Anda di halaman 1dari 32

PERLINDUNGAN PENEGAKAN DAN PERTANGGUNG JAWABAN

HUKUM DALAM HAN

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara

Dosen Pengampu : Drs. H. Abdal M.Si

Disusun Oleh :

Kelompok 11

Muhammad Febriansyah R 1188010135

Nurul Siti Ambia Z 1188010163

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................ 2

KATA PENGANTAR ................................................................................................. 3

BAB I ............................................................................................................................ 5

PENDAHULUAN ....................................................................................................... 5

A. Latar Belakang .................................................................................................. 5

B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 6

C. Tujuan ............................................................................................................... 6

BAB II .......................................................................................................................... 7

PEMBAHASAN .......................................................................................................... 7

A. Perlindungan Hukum ........................................................................................ 7

B. Penengakan Hukum ........................................................................................ 18

C. Pertanggungjawaban Pemerintah .................................................................... 25

BAB III ....................................................................................................................... 30

KESIMPULAN ......................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 31


KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan sebuah makalah mata kuliah Hukum Administrasi Negara
yang berjudul “Perlindungan, Penegakan dan Pertanggung Jawaban Hukum dalam
HAN” tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini kami buat untuk memberikan pemahaman kepada pembaca
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Perlindungan, Penegakan dan Pertanggung
Jawaban Hukum dalam HAN. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen
pembimbing yang telah memberikan arahannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, baik dari segi penulisan maupun lainnya. Maka dari itu, kritik dan saran
yang membangun sangat diperlukan dalam penyempurnaan makalah ini.
Demikian makalah ini kami susun, semoga dapat menambah keilmuan dan
bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandung, 8 Mei 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam
arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai
negara hukum, namun seperti yang disebutkan Paulus E. Lotulung, masing-
masing negara mempunyai cara dan mekanismenya sendiri tentang bagaimana
mewujudkan perlindungan hukum tersebut, dan juga sampai seberapa jauh
perlindungan hukum itu diberikan. Perlindungan hukum yang dimaksudkan ini
lebih ditekankan pada perlindungan hukum terhadap sikap tindak atau
perbuatan hukum pemerintah berdasarkan hukum positif di Indonesia.
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur
hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum. Selain itu hukum berfungsi
sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum. Pelaksanaan hukum dapat
berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran
hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak
menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar
hak-hak subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar hak-haknya harus
mendapatkan perlindungan hukum.
Di Indonesia perlindungan hukum bagi rakyat akibat tindakan hukum
pemerintah ada beberapa kemungkinan, tergantung dari instrumen hukum yang
digunakan pemerintah. Instrumen hukum pemerintah yang lazim digunakan
adalah peraturan perundang-undangan dan keputusan.
Menurut ten Berge, instrumen penegakan hukum administrasi negara
meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah
preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi
merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa itu perlindungan hukum dalam HAN
2. Jelaskan apa itu penegakan hukum dalam HAN
3. Bagaimana penegakan hukm dalam HAN itu berjalan

C. Tujuan
Secara umum diharapkan baik untuk penyusun maupun pembaca dapat
lebih memahami perihal perlindungan, penegakan, dan pertanggungjawaban
dalam Hukum Administrasi Negara.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum
Subjek hukum selaku pemikul hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dapat
melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan kemampuan atau
kewenangan yang dimilikinya. Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak
terjadi hubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan
hukum dari subjek hukum itu, yakni interaksi antarsubjek hukum yang
memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum. agar
hubungan hukum antarsubjek hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang,
dan adil atau dalam arti lain setiap objek hukum mendapatkan apa yang menjadi
haknya dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum
tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur
hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum. Selain itu hukum berfungsi
sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum. Pelaksanaan hukum dapat
berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran
hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak
menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar
hak-hak subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar hak-haknya harus
mendapatkan perlindungan hukum.
Hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan
warga negara adalah Hukum Administrasi Negara atau hukum perdata,
tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan tindakan
hukum tersebut.
Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya
sebagai wakil dari badan hukum, maka tindakan tersebut diatur dan tunduk
pada ketentuan hukum keperdataan, sedangkan ketika pemerintah bertindak
sebagai pejabat, maka tindakan itu diatur dan tunduk pada Hukum Administrasi
Negara. Tindakan hukum pemerintah dapat menjadi peluang munculnya
perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang melanggar hak-hak warga
negara. Oleh karena itu, hukum harus memberikan perlindungan hukum bagi
warga negara.
Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam
arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai
negara hukum, namun seperti yang disebutkan Paulus E. Lotulung, masing-
masing negara mempunyai cara dan mekanismenya sendiri tentang bagaimana
mewujudkan perlindungan hukum tersebut, dan juga sampai seberapa jauh
perlindungan hukum itu diberikan. Perlindungan hukum yang dimaksudkan ini
lebih ditekankan pada perlindungan hukum terhadap sikap tindak atau
perbuatan hukum pemerintah berdasarkan hukum positif di Indonesia.
Secara umum ada tiga macam perbuatan pemerintahan yaitu perbutan
pemerintahan dalam bidang pembuatan peraturan perundang-undangan
(regeling), perbuatan pemerintahan dalam penerbitan keputusan (beschikking),
dan perbuatan pemerintahan dalam bidang keperdataan (materiele daad). Dua
bidang yang pertama terjadi dalam bidang publik oleh karenanya tunduk pada
hukum publik, sedangkan bidang yang terakhir khusus dalam bidang
keperdataan, maka tunduk berdasarkan ketentuan hukum perdata. Muchsan
mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum oleh pemerintah yang berbentuk
melanggar hak subjektif orang lain tidak hanya terbatas pada perbuatan yang
bersifat privaatrechtelijk saja, tetapi juga perbuatan yang bersifat
publiekrechtelijk. Penguasa dapat dianggap melakukan perbuatan melawan
hukum karena melanggar hak subjektif orang lain, apabila:
1. Penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hubungan
hukum perdata serta melanggar ketentuan dalam hukum tersebut.
2. Penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hukum publik
serta melanggar ketentuan kaidah hukum tersebut.

Disamping dua macam perbuatan tersebut, seiring dengan konsep


negara hukum modern yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat (welfare
state), pemerintah juga dilekati dengan kewenangan bebas atau freies
Ermessen, jika dituangkan dalam bentuk tertulis akan berwujud peraturan
kebijakan.

1. Perlindungan Hukum dalam Bidang Perdata


Kedudukan pemerintah yang serba khusus terutama karena sifat-sifat
istimewa yang melekat padanya yang tidak dimiliki oleh manusia biasa,
berkenaan dengan apakah negara dapat digugat atau tidak di depan hakim.
Pemerintah dalam tugasnya mempunyai kedudukan yang istimewa
dibandingkan dengan rakyat biasa. Oleh karena itu timbul pertanyaan apakah
persoalan menggugat pemerintah di muka hakim dapat disamakan dengan
rakyat biasa.
Secara teoritik, Kranenburg memaparkan secara kronologis adanya tujuh
konsep mengenai permasalahan apakah negara dapat digugat dimuka hakim
perdata, yakni:
a) Konsep negara sebagai lembaga kekuasaan dikaitkan dengan konsep
hukum sebagai keputusan kehendak yang diwujudkan oleh kekuasaan,
menyatakan bahwa tidak ada tanggung gugat negara.
b) Konsep yang membedakan negara sebagai penguasa dan Negara
sebagai fiscus. Sebagai penguasa, negara tidak dapat digugat dan
sebaliknya sebagai fiscus Negara dapat digugat.
c) Konsep yang mengetengahkan kriteria sifat hak, yakni apakah suatu hak
dilindungi oleh hukum publik ataukah hukum perdata.
d) Konsep yang mengetengahkan kriteria kepentingan hukum yang
dilanggar.
e) Konsep yang mendasarkan pada perbuatan melawan hukum sebagai
dasar untuk menggugat Negara.
f) Konsep yang memisahkan fungsi dan pelaksanaan fungsi
g) Konsep yang mengetengahkan suatu asumsi dasar bahwa negara dan
alat-alatnya berkewajiban dalam tindak-tanduknya, apapun aspeknya
(hukum publik atau hukum perdata) memperhatikan tingkah laku
menusiawi yang normal.
Berkenaan dengan kedudukan pemerintah sebagai wakil dari
badan hukum publik yang dapat melakukan tindakan-tindakan hukum
dalam bidang keperdataan seperti jual-beli, sewa menyewa, membuat
perjanjian, dan sebagainya, maka dimungkinkan muncul tindakan
pemerintah yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige
overheidsdaad). Berkenaan dengan perbuatan pemerintah yang
bertentangan dengan hukum ini disebutkan bahwa hakim perdata -
berkenaan dengan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah -
berwenang menghukum pemerintah untuk membayar ganti rugi. Di
samping itu, hakim perdata dalam berbagai hal dapat mengeluarkan
larangan atau perintah terhadap pemerintah untuk melakukan tindakan
tertentu.

Merajuk pada Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi: “tiap perbuatan


melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.” Ketentuan ini telah mengalami pergeseran penafsiran, sebagaimana
tampak dari beberapa yurisprudensi.

Pada periode sebelum 1919 ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata


ditafsirkan secara sempit, dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum,
timbulnya kerugian, hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum
dengan kerugian, dan kesalahan pada pelaku. Berdasarkan pernafsiran
demikian, tampak bahwa perbuatan melawan hukum berarti sama dengan
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.

Setelah tahun 1919 kriteria perbuatan melawan hukum adalah mengganggu


hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan
dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap hati-
hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga
masyarakat atau terhadap benda orang lain. Dengan adanya perluasan
penafsiran ini, maka perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada warga
negara juga semakin luas dan hal ini dianggap malah melahirkan kesulitan
dalam praktik peradilan.

Di Indonesia ada dua yurisprudensi Mahkamah Agung yang menunjukkan


pergeseran kriteria perbuatan melawan hukum oleh penguasa, yaitu:

a) Putusan MA dalam perkara Kasum (Putusan No. 66K/Sip/1952), yang


dalam kasus ini MA berpendirian bahwa perbuatan melawan hukum
terjadi apabila ada perbuatan sewenang dari pemerintah.
b) Putusan MA dalam perkara Josopandojo (Putusan No. 838K/Sip/1970),
dalam kasus ini MA berpendirian bahwa kriteria onrechtmatige
overheidsdaad adalah undang-undang dan peraturan formal yang
berlaku, kepatutan dalam masyarakat yang harus dipenuhi oleh
penguasa.

Putusan MA ini jelas menunjukkan bahwa kriteria perbuatan melawan


hukum oleh penguasa adalahperbuatan penguasa itu melanggar undang-undang
dan peraturan formal yang berlaku, serta perbuatan penguasa tersebut
melanggar kepentingan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhinya.

Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan hukum pemerintah,


dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik, dilakukan melalui
peradilan umum. Kedudukan pemerintah dalam hal ini tidak berbeda dengan
seseorang atau badan hukum perdata, sehingga pemerintah dapat menjadi
tergugat maupun penggugat. Konteks ini sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945
yang menyatakan kesamaan kedudukan dimuka hukum (equality before the
law).

2. Pelindungan Hukum dalam Bidang Publik


Keputusan sebagai instrumen hukum pemerintah dalam melakukan
tindakan hukum sepihak, dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran
hukum terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern, oleh
karena itu diperlukan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap
tindakan hukum pemerintah.
Dalam rangka perlindungan hukum, keberadaan asas-asas umum
pemerintahan yang baik memiliki peranan penting sehubungan dengan adanya
langkah mundur pembuat undang-undang, yang memberikan kewenangan
kepada pemerintah untuk membuat peraturan peundang-undangan, dan adanya
freies rrmessen pada pemerintah. Namun di sisi lain, pemberian kewenangan
ini dapat menjadi peluang terjadinya pelanggaran kehidupan masyarakat oleh
pemerintah.
Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan
hukum preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif memberikan
rakyat kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum
suatu keputusan pemeritah mendapat bentuk yang defintif. Artinya
perlindungan hukum preventif ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, sedangkan represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan warga negara harus mendapat
perlindungan hukum dari tindakan pemerintah, yaitu:
a) Karena dalam berbagai hal warga negara dan badan hukum perdata
tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah, seperti kebutuhan
terhadap izin yang diperlukan untuk usaha perdagangan, perusahaan
atau pertambangan. Karena itu warga negara dan badan hukum perdata
perlu mendapat perlindungan hukum.
b) Hubungan antara pemerintah dan warga negara tidak berjalan dalam
posisi sejajar, dan warga negara berada di pihak lemah dalam hal ini.
c) Berbagai perselisihan warga negara dengan pemerintah berkenan
dengan keputusan, sebagai instrumen pemerintah yang bersifat sepihak
dalam menentukan intervensi terhadap kehidupan warga negara.

Di Indonesia perlindungan hukum bagi rakyat akibat tindakan hukum


pemerintah ada beberapa kemungkinan, tergantung dari instrumen hukum yang
digunakan pemerintah. Instrumen hukum pemerintah yang lazim digunakan
adalah peraturan perundang-undangan dan keputusan. Perlindungan hukum
akibat dikeluarkannya peraturan perundang-undangan ditempuh melalui
Mahkamah Agung, dengan cara hak uji materiil, sesuai dengan Pasal 5 ayat (2)
Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa “Mahkamah Agung
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang”.
Terdapat pula dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan
UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang berbunyi, “Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan
tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah
dari undang-undang atas alasan bertetangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.” Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal
31 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, “Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap
peraturan perundang-undangan”.

Dalam rangka perlindungan hukum, terdapat tolok ukur untuk menguji


secara materiil suatu peraturan perundang-undangan yaitu bertentangan atau
tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan bertentangan atau tidak dengan
kepentingan umum. Khusus mengenai peraturan perundang-undangan tingkat
daerah, pembatalan sering diartikan dalam pembatalan secara spontan, yakni
pembatalan atas dasar inisiatif dari organ yang berwenang menyatakan
pembatalan, tanpa melalui proses peradilan.

Dalam Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat
ketentuan sebagai berikut:

1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 hari setelah di


tetapkan.
2) Perda sebagaimana dimaksud ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.
3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak di
terimanya Perda sebagaimana dimaksud ayat (1).
4) Paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda
dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda
dimaksud.
5) Apabila Provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala
daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud ayat (5) dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan
Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda tersebut
dinyatakan berlaku.

Berdasarkan ketentuan tersebut, tampak bahwa peraturan perundang-


undangan tingkat daerah mempunyai mekanisme hak uji materil yang berbeda
dengan peraturan perundang-undangan tingkat pusat, yaitu di tempuh melalui
jalur pemerintahan dalam bentuk penundaan atau pembatalan, sebelum
ditempuh melalui Mahkamah Agung.

Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan ditempuh melalui


dua kemungkinan, yaitu peradilan administrasi dan upaya administrasif. Ada
perbedaan antara peradilan administrasi dan upaya administratif adalah kata
peradilan menunjukkan bahwa hal ini menyangkut proses peradilan pada
pemerintahan melalui instansi yang merdeka. Kemerdekaan ini tampak pada
hakim administrasi yang professional, disamping juga kedudukan hukumnya;
pengangkataan untuk seumur hidup, ketentuan mengenai pengkajian terdapat
pada undang-undang, pemberhentian - ketika melakukan perbuatan tidak
seronoh - hanya dilakukan melalui putusan pegadilan. Sifat kedua yang
berkenaan dengan hal ini adalah bahwa instansi ini hanya menilai tindakan
pemerintahan berdasarkan hukum.

Sedangkan upaya administratif berkenaan dengan proses peradilan di dalam


lingkungan administrasi; instansi upaya administratif adalah organ
pemerintahan, dilengkapi dengan pertanggungjawaban pemerintahan. Dalam
hal upaya administratif ini tindakan pemerintahan tidak hanya dinilai
berdasarkan hukum, namun juga dinilai aspek kebijakannya.

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara


perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan dapat ditempuh melalui
dua jalur, yaitu melalui upaya administratif dan melalui PTUN. Dalam Pasal 48
di tegaskan sebagai berikut:

1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
secara administratif sengketa tata usaha Negara tertentu, maka sengketa
tata usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia.
2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa tata usaha Negara sebagaimana dimaksud ayat (1) jika seluruh
upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

Upaya administratif ini ada dua macam, yaitu banding administratif dan
prosedur keberatan. Banding administratif yaitu penyelesaian sengketa tata
usaha Negara dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang
mengeluarkan keputusan yang disengketakan. Sedangkan prosedur keberatan
adalah penyelesaian sengketa tata usaha Negara dilakukan oleh instansi yang
mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa tata usaha Negara melalui


PTUN terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi:
“seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu keputusan TUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan TUN yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitas”. Di dalam Pasal 53 ayat (2) disebutkan
mengenai tolok ukur untuk menilai KTUN yang digugat di PTUN, yaitu
sebagai berikut:

1) Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan


perundang-undangan yang berlaku
2) Badan atau pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang
tersebut.
3) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan
tersebut.

Berdasarkan UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986


tentang PTUN, alasan mengajukan gugatan yang terdapat pada Pasal 53 ayat
(2) ini ada perubahan, yaitu:

Alasan alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) adalah:

1) Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan


perundang-undangan yang berlaku
2) Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.

Perubahan Pasal 53 ayat (2) ini memiliki konsekuensi:

1. Pengakuan eksistensi asas-asas umum pemerintahan yang baik


(AAUPB) dalam sistem peradilan administrasi di Indonesia.
2. Ada perluasan alasan mengajukan gugatan ke PTUN. Asas larangan
penyalahgunaan wewenang dan asas larangan sewenang-wenang
merupakan bagian dari AAUPB.
Menurut Sjachran Basah, perlindungan hukum dan penegakan hukum
merupakan qonditio sine qua non untuk merealisasikan fungsi hukum itu
sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk


masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan
bernegara.
2. Integrative, sebagai Pembina kesatuan bangsa
3. Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian
dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
4. Perfektif, sebagai penyempurna.
5. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi Negara
maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk
mendapatkan keadilan.

B. Penengakan Hukum
Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif
dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati. Menurut Satjipto Raharjo,
penegakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan ide-ide atau konsep-konsep
(keadilan, kebenaran dan kemanfaatan) yang abstrak menjadi kenyataan. Oleh
karena hakikat penegakan hukum itu adalah mewujudkan nilai-nilai atau
kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, maka penegakan hukum
bukan hanya menjadi tugas dari pada penegak hukum yang sudah dikenal
secara konvensional. Akan tetapi menjadi tugas setiap orang. Dalam kaitannya
dengan hukum publik, J.B. ten Merge mengatakan bahwa pihak pemerintahlah
yang paling bertanggung jawab melakukan penegakan hukum.
Proses penegakan hukum tentu melibatkan banyak hal dan
keberhasilannya ditentukan oleh hal-hal tersebut. Faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum yang dikemukan oleh Soerjono Sukanto, adalah:
1. Faktor hukumnya sendiri;
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasiltas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
ditetapkan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Dalam rangka penegakan hukum, J.B. ten Merge menyebutkan


beberapa aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan, yaitu:

a. Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi perbedaan


interpretasi
b. Ketentuan pengencualian harus dibatasi secara maksimal
c. Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang secara
objektif dapat ditentukan
d. Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena aturan itu dan
mereka yang dibebani dengan tugas penegakan hukum
1. Penegakan Hukum Dalam Hukum Administrasi Negara
Menurut ten Berge, instrumen penegakan hukum administrasi negara
meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah
preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi
merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan.
Menurut Paulus E. Lotulung, pengawasan dalam Hukum Administrasi
Negara ada beberapa macam, yaitu jika ditinjau dari segi kedudukan
badan/organ yang mengadakan kontrol itu terhadap badan/organ yang
dikontrol, ada kontrol intern dan kontrol ekstern. Kontrol intern berarti bahwa
pengawasan itu dilakukan oleh badan yang secara struktural masih termasuk
dalam lingkungan pemerintah sendiri. Sedangkan kontrol ekstern adalah
pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara
struktural berada di luar pemerintah. Ditinjau dari segi waktu dilaksanakannya,
pengawasan atau kontrol dibedakan menjadi menjadi kontol a-priori dan
kontrol a-posteriori. Kontrol a-priori adalah bilamana pengawasan itu
dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan pemerintah, sedangkan
kontrol a-posteriori adalah bilamana pengawasan itu baru dilaksanakan
sesudah dikeluarkannya keputusan pemerintah.
Dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintah
dimaksudkan agar pemerintah menjalankan pemerintahan berdasarkan norma-
norma hukum, sebagai suatu upaya preventif, dan juga dimaksudkan untuk
mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran norma-norma
hukum, sebagai upaya represif. Di samping itu, yang terpenting adalah bahwa
pengawasan ini diupayakan dalam rangka memberikan perlindungan bagi
rakyat.
Sarana penegakan hukum selain pengawasan adalah sanksi. Sanksi
merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundang-undangan,
bahkan ten Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan
Hukum Administrasi Negara. Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakan
Hukum Administrasi Negara. Menurut Philipus Hadjon, pada umumnya tidak
ada gunanya memasukan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi
para warga di dalam peraturan perundang-undangan tata usaha negara,
manakala aturan-atauran tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha
negara. Salah satu instrumen untuk memaksakan tingkah laku masyarakat ini
adalah dengan sanksi. Oleh karena itu, sanksi sering merupakan bagian yang
melekat pada norma hukum tertentu. Dalam Hukum Administrasi Negara,
penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan
pemerintahan, dimana kewenangan ini berasal dari aturan Hukum Administrasi
Negara tertulis dan tidak tertulis.
Ada empat unsur sanksi dalam Hukum Administrasi Negara, yaitu alat
kekuasaan, bersifat hukum publik, digunakan oleh pemerintah, dan sebagai
reaksi atas ketidakpatuhan. Ditinjau dari segi sasarannya, dalam Hukum
Administrasi Negara dikenal ada dua jenis sanksi, yaitu sanksi reparatoir dan
sanksi punitif. Sanksi reparatoir adalah sanksi yang diberikan sebagai reaksi
atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi
semula sebelum terjadi pelanggaran. Sedangkan sanksi punitif adalah sanksi
yang semata-mata ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang.
Selain itu ada juga yang disebut sebagai sanksi regresif, yaitu sanksi yang
diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan.
2. Macam-macam sanksi dalam hukum administrasi negara
a. Paksaan pemerintah (Bestuursdwang)
Berdasarkan UU Hukum Administrasi Belanda, paksaan pemerintah
adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah atau atas nama
pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalangi,
memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang
dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan.
Berkenan dengan paksaan pemerintahan ini, F.A.M. Stroink dan
Steendbeeck menyatakan, kewenangan paling penting yang dapat
dijalankan oleh pemerintah untuk menegakkan hukum administrasi negara
materil adalah paksaan pemerintahan. Organ pemerintahan memiliki
wewenang untuk merealisasikan secara nyata kepatuhan warga, jika perlu
dengan paksaan, terhadap pelanggaran peraturan perundangan-undangan
tertentu atau kewajiban tertentu.
Paksaan pemerintahan dilihat dari bentuk eksekusi nyata, dalam arti
langsung dilaksakan tanpa perantaraan hakim dan biaya yang berkenan
dengan pelaksanaan paksaan pemerintahan ini secara langung dapat
dibebankan kepada pihak pelanggan.
Pelaksanaan paksaan pemerintahan adalah wewenang yang diberikan UU
kepada pemerintah, bukan kewajiban. Kewenangan ini bersifat bebas dalam
arti pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangkan menurut
inisiatifnya sendiri apakah menggunakan paksaan pemerintahan atau tidak.
Salah satu ketentuan hukum yang ada ialah bahwa pelaksanaan paksaan
pemerintahan wajib didahului dengan surat peringatan tertulis, yang
dituangkan dalam bentuk KTUN. Surat peringatan tertulis itu harus berisi
hal-hal sebagai berkut.
1) Peringatan harus definitif, artinya keputusan itu harus ditujukkan bagi
organ pemerintahan yang sudah harus pasti.
2) Organ yang berwenang harus disebut
3) Peringatan harus ditujukkan kepada orang yang tepat
4) Ketentuan yang dilanggar harus jelas
5) Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas
6) Peringatan harus membuat penentuan jangka waktu
7) Pemberian beban jelas dan seimbang
8) Pemberian beban tanpa syarat
9) Beban mengandung pemberian alasannya
10) Peringatan memuat berita tentang pembebanan biaya
b. Penarikan kembali KTUN yang Menguntungkan.
Keputusan yang menguntungkan artinya keputusan itu memberikan
hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu melalui
keputusan atau bilamana keputusan itu memberikan keringan yang ada atau
mungkin ada.
Salah satu sanksi dalam HAN adalah pencabutan atau penarikan
KTUN yang menguntungkan. Penarikan ini berarti meniadakan hak-hak
yang terdapat dalam keputusan itu oleh organ pemerintahan. Sanksi ini
termasuk sanksi berlaku ke belakang, yaitu sanksi yang mengembalikan
pada situasi sebelum keputusan itu dibuat. Sanksi ini diterapkan dalam hal
terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan
pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran
undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si
pelanggar. Pencabutan suatu keputusan yang menguntungksn ini adalah
sanksi yang situatif.
Sebab-sebab pencabutan KTUN sebagai sanksi adalah sebagai
berikut:
1) Yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan,
syarat-syarat atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dikaitkan pada izin, subsidi, atau pembayaran;
2) Yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan
untuk mendapat izin, subsidi, atau pembayaran telah memberikan data yang
salah atau tidak lengkap, sehingga apabila data itu diberikan secara benar atau
lengkap maka keputusan akan berlainan.

Dalam penarikan suatu keputusan yang telah dibuat harus diperhatikan


asas-asas berikut ini.

1) Suatu keputusan yang dibuat karena yang berkepentingan


menggunakan tipuan, senantiasa dapat ditiadakan ab ovo (dari
permulaan tidak ada)
2) Suatu keputusan yang isinya belum diberitahukan kepada yang
bersangkutan, jadi suatu keputusan yang belum menjadi perbuatan
yang sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, dapat ditiadakan
ab ovo.
3) Suatu keputusan yang bermanfaat bagi yang dikenainya dan yang
diberi kepada yang dikenai itu dengan beberapa syarat tertentu,
dapat ditarik kembali pada waktu yang dikenai tersebut tidak
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan itu.
4) Suatu keputusan yang bermanfaat bagi yang dikenainya tidak boleh
ditarik kembali seletah jangka tertentu sudah lewat, bilamana oleh
karena menarik kembali tersebut, suatu keadaan yang layak di
bawah kekuasaan keputusan keputusan yang bemanfaat itu menjadi
yang tidak layak.
5) Oleh karena suatu keputusan yang tidak benar, diadakan suatu
keadaan yang tidak layak. Keadaan ini tidak boleh ditiadakan,
bilamana menarik kembali keputusan yang bersangkutan membawa
kepada yang dikenainya suatu kerugian yang sangat besar daripada
kerugian yang oleh negara diderita karena keadaan yang tidak layak
tersebut.
6) Menarik kembali atau mengubah suatu keputusan , harus diadakan
menurut cara (formalitas) yang sama sebagaimana yang ditentukan
bagi pembuat ketetapan itu (asas contrarius actus).
c. Pengenaan Uang Paksa (dwangsom)
Dalam Hukum Aministrasi Negara, pengenaan uang paksa ini dapat
dikenakan pada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau
melanggar ketentuan yang yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagai
alternatif dari tindakan paksaan pemerintah.
Pengenaan uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan nyata, yang
berarti sebagai sanksi “subsidiari” dan dianggap sebagai sanksi reparatoir.
Persoalan hukum yang dihapadi dalam pengenaan dwangsom sama dengan
pelaksaan paksaan nyata. Uang jaminan ini lebih banyak digunakan ketika
pelaksanaan bersuursdwang sulit dilakukan.
d. Pengenaan Denda Administratif
Menurut P. de Haan dan kawan-kawan, pengenaan denda administratif
tidak lebih dari sekadar reaksi terhadap pelanggaran norma yang ditujukan
untuk menambah hukuman yang pasti, terutama denda administrasi yang
terdapat dalam hukum pajak. Penggenaan denda administratif ini diberikan
tanpa perantaraan hakim. Artinya pemerintah dapat menerapakan secara
arbitrer, tetapi harus tetap memperhatikan asas-asas HAN baik tertulis
maupun tidak tertulis. Berkenaan dengan denda administratif ini, di dalam
Algemene Bepalingen van Administratif Recht, disimpulkan bahwa denda
admninistrasi hanya dapat diterapkan atas dasar kekuatan wewenang yang
diatur dalam undang-undang dalam arti formal.

C. Pertanggungjawaban Pemerintah
1. Pengertian Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang
berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Dalam kamus
hukum ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban yaitu
liability (the state of being liable) dan responbility (the state of fact
being responsible). Liability menunjuk pada makna yang paling
komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko dan tanggung
jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability
didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban.
Sementara responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atas
suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan
kecakapan. Pertanggungjawaban menurut undang-undang yaitu
kewajiban mengganti kerugian yang timbul karena perbuatan
melanggar hukum.
2. Aspek Teoritik Pertanggungjawaban Hukum Pemerintah
a. Pergeseran konsep dari kedaulatan negara menjadi kedaulatan hukum
Ajaran kedaulatan negara mengasumsikan bahwa negara itu berada di
atas hukum dan semua aktivitas negara tidak dapat dijangkau hukum. Implikasi
lebih lanjut, hukum adalah buatan negara atau dengan merujuk pada John
Austin yang menyebutkan law is a command of the lawgiver, karena itu tidak
logis buatan itu menghakimi pembuatnya.
Dalam perspektif ilmu hukum, negara atau pemerintah telah diakui
sebagai subyek hukum. Negara atau pemerintah adalah subyek hukum yang
memiliki kedudukan istimewa dibandingkan subyek hukum lain, akan tetapi
negara tidak bebas dari tanggung jawab hukum dalam semua tindakannya.
Secara universal telah diakui bahwa setiap subyek hukum apapun bentuknya
tidak dapat melepasakan diri konsekuensi tindakan hukumnya.

b. Ajaran tentang pemisahan (lembaga) kekuasaan negara

Ajaran ini menghendaki agar masing-masing lembaga negara itu


berdiri sendiri dengan peranan dan kekuasaannya sendiri-sendiri sesuai yang
ditentukan oleh konstitusi. Masing-masing lembaga kekuasaan negara tidak
boleh saling mempengaruhi atau intervensi, tetapi harus saling menghormati.
Akan tetapi, konsep negara hukum menghendaki agar setiap subyek
hukum melakukan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Setiap badan hukum, apakah seseorang, badan hukum ataupun pemerintah jika
melanggar hukum dan menimbulkan kerugian, maka subyek hukum itu harus
mengembalikan pada keadaan semula. Jadi, ketika lembaga yudisial
menyelesaikan masalah pelanggaran hukum yang dibuat oleh pemerintah
(lembaga eksekutif), itu tidak dapat disebut sedang melakukan intervensi pada
kegiatan pemerintahan.
c. Perluasan makna hukum dari sekadar hukum tertulis kemudian
menjadi dan termasuk hukum hukum tidak tertulis.
Hukum tertulis (undang-undang) adalah produk lemabaga negara
(legislatif) yang dianggap sebagai barang sakral yang menuntut kepatuhan dan
ketaatan dari siapa pun. Dalam praktik, rumusan undang-undang itu tidak lebih
dari formulasi kepentingan sekelompok orang dan tidak mencerminkan
kesamaan kedudukan apalagi keadilan. Di luar undang-undang ternyata ada
nilai-nilai kebenaran, keadilan, kepatuhan dan nilai-nilai etik lainnya yang
dipegangi dan dipedomani oleh anggota masyarakat yang dikategorikan atau
disebut hukum tidak tertulis.
Dalam perkembangannya, hukum tidak tertulis dapat diterima untuk
diterapkan kepada siapa saja yang melanggar hukum, termasuk pemerintah.
Dengan kata lain, pemerintah juga harus bertindak hati-hati, harus
memperhatikan pula kaidah-kaidah kecermatan. Jadi bukan saja jika
pemerintah melanggar undang-undang ia dapat dipersalahkan, tetapi juga
apabila bertindak bertentangan dengan kecermatan yang pantas.
d. Perluasan peranan dan aktivitas negara/pemerintah dari konsepsi
nachtwachtersstaat ke welvaarsstaat
Sejak ditinggalkannya negara ‘penjaga malam’, yang menempatkan
pemerintah hanya selaku penjaga ketertiban keamanan serta tidak
diperkenankan campur tangan dalam kehidupan masyarakat, negara melalui
pemerintah beserta perangkatnya terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat
yang menyebabkan kaburnya batas antara bidang privat dan publik. Dalam
rangka menjalankan fungsi pelayanan umum, intervensi negara atau
pemerintah menjadi tak terelakan, bahkan semakin besar dengan freies
ermessen yang dilekatkan kepadanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya memerlukan kebebasan bertindak.
Sebagai subyek hukum, pemerintah dapat melakukan perbuatan hukum
yang dapat menimbulkan akibat-akibat hukum baik bersifat positif maupun
akibat bersifat negatif. Akibat hukum yang negatif memiliki relevansi dengan
pertanggungjawaban karena dapat memunculkan tuntutan dari pihak yang
terkena akibat hukum yang negatif.
Dalam penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan,
pertanggungjawaban itu melekat pada jabatan, yang secara yuridis dilekati
kewenangan. Dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan inilah yang
memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip umum
there is no authority without responsibility.
Namun, ukuran untuk menuntut pemerintah itu bukan berdasarkan ada
tidaknya kerugian, tetapi apakah pemerintah itu dalam melaksanakan
kegiatannya berdasarkan hukum (rechtmatig) atau melanggar hukum
(onrechtmatig) dan apakah perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum
atau bukan.
Seiring dengan dianutnya konsepsi welfare state, kepada pemerintah
dibebani tugas melayani kepentingan umum dan kewajiban mewujudkan
kesejahteraan umum (bestuurszorg) yang dalam implementasinya pemerintah
banyak melakukan intervensi terhadap kehidupan warga negara. Intervensi ini
sering menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu, apalagi dengan
diberikannya kewenangan yang luas melalui freies ermessen.

3. Pertanggungjawaban Pemerintah dalam HAN

Dalam melakukan berbagai tindakan (termasuk tindakan hukum)


pemerintah harus bersandar pada asas legalitas. Tindakan hukum mengandung
makna penggunaan kewenangan dan di dalamnya tersirat adanya kewajiban
pertanggungjawaban. Tanggung jawab negara terhadap warga negara atau
pihak ketiga dianut oleh hampir semua negara.
Dalam perspektif hukum publik, tindakan hukum pemerintahan itu
selanjutnya dituangkan dalam dan dipergunakan beberapa instrumen hukum
dan kebijakan seperti peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan
keputusan. Di samping itu, pemerintah juga sering menggunakan instrumen
hukum keperdataan seperti perjanjian dalam menjalankan tugas-tugas
pemerintahan. Setiap penggunaan wewenang dan penerapan instrumen hukum
oleh pejabat pemerintahn pasti menimbulkan akibat hukum, karena memang
dimaksudkan untuk menciptakan hubungan hukum dan akibat hukum.
Telah jelas bahwa setiap penggunaan kewenangan itu di dalamnya
terkandung pertanggungjawaban, namun demikian harus pula dikemukakan
tentang cara-cara memperoleh dan menjalankan kewenangan. Di samping
penentuan kewajiban tanggung jawab itu didasarkan pada cara-cara
memperoleh kewenangan, juga harus ada kejelasan tentang siapa yang
dimaksud dengan pejabat dan kapan atau pada saat bagaimana seseorang itu
disebut dan dikategorikan sebagai pejabat.
Yang dimaksud dengan pejabat adalah seorang yang bertindak sebagai
wakil dari jabatan, yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan.
Sementara seseorang itu disebut atau dikategorikan sebagai pejabat adalah
ketika ia menjalankan kewenangan untuk atau atas nama jabatan. Berdasarkan
keterangan di atas, tampak bahwa tindakan hukum yang dijalankan oleh pejabat
dalam rangka menjalankan kewenangan jabatan atau melakukan tindakan
hukum untuk dan atas nama jabatan, maka tindakannya itu dikategorikan
sebagai tindakan hukum jabatan.
Mengenai pertanggungjawaban pejabat ada dua teori yang
dikemukakan oleh Kraenburg dan Vegting, yaitu; pertama, fautes personalles,
yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu
dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan
kerugian, kedua, fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa
kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan.
Mengutip pendapat Logemann, hak dan kewajiban berjalan terus, tidak
peduli dengan penggantian pejabat. Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah
bahwa pemikul tanggung jawab itu adalah jabatan. Oleh karena itu, ganti rugi
juga dibebankan kepada instansi/jabatan, bukan kepada pejabat selaku pribadi.
Sebagaimana dikatakan Kranenburg dan Vegting bahwa pertanggungjawaban
dibebankan kepada korporasi (instansi, jabatan) jika suatu perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh pejabat itu bersifat objektif, dan pejabat yang
bersangkutan tidak dibebani tanggungjawab jika tidak ada kesalahan subjektif.
Sebaliknya pejabat atau pegawai itu dibebani tanggung jawab ketika ia
melakukan kesalahan subjektif.
Untuk perbuatan melanggar hukum lainnya, hanya wakil yang
bertanggungjawab sepenuhnya; ia telah menyalahgunakan situasi, dimana ia
berada selaku wakil, dengan melakukan tindakan amoralnya sendiri terhadap
kepentingan pihak ketiga. Dalam hal demikian, pejabat tersebut telah
melakukan kesalahan subjektif atau melakukan maladministrasi.
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum,
melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang
menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian
kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan
oleh penyelenggara negara yang menimbulkan kerugian materil dan immateril
bagi masyarakat.

BAB III

KESIMPULAN
Hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan warga
negara adalah Hukum Administrasi Negara atau hukum perdata, tergantung dari sifat
dan kedudukan pemerintah dalam melakukan tindakan hukum tersebut. Ketika
pemerintah melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan
hukum, maka tindakan tersebut diatur dan tunduk pada ketentuan hukum keperdataan,
sedangkan ketika pemerintah bertindak sebagai pejabat, maka tindakan itu diatur dan
tunduk pada Hukum Administrasi Negara.

Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam arti


dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai negara
hukum, namun seperti yang disebutkan Paulus E. Lotulung, masing-masing negara
mempunyai cara dan mekanismenya sendiri tentang bagaimana mewujudkan
perlindungan hukum tersebut, dan juga sampai seberapa jauh perlindungan hukum itu
diberikan. Perlindungan hukum yang dimaksudkan ini lebih ditekankan pada
perlindungan hukum terhadap sikap tindak atau perbuatan hukum pemerintah
berdasarkan hukum positif di Indonesia.

Secara umum ada tiga macam perbuatan pemerintahan yaitu perbutan


pemerintahan dalam bidang pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling),
perbuatan pemerintahan dalam penerbitan keputusan (beschikking), dan perbuatan
pemerintahan dalam bidang keperdataan (materiele daad).

DAFTAR PUSTAKA
Mertokusumo,S. (2018). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Muchsan. (2018). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Basah, S. (2006). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Gafindo Persada.
Raharjo, S. (1983). Masalah Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosioogis. Bandung:
Sinar Baru.
Hadjon, P. (2008) Pengantar Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
HR,Ridwan. (2011). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Prins,W.F, & Kosim,R., A. (2011). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai