Anda di halaman 1dari 7

KEISTIMEWAAN KOTA YOGYAKARTA TAK LEKANG DALAM

PERADABAN SEJARAH NASIONAL


Oleh : Ellayati Rafsanjani, S.Pd
(Guru MTS Abadiyah Pati)

PENDAHULUAN
Di Indonesia terdapat tiga Propinsi yang memiliki hak istimewa dalam
menjalankan otonomi daerahnya yakni selain DKI Jakarta dan NAD (Nanggroe
Aceh Darussalam) terdapat satu propinsi lagi yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta.
Secara geopolitis keistimewaan Yogyakarta dipengaruhi oleh letak strategis
Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa. Laksono (2011:1) menyatakan bahwa
status keistimewaan Provinsi DIY dalam kurun waktu sekian lama lebih sering
diinterpretasikan sebagai istimewa dalam hal wilayah yang dulunya berbentuk
kerajaan, istimewa dalam pemimpin yaitu dipimpin dwi tunggal dari lingkungan
Kasultanan dan Pakualaman, dan istimewa dalam sistem pemerintahannya yang
hierarkis patrimonial. Daerah Istimewa Yogyakarta ini merupakan daerah otonomi
setingkat propinsi yang dikepalai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai
Kepala Daerah atau Gubernur DIY dan Paku Alam VIII sebagai Wakil Kepala
Daerah DIY.
Kesultanan Yogyakarta mengalami perpecahan setelah Pemerintah Belanda
menganggap bahwa Sultan Yogyakarta tidak patuh terhadap mereka. Kerajaan
Yogyakarta dipecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman
(wilayah kekuasaan lebih sempit). Pembagian wilayah tersebut menjadi cikal bakal
Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan Negara Bagian dari masa penjajahan
Belanda, Inggris, Hindia Belanda, dan Jepang yang ditandai dengan
penandatanganan perjanjian Gianti (Paramitaningsih, 2010:2).
Beberapa saat setelah penandatanganan Perjanjian Gianti I pada 13 Februari
1755 dibawah tanda tangan gubernur Belanda Nicholas Hartingh atas nama
Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti adalah Negara Mataram
dibagi dua : setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta (Kasunanan),
setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi (Kesultanan). Tak lama maka
berdiri keraton yang baru, Pangeran Mangkubumi yang bergelar "Sampejan Dalem
Ingkang Sinuhun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Ingkang Kaping Sapisan
Senapati Ingalaga Abdurrachman Sajidin Panatagama Kalifatullah Negara
Ngajogjakarta Hadiningrat ".
Perjanjian Pembagian Daerah yang telah selesai, maka Pengeran Mangkubumi
yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah
Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta
Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini
diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755. Adapun daerah-daerah yang menjadi
kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu,
Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon,
Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro,
Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan. Demikian berdirilah Kota Yogyakarta
atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Kesultanan
Ngayogyakarta kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari
Ambarketawang ke Yogyakarta, tepatnya pada 7 Oktober 1756.
Essay ini merupakan usaha penulis dalam memaparkan tentang Keistimewaan
Daerah Yogyakarta yang pesonanya tak lekang dalam peradaban sejarah nasional.
Hal ini dikarenakan ketertarikan penulis terhadap aspek geopolitis keistimewaan
Yogyakarta yang dipengaruhi oleh letak strategis Yogyakarta sebagai pusat
kebudayaan Jawa. Meskipun tidak mudah tetapi penulis berusaha untuk
memapaparkan essay yang bertema Merajut Simpul Sejarah Keistimewaan
Yogyakarta dalam bingkai Sejarah ke-Indonesiaan ini secara menarik sesuai sudut
pandang dan substansi dari berbagai sumber sejarah yang relevan dengan essay
yang penulis hendak paparkan.

PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemerintahan Yogyakarta
Sebelumnya penulis telah memaparkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta
merupakan bekas kerajaan, karena itu sejarah singkat pemerintahan yang ada di sini
akan dimulai semenjak hadirnya kekuasaan yang bernama Kesultanan Yogyakarta.
Adapun gambaran secara singkat tentang perubahan bentuk-bentuk pemerintahan
yang ada ini sejak awal perkembangannya hingga masuknya Daerah Istimewa
Yogyakarta ke dalam pemerintahan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
Masa Pemerintahan Kesultanan
Berdasarkan isi Perjanjian Gianti, sebenarnya pemerintahan kesultanan ini
lebih merupakan sekutu Belanda (VOC) yang pada prinsipnya harus selalu
membantu kegiatan pemerintah kolonial di daerah Jawa. Masa pemerintahan
kesultanan pada prinsipnya susunan pemerintahan kesultanan pada waktu itu di
bawah pimpinan kanjeng sultan dan dibantu oleh pepatih dalem (rijksbestuurder).
Segala kebijaksanaan pemerintahan dibebankan di pundak pepatih dalem.
Pembantu Sultan· HB. I yang biasa disebut Pangeran Mangkubumi ialah Patih
Danuredjo I yang sebelumnya menjabat bupati Banyumas dengan nama Raden
Tumenggung Yudonegoro.
Menurut beberapa catatan dari Hartiningsih dalam Dag Regester dilukiskan
bahwa pribadi Patih Danurejo I yang mendampingi sultan secara umum sebagai
keris dan warongko yang bersatu memimpin pemerintahan Kesultanan Yogyakarta.
Secara garis besar susunan pemerintahan kesultanan di bawah pepatih dalem
pertama adalah bupati patih kepatihan atau sekretaris satu. kedua. bupati
pemerintah atau sekretaris dua; ketiga, bupati yang memerintah kebupaten-
kebupaten di wilayah Kesultanan Yogyakarta keempat, di bawah bupati ada jabatan
wedana yang secara administratif membawahi kewedanaan-kewedanaan dst.
Semenjak Sultan Hamengkubowono I wafat begitu juga Pepatih Dalem
Danuredjo I, pemerintahan kesultanan jatuh kepada · keturunannya dan hanya
beberapa tahun yakni pada awal adad ke-17, Kesultanan Yogyakarta hams
membagi diri menjadi daerah pemerintahan Pakualaman dan kesultanan. Batas-
batas daerah administratif keduanya . ini hanya dibatasi oleh Sungai Code yang
membedakan bagian sebelah barat sungai mempakan daerah kesultanan, sedangkan
daerah timur sungai mempakan daerah milik Pakualaman
Masa Pendudukan Jepang
Beberapa hal yang terjadi sebagai akibat perubahan pada masa pemerintahan
Jepang adalah dihilangkannya fungsi pepatih dalem oleh Sultan Hamengkubuwono
IX untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti pada masa
sebelumnya. Seperti telah diketahui posisi Kesultanan Yogyakarta yang diatur
dalam politik kontrak pada masa pemerintahan Hindia Belanda, menguatkan
kedudukan pepatih dalem karena sebelum memangku jabatan pepatih dalem ini
hams bersumpah akan membantu Belanda jika terjadi konflik antarraja/sultan dan
Belanda.
Pada bulan April 1945 kewedanaan yang ada di lingkungan pemerintahan
kesultanan dihapuskan, sedangkan di pusat dibentuk Paniradyapati, yang
beranggotakan enam orang. Keenam orang ini memimpin bagian kesekretariatan
bidang pendidikan
Masa Kemerdekaan
Pernyataan Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII pada 5
September 1945 menjadikan Kota Yogyakarta utuh tanpa pembagian daerah barat
dan timur sungai. Menurut Maklumat Daerah Istimewa Yogyakarta · Nomor 18
tentang DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) di Daerah Istimewa Yogyakarta yang
dikeluarkan pada 18 Mei 1946 sebenarnya berawal dari pokok peraturan maklumat
Nomor 7 yang dikeluarkan 6 Desem ber 1945 . Kota Yogyakarta yang terdiri atas
daerah kesultanan dan Pakualaman menjadi kotapraja yang bersifat otonom sejak
keluamya Undang-undang No. 17 tahun 1947. 36 Disebut juga sebagai haminte
Kota Yogyakarta dan berhak mengurus daerah otonominya sendiri. Penyerahan
wewenang secara nyata dari Daerah Istimewa Yogyakarta baru dapat dilaksanakan
dalam tahun 1951 karena terjadinya Agresi Belanda I dan Agresi Belanda II.
Beberapa hal sebagai penambahan kota atas susunan pemerintahannya adalah
sebagai berikut. Kota Yogyakarta menjadi kota yang otonom dengan hadirnya
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pemerintahan Kota dan Walikota. Kotapraja
Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Pokok No . 22 tahun I 948 ditetapkan
sebagai daerah tingkat II yang menjadi bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Budaya sebagai Penanda Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta


Suryanto (2015: 242-247) menyatakan bahwa Konsep Konsep Budaya
Pembentuk Ruang Kota. Sultan HB I membangun Yogyakarta berdasarkan konsep-
konsep sosial, kenegaraan dan fungsional. Konsep-konsep yang diwujudkan
sebagai berikut :
Konsep Catur Sagotra
Catur Sagotra atau Catur Gotro Tunggal merupakan konsep kosmologi Jawa,
yaitu pemikiran tentang teranyamnya 4 komponen kehidupan dalam satu kesatuan
ruang. Konsep tersebut merupakan gambaran kondisi yang harmonis dari alam
semesta, yaitu terintegrasinya mikrokosmos dan makrokosmos dalam satuan ruang
kehidupan. Keempat gotro (masa) tersebut dalam posisi arah jarum jam adalah
kraton, masjid gede, pasar dan alun-alun.
Keempat komponen tersebut menyatu dalam satu kawasan, dihubungkan oleh
ruang jalan, berfungsi sebagai inti kota. Keempat komponen tadi mewakili fungsi-
fungsi penting dalam kehidupan kota, yaitu pemerintahan/pemimpin (kraton),
religi, etika dan moral (masjid), ekonomi (pasar) dan budaya (alun-alun).
Konsep Golong Gilig
Golong Gilig : Sawiji, Greget, Sengguh Ora Mingkuh; Manunggaling
Kawulo Gusti; Sangkan Paraning Dumadi; Golong gilig secara harafiah berarti
sesuatu yang utuh, menyiratkan semangat dan niat yang satu atau menyatukan
semua golongan. Konsep tersebut diwujudkan dalam bentuk tugu (obelisk) Golong
gilig, diletakkan pada garis lurus imajiner dari kraton ke puncak Merapi, berjarak
2,5 km dari kraton. Antara kraton dan tugu dihubungkan oleh jalan lurus, yang
diberi nama Margo Utomo, Malioboro (Mali-obor-o/ memakai obor), dan Margo
Mulyo. Nama-nama tersebut menyiratkan hubungan antara cita-cita mulia harus
ditempuh sengan cara yang mulia, untuk menuju keutamaan, dengan berbekal ilmu
pengetahuan ajaran para wali dan leluhur. Tugu atau yoni di utara adalah
simbolisasi satu tujuan, sawiji, yang tidak akan bergeser walaupun banyak
rintangan (sengguh, ora mingkuh). Di bagian selatan, dalam garis lurus Merapi-
Tugu-Kraton dibangun panggung untuk mengamati binatang buruan di Hutan
Krapyak yang berbentuk lingga. Sumbu utama tersebut membentuk kesatuan
simbol lingga – yoni (Purusha dan Pacitry), sebagai wujud konsep manunggaling
kawulo gusti.
Konsep Sangkan Paraning Dumadi,
Sangkan Paraning Dumadi merupakan pesan moral untuk tidak lupa diri,
pengingat bahwa kehidupan itu berasal dari Allah kembali ke Allah
(Brongtodiningrat, 1978). Konsep tersebut diwujudkan dalam simbol-simbol ruang
dan citra kota di sepanjang poros TuguKraton-Panggung Krapyak (Revianto &
Yuwono, 2010)
Konsep Pengendalian Pemerintahan dan Pertahanan Kota
Konsep Pengendalian Pemerintahan dan Pertahanan Kota. Pangeran
Mangkubumi sangat sadar bahwa sumber kekuatan utama lahiriah dalam
memimpin negara adalah loyalitas sentono dalem dan ulama dengan santrinya
(Ricklefs, 1974). Oleh karena itu sangat penting untuk mengakomodasi
kepentingan/kebutuhan para sentono dan ulama, sebagai strategi pengendalian.
Strategi tersebut diwujudkan dalam bentuk alokasi atau distribusi fungsi ruang
dalam wilayah kesultanan. Untuk memperoleh loyalitas, para pangeran dan abdi
yang berjasa diganjar tanah lungguh (apanage). Tetapi para pangeran/pejabat
pemegang tanah lungguh harus tinggal di wilayah Kutho Negoro, untuk
kepentingan pengendalian dan pengawasan (Sumardjan, 1962). Di samping
penempatan para pemegang tanah lungguh dan alokasi tanah lungguhnya, HB I juga
menciptakan konsep Masjid Pathok Negoro. Konsep tersebut adalah strategi untuk
memperoleh dukungan dari ulama dan santrinya. Dari sudut pandang politik
kenegaraan, konsep masjid Pathok Negoro adalah sebagai bagian dari strategi HB
I untuk mengelola kekuatan-kekuatan yang mendukung tegaknya negara
Ngayogyokarto Hadiningrat. Dari sudut budaya, struktur tersebut menggambarkan
konsep Mandala. (harmoni pusat pinggiran, konsep keblat papat limo pancer)
Konsep kebudayaan yang mewujud dalam keruangan kota antara lain konsep
Memayu Hayuning Bawono, Manunggaling Kawulo Gusti, Sangkan Paraning
Dumadi dan Pathok Negoro. Kemudian sikap hidup yang mengakar dan tercermin
dalam konsep sawiji–gregetsengguh–oramingkuh. Perwujudan konsep-konsep
tersebut dalam tata ruang kota dapat dilihat dalam tabel dan gambar berikut:

Tabel 1. Perwujudan Konsep Budaya dalam Tata Ruang Kota Yogyakarta

Konsep Wujud dalam Ruang Keterangan


Budaya Kota
Memayu Catur Gotro Tunggal atau Catur gotro tunggal adalah konsep
Hayuning Catursagotro, Jalinan 4 kosmologi jawa, yaitu harmoni mikro dan
Bawono Ikon kotaYogya: Kraton – makro kosmos. Kraton sebagai pemimpin,
Masjid Gede – PasarGede masjid sebagai agama, pasar sebagai
– Alun-alun. kegiatan ekonomi dan alun-alun
merefleksikan budaya. Pola
kepemimpinan yang mengacu pada religi,
ekonomi dan budaya merupakan cerminan
dari konsep memayu hayuning bawono,
yang saat ini dikenal sebagai konsep
pembangunan yang berkelanjutan (HB X,
2012)
Manunggaling MonumenTugu – Kraton – Tugu Golong-gilig, Kraton dan Panggung
Kawulo Gusti Panggung Krapyak dan Krapyak yang disatukanoleh poros utara-
sumbu pengikatnya.Tugu selatan, menggambarkan bersatunya
Golog – Gilig pemimpin dan rakyat (Darmosugito,
1956). Dalam kehidupan seharihari
konsep ini mewujud dalam pola hidup
gotong royong,
Sangkan Poros Tugu – Kraton – Konsep ini merupakan salah satu patron
Paraning Panggung Krapyak. umum dalam budaya jawa, simbiosis dari
Dumadi ajaran HinduBudha dan Islam .Yang
khusus dan tidak ada duanya adalah upaya
mewujudkan konsep yang intangible
menjadi tangible. Upaya tersebut berupa
memberi nama jalan, menenam jenis
tanaman tertentu serta melaksanakan
seremonial tertentu . (Yuwono, 2010)
Sawiji – greget Konfigurasi ruang: beteng Sawiji, greget, sengguh ora mingkuh
– sengguh ora kraton dan kampung- adalah sifat ksatria Mataram. Konfigurasi
mingkuh kampung prajurit yang ruang kawasan Jeron Beteng dan
berada dibelakangnya, kampung prajurit menggambarkan prinsip
membentuk pola gelar tersebut. Kedudukan Kraton, yang
perang tradisional tertentu. merepresentasikan Sultan sebagai
Senopati Ing Ngalogo (diujung gelar,
bukan didalam). Sultan sebagai panglima
harus berada didepan, memimpin dan
memberi contoh, seperti sifat P.
Mangkubumi (Ricklefs, 2002)
Sumber: Suryanto, 2015

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan pada pembahasan di atas maka tulisan ini mempunyai
Kesimpulan sebagai berikut bahwa Keistimewaan Kota Yogykarta sebagai bagian
sejarah nasional tercermin dari pertama dari sejarah pemerintahanya yang telah
dimulai dari masa pemerintahan kesultanan, masa pendudukan jepang, hingga masa
kemerdekaan yang masih tetap mempertahankan corak kebudayaan jawanya.
Kedua warisan budaya yang berupa komponen ruang kota sebagai penanda
keistimewaan adalah yang berhubungan dengan konsep-konsep budaya yang tertata
pada ruang kota. Konsep kota yang monumental dan artistik dibungkus dengan
konsep budaya Jawa yang adi luhung. Konsep budaya tersebut adalah Memayu
Hayuning Bawono, Catur Sagotra, Sangkan paraning dumadi dan Golong – Gilig,
Sawiji – greget – sengguh ora mingkuh.
Saran yang dapat diberikan penulis adalah pola kepemimpinan Kesultanan
Yogyakarta hendaknya harus tegas tidak terpengaruh intervensi asing serta tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan yang telah diwariskan secara turun
temurun, meskipun mulai tergerus seiring perkembangan zaman. Sikap ini sekaligus
merupakan wujud representasi dalam kepemimpinan Kesultanan Yogyakarta serta
keistimewaan kota Yogyakarta nilai kearifan yang menjadi salah satu kekayaan budaya
lokal di tanah Jawa.

DAFTAR PUSTAKA
Ayuk Paramitaningsih,” Terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta (1945-1951)”,
Skripsi.Yogyakarta: Pendidikan Sejarah, FISE, UNY,2010,hlm.2
Goenawan,Ryadi, Darto Harnoko.1993. Sejarah Sosial Daerah Daerah Istimewa
Yogy akarta.Jakarta : Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
Hamengku Buwono IX, 2013: Catur Sagotra. Pidato Pengukuhan Yayasan Catur
Sagotra Nusantara, Jakarta.
Laksono,Fajar, dkk.2011. Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam Bingkai Demokrasi Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Studi
Kasus Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah). Jurnal
Konstitusi.Vol.8.No.6, Hal. 1059
Rachman, Arief Aulia. 2014. Dinamika Kerukunan Umat Beragama Dalam
Kepemimpinan Kesultanan Yogyakarta. Jurnal Akademika, Vol.19 No. 01
Hal.91
Suryanto.2015.Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta. Naskah Disertasi.
JUTAP FT UGM, Yogyakarta
Pemkot.Yogyakarta.2018. Sejarah Berdirinya Kota Yogyakarta.
https://www.jogjakota.go.id/pages/sejarah-kota. Diakses Tanggal 25 Agustus
2020 Pukul 17.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai