Anda di halaman 1dari 38

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG


TENTANG
PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI
LIMA (PKL)

PEMERINTAH KOTA SEMARANG


2017
Pendahuluan
Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan sempitnya
lapangan kerja mengakibatkan terjadinya ketidak
seimbangan antara jumlah tenaga kerja dengan
ketersidaan lapangan kerja, sehingga mendorong
bertumbuhnya perdagangan sektor informal sebagai
alternatif bagi masyarakat untuk meningkatkan
pendapatanya dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar.
Pertumbuhan sektor informal ini termanifestasi pada
pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pedagang
asongan.
Pedagang Kaki Lima (PKL) hampir selalu berhadapan dengan
morfologi dan estetika kota, yang berimplikasi pada
terganggunya ketertiban umum sebagai hak publik dan
merupakan bagian penting dari visi kota. Sehingga dengan
demikian keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) selalu
dipandang sebagai masalah dan faktor penghambat dalam
penyelenggaraan pembangunan kota.
Paradigma dan pendekatan yang digunakan cenderung bersifat
represif Penertiban. Paradigma ini memberikan gambaran
bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) ditempatkan sebagai Part of
Problem dari dinamika kehidupan perkotaan, sehingga harus
dihilangkan.
Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya semua
strategi dan langkah langkah strategis kebijakan
pemerintah seyogyanya didasarkan atas kepentingan
masyarakat atau ditujukan untuk kesejahteraan rakyat
atau dalam hal ini harus didasarkan pada asas
oportunitas. Dan inilah alasan utama mengapa
diperlukan kajian dan penyusunan sebuah kebijakan
(Regulasi) dengan pendekatan yang tepat yang mampu
merubah posisi Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai bagian
dari solusi (Part of Solution) dan bukan sebagai bagian
dari masalah (part of Problem).
Identifikasi Masalah
1. Penggunaan ruang publik oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak sesuai dengan fungsi
dan peruntukanya, sehingga mengganggu dan mengurangi hak masyarakat atas
ruang publik tersebut.
2. Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mengabaikan peruntukan ruang publik
tersebut mengakibatkan kekacauan dalam tata ruang kota.
3. Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak sesuai dengan visi kota yaitu yang
sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan ketertiban kota.
4. Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) dapat menyebabkan terjadinya kerawanan
sosial di lingkungan setempat
5. Keterbatasan dukungan kebijakan, menjadikan Keberadaan Pedagang Kaki Lima
(PKL) tidak aman dan dapat berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk
miskin urban.
6. Keberadaan PKL lebih banyak tidak memperhatikan legalitas/perijinan.
7. Perda yang terdahulu perlu dirubah agar atmosfir penataan dan pemberdayaan
lebih utama.
Tujuan dan Kegunaan Penyusunan
Naskah Akademik
1. Mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan yang dihadapi
Pemerintah kota Semarang dalam melakukan penataan dan
pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
2. Mengidentifikasi dan merumuskan pemasalahan hukum yang dihadapi
sebagai argumentasi akademik untuk pembentukan Rancangan
Peraturan Daerah yang akan dijadikan dasar hukum dalam penyelesaian
masalah penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan
yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penataan
dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah
tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
Metode
Metode kegiatan yang dilakukan dalam rangka penyusunan Naskah
Akademik ini adalah dengan menggunakan metode yuridis normatif,
yaitu melalui studi pustaka yang menelaah berbagai macam dokumen,
terutama data sekunder yang berupa peraturan perundang undangan
maupun dokumen hukum lainya yang terkait dengan Pedagang kaki
Lima, baik dalam skala nasional maupun lokal.
Kajian yuridis normatif ini juga didukung dengan kajian teoritik tentang
dinamika perkembangan Pedagang Kaki Lima, dengan pendekatan
analisis kebijakan, dalam rangka untuk merancang dan merumuskan
regulasi yang berupa Peraturan Daerah yang mengatur tentang
Pedagang kaki Lima
Disamping itu, analisis juga dilengkapi dengan data dan kajian
terhadap kondisi empirik dilapangan.
Kajian Teoritik
Konsep sektor informal pertama kali di pergunakan oleh Keirt Hard dari University of Manchester
pada tahun 1973 yang menggambarkan bahwa sektor informal adalah bagian angkatan kerja di
kota yang berada di luar pasar tenaga kerja yang terorganisir. Kemudian konsep informal di
kembangkan oleh International Labour Irganization (ILO) dalam berbagai penelitian di Dunia
Ketiga. Konsep itu digunakan sebagai salah satu alternatif dalam menangani masalah kemiskinan
di Dunia Ketiga dalam hubungannya dengan pengangguran, migrasi dan urbanisasi.
Sejak Hart (dalam Effendi, 1995:127) memperkenalkan konsep sektor informal, konsep itu sering
digunakan untuk menjelaskan bahwa sektor informal dapat mengurangi pengangguran di kota
Negara sedang berkembang. Bahkan beberapa pengamat pembangunan di Negara sedang
berkembang memandang sektor informal sebagai strategi alternatif pemecahan masalah
keterbatasan peluang kerja. Sektor informal berfungsi sebagai katup pengaman yang dapat
meredam ledakan sosial akibat meningkatnya pencari kerja, baik dalam kota maupun pendatang
dari desa.
Sementara itu Breman (dalam Manning, 1991) menyatakan bahwa: sektor informal adalah
kumpulan pedagang dan penjual jasa kecil yang dan segi produksi secara ekonomi telah begitu
menguntungkan, meskipun mereka menunjang kehidupan bagi penduduk yang terbelenggu
kemiskinan
Kajian Teoritik (3)
Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL) juga sudah dijelaskan dalam pasal 1 huruf f
Peraturan Daerah Kota Semarang nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan
Pembinaan PKL, Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disebut PKL adalah pedagang
yang didalam usahanya mempergunakan sarana dan/atau perlengkapan yang mudah
dibongkar pasang / dipindahkan dan/atau mempergunakan tempat usaha yang
menempati tanah yang dikuasai Pemerintah Daerah dan/atau pihak lain.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima pasal 1 angka 1 dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima pasal 1 angka 1, dijelaskan bahwa Pedagang Kaki Lima yang
selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan
dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan
prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah
dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
Kajian Teoritik (4)
Dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 125
Tahun 2012 Tentang Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, disebutkan bahwa
Penataan PKL meliputi :
Penetapan kebijakan penataan PKL;
Penetapan lokasi dan/atau kawasan tempat berusaha PKL di
dalam Rencana Detail Tata Ruang;
Penataan PKL melalui kerjasama antar Pemerintah Daerah;
Pengembangan kemitraan dengan dunia usaha; dan
Penyusunan program dan kegiatan penataan PKL ke dalam
dokumen perencanaan pembangunan daerah.
Kajian Teoritik (5)
Dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 125
Tahun 2012 Tentang Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, disebutkan
bahwa Penataan PKL meliputi :
Penetapan kebijakan penataan PKL;
Penetapan lokasi dan/atau kawasan tempat berusaha PKL
di dalam Rencana Detail Tata Ruang;
Penataan PKL melalui kerjasama antar Pemerintah Daerah;
Pengembangan kemitraan dengan dunia usaha; dan
Penyusunan program dan kegiatan penataan PKL ke dalam
dokumen perencanaan pembangunan daerah.
Kajian Teoritik (6)
Dalam Peraturan Meneteri Dalam Negeri nomor 41 Tahun
2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima, pasal 1 angka 2, disebutkan :
Penataan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah melalui penetapan lokasi binaan
untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban
dan penghapusan lokasi PKL dengan memperhatikan
kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi,
kemanan, ketertiban, kebersihan lingkungan dan sesuai
dengan peraturan perundang undangan.
Kajian Teoritik (7)
Lebih lanjut dalam pasal 8 Peraturan Meneteri Dalam
Negeri nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, juga
diatur bahwa Bupati/Walikota melakukan penataan
Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan cara :
pendataan PKL;
pendaftaran PKL;
penetapan lokasi PKL;
pemindahan PKL dan penghapusan lokasi PKL; dan
peremajaan lokasi PKL.
Kajian Teoritik (8)
Lebih lanjut dalam pasal 40 Peraturan Meneteri Dalam Negeri nomor
41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima, disebutkan bahwa Bupati/Walikota melakukan
pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) antara lain meliputi :
Peningkatan kemampuan berusaha;
Fasilitasi akses permodalan;
Fasilitasi bantuan sarana dagang;
Penguatan kelembagaan;
Fasilitasi peningkatan produksi;
Pengolahan, pengembangan jaringan, dan promosi; dan
Pembinaan dan bimbingan teknis.
Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 41 Tahun
2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima, dapat dijadikan acuan dan pedoman
dalam pembinaan dan pengembangan Pedagang Kaki Lima.
Tujuan tersebut adalah :
Memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan
lokasi sesuai dengan peruntukanya
Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL
menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan
Mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib, dan aman dengan
sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan
lingkungan
Data PKL
NO KECAMATAN KLASF JMLH LOKASI LUAS (m2) KET

A 3 969,96
1 SMG TIMUR B 22 6.454
C -
A -
2 GAYAMSARI B 6 2.428
C 1 610
A 6 2.287
3 SMG TENGAH B 38 13.365,5
C -
A -
4 GENUK B -
C 4 1.696
A -
5 PEDURUNGAN B -
C 10 2.134
A 17 12.119,75
6 SMG SELATAN B 11 2.358
C -
A -
7 CANDISARI B 8 882
C -
A -
8 SMG UTARA B 16 74.864
C -
A -
9 TEMBALANG B 6 2.465
C 8 3.187
A -
10 GAJAHMUNGKUR B 13 2.648
C 2 900
A -
11 BANYUMANIK B 5 865
C 2 730
A -
12 GUNUNGPATI B -
C 5 89.250
A -
13 SMG BARAT B 9 2.701
C -
A -
14 MIJEN B -
C 2 280
A -
15 NGALIYAN B 5 2.836
C 23 14.972
A -
16 TUGU B -
C 8 6.850
JUMLAH 230 247.440,20
JUMLAH PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN LOKASI
PERUNTUKANYA

KESEUAIAN PERUNTUKAN
NO KECAMATAN JUMLAH PKL SESUAI TDK SESUAI

1 Semarang Utara 859 80 779


2 Semarang Timur 1.547 1.167 380
3 Gayamsari 295 52 243
4 Semarang Tengah 849 735 114
5 Genuk 123 41 82
6 Pedurungan 217 142 75
7 Semarang Selatan 727 424 303
8 Candisari 214 169 45
9 Tembalang 255 60 195
10 Gajahmungkur 288 46 242
11 Banyumanik 321 171 150
12 Gunungpati 89 85 4
13 Semarang Barat 228 17 211
14 Mijen 25 11 14
15 Ngaliyan 226 20 206
16 Tugu 52 33 19
JUMLAH 6.315 3.253 3.062
PROSENTASE 100 % 51,51 % 48,49 %
Hal Hal yang berpotensi sebagai
kendala perolehan pendapatan
Kualitas SDM petugas pungut, utamanya pada
integritas.
Tidak adanya SOP dalam pemungutan dan
pengelolaan serta banyaknya pihak-pihak yang
campur tangan.
Rendahnya penegakan hukum dalam
tunggakan retribusi, penempatan PKL.
Rendahnya koordinasi antar instansi dalam
penempatan PKL.
Implikasi Penerapan Peraturan Daerah Bagi Pedagang
Kaki Lima dan Masyarakat

Dampak Positif :
Adanya kepastian usaha bagi PKL atas penempatan lokasi yang
sesuai.
Adanya peningkatan daya saing berupa peningkatan kualitas
barang dagangan akibat adanya pemberdayaan PKL.
Standarisasi PKL juga akan menunjang daya tarik PKL dan
bahkan dapat menunjang daya tarik wisata.
Peningkatan daya tarik dan daya saing akan meningkatan omset
penjualan bagi PKL.
Penataan yang baik akan memberikan kenyamanan bagi
konsumen PKL, pengguna jalan, dan menambah estetika Kota
Semarang.
Implikasi Penerapan Peraturan Daerah Bagi
Pedagang Kaki Lima dan Masyarakat
Dampak Negatif :
PKL yang menempati lokasi ilegal akan kehilangan
tempat usaha oleh karena harus menyesuaikan
dengan penempatan sesuai regulasi.
Akan muncul biaya relokasi bagi PKL.
Akan terjadi ketidak seimbangan jumlah PKL
dengan daya tampung lokasi PKL yang akan
berdampak munculnya PKL Ilegal ditempat lain.
Regulasi yang terkait
Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Pasal 18 :Pemerintah Daerah berhak
menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan Tugas Pembantuan
Pasal 27 :Tiap Tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan
Regulasi yang terkait (2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 38 :
(1) Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat,
kecakapan, dan kemampuan, berhak atas
pekerjaan yang layak.
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih
pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas
syarat-syarat ketenagakerjaan.
Regulasi yang Terkait
Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 28
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).
Pasal 127
Penggunaan jalan kabupaten/kota dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum
yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi.
Pasal 128
Izin penggunaan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Pasal 129
Pengguna Jalan di luar fungsi Jalan bertanggung jawab atas semua akibat yang ditimbulkan.
Pasal 131
Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.
Pasal 274
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.24.000.000,00
(dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 275
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp.250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah)
Regulasi yang terkait
UU nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan
Pasal 12
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan

Pasal 63
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), dipidana penjara paling lama 18 (delapanbelas) bulan atau denda paling banyak Rp.
1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 12 ayat (2), dipidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3), dipidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah)

Pasal 64
Setiap orang yang karena kelalaianya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
Setiap orang yang karena kelalaianya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, sebagaimana dimaksud dalam pasal
12 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
Setiap orang yang karena kelalaianya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan, sebagaimana dimaksud
dalam pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 12 (dua belas) hari atau denda paling banyak 120.000.000,00 (seratus
dua puluh juta rupiah)
Regulasi yang terkait
Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Pasal 2
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas :
Keterpaduan
Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
Berkelanjutan;
Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan;
Keterbukaan;
kebersamaan dan kemitraan;
perlindungan kepentingan umum;
kepastian hukum dan keadilan; dan
akuntabilitas.
Pasal 3
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan :
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia; dan
terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat
pemanfaatan ruang.
Regulasi yang terkait
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 11
Urusan Pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan
Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan
Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang
berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
Pasal 12
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 11
ayat (2) meliputi :
Pendidikan;
Kesehatan;
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang;
Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman;
Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat; dan
Sosial
Pasal 17
Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
Daerah dalam menetapkan kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib berpedoman pada
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Regulasi yang terkait
Peraturan Pemerintah 34 tahun 2006 tentang Jalan
Pasal 34
Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamanya
Ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diperuntukkan bagi median,
perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, sauran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang
pengaman, tgimbunan dan galian, gorong gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan
pelengkap lainya.
Trotoar sebagimana dimaksud pada ayat (3) hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan
kaki
Pasal 35
Badan jalan hanya diperuntukkan bagi pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan
Pasal 36
Saluran tepi jalan hanya diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air agar badan
jalan bebas dari pengaruh air
Pasal 37
Ambang pengaman jalan berupa bidang tanah dan/atau konstruksi bangunan pengaman yang
berada di antara tepi badan jalan dan batas ruang manfaat jalan yang hanya diperuntukkan
bagi pengamanan konstruksi jalan
Pasal 38
Setiap orang dilarang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pasal
34, pasal 35, pasal 36, dan pasal 37 yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan
Pasal 39
Ruang milik jalan diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, dan
penambahan jalur lalu lintas di masa akan datang serta kebutuhan ruang untuk
pengamanan jalan
Pasal 41
Apabila terjadi gangguan dan hambatan terhadap fungsi ruang milik jalan,
penyelenggara jalan wajib segera mengambil tindakan untuk kepentingan pengguna
jalan
Pasal 43
Setiap orang dilarang menggunakan dan memanfaatkan ruang milik jalan sebagimna
dimaksud dalam pasal 39 dan pasal 40 yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan
Pasal 44
Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi
pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan
fungsi jalan
Pasal 45
Setiap orang dilarang menggunakan ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 44 yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan
Regulasi yang terkait
Peratutran Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang
Kaki Lima
Pasal 2
Pemerintah bersama Pemerintah Daerah berkoordinasi melakukan penataan dan pemberdayaan PKL.
Pasal 3
Koordinasi penataan PKL sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, dilaksanakan melalui:

pendataan dan pendaftaran PKL;

penetapan lokasi PKL;

pemindahan dan penghapusan lokasi PKL;

peremajaan lokasi PKL; dan

perencanaan penyediaan ruang bagi kegiatan PKL.

Pendataan dan pendaftaran PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
lokasi;
jenis tempat usaha;
bidang usaha;
modal usaha; dan
volume penjualan.

Penetapan lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan lokasi binaan yang terdiri atas lokasi permanen dan lokasi sementara yang ditetapkan
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
Pemindahan dan penghapusan Lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilaksanakan pada lokasi PKL yang bukan peruntukannya.
Peremajaan lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, merupakan upaya perbaikan kualitas lingkungan pada lokasi yang sesuai dengan
peruntukannya.
Perencanaan penyediaan ruang bagi kegiatan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, merupakan penyediaan ruang untuk kegiatan PKL sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan bidang penataan ruang.
Regulasi yang terkait
Peratutran Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima

Pasal 4
Menteri Dalam Negeri menetapkan Pedoman Penataan PKL.
Pasal 6
Bupati/Walikota melaksanakan penataan PKL Kabupaten/Kota di wilayah nya dengan berpedoman pada Kebijakan
Penataan PKL sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan penataan PKL Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.
Penataan PKL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
penetapan kebijakan penataan PKL;
penetapan lokasi dan/atau kawasan tempat berusaha PKL di dalam Rencana Detil Tata Ruang;
penataan PKL melalui kerja sama antar Pemerintah Daerah;
pengembangan kemitraan dengan dunia usaha; dan
penyusunan program dan kegiatan penataan PKL ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah.
Pasal 7
Koordinasi pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilaksanakan melalui:
penyuluhan, pelatihan dan/atau bimbingan sosial;
peningkatan kemampuan berusaha;
pembinaan dan bimbingan teknis;
fasilitasi akses permodalan;
pemberian bantuan sarana dan prasarana;
penguatan kelembagaan melalui koperasi dan kelompok usaha bersama;
fasilitasi peningkatan produksi;
pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi;
fasilitasi kerja sama antar daerah;
mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha.
Regulasi yang terkait
Peratutran Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang
Kaki Lima

Pasal 8
Menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian melaksanakan pemberdayaan PKL
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsi masing-masing.
Dalam rangka pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri/kepala lembaga
pemerintah non kementerian menyusun kebijakan, menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria.
Pasal 10
Bupati/Walikota melaksanakan pemberdayaan PKL Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal
7 dengan berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam pasal
8 dan pemberdayaan PKL Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9.

Pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. penetapan kebijakan pelaksanaan pemberdayaan PKL;


b. penetapan ke dalam dokumen rencana pembangunan daerah.
Pasal 21
Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Kabupaten/Kota dibentuk di Kabupaten/Kota, yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.
Regulasi yang terkait
Peratutran Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima

Pasal 22
Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Kabupaten/Kota bertugas :
menyusun kebijakan dan program pembinaan PKL yang dituangkan dalam dokumen rencana pembangunan daerah;
merekomendasikan lokasi dan atau kawasan tempat berusaha PKL;
mengembangkan kerja sama dengan kabupaten/kota lainnya;
mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha; dan
melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan program dan kegiatan pembinaan PKL.

Pasal 23
Susunan keanggotaan Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL tingkat Kabupaten/Kota, terdiri atas ketua, sekretaris,
dan anggota.
Keanggotaan Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh bupati/walikota yang berunsurkan kepala satuan kerja perangkat daerah, pelaku usaha, dan asosiasi terkait.
Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Kabupaten/Kota dibantu sebuah sekretariat yang secara fungsional
dilakukan oleh salah satu unit kerja di lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 24
Pelaksanan tugas Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Pusat, Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Provinsi dan Tim
Penataan dan Pemberdayaan PKL Kabupaten/ Kota dilakukan secara terkoordinasi dalam satu kesatuan kebijakan
penataan dan pemberdayaan PKL.
Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Kabupaten/Kota melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada
Bupati/Walikota dan Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Provinsi.
Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Provinsi melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Gubernur dan
Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Pusat.
Peraturan Meneteri Dalam Negeri Nomor 41
Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan
Pemberdayaan Pedagnag Kaki Lima
Peraturan Daerah Kota Semarang nomor 11
Tahun 2000 tentang Pengaturan dan
Pembinaan PKL
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 3
Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha di
Kota Semarang
Analisis Regulasi
Terbitnya Peraturan Presiden nomor 125 tahun 2012
tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima dan Peraturan Menteri Dalam
Negeroi nomor 41 tahun 2012 tentag Pedoman Penataan
dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima memberikan
paradigma baru dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima.
Satu hal yang menarik dari terbitnya Peraturan Presiden
125 tahun 2012 dan Peraturan Menteri Dalam Negeroi
nomor 41 tahun 2012 adalah adanya dua pendekatan
dalam penanganan PKL, yaitu PENATAAN dan
PEMBERDAYAAN.
Penataan mengacu pada upaya terwujudnya
ketertiban umum dengan memeperhatikan
berbagai regulasi yang terkait dengan hal tersebut.
Pemberdayaan mengacu pada upaya untuk
meningkatkan kemandirian Pedagang Kaki Lima.
Pendekatan ini diarahkan pada upaya, pengurangan
pengangguran, pengentasan kemiskinan, melalui
pengembangan sektor informal, yang bermuara
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sampai saat ini kebijakan yang sudah ditetapkan oleh
Pemerintah Kota Semarang dalam penanganan Pedagang Kaki
Lima adalah Peraturan Daerah nomor 11 tahun 2000 tentang
Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Secara esensial
Peraturan Daerah ini sudah mengatur penataan Pedagang Kaki
Lima, kewajiban dan larangan dalam menjalankan usaha, sampai
pada sanksi pidana. Namun konsep penataan yang diatur dalam
Peraturan Daerah ini belum komprehensif dan belum
terkoordinasi, terutama antara Pemerintah Kota dengan
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Demikian halnya
dalam aspek pemberdayaan yang sangat diperukan oleh
Pedagang Kaki Lima seperti pelatihan dan pendampingan untuk
peningkatan kemampuan berusaha, fasilitasi akses permodalan,
penguatan kelembagaan dan sebagainya, pengaturanya dalam
Peraturan Daerah ini masih sangat minim.
Kesimpulan
Atas dasar kondisi dan argumentasi tersebut, maka
sudah selayaknya apabila Peraturan Daerah Kota
Semarang Nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima perlu dilakukan evaluasi
dan ditinjau kembali, disesuaikan dengan perkembangan
kondisi dan regulasi/peraturan perundang undangan
terbaru. Sehingga diperlukan adanya Peraturan Daerah
Tentang Penataan Dan Pemberdayaan PKL agar
pengaturan PKL dapat dilakukan secara terintegrasi dan
tercipta adanya harmonisasi terhadap aspek aspek yang
terkait.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai