Anda di halaman 1dari 120

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan

hasil

pencacahan

Sensus

Penduduk

2010,

jumlah

penduduk Kota Pontianak sementara adalah 550.304 orang, yang terdiri atas
275.612 laki-laki dan 274.692 perempuan. Kecamatan Pontianak Barat adalah
kecamatan dengan penduduk terbanyak yaitu sebesar 123.472 orang atau
22,44 persen dari seluruh penduduk Kota Pontianak. Kemudian diikuti oleh
Kecamatan Pontianak Utara sebanyak 112.225 orang atau sebesar 20,39
persen dari penduduk Kota Pontianak. Kecamatan dengan penduduk terkecil
adalah Kecamatan Pontianak Tenggara dengan jumlah penduduk sebesar
45.139 orang atau sebesar 8,2 persen dari penduduk Kota Pontianak 1.
Dengan luas wilayah sebesar 107, 82 kilometer persegi, yang didiami
oleh 550.304 orang, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota Pontianak
adalah sebanyak 5.104 orang per kilometer persegi. Kecamatan yang paling
tinggi kepadatannya adalah Kecamatan Pontianak Timur dengan rata-rata
tingkat kepadatan sebanyak 8.886 orang per kilometer persegi. Sedangkan
kecamatan yang paling rendah kepadatan penduduknya adalah Kecamatan
Pontianak Utara yaitu sebanyak 3.015 orang per kilometer persegi 2.
Laju pertumbuhan penduduk Kota Pontianak per tahun selama sepuluh
tahun terakhir yaitu dari tahun 2000-2010 sebesar 1,72 persen. Laju
pertumbuhan penduduk Kecamatan Pontianak Timur adalah yang tertinggi
dibandingkan dengan kecamatan kecamatan lain di Kota Pontianak yaitu
sebesar 2,53 persen, sedangkan yang terendah di Kecamatan Pontianak
Selatan yaitu sebesar 0,44 persen. Untuk Kecamatan Pontianak Kota, karena

1
Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, Hasil Sensus Penduduk Kota Pontianak Tahun
2010, Pontianak, hal. 6.
2
Ibid

salah satu kelurahannya yaitu Kelurahan Sungai Jawi pada saat tahun 2000
masih bergabung dengan Kelurahan Sungai Jawi Dalam Kecamatan Pontianak
Barat, maka pertumbuhan penduduknya bergabung dengan Kecamatan
Pontianak Barat yaitu sebesar 1,86 persen 3.
Kota sebagai salah satu tempat tinggal manusia dengan fasilitas dan
aksesibilitas yang lengkap. Selain itu kota merupakan pusat industri,
perdagangan, perkantoran, dan pendidikan. Tersedianya berbagai fasilitas
tersebut membuat arus urbanisasi dari desa ke kota semakin meningkat. Akibat
dari meningkatnya arus urbanisasi dari desa ke kota adalah penambahan
jumlah penduduk, sehingga tekanan penduduk dalam suatu kota meningkat.
Kebutuhan

manusia

terhadap

penggunaan

fasilitas

dan

aksesibilitas

menghasilkan suatu bahan buangan berupa limbah-limbah yang mengganggu


lingkungan.
Kemajuan

industri

dan

teknologi

dimanfaatkan

manusia

untuk

meningkatkan kualitas hidupnya. Namun di sisi lain manusia juga mulai


mengalami ketakutan akan adanya pencemaran lingkungan yang ditimbulkan
oleh kemajuan industri dan teknologi tersebut. Ketakutan ini muncul karena
apabila lingkungan telah tercemar, maka daya dukung alam bagi kelangsungan
hidup manusia akan terganggu. Kalau hal ini sampai terjadi maka usaha untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia akan gagal. Dampak pencemaran
lingkungan tidak hanya berpengaruh dan berakibat kepada lingkungan alam
saja, akan tetapi berakibat dan berpengaruh pula terhadap kehidupan hewan,
tanaman dan manusia.
Lingkungan merupakan gabungan dari berbagai komponen fisik maupun
hayati yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang ada di dalamnya.
Jadi, lingkungan di sini mempunyai arti luas mencakup semua hal yang ada di
luar organisme yang bersangkutan, misalnya radiasi matahari, suhu, curah
3

Ibid, hal. 10.

hujan, kelembapan, topografi, parasit, predator, dan kompetitor. Perkotaan


adalah suatu lingkungan yang merupakan gabungan antara fisik dan hayati dan
berpengaruh terhadap organisme yang ada di dalamnya. Idealnya suatu
lingkungan yang terbentuk diperkotaan berpengaruh positif bagi organisme di
dalamnya. Akan tetapi lingkungan yang terbentuk di perkotaan umumnya
berdampak negatif dengan timbulnya pelbagai gangguan terhadap organisme di
dalamnya. Gangguan lingkungan muncul sebagai akibat tidak seimbangannya
sistem.
Permasalahan lingkungan perkotaan akibat dari tidak seimbangannya
sistem disebabkan oleh urbanisasi penduduk, bertambahnya sumber polusi
(kendaraan), serta penggunaan lahan. Perkembangan suatu kota biasanya
didorong oleh proses urbanisasi. Semakin sempitnya lahan pertanian di desa
menyebabkan terbatasnya lapangan kerja. Pembangunan kota yang semakin
beragam, sehingga tersedia berbagai fasilitas kota dan terbukanya lebih banyak
lapangan

pekerjaan

yang

menarik

perpindahan

dari

desa

ke

kota.

Bertambahnya manusia dalam kota diikuti dengan meningkatnya konsumsi


bahan bakar minyak oleh kendaraan yang meningkat seiring kebutuhan
manusia akan transportasi. Permasalahan lingkungan perkotaan lainnya
disebabkan oleh penggunaan lahan di kota. Penggunaan lahan di kota terdiri
atas lahan terbangun dan lahan terbuka, akan tetapi lahan terbangun semakin
lama semakin banyak dan luas. Sementara ruang terbuka dan hutan kota
semakin menyempit, lahan terbuka yang pada umumnya merupakan ruang
terbuka hijau kota semakin banyak dikonversi menjadi bangunan.
Pemerintah daerah perlu mengambil langkah strategis berupa penataan
Kota Pontianak dalam menghadapi pertambahan penduduk. Langkah tersebut
sangat

penting

demi

kenyamanan

suasana

kota.

Kepadatan

seiring

pertambahan jumlah penduduk merupakan sebuah keadaan yang sulit

terhindarkan, dalam kondisi seperti ini membutuhkan perencanaan jangka


panjang supaya kepadatan tidak menimbulkan masalah serius kedepan yakni
dengan melakukan penataan secara komprehensif. Pemerintah daerah mesti
menetapkan lokasi yang boleh menjadi areal pemukiman maupun pendirian
pusat pertokoan, sehingga tidak menimbulkan benturan mengingat penduduk
yang kian bertambah sementara masalah pemukiman pasti saling terkait dan
tidak lepas dengan penduduk.
Jika kepadatan penduduk tanpa diimbangi dengan penataan kota akan
membuat suasana

menjadi tidak nyaman. Sementara

sebuah

daerah

membutuhkan suasana yang nyaman bagi penduduknya maupun pelaku usaha.


Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam kebijakan kependudukan.
Kesiapan menghadapi lonjakan penduduk yang tentunya terus kian bertambah
melalui langkah jangka panjang. Supaya Kota Pontianak tetap memberikan
suasana nyaman dan membuat betah masyarakatnya. Keberadaan ruang hijau
sangat dibutuhkan masyarakat. Penataan kota perlu menjadi langkah jangka
panjang, supaya kepadatan penduduk tidak menjadi sebuah masalah
dikemudian hari.
Pertumbuhan dan perkembangan Kota Pontianak dari waktu ke waktu
mengalami peningkatan yang cukup pesat. Hal ini antara lain ditandai dengan
semakin meningkatnya jumlah penduduk dan padatnya wilayah permukiman,
hunian,

dan

pusat-pusat

perdagangan/jasa.

Kondisi

seperti

ini

selain

menimbulkan dampak positif bagi perkembangan perekonomian juga dapat


menimbulkan dampak negatif berupa rawannya bahaya kebakaran yang dapat
menimbulkan kerugian jiwa dan harta benda.
Penyebab timbulnya bahaya kebakaran dimaksud, dilatarbelakangi oleh
kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga mempengaruhi pola
tingkah laku masyarakat yang hidup di perkotaan, terutama bagi mereka yang

kurang

paham

atau

kurang

peduli

terhadap

berbagai

aktivitas

yang

dilakukannya, karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian yang bersangkutan,


sehingga

suatu

perbuatan

yang

seharusnya

memperhatikan

prosedur

keselamatan yang standar tapi diabaikan yang pada akhirnya berakibat


timbulnya bahaya kebakaran yang tidak dapat dihindarkan.
Dalam kondisi seperti di atas, maka diperlukan langkah-langkah kebijakan
dalam mengantisipasi timbulnya bencana kebakaran dan langkah-langkah
dalam menanggulangi bencana kebakaran. Sehubungan dengan itu, maka
Pemerintah Kota Pontianak melalui Bagian Hukum Setda Kota Pontianak
berinisiatif

mengajukan

usulan

Rancangan

Peraturan

Daerah

tentang

Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran.

B. Identifikasi Masalah
Pembangunan fisik di perkotaan yang perencanaannya kurang memadai
telah menyebabkan rusaknya lingkungan perkotaan. Kondisi ini diperparah oleh
kegiatan ekonomi di sektor produksi maupun konsumsi yang menghasilkan
limbah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga ekosistem perkotaan tidak
mampu lagi menampung dan mengolah limbah secara alami. Fakta yang terlihat
sekarang ini memperlihatkan kondisi lingkungan yang buruk berupa kerusakan
hutan alam maupun hutan buatan termasuk rusaknya ekosistem di perkotaan.
Oleh karena itu, keinginan untuk menyejahterakan masyarakat akan tercapai
apabila dilakukan perubahan kebijakan yang juga memperhitungkan manfaat
keberadaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya genetik pohon-pohonan
dan jasa lingkungan khususnya ekosistem di perkotaan.
Dengan

perkembangan

penduduk,

pemukiman,

hunian,

pusat

perdagangan dan jasa serta berbagai aktivitas masyarakat lainnya di Kota


Pontianak berpotensi menimbulkan bahaya kebakaran. Kebakaran merupakan

suatu ancaman bahaya yang dapat membawa bencana besar dan akibat yang
luas terhadap keselamatan jiwa, harta benda, dan lingkungan yang secara
langsung dapat menghambat kelancaran pembangunan.
Di Kota Pontianak hampir semua kecamatan maupun kelurahan
merupakan daerah rawan terjadinya kebakaran, hal ini dapat dilihat pada Tabel
berikut:
Tabel 1
Data Tingkat Kerawanan Pemukiman di Kota Pontianak 4
No. Tingkat Kerawanan
Kecamatan
1.
Tinggi
Pontianak Kota

Pontianak Barat

Pontianak Selatan
Pontianak Timur
Pontianak Tenggara
Pontianak Utara
2.

Tidak Ada

Pontianak Timur
Pontianak Tenggara
Pontianak Selatan
Pontianak Kota
Pontianak Utara

3.

Sedang

Pontianak Tenggara

Pontianak Timur
4

Kelurahan
Mariana
Darat Sekip
Tengah
Sungai Bangkong
Sungai Jawi Dalam
Sungai Jawi Luar
Sungai Beliung
Pal Lima
Benua Melayu Laut
Benua Melayu Darat
Akcaya
Tambelan Sampit
Tanjung Hilir
Dalam Bugis
Bangka Belitung Laut
Bansir Laut
Bansir Darat
Siantan Tengah
Siantan Hilir
Parit Mayor
Saigon
Bansir Darat
Bansir Laut
Bangka Belitung Darat
Parit Tokaya
Sungai Jawi
Siantan Hilir
Siantan Tengah
Batu Layang
Bangka Belitung Darat
Bangka Belitung Laut
Bansir Laut
Bansir Darat
Banjar Serasan

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Pontianak, Tahun 2011.

Pontianak Selatan
Pontianak Kota

Pontianak Utara

4.

Rendah

Pontianak Barat
Pontianak Utara

Pontianak Kota
Pontianak Selatan
Pontianak Barat
Pontianak Tenggara
Pontianak Timur

Tanjung Hulu
Saigon
Dalam Bugis
Tanjung Hilir
Kota Baru
Akcaya
Parit Tokaya
Tengah
Mariana
Sungai Bangkong
Sungai Jawi
Siantan Hulu
Siantan Tengah
Siantan Hilir
Batu Layang
Pal Lima
Siantan Hulu
Siantan Tengah
Batu Layang
Siantan Hilir
Sungai Jawi
Sungai Bangkong
Parit Tokaya
Kota Baru
Pal Lima
Sungai Beliung
Bansir Darat
Bangka Belitung Darat
Parit Mayor
Saigon

Data mengenai tingkat kerawanan terjadinya kebakaran seperti di atas


juga telah terbukti dengan beberapa kali terjadinya kebakaran dan bahkan
kuantitas dan kualitasnya cukup tinggi. Data mengenai kebakaran di Kota
Pontianak pada tahun 2010 dan tahun 2011 ini tergambar pada Tabel 2 di
bawah ini.

Tabel 2

Data Kebakaran di Wilayah Kota Pontianak Tahun 2010 dan 20115


No.
1.

Nama
Tempat
Rumah
tinggal
Ruko

Kecamatan

6.

Rumah
tinggal

Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan

7.

Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Gudang
Saw mill
Rumah
tinggal
PLTD
Siantan

Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Timur
Pontianak
Timur
Pontianak
Utara

BSF
FISIPOL
Bengkel
mobil
Rumah
tinggal
Ruko

Pontianak
Tenggara
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Barat
Pontianak
Selatan
Pontianak
Kota
Pontianak
Kota
Pontianak
Selatan
Pontianak
Barat
Pontianak
Selatan
Pontianak
Barat
Pontianak
Kota
Pontianak

2.
3.

Mess PT.
Erna
Rumah
tinggal
Gudang

4.
5.

8.
9.
10
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17
18.
19.
20.

Rumah
tinggal
Ruko
Rumah
tinggal
Ruko

21

Rumah
tinggal
Gudang

22.

Ruko

23.

Gedung

Kelurahan
Kota Baru

Objek
Kebakaran
Pemukiman

05-01-2010

Parit Tokaya

Ruko

27-01-2010

Akcaya

Pemukiman

30-04-2010

Akcaya

Pemukiman

30-04-2010

Akcaya

Gudang/
Bengkel
Pemukiman

08-05-2010

Pemukiman

13-05-2010

Pemukiman

22-05-2010

Tanjung Hulu Gudang/


Bengkel
Tanjung Hilir Pemukiman

05-09-2010

Siantan Hilir

Gedung
Instansi/
Kantor
Bansir Darat Perguruan
Tinggi
Bangka
Gudang/
Belitung Laut Bengkel
Sungai Jawi Pemukiman
Luar
Benua
Ruko
Melayu Laut
Tengah
Pemukiman

04-10-2010

Darat Sekip

Ruko

02-03-2011

Kota Baru

Pemukiman

06-03-2011

Sungai Jawi
Luar
Akcaya

Ruko

10-04-2011

Pemukiman

20-04-2011

Sungai Jawi
Luar
Darat Sekip

Gudang/
Bengkel
Ruko

05-06-2011

Benua

Gedung

22-06-2011

Benua
Melayu
Darat
Akcaya
Akcaya

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Pontianak, Tahun 2011.

Tanggal

12-05-2010

05-09-2010

12-10-2010
15-10-2010
03-01-2011
02-02-2011
02-03-2011

10-06-2011

Kantor
TVRI
Rumah
tinggal

Selatan

Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal

Pontianak
Selatan
Pontianak
Barat
Pontianak
Selatan

29.

Rumah
tinggal
Kios

30.

Ruko

31.

Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal

Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Kota
Pontianak
Barat
Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan

24.
25.
26.
27.
28.

32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.

Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal
Pertokoan
Rumah
tinggal
Rumah
tinggal

Pontianak
Selatan

Pontianak
Barat
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Tenggara
Pontianak
Barat

Melayu
Darat
Benua
Melayu
Darat
Akcaya

Instansi/
Kantor
Pemukiman

23-06-2011

Pemukiman

29-06-2011

Sungai
Beliung
Benua
Melayu
Darat
Parit Tokaya

Pemukiman

05-07-2011

Pemukiman

11-07-2011

Pemukiman

12-07-2011

Benua
Melayu Laut
Darat Sekip

Toko/Kios

12-07-2011

Ruko

26-07-2011

Sungai
Beliung
Benua
Melayu Laut
Benua
Melayu
Darat
Sungai Jawi
Luar
Bangka
Belitung Laut
Bansir Laut

Pemukiman

08-08-2011

Pemukiman

09-08-2011

Pemukiman

12-08-2011

Pemukiman

01-10-2011

Pemukiman

03-11-2011

Pemukiman

10-11-2011

Bansir Laut

Pemukiman

16-11-2011

Bangka
Pasar
Belitung Laut
Bangka
Pemukiman
Belitung Laut
Sungai
Pemukiman
Beliung

27-11-2011
27-11-2011
04-12-2011

Cukup tingginya tingkat kerawanan dan kejadian kebakaran di Kota


Pontianak seperti tersebut di atas, tentu saja diperlukan upaya-upaya untuk
mencegah dan menanggulanginya. Selain itu juga diperlukan kesiapan dan
ketanggapsegeraan petugas pemadam kebakaran beserta seluruh satuan/unit
pemadam kebakaran yang ada di Kota Pontianak, baik milik pemerintah daerah
maupun swasta melalui berbagai yayasan pemadam kebakaran.

Disadari betul bahwa keberadaan pemadam kebakaran memegang


peranan penting dalam menanggulangi kebakaran khususnya yang terjadi di
Kota Pontianak, karena dengan satuan/unit/yayasan pemadam kebakaran yang
ada saat ini telah banyak perannya dalam menanggulangi kebakaran yang
terjadi di Kota Pontianak. Mengenai jumlah pemadam kebakaran di Kota
Pontianak terlihat pada Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3
Nama-Nama Pemadam Kebakaran di Wilayah Kota Pontianak 6
No.
Nama Pemadam
1.
Pemadam
Kebakaran BPBD
Kota Pontianak
2.
Badan Pemadam Api
Siantan Unit I
3.
Badan Pemadam Api
Siantan Unit II
(Kantor Pusat)

Kecamatan
Pontianak
Selatan

4.

Badan Pemadam Api


Siantan Unit II
Badan Pemadam Api
Siantan Unit III
Unit Pemadam
Kebakaran Gotong
Rorong (UPKGR)
Yayasan Pemadam
Kebakaran Panca
Bhakti
Yayasan Pemadam
Kebakaran Budi
Pekerti
Pemadam
Kebakaran Mitra
Bhakti
Pemadam
Kebakaran Merdeka
Pemadam
Kebakaran Mitra
Jawi
Yayasan Pemadam
Kebakaran
khatulistiwa (YPKK)

Pontianak
Barat
Pontianak
Utara
Pontianak
Utara

Sungai Jawi
Dalam
Siantan Hilir

Pontianak
Selatan

Benua
Melayu
Darat
Benua
Melayu
Darat
Benua
Melayu
Darat
Darat Sekip

Yayasan Pemadam

Pontianak

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

13.
6

Pontianak
Utara
Pontianak
Utara

Pontianak
Selatan
Pontianak
Selatan
Pontianak
Kota
Pontianak
Barat
Pontianak
Selatan

Kelurahan
Benua
Melayu
Darat
Siantan
Tengah
Siantan
Tengah

Siantan
Tengah

Alamat
Jl. Ayani (Kantor
Dinas PU)
Jl. Selat Bali
Jl. Gusti Situt
Machmud No.
10 A, Telp. 0561
- 883030
Jl. HRA.
Rahman
Jl. Khatulistiwa
Jl. Selat
Madura, Telp.
0561 - 887450
Jl. Suprapto No.
30, Telp 0561 740916, 736344
Jl. Gajah Mada
No. 147, Telp.
0561 - 739200
Jl. Siam, Telp.
0561 - 747349

Jl. Merdeka Gg.


Bangau
Sungai Jawi Jl. Hasanuddin
Dalam
No. 3, Telp.
0561 - 7527434
Benua
Jl. Gajah Mada
Melayu
Gg. Kedah,
Darat
Telp. 0561 7511899
Tanjung Hulu Jl. Abd. Muis, Tj.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Pontianak, Tahun 2011.

14.
15.

Kebakaran Bintang
Timur

Timur

Persatuan Pemadam
Kebakaran Jeruju
(PPKJ)
Yayasan Bhakti Tiga
Serumpun

Pontianak
Barat

Sungai Jawi
Luar

Pontianak
Barat

Sungai
Beliung

Hulu Perumnas
III, Telp. 0561 585511
Jl. Komyos
Sudarso, 0561 7040667
Perumnas II,
Telp. 0561 3070532,
771313

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa di wilayah Kota Pontianak sering


terjadi kebakaran yang menimbulkan kerugian besar. Kesadaran pemilik atau
pengelola pemukiman atau bangunan gedung akan kesematan jiwa atau
penggunaan keamanan masih sangat rendah, dan keberadaan pemadam
kebakaran yang masih terbatas dari sisi jumlah dan penyebarannya, sehingga
diperlukan upaya dalam bentuk kebijakan pencegahan dan penanggulangan
bahaya kebakaran di wilayah Kota Pontianak dalam bentuk peraturan daerah.
Penyusunan kebijakan daerah membutuhkan kesamaan persepsi tentang
bahaya kebakaran serta upaya pencegahan dan penanggulangannya, agar
program yang dijalankan bisa didukung oleh semua pihak. Di samping itu
partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan dapat dilakukan dalam
bentuk pemberian informasi, saran, dan pertimbangan.
C. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademis
a. Tujuan:
Sebagai bahan acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran, konsepkonsep,

asas-asas,

dan

norma-norma

hukum

dalam

penyusunan

Rancangan Peraturan Daerah Kota Pontianak tentang Pencegahan dan


Penanggulangan Bencana Kebakaran, yang meliputi:
a. Merumuskan permasalahan bencana kebakaran di perkotaan yang
dihadapi pemerintah daerah Kota Pontianak dan solusi mengatasinya
melalui peraturan daerah.

b. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai dasar hukum


penyelesaian atau solusi permasalahan bencana kebakaran di Kota
Pontianak.
c. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Bencana Kebakaran.
d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah
Kota Pontianak tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bencana
Kebakaran.
2. Kegunaan:
a. Memberikan bahan acuan bagi Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pontianak dalam merumuskan
materi muatan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran.
b. Memberikan bahan masukan kepada pemerintah daerah dan Warga
Masyarakat mengenai urgensi dan substansi pembentukan Peraturan
Daerah Kota Pontianak tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Bencana Kebakaran.
c. Mempermudah perumusan tujuan, asas-asas dan norma pasal-pasal
Rancangan

Peraturan

Daerah

Tentang

Pencegahan

dan

Penanggulangan Bencana Kebakaran.


C. Metode Penyusunan Naskah Akademis
Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan menggunakan metode
penelitian yuridis normatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pendekatan

Ada tiga pendekatan pokok yang digunakan dalam penyusunan naskah


akademik ini, yakni: lapisan dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat
hukum.7 Ketiga pendekatan ini dapat juga disebut sebagai pendekatan
yuridis, konseptual dan filosofis:
a. Pendekatan dogmatik hukum (yuridis) bertujuan untuk mempelajari dan
mengaplikasikan norma hukum berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dan dianggap relevan dengan masalah
pembentukan Peraturan Daerah Kota Pontianak tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Bencana Kebakaran.
b. Pendekatan teori hukum (Konseptual), 8 bertujuan untuk mempelajari dan
mengaplikasikan teori, konsep, pendapat, ajaran-ajaran hukum, yang
terkait dengan pembentukan Peraturan Daerah Kota Pontianak tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran.
c. Pendekatan filsafat hukum (filosofis), 9 adalah untuk menemukan dan
menganalisis asas-asas hukum yang dpaat dijadikan acuan dalam
pembentukan Peraturan Daerah Kota Pontianak tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Bencana Kebakaran.

2. Sumber Data:

J.J.Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, Hal.169.
8
Menurut Abdulkadir Muhammad dalam buku Hukum dan Penelitian Hukum, Penerbit Citra
Aditya Bakti, Jakarta 2004, Hal.113, bahwa pendekatan normatif analisis teori hukum merupakan
suatu pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif apabila fokus penelitian
berkaitan dengan pengembangan teori hukum.
9
Pendekatan filosofi hukum merupakan salah satu pendekatan yang digunakan penelitian
hukum normatif. Penjelasan terhadap pendekatan ini dikemukakan oleh Jhonny Ibrahim, dalam
bukunya, Teori dan Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Pertama, Bayumedia Publishing,
Surabaya, 2005, dinyatakan bahwa pendekatan utamanya adalah analisis secara menyeluruh,
mendasar dan spekulatif, penjelajahan filsafat akan mengupas issu hukum (legal issue) dalam
penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya secara mendalam.

a. Bahan hukum primer,10 terdiri dari peraturan perundang-undangan yang


terkait langsung dengan masalah pembentukan Peraturan Daerah Kota
Pontianak

tentang

Pencegahan

dan

Penanggulangan

Bencana

Kebakaran, di tingkat Pusat dan Daerah.


b. Bahan hukum sekunder,11 berupa literatur-literatur ilmu hukum, hasil
penelitian, literatur dan dokumen resmi lainnya yang terkait dengan
masalah yang diteliti.
c. Bahan hukum tertier,12 ialah kamus hukum, kamus bahasa dan kamus
Pemerintahan yang dapat memperjelas istilah-istilah yang digunakan
dalam penulisan naskah akademik ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dilakukan
dengan
cara

menginventarisasi,

mempelajari

dan

mengaplikasikan teori, konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum


yang diperoleh dari sumber data primer, sekunder dan tertier, untuk
diaplikasikan ke dalam analisis naskah akademik ini.
4.
Teknik Analisa Data:
Dilakukan dengan metode deskriptif yuridis dan kualitatif, melalui proses
interpretasi, penalaran konseptual dan kontekstualitasnya dengan masalah
yang dikaji.

10

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, Prenada Media Group,
Jakarta, 2008, Hal. 141. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat terdiri dari : a.
norma dasar atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, b. Peraturan Dasar,
c. Peraturan perundang-undangan, d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasi, e. Yurisprudensi, f.
Traktat dan g. bahan hukum yang masih berlaku sampai saat ini.
11
Ibid, Bahan hukum sekunder adalah semua bahan hukum yang memberikan penjelsan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya
dari kalangan hukum, dan seterusnya.
12
Ibid, bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti, kamus, ensiklopedia,
indeks kumulatif, dan seterusnya.

BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kebijakan Pemerintah, Perencanaan Pembangunan dan Pemberdayaan


Masyarakat
Dalam rangka menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan
memperlancar pembangunan, diperlukan suatu kebijakan berupa ketentuanketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap
usaha dan kegiatan aparatur pemerintah, di samping melakukan koordinasi, dan
integrasi, juga melakukan sinkronisasi. Maksudnya supaya pelaksanaan tugastugas pemerintah dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dengan baik,
adanya kesatuan tindakan yang serasi, seirama, dan selaras antara satu
dengan lainnya.
Menurut Mac Iver yang dikutip oleh Wirjono Prodjodikoro 13 mengadakan
pengkotakan tugas-tugas pemerintahan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu Cultural
Function, General Welfare Function, dan Function Economic Control. Ketiga
golongan tersebut harus dilaksanakan dan dicapai oleh pemerintah dalam
rangka untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Lingkup kebijakan pemerintah dapat dibedakan menjadi kebijakan
nasional dan kebijakan daerah. Kebijakan nasional adalah kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat yang bersifat fundamental dan strategis
dalam mencapai tujuan nasional. Kebijakan daerah adalah kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebagai pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan

demikian

pengaturan

mengenai

Pencegahan

dan

Penanggulangan Bencana Kebakaran merupakan kebijakan pemerintah pusat


yang ditindaklanjuti dengan kebijakan daerah. Kebijakan pemerintah daerah

13

Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Di Daerah, Tarsito, Bandung,


1976, hal. 15.

dalam mendukung kebijakan pemerintah pusat tersebut harus disesuaikan


dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Implementasi atau pelaksanaan kebijakan pemerintah bukanlah sekedar
berkaitan dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam
prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu,
ia juga menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh
apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah keliru apabila dikatakan
bahwa pelaksanaan kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan
proses kebijakan.
Mengacu pada uraian di atas dan dikaitkan dengan sisi pelaksanaan
kebijakan publik, bahwa fungsi birokrasi pemerintahan terletak pada jalur
pelaksanaan yang mendapat elaborasi lebih lanjut dalam fungsi output dari
sistem politik, yaitu pembuatan peraturan (tingkatan yang lebih rendah dari
peraturan yang memerlukan pengesahan dari badan legislatif atau yang dibuat
oleh legislatif), penerapan/pelaksanaan peraturan dan pengawasan. Dengan
demikian, fungsi birokrasi dapat dicermati dari dua sisi, yaitu fungsi regulatif
(pengaturan) dan pelayanan (service).
Amara Raksasataya14 mengemukakan kebijaksanaan sebagai suatu
taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu
suatu kebijaksanaan pada dasarnya memiliki 3 (tiga) elemen, yaitu:
1.
2.

identitas dan tujuan yang ingin dicapai;


taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan;
3.
penyediaan berbagai infut untuk memungkinkan pelaksanaan secara
nyata, dan taktik atau strategi serta berbagai langkah untuk mencapai tujuan
yang diingikan.
Dari ketiga elemen dalam Konsep kebijaksanaan/Kebijakan Publik
tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa pada dasarnya Kebijakan Publik
adalah sebuah sikap pemerintah yang berorientasi pada tindakan, artinya
14

Bintoro Tjokroamidjojo, Analisa Kebijaksanaan Dalam Proses Perencanaan


Pembangunan Nasional, Dalam Majalah Administrator No. 5 dan 6 Tahun IV, 1976, hal 5)

Kebijakan Publik merupakan sebuah kerja konkrit dari adanya sebuah


organisasi pemerintah.
Dari pemahaman di atas, maka pada dasarnya Kebijakan Publik memiliki
implikasi sebagai berikut:
1.

bahwa kebijakan publik itu bentuk awalnya adalah merupakan penetapan


tindakan-tindakan pemerintah;
2.
bahwa Kebijakan Publik itu tidak cukup hanya dinyatakan dalam bentuk
teks-teks formal, namun juga harus dilaksanakan atau diimplementasikan
secara nyata;
3.
bahwa Kebijakan Publik pada hahekatnya harus memiliki tujuan-tujuan
dan dampak-dampak, baik jangka panjang maupun jangka pendek, yang
telah dipikirkan secara matang terlebih dahulu;
4.
dan akhirnya segala proses yang ada diperuntukan bagi pemenuhan
kepentingan masyarakat15.
Beberapa ketentuan seperti yang telah diuraikan di atas jika dikaitkan
dengan pengaturan mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Bencana
Kebakaran dalam bentuk peraturan daerah, jelaslah bahwa hal tersebut
merupakan produk Kebijakan Publik pemerintah daerah yang dibuat dengan
tujuan untuk mengatur Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran
melalui tindakan-tindakan yang nyata.
Pengertian dan unsur-unsur kebijakan publik sebagaimana diuraikan di
atas berkaitan dengan masalah kewenangan, karena sebelum mengambil suatu
kebijakan, maka terlebih dahulu harus dilihat apakah ada atau tidak
kewenangan dari badan/pejabat yang akan mengambil kebijakan tersebut.
Konsep kewenangan terdiri atas: Atributie, Delegatie, dan Mandat 16:
a. Atribusi, yaitu pemberian wewenang oleh pembentuk undang-undang
kepada lembaga-lembaga negara, Badan atau Pejabat Adminitrasi
berdasarkan
Undang-Undang
Dasar,
Undang-undang,
Peraturan
Pemerintah, dan Peraturan Pelaksana lainnyanya yang bersifat orisinil.
Dengan kewenangan atribusian tersebut, Badan atau Pejabat Adminitrasi
Negara dapat melaksanakan dan mengembangkan kewenangan yang
diatribusikan kepadanya, melalui berbagai tindakan hukum pengaturan dan
penetapan ketika menyelenggarakan tugas-tugas pemerintah dan
pembangunan, termasuk juga menyelenggarakan otonomi daerah.
15

Irfani M., Islamy, 1997, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara,
Jakarta, hal. 14.
16
Goede, B. de, Beeld van het Nederlands Bestuursrecht, Vuga Uitgeverij, B.V. SGravenhage, 1986, hal. 56.

b. Delegasi, yaitu penyerahan wewenang dari Badan atau Pejabat Administrasi


Negara yang satu kepada Badan atau Pejabat Administrasi Negara yang lain
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dituangkan
ke dalam peraturan perundang-undangan tertentu. Penyerahan sebagian
wewenang dan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan Otonomi Daerah merupakan
contoh nyata dari adanya implementasi konsep delegasi.
c. Mandat, merupakan pemberian kuasa sementara oleh mandans (pemberi
mandat) kepada mandataris (penerima mandat) untuk melaksanakan
kewenangan, urusan dan tugas tertentu untuk dan atas nama pemberi
mandat. Tanggung jawab pelaksanaan kewenangan yang dimandatkan
sepenuhnya berada pada pemberi mandat.
Berkaitan dengan masalah kebijakan pemerintah daerah dalam mengatur
masalah Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran, maka perlu
dikemukan mengenai pengaturan hukum. Pengaturan hukum mengandung
makna aktivitas membentuk dan melaksanakan hukum. Terutama jika dilihat dari
sudut tata hirarkhi peraturan perundang-undangan, maka setiap tingkatan
peraturan hukum harus dibentuk oleh lingkungan jabatan dan/atau lembaga
pembentuk hukum yang berwenang untuk itu, dengan mempertimbangkan
urgensinya serta mengingati dasar-dasar peraturan perundang-undangan yang
berlaku secara vertikal maupun horizontal.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan termasuk pembuatan
suatu kebijakan terdapat asas formal dan material yang wajib dipedomani 17 :
1. Asas Formal:
a.
Memiliki tujuan yang jelas, ialah maksud yang ingin diwujudkan
dengan dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan;
b.
Memiliki dasar-dasar pertimbangan yang pasti pada konsiderans
menimbangnya;
c.
Memiliki dasar-dasar peraturan hukum yang jelas pada
konsiderans mengingatnya;
d.
Memiliki sistematika yang logis dan tidak saling bertentangan
antara Bab, Bagian, Pasal, Ayat, dan sub ayat;
e.
Dapat dikenali, melalui pengundangannya ke dalam lembaran
negara/daerah serta disosialisasikan kepada masyarakat.
2. Asas Material:
a. Dibentuk oleh pejabat atau lembaga pembentuk peraturan hukum yang
berwenang untuk itu;
17

A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam


Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-PelitaIV, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta,
1990, Hal. 54.

b. Dibentuk melalui mekanisme, prosedur atau tata tertib yang berlaku


untuk itu;
c. Materi muatannya memiliki asas-asas hukum yang jelas, tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan
lainnya yang sederajat/mengatur perihal yang sama.
d. Isi peraturan harus jelas, mengandung kebenaran, keadilan dan
kepastian hukum.
e. Dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik, untuk menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran yang terjadi terhadap peraturan perundangundangan dimaksud.
Dalam kaitan dengan masalah pembentukan peraturan, maka sangat
penting artinya mengemukakan tentang kebijaksanaan negara. George C.
Edwards dan Ira Sharkansky18 mendefinisikan kebijaksanaan negara sebagai
apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah,
kebijaksanaan negara itu berupa sasaran atau tujuan program-program
pemerintah. Lebih lanjutnya dinyatakan bahwa Kebijaksanaan Negara itu dapat
ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan atau dalam
bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa programprogram dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita negara Republik Indonesia, maka
perlu dilakukan pembangunan di segala bidang kehidupan masyarakat. Untuk
mencapai tujuan

pembangunan diperlukan suatu perencanaan. Pengertian

sederhana dari perencanaan

sebagaimana dikemukakan oleh Prayudi

Atmosudirdjo19, yaitu merupakan perhitungan dan penentuan daripada apa yang


akan dijalankan di dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu, di mana,
bilamana, oleh siapa dan bagaimana tata caranya.

Di samping itu ada beberapa pengertian dari perencanaan, yaitu:


1.

Perencanaan dalam arti seluas-luasnya adalah suatu


proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan
18

M. Irfani Islamy, Op. Cit, Hal. 18


Tri Hayati, dkk, Administrasi Pembangunan Suatu Pendekatan Hukum Dan
Perencanaannya, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005,hal. 39
19

2.
3.
4.

5.

dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu pada
hakekatnya terdapat pada tiap jenis usaha manusia.
Perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai
tujuan sebaik-baiknya dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien
dan efektif.
Perencanaan adalah penentuan tujuan yang akan
dicapai atau yang akan dilakukan, bagaimana, bilamana dan oleh siapa.
Albert
Waterston
menyebutkan
perencanaan
pembangunan adalah melihat ke depan dengan mengambil pilihan berbagai
alternatif dari kegiatan untuk mencapai tujuan masa depan dengan terus
mengikuti agar supaya pelaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan.
Perencanaan
pembangunan
adalah
suatu
pengarahaan penggunaan sumber-sumber pembangunan (termasuk sumber
ekonomi) yang terbatas adanya, untuk mencapai tujuan-tujuan keadaan
sosial ekonomi yang lebih baik secara lebih efIsien dan efektif 20.
Kebijakan pembangunan sebagai bagian dari kebijakan ekonomi pada

umumnya memiliki kompleksitas yang tinggi dan luas, karena berpengaruh dan
membina kegiatan masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Kegiatan
tersebut terbagi menjadi dua, yaitu yang langsung dikelola oleh pemberintah
dan yang dikelola oleh swasta. Bentuk kegiatan yang paling penting tentu saja
berupa produksi yang akan dinikmati konsumen akhir atau masyarakat pada
umumnya21.
Untuk sampai pada suatu kebijakan pembangunan tersebut, maka
diperlukan

suatu

dokumen-dokumen

yang

akan

menjadi

dasar dalam

pengambilan keputusan sampai dengan pelaksanaannya. Hal tersebutlah yang


mendasari diperlukannya suatu perencanaan. Pengertian perencanaan adalah
teknik, cara untuk mencapai tujuan; tujuan untuk mewujudkan maksud dan
sasaran tertentu yang telah ditentukan sebelumnya dan

telah dirumuskan

dengan baik oleh Badan Perencanaan Pusat. Pengertian perencanaan tersebut


tidak terlalu jauh berbeda dengan definisi yang ada pada Undang-undang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 22 yaitu Perencanaan adalah suatu

20

Bintoro Tjokroamidjojo, Perencanaan Pembangunan, Cetakan 5, PT. Gunung Agung,


Jakarta, 1982, hal. 12.
21
Jan Tin bergen, Rencana Pembangunan, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta, 1973, hal. 24
22
Pasal 1 huruf 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional

proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan
pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara
perencanaan

pembangunan

untuk

menghasilkan

rencana-rencana

pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang


dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat
dan Daerah.
Dalam

rangka

penyelenggaraan

pemerintahan

daerah

disusun

perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem


perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah
disusun oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya yang
dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Demikian juga
hal

dengan

pemerintah

daerah

Kabupaten

Sekadau,

dalam

rangka

melaksanakan pembangunan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan


masyarakat

dan

perkembangan

diharapkan

perekonomian

dapat

memberikan

nasional,

maka

kontribusi
disusun

terhadap

perencanaan

pembangunan daerah yang kemudian dituangkan dalam peraturan daerah.


Dalam hal ini hukum diharapkan berfungsi untuk mengatur pelaksanaan
pembangunan daerah.
Setiap rencana mengandung tiga ciri khas, yaitu: (1) selalu mengenai
masa mendatang; (2) selalu mengandung kegiatan-kegiatan tertentu dan
bertujuan yang akan dilakukan; dan (3) harus ada alasan, sebab, motif atau
landasan, baik personal, organisasional maupun kedua-duannya 23.

23

Prajudi Atmosudirdjo, Administrasi dan Manajemen Umum, Ghalia Indonesia, Jakarta,


1981, hal. 177

Dalam pelaksanaannya, perencanaan memerlukan kemampuan berpikir


tertentu, dan oleh karena itu banyak orang tidak dapat menjalankan rencana
dengan baik. Dengan demikian di dalam perencanaan ataupun perencanaan
pembangunan, perlu diketahui adanya 5 (lima) hal pokok 24, yaitu:
1. Permasalahan-permasalahan pembangunan suatu masyarakat yang
dikaitkan dengan sumber-sumber pembangunan yang dapat diusahakan,
dalam hal ini sumber-sumber daya ekonomi dan sumber daya lainnya;
2. Tujuan serta sasaran rencana yang ingin dicapai;
3. Kebijakan dan cara untuk mencapai tujuan dan sasaran rencana dengan
melihat penggunaan sumber-sumbernya dan pemilihan alternatif-alternatif
yang terbaik;
4. Penterjemahan dalam program-program atau kegiatan-kegiatan usaha
konkrit; dan
5. Jangka waktu pencapaian tujuan.
Selanjutnya

mengenai

sifat

dari

perencanaan,

menurut

Prajudi

Atmosudirdjo bahwa rencana mempunyai sifat-sifat tertentu menujrut kehendak


daripada administrator, yaitu dibedakan menjadi single use plan, standing plan,
dan repeat plan25. Yang dimaksud dengan single use plan adalah rencana yang
bersifat satu kali pakai saja. Sesudah rencana tersebut selesai dilaksanakan
dan diselenggarakan, maka rencana tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dan yang
dimaksud dengan standing plan adalah rencana yang bersifat permanen dan
yang selalu harus dipergunakan setiap kali muncul keperluan yang sama.
Sedangkan yang dimaksud dengan

dan repeat plan adalah rencana yang

secara terus menerus harus dilakukan, secara berulang-ualang sampai pada


perintah berhenti.
Perencanaan dipergunakan lebih sebagai suatu alat atau cara untuk
mencapai

tujuan dengan

mengusahakan

lebih

mengurangi

baik.

Bahkan ada perencanaan

keterlibatan

pemerintah

dalam

yang

kegiatan

perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Perencanaan dilihat sebagai segi


suatu alat atau cara untuk mencapai tujuan tersebut, mendapatkan alasan yang
lebih kuat untuk melakukan perencanaan, yaitu:
24
25

Tri Hayati, dkk, Op. Cit, hal. 41


Prajudi Admosudirdjo, Op. Cit, hal 189

1.
2.

3.
4.
5.

Dengan adanya perencanaan diharapkan terdapatnya


suatu pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatankegiatan yang ditujukan kepada pencapaian tujuan pembangunan.
Dengan perencanaan, maka dilakukan suatu perkiraan
terhadap hal-hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui. Perkiraan
dilakukan mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek perkembangan,
tetapi juga mengenai hambatan-hambatan dan resiko-resiko yang mungkin
dihadapi. Perencanaan mengusahakan supaya ketidakpastian dapat dibatasi
sedikit mungkin.
Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih
berbagai alternatif tentang cara yang terbaik atau kesempatan untuk memilih
kombinasi cara yang terbaik.
Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala
prioritas. Memilih urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, sasaran
maupun kegiatan usahanya.
Dengan adanya perencanaan, maka akan ada suatu alat
pengukur atau standar untuk mengadakan pengawasan atau evaluasi 26.
Lebih lanjutnya Tri Hayati, et.al27 mengatakan bahwa alasan dari sisi

ekonomi mengapa suatu perencanaan diperlukan adalah:


1.

Penggunaan dan alokasi sumber-sumber pembangunan


yang terbatas adanya secara lebih efisien dan efektif, Diusahakan
dihindarinya keborosan-keborosan. Suatu usaha mencapai hasil secara
maksimal daripada penggunaan sumber-sumber daya yang tersedia.
2.
Perkembangan ekonomi yang mantap atau pertumbuhan
ekonomi yang secara terus menerus meningkat.
3.
Stabilitas ekonomi, menghadapi siklus konjungtur.
Dalam fungsinya sebagai pelindung

kepentingan manusia, hukum

mempunyai tujuan, hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun


tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di
dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam
mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar
perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara
memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.
Menyikapi kondisi masyarakat yang tidak berdaya dalam menghadapi
bencana

kebakaran,

maka

perlu

ditumbuhkembangkan

prinsip-prinsip

pemberdayaan masyarakat (empowerment) dalam meningkatkan kemandirian


26
27

Tri Hayati, et.al, Op. Cit, hal. 44-45


I b i d, hal. 45

dan kesejahteraan masyarakat. Konsep empowerment atau pemberdayaan


yang muncul sekitar decade 70-an berasal dari Eropa. Semula empowerment
dalam konteks Eropa modern merupakan aksi emansipasi dan liberalisasi serta
penataan terhadap segala kekuasaan dan penguasaan. Inilah yang kemudian
menjadi substansi pemberdayaan. Konsep ini mencerminkan paradigma baru
dalam studi pembangunan, yaitu yang bersifat people centered, participatory,
empowering dan suistanable.
Team Work Lapera28
dikatakan

merupakan

mengemukakan konsep pemberdayaan dapat


jawaban

atas

realitas

ketidakberdayaan

(disempowerment). Mereka yang tidak berdaya jelas adalah pihak yang tidak
memiliki daya (atau kehilangan daya) kekuatan. Dapat dikatakan bahwa yang
tidak berdaya adalah mereka yang tidak mau kehilangan kekuatannya. Dalam
kaitannya dengan Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran,
maka yang tidak berdaya di sini adalah warga masyarakat.
Pemberdayaan dengan demikian bermakna kepada masyarakat, yakni
suatu usaha untuk mentransformasikan masyarakat dengan akses untuk
perbaikan kehidupan mereka. Upaya mendekatkan masyarakat dengan akses
terhadap kehidupan tersebut, sama artinya dengan desakan untuk sebuah
proses redistribusi sumber-sumber ekonomi, sebagaimana juga halnya dalam
upaya meningkatkan kemandirian masyarakat, agar kesejahteraan masyarakat
dapat meningkat.
Upaya untuk meningkatkan kemandirian masyarakat tentunya hanya
akan efektif bila dimulai dari warga masyarakat itu sendiri yang melakukannya,
kemudian didukung oleh pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait lainnya.
Oleh karena itu, langkah pemberdayaan mustahil dijalankan jika tidak memuat

28

Team Work Lapera, Politik Pemberdayaan, Jalan Menuju Otonomi Desa, Lapera
Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal. 52.

langkah pengorganisasian masyarakat, yang merupakan tindakan dengan


maksud dasar menjadikan masyarakat sebagai kelompok sadar dan terhimpun.
Keterhimpunan masyarakat sendiri menjadi sangat penting, sebab hanya
itulah

yang

dapat

menghindarkan

masyarakat

dari

berbagai

upaya

manipulasi/monopoli. Langkah-langkah ini dilakukan dengan maksud utama


untuk:
1. memungkinkan rakyat secara mandiri (otonom) mengorganisasi diri, dan
dengan demikian akan memudahkan rakyat menghadapi situasi-situasi sulit,
serta mampu menolak berbagai kecenderungan yang merugikan,
2. memungkinkan ekspresi aspirasi dan jalan memperjuangkannya, dan
memberikan semacam garansi bagi tidak diabaikannya kepentingan rakyat,
3. memungkinkan
diatasinya
persoalan-persoalan
dalam
dinamika
pembangunan, dan menjadi cermin adanya kepercayaan kepada rakyat,
bahwa rakyat tidak perlu dimaknai sebagai sumber kebodohan, melainkan
subyek pembangunan yang juga memiliki kemampuan 29.
Membuat kebijakan di tingkat daerah seperti Peraturan daerah yang
berkaitan dengan Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran
sangat penting artinya dalam memberikan perlindungan, rasa aman, dan
ketentraman masyarakat di Kota Pontianak. Di sinilah hukum diharapkan dapat
berperan dalam mengatur masalah Pencegahan dan Penanggulangan Bencana
Kebakaran.
Hukum merupakan bagian integral dari kehidupan bersama. Kalau
manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau
kontak, baik yang menyenangkan maupun yang merupakan konflik. Dalam
keadaan seperti itu hukum tidak diperlukan. Di dalam masyarakat walaupun
bagaimana primitifnya, manusia selalu menjadi subyek hukum, menjadi
penyandang hak dan kewajiban.
Peranan hukum untuk melindungi, mengatur dan merencanakan
kehidupan ekonomi mendapat perhatian yang serius dalam kehidupan
masyarakat, karena dengan peranan hukum diharapkan dinamika kegiatan
ekonomi itu dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh
29

Tim Work Lapera, Op. Cit, hal . 56

masyarakat,

sebagaimana

dikemukakan

oleh

Thomas

Aquinas 30

yang

menyatakan bahwa hukum bukan hanya bisa menekan dan membatasi warga,
akan tetapi juga memberikan kesempatan bahkan mendorong para warga untuk
menemukan berbagai penemuan yang dapat menggerak ekonomi negara.
Berkaitan dengan pengaruh kepentingan ekonomi dalam pembentukan
hukum, Max Weber berpendapat bahwa terlihat jelas jaminan hukum ditujukan
langsung pada pelayanan kepentingan ekonomi sampai pada batas-batas yang
luas. Meskipun pada kenyataannya keadaan yang ada tidak persis seperti itu,
namun kepentingan-kepentingan ekonomi adalah salah satu di antara faktorfaktor yang terkuat yang mempengaruhi penciptaan hukum. Bagi pemerintah
yang menjamin perintah hukum bergantung pada beberapa cara, yaitu pada
tindakan konsensual

kelompok-kelompok sosial konstitutif, dan formasi

kelompok-kelompok sosial tersebut bergantung pada sejumlah konstalasi


kepentingan-kepentingan materil sampai pada batas yang luas 31.

B. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Otonomi Daerah


Eksistensi Pemerintah Daerah dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia memang dijamin dan dikehendaki oleh Konstitusi. Pasal 18
Amandemen UUD 1945 dengan tegas menyatakan :
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang.
30

Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Universitas Atmajaya,


Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2002, hal. 12.
31
Sulasi Rongiyati, Max Weber Tentang Aktifitas Ekonomi Dalam pembentukan Hukum,
dimuat dalam Buku Beberapa Pendekatan Ekonomi Dalam Hukum, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 58-59

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Atas dasar amanah UUD 1945 tersebut, maka sekarang berlaku UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah beserta berbagai
perubahannya. Berdasarkan undang-undang ini terdapat tujuan dan prinsip
yang perlu dijadikan acuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
antara lain Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian otonomi has kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya

kesejahteraan

masyarakat

melalui

peningkatan

pelayanan,

pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi


luas,

daerah

diharapkan

mampu

meningkatkan

daya

saing

dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan


kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan

daerah

dalam

rangka

meningkatkan

efisiensi

dan

efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan :


1.

Hubungan antarsusunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah,


potensi dan keanekaragaman daerah.
2.
Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan.
keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.
Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam . dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.

4.

Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam


persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
5.
Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan
kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta,
prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip
bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah
otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan
tujuan

dan

maksud

pemberian

otonomi,

yang

pada

dasarnya

untuk

memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang


merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu
penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan
aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah, juga harus menjamin


keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu
membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah
pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang
serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan
menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang
hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa
pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan
dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan,
pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi.
Bersamaan itu Pemerintah wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian
peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam
melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah tak disangkal telah menimbulkan euforia kemandirian
pada tingkat daerah. Kewenangan daerah untuk mengelola perekonomiannya
sendiri menimbulkan banyak penafsiran, antara lain daerah bisa leluasa
mengoptimalkan segala potensi ekonomi yang ada menjadi sumber pendapatan
daerah, tentunya dengan tetap berdasarkan pada peraturan perundangan yang
berlaku. Dampak positif dari reformasi total ini, telah terjadi pergeseran
paradigrna dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik mengarah
kepada

sistem

pemerintahan

yang

desentratlistik

dengan

memberikan

keleluasaan otonomi daerah. Dampak positif inilah yang kemudian melahirkan


Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undan-

Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah


Pusat dan Daerah. Lahirnya kedua undang-undang ini dipandang sangat
penting, karena melalui pelaksanaan kedua undang-undang ini diharapkan akan
membawa perubahan kepada kehidupan pemerintahan daerah yang sematamata

mengutamakan

kepentingan

rakyat,

dalam

upaya

mendekatkan

pemerintah dengan rakyatnya, dan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan


rakyat secara keseluruhan. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 kemudian
diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 25
Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004.
Ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, bangsa lndonesia saat ini
sedang memasuki masa transisi dari sistem pemerintahan yang bercorak
sentralistik menuju kepada sistem pemerintahan yang lebih desentralislik dan
demokratik dengan memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud
otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan
mengurus kepentingan

masyarakat

setempat

menurut prakarsa

sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan kemampuan wilayahnya dan


peraturan perundang-undangan, serta memberikan peranan dan fungsi kepada
DPRD lebih luas.
Otonomi daerah sebagai perwujudan pelaksanaan asas desentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan, pada hakekatnya merupakan penerapan
konsep teori areal division of power32 yang membagi kekuasaan secara vertikal
sesuatu negara. Dalam sistem ini, kekuasaan negara akan terbagi antara
pemerintah pusat di satu pihak, dan pemerintah daerah di lain pihak. Sistern
pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah
antara negara yang satu dengan yang lain tidak akan sama, termasuk Indonesia
yang secara legal konstitusional menganut sistem Negara Kesatuan.
32

Koesworo, E., 2001, Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Yayasan
Pariba, Jakarta, hal 289.

Kehendak politik pemerintah dalam menegakkan demokrasi melalui asas


desentralisasi, adalah harus sungguh-sungguh merupakan desentralisasi
kerakyatan, dalam arti bahwa keleluasaan otonomi yang dilancarkan kepada
daerah bukan untuk mengembangkan kekuasaan birokrasi pemerintah daerah,
namun guna memberikan kesempatan kepada rakyat setempat untuk berperan,
berprakarsa, dan memberdayakan potensi masyarakat dan wilayah daerah
setempat. Dengan demikian, kekuasaan yang dilimpahkan kepada pemerintah
daerah dimaksudkan sebagai wahana dalam memberikan facilitating kepada
masyarakat setempat melalui peran serta dan pemberdayaan masyarakat.
Inti persoalannya adalah seberapa jauh keleluasan otonomi daerah dapat
diberikan kepada daerah, agar daerah tersebut dapat berfungsi sebagai Daerah
Otonomi yang mandiri, berdasarkan asas demokrasi dan kedaulatan rakyat,
tanpa menganggu stabilitas nasional dan keutuhan persatuan/kesatuan bangsa.
Kemandirian daerah otonom yang kuat justru harus menjadi penyangga bagi
tetap terjaga dan terpeliharanya eksistensi negara dan bangsa. Dengan kata
lain, bagaimana mencari titik-keseimbangan antara kehendak politik centrifugal,
yang melahirkan politik desentralisasi, dan mendudukkan posisi centripetal yang
melahirkan sebagian central power untuk menjamin tetap terpeliharanya
identitas dan integrasi bangsa. Sulit untuk menetapkan formula yang tepat guna
mencari penyelesaian masalah tersebut, oleh karena hal itu akan sangat
dipengaruhi oleh konfigurasi-politik pada suatu masa tertentu, dan hampir bisa
dipastikan, bahwa setiap negara dalam mencari titik-keseimbangan tersebut
selalu memperhitungkan pertirnbangan-pertimbangan ekonomi, politik, sosial,
kesejahteraan dan keamanan. Namun bagaimanapun sulitnya menetapkan
formula, harus dicari formula yang tepat, objektif, dan rasional, serta penuh
kearifan dengan memandang persoalan ini adalah untuk kepentingan

masyarakat bangsa, dan bukan untuk kepentingan segelintir orang atau


kelompok tertentu.
Dengan demikian, timbul pemikiran perlunya rnemberikan kewenangan
otonomi daerah pada tingkat wilayah yang paling dekat dengan rakyat. Hal ini
didasarkan kepada pemikiran, bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah
bukan hanya tersimpul makna pendewasaan politik rakyat daerah di mana
terwujud peran serta dan pemberdayaan masyarakat, melainkan juga sekaligus
bermakna mensejahterakan rakyat. Sebab, bagaimanapun juga tuntutan
pemerataan, tuntutan keadilan yang sering dilancarkan, baik menyangkut
bidang ekonomi maupun politik pada akhirnya akan menjadi fokus utama dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.
Dengan perubahan yang sangat mendasar ini, dampak yang akan sangat
dirasakan oleh pemerintah daerah, bukan hanya sekedar menyangkut kepada
perubahan sistem dan struktur pemerintahan daerah, melainkan dan terutama
kepada kesiapan dan ketersediaan sumber daya manusia, baik secara
kuantitatil maupun kualitatif yang akan berperan dan berfungsi sebagai motor
penggerak jalannya pemerintahan daerah yang kuat, efektif, efisien dan
akuntabel. Sumber daya manusia aparatur yang diperlukan bukan hanya yang
memiliki keterampilan dan kemampuan profesional di bidangnya. melainkan
juga memiliki etika dan moral yang tinggi serta memiliki dedikasi dan
pengabdian terhadap masyarakat.
Perhatian yang semakin besar terhadap perkembangan pembangunan di
negara Indonesia tentang perlunya pemberian otonomi daerah dalam rangka
desentralisasi di bidang perencanaam dan administrasi bukan saja melupakan
pertanda tentang diakuinya kelemahan yang terdapat pada perencanaan dan
administrasi yang dipusatkan, melainkan juga tentang adanya pergeseran
kebijaksanaan yang menekankan pada pemerataan. Di samping itu, umumnya

diakui bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak
pasti. yang sudah barang tentu tidak begitu saja dengan mudah direncanakan
dan dikendalikan dari pusat. Otonorni daerah secara penuh yang lepas dari
kekuasaan sentral dari pemerintah pusat adalah suatu hal yang tidak mungkin.
Namun dengan melihat pendapat para pembentuk Negara (the founding fathers)
pada masa yang lalu, terdapat ide yang hakiki dalam konsep otonomi daerah
yang tercermin dalam kesamaan pendapat dan kesepakatan tentang perlunya
desentralisasi dan otonomi daerah. Pernyataan Hatta (1957) antara lain adalah
sebagai berikui :
...... Memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi,
tetapi mendorong berkembangnya auto-aktiviteit. Auto aktiviteit artinya bertindak
sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan
sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiviteit tercapailah apa yang dimaksud
demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat.
Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama
memperbaiki nasibnya sendiri33.
Soepomo

mengemukakan

bahwa

masalah

sentralisasi

atau

desentralisasi pemerintahah tergantung dari masa, tempat dan urusan yang


bersangkutan. Selanjutnya ditegaskan bahwa urusan yang akan di tangani
pusat dan yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar
maupun daerah kecil, akan bergantung dengan waktu, tempat dan urusan yang
bersangkutan. Soepomo menegaskan pula bahwa kekuasaan dalam Negara
persatuan

tidak

berarti

Pemerintah

akan

menarik

segala

kepentingan

masyarakat ke dirinya untuk dipelihara sendiri. Dari aspek lain, M. Yamin


menyatakan bahwa dengan sendirinya dalam Negara yang terdiri atas pulaupulau yang begitu besar, banyak urusan pemerintah yang harus diserahkan
kepada pemerintah daerah. Menurutnya hendaklah kekuasaan pusat tidak
bertumpuk-tumpuk sehingga kekuasaan daerah menjadi kosong 34.

33

Benyamin Hoessein, l996, Gagasan Pendayagunaan Aparatur Negara Dalam Pelita VII,
Aspek Kelembagan, LAN, Jakarta, hal 5.
34
Koesworo, Op.Cit, hal. 75-76.

Sejauh ini sudah terlihat bahwa kebijaksanaan pemberian otonomi


daerah yang dikaitkan dengan masalah sentralisasi dan desentralisasi dalam
pemerintahan tergantung pada banyak hal. Menurut Bintoro Tjokroamidjojo 35,
setidak-tidaknya ada tiga hal yang menjadi pertimbangan apakah suatu negara
menganut sentralisasi atau desentralisasi. Pertama, seringkali filsafah politik
bangsa tertentu tercermin pada tata-cara penyelenggaraan pemerintahannya.
Negara

dengan

pandangan

sosialis

yang

tradisional

lebih

cenderung

melaksanakan sentralisasi. hal ini berlaku sekalipun sistem kenegaraannya


bersifat federal. Kedua, struktur konstitusional dan sistem pemerintahan negara
tertentu juga berpengaruh. Di dalam pola yang ideal, negara-negara yang
memiliki bentuk kesatuan lebih cenderung ke arah sentralisasi. Akan tetapi,
dalam

kenyataan

empiris,

negara

kesatuan

dapat

juga

memberikan

desentralisasi dan otonomi yang luas. Sebaliknya, di negara dengan struktur


federal juga ditemui kebijaksanaan, rencana, dan program pemerintahan yang
bersifat sentralistis. Ketiga, seringkali masalah sentralisasi dan desentralisasi
terkait pula dengan tingkat perkembangan bangsa pada negara-negara yang
baru merdeka .
Pada awal kemerdekaan, pembinaan kesatuan bangsa merasa lebih
penting. hal ini kemudian tercermin dalam kebijaksanaan dan tata-cara
penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis. Dalam perkembangan lebih
lanjut, ketika pembinaan bangsa sudah lebih matang, keperluan bagi perluasan
kegiatan

pembangunan

seringkali

menumbuhkan

kebutuhan

akan

desentralisasi. Demikian pula, faktor-faktor geografis dan kultural masyarakat


tertentu mungkin saja membutuhkan bentuk-bentuk administrasi daerah yang
istimewa atau khusus yang mendorong ke arah pemberian otonomi daerah yang
lebih luas. Untuk memberikan alasan yang paling tepat dalam penentuan
35

81.

Bintoro Tjokroamidjojo, l985, Pengantar Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, hal

kebijaksanaan desentralisasi otonomi daerah, kebanyakan peneliti sepakat


bahwa salah satu tujuan utama dianutnya pemberian otonomi daerah adalah
agar kebijaksanaan pemerintahan lebih sesuai dengan kondisi wilayah dan
masyarakat setempat. motivasinya adalah Pertama, karena kebhinekaan dalam
kehidupan masyarakat. Kedua, pengakuan dan penghormatan atas sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berpemerintahan, berbangsa, dan bernegara. Ketiga,
pendayagunaan

pengelolaan

potensi

daerah.

Keempat,

mendidik

dan

pemberdayaan (empowerment) masyarakat dalam segala segi kehidupan


(Ipoleksosbud, hankam, dan agama). Kelima, pemerataan kemampuan daerah
dengan memperhatikan kondisi setiap daerah yang berbeda-beda, tetapi tetap
merupakan satu kesatuan berwawasan nusantara.
Dari berbagai pendapat yang mendukung dilaksanakannya desentralisasi
dengan memberikan otonomi kepada daerah, dapat disimpulkan bahwa motivasi
dan urgensi pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut: Pertama, upaya
peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Kedua,
upaya melancarkan pelaksanaan pembangunan. Ketiga, meningkatkan peran
serta masyarakat dalam proses demokrasi pemerintahan di lapisan bawah.
Untuk

memberikan

dorongan

kepada

pelaksanaan

otonomi

daerah,

Bockelman36 melancarkan suatu slogan yang berbunyi ...as much autonomy as


possible, as much central power as necessary (Berikanlah otonomi sebanyak
mungkin kepada daerah, hanya apabila dianggap perlu sebanyak kekuasaan
tinggai di pusat).
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa
penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antara
susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
36

Ibid, hal 77

Kriteria eksternalitas yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 adalah penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan
berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Sedangkan kriteria akuntabilitas
adalah

penanggungjawab

penyelenggaraan

suatu

urusan

pemerintahan

ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan


dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Dan yang dimaksud dengan kriteria efisiensi adalah penyelenggaraan suatu
urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna
yang paling tinggi yang dapat diperoleh.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan:
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UndangUndang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah
atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada
pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah
dapat:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku
wakil Pemerintah; atau
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan 37.

37

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Selain itu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 38 juga mengariskan bahwa:


(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a.
perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d.
penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.
penanganan bidang kesehatan;
f.
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
g.
penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h.
pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i.
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota;
j.
pengendalian lingkungan hidup;
k.
pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l.
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m.
pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.
pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
o.
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan
p.
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya juga dinyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan
yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
38
39

perencanaan dan pengendalian pembangunan;


perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
penyediaan sarana dan prasarana umum;
penangganan bidang kesehatan;
penyelenggaraan pendidikan;
penanggulangan masalah sosial;
pelayanan bidang ketenagakerjaan;
fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
pengendalian lingkungan hidup;
pelayanan pertanahan;
pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
pelayanan administrasi umum pemerintahan;
pelayanan administrasi penanaman modal
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan39.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004


Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Selain itu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 40 menegaskan bahwa
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria
pembagian urusan pemerintahan, yang terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan
oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota,
berkaitan dengan pelayanan dasar. Urusan wajib tersebut meliputi:
a.pendidikan;
b.kesehatan;
c. lingkungan hidup;
d.pekerjaan umum;
e.penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g.perumahan;
h.kepemudaan dan olahraga;
i. penanaman modal;
j. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
k. kependudukan dan catatan sipil;
l. ketenagakerjaan;
m. ketahanan pangan;
n.pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o.keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p.perhubungan;
q.komunikasi dan informatika;
r. pertanahan;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,
perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
u.pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. sosial;
w. kebudayaan;
x. statistik;
y. kearsipan; dan
z. perpustakaan.
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada
peningkatan

kesejahteraan

masyarakat

dan

selalu

memperhatikan

kepentingan serta aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Penyelenggaraan


40

Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 7 ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007.

otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah


dengan daerah lainnya, dalam arti:
a.

Mampu membangun kerja sama antar daerah untuk


meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar
daerah.
b.
Mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah
dengan pemerintah.
c.
Mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara
dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka
mewujudkan tujuan negara.
Karena itu, agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan
yang hendak dicapai, maka pemerintah wajib melakukan:
a. Pembinaan berupa pemberian pedoman dalam kegiatan penelitian,
pengembangan, perencanaan, dan pengawasan.
b. Memberikan
standar, arahan,
bimbingan,
pelatihan,
supervisi,
pengendalian, koordinasi, pemamtauan, dan evaluasi.
c. Memberikan fasilitas berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan
dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat
dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundangundangan41.

Sumber utama dan prinsip dasar yang dianut dalam penyelenggaraan


sistem pemerintahan di daerah adalah: Pembagian daerah di Indonesia atas
daerah besar don kecil dengan bentuk susunan pemerintuhannya ditetapkan
dengan

undang-undang,

dengan

mamandang

dan

mengingati

dasar

permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul


dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa 42. Penjelasan Pasal 18 tersebut
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1.

Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidstaat, maka


Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat
staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah
propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu
bersifat autonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat
administrative belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan
undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat autonom akan diadakan
badan perwakilan daerah oleh karena di daerahpun pemerintah akan
bersendi atas dasar permusyawaratan.
2.
Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
Zelfsbeturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di

41

Marcus Lukman, 2007, Hukum Tata Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, PMIH Untan
Press, Pontianak, hal 132.
42
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945

Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya.
Esensi dari prinsip dasar yang telah digariskan dalam Pasal 18 UndangUndang Dasar 1945 beserta penjelasannya tersebut, dapat diuraikan sebagai
berikut: Pertama, bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia tidak menganut
faham sentralisme, melainkan membagi daerah Indonesia atas daerah besar
dan kecil yang diatur dengan undang-undang. Kedua, pengaturan dalam
undang-undang

tersebut

harus

memandang

dan

mengingati

dasar

permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, serta memandang dan


mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Ketiga, daerah besar dan kecil bukan merupakan Negara bagian, melainkan
daerah yang tidak terpisahkan dari dan dibentuk dalam kerangka Negara
Kesatuan (eenheidstaat). Keempat, corak daerah besar dan kecil itu ada yang
bersifat otonom (streek en locale rechtsgemeenschappen) atau ada yang
bersifat daerah administrasi belaka. Kelima, sebagai konsekwensi daerah yang
bersifat otonom, akan dibentuk badan perwakilan daerah, karena di daerahpun
pemerintahan akan bersendikan atas azas permusyawaratan. Keenam, daerah
yang mempunyai hak-hak asal-usul yang bersifat istimewa adalah swapraja atau
yang disebut Zelfbesturende Landschappen dan Desa atau nama lain semacam
itu yang disebut Volksgemeenschappen. Ketujuh, Negara Republik Indonesia
akan menghormati hak-hak asal-usul yang bersifat istimewa. Kedelapan,
adapun sampai sejauh mana otonomi itu akan diberikan kepada daerah, sudah
cukup jelas kebijaksanaan dasarnya, yaitu sebagaimana terkandung dalam
alenia pertama penjelasan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 tersebut di
atas. Alinea tersebut di samping mempertegas bahwa dalam Negara kesatuan
(eenheidstaat) tidak akan ada bagian wilayah Negara yang bersifat sebagai
Staat atau Negara, secara implisit juga memberikan arah bahwa pemberian

otonomi itu dalam proporsi yang wajar dan dapat dipertanggung jawabkan,
mengingat kondisi nyata pada daerah yang bersangkutan 43.
Otonomi daerah merupakan tema lama yang

tampaknya selalu

menemukan aktualisasi dan relevansinya. Dikatakan tema lama, karena


Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan landasan yuridis yang jelas
tentang eksistensi otonomi daerah. Seiring dengan ditetapkannya UndangUndang Dasar 1945, sejak itu pengaturan tentang pemerintahan daerah dalam
undang-undang sebagai penjabaran pasal 18, mulai ramai diperdebatkan.
Masalah ini menjadi prioritas di antara upaya penyusunan berbagai UndangUndang sebagai pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945. Hal ini tampak dari
kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur tentang
otonomi daerah.
Letak aktualitas dari tema lama tersebut adalah bahwa walaupun otonomi
daerah mempunyai landasan yuridis yang kuat, tetapi pelaksanaannya
senantiasa menjadi perdebatan berbagai pihak. Artinya, penerapan otonomi
daerah dalam sistem pemerintahan daerah dari masa ke masa mengandung
banyak hal yang memungkinkan terjadinya perdebatan. Kajian terhadap isi
undang-undang yang pernah dipergunakan untuk mengatur pemerintahan
daerah tetap saja menarik perhatian berbagai pihak, serta membuka peluang
terjadinya perdebatan. Materi perdebatan berada pada segi yang essensial,
yaitu

mengenai

seberapa

besar

pemerintah

pusat

menyerahkan

kewenangannya (desentralisasi) kepada daerah otonom. Tarik ulur mengenai


besarnya desentralisasi ini diperngaruhi oleh perbedaan sudut pandang,
berdasarkan kerangka teori yang digunakan dan konfigurasi politik yang
diwarnai kepentingan rezim pemerintahan selaku pemegang kekuasaan Negara
pada saat undang-undang itu disusun.
43

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 1995, Tugas, Fungsi dan Peranannya
Dalam Pemerintahan Di Daerah, Departemen Dalam Negeri, Jakarta, hal 185-186.

Menurut Sarundajang44 otonomi

atau autonomy berasal dari bahasa

Yunani, auto berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan.
Menurut Encyclopaedia of the Sosial Sciences, otonomi dalam pengertian
original adalah the legal self sufficiency of sosial body and it actual
independence. Sedangkan menurut UU Nomor 32 tahun 2004 otonomi daerah
diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan
otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah
untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat
dan pelaksanaan pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan tersebut, kepada
daerah perlu diberikan kewenangan-kewenangan sebagai urusan rumah
tangganya45.
Dalam berbagai ketentuan undang-undang yang mengatur tentang
pemerintahan daerah yang di dalamnya mengatur mengenai otonomi daerah,
maka tergambar bahwa prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah pada
dasarnya menyangkut:
a.

44

Penyelenggaraan
otonomi
daerah
dilaksanakan
dengan
memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah.

Nasution, Muslimin, 1999, Pokok-Pokok Kebijaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Alam


Kehutanan Dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah Seminar, Tanggal 21 September 1999,
Yogyakarta, hal 2.
45
Soenyono, 2001, Prospek Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam buku Otonomi Daerah Perspektif Teoritis dan Praktis
oleh Andi A. Malarangeng, dkk, Cetakan Pertama, Bigraf Publishing, Yogyakarta, hal 107

b.
c.
d.

e.
f.

Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata


dan bertanggungjawab.
Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada
daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi aerah provinsi
merupakan otonomi yang terbatas.
Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat negara sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten/kota tidak ada lagi
wilayah administrasi.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan
fungsi badan legislative daerah, baik sebagai fungsi legislative, fungsi
pengawas, maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah
daerah.
Pengertian dan prinsip-prinsip otonomi daerah seperti tersebut di atas

sesuai dengan kenyataan bahwa pertama, pemerintah daerah lebih mengetahui


keadaan daerahnya, sehingga mereka dapat merencanakan dan melaksanakan
pembangunan daerahnya secara lebih baik dari pemerintah pusat. Kedua, jika
ada masalah akan cepat diatasi karena pemerintah daerah lebih dekat dengan
objek sumber daya alam. Ketiga, jumlah masalah yang dihadapi pemerintah
daerah jauh lebih sedikit karena hanya menyangkut masalah mereka sendiri,
dibandingkan dengan pemerintah pusat.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan
sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekosentrasi, dan
tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan pemerintah pusat dan
daerah

berupa sistem keuangan

yang

diatur berdasarkan pembagian

kewenangan, tugas dan tanggungjawab yang jelas antar tingkat pemerintah,


maka

dikeluarkanlah

Undang-undang

nomor

33

tahun

2004

tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah. Tuntutan


perimbangan keuangan ini merupakan tuntutan yang sangat lazim dan berdasar,
mengingat propinsi-propinsi yang kaya akan sumber daya alam, pembangunan
dan tingkat kesejahteraan justru termasuk paling rendah dibandingkan dengan
propinsi-propinsi lainnya.

Pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan baik, jika secara


sistematis daerah melakukan beberapa langkah strategis antara lain :
a. Self Regulation Power, yaitu kemampuan mengatur dan melaksanakan
otonomi daerah demi kepentingan masyarakat di daerah.
b. Self Modifying Power, yaitu kemampuan melakukan penyesuaian terhadap
peraturan ditetapkan secara nasional dengan kondisi daerah, termasuk
melakukan terobosan yang inovatif ke arah kemajuan dalam mensikapi
potensi daerah.
c. Creating Local Political Support, yaitu penyelenggaraan pemerintah daerah
yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakat, baik pada posisi kepala
daerah maupun DPRD.
d. Managing Financial Resources, yaitu mengembangkan kemampuan dalam
mengelola sumber-sumber penghasilan dan keuangan yang memadai
untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah, pembangunan dan
pelayanan masyarakat.
e. Developing Brain Power, yaitu membangun sumber daya manusia, aparatur
pemerintah dan masyarakat yang handal, yang bertumpu pada kapabilitas
intelektual dalam menyelesaikan berbagai masalah 46.
Penerapan otonomi daerah sesungguhnya ditujukan untuk mendekatkan
proses pengambilan keputusan kepada kelompok masyarakat yang paling
bawah, dengan memperhatikan ciri khas daerah dan lingkungan setempat,
sehingga kebijakan publik dapat lebih diterima dan produktif dalam memenuhi
kebutuhan serta rasa keadilan masyarakat.
Konsep

desentralisasi,

melahirkan

tiga

asas

penyelenggaraan

pemerintahan di daerah, yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas


pembantuan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menormatifkannya
sebagai berikut:
a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah
kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah oleh pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu;
c. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah propinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu47.
46

Sasruddin M. Sattim, 2001, Kebijaksanaan Penyelenggaraan Kehutanan Dalam


Pelaksanaan Otonomi Daerah, Makalah Seminra dan Lokakarya, Himpunan Mahasiswa Teknologi
Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Untan, Tanggal 5 Mei 2000, Pontianak, hal 1.
47
Pasal 1 angka7, angka 8, dan angka 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Penggolongan lainnya, adalah: desentralisasi territorial, desentralisasi


fungsional
territorial

dan
sama

desentralisasi
maknanya

administrative 48.

dengan

konsep

Pengertian
desentralisasi

desentralisasi
politik

yang

diketengahkan oleh Amrah Muslimin, begitu pun dengan desentralisasi


fungsional. Tentang desentralisasi administrative, pengertiannya diidentikkan
dengan

dekonsentrasi

(ambtelijke

decentralisatie),

ialah:

pelimpahan

wewenang dari Pemerintah Pusat kepada perangkat-perangkat wilayahnya di


daerah49.
Kemudian R. Tresna50 membedakan desentralisasi ke dalam dua tipologi
pokok. Pertama, ambtelijke decentralisatie yang disebut juga dekonsentrasi.
Kedua,

staatkundige

decentralisatie

yang

terbagi

menjadi

terrtoriale

decentralisatie dan functionale decentralisatie.


Tampak dari ketentuan di atas, substansi pokok dari pengertian otonomi
daerah terletak pada konsep kewenangan. Ini berdasarkan dengan substansi
daerah otonom, yang titik beratnya pada kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu.
C. Aspek Hukum Bangunan Gedung
Makna yang khas dari suatu tindakan bersumber dari norma yang isinya
mengacu kepada tindakan itu, sehingga ia dapat ditafsirkan sesuai norma yang
berfungsi pertimbangan bahwa suatu tindakan dari perilaku manusia, yang
dilakukan dalam waktu dan tempat, yakni yang legal atau illegal. Tatanan
hukum yang merupakan obyek dari pengetahuan ini merupakan tatanan norma
perilaku manusia, sebuah sistem norma yang mengatur perilaku manusia untuk

48
Irawan Soejito, 1984, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Aksara,
Jakarta, hal 29.
49
Bagir Manan, 1992, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut Asas Desentralisasi
Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, Unpad, Bandung, hal 17-22.
50
R. Tresna, Tanpa Tahun, Bertamasya Ke Taman Ketatanegaraan, Dibya, Bandung, hal 31.

berperilaku dengan cara tertentu, di mana bermakna bahwa tindakan manusia


yang satu diarahkan kepada perilaku manusia yang lain 51.
Pada awalnya suasana hukum, meliputi semata-mata hubunganhubungan dan perimbangan kemasyarakatan, yang mempunyai arti yang
fundamental bagi keterikatan dan keterpaduan kelompok; perbuatan-perbuatan
melawan hukum52.
Hubungan-hubungan antar anggota kelompok, kelompok dan kekuasaan
umum yang berisikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perlu dituangkan dalam
peraturan-peraturan melalui satu atau lain cara. hal ini bermaksud untuk
memberikan suatu keadilan. G. Radbruch 53 beranggapan sebagai salah satu
dari komponen (dan sekaligus antinomy) ide hukum, yakni keadilan. Yang oleh
HLA. Hart54, menjawab atas pernyataan tersebut, dengan menamakan normanorma yang mengatur perikatan aturan-aturan hokum primer. Hukum adalah
Keadilan, sehubungan dengan keadilan Ulpianus sebagaimana dikutip oleh
Johnny Ibrahim sebagai berikut; seorang pengemban hukum kekaisaran
Romawi pernah menuliskan, Iustitia est constan et perpetua voluntas ius
Undang-Undang cuique tribundi yang mengandung makna bahwa keadilan
adalah kehendak yang bersifat tetap dan yang tak yang tak ada akhirnya untuk
memberikan kepada tiap-tiap orang, apa yang menjadi haknya. Paradigma
keadilan tersebut diserap dan dijabarkan lebih lanjut oleh Justianus dalam
Corpus Iuris Civilis, dasar hukum sipil Romawi itu menyebutkan, Juirs
praecepta sunt haec: honeste vivere, alterum non laedeere, Undang-Undang
cuique tribure, yang bermakna peraturan dasar dari hukum adalah hidup dengan
patut, tidak merugikan orang lain, dan memberi pada orang lain apa yang
51

Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta, hal. 45.
52

Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, 2005, Op.Cit., hal. 31.
G. Radbruch, 1973, Rechtsphilosophie, Stutgart, kochler, hal. 164.
54
Hart, HLA, 1976, Le Concept du Droit, Brussel: Fac. Univ. Saint Louis, hal. 103.
53

menjadi bagiannya. Tentang hal ini, Imanuel Kant memberikan elaborasi lebih
lanjut dalam tesisnya yang terkenal tentang prinsip hukum umum (principle of
universal law), Bertindaklah dengan sebuah maksim yang dalam waktu yang
sama Anda dapat menghendaki maksim tersebut menjadi hukum umum. Kalau
boleh di kata bahwa peran hukum untuk menciptakan keadilan yang
didambakan setiap orang dan yang menjadi takaran keadilan adalah hukum
(justice according to the law). Untuk itu Agustinus berani menegaskan dalam
suatu postulatnya yang terkenal bahwa hukum yang tidak adil itu bukanlah
hokum (lex iniusta non est lex an unjust law is no law) Sedemikian itu hukum
sebagai karya manusia, berguna untuk menjadi sebagai takaran keadilan, kalau
toh nanti dalam kenyataan tidak sempurna merefleksikan keadilan itu, perlu
dilihat bahwa hukum hanyalah hukum, namun tetap maunya adil. Keadilan
harus ditegakkan apapun resikonya, sehingga keadilan harus menjadi value
that a lawyer should be ready to stand and to die for dalam praktik penegakan
hukum.
Keadilan senantiasa mengandung unsur penghargaan, penilaian, dan
pertimbangan. Karena itu, mekanisme bekerjanya hukum digambarkan sebagai
suatu neraca keadilan. Sehubungan hal tersebut, maka hukum bersifat
kompromistis, karena keadilan manusia tidaklah mutlak. Mengingat manusia
adalah makhluk tidak sempurna, kehilafan merupakan sifat insani manusia.
Unsur lain yang dibutuhkan manusia dari hukum yakni, Ketertiban, dalam
kepustakaan common law sering menyandingkan hukum dengan ketertiban
atau menyebutnya law and order, untuk mewujudkan ketertiban itu, maka
manusia memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu
yang dirumuskan dalam bentuk kaidah. Dengan terwujudnya ketertiban maka
berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat akan terpenuhi.
Sesungguhnya ketertiban dan kaidah yang diperlukan manusia adalah

ketertiban dan kaidah yang secara otentik menciptakan kondisi yang


memungkinkan manusia secara wajar mengekspresikan kepribadiannya secara
utuh, dalam rangka pengembangan potensi yang dimilikinya selaku manusia.
Oleh karenanya menjadi penting pemahaman bahwa hukum adalah tatanan
pemikiran demi kebaikan bersama, yang diungkapkan oleh siapa saja yang
peduli terhadap ketertiban masyarakat. Dan yang tidak kala pentingnya dalam
hukum, apa yang dikenal dengan Kepastian, ketika kita mengadakan dan
mengakui adanya pranata hukum, lembaga hukum. Dituntut adanya komitmen
keras untuk menepatinya. Karena tanpa kepastian hukum akan berimbas pada
terjadinya kekacauan dalam masyarakat. Itulah sebabnya hukum akan berperan
dalam fungsinya untuk menciptakan keadilan, ketertiban, dan kepastian dalam
masyarakat. Ketika mencermati keseluruhan kaidah atau norma dan ketentuan
hukum yang dibuat manusia, pada akhirnya juga bermuara pada satu asas
utama yang diarahkan untuk penghormatan dan pengakuan terhadap martabat
manusia. Pengaruh hukum dalam mengatur kehidupan manusia digambarkan
dengan baik oleh Van Apeldorn, sebagai berikut; Ia menuliskan bahwa manusia
setiap saat dikuasai oleh hukum. Hukum menurut Apeldoorn mencampuri
urusan manusia sebelum ia lahir, bahkan sesudah ia meningga 55.
Disadari bahwa kehidupan manusia semakin modern, dimana berbagai
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah menandai pola
hubungan antar individu dalam masyarakat, tetapi manusia pada dasarnya
setiap saat berkeinginan untuk bergaul dan berkumpul dengan sesamanya,
sebab manusia suka bermasyarakat. Tidak dapat disangkal lagi kalau dikatakan
bahwa kehidupan masyarakat modern yang dinamis, apa yang telah dicapai
manusia itu sesungguhnya harus dikaitkan dengan peranan dan kontribusi
hukum. Pengakuan yang seharusnya diberikan bahwa manusia menginginkan
55

Oetarid Sadino, ( trans), L.J. Van Apeldorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, cet. kedua puluh
lima, Jakarta, Pradnya Paramita, hal. 6.

suatu kehidupan yang lebih baik, tetapi manusia juga sulit melepaskan diri dari
suatu kemampuan merusak baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap
lingkungan hidup di sekitarnya. Sebagai contoh, di setiap pembungkus rokok
tertulis merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan
gangguan kehamilan dan janin, tetapi karena merokok tidak dilarang dalam
hukum positif, maka tetap saja manusia menikmatinya. Pembakaran hutan atau
lahan, disadari membahayakan lingkungan hidup, dan kesehatan manusia,
tetapi terkadang orang tidak menghiraukannya. Sehubungan dengan hal
tersebut, sangat diperlukan dalam diri manusia suatu kesadaran bahwa ia
memerlukan instrumen atau alat untuk melindungi eksistensinya di muka bumi,
di mana hanya diperoleh melalui hukum.
Pada dasarnya bangunan gedung memegang peranan yang sangat
penting sebagai tempat di mana manusia melakukan kegiatannya sehari-hari.
Pengaturan bangunan gedung secara khusus dituangkan dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UU Bangunan
Gedung). Pengetahuan mengenai UU Bangunan Gedung ini menjadi penting
mengingat hal-hal yang diatur dalam UU Bangunan Gedung tidak hanya
diperuntukan bagi pemilik bangunan gedung melainkan juga bagi pengguna
gedung serta masyarakat. Diatur dalam UU Bangunan Gedung, pemilik
bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
Secara umum UU Bangunan Gedung mengatur tentang beberapa hal
yaitu antara lain:
1. Fungsi Bangunan Gedung
Dalam UU Bangunan Gedung diatur bahwa setiap bangunan gedung
memiliki fungsi antara lain fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya,
serta fungsi khusus. Fungsi bangunan gedung ini yang nantinya akan

dicantumkan dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Dalam hal terdapat


perubahan fungsi bangunan gedung dari apa yang tertera dalam IMB,
perubahan tersebut wajib mendapatkan persetujuan dan penetapan kembali
oleh Pemerintah Daerah.
2. Persyaratan Bangunan Gedung
Persyaratan bangunan gedung dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu
persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung di mana diatur bahwa
setiap bangunan gedung harus memenuhi kedua persyaratan tersebut.
a. Yang masuk dalam ruang lingkup persyaratan administratif bangunan
gedung ini yaitu:
o

persyaratan status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari


pemegang hak atas tanah;

status kepemilikan bangunan gedung; dan

izin mendirikan bangunan gedung.

b. Sementara itu, persyaratan teknis bangunan gedung dapat dibagi lagi


menjadi 2 (dua) yaitu meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan
keandalan bangunan gedung.

Ruang lingkup persyaratan tata bangunan yaitu meliputi:


a) Persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, yaitu
berhubungan dengan persyaratan peruntukan lokasi bangunan
gedung yang tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan,
fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum,
serta ketinggian gedung;
b) Arsitektur bangunan gedung; dan
c) Persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yaitu persyaratan
pengendalian dampak lingkungan yang hanya berlaku bagi bangunan
gedung

yang

dapat

menimbulkan

dampak

penting

terhadap

lingkungan. Persyaratan terhadap dampak lingkungan ini sendiri


berpedoman pada undang-undang tentang pengelolaan lingkungan
hidup yang mengatur tentang kewajiban setiap usaha dan/atau
kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup untuk wajib memiliki analisis mengenai dampak
lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan.

Persyaratan keandalan bangunan gedung, persyaratan ini ditetapkan


berdasarkan fungsi masing-masing bangunan gedung yang secara umum
meliputi persyaratan:
a) keselamatan, yaitu berkenaan dengan persyaratan kemampuan
bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, kemampuan
bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya
kebakaran

dengan

melakukan

pengamanan

terhadap

bahaya

kebakaran melalui sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif serta


bahaya petir melalui sistem penangkal petir;
b) kesehatan, yaitu berkenaan dengan persyaratan sistem sirkulasi
udara, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan
gedung;
c) kenyamanan, yaitu berkenaan dengan kenyamanan ruang gerak dan
hubungan antar ruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta
tingkat getaran dan tingkat kebisingan; dan
d) kemudahan, yaitu berkenaan dengan kemudahan akses bangunan
gedung, termasuk tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah,
aman, dan nyaman bagi penyandang cacat dan lanjut usia, serta
penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti,

ruangan bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas


komunikasi dan informasi.
3. Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Penyelenggaraan bangunan gedung tidak hanya terdiri dari penggunaan
bangunan gedung, melainkan juga meliputi kegiatan:
a. Pembangunan, yang dilakukan oleh penyedia jasa konstruksi melalui
tahapan

perencanaan

pembangunannya

oleh

dan
pemilik

pelaksanaan
bangunan

dengan

gedung.

diawasi

Pembangunan

bangunan gedung dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan


gedung

disetujui

oleh

Pemerintah

Daerah

dalam

bentuk

IMB.

Pembangunan bangunan gedung ini sendiri dapat dilakukan baik di tanah


milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain.
b. Pemanfaatan, yang dilakukan oleh pemilik atau pengguna bangunan
gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi
persyaratan laik fungsi. Bangunan gedung dinyatakan memenuhi
persyaratan laik fungsi apabila telah memenuhi persyaratan teknis. Agar
persyaratan laik fungsi suatu bangunan gedung tetap terjaga, maka
pemilik gedung atau pengguna bangunan gedung wajib melakukan
pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala terhadap
bangunan gedung.
c. Pelestarian, yang dilakukan khusus untuk bangunan gedung yang
ditetapkan sebagai cagar budaya yang harus dilindungi dan dilestarikan.
d. Pembongkaran, alasan-alasan bangunan gedung dapat dibongkar
apabila bangunan gedung yang ada:
o

tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;

dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung


dan/atau lingkungannya;

tidak memiliki IMB.

Selain mengatur tentang persyaratan bangunan gedung, UU Bangunan


gedung juga mengatur mengenai hak dan kewajiban pemilik bangunan.

a. Pemilik bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara lain:


o

melaksanakan

pembangunan

bangunan

gedung

setelah

mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Daerah atas rencana teknis


bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan;
o

mendapatkan surat ketetapan serta insentif untuk bangunan gedung


dan/atau lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan dari Pemerintah
Daerah;

mengubah fungsi bangunan setelah mendapat izin tertulis dari


Pemerintah Daerah;

mendapatkan ganti rugi apabila bangunannya dibongkar oleh


Pemerintah Daerah atau pihak lain yang bukan diakibatkan oleh
kesalahannya.

b. Pemilik bangunan gedung mempunyai kewajiban yaitu antara lain:


o

melaksanakan

pembangunan

sesuai

dengan

rencana

teknis

bangunan gedung;
o

memiliki IMB;

meminta pengesahan dari Pemerintah Daerah atas perubahan


rencana teknis bangunan gedung pada tahap pelaksanaan bangunan.

c. Pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara lain:
o

mengetahui tata cara atau proses penyelenggaraan bangunan


gedung;

mendapatkan keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas

bangunan pada lokasi dan/atau ruang tempat bangunan akan dibangun;


mendapatkan keterangan tentang ketentuan persyaratan keandalan

dan kelayakan bangunan gedung;


mendapatkan

keterangan

tentang

bangunan

gedung

dan/atau

lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan.


d. Pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai kewajiban yaitu antara
lain:
o

memanfaatkan serta memelihara bangunan gedung sesuai dengan


fungsinya secara berkala;

melengkapi petunjuk pelaksanaan pemanfaatan dan pemeliharaan


bangunan gedung;

membongkar

bangunan

gedung

yang

telah

ditetapkan

dapat

mengganggu keselamatan dan ketertiban umum serta tidak memiliki


perizinan yang disyaratkan.

4. Peran Masyarakat
Sebagai bagian dari pengguna bangunan gedung, dalam UU Bangunan
Gedung juga mengatur mengenai peran masyarakat dalam penyelenggaraan
bangunan gedung yang mencakup:
1. pemantauan penyelenggaraan bangunan gedung;
2. memberi masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis untuk
bangunan gedung;
3. menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang
berwenang terhadap penyusunan rencana tata bangunan, rencana teknis

bangunan gedung dan kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan


dampak penting terhadap lingkungan;
4. melaksanakan gugatan perwakilan terhadap bangunan gedung yang
mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
Berkenaan dengan sanksi dalam hal adanya pelanggaran atas UU
Bangunan Gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dapat
dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Yang masuk dalam
ruang lingkup sanksi administratif yaitu dapat diberlakukan pencabutan IMB
sampai dengan pembongkaran bangunan gedung serta dapat dikenakan sanksi
denda maksimal 10% (sepuluh persen) dari nilai bangunan yang sedang
maupun telah dibangun. Sedangkan sanksi pidana yang diatur dalam UU
Bangunan Gedung ini dapat berupa sanksi kurungan penjara selama-lamanya 5
(lima) tahun penjara dan/atau pidana denda paling banyak 20% (dua puluh
persen) dari nilai bangunan gedung jika karena kelalaiannya mengakibatkan
hilangnya nyawa orang lain.

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan: Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menormatifkan bahwa : Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya
segala aspek kehidupan dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara,

penyelenggaraan

pemerintahan

dan

pembangunan

(termasuk

penyelenggaraan menara telekomunikasi) wajib dilakukan berdasarkan atas


hukum.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sering terjadi
bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum,
penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan
hukum yang tumpul, tidak mampu memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu
menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang
harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab
oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.
Ternyata hukum tidak steril dari susbsistem kemasyarakatan lainnya. Politik
kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga
muncul pertanyaan tentang susbsistem mana antara hukum dan politik yang dalam
kenyataannya lebih suprematif, bagaimana pengaruh politik terhadap hukum, jenis

sistem politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum

dan

berkarakter seperti apa, dan lain sebagainya.


Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas sudah memasuki wilayah politik
hukum. Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan
hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah, mencakup juga pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi
hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan
dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai
pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das
sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das
sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan
materi dan pasal-pasal maupun dalam implementasi dan penegakannya 56.
Dalam kaitannya dengan pembuatan suatu produk hukum (termasuk produk
hukum daerah) harus ada keselarasan antara das solleh dengan das sein, dalam
hal ini penting artinya untuk mengembangkan produk hukum yang bersifat humanis
partisipatoris. Hukum yang humanis partisipatoris adalah hukum yang memberikan
tempat

kepada

hukum-hukum

lokal

dan

partisipasi

masyarakat

dalam

pembangunan hukum. Fungsi hukum yang humanis partisipatoris merupakan


perwujudan dari hukum yang mendasarkan pada martabat manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan melalui pemberian prakarsa dan kesempatan kepada masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat.

Proses

ini

dimulai

dari

perencanaan

hukum

sampai

pada

pendayagunaan hukum.
Dalam menyusun suatu perundang-undangan, agar aturan hukum itu dapat
berlaku efektif dalam arti mempunyai dampak positif, menurut Soerjono Soekanto
haruslah memperhatikan empat hal, satu di antaranya yaitu hukum positif tertulis
56

hal. 1-2.

Moh. Mahfud MD., 1998, Politk Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,

yang ada harus mempunyai taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal yang selaras 57.
Artinya, dalam menyusun peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
ketentuan yang lebih tinggi dan jangan bertabrakan antar sesama peraturan yang
setingkat, apalagi yang kedudukannya lebih tinggi.
Akan tetapi harus disadari bahwa undang-undang adalah suatu produk
politik, yang kerenanya sangat diwarnai oleh berbagai kepentingan, khususnya
kepentingan dari aktor pembuatnya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Presiden (untuk undang-undang) dan antara DPRD dengan Kepala Daerah (untuk
peraturan daerah), dan juga kekuatan-kekuatan lainnya yang dimiliki oleh
negara/daerah atau di luar itu, seperti kekuatan-ketuatan sosial, politik, ekonomi,
dan lain-lain.
Dalam sistem demokrasi, fungsi legislasi atau pembentukan undang-undang
merupakan legitimasi DPR, sedangkan pembentukan peraturan daerah merupakan
legitimasi DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat. Melalui fungsi ini, DPR/DPRD
memperjuangkan aspirasi rakyat yang kemudian diwujudkan dalam perundangundangan. Fungsi legislasi adalah fungsi orisinil dalam doktrin negara hukum
modern. Secara konseptual, fungsi legislasi yang seharusnya dilakukan oleh
parlemen meliputi seluruh proses pembuatan undang-undang, mulai dari
perencanaan, perancangan, pembahasan/perdebatan, persetujuan sampai dengan
pengesahan. Namun dalam perkembangannya kemudian, lembaga legislatif,
khususnya yang berada dalam sistem presidensial, tidak lagi melakukannya sendiri,
tetapi bekerja sama dengan eksekutif. Bahkan pada beberapa proses, peran
eksekutif cenderung lebih dominan, misalnya dalam hal perencanaan.
Diskripsi di atas menjelaskan betapa urgensinya perhatian terhadap
pembentuk undang-undang (termasuk peraturan daerah), karena semangat hukum
(spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang.
57

Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan


Dengan Pidana Penjara, Semarang, C.V. Ananta, hal. 117-118.

Menurut Gardiner, pembentuk undang-undang tidak lagi semata-mata berkewajiban


to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk
memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri.
Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti
perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu
sendiri58. Dalam kaitan urgensi peran lembaga legislatif dalam membuat kebijakan
legislatif ini, Roeslan Saleh menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur
serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru merupakan
kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang 59.
Dengan terminologi berbeda, Bagir Manan 60 mengatakan, sebagai produk
khususnya

kaedah-hukum

tidak

lain

dari

kehendak

pembuat

atau

yang

melahirkannya. Pada saat hukum merupakan atau menjadi salah satu fungsi dari
kekuasaan, dan ini yang makin dominan, maka hukum tidak lain dari perwujudan
kehendak atau keinginan dari kekuatan-kekuatan yang menentukan atau dominan
pada saat atau waktu tertentu. Kekuatan-kekuatan seperti itulah yang biasanya
memiliki dan menjalankan kekuasaan. Kekuasaan di sini, baik dalam arti kesatuan
kekuatan sebagai kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain yang dapat
mempengaruhi pembentukan hukum, maupun kekuasaan perorangan, seperti
hakim yang melahirkan hukum melalui putusan atau yurisprudensi. Oleh karena itu,
dari itu corak, bentuk, dan peran hukum, akan ditentukan oleh kehendak atau
keinginan pencipta atau pembuatnya. Jadi tingkat keberdayaan hukum sebagai
produk akan ditentukan oleh sifat dan corak kekuatan-kekuatan dominan yang
bukan saja mempengaruhi menentukan tingkat keberdayaan hukum itu sendiri.
Dalam konteks inilah, sering terdengar ungkapan seperti political will atau yang

58

Natangsa Surbakti, 1998, Demokratisasi Hukum Era Reformasi, Jurnal Akademika


Universitas Muhammadiyah Surakarta, No. 02/Th.XVI/1998. ISSN 0216-8219, hal. 70.
59
Roeslan Saleh, 1979, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan,
Jakarta, Bina Aksara, hal. 12.
60
Bagir Manan, 2005, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Yogyakarta, FH UII
Press, hal. 68.

lebih ekstrim, hukum adalah semata kehendak yang berkuasa (command of the
sovereign dari penganut aliran positivisme hukum), bahkan ada yang menyebut,
hukum adalah alat kekuasaan belaka (sebagaimana dikatakan kaum Marxisme).
Atas dasar pemahaman seperti di atas itulah, karenanya oleh DPR dan
Pemerintah, kerap dijadikan justifikasi akan adanya substansi dari undang-undang
yang jauh dari harapan masyarakat (kurang dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik, sementara DPR terlahir untuk mewakili rakyat), serta proses pembahasan
yang tidak transparan dan berjalan terlalu lama 61. Akan tetapi bagaimanapun harus
diusahakan supaya kebijakan legislatif yang berupa undang-undang itu merupakan
produk politik yang berkualitas, dalam arti dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik, baik dalam proses pembuatannya maupun pada bentuk dan substansinya.
Untuk menghasilkan produk legislatif yang responsif sesuai dengan kehendak
rakyat, tentu saja dengan meningkatkan partisipasi rakyat dalam penyusunan
undang-undang, tidak cukup hanya diwakili oleh DPR maupun Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Dalam pembuatan undang-undang harus ada mekanisme yang
jelas, perlu adanya public hearing

agar masyarakat turut berpartisipasi di

dalamnya62. Perlu sosialisasi RUU yang sedang digodok sehingga masyarakat


mengetahui dan dapat memberikan masukan serta kritiknya, prinsip seperti ini juga
diterapkan dalam pembentukan produk hukum daerah terutama dalam pembuatan
peraturan daerah.
Pada kenyataannya walaupun dapat dilihat peningkatan aktivitas legislasi
dari DPR/DPRD, akan tetapi ada gejala empiris dalam perundang-undangan
(kebijakan legislatif) antara lain peraturan yang dihasilkan

tidak efektif, tidak

implementatif, peraturan yang tidak responsif, peraturan yang dihasilkan bukannya


memecahkan masalah sosial, tapi malah menimbulkan kesulitan baru dalam
61

Irma Hidayana (Ed.), 2005, Panduan Praktis Pemantauan Proses Legislasi. Jakarta, PSHK
(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia), hal. xvi.
62
Amir Syamsuddin dan Nurhasyim Ilyas, 2000, Perilaku Aparat Penegak Hukum. Jurnal
Keadilan Lembaga Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 1 No. 1 Desember 2000, hal. 27-28.

masyarakat, dan adanya aturan yang tidak relevan dengan kebutuhan atau
permasalahan yang ada di masyarakat.
Kelemahan-kelemahan sebagaimana di atas pasti karena ada yang salah
atau kurang tepat dalam pengambilan kebijakan legislatif itu. Karena apabila
kebijakan yang dipilih itu tepat, mestinya tidak akan melahirkan produk legislatif
yang demikian. Menurut N. Smith, ada dua cara timbulnya suatu perundangundangan, yakni lahir secara vertikal dan lahir secara horizontal. Suatu perundangundangan yang terlahir secara vertikal dimulai dengan suatu pemikiran serta diskusi
oleh beberapa ahli. Dalam tahap pertama ini ide suatu ketentuan timbul dan
dilakukan diskusi terhadap hal yang akan diatur. Hasil pemikiran dalam diskusi yang
merupakan rencana akademik kemudian dilakukan penjabaran dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Dalam rencana akademik itu sudah diletakkan
baik dasar falsafah maupun tujuan dilahirkannya suatu ketentuan. Walaupun dalam
pelaksanaannya kerap terbentuk kebijaksanaan yang bersifat kompromistis yang
menyimpang dari ide dasarnya. Sementara itu, cara yang kedua timbulnya suatu
ketentuan perundang-undangan secara horizontal. Artinya telah lahir norma baru
atau perubahan norma dalam masyarakat tersebut. Dari norma yang timbul itu,
dengan modifikasi tertentu, dilembagakan dalam suatu ketentuan perundangundangan. Dengan demikian apabila ketentuan perundang-undangan itu lahir,
biasanya tidak menimbulkan kesulitan dalam penerapannya, karena ketentuan
perundang-undangan yang yang dilahirkan sesuai dengan norma yang memang
telah terwujud dalam masyarakat itu. Akan tetapi juga perlu diperhatikan adanya
just living law dan unjust living law. Bahwa tidak semua hukum yang hidup di
masyarakat itu selamanya baik dan adil. Mungkin baik dan adil bagi masyarakat
tertentu yang minoritas, akan tetapi secara makro merupakan ketidakadilan 63.

63

Loebby Loqman, 1995, Peranan Hukum Tertulis Dalam Masyarakat yang Sedang
Membangun dalam buku Karya Ilmian Para Pakar Hukum, Bunga Rampai Pembangunan Hukum
Indonesia, Bandung, PT. Eresco, hal. 65-66.

Undang-undang produk DPR atau peraturan daerah produk DPRD selama


ini ditengarai banyak yang tidak melalui tahapan diskusi akademik (konsep
akademik)

yang

memadai,

akan

tetapi

hanya

dibahas

di

dan

oleh

departemen/instansi pengusul kemudian langsung diajukan ke DPR/ DPRD, atau


diusulkan oleh DPR/DPRD tanpa terlebih dahulu dibahas dalam diskusi akademik.
Dengan demikian banyak undang-undang atau peraturan daerah baik bentuk
maupun substansinya tidak mencerminkan produk legislatif yang responsif dan
berkualitas.

Hukum Responsif (responsive law), menurut Nonet dan Selznick,

adalah hukum yang berfungsi sebagai bentuk respon terhadap kebutuhan dan
aspirasi sosial (law as a facilitator of response to social needs and aspirations)64.
Kenyataan di atas tidak sejalan dengan spirit reformasi hukum nasional,
yang

harus

berpihak

kepada

kepentingan

rakyat

dan

keadilan,

meliputi

pembangunan hukum yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut 65: (1) Usahausaha yang terdiri atas kegiatan-kegiatan memperbaiki, mengurangi, menambah
hukum yang berlaku atau menggantikannya dengan yang baru sesuai dengan
kebutuhan, situasi dan kondisi di Indonesia, (2) Memenuhi persyaratan tertentu
yang menunjang pengembangan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat
berdasarkan UUD 1945 sebagai pengamalan Pancasila, (3) Pengembangan
landasan filosofis, etis, dan yuridis tertentu, (4) Pengembangan bahasa yang tepat
dalam peraturan perundang-undangan, agar dapat dipahami dan dihayati oleh
banyak orang sebagai subyek dan obyek hukum, sehingga mendukung
penerapannya, (5) Pengadaan dan partisipasi alat penegak hukum yang
memahami

dan

menghayati

makna

hukum

sebagai

sarana

dan

dasar

pembangunan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan, (6) Pemahaman dan


penghayatan reformasi hukum sebagai suatu bentuk perwujudan pelayanan
64
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto (Ed.), 1990, Hukum dan Perkembangan Sosial,
Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku III, Jakarta, Sinar Harapan, hal. 166-169.
65
Arief Gosita, 2000, Reformasi Hukum Yang Berpihak Kepada Rakyat dan Keadilan
(Beberapa Catatan). Jurnal Keadilan, Lembaga Kajian Hukum dan keadilan, Vol 1 No. 2 Desember
2000, hal. 51.

kesejahteraan manusia. Hukum harus dapat mendukung pelayanan terhadap


sesama manusia yang mempunyai permasalahan dalam berbagai bidang
penghidupan dan kehidupan.
Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik,
maka politik

akan sangat menentukan hukum. Konfigurasi politik suatu negara

akan melahirkan karakter produk hukum tertentu di negara tersebut. Di dalam


negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter
responsif/populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka
produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatif/elitis. Konfigurasi politik dan
produk hukum seperti tersebut di atas tidaklah bersifat mutlak, karena ada juga
terdapat dalam suatu negara yang konfigurasi politiknya bersifat demokratis
melahirkan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif/elitis atau
sebaliknya ada juga negara yang konfigurasi politiknya otoriter menghasilkan
produk hukum yang berkarakter responsif/populistik.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan terletak pada hierarkinya.
Hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang
didasarkan pada asas: peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. 66
Selain asas tersebut, dalam doktrin ilmu hukum masih terdapat beberapa asas
yang berkenaan dengan kepastian peraturan perundang-undangan, yaitu: 67
a. Lex posterior derogat legi priori : Hukum yang berlaku kemudian membatalkan
hukum yang terdahulu.
b. Lex specialis derogat legi generali : Hukum khusus membatalkan hukum umum;
c. Lex superior derogat legi inferiori : Hukum yang derajatnya lebih tinggi
membatalkan hukum derajatnya lebih rendah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 telah menormatifkan Jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan yang terdiri atas 68:
66

Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan
67
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, halaman.385-386.
68
Pasal 7 ayat (1)

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat

norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan
dalam Peraturan Perundang-undangan.69 Lembaga Negara atau Pejabat yang
berwenang

membentuk

peraturan

perundang-undangan

sesuai

jenis

dan

hierarkinya di Indonesia berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 adalah :


a. Undang-Undang: Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden 70, dengan materi
muatan71:
1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5. pemenuhan kebutuhan
hukum dalam masyarakat.
b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang: Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa.72 Materi muatannya sama dengan materi muatan Undang-Undang 73.

c. Peraturan Pemerintah: Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh


Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, berisi
materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 74
d. Peraturan Presiden: Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangundangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.75 Berisi materi
yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan76.
69

Pasal 1 angka 2
Pasal 1 angka 3
71
Pasal 10 ayat (1)
72
Pasal 1 angka 4
73
Pasal 11
74
Pasal 1 angka 5 Jo Pasal 12 dan Penjelasannya, bahwa : Yang dimaksud dengan
"sebagaimana mestinya" adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah
Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak
menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan .
75
Pasal 1 angka 6 Jo Pasal 11
76
Pasal 13.
70

e. Peraturan Daerah Provinsi: Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama
Gubernur. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.77 Perda dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 78
f. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan
persetujuan bersama Bupati/Walikota. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi
berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.79 Perda dilarang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.80
g. Jenis
Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat.81
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik, yang meliputi: 82
a.
b.
c.
d.
e.
f.

77

Kejelasan tujuan: bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas apa yang hendak dicapai.
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat: dibuat oleh
lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang
berwenang. Jika tidak, dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan : benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan
Perundang-undangannya.
Dapat dilaksanakan: memperhitungkan efektifitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
yuridis maupun sosiologis.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan : benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Kejelasan rumusan : memenuhi persyaratan teknis penyusunan,
sistematika, pilihan kata atau terminologi, bahasa hukumnya jelas, dan

Pasal 1 angka 7 Jo Pasal 14


Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah.
79
Pasal 1 angka 8 Jo Pasal 14
80
Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004.
81
Pasal 8 ayat (1).
82
Pasal 5 beserta penjelasannya
78

mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi


dalam pelaksanaannya.
g.
Keterbukaan : transparan atau terbuka bagi masyarakat luas mulai
dari proses perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan, agar
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk memberikan masukan yang diperlukan.
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
asas83:
a.
b.
c.
d.
e.

f.

g.
h.
i.
j.

Asas pengayoman : setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
Asas kemanusiaan : mencerminkan perlindungan dan penghormatan
hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
Asas kebangsaan : mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia
yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara
kesatuan Republik Indonesia.
Asas kekeluargaan : mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Asas kenusantaraan : senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundangundangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila.
Asas bhinneka tunggal ika : memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya
yang
menyangkut
masalah-masalah
sensitif
dalam
kehidupan.
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Asas keadilan : harus mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan : tidak
boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Asas ketertiban dan kepastian hukum : dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan : mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu
dan masyarakat dengan kepentingan bangsa, dan negara.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (6)

Amandemen UUD 1945 : Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan


daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Kemudian dijabarkan lebih lanjut pengertiannya ke dalam Pasal 1
butir 2 s.d. butir 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, antara lain sebagai berikut :
83

Pasal 6 beserta penjelasannya

2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh


pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah
lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
5. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
6. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
7. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
8. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal
di wilayah tertentu.
9. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
10. Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah
provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.
11. Peraturan kepala daerah adalah peraturan Gubernur dan/atau peraturan
Bupati/Walikota.
Selanjutnya, Pasal 136 sampai dengan Pasal 147 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 mengatribusikan kewenangan pembentukan, penetapan
dan tata cara umum pembentukan Peraturan Daerah.

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

Pasal 136
Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan
bersama DPRD.
Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/
kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih
lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan
dalam lembaran daerah.

Pasal 137
Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Pasal 138
(1) Materi muatan Perda mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat
asas lain sesuai dengan substansi Perda yang bersangkutan.
Pasal 139
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis, dalam
rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
(2) Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.
Pasal 140
dapat berasal dari

(1) Rancangan Perda


DPRD, Gubernur, atau
Bupati/Walikota.
(2) Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota
menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama maka yang
dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan
rancangan Perda yang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota
digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
(3) Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur
atau Bupati/Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 141
(1) Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi,
atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib
DPRD.
Pasal 142

(1) Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari DPRD dilaksanakan


oleh sekretariat DPRD.
(2) Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur, atau
Bupati/Walikota dilaksanakan oleh sekretariat daerah.
Pasal 143
(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan
penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai
dengan peraturan perundangan.
(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam),
bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan
perundangan lainnya.
Pasal 144
(1) Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur
atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur
atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagal Perda.
(2) Penyampaian rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal persetujuan bersama.
(3) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama.
(4) Dalam hal rancangan Perda tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota
dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) rancangan Perda
tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya
dalam lembaran daerah.
(5) Dalam hal sahnya rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
rumusan kalimat pengesahannya berbunyi, "Perda ini dinyatakan sah,"
dengan mencantumkan tanggal sahnya.
(6) Kalimat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus
dibubuhkan pada halaman terakhir Perda sebelum pengundangan naskah
Perda ke dalam lembaran daerah.
(1)
(2)
(3)
(4)

(5)

Pasal 145
Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan.
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan,
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari
sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan
Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda
dimaksud.
Apabila provinsi/kabupaten/kota - tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah
dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan


sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan
Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud
dinyatakan berlaku.
Pasal 146
(1) Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundangundangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau
keputusan kepala daerah.
(2) Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilarang bertentangan dengan kepentingan umum,
Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 147
(1) Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
diundangkan dalam Berita Daerah.
(2) Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah dalam Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah.
(3) Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan
dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah
diundangkan dalam Berita Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
merupakan salah satu wujud reformasi otonomi daerah dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah untuk
memberdayakan daerah dan

meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam

rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat


seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi
ketenteraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu
kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu
kehidupannya.
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Bangunan gedung penting sebagai tempat
manusia melakukan kegiatannya untuk mencapai berbagai sasaran yang
menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Bangunan gedung
harus diselenggarakan secara tertib, diwujudkan sesuai dengan fungsinya, serta

dipenuhinya persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung. Agar


bangunan gedung dapat terselenggara secara tertib dan terwujud sesuai
dengan fungsinya, diperlukan peran masyarakat dan upaya pembinaan. Atas
dasar ini kemudian dibentuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung.
Terkait dengan persyaratan keselamatan bangunan gedung, dalam Pasal
17 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 dinyatakan:
(1) Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk
mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam
mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.
(2) Persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban
muatannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan
struktur bangunan gedung yang stabil dan kukuh dalam mendukung beban
muatan.
(3) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan
terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi pasif dan/atau proteksi
aktif.
(4) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah bahaya petir
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan bangunan
gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya petir melalui
sistem penangkal petir.
Berdasarkan ketentuan di atas berarti mencegah dan menanggulangi
bahaya kebakaran merupakan salah satu persyaratan keselamatan bangunan
gedung. Hal ini juga dinyatakan dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor
36 Tahun 2005, yaitu: Persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung
beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.
Kemudian Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005
menyatakan:
(1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret
sederhana, harus dilindungi terhadap bahaya kebakaran dengan sistem
proteksi pasif dan proteksi aktif.
(2) Penerapan sistem proteksi pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada fungsi/klasifikasi risiko kebakaran, geometri ruang, bahan

bangunan terpasang, dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam


bangunan gedung.
(3) Penerapan sistem proteksi aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada fungsi, klasifikasi, luas, ketinggian, volume bangunan,
dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan gedung.
(4) Setiap bangunan gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai,
dan/atau dengan jumlah penghuni tertentu harus memiliki unit manajemen
pengamanan kebakaran.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan sistem proteksi pasif dan proteksi aktif serta penerapan
manajemen pengamanan kebakaran mengikuti pedoman dan standar teknis
yang berlaku.
Pertumbuhan suatu kawasan dapat terjadi demikian pesat jika didukung
potensi sumber daya dari kawasan tersebut. Perkembangan kawasan-kawasan
strategis

sebagai

sentra-sentra

ekonomi

senantiasa

diiringi

dengan

pertumbuhan penduduk yang tinggi. Berdasarkan jumlah penduduknya terdapat


5 (lima) klasifikasi kawasan, yaitu: 1) kawasan megapolitan; 2) kawasan
metropolitan; 3) kawasan perkotaan besar; 4) kawasan perkotaan sedang; dan
5) kawasan perkotaan kecil. Kawasan metropolitan memiliki jumlah penduduk
lebih dari 1.000.000 jiwa. Kota besar memiliki jumlah penduduk antara 500.0001.000.000 jiwa, dan perkotaan sedang memilik jumlah penduduk antara
100.000-500.000 jiwa.
Di bawah jumlah tersebut diklasifikasikan sebagai kota kecil. Adapun
yang dimaksud dengan kawasan megapolitan adalah kawasan yang memiliki 2
(dua) atau lebih kawasaan metropolitan yang mempunyai hubungan fungsional
dan membentuk sebuah sIstem (Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008
tentang RTRWN). Sampai saat ini Indonesia memiliki 65 kawasan yang
digolongkan sebagai kota metropolitan dan sejumlah kota besar lainnya yang
umumnya berlokasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Perkembangan daerah (kota
dan kabupaten) dewasa ini dinilai semakin pesat. Hal tersebut umumnya
disebabkan adanya pertumbuhan sarana prasaran kota yang semakin memadai,
menawarkan berbagai kemudahan serta kenyamanan.

Ditambah lagi dengan perkembangan pusat-pusat rekreasi, pendidikan,


sistem komunikasi yang semakin maju, serta ketersediaan lapangan kerja yang
lebih menjanjikan. Kelengkapan sarana prasana kota yang sedemikian baik
kurang diimbangi dengan pembangunan di daerah sehingga mengakibatkan
perpindahan penduduk dari daerah untuk bertempat tinggal di kota-kota besar.
Seringkali kebutuhan akan tempat tinggal yang tidak terpenuhi menjadi masalah
utama pengaturan permukiman di kota-kota besar. Pembangunan kawasan
permukiman baru dan gedung-gedung apartemen subsidi pemerintah menjadi
sebagian solusi upaya pemerintah dan swasta untuk menyediakan hunian yang
layak. Namun bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di perkotaan
umumnya masih menempati kawasan permukiman yang relatif padat. Apabila
dikaitkan dengan bahaya kebakaran di wilayah permukiman padat, perlu
diperhatikan beberapa kondisi sebagai berikut :

a. Bertambahnya kawasan permukiman padat huni dan padat bangunan


(termasuk bangunan apartemen hunian);
b. Bertambah luasnya kawasan kumuh di berbagai wilayah di daerah
perkotaan.

Ketersediaan

mengakibatkan

lahan

masyarakat

permukiman
berpenghasilan

yang

tidak

rendah

mencukupi
umumnya

memanfaatkan lahan-lahan yang ada walaupun mengesampingkan aspek


perijinan dan aspek keselamatan;
c. Bertambahnya kawasan sentra-sentra ekonomi prospektif di berbagai
wilayah kota untuk tujuan perdagangan maupun industri yang berdampak
pada terbukanya lapangan kerja baru sehingga menarik masyarakat pekerja
untuk pindah ke kawasan tersebut;
d. Di beberapa kota megapolitan seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan
sebagainya terjadi kecenderungan meningkatnya pembangunan bangunan

pendukung sistem transportasi massal seperti terowongan, terminal,


subway, fly over, ruang parkir bawah tanah, jalan tol, perluasan bandara dan
pelabuhan. Namun disayangkan pembangunan tersebut kadang berdampak
buruk seperti timbulnya permukiman-permukiman liar (contohnya: di bawah
kolong-kolong jembatan, di sepanjang tepi rel kereta api).
e. Karakteristik lingkungan permukiman padat/kumuh yang seringkali tidak
menyediakan lahan (jalur mobil dengan lebar dan ketinggian yang memadai,
fasilitas belokan, dan sebagainya) dan perkerasan yang cukup sehingga
mobil pemadam kebakaran kesulitan untuk masuk dan menjangkau sumber
api.
f. Jarak antar bangunan yang relatif berdekatan serta penggunaan bahan
bangunan dari bahan-bahan yang sangat mudah terbakar menjadikan
lingkungan padat/ kumuh memiliki potensi bahaya yang sangat tinggi.
g. Sumber air yang sulit diperoleh, tidak tersedia hidran ataupun instalasi
penunjang lainnya.
Memperhatikan perkembangan kota-kota di Indonesia ke depan serta
implikasi terhadap resiko bahaya kebakaran dan bencana umum lainnya
sebagaimana

diuraikan

di

atas,

maka

diperlukan

peningkatan

sistem

penanggulangan kebakaran dan bencana lainnya yang mampu mencegah,


mengendalikan dan meminimasi dampak yang terjadi melalui peningkatan
sistem layanan, peningkatan prasarana dan sarana, SDM, pembangunan
infrastruktur pendukung dan tidak kalah pentingnya sistem komunikasi dan
emergency information. Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan,
Departemen Pekerjaan Umum dalam hal ini telah menerbitkan beberapa
peraturan terkait pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran, yaitu :
a. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;

b. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang No. 28 Tahun 2002;
c. Peraturan Menteri PU No. 25/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis
Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran di Perkotaan; dan
d. Peraturan Menteri PU No. 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis
Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan (revisi
dari Kepmen PU No. 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan
terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan).
Sesuai

dengan

amanat

Permen

PU

No.

25/PRT/M/2008

dan

memperhatikan berbagai aspek terkait dalam penanggulangan kebakaran serta


profil/kondisi kota-kota dan kabupaten di Indonesia dan arah pengembangannya
kedepan, maka diperlukan suatu Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran
(RISPK) yang dapat digunakan sebagai acuan baku dalam penyusunan
Rencana Kerja/Program Dinas Pemadam Kebakaran kota dan kabupaten untuk
sekurang-kurangnya sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.
Di samping itu berbagai tuntutan yang berkembang akibat derap
perkembangan kota dan kabupaten, implikasinya dikaitkan dengan resiko
kebakaran serta munculnya berbagai paradigma baru dalam sistem proteksi
kebakaran dan kondisi kinerja Institusi Pemadam Kebakaran (IPK) saat ini
semakin meningkatkan urgensi disusunnya Rencana Induk (Fire Safety Master
Plan) Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) di kota-kota/
kabupaten di Indonesia. Pengaturan manajemen penanggulangan kebakaran di
perkotaan dimaksudkan untuk mewujudkan bangunan gedung, lingkungan, dan
kota yang aman terhadap bahaya kebakaran melalui penerapan manajemen
penanggulangan bahaya kebakaran yang efektif dan efisien. Manajemen
tersebut meliputi penanggulangan di wilayah kota, lingkungan dan bangunan
(termasuk mengenai Satuan Relawan Kebakaran/SATLAKAR).

Namun dalam penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran


(RISPK) yang sesuai dan tepat kiranya memerlukan berbagai konsep dan
pendekatan metodologis yang dapat diterapkan dengan memperhatikan
karakteristik dan kekhususan daerah yang bersangkutan serta mempelajari
pengalaman di berbagai negara maju. Beberapa konsep dan pendekatan yang
dapat diterapkan sebagai upaya penanggulangan kebakaran khususnya di
kawasan permukiman padat adalah sebagai berikut: (1) Konsep Wilayah
Manajemen Kebakaran (WMK) /

Fire Management Area

(FMA); dan

(2) Pendekatan Analisis Resiko Kebakaran.


Konsep Fire Management Area (FMA) atau sering disebut sebagai
konsep Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK). WMK merupakan salah satu
dasar pokok dalam perencanaan sistem penanggulangan kebakaran di
perkotaan yang menentukan efektivitas pemadaman suatu areal atau wilayah,
disamping penentuan penyediaan air untuk pemadaman. Untuk menentukan
jumlah kebutuhan air untuk pemadaman di setiap WMK dibutuhkan analisis
resiko kebakaran, dimana di dalam analisis tersebut diperhitungkan volume total
bangunan, angka resiko bahaya kebakaran, serta angka klasifikasi konstruksi
bangunan. Konstruksi suatu bangunan harus mampu menciptakan kestabilan
struktur selama kebakaran untuk memberikan waktu bagi penghuni untuk
menyelamatkan diri dan memberikan kesempatan petugas untuk beroperasi.
Bangunan di kawasan padat/kumuh seringkali menggunakan bahan-bahan
bangunan yang sangat sederhana dan rentan terhadap api. Direkomendasikan
agar bahan bangunan adalah : papan plester dengan ketebalan 13 mm, atau
bisa juga menggunakan material lain dengan ketahanan api yang relatif sama;
lembaran semen serat selulosa dengan ketebalan 12 mm; dan plester berserat
yang diperkuat kawat anyam besi galvanis yang dipasang tidak lebih dari 6 mm
dari permukaan.

Secara fisik, WMK dibentuk dengan mengelompokkan hunian yang


memiliki kesamaan kebutuhan proteksi kebakaran dalam batas wilayah yang
ditentukan secara alamiah maupun buatan. Konsep WMK dirancang untuk
mendukung tercapainya sistem penanggulangan kebakaran yang efektif yang
ditentukan melalui waktu tanggap (respond time) dan bobot serangan (weight of
attack). Waktu tanggap terhadap pemberitahuan kebakaran adalah total waktu
dari saat menerima berita pengiriman pasukan dan sarana pemadaman
kebakaran

ke

lokasi

kebakaran

sampai

dengan

kondisi

siap

untuk

melaksanakan pemadaman kebakaran. Waktu tanggap terdiri atas waktu


pengiriman pasukan dan sarana pemadam kebakaran (dispatch time), waktu
perjalanan menuju lokasi kebakaran, dan waktu menggelar sarana pemadam
kebakaran sampai siap untuk melaksanakan pemadaman (lihat Peraturan
Menteri PU No. 25/PRT/M/2008 sebagai referensi). Untuk kondisi di Indonesia,
waktu tanggap tidak lebih dari 15 (lima belas) menit. Faktor-faktor yang
mempengaruhi

waktu

tanggap

adalah:

Sistem

pemberitahuan

kejadian

kebakaran untuk menjamin respon yang tepat; Tipe layanan yang dilakukan oleh
instansi penanggulangan kebakaran; Ukuran atau luasan wilayah yang dilayani
termasuk potensi bahaya di lokasi WMK dan kapasitas kemampuan yang ada;
dan Perjalanan petugas & kendaraan pemadam menuju ke lokasi kebakaran.
Untuk menjamin kualitas bobot serangan dan respond time yang tepat
termasuk unsur jarak atau aksesibilitas maka ditentukan pos-pos pemadam
kebakaran dalam setiap WMK. Secara kuantitas disebutkan bahwa daerah
layanan dalam setiap WMK tidak melebihi radius 7,5 km, di luar daerah tersebut
dikategorikan sebagai daerah yang tidak terlindung (unprotected area). Daerah
yang sudah terbangun harus mendapatkan perlindungan dari mobil pemadam
kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5 km dan berjarak 3,5
km dari sektor.

Berdasarkan unsur-unsur di atas, maka selanjutnya dibuat peta


jangkauan layanan penanggulangan kebakaran secara rinci yang menunjukkan
lokasi dari setiap pos pemadam di wilayah tersebut. Peta jangkauan layanan
penanggulangan kebakaran secara geografis bisa kurang tepat dengan
mengingat adanya jalan atau infrastruktur lainnya, sungai, bukit-bukit dan batasbatas fisik lainnya. Penerapan WMK memiliki peran strategis dalam penentuan
persyaratan sumber air untuk pemadaman kebakaran di wilayah kota yang
sebagaimana telah disebutkan diatas, merupakan unsur utama dalam
perencanaan Master Plan.
Kebutuhan air untuk setiap WMK ditentukan dengan analisis resiko
kebakaran dengan memperhitungkan potensi bahaya kebakaranyang terdapat
dalam WMK, yang dinyatakan dalam volume bangunan yang terkena
kebakaran, kelas bahaya hunian, kelas konstruksi bangunan dan faktor bahaya
kebakaran. Bagan Alir untuk menyusun Rencana Induk Sistem Penanggulangan
Kebakaran Kota/kabupaten (Permen PU No. 25/PRT/M/2008). Dari kebutuhan
air total yang dibutuhkan pada setiap WMK, serta dengan memperhitungkan laju
pengeluaran air (delivery rate) dan laju penerapan air efektif (application rate)
untuk pemadaman kebakaran, maka dapat ditentukan kebutuhan pos atau
stasiun kebakaran yang memadai termasuk sarana hidran, mobil tangki dan titiktitik penghisapan air yang diperlukan untuk menjamin efektivitas pemadaman
kebakaran. Dari volume ini dapat direncanakan jumlah dan kualifikasi personil,
sarana, peralatan dan kelengkapan penunjang lainnya. Peralatan sederhana
seperti Alat Pemadam Api Ringan (APAR) sebaiknya tersedia pada tiap pos
kebakaran lingkungan (min 10 buah @ 10 kg). Untuk lingkungan atau gugus
bangunan yang berada dalam kelompok beberapa kepemilikan tertentu harus
dianggap sebagai satu WMK tersendiri dan berlaku ketentuan-ketentuan bagi
WMK.

Resiko dalam konteks kebakaran diartikan sebagai kombinasi antara


kecenderungan

terjadinya

kebakaran

dan

konsekwensi

potensi

yang

ditimbulkannya. Kecenderungan terjadi kebakaran dan bencana lainnya


dipengaruhi

oleh

faktor-faktor:

Pertumbuhan

kebakaran

(fire

history),

Penggunaan lahan (land use), Kepadatan penduduk, Kerapatan bangunan,


Level proteksi terpasang, Level kesiapan masyarakat, sedang konsekwensi
potensial ditunjukkan antara lain dengan korban luka atau meninggal, kerugian
materi dan terjadinya stagnasi bisnis atau usaha. Dalam penaksiran resiko
bahaya kebakaran perlu dipertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Kecenderungan terjadinya kebakaran


Konsekwensi potensial (yang paling berbahaya)
Pertimbangan bobot serangan
Memerinci penaksiran resiko
Perlakuan terhadap resiko
Kondisi institusi pemadam kebakaran
Peran masyarakat
Manfaat yang ingin diperoleh (outcome)
Oleh karena itu, maka hal penting yang perlu disusun adalah pembuatan

peta zonasi bahaya (hazard mapping) dalam rangka memandu IPK untuk
mencapai tingkat atau bobot serangan yang paling efektif. Penaksiran resiko
dapat dirinci dengan melihat atau memperhitungkan peta resiko bahaya tersebut
di atas yang bisa didasarkan pada:
a. Kategori resiko yang lazim digunakan oleh IPK
b. Pembagian zoning yang ditetapkan oleh IPK berdasarkan RTRW
c. Sistem lain seperti adanya benda-benda berbahaya, fasilitas industri yang
mengandung bahan atau benda berbahaya.
Dapat disimpulkan bahwa efektivitas pemadaman tidak semata-mata
tergantung pada response time dan kualitas serangan, tetapi harus sudah
diperluas kepada hal-hal yang menyangkut kondisi apakah upaya pencegahan
kebakaran telah dilakukan, sejauh mana analisis resiko bahaya kebakaran telah
diterapkan dan setiap pengerahan kendaraan operasional, SDM dan peralatan

lain ke lokasi kebakaran atau bencana lainnya didasarkan pada peta resiko
bahaya yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Berangkat dari kedudukan, tugas, dan fungsinya, Direktorat Jenderal
Cipta Karya Kementerian PU memberikan perhatian yang besar dalam
mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan kualitas kehidupan serta penghidupan masyarakat, khususnya Bagan
Resiko bahaya sebagai kombinasi dari kecenderungan terjadi dan konsekwensi
potensial peningkatan kualitas lingkungan permukiman. Adanya Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dilaksanakan sejak tahun
1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian
masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara
berkelanjutan.
Pelaksanaannya dilakukan secara holistik dan terpadu pada tingkat
kawasan/lingkungan permukiman melalui pengembangan kegiatan usaha
ekonomi

masyarakat,

pemberdayaan

sumber

daya

manusia,

dengan

memperhatikan tatanan sosial kemasyarakatan serta penataan prasarana


lingkungan dan kualitas hunian. Melalui program ini diharapkan adanya
pembangunan dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan (SEL). Salah satu
strateginya

adalah

dengan

pembentukan

BKM

(Badan

Keswadayaan

Masyarakat) sebagai badan pelayanan masyarakat untuk mampu secara


mandiri memenuhi kebutuhan dan mengelola pembangunan llingkungan di
wilayahnya (Community Management), melalui upaya pelatihan-pelatihan.
Program ini dapat dikaitkan dengan konsep dan pendekatan upaya pencegahan
kebakaran di kawasan permukiman padat. Seperti contoh pada metoda Wilayah
Manajemen Kebakaran (WMK), di mana diharapkan masyarakat dapat menjadi
barisan terdepan yang dapat memberikan pertolongan pertama pada saat terjadi
kebakaran. Karena pada banyak kasus kebakaran di permukiman padat,

petugas PMK kesulitan untuk menjangkau pusat kebakaran. Dengan adanya


barisan relawan kebakaran Balakar (contohnya seperti di Prov. DKI, Bandung,
dan Surabaya yang telah menerapkan sistem ini) diharapkan masyarakat dapat
membantu meringankan dan meminimalisir kerusakan akibat kebakaran
sebelum petugas PMK tiba. Ada 2(dua) sistem pemberdayaan masyarakat :
a. Top Down: pemerintah berperan memberikan pelatihan kepada masyarakat,
ditandai dengan pemberian sertifikat kelulusan. Masyarakat dibekali ilmu
cara-cara pemadaman api, pengetahuan mengenai peralatan pemadam
sederhana.
b. Bottom Up: masyarakat memiliki inisiatif sendiri untuk membentuk regu
pemadam kebakaran, biasanya dikarenakan daerah tersebut sangat rawan
terhadap bahaya kebakaran (contohnya: Kota Samarinda, Pontianak, dan
Palangkaraya yang sebagian besar wilayahnya merupakan lahan gambut
sehingga rawan terjadi kebakaran).
Dari analisis di atas serta dengan memperhatikan potensi bahaya dan
resource yang diperlukan, maka selanjutnya dapat disusun program-program
peningkatan kinerja lembaga (baik institusi/instansi pemadam kebakaran
maupun lembaga swadaya masyarakat) berikut kegiatan pelaksanaannya yang
disusun dalam tahap-tahap yang disepakati.
Dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) dapat
dicantumkan

menyangkut

kondisi-kondisi

yang

perlu

dipenuhi

atau

dikembangkan dalam rangka penerapan RISPK seperti perlunya dilakukan


sosialisasi, usul pembentukan Dewan Keselamatan Kebakaran di tingkat Kota/
Kabupaten serta perlunya dilakukan evaluasi secara berkala terhadap substansi
RIK termasuk penyempurnaannya menggunakan teknologi baru (GPS, simulasi
komputer), dan sebagainya. Pengembangan Sistem Informasi Kebakaran
(Siskar) yang dapat dibentuk di lingkungan permukiman dan dapat dioperasikan
oleh warga pada saat terjadi kebakaran juga dapat menjadi salah satu alternatif
usaha penanggulangan. Di tiap Kelurahan sistem ini dapat dipasang dan
terhubung langsung dengan pos pemadam kebakaran terdekat. Diharapkan
dengan adanya sistem ini tingkat kepedulian masyarakat meningkat, upaya

penanggulangan pun dapat terlaksana dengan lebih baik sehingga diharapkan


dampak kerusakan apabila terjadi kebakaran pun dapat ditekan seringan
mungkin. Berikut adalah beberapa saran sederhana yang dapat dilakukan untuk
mencegah kebakaran di permukiman padat :
a. WPL : waspadai suber api, proteksi peralatan-peralatan yang berpotensi
menimbulkan kebakaran, dan lari pada saat terjadi kebakaran;
b. Kompartemenisasi, yaitu usaha untuk mencegah penjalaran kebakaran
dengan cara membatasi api dengan dinding, lantai, kolom, balok yang
memiliki ketahanan api baik.
c. Pengaturan jarak-jarak antar bangunan;
d. Sistem proteksi pasif pada bangunan, contohnya pembuatan gunungan pada
dinding penutup atap, dan teritis dengan jarak-jarak tertentu agar penjalaran
api terhambat;
e. Pemeriksaan berkala terhadap sistem utilitas pada bangunan, contohnya
memeriksa umur kabel-kabel listrik. Banyak kasus perumahan padat yang
telah mendapat suplai listrik (dengan 220 V) namun tidak menggunakan
kabel berkualitas baik, sehingga rawan korsleting.

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Dalam kehidupan sehari-hari sering dilihat dan ditemukan tidak berfungsinya


hukum dalam suatu masyarakat, terutama dalam menghadapi perubahanperubahan

sosial

dalam

masyarakat

yang

sedang

membangun.

Mochtar

Kusumaatmaja84 pernah menulis: Kita tidak dapat menghindarkan kesan bahwa


ditengah-tengah kesibukan pembangunan ini terdapat suatu kelesuan (malaise)
atau kekurang percayaan akan hukum dan kegunaannya dalam masyarakat. Tetapi
sebaliknya, sering pula didengar orang mengumandangkan pentingnya hukum dan
dengan nada yang mengharukan hampir setiap hari orang menjerit tentang
keadilan.
Undang-Undang merupakan sumber formil utama dari hukum, untuk itu
faktor-faktor yang berkaitan dengan berfungsinya hukum perlu untuk mendapat
perhatian yang serius, yaitu diusahakan untuk adanya keserasian antara peraturan
(hukum itu sendiri), petugas (penegak), fasilitas dan masyarakat. Namun juga perlu
untuk diingatkan bahwa selain keempat faktor tersebut di atas, masih ada lagi faktor
lain yang perlu diperhatikan, yaitu pengaruh politik (kekuasaan, ekonomi, dan
sosial)85.
Masyarakat yang sedang mengalami transisi kearah

Reformasi adalah

suatu pergaulan hidup yang sedang mengalami perubahan-perubahan dalam


sistem nilai-nilainya, termasuk di dalamnya sikap-sikap dan pola-pola perilaku. Di
dalam suatu masa transisi, maka sistem nilai-nilai baru yang telah dipilih berlaku
bersamaan dengan berlakunya dengan sistem nilai-nilai lama yang hendak
ditinggalkan. Dalam masyarakat Indonesia sistem nilai baru di sini adalah sistem

84

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan


Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 1
85
Soerjono Soekanto, 1982, Ibid, hal. 52

nilai yang sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia di masa Reformasi


ini.
Hukum berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, sebaliknya masyarakat
juga ikut menentukan bagaimana perkembangan hukum. Selain itu dalam
kehidupan masyarakat dengan berbagai tuntutan mengakibatkan terjadi perubahan
yang diikuti dengan berbagai perkembangan, yang salah satunya adalah di bidang
teknologi. Perkembangan teknologi di satu sisi memang membawa dampak positif,
namun dampak negatifnya juga terkadang timbul, sehingga perkembangan
teknologi juga harus diikuti dengan perkembangan aturan hukum, bahkan sering
terjadi perkembangan teknologi berpengaruh terhadap perkembangan hukum.
Dalam konteks ini, umumnya fenomena berpengaruhnya perkembangan
teknologi terhadapat hukum

berhubungan langsung dengan pemanfaatan

teknologi. Permasalahan yang mendasar di sini adalah bagaimana sebenarnya


kedudukan hukum yang berlaku (hukum positif) terhadap semakin tidak dapat
dikendalikannya perkembangan teknologi. Hal ini didasarkan pada kekhawatiran
bahwa hukum yang berlaku tidak adequate dengan perkembangan teknologi86.
Kalau melihat kepada perkembangan teknologi, nampak perubahan
teknologi berkembang dengan pesat dibanding dengan hukum sendiri yang selalu
mengekor. Melalui perkembangan teknologi ini telah menimbulkan perubahan
masyarakat, baik dalam konteks cara berperilaku individu maupun masyarakat itu
sendiri. Fenomena ini hendaknya menjadikan suatu tantangan bagi kalangan
hukum berkaitan dengan model pendekatan hukum yang selama ini dilakukan.
Di kalangan ahli hukum sendiri ada dua pendapat berkaitan dengan cara
pendekatan hukum terhadap perubahan masyarakat. Pertama, pendapat yang
menyatakan bahwa hukum seyogyanya mengikuti, tidak memimpin dan bahwa hal
itu harus dilakukan perlahan-lahan sebagai respons terhadap perasaan hukum
86

Chairul Huda, Perkembangan Teknologi dan Tuntutan Reformasi Hukum, Jurnal Magister
Hukum UII, Volume 2 Nomor 1 Februari 2000, hal. 100-101.

masyarakat yang sudah terumuskan secara jelas. Pandangan ini diwakili oleh tokoh
Aliran Sejarah yakni Von Savigny yang berpendapat bahwa hukum itu ditemukan
dan tidak diciptakan. Hanya

jika

kebiasaan

masyarakat

untuk sebagian

diartikulasikan oleh para ahli hukum, sudah berkembang secara penuh, maka
legislatif akan mampu dan harus mengambil tindakan. Kedua, pendapat yang
menyatakan bahwa law should be a determined agent in the creation of new norms.
Pandangan kedua ini ditokohi Jeremy Bentham yang berkeyakinan bahwa hukum
dapat dikonstruksi secara rasional dan dengan demikian akan mampu berperan
dalam mereformasi masyarakat 87.
Sesungguhnya dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia, apa yang
dinamakan hukum selalu mengalami transformasi, beralih-alih formatnya dari satu
ke format yang lain. Terjadinya tranformasi itu mungkin saja disebabkan oleh
proses-proses adaptasi yang penuh dengan fakta trial and error atau mungkin pula
karena upaya-upaya sengaja yang bermula dari proses-proses rekonseptualisasi
kaum pemikiran sampai ke proses-proses yang berupa restrukturisasi oleh para
politisi88.
Dinamika adaptif hukum sebagai sutu sistem ditengah lingkungan yang
berubah pernah ditulis dengan bagus sekali oleh Harold Berman dalam bukunya
yang berjudul Law and Revolution (1983). Tesis Berman antara lain menyatakan
bahwa hukum itu sebagaimana dicontohkan dalam pengalaman hukum menurut
tradisi negara-negara Barat selalu berubah, mengalami pertumbuhan organik, baik
pada tatarannya moral falsafati maupun pada tatarannya yang lebih positivistik dan
struktural. Revolusi-revolusi sosial, politik dan kultur telah mereformasi hukum
sesuai dengan kebutuhan zamannya 89.

87

Bernard Arief Sidharta, Op. Cit, hal. 6-7.


Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Kebebasan Warga, dan Kekuasaan Negara, Jurnal
Hukum dan Keadilan, Fakultas Hukum UII Volume 1 Nomor 1 1998, hal. 1.
89
Ibid
88

Kembali mencermati dua pendapat di atas, maka dalam kaitan hukum dan
perkembangan teknologi, pendapat kedua sepertinya akan mampu memberikan
solusi terhadap kekosongan-kekosongan hukum yang selama ini dianggap kurang
mampu mengantisipasi perkembangan teknologi. Pembentukan hukum yang
dituding kerap terlambat mengantisipasi perkembangan teknologi sebenarnya
berpangkal pada tugas dan kewajiban para ahli hukum (pembentuk undangundang) untuk memikirkan arah mana akan dibawa masyarakat yang dipimpinnya
itu, sehingga diperlukan penilaian yang seksama oleh para ahli hukum tentang
dampak sosial teknologi baru itu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak
teknologi baru tidak bernilai netral, sehingga tidak cukup jika hanya diikuti dengan
merancang hukum yang semata-mata instrumen sifatnya. Sebaliknya jika yang
dibicarakan hukum melulu bersifat normatif, orang harus mempertimbangkan
bahwa hukum pun tidak bernilai netral, sehingga tak terhindarkan terjadinya diskusi
yang bersifat ideologis90.
Kalaupun telah ada hukum positif yang diberlakukan, tetapi keberadaan
hukum positif ini terkadang lebih banyak dilakukan dengan cara penafsiran
(interpretation)91. Dengan pendekatan interpretation sendiri meskipun baik di satu
sisi,

di mana setiap perubahan dalam masyarakat yang disebabkan oleh

perkembangan teknologi dapat dilakukan langkah-langkah antisipatif. Namun, cara


pendekatan ini tentunya tidak dapat terus dipertahankan, sebab tidak menutup
kemungkinan satu kasus yang timbul dapat menghadirkan dua bentuk penafsiran
atau bahkan lebih. Hal ini sudah dapat dipastikan akan membawa dampak kepada
perbedaan-perbedaan, yang dapat diartikan sebagai bentuk ketidakpastian hukum.
Mochtar

Kusumaatmadja92

berpendapat

hendaknya

hukum

dapat

menjalankan fungsi pengarah prilaku masyarakat. Dengan demikian, konsepsi


90
91

Chairul Huda, Op. Cit, hal. 102


Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta,

hal. 24
92

Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hal. 11

hukum yang harus dibangun adalah hukum tidak saja merupakan keseluruhan
asas-asas

dan

kaidah-kaidah

yang

mengatur

kehidupan

manusia

dalam

masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan prosesproses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam
kenyataan.
Dalam negara-negara yang berorientasi kepada demokrasi dan tertib hukum,
maka hukum merupakan aspek yang penting di dalam administrasi pembangunan.
Dengan peranan pemerintah yang lebih besar dalam kegiatan sosial masyarakat,
menyebabkan banyak tumbuh badan-badan administrasi untuk pelaksanaan fungsifungsi pemerintah, yang bertambah dan meluasnya kebijakan-kebijakan dalam
rangka

pengaturan

pengurusan

dan

pemilikan,

yang

mengakibatkan

berkembangnya hukum administrasi negara untuk pembangunan. Sesuai dengan


orientasi demokrasi serta tertib hukum tersebut, maka perkembangan hukum
administrasi di sini menghendaki supaya pelaksanaan administrasi tetap berjalan di
atas kerangka atau dasar hukum (legal context). Suatu peraturan administratif
tertentu hendaknya berdasarkan pada suatu dasar hukum yang lebih tinggi.
Dengan demikian pelaksanaan administrasi juga akan memiliki ketentuan dan
kesahan hukum. Di lain pihak, lebih penting daripada hanya berpegang secara
ketat terhadap dasar hukum yang lebih sesuai bagi pelaksanaan administrasi
pembangunan.
Administrasi Pembangunan berkepentingan bagi perubahan-perubahan dan
pembaharuan-pembaharuan. Dengan demikian dasar hukum yang sering sudah
kadaluarsa, perlu dirombak dan disempurnakan untuk memungkinkan suatu
kegiatan usaha pembangunan. Bahkan salah satu ciri administrasi pembangunan
adalah perkembangan dari orientasi yang terlalu legalistis kearah yang lebih
bersifat pemecahan masalah (problem solving). Keseimbangan harus selalu dicari
antara pelaksanaan atas dasar hukum yang jelas, dengan keperluan untuk

merubah dasar hukum dan produk-produk hukum itu sendiri bagi keperluan
pembaharuan dan pembangunan.
Pengaturan

hukum,

mengandung

makna

aktivitas

membentuk

dan

melaksanakan hukum. Terutama jika dilihat dari sudut tata hirarkhi peraturan
perundang-undangan. Bahwa, untuk setiap tingkatan peraturan hukum harus
dibentuk oleh lingkungan jabatan dan/atau lembaga pembentuk hukum yang
berwenang untuk itu, dengan mempertimbangkan urgensinya serta mengingati
dasar-dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku secara vertikal maupun
horizontal.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan
daerah harus memiliki landasan filosofis, sosiologis dan landasan yuridis. Landasan
filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap
materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Penempatan Pancasila merupakan
sumber segala sumber hukum Negara ini juga dinyatakan dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 201193.
93

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 2.

Landasan filosofis dari peraturan daerah ini didasarkan pada tujuan


pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
merata meteriil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Selain itu juga didasarkan pada tujuan Negara yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia yang salah satunya melindungi dari bencana kebakaran.
kebakaran merupakan suatu ancaman bahaya yang dapat membawa bencana
besar dan akibat yang luas terhadap keselamatan jiwa, harta benda, dan
lingkungan yang secara langsung dapat menghambat kelancaran pembangunan.
Landasan

sosiologis

merupakan

pertimbangan

atau

alasan

yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan


masyarakat

dalam

berbagai

aspek.

Landasan

sosiologis

sesungguhnya

menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan


masyarakat dan negara.
Berdasarkan fakta di lapangan, di wilayah Kota Pontianak sering terjadi
kebakaran yang menimbulkan kerugian besar, sehingga diperlukan upaya
pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran. Hal ini dimaksudkan agar
aktivitas masyarakat baik dalam membangun gedung maupun perumahan/
pemukiman memperhatikan aspek keselamatan terutama dari bahaya kebakaran.
Landasan

yuridis

merupakan

pertimbangan

atau

alasan

yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan


hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum
itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis
atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang

sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai,
atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Peraturan daerah ini di satu sisi dilakukan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus
daerah, dan di sisi lain merupakan penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Adapun berbagai peraturan dimaksud dan yang
dijadikan sebagai konsiderans mengingat, antara lain:
1.

Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945;
2. Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonnantie Staatsblad 1926 Nomor 226
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Staatsblad 1940
Nomor 450);
3. Undang-Undang Nomor 27 tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang
Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di
Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1965 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2756);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2918);
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
6. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75,Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3317);
7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
9. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
10. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);

12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
13. Undang - undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);
14. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3258), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
58 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 90, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5145);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4532);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4593);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi , dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
19. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang
Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan;
20. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman
Persyaratan Teknis Bangunan Gedung;
21. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung;
22. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Tim Ahli Bangunan Gedung;
23. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung;
24. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Teknis Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran;
25. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 tentang
Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan;
26. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan;
27. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pemberian Izin Mendirikan Bangunan.
28. Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 3 Tahun 2008 tentang Bangunan
Gedung di Kota Pontianak (Lembaran Daerah Kota Pontianak Tahun 2008
Nomor 3 Seri E );

29. Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 8 Tahun 2008 tentang Bidang
Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Daerah Kota Pontianak
(Lembaran Daerah Kota Pontianak Tahun 2008 Nomor 7 Seri E ); dan
30. Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 13 Tahun 2009 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Dinas, Badan, Kecamatan dan Kelurahan di Kota Pontianak
(Lembaran Daerah Kota Pontianak Tahun 2009 Nomor 1 Seri D).

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN

PERATURAN

DAERAH

KOTA PONTIANAK

TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

BENCANA KEBAKARAN

Pembentukan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan


Bahaya Kebakaran di wilayah Kota Pontianak ini, diharapkan dapat meningkatkan
peran dari Satuan Kerja Perangkat Daerah khususnya yang membidangi kebakaran
agar lebih dioptimalkan tidak hanya dalam melakukan upaya pencegahan dan
penanggulangan bencana kebakaran tetapi juga dalam rangka penanggulangan
bencana lain di luar bahaya kebakaran.
Peraturan Daerah ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan tanggungjawab
pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung/pekarangan;
pengelola hutan kota dan/atau pemegang hak atas tanah yang ditetapkan sebagai
hutan kota; dan pemegang hak atas tanah (lahan) khususnya lahan gambut dalam
upaya pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran.
Hal lain yang diatur dalam Peraturan Daerah ini adalah meningkatkan peran
serta masyarakat untuk ikut berpartisipasi bersama-sama petugas pada Satuan
Kerja Perangkat Daerah Kota Pontianak dalam penanggulangan bahaya kebakaran
yang terjadi di wilayahnya karena tanpa peran serta masyarakat tersebut sulit bagi
petugas dapat secara optimal melaksanakan tugasnya untuk memadamkan api,
mengingat sumber daya manusianya yang terbatas.
Diharapkan dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Bahaya Kebakaran nantinya dapat memperlihatkan peran yang
lebih besar dari petugas Pemadam Kebakaran dalam melaksanakan tugasnya
dalam kegiatan pencegahan, penanggulangan bahaya kebakaran dan penanganan
bencana lain, pengendalian keselamatan dan lain sebagainya.
Adapun materi muatan dalam peraturan daerah Kota Pontianak tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran, meliputi:
a. Bab I : Ketentuan Umum

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Pontianak.
2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintah Daerah.
3. Walikota adalah Walikota Pontianak.
4. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah
Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah Kota Pontianak
yang membidangi Kebakaran dan bertanggung jawab dalam bidang
pencegahan dan penanggulangan kebakaran serta bencana lain.
5. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut Kepala
SKPD adalah pimpinan perangkat daerah yang membidangi Kebakaran dan
bertanggung jawab dalam bidang pencegahan dan penanggulangan
kebakaran serta bencana lain.
6. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha,kegiatan sosial,budaya,maupun kegiatan khusus.
7. Bangunan Perumahan adalah bangunan gedung yang peruntukannya untuk
tempat tinggal orang dalam lingkungan permukiman baik yang tertata maupun
tidak tertata.
8. Kendaraan Bermotor Umum adalah moda angkutan penumpang yang
diperuntukan untuk melayani masyarakat umum.
9. Kendaraan Bermotor Khusus adalah moda angkutan yang khusus
diperuntukkan untuk mengangkut Bahan Berbahaya.
10. Bahan Berbahaya adalah setiap zat/elemen, ikatan atau campurannya bersifat
mudah menyala/terbakar, korosif dan lain-lain karena penanganan,
penyimpanan, pengolahan atau pengemasannya dapat menimbulkan bahaya
terhadap manusia, peralatan dan lingkungan.
11. Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon
yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara
maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh Pejabat yang
berwenang.
12. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan
fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi
penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang
terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia.
13. Pencegahan kebakaran adalah upaya yang dilakukan dalam rangka
mencegah terjadinya kebakaran.
14. Penanggulangan kebakaran adalah upaya yang dilakukan dalam rangka
memadamkan kebakaran.
15. Potensi Bahaya Kebakaran adalah tingkat kondisi/keadaan bahaya kebakaran
yang terdapat pada obyek tertentu tempat manusia beraktivitas.
16. Bahaya Kebakaran Ringan adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai nilai dan kemudahan terbakar rendah, apabila kebakaran
melepaskan panas rendah, sehingga penjalaran api lambat.
17. Bahaya Kebakaran Sedang I adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, penimbunan bahan yang

18.

19.
20.
21.

22.
23.
24.
25.

26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.

mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 2,5 (dua setengah) meter dan
apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga penjalaran api
sedang.
Bahaya Kebakaran Sedang II adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, penimbunan bahan yang
mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 4 (empat) meter dan apabila
terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga penjalaran api sedang.
Bahaya Kebakaran Sedang III adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar agak tinggi, menimbulkan panas
agak tinggi serta penjalaran api agak cepat apabila terjadi kebakaran.
Bahaya Kebakaran Berat I adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi, menimbulkan panas tinggi
serta penjalaran api cepat apabila terjadi kebakaran.
Bahaya Kebakaran Berat II adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sangat tinggi, menimbulkan
panas sangat tinggi serta penjalaran api sangat cepat apabila terjadi
kebakaran.
Sarana Penyelamatan Jiwa adalah sarana yang terdapat pada bangunan
gedung yang digunakan untuk menyelamatkan jiwa dari kebakaran dan
bencana lain.
Akses Pemadam Kebakaran adalah akses/jalan atau sarana lain yang
terdapat pada bangunan gedung yang khusus disediakan untuk masuk
petugas dan unit pemadam ke dalam bangunan gedung.
Proteksi Kebakaran adalah peralatan sistem perlindungan/pengamanan
bangunan gedung dari kebakaran yang dipasang pada bangunan gedung.
Manajemen Keselamatan Kebakaran Gedung yang selanjutnya disingkat
MKKG adalah bagian dari manajemen gedung untuk mewujudkan
keselamatan penghuni bangunan gedung dari kebakaran dengan
mengupayakan kesiapan instalasi proteksi kebakaran agar kinerjanya selalu
baik dan siap pakai.
Alat Pemadam Api Ringan adalah alat untuk memadamkan kebakaran yang
mencakup Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dan Alat Pemadam Api Berat
(APAB) yang menggunakan roda.
Sistem Alarm Kebakaran adalah suatu alat untuk memberitahukan kebakaran
tingkat awal yang mencakup alarm kebakaran manual dan/atau alarm
kebakaran otomatis.
Sistem Pipa Tegak dan Slang Kebakaran adalah sistem pemadam kebakaran
yang berada dalam bangunan gedung, dengan kopling pengeluaran 2,5 (dua
setengah) inci, 1,5 (satu setengah) inci dan kombinasi.
Hidran Halaman adalah hidran yang berada di luar bangunan gedung, dengan
kopling pengeluaran ukuran 2,5 (dua setengah )inci.
Sistem Springkler Otomatis adalah suatu sistem pemancar air yang bekerja
secara otomatis bilamana temperatur ruangan mencapai suhu tertentu.
Sistem Pengendalian Asap adalah suatu sistem alami atau mekanis yang
berfungsi untuk mengeluarkan asap dari bangunan gedung atau bagian
bangunan gedung sampai batas aman pada saat kebakaran terjadi.
Bencana Lain adalah kejadian yang dapat merugikan jiwa dan/atau harta
benda, selain kebakaran, antara lain gedung runtuh, banjir, ketinggian,
kecelakaan transportasi dan Bahan Berbahaya.
Uji Mutu Bahan/Komponen adalah uji ketahanan api, kinerja bahan/komponen
proteksi pasif dan aktif dan peralatan penanggulangan kebakaran.
Badan Pengelola adalah badan yang bertugas untuk mengelola rumah susun.
Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.

36. Pengguna Bangunan Gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau


bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik
bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung
atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
b. Bab II : Obyek dan Potensi Bahaya Kebakaran
BAB II
OBYEK DAN POTENSI BAHAYA KEBAKARAN
Bagian kesatu
Obyek
Pasal 2
Obyek pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran meliputi:
a. bangunan gedung;
b. bangunan perumahan;
c. kendaraan bermotor;
d. bahan berbahaya;
e. hutan kota; dan
f. lahan.
Bagian Kedua
Potensi
Paragraf 1
Bangunan Gedung
Pasal 3
(1) Potensi bahaya kebakaran pada bangunan gedung didasarkan pada:
a. ketinggian;
b. fungsi;
c. luas bangunan gedung; dan
d. isi bangunan gedung.
(2) Klasifikasi potensi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. bahaya kebakaran ringan;
b. bahaya kebakaran sedang; dan
c. bahaya kebakaran berat.
(3) Bahaya kebakaran sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
terdiri dari:
a. sedang I;
b. sedang II; dan
c. sedang III.
(4) Bahaya kebakaran berat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, terdiri
dari:
a. berat I; dan
b. berat II.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria klasifikasi potensi bahaya kebakaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.
Paragraf 2

Bangunan Perumahan
Pasal 4
Bangunan perumahan di lingkungan permukiman yang tertata mempunyai potensi
bahaya kebakaran ringan dan bangunan perumahan di lingkungan permukiman
yang tidak tertata mempunyai potensi bahaya kebakaran sedang III.
Paragraf 3
Kendaraan Bermotor
(1)

(2)
(3)

Pasal 5
Kendaraan bermotor yang diatur dalam pencegahan dan penanggulangan
bahaya kebakaran terdiri dari:
a. kendaraan umum; dan
b. kendaraan khusus.
Kendaraan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mempunyai
potensi bahaya kebakaran sedang I.
Kendaraan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mempunyai
potensi bahaya kebakaran berat II.
Paragraf 4
Bahan Berbahaya
Pasal 6

(1)

(2)
(3)

Bahan Berbahaya terdiri dari:


a. bahan berbahaya mudah meledak (explosives);
b. bahan gas bertekanan (compressed gasses);
c. bahan cair mudah menyala (flammable liquids);
d. bahan padat mudah menyala (flammable solids) dan/atau mudah terbakar
jika basah (dangerous when wet);
e. bahan oksidator, peroksida organik (oxidizing substances);
f. bahan beracun (poison);
g. bahan radio aktif (radio actives);
h. bahan perusak (corrosives); dan
i. bahan berbahaya lain (miscellaneous).
Bahan Berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai potensi
bahaya kebakaran berat II.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pencegahan dan
penanganan insiden Bahan Berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a sampai dengan huruf i diatur dengan Peraturan Walikota.
Paragraf 5
Hutan Kota

Pasal 7
Hutan Kota yang lokasinya tidak berdekatan dengan permukiman mempunyai
potensi bahaya kebakaran ringan, sedangkan Hutan Kota yang lokasinya
berdekatan dengan permukiman dan/atau bangunan gedung mempunyai potensi
bahaya kebakaran sedang II.

Paragraf 6
Lahan
(1)

(2)

Pasal 8
Lahan yang lokasinya tidak berdekatan dengan permukiman mempunyai
potensi bahaya kebakaran ringan, sedangkan lahan yang lokasinya
berdekatan dengan permukiman dan/atau bangunan gedung mempunyai
potensi bahaya kebakaran sedang II.
Lahan Gambut yang lokasinya tidak berdekatan dengan permukiman
mempunyai potensi bahaya kebakaran sedang II, sedangkan lahan yang
lokasinya berdekatan dengan permukiman dan/atau bangunan gedung
mempunyai potensi bahaya kebakaran sedang III.

c. Bab III : Pencegahan Kebakaran


BAB III
PENCEGAHAN KEBAKARAN
Bagian Kesatu
Bangunan Gedung
Paragraf 1
Kewajiban Pemilik, Pengguna dan/atau Badan Pengelola
(1)

(2)

Pasal 9
Setiap pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung dan
lingkungan gedung yang mempunyai potensi bahaya kebakaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib berperan aktif dalam mencegah
kebakaran.
Untuk mencegah kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilik,
pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung wajib menyediakan:
a. sarana penyelamatan jiwa;
b. akses pemadam kebakaran;
c. proteksi kebakaran;
d. manajemen keselamatan kebakaran gedung; dan
e. manajemen keselamatan kebakaran lingkungan.

Paragraf 2
Sarana Penyelamatan Jiwa
(1)
(2)

Pasal 10
Setiap bangunan gedung wajib dilengkapi dengan sarana penyelamatan jiwa.
Sarana penyelamatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. sarana jalan ke luar;
b. pencahayaan darurat tanda jalan ke luar;
c. petunjuk arah jalan ke luar;
d. komunikasi darurat;
e. pengendali asap;

(3)

(4)
(5)

(6)
(7)

(8)

f. tempat berhimpun sementara; dan


g. tempat evakuasi.
Sarana jalan ke luar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri dari:
a. tangga kebakaran;
b. ramp;
c. koridor;
d. pintu;
e. jalan/pintu penghubung;
f. balkon;
g. saf pemadam kebakaran; dan
h. jalur lintas menuju jalan ke luar.
Sarana penyelamatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus selalu
dalam kondisi baik dan siap pakai.
Sarana penyelamatan jiwa yang disediakan pada setiap bangunan gedung,
jumlah, ukuran, jarak tempuh dan konstruksi sarana jalan ke luar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan pada luas lantai,
fungsi bangunan, ketinggian bangunan gedung, jumlah penghuni dan
ketersediaan sistem springkler otomatis.
Selain sarana jalan ke luar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), eskalator
dapat difungsikan sebagai sarana jalan ke luar.
Tempat berhimpun sementara sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf f harus
memenuhi persyaratan dan dapat disediakan pada suatu lantai pada
bangunan yang karena ketinggiannya menuntut lebih dari satu tempat
berhimpun sementara.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis sarana penyelamatan jiwa
dan eskalator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (6) diatur
dengan Peraturan Walikota.

Pasal 11
Pada bangunan gedung berderet bertingkat paling tinggi 4 (empat) lantai harus
diberi jalan ke luar yang menghubungkan antar unit bangunan gedung yang satu
dengan unit bangunan gedung yang lain.
Paragraf 3
Akses Pemadam Kebakaran
(1)

(2)

(3)

(4)

Pasal 12
Akses pemadam kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
huruf b meliputi:
a. akses mencapai bangunan gedung;
b. akses masuk ke dalam bangunan gedung; dan
c. area operasional.
Akses mencapai bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri dari:
a. akses ke lokasi bangunan gedung; dan
b. jalan masuk dalam lingkungan bangunan gedung.
Akses masuk ke dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b terdiri dari:
a. pintu masuk ke dalam bangunan gedung melalui lantai dasar;
b. pintu masuk melalui bukaan dinding luar;dan
c. pintu masuk ke ruang bawah tanah.
Area operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari:

(5)

a. lebar dan sudut belokan dapat dilalui mobil pemadam kebakaran; dan
b. perkerasan mampu menahan beban mobil pemadam kebakaran.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis akses pemadam
kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Walikota.
Paragraf 4
Proteksi Kebakaran

(1)

(2)

(3)

(1)
(2)
(3)
(4)

(1)

(2)

Pasal 13
Proteksi kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c
terdiri dari:
a. proteksi pasif; dan
b. proteksi aktif.
Proteksi pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. bahan bangunan gedung;
b. konstruksi bangunan gedung;
c. kompartemenisasi dan pemisahan; dan
d. penutup pada bukaan.
Proteksi aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. alat pemadam api ringan;
b. sistem deteksi dan alarm kebakaran;
c. sistem pipa tegak dan slang kebakaran serta hidran halaman;
d. sistem springkler otomatis;
e. sistem pengendali asap;
f. lif kebakaran;
g. pencahayaan darurat;
h. penunjuk arah darurat;
i. sistem pasokan daya listrik darurat;
j. pusat pengendali kebakaran; dan
k. instalasi pemadam khusus.
Pasal 14
Bahan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf a yang digunakan pada konstruksi bangunan gedung harus
memperhitungkan sifat bahan terhadap api.
Sifat bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sifat bakar, sifat
penjalaran dan sifat penyalaan bahan.
Untuk meningkatkan mutu sifat bahan terhadap api digunakan bahan
penghambat api.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sifat bahan bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemakaian bahan bangunan
gedung diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 15
Konstruksi bangunan gedung dikaitkan dengan ketahanan api sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b terdiri dari:
a. tipe A;
b. tipe B; dan
c. tipe C.
Tingkat ketahanan api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
ketahanan terhadap keruntuhan struktur, penembusan api dan asap serta

(3)

(1)
(2)

(1)
(2)

(1)

(2)
(3)

mampu menahan peningkatan panas ke permukaan sebelah yang dinyatakan


dalam satuan waktu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tingkat ketahanan api
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 16
Kompartemenisasi dan pemisah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(2) huruf c harus dari konstruksi tahan api dan disesuaikan dengan fungsi
ruangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kompartemenisasi dan pemisah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 17
Penutup pada bukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d
baik horisontal maupun vertikal harus dari bahan yang tidak mudah terbakar.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penutup pada bukaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 18
Alat pemadam api ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3)
huruf a harus selalu dalam keadaan siap pakai dan dilengkapi dengan
petunjuk penggunaan, yang memuat urutan singkat dan jelas tentang cara
penggunaan, ditempatkan pada tempat yang mudah dilihat dan dijangkau.
Penentuan jenis, daya padam dan penempatan alat pemadam api ringan yang
disediakan untuk pemadaman, harus disesuaikan dengan klasifikasi bahaya
kebakaran.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penentuan jenis, daya padam,
jumlah dan penempatan alat pemadam api sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal 19
Setiap orang dan/atau badan hukum dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan dan/atau menggunakan alat pemadam api yang berisi bahan
yang membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa dan lingkungan hidup.

(1)
(2)
(3)

Pasal 20
Sistem deteksi dan alarm kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (3) huruf b harus disesuaikan dengan klasifikasi potensi bahaya
kebakaran.
Sistem deteksi dan alarm kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus selalu dalam kondisi baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tata cara pemasangan
sistem deteksi dan alarm kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 21

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

(6)

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

(6)

(1)
(2)
(3)

(1)

Sistem pipa tegak dan slang kebakaran serta hidran halaman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf c terdiri dari pipa tegak, slang
kebakaran, hidran halaman, penyediaan air dan pompa kebakaran.
Sistem pipa tegak dan slang kebakaran serta hidran halaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada klasifikasi potensi bahaya
kebakaran.
Sistem pipa tegak dan slang kebakaran serta hidran halaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus selalu dalam kondisi baik dan siap pakai.
Ruangan pompa harus ditempatkan di lantai dasar atau bismen satu
bangunan gedung dengan memperhatikan akses dan ventilasi serta
pemeliharaan.
Untuk bangunan gedung yang karena ketinggiannya menuntut penempatan
pompa kebakaran tambahan pada lantai yang lebih tinggi ruangan pompa
dapat ditempatkan pada lantai yang sesuai dengan memperhatikan akses dan
ventilasi serta pemeliharaan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
sistem pipa tegak dan slang kebakaran, hidran halaman serta ruangan pompa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Walikota.
Pasal 22
Sistem springkler otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(3)huruf d terdiri dari instalasi pemipaan,penyediaan air dan pompa
kebakaran.
Sistem springkler otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus
didasarkan pada klasifikasi potensi bahaya kebakaran terberat.
Ruangan pompa harus ditempatkan di lantai dasar atau bismen satu
bangunan gedung dengan memperhatikan akses dan ventilasi serta
pemeliharaan.
Sistem springkler otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus selalu
dalam kondisi baik dan siap pakai.
Untuk bangunan gedung yang karena ketinggiannya menuntut penempatan
pompa kebakaran tambahan pada lantai yang lebih tinggi ruangan pompa
dapat ditempatkan pada lantai yang sesuai dengan memperhatikan akses dan
ventilasi serta pemeliharaan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
system springkler otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dan ayat
(2)diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 23
Sistem pengendali asap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf
e harus didasarkan pada klasifikasi potensi bahaya kebakaran.
Sistem pengendali asap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selalu
dalam kondisi baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
sistem pengendali asap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 24
Lif kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf f wajib
dipasang pada bangunan gedung menengah, tinggi dan bismen dengan
kedalaman lebih dari 10 (sepuluh) meter di bawah permukaan tanah.

(2)
(3)
(4)

(1)
(2)
(3)

(1)
(2)
(3)
(4)

(1)
(2)

(3)
(4)
(5)

(1)

Lif penumpang dan Lif barang dapat difungsikan sebagai Lif kebakaran.
Lif kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selalu dalam
kondisi baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
Lif kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 25
Pencahayaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf g
harus dipasang pada sarana jalan ke luar, tangga kebakaran dan ruang
khusus.
Pencahayaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selalu
dalam kondisi baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
pencahayaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Walikota.
Pasal 26
Penunjuk arah darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf
h harus dipasang pada sarana jalan ke luar dan tangga kebakaran.
Penunjuk arah darurat harus mengarah pada pintu tangga kebakaran dan
pintu keluar.
Penunjuk arah darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selalu
dalam kondisi baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara pemasangan
penunjuk arah darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 27
Sistem pasokan daya listrik darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (3) huruf i berasal dari sumber daya utama dan darurat.
Sistem pasokan daya listrik darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. mampu mengoperasikan sistem pencahayaan darurat;
b. mampu memasok daya untuk sistem penunjuk arah darurat;
c. mampu mengoperasikan sarana proteksi aktif; dan
d. sumber daya listrik darurat mampu bekerja secara otomatis tanpa terputus.
Sistem pasokan daya listrik darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus selalu dalam kondisi baik dan siap pakai.
Kabel listrik untuk sistem pasokan daya listrik darurat ke sarana proteksi aktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus menggunakan kabel
tahan api, tahan air dan benturan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tatacara
pemasangan sistem pasokan daya listrik darurat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 28
Bangunan gedung dengan potensi bahaya kebakaran sedang dan berat harus
dilengkapi dengan pusat pengendali kebakaran.

(2)
(3)
(4)
(5)

(1)
(2)
(3)
(4)

Beberapa bangunan gedung yang karena luas dan jumlah massa


bangunannya menuntut dilengkapi pusat pengendali kebakaran utama harus
ditempatkan pada bangunan dengan potensi bahaya kebakaran terberat.
Pusat pengendali kebakaran dan pusat pengendali kebakaran utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mempunyai
ketahanan api dan ditempatkan pada lantai dasar.
Pusat pengendali kebakaran dan pusat pengendali kebakaran utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus selalu dalam kondisi
baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pusat pengendali
kebakaran dan pusat pengendali kebakaran utama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 29
Setiap ruangan atau bagian bangunan gedung yang berisi barang dan
peralatan khusus harus dilindungi dengan instalasi pemadam khusus.
Instalasi pemadam khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. sistem pemadaman menyeluruh {total flooding); dan
b. sistem pemadaman setempat (local application).
Instalasi pemadam khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selalu
dalam kondisi baik dan siap pakai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan tata cara pemasangan
instalasi pemadam khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota.
Paragraf 5
Manajemen Keselamatan Kebakaran Gedung

(1)

(2)
(3)

Pasal 30
Pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang mengelola bangunan
gedung yang mempunyai potensi bahaya kebakaran ringan dan sedang I
dengan jumlah penghuni paling sedikit 500 (lima ratus) orang wajib
membentuk Manajemen Keselamatan Kebakaran Gedung.
Manajemen keselamatan kebakaran gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipimpin oleh kepala dan wakil kepala manajemen keselamatan
kebakaran gedung.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, tugas dan fungsi manajemen
keselamatan kebakaran gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Walikota.
Paragraf 6
Manajemen Keselamatan Kebakaran Lingkungan

(1)

(2)

Pasal 31
Badan pengelola yang mengelola beberapa bangunan dalam satu lingkungan
yang mempunyai potensi bahaya kebakaran sedang II, sedang III dan berat
dengan jumlah penghuni paling sedikit 50 (lima puluh) orang wajib membentuk
Manajemen Keselamatan Kebakaran Lingkungan.
Manajemen keselamatan kebakaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipimpin oleh kepala dan wakil kepala manajemen keselamatan
kebakaran lingkungan.

(3)
(4)

(5)

Badan pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan


prasarana dan sarana penanggulangan kebakaran sesuai dengan potensi
bahaya kebakaran.
Prasarana dan sarana penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) antara lain:
a. sistem pemadaman;
b. akses pemadaman;
c. sistem komunikasi;
d. sumber daya listrik darurat;
e. jalan ke luar;
f. proteksi terhadap api, asap, racun, korosif dan ledakan; dan
g. pos pemadam dan mobil pemadam.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, tugas dan fungsi manajemen
keselamatan kebakaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Kedua
Bangunan Perumahan

(1)
(2)
(3)

(4)
(5)

Pasal 32
Bangunan perumahan yang berada di lingkungan permukiman yang tertata
harus dilengkapi dengan prasarana dan sarana pencegahan dan
penanggulangan kebakaran.
Kelengkapan prasarana dan sarana pencegahan dan penanggulangan
kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab
pengembang atau Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Bangunan perumahan yang berada di lingkungan permukiman yang tidak
tertata dan padat hunian harus dilengkapi prasarana dan sarana serta
kesiapan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
kebakaran.
Kelengkapan prasarana dan sarana pencegahan dan penanggulangan
kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi tanggung jawab
Pemerintah Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan prasarana dan sarana serta
kesiapan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Walikota.
Bagian Ketiga
Kendaraan Bermotor

Pasal 33
Setiap pemilik dan/atau pengelola kendaraan umum dan kendaraan khusus wajib
menyediakan alat pemadam api ringan sesuai dengan potensi bahaya kebakaran.
Bagian Keempat
Bahan Berbahaya
(1)

Pasal 34
Setiap orang atau badan usaha yang menyimpan dan/atau memproduksi
Bahan Berbahaya wajib:
a. menyediakan alat isolasi tumpahan;

(2)

(3)

b. menyediakan sarana penyelamatan jiwa, proteksi pasif, proteksi aktif,


manajemen keselamatan kebakaran gedung;
c. menginformasikan daftar bahan berbahaya yang disimpan dan/atau
diproduksi; dan
d. memasang plakat dan/atau label penanggulangan dan penanganan
bencana bahan berbahaya.
Setiap pemilik dan/atau pengelola kendaraan khusus yang mengangkut Bahan
Berbahaya wajib :
a. menyediakan alat pemadam api ringan dan alat perlindungan awak
kendaraan sesuai dengan potensi bahaya kebakaran;
b. memasang plakat penanggulangan dan penanganan bencana Bahan
Berbahaya ; dan
c. menginformasikan jalan yang akan dilalui kepada SKPD.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyimpanan dan
pengangkutan Bahan Berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Kelima
Hutan Kota

(1)
(2)
(3)

Pasal 35
Pengelola hutan kota dan/atau pemegang hak atas tanah yang ditetapkan
sebagai hutan kota harus menjaga hutan kota dari kebakaran.
Pengelolaan hutan kota harus dilengkapi dengan prasarana dan sarana
pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan prasarana dan sarana serta
upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.

Bagian Keenam
Lahan
(1)
(2)

(3)

Pasal 36
Pemerintah Daerah dan/atau pemegang hak atas tanah (lahan) harus
menjaga lahan dari kebakaran.
Pemerintah Daerah dan/atau pemegang hak atas tanah lahan gambut selain
menjaga lahan dari kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga
harus selalu mengontrol kondisi lahan terutama pada musim kemarau dan
memberitahukan kepada SKPD jika ada indikasi lahan terbakar.
Ketentuan lebih lanjut mengenai cara menjaga, mengontrol, dan
memberitahukan indikasi lahan terbakar sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.

d. Bab IV : Penanggulangan Kebakaran


BAB IV
PENANGGULANGAN KEBAKARAN

Bagian Kesatu
Kesiapan Penanggulangan
(1)
(2)
(3)

Pasal 37
Dalam upaya menanggulangi kebakaran di kecamatan dibentuk kantor sektor
pemadam kebakaran dan di kelurahan dibentuk pos pemadam kebakaran.
Pada setiap kantor sektor dan pos sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilengkapi dengan prasarana dan sarana penanggulangan kebakaran.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan prasarana dan sarana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal 38
Pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung; pemilik dan/atau
pengelola kendaraan bermotor khusus; orang atau badan usaha yang menyimpan
dan/atau memproduksi bahan berbahaya;
pengelola hutan kota dan/atau
pemegang hak atas tanah yang ditetapkan sebagai hutan kota; dan pemegang hak
atas tanah (lahan) wajib melaksanakan kesiapan penanggulangan pemadaman
kebakaran yang dikoordinasikan oleh SKPD.
Bagian kedua
Pada Saat Terjadi Kebakaran
Pasal 39
Dalam hal terjadi kebakaran, pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola
bangunan gedung, pemilik dan/atau pengelola kendaraan bermotor khusus; orang
atau badan usaha yang menyimpan dan/atau memproduksi bahan berbahaya;
pengelola hutan kota dan/atau pemegang hak atas tanah yang ditetapkan sebagai
hutan kota; dan pemegang hak atas tanah (lahan) wajib melakukan:
a. tindakan awal penyelamatan jiwa, harta benda, pemadaman kebakaran dan
pengamanan lokasi; dan
b. menginformasikan kepada SKPD dan instansi terkait.
Pasal 40
Sebelum petugas SKPD tiba di tempat terjadinya kebakaran, pengurus rukun
tetangga/rukun warga (RT/RW), Barisan Sukarelawan Kebakaran, Lurah/Camat
dan instansi terkait segera melakukan tindakan penanggulangan dan pengamanan
sesuai tugas dan fungsinya.

(1)
(2)

(1)

Pasal 41
Pada waktu terjadi kebakaran siapapun yang berada di daerah kebakaran
harus mentaati petunjuk dan/atau perintah yang diberikan oleh petugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
Hal-hal yang terjadi di daerah kebakaran yang disebabkan karena tidak
dipatuhinya petunjuk dan/atau perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari yang bersangkutan.
Pasal 42
Dalam mencegah menjalarnya kebakaran, pemilik, pengguna dan/atau badan
pengelola bangunan gedung/pekarangan; pengelola hutan kota dan/atau
pemegang hak atas tanah yang ditetapkan sebagai hutan kota; dan pemegang

hak atas tanah (lahan) harus memberikan izin kepada petugas pemadam
kebakaran untuk:
a. memasuki bangunan gedung/pekarangan;
b. membantu memindahkan barang/bahan yang mudah terbakar;

(2)

(1)

(2)

c. memanfaatkan air dari kolam renang dan hidran halaman yang berada
dalam daerah kebakaran;
d. merusak/merobohkan sebagian atau seluruh bangunan gedung; dan
e. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam operasi pemadaman dan
penyelamatan.
Perusakan/perobohan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d, dilakukan berdasarkan situasi dan kondisi di lapangan.
Pasal 43
Penanggulangan kebakaran yang terjadi di perbatasan wilayah Kota
Pontianak dengan Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kubu Raya dan di
Kawasan Khusus ditanggulangi bersama oleh Kepala Daerah dan Pengelola
Kawasan Khusus.
Pelaksanaan penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui kerjasama antar Kepala Daerah/pengelola kawasan
khusus dan ditetapkan dengan keputusan bersama.

Pasal 44
Selain penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat
(1), Walikota dalam hal ini SKPD dapat membantu penyelamatan korban bencana
yang terjadi di luar wilayah Kota Pontianak.

Bagian Ketiga
Pemeriksaan Sebab Kebakaran
(1)
(2)
(3)

Pasal 45
SKPD melakukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya
kebakaran.
Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkoordinasi dengan pihak Kepolisian.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan untuk mengetahui sebab-sebab
terjadinya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Walikota.

e. Bab V : Bencana Lain


BAB V
BENCANA LAIN
(1)

Pasal 46
Dalam hal terjadi bencana lain, SKPD melakukan tindakan penyelamatan jiwa
dan harta benda.

(2)

(3)

Dalam melakukan tindakan penyelamatan jiwa dan harta benda dari bencana,
pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung/pekarangan;
pengelola hutan kota dan/atau pemegang hak atas tanah yang ditetapkan
sebagai hutan kota; dan pemegang hak atas tanah (lahan) harus memberikan
izin kepada petugas pemadam kebakaran untuk:
a. memasuki
dan/atau
mengosongkan
lokasi
bangunan
gedung/pekarangan/jalan raya;
b. membantu memindahkan barang dan/atau bahan berbahaya;
c. merusak/memotong alat transportasi; dan
d. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam operasi penyelamatan.
Dalam melakukan tindakan penyelamatan jiwa dan harta benda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), SKPD dapat berkoordinasi dengan Instansi terkait.

f. Bab VI : Pengujian
BAB VI
PENGUJIAN
(1)

(2)
(3)

Pasal 47
Setiap orang dan/atau Badan Hukum yang memproduksi atau mengimpor
bahan/komponen proteksi pasif dan aktif, dan peralatan penanggulangan
kebakaran wajib memperoleh sertifikat uji mutu komponen dan bahan dari
SKPD.
Sertifikat uji mutu komponen dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berlaku selama 3 (tiga) tahun.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tatacara memperoleh
sertifikat uji mutu komponen dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Walikota.

g. Bab VII : Pengendalian Keselamatan Kebakaran


BAB VII
PENGENDALIAN KESELAMATAN KEBAKARAN
Bagian Kesatu
Bangunan Gedung Baru
Pasal 48
Walikota dalam hal ini Kepala SKPD bersama Instansi terkait memberikan masukan
pada tahap perencanaan dan melakukan pemeriksaan pada tahap perancangan,
pelaksanaan, dan penggunaan bangunan gedung baru.
Pasal 49
Pada tahap perencanaan pembangunan gedung baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48, Kepala SKPD memberikan masukan teknis kepada perangkat
daerah yang tugas pokok dan fungsinya bertanggung jawab dalam bidang
ketatakotaan mengenai akses mobil pemadam, sumber air untuk pemadaman, pos
pemadam kebakaran untuk dijadikan acuan pemberian perizinan blok plan.
Pasal 50

Pada tahap perancangan pembangunan gedung baru sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 48, Kepala SKPD memberikan masukan kepada perangkat daerah
yang tugas pokok dan fungsinya bertanggung jawab dalam bidang penataan dan
pengawasan bangunan melalui keanggotaannya pada Tim Ahli Bangunan Gedung
yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. sarana penyelamatan;
b. akses pemadam;
c. konsep proteksi pasif dan aktif; dan
d. konsep manajemen penyelamatan.
(1)

(2)

(1)
(2)

Pasal 51
Pada tahap pelaksanaan pembangunan gedung baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48, Kepala SKPD melaksanakan pengawasan berkala sesuai
tugas pokok dan fungsi dan/atau pengawasan bersama perangkat daerah
yang tugas pokok dan fungsinya bertanggung jawab dalam bidang penataan
dan pengawasan bangunan dan/atau Tim Ahli Bangunan Gedung untuk
memeriksa kesesuaian antara gambar-gambar instalasi bangunan yang
merupakan lampiran Izin Mendirikan Bangunan dengan pelaksanaan di
lapangan.
Apabila ada ketidaksesuaian antara gambar-gambar instalasi bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan pelaksanaan pembangunan di
lapangan, Kepala SKPD memberikan peringatan kepada pemilik bangunan
dan/atau pemborong untuk menyesuaikan dengan Izin Mendirikan Bangunan.
Pasal 52
Pada saat bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 akan
digunakan, dilakukan pemeriksaan terhadap kinerja sistem proteksi kebakaran
terpasang, akses pemadam kebakaran dan sarana penyelamatan jiwa.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memenuhi persyaratan, Kepala SKPD memberikan persetujuan berupa surat
persetujuan sebagai dasar untuk penerbitan Sertifikat Laik Fungsi.
Bagian Kedua
Bangunan Gedung Eksisting

(1)

(2)
(3)
(4)

(1)

Pasal 53
Untuk mengetahui kondisi keselamatan kebakaran pada bangunan gedung
eksisting berfungsi dengan baik, harus dilakukan pemeriksaan secara berkala
oleh pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung dengan
menunjuk pengkaji teknis.
Hasil pemeriksaan berkala yang dilakukan oleh pengkaji teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh pemilik, pengguna dan/atau badan
pengelola bangunan gedung kepada SKPD setiap tahun.
Apabila dipandang perlu, berdasarkan laporan pemilik, pengguna dan/atau
badan pengelola bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), SKPD
dapat melakukan pemeriksaan ke lapangan.
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), SKPD dapat
melakukan pemeriksaan sewaktu-waktu dengan atau tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu kepada pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola
bangunan.
Pasal 54
Apabila berdasarkan pemeriksaan ke lapangan, kinerja sistem proteksi
kebakaran terpasang, akses pemadam kebakaran dan sarana penyelamatan

(2)
(3)

(4)

jiwa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Kepala SKPD


memberikan Sertifikat Keselamatan Kebakaran.
Sertifikat Keselamatan Kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
merupakan salah satu persyaratan dalam perpanjangan Sertifikat Laik Fungsi.
Apabila berdasarkan pemeriksaan ke lapangan, kinerja sistem proteksi
kebakaran terpasang, akses pemadam kebakaran dan sarana penyelamatan
jiwa tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Kepala
SKPD memberikan peringatan tertulis dengan memasang papan peringatan
yang bertuliskan "BANGUNAN INI TIDAK MEMENUHI KESELAMATAN
KEBAKARAN".
Bangunan gedung yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), selain dipasang papan peringatan juga diumumkan kepada
masyarakat melalui media cetak dan/atau elektronik.

Pasal 55
Apabila sewaktu-waktu berdasarkan laporan atau temuan pada bangunan gedung
atau bagian bangunan gedung tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
ayat (2) dan ayat (4), kinerja sistem proteksi kebakaran terpasang, akses pemadam
kebakaran dan sarana penyelamatan jiwa tidak memenuhi persyaratan, Kepala
SKPD melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dan
ayat (4).
(1)

(2)

(3)

Pasal 56
Pemilik, pengguna dan/atau badan pengelola bangunan gedung yang akan
mengubah fungsi bangunan gedung atau bagian bangunan gedung tertentu
sehingga menimbulkan potensi bahaya kebakaran lebih tinggi wajib
melaporkan kepada perangkat daerah sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya.
Bangunan gedung atau bagian bangunan gedung tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan proteksi kebakaran, akses
pemadam kebakaran dan sarana penyelamatan jiwa sesuai dengan potensi
bahaya kebakaran.
Dalam hal bangunan gedung atau bagian bangunan gedung tertentu sudah
dilengkapi dengan proteksi kebakaran, akses pemadam kebakaran dan
sarana penyelamatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala
SKPD memberikan persetujuan berupa rekomendasi atas perubahan fungsi.
Bagian Ketiga
Jasa di Bidang Keselamatan Kebakaran

(1)

(2)

Pasal 57
Setiap orang dan/atau badan hukum yang bergerak di bidang perencanaan,
pengawasan, pengkaji teknis, pemeliharaan/ perawatan di bidang
keselamatan kebakaran wajib mendapat sertifikat keahlian keselamatan
kebakaran dari Asosiasi Profesi yang terakreditasi dan harus terdaftar pada
SKPD.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara mendapatkan
sertifikat keahlian keselamatan kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 58

(1)
(2)

Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, memasang,


mendistribusikan, memperdagangkan atau mengedarkan segala jenis alat
pencegah dan pemadam kebakaran, wajib mendapat rekomendasi dari SKPD.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh
rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Walikota.

h. Bab VIII : Peran Serta Masyarakat


BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
(1)

(2)
(3)
(4)
(5)

Pasal 59
Masyarakat harus berperan aktif dalam:
a. melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran dini di
lingkungannya;
b. membantu melakukan pengawasan, menjaga dan memelihara prasarana
dan sarana pemadam kebakaran di lingkungannya;
c. melaporkan terjadinya kebakaran; dan
d. melaporkan kegiatan yang menimbulkan ancaman kebakaran.
Untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a di tingkat RW dan Kelurahan dapat dibentuk
Sistem Keselamatan Kebakaran Lingkungan (SKKL);
SKKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari Balakar, prasarana dan
sarana serta Prosedur Tetap;
Di daerah dan Kecamatan dapat dibentuk Forum Komunikasi Kebakaran;
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pembentukan
SKKL, Forum Komunikasi Kebakaran dan Balakar sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) di atur dengan Peraturan Walikota.

i. Bab IX : Pembinaan dan Pengawasan


BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 60
Walikota dalam hal ini Kepala SKPD melakukan pembinaan kepada pemilik,
pengguna, badan pengelola bangunan gedung; pemilik, pengguna dan pengelola
kendaraan bermotor khusus; penyimpan bahan berbahaya; pengelola hutan kota
dan/atau pemegang hak atas tanah yang ditetapkan sebagai hutan kota; pemegang
hak atas tanah (lahan); pengkaji teknis di bidang pencegahan dan penanggulangan
kebakaran, kontraktor instalasi proteksi kebakaran, balakar, Manajemen
Keselamatan Kebakaran Gedung (MKKG), forum komunikasi kebakaran dan
masyarakat dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran.

(1)

Pasal 61
Walikota dalam hal ini Kepala SKPD melakukan pengawasan terhadap sarana
proteksi kebakaran, akses pemadam kebakaran pada bangunan gedung,
sarana penyelamatan jiwa pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan
penggunaan bangunan gedung dan unit Manajemen Keselamatan Kebakaran
Gedung (MKKG).

(2)

Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala


SKPD berkoordinasi dengan Instansi terkait di tingkat pusat dan perangkat
daerah lainnya.

j. Bab X : Sanksi Administratif


BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 62
Setiap orang dan/atau badan hukum sebagai pemilik,pengelola atau penanggung
jawab bangunan gedung yang melakukan pelanggaran atas kewajiban yang harus
dipenuhi terhadap sarana penyelamatan jiwa, akses pemadam kebakaran, dan
proteksi kebakaran atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 ayat (1) dikenakan sanksi administrasi berupa :
a. peringatan tertulis;
b. menunda atau tidak mengeluarkan persetujuan atau rekomendasi; dan
c. memerintahkan menutup atau melarang penggunaan bangunan gedung
seluruhnya atau sebagian.
k. Bab XI : Penyidikan
BAB XI
PENYIDIKAN
(1)

(2)

Pasal 63
Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia yang bertugas
menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Pontianak yang
pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangudangan.
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, para Pejabat PPNS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan
melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penyitaan benda dan/atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya; dan
i. mengadakan
tindakan
lain
menurut
hukum
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.

(3)
(4)

Dalam melakukan tugasnya, PPNS tidak berwenang melakukan


penangkapan, dan/atau penahanan.
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum,
sesuai ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara Pidana.

l. Bab XII : Ketentuan Pidana


BAB XII
KETENTUAN PIDANA
(1)

(2)
(3)
(4)

Pasal 64
Setiap orang dan/atau badan hukum yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24 ayat
(1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33, Pasal 34 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 36 ayat (2), Pasal 39, Pasal 47 ayat (1), Pasal 57 ayat
(1), Pasal 58 ayat (1) diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau
denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 diancam dengan sanksi pidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap pelanggaran
dimaksud dapat dibebankan biaya paksaan penegakan hukum seluruhnya
atau sebagian.
Besarnya biaya paksaan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan dengan keputusan Walikota.

m. Bab XIII : Ketentuan Penutup


BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Pontianak.

BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Naskah Akademik ini memberikan landasan bahwa Pembentukan
Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bencana
Kebakaran secara konkret memiliki dasar hukum yang kuat, sebagaimana
tersebut dalam konsideran mengingatnya.
Demikian pula materi muatannya, sudah diupayakan bersesuaian dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dan Pasal 136 sampai Pasal 149 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait.
Sungguhpun demikian, tetap perlu dibahas dan diberi masukan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Pontianak.

B. Saran
Kepada Pemerintah Daerah Kota Pontianak khususnya Bagian Hukum
Setda Kota Pontianak, diharapkan dapat melakukan rapat konsultasi, rapat
koordinasi atau rapat kerja terbatas dengan Tim Penyusun Naskah Akademis
ini.
Melalui rapat konsultasi, rapat koordinasi atau rapat kerja terbatas
tersebut, diharapkan dapat dikembangkan pemikiran-pemikiran konstruktif,
pendapat, aspirasi, informasi, dan aspek teknis lainnya guna menyempurnakan
materi muatan Rancangan Peraturan Daerah Kota Pontianak tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran.

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Makalah :
A.A.G.

Peters dan Koesriani Siswosoebroto (Ed.), 1990, Hukum dan


Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku III, Jakarta, Sinar
Harapan.

A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia


Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Studi Analisis
Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun
Waktu Pelita I-PelitaIV, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 2004.
Amir Syamsuddin dan Nurhasyim Ilyas, 2000, Perilaku Aparat Penegak Hukum.
Jurnal Keadilan Lembaga Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 1 No. 1
Desember 2000.
Arief Gosita, 2000, Reformasi Hukum Yang Berpihak Kepada Rakyat dan Keadilan
(Beberapa Catatan). Jurnal Keadilan, Lembaga Kajian Hukum dan
keadilan, Vol 1 No. 2 Desember 2000.
Ateng Syafrudin, 1976, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Di Daerah, Tarsito,
Bandung.
Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, Hasil Sensus Penduduk Kota Pontianak
Tahun 2010, Pontianak.
Bagir Manan, 1992, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut Asas
Desentralisasi Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, Unpad, Bandung.
-------------------, 2005, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Yogyakarta,
FH UII Press.
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan
Dengan Pidana Penjara, Semarang, C.V. Ananta.
Benyamin Hoessein, l996, Gagasan Pendayagunaan Aparatur Negara Dalam Pelita
VII, Aspek Kelembagan, LAN, Jakarta.
Bintoro Tjokroamidjojo, Analisa Kebijaksanaan Dalam Proses Perencanaan
Pembangunan Nasional, Dalam Majalah Administrator No. 5 dan 6 Tahun
IV, 1976.
-------------, 1982, Perencanaan Pembangunan, Cetakan 5, PT. Gunung Agung,
Jakarta.
Bruggink, J.J., 1995, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa oleh Arief Sidharta, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Chairul Huda, Perkembangan Teknologi dan Tuntutan Reformasi Hukum, Jurnal
Magister Hukum UII, Volume 2 Nomor 1 Februari 2000.

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 1995, Tugas, Fungsi dan


Peranannya Dalam Pemerintahan Di Daerah, Departemen Dalam Negeri,
Jakarta.
Goede, B. de, 1986, Beeld van het Nederlands Bestuursrecht, Vuga Uitgeverij, B.V.
S-Gravenhage.
Gunarto Suhardi, 2002, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi,
Universitas Atmajaya, Cetakan Pertama, Yogyakarta.
G. Radbruch, 1973, Rechtsphilosophie, Stutgart, kochler.
Hart, HLA, 1976, Le Concept du Droit, Brussel: Fac. Univ. Saint Louis.
Irawan Soejito, 1984, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Aksara, Jakarta.
Irfani M., Islamy, 1997, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi
Aksara, Jakarta.
Irma Hidayana (Ed.), 2005, Panduan Praktis Pemantauan Proses Legislasi.
Jakarta, PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia).
I.P.M. Ranuhandoko, 2000, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Jan Tin Bergen, 1973, Rencana Pembangunan, Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Jhonny Ibrahim, Teori dan Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Pertama,
Bayumedia Publishing, Surabaya, 2005.
Koesworo, E., 2001, Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,
Yayasan Pariba, Jakarta.
Loebby Loqman, 1995, Peranan Hukum Tertulis Dalam Masyarakat yang Sedang
Membangun dalam buku Karya Ilmian Para Pakar Hukum, Bunga Rampai
Pembangunan Hukum Indonesia, Bandung, PT. Eresco.
Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Kanisius, Bandung.
Marcus Lukman, 2007, Hukum Tata Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama,
PMIH Untan Press, Pontianak.
Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty,
Yogyakarta.
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan
Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986.
Moh. Mahfud MD., 1998, Politk Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia.

Nasution, Muslimin, 1999, Pokok-Pokok Kebijaksanaan Pengelolaan Sumber Daya


Alam Kehutanan Dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah Seminar,
Tanggal 21 September 1999, Yogyakarta.
Natangsa Surbakti, 1998, Demokratisasi Hukum Era Reformasi, Jurnal Akademika
Universitas Muhammadiyah Surakarta, No. 02/Th.XVI/1998. ISSN 02168219.
Oetarid Sadino, ( trans), L.J. Van Apeldorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, cet.
kedua puluh lima, Jakarta, Pradnya Paramita.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, Prenada Media
Group, Jakarta, 2008.
Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Administrasi dan Manajemen Umum, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
R. Tresna, Tanpa Tahun, Bertamasya Ke Taman Ketatanegaraan, Dibya, Bandung.
Roeslan Saleh, 1979, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundangundangan, Jakarta, Bina Aksara.
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sasruddin M. Sattim, 2001, Kebijaksanaan Penyelenggaraan Kehutanan Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah, Makalah Seminra dan Lokakarya,
Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Untan,
Tanggal 5 Mei 2000, Pontianak.
Soenyono, 2001, Prospek Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam buku Otonomi Daerah
Perspektif Teoritis dan Praktis oleh Andi A. Malarangeng, dkk, Cetakan
Pertama, Bigraf Publishing, Yogyakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Kebebasan Warga, dan Kekuasaan Negara,
Jurnal Hukum dan Keadilan, Fakultas Hukum UII Volume 1 Nomor 1 1998.
Team Work Lapera, 2001, Politik Pemberdayaan, Jalan Menuju Otonomi Desa,
Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.
Tri Hayati, et.al, 2005, Administrasi Pembangunan Suatu Pendekatan Hukum Dan
Perencanaannya, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan:
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonnantie Staatsblad 1926 Nomor 226
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Staatsblad 1940
Nomor 450).
Undang-Undang Nomor 27 tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang
Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di

Kalimantan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1965.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Undang-Undang Nomor 12 tahun
Perundang-undangan.

2011 tentang

Pembentukan

Peraturan

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi , dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang
Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman
Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman


Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2007 tentang Pedoman Tim
Ahli Bangunan Gedung.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Teknis Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan
Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pemberian Izin Mendirikan Bangunan.
Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 3 Tahun 2008 tentang Bangunan Gedung
di Kota Pontianak.
Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 8 Tahun 2008 tentang Bidang Urusan
Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Daerah Kota Pontianak.
Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 13 Tahun 2009 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah,
Sekretariat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Dinas, Badan, Kecamatan dan Kelurahan di
Kota Pontianak.

Anda mungkin juga menyukai