Anda di halaman 1dari 42

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM AGRARIA
MAKALAH
UPAYA REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA

DOSEN PENGAMPU :
BAHJATUL MARDHIAH, S.Ag., SH., MH

DISUSUN OLEH :
DINA SAFITRI
NPM : 19810055
KELAS : 3 A REG MALAM BJM

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN ( UNISKA )


MUHAMMAD ARSYAD AL – BANJARY ( MAB ) BANJARMASIN
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN HUKUM
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas karunia-Nya
berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya saya bisa menyelesaikan makalah bertema
Repormasi Agraria. Tidak lupa Shawalat serta salam tercurahkan bagi Baginda Agung
Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak.
Makalah Repormasi Agraria disusun guna memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Hukum
Agraria. Selain itu, saya juga berharap agar makalah Upaya Reformasi Agraria di Indonesia ini
dapat menambah wawasan bagi pembaca.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu BAHJATUL MARDHIAH, S.Ag., SH., MH selaku
dosen mata kuliah Hukum Agraria yang telah memberikan tugas isi sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Banjarmasin, 26 Safar 1442 H


14 Oktober 2020 M

Penulis dan Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian...................................................................4
1. Pentingnya Reforma Agraria................................7
2. Sejarah Awal Reforma Agraria.............................7
3. Reforma Agraria di Indonesia……………….....10
B. Undang-Undang Pokok Agraria / Landefrom……..11
C. Konsep Reforma Agraria..........................................17
D. Tujuan Reforma Agraria...........................................21
E. Landasan Hukum Reforma Agraria..........................24
F. Mekanisme (Subyek dan Obyek) Reforma Agraria. 26
G. Reforma Agraria terhadap Kesejahteraan Petani......28
H. Permasalahan Reformasi Agraria.............................30

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.....................................................................35
B. Saran...............................................................................36

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu sumber
daya utama, yang selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi rakyat Indonesia,
juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan rakyat yang makin beragam
dan meningkat, baik dalam tingkat nasional maupun dalam hubunganya dengan dunia
Internasional.1 Sebagaimana diketahui masalah tanah memang merupakan masalah yang
sarat dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk
Indonesia, tanah juga mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis.
Sifat konstan tanah dan terus bertambahnya manusia yang membutuhkan tanah semakin
menambah tinggi nilai tanah, dari waktu ke waktu, seiring dengan pertambahan
penduduk, kemajuan teknologi dan industri, serta pergeseran budaya, jumlah kebutuhan
akan tanah terus meningkat.2
Tanah yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian),
berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Perubahan spesifik dari
penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi non-pertanian yang kemudian dikenal
dengan istilah alih fungsi tanah, kian waktu kian meningkat. Khusus untuk Indonesia,
fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan tanah yang serius di kemudian
hari jika tidak di antisipasi secara serius dari sekarang. Implikasinya, alih fungsi tanah
pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan
bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial.
Tanah mempunyai peran penting dalam pemenuhan kehidupan manusia, sehingga
banyak manusia yang berusaha untuk menguasai dan memiliki tanah seluas-luasnya,
namun penguasaan tanah tersebut tidak diikuti dengan pengusahaan, pemanfaatan, dan
penggunaan tanahnya, serta tidak memperhatikan batas minimum dan maksimum yang
ditentukan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku, sehingga terjadi
pembiaran atas tanah yang menyebabkan tanah tidak terawat yang berakibat tanah
menjadi terindikasi terlantar bahkan bisa menjadi terlantar.

1
Boedi Harsono, Menuju Kesempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta : Universitas Trisakti, 2003), hlm.3
2
Muhammad Ilham Arisaputra, Reforma Agraria di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 10.

1
Fakta tersebut di atas memberikan gambaran bahwa jika tanah menjadi faktor
dalam suatu proses produksi, maka hubungan produksi, atau hubungan yang terjadi, akan
sangat bergantung pada bagaimana sistem pemilikan tanah tersebut. Adanya Undang-
Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang telah
dimaksudkan sebagai instrumen untuk mendorong proses pembaharuan, dalam
kenyataannya belum menjadi alat untuk menciptakan kemakmuran di sektor agraria di
masa Orde Baru. Maka dari itu dalam rangka pembaharuan hukum agraria nasional
diperlukan perangkat hukum yang lebih baik sesuai dengan perkembangan kepentingan
di masa-masa akan datang yang lebih dinamis, memiliki kepastian hukum dan beraspek
keadilan. Perubahan itu bersifat mendasar, karena baik mengenai struktur perangkat
hukumnya, mengenai konsepsinya maupun isinya yang dinyatakan dalam bagian
”berpendapat” UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi
pula keperluannya menurut keperluan zaman.
Reforma agraria merujuk TAP MPR No. 9 Tahun 2001 dijelaskan sebagai suatu
proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam
rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran
bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan dalam aturan terbaru, hampir senada, terdapat
pada Perpres No. 86 Tahun 2018 Pasal 1 ayat (1) yang menjelaskan bahwa reforma
agraria merupakan upaya penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan
penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Melalui dua peraturan tersebut,
terdapat kesamaan makna terhadap arti reforma agraria, yaitu melakukan restrukturisasi,
baik dalam konteks penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan agraria.3
Reforma Agraria diperlukan ketika masih terjadi ketimpangan dan ketidakadilan
dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah, dalam rangka mewujudkan
amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa tanah harus dilihat dan diperlakukan sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk dimanfaatkan secara wajar oleh seluruh
masyarakat. Pelaksanaan landreform di Indonesia dapat dibagi dalam 2 (dua) periode,

3
Debby, Marcho Wijaya (2019) Akselerasi Reforma Agraria melalui Koordinasi Fungsi antara Kementerian
Koordinator Perekonomian dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Diploma thesis,
Universitas Andalas.

2
yaitu periode pertama (1962-1965) dan periode kedua (setelah 1977). Pada masa
1965-1977, program landreform mengalami stagnasi. Secara yuridis, landreform
telah dimulai sejak berlakunya PP Nomor 224 Tahun 1961, walaupun konkritnya baru
pada tahun 1962.
B. Rumusan Masalah
Di dalam pembahasan ini terdapat rumusan masalah yang dapat diambil, diantaranya :
1. Apa pengertian dari reforma agraria ?
2. Kenapa reforma agraria penting ?
3. Bagaimana sejarah reforma agraria ?
4. Bagaimana sejarah reforma agraria di Indonesia ?
5. Apa saja Undang-Undang Pokok agraria ?
6. Bagaimana konsep reforma agraria ?
7. Apa tujuan dari reforma agraria ?
8. Landasan hukum reforma agraria ?
9. Bagaimana mekanisme reforma agraria ?
10. Bagaimana dampak reforma agraria terhadap petani ?
11. Permasalahan reforma agraria ?

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara etymologis, istilah "agraria" berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin,
"ager", yang artinya: (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan perkotaan); (c) wilayah;
(d) tanah negara. Dari pengertian-pengertian tersebut nampak jelas bahwa yang dicakup
oleh istilah "agraria" itu bukanlah sekedar "tanah" atau "pertanian" saja. Kata-kata
"pedusunan", "bukit", "wilayah", dan lain-lain itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas,
karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. "Pedusunan",
misalnya, di situ ada tumbuh-tumbuhan, ada air, ada sungai, mungkin juga ada tambang,
ada hewan, dan ada masyarakat manusia! Memang, semua arti tersebut di atas memberi
kesan bahwa tekanannya memang pada "tanah", justru karena "tanah" itu mewadahi
semuanya. Pada masa itu, konsep-konsep tentang "lingkungan", "sumberdaya alam",
"tata-ruang", dan lain sebagainya tentu saja belum dikenal, karena kegiatan utama
manusia adalah berburu di hutan, menggembala ternak, ataupun bertani, untuk
menghasilkan pangan.
Secara etimologis reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti
suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna
mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata
bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa.4 Istilah pembaruan
agraria baru diperkenalkan pada Tahun 2001, yakni sejak lahirnya TAP MPR Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang
berarti bahwa istilah Reforma Agraria (Agrarian Reform) lebih dulu dikenal dalam
wacana ilmiah dibandingkan istilah Pembaruan Agraria. 5 Reforma agraria merupakan
suatu perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani
miskin akan penguasaan tanah dan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin.6
Agraria merupakan hal-hal yang terkait dengan pembagian, peruntukan, dan
pemilikan lahan. Agraria sering pula disamakan dengan pertanahan. Dalam banyak hal,
agraria berhubungan erat dengan pertanian (dalam pengertian luas, agrikultur), karena
4
Gunawan Wiradi, Reformasi Agraria; Perjalanan Yang Belum Berakhir, INSIST Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 35.
5
Bernhard Limbong, Reforma Agraria, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012, hlm. 26.
6
Bernhard Limbong, Op Cit. hlm. 27.

4
pada awalnya, keagrariaan muncul karena terkait dengan pengolahan lahan. Reformasi
agraria adalah suatu istilah yang dapat merujuk kepada dua hal. Secara sempit istilah
tersebut merujuk pada distribusi ulang lahan pertanian atas prakarsa atau dukungan
pemerintah, sedangkan secara luas istilah tersebut merujuk pada peralihan sistem agraria
suatu negara secara keseluruhan, yang sering kali juga meliputi reformasi pertanahan.
Reformasi agraria dapat mencakup kebijakan dalam bidang kredit, pelatihan, penyuluhan,
penyatuan tanah, dan lain-lain. Bank Dunia mengevaluasi reformasi agraria
menggunakan lima dimensi: (1) harga dan liberalisasi pasar, (2) reformasi pertanahan
(termasuk pengembangan pasar pertanahan), (3) saluran pasokan atas pengolahan hasil
dan input pertanian, (4) keuangan pedesaan, (5) institusi pasar.7
Reforma agraria atau disebut juga pembaruan agraria adalah proses restrukturisasi
(penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber
agraria (khususnya tanah). Dalam praktiknya, terdapat tiga persoalan pokok dalam
melaksanakan reforma agraria; (1) ketimpangan penguasaan tanah negara, (2) timbulnya
konflik agrarian yang dipicu tumpang tindihnya kebijakan distribusi lahan pada masa
lalu, (3) timbulnya krisis sosial dan ekologi di pedesaan. Terkait tiga persoalan pokok
tersebut, maka pemerintah merasa perlu untuk melakukan reforma agraria yang
bertujuan, Satu mengurangi kemiskinan, kedua menciptakan lapangan kerja, ketiga
memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah, keempat
menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
dan sumber-sumber agraria, kelima mengurangi konflik dan sengketa pertanahan dan
keagrariaan, keenam memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, ketujuh
meningkatkan ketahanan pangan dan energi masyarakat. Ada 10,2 juta rakyat miskin
tersebar di 25.863 desa di sekitar kawasan hutan, 71.06 % menggantungkan hidupnya
dari sumber daya hutan. Penduduk kawasan hutan memiliki keterbatasan terhadap akses
lahan garapannya, dengan adanya Reforma Agraria menjamin perlindungan akses
manyarakat pada sumber daya hutan. Redistribusi lahan menciptakan sumber
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.8

7
Wikipedia Csaba Csaki and John Nash, The Agrarian Economies of Central and Eastern Europe and the
Commonwealth of Independent States, World Bank Discussion Paper 387, Washington, DC, 1998.
8
Septian Agam, "Mengapa Perlu Reforma Agraria?", Indonesiabaik.id. (Diakses pada 17 Oktober 2020 di laman
http://indonesiabaik.id/infografis/mengapa-perlu-reforma-agraria-1)

5
Reforma agraria juga merupakan penataan kembali struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan
aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Reforma
Agraria mengatasi berbagai persoalan umum di Bidang Agraria, Sosial, Ekonomi, Politik,
Pertahanan dan Keamanan, yaitu :9
1. Ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
2. Sengketa dan Konflik Agraria
3. Alih fungsi lahan pertanian yang masif
4. Turunnya kualitas lingkungan hidup
5. Kemiskinan dan Pengangguran
6. Kesenjangan Sosial
Reforma agraria merupakan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan (Landreform plus) yaitu
landreform + access reform (BPN-RI, 2007).10 Artinya adalah landreform didalam
kerangka mandat konstitusi, politik, undang-undang untuk mewujudkan keadilan dalam
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfataanya yang ditambah dengan access
reform yang diwujudkan dengan adanya perbaikan diluar aspek pertanian seperti
pemberian kredit dan pemasaran hasil pertanian.
Reforma agraria lebih dikenal dengan istilah Landreform plus yang ditambah dengan
access reform. Pada tahun 1960 sampai dengan tahun 2006 landreform hanya
dimaksudkan untuk distribusi dan redistribusi tanah tetapi sejak tahun 2007 pelaksanaan
reforma agraria dilaksanakan dengan distribusi dan redistribusi tanah serta access reform
yaitu memberikan akses kepada masyarakat dalam bidang permodalan, pemasaran,
teknologi, peningkatan kualitas para petani melalui pelatihan dan kursus agar dapat
meningkatkan produktivitas tanah garapanya. Landreform secara harfiah berasal dari kata
land berarti tanah dan reform yang artinya perubahan atau perombakan. Landreform
berarti perombakan terhadap struktur pertanahan.
1. Pentingnya Reforma Agraria

9
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Kementerian ATR/BPN 2018
10
Muhamad Rahman, Implementasi Reforma Agraria Studi di Kecamatan Latoma Kabupaten Konawe Provinsi
Sulawesi Tenggara (Yogyakarta : BPN-RI Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2009), hlm. 68

6
Alasan mendasar reforma agraria dibutuhkan, terutama ketika corak dan
sistem masyarakat masih agraris (Carebesth dan Bahari, 2012), adalah keadilan
dan penghapusan segala bentuk penghisapan. Pembangunan bagaimanapun juga
harus dilandasi rasa keadilan dan pemerataan. Reforma agraria yang salah satu
aspeknya adalah landreform merupakan upaya untuk menciptakan pemerataan
sosial-ekonomi di berbagai lapisan masyarakat di pedesaan.
Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin
meningkat dan berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran
di pedesaan, pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya
fokus pada peningkatan produktivitas yang berujung pertumbuhan ekonomi.
Sementara penataan aset produksi malah terabaikan, yang berakibat masyarakat
kecil semakin terabaikan dan kehilangan akses terhadap tanah. Kondisi ini yang
menimbulkan konflik agraria baik berupa perselisihan tanah di tingkat rumah tangga
petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar, konversi penggunaan tanah yang
tidak terencana, tata ruang yang tidak konsisten dan tumpang tindih.11 Hal ini tidak
hanya berdampak pada masyarakat secara langsung tetapi juga pada program
pemerintah seperti ketahanan pangan, perumahan rakyat, dan lingkungan hidup
(Shohibudin, 2012).
2. Sejarah Awal Reforma Agraria
Gagasan mengenai penataan pembagian wilayah, diperkirakan sudah terjadi
ribuan tahun sebelum Masehi. Bahkan buku Leviticus dalam Kitab Perjanjian Lama
menggambarkan adanya redistribusi penguasaan tanah setiap 50 tahun sekali (Lihat,
R. King 1977: 28; J. Powelson, 1988: 5-52; R. Prosterman, et.al., 1990:3). Tetapi
kemudian, yang diterima dan disepakati sebagai fakta sejarah oleh para sejarahwan
adalah bahwa apa yang sekarang kita sebut dengan istilah "land reform" itu pertama
kali terjadi di Yunani Kuno, sewaktu pemerintahan Solon, 594 tahun Seblum Masehi.
Undang-Undang Solon ini tentu saja tidak memakai istilah "agraria", karena bahasa
Yunani bukanlah bahasa Latin. Undang-Undang tersebut dinamai "Seisachtheia",
yang artinya "mengocok beban". Beban itu mencakup berbagai hubungan yang tidak
serasi (tidak adil), antara pemerintah dengan pemegang kuasa wilayah, antara

11
Oswar Mungkasa. Reforma Agraria Sejarah, Konsep dan Implementasinya.

7
penguasa wilayah dengan pengguna bagian-bagian wilayah, antara pengguna tanah
dengan penggarap, antara pemilik ternak dengan penggembala ternak, dan lain
sebagainya, termasuk masalah bagi-hasil, masalah pajak, masalah hubungan antara
penguasa tanah dengan budak, dan lain sebagainya. Demikian di Yunani.
Pada jaman Romawi Kuno, dikenal adanya beberapa kali penetapan undang-
undang agraria pada waktu yang berbeda-beda. Gambaran ringkasnya kurang lebih
sebagai berikut. Kota Roma berdiri 753 tahun Sebelum Masehi, tapi "Republik
Romawi" berdiri 510 tahun Sebelum Masehi. Rentang waktu sampai dengan jatuhnya
Republik pada tahun 27 Sebelum Masehi, merupakan bagian pertama dari jaman
"Romawi Kuno" (yang berlanjut ke bagian kedua: jaman Kekaisaran Roma). Bagian
pertama itulah yang menjadi rujukan kita.
Reforma agraria di dunia pertama kali dikenali pada jaman Yunani Kuno di
masa pemerintahan Solon (sekitar 549 SM) yang ditandai dengan diterbitkannya
undang-undang agraria (Seisachtheia). Undang-undang ini diterbitkan untuk
membebaskan Hektemor (petani miskin yang menjadi penyakap/penggarap tanah
gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah digadaikan pada orang kaya)
dari kondisi pemerasan oleh pemegang gadai. Usaha ini dilanjutkan oleh
Pisistratus melalui program redistribusi disertai fasilitas kredit. Pada belahan dunia
lain, di Roma pada jaman Romawi Kuno, telah dimulai reforma agraria dalam
bentuk redistribusi tanah milik umum untuk mencegah pemberontakan rakyat
kecil. UU Agraria (Iex Agrarian) berhasil diterbitkan pada 134 SM yang intinya
membatasi penguasaan tanah dan redistribusi tanah milik umum. Sementara di
Inggris, reforma agraria dikenal sebagai enclosure movement, yaitu pengaplingan
tanah pertanian dan padang pengembalaan yang tadinya disewakan untuk umum
menjadi tanah individu.
Reforma agraria terus bergulir, kemudian paska perang dunia II reforma
agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan pada era 1950-1960
merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan masing-masing negara
memiliki cirinya masing-masing. Salah satu negara yang dipandang berhasil
dalam reforma agraria adalah Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih
pemerintah dan dibagikan kepada penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria

8
dimulai pada saat reformasi Meiji dan mencapai puncaknya pada masa pendudukan
Amerika (BPN, 2007).
Salah satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah Venezuela. Ditandai
dengan diterbitkannya undang-undang reforma agrarian pada tahun 1960-an.
Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih,
program ini memperoleh kesuksesan. Ini terlaksana karena presiden Chavez
memasukkan reforma agraria ke dalam konstitusi. Selain itu, diperkenalkan juga
prinsip kedaulatan pangan, dan mengutam kan penggunaan tanah dari pemilikan
tanah (BPN, 2007).
Negara Asia lain yang dipandang cukup berhasil adalah Thailand, yang
didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami oleh
Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur pekerjaan dari pertanian
ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai landasan pembangunannya
(BPN, 2007). Namun demikian, tidak semua negara berhasil melaksanakan reforma
agraria, seperti misalnya Zimbabwe, dikarenakan menjadikan tanah milik kulit
putih sebagai sasaran reforma agraria.
Puncak dari gerakan reforma agraria pada bulan Juli 1979 ketika dilaksanakan
konperensi dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan
(World Conference on Agrarian Reform and Rural Development) yang
diselenggarakan oleh FAO (Food and Agriculture Organization) PBB di Roma.
Konperensi ini menjadi tonggak penting karena berhasil menelurkan deklarasi
prinsip dan program kegiatan (the Peasants’ charter/Piagam Petani) yang
mengakui kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia,serta reforma
agraria dan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui 3 (tiga) bidang yaitu (1)
tingkat desa mengikutsertakan lembaga perdesaan, (2) di tingkat nasional, reorientasi
kebijakan pembangunan dan; (3) di tingkat internasional, mendorong terlaksananya
prinsip tata ekonomi internasional baru.
3. Reforma Agraria di Indonesia12
Reforma agraria di Indonesia diperkenalkan oleh Presiden Soekarno 59 tahun
silam, tepatnya 13 januari 1960. Soekarno percaya bahwa petani yang memiliki tanah
12
Kelvin Ramadhan. 2019. Reforma Agraria di Indonesia: Makin Terang atau Malah Mundur ke Belakang?.
Kompasiana.

9
sendiri akan menggarapnya dengan lebih intensif (Utrecht, 1969). Soekarno
menganggap reforma agraria dapat menyelesaikan masalah agraria sisa kolonial dan
feodalisme, sekaligus meletakkan fondasi ekonomi nasional. Adanya gelombang
reforma agraria dilakukan berbagai negara yang baru saja merdeka dari jajahan
negara kolonial juga turut mempengaruhi pemikiran Soekarno.
Pemikiran Soekarno itu ditindaklanjuti Menteri Pertanian, Soenaryo, yang bekerja
sama dengan akademisi dari Universitas Gadjah Mada dalam membuat rancangan
undang-undang (RUU) Agraria. RUU tersebut akhirnya disetujui dan diberlakukan
untuk pertama kalinya pada tanggal 24 September 1960 sebagai Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Undang-undang ini mengandung enam
unsur pokok program Reformasi Agraria, yaitu (i) pembatasan pemilikan maksimum,
(ii) larangan pemilikan tanah absentee, (iii) redistribusi tanah yang melampaui batas
maksimum, tanah absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya, (iv)
pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan, (v)
pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, (vi) penetapan batas
maksimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan kepemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang
terlampau kecil (Supriadi, 2007).
Adanya legitimasi dari pemerintah kala itu serta tindak lanjut melalui UU No. 56
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan PP No. 224 Tahun 1961
yang membahas pembagian tanah, program reformasi agraria diharapkan oleh
masyarakat, terutama petani kecil, dapat dilaksanakan sesuai ketentuan undang-
undang yang berlaku. Namun, penerapan reforma agraria tersebut tidak berjalan
lancar akibat terganjal berbagai gejolak politik dalam negeri (Rajagukguk, 1995).
Alhasil, meski berhasil meredistribusikan tanah seluas 450.000 ha kepada penyakap
(petani penggarap yang tidak memiliki tanah), "aksi sepihak" oleh simpatisan Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) untuk menduduki tanah-
tanah yang tak kunjung dibagikan kepada petani (Utrecht, 1969) memunculkan
ketegangan dan kerusuhan di berbagai daerah antar pemerintah bersama tuan tanah
dengan para petani. Solidaritas antara PKI dan BTI dapat dipahami karena adanya

10
kesamaan ideologi komunis yang sangat dekat relasinya dengan pelaksanaan reforma
agraria di Indonesia.
Mengingat kekuasaan PKI hanya berlangsung singkat (1962-1965) bersama
dengan runtuhnya era Demokrasi Terpimpin Soekarno, terjadilah peralihan kekuasaan
ke era Orde Baru yang hanya setengah hati dalam mengatasi permasalahan agraria.
Hal tersebut terjadi karena pemerintahan Soeharto menghindari segala sesuatu yang
identik dengan PKI semenjak peristiwa 30 September 1965. Untuk menghindari
reforma agraria sejati yang distigmakan sebagai agenda komunis, pemerintah Orba
berusaha melakukan reforma agraria dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya.
Hal ini membuat UUPA 1960 pada masa Orde Baru seolah-olah "mati suri": hidup di
dalam konstitusi namun mati dalam penerapannya.
Menurut Wiradi (2009) pemerintahan Orde Baru waktu itu menggunakan
pendekatan by-pass atau "jalan pintas", problematika agraria diinterpretasikan hanya
sebagai masalah pangan. Interpretasi tersebut membuat pemerintah Orde Baru dengan
dana hutang dan asistensi teknis internasional melakukan program Revolusi Hijau
melalui penggunaan teknologi pertanian sehingga terjadi peningkatan produksi beras
yang cukup signifikan (Rachman, 2012). Alih-alih menyelesaikan permasalahan
penguasaan tanah dan melakukan restrukturisasi, revolusi hijau pada akhirnya justru
merusak ekosistem tanah akibat penggunaan obat kimia dan mengubah budaya
pertanian di desa (Aprianto, 2016). Pasca Revolusi Hijau, kebijakan pembangunan
ekonomi berfokus pada persaingan global dan lupa memproteksi ekosistem agrikultur
negeri sendiri.
B. Undang-Undang Pokok Agraria (Uupa) / Landefrom
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui
tata hukum agraria yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan negara baru, yakni
menciptakan kesejahteraan rakyat, dengan menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria
No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Bagian yang
cukup penting dari UUPA antara lain ialah yang bersangkutan dengan ketentuan-
ketentuan landreform, seperti ketentuan mengenai luas maksimum-minimum hak atas
tanah dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah. Oleh Noer Fauzi (2000:103)
menyatakan bahwa semenjak tanggal 24 September 1960, rakyat petani mempunyai

11
kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil
yang adil dan mengolah tanahnya demi kemakmuran.
Pembaruan agraria, atau adakalanya disebut dengan “reforma agraria”, diberikan
arti yang berbeda-beda oleh para ahli. Sebagian ahli memberikan makna yang sama
luasnya antara konsep reforma agraria dengan landreform, namun sebagian memberi arti
bahwa landreform hanyalah bagian dari reforma agraria. Pembaruan agraria adalah suatu
upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang timpang, yang memungkinkan
eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi
kepada keadilan agraria. Menurut Badan Pertanahan Nasional RI (2007) makna Reforma
Agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan
sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan
keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sementara itu dikutip dari Soetarto dan Shohibuddin (2006) mengemukakan
bahwa reforma agraria adalah upaya politik sistematis untuk melakukan perubahan
struktur penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat
yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dan yang diikuti pula
oleh perbaikan sistem produksi melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian,
perbaikan metode bertani, hingga infrastruktur sosial lainnya.
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan induk program landreform di
Indonesia. Landreform diartikan dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah,
bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis. Cita-cita
UUPA adalah melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada
agar menjadi lebih adil dan memenuhi kepentingan rakyat petani. Tujuan dari
landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan
dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai tujuan dimaksud dilakukan dengan mengadakan
pembagian yang adil atas sumber kehidupan rakyat tani yang berupa tanah dan
pembagian hasil yang adil pula, melaksanakan prinsip tanah untuk tani, mengakhiri
sistim tuan tanah, dan perlindungan terhadap ekonomi lemah.13
13
St Nurjannah, "Undang-Undang Pokok Agraria (Uupa) sebagai Induk Landreform", Jurnal Hukum Pidanan dan
Ketatanegaraan, Vol.3/No.2/Desember 2014,hlm. 193.

12
Landreform dalam arti sempit menurut Prof. Boedi Harsono merupakan
serangkaian kegiatan tindakan dalam Agrarian Reform Indonesia. Landreform meliputi
perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum
yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah.14 Pelaksanaan Landreform ini dimulai
sejak diterbitkanya Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1961, dan sebagai pelaksanaan Undang-
Undang ini diterbitkanlah Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Landreform Indonesia mengalami
pasang surut seirama dengan perkembangan zaman. Landreform mencapai puncaknya
antara tahun 1962-1964, kemudian perubahan konstelasi pilitik Indonesia pasca 1965,
menyebabkan pula Landreform surut. Namun bukan hilang, tetapi mengalami pergeseran.
Tanah-tanah yang akan diredistribusikan (dibagikan) kepada petani penggarap, yang
awalnya terutama berasal dari tanah-tanah yang terkena ketentuan Landreform, tanah
kelebihan dari batas maksimum dan absentee bergeser menjadi tanah-tanah yang dikuasai
langsung oleh negara.
UUPA tidak hanya memuat ketentuan mengenai perombakan Hukum Agraria,
namun memuat juga lain-lain persoalan dan penyelesaiannya. Penyelesaian lain-lain
persoalan pada pembentukan UUPA, adalah Agrarian Reform Indonesia. Lahirnya
UUPA dan Agrarian Reform Indonesia adalah bertujuan mewujudkan masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila. Agrarian Reform Indonesia mencakup lima program,
yaitu:
1. Pembaharuan hukum agraria,
2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah,
3. Pengakhiran penghisapan feodal secara berangsur-angsur,
4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah, serta hubungan hukum, dan
5. Perencanaan persediaan, peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara terencana sesuai dengan
daya dukung dan kemampuannya.15

14
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaanya, (Jakarta : Djambatan, 2008). hlm. 364
15
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya,Jakarta: Djambatan, 2008. Hlm. 3-4

13
Program yang keempat dari panca program tersebuat kemudian dikenal dengan program
landreform.
Program Landreform sendiri telah menyusut menjadi kegiatan redistribusi tanah
baik secara langsung kepada petani penggarap maupun melalui programprogram seperti
transmigrasi, Perkebunan Inti Rakyat/Nucleus Estate Small holders (PIR/NES), PIR-
Trans, dan sebagainya.16
1. Tujuan Landeform
Dalam periode ini Landreform mempunyai tujuan yang sangat luas yakni dari
aspek sosial ekonomis, sosial politis, dan mental psikologis :
(1) Sosial ekonomis
a. Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak
milik serta memberi fungsi sosial pada hak milik.
b. Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
(2) Sosial politis
a. Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang
luas.
b. Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan
rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil
dan taraf hidup rakyat.
(3) Mental psikologis
a. Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan
memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah.
b. Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.
Inti tujuan Landreform Indonesia adalah untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup
petani sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi
menuju masyarakat yang adil dan makmur.

16
BPN-RI, Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat,
2007, hlm. 20

14
Adapun tujuan dari landreform menurut Michael Lipton17 dalam Mocodompis (2006)
adalah:
1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini dilakukan
melalui usaha yang intensif yaitu dengan redistribusi tanah, untuk mengurangi
perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat merupakan usaha
untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh.
2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan lahan. Dengan
ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya
meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian
tersebut, kemudian secara langasung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang
hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung merugikan para petani.
Melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang dicanangkan
sebagai landreform plus, yakni landreform untuk mewujudkan keadilan dalam
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (reforma aset), ditambah
dengan reforma akses. Dengan demikian, tujuan PPAN mencakup (1) menata
kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah kearah yang lebih
adil; (2) mengurangi kemiskinan; (3) menciptakan lapangan kerja; (4) memperbaiki
akses rakyat kepada sumber ekonomi, terutama tanah; (5) mengurangi sengketa dan
konflik pertanahan; (6) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; (7)
meningkatkan ketahanan pangan (Shohibuddin, 2009).
Latar belakang dari agenda atau tujuan pokok dari UUPA adalah karena realitas
pengaturan hukum agraria yang diwariskan pemerintah jajahan sangat bertentangan
dengan kepentingan rakyat dan bangsa, melahirkan sifat dualisme hukum agraria dan
tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi rakyat asli Indonesia. Semua itu harus
dihapus dan digantikan dengan semangat yang didasarkan pada kepentingan rakyat dan
bangsa berdasar UUD 1945. Dari penjelasan UUPA itu menunjukkan bahwa UUPA
adalah anti kapitalisme dan sebaliknya memiliki semangat kerakyatan (populis). Cita-cita
UUPA adalah melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada
agar menjadi lebih adil dan memenuhi kepentingan rakyat petani.

17
Michael Lipton CMG FBA adalah ekonom Inggris yang berspesialisasi dalam kemiskinan pedesaan di negara-
negara berkembang.

15
Dasar Hukum Landreform adalah sebagai pelaksanaan dari pasal 17 UUPA tentang
batas minimum dan maksimum hak atas tanah, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29
Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960. Perpu No. 56/1960 ini
kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No.56 Prp tahun 1960 (LN 1960 no. 174,
Penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5117 tentang Penetapan luas tanah pertanian. UU
No. 56/1960 merupakan undang-undang landreform di Indonesia (Harsono, Boedi,
1999:356). Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (LN
1961-280) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.
(Parlindungan, A.P., dalam Nur, S.R., 1986:23).
Oleh sebagian kalangan UUPA dipandang tidak mampu untuk mengatasi
ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah yang terjadi sekarang. Kebijakan
pemerintah yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi telah menempatkan tanah sebagai
asset yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga tak heran bila banyak pihak yang
bermodal besar memborong tanag-tanah sebagai penanaman modal tabungannya.
Penimbunan tanah-tanah demikian tentunya akan mengurangi daya produksi dipedesaan,
karena berkurangnya kegiatan menggarap tanah atau tanah digunakan untuk kepentingan
lain yang lebih menguntungkan. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut pemerintah
menempuh berbagai kebijaksanaan, antara lain adalah dengan transmigrasi.
Werner Roll (1981:70) menyatakan bahwa UUPA/Landreform yang diumumkan pada
tahun 1961 -demikian juga dengan tindakan transmigrasi- tidak dapat mengatasi keadaan
pincang antara pemilik tanah dan mereka yang tidak memiliki tanah. Sehubungan dengan
transimigrasi, belum tercapai target yangditetapkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi
karena kurangnya persiapan, dana dan prasrana serta kurangnya kesungguhan para
transmigran untuk memperjuangkan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya.
Keadaan ini pada akhirnya mengakibatkan tujuan landreform, yang menghendaki setiap
petani dapat memiliki minimun 2 Ha tanah pertanian untuk memperoleh hidup yang
layak tidak terpenuhi.
UUPA sebagai induk landreform pada dasarnya hanya berisikan hal-hal yang pokok
saja, pengaturan secara khusus hanya dapat dijumpai dalam UU dan peraturan
pelaksanaannya yang tentu saja dapat berubah atau disempurnakan dan kesemuanya

16
bergantung pada situasi dan kondisi yang berkembang. Maka dengan perkembangan
masyarakat sekarang ini serta meningkatnya kebutuhan akan tanah, program landreform
harus dituntaskan pelaksanaannya yang tentu harus didukung oleh kemauan politik
pemerintah, maka kebijakan pertanahan perlu untuk diperbaharui sesuai konsep
pembaruan agrarian dan paradigma baru yang mendukung ekonomi kerakyatan,
demokratis, dan partisipatif.
C. Konsep Reforma Agraria
Konsep reforma agraria adalah suatu konsep untuk menjawab permasalahan yang
dihadapi oleh petani dan rakyat miskin yaitu kesenjangan akses dan kepemilikan tanah.
Reforma agraria dilakukan dengan mendistribusikan tanah kepada petani yang tidak
memiliki tanah atau yang tanahnya sempit. Reforma agraria berkaitan erat dengan
reforma ekonomi politik suatu Negara, walaupun seakan-akan konsep tersebut hanya
untuk menjawab permasalahan petani miskin, tetapi pengimplementasian konsep tersebut
akan mempengaruhi seluruh elemen masyarakat, terutama para pemilik modal dan
Negara.
Bagi pemilik modal, implementasi konsep reforma agraria berarti mereka harus
merelakan kepemilikan mereka atas sumberdaya alam untuk dikembalikan kepada
Negara atau petani miskin. Bagi Negara, implementasi konsep ini berarti bertambahnya
anggaran belanja Negara untuk membiayai pengimplementasian konsep tersebut. Biaya
tersebut meliputi biaya untuk membeli tanah dari pemilik modal dan biaya untuk
supporting system yang meliputi pupuk, bibit, penyuluhan dan lain sebagainya.
Pengimplementasian konsep reforma agraria dilaksanakan sesuai dengan kondisi, sejarah,
dan ideologi suatu Negara, serta motif suatu Negara dalam melaksanakan reforma
agraria. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain.
1. Tipe / Model Reforma Agraria
Ada beberapa model Reforma Agraria, secara garis besarnya adalah sebagi berikut :18
1) Radical Landreform, tanah milik pemilik modal diambil alih Negara tanpa ganti rugi,
tanah milik tuan tanah yang luas diambil alih oleh pemerintah, dan selanjutnya
dibagikan kepada petani tidak bertanah. Model ini diterapkan di Negara-negara
komunis seperti contoh, Landreform yang dilaksanakan di Cina dan Rusia.

18
BPN-RI, Ibid, hlm. 46

17
2) Land restitution, tanah-tanah perkebunan luas yang berasal dari tanah-tanah
masyarakat diambil alih oleh pemerintah, kemudian tanah tersebut dikembalikan
kepada pemilik asal dengan kompensasi, tanah-tanah yang dulu diambil alih oleh
warga kulit putih diambil alih lagi oleh warga kulit hitam seperti yang terjadi di
Afrika Selatan.
3) Land colonization, tanah pemilik modal diduduki oleh petani seperti yang terjadi di
Brazil. Pembukaan dan pengembangan daerah-daerah baru, kemudian penduduk dari
daerah yang padat penduduknya dipindah ke daerah baru tersebut, dan dibagikan
luasan tanah tertentu. Contoh, asal mula transmigrasi yang dilaksanakan di Indonesia
1905.
4) Market based Landreform / (market assisted Landreform), model ini diterapkan
dengan tujuan untuk menghindari sentakan-sentakan politik. Landreform yang
dilaksanakan berdasarkan atau dengan bantuan mekanisme pasar. Model ini
umumnya tidak bisa memenuhi prinsip Landreform untuk melakukan penataan
penguasaan dan pemilikan tanah yang adil. Contoh, Landreform yang dilakukan di
Brazil.

Menurut Fauzi (2008), terdapat 4 (empat) tipe landreform berdasarkan aktor utama
Penggeraknya, yaitu :
1) Market-Led Landreform
- Pertimbangan utamanya adalah pencapaian efisiensi/produktivitas secara
ekonomis;
- Mengurangi peran negara;
- Petani yang seharusnya menjadi ‘supir’ dalam Reforma Agraria,
sesungguhnya berada di bawah perintah pelaku pasar;
- Nyatanya, terpusat pada tuan tanah/pedagang/perusahaan asing.
2) State-Led Landreform
- Pertimbangan utamanya biasanya berhubungan dengan mengamankan/ men-
jaga legitimasi politik, meskipun agenda pembangunan juga penting;
- Komitmen politik yang sangat kuat sangat dibutuhkan untuk mewujudkan
agenda landreform, plus perbaikan akses lainnya;

18
- Biasanya memperlakukan petani sebagai pelaku yang dibutuhkan secara
administratif;
- Partisipasi pelaku, pelaku pasar sangat rendah, kecuali mereka yang terpi-lih
karena lebih memiliki pengaruh dalam kebijakan pemerintah dan elite
pejabatnya.
3) Peasant-Led Landreform
- Asumsi utamanya adalah bahwa negara terlalu terbelenggu oleh kepentingan elit,
sementara kekuatan pasar juga sama dengan kepentingan elit.
- Dengan demikian, satu-satunya cara untuk mencapai reforma agraria yang pro
kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri
mengambil insiatif untuk menerapkan reforma agraria.
4) Pro-Poor Landreform
- Asumsi utama tidak meromantisasi ‘kemahakuasaan’ petani dan organisasi
mereka; dan juga tidak meromantisasi sifat budiman negara.
- Mendasarkan pada keterkaitan masalah keadilan, produktivitas dan kerusakan
lingkungan hidup; serta keberkaitan antara perspektif yang mampu
menjelaskan masalah tersebut;
- Menganalisa negara, gerakan petani dan kekuatan pasar bukan sebagai
kelompok yang terpisah, namun sebagai pelaku yang terhubung satu sama
lain melalui cara bagaimana tanah dan kekayaan alam diperebutkan secara politis
dan ekonomis;
- Memiliki tiga ciri kunci: berpusat pada petani, didorong oleh negara,dan
meningkatkan produktivitas secara ekonomis, keadilan sosial, dan pemulihan
lingkungan.

Selain itu juga reforma agraria dapat dikelompokkan berdasar prosesnya, yaitu (i)
radical landreform, tanah milik tuan tanah yang luas diambil alih negara, dan
dibagikan kepada petani tidak bertanah; (2) land restitution, tanah perkebunan luas
yang berasal dari tanah masyarakat diambil alih negara, kemudian tanah dikembalikan
kepada pemilik asal dengan kompensasi; (3) land colonization, pembukaan dan
pengembangan daerah baru, kemudian penduduk dari daerah padat dipindahkan ke

19
daerah baru tersebut, dan diberi tanah dengan luasan tertentu. Sejenis dengan program
trnasmigrasi di Indonesia; (4) market-based landreform, dilaksanakan berdasar atau
bantuan mekanisme pasar.
Reforma Agraria diperlukan ketika masih terjadi ketimpangan dan ketidakadilan
dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah, dalamrangka mewujudkan
amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa tanah harus dilihat dan diperlakukan sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk dimanfaatkan secara wajar oleh seluruh
masyarakat.
Pelaksanaan Reforma Agraria tidak boleh menimbulkan konflik penguasaan tanah
baru, untuk itu perlu komitmen pemerintah untuk merancang kebijakan makro ekonomi
yang tidak bias pada kepentingan tertentu saja. Perlu dipahami bahwa kebijakan yang
berpihak kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan itu sejatinya tidak harus
dipandang sebagai serta merta bertentangan dengan prinsip ekonomi pasar, namun bahwa
pemberian hak kepada kelompok yang mempunyai kemampuan/jasa lebih itu, harus
diimbangi dengan pemberian perhatian khusus sebagai koreksi atas kebijakan
berdasarkan hak tadi, karena kelompok masyarakat yang lebih membutuhkan tanah justru
tidak mempunyai kemampuan untuk memperolehnya secara wajar.19
Berdasarkan amanat UUPA Nomor 5 Tahun 1960, terdapat 6 (enam) elemen
pokok program Landreform, yaitu (i) pembatasan pemilikan maksimum, (ii) larangan
pemilikan tanah absentee, (iii) redistribusi tanah yang melampaui batas maksimum,
tanah absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya, (iv) pengaturan
pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan; (v) pengaturan
kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, (vi) penetapan batas minimum
pemilikan tanah pertanian, disertai larangan melakukan perbuatan mengakibatkan
pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil (Supriadi,
2007).
Sebelum Perang Dunia ke-II bahkan sampai dekade 1960-an, pembaruan agraria
dikenal dengan istilah “Landreform”. “Landreform” yang pertama kali di dunia, yang
secara resmi tercatat dalam sejarah adalah terjadi di Yunani Kuno 594 tahun sebelum
Masehi. Jadi umurnya sudah lebih dari 2500 tahun. Hakekat maknanya adalah: "Penataan
19
Maria SW Soemardjono,Tanah Dalam Persepektif Hak Ekonomi Social Dan Budaya, Kompas Media Nusantara
,Jakarta,2008, hal 107

20
kembali (atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan
tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruhtani tah bertanah"
Prinsipnya: Tanah untuk penggarap.20
D. Tujuan Reforma Agraria
Pada masa awal terbitnya UUPA No. 5/1960, landreform bertujuan
mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani
yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat
dicapai pembagian hasil yang adil dan merata (PP No. 224/1961).
Presiden Jokowi pada tanggal 24 September 2018 menerbitkan Peraturan Presiden
RI No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Terbitnya Perpres No. 86 tahun 2018
atas pertimbangan bahwa saat ini pemerintah masih perlu mewujudkan pemerataan
struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta berdasarkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005-2025, perlu pengaturan tentang pelaksanaan Reforma Agraria dalam rangka
meningkatkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Adapun tujuan dari Reforma Agraria adalah untuk :
1. Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka
menciptakan keadilan
2. Manangani sengketa dan konflik agraria
3. Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis
agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah
4. Menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan
5. Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi
6. Meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan dan
7. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup

20
Catatan ringkas ceramah, disampaikan dalam acara “Temu-Tani Se-Jawa”, di YTKI, Jakarta, 1 Mei 2003.
GWR/1/5/2003. Kpa.or.id

21
Di dalam Perpres ini juga disebutkan definisi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA )
yaitu tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat
untuk diredistribusi atau dilegalisasi dan Subjek Reforma Agraria yaitu penerima TORA
yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan untukmenerima TORA.
1. Tanah Objek Reforma Agraria (TORA )
Terdapat 11 macam Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) menurut Perpres 86
Tahun 2018, yaitu:
1) TORA TORA dari HGU dan HGB yang telah habis harus dipastikan prioritasnya
untuk subjek reforma agraria, bukan perusahaan atau yang menguasai
sebelumnya;
2) Alokasi 20% dari HGU yang berubah menjadi HGB karena perubahan peruntukan
rencana tata ruang;
3) Alokasi 20% dari HGU dari luasTanah Negara yang diberikan kepada pemegang
HGU dalam proses pemberian, perpanjangan atau pembaruan haknya;
4) TORA dari pelepasan kawasan hutan harus dipastikan adanya proses bersama
masyarakat setempat untuk meninjau batas penunjukan-penepatan kawasanhutan
dan tanah yang dikuasai masyarakat. Selain itu harus sejalan dengan amanat
Putusan MK 35/PUUX/2012 dan Perpres Nomor 88 Tahun 2017 Tentang
Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan serta Inpres 2/2018
tentang Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap jo. Inpres 1/2016 tentang
Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional;
5) Tanah Negara bekas tanah terlantar yang didayagunakan untuk kepentingan
masyarakat dan negara melalui Reforma Agraria;
6) Tanah hasil penyelesaian Sengketa dan Konflik Agraria;
7) Tanah bekas tambang yang berada di luar kawasan hutan;
8) Tanah timbul;
9) Tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah swapraja/bekas swapraja
yang masih tersedia;
10) Tanah yang memenuhi persyaratan penguatan hak rakyat atas tanah, meliputi: a)
tanah yang dihibahkan oleh perusahaan dalam CSR, b) tanah hasil konsolidasi, c)
sisa tanah sumbangan tanah untuk pembangunan dan tanah pengganti biaya

22
pelaksanaan Konsolidasi Tanah, atau d) Tanah Negara yang sudah dikuasai
masyarakat.
11) Tanah bekas hak erpacht, tanah bekas partikelir dan tanah bekas eigendom yang
luasnya lebih dari 10 (sepuluh) bauw yang masih tersedia.
Selain tanah-tanah tersebut di atas sebenarnya masih ada yang potensial untuk dapat
dijadikan objek TORA, yaitu: Pertama, tanah-tanah yang pemegang haknya tidak
memenuhi syarat sebagai subjek hak, dan ia belum mengalihkan haknya kepada
subjek hak yang berhak pada waktunya, atau ia belum melakukan perubahan hak
sesuai dengan ketentuan, seperti ketentuan Pasal 21 UUPA. Kedua, tanah-tanah hak
milik yang beralih kepada orang asing secara terselubung, misalnya dengan jalan
kedok/nominee/trustee, yang diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA. Tampaknya
tanah-tanah seperti ini belum menjadi perhatian Pemerintah ataupun Kementerian
Agraria dan tata Ruang/Ka.BPN-RI.21
Reforma agraria secara fundamental memberikan program-program yang dapat
menuntaskan masalah kemiskinan masyarakat desa, meningkatkan kesejahteraan dengan
kemandirian pangan nasional, meningkatkan produktivitas tanah, memberikan pengakuan
hak atas tanah yang dimiliki baik secara pribadi, negara, dan tanah milik umum yang
pemanfaatannya untuk memenuhi kepentingan masyarakat.
Institusi teknis yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ReformasiAgraria
adalah penguasa administratif pertanahan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan
badan pemerintah yang menajadi operator penyelenggaraan administrasi pertanahan di
Indonesia. BPN berperan secara administratif berpedoman pada prinsip pertanahan yang
memberikan pengaruh besar dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat; menata
kehidupan masyarakat berdasarkan keadilan; warga Negara Indonesia, serta
mencerminkan harmonisasi (teratasinya segala sengketa dan permasalahan pertanahan)
(BPN, 2007).
Upaya mencapai tujuan BPN (2007) menetapkan 11 agenda pertanahan yang
meliputi:
1. Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional RI;

21
FX. Sumarja, Politik Hukum Larangan Kepemilikan tanah Hak Milik Oleh Orang Asing untuk Melindungi Warga
Negara Indonesia, Disertasi, PDIH Undip, 2015., hlm 395.

23
2. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertifikasi tanah
secara menyeluruh di Seluruh Indonesia;
3. Memastikan penguatan hak –hak rakyat atas tanah;
4. Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan
daerahdaerah konflik di seluruh tanah air;
5. Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan
secara sistematis;
6. Membangun Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional dan sistem
pengamanan dokumen pertanahan di Seluruh Indonesia;
7. Menangani masalah Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN) serta meningkatkan
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;
8. Membangun basis data penguasaan dan pemilikan tanah skala besar;
9. Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan
yang telah ditetapkan;
10. Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional RI;
11. Mengembangkan dan memperbarui politik, hukum, dan kebijakan pertanahan
(Reformasi Agraria).
E. Landasan Hukum Reforma Agraria
Landasan utama reforma agraria (landreform) tercantum dalam UUD 1945
Pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Sehingga secara historis dapat dikatakan bahwa upaya pengaturan
pertanahan, termasuk landreform, di Indonesia telah dimulai sejak proklamasi
kemerdekaan. Hal ini kemudian ditindaklan-juti melalui UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Selain itu, yang mungkin kurang dikenal sebagai regulasi yang terkait
landreform adalah UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH),
yang melindungi golongan ekonomi lemah (petani penggarap) dari praktek bagi hasil
yang merugikan. Terkait pendaftaran tanah, yang merupakan alat mengendalikan luas
kepemilikan dan penguasaan tanah, diterbitkan PP Nomor 10 Tahun 1961 yang telah
diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Upaya

24
pelaksanaan landreform juga didukung oleh beberapa regulasi seperti Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut
Pelaksanaan Landreform, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek Landreform secara Swadaya,
Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1995 tentang
Inventarisasi atas Tanah Terlantar, Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absente
Baru, serta Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 1997
tentang Penertiban Tanah Obyek Redistribusi Landreform.
Pada tahun 2001, MPR kembali menelurkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang
mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia. TAP
MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang secara jelas
mencantumkan langkah-langkah percepatan reforma agraria berupa penyempurnaan
UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya, serta pembangunan sistem informasi dan
manajemen pertanahan.
Reforma Agraria telah dijelaskan di bagian Penjelasan Umum Undang-Undang
Pokok Agraria pada romawi II angka (7), yang berisi : “Dalam pasal 10 ayat (1) dan (2)
dirumuskan suatu asas yang pada dewasa ini sedang menjadi dasar daripada perubahan-
perubahan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia, yaitu di negara-negara
yang telah atau sedang menyelenggarakan apa yang disebut ”Landreform” atau
“Agrarianreform”.
Selain peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum, ada
beberapa dasar yang menjadi landasan pelaksanaan Reforma Agraria, antara lain:
a. Landasan Idil, yaitu Pancasila.
b. Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945 dan Perubahannya.
c. Landasan Politis, yang terdiri dari TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang :
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam; Keputusan MPR-RI
Nomor 5 Tahun 2003 tentang Penugasan Kepada Pimpinan MPR-RI oleh
Presiden, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003; dan
Pidato Politik Awal Tahun Presiden RI tanggal 31 Januari 2007.

25
d. Landasan Hukum, diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-tanah Partikelir (Lembaran Negara RI Tahun 1958
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negra RI Nomor 1517); Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembar Negara RI Tahun 2004
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4411); Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara RI Tahun
2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4725), dan lain
sebagainya.

Dalam TAP MPR No. 9 Tahun 2001, agraria diartikan secara luas, tidak hanya
sekedar tanah, melainkan keseluruhan sumber daya. Sedangkan dalam Perpres No. 86
Tahun 2018, agraria direduksi maknanya hanya sebatas tanah. Kedua, TAP MPR No. 9
Tahun 2001 lebih menekankan fokus reforma agraria untuk memberikan kapastian dan
perlindungan hukum untuk mencapai kemakmuran rakyat. Sedangkan dalam Perpres No.
86 Tahun 2018, lebih memfokuskan pada mekanisme penataan aset dan penataan akses
dalam rangka mencapai tujuannya untuk memberi kemakmuran kepada rakyat.
F. Mekanisme dari Reforma Agraria (Subyek dan Obyek)
Reformasi agraria memiliki mekanisme dasar (Sumardjono, 2014), sesuai dengan
kondisi atau kedudukan subyek (petani miskin, buruh tani, atau pengelola tanah) dan
obyek (tanah yang akan diredistribusikan).
Pada tahap awal perencanaan pelaksanaan reformasi agraria hal yang perlu
dirumuskan dengan baik adalah apa objek yang akan direformasi dan siapa pelakunya
serta aturan mainnya. Objek yang akan direformasi berkaitan dengan sumber daya lahan
dan semua yang ada di atasnya. Pelaku adalah terdiri dari pelaksana, penerima dan yang
memberi, sedangkan aturan main adalah peraturan/undang-undang dan kelembagaan
yang melekat pada objek tersebut.22 Subjek Reforma Agraria, menurut Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria ini, terdiri atas: a. orang
perseorangan; b. kelompok masyarakat dengan hak kepemilikan bersama; atau c. badan
hukum. Pada dasarnya subyek Reforma Agraria adalah penduduk miskin di pedesaan
baik petani, nelayan maupun non-petani/nelayan. Penduduk miskin dalam kategori ini
22
Erijal Jamal. BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA. FAE.
Volume 18. No. 1 dan 2 Desember 2000: 16 - 24

26
dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka
kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari daerah lain. Program Reforma Agraria
yang dicanangkan pemerintah merupakan suatu program yang terdiri dari kegiatan-
kegiatan pengembangan kapasitas subyek Reforma Agraria (petani miskin).
Pengembangan kapasitas subyek Reforma Agraria dapat diartikan sebagai upaya
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat mengatasi keterbatasan yang
membatasi kesempatan hidup mereka, sehingga memperoleh hak yang sama. Melalui
pengembangan kapasitas, masyarakat akan lebih mandiri dalam meningkatkan kualitas
hidup dan kesejahteraannya.
Secara umum, urutan kelompok prioritas dalam penentuan subyek penerima
PPAN adalah (i) pertama, petani yang bekerja dan menetap di lokasi obyek
PPAN; (ii) kedua, petani penggarap dan buruh tani yang tidak memiliki tanah pertanian;
(iii) ketiga, petani yang memiliki luas tanah pertanian kurang dari 0,5 ha; (iv)
keempat, petani pelaku pertanian dalam arti luas termasuk nelayan yang
membutuhkan tanah guna melangsungkan kehidupannya; (kelima, penduduk miskin
berdasar data BPS atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan (Shohibuddin,
2009).
Secara umum, terdapat 3 (tiga) mekanisme reforma agraria berdasarkan pada
kondisi/kedudukan subyek (penerima tanah redistribusi) dan obyek (tanah yang akan
didistribusikan), yaitu (i) subyek dan obyek pada lokasi yang sama atau berdekatan;
(ii) ketika subyek dan obyek berjauhan digunakan skema (a) subyek mendekati
obyek. Skemanya mirip transmigrasi yaitu memindahkan subyek ke lokasi tanah
redistribusi; (b) obyek mendekati subyek. Dikenal sebagai skema swap atau
pertukaran tanah yang didasarkan pada cara konsolidasi lahan atau bahkan bank
tanah. Skema ini jauh lebih rumit.
Sedangkan yang menjadi obyek dari Reforma Agraria yaitu tanah. Tanah
merupakan komponen dasar dalam Reforma Agraria. Pada dasarnya tanah yang
ditetapkan sebagai obyek Reforma Agraria adalah tanah-tanah Negara dari berbagai
sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagi obyek
Reforma Agraria. Sesuai dengan tahapan perencanaan luas tanah yang dibutuhkan untuk
menunjang Reforma Agraria, maka luas kebutuhan tanah obyek Reforma Agraria dalam

27
kurun waktu 2007-2014 adalah seluas 9,25 juta Ha. Objek redistribusi yang telah
ditetapkan sebagaimana dimaksud meliputi: a. Redistribusi tanah untuk pertanian; dan b.
redistribusi tanah untuk non-pertanian, bunyi Pasal 8 Perpres Nomor 86 Tahun 2018
tentang Reforma Agraria ini. Disebutkan dalam Perpres ini, redistribusi tanah untuk
pertanian sebagaimana dimaksud diredistribusi kepada Subjek Reforma Agraria dengan
luasan paling besar 5 (lima) hektar sesuai dengan ketersediaan TORA, dengan pemberian
sertifikat hak milik atau Hak Kepemilikan Bersama.
Di Indonesia, sekarang ini sudah ada TAP-MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (disingkat TAP PA-PSDA). Namun sejauh
ini, masih tetap terjadi perdebatan di banyak kalangan, yang mempertanyakan, apa
perbedaan antara “Reforma Agraria” (RA) dan “Pengelolaan Sumberdaya Alam (PSDA).
Dilihat dari obyeknya, atau sasaran materi yang digarapnya, substansinya, adalah sama
(Bumi, air, dst.dst.). PSDA bias ekonomi, RA bias sosial politik. Memang, dalam
sejarahnya yang panjang itu (ribuan tahun), sejak awal RA pada hakekatnya merupakan
kebijakan sosial-politik, bukan kebijakan ekonomi. Barulah pada peralihan abad-19 ke
abad-20, terutama sejak terjadinya "Debat Agraria" selama + 35 tahun di Eropa (1895-
1929), aspek ekonomi menjadi pertimbangan penting dalam agenda RA (Walaupun
sebelumnya, yaitu pada tahun 1880, Bulgaria, sebelum menjadi negara komunis, sudah
melaksanakan RA dengan sangat memperhatikan aspek ekonomi).
G. Reforma Agraria terhadap Kesejahteraan Petani
Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting, bukan saja karena
fungsinya sebagai faktor produksi, tetapi juga karena implikasi fungsi sosialnya. Dari
tanahlah proses produksi dalam usaha pertanian dimulai dari tanah pula kesejahteraan
petani berawal. Indonesia adalah negara yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk
perekonomiannya, masih bercorak agraris. Kenyataan menunjukan bahwa mayoritas
penduduk Indonesia masih hidup atau tergantung dari sektor pertanian.
Indonesia sampai saat ini masih bergulat dengan persoalan ketidakadilan social
yang mewujud dalam kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural ini terkait erat dengan
ketimpangan struktural dalam hal penguasaan tanah sebagai sumber kemakmuran.Ada
yang menguasai dan memiliki tanah dalam skala luas tetapi tidak dimanfaatkan dengan
baik, sementara masih banyak rakyat yang tidak mempunyai tanah. Persoalan tanah yang

28
mendasar ini membawa akibat akibat turunan yang tak kunjung terselesaikan. Tingginya
angka kemiskinan dan pengangguran, tingginya sengketa dan konflik pertanahan,
rentannya ketahanan pangan dan energi, turunnya kualitas lingkungan dan lemahnya
akses sebagian besar rakyat terhadap hak hak dasar, termasuk sumber sumber ekonomi.23
Masalah agraria khususnya tanah di Indonesia sudah semakin meluas, bukan
hanya antar pemilik tanah, tetapi juga antar pemilik tanahdengan pihak swasta, pemilik
tanah dengan badan hukum, pemilik tanah dengan investor, dan bahkan pemilik tanah
dengan pemerintah.
Dari berbagai masalah mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan hak atas tanah menunjukan bahwa akses terhadap lahan pertanian (sawah
dan perkebunan) lebih diberikan kepada investor dan pemilik modal, sehingga akses
rakyat terhadap sumber ekonomi menjadi tertutup. Dalam rangka pembaruan agraria
yang dapat menciptakan adanya kepastian hak atas tanah yang digunakan oleh
masyarakat kecil khusunya petani untuk mewujudkan menciptakan lapangan kerja di
daerah pedesaan harus memerlukan peraturan yang mendukung atau koordinasi antar
instansi terkait, yang pertanggungjawabannya jelas, dan perencanaan, pelaksanaan, serta
evaluasi program transpransi pembaruan agraria yang tepat sasaran.24
Saat ini Program Reforma Agraria kurang berhasil mengatasi kemiskinan,
terutama untuk petani. Seperti konflik yang terjadi di Mesuji dan pertambangan di Bima,
itu pun dua dari 163 kasus agraria yang terjadi selama tahun 2011 lalu. Hal itu terjadi
karena masyarakat yang ada di daerah tersebut merasa khawatir eksplorasi tambang emas
di atas tanah masyarakat itu akan mengganggu mata pencaharian mereka.
Secara rasional Program Reforma Agraria akan memberikan pengaruh terhadap
laju tingkat kesejahteraan masyarakat yang mendapatkannya. Reforma Agraria
merupakan agenda bangsa yang diharapkan dapat memberikan titik terang untuk
terwujudnya keadilan sosial dan tercapainya kesejahteraan masyarakat serta diharapkan
dapat membantu masyarakat miskin (sebagian besar petani) beranjak dari keterpurukan
ekonomi menuju kehidupan yang layak dan lebih sejahtera.
Petani dan nelayan memiliki posisi yang sangat strategis dalam pemenuhan
pangan masyarakat Indonesia, sehingga peningkatan komoditas pertanian dan perikanan
23
Joyo Winoto, Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, BPNRI 2010,hal 42
24
Sudargo Gautama, Tapsiran UUPA, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 23.

29
amat perlu dilakukan. Konflik agraria dan sengketa tanah menjadi salah satu gesekan
yang mengganggu efektivitas kehidupan pertanian dan perikanan. Setidaknya ada dua
pemicu konflik agraria, pertama kurang tepatnya hukum dan kebijakan pengatur masalah
agraria, baik terkait pandangan atas tanah, status tanah dan kepemilikan, hak-hak atas
tanah, maupun metode untuk memperoleh hak-hak atas tanah. Kedua, kelambanan dan
ketidakadilan dalam proses penyelesaian sengketa tanah, yang akhirnya berujung pada
konflik. Akibatnya, banyak petani dan nelayan yang kehilangan mata pencaharian dan
akhirnya menjadi pengangguran. Pengangguran menyebabkan bertambahnya penduduk
miskin di daerah terpencil seperti pedesaan yang sebagian besar adalah petani dan
nelayan. Oleh karena itu, Reforma Agraria hadir untuk mempersempit ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah yang sejatinya akan memberikan harapan baru untuk
perubahan dan pemerataan sosial ekonomi masyarakat secara menyeluruh.25
H. Permasalahan Reformasi Agraria
Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah penguasaan lahan di Indonesia masih
menjadi masalah yang belum terselesaikan. Padahal, ketimpangan tanah, modal, dan aset
di pedesaan, serta produktivitas agrikultur dibanding industri merupakan akar
permasalahan dari kemiskinan (Kay, 2009). Di Indonesia semenjak UUPA 1960 dibuat
saat itu, kurangnya pemahaman komite pelaksana mengenai urgensi reforma agraria
sebagai instrumen perubahan sosial menjadi salah satu hambatan pelaksanaan reforma
agraria tahun 1961-1964. Banyak dari komite pelaksana yang menginginkan kegagalan
pelaksanaan reforma agraria itu sendiri. Begitu pula dengan organisasi petani yang
semestinya bisa memberikan dukungan dan pengawasan, mereka masih tunduk kepada
para pemilik tanah. Upaya penghilangan akses dan aset para penguasa tanah pun terasa
nihil. Hal ini menunjukkan bahwa program reformasi agraria tidak hanya memerlukan
political will dari badan-badan pemerintah, tetapi juga diperlukan elemen paksaan dari
pemerintah (government compulsion).
Hingga saat ini ketimpangan tanah di Indonesia masih cukup tinggi. Di Indonesia
sendiri terdapat 25 juta rumah tangga pertanian pengguna lahan, namun 14 juta dari
mereka merupakan petani gurem (petani yang menguasai lahan dibawah 0,5 ha). Petani

25
Jabbar, "Reforma Agraria Menjamin Pemerataan Sosial Ekonomi Masyarakat Secara Menyeluruh", Kominfo, 1
Agustus 2018. (Diakses pada 17 Oktober 2020 si laman https://kominfo.go.id/content/detail/13688/reforma-
agraria-menjamin-pemerataan-sosial-ekonomi-masyarakat-secara-menyeluruh/0/artikel_gpr)

30
kecil ini lah yang selalu berhadapan dengan resiko hasil panen yang tidak sebanding,
kerentanan terhadap harga dan iklim, dan terbatasnya kesempatan mendongkrak
produktivitas produksi karena lahannya yang kecil (Gifariadi, 2018).
Kuatnya keterkaitan lahan dengan kegiatan pertanian menyebabkan upaya
perbaikan kesejahteraan petani tidak cukup hanya melalui perbaikan teknologi dan
kelembagaan yang terkait dengan proses produksi, perbaikan akses petani terhadap lahan
akan banyak menentukan keberhasilan upaya perbaikan kehidupan masyarakat pedesaan
secara keseluruhan. Misalnya sekarang, lahan pertanian cenderung makin terbatas karena
harus berkompetisi untuk berbagai penggunaan, sementara orang yang bekerja di
pertanian secara absolut terus bertambah sehingga menyebabkan rata-rata pemilik dan
penguasaan lahan semakin sempit. kondisi ini merupakan akibat dari akumulasi
kesalahan di dalam penerapan kebijaksanaan pembangunan yang kurang berpihak pada
pertanian, dengan dikeluarkannya sebagai undang-undang dan peraturan yang
memudahkan investor untuk mendapatkan lahan, termasuk lahan pertanian dan hak
ulayak masyarakat adat.26
Pelaksanaan reformasi agraria pada tahap awal yang mungkin untuk dilaksanakan
adalah landreform. Walaupun masih banyak perdebatan tentang hal ini , namun untuk
Indonesia hal ini mungkin dan bisa dilaksanakan. Sumber objek landreform adalah tanah
negara, tanah kelebihan dari batas maksimum, tanah absentee dan tanah partikelir.
Beberapa hasil studi, terutama Padmo (2000) menyebutkan bahwa hambatan dalam
penentuan objek lanfreform adalah kesulitan teknis dalam mengidentifikasi kelebihan
bidang tanah dari maksimum pemilikan/penguasaan lahan terutama di pedesaan, serta
lemahnya sistem informasi kependudukan untuk melacak tanah absentee. Menurut
Sudjatmiko (2000) pelaksanaan landreform bukanlah solusi yang tepat dalam
memperbaiki struktur pemilikan lahan di pedesaan Indonesia, karena struktur
kepemilikan lahan di Indonesia berbeda dengan negara dimana landreform pertama
dicetuskan.
Berkaitan dengan penentuan lahan absentee, karena begitu mudahnya seseorang
dalam pembuatan kartu identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan belum
adanya satu Sistem Informasi Kependudukan yang dapat mendata seluruh rakyat
26
Erizal Jamal. BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA. Vol 18, No
1-2 (2000)

31
Indonesia, menyebabkan sangat sulit untuk mendata lahan absentee, sebagai salah satu
objek dari landreform. Seseorang dapat mempunyai KTP dibeberapa wilayah sehingga
terkesan yang bersangkutan bukanlah penduduk di luar kecamatan dimana lahannya
berada, sehingga lahannya secara administratif tidak termasuk lahan absentee.
Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan negara menguasai lahan dan
berhak mengatur peruntukkan dan relasi dalam pemanfaatan lahan tersebut. Bertitik tolak
dari ketentuan ini pemerintah kemudian dengan leluasa membuat berbagai peraturan dan
perundangan yang mengatur pemanfaatan lahan miliknya. Setelah diberlakukannya
UUPA pada tahun 1960, kemudian lahirlah berbagai UndangUndang yang mengatur pola
pemanfaatan lahan untuk berbagai sektor dan bidang.
Berdasarkan data Komnas HAM dalam lima tahun terakhir (2015-2019),
pengaduan masyarakat kepada komisi ini menunjukkan, konflik agraria jadi masalah
mendasar dan penyelesaian mendesak . Luasan konflik mencapai 2.713.369 hektar dan
tersebar di 33 provinsi di berbagai sektor. Tercatat, 42,3% atau 48,8 juta jiwa desa berada
dalam kawasan hutan.27 Konflik terjadi antara lain, sektor perkebunan, kehutanan,
pertambangan, infrastruktur, barang milik negara (BMN), pertambangan, kehutanan dan
lingkungan.
Penyebab utama konflik agraria, antara lain pengakuan dan perlindungan minim
atas hak entitas masyarakat, perampasan dan penyerobotan lahan sewenang-wenang, dan
sengketa tapal batas. Juga, ketidakpastian dan diskriminasi hukum, di mana banyak
masyarakat kecil tidak terlalu mengetahui hukum hingga mudah kalah. Tidak hanya itu,
penyerapan aspirasi, partisipasi, sosialisasi kepada masyarakat dalam sebuah proyek atau
investasi juga minim membuat masyarakat terpingirkan. Soal transparansi, pengawasan
dan koordinasi terkait penguasaan, pegelolaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
Pada sektor perkebunan, pola konflik agraria antara lain, terjadi tumpang tindih lokasi,
sengketa lahan, perusakan lingkungan, marjinalisasi masyarakat lokal atau masyarakat
adat, keberatan nilai ganti rugi, pelibatan aparat, hingga kriminalisasi. Pada sektor
infrastuktur, konflik agraria terkadi karena pengadaan tanah tak prosedural,
pengambilalihan lahan sewenang-wenang, penggusuran, dan pencaplokan lahan warga.

27
Lusia Arumingtyas. Catatan Akhir Tahun: Reforma Agraria Masih Jauh dari Harapan. Mongabay. 31 December
2019

32
Kemudian, perintah pengosongan lahan dan permasalahan ganti rugi, tidak ada sama
sekali, besaran/nilai tidak sesuai dan lain-lain.
Persoalan mendasar berkaitan dengan pelaksanaan reformasi agraria adalah
ketersediaan data dan informasi yang akurat tentang lahan dan kependudukan. Informasi
tentang lahan tersebut terutama berkaitan dengan struktur penguasaan, pemilikan dan
pengusahaan lahan serta berbagai kelembagaan yang terkait dengan keberadaan lahan
tersebut. Pada tingkat perencana di pusat dan di daerah perlu melibatkan masyarakat
lokal dalam perencanaan pemanfaatan lahan untuk kepentingan kehutanan,
pertambangan, pertanian dan lainnya, sehingga masyarakat lokal tidak hanya menjadi
penonton dan membiarkan lingkungannya rusak serta hilangnya beberapa kearifan lokal
dalam pemanfaatan sumber daya.
Gambaran konsentrasi pemilikan dan penguasaan tanah di perkotaaan dapat
dilihat dari semakin banyaknya kelompok miskin yang tersisih dan bahkan kehilangan
tanahnya untuk berbagai kepentingan pembangunan. Hal ini terkait dengan tata ruang
perkotaan yang kurang memberikan akses kelompok masyarakat miskin untuk turut
menikmati adanya perubahan penggunaan tanah.28
Land reform secara nasional masih sulit terlaksana. Hal ini khususnya disebabkan
adanya kondisi yaitu masih tidak sadaran elit politik mengenai pentingnya land reform
dan kurang aktifnya peran serta pemerintah lokal. Pemerintah lokal dimaksud adalah
Pemerintahan Daerah yang menskipun secara yuridis mempunyai kewenaghan penuh
dalam pengaturan masalah pertanahan namun faktanya tetap masih dikendaikan secara
terpusat.
Indonesia sebagai negara kategori negara berkembang, sangat bergantung
terhadap bantuan dari lembaga ataupun negara maju. Hal tersebut merupakan salah satu
penghambat pelaksanaan land reform di Indonesia karena dengan bantuan-bantuan dana
dari negara dan lembaga asing tersebut justru bantuan itu digunakan sebagai tameng
untuk mengontrol Indonesia untuk lebih fokus terhadap perkembangan dari dunia
industri. Masa pemerintahan baru tidak memilih program land reform karena biayanya
dan hasilnya belum tampak dalam jangka pendek. Sebaliknya tekanan arus ekonomi
Kapitalis membuat tanah dijadikan komditas menarik investor asing untuk menanamkan
28
Suparjo Sujadi. MASALAH-MASALAH HUKUM AKTUAL DALAM W ACANA REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA.
Jurnal Hukum & Pembangunan 37(1):90. vol 37.no 1.143

33
modalnya, misalnya dengan regulasi dan dalam perkebunan-perkebunan swasta besar di
bidang kelapa sawit yang tidak memperhatikan hak ulayat dan ekosistem alam.

BAB III

34
PENUTUP
A. Kesimpulan
Reformasi agraria adalah landreform yang disertai dengan program-program
penunjangnya, termasuk program pasca reformasi. Secara sederhana hakikat dari
reformasi agraria adalah menata kembali struktur kepemilikan, penguasaan dan
penggunaan lahan untuk kepentingan rakyat banyak. Dengan batasan seperti di atas,
pengertian reformasi agraria jauh lebih luas dari landreform.
Kebijakan agraria pun dibuat selaras dengan aturan pengembangan sektor tertentu
seperti Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri, UU
Pertambangan, UU Sumber Daya Air dan lain-lain. UUPA sebagai induk program
landreform di Indonesia berisikan hal-hal pokok yang menyangkut program landreform
yang dapat dilihat pengaturannya dalam pasal 7, 10 dan 17 UUPA. UUPA sampai saat ini
belum dapat mengatasi kepincangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah yang
melampaui batas karena terhambatnya pelaksanaan program landreform serta tidak
adanya dukungan kemauan politik dari pemerintah yang lebih mengejar pertumbuhan
ekonomi untuk memasukkan program landreform dalam kebijakan pembangunan.
Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting, bukan saja karena
fungsinya sebagai faktor produksi, tetapi juga karena implikasi fungsi sosialnya. Dari
tanahlah proses produksi dalam usaha pertanian dimulai dari tanah pula kesejahteraan
petani berawal. Indonesia adalah negara yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk
perekonomiannya, masih bercorak agraris.Kenyataan menunjukan bahwa mayoritas
penduduk Indonesia masih hidup atau tergantung dari sektor pertanian.
Mengingat ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah masih terjadi dan
semakin tajam, maka reforma agraria sudah tepat, urgen dan mutlak untuk dilaksanakan,
sampai tercapai tujuan pembangunan yaitu masyarakat adil dan makmur.
Mewujudkan masyarakat adil dan makmur, memerlukan keberpihakan dan perubahan
sikap pandang bangsa dan negara Indonesia terhadap petani dan pertanian, mereka tidak
lagi menjadi kelas bawah. Mereka harus diangkat derajatnya sesuai dengan kapasitasnya
sebagai penyedia bahan pangan umat manusia.
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan induk program landreform di
Indonesia. Landreform diartikan dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah,

35
bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis. Cita-cita UUPA
adalah melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada agar
menjadi lebih adil dan memenuhi kepentingan rakyat petani. Tujuan dari landreform yang
diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup
para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan
pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Masalah keagrariaan merupakan satu di antarapermasalahan nasional yang sangat
kompleks. Penyelesaian terhadap permasalahan tersebut cenderung berpacu dengan
perubahan yang sangat pesat terahap berbagai permaaslahan yang menyertainya.
Dari pembahasan yang ada di dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa
reforma agraria atau sering kita sebut dengan pembaruan agraria (landreform) yang ada di
Indonesia saat ini belum berjalan dengan baik dalam perkembangannya. Terutamanya
reforma agraria terhadap kesejahteraan para petani yang ada di Indonesia. Masih banyak
masyarakat Indonesia (terutama petani pedesaan) yang belum jelas pemilikan dan
penguasaan atas tanah mereka. Dan hal itu karena pemerintah sampai saat ini belum
mengimplementasikan Program Reforma Agraria dengan sebagaimana mestinya.
Sehingga masih banyak konflik-konflik agraria yang terjadi di Indonesia di kalangan
masyarakat yang masih terkatung-katung belum ada penjelasannya.
B. Saran
Pembaruan agraria (landrefom) seharusnya segera diimplementasikan untuk
mengatasi konflik-konflik agraria yang ada di Indonesia, terutama di kalangan petani.
Banyak pihak menilai bahwa pembaruan dan reformasi agraria belum bisa menjadi jalan
keluar atas konflik-konflik di bidang agraria. Pemerintah harus segera menata kembali
kebijakan tersebut agar kelompok tani dapat menikmati keadilan dan kesejahteraan di
bidang agraria.
Dalam praktiknya, terdapat tiga persoalan pokok dalam melaksanakan reforma
agraria; pertama ketimpangan penguasaan tanah negara, kedua timbulnya konflik
agrarian yang dipicu tumpang tindihnya kebijakan distribusi lahan pada masa lalu, ketiga
timbulnya krisis sosial dan ekologi di pedesaan. Terkait tiga persoalan pokok tersebut,
maka pemerintah merasa perlu untuk melakukan reforma agraria yang bertujuan, Satu
mengurangi kemiskinan, kedua menciptakan lapangan kerja, ketiga memperbaiki akses

36
masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah, keempat menata ulang
ketimpangan penguasaan pemilikikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber-
sumber agraria, kelima mengurangi konflik dan sengketa pertanahan dan keagrariaan,
keenam memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, ketujuh meningkatkan
ketahanan pangan dan energi masyarakat.
Upaya reformasi agraria, dengan sasaran memperbaiki akses petani terhadap
lahan, perlu di awali dengan mereformasi berbagai peraturan/perundangan yang ada.
Upaya ini seharusnya dilakukan bersamaan dengan perbaikan terhadap basis data yang
berkaitan dengan lahan, karena masih simpang-siurnya data dan banyaknya instansi yang
menangani persoalan lahan, dan ini merupakan hambatan utama dalam pelaksanaan
reformasi agraria di Indonesia. Agar upaya ini dapat terlaksanakan dibutuhkan political
comitment dari pemerintah dan pihak legislatif tentang pentingnya reformasi agraria ini.
Landreform merupakan suatu program kebijakan politik pertanahan yang perlu
segera dituntaskan dalam pelaksanaannya, guna mengantisipasi kecenderungan
munculnya ketimpangan dalam pemilikan tanah. Yang perlu dilakukan adalah perlunya
penyesuaian ketentuan-ketentuan landreform dengan keadaan sekarang. Sebab jumlah
dan kebutuhan penduduk serta perkembangan teknologi, transportasi dan ekonomi sosial
sudah berbeda dengan keadaan pada tahun 1960-an.

DAFTAR PUSTAKA

37
Agam, Septian. 2017. Mengapa Perlu Reforma Agraria ?. Indonesia Baik Id.
http://indonesiabaik.id/infografis/mengapa-perlu-reforma-agraria-1 [di Akses 16 Oktober
2020]
Andriyastuti, Yuni. (2013) Model Reforma Agraria Perkotaan Studi Kasus Pemberian Hak Atas
Tanah Untuk Kaum Dhuafa Di Kentingan Jebres Surakarta. Thesis thesis, Universitas
Muhammadiyah Surakarta. UMS ETD-db.
http://eprints.ums.ac.id/24198/3/3.1.___Bab_I.pdf [di Akses 16 Oktober 2020]
Amatarpigo. Reforma Agraria. http://amatarpigo.blogspot.com/2013/11/makalah-reforma-
agraria.html [di Akses 16 Oktober 2020]
Arumingtyas, Lusia. 2019. Catatan Akhir Tahun: Reforma Agraria Masih Jauh dari Harapan.
Artikel Mongabay. https://www.mongabay.co.id/2019/12/31/catatan-akhir-tahun-
reforma-agraria-masih-jauh-dari-harapan/ [diakses 21 Oktober 2020]
Charenina.· 2012. https://core.ac.uk/download/pdf/80599409.pdf [di Akses 16 Oktober 2020]
Debby, Marcho Wijaya (2019) Akselerasi Reforma Agraria melalui Koordinasi Fungsi antara
Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional. Diploma thesis, Universitas Andalas. eSkripsi Universitas Andalas.
http://scholar.unand.ac.id/47040/2/Bab%20Pendahuluan.pdf [di Akses 16 Oktober 2020]
Devita, Irma. 2018. Reforma Agraria. Irmadevita. https://irmadevita.com/amp/2018/reforma-
agraria/ [di Akses 16 Oktober 2020]
Iyus, Swandi. (2017) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETANI DALAM
PELAKSANAAN PEMBARUAN AGRARIA DIHUBUNGKAN DENGAN TAP MPR
NO IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM. Skripsi(S1) thesis, Fakultas Hukum Universitas Pasundan.
direpo unpas. http://repository.unpas.ac.id/31661/3/I.%20%20BAB%201.pdf [di Akses 16
Oktober 2020]
Jabbar. 2018. Reforma Agraria Menjamin Pemerataan Sosial Ekonomi Masyarakat Secara
Menyeluruh. Kominfo. https://kominfo.go.id/content/detail/13688/reforma-agraria-
menjamin-pemerataan-sosial-ekonomi-masyarakat-secara-menyeluruh/0/artikel_gpr [di
Akses 16 Oktober 2020]

38
Jamal, Erizal. 2000. BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN
REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA . Jurnal. Neliti.
https://media.neliti.com/media/publications/64253-ID-beberapa-permasalahan-dalam-
pelaksanaan.pdf [di akses 21 Oktober 2020]
Kontributor Wikipedia. 2018. Agraria. Wikipedia, Ensiklopedia Bebas.
https://id.wikipedia.org/wiki/Agraria [di Akses 16 Oktober 2020]
Kontributor Wikipedia. 2017. Reformasi Agraria. Wikipedia, Ensiklopedia Bebas.
https://id.wikipedia.org/wiki/Reformasi_agraria [di Akses 16 Oktober 2020]
M. Iqbal, Kiagus & Moh Ali Rahangiar. 2020. Logika sektoral dan pasar menjadi masalah utama
dalam pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia. Artiket The Conversation.
https://theconversation.com/logika-sektoral-dan-pasar-menjadi-masalah-utama-dalam-
pelaksanaan-reforma-agraria-di-indonesia-135645 [diakses 21 Oktober 2020]
Nurjannah, St. 2014. Undang-Undang Pokok Agraria (Uupa) sebagai Induk Landreform. Jurnal
Hukum Pidana dan Ketatanegaraan. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/view/1436 [di Akses 16 Oktober 2020]
Ramadhan Kelvin, 2019. Reforma Agraria di Indonesia: Makin Terang atau Malah Mundur ke
Belakang?. Kompasiana.
https://www.kompasiana.com/kelvinrh/5cf688a6c01a4c101b72dd66/reforma-agraria-di-
indonesia-makin-terang-atau-mundur-kebelakang?page=all [diakses 21 Oktober 2020]
Sujadi, Suparjo. 2007. MASALAH-MASALAH HUKUM AKTUAL DALAM W ACANA
REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA. Jurnal Hukum & Pembangunan.
https://www.researchgate.net/publication/318650349_MASALAH-
MASALAH_HUKUM_AKTUAL_DALAM_WACANA_REFORMASI_AGRARIA_DI
_INDONESIA [di akses 21 Oktober 2020]
Sumarja, FX. REFORMA AGRARIA: SEBUAH KENISCAYAAN.
http://repository.lppm.unila.ac.id/11409/1/Makalah%20Reforma_Agraria%205_April
%202019.pdf [di Akses 16 Oktober 2020]

39

Anda mungkin juga menyukai