Pada intinya Darsiti Soeratman menyebutkan bahwa keraton yaitu ruang lingkup tempat
kediaman raja. Sedang arti yang lebih luas lagi, dapat di uraikan secara sederhana bahwa, lingkungan
seluruh struktur dan bangunan wilayah keraton mengandung arti tertentu yang berkaitan dengan salah
satu padangan hidup jawa yang sangat esensial, yaitu, Sangkan Paraning Dumadi (Dari mana asalnya
manusia dan kemana akhirnya manusia setelah mati) .
Nama Keraton Kasultanan Yogyakarta, tentu sudah tidak asing lagi ditelinga kita, kerajaan
yang hingga sekarang ini masih eksis ini merupakan daya tarik pariwisata tersendiri khususnya bagi
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keraton Yogyakarta dibangun oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono I, pada tahun 1756 di wilayah hutan Beringan. Nama hutan tersebut kemudian diabadikan
untuk nama pasar di pusat kota yaitu,yang terkenal dengan nama Pasar Beringharjo. Sedang istilah
Yogyakarta berasal dari kata YOGYA dan KARTA. Yogya artinya baik dan Karta artinya makmur.
Namun pengertian lain menyatakan bahwa Yogyakarta atau Ngayogyakarta itu berasal dari kata
Ayu+Bagya+Karta (Baca : Ngayu+Bagya+Karta), menjadi Ngayogyakarta.
Keraton Yogyakarta ini menghadap ke arah utara dengan halaman depan berupa lapangan yang
disebut alun-alun Lor (Alun-alun Utara), yang pada zaman dahulu dipergunakan sebagai tempat
mengumpulkan rakyat, latihan perang bagi para prajurit kraton, dan tempat penyelenggaraan upacara
adat serta untuk keperluan lainya. Pada masa sekarang fungsi alun-alun Lor hanya untuk upacara
Garebeg dan perayaan Sekaten. Dibagian tengah alun-alun Lor terdapat dua pohon beringin yang
dikelilingi tembok, yang disebut Beringin Kurung (Waringin Kurung). Dua pohon beringin yang
bersebelahan itu masing-masing mempunyai nama (Kyai Dewadaru-barat) berasal dari Majapahit dan
(Kyai Wijayadaru-timur) yang bibitnya berasal dari Pajajaran.
Pusat wilayah Keraton Yogyakarta luasnya 14.000 meter pesegi, dengan dikelilingi tembok benteng
setinggi 4 meter dan lebar 3,5 meter. Disetiap sudutnya terdapat penjagaan atau Bastion, untuk
melihat/mengawasi keadaan diluar maupun di dalam Benteng Keraton.
Garis besarnya wilayah Kraton Yogyakarta yang memanjang sepanjang 5 Km, dari Panggung
Krapyak di sebelah selatan hingga Tugu Kraton di sebelah utara,terdapa garis linier dualisme terbalik
yang bisa dibaca secara simbolik filosofis. Dari arah selatan keutara mulau dari Panggung Krapyak,
melambangkan arti proses terjadinya manusia, mulai ketika masih berada di dalam arwah (Tempat
Tinggal), samapai hadir kedunia lantaran ibu dan bapak. Disini keraton sebagai badan jasmani
manusia, sedang Raja/Sultan adalah lambing jiwa sejati yang hadir kedalam badan jasmani.
Sedang dari utara keselatan,melambangkan proses perjalanan manusia pulang kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa,sebagai asal dari segala apa yang ada (DUMADI). Oleh karena itu sebutan Sangkan
Paraning Dumadi adalah Sebutan lain untuk Tuhan dalam pandanga hidup Jawa. Panggung Krapyak
adalah tempat tinggi, dalam hal ini adalah lambing tempat asalnya manusia secara esensial disisi Tuhan
sebagai tempat yang tinggi. Gambaran yang sederhana adalah, Tugu Kraon Yogyakarta sebagai
penjelmaan LINGGA (Laki- laki), dan Panggung Krapyak sebagai penjelmaan YONI
(Perempuan). Kraton Yogyakarta sebagai lambing badan jasmani manusia yang berasal dari laki-
laki/Bapak (LINGGA) dan Perempuan atau ibu (YONI). Jadi, LINGGA + YONI = KRATON
YOGYAKARTA (Sangkan Paraning Dumadi).
B. Sejarah Awal Keraton (Kerajaan Mataram)
Mataram didirikan oleh Ki Ageng Pamanahan. Tanah kekuasaan tersebut diberikan oleh Sultan
Pajang pada tahun 1558 Masehi setelah Ki Ajeng Pamanahan berhasil mengalahkan musuhnya yaitu
Aryo Penangsang. Sebuah keraton di daerah Kota Gede dibangun pada tahun 1577 oleh Ki Ageng
Pamanahan sebagai pusat pemerintahan hingga akhirnya beliau mangkat pada tahun 1584 sebagai
pengikut Sultan Pajang. Setelah Ki Ageng wafat, kekuasaan Mataram diteruskan oleh putera dai Ki
Ageng Pamanahan yaitu Sutawijaya. Ternyata pengangkatan Sutawijaya sebagai penguasa baru
Mataram adalah hal yang sangat fatal karena dia tidak mau tunduk kepada Sultan Pajang. Sutawijaya
berniat menghancurkan Kasultanan Pajang untuk memperluas wilayah kekuasaan Mataram.
Akhirnya Sultan Pajang mengetahui niat tersebut dan memutuskan menyerang Mataram pada
tahun 1587.
Namun tak dapat disangka, pasukan Sultan Pajang yang berupaya menyerang Mataram ini
terkena dampak letusan Gunung Merapi yang begitu besar pada saat itu, dan akhirnya
menghancurkan seluruh pasukan Kesultanan Pajang. Berkat kejadian yang tidak diduga tersebut
Sutawijaya & pasukan Mataram dapat selamat. Satu tahun setelahnya, Mataram menjadi sebuah
kerajaan & Sutawijaya menasbihkan dirinya sebagai Raja Mataram dengan gelar Panembahan
Senopati, Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama yang berarti Panglima Perang & Ulama Pengatur
Kehidupan Beragama. Mulai saat itu Kerajaan Mataram berkembang pesat menjadi sebuah
kerajaan yang besar & menjadi penguasa Pulau Jawa yang besar dan disegani. Setelah
mangkatnya Panembahan Senopati pada tahun 1601 Raja Mataram selanjutnya digantikan
oleh puteranya yang bernama Mas Jolang dikenal juga dengan gelar Panembahan Sedaing
Krapyak. Setelah wafatnya pada tahun 1613, Mas Jolang digantikan lagi oleh anaknya yaitu
Pangeran Arya Martapura & dilanjutkan oleh kakaknya yakni Raden Mas Rangsang yang juga
lebih dikenal sebagai Prabu Pandita Hanyakrakusuma, dan bergelar Sultan Agung Senapati
Ingalaga Abdurrahman. Pada masa Kekuasaan Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung inilah
kerajaan Mataram berada pada puncak kejayaannya & berkembang dengan sangat pesat disegala
bidang. Kerajaan Mataram semakin kuat dan makmur sampai akhirnya Sultan Agung dan digantikan
oleh puteranya yaitu Amangkurat I pada tahun 1645.
Pembangunan bangunan utama serta rencana pengaturan kota selesai pada tahun berikutnya
yakni 1756. Hingga kini, bangunan Keraton Yogyakarta masih berdiri meski tidak selengkap dulu.
Dalam sejarahnya, Keraton Yogyakarta telah mengalami beberapa serangan militer. Mulai dari pada
abad ke 18 atau tepatnya 1812, 1200 pasukan Inggris yang dipimpin oleh Stamford Raffles menyerang
Keraton Yogyakarta dengan mudah karena saat itu warga Yogya tidak memiliki persiapan untuk
perlawanan meski jumlahnya lebih banyak. Beberapa bangunan rubuh dan terbakar karenanya.
Bangunan Keraton Yogyakarta yang saat ini berdiri hingga sekarang sebagian besar merupakan hasil
pembangunan dari Sultan Hamengkubuwono VIII yang memerintah sejak tahun 1921 hingga 1939.
Sejak saat itu, dalam sejarah singkat keraton Yogyakarta telah mengalami dua kali gempa yakni pada
tahun 1876 dan tahun 2006 lalu yang melumpuhkan Kota Yogya.
Sejarah Keraton Yogyakarta yang panjang itu tentu saja membuat Keraton Yogyakarta tidak
dibangun dengan begitu saja. Banyak sekali nilai-nilai folosofis yang ditanam dalam pembangunan
Keraton Yogyakarta ini. Arsitektur Keraton Yogyakarta sendiri adalah Sri sultan Hamengku Buwono
I yang merupakanseorang arsitek yang sangat hebat pada masanya.
Beliau tidak begitu saja merancang bentuk bangunan keraton, namun beliau benar-benar
memikirkan dan menerapkan juga berbagai nilai kehidupan dalan arsitektur bangunan maupun letak
keraton. Secara umum Keraton Yogyakarta sendiri dibangun dengan sangat strategis di antara 2 sungai
besar yaitu Sungai Code di timur dan sungai Winongo di Barat. Selain itu juga terlatak dalam satu
garis lurus antara Gunung Merapi di utara dan Laut Kidul di selatan yang tentu saja hal tersebut
memiliki makna folosofis yang sangat dalam.
Masih banyak sekali nilai-nilai filosofis kehidupan yang terdapat pada arsitektur Keraton
Yogyakarta mulai dari interior dan eksterior. Hal inilah yang membuat Sejarah Keraton Yogyakarta
(Keraton Jogja) sangat menarik dan membuat Keraton Yogyakarta juga sebagai warisan budaya yang
sangat bernilai di mata dunia.
E. Penduduk Yogyakarta
Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai
kerajaan [abdi Dalem] & rakyat [kawula Dalem] yg menggunakan atau memakai wilayah
tersebut. Hal ini tak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yg menggunakan sistem
lungguh [tanah jabatan]. Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522. 300
jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada
1930 penduduk meningkat menjadi 1. 447. 022 jiwa. Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan
menjadi tiga golongan yaitu bangsawan [bandara], pegawai [abdi Dalem] & rakyat jelata [kawula
Dalem]. Sultan yg merupaken anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dlm sistem sosial.
Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yg pernah atau
sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 [anak, cucu, anak dari cucu, & cucu dari
cucu] dari Sultan yg termasuk Keluarga Kerajaan dlm artian mereka memiliki kedudukan & peran
dlmupacara kerajaan. Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yg
dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai
Kepatihan, Kabupaten, & Kapanewon, serta pegawai yg diperbantukan pada pemerintah penjajahan.
Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli & pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga
orang-orang asing maupun keturunannya yg bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yg berdiam
di wilayah kesultanan.
F. Struktur Bangunan Keraton Yogyakarta
Keraton Yogya terletak di sebuah kompleks luas yang terbagi dalam beberapa bagian. Secara
garis besar bangunan Keraton Yogya dapat dibagi menjadi tiga bagian utama dengan kompleks dan
bangunan di dalamnya.
Arsitektur umum
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan,
bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang
lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol yang biasanya
bergaya Semar Tinandu . Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap
gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu
penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di
beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina.
Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan
konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut denganBangsal sedangkan joglo tertutup dinding
dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan
bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang
besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan
biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut
dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan
biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan
emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada
dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri
Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih
mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu
pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan
tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu
persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan
penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas
jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas
dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak
memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta
bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.
1. Kompleks Depan
Dalam bagian kompleks depan Keraton, terdapat beberapa pembagian wilayah dan bangunan
yaitu:
1) Gladhag-Pangurakan
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton dari arah utara merupakan gerbang
berlapis yaitu Gapura Gladhag dan Gapura Pengurakan. Gapura Gladhag dahulu tedapat di ujung utara
Jalan Trikora (di antara Kantor Pos Besar dan Bank BNI 46) namun saat ini sudah tidak ada lagi.
Smentara di sebelah selatannya terdapat Gapura Pangurakan Njawi yang saat ini menjadi gerbang
pertama yang dilewati bila masuk ke Keraton dari sisi utara.
2. Kompleks Inti
1) Kompleks Pagelaran
Bangunan utama dari bagian ini adalah Bangsal Pagelaran, atau dikenal pula sebagai Tratag Rambat.
Zaman dahulu bagian ini digunakan sebagai tempat di mana punggawa kesultanan menghadap Sultan
dalam upacara resmi. Saat ini tempat ini masih digunakan untuk upacara adat keraton, namun juga
dimanfaatkan untuk acara-acara pariwisata dan religi.
Terdapat pula sepasang Bangsal Pemandengan yang terltak di sisi sebelah timur dan barat dari
Pagelaran. Dahulu Bangsal Pemandengan digunakan Sultan untuk menyaksikan latihan perang yang
dilakukan tentara kesultanan di Alun-alun Utara.
Di dalam sayap timur bagian selatan Pagelaran terdapat Bangsal Pengrawit. Bangsal ini digunakan
oleh Sultan sebagai tempat untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini sisi selatan dari kompleks Pagelaran
dihiasi dengan relief perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini juga memiliki
nilai historis lain, yaitu sebagai bagian keraton yang digunakan sebagai tempat perintisan Universitas
Gajah Mada di mana para mahasiswa dahulu belajar sebelum kampus UGM yang sekarang di Bulak
Sumur dibangun.
2) Kompleks Siti Hinggil
Kompleks Siti Hinggil merupakan kompleks utama yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara
resmi kesultanan, terutama bila terjadi pelantikan sultan baru. Kompleks ini terletak di sisi selatan
Pagelaran. Pada 19 Desember 1949 di kompleks ini dilaksanakan peresmian Universitas Gajah mada.
Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya menggunakan dua jenjang untuk naik di sisi
utara dan selatannya.
3) Kamandhungan Lor
Di bagian selatan dari Siti Hinggil terdapat sebuah lorong yang mebujur dari timur-barat. Pada bagian
selatan dinding lorong tersebut terdapat sebuah gerbang besar bernama Regol Brojonolo yang
menghubungkan Siti HInggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur dan barat dari sisi selatan
gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka saat ada acara resmi kerajaan.
Untuk memasuki kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari bisa
melalui Gapura Keben di sisi barat dan timur kompleks Kamandhungan Lor yang menjadi penghubung
ke Rotowijayan dan Kemitbumen. Kompleks Kamandhungan Lor sering juga disebut Keben karena
banyak pohon keben di halamannya. Di bagian tengah halaman, sebagai bangunan utama di kompleks
ini, berdirilah Bangsal Ponconiti. Sampai dengan 1812, bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara
yang secara langsung dipimpin oleh Sultan dalam proses pengadilannya. Ada pula yang mengatakan
digunakan utuk mengadili perkara terkait keluarga kerajaan. Saat ini bangsal tersebut digunakan untuk
acara adat seperti sekaten atau garebeg. Di selatan Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan
tamu dari kendaraan mereka. Kanopi ini bernama Bale Antiwahana.
4) Sri Manganti
Kompleks Sri Manganti berada di sebelah selatan Kamandhungan Lor dan dihubungkan dengan Regol
Sri Manganti.
5) Kedhaton
Gambar 6. Kedhaton
Dari sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkannya denan
kopleks Kedhaton. Kompleks Kedhaton merupakan bagian inti dari keseluruhan bangunan Keraton.
6) Kamagangan
Menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kamagangan. Pada gerbang ini terdapat
patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta. Kompleks ini
dahulu digunakan untuk penerimaan calon abdi dalem, tempat berlatih, tempat ujian, dan apel
kesetiaan para abdi dalem yang masih magang.
3. Kompleks Belakang
Kompleks belakang dari Keraton terdiri dari dua bagian yaitu:
1) Alun-Alun Kidul (Alun-alun Selatan)
Alun-alun Kidul sering disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker yang berarti
belakang. Alun-alun ini dikelilingi tembok persegi dengan lima gapura, satu di selatan dan masing-
masing dua di timur dan barat. Berbeda dengan Alun-alun Utara, di Alun-alun Selatan hanya ada dua
pasang pohon beringin. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang dan sepasang lagi
di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok. Dari gapura sisi selatan Alun-alun terdapat
jalan Gading yang menghubungkanya dengan Plengkung Nirbaya.
2) Plengkung Nirbaya
Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan dari poros utama Keraton. Tempat ini merupakan tempat
di mana Sultan HB I masuk ke Keraton Yogya untuk pertama kalinya saat terjadi pemindahan pusat
pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang. Gerbang ini menjadi rute keluar prosesi pemakaman
Sultan ke Imogiri. Oleh karena alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang
sedang bertahta.
Masjid Raya Yogyakarta, atau lebih dikenal sebagai Kagungan Dalem Masjid Gedhe,
merupakan bagian tak terpisahkan dari Kesultanan Yogyakarta. Keberadaan Masjid Gedhe
menegaskan keberadaan Yogyakarta sebagai kerajaan Islam.
Masjid Gedhe dibangun di sisi barat Alun-Alun Utara dan barat daya Pasar Beringharjo, tidak jauh
dari bangunan keraton. Tata ruang ibu kota kerajaan yang menempatkan keraton sebagai pusat
pemerintahan, pasar sebagai pusat ekonomi, dan tempat peribadatan sebagai pusat agama dalam
posisi seperti ini, telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Jawa semenjak era Majapahit.
Masjid Gedhe didirikan pada hari Ahad Wage 29 Mei 1773 Masehi, atau 6 Rabi'ul Akhir 1187
Hijriah/Alip 1699 Jawa. Pendirian tersebut ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi Gapura
Trus Winayang Jalma, sengkalan tersebut tertulis pada prasasti di serambi masjid. Masjid Gedhe
didirikan atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat selaku
penghulu keraton. Adapun rancang bangunnya dikerjakan oleh Kiai Wiryokusumo.
Gaya arsitektur Masjid Gedhe mewarisi gaya Masjid Demak. Karakteristik dari masjid ini adalah
keberadaan empat pilar utama atau dikenal dengan saka guru dengan atap berbentuk tajug lambang
teplok. Tajug lambang teplok adalah bentuk atap bersusun tiga. Secara filosofis, tiga tingkatan pada
atap menggambarkan tahapan dalam menekuni ilmu tasawuf, yaitu syari’at, thareqat, ma’rifat. Tiga
tingkat pada atap tersebut juga dapat dimaknai sebagai iman, islam, dan ikhsan.
Terdapat 48 (empat puluh delapan) pilar di dalam bangunan masjid ini, sementara atapnya terdiri dari
16 (enam belas) sisi dengan tiga tingkat. Bagian-bagian masjid terdiri dari mi’rab atau tempat
pengimaman, liwan yaitu ruangan luas untuk jamaah, serambi yang merupakan bagian luar bangunan,
dan tempat wudhu. Di dalam Masjid Gedhe terdapat ruangan khusus bagi raja ketika hadir di masjid,
berada di baris (shaf) terdepan, dikenal dengan nama maksura.
Sebagai ciri bahwa masjid ini milik Sultan, maka di puncak atap dipasang hiasan mahkota berbentuk
bunga. Hiasan pada puncak atap semacam ini disebut sebagai mustaka. Mustaka pada puncak-puncak
masjid milik Sultan merupakan stilirisasi dari bentuk gada, daun kluwih, dan bunga gambir. Gada
melambangkan keesaan Allah. Daun kluwih mengarah pada kata ‘linuwih’ atau lebih, yaitu manusia
akan memiliki kelebihan jika telah melewati tiga tahapan ilmu tasawuf. Sedang bunga gambir
melambangkan arum angambar atau keharuman yang menebar.
Gambar 7. Mustaka masjid yang merupakan stilirisasi dari bentuk gada, daun kluwih, dan bunga
gambir.
Bangunan Masjid Gedhe diperluas karena jamaah yang bertambah banyak, hanya dua tahun sejak
didirikan. Perluasan ini berbentuk pembangunan serambi dengan bentuk limasan dua tingkat, ditandai
dengan candra sengkala yang berbunyi Tunggal Windu Pandhita Ratu (1701 J). Pembangunan
serambi tersebut bersamaan dengan pembangunan dua bangunan tambahan yang disebut
sebagai pagongan. Dua bangunan tersebut dipergunakan sebagai tempat dua rangkaian gamelan
pusaka, yakni Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga. Kedua gamelan ini dimainkan selama
berlangsungnya upacara Sekaten.
Pada masa awal Kesultanan Yogyakarta, masjid ini juga dipergunakan sebagai tempat untuk
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hukum Islam, terutama masalah perkara perdata.
Pimpinan pengurus masjid adalah penghulu keraton yang berada di dalam struktur Abdi Dalem
Pamethakan. Salah satu Abdi Dalem penghulu keraton yang pernah bertugas di masjid ini bernama
Raden Ngabei Ngabdul Darwis, kelak dikenal sebagai Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah. Sebagai Khatib Amin, ia memiliki tiga tugas utama. Memberikan khotbah Jumat
bergantian dengan delapan khatib yang lain, piket di serambi masjid, dan menjadi
anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton.
Prosesi penyelesaian permasalahan hukum dilaksanakan di serambi masjid yang juga disebut
sebagai Al Mahkamah Al Kabirah. Selain sebagai tempat pengadilan agama, juga berfungsi
sebagai tempat pertemuan para alim ulama, pengajian dakwah islamiyah, dan peringatan hari
besar.
Pada tahun 1840, dibangun regol atau pintu gerbang masjid. Regol masjid yang berbentuk Semar
Tinandhu ini diberi nama Gapuro. Gapuro berasal dari kata ghofuro yang berarti ampunan dari
dosa. Sedang bentuk Semar Tinandhu melambangkan sosok teladan yang mengasuh para ksatria
dan raja, sehingga layak mendapat penghargaan setinggi-tingginya.
Pada tahun 1867, terjadi gempa besar yang memporak-porandakan Yogyakarta. Regol dan serambi
Masjid Gedhe runtuh menimpa Kiai Penghulu hingga meninggal. Kala itu Sri Sultan Hamengku
Buwono VI lalu memberikan Kagungan Dalem Surambi Munara Agung, yaitu material yang
sedianya dipergunakan untuk membangun Pagelaran Keraton dialihkan untuk membangun
kembali serambi Masjid Gedhe. Pembangunan kembali ini sekaligus memperluas serambi menjadi
dua kali luas semula. Sedang Regol dibangun kembali dua tahun kemudian, ditandai candra
sengkala yang berbunyi Murti Trus Giri Narpati (1798 J).
Setelah peristiwa itu paling tidak dua kali Masjid Gedhe mengalami renovasi. Pada tahun 1917
dibangun Pajagan (gardu penjaga) di kanan dan kiri regol. Lalu pada tahun 1933, atas prakarsa
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, atap masjid dirombak. Kayu sirap masjid yang sudah lapuk
diganti dengan seng wiron (seng bergelombang), sedang lantai serambi yang tadinya terbuat dari
batu kali, diganti dengan tegel kembang. Dilanjutkan pada tahun 1936, lantai batu kali di ruang
sholat utama diganti dengan marmer dari Italia.
Sebagai bagian tak terpisahkan dari Keraton Yogyakarta, Masjid Gedhe pun turut dalam dinamika
bangsa Indonesia. Dalam masa perjuangan kemerdekaan, bangunan Pajagan digunakan sebagai
markas Asykar Perang Sabil yang membantu Tentara Nasional Indonesia melawan agresi militer
Belanda. Para pahlawan yang gugur kemudian dimakamkan di sisi barat masjid ini. Selain itu,
Masjid Gedhe terus menjadi sarana perjuangan. Baik bagi Komponen Angkatan '66 dalam
menumbangkan Orde Lama, maupun bagi pejuang reformasi dalam menumbangkan Orde Baru.
Kesimpulan
Keraton Yogyakarta merupakan salah satu simbol utama dari Yogyakarta. Pembangunan Keraton
Yogyakarta sendiri tidaklah sembarangan tetapi diperhitungkan dengan matang dan dipengaruhi
banyak filosofi serta kepercayaan mitologis yang mencerminkan kuatnya tradisi masyarakat
Yogyakarta. Keraton juga menunjukkan kuatnya akulturasi antara tradisi Jawa tradisional dengan
budaya Islam melalui berbagai simbolisasi yang tersebar di banyak bagian kompleks Keraton.
Keraton Yogyakarta juga tidak hanya menjadi bangunan yang penting bagi keluarga kesultanan
dan masyarakat Yogya, namun juga memiliki peranan dalam sejarah nasional bangsa Indonesia.
Pemanfaatan Keraton Yogyakarta pada masa sekarang memang sudah sangat berkembang dan
mengalami berbagai perubahan. Salah satu yang paling mencolok adalah pembukaan Keraton sebagai
objek wisata. Meskipun demikian, di tengah arus modernisasi tersebut, Keraton masih dapat
mempertahankan tradisi kehidupan Keraton sehingga nilai-nilai kehidupan Keraton masih dapat
terpelihara dengan baik.
Daftar Pustaka:
Darto Harnoko. 2001. Fungsi, Arti Serta Makna Bangunan Kraton Yogyakarta dan
Sekitarnya, dalam Jurnal Kebudayaan KABANARAN. Yogyakarta: vol.1, Retno Aji
Mataram Press Yayasan Pustaka Nusatama, p.91-112.
Dewan Takmir Masjid Gedhe Kauman. Tanpa tahun. Booklet Profil Masjid Gedhe
Kauman.Yogyakarta: Dewan Takmir Masjid Gedhe Kauman.
Anonim. 1956. Kota Jogjakarta, 200 tahun, 7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956. Yogyakarta:
Panitia Peringatan Kota Jogjakarta 200 th.
Dradjat Suhardjo. 2003. Mangaji Ilmu Lingkungan Kraton. Yogyakarta: Safiria Insania
Press.
Muhammad Syoedja. Tanpa tahun. Cerita Tentang Kiyai Ahmad Dahlan.
Dyah Widiyastuti. 2012. Memorable Square: Identities, Meanings and the Production of
Urban Space in Yogyakarta, Indonesia dalam Proceedings REAL CORP “RE-MIXING THE
CITY - Towards Sustainability and Resillience
V. Wiratna Sujarweni. 2012. Yogyakarta - Episode Jejak-jejak Mataram Islam.
Yogyakarta: Global Media Informasi.
http://www.keratonjogja.com/
http://www.berdesa.com/sejarah-singkat-keraton-yogyakarta-yang-harus-anda-ketahui/
http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2014/02/sejarah-keraton-kasultanan-
yogyakarta.html
http://eprints.uny.ac.id/13616/4/BAB%20I%20.pdf
http://fanystipram.blogspot.com/2012/03/contoh-makalah-tentang-kerathon.html
TUGAS UAS
Sejarah Perkembangan Keraton Yogyakarta
Dari Awal Hingga Sekarang
DISUSUN
OLEH :
DEPARTEMEN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA