Anda di halaman 1dari 8

Machine Translated by Google

Ofita Purwani1

KEKUATAN MONARCH DAN MORFOLOGI PERKOTAAN


STUDI KASUS KOTA JAWA

Abstrak | Makalah ini membahas bagaimana relasi kuasa para pemangku kepentingan suatu
kota dapat mempengaruhi morfologi perkotaan. Saya membandingkan kota-kota di Jawa,
Yogyakarta dan Surakarta yang dianggap sebagai lokus kebudayaan Jawa. Mereka berbagi
sejarah yang sama, yang berasal dari kerajaan Mataram abad ke-18 dan tetap ada dua raja di
setiap kota meskipun ada pemerintahan negara bagian. Namun, kedua kota tersebut memiliki
status yang berbeda setelah Indonesia merdeka yang sangat terkait dengan status raja.
Yogyakarta diberikan status khusus dimana wilayah kekuasaan dua raja sebelum kemerdekaan
Indonesia diakui dan dianggap setara dengan provinsi dan raja istana besar dan pangeran
istana kecil secara otomatis diangkat menjadi gubernur dan wakil gubernur dari daerah khusus
itu. Surakarta, sebaliknya hanya diakui sebagai kota yang diperintah oleh negara. Raja-raja di
Surakarta hanya diakui memiliki kepentingan budaya dan harta bendanya dirampas oleh negara.
Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan relasi kekuasaan di kedua kota tersebut. Dalam
makalah ini, saya akan fokus pada bagaimana perbedaan ini diterjemahkan dalam lingkungan
binaan. Sejak abad ke-18 kedua kota tumbuh dari istana dan pemukiman di sekitarnya,
mengikuti pola hierarkis. Tata letak keduanya sebagian besar mirip. Setelah kemerdekaan
Indonesia, perbedaan relasi kuasa terlihat terutama dalam aktivasi kota-kota tua dan preferensi
pemerintah dalam pembangunan. Tata ruang kota Yogyakarta tetap berpusat di kota tua,
melestarikan poros kosmologis yang sebelumnya digunakan untuk melegitimasi raja, sedangkan
tata letak Surakarta memiliki beberapa fokus, istana besar dan istana kecil, dan jalan arteri di
antara mereka.

Kata kunci | Kota Jawa, kekuasaan, monarki, morfologi perkotaan, ideologi.

1. PERKENALAN
Yogyakarta dan Surakarta adalah dua kota di pulau Jawa Indonesia. Mereka dianggap sebagai
lokus budaya Jawa karena adanya keraton di masing-masingnya. Keduanya didirikan pada
tahun 1755 menyusul perjanjian yang disponsori Belanda antara Pangeran Mangkubumi dan
raja Pakubuwana II dari kerajaan Mataram yang membagi wilayah kerajaan menjadi dua.
Pangeran Mangkubumi menetapkan keraton di Yogyakarta sebagai pusat wilayahnya yang seluas 350 km2 .
Selama abad ke-18 , ada dua divisi lagi yang dibuat di istana kerajaan atau kraton3

1
Kandidat PhD di Edinburgh College of Arts, University of Edinburgh, dan juga dosen di Universitas
Sebelas Maret, Indonesia
2
Wilayah yang tepat adalah dalam satuan cacah yang didasarkan pada jumlah keluarga yang tinggal di
daerah tersebut. Kedua belah pihak memiliki jumlah cacah yang sama yaitu sekitar 53.100 cacah[1]. Ini .
3
adalah sekitar 350 km2 'Kraton' adalah istilah Jawa yang mengacu pada istana sebagai institusi dan istana kerajaan.
Machine Translated by Google

oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah kolonial Inggris, dibuat satu pengadilan kecil dari setiap
pengadilan besar yang telah ada di setiap kota. Semua pengadilan menjadi sekutu Belanda pada akhir abad
ke-19 . Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 mengubah nasib kedua kota tersebut.
Pengadilan kerajaan Yogyakarta mengklaim dukungan atas negara yang baru lahir dalam deklarasi bersama.
Sebaliknya, istana Surakarta tidak menanggapi kemerdekaan dengan cukup cepat untuk mendapatkan rasa
hormat dari rakyat. Kedua kota yang mula-mula diberi status istimewa ini memiliki nasib yang berbeda
setelah tahun 1946. Surakarta dicabut status istimewanya karena gerakan anti monarki, sedangkan
Yogyakarta tetap mempertahankan status istimewanya hingga saat ini. Kedudukan khusus ini mempunyai
arti penting karena bagi mereka yang berstatus khusus wilayahnya diakui oleh negara sebagai provinsi, raja
dan pangeran secara otomatis diangkat menjadi gubernur dan wakil gubernur. Keraton Yogyakarta,
kemudian, dapat mempertahankan tanah mereka, properti dan posisi mereka sebagai otoritas politik wilayah
mereka. Keraton Surakarta, sebaliknya, memiliki tanah dan properti yang diambil alih oleh negara, dan
mereka tidak memiliki otoritas politik. Mereka sekarang hanya bertindak sebagai simbol budaya.

2. HUBUNGAN KEKUASAAN
Untuk memahami hubungan antara morfologi perkotaan dan kekuasaan raja, saya akan menjelaskan tentang
hubungan kekuasaan antar lembaga. Tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan tentang morfologi
perkotaan dalam kaitannya dengan kekuasaan. Yang akan saya lakukan di bagian ini adalah mengidentifikasi
lembaga-lembaga yang terlibat dalam konteks kota Yogyakarta dan Surakarta dan menganalisis relasi
kekuasaan antara pihak-pihak tersebut. Saya akan fokus pada situasi saat ini meskipun saya akan kembali
melalui sejarah jika saya membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Ada beberapa instansi yang dominan dalam konteks kekuasaan dan morfologi perkotaan di Yogyakarta dan
Surakarta. Salah satunya adalah kraton, baik itu kraton yogyakarta yang berada di kota yogyakarta maupun
kraton surakarta yang berada di kota surakarta. Instansi selanjutnya adalah keraton kecil yaitu Pakualaman
di Yogyakarta dan Mangkunegaran di Surakarta. Lembaga lain yang dominan adalah negara, muncul sebagai
pemerintah daerah di setiap kota. Badan yang terakhir adalah masyarakat, yang dapat berupa publik atau
organisasi publik termasuk LSM.
Raja kraton Yogyakarta memegang jabatan gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta yang berpusat di kota
Yogyakarta. Posisinya sebagai gubernur memberinya posisi yang baik sebagai pejabat negara sehingga ia
mewakili dua lembaga sekaligus, kraton dan negara. Dia memegang posisi negara tertinggi di daerah, dan
ini membuat pejabat negara lain di daerah ini menjadi bawahannya sehingga membuat hubungan yang baik
antara negara dan kraton.

Hubungan keraton Yogyakarta dengan keraton Pakualaman sedikit banyak dipengaruhi oleh sejarah dimana
keraton Pakualaman dibentuk memiliki wilayah kecil di luar wilayah kraton [2]. Pakualaman, dengan
demikian, selalu menjadi bawahan kraton Yogyakarta4 . Pangeran Pakualaman bergabung dengan raja
kraton dalam jabatan negara sebagai wakil gubernur, dengan kata lain bawahan gubernur.

Hubungan antara kraton Yogyakarta dan rakyat terlihat dari banyaknya dukungan yang diperoleh untuk
perjuangannya seperti penyebab penetapan di mana kraton menuntut pemerintah pusat untuk mengesahkan
Undang-Undang untuk mengesahkan pengangkatan otomatis raja menjadi gubernur5 .
Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh media nasional, Kompas, lebih dari 67% masyarakat
di Daerah Istimewa Yogyakarta mendukung tujuan penetapan [3].

4
Hal ini berbeda dengan keraton Surakarta dan keraton Mangkunegaran dimana Mangkunegaran menerima setengah
dari wilayah keraton Surakarta.
5
Hal ini menjadi isu setelah raja sebelumnya, Hamengkubuwana IX mangkat pada tahun 1988. Pemerintah
pusat menganggap penunjukan gubernur secara otomatis sebagai sesuatu yang melekat pada pribadi seseorang.
Machine Translated by Google

Situasinya berbeda di Surakarta terdekat. Keraton Surakarta tidak pernah bersekutu dengan keraton kecil
Mangkunegaran tidak seperti keraton di Yogyakarta. Sebaliknya, ada ketegangan di antara mereka.
Hubungan antara keraton Surakarta dan negara juga tidak terlalu baik. Kraton terkadang dianggap
menghambat pembangunan perkotaan oleh negara sedangkan kraton menganggap negara tidak
mengetahui keberadaan kraton6 . Hubungan antara kraton Surakarta dengan masyarakatnya hampir sama
dengan kraton lainnya, dimana masyarakat tidak terlalu peduli dengan kraton tersebut. Kebanyakan orang
di Surakarta saat ini membayar kesetiaan kepada walikota kota Surakarta, Joko Widodo, bukan kraton7 .

3. MORFOLOGI PERKOTAAN
Pada bagian ini saya akan fokus pada perbandingan antara morfologi perkotaan kota Yogyakarta dan kota
Surakarta. Masing-masing memiliki kraton sebagai pusat dari mana kota tumbuh dan mengikuti pola
tertentu yang dianggap hirarkis. Namun, karena kurangnya data dalam kedua kasus tersebut, saya tidak
dapat memberikan perbandingan lengkap dengan peta pada periode yang sama.
Sebagai gantinya, saya akan menggunakan peta sejarah yang tersedia di kedua kota tersebut.

Saya juga akan menyertakan tata letak hierarkis, yang diklaim sebagai kosmologis8 , yang terdiri dari
hierarki bertingkat melalui tingkat bangunan ke kota dan seterusnya. Tata letak ini meliputi tata letak radial
konsentris dan dua sumbu yang menghubungkan kenampakan alam yang dianggap sebagai sumber
kekuatan [4]. Tata letak konsentris radial dapat dilihat pada tata letak bangunan di kawasan kraton, seluruh
kompleks kraton dan sekitarnya, yang mencakup penempatan kraton sebagai pusat kota diikuti oleh
wilayah terluar yang disebut negara, negaragung, mancanegara dan tanah sabrang. secara berurutan.

Gambar 1. Tata letak kosmologis, biasanya dianggap sebagai kota-kota di Asia Tenggara dengan nama Mandala atau
galaksi. Pusat yang terletak di dalam keraton memiliki hirarki tertinggi, dan lingkaran luar berangsur-angsur menurun tingkat
hirarkinya. Ada dua teori lain tentang tata letak, salah satunya mencakup sumbu utara-selatan dan kosmologi Islam, sementara yang
lain mengaitkan sumbu dengan masalah gender.
Semuanya berhubungan dengan hirarki.

Tata letak yang ditunjukkan pada gambar di atas dengan pembagian negara, negaragung, mancanegara
dan tanah sabrang terutama tentang tata letak yang digunakan dalam masyarakat agraris di mana
penguasa di tengah mengelola tanah, sumber daya manusia dan pajak di bagian luar. Namun tata letak ini
digunakan untuk melegitimasi penguasa atau raja dengan menciptakan mitos tentang tatanan kosmologis
dan keseimbangan dunia. Tata letak kosmologis ini begitu populer sehingga selalu digunakan dalam
kebanyakan penelitian di kota-kota Jawa.

Hamengkubuwana IX bukan kraton Yogyakarta, sedangkan kraton menganggap sebagai sesuatu yang melekat pada kraton. 6

Hal ini berdasarkan data yang saya kumpulkan selama kerja lapangan saya pada Desember 2010 – Februari 2011.
7
Hal ini terutama terlihat pada Pilkada 2010 di mana Joko Widodo mengalahkan calon dari keluarga keraton Surakarta dengan
persentase lebih dari 90%.
8
Ini adalah upaya untuk melegitimasi raja, seiring dengan mitos yang dibuat oleh para ahli mitologi dan legitimasi
kraton yang menyebutkan bahwa raja adalah pusat alam semesta.
Machine Translated by Google

Saat ini pembagian negara, negaragung, mancanegara dan tanah sabrang sudah tidak relevan lagi
karena kedua kota tersebut lebih mengandalkan perdagangan dan pariwisata daripada agraris.
Namun, tata letak hierarkis dalam bentuk yang lebih sederhana dan sumbu dianggap masih ada
hingga saat ini. Tata letak dan poros ini menyisipkan ideologi ke dalam pengalaman bawah sadar
rakyat [5], menghasilkan reproduksi tatanan sosial yang memposisikan kraton di puncak hierarki.
Proses untuk mempertahankan tata letak dan poros ideologi sangat bergantung pada tingkat
kekuatan keraton. Semakin tinggi tingkat kekuatan kraton, semakin terjamin proses reproduksinya,
yang juga mencakup reproduksi dalam tataran fisik, yakni melestarikan tatanan ideologis.

Pada bagian berikut, saya akan fokus pada kasus kota Yogyakarta dan Surakarta khususnya pada
morfologi perkotaan dan menghubungkan tata letak dan porosnya dengan situasi saat ini dan
tingkat kekuatan kraton.

3.1. Yogyakarta

1756 1765

Gbr.2. Peta Yogyakarta pada abad ke-18 . Pada tahun 1756, itu terdiri dari wilayah kraton bertembok yang
terletak di antara dua sungai dan beberapa jalur di sekitarnya, salah satunya menuju ke utara. Pada tahun
1765 terjadi penambahan benteng Belanda di sebelah utara kawasan kraton. Sumber gambar: Adishakti,
1997.

1811 1870

Gambar 3. Peta Yogyakarta abad ke- 19 . Pada tahun 1811, sudah muncul jalur ke selatan yang menciptakan
sumbu utara-selatan yang terus menerus. Kota ini juga telah berkembang menjadi lebih kompleks. Pada tahun
1870, kota ini melebar dan menjadi lebih kompleks dengan sumbu utara-selatan dan jalur horizontal paralel di
sepanjangnya. Sumber gambar: Adishakti, 1997.
Machine Translated by Google

1900 1945

Gambar 4. Peta Yogyakarta abad ke- 20 . Rel kereta api telah dibangun melintasi bagian utara kota. Pada
tahun 1917 dibangun pemukiman Belanda di sebelah utara yang disebut Kotabaru yang ditunjukkan pada peta
tahun 1945 di sebelah timur sumbu utara-selatan. Kota dan infrastruktur telah berkembang.
Sumber gambar: Adishakti, 1997 dan Royal Tropical Institute.

Gambar 5. Peta administratif Kota Yogyakarta tahun 2010. Kota ini telah meluas melampaui batas
administratif, terutama ke utara dan ke timur. Poros utara-selatan bagian utara berfungsi sebagai jalur pariwisata
dan komersial utama di kota dan blok-blok di sekitar sumbu berfungsi sebagai wilayah pusat administrasi kota
dan daerah khusus.
Sumber gambar: Pemda Yogyakarta.

Yogyakarta didirikan pada tahun 1756 menyusul perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram
menjadi dua. Situs Yogyakarta berdekatan dengan situs pertama kerajaan Mataram, Kotagedhe,
sebelum dipindahkan ke arah timur ke Plered, Kerta, Kartasura dan Surakarta.

Dari peta sejarah di atas dapat kita lihat bahwa sumbu utara-selatan di Yogyakarta sudah
berkembang pada tahun 1900. Pembagian negara, negaragung, mancanegara dan tanah sabrang
tidak dapat dilihat secara jelas dalam peta tersebut, karena hanya mencakup lingkup keraton dan
negara (kota).
Machine Translated by Google

Saat ini poros utara-selatan memegang peranan penting sebagai pusat kegiatan perdagangan, pariwisata, politik
dan administrasi9 . Ini juga berfungsi sebagai hub utama kota yang menghubungkan
pusat kota, yang ditetapkan terletak tepat di sebelah utara kraton sepanjang sumbu utara-selatan, ke kabupaten
lain di kawasan khusus. Pembagian kraton dan negara saat ini dipertahankan dalam bentuk kebijakan konservasi.
Kawasan bertembok kraton merupakan objek utama kota yang harus dilestarikan. Selain itu, masyarakat yang
tinggal di kawasan ini biasanya adalah orang-orang yang berkerabat dengan kraton seperti mereka yang bekerja
di kraton sebagai abdi dalem dan tentara. Hal ini menimbulkan perbedaan antara bagian dalam kraton yang
bertembok dengan bagian luarnya, sehingga menimbulkan perbedaan [5].

Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa sumbu dan pembagiannya dilestarikan dengan mengaktifkan sumbu
utara selatan dan melestarikan kawasan tembok kraton dengan nama cagar budaya. Semua lembaga terlibat
dalam proses reproduksi ini. Pemerintah memberikan kebijakan dengan preferensi pada bagian kota mana yang
menjadi fokus pembangunan. Keraton dan istana kecil Pakualaman bekerja sama dengan pemerintah, karena
raja dan pangeran juga menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur. Orang-orang mengaktifkan ruang-ruang
itu untuk aktivitas mereka. Ada juga bukti bahwa masyarakat terlibat aktif dalam melestarikan poros dengan
memprotes rencana kraton mengundang investor untuk membangun fasilitas parkir bawah tanah di bawah
alun-alun utara alun-alun. Alasan protes karena fasilitas parkir baru akan menghancurkan poros utara-selatan.

3.2. Surakarta

Surakarta merupakan pusat kerajaan Mataram kelima, setelah Kotagedhe, Plered, Kerta, dan Kartasura.
Sebelum kraton dibangun, sudah ada desa di sebelah barat Bengawan Solo, sebuah sungai yang berperan
penting dalam menyediakan sarana transportasi ke bagian timur pulau.

Sebelum 1746 1821

Gambar 6. Peta Kota Surakarta sebelum tahun 1746 dan tahun 1821. Peta pertama menunjukkan desa Sala
sebelum kraton dibangun. Peta kedua menunjukkan kraton di daerah bertembok dan benteng Belanda di sebelah
utaranya yang terletak di dekat sungai Bengawan Solo beserta beberapa jalan setapak di sekitarnya.
Image sources: Departemen Pekerjaan Umum, 1998 and Royal Tropical Institute.

9
Saat ini, kantor-kantor Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta berada di sepanjang jalan Malioboro yang
berada tepat di sumbu utara-selatan, bersama dengan pusat perbelanjaan, pasar, dan sarana pariwisata. Selain
itu, hampir setiap peristiwa baik politik, budaya maupun sosial menggunakan jalan ini dan alun-alun utara kraton, yang
artinya jalan ini sangat berarti bagi masyarakat Yogyakarta.
Machine Translated by Google

1945 2010

Gambar 7. Peta Kota Surakarta tahun 1945 dan 2010. Tahun 1945 kota ini berkembang menjadi bentuk yang kompleks.
Jaringan kereta api telah dibangun di sisi utara kota bersama dengan kompleks pemukiman Belanda. Perkembangan transportasi
darat menggantikan transportasi air Bengawan Solo sehingga sungai kehilangan maknanya. Jalan timur barat yang terletak di
sebelah utara kawasan kraton ini berfungsi sebagai pusat pemerintahan Belanda. Pada tahun 2010, jalan utama timur-barat
masih memegang peranan penting sebagai jalan utama dalam kota.
Sumber daya peta dasar: Royal Tropical Institute dan pemerintah daerah Surakarta.

Dari peta di atas, kita dapat melihat bahwa kota Surakarta pada mulanya memiliki tata letak yang
mirip dengan Yogyakarta, dengan kawasan bertembok kraton di tengah dan benteng Belanda di utara.
Namun sumbu utara-selatan kota ini terpotong oleh sungai Bengawan Solo sehingga tidak sekuat
Yogyakarta. Jalan berorientasi timur-barat yang terletak di sebelah utara keraton ini kemudian
dijadikan sebagai jalan utama kota.

Saat ini Pemkot Surakarta memfokuskan pembangunannya pada jalan utama yang berorientasi
timur-barat, yang disebut jalan Slamet Riyadi, dan kawasan di sekitarnya termasuk kawasan keraton
dan kawasan pelataran kecil Mangkunegaran. Sama seperti jalan Malioboro di Yogyakarta, jalan ini
menjadi pusat aktivitas meski tidak seramai jalan Malioboro. Ini terutama sebagai jalur utama untuk
mengakses kota dari kota-kota lain terutama yang terletak di barat dan utara. Pembangunan saat
ini membangun jalan ini menjadi pusat kegiatan pariwisata dan budaya. Poros utara-selatan yang
digunakan untuk memberikan legitimasi kepada raja dan kraton saat ini berfungsi sebagai jalur
sekunder kota terutama untuk menghubungkan daerah pusat ke bagian utara kota marginal.
Pemisahan kraton dan kota masih dilestarikan atas nama konservasi warisan namun pemerintah
daerah lebih memilih untuk mengembangkan beberapa kawasan untuk pariwisata, tetapi bukan
kraton. Ada keengganan untuk memasukkan kraton dalam pembangunan karena pemerintah daerah
menganggap kraton tidak kooperatif10 .

Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa tata letak ideologis dan sumbu yang digunakan untuk
melegitimasi raja dan kraton tidak sepenuhnya dipertahankan sebagai tata letak utama kota. Ini
menghentikan proses reproduksi tatanan sosial yang sangat penting bagi legitimasi kraton.
Rendahnya kekuasaan kraton dan sikapnya yang tidak kooperatif terhadap negara dan pengadilan
kecil melemahkan posisinya di kota sehingga legitimasinya tidak direproduksi.

10
Hal ini didasarkan pada komunikasi pribadi dengan staf pemerintah kota Surakarta.
Machine Translated by Google

4. KESIMPULAN
Perbedaan tingkat kekuasaan monarki di kota Yogyakarta dan Surakarta menyebabkan
perbedaan cara masing-masing pemerintah daerah mengelola dan mengembangkan masing-
masing kota yang dulunya memiliki tata ruang yang sama dan konsep kosmologis yang sama.
Kraton Yogyakarta yang kuat memiliki pengadilan kecil, pemerintah daerah dan rakyat
mendukung keberadaannya dengan mengaktifkan tata letak ideologisnya sehingga mereproduksi
tatanan sosial yang menempatkan kraton di puncak hierarki. Sebaliknya, keraton Surakarta
yang kehilangan kekuasaan politik dan harta bendanya pada tahun 1946 dibiarkan tak berdaya
saat ini. Konflik dengan keraton kecil Mangkunegaran dan pemerintah daerah membawa situasi
yang sulit di mana tata letak ideologis yang dulu menjadi legitimasi raja dan kraton tidak
dipertahankan. Sebaliknya, pemerintah daerah lebih memilih daerah lain untuk dikembangkan
sebagai konsekuensi kelemahan kraton.

REFERENSI

[1] J. Miksic, (2004) Keraton Surakarta, Jakarta, Yayasan Kebudayaan Keraton


Surakarta.
[2] George D. Larson, (1979), Prelude to Revolution: Palaces and Politics in Surakarta, 1912-
1942: Disertasi Diserahkan untuk Gelar Doctor of Philosophy Northern Illinois University.

[3] Bayu Dardias Kurniadi, (2009), ‘Yogyakarta in Decentralized Indonesia: Integrating


Traditional Institution in Democratic Transitions’, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 13,
pp.190–203.
[4] S. C Headley, (2004), Masjid Durga: Kosmologi, Konversi dan Komunitas di Tengah
Islam Jawa, Institut Kajian Asia Tenggara.
[5] Pierre Bourdieu dan Richard Nice, (1984), Perbedaan: Kritik Sosial terhadap Penghakiman
Taste, Harvard University Press.
[6] P. Bourdieu, (1977), Outline of a Theory of Practice, Cambridge Studies in Social and
Antropologi budaya.
[7] Indonesia Marketing Association, (2002), Kraton Jogja: The History and Cultural Heritage
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Anda mungkin juga menyukai