PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan
hasil
pencacahan
Sensus
Penduduk
2010,
jumlah
penduduk Kota Pontianak sementara adalah 550.304 orang, yang terdiri atas
275.612 laki-laki dan 274.692 perempuan. Kecamatan Pontianak Barat adalah
kecamatan dengan penduduk terbanyak yaitu sebesar 123.472 orang atau
22,44 persen dari seluruh penduduk Kota Pontianak. Kemudian diikuti oleh
Kecamatan Pontianak Utara sebanyak 112.225 orang atau sebesar 20,39
persen dari penduduk Kota Pontianak. Kecamatan dengan penduduk terkecil
adalah Kecamatan Pontianak Tenggara dengan jumlah penduduk sebesar
45.139 orang atau sebesar 8,2 persen dari penduduk Kota Pontianak 1.
Dengan luas wilayah sebesar 107, 82 kilometer persegi, yang didiami
oleh 550.304 orang, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota Pontianak
adalah sebanyak 5.104 orang per kilometer persegi. Kecamatan yang paling
tinggi kepadatannya adalah Kecamatan Pontianak Timur dengan rata-rata
tingkat kepadatan sebanyak 8.886 orang per kilometer persegi. Sedangkan
kecamatan yang paling rendah kepadatan penduduknya adalah Kecamatan
Pontianak Utara yaitu sebanyak 3.015 orang per kilometer persegi 2.
Laju pertumbuhan penduduk Kota Pontianak per tahun selama sepuluh
tahun terakhir yaitu dari tahun 2000-2010 sebesar 1,72 persen. Laju
pertumbuhan penduduk Kecamatan Pontianak Timur adalah yang tertinggi
dibandingkan dengan kecamatan kecamatan lain di Kota Pontianak yaitu
sebesar 2,53 persen, sedangkan yang terendah di Kecamatan Pontianak
Selatan yaitu sebesar 0,44 persen. Untuk Kecamatan Pontianak Kota, karena
1
Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, Hasil Sensus Penduduk Kota Pontianak Tahun
2010, Pontianak, hal. 6.
2
Ibid
salah satu kelurahannya yaitu Kelurahan Sungai Jawi pada saat tahun 2000
masih bergabung dengan Kelurahan Sungai Jawi Dalam Kecamatan Pontianak
Barat, maka pertumbuhan penduduknya bergabung dengan Kecamatan
Pontianak Barat yaitu sebesar 1,86 persen 3.
Kota sebagai salah satu tempat tinggal manusia dengan fasilitas dan
aksesibilitas yang lengkap. Selain itu kota merupakan pusat industri,
perdagangan, perkantoran, dan pendidikan. Tersedianya berbagai fasilitas
tersebut membuat arus urbanisasi dari desa ke kota semakin meningkat. Akibat
dari meningkatnya arus urbanisasi dari desa ke kota adalah penambahan
jumlah penduduk, sehingga tekanan penduduk dalam suatu kota meningkat.
Kebutuhan
manusia
terhadap
penggunaan
fasilitas
dan
aksesibilitas
industri
dan
teknologi
dimanfaatkan
manusia
untuk
pekerjaan
yang
menarik
perpindahan
dari
desa
ke
kota.
penting
demi
kenyamanan
suasana
kota.
Kepadatan
seiring
sebuah
daerah
dan
pusat-pusat
perdagangan/jasa.
Kondisi
seperti
ini
selain
kurang
paham
atau
kurang
peduli
terhadap
berbagai
aktivitas
yang
suatu
perbuatan
yang
seharusnya
memperhatikan
prosedur
mengajukan
usulan
Rancangan
Peraturan
Daerah
tentang
B. Identifikasi Masalah
Pembangunan fisik di perkotaan yang perencanaannya kurang memadai
telah menyebabkan rusaknya lingkungan perkotaan. Kondisi ini diperparah oleh
kegiatan ekonomi di sektor produksi maupun konsumsi yang menghasilkan
limbah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga ekosistem perkotaan tidak
mampu lagi menampung dan mengolah limbah secara alami. Fakta yang terlihat
sekarang ini memperlihatkan kondisi lingkungan yang buruk berupa kerusakan
hutan alam maupun hutan buatan termasuk rusaknya ekosistem di perkotaan.
Oleh karena itu, keinginan untuk menyejahterakan masyarakat akan tercapai
apabila dilakukan perubahan kebijakan yang juga memperhitungkan manfaat
keberadaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya genetik pohon-pohonan
dan jasa lingkungan khususnya ekosistem di perkotaan.
Dengan
perkembangan
penduduk,
pemukiman,
hunian,
pusat
suatu ancaman bahaya yang dapat membawa bencana besar dan akibat yang
luas terhadap keselamatan jiwa, harta benda, dan lingkungan yang secara
langsung dapat menghambat kelancaran pembangunan.
Di Kota Pontianak hampir semua kecamatan maupun kelurahan
merupakan daerah rawan terjadinya kebakaran, hal ini dapat dilihat pada Tabel
berikut:
Tabel 1
Data Tingkat Kerawanan Pemukiman di Kota Pontianak 4
No. Tingkat Kerawanan
Kecamatan
1.
Tinggi
Pontianak Kota
Pontianak Barat
Pontianak Selatan
Pontianak Timur
Pontianak Tenggara
Pontianak Utara
2.
Tidak Ada
Pontianak Timur
Pontianak Tenggara
Pontianak Selatan
Pontianak Kota
Pontianak Utara
3.
Sedang
Pontianak Tenggara
Pontianak Timur
4
Kelurahan
Mariana
Darat Sekip
Tengah
Sungai Bangkong
Sungai Jawi Dalam
Sungai Jawi Luar
Sungai Beliung
Pal Lima
Benua Melayu Laut
Benua Melayu Darat
Akcaya
Tambelan Sampit
Tanjung Hilir
Dalam Bugis
Bangka Belitung Laut
Bansir Laut
Bansir Darat
Siantan Tengah
Siantan Hilir
Parit Mayor
Saigon
Bansir Darat
Bansir Laut
Bangka Belitung Darat
Parit Tokaya
Sungai Jawi
Siantan Hilir
Siantan Tengah
Batu Layang
Bangka Belitung Darat
Bangka Belitung Laut
Bansir Laut
Bansir Darat
Banjar Serasan
Pontianak Selatan
Pontianak Kota
Pontianak Utara
4.
Rendah
Pontianak Barat
Pontianak Utara
Pontianak Kota
Pontianak Selatan
Pontianak Barat
Pontianak Tenggara
Pontianak Timur
Tanjung Hulu
Saigon
Dalam Bugis
Tanjung Hilir
Kota Baru
Akcaya
Parit Tokaya
Tengah
Mariana
Sungai Bangkong
Sungai Jawi
Siantan Hulu
Siantan Tengah
Siantan Hilir
Batu Layang
Pal Lima
Siantan Hulu
Siantan Tengah
Batu Layang
Siantan Hilir
Sungai Jawi
Sungai Bangkong
Parit Tokaya
Kota Baru
Pal Lima
Sungai Beliung
Bansir Darat
Bangka Belitung Darat
Parit Mayor
Saigon
Tabel 2
Nama
Tempat
Rumah
tinggal
Ruko
Kecamatan
6.
Rumah
tinggal
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
7.
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Gudang
Saw mill
Rumah
tinggal
PLTD
Siantan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Timur
Pontianak
Timur
Pontianak
Utara
BSF
FISIPOL
Bengkel
mobil
Rumah
tinggal
Ruko
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Barat
Pontianak
Selatan
Pontianak
Kota
Pontianak
Kota
Pontianak
Selatan
Pontianak
Barat
Pontianak
Selatan
Pontianak
Barat
Pontianak
Kota
Pontianak
2.
3.
Mess PT.
Erna
Rumah
tinggal
Gudang
4.
5.
8.
9.
10
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17
18.
19.
20.
Rumah
tinggal
Ruko
Rumah
tinggal
Ruko
21
Rumah
tinggal
Gudang
22.
Ruko
23.
Gedung
Kelurahan
Kota Baru
Objek
Kebakaran
Pemukiman
05-01-2010
Parit Tokaya
Ruko
27-01-2010
Akcaya
Pemukiman
30-04-2010
Akcaya
Pemukiman
30-04-2010
Akcaya
Gudang/
Bengkel
Pemukiman
08-05-2010
Pemukiman
13-05-2010
Pemukiman
22-05-2010
05-09-2010
Siantan Hilir
Gedung
Instansi/
Kantor
Bansir Darat Perguruan
Tinggi
Bangka
Gudang/
Belitung Laut Bengkel
Sungai Jawi Pemukiman
Luar
Benua
Ruko
Melayu Laut
Tengah
Pemukiman
04-10-2010
Darat Sekip
Ruko
02-03-2011
Kota Baru
Pemukiman
06-03-2011
Sungai Jawi
Luar
Akcaya
Ruko
10-04-2011
Pemukiman
20-04-2011
Sungai Jawi
Luar
Darat Sekip
Gudang/
Bengkel
Ruko
05-06-2011
Benua
Gedung
22-06-2011
Benua
Melayu
Darat
Akcaya
Akcaya
Tanggal
12-05-2010
05-09-2010
12-10-2010
15-10-2010
03-01-2011
02-02-2011
02-03-2011
10-06-2011
Kantor
TVRI
Rumah
tinggal
Selatan
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Pontianak
Selatan
Pontianak
Barat
Pontianak
Selatan
29.
Rumah
tinggal
Kios
30.
Ruko
31.
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Kota
Pontianak
Barat
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
24.
25.
26.
27.
28.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Pertokoan
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Pontianak
Selatan
Pontianak
Barat
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Barat
Melayu
Darat
Benua
Melayu
Darat
Akcaya
Instansi/
Kantor
Pemukiman
23-06-2011
Pemukiman
29-06-2011
Sungai
Beliung
Benua
Melayu
Darat
Parit Tokaya
Pemukiman
05-07-2011
Pemukiman
11-07-2011
Pemukiman
12-07-2011
Benua
Melayu Laut
Darat Sekip
Toko/Kios
12-07-2011
Ruko
26-07-2011
Sungai
Beliung
Benua
Melayu Laut
Benua
Melayu
Darat
Sungai Jawi
Luar
Bangka
Belitung Laut
Bansir Laut
Pemukiman
08-08-2011
Pemukiman
09-08-2011
Pemukiman
12-08-2011
Pemukiman
01-10-2011
Pemukiman
03-11-2011
Pemukiman
10-11-2011
Bansir Laut
Pemukiman
16-11-2011
Bangka
Pasar
Belitung Laut
Bangka
Pemukiman
Belitung Laut
Sungai
Pemukiman
Beliung
27-11-2011
27-11-2011
04-12-2011
Kecamatan
Pontianak
Selatan
4.
Pontianak
Barat
Pontianak
Utara
Pontianak
Utara
Sungai Jawi
Dalam
Siantan Hilir
Pontianak
Selatan
Benua
Melayu
Darat
Benua
Melayu
Darat
Benua
Melayu
Darat
Darat Sekip
Yayasan Pemadam
Pontianak
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
6
Pontianak
Utara
Pontianak
Utara
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Kota
Pontianak
Barat
Pontianak
Selatan
Kelurahan
Benua
Melayu
Darat
Siantan
Tengah
Siantan
Tengah
Siantan
Tengah
Alamat
Jl. Ayani (Kantor
Dinas PU)
Jl. Selat Bali
Jl. Gusti Situt
Machmud No.
10 A, Telp. 0561
- 883030
Jl. HRA.
Rahman
Jl. Khatulistiwa
Jl. Selat
Madura, Telp.
0561 - 887450
Jl. Suprapto No.
30, Telp 0561 740916, 736344
Jl. Gajah Mada
No. 147, Telp.
0561 - 739200
Jl. Siam, Telp.
0561 - 747349
14.
15.
Kebakaran Bintang
Timur
Timur
Persatuan Pemadam
Kebakaran Jeruju
(PPKJ)
Yayasan Bhakti Tiga
Serumpun
Pontianak
Barat
Sungai Jawi
Luar
Pontianak
Barat
Sungai
Beliung
Hulu Perumnas
III, Telp. 0561 585511
Jl. Komyos
Sudarso, 0561 7040667
Perumnas II,
Telp. 0561 3070532,
771313
asas-asas,
dan
norma-norma
hukum
dalam
penyusunan
Peraturan
Daerah
Tentang
Pencegahan
dan
2. Sumber Data:
J.J.Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, Hal.169.
8
Menurut Abdulkadir Muhammad dalam buku Hukum dan Penelitian Hukum, Penerbit Citra
Aditya Bakti, Jakarta 2004, Hal.113, bahwa pendekatan normatif analisis teori hukum merupakan
suatu pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif apabila fokus penelitian
berkaitan dengan pengembangan teori hukum.
9
Pendekatan filosofi hukum merupakan salah satu pendekatan yang digunakan penelitian
hukum normatif. Penjelasan terhadap pendekatan ini dikemukakan oleh Jhonny Ibrahim, dalam
bukunya, Teori dan Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Pertama, Bayumedia Publishing,
Surabaya, 2005, dinyatakan bahwa pendekatan utamanya adalah analisis secara menyeluruh,
mendasar dan spekulatif, penjelajahan filsafat akan mengupas issu hukum (legal issue) dalam
penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya secara mendalam.
tentang
Pencegahan
dan
Penanggulangan
Bencana
menginventarisasi,
mempelajari
dan
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, Prenada Media Group,
Jakarta, 2008, Hal. 141. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat terdiri dari : a.
norma dasar atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, b. Peraturan Dasar,
c. Peraturan perundang-undangan, d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasi, e. Yurisprudensi, f.
Traktat dan g. bahan hukum yang masih berlaku sampai saat ini.
11
Ibid, Bahan hukum sekunder adalah semua bahan hukum yang memberikan penjelsan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya
dari kalangan hukum, dan seterusnya.
12
Ibid, bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti, kamus, ensiklopedia,
indeks kumulatif, dan seterusnya.
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
demikian
pengaturan
mengenai
Pencegahan
dan
13
Irfani M., Islamy, 1997, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara,
Jakarta, hal. 14.
16
Goede, B. de, Beeld van het Nederlands Bestuursrecht, Vuga Uitgeverij, B.V. SGravenhage, 1986, hal. 56.
2.
3.
4.
5.
dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu pada
hakekatnya terdapat pada tiap jenis usaha manusia.
Perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai
tujuan sebaik-baiknya dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien
dan efektif.
Perencanaan adalah penentuan tujuan yang akan
dicapai atau yang akan dilakukan, bagaimana, bilamana dan oleh siapa.
Albert
Waterston
menyebutkan
perencanaan
pembangunan adalah melihat ke depan dengan mengambil pilihan berbagai
alternatif dari kegiatan untuk mencapai tujuan masa depan dengan terus
mengikuti agar supaya pelaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan.
Perencanaan
pembangunan
adalah
suatu
pengarahaan penggunaan sumber-sumber pembangunan (termasuk sumber
ekonomi) yang terbatas adanya, untuk mencapai tujuan-tujuan keadaan
sosial ekonomi yang lebih baik secara lebih efIsien dan efektif 20.
Kebijakan pembangunan sebagai bagian dari kebijakan ekonomi pada
umumnya memiliki kompleksitas yang tinggi dan luas, karena berpengaruh dan
membina kegiatan masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Kegiatan
tersebut terbagi menjadi dua, yaitu yang langsung dikelola oleh pemberintah
dan yang dikelola oleh swasta. Bentuk kegiatan yang paling penting tentu saja
berupa produksi yang akan dinikmati konsumen akhir atau masyarakat pada
umumnya21.
Untuk sampai pada suatu kebijakan pembangunan tersebut, maka
diperlukan
suatu
dokumen-dokumen
yang
akan
menjadi
dasar dalam
telah dirumuskan
20
proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan
pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara
perencanaan
pembangunan
untuk
menghasilkan
rencana-rencana
rangka
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
disusun
dengan
pemerintah
daerah
Kabupaten
Sekadau,
dalam
rangka
dan
perkembangan
diharapkan
perekonomian
dapat
memberikan
nasional,
maka
kontribusi
disusun
terhadap
perencanaan
23
mengenai
sifat
dari
perencanaan,
menurut
Prajudi
tujuan dengan
mengusahakan
lebih
mengurangi
baik.
keterlibatan
pemerintah
dalam
yang
kegiatan
1.
2.
3.
4.
5.
kebakaran,
maka
perlu
ditumbuhkembangkan
prinsip-prinsip
merupakan
atas
realitas
ketidakberdayaan
(disempowerment). Mereka yang tidak berdaya jelas adalah pihak yang tidak
memiliki daya (atau kehilangan daya) kekuatan. Dapat dikatakan bahwa yang
tidak berdaya adalah mereka yang tidak mau kehilangan kekuatannya. Dalam
kaitannya dengan Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran,
maka yang tidak berdaya di sini adalah warga masyarakat.
Pemberdayaan dengan demikian bermakna kepada masyarakat, yakni
suatu usaha untuk mentransformasikan masyarakat dengan akses untuk
perbaikan kehidupan mereka. Upaya mendekatkan masyarakat dengan akses
terhadap kehidupan tersebut, sama artinya dengan desakan untuk sebuah
proses redistribusi sumber-sumber ekonomi, sebagaimana juga halnya dalam
upaya meningkatkan kemandirian masyarakat, agar kesejahteraan masyarakat
dapat meningkat.
Upaya untuk meningkatkan kemandirian masyarakat tentunya hanya
akan efektif bila dimulai dari warga masyarakat itu sendiri yang melakukannya,
kemudian didukung oleh pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait lainnya.
Oleh karena itu, langkah pemberdayaan mustahil dijalankan jika tidak memuat
28
Team Work Lapera, Politik Pemberdayaan, Jalan Menuju Otonomi Desa, Lapera
Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal. 52.
yang
dapat
menghindarkan
masyarakat
dari
berbagai
upaya
masyarakat,
sebagaimana
dikemukakan
oleh
Thomas
Aquinas 30
yang
menyatakan bahwa hukum bukan hanya bisa menekan dan membatasi warga,
akan tetapi juga memberikan kesempatan bahkan mendorong para warga untuk
menemukan berbagai penemuan yang dapat menggerak ekonomi negara.
Berkaitan dengan pengaruh kepentingan ekonomi dalam pembentukan
hukum, Max Weber berpendapat bahwa terlihat jelas jaminan hukum ditujukan
langsung pada pelayanan kepentingan ekonomi sampai pada batas-batas yang
luas. Meskipun pada kenyataannya keadaan yang ada tidak persis seperti itu,
namun kepentingan-kepentingan ekonomi adalah salah satu di antara faktorfaktor yang terkuat yang mempengaruhi penciptaan hukum. Bagi pemerintah
yang menjamin perintah hukum bergantung pada beberapa cara, yaitu pada
tindakan konsensual
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Atas dasar amanah UUD 1945 tersebut, maka sekarang berlaku UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah beserta berbagai
perubahannya. Berdasarkan undang-undang ini terdapat tujuan dan prinsip
yang perlu dijadikan acuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
antara lain Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian otonomi has kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan
pelayanan,
daerah
diharapkan
mampu
meningkatkan
daya
saing
dengan
daerah
dalam
rangka
meningkatkan
efisiensi
dan
4.
dan
maksud
pemberian
otonomi,
yang
pada
dasarnya
untuk
sistem
pemerintahan
yang
desentratlistik
dengan
memberikan
mengutamakan
kepentingan
rakyat,
dalam
upaya
mendekatkan
masyarakat
setempat
menurut prakarsa
sendiri
Koesworo, E., 2001, Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Yayasan
Pariba, Jakarta, hal 289.
diakui bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak
pasti. yang sudah barang tentu tidak begitu saja dengan mudah direncanakan
dan dikendalikan dari pusat. Otonorni daerah secara penuh yang lepas dari
kekuasaan sentral dari pemerintah pusat adalah suatu hal yang tidak mungkin.
Namun dengan melihat pendapat para pembentuk Negara (the founding fathers)
pada masa yang lalu, terdapat ide yang hakiki dalam konsep otonomi daerah
yang tercermin dalam kesamaan pendapat dan kesepakatan tentang perlunya
desentralisasi dan otonomi daerah. Pernyataan Hatta (1957) antara lain adalah
sebagai berikui :
...... Memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi,
tetapi mendorong berkembangnya auto-aktiviteit. Auto aktiviteit artinya bertindak
sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan
sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiviteit tercapailah apa yang dimaksud
demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat.
Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama
memperbaiki nasibnya sendiri33.
Soepomo
mengemukakan
bahwa
masalah
sentralisasi
atau
tidak
berarti
Pemerintah
akan
menarik
segala
kepentingan
33
Benyamin Hoessein, l996, Gagasan Pendayagunaan Aparatur Negara Dalam Pelita VII,
Aspek Kelembagan, LAN, Jakarta, hal 5.
34
Koesworo, Op.Cit, hal. 75-76.
dengan
pandangan
sosialis
yang
tradisional
lebih
cenderung
kenyataan
empiris,
negara
kesatuan
dapat
juga
memberikan
pembangunan
seringkali
menumbuhkan
kebutuhan
akan
81.
pengelolaan
potensi
daerah.
Keempat,
mendidik
dan
memberikan
dorongan
kepada
pelaksanaan
otonomi
daerah,
Ibid, hal 77
penanggungjawab
penyelenggaraan
suatu
urusan
pemerintahan
37
kesejahteraan
masyarakat
dan
selalu
memperhatikan
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 7 ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007.
undang-undang,
dengan
mamandang
dan
mengingati
dasar
41
Marcus Lukman, 2007, Hukum Tata Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, PMIH Untan
Press, Pontianak, hal 132.
42
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya.
Esensi dari prinsip dasar yang telah digariskan dalam Pasal 18 UndangUndang Dasar 1945 beserta penjelasannya tersebut, dapat diuraikan sebagai
berikut: Pertama, bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia tidak menganut
faham sentralisme, melainkan membagi daerah Indonesia atas daerah besar
dan kecil yang diatur dengan undang-undang. Kedua, pengaturan dalam
undang-undang
tersebut
harus
memandang
dan
mengingati
dasar
otonomi itu dalam proporsi yang wajar dan dapat dipertanggung jawabkan,
mengingat kondisi nyata pada daerah yang bersangkutan 43.
Otonomi daerah merupakan tema lama yang
tampaknya selalu
mengenai
seberapa
besar
pemerintah
pusat
menyerahkan
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 1995, Tugas, Fungsi dan Peranannya
Dalam Pemerintahan Di Daerah, Departemen Dalam Negeri, Jakarta, hal 185-186.
Yunani, auto berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan.
Menurut Encyclopaedia of the Sosial Sciences, otonomi dalam pengertian
original adalah the legal self sufficiency of sosial body and it actual
independence. Sedangkan menurut UU Nomor 32 tahun 2004 otonomi daerah
diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan
otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah
untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat
dan pelaksanaan pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan tersebut, kepada
daerah perlu diberikan kewenangan-kewenangan sebagai urusan rumah
tangganya45.
Dalam berbagai ketentuan undang-undang yang mengatur tentang
pemerintahan daerah yang di dalamnya mengatur mengenai otonomi daerah,
maka tergambar bahwa prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah pada
dasarnya menyangkut:
a.
44
Penyelenggaraan
otonomi
daerah
dilaksanakan
dengan
memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
b.
c.
d.
e.
f.
yang
dikeluarkanlah
Undang-undang
nomor
33
tahun
2004
tentang
desentralisasi,
melahirkan
tiga
asas
penyelenggaraan
dan
sama
desentralisasi
maknanya
administrative 48.
dengan
konsep
Pengertian
desentralisasi
desentralisasi
politik
yang
dekonsentrasi
(ambtelijke
decentralisatie),
ialah:
pelimpahan
staatkundige
decentralisatie
yang
terbagi
menjadi
terrtoriale
48
Irawan Soejito, 1984, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Aksara,
Jakarta, hal 29.
49
Bagir Manan, 1992, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut Asas Desentralisasi
Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, Unpad, Bandung, hal 17-22.
50
R. Tresna, Tanpa Tahun, Bertamasya Ke Taman Ketatanegaraan, Dibya, Bandung, hal 31.
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta, hal. 45.
52
Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, 2005, Op.Cit., hal. 31.
G. Radbruch, 1973, Rechtsphilosophie, Stutgart, kochler, hal. 164.
54
Hart, HLA, 1976, Le Concept du Droit, Brussel: Fac. Univ. Saint Louis, hal. 103.
53
menjadi bagiannya. Tentang hal ini, Imanuel Kant memberikan elaborasi lebih
lanjut dalam tesisnya yang terkenal tentang prinsip hukum umum (principle of
universal law), Bertindaklah dengan sebuah maksim yang dalam waktu yang
sama Anda dapat menghendaki maksim tersebut menjadi hukum umum. Kalau
boleh di kata bahwa peran hukum untuk menciptakan keadilan yang
didambakan setiap orang dan yang menjadi takaran keadilan adalah hukum
(justice according to the law). Untuk itu Agustinus berani menegaskan dalam
suatu postulatnya yang terkenal bahwa hukum yang tidak adil itu bukanlah
hokum (lex iniusta non est lex an unjust law is no law) Sedemikian itu hukum
sebagai karya manusia, berguna untuk menjadi sebagai takaran keadilan, kalau
toh nanti dalam kenyataan tidak sempurna merefleksikan keadilan itu, perlu
dilihat bahwa hukum hanyalah hukum, namun tetap maunya adil. Keadilan
harus ditegakkan apapun resikonya, sehingga keadilan harus menjadi value
that a lawyer should be ready to stand and to die for dalam praktik penegakan
hukum.
Keadilan senantiasa mengandung unsur penghargaan, penilaian, dan
pertimbangan. Karena itu, mekanisme bekerjanya hukum digambarkan sebagai
suatu neraca keadilan. Sehubungan hal tersebut, maka hukum bersifat
kompromistis, karena keadilan manusia tidaklah mutlak. Mengingat manusia
adalah makhluk tidak sempurna, kehilafan merupakan sifat insani manusia.
Unsur lain yang dibutuhkan manusia dari hukum yakni, Ketertiban, dalam
kepustakaan common law sering menyandingkan hukum dengan ketertiban
atau menyebutnya law and order, untuk mewujudkan ketertiban itu, maka
manusia memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu
yang dirumuskan dalam bentuk kaidah. Dengan terwujudnya ketertiban maka
berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat akan terpenuhi.
Sesungguhnya ketertiban dan kaidah yang diperlukan manusia adalah
Oetarid Sadino, ( trans), L.J. Van Apeldorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, cet. kedua puluh
lima, Jakarta, Pradnya Paramita, hal. 6.
suatu kehidupan yang lebih baik, tetapi manusia juga sulit melepaskan diri dari
suatu kemampuan merusak baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap
lingkungan hidup di sekitarnya. Sebagai contoh, di setiap pembungkus rokok
tertulis merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan
gangguan kehamilan dan janin, tetapi karena merokok tidak dilarang dalam
hukum positif, maka tetap saja manusia menikmatinya. Pembakaran hutan atau
lahan, disadari membahayakan lingkungan hidup, dan kesehatan manusia,
tetapi terkadang orang tidak menghiraukannya. Sehubungan dengan hal
tersebut, sangat diperlukan dalam diri manusia suatu kesadaran bahwa ia
memerlukan instrumen atau alat untuk melindungi eksistensinya di muka bumi,
di mana hanya diperoleh melalui hukum.
Pada dasarnya bangunan gedung memegang peranan yang sangat
penting sebagai tempat di mana manusia melakukan kegiatannya sehari-hari.
Pengaturan bangunan gedung secara khusus dituangkan dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UU Bangunan
Gedung). Pengetahuan mengenai UU Bangunan Gedung ini menjadi penting
mengingat hal-hal yang diatur dalam UU Bangunan Gedung tidak hanya
diperuntukan bagi pemilik bangunan gedung melainkan juga bagi pengguna
gedung serta masyarakat. Diatur dalam UU Bangunan Gedung, pemilik
bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
Secara umum UU Bangunan Gedung mengatur tentang beberapa hal
yaitu antara lain:
1. Fungsi Bangunan Gedung
Dalam UU Bangunan Gedung diatur bahwa setiap bangunan gedung
memiliki fungsi antara lain fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya,
serta fungsi khusus. Fungsi bangunan gedung ini yang nantinya akan
yang
dapat
menimbulkan
dampak
penting
terhadap
dengan
melakukan
pengamanan
terhadap
bahaya
perencanaan
pembangunannya
oleh
dan
pemilik
pelaksanaan
bangunan
dengan
gedung.
diawasi
Pembangunan
disetujui
oleh
Pemerintah
Daerah
dalam
bentuk
IMB.
melaksanakan
pembangunan
bangunan
gedung
setelah
melaksanakan
pembangunan
sesuai
dengan
rencana
teknis
bangunan gedung;
o
memiliki IMB;
c. Pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara lain:
o
keterangan
tentang
bangunan
gedung
dan/atau
membongkar
bangunan
gedung
yang
telah
ditetapkan
dapat
4. Peran Masyarakat
Sebagai bagian dari pengguna bangunan gedung, dalam UU Bangunan
Gedung juga mengatur mengenai peran masyarakat dalam penyelenggaraan
bangunan gedung yang mencakup:
1. pemantauan penyelenggaraan bangunan gedung;
2. memberi masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis untuk
bangunan gedung;
3. menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang
berwenang terhadap penyusunan rencana tata bangunan, rencana teknis
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan: Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menormatifkan bahwa : Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya
segala aspek kehidupan dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara,
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan
(termasuk
dan
kepada
hukum-hukum
lokal
dan
partisipasi
masyarakat
dalam
Proses
ini
dimulai
dari
perencanaan
hukum
sampai
pada
pendayagunaan hukum.
Dalam menyusun suatu perundang-undangan, agar aturan hukum itu dapat
berlaku efektif dalam arti mempunyai dampak positif, menurut Soerjono Soekanto
haruslah memperhatikan empat hal, satu di antaranya yaitu hukum positif tertulis
56
hal. 1-2.
Moh. Mahfud MD., 1998, Politk Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
yang ada harus mempunyai taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal yang selaras 57.
Artinya, dalam menyusun peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
ketentuan yang lebih tinggi dan jangan bertabrakan antar sesama peraturan yang
setingkat, apalagi yang kedudukannya lebih tinggi.
Akan tetapi harus disadari bahwa undang-undang adalah suatu produk
politik, yang kerenanya sangat diwarnai oleh berbagai kepentingan, khususnya
kepentingan dari aktor pembuatnya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Presiden (untuk undang-undang) dan antara DPRD dengan Kepala Daerah (untuk
peraturan daerah), dan juga kekuatan-kekuatan lainnya yang dimiliki oleh
negara/daerah atau di luar itu, seperti kekuatan-ketuatan sosial, politik, ekonomi,
dan lain-lain.
Dalam sistem demokrasi, fungsi legislasi atau pembentukan undang-undang
merupakan legitimasi DPR, sedangkan pembentukan peraturan daerah merupakan
legitimasi DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat. Melalui fungsi ini, DPR/DPRD
memperjuangkan aspirasi rakyat yang kemudian diwujudkan dalam perundangundangan. Fungsi legislasi adalah fungsi orisinil dalam doktrin negara hukum
modern. Secara konseptual, fungsi legislasi yang seharusnya dilakukan oleh
parlemen meliputi seluruh proses pembuatan undang-undang, mulai dari
perencanaan, perancangan, pembahasan/perdebatan, persetujuan sampai dengan
pengesahan. Namun dalam perkembangannya kemudian, lembaga legislatif,
khususnya yang berada dalam sistem presidensial, tidak lagi melakukannya sendiri,
tetapi bekerja sama dengan eksekutif. Bahkan pada beberapa proses, peran
eksekutif cenderung lebih dominan, misalnya dalam hal perencanaan.
Diskripsi di atas menjelaskan betapa urgensinya perhatian terhadap
pembentuk undang-undang (termasuk peraturan daerah), karena semangat hukum
(spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang.
57
kaedah-hukum
tidak
lain
dari
kehendak
pembuat
atau
yang
melahirkannya. Pada saat hukum merupakan atau menjadi salah satu fungsi dari
kekuasaan, dan ini yang makin dominan, maka hukum tidak lain dari perwujudan
kehendak atau keinginan dari kekuatan-kekuatan yang menentukan atau dominan
pada saat atau waktu tertentu. Kekuatan-kekuatan seperti itulah yang biasanya
memiliki dan menjalankan kekuasaan. Kekuasaan di sini, baik dalam arti kesatuan
kekuatan sebagai kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain yang dapat
mempengaruhi pembentukan hukum, maupun kekuasaan perorangan, seperti
hakim yang melahirkan hukum melalui putusan atau yurisprudensi. Oleh karena itu,
dari itu corak, bentuk, dan peran hukum, akan ditentukan oleh kehendak atau
keinginan pencipta atau pembuatnya. Jadi tingkat keberdayaan hukum sebagai
produk akan ditentukan oleh sifat dan corak kekuatan-kekuatan dominan yang
bukan saja mempengaruhi menentukan tingkat keberdayaan hukum itu sendiri.
Dalam konteks inilah, sering terdengar ungkapan seperti political will atau yang
58
lebih ekstrim, hukum adalah semata kehendak yang berkuasa (command of the
sovereign dari penganut aliran positivisme hukum), bahkan ada yang menyebut,
hukum adalah alat kekuasaan belaka (sebagaimana dikatakan kaum Marxisme).
Atas dasar pemahaman seperti di atas itulah, karenanya oleh DPR dan
Pemerintah, kerap dijadikan justifikasi akan adanya substansi dari undang-undang
yang jauh dari harapan masyarakat (kurang dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik, sementara DPR terlahir untuk mewakili rakyat), serta proses pembahasan
yang tidak transparan dan berjalan terlalu lama 61. Akan tetapi bagaimanapun harus
diusahakan supaya kebijakan legislatif yang berupa undang-undang itu merupakan
produk politik yang berkualitas, dalam arti dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik, baik dalam proses pembuatannya maupun pada bentuk dan substansinya.
Untuk menghasilkan produk legislatif yang responsif sesuai dengan kehendak
rakyat, tentu saja dengan meningkatkan partisipasi rakyat dalam penyusunan
undang-undang, tidak cukup hanya diwakili oleh DPR maupun Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Dalam pembuatan undang-undang harus ada mekanisme yang
jelas, perlu adanya public hearing
Irma Hidayana (Ed.), 2005, Panduan Praktis Pemantauan Proses Legislasi. Jakarta, PSHK
(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia), hal. xvi.
62
Amir Syamsuddin dan Nurhasyim Ilyas, 2000, Perilaku Aparat Penegak Hukum. Jurnal
Keadilan Lembaga Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 1 No. 1 Desember 2000, hal. 27-28.
masyarakat, dan adanya aturan yang tidak relevan dengan kebutuhan atau
permasalahan yang ada di masyarakat.
Kelemahan-kelemahan sebagaimana di atas pasti karena ada yang salah
atau kurang tepat dalam pengambilan kebijakan legislatif itu. Karena apabila
kebijakan yang dipilih itu tepat, mestinya tidak akan melahirkan produk legislatif
yang demikian. Menurut N. Smith, ada dua cara timbulnya suatu perundangundangan, yakni lahir secara vertikal dan lahir secara horizontal. Suatu perundangundangan yang terlahir secara vertikal dimulai dengan suatu pemikiran serta diskusi
oleh beberapa ahli. Dalam tahap pertama ini ide suatu ketentuan timbul dan
dilakukan diskusi terhadap hal yang akan diatur. Hasil pemikiran dalam diskusi yang
merupakan rencana akademik kemudian dilakukan penjabaran dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Dalam rencana akademik itu sudah diletakkan
baik dasar falsafah maupun tujuan dilahirkannya suatu ketentuan. Walaupun dalam
pelaksanaannya kerap terbentuk kebijaksanaan yang bersifat kompromistis yang
menyimpang dari ide dasarnya. Sementara itu, cara yang kedua timbulnya suatu
ketentuan perundang-undangan secara horizontal. Artinya telah lahir norma baru
atau perubahan norma dalam masyarakat tersebut. Dari norma yang timbul itu,
dengan modifikasi tertentu, dilembagakan dalam suatu ketentuan perundangundangan. Dengan demikian apabila ketentuan perundang-undangan itu lahir,
biasanya tidak menimbulkan kesulitan dalam penerapannya, karena ketentuan
perundang-undangan yang yang dilahirkan sesuai dengan norma yang memang
telah terwujud dalam masyarakat itu. Akan tetapi juga perlu diperhatikan adanya
just living law dan unjust living law. Bahwa tidak semua hukum yang hidup di
masyarakat itu selamanya baik dan adil. Mungkin baik dan adil bagi masyarakat
tertentu yang minoritas, akan tetapi secara makro merupakan ketidakadilan 63.
63
Loebby Loqman, 1995, Peranan Hukum Tertulis Dalam Masyarakat yang Sedang
Membangun dalam buku Karya Ilmian Para Pakar Hukum, Bunga Rampai Pembangunan Hukum
Indonesia, Bandung, PT. Eresco, hal. 65-66.
yang
memadai,
akan
tetapi
hanya
dibahas
di
dan
oleh
adalah hukum yang berfungsi sebagai bentuk respon terhadap kebutuhan dan
aspirasi sosial (law as a facilitator of response to social needs and aspirations)64.
Kenyataan di atas tidak sejalan dengan spirit reformasi hukum nasional,
yang
harus
berpihak
kepada
kepentingan
rakyat
dan
keadilan,
meliputi
pembangunan hukum yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut 65: (1) Usahausaha yang terdiri atas kegiatan-kegiatan memperbaiki, mengurangi, menambah
hukum yang berlaku atau menggantikannya dengan yang baru sesuai dengan
kebutuhan, situasi dan kondisi di Indonesia, (2) Memenuhi persyaratan tertentu
yang menunjang pengembangan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat
berdasarkan UUD 1945 sebagai pengamalan Pancasila, (3) Pengembangan
landasan filosofis, etis, dan yuridis tertentu, (4) Pengembangan bahasa yang tepat
dalam peraturan perundang-undangan, agar dapat dipahami dan dihayati oleh
banyak orang sebagai subyek dan obyek hukum, sehingga mendukung
penerapannya, (5) Pengadaan dan partisipasi alat penegak hukum yang
memahami
dan
menghayati
makna
hukum
sebagai
sarana
dan
dasar
Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan
67
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, halaman.385-386.
68
Pasal 7 ayat (1)
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan
dalam Peraturan Perundang-undangan.69 Lembaga Negara atau Pejabat yang
berwenang
membentuk
peraturan
perundang-undangan
sesuai
jenis
dan
Pasal 1 angka 2
Pasal 1 angka 3
71
Pasal 10 ayat (1)
72
Pasal 1 angka 4
73
Pasal 11
74
Pasal 1 angka 5 Jo Pasal 12 dan Penjelasannya, bahwa : Yang dimaksud dengan
"sebagaimana mestinya" adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah
Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak
menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan .
75
Pasal 1 angka 6 Jo Pasal 11
76
Pasal 13.
70
77
Kejelasan tujuan: bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas apa yang hendak dicapai.
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat: dibuat oleh
lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang
berwenang. Jika tidak, dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan : benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan
Perundang-undangannya.
Dapat dilaksanakan: memperhitungkan efektifitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
yuridis maupun sosiologis.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan : benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Kejelasan rumusan : memenuhi persyaratan teknis penyusunan,
sistematika, pilihan kata atau terminologi, bahasa hukumnya jelas, dan
f.
g.
h.
i.
j.
Asas pengayoman : setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
Asas kemanusiaan : mencerminkan perlindungan dan penghormatan
hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
Asas kebangsaan : mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia
yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara
kesatuan Republik Indonesia.
Asas kekeluargaan : mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Asas kenusantaraan : senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundangundangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila.
Asas bhinneka tunggal ika : memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya
yang
menyangkut
masalah-masalah
sensitif
dalam
kehidupan.
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Asas keadilan : harus mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan : tidak
boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Asas ketertiban dan kepastian hukum : dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan : mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu
dan masyarakat dengan kepentingan bangsa, dan negara.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (6)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 136
Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan
bersama DPRD.
Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/
kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih
lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan
dalam lembaran daerah.
Pasal 137
Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Pasal 138
(1) Materi muatan Perda mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat
asas lain sesuai dengan substansi Perda yang bersangkutan.
Pasal 139
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis, dalam
rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
(2) Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.
Pasal 140
dapat berasal dari
(5)
Pasal 145
Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan.
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan,
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari
sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan
Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda
dimaksud.
Apabila provinsi/kabupaten/kota - tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah
dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
sebagai
sentra-sentra
ekonomi
senantiasa
diiringi
dengan
Ketersediaan
mengakibatkan
lahan
masyarakat
permukiman
berpenghasilan
yang
tidak
rendah
mencukupi
umumnya
diuraikan
di
atas,
maka
diperlukan
peningkatan
sistem
dengan
amanat
Permen
PU
No.
25/PRT/M/2008
dan
(FMA); dan
ke
lokasi
kebakaran
sampai
dengan
kondisi
siap
untuk
waktu
tanggap
adalah:
Sistem
pemberitahuan
kejadian
kebakaran untuk menjamin respon yang tepat; Tipe layanan yang dilakukan oleh
instansi penanggulangan kebakaran; Ukuran atau luasan wilayah yang dilayani
termasuk potensi bahaya di lokasi WMK dan kapasitas kemampuan yang ada;
dan Perjalanan petugas & kendaraan pemadam menuju ke lokasi kebakaran.
Untuk menjamin kualitas bobot serangan dan respond time yang tepat
termasuk unsur jarak atau aksesibilitas maka ditentukan pos-pos pemadam
kebakaran dalam setiap WMK. Secara kuantitas disebutkan bahwa daerah
layanan dalam setiap WMK tidak melebihi radius 7,5 km, di luar daerah tersebut
dikategorikan sebagai daerah yang tidak terlindung (unprotected area). Daerah
yang sudah terbangun harus mendapatkan perlindungan dari mobil pemadam
kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5 km dan berjarak 3,5
km dari sektor.
terjadinya
kebakaran
dan
konsekwensi
potensi
yang
oleh
faktor-faktor:
Pertumbuhan
kebakaran
(fire
history),
peta zonasi bahaya (hazard mapping) dalam rangka memandu IPK untuk
mencapai tingkat atau bobot serangan yang paling efektif. Penaksiran resiko
dapat dirinci dengan melihat atau memperhitungkan peta resiko bahaya tersebut
di atas yang bisa didasarkan pada:
a. Kategori resiko yang lazim digunakan oleh IPK
b. Pembagian zoning yang ditetapkan oleh IPK berdasarkan RTRW
c. Sistem lain seperti adanya benda-benda berbahaya, fasilitas industri yang
mengandung bahan atau benda berbahaya.
Dapat disimpulkan bahwa efektivitas pemadaman tidak semata-mata
tergantung pada response time dan kualitas serangan, tetapi harus sudah
diperluas kepada hal-hal yang menyangkut kondisi apakah upaya pencegahan
kebakaran telah dilakukan, sejauh mana analisis resiko bahaya kebakaran telah
diterapkan dan setiap pengerahan kendaraan operasional, SDM dan peralatan
lain ke lokasi kebakaran atau bencana lainnya didasarkan pada peta resiko
bahaya yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Berangkat dari kedudukan, tugas, dan fungsinya, Direktorat Jenderal
Cipta Karya Kementerian PU memberikan perhatian yang besar dalam
mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan kualitas kehidupan serta penghidupan masyarakat, khususnya Bagan
Resiko bahaya sebagai kombinasi dari kecenderungan terjadi dan konsekwensi
potensial peningkatan kualitas lingkungan permukiman. Adanya Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dilaksanakan sejak tahun
1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian
masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara
berkelanjutan.
Pelaksanaannya dilakukan secara holistik dan terpadu pada tingkat
kawasan/lingkungan permukiman melalui pengembangan kegiatan usaha
ekonomi
masyarakat,
pemberdayaan
sumber
daya
manusia,
dengan
adalah
dengan
pembentukan
BKM
(Badan
Keswadayaan
menyangkut
kondisi-kondisi
yang
perlu
dipenuhi
atau
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
sosial
dalam
masyarakat
yang
sedang
membangun.
Mochtar
Reformasi adalah
84
Chairul Huda, Perkembangan Teknologi dan Tuntutan Reformasi Hukum, Jurnal Magister
Hukum UII, Volume 2 Nomor 1 Februari 2000, hal. 100-101.
masyarakat yang sudah terumuskan secara jelas. Pandangan ini diwakili oleh tokoh
Aliran Sejarah yakni Von Savigny yang berpendapat bahwa hukum itu ditemukan
dan tidak diciptakan. Hanya
jika
kebiasaan
masyarakat
untuk sebagian
diartikulasikan oleh para ahli hukum, sudah berkembang secara penuh, maka
legislatif akan mampu dan harus mengambil tindakan. Kedua, pendapat yang
menyatakan bahwa law should be a determined agent in the creation of new norms.
Pandangan kedua ini ditokohi Jeremy Bentham yang berkeyakinan bahwa hukum
dapat dikonstruksi secara rasional dan dengan demikian akan mampu berperan
dalam mereformasi masyarakat 87.
Sesungguhnya dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia, apa yang
dinamakan hukum selalu mengalami transformasi, beralih-alih formatnya dari satu
ke format yang lain. Terjadinya tranformasi itu mungkin saja disebabkan oleh
proses-proses adaptasi yang penuh dengan fakta trial and error atau mungkin pula
karena upaya-upaya sengaja yang bermula dari proses-proses rekonseptualisasi
kaum pemikiran sampai ke proses-proses yang berupa restrukturisasi oleh para
politisi88.
Dinamika adaptif hukum sebagai sutu sistem ditengah lingkungan yang
berubah pernah ditulis dengan bagus sekali oleh Harold Berman dalam bukunya
yang berjudul Law and Revolution (1983). Tesis Berman antara lain menyatakan
bahwa hukum itu sebagaimana dicontohkan dalam pengalaman hukum menurut
tradisi negara-negara Barat selalu berubah, mengalami pertumbuhan organik, baik
pada tatarannya moral falsafati maupun pada tatarannya yang lebih positivistik dan
struktural. Revolusi-revolusi sosial, politik dan kultur telah mereformasi hukum
sesuai dengan kebutuhan zamannya 89.
87
Kembali mencermati dua pendapat di atas, maka dalam kaitan hukum dan
perkembangan teknologi, pendapat kedua sepertinya akan mampu memberikan
solusi terhadap kekosongan-kekosongan hukum yang selama ini dianggap kurang
mampu mengantisipasi perkembangan teknologi. Pembentukan hukum yang
dituding kerap terlambat mengantisipasi perkembangan teknologi sebenarnya
berpangkal pada tugas dan kewajiban para ahli hukum (pembentuk undangundang) untuk memikirkan arah mana akan dibawa masyarakat yang dipimpinnya
itu, sehingga diperlukan penilaian yang seksama oleh para ahli hukum tentang
dampak sosial teknologi baru itu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak
teknologi baru tidak bernilai netral, sehingga tidak cukup jika hanya diikuti dengan
merancang hukum yang semata-mata instrumen sifatnya. Sebaliknya jika yang
dibicarakan hukum melulu bersifat normatif, orang harus mempertimbangkan
bahwa hukum pun tidak bernilai netral, sehingga tak terhindarkan terjadinya diskusi
yang bersifat ideologis90.
Kalaupun telah ada hukum positif yang diberlakukan, tetapi keberadaan
hukum positif ini terkadang lebih banyak dilakukan dengan cara penafsiran
(interpretation)91. Dengan pendekatan interpretation sendiri meskipun baik di satu
sisi,
Kusumaatmadja92
berpendapat
hendaknya
hukum
dapat
hal. 24
92
hukum yang harus dibangun adalah hukum tidak saja merupakan keseluruhan
asas-asas
dan
kaidah-kaidah
yang
mengatur
kehidupan
manusia
dalam
masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan prosesproses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam
kenyataan.
Dalam negara-negara yang berorientasi kepada demokrasi dan tertib hukum,
maka hukum merupakan aspek yang penting di dalam administrasi pembangunan.
Dengan peranan pemerintah yang lebih besar dalam kegiatan sosial masyarakat,
menyebabkan banyak tumbuh badan-badan administrasi untuk pelaksanaan fungsifungsi pemerintah, yang bertambah dan meluasnya kebijakan-kebijakan dalam
rangka
pengaturan
pengurusan
dan
pemilikan,
yang
mengakibatkan
merubah dasar hukum dan produk-produk hukum itu sendiri bagi keperluan
pembaharuan dan pembangunan.
Pengaturan
hukum,
mengandung
makna
aktivitas
membentuk
dan
melaksanakan hukum. Terutama jika dilihat dari sudut tata hirarkhi peraturan
perundang-undangan. Bahwa, untuk setiap tingkatan peraturan hukum harus
dibentuk oleh lingkungan jabatan dan/atau lembaga pembentuk hukum yang
berwenang untuk itu, dengan mempertimbangkan urgensinya serta mengingati
dasar-dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku secara vertikal maupun
horizontal.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan
daerah harus memiliki landasan filosofis, sosiologis dan landasan yuridis. Landasan
filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap
materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Penempatan Pancasila merupakan
sumber segala sumber hukum Negara ini juga dinyatakan dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 201193.
93
sosiologis
merupakan
pertimbangan
atau
alasan
yang
dalam
berbagai
aspek.
Landasan
sosiologis
sesungguhnya
yuridis
merupakan
pertimbangan
atau
alasan
yang
sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai,
atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Peraturan daerah ini di satu sisi dilakukan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus
daerah, dan di sisi lain merupakan penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Adapun berbagai peraturan dimaksud dan yang
dijadikan sebagai konsiderans mengingat, antara lain:
1.
29. Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 8 Tahun 2008 tentang Bidang
Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Daerah Kota Pontianak
(Lembaran Daerah Kota Pontianak Tahun 2008 Nomor 7 Seri E ); dan
30. Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 13 Tahun 2009 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Dinas, Badan, Kecamatan dan Kelurahan di Kota Pontianak
(Lembaran Daerah Kota Pontianak Tahun 2009 Nomor 1 Seri D).
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN
PERATURAN
DAERAH
KOTA PONTIANAK
BENCANA KEBAKARAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Pontianak.
2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintah Daerah.
3. Walikota adalah Walikota Pontianak.
4. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah
Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah Kota Pontianak
yang membidangi Kebakaran dan bertanggung jawab dalam bidang
pencegahan dan penanggulangan kebakaran serta bencana lain.
5. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut Kepala
SKPD adalah pimpinan perangkat daerah yang membidangi Kebakaran dan
bertanggung jawab dalam bidang pencegahan dan penanggulangan
kebakaran serta bencana lain.
6. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha,kegiatan sosial,budaya,maupun kegiatan khusus.
7. Bangunan Perumahan adalah bangunan gedung yang peruntukannya untuk
tempat tinggal orang dalam lingkungan permukiman baik yang tertata maupun
tidak tertata.
8. Kendaraan Bermotor Umum adalah moda angkutan penumpang yang
diperuntukan untuk melayani masyarakat umum.
9. Kendaraan Bermotor Khusus adalah moda angkutan yang khusus
diperuntukkan untuk mengangkut Bahan Berbahaya.
10. Bahan Berbahaya adalah setiap zat/elemen, ikatan atau campurannya bersifat
mudah menyala/terbakar, korosif dan lain-lain karena penanganan,
penyimpanan, pengolahan atau pengemasannya dapat menimbulkan bahaya
terhadap manusia, peralatan dan lingkungan.
11. Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon
yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara
maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh Pejabat yang
berwenang.
12. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan
fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi
penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang
terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia.
13. Pencegahan kebakaran adalah upaya yang dilakukan dalam rangka
mencegah terjadinya kebakaran.
14. Penanggulangan kebakaran adalah upaya yang dilakukan dalam rangka
memadamkan kebakaran.
15. Potensi Bahaya Kebakaran adalah tingkat kondisi/keadaan bahaya kebakaran
yang terdapat pada obyek tertentu tempat manusia beraktivitas.
16. Bahaya Kebakaran Ringan adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai nilai dan kemudahan terbakar rendah, apabila kebakaran
melepaskan panas rendah, sehingga penjalaran api lambat.
17. Bahaya Kebakaran Sedang I adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, penimbunan bahan yang
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 2,5 (dua setengah) meter dan
apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga penjalaran api
sedang.
Bahaya Kebakaran Sedang II adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, penimbunan bahan yang
mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 4 (empat) meter dan apabila
terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga penjalaran api sedang.
Bahaya Kebakaran Sedang III adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar agak tinggi, menimbulkan panas
agak tinggi serta penjalaran api agak cepat apabila terjadi kebakaran.
Bahaya Kebakaran Berat I adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi, menimbulkan panas tinggi
serta penjalaran api cepat apabila terjadi kebakaran.
Bahaya Kebakaran Berat II adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sangat tinggi, menimbulkan
panas sangat tinggi serta penjalaran api sangat cepat apabila terjadi
kebakaran.
Sarana Penyelamatan Jiwa adalah sarana yang terdapat pada bangunan
gedung yang digunakan untuk menyelamatkan jiwa dari kebakaran dan
bencana lain.
Akses Pemadam Kebakaran adalah akses/jalan atau sarana lain yang
terdapat pada bangunan gedung yang khusus disediakan untuk masuk
petugas dan unit pemadam ke dalam bangunan gedung.
Proteksi Kebakaran adalah peralatan sistem perlindungan/pengamanan
bangunan gedung dari kebakaran yang dipasang pada bangunan gedung.
Manajemen Keselamatan Kebakaran Gedung yang selanjutnya disingkat
MKKG adalah bagian dari manajemen gedung untuk mewujudkan
keselamatan penghuni bangunan gedung dari kebakaran dengan
mengupayakan kesiapan instalasi proteksi kebakaran agar kinerjanya selalu
baik dan siap pakai.
Alat Pemadam Api Ringan adalah alat untuk memadamkan kebakaran yang
mencakup Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dan Alat Pemadam Api Berat
(APAB) yang menggunakan roda.
Sistem Alarm Kebakaran adalah suatu alat untuk memberitahukan kebakaran
tingkat awal yang mencakup alarm kebakaran manual dan/atau alarm
kebakaran otomatis.
Sistem Pipa Tegak dan Slang Kebakaran adalah sistem pemadam kebakaran
yang berada dalam bangunan gedung, dengan kopling pengeluaran 2,5 (dua
setengah) inci, 1,5 (satu setengah) inci dan kombinasi.
Hidran Halaman adalah hidran yang berada di luar bangunan gedung, dengan
kopling pengeluaran ukuran 2,5 (dua setengah )inci.
Sistem Springkler Otomatis adalah suatu sistem pemancar air yang bekerja
secara otomatis bilamana temperatur ruangan mencapai suhu tertentu.
Sistem Pengendalian Asap adalah suatu sistem alami atau mekanis yang
berfungsi untuk mengeluarkan asap dari bangunan gedung atau bagian
bangunan gedung sampai batas aman pada saat kebakaran terjadi.
Bencana Lain adalah kejadian yang dapat merugikan jiwa dan/atau harta
benda, selain kebakaran, antara lain gedung runtuh, banjir, ketinggian,
kecelakaan transportasi dan Bahan Berbahaya.
Uji Mutu Bahan/Komponen adalah uji ketahanan api, kinerja bahan/komponen
proteksi pasif dan aktif dan peralatan penanggulangan kebakaran.
Badan Pengelola adalah badan yang bertugas untuk mengelola rumah susun.
Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
Bangunan Perumahan
Pasal 4
Bangunan perumahan di lingkungan permukiman yang tertata mempunyai potensi
bahaya kebakaran ringan dan bangunan perumahan di lingkungan permukiman
yang tidak tertata mempunyai potensi bahaya kebakaran sedang III.
Paragraf 3
Kendaraan Bermotor
(1)
(2)
(3)
Pasal 5
Kendaraan bermotor yang diatur dalam pencegahan dan penanggulangan
bahaya kebakaran terdiri dari:
a. kendaraan umum; dan
b. kendaraan khusus.
Kendaraan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mempunyai
potensi bahaya kebakaran sedang I.
Kendaraan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mempunyai
potensi bahaya kebakaran berat II.
Paragraf 4
Bahan Berbahaya
Pasal 6
(1)
(2)
(3)
Pasal 7
Hutan Kota yang lokasinya tidak berdekatan dengan permukiman mempunyai
potensi bahaya kebakaran ringan, sedangkan Hutan Kota yang lokasinya
berdekatan dengan permukiman dan/atau bangunan gedung mempunyai potensi
bahaya kebakaran sedang II.
Paragraf 6
Lahan
(1)
(2)
Pasal 8
Lahan yang lokasinya tidak berdekatan dengan permukiman mempunyai
potensi bahaya kebakaran ringan, sedangkan lahan yang lokasinya
berdekatan dengan permukiman dan/atau bangunan gedung mempunyai
potensi bahaya kebakaran sedang II.
Lahan Gambut yang lokasinya tidak berdekatan dengan permukiman
mempunyai potensi bahaya kebakaran sedang II, sedangkan lahan yang
lokasinya berdekatan dengan permukiman dan/atau bangunan gedung
mempunyai potensi bahaya kebakaran sedang III.
(2)
Pasal 9
Setiap pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung dan
lingkungan gedung yang mempunyai potensi bahaya kebakaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib berperan aktif dalam mencegah
kebakaran.
Untuk mencegah kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilik,
pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung wajib menyediakan:
a. sarana penyelamatan jiwa;
b. akses pemadam kebakaran;
c. proteksi kebakaran;
d. manajemen keselamatan kebakaran gedung; dan
e. manajemen keselamatan kebakaran lingkungan.
Paragraf 2
Sarana Penyelamatan Jiwa
(1)
(2)
Pasal 10
Setiap bangunan gedung wajib dilengkapi dengan sarana penyelamatan jiwa.
Sarana penyelamatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. sarana jalan ke luar;
b. pencahayaan darurat tanda jalan ke luar;
c. petunjuk arah jalan ke luar;
d. komunikasi darurat;
e. pengendali asap;
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Pasal 11
Pada bangunan gedung berderet bertingkat paling tinggi 4 (empat) lantai harus
diberi jalan ke luar yang menghubungkan antar unit bangunan gedung yang satu
dengan unit bangunan gedung yang lain.
Paragraf 3
Akses Pemadam Kebakaran
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 12
Akses pemadam kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
huruf b meliputi:
a. akses mencapai bangunan gedung;
b. akses masuk ke dalam bangunan gedung; dan
c. area operasional.
Akses mencapai bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri dari:
a. akses ke lokasi bangunan gedung; dan
b. jalan masuk dalam lingkungan bangunan gedung.
Akses masuk ke dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b terdiri dari:
a. pintu masuk ke dalam bangunan gedung melalui lantai dasar;
b. pintu masuk melalui bukaan dinding luar;dan
c. pintu masuk ke ruang bawah tanah.
Area operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari:
(5)
a. lebar dan sudut belokan dapat dilalui mobil pemadam kebakaran; dan
b. perkerasan mampu menahan beban mobil pemadam kebakaran.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis akses pemadam
kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Walikota.
Paragraf 4
Proteksi Kebakaran
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
Pasal 13
Proteksi kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c
terdiri dari:
a. proteksi pasif; dan
b. proteksi aktif.
Proteksi pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. bahan bangunan gedung;
b. konstruksi bangunan gedung;
c. kompartemenisasi dan pemisahan; dan
d. penutup pada bukaan.
Proteksi aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. alat pemadam api ringan;
b. sistem deteksi dan alarm kebakaran;
c. sistem pipa tegak dan slang kebakaran serta hidran halaman;
d. sistem springkler otomatis;
e. sistem pengendali asap;
f. lif kebakaran;
g. pencahayaan darurat;
h. penunjuk arah darurat;
i. sistem pasokan daya listrik darurat;
j. pusat pengendali kebakaran; dan
k. instalasi pemadam khusus.
Pasal 14
Bahan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf a yang digunakan pada konstruksi bangunan gedung harus
memperhitungkan sifat bahan terhadap api.
Sifat bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sifat bakar, sifat
penjalaran dan sifat penyalaan bahan.
Untuk meningkatkan mutu sifat bahan terhadap api digunakan bahan
penghambat api.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sifat bahan bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemakaian bahan bangunan
gedung diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 15
Konstruksi bangunan gedung dikaitkan dengan ketahanan api sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b terdiri dari:
a. tipe A;
b. tipe B; dan
c. tipe C.
Tingkat ketahanan api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
ketahanan terhadap keruntuhan struktur, penembusan api dan asap serta
(3)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
Pasal 19
Setiap orang dan/atau badan hukum dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan dan/atau menggunakan alat pemadam api yang berisi bahan
yang membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa dan lingkungan hidup.
(1)
(2)
(3)
Pasal 20
Sistem deteksi dan alarm kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (3) huruf b harus disesuaikan dengan klasifikasi potensi bahaya
kebakaran.
Sistem deteksi dan alarm kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus selalu dalam kondisi baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tata cara pemasangan
sistem deteksi dan alarm kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 21
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(1)
(2)
(3)
(1)
Sistem pipa tegak dan slang kebakaran serta hidran halaman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf c terdiri dari pipa tegak, slang
kebakaran, hidran halaman, penyediaan air dan pompa kebakaran.
Sistem pipa tegak dan slang kebakaran serta hidran halaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada klasifikasi potensi bahaya
kebakaran.
Sistem pipa tegak dan slang kebakaran serta hidran halaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus selalu dalam kondisi baik dan siap pakai.
Ruangan pompa harus ditempatkan di lantai dasar atau bismen satu
bangunan gedung dengan memperhatikan akses dan ventilasi serta
pemeliharaan.
Untuk bangunan gedung yang karena ketinggiannya menuntut penempatan
pompa kebakaran tambahan pada lantai yang lebih tinggi ruangan pompa
dapat ditempatkan pada lantai yang sesuai dengan memperhatikan akses dan
ventilasi serta pemeliharaan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
sistem pipa tegak dan slang kebakaran, hidran halaman serta ruangan pompa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Walikota.
Pasal 22
Sistem springkler otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(3)huruf d terdiri dari instalasi pemipaan,penyediaan air dan pompa
kebakaran.
Sistem springkler otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus
didasarkan pada klasifikasi potensi bahaya kebakaran terberat.
Ruangan pompa harus ditempatkan di lantai dasar atau bismen satu
bangunan gedung dengan memperhatikan akses dan ventilasi serta
pemeliharaan.
Sistem springkler otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus selalu
dalam kondisi baik dan siap pakai.
Untuk bangunan gedung yang karena ketinggiannya menuntut penempatan
pompa kebakaran tambahan pada lantai yang lebih tinggi ruangan pompa
dapat ditempatkan pada lantai yang sesuai dengan memperhatikan akses dan
ventilasi serta pemeliharaan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
system springkler otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dan ayat
(2)diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 23
Sistem pengendali asap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf
e harus didasarkan pada klasifikasi potensi bahaya kebakaran.
Sistem pengendali asap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selalu
dalam kondisi baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
sistem pengendali asap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 24
Lif kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf f wajib
dipasang pada bangunan gedung menengah, tinggi dan bismen dengan
kedalaman lebih dari 10 (sepuluh) meter di bawah permukaan tanah.
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
Lif penumpang dan Lif barang dapat difungsikan sebagai Lif kebakaran.
Lif kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selalu dalam
kondisi baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
Lif kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 25
Pencahayaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf g
harus dipasang pada sarana jalan ke luar, tangga kebakaran dan ruang
khusus.
Pencahayaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selalu
dalam kondisi baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
pencahayaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Walikota.
Pasal 26
Penunjuk arah darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf
h harus dipasang pada sarana jalan ke luar dan tangga kebakaran.
Penunjuk arah darurat harus mengarah pada pintu tangga kebakaran dan
pintu keluar.
Penunjuk arah darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selalu
dalam kondisi baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
penunjuk arah darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 27
Sistem pasokan daya listrik darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (3) huruf i berasal dari sumber daya utama dan darurat.
Sistem pasokan daya listrik darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. mampu mengoperasikan sistem pencahayaan darurat;
b. mampu memasok daya untuk sistem penunjuk arah darurat;
c. mampu mengoperasikan sarana proteksi aktif; dan
d. sumber daya listrik darurat mampu bekerja secara otomatis tanpa terputus.
Sistem pasokan daya listrik darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus selalu dalam kondisi baik dan siap pakai.
Kabel listrik untuk sistem pasokan daya listrik darurat ke sarana proteksi aktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus menggunakan kabel
tahan api, tahan air dan benturan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara
pemasangan sistem pasokan daya listrik darurat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 28
Bangunan gedung dengan potensi bahaya kebakaran sedang dan berat harus
dilengkapi dengan pusat pengendali kebakaran.
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
Pasal 30
Pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang mengelola bangunan
gedung yang mempunyai potensi bahaya kebakaran ringan dan sedang I
dengan jumlah penghuni paling sedikit 500 (lima ratus) orang wajib
membentuk Manajemen Keselamatan Kebakaran Gedung.
Manajemen keselamatan kebakaran gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipimpin oleh kepala dan wakil kepala manajemen keselamatan
kebakaran gedung.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, tugas dan fungsi manajemen
keselamatan kebakaran gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Walikota.
Paragraf 6
Manajemen Keselamatan Kebakaran Lingkungan
(1)
(2)
Pasal 31
Badan pengelola yang mengelola beberapa bangunan dalam satu lingkungan
yang mempunyai potensi bahaya kebakaran sedang II, sedang III dan berat
dengan jumlah penghuni paling sedikit 50 (lima puluh) orang wajib membentuk
Manajemen Keselamatan Kebakaran Lingkungan.
Manajemen keselamatan kebakaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipimpin oleh kepala dan wakil kepala manajemen keselamatan
kebakaran lingkungan.
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 32
Bangunan perumahan yang berada di lingkungan permukiman yang tertata
harus dilengkapi dengan prasarana dan sarana pencegahan dan
penanggulangan kebakaran.
Kelengkapan prasarana dan sarana pencegahan dan penanggulangan
kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab
pengembang atau Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Bangunan perumahan yang berada di lingkungan permukiman yang tidak
tertata dan padat hunian harus dilengkapi prasarana dan sarana serta
kesiapan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
kebakaran.
Kelengkapan prasarana dan sarana pencegahan dan penanggulangan
kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi tanggung jawab
Pemerintah Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan prasarana dan sarana serta
kesiapan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Walikota.
Bagian Ketiga
Kendaraan Bermotor
Pasal 33
Setiap pemilik dan/atau pengelola kendaraan umum dan kendaraan khusus wajib
menyediakan alat pemadam api ringan sesuai dengan potensi bahaya kebakaran.
Bagian Keempat
Bahan Berbahaya
(1)
Pasal 34
Setiap orang atau badan usaha yang menyimpan dan/atau memproduksi
Bahan Berbahaya wajib:
a. menyediakan alat isolasi tumpahan;
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
Pasal 35
Pengelola hutan kota dan/atau pemegang hak atas tanah yang ditetapkan
sebagai hutan kota harus menjaga hutan kota dari kebakaran.
Pengelolaan hutan kota harus dilengkapi dengan prasarana dan sarana
pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan prasarana dan sarana serta
upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Keenam
Lahan
(1)
(2)
(3)
Pasal 36
Pemerintah Daerah dan/atau pemegang hak atas tanah (lahan) harus
menjaga lahan dari kebakaran.
Pemerintah Daerah dan/atau pemegang hak atas tanah lahan gambut selain
menjaga lahan dari kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga
harus selalu mengontrol kondisi lahan terutama pada musim kemarau dan
memberitahukan kepada SKPD jika ada indikasi lahan terbakar.
Ketentuan lebih lanjut mengenai cara menjaga, mengontrol, dan
memberitahukan indikasi lahan terbakar sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Kesatu
Kesiapan Penanggulangan
(1)
(2)
(3)
Pasal 37
Dalam upaya menanggulangi kebakaran di kecamatan dibentuk kantor sektor
pemadam kebakaran dan di kelurahan dibentuk pos pemadam kebakaran.
Pada setiap kantor sektor dan pos sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilengkapi dengan prasarana dan sarana penanggulangan kebakaran.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan prasarana dan sarana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 38
Pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung; pemilik dan/atau
pengelola kendaraan bermotor khusus; orang atau badan usaha yang menyimpan
dan/atau memproduksi bahan berbahaya;
pengelola hutan kota dan/atau
pemegang hak atas tanah yang ditetapkan sebagai hutan kota; dan pemegang hak
atas tanah (lahan) wajib melaksanakan kesiapan penanggulangan pemadaman
kebakaran yang dikoordinasikan oleh SKPD.
Bagian kedua
Pada Saat Terjadi Kebakaran
Pasal 39
Dalam hal terjadi kebakaran, pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola
bangunan gedung, pemilik dan/atau pengelola kendaraan bermotor khusus; orang
atau badan usaha yang menyimpan dan/atau memproduksi bahan berbahaya;
pengelola hutan kota dan/atau pemegang hak atas tanah yang ditetapkan sebagai
hutan kota; dan pemegang hak atas tanah (lahan) wajib melakukan:
a. tindakan awal penyelamatan jiwa, harta benda, pemadaman kebakaran dan
pengamanan lokasi; dan
b. menginformasikan kepada SKPD dan instansi terkait.
Pasal 40
Sebelum petugas SKPD tiba di tempat terjadinya kebakaran, pengurus rukun
tetangga/rukun warga (RT/RW), Barisan Sukarelawan Kebakaran, Lurah/Camat
dan instansi terkait segera melakukan tindakan penanggulangan dan pengamanan
sesuai tugas dan fungsinya.
(1)
(2)
(1)
Pasal 41
Pada waktu terjadi kebakaran siapapun yang berada di daerah kebakaran
harus mentaati petunjuk dan/atau perintah yang diberikan oleh petugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
Hal-hal yang terjadi di daerah kebakaran yang disebabkan karena tidak
dipatuhinya petunjuk dan/atau perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari yang bersangkutan.
Pasal 42
Dalam mencegah menjalarnya kebakaran, pemilik, pengguna dan/atau badan
pengelola bangunan gedung/pekarangan; pengelola hutan kota dan/atau
pemegang hak atas tanah yang ditetapkan sebagai hutan kota; dan pemegang
hak atas tanah (lahan) harus memberikan izin kepada petugas pemadam
kebakaran untuk:
a. memasuki bangunan gedung/pekarangan;
b. membantu memindahkan barang/bahan yang mudah terbakar;
(2)
(1)
(2)
c. memanfaatkan air dari kolam renang dan hidran halaman yang berada
dalam daerah kebakaran;
d. merusak/merobohkan sebagian atau seluruh bangunan gedung; dan
e. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam operasi pemadaman dan
penyelamatan.
Perusakan/perobohan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d, dilakukan berdasarkan situasi dan kondisi di lapangan.
Pasal 43
Penanggulangan kebakaran yang terjadi di perbatasan wilayah Kota
Pontianak dengan Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kubu Raya dan di
Kawasan Khusus ditanggulangi bersama oleh Kepala Daerah dan Pengelola
Kawasan Khusus.
Pelaksanaan penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui kerjasama antar Kepala Daerah/pengelola kawasan
khusus dan ditetapkan dengan keputusan bersama.
Pasal 44
Selain penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat
(1), Walikota dalam hal ini SKPD dapat membantu penyelamatan korban bencana
yang terjadi di luar wilayah Kota Pontianak.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Sebab Kebakaran
(1)
(2)
(3)
Pasal 45
SKPD melakukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya
kebakaran.
Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkoordinasi dengan pihak Kepolisian.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan untuk mengetahui sebab-sebab
terjadinya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Walikota.
Pasal 46
Dalam hal terjadi bencana lain, SKPD melakukan tindakan penyelamatan jiwa
dan harta benda.
(2)
(3)
Dalam melakukan tindakan penyelamatan jiwa dan harta benda dari bencana,
pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung/pekarangan;
pengelola hutan kota dan/atau pemegang hak atas tanah yang ditetapkan
sebagai hutan kota; dan pemegang hak atas tanah (lahan) harus memberikan
izin kepada petugas pemadam kebakaran untuk:
a. memasuki
dan/atau
mengosongkan
lokasi
bangunan
gedung/pekarangan/jalan raya;
b. membantu memindahkan barang dan/atau bahan berbahaya;
c. merusak/memotong alat transportasi; dan
d. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam operasi penyelamatan.
Dalam melakukan tindakan penyelamatan jiwa dan harta benda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), SKPD dapat berkoordinasi dengan Instansi terkait.
f. Bab VI : Pengujian
BAB VI
PENGUJIAN
(1)
(2)
(3)
Pasal 47
Setiap orang dan/atau Badan Hukum yang memproduksi atau mengimpor
bahan/komponen proteksi pasif dan aktif, dan peralatan penanggulangan
kebakaran wajib memperoleh sertifikat uji mutu komponen dan bahan dari
SKPD.
Sertifikat uji mutu komponen dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berlaku selama 3 (tiga) tahun.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tatacara memperoleh
sertifikat uji mutu komponen dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Walikota.
(2)
(1)
(2)
Pasal 51
Pada tahap pelaksanaan pembangunan gedung baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48, Kepala SKPD melaksanakan pengawasan berkala sesuai
tugas pokok dan fungsi dan/atau pengawasan bersama perangkat daerah
yang tugas pokok dan fungsinya bertanggung jawab dalam bidang penataan
dan pengawasan bangunan dan/atau Tim Ahli Bangunan Gedung untuk
memeriksa kesesuaian antara gambar-gambar instalasi bangunan yang
merupakan lampiran Izin Mendirikan Bangunan dengan pelaksanaan di
lapangan.
Apabila ada ketidaksesuaian antara gambar-gambar instalasi bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan pelaksanaan pembangunan di
lapangan, Kepala SKPD memberikan peringatan kepada pemilik bangunan
dan/atau pemborong untuk menyesuaikan dengan Izin Mendirikan Bangunan.
Pasal 52
Pada saat bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 akan
digunakan, dilakukan pemeriksaan terhadap kinerja sistem proteksi kebakaran
terpasang, akses pemadam kebakaran dan sarana penyelamatan jiwa.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memenuhi persyaratan, Kepala SKPD memberikan persetujuan berupa surat
persetujuan sebagai dasar untuk penerbitan Sertifikat Laik Fungsi.
Bagian Kedua
Bangunan Gedung Eksisting
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
Pasal 53
Untuk mengetahui kondisi keselamatan kebakaran pada bangunan gedung
eksisting berfungsi dengan baik, harus dilakukan pemeriksaan secara berkala
oleh pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung dengan
menunjuk pengkaji teknis.
Hasil pemeriksaan berkala yang dilakukan oleh pengkaji teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh pemilik, pengguna dan/atau badan
pengelola bangunan gedung kepada SKPD setiap tahun.
Apabila dipandang perlu, berdasarkan laporan pemilik, pengguna dan/atau
badan pengelola bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), SKPD
dapat melakukan pemeriksaan ke lapangan.
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), SKPD dapat
melakukan pemeriksaan sewaktu-waktu dengan atau tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu kepada pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola
bangunan.
Pasal 54
Apabila berdasarkan pemeriksaan ke lapangan, kinerja sistem proteksi
kebakaran terpasang, akses pemadam kebakaran dan sarana penyelamatan
(2)
(3)
(4)
Pasal 55
Apabila sewaktu-waktu berdasarkan laporan atau temuan pada bangunan gedung
atau bagian bangunan gedung tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
ayat (2) dan ayat (4), kinerja sistem proteksi kebakaran terpasang, akses pemadam
kebakaran dan sarana penyelamatan jiwa tidak memenuhi persyaratan, Kepala
SKPD melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dan
ayat (4).
(1)
(2)
(3)
Pasal 56
Pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung yang akan
mengubah fungsi bangunan gedung atau bagian bangunan gedung tertentu
sehingga menimbulkan potensi bahaya kebakaran lebih tinggi wajib
melaporkan kepada perangkat daerah sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya.
Bangunan gedung atau bagian bangunan gedung tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan proteksi kebakaran, akses
pemadam kebakaran dan sarana penyelamatan jiwa sesuai dengan potensi
bahaya kebakaran.
Dalam hal bangunan gedung atau bagian bangunan gedung tertentu sudah
dilengkapi dengan proteksi kebakaran, akses pemadam kebakaran dan
sarana penyelamatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala
SKPD memberikan persetujuan berupa rekomendasi atas perubahan fungsi.
Bagian Ketiga
Jasa di Bidang Keselamatan Kebakaran
(1)
(2)
Pasal 57
Setiap orang dan/atau badan hukum yang bergerak di bidang perencanaan,
pengawasan, pengkaji teknis, pemeliharaan/ perawatan di bidang
keselamatan kebakaran wajib mendapat sertifikat keahlian keselamatan
kebakaran dari Asosiasi Profesi yang terakreditasi dan harus terdaftar pada
SKPD.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara mendapatkan
sertifikat keahlian keselamatan kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 58
(1)
(2)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 59
Masyarakat harus berperan aktif dalam:
a. melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran dini di
lingkungannya;
b. membantu melakukan pengawasan, menjaga dan memelihara prasarana
dan sarana pemadam kebakaran di lingkungannya;
c. melaporkan terjadinya kebakaran; dan
d. melaporkan kegiatan yang menimbulkan ancaman kebakaran.
Untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a di tingkat RW dan Kelurahan dapat dibentuk
Sistem Keselamatan Kebakaran Lingkungan (SKKL);
SKKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari Balakar, prasarana dan
sarana serta Prosedur Tetap;
Di daerah dan Kecamatan dapat dibentuk Forum Komunikasi Kebakaran;
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pembentukan
SKKL, Forum Komunikasi Kebakaran dan Balakar sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) di atur dengan Peraturan Walikota.
(1)
Pasal 61
Walikota dalam hal ini Kepala SKPD melakukan pengawasan terhadap sarana
proteksi kebakaran, akses pemadam kebakaran pada bangunan gedung,
sarana penyelamatan jiwa pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan
penggunaan bangunan gedung dan unit Manajemen Keselamatan Kebakaran
Gedung (MKKG).
(2)
(2)
Pasal 63
Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia yang bertugas
menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Pontianak yang
pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangudangan.
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, para Pejabat PPNS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan
melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penyitaan benda dan/atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya; dan
i. mengadakan
tindakan
lain
menurut
hukum
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.
(3)
(4)
(2)
(3)
(4)
Pasal 64
Setiap orang dan/atau badan hukum yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24 ayat
(1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33, Pasal 34 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 36 ayat (2), Pasal 39, Pasal 47 ayat (1), Pasal 57 ayat
(1), Pasal 58 ayat (1) diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau
denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 diancam dengan sanksi pidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap pelanggaran
dimaksud dapat dibebankan biaya paksaan penegakan hukum seluruhnya
atau sebagian.
Besarnya biaya paksaan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan dengan keputusan Walikota.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Naskah Akademik ini memberikan landasan bahwa Pembentukan
Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bencana
Kebakaran secara konkret memiliki dasar hukum yang kuat, sebagaimana
tersebut dalam konsideran mengingatnya.
Demikian pula materi muatannya, sudah diupayakan bersesuaian dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dan Pasal 136 sampai Pasal 149 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait.
Sungguhpun demikian, tetap perlu dibahas dan diberi masukan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Pontianak.
B. Saran
Kepada Pemerintah Daerah Kota Pontianak khususnya Bagian Hukum
Setda Kota Pontianak, diharapkan dapat melakukan rapat konsultasi, rapat
koordinasi atau rapat kerja terbatas dengan Tim Penyusun Naskah Akademis
ini.
Melalui rapat konsultasi, rapat koordinasi atau rapat kerja terbatas
tersebut, diharapkan dapat dikembangkan pemikiran-pemikiran konstruktif,
pendapat, aspirasi, informasi, dan aspek teknis lainnya guna menyempurnakan
materi muatan Rancangan Peraturan Daerah Kota Pontianak tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Makalah :
A.A.G.
2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi , dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang
Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman
Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.