Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH SEJARAH KOTA SOLO

DISUSUN OLEH:
ALDINO KORNIA YOGATAMA
NO.2
X MIA 4


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan
untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami ucapkan
kepada teman-teman dan keluarga yang telah memberikan
dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
banyak kekurangan, oleh sebab itu saya sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan
selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
teman-teman.
Amin...


DAFTAR ISI


I. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
TUJUAN

II. PEMBAHASAN
POKOK PEMBAHASAN
ISI

III. PENUTUP
KESIMPULAN

IV. LAMPIRAN
GAMBAR



BAB 1
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Dengan berkembangnya zaman semakin moden, kita harus
menjaga bangunan-bangunan,benda-benda peninggalan zaman
dahulu. Masyarakat bisa tahu bagaimana kehidupan di masa lalu.
Penelitian ini di buat karena, di zaman modernn ini masyarakat
tidak peduli dengan barang-barang di zaman dahulu, seperti :
bangunan-bangunan di zaman dahulu tidak dirawat, benda-benda
zaman dahulu tidak di simpan di museum, dll.
Sebagai generasi penerus, kita harus menjaga bangunan-
bangunan dan benda-benda zaman dahulu, Seperti : kita jaga
dengan membersihkan bangunan atau benda yang di tinggalkan
oleh manusia zaman dahulu dan melestarikannya. Agar dapat
di ketahui masyarakat bagaimana kehidupan di zaman dahulu.

TUJUAN
Memperluas ilmu pengetahuan dan wawasan agar masyarakat
mengetahui sejarah kota Solo beserta bangunan-bangunan dan
benda-benda peninggalan pada zaman kerajaan. Serta
mempertahankan budaya khas Indonesia tepatnya di daerah Jawa
Tengah yaitu Solo


BAB II
PEMBAHASAN


POKOK PEMBAHASAN:
1. Pendirian dan perkembangan
2 .Masa kolonial Belanda 1757-1942
3 .Masa pendudukan Jepang 1942-1945
4 .Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949
5 .D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka
6 .Serangan Umum 7 Agustus 1949
7 .1998-sekarang








ISI

Surakarta berkembang dari wilayah suatu desa bernama Desa Sala,
di tepi Bengawan Solo. Sarjana Belanda yang meneliti Naskah
Bujangga Manik, J. Noorduyn, menduga bahwa Desa Sala ini
berada di dekat (kalau bukan memang di sana) salah satu tempat
penyeberangan ("penambangan") di Bengawan Solo yang disebut-
sebut dalam pelat tembaga "Piagam Trowulan I" (1358, dalam
bahasa Inggris disebut "Ferry Charter") sebagai "Wulayu".
Naskah Perjalanan Bujangga Manik yang berasal dari sekitar akir
abad ke-15 menyebutkan bahwa sang tokoh menyeberangi "Ci
Wuluyu". Pada abad ke-17 di tempat ini juga dilaporkan terdapat
penyeberangan di daerah "Semanggi" (sekarang masih menjadi
nama kampung/kelurahan di Kecamatan Pasarkliwon).


Pendirian dan perkembangan
Kejadian yang memicu pendirian kota ini adalah berkobarnya
pemberontakan Sunan Kuning ("Ggr Pacinan") pada masa pemerintahan
Sunan Pakubuwono II, raja Kartasura tahun 1742. Pemberontakan dapat
ditumpas dengan bantuan VOC dan keraton Kartasura dapat direbut
kembali, namun dengan pengorbanan hilangnya beberapa wilayah warisan
Mataram sebagai imbalan untuk bantuan yang diberikan VOC. Bangunan
keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu
memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib
atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I) dan
Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van
Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu
dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada
1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta"
diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini.
(Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"). Pembangunan
keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari
kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya
dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati
tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa,
Wuku Landep, Windu Sancaya).

Lambang Kasunanan Surakarta

Lambang Praja Mangkunagaran

Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta
menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya
Pakubuwono III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan
Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB)
I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata
kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya
wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa
(Mangkunagara I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem
administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan
Republik Indonesia (RI).

Masa kolonial Belanda 1757-1942
Surakarta pada masa kolonial Belanda merupakan daerah Vorstenlanden atau
swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri / tidak diatur oleh UU
seperti daerah lain tetapi diatur dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal
dan Sri Sunan. Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang
kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang
pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kasunanan Surakarta diatur dalam kontrak
panjang, sementara Mangkunegaran diatur dalam pernyataan pendek.
Sejak Gubernur Jenderal G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi pergantian
raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan
diatur dalam S 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam S
1940/543.

Masa pendudukan J epang 1942-1945
Surakarta pada masa pendudukan Jepang merupakan daerah Kochi atau daerah
istimewa. Sri Sunan disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara disebut
sebagai Mangkunegoro Koo. Pemerintahan Surakarta disebut sebagai Kooti
Sumotyookan. Ketika Jepang mengalami banyak kekalahan dalam Perang Dunia
II, maka Jepang mendorong pembentukan badan-badan yang merancang
kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai daerah kochi
diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota
BPUPKI dari Surakarta adalah Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan
Radjiman Widyodiningrat.



Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949
Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah
Surakarta kehilangan hak otonominya. Pada masa perang revolusi, Pakubuwana
XII naik takhta hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Tidak lama
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sri
Sunan Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri
Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri
Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI. Pada tanggal 6
September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Sri Sunan
Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno dan tertanggal 19 Agustus
1945.
Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa
ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal 19 Oktober 1945 sebagai
komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Pengakuan tersebut masih
diperkuat lagi dengan pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan Pakubuwana
XII dengan pangkat Letnan Jenderal pada tanggal 1 November 1945. Belanda yang
tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini
dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke
Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.
Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana
menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya
pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung
sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang
merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan
Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII
sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia. Barisan Banteng berhasil
menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena
pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak
pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta.
Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang
menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum
sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.

D.I . Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka
Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin
Mangkunegaran (Mangkunegara VIII dan Susuhunan Sala (Pakubuwana XII)
mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa
wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI.
Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan
pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di
Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Persatuan
Perjuangan. Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus
Mangkunegaran dan Kasunanan. Pertumbuhan gerakan ini cepat dikarenakan
ketidakpuasan rakyat Surakarta terhadap Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari
dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-
tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani
(landreform) oleh gerakan sosialis.
Tanggal 17 Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH
Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh
pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat
Mangkunegara dan Susuhunan. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT
Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946,
sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni
1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik
Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom
menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat
pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di
bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang
mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran,
termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai
hari kelahiran kota Surakarta.
Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap PM Sutan Syahrir di Surakarta
oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral
Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis
Indonesia. PM Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden
Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan Polisi
Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke 14
pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada
tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono
menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14-pimpinan pemberontak.
Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara
di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak.
Namun demikian Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap
pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau
ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden
Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai
perwira keras kepala (bahasa Belanda koppig).
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil
dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh
pasukan pengawal presiden, setelah Letkol. Soeharto berhasil membujuk mereka
untuk menghadap Presiden Soekarno. PM Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen
Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa
bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan
dibebaskan dari penjara.


Serangan Umum 7 Agustus 1949
Dari tahun 1945 sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian
besar wilayah Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan
daerah-daerah sekitarnya.
Pada Desember 1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya
dan menyatakan RI sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak
menyerah dan mulai bergerilya di hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota
Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk membantah klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan
"Serangan Oemoem" yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota
Yogyakarta dan Surakarta selama beberapa jam. "Serangan Oemoem" di Surakarta
terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi.
Untuk memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan
"Jalan Slamet Riyadi".Kepemimpinan Slamet Riyadi - yang gugur di pertempuran
melawan gerakan separatis RMS - pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan
pimpinan tentara Belanda (Van Ohl), yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih
pantas menjadi anaknya, ketika acara penyerahan kota Solo.

1998-sekarang
Pada tahun Kerusuhan Mei 1998, tepatnya tanggal 14-15 Mei, terjadi
pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah penduduk serta fasilitas-fasilitas
umum sehingga menyebabkan kota Solo lumpuh selama beberapa hari. Berbagai
bangunan di Jalan Slamet Riyadi menjadi sasaran anarki massa. Kantor-kantor,
bank-bank, serta kawasan pertokoan, antara lain Matahari Beteng, dirusak dan
dijarah massa. Mobil-mobil di jalanan dibakar dan dihancurkan. Di sejumlah
kawasan Solo lainnya seperti di Nusukan, Gading, Tipes, Jebres, serta hampir
seluruh penjuru kota juga meletus aksi serupa. Kerusuhan kian meluas. Massa di
hampir seantero kota turun ke jalan melakukan pelemparan dan pembakaran
bangunan maupun mobil dan motor. Bahkan juga penjarahan. Asap mengepul di
mana-mana. Di Jalan Slamet Riyadi yang semula hanya terjadi pelemparan,
berganti pembakaran. Di antaranya Wisma Lippo Bank dan Toko Sami Luwes.
Supermarket Matahari Super Ekonomi (SE), serta Cabang Pembantu (Capem)
Bank BCA di Purwosari, yang semula hanya dilempari, akhirnya dibakar. Di Solo
bagian utara, massa membakar Terminal Bus Tirtonadi. Tak kurang dari empat bus
ikut dibakar. Di Solo bagian barat, amuk massa juga menerjang Kantor Samsat,
Jajar. Selain itu, Plasa Singosaren berlantai tiga turut pula dihanguskan. Kerusuhan
tak hanya di Solo. Massa di barat Kampus UMS bergerak ke barat dan melakukan
kerusuhan di Kartasura. Mereka membakar Kantor Bank BCA, Lippo, Danamon
serta ATM BII, di samping pertokoan serta sebuah supermarket di Jalan Raya
Kartasura, Sukoharjo, Toserba Mitra. Diler Suzuki, salon, toko kain, toko
elektronik serta toko mebel dibakar. Pada Jumat 15 Mei, aksi perusakan dan
pembakaran masih berlanjut. Sekitar pukul 07.00 WIB masyarakat dikejutkan oleh
asap hitam tebal yang membubung ke angkasa dari kawasan Gladak. Ternyata,
Plasa Beteng telah dibakar massa. Setelah itu berturut-turut sejumlah tempat yang
semula luput dari amukan massa pada hari sebelumnya, akhirnya disasar juga.
Toserba Ratu Luwes, Luwes Gading, pabrik plastik di Sumber serta puluhan
tempat lain dibakar dan dijarah massa. Begitu juga pembakaran terhadap
kendaraan roda dua dan empat masih terjadi di beberapa jalanan.Kerusuhan
kemudian merambat menjadi kerusuhan rasial, para perusuh itu menyerang
pertokoan yang kebanyakan milik orang Tionghoa, tergambar dengan hampir
semua toko di eks Karesidenan Surakarta (Solo Raya) tertulis Milik Pribumi,
sekalipun tulisan itu bukan cara ampuh untuk menghindari perusakan, penjarahan
hingga pembakaran.
Siang hari tanggal 14 Mei peristiwa tersebut selesai. Banyak toko-toko besar yang
hangus terbakar seperti Pasar Singosaren, SE Purwosari hingga rumah Harmoko
dan bioskop di Solo Baru juga tidak luput dari bidikan massa. Menurut saksi mata,
amuk massa di Solo, 14-15 Mei itu, ada yang memprovokasi. Dua saksi, seorang
guru dan seorang alumnus sebuah PTS menyatakan pelaku kerusuhan adalah
sekelompok orang dengan dandanan khas. Mereka berkelompok 10 sampai 20
orang, menutup muka dengan sapu tangan dan melakukan provokasi sepanjang
jalan agar warga ikut merusak. Kedua orang itu menyatakan kesaksian mereka
dalam dialog kerusuhan yang diadakan SMPT UMS, 12 Juni. Ketika asap
kebakaran mulai sirna dan emosi massa mulai menurun, baru diketahui bahwa
kerusuhan selama dua hari itu ternyata telah menelan korban jiwa 33 orang. Mayat
mereka yang telah dalam keadaan hangus diketahui setelah dilakukan bersih-bersih
atas puing-puing amuk massa. Di sisi lain, akibat banyaknya toko, swalayan, dan
tempat usaha lain (lebih dari 500 buah) dirusak massa, mengakibatkan sekitar
50.000 hingga 70.000 tenaga kerja Solo menganggur. Menurut catatan Akuntan
Publik Drs Rachmad Wahyudi Ak MBA, yang juga Managing Partner KAP Djaka
Surarsa & Rekan Solo, kerugian fisik usaha yang ada di plasa dan supermarket
mencapai sekitar Rp 189 miliar. Sementara, nilai total kerugian di Solo total Rp
457,5 miliar, sementara sumber lain memperkirakan kerugian mencapai 600 miliar
Dua bulan setelah kerusuhan lewat, Solo di malam hari masih seperti kota mati,
seperti di hari-hari dekat setelah kerusuhan. Toko-toko, juga kantor bank, masih
poranda dan sebagian atau seluruhnya hangus bekas dibakarToko Serba-ada
Super Ekonomi, Bank Central Asia, Bank Bill, warung Pizza Hut, Pasar Swalayan
Gelael, Toko Serba-ada Sami Luwes, Toko Elektronik Idola, dan sejumlah toko
kecil. Bangunan yang secara arsitektur dulunya terbuka dan berwarna transparan
tersebut, kini menjadi tertutup. Wajah lain yang tampak adalah mulai banyak
hadirnya pintu dan portal di mulut gang-gang kampung.
Kerusuhan kembali terjadi pada Oktober 1999 seiring gagalnya Megawati
memenangi pemilihan presiden dalam SU MPR. Balaikota, kantor pembantu
gubernur, sejumlah kantor bank, serta fasilitas-fasilitas publik lainnya rata dengan
tanah setelah dibakar massa pada hari itu juga. Julukan kota sumbu pendek
semakin melekat bagi Solo. Sejarawan Solo Sudarmono, mencatat sejak 1965
hingga 1999 telah terjadi 8 kali kerusuhan berskala kecil maupun besar di kota
pusat kebudayaan Jawa tersebut.
Hingga saat ini tidak ada dibangun monumen untuk memperingati hal ini, dan
lembaran hitam sejarah ini mulai dilupakan penduduk kota Solo.Pada tanggal 29
Oktober 2000, dan kembali pada 23 September 2001, menyusul serangan 11
September, kelompok garis keras "Laskar Islam Surakarta" melancarkan aksi
penyisiran warna negara asing yang tinggal di Solo.Sehubungan dengan terorisme,
wilayah di sekitar Solo dikenal sebagai basis beberapa kelompok garis keras,
seperti pesantren di Ngruki yang dipimpin oleh Abu Bakar Baasyir. Pada tanggal 3
Desember 2002, Ali Ghufron atau "Mukhlas", seorang tersangka Bom Bali dan
pemimpin Jemaah Islamiyah, ditangkap di dekat Surakarta bersama dengan
beberapa orang lainnya.Kecelakaan transportasi yang terjadi di wilayah Solo antara
lain: Lion Air Penerbangan 538 (30 November 2004) yang menyebabkan 26 orang
meninggal dunia dan Kecelakaan kereta api di Solo 2010 yang menyebabkan satu
orang meninggal di rumah sakit.Sejak 2005, setelah Joko Widodo terpilih menjadi
Wali Kota Solo, kota Solo perlahan-lahan bangkit kembali dan bangunan-
bangunan yang terbakar yang dibiarkan tidak terurus mulai satu per satu
dibersihkan.
BAB III
PENUTUP

KESIMPILAN

Dalam kesimpulan ini bahwa kota Solo memiliki sejarah
yg lumayan panjang dari masa masa penjajahan hingga
masa kini.Kota Solo juga memiliki kekayaan budaya,
bangunan berarsitektur kuno, kuliner dsb yg pantut kita
banggakan dan wajib untuk kita lestarikan agar kelak
anak cucu kita masih dapat merasakan indahnya kota
Solo.




LAMPIRAN
BENTENG VASTENBURG

Anda mungkin juga menyukai