Anda di halaman 1dari 25

Sistem Catur Gatra sebagai Konsep Keharmonisasian Pemimpin

kepada Masyarakat di Kota Gede 1960-Masa Kini

oleh :

Rizki Aldy Danusa, dkk.

Pendahuluan

Catur Gatra Tunggal merupakan sebuah konsep yang menjadi landasan


tata ruang dalam masyarakat Jawa. Catur Gatra yang merupakan komponen dalam
kehidupan masyarakat menggabungkan beberapa unsur seperti religi, sosial,
politik, ekonomi dan budaya dengan bertumpu pada hubungan yang harmonis
antara makrokosmos dan mikrokosmos1. Penggunaan konsep ini dimulai dengan
didirikannya Mataram Islam oleh Sutowijoyo dengan ibukotanya yaitu Kotagede 2.
Konsep ini menjadi landasan harmonisasi bagi pola kehidupan masyarakat
Kotagede dari dulu hingga sekarang, penggabungan empat pilar yang dipusatkan
menjadi satu poros merupakan kearifan lokal yang sudah dimiliki oleh masyarakat
Kotagede secara khusus.

Kebesaran yang tersembunyi dalam Catur Gatra, dimana secara etimologi


Catur Gatra sendiri diambil dari bahasa Jawa yaitu Catur dan Gatra. Catur sendiri
mempunyai makna empat sedangkan Gatra yang berarti pilar atau bangunan.
Secara terminologi Catur Gatra adalah konsep tata ruang kerajaan islam di pulau
Jawa yang mengandung empat pilar kehidupan yaitu ekonomi, sosial-budaya,
politik dan religi yang diwujudkan dalam bentuk bangunan diantaranya
pasar, alun – alun, keraton dan masjid.3

1
Wawancara dengan Pak Achmad Charis, pada tanggal 2 November 2018.
2
Wiratna Sujarweni, Yogyakarta Episode Jejak-Jejak Mataram Islam, (Yogyakarta: Global
Media Informasi, 2012), Hlm. 22
3
Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, (Yogyakarta: Jendela, 2000)
Hlm. 179.
Empat elemen yang memiliki hubungan satu sama lain dan menjadi satu
kesatuan dinilai efektif dan efisien dalam kehidupan sosial. Unsur-unsur yang
menjadi dasar dari konsep Catur Gatra ikut mempengaruhi kehidupan sosial
masyarakat Kotagede hingga saat ini. Di sisi lain, Perkembangan Catur Gatra
tidak hanya dapat ditemui di Kotagede saja, tetapi sudah mulai diaplikasikan
dibeberapa wilayah Jawa yang pernah dikuasai kerajaan Islam. Poros Catur Gatra
yang tergambar terpisah namun tidak terpilah memiliki fungsi khusus dengan
saling melengkapi antara pilar-pilar yang berdiri dalam sistemnya.
Dihubungkannya beberapa unsur ini menjadi satu kesatuan memberikan ruang
bagi keharmonisan Raja sebagai pemegang tampuk kekuasaan dengan masyarakat
yang mengabdi pada raja itu sendiri.

Hubungan yang begitu erat antara raja dan masyarakatnya tergambarkan


dengan adanya alun-alun dan pelengkapan fasilitas serta ruang publik yang
dibangun dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Komponen yang begitu
fungsional dimana raja memerintah di keraton, berhubungan langsung dengan
masyarakat di alun-alun, berjalannya perniagaan di pasar dan menumbuhkan
kesadaran akan hubungan manusia dengan tuhan yang ditunjukkan dengan masjid
sebagai salah satu pilar.

Perkembangan sistem ini telah bercampur dengan adanya perubahan


zaman yang dinilai menjadi salah satu solusi dari kehidupan sosial masyarakat di
Kotagede di masa sekarang.4 Sejarah panjang dari adanya Catur Gatra tidak serta
merta diketahui oleh banyak masyarakat yang bertempat tinggal di Kotagede
tersebut, bahkan simbol-simbol sejarah tata ruang ini mulai tergerus dengan
perkembangan zaman. Status dari beberapa pilar pada sistem Catur Gatra mulai
menjadi objek Pariwisata dari peninggalan Kerajaan Mataram Islam yang sampai
saat ini menjadi salah satu objek menarik ketika berkunjung di Yogyakarta.

4
Yogya Post. 1990. “Kraton Sebagai Pusat Studi Jawaban Tuntutan Negara Modern”.
6 Agustus 1990.
Namun, garis besar sejarahnya hanya diketahui oleh sebagian kecil masyarakat di
Kotagede.

Sebuah fenomena dengan dibukanya ruang publik yaitu alun-alun menjadi


sebuah perkampungan memperlihatkan adanya kekurangan ketersediaan lahan
yang berstatus free setelah ditinggalkan oleh sang sultan. Pergeseran lahan terbuka
bagi masyarakat dan dijadikannya lahan tersebut sebagai sebuah perkampungan
merupakan persoalan yang berpengaruh pada dinamika sosial bagi massa yang
berinteraksi dengan intensitas tinggi.5 Keberadaan perkampungan mendukung
dibangunnya perkotaan yang mulai menggeser unsur kebudayaan dan
tradisonalitas di kawasan tersebut. Kekosongan alun-alun dimanfaatkan menjadi
perkampungan bukan tanpa alasan, kebutuhan masyarakat akan adanya ruang
untuk permukiman semata-mata mulai meruntuhkan interaksi sosial dan
digantikan dengan pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat Kotagede. Landmark
yang terjadi banyak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang ada dalam
struktur masyarakat Kotagede.

Konsep Catur Gatra yang mulai dibuka untuk ruang publik tidak hanya
terdapat pada Kampung alun-alun. Peninggalan kraton yang mulai tergerus oleh
zaman dan tidak banyak ditemukannya bekas reruntuhan kraton mulai dialihkan
menjadi sebuah perkampungan yang dinamakan kampung nDalem.6 Peninggalan
adanya kraton dan digantikan oleh Kampung nDalem mulai tercatat sejarah
dengan adanya pemberian hak milik penduduk kampung nDalem, kraton
Yogyakarta memperoleh dengan cara membeli tanah yang telah dimiliki
penduduk setempat, sebelum membangun kompleks makam Hastorenggo.

Nilai-nilai dari sistem Catur Gatra merupakan keistimewaan yang diterima


oleh masyarakat Kotagede. Nilai luhur yang terkandung diimplementasikan dalam
kehidupan sosial dalam keharmonisasian antar warga. Bentuk bangunan dan
penempatan ruang publik dibangun berdasarkan nilai yang ada pada sistem Catur
Gatra yang telah mendarah daging dalam kehidupan mereka.

5
Wawancara dengan Pak Achmad Charis, pada tanggal 2 November 2018.
6
Wawancara dengan Bu Shinta Nur Kumala, pada tanggal 31 Oktober 2018.
Tujuan dilakukannya penelitian ini merupakan bentuk dari pemahaman
akan sistem Catur Gatra di masa kini, mengetahui hubungan antara pemimpin dan
masyarakat yang pola kehidupannya secara tidak langsung dipengaruhi oleh
adanya sistem Catur Gatra.

Catur Gatra dalam Arus Sejarah

Situs bekas kota yang pertama menjadi pusat pemerintahan kerajaan


Mataram-Islam ini setidaknya terletak 6 km di arah tenggara kota Yogyakarta
pada saat ini. Kotagede ini sebelumnya disebut sebagai Bumi Mataram atau
mentanok yang pada saat itu dihadiahkan oleh Jaka Tingkir, Raja Pajang kepada
Ki Gede Pemanahan, pemberian tanah ini sebagai balas jasa karena Ki Gede
Pemanahan telah membantu Jaka Tingkir mengalahkan Arya Penangsang.
Kemudian diberi nama Kotagede oleh Ki Gede Pemanahan yang berkuasa
antara tahun 1570-1584 dan Ki Ageng Pemanahan ini menamakan dirinya Ki
Ageng Mataram. Ki Ageng sendiri setelah meninggal dimakamkan di sebelah
barat Masjid, dan kemudian yang ditunjuk pada saat itu untuk menjadi
penggantinya ialah Sutawijaya yang bergelar Ngabehi Loring Pasar, dan oleh
Sultan Pajang diberi nama Senopati Ing Alaga Sayidin panatagma. Melalui
berbagai upaya perluasan wilayah, Mataram menjadi kekuasaan yang besar.
penaklukan demi penaklukan memperbesar wilayah kekuasaan Senapati.
Penaklukan panjang yang diikuti dengan serangan wilayah-wilayah di Jawa Timur
membuat Mataram yang semula permukiman kecil di pelosok menjadi kerajaan
yang disegani.
Pada masa pemerintahan Panembahan Senopati telah menaklukan banyak
wilayah-wilayah di Jawa, dan kini sisa-sisa dari kejayaan Mataram Islam berupa
reruntuhan keraton Kotagede tersebut dapat dilihat dari makam Raja-raja Mataram
Kotagede.7 Bahkan pada tahun 1926 Hubertus Johannes van Mook (1972)
sebelum menjadi Menteri Urusan Jajahan Belanda menulis risalah ringkas tentang

7
Wiratna Sujarweni, loc.cit.
Kotagede yang kemudian menjadi karya klasik yang memaparkan tentang
kelestarian kehidupan dan dinamika spiritual dan keduniawian di Kotagede.8
Secara garis besar Kotagede berarti “kota yang besar” yang dalam bahasa
jawa halus disebut dengan sebutan Kitha Ageng. Secara historis nama kotagede ini
sendiri sudah ada sejak masa Ki Ageng Pemanahan, sebutan itu sendiri lebih
bermakana harapan ketimbang kenyataan. Lebih dari empat ratus tahun yang lalu,
Kotagede dibentuk sebagai ibukota Kerajan Mataram yang pada saat itu didirikan
oleh Ki Ageng Pemanahan dan putranya, Panembahan Senopati. Namun sebagai
pusat pemerintahan. Selebihnya tempat ini menjadi destinasi peziarahan,
permukiman pengrajin, kediaman saudagar kaya, pusat gerakan reformasi
keagamaan dan juga daerah tujuan wisata.9
Berbicara mengenai Kotagede maka tidak akan lepas dari adanya Catur
Gatra, Catur Gatra sendiri merupakan pondasi utama dalam kehidupan di
Kotagede, konsep ini telah digunakan sedari berdirinya Mataram Islam. Secara
etimologi Catur Gatra yang diambil dari bahasa jawa yaitu Catur dan Gatra, Catur
mempunyai makna empat sedangkan Gatra yang berarti pilar atau bangunan.
Secara terminologi Catur Gatra merupakan konsep tata ruang kerajaan Islam di
pulau jawa yang mengandung empat pilar kehidupan, yaitu ekonomi, sosial-
budaya, politik dan religi yang meliputi, Pasar, Keraton (yang pada saat ini
menjadi kampung dalem), Alun-alun (yang pada saat ini menjadi kampung alun-
alun), dan Masjid.
Catur Gatra ini sendiri adalah empat wahana ruang dalam kebersamaan
tunggal, hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut: Pertama, Kraton dimana kraton
atau kompleks Kraton Mataram ini sebagai wujud catur gatra dibidang politik,
dimana dalam hal ini fungsi kraton sendiri adalah sebagi tempat tinggal raja untuk
mengatur segala hal yang berhubungan dengan pemerintahan dan daerahnya.
Namun saat ini kraton di Kotagede telah berubah menjadi kampung permukiman

8
Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kotagede Khasanah Arsitektur dan
Ragam Hias, (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014), Hlm. 11
9
Erwito Wibowo, dkk, Toponim Kotagede: Asal Muasal Nama Tempat. Yogyakarta:
Rekompak, 2011), hlm. VIII
biasa yang kini bernama Kampung nDalem, Kampung nDalem ini yang tersisa
hanyalah bangunan-bangunan kuno yang kurang menarik perhatian, berupa
cungkup untuk tempat watu gilang, watu gatheng dan watu genthong. Serta Siti
Sangar yang pada 4 Agustus 1934 bangunan tersebut dibangun oleh Sultan
Hamengkubuwono VIII menjadi kompleks makam Hastorenggo bagi trah
keturunanya, namun dalam catatan sejarah, karena Siti Sangat telah menjadi hak
milik penduduk Kampung nDalem, kraton Yogyakarta memperoleh dengan cara
membeli tanah yang telah dimiliki penduduk setempat, sebelum membangun
kompleks makam Hastorenggo.
Kedua, Alun-alun, dimana alun-alun ini merupakan wujud catur gatra di
dalam bidang sosil-budaya. Dimana dalam pengertiannya alun-alun awalnya
selalu terkait dengan kekuasaan. Setiap bangunan milik raja yang dimana di
depannya selalu terdapat alun-alun. Secara fisik alun-alun seslalu berbentuk bujur
sangkar. Secara historis alun-alun sendiri merupakan ruang kosong yang
digunakan sebagai tempat perenuangan terhadap kesunyian dan keabadian,
dimana aktifitas yang dibangun didasarkan pada agenda perilaku dan ritual
masyarakat, karena hal tersebutlah alun-alun seharusnya tidak terdapat bangunan
permanen. Seharusnya yang tedapat di dalam alun-alun sendiri hanyalah pohon
beringin.
Selain itu merupakan tempat berkumpulnya rakyat dan tempat rakyat
menemui sang raja dengan duduk bertumpu pada dua kaki diantara dua beringin,
dan juga Kerajaan Mataram Islam Kotagede hanya memiliki satu alun-alun yang
sangat luas. Namun sayangnya alun-alun kerajaan Mataram Islam di Kotagede
telah berubah menjadi perkampungan yang bernama kampung alun-alun, dimana
telah terjadi pola pergeseran sebuah fenomena adanya penyempitan persediaan
lahan dan juga ditambah dengan pengembangan kampung untuk mendukung
keadaan kota yang berkelanjutan dan kemudian interaksi sosial budaya bergeser
semata-mata dikarenakan oleh kebutuhan akan ruang untuk pengembangan
permukiman penduduk.
Ketiga, Masjid yang merupakam wujud Catur Gatra dibidang religi,
dimana Masjid Kotagede Mataram ini dibangun pada tahun 1587, yang kemudian
sudah banyak mengalami perubahan hingga saat ini. Kerajaan Mataram Islam
Kotagede memiliki satu masjid yang bernama Masjid Gede Mataram yang masih
ada hingga saat ini, fungsi dari masjid itu sendiri sebagai tempat manusia untuk
berinteraksi dengan Tuhannya atau juga disebut dengan hubungan Makrokosmos.
Selain itu Masjid Gede ini memiliki serambi atau ruang terbuka yang luas. Di
serambi ini banyak aktifitas sosial budaya dan kemasyarakatan dilangsungkkan
yang tidak bertentangan dengan keagamaan, selain itu serambi ini merupakan
peniruan daripada serambi masjid Demak.
Kemudian yang keempat adalah pasar yaitu wujud Catur Gatra dibidang
ekonomi. Fungsi pasar ini sendiri ialah untuk tempat bertemunya manusia dengan
manusia dan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi serta memakmurkan rakyatnya.
Selain itu pasar Kotagede ini merupakan bagian terpenting dari struktur kerajaan
Mataram Kotagede. Pola dari catur gatra ini sebenarnya telah sejak masa kerajaan
Majapahit, namun Catur Gatra pada masa Majapahit ini lebih bercorak hindu.
Selanjutnya Pasar kotagede ini sendiri sudah berdiri sejak abad ke XVI.
Pada masa lampau pasar kotagede ini lebih akrab disebut dengan Sargede
yang merupakan singkatan dari Pasar Gede, hal tersebut dikarenakan pada saat itu
pasar tersebut masih merupakan pasar yang besar, bahkan hingga saat ini orang-
orang desa yang berada dipinggiran Kotagede masih menyebut pasar kotagede
dengan sebutan Sargede. Namun perpecahan Mataram juga berdampak pada
kemerosota tata kota, banguan maupun ekonomi10. Dulu ketika para abdi dalam
mulai kehilangan penghasilan akibat perpecahan keraton, rumah-rumah yang
dibangun dijual dan dibeli oleh para saudagar, di antaranya orang kalang.11

10
Dipaparkan oleh Erwinto dari segi tata konsep catur gatra yang dulu pernah ada kini
tidak sepenuhnya nampak, Erwinto juga menyebut sejarah awal dari pembangunan kotagede ini
sendiri sebenarnya sama dengan kota-kota lainnya di Pulau Jawa, yaitu dengan Catur Gatra:
pasar, masjid, kedhaton dan alun-alun. Namun catur gatra tersebut kini sudah tidak utuh lagi.
Saat ini, kita hanya mampu melihat Masjid Gede dan Pasar Kotagede, sedangkan kedhaton dan
alun-alun sudah tidak nampak wujud nya dikarenakan sekarang sudah berubah menjadi Kampung
nDalem dan Kampung Alun-alun.
11
Seperti yang dikemukakan oleh Antropog Jepang Mitsuo Nakamura dalam buku Bulan
Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin menyebutkan abdi dalem pada masa kejayaan Mataram
Islam memiliki kekuasaan, kekayaan dan juga jabatan prestise.
Pola Kehidupan Masyarakat Kotagede yang Berhubungan Langsung dengan
Sistem Catur Gatra

Sama seperti yang dijelaskan Sebelumnya, ketika ibukota belum berpindah


ke Pleret pusat kota Mataram Islam terletak di Kotagede, kota ini dibangun sekitar
abad ke-8 M, dan enam abad kemudian Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan
Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya yang
berkuasa saat itu menghadiahkan Alas Mentaok yang luas kepada Ki Gede
Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan musuh kerajaan. Ki Gede
Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah ke Alas Mentaok,
sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu
dahulu, desa kecil yang didirikan Ki Gede Pemanahan di hutan itu mulai makmur.
Setelah Ki Gede Pemanahan wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bergelar
Senapati Ingalaga. Di bawah kepemimpinan Senapati yang bijaksana desa itu
tumbuh menjadi kota yang semakin ramai dan makmur, hingga disebut Kotagede
(kota besar). Senapati lalu membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi
kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas kurang
lebih 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan
yang lebar seperti sungai.

Dengan latar belakang pembangunan yang tertata, Kotagede termasuk dalam


kota peninggalan Mataram Hindu dan memiliki keadaan yang dapat dikatakan
harmonis karena memiliki pilar-pilar pembangun serta pendukung kehidupan
menjadikan pola kehidupan masyarakatnya lebih cenderung pada kesejahteraan,
dan berjalan menuju kemakmuran, karena di dalam ruang lingkup Kotagede
memiliki sistem untuk mendukung kehidupan yang dinamakan Catur Gatra atau
empat pilar utama yang memiliki peran masing-masing dengan terpisah tapi tidak
terpilah dimana setiap pilar berjalan sebagai pendukung kesejahteraan, dan
patokan untuk kemakmuran kehidupan masyarakatnya. Catur Gatra merupakan
sebuah sistem tata kota yang digunakan untuk penggerak, pendukung dan
pengatur dimana letak sebuah wilayah membutuhkannya untuk menunjang
kehidupan serta kebutuhan.

Sistem Catur Gatra terdiri dari empat pilar yakni, pasar, masjid, alun-alun
yang kini menjadi perkampungan dan keraton. Pasar Kotagede sebagai tonggak
perekonomian, Masjid Kotagede sebagai tonggak religius, Keraton Yogyakarta
sebagai pusat pemerintahan dan Kampung alun-alun sebagai ruang dimana
masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat saling berinteraksi, ini
merupakan contoh keberhasilan atas berjalannya sistem tata kota.

Catur Gatra dapat juga dikatakan menjadi sebuah konsep atau taktik untuk
sebuah tata ruang dalam wilayah khususnya Kota Gede yang mengikuti tata ruang
hindu dimana telah ada sejak berdirinya kerajaan Majapahit, demak dan pajang
yang kemudian berkembang setelah Sultan Agung dijadikan penguasa ketiga
sampai mataram islam berdiri serta diberi kekuasaan atas Kotagede, sehingga
perkembangkan sistem catur gatra ini dapat dikatakan pesat. Meskipun pusat dari
konsep ini adalah keraton namun ada pilar lain yang menjadi kekuatan yakni,
masjid yang juga memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat
kotagede, yang mana saat religi berkembang baik maka masyarakatnya akan
menjadi religius atau lebih dekat dengan Tuhan. Meskipun digunakan di Kotagede
sistem ini tidak hanya berlaku pada masa mataram islam bertahta di kotagede,
namun telah ada jauh sebelum mataram islam terbentuk dan sistemnya telah
digunakan sebagai tata ruang yang lebih cenderung ke Hindu daripada Islam.

Dengan memiliki banyak fungsi dan menjadikan masyarakat-masyarakat


yang tinggal di Kotagede memiliki kelebihan tersendiri dimana adanya sistem ini
membantu dalam mencukupi serta memenuhi kebutuhan manusiawi para
masyarakat, dari rohani maupun jasmani, dan menyangkut tentang empat pilar
yang menjadi tonggak kokohnya tata kota di Kotagede fungsi dari tiap-tiap pilar
tersebut sebagai berikut,

a. Pasar merupakan sebuah aspek yang sering menjadi tempat interaksi


antar masyarakat khususnya di Kotagede sendiri. Pasar berfungsi
sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi secara primer sampai sekunder
bahkan tersier. Kebutuhan tersebut biasanya berupa sandang pangan
dan papan. Kebutuhan manusia akan hidup tidak dapat terlepas dari
adanya pemenuh ekonomi karena adanya perputaran uang yang
menjadi penunjang hidup terus berjalan, selain adanya perputaran
uang didalam pasar sendiri terjadi transaksi jual beli dimana
masyarakat dapat membeli barang atau kebutuhannya serta dapat
menjual kebutuhan-kebutuhan tersebut pada orang lain, sehingga
dapat dikatakan keterlibatan antar masyarakat menjadikan suasana
yang kian harmonis karena adanya pertemuan dan percakapan, jadi
pasar juga dapat dikatakan pilar penggerak kehidupan.
Keharmonisasian yang terjalin karena interaksi yang tejadi didalam
atau diluar pasar menjadikan sebuah pola dimana manusia memang
membutuhkan orang lain dalam hidupnya.

b. Kemudian ada masjid yang menjadi salah satu objek vital sebagai
jembatan antara manusia dengan Tuhan dengan melakukan ibadah.
Berdiri dimasa Mataram Islam menjadikan masjid salah satu pilar
terpenting yang harus ada dalam sistem tata ruang kota, masjid juga
menjadi pilar yang memberikan pemenuhan khusus dalam kebutuhan
religius bagi tiap masyarakat penganut islam. Masjid merupakan
salah satu kekuatan di dalam sistem tata kota dalam konteks ini
karena pilar ini menjadi jalan penghubung dimana seorang manusia
mendekatkan diri dengan Tuhannya, untuk memohon atau beribadah
sehingga keharmonisasian hidup dan ketenangan akan hidup
didapatkan. Masjid sangat berperan penting karena dalam masa
mataram islam sangat membutuhkan tempat ibadah dimana
masyarakat satu dengan yang lainnya dapat bertemu dan berbincang
selepas melakukan ibadah atau sebelumnya, jadi pilar ini menjadi
salah satu kunci berjalannya komunikasi antar masyarakat. Interaksi
yang terjadi didalam ruang lingkup masjid juga tidak hanya pada
waktu ibadah saja, contohnya jika umat muslim sedang menjalankan
ibadah yang lain seperti hari raya Idul Qurban ini juga menjadi faktor
kerekatan antar masyarakat di kotagede. Hal ini juga membentuk pola
masyarakat yang harmonis dengan interaksi antar umat beragama.

c. Alun-alun yang terletak disebelah selatan masjid mataram dan pasar


kotagede ini dulunya benar-benar memiliki daerah yang luas sebelum
adanya pemukiman yang kian hari kian mempersempit wilayah alun-
alun ini. Sebelum menjadi pemukiman milik pribadi wilayah alun-
alun ini dulunya memang menjadi hak milik keraton. Dengan letak
yang tidak begitu jauh dari pilar-pilar lainnya menjadikan lokasi ini
sebagai salah satu aspek penting berkomunikasi yang paling
kompleks terjadi, sebagai jembatan ruang publik, alun-alun memang
dirancang sebagai tempat dimana masyarakat satu dengan yang
lainnya dapat saling berinteraksi dengan bebas bahkan juga dengan
petinggi keraton. Sejak menjadi kampung alun-alun daerah atau
lokasi ini menjadi contoh dimana sistem ini diterima dengan baik
oleh masyarakat sehingga keharmonisasian terjalin dan menjadi ruang
publik bagi masyarakat. Faktor lainnya adalah tata letak satu rumah
dengan lainnya yang saling berdekatan menjadikan hubungan
bertetangga semakin erat, inilah yang menjadi pola kehidupan
masyarakat juga harmonis. Meskipun jalanan disekitar Kotagede
kecil karena memang dirancang untuk pejalan kaki tidak mengurangi
bentuk hubungan antar masyarakat. Tata letak seperti ini juga
menjadikan komunikasi antar masyarakat betetangga jarang
mengalami kendala.

d. Yang terakhir dan berperan penting sebagai penentu jalannya sistem


Catur Gatra adalah Keraton yang juga menjadi strata tertinggi dari
jalannya pemerintahan di Yogyakarta. Keraton berperan dalam
mengatur dan menjalankan agar sistem yang digunakan sejak
berdirinya kerajaan mataram islam ini tidak memiliki banyak kendala,
dibawah kekuasaan Raja atau Sultan sistem ini diharapkan dapat
berjalan dengan baik karena saling berkaitan antara perekonomian,
religius, politik dan kesejahteraan masyarakat. Adanya keraton juga
menjadi pilar dimana terjalinnya hubungan harmonis antara
pemerintahan dengan masyarakatnya sehingga semua pilar yang ada
dalam Catur Gatra berfungsi dengan baik. Sistem ini sebenarnya
bertujuan dalam menjaga hubungan baik antara keluarga Raja atau
Raja dengan masyarakat agar terjalin keharmonisasian hidup.

Empat pilar ini memang saling berkaitan satu sama lain, namun juga
memiliki dampak baik positif maupun negatif bagi masyarakat Kotagede maupun
bagi pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam pola masyarakat Kotagede yang
menjunjung keharmonisasian pasti tidak terlepas dengan adanya dampak,
terjalinnya hubungan menjadikan dampak positif adanya sistem ini dan dampak
lainnya yang dapat dikatakan pentung adalah menjadikan kehidupan sejahtera
masyarakatnya selalu terjamin. Dampak negatifnya lebih cenderung pada
kekurangan kesempatan dalam mensejahterakan hidup karena terlalu sibuk dalam
memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun orang lain.

Dengan berpatok pada keharmonisasian yang terjalin dalam menjadikan


catur gatra sebagai salah satu aspek penting, dan dengan berbicara tentang hal
yang menyangkut sistem ini dimana masyarakat Kotagede termasuk dalam
kategori tradisional yang hubungan antar masyarakat satu dengan lainnya terjalin
secara guyub dan rukun. Sistem ini mengatakan bahwa pemerintahan tertinggi
dipegang oleh gubernur yang secara langsung merupakan Raja yang dikenal
dengan sultan Hamengku Buwana dengan wakilnya Adipati Pakualaman yang
juga memiliki darah biru keturunan keraton Yogyakarta. Sultan memiliki peranan
penting dalam memajukan dan mengembangkan sistem ini karena masih diberi
kepercayaan serta kehormatan dari seluruh masyarakat Yogyakarta.

Dengan berjalannya empat pilar Catur Gatra berpengaruh secara langsung


pada kehidupan sosial masyarakat dengan aspek yang paling berkaitan yaitu
masjid, pasar, kampung alun-alun dan Keraton. Catur gatra memang sangat
penting bagi kehidupan masyarakat di Kotagede, meskipun ada jauh sebelum
mataram islam berdiri dan dipengaruhi oleh sistem tata kota hindu, Catur Gatra
tetap memiliki koreksi. Untuk membentuk keharmonisasian antar masyarakat atau
dengan pemerintahan tertinggi dan untuk masing" pilar pasti memiliki kelebihan
dan kekurangannya sendiri. Secara tidak langsung sistem ini membentuk pola
pikir masyarakat agar berkomunikasi satu sama lain dengan transaksi jual beli,
beribadah dan bertetangga.

Catur Gatra memang sangat berguna dengan fungsinya untuk masyarakat


Kotagede melalui tata ruang kotanya bahkan dengan mempengaruhi hubungan
antar manusianya, sehingga pola masyarakat yang teratur, harmonis, dan sejahtera
akan mudah dijalankan. Apalagi dengan berkembangnya serta mengalami
kemajuan zaman menjadikan perlahan sistem ini menunjukan fungsinya yang
besar bagi kehidupan masyarakat disana. Dengan guyub rukun, gotong royong,
menjadi beberapa contoh kecil bahwa sistem ini berjalan dengan baik serta
membentuk pola kehidupan masyarakat yang memiliki jiwa peduli yg tinggi.

Pola kehidupan masyarakat di Kotagede cenderung memiliki jiwa kepedulian


yang tinggi, interaksi antar masyarakatnya juga sangat kentara terlihat, bahkan
dengan penguasa tertinggi Yogyakarta hubungannya dapat dikatakan sangat baik
karena Kotagede merupakan wilayah dimana diistimewakan adanya. Banyak
aspek dan faktor yang menjadikan Kotagede seperti ini yang secara tidak langsung
membentuk pola pikir dan perilaku masyarakatnya menjadi lebih baim dan ramah.
Kehidupannya juga cenderung dilakukan dengan banyak kemudahan yang
diberikan, walaupun tata ruang kotanya sedikit acak karena wilayahnya tidak
terlalu besar. Namun dengan ukuran wilayah yang cenderung kecil mejadikan
hubungan antar manusianya terjalin dengan sangat baik dan berkepedulian satu
sama lain.

Hubungan Raja dan Masyarakat dalam Kehidupan Sosial Dengan Adanya


Sistem Catur Gatra Kontemporer
Sejak berdirinya Catur Gatra pada akhir abad-16 M, peran dari seorang raja
terlihat sangat jelas bahwa dalam urusan pemegang andil dalam urusan
pemerintahan adalah raja. Dalam urusan pemerintahan, raja tidak bisa berjalan
sendiri tanpa adanya peranan masyarakat. Keberadaa komponen-komponen di
dekat kraton dapat ditafsirkan sebagai lambang kekuasaan raja atas kehidupan
filosofis-religius,politis ekonomi, dan cultural, dengan kedudukannya sebagai
kalipatulah. Gelar ini adalah penjawaan istilah dalam bahasa arab Khalifatullah fil
ardhi yang berarti ‘wakil Tuhan di dunia’. Hubungan masyarakat dan raja telah
terjalin sejak dulu dilihat dengan adanya infrastruktur yang telah ada sejak saat itu
yang bertujuan untuk memudakan masyarakat melakukan interaksi satu sama lain.
Tujuan lainnya agar raja lebih mudah memantau sistem pemerintahan.
Catur Gatra telah menggambarkan bagaimana keharmonisan itu terbentuk.
Terlihat dari rekontruksi tata ruang keempat komponen tersebut. Dimana alun-
alun berada di sebelah utara kraton, Masjid Agung berada di sebelah barat alun-
alun, dan pasar berada di belahan utara alun-alun. Tempat yang saling
berdampingan itu bertujuan untuk memudahkan control dari pihak keraton.12
Dengan begitu raja lebih mudah memantau bagaimana aktivitas yang berjalan
disekitar wilayah pemerintahan. Hubungan keempat komponen ini sangat
berkaitan satu sama lain dilihat dari keberadaan alun-alun sebagai ruang terbuka
di antara kraton,masjid agung, dan pasar.
Sudah diketahui bahwa hubungan raja dan masyarakat tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, oleh karena itu dalam menjalankan roda perekonomian
dan juga untuk mengharmoniskan hubungan antar masyarakat maka dibangunlah
Pasar. Pasar yang dibangun di Kotagede tepatnya di selatan alun-alun merupakan
simbol dari keberlangsungan ekonomi dan hubungan yang baik di antar warga
Kotagede, hal ini dapat dilihat dari usia dari pasar Kotagede yang masih hidup dan
berkembang dari dulu sampai saat ini. Pasar Kotagede memang bukanlah pasar
yang terbesar yang dibangun oleh raja, tetapi dari nilai historisnya pasar Kotagede
telah memiliki perjalanan panjang dalam arus sejarahnya dan merupakan salah
satu komponen penting dari keharmonisan hubungan raja dengan masyarakat dan

12
Inajati Adrisijanti, loc.,cit.
masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan di bangunnya Pasar maka
kreatifitas masyarakat dapat dituangkan, seperti banyaknya penjual kerajinan,
terutama kerajinan perak yang sangat khas dengan Kotagede.
Di Kotagede pusat administrasi terpusat di kraton. Sebagai pusat
pemerintahan maka kraton tidak luput dari kegiatan administrasi pemerintahan.
walaupun begitu ada sebagian kraton yang tidak difungsikan sebagai kraton lagi,
seperti kraton Kotagede yang ditinggalkan karena raja (susuhunan Amangkurat I)
berkehendak membuat kota baru yakni Plered. Walaupun begitu proses
administrasi di Kotagede masih berangsung walaupun saat ini sudah dipegang
kraton pusat. Hal ini dikarenakan di Kotagede terdapat makam pembentuk dinasti
dan raja-raja Mataram yang terdahulu maka tidak mungkin jika proses
administradi di Kotagede terhenti.
Adanya perpindahan-perpindahan pusat administrasi (kraton) itu maka ada
perubahan situasi, dimana kota pusat pemerintahan berubah menjadi desa, dengan
begitu masyarakat mau tidak mau juga harus mengikuti perubahan tersebut. Tetapi
kota lama Mataram tidak menjadi desa biasa, disekeliling makam para pendiri
kerajaan islam ini sekarang masih ada pusat lalu lintas suci dan lalu lintas
keduniawian, bukan hanya menjadi pusat pujaan tempat peristirahatan para
leluhur seperti sunan dan sultan yang di tempatkan bersama-sama, melainkan juga
sebagai pusat kesibukan perdagangan dan kerajinan yang di gunakan sebaik
mungkin oleh masyarakat. Oleh karena itu kegiatan dari proses administrasi masih
dapat dipantau denga adanya kegiatan-kegitan yang menghasilkan bagi
masyarakat.13
Walaupun Keraton menjadi tempat kehidupan bagi raja akan tetapi
hubungan raja dengan masyarakat lebih dimudahkan dengan adanya alun-alun
atau sekarang lebih dikenal dengan nama Kampong Alun-Alun. Di alun-alun
memiliki semacam acara tahunan yakni rangkaian upacara Grebek, upacara ini
merupakan upacara tahunan untuk peringatan beberapa hari besar Islam. Salah
satunya adalah Grebek Mulud, pada upacara ini dianggap penting karena upacara
tersebut sekaligus merupakan acara seba tahunan bagi para penguasa daerah untuk

13
Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, loc.,cit.
menunjukkan ketaatan dan kesetiaan kepada raja.14 Dengan begitu, selain untuk
fungsi filosofis-religius, alun-alun juga mempunyai fungsi politis. Alun-alun yang
dimana merupakan pilar masyarakat memang wadah yang tepat bagi raja untuk
melaksanakan berbagai acara, selain untuk hiburan bagi masyarakat dan menjaga
hubungan yang baik juga dengan masyarakat.
Raja memiliki gambaran kehidupan filosofis-religius dengan
kedudukannya sebagai kalipatulah atau Wakil Tuhan di Dunia. Maka kehidupan
keagamaan erat hubungannya dengan raja. Tidak dapat dipungkiri bahwa
kehidupan religius di Kotagede sangat kental dengan adanya Mataram Islam
sebagai pusat kekuasaan pada saat itu. Pengaruh islam yang kuat maka tidak heran
jika mayoritas masyarakat Kotagede sejak dulu telah memeluk agama Islam dari
zaman nenek moyang begitupun dengan raja. Simbol dari kereligiusan masyarakat
Kotagede dapat dilihat dengan adanya Masjid Agung yang berada di sebelah barat
alun-alun dan masih berdiri kokoh meskipun sebagian dari bangunan sekarang
merupakan hasil dari renovasi dari kebakaran yang terjadi pada saat itu.
Majid agung Kotagede merupakan salah satu komponen yang selalu
muncul di dalam kota-kota pusat pemerintahan, baik kerajaan maupun Kabupaten.
Kereligiusan masyarakat Kotagede juga tercermin dari dibangunnya masjid dan
surau-surau di wilayah-wilayah pemukiman masyarakat terutama dilingkungan
masyarakat asli Kotagede. Pada hari-hari besar islam raja sering mengadakan
upacara-upacara dan kegiatan yang mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan
itu, maka raja dan masyarakat dapat bertatap muka secara langsung dengan
masyarakatnya. Maka tidak heran jika disekitar Matararam Islam dan Kotagede
sering ditemui masjid dan surau-surau yang jaraknya berdekatan satu sama lain.
Walaupun tidak semuanya masyarakat Kotagede memeluk agama Islam tetapi
masyarakat Kotagede telah memiliki nilai toleransi yang tinggi sejak dulu, mereka
tidak mengusik satu sama lain bahkan hidup saling berdampingan. Sama halnya
ketika Muhammadiyah hadir di Kotagede, hal itu bukan hanya memberikan
pembaruan dalam pemahaman keagamaan tetapi juga mempengaruhi berbagai
aspek bagi masyarakat seperti, aspek sosial dan ekonomi.

14
Inajati Adrisijanti, op.cit., Hlm. 180.
Pada masa Senapati ia membangun istananya, selain untuk tempat
kediaman juga digunakan untuk pusat pemerintahan. Masjid juga yang semulanya
hanya digunakan untuk peribadatan kecil, juga diperbesar menjadi masjid Agung
sehingga masyarakat lainnya juga bisa menggunakan untuk tempat beribadah.
Dan untuk tempat masyarakat berkumpul dan melakukan aktivitas, pada bagian
depan masjid dan istana terdapat ruang terbuka yang luas yang biasa disebut
sebagai alun-alun. Dan sebuah pasar yang berada di utara alun-alun dibangun dan
digunakan untuk masyarakat melakukan kegiatan ekonomi. Dan dengan
dibangunnya Istana (keraton), Alun-alun, Masjid serta Pasar, merupakan
komponen utama pusat kota dan merupakan empat pilar dari Catur Gatra yang
kemudian menjadi rujukan bagi kota-kota pewaris Mataram selanjutnya. Dan
dengan adanya infrastruktur ini maka masyarakat lebih dimudah-kan dan sangat
berguna bagi keberlangsungan hidup masyarakat baik dari aspek sosial, ekonomi,
dan agama.15
Walaupun banyak terjadi perselisihan antara Kesultanan Yogyakarta dengan
Kasunanan Surakarta yang dimana keduanya merupakan pewaris dari Kerajaan
Mataram yang lestari sampai saat ini, tetapi keduanya masih menghormati
Kotagede sebagai tanah leluhur mereka, keduanya menganggap jika tanah leluhur
tidak seharusnya dinodai dengan pertikaian duniawi. Keharmonisan juga tidak
akan dapat terjalin di masyarakat jika pemimpin mereka terlibat pertikaian, maka
sikap yang diambil dari kedua pewaris ini merupakan pilihan terbaik. Dengan
terjalinnya hubungan yang baik maka tidak dapat dipungkiri jika keharmonisan
antara masyarakat dan raja masih akan dapat terjaga dimasa yang akan datang.
Masyarakat Kotagede telah terlatih dengan hubungan yang baik dengan
masyarakat lainnya dimana hal ini telah diajarkan sejak zaman nenek moyang
mereka, akan tetapi raja juga memiliki peran penting dalam menjaga keutuhan
keharmonisan ini dengan dibangunnya infrastruktur-infrastruktur untuk
memudahkan masyarakat melakukan kegiatan kesehariannya juga untuk tempat

15
Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, op,cit., Hlm. 14.
pelestarian budaya Kotagede, seperti dibangunnya perpustakaan, sekolah, kantor
priwisata dan lain sebagainya.

Nilai-Nilai Catur Gatra yang terkandung dalam kehidupan di Masa Kini

Ketika datang dan menempati suatu tempat yang di dalamnya terdapat ruang
dan rupa untuk dihayati banyak sekali makna yang dapat dirasakan. Adanya Catur
gatra tentu memberikan cara tersendiri untuk memberikan makna kepada siapa
saja yang terkena dampak langsung dari adanya sistem Catur gatra. Secara visual,
Kotagede memberikan makna akan adanya hubungan yang terjalin antara masjid
Kotagede dengan nilai agama, dibangunnya pasar gede dengan nilai ekonomi,
Kraton yang saat ini menjadi Kampung nDalem dengan nilai politik, dan alun-
alun yang kini menjadi Kampung alun-alun dengan nilai sosialnya. 16

Penggambaran adanya sistem Catur gatra di Kotagede menjadi salah satu


mozaik kekokohan yang syarat akan makna. Hubungan empat pilar yang terpisah
namun tidak terpilah menjadi alasan begitu kuatnya makna yang terdapat pada
Catur Gatra di Kotagede. Pembagian fungsi masing-masing keempat pilar
memberikan satu kesatuan nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat
Kotagede, pasar sebagai pusat perekonomian, alun-alun sebagai pusat adat budaya
masyarakat, Masjid sebagai pusat peribadatan, dan Keraton sebagai pusat
kekuasaan. Pemaknaan akan adanya empat pilar itu adalah dihubungkannya
jalinan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Penempatan tata ruang dalam
wilayah Kotagede yang diatur dengan adanya Catur Gatra didirikan secara
terpisah tetapi dihubungkan dengan adanya jalan-jalan yang dibuat secara
kompleks.

Bahkan ketika awal pembangunan, Sutawijaya sebagai pemegang kekuasaan


memberikan keputusan untuk mendirikan pasar terlebih dahulu karena adanya
alasan perekonomian yang dapat membangun pemerintahannya terlebih dahulu.17
Kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat menjadi alasan utama dibangunnya

16
Wawancara dengan Pak Achmad Charis, pada tanggal 2 November 2018.
17
Wiratna Sujarweni, loc.cit.
pasar terlebih dahulu, keputusan tepat seperti ini memberikan kehidupan
masyarakat Kotagede pada masa itu menjadi sangat ramai dan makmur. Di masa
kini, Kotagede telah menjadi salah satu kawasan yang memiliki penduduk padat
dan banyak mendirikan rumah bergaya tradisional yang secara konsisten
menghadap ke selatan jalan atau membelakangi akses utama.

Pendirian tembok-tembok di depan rumah mereka menjadi satu ciri khas dari
kehidupan masyarakat Kotagede yang banyak orang menilainya sebagai suatu hal
yang kurang bersahabat. Tetapi secara rinci bisa dilihat bahwa terdapat makna dan
nilai tersendiri dari penempatan rumah-rumah tradisional yang ada di Kotagede,
antara makna dan nilainya terdapat pada sifat saling tolong menolong antar
tetangga dan keikhlasan dalam berbagi bersama orang-orang disekitar kita.18
Penggambaran itu semakin diperjelas dengan adanya tata ruang yang
mengharuskan masyarakatnya untuk saling berbagi akses jalan bagi kemudahan
aktivitas sosial masyarakat. Hubungan seperti ini memperlihatkan adanya
hubungan timbal-balik antar sesama manusia dengan menjadikan hubungan tata
ruang sebagai penopang eratnya hubungan sosial masyarakat Kotagede.

Penggambaran singkat tentang Catur gatra digambarkan secara sederhana


layaknya perjalanan hidup seseorang dalam mencari jati diri dan kemakmuran
bagi dirinya. Pilar ekonomi yaitu pasar menjadi langkah permulaan seseorang
dalam memulai perjalanan hidupnya yang penuh akan berbagai macam cobaan
berupa godaan keramaian yang tergambarkan dalam kehidupan di pasar dan
kesenangan sebagai ujian pertama dalam perjalanan hidup yang berpotensi
menjatuhkan seseorang dalam sebuah kemungkaran, hal seperti inilah yang akan
membuat keimanan seseorang diuji.
Memasuki pilar kedua, manusia diarahkan menuju masjid untuk menjadi
seorang insan yang selalu ingat akan keberadaan tuhan yang maha kuasa, ia
diarahkan untuk menghubungkan mikrokosmos dan makrokosmos yang tidak
terpisahkan. Setelah itu, seorang manusia akan menempatkan dirinya pada
18
Jogja Heritage Society, Homeowner’s Convertation Manual: Kotagede Heritage
District, Yogyakarta, Indonesia, (Jakarta: UNESCO Jakarta, 2007), hlm. 31
hamparan tanah yang luas berupa alun-alun untuk saling mempererat hubungan
antarsesama manusia dan menjalin kehidupan sosial yang menjadi sifat alamiah
dari manusia. Di akhir perjalanannya ia akan menuju pada puncak kehidupan
manusia dengan adanya keraton yang diibaratkan secara khasanah visual sebagai
mustika (perhiasan) atau pribadi manusia itu sendiri untuk mencapai ketenangan
jiwa.
Pertumbuhan pola masyarakat yang turut dipengaruhi dengan adaya sistem
Catur Gatra memberikan tradisi dan hubungan sosial yang khas antara masyarakat
Kotagede. Kekhasan ini telah terjalin dari nenek moyang masyarakat Kotagede
yang telah ada secara turun temurun. Karakteristik kehidupan sosial Kotagede
yang khas sebenarnya disebabkan oleh adanya peran Kotagede sebagai tanah
leluhur bagi Keraton Surakarta dan Yogyakarta sehingga masyarakat di kawasan
ini menjalin afiliasi dengan kedua kerajaan tersebut.19
Beberapa pemaknaan dengan adanya catur gatra di masa kini sebenarnya
telah mengalami banyak perubahan, seperti keharusan semua orang untuk berjalan
kaki dan pelarangan naik kendaraan beroda ketika memasuki kawasasan Kotagede
hingga perempat pertama abad ke-20. Hal seperti ini disebabkan oleh Kotagede
sebagai kawasan yang dimuliakan untuk peziarahan dan menjadikan Kotagede
sebagai kawasan pedestrian yang dihubungkan dengan lorong gang dan jalan
sempit dan berliku karena tidak memerlukan akses bagi kendaraan beroda dan
tunggangan lainnya.20 Di masa kini, hal seperti ini sudah tidak diberlakukan lagi
setelah modernitas menggerus keberadaan tradisi yang sakral seperti ini.
Penggunaan simbol-simbol dalam kehidupan masyarakatnya masih
dipertahankan hingga sekarang walaupun telah dimulai sejak Kotagede dijadikan
sebagai ibukota Mataram Islam dulu. Simbol-simbol ini cenderung
memperlihatkan kesetaraan dalam kehidupan masyarakat yang turut dipengaruhi
adanya konsep Catur Gatra pada kehidupan masyarakat Kotagede melalui
bangunan yang dipilih secara luwes tanpa menonjolkan ego-individu setiap
masyarakat. Karakter seperti ini mulai memberikan makna mendalam bagi

19
Ibid., hlm. 53.
20
Ibid., hlm. 54.
kehidupan masyarakat Kotagede dewasa ini yang memiliki ikatan sosial kuat
antarsesama masyarakat. Selain itu, hubungan harmonis seperti ini disebabkan
lantaran adanya Consanguineal Kinship (pertalian darah) dan Fictive Kinship
(hubungan fiktif tanpa adanya hubungan darah) yang telah meluas dari waktu ke
waktu. Dampak dari adanya hubungan kinship itu menjadikan fleksibilitas antara
ruang publik dan ruang privat pada masyarakat Kotagede. Tembok-tembok besar
yang dibangun dalam spasial rumah-rumah di Kotagede tidak menjadi pembatas
hubungan harmonis masyarakatnya.
Terdapat keunikan secara arsitektural di kawasan Kotagede dengan
bangunan paling menonjol yang ditunjukkan dengan adanya Gapura yang
berfungsi sebagai penanda antar halaman atau pelataran. Adanya gapura ini
menjadi penghubung antara empat pilar yang jaraknya tidak terlalu berjauhan,
nuansa keagungan tergambar dengan adanya tingkatan serupa mahkota dan
tingginya gapura. Gapura yang terdapat di Kotagede secara umum mengikuti pola
agama Hindu dan tetap digunakan pasca kedatangan Islam di Nusantara, hal ini
mengindikasikan adanya perpaduan lintas agama. Gapura yang berada pada
kawasan Masjid sebagai pilar agama, turut mempengaruhi dengan susunan pada
tingkatan gapura yang berjumlah lima. Adanya susunan yang berjumlah lima ini
berkaitan dengan rukun Islam yaitu sahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Pola
arsitektur seperti ini menunjukkan adanya pesan tersirat yang mengingatkan kita
untuk senantiasa mengingat hubungan dengan sang pencipta.
Ketika melintas pada pilar sosial yang di masa kini menjadi Kampung
Alun-Alun, orang-orang yang berkunjung akan dimanjakan dengan gambaran
kerukunan antarwarga berupa keberadaan Longkang. Adanya Longkang menjadi
salah satu alasan kerukunan di pada pilar sosial. Longkang yang tidak terpisahkan
dengan adanya emper memiliki pemaknaan agar setiap orang yang melintas di
depan rumah orang yang lain menyempatkan diri untuk saling bertegur sapa.21
Interaksi sosial yang telah menjadi ritual sosial pada masyarakat Kotagede
memberikan kenyamanan akan ketersediaan ruang yang terjalin mengikuti pola

21
Erwinto Wibowo, Loc.cit.
sistem Catur Gatra. Menyambut tamu dan menghormatinya secara formal telah
menjadi keharusan dengan orientasi pendhapa ke ruang di antara empat saka guru.
Prinsip masyarakat Kotagede di masa sekarang tergambarkan dengan kata
“harmonis” yang menjadi pondasi bagi kehidupan masyarakat Kotagede. Adanya
keharmonisasian ini tidak dapat terlepas dari Catur Gatra yang komponen-
komponennya memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan pola
kehidupannya dan memberikan keleluasaan untuk mengikuti arus modernitas
tanpa menggerus tradisionalitas yang telah ada dari dulu. Setiap unsur dari Catur
Gatra telah meresap pada diri masyarakat Kotagede yang dirasakan tanpa disadari,
secara langsung maupun tidak langsung pola aktivitas masyarakatnya pun selalu
mengikuti unsur-unsur yang terdapat di Kotagede.
Lingkungan masyarakat yang penuh dengan nilai kebersamaan telah
tumbuh bersama dengan tradisi waris dan kekerabatan pada masyarakatnya.
Kehidupan seperti ini pada masyarakat di masa sekarang sudah sangat jarang
ditemui, bahkan tidak dapat ditemui sama sekali di daerah lainnya. 22 Hubungan
yang dilandasi dengan status sosial yang setara selalu diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Kehidupan penuh harmoni, kerukunan
terdapat pada pilar alun-alun, keteguhan kekuasaan digambarkan dengan adanya
Kraton, keimanan terhadap tuhan dan penyatuan akan hubungan mikrokosmos dan
makrokosmos yang diimplementasikan dengan adanya Masjid, dan perniagaan
yang memiliki nilai saling memberikan satu sama lain ditunjukkan dengan adanya
pasar.23
Eksistensi dari bangunan fisik dua pilar Catur Gatra pada saat ini memang
sudah terkikis oleh perkembangan zaman, namun dalam implementasinya pada
kehidupan masyarakat Kotagede tetap kokoh dengan adanya nilai keistimewaan
pada esensi nilai Hamemayu Hayuning Bawana.24 Penyebutan konsep Catur Gatra
di masa kini telah menjadi filosofi inti kota yang dinilai dapat memecahkan

22
Wawancara dengan Bu Shinta Nur Kumala, pada tanggal 31 Oktober 2018
23
Achamd Charis Zubair, Ensiklopedia Kotagede, (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2009), hlm.94
24
Erwito Wibowo, Catur Gatra Tunggal, http://www.kotagedeheritage.org. diakses 20
November 2018, pukul. 11.00.
permasalahan tata ruang di masa sekarang. Di masa kini, Catur gatra telah
dipadukan dengan komponen ruang modern. Secara gamblang, empat susunan
dalam Catur Gatra merupakan identitas dari Kotagede yang telah menjadi simbol
keabadian yang akan terus ada. Pemahaman itu diruntut dengan penamaan Catur
Gatra Tunggal yang dari unsurnya terdapat empat pilar tetapi tetap menjadi satu
kesatuan yang utuh.
Kesimpulan

Catur Gatra yang memberikan arti penting dari tata kota serta berpengaruh
besar pada masyarakat Kotagede merupakan salah satu kearifan lokal dari
Kotagede yang memiliki sejarah panjang. Adanya keempat pilar yang menyatukan
hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos tentu menjadi pondasi yang
amat kuat. Pilar-pilar yang berdiri kokoh telah menjadi bagian penting dalam
kehidupan masyarakat yang disadari maupun tidak disadari, dengan pola yang
terkoneksi antara satu sama lain membuat kata harmonis menjadi salah satu ciri
dari kehidupan di Kotagede. Sejarah panjang yang menyelimuti perjalanan Catur
Gatra memberikan betapa besarnya sebuah konsep dalam menentukan
keberlangsungan sebuah peradaban. Catur Gatra memberikan keadaaan dimana
pola kehidupan masyarakat di Kotagede lebih cenderung pada kesejahteraan,
karena di dalam ruang lingkup Kotagede memiliki aspek penting yang dinamakan
Catur Gatra atau empat pilar dimana berjalan sebagai pendukung kesejahteraan,
dan patokan untuk kemakmuran kehidupan masyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Erwito Wibowo, dkk. 2011. Toponim Kotagede: Asal Muasal Nama Tempat.
Yogyakarta: Rekompak
De Graaf, H.J & Pigeaud. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa.
Jakarta:Grafiti Press

Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 2014. Kotagede Khasanah


Arsitektur dan Ragam Hias. Yogyakarta: Disbud DIY

Gatut Murniatmo, dkk. 1993. Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap


Kehidupan Sosial Budaya DIY. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan

Ijanati Adrisijanti. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta:


Jendela

Sumintarsih, dkk. 1991. Sistem Kepemimpinan di Dalam Masyarakat


Pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Wiratna Sujarweni. 2012. Yogyakarta Episode Jejak-Jejak Mataram Islam.


Yogyakarta: Global Media Informasi

Van Mook, HJ. 1972. Kuta Gede. Jakarta:Bhratara

Sumber Koran dan Internet:

Erwito Wibowo, Catur Gatra Tunggal, http://www.kotagedeheritage.org.


diakses 20 November 2018, pukul. 11.00.

Yogya Post. 1990. ”Metropoitanisasi Yogya Harus Pertahankan Ciri Budaya”.14


Juli 1990.

Yogya Post. 1990. “Kraton Sebagai Pusat Studi Jawaban Tuntutan


Negara Modern”. 6 Agustus 1990.

Berita Nasional. 1979. “Ceramik Palace” di Desa Tom Silver Kota Gede
Yogya”. 20 Agustus 1979.

Sumber Wawancara:
Achmad Charris Zubair. 2018. Catur Gatra sebagai Pola Kehidupan
Kotagede. 2 November, pukul 17.10

Shinta Nur Kumala. 2018. Kehidupan Masyarakat dengan Adanya Catur


Gatra. 31 Oktober, pukul 17.28

Anda mungkin juga menyukai