Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM AGRARIA
IMPLEMENTASI HAK ULAYAT SUKU BADUY DI PROVINSI BANTEN

Disusun oleh :
KELOMPOK IX
Semester II Kelas B
1.

Sadam Husain

NIM. 13222784

2.

Syamsul Arifin

NIM. 13222785

3.

Wahyu Indra Syah Putra

NIM. 13222786

4.

Wendy Ayu Melati

NIM. 13222787

SEN
Dosen :
Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S
NIP. 19650805 199203 1 003

BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA


SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN
YOGYAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Tanah
merupakan
salah
satu
sumber
bagi
kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa dalam
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang
terbagi secara adil dan merata.Oleh sebab itu, tanah
untuk di usahakan dan digunakan bagi pemenuhan
kebutuhan yang nyata. Sehubungan dengan itu
penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan,
dan pemeliharaannya perlu di atur agar terjamin
kepastian
hukum
dalam
penguasaan
dan
pemanfaatannya
serta
sekaligus
terselenggara
perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia,
terutama
golongan
petani,
dengan
tetap
memperhatikan kelestarian kemampuannya dalam
mendukung
kegiatan
pembangunan
yang
berkelanjutan.
Tanah juga merupakan salah satu faktor produksi yang
vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan suatu
bangsa.Selain itu, tanah beroeran penting dakam
menunjang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
nasional. Baik yang bersifat materil maupun non
materil. Tahun demi tahun terjadi peningkatan volume
pembangunan
dalam
bidang-bidang
pertanian,
industry modern, perumahan, dan lain-lain.Hal ini
semakin komplek bila dikaitkan dengan pertambahan
penduduk yang secara otomatis mengakibatkan
berkurangnya persediaan tanah.
Sejarah hukum pertanahan di Indonesia tidak terlepas
dari hak ulayat.Jauh sebelum terciptanya UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA).Masyarakat hukum kita telah mengenal
hak ulayat.Hak ulayat sebgai hubungan hukum yang
konkret, pada asal mula terciptanya nenek moyang

atau kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau


menganugerahjan tanah yang bersangkutan kepada
orang-orang yang merupakan kelompok tertentu
(Boedi Harsono, 1999).Hak ulayat iru sendiri bagian
yang tak terpisahkan dari masyarakat hukum adat.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 secara ideologis
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kaum
petani di Indonesia. Hal ini dikarenakan sejak
berlakunya UUPA, secara yuridis formal ada keinginan
yang sangat kuat untuk memfungsikan hukum
agrarian nasional sebagai alat untuk membawa
kemakmuran dan kesejehateraan serta keadilan bagi
negara dan masyarakat tani.
Karena dalam kehidupan masyarakat khususnya di
daerah pedesaan, tanah merukan salah satu faktor
produksi yang sangat penting, karena tanah
merupakan salah satu sumber hidup dan kehidupan
mereka.Di samping itu tanah-tanah adat sering
dihubungkan
dengan
nikai
kosmismagisreligius.Hubungan ini bukan saja antara individu
dengan tanah, tetapi juga antar sekelompok anggota
masyarakan suatu persekutuan hukum adat didalam
hubungannya dengan hak ulayat.
Bagi masyarakat hukum adat tanah itu mempunyai
kedudukan yang sangat penting karena merupakan
satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetao
dalam
keadaannya,
bahkan
lebih
menguntungkan.Selain itu tanah merupakan tempat
tinggal, tampet pencaharian, tempat penguburan,
bahkan menurut kepercayaan mereka adalah tempat
tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan
para leluhur persekutuan (Soerejo Wignjodipoero,
dalam Aminuddin Salle 2007).
Seiring perkembangan zaman, pergerakan polah hidup
dan corak produksi masyarakat Indonesia dari polapola atau corak-corak tradisional menuju ke pola atau

corak modern mengakibatkan tergerusnya secara


perlahan nilai-nilai yang terkandung dalam hak
ulayat.Desawa
ini
masyarakat
tidak
lagi
mengedepankan kebersamaan tetapi lebih cenderung
berpikir individualistik.
Saat ini meskipun telah memiliki unifikasi hukum
pertanahan yang berpuncak di UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Dengan adanya UUPA tersebut, tidak ada lagi dualism
hukum pertanahan, dimana hukum yang berlaku
berdasarkan pada golongan masing-masing namun
perlu diingat bahwa hukum adat yang termasuk
didalamnya tanah ulayat merupajan dasar hukum
tanah sehingga sangar rasional untuk melihat dan
mengkaji keberadaan hak ulayat dalam Hukum Positif
Indonesia khususnya di bidang hukum pertanahan.
B.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran umum kondisi daerah
masyarakat adat baduy di Provinsi Banten ?
2. Bagaimana peggunaan tanah ulayat masyarakat
adat Baduy di Provinsi Banten ?
3. Bagaimana
Penguasaan
hak
ulayat
oleh
masyarakat adat Baduy di Provinsi Banten ?

C.

Manfaat Penelitian
1. Untuk dapat mengetahui dan mengenal adanya
masyarakat hukum adat suku baduy di Provinsi
Banten.
2. Untuk dapat mengetahui penggunaan tanah ulayat
masyarakat baduy di Provinsi Banten
3. Untuk dapat mengetahui penguasaan hak ulayat
oleh masyarakat adat baduy di Provinsi Banten.
BAB II
Gambaran Umum Kondisi Daerah Masyarakat
Adat Suku Baduy di Provinsi Banten

A. Geograf

Baduy adalah salah satu etnis yang tidak terpisahkan


dari Negara Kesatuan Republik Indinesia dengan posisi
Geografis dan administratifnya berada di sekitar
Pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.Peta
letak lokasi tanah ulayat masyarakat Baduy dapat
dilihat pada gambar. 2.1.

Gambar. 2.1.
Peta Lokasi Tanah Ulayat Masyarakat Baduy
Wilayah Baduy terletak di 60o 27 27 - 60o 30 LU dan
108o 3 9 - 106o 4 55. Luas area suku baduy sekitar
5.096 hektar, Pegunungan Kedeng memiliki ketinggian
300-600 meter diatas permukaan laut dengan
topografi
berbukit
dan
bergelombang
dengan
kemiringan tanah rata-rata mencapai 45% yang
merupakan tanah vulkanik (dibagian utara), tanah
endapan (dibagian tengah), dan tanah campuran
(dibagian selatan). Suhu rata-rata
20oC. Peta

Administrasi Wilayah Tanah Ulayat Masyarakat Baduy


dapat dilihat pada gambar 2.2

Gambar. 2.2
Peta Administasi Tanah Adat Baduy
Wilayah Baduy dikelilingi sungai yang jernih dengan
dihiasi hamparan hutan tropis sehingga panorama
alam sangat indah dan bernuansa eksotis dipertegas
dengan rumah-rumah asli kampung yang bergaya
arsitektur tradisional yang berjajar rapi mencerminkan
kehidupan masyarakat adat Baduy yang harmonis
dengan alam dan lingkungannya.
B.

Kelompok dalam Masyarakat Kanekes


Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi
tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka
(Permana, 2001):
1. Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal
sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat
mengikuti adat yaitu warga yang tinggal di tiga

kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri


khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya
berwarna putih alami dan biru tua serta memakai
ikat kepala putih.
2. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka
yang dikenal sebagai baduy Luar, yang tinggal di
berbagai kampung yang tersebar mengelilingi
wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketug,
kaduolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.
masyarakat baduy Luar berciri khas mengenakan
pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
3. Kelompok masyarakat dangka adalah masyarakat
yang tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada
saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu
Padawaras
(Cibengkung)
dan
Sirahdayeuh
(Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi
sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari
luar.
C.

Mata Pencaharian
Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama
adalah bercocok tanam padi huma menurut data
tahun 2009 sekitar 98,6% penduduk laki-laki dan
90,7% wanita bermata pencaharian sebagai petani,
sebagian berkebun serta membuat kerajinan koja atau
tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan
sebagian kecil telah mengenal berdagang, selain itu
mereka juga mendapat penghasilan tambahan dari
menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan
seperti durian, asam keranji serta madu hutan.
Kehidupan suku baduy berpenghasilan dari pertanian,
dimulai pada bulan ke-empat kalender baduy yang
dimulai dengan kegiatan ngacaryaitu membersihkan
semua belukar untuk menyiapkan ladang.Ada 4 jenis
ladang untuk padi gogo yaitu Huma serang, yang
merupakan ladang suci bagi mereka yang bermukim di
dalam.Huma
tangtu
merupakan
ladang
yang
dikerjakan oleh orang Baduy dalam meliputi Huma

Tuladan dan Huma Jaro.Huma penamping merupakan


ladang yang dikerjakan oleh Baduy diluar kawasan
tradisional.Tabel mata pencaharian suku baduy dapat
dilihat pada tabel 2.1.
Tabel. 2.1. Mata Pencaharian masyarakat adat baduy
Baduy Dalam
Baduy Dalam
Pekerjaan
Suami
Istri
Suami
Istri
n
%
n
%
n
%
n
%
Petani
275
98,6 175 90,7
10
100
2
20
Berdagan
1
0,4
6
3,1
0
0,0
0
0,0
g
Bertenun
1
0,4
12
6,2
0
0,0
0
0,0
Lainnya
2
0,8
0,0
0,0
0
0,0
0
0,0
D.

Interaksi Dengan Masyarakat Luar Baduy


Masyarakat Kanakes yang sampai sekarang ini ketat
mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat
terasing,
terpendil,
ataupun
masyarakat
yang
terisolasi dari perkembangan dunia luar.Berdirinya
Kesultanan Bantenyang secara otomatis memasukkan
Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak
lepas
dari
kesadaran
mereka.Sebagai
tanda
kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat
Kanekes secara rutin melaksanakan seba Kesultanan
Banten (Gama, 1993).Sampai sekarang, upacara seba
tersebut terus berlangsung setahun sekali, berpa
menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan)
kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur
Jawa Barat), melalui Bupati Kabupaten Lebak.Dibidang
pertanian, penduduk baduy luar berinteraksi erat
dengan masyarakat luar, misalnya dengan sewa
menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu lampau dilakukan
secara barter, pada saat ini sudah mempergunakan
mata uang rupiah. Orang Kanekes menjual hasil buahbuahan, madu, dan gula aren melalui para

tengkulak.Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang


tidak diproduksi sendiri dipasar.Pasar bagi orang
Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar
Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjingi wilayah
Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan
orang perkali kunjungan, biasanya merupakan remaja
dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung
dewasa lainnya.Bahkan untuk menginap satu malam,
dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat
istiadat yang berlaku disana. Aturan adat tersebut
antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy
Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai.
Namun demikian, wilayah kanekes tetap terlarang bagi
orang asing (non-WNI).Beberapa wartawan asing yang
mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak.
Pada saat pekerjaan ladang tidak terlalu banyak, orang
baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar
wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki.
Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil
yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke
rumah kelana yang pernah datang ke Baduy sambil
menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam
kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan
tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
BAB III
Penggunaan Tanah Masyarakat Baduy

Penggunaan
tanah
oleh
masyarakat
baduy
direncanakan baru akan di survey pada akhir tahun ini
melalui pemetaan tematik sosial ekonomi masyarakat
baduy, jadi data yang ada saat ini berdasarkan hasil
deliniasi dan intepretasi citra satelit sehingga data
yang di dapat bukan merupakan penggunaan tanah
(land use) melainkan tutupan lahan (land cover).Peta
tutupan lahan dapat dilihat pada gambar 3.1

Gambar. 3.1. Peta Tutupan Lahan


Berdasarkan analisis gis presentase penggunaan lahan
di wilayah tanah ulayat masyarakat baduy adalah
hutan belukar 94,29%, kebun campuran 0,78%, ladang
tegalan 0,22%, perairan darat 0,55%, pemukiman
0,39%, sawah 0,69%, dan semak belukar 3,08%.
Presentase dapat dilihat pada gambar 3.2.

Hutan Belukar
Kebun Campuran
Ladang Tegalan
Perairan Darat
Permukiman
Sawah
Semak Belukar

Gambar. 3.2. Presentase Penggunaan Lahan Tanah


Ulayat Masyarakat Baduy

BAB IV
Pengusaan Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy di
Provinsi Banten
Secara umum, masyarakat adat di Indonesia sudah diakui
keberadannya.Berbagai peraturan telah mempertegas

eksistensi masyarakat adat. Dalam Undang-Undang Dasar


1945, pengakuan tersebut dicantumkan dalam pasal 18B
ayat (2) dan 18I ayat (3), yang berbunyi :
Pasal 18B ayat (2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang
masih
hidup
dan
sesuai
dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 18I ayat (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
(yang mengalami perubahan dengan adanya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1
Tahun 2004) juga mengakui masyarakat hukum adat
sebagaimana tercantum dalam pasal 67 yang berbunyi :
Pasal 67
(1) Masyarakat
hukum
adat
sepanjang
menurut
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya
berhak :
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan
kebutuhan
hidup
sehari-hari
masyarakat adat bersangkutan.
b. Melakukan
kegiatan
pengelolahan
hitan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang-undang.
c. Mendapatkan
pemberdayaan
dalam
rangka
meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masarakat
hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum
adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat

tertentuatas wilayah tertentu yang merupakan


lingkungan hidup oleh warganya untuk mengambil
manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut, demi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus
antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilyah
yang bersangkutan (Peraturan Daerah Kabupaten Lebak
no. 32 Tahun 2001).
Beberapa ketentuan UUPA yang menyinggung bahkan
sedikit mengatur tentang eksistensi dan tindakan
keberlangsungan tanah adat dapat dilihat pada pasal
3,22,56, dan 58.
Pasal 3 UUPA menyatakan
dengan mengingat ketentuan ketentuan dalam
pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak hak
yang serupa dari masyarakat hokum adat,
sepanjang menurut kenyatannya masih ada harus
sedemikian sehinggga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasar atas persatuan
bangsa serta tidak boleh betentangan dengan
undang undang dan peraturan lain yang lebih
tinggi
Imbas
dari
tuntutan
reformasi
mendesak
penyelenggaraan pemerintah di bidang keagrariaan /
pertanahan untuk mengeluarkan PERMENAG / Ka.BPN
NO.5 Tahun 1999 tentang pedoman Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Sesuai dengan semangat
desentralisasi yang dibawakan oleh UU No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan
daerah ditegaskan bahwa
penelitian dan penentuan masih adanya Hak Ulayat
dilakukan
oleh
Pemerintah
Daerah
dengan
mengikutsertakan para pakar Hukum Adat,Masyarakat
dan instansi yang mengelola SDA.
Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa pluralisme
hukum adat pada waktu itu digunakan sebagai sarana
untuk memecah belah Bangsa Indonesia. Artinya ketika

melakukan pembangunan hukum


nasional, konsepsi
(falsafah), asas, dan lembaga hokum adat harus sungguhsungguh dijadikan sebagai bahan utama pembangunan
hokum,
namun
dengan
tetap
memperhatikan
kecenderungan globalisasi di bidang hukum.
Di Indonesia, pengakuan keberadaan Hak ulayat
sesungguhnya secara tegas telah dimulai sejak
diundangkannya UUPA tahun 1960, namun perarutan
yang lebih rinci mengenai tatacara penentuannya tidak
berusaha diformulasikan dalam bentuk perarutan yang
lebih operasional.
Terhadap masalah yang menyangkut tanah, masyarakat
Baduy tidak mengaku tanah sebagai hak milik pribadi,
mereka mendapat titipan tugas ngasuh ratu, ngajaga
menak sehingga mereka tetap setia kepada yang
berkuasa dan dibuktikan dengan adanya acara Seba
kepada Bupati dan Residen pada setiap tahun setelah
selesai upacara Ngalaksa.
Berbagai kesulitan telah dihadapi dalam merumuskan
pemberian perlindungan hak ulayat masyarakat baduy,
hal ini berkaitan dengan hakikat hukum adat yang hanya
diakui dalam bentuk tak tertulis oleh persekutuan hukum
yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal
(territorial) dan keturunan (genealogis).
Upaya memberikan perlindungan terhadap tanah-tanah
Masyarakat Baduy sudah dilakukan jauh sebelum
diundangkannya Peraturan Daerah ini yang dirintis sejak
Tahun 1986 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor:
203/B.V/Pem.SK/1968 Tanggal 19 Agustus 1968 tentang
Penetapan Status Hutan Larangan Desa Kanekes
Daerah Baduy sebagai Hutan Lindung Mutlak dalam
Kawasan Hak Ulayat Adat Propinsi Jawa Barat.
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun

1999 tanggal 24 Juni 1999 tentang Pedoman Penyelesaian


Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat beberapa
kendala yang dihadapi akhirnya dapat terselesaikan,
salah satunya adalah dengan diterbitkannya Peraturan
Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. % Tahun 1999 pasal 2 ayat (2)
yang menyatakan hak ulayat masyarakat hukum adat
dianggap masih ada apabila:
a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama atau persekutuan hukum tertentu yang
mengakui dan menerpakan ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari
c. Terdapat tatana hukum adat mengenai pengurusan,
peguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang
berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum
tersebut.
Tanah ulayat masyarakat baduy juga dimasukan kedalam
rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Lebak
tahun 2013.Peta RTRW dapat dilihat pada gambar 4.1.

Gambar. 4.1. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten


Lebak Tahun 2013
Namun pada peta tersebut terdapat kesalahan penentuan
letak lokasi tanah ulayat masyarakat baduy dan masih
dalam tahap revisi.
BAB V
PENUTUP
B.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan
focus mengenai pengakuan dan perlindungan Hak
Ulayat Masyarakat Baduy di Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi
Banten, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hak ulayat adalah Hak ulayat adalah kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat
hukum
adat
tertentuatas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
hidup oleh warganya untuk mengambil manfaat
dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut, demi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara
lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan
tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilyah yang bersangkutan.

2.

3.

4.

C.

Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang


tinggal di Desa Kanakes dan mereka menyebut
dirinya sebagai orang kanekes sebagian besar
mata pencaharian mereka adalah bercocok
tanam padi huma.
Penggunaan Tanah berdasarkan tutupan lahan
(land cover) di wilayah tanah ulayat masyarakat
Baduy sebagian besar berupa hutan belukar
sedangkan pemukiman hanya 0,39%, namun
perlu
dilakukan
survey
lapangan
untuk
mengidentifikasi pemukiman yang tertutup oleh
vegetasi.
Hak ulayat masyarakat baduy telah diakui dan
dilindungi dengan terbitnya Peraturan Daerah
Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy.

Saran
Setelah didapatkan kesimpulan, maka penulis
memberikan saran pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Perlu dilakukan survey detail penggunaan tanah
ulayat masyarakat baduy di Provinsi Banten.
2. Perlu dikakukannya revisi pada Peta Rencana Tata
Ruang Wilayah mengenai posisi tanah ulayat.
DAFTAR PUSTAKA
Anita Yossihara. Sabtu, 10 Maret 2008.Masyarakat Baduy:
Tindak Tegas Perusak Hutan. Kompas.Bosko Rafael
Edy.2006. Hak Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks
Pengelolaan Sumber Daya Alam.Jakarta : Elsam
B.F. Sihombing. 2005. Evolusi Kebijakan Pertanahan
dalam Hukum Tanah Indonesia. Jakarta : PT. Toko
Gunung Agung.
Bhumi, Jurnal Pertanahan Stpn, Eko Budi Wahyono Dkk
(Hal 25-26)

Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat


dan HAM, ModulPemberdayaan Masyarakat Adat, PT
Remaja Rosdakarya Bandung, 2004
Bushar Muhammad, 2002. Pokok-pokok Hukum Adat,
Jakarta, Pradnya Paramita.
Eksistensi Tanah Adat Tongkonan Di Kabupaten Tana
Toraja Provinsi Sulawesi Selatan, Julius Sembiring Dkk
(Hal 1-2, Hal 7,13, 15)
Hak Ulayat Masyarakat Adat Lundayeh Di Kabupaten
Nunukan Provinsi Kalimantan Timur, Julius Sembiring
(Hal 3-6, Hal 12-15)
Haar, B. T., Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
Terjemahan Soebekti Poesponoto, PT Pradnya
Paramita, Jakarta. 1976.
Harahap, A. Bazar, 2007, Posisi Tanah Ulayat Menurut
Hukum Nasional. Jakarta: Yayasan Surya Daksina
Harsono, Boedi. 2002. Menuju penyempurnaan hukum
tanah nasional dalam hubungannya dengan Tap MPR
RI Nomor IX tahun 2001, makalah pad seminar
nasional pertanahan 2002 pembaruan agraria.
STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002.
Harsono, Boedi.2005.Hukum Agraria Indonesia.Jakarta :
Djambatan Sitorus Oloan.2005.Bhumi.Penataan Hak
Atas Tanah di Propinsi Bali.13 : 10-15.
Kansil C.S.T.1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata
Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Maunati Yekti.2004. Identitas Dayak, Komodifikasi dan
Politik Kebudayaan. Yogyakarta : Lkis
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara,
Citra Media,Jakarta, 2007
Ngakan Oka putu. Dinamika Proses Desentralisasi Sektor
Kehutanan di Sulawesi Selatan.Luwu Utara.
Sajuti, Thalib. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum
Agraria di Minangkabau, Bina Aksara. 1985
Simarmata, R, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat
Adat di Indonesia, UNDP, Jakarta, 2006.

Sitorus, Sundung et al.2004. Evaluasi Pelaksanaan


Penerttiban Tanah Tanah Hakk Gogolan Dikabupaten
Lamongan Provinsi Jawa Timur.Yogyakarta : Stpn.
Sitorus,
Oloan.2013.
Tinjauan
Akademik
Pola
PenyelesaianKonflik Pertanahan Masyarakat Hukum
Adat/Hak Ulayat.Yogyakarta : Stpn.
Soekanto, S., Hukum Adat Indonesia, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2001.
Sumardjono, Maria Sw.2012.Eksistensi dan Kepastian
Hukum Hak Masyarakat Hukum Adat Pokok-pokok
pikiran
disampaikan
pada
Seminar/Workshop
Penataan dan Pemberdayaan Tanah Adat/Ulayat di
Tanah Papua.
Usfa A Fuad.2004.Pengantar Hukum Pidana.Malang :
UMM.
Wahyono Ary.2000. Hak Ulayat Laut Di Kawasan Timur
Indonesia.Yogyakarta : Media Pressindo.
Warman kurni et al. PEMULIHAN TANAH ULAYAT. HuMa
Jakarta dan Qbar Padang.
Wignyodipoera, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum
Adat. CV. HajiMasagung. Jakarta, 1994.
Wiradi, G. Sekitar Masalah Hak Ulayat dan Hukum Adat
pada umumnya dalam Hak-Hak Penguasaan Atas
Hutan di Indonesia, 1999. Penerbit P3KM Fakultas
Kehutanan IPB.

Peraturan Perundang undangan :


Instruksi kepala badan pertanahan nasional Nomor 2
tahun 2000 Tentang Pelaksanaan peraturan menteri
negara agraria/kepala badanPertanahan nasional
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam
Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 1999
Undang undang Pokok Agraria tahun 1960

Anda mungkin juga menyukai