Anda di halaman 1dari 567

Disajikan Oleh : T.A.H.

Sumber : Buku Cersil “NAGA DARI SELATAN – Lam Beng Ciam Liong”
Penerbit : PUSTAKA SILAT - Semarang, 1962
Karya : Liang Ie Shen
Diceritakan Oleh : S.D. LIONG

BAGIAN 1.1.

BAGIAN 1
TAMU TAK DIUNDANG

Hari itu merupakan suatu pagi yang cerah. Matahari nan merah tengah pe-lahan2
memancarkan sinarnya dari ufuk timur. Cakrawala bagian timur, tampak marong ke-
merah2an. Bagaikan helai sutera kuning emas, ribuan sinarnya menyusup diantara
kabut pagi yang tebal. Sepintas pandang tak ubah bagai ribuan ulat emas tengah be-
renang2 menyenangkan diri.
Di-tengah2 Lo-hu-san terdapat sebuah puncak yang disebut „Giok-li-nia" atau kepundan
bidadari. Walaupun bukan tergolong puncak yang tertinggi, namun „Giok-li-nia" tersebut
merupakan puncak yang sangat berbahaya sekali keadaannya. Tebingnya yang curam
serta kalderanya yang mengombak laut, jika ditinjau dari kejauhan, mirip dengan lapisan
tirai hijau yang ditebarkan dari langit. Pada puncak yang teratas terdapat sebuah biara,
disebut biara „Cin Wan Kuan". Biara itu terdiri dari sebuah ruangan besar, sedang
dikanan kirinya dibangun belasan ruang kamar lagi.
Hari makin lama makin tinggi. Se-konyong2 dari pintu sebelah ruang besar Cin Wan
Kuan, muncul seorang pemuda sekira berusia delapan atau sembilan belas tahun.
Langkah kakinya tegap tenang, alis lebat mata bundar besar. sikap dan dandanannya
polos sederhana. Dia mencekal sebatang pedang panjang yang sana sini terdapat "bintik2
tahi karatan. Menatap matahari pagi, dia kelihatan beberapa kali mengambil napas.
Setelah itu dia menuju kebawah sebuah pohon siong (sejenis cemara). Disitu dengan
pejamkan mata dan mengorak paha (duduk bersila), beberapa kali dia berlatih duduk-
berbangkit. Setelah napasnya teratur lebih tenang, dia tenang menatap kebawah. Kabut
pegunungan bertebaran membungkus dirinya.
Tengah pemuda itu asjik berlatih gi-kang (ilmu bernapas), tiba2 dari arah dalam biara
itu, terdengar serangkum kumandangnya tertawa kecil. Nadanya melengking tinggi, di-
padu dengan kicauan burung menyambut sang pagi, rasanya lebih merdu.
Menyusul dengan itu, segera tampak sebuah bayangan berkelebat. Sesosok tubuh
langsing kecil, bagaikan terbang lari menghampiti kearah anak muda tadi. Gerakannya
lincah dan enteng, sehingga sedikitpun tak mengeluarkan auaraa apa2. Sekejap saja, ia
sudah berada dimuka anak muda tadi. Oi, oi, kiranya ia itu seorang dara remaja berumur
lima atau enambelas tahun. Rambutnya dikepang menyadi dua konde, biji matanya besar
terang, jadi surup dengan bulu matan ja yang lebat panjang. Ditilik dari indera alat
penglihatnya saja, cukup sudah untuk memberi kesan, bahwa ia, seorang dara yang
cerdas tangkas.
Demi melihat anak muda itu tengah meramkan mats, berlatih napas, sidara segera
leletkan lidahnya, meng-iwi2 mengunyukkan muka „setan" kepada sianak muda, siapa
karena sedang memusatkan pikirannya sudah tentu tak mengetahui suatu apa. Setelah
berbuat itu, dara nakal itu segera berputar kearah belakang puhun. Sekali pelan2 enyot
kakinya, tubuhnya tampak melambung keatas. Begitu tangan mengulur, ia dapat
menangkap sebuah cabang, terus untuk pegangan memanyat. la pernahkan diri ditengah
daun yang lebat.
Tak antara berapa lama, sianak muda tampak loncat berbangkit. Wajahnya ke-
merah2an, kepalanya mandi keringat. Dengan lengan baju, dihapusnya keringat itu.
Memungut pedang yang diletakkan disamping, dia segera berIatih. Dalam latihan itu,
gerakannya sangat pelahan sekali. Dan anehnya, bolak balik latihan itu hanya terdiri dari
4 bagian jurus. Yang pertama, kedua kakinya dipentang kesamping, tangannya kiri
ditaruh didada seperti seorang paderi berdoa, sedang ujung pedang yang dicekal dalam
tangan kanan diacungkan kemuka. Mungkin itulah jurus pembukaan. Yang kedua,
pedang digoyangkan. Begitu sinar mata pedang berkilau, secepat angin terus dikibaskan
keatas. Sementara itu, tangannya kiripun turun bergerak mengimbangi gerak pedang
tadi. Sewaktu bergerak itu, jari tengah dan telunyuk, dirapatkan satu sama lain. Kaki
kananpun melangkah maju, tubuhnya ikut dipendekkan kebawah. Pedang ber-putar2
turun naik, sementara sepasang matanya tak henti2nya memandang kemuka. Jurus
yang ketiga jalah, secara tiba2 pedang ditarik, kakinya mundur dua tindak, tapi
tangannya dijulurkan kemuka. Begitu sinar pedang berkelebat kearah diri, mendadak
sontak ditusukkan kemuka se-keras2nya.
Bermula gadis yang bersembunyi diatas pohon tadi, memperhatikan betul2. Tapi serta
anak muda itu bolak balik hanya melakukan ke 4 jurus tersebut, hilanglah
kesabarannya. Dengan mendekap mulut, ia menguap. Tapi serta mengawasi lagi, kiranya
sianak muda itu masih terus mengulang-balik latihan keempat jurus itu. Begitu sampai
pada jurus ke 4, jalah ketika dia menusuk keras2 kemuka, sigadis lincah itu segera diam2
melorot turun dari pohon. Dilihat naga2nya, ia hendak menggertak supaja anak muda
itu terkejut.
Tapi sewaktu masih melorot turun, tiba2 tampak olehnya anak muda itu miringkan
tubuh menggeser kakin ja. Begitu ujung pedang menusuk kemuka, secepat kilat dia
berputar kebelakang, wut, wut, pedang dibolang balingkan dengan santer sekali,
menusuk keatas bawah kanan dan kiri empat jurusan. Sehabis itu, lalu menarik gerakan
pedangnya.
Melihat itu, bukan kepalang girangnya sigadis. Hendak ia memanyat keatas lagi, tapi
baru tubuhnya bergerak atau disana sianak muda sudah kedengaran membentak:
„Siapakah yang bersembunyi disitu, berani mencuri lihat orang berlatih pedang ?!"
Tahu kalau sudah kepeigok, tak mau nona itu bersembunyi, tapi dengan unyukkan muka
„setan" (ngiwi2), ia lont jat turun.
,,Ha, adik Yan-chiu, lagi2 kaulah yang mengadu biru," seru sianak muda itu dengan
tertawa, „kalau tadi kusalah lihat mengira kalau kau seorang luar, tentu pedangku akan
kesalahan menusukmu, dan pasti kau akan menangis menggerung-gerung."
Mulut sinona menyeringai, tangannya membereskan konde. Wajahnya yang merah dadu,
makin bersemu, sedap nian dipandang mata. „0i, suko! Sekalipun kau lebih lama belajar
silat dari aku, belum tentu sekali tusuk dapat melukai aku! Tak percaja, boleh kau coba!"
sinona balas mengejek.
Sianak muda betul2 lakukan tantangan itu. Begitu pedang dikibaskan keatas, secepat
kilat ditusukkan kemuka. Nona bengal itu tertawa cekikikan. Tubuhnya yang langsing
lemah gemulai menggeliat, tangannya kanan maju pura2 hendak menabas, lalu
menghindar kesamping seraja cascis-cus mengejek: „Suko, enggan benar aku dengan
jurusmu 'boan thoan kok hay' (menutup langit melintasi laut)!"
Sianak muda tegakkan pedangnya. „Kau kepingin jurus 'cing wi thian hay' (Cing Wi
mengisi laut) atau 'ho pek kuan hay' (Ho Pek memandang laut)?"
,,Emoh semua!" seru sinona menggeleng kepala, „coba unyukkan saja jurus 'hay siang
tiau go' (diatas laut memancing ikan besar)!"
Mendengagar itu, wajak sianak muda berobah. Sesaat hijau, sesaat pucat, matanya
menunduk kebawah. Melihat itu sidara komat kamitkan bibirnya: „Hm, hm kalau tak
mau, sudahlah! Mengapa harus unyuk roman muka yang memuakkan orang?"
,,Sumoay, yangan2 kau tadi telah melihat seluruh permainan pedangku bukan?" tegur
sianak muda dengan bengis. Sidara remaja mengangguk.
„Yan-chiu, kau nakal sih boleh, tapi mengapa berani melanggar pantangan suhu? Ah,
tidakkah suhu mengajarkanmu jurus 'hay siang tiau go' itu?"
Sinona gelengkan kepala: „Suhu berat sebelah, ja berat sebelah. Dia ajarkan kau, tidak
padaku. Telah kukatakan, keempat jurus itu sudah kufahami, seharusnya jurus yang
kelima. Tapi suhu tetap tak mau mengajarkan, katanya yang empat Itu saja aku masih
belum sempurna. Tadi sewaktu nampak begitu pagi kau sudah keluar, kuduga tentu
bakal melihat suatu pertunyukkan bagus. Ja, tobat, suhu benar2 telah mengajarkan kau
jurus yang ke-lima itu!"
Demikian mulut sinona kedengaran mencecer bagai rentetan petasan dipasang. Bebrapa
kali sianak muda hendak menyela, tapi tiada keaempatan. Dan sehabis menghamburkan
kata2nya itu, mata sinona tampak berabak ke-merah2an, mirip seorang yang menderita
penasaran. Tapi sebaliknya wajah sianak muda itu malah tambah keren, katanya:
„Sumoay, pantangan suhu jalah: 'tak boleh mencuri apabila saudara seperguruan tengah
berlatih. Dilarang keras diam2 menurunkan pelajaran pada saudara seperguruan'.
Apakah kau masih ingat?"
,,Kan suhu tak tahu, takut apa sih?" sidara jebikan bibir.
,,Sumoay, mengapa kau begitu bengal ? Karena sudah diYerima menyadi murid masakan
suhu tak mau mengajarimu? Coba pikir, belum 2 tahun kau datang kemari, bukan saja
lwekangmu mempunyai dasar yang kokoh, pun ilmu tan-to (golok tunggal), ilmu liu-ce-
cui (banderingan) serta ilmu silat tangan kosong, telah kau miliki dengan genah. Ja
tidak?"
Sigadis merenung sejenak. Tanpa terasa dia tertawa sendiri. Tapi pada lain saat, bibirnya
kembali menyeringai, serunya: „Tapi suhu tetap tak mau mengajarku jurua ke 5 itu!"
,,Sumoay, kukira bukan suhu tak mau mengajarmu, melainkan karena jurus ilmu
pedang to-hay-kiam-hwat (pedang membalikkan laut ) itu, lain dari yang lain. Sekalipun
seluruhnya hanya terdiri dari 7 bagian, namun bagian memerlukan latihan yang keras.
Dari bagian yang ke 4 saja, sudah tampak benar bedanya dari jurus pembukaan. Jadi
apabila belum mempunyai dasar yang genah, rasanya jurus ke 5 itu malah2 akan
mencelakaimu! Ketahuilah, bahwa setiap bagian itu, mempunyai 7 gerak perobahan, jadi
7 bagian kali 7 jurus sama dengan empatpuluh sembilan d jurus. Memang kalau
dijalankan satu bagian saja, tak kelihatan sari kebagusannya. Tapi apabila 7 bagian itu
dirangkai, wah hebat sekali, 7 serangan kosong dan 7 serangan isi, jadi seluruhnya 49
jurus dikalikan 2 macam serangan kosong dan isi, ada 98 jurus! Kalau 4 jurus dasar itu
belum sempurna, walaupun diajari seluruh ilmu itu, tapi nantinya tetap hanya terdiri
dari 7 bagian saja, tiada gerak perobahannya sama sekali."
Sinona mendengari uraian suhengnya itu (kakak seperguruan) dengan asjiknya. Dan
setelah habis, bertepuk tanganlah ia seraja berseru girang: „Suko, begitu sakti ilmu
pedang to-hay-kiam itu, mengapa aku tak mengetahuinya'? Kapankah suhu
menceritakan padamu?"
,,Baru kemaren siang saja, ketika tak ter-duga2 dia menerima surat dari burung merpati
pos, burul aku dipanggilnya dan diuraikannya pelajaran tadi. Malah diapun terus
menurunkan pelajaran jurus ke 5 'hay slang tiau go', jurus ke 6 'hay li long hoan' (puteri
laut memasang gelang) serta jurus ke 7 'hay lwe cap ciu' (dalam laut 10 benua), sekali
gus diturunkan padaku. Beliau menerangkan, telah menerima surat dari toa-a-ko (ketua)
Thian Te Hwe dari propinsi Kwiciu, mengabarkan kalau tentara Ceng sudah tiba di
propinsi Hokciu. Pasukan besar sudah dipusatkan diperbatasan Hokkian. Sembarang
saat akan sudah menyerbu karesidenan Tiau-yang!"
Mendengar itu, tanpa terasa mulut sinona mengeluh. Ia she Liau namanya Yan-chiu,
kelahiran Tiau-yang dipropinsi Kwitang. ia terus mendesak dengan bernapsu: „Suko,
ceritakan terus!"
„Pemimpin pasukan Ceng itu bernama Li Seng Tong, salah seorang jenderal pemerintah
Ceng-tiau.. Orang itu pandai menggunakan tentara. Selanyutnya suhu menutur, bahwa
pangeran Ing-bing-ong Cu Yu-long telah diangkat oleh sementara menteri2 berpengaruh,
menyadi Kaisar dan berkedudukan di Siau-ging. Tapi ada lain golongan yang mengangkat
lagi seorang kaisar lain. Sungguh mengenaskan! Kantong2 nasi yang tak punya guna itu,
jika disuruh berbunuhan dengan saudara sebangsa aendiri atau disuruh memeras dan
menindas rakjat, wah jempol. Tapi kalau disuruh lawan penyajah, paling pintar
panjangkan kaki angkat langkah seribu! Oleh karena itu suhu memesan, kali ini beliau
turun gunung, bukan untuk membantu kaisar Beng se-mata2, tapi demi untuk
melindungi kampung halaman kita ini. Oleh karena dipropinsi Kwitang bakal terjadi
peristiwa2 dari segala kemungkinan, maka mungkin juga akupun disuruhnya mengikut,
dan itulah makanya sekaligus dia menurunkan ketiga jurus pelajaran itu padaku. Namun
dia pesan wantir apabila setiap jurus belum dijakinkan sempurna, hendaknya yangan
berlatih jurus berikutnya!"
Sinona yang sedari tadi mendengari dengan membisu saja, tiba2 kini berseru: „Suko,
karena tumpah darah kita menghadapi bahaja, seharusnya suhu juga menyuruhku
turun gunung. Apakah dia siorang tua itu tak pernah mengemukakan suci dan aku?"
„Entahlah, tak pernah kudengar!"
„Suko, kau seharusnya menurunkan juga ketiga jurus itu padaku!"
„Demi pesan suhu, mana aku akan berani melanggarnya!" sahut sianak muda dengan
wajah berobah.
Tahu sang suko tak meluluskan, sengaja Yan-chiu tertawa tawar: „Hem, suko, kalau suci
yang menyuruh, masa kau berani membantah!"
Sianak muda merah mukanya. Suci si Yan-chiu, juga sucinya (taci seperguruan). Anak
muda itu lebih muda satu tahun dari sang suci itu yang ternyata adalah puteri dari
suhunya. Sejak meningkat akal balig (dewasa), diam2 pemuda itu mencintai ajundanya
(suci) itu. Tapi sigadis itu, jinak2 merpati sikapnya. Diburu lari, ditinggal mendekati.
Diwaktu ramah suka mengajak bicara dan bercanda, dikala ngambul sehari suntuk tak
mau diajak bercakap. Sampai sekian jauh, sianak muda itu tertumbuk fahamnya, tak
tahu bagaimana harus menghadapinya. Perangai anak muda itu polos jujur, getaran
kalbunya itu tetap disimpannya erat2 dalam hatinya, tak berani dicurahkannya.
Liau Yan-chiu, seorang dara yang cerdas tangkas, sekalipun usianya masih begitu muda,
tapi dia mengerti apal. Bahwa ji-sukonya mengandung perasaan „istimewa" terhadap
sang suci, siang2 ia, sudah mengetahui. Maka sengaja saat itu ia, memper-olok2-kannya.
Dan ternyata, benar sianak muda itu merah padam. Sampai sekian saat, baru
kedengaran pemuda itu berseru: „Sebelum mendapat ijin dari suhu, walaupun sucipun
tak dapat kuajarkan!"
Baru saja sirap kumandang kata2nya itu, tiba" terdengarlah suatu suara bernada tinggi
laksana burung kenari: „Tak mau mengajari ja sudah, siapa yang kesudian ............”
Dibawa oleh alunan kabut pagi, suara yang bagaikan imbauan (nyanyian) pagi itu,
sebaliknya telah membuat kaget sianak muda dan Yan-chiu. Serentak keduanya menoleh
kebelakang. Disana tampak seorang nona sekira umur 20-an, dalam pakaian warna biru
laut, tubuhnya langsing, berambut hitam jengat. Sepasang matanya, bening laksana air
kolam, dipagari oleh bulu mats, yang lebat panjang, makin menyemarakkan sepasang
alisnya yang melengkung bak rembulan sisir. Warna bibirnya semerah delima terbentang
riang dibawah naungan hidungnya yang mancung agung. Sekalipun dalam marah, tetap
orang akan limbung terpesona, mengapa dimajapada terdapat insan yang menyerupai
bidadari cantiknya.
Saat itu, kabut pagi sudah menipis. Taburan kabut lamat2 mengerubungi tubuhnya,
sehingga makin mengesankan orang, kalau betul' ada seorang bidadari turun didunia.
Nona itu, bukan lain adalah suci yang telah menambat hati sianak muda itu. Is, adalah
puteri tunggal dari Ceng Bo siangjin kepala biara Cin-wan-kuan, sebelum dia menyucikan
diri menyadi tosu (imam). Sesuai dengan she sebelum Ceng Bo siangjin menyadi tojin,
gadis itu she Bek dan diberi nama tunggal „Lian" atau bunga terate.
Tio Jiang, demikian nama sipemuda itu, begitu melihat sang suci muncul dengan tiba2,
menduga kalau semua kat a-nya tadi tentu didengar seluruhnya oleh sang suci. Sesaat
itu ia ter-longong2, tak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi sebaliknya, Yan-chiu yang
berada disebelahnya segera bertepuk tangan ber-gelak2: „Bagus, bagus! Sang tikus
melihat kucing! Coba, kini kau mau mengajari tidak! Kalau mau, beres dah. Tapi kalau
tidak mau, hem, hem, berani mengajari Lian suci, mengapa tidak padaku?" Nona kecil
itu menutup kata2nya dengan meng-iwi2 kan muka, girangnya bukan kepalang.
Tapi sianak muda itu tak hiraukan olokan Yan-chiu, dengan „a-u a-u" tak lampias dia
menerangkan kepada Bek Lian: „Suci ketika suhu hendak berangkat telah mengatakan,
jurus ke 5, 6, dan 7 itu, tak boleh diajarkan pada lain saudara. Karena mentaati pesan
suhu, kalau kalian suka, baik belajar saja ilmu pedang lain jakni 'to-kang-kiam
hwat'........ "
„Apa? 'To-kang-kiam hwat'? Mengapa tak pernah kudengar macam ilmu pedang
begituan?" Yan-chiu sigenit centil itu sudah merebut percakapan.
,,To hay kiam hwat" artinya: ilmu pedang membalik laut. Sedang ,To kang kiam hwat"
jalah : ilmu pedang membaiik sungai.
„Suhu mengatakan, kedua ilmu pedang itu, kelak kalau dimainkan oleh sepasang pria
dan wanita, saktinya bukan olah2," kata Tio Jiang tanpa mempedulikan Yan-chiu, dan
kalau orang sudah mempelajari 'to hay kiam hwat', konsentrasi (pemusatan) pikirannya
akan terpengaruh, tak nanti dapat mengerti jelas kesaktian dari sari pelajaran 'to kang
kiam hwat' "
Sepasang mata bening dari Bek Lian ber-kicup2 mengawasi sang sute (adik seperguruan).
Ketika anak itu makin lama makin ter-bata2 sehingga mukanya pun turut merah, buru2
ia menyelutuk: „Fui, yangan berdoa seperti seorang alim ulama! Siapa yang minta, kau
mengajari? Apa yang kau maksudkan dengan 'diam2 menurunkan pelajaran' itu ?"
Sesaat setelah mulutnya menghamburkan kemengkalan hati, wajah Bek Lian tampak
merah ke-malu2an. Pembawaannya sebagai seorang gadis telah mengetuk nuraninya,
bahwa tak selajaknya ia berbuat sekasar itu. Tapi justeru dalam kemarahannya itu, ia
nampak makin cantik menggiurkan. Dalam keadaan itu, hati Tio Jiang makin dak-diduk
tak keruan rasanya. Ter-sipu2 dia menyelaskan: „Lian suci, aku.... bukan mengatakan
...... bukan mengatakan diam2 mengajari padamu, tapi mengatakan.........”
Dara cerdas tangkas Liau Yan-chiu makin geli melihat kelakuan sang suko, yang maunya
menyelaskan, siapa tahu makin menyelaskan makin runyam itu, cepat2 ia menyela:
„Haja, sudahlah! Kami berdua emangnya tak mau kau ajari, cukup?"
Seperti terlepas dari tindihan batu berat, kini legahlah rasa hati Tio Jiang. Tapi ketika dia
menatap kearah Bek Lian, tampak sucinya itu tengah memandang jauh kemuka, seperti
tetap menyesali dia. Karena sifatnya yang jujur dan wajar itu, menyebabkan dia tak dapat
segera bertindak suatu apa. Menghampiri untuk menghaturkan maaf : Ah, yangan2
malah membikin kurang senang sang suci. Namun kalau tinggal diam saja, kemungkinan
besar yang suci itu akan mendapat kesan jelek terhadap dirinya, masa begitu berat mulut
untuk menyatakan penyesalan. Oleh learena itu, kakinya yang sudah dilangkah kemuka
itu buru2 ditariknya kembali.
Sebaliknya Bek Lian hanya bersenyum tawar saja. Matanya jauh memandang kelautan
kabut disebelah muka sana yang menutupi puncak gunung. Bagian yang teratas dari
puncak itu, tampak menonyol keatas, bagaikan sebuah puIau ditengah laut nan lepas.
Chiu-yan tetap mendongkol karena sukonya tak mau mengajari lanyutan 3 jurus dari to-
hay-kiam-hwat tadi. Maka diapun tak mau mempedulikan sukonya lagi dan terus berdiri
disamping sang suci, Kedua gadis itu sesaat menuding2 kearah pemandangan alam
dihadapannya, sesaat saling ber-cakap2 dan ter-tawa2 sendirian, sedikitpun mereka tak
menghiraukan Thio Jiang, sehingga anak muda itu herdiri menyublek bagaikan terpaku
tak tahu spa yang harus dilakukan. Lewat beberapa saat, baru kedengaran dia berseru:
„Suci, aku.....”
Bek Lian cepat berpaling dan bertanya: „Kau? Kau mengapa? Apa kau berani melanggar
pesan dia siorang tua itu?" '
Saking polosnya, ditanya begitu segera Tio Jiang menyahut: „Aku tak berani!"
„Hi, hi, hi!" saking gelinya Yan-chiu tak kuat menahan ketawanya. Juga Bek Lian
terpaksa geli. Suara ketawa cekikikan dari kedua gadis yang berdiri dikanan kiri itu, tak
ubahnya seperti berketesnya air hujan didalam tempajan, menyengsamkan yang
mendengarkannya. Melihat sucinya tertawa geli, Tio Jiang legah sekali. Ketika dia hendak
maju menghampiri untuk menghaturkan maaf, tiba2 Yan-chiu berseru nyaring: „Hai,
lihatlah, apa ini?"
Sewaktu Tio Jiang dan Bek Lian mengawasi, merekapun tak mengetahui benda apakah
itu. Sebuah benda bergerak 'naik turun muncul tenggelam’ diantara lapisan kabut. Tujuh
macam warna laksana bianglala, tampak tergores jelas pada kedua sajapnya. Burungkah
itu? Tapi burung tak nanti dapat terbang selincah dan seindah begitu. Makin lama,
machluk itu makin tinggi terbangnya. Ah, kiranya sepasang kupu2 yang besar. Kedua
sajapnya hampir setengah meter panjangnya. Makin dekat, makin bagus sekali kupu2
itu. Warna sajapnya itu, makin jelas pula indahnya.
,,Suci, suko, jenis kupu2 apa itu?" Yan-chiu berseru dengan bertepuk tangan.
Tio Jiang kelahiran kota Ceng-seng-ko dikaki gunung Lo-hu-san situ. Sekali lihat,
tahulah dia bahwa itulah kupu2 keluaran istimewa dari Lo-hu-san, sahutnya: „Itulah
kupu sian-tiap dari Lo-hou-san! Keluaran iatimewa dari gunung ini. Yan sumoay, kalau"
kau inginkan mereka "
Tiba2 mulutnya tak dapat melanyutkan kata2nya, karena dilihatnya wajah Bek Lian
mengunyuk kurang senang. Maka ter-sipu2 dia berkata: „Lian suci, kalau kau suka, akan
kutangkapkan untukmu!"
Melihat sukonya berganti lagu, Yan-chiu jebirkan bibirnya: „Baru hendak mengasih
padaku, mendadak sontak hendak diberikan pada suci!"
Mendengar itu Bek Lian cepat menyanggapi: „Aku sih tak kepingin. Mau main2, bisa cari
sendiri! Siapa, yang tak tahu kalau itu kupu sian-tiap dari Lo-hou-san, atau yang disebut
siau-hong-hong!"
Sian-tiap artinya kupu dewata, sementara siau-hong-hong jalah sicenderawasih kecil.
Ingin merebut hati, malah berbalik serba salah, maka pikir Tio Jiang, daripada ribut2
mulut menerangkan lebih baik tangkap dulu kupu2 itu baru penyelasan menyusul.
Kebetulan sekali saat itu sepasang kupu sian-tiap tersebut tengah berlincahan terbang
diatasn ja, kira2 han ja beberapa depa tingginya. Sekali mengempos semangat, kakinya
diend jot, bagai peluru roket tubuhn japun segera meluncur keatas. Kedua tangannya
diulur untuk menangkap. Tapi ketika tampaknya sudah akan mengenai, tiba2 kedua ekor
kupu itu melayang kesamping, sehingga tangan Tio Jiang menangkap angin. Melihat itu
Yan-chiu tak henti2nya berseru „sayang". Namun Bek Lian tak mengacuhkan sama
sekali, matanya tetap memandang kemuka.

Gambar 1 (Gambar Diatas)


„Tangkap kupu2 itu, lekas, Suko!
Samber, cepat": seru Yan-chiu.

Kupu2 itu ternyata tak mau terbang jauh, masih berputar2 diatas kepala Tio Jiang, siapa
kini ulangi lagi sergapannya dengan sungguh2. Tapi lagi2 luput, malah kupu2 itu segera
terbang pergi. Tio Jiang bertekad untuk menangkapnya, segera dia mengejar. Bentuk dari
puncak Giok-lt-nia, bagaikan seorang wanita cantik, tegak menyulang keangkasa. Pada
puncak kalderanya, tiada terdapat dataran yang luas. Ketiga muda mudi itu, berada
diaebuah tanah lapang yang hanya 10 tombak luasnya. Maka baru berlari beberapa
langkah, Tio Jiang sudah berada dilamping menurun gunung. Dillhatnya kupu2 itu
sudah terbang jauh rasanya tiada harapan untuk mengejarnya. Tapi pada saat dia
hentikan pengejarannya, tiba2 kupu2 itu terbang balik kearahnya seraja mengitari.
„Suko, suko, lekas sawutlah!" seru Yan-chiu.
---oo0oo---

BAGIAN 1.2.

Tio Jiang enyot keras2 tubuhnya dan benar juga dia berhasil loncat diatas kupu2 itu.
Wut, wut terdengar kedua tangannya menepuk. Karena serunya samberan angin tepukan
itu, sepasang kupu2 tersebut melorot jauh kebawah, menyusul dengan itu Thio Jiang
turut melayang turun. Tapi baru dia hendak tengadahkan sepasang tangannya untuk
menyambuti, tiba2 terdengar suara benda men-desing2 diudara. Beberapa titik putih
macam bintang, meluncur keatas menghamburi kupu2 sian-tiap itu.
Kalau tetap menyambuti, terang tangan Tio Jiang pasti terpanggang senyata rahasia
berbentuk bintang2an itu. Dalam terkejutnya, Tio Jiang masih bisa menarik tangannya
dengan sebatnya. Begitu desingan suara yang lemah itu berlalu, ternyata sajap yang
indah dari kupu2 itu telah kena tertusup pecah dan bagaikan layang2 putus kupu2
itupun me-layang2 jatuh.
Sekalipun sikapnya tampak acuh tak acuh, namun sebenarnya secara diam2 Bek Lian
terus menerus mengawasi gerak gerik Tio Jiang tadi. Kepingin sekali ia mengetahui,
hendak diberikan kepada siapakah nanti kupu2 itu? Liau Yan-chiu adalah sumoaynya,
sedemikian akrab perhubungan mereka sehingga tak nanti disebabkan soal kupu2 saja
mereka sampai jadi bentrok. Tapi Bek Lian itu seorang gadis aleman yang manya.
Mendengar Tio Jiang hendak kasihkan kupu2 itu pada Yan-chiu tadi, belum2 ia sudah
mengambek tak senang hatinya. Dan kenyataannya, kupu2 sian-tiap itu memang bagus
sekali. Kalau tak bisa dipelihara hidup2 untuk perhiasan tembok kiranya cukup menarik.
Maka demi diketahui ada orang melepas senyata rahasia hendak menghancurkan kupu2
itu, tanpa terasa ia, menyerit kaget. Malah sitangkas Yan-chiu sudah terus mendamprat:
„Siapakah yang begitu kurang ajar melepas senyata rahasia?"
Tio Jiang tak begitu gemar akan kupu2 itu, jadi diapun tak begitu kecewa. Cuma saja
heran dia, mengapa begitu pagi sudah ada orang yang naik kegunung situ? Tebing
puncak Giok-li-nia begitu curam berbahaya, bagi orang tang cukup sedang saja
kepandaiannya, tak nanti mampu mendaki keatas. Dan tegas dilihatnya, cara senyata
rahasia ini dilepas, indah dan rapih sekali. Ah, kalau yang datang itu seorang musuh,
tentu berat baginya karena justeru sang suhu sedang bepergian.
Tengah dia ter-mangu2, kedengaran ada orang berseru:
Negara dalam bahaja besar, pasukan Ceng yang berjumlah besar sudah tiba diperbatasan
Kwitang, mengapa masih enak2an ber-main2 menangkap kupu2? Menyusul dengan
seruan itu, dari tabir kabut loncatlah seseorang, terus meIangkah ketengah tanah lapang.
Gerakannya begitu tangkas dan lincah sekali, hingga membuat kagum ketiga murid Ceng
Bo siangjin itu. Kini jelaslah siapa orang itu. Dandanannya seperti seorang mahasiswa,
alisnya bagus matanya terang, mencekal sebuah kipas lempit yang tak henti2nya dibuat
kipas2. Dari wajahnya yang cakap itu, terang dia itu masih muda, belum ada 30 tahun
umurnya.
Walaupun ucapannya itu memang benar, tapi karena caranya yang begitu tak tahu
aturan ialah datang2 terus mendamprat, tak senanglah hati Tio Jiang dibuatnya. Tapi
karena kepolosannya, Tio Jiang tak dapat balas mendamprat melainkan mendengus
„hem" saja. Karena yang datang itu seorang anak muda yang ganteng sikapnya, Yan-chiu
turun marahnya dan hanya menyeringai saja. Sebaliknya Bek Lian yang begitu
menyayangi sekali akan kupu2 sian-tiap tadi, tanpa menghiraukan siapa yang datang,
terus saja mengata2inya: „Kenapa kau begitu tak tahu aturan? Datang2 terus
menghancurkan sepasang sian-tiap Lo-hou-san ini?"
Kalau itu kabut sudah sirna, ribuan larik cahaja matahari pagi yang gemilang, memancar
kearah gunung situ. Dan ini merupakan suatu penerangan yang lebih menyemarakkan
kecantikan Bek Lian.
Mendengar dampratan itu, mahasiswa itu mendongak keatas tertawa, dia bermaksud
menganggap sepi saja kata2 itu. Tapi begitu dia angkat kepalanya dan nampak akan
kecantikan yang gilang gemilang dari Bek Lian, hilang lenyaplah maksud mengejek yang
hendak dibawakan dalam tertawanya itu. Bagaikan sebuah patung, dia tegak membisu
ter-longong2. Tapi keadaan itu tak berlangsung lama, karena pada lain saat dia sudah
dapat menguasai kegoncangan perasaannya. Wajahnya berobah seri, bibirnya berhias
tertawa dan mulutnya bertanya kepada Bek Lian: „Ah, kiranya nona suka sekali akan
kupu2 sian-tiap Lo-hou-san itu? Tadi sewaktu kunaiki kemari kebetulan ditengah jalan
berpapasan dengan sepasang binatang itu dan berhasil menangkapnya hidup. Inilah,
kalau nona menghendakinya, akan kuhaturkan padamu!"
Habis berkata, dia merogoh kedalam baju dan mengeluarkan sehelai bungkusan
saputangan. Begitu dibuka ternyata disitu terdapat sepasang kupu2 Lo-hu-sian-tiap.
Tapi sayangnya tak sebesar kupu2 yang hendak ditangkap Tio Jiang tadi. Dengan
memain ketawa dibibir, orang itu mempersembahkan kupu2 itu kepada sijelita: „Nona,
turut pandanganku, kau berlipat ganda cantiknya dari kupu Lo-hou-sian-tiap ini. Kalau
Lo-hou-sian-tiap mendapat julukan siau-hong-hong, sepantasnya kau digelari say-hong-
hong!"
Say-hong-hong artinya „seperti cendrawasih". Bermula Bek Lian mendongkol terhadap
mahasiswa itu. Tapi demi didengarnya dia ber-kata2 dengan nada yang empuk sedap
didengar, apalagi sikapnya sopan, seketika itu menurunlah kemarahannya. Apalagi
bukan saja orang itu telah mempersembahkan benda yang dipenujunya, malah disertai
juga puja puji mengagungkan kecantikannya melebihi kupu Lo-hou-sian-tiap. Selama ia
berdiam digunung situ, tak pernah ajahnya memuji kecantikannya, sedang sumoaynya,
Yang-chiu, juga tunggal kaum dengannya. Satu2nya orang kaum hawa yang sebaja
dengan usianya, jalah Tio Jiang. Cuma saja anak itu tak bisa bicara. Hatinya sih penuh
dengan berbagai perasaan, namun mulutnya seperti terkancing rapat susah untuk
mengutarakan. Ja, kalau tetap tutup niulut sih masih mending, tapi begitu membuka
mulut terus plegak-pleguk entah apa yang dikatakan. Maka dalam usia berahinya itu,
belum pernah Bek Lian mendengar orang memuji kecantikannya. Dan sudah menyadi
psychologi (kebatinan) seorang gadis, paling senang mendengar dirinya dipuji cantik.
Tanpa terasa Bek Lian memandang kearah simahasiswa. Seketika itu se-olah2
berhentilah jantung simahasiswa berdenyut. Sampai sekian lama, dia terlongong2.
„Nona, ambillah!" katanya kemudian.
Bek Lian ternyata mau juga menerima pemberian itu, lalu memeriksa sajapnya yang
indah itu. „Benarkah aku ini secantik yang dikatakan orang itu, jakni lebih cantik dari
sian-tiap ini dan pantasnya digelari say-hong-hong? Ah, sudah tentu memang begitu,
rupanya orang itu........", berpikir sampai disini ia kembali memandang mahasiswa
tersebut, siapa, matanya tampak berkeredepan, seperti hendak tertawa. Seketika itu
wajah Bek Lian terasa panas, dengan tundukkan kepala, ia merenung lagi: „Rupanya
orang ilu bukan macam orang yang suka bohong!"
Melihat sianak muda memberikan kupu2 sian-tiap pada Bek Lian, sebaliknya dari
mengiri, Yan-chiu malah lari menghampiri sang Suci untuk turut melihat kupu2 itu.
Hanya Tio Jiang yang dalam kebatinannya mengejek simahasiswa itu. Bukankah tadi
datang2 dia terus mendamprat „negara dalam bencana, tak seharusnya ber-senang2 diri
main2 dengan kupu2?" Tapi nyatanya dia sendiripun malah menangkap sepasang!
Sebagai seorang yang jujur, dia paling benci dengan orang yang mulut dan perbuatannya
tak sepadan. Dan karena melihat sikapnya yang begitu kurang ajar mengawasi pada sang
suci, bertanyalah Tio Jiang dengan serentak: „Siapakah saudara ini? Hendak ada
keperluan apa datang kemari?" Dalam pertanyaannya itu, bernada permusuhan.
Simahasiswa memutar kebelakang memandang beberapa jenak kepada Tio Jiang.
Dengan menyungging senyuman dan merangkapkan sepasang tangannya kebelakang,
dia mendongak sembari bersenandung:

„Dibawah markas, musim semi datang membawakan pemandangan alam yang indah,
burung meliwis terbang tanpa berkesan.
Diempat penyuru suara terompet sahut sahutan.
Dalam ribuan kubu pertahanan, kabut bertebar, matahari terbenam, pintu kota tutup.
Dengan setuang arak mengenang rumah nan ribuan Ii jauhnya, sang burung seriti bebas
berterbangan tanpa memikir pulang, embun berhamburan memenuhi tanah, tak mau
nian mata dibawa tidur, rambut memutih sang jenderal menahan air mata."

Dia sih orangnya ganteng cakap, gajanya sudah tentu makin menarik. Tapi Tio Ciang
ternyata tak mengerti apa yang dimaksudkan dalam senanyungnya itu. Dia berasal dari
seorang anak gembala sapi digunung situ. Enam tahun yang lalu. Ceng Bo siangjin yang
kebetulan ada urusan turun gunung, telah melihat dia sedang dicambuki oleh
majikannya, sehingga kepala dan mukanya bercucuran darah. Dia tak tegah. Apalagi
dilihatnya anak itu sikapnya polos jujur, segera Ceng Bo siangjin menebusnya dengan
beberapa potong perak lalu membawanya pulang kegunung. Diajarinya anak itu ilmu
silat dan sedikit ilmu surat. Tetapi rupanya Tio Jiang menumpahkan seluruh
perhatiannya akan ilmu silat saja, ilmu surat dia agak kesampingkan. Maka demi
mendengar senandung simahasiswa itu, dia hanya kerutkan alis saja. Hendak dia
menyahuti atau Bek Lian telah mengeluarkan pujian: „Suatu pambek yang tinggi!"

Gambar2 (Gambar Diatas)


„Cayhe she The bernama Go," dengan lagak tengik
pemuda itu perkenalkan diri kepada Bek Lian.

Mendengar pujian itu, simahasiswa berputar kebelakang menyurah pada sinona,


sikapnya ber-lebih2an sekali, serunya: „Aku yang rendah orang she The nama Go, tinggal
dilaut ber-sama2 keluarga Ciok, Ma dan Chi. Telah lama mendengar Ceng Bo siangjin
menuntut penghidupan suci ditempat ini, ingin benar untuk menyumpai entah bisa
diterima tidak?"
---oo0oo---
BAGIAN 1.3.

Makin simahasiswa mengunyuk gaja-pelajarnya, makin Tio Jiang mengerutkan


keningnya. Yan-chiu anggap orang itu suka ber-main2, sebaliknya Bek Lian beranggapan
lain. la yang sejak kecil diasuh dengan pendidikan silat dan sastera oleh sang ajah, telah
mempunyai dasar yang dalam tentang sjair menyair, yang kesemuanya itu telah dapat
dinikmati sungguh2. Dari senandung simahasiswa tadi, dapatlah ia mengetahui kalau
orang tengah mencurahkan isi kalbunya, maka cepat2 ia memberi pujian. Kini kembali
dengan gaja yang terpelajarnya, anak muda itu mengucapkan kata2nya, buru2 Bek Lian
menyahuti dengan sungguh2, Ceng Bo siangjin adalah ajahku sendiri. Sayang kemarin
siang dia turun gunung sampai sekarang belum pulang. Kongcu (sebutan untuk anak
muda terhormat) silahkan mampir dulu kebiara kami sana!"
Mendengar penyahutan Bek Lian itu, tertawalah Yan-chiu: „Suci, kalian berdua tengah
main sandiwara apa itu? Mengapa bernyanyi sembari berkata?"
Wajah Bek Lian bersemu merah. Sementara The Go tertawa menanyai Yan-chiu:
„Siapakah gerangan nama nona yang indah ini?"
Ditanyai begitu, buru2 Yan-chiu robah sikapnya. Dengan meniru lagak lagu sang suci
tadi, iapun memanggut kepada The Go, mengatur nada suaranya lalu menyahut: „Ah,
maafkan.... Yang ini adalah suciku, she Bek nama Lian. Itu sukoku, she Tio nama Jiang.
Sedang aku yang rendah ini tang she Liau nama Yan-chiu. Aku tinggal disini bersama
suci dan suko belajar silat."
Karena berlagak yang tak semestinya itu, tingkah sinona centil telah membuat orang2
tertawa. Malah ia sendiripun turut geli juga. Buru2 kepalanya disusupkan kedada sang
suci dan tertawa ter-kial2. Karena tak mengira akan dibuat perlindungan, Bek Lian
terkejut dan kendorkan genggaman tangannya. Sekali kendor terbanglah sepasang
kupu2 Lo-hou-sian-tiap tadi. Saking terkejutnya Yan-chiu berseru „haja", sebaliknya The
Go buru2 menghibur: „Biarlah, tak perlu disayangkan. Siau-hong-hong lepas, masih ada,
say-hong-hng''
Tio Jiang anggap si The Go itu licin orangnya. Tapi karena nampak sang suci begitu
gemar, diapun tak berani berbuat apa2. Pada saat itu, adalah bulan 11, hawa pagi dingin
sekali rasanya. Karena dari setadian dia berdiri menyublek saja, lama2 merasa
kedinginan juga. Selama mereka bertiga ber-cakap2 dengan gembira itu, dia tak
mempunyai kesempatan untuk turut bicara. Dengan mengkal dia berputar tubuh, terus
lari kembali kearah biara. Sekalipun didengarnya juga Bek Lian dan Yan-chiu segera
mengikuti dari belakang namun tak mau dia hiraukan. Masuk keda-lam kamarnya, dia
memakai baju luar lagi, menyembat pedang yang bertutulan karat, terus keluar pula.
Karena sesak dengan nafsu kemarahan, dia segera enyot tubuhnya berlari2 turun
kesebelah bawah. Tiba2 hidungnya tersampok dengan suatu bebauan yang wangi, ja
begitu wangi sekali bau itu. Maju beberapa tindak lagi, bau itu makin keras. Setelah
menikung pada sebuah batu karang, dilihatnya ada seorang tua kate kira2 satu meter
tingginya, tengah menghadapi sebuah kuali besi. Mulutnya menggigit sebatang tongkat
kaju. Hawa wangi tadi, keluar dari kuali tersebut.
Melihat itu, Tio Jiang terkejut. Buru2 dia bersembunyi kedalam semak2 pohon. Pikirnya,
6 tahun sudah dia tinggal digunung situ, tapi belum pernah suhunya mengatakan kalau
disekitar situ ditinggali oleh lain orang. Tinggi siorang tua kate itu kira2nya hanya sebatas
perutnya Tio Jiang, kepalanya gundul, umbun2nya menonyol keatas, persis seperti
bintang Lo-siu-cee yang sering terdapat dalam lukisan. Tapi jenggotnya, begitu panjang
menyulai sampai ketanah. Jubah yang dikenakannya, nampaknya bersih sekali.
Sepasang tangannya diletakkan dibelakang punggung, seluruh perhatiannya dicurahkan
untuk menggigit batang tongkat itu yang dibuatnya untuk mengaduk kuali besi.
Tak berapa lama kemudian, bau wangi itu makin keras. Se-konyong2 orang tua itu
menyingkir setindak kebelakang. Dari tanah dia memungut sehelai kain warna kelabu
untuk dibuat selimut dirinya. Kain selimut itu ternyata lubang disebelah atas dan ini
untuk tempat supaja kepalanya dapat menonyol keluar. Kalau dia berteliku kaki,
mungkin orang akan mengira kalau sebuah batu adanya.
Tak tahu Tio Jiang spa yang sedang dilakukan oleh orang tua aneh itu. Karena tak ada
keperluan lain2 Tio Jiang pun kepingin tahu sekali. Tapi sampai sekian saat dia
menunggu, walaupun sepasang mata siorang tua kate itu tampak melotot, namun
orangnya sih bagaikan tidur, sedikitpun tak bergerak. Kini tak sabar lagi Tio Jiang
menunggunya. Hendak dia tinggalkan tempat persembunyiannya untuk mencari lain
tempat guna berlatih pedang, tiba2 terdengar suara men-desis2. Seketika wajah siorang
tua berobah gembira sekali. Mata dan alisnya naik turun berkedipan. Sikapnyapun lucu.
Tio Jiang mendengar juga suara desisan yang aneh itu. Sebagai anak kelahiran gunung,
tahulah dia hanya bangsa ular atau binatang berbisa saja yang mengeluarkan suara
begitu. Sewaktu mengawasi dengan cermat, darahnya menyadi tersirap.

Gambar 3 (Gambar Diatas)


.... Suara mendesis itu makin nyata dan pada saat lain dari sela2
batu sana merajap keluar seekor ular yang tak seberapa besar.

Kiranya dihadapan siorangtua kate ada sebuah goa kecil macam terowongan. Dalam 4
musim, gunung Lo-hou-san itu tetap sedang saja iklimnya. Banyak turun hujan,
sehingga penuh dengan belukar2 yang lebat. Tapi anehnya disekitar goa kecil itu, tiada
tumbuh suatu tanaman atau belukar apapun juga. Dan keadaan karang disitu, ada yang
menonyol ada yang melekuk. Maka bila didalam goa kecil itu tiada terdapat suatu
binatang yang luar biasa atau ular yang berbisa, tak mungkin sedemikian keadaannya.
Jadi terang siorang tua itu adalah seorang tukang tangkap binatang berbisa. Dia tengah
membuat perangkap kuali yang mengeluar hawa wangi untuk menangkap suatu
binatano. Tio Jiang ternyata sifatnya saja yang jujur polos, dan se-kali2 bukan seorang
yang tolol. Pengiraannya itu, 90% benar.
Tak antara lama kemudian, desisan itu makin keras dan kini berobah nadanya seperti
bercicitan. Dan pada lain saat. muncullah seekor kepala ular dimulut goa kecil itu. Ular
itu tak sebrapa besar, hanya sebesar ibu jari tangan saja. Tapi lidahnya yang menyulur
keluar itu, panjang dan merah warnanya. Selain kepalanyapun merah dan matanya
hitam, tubuh ular itu hijau seluruhnya. Hanya warna hijau itu, persis seperti batang
bambu yang tersiram air hujan, hijau bening sedap dipandang.
---oo0oo---
BAGIAN 1.4.

Melihat sang korban keluar, orang tua itu makin menyublek diam. Siular dongakkan
kepalanya mengawasi kesekeliling, dan sembari lidahnya bercicitan, dia makin merajap
keluar sehingga hampir separoh tubuhnya sudah berada diluar goa. Melihat bentuk dan
warnanya, tahulah Tio Jiang kalau ular itu adalah yang disebut ular „tiok yap ceng" (daun
bambu hijau). Tapi pada umumnya, tiok-yap-ceng hanya sedepa panjangnya. Ini saja
cukup untuk menyembur mati seorang yang berada pada jarak 7 tindak jauhnya. Tapi
tiok-yap-ceng ini, hampir ada 3 depa (lebih kurang 2 meter) menonyol keluar, tapi masih
belum kelihatan ekornya. Ah. Iuar luar biasa dan belum pernah dilihatnya.
Bermula ular itu pe-lahan2 merajap keluar. Achirnya karena tak tahan mernbaui hawa
wangi itu, terus saja melesat keluar, dengan pesatnya menghampiri kuali. Dengan
gunakan ekornya untuk menahan dibawah, kepala ular itu menyulang keatas terus
dimasukkan kedalam kuali. Sekonyong2 mata Tio Jiang disilaukan dengan suatu
bayangan melesat, ah, kiranya itulah siorang tua yang telah ajunkan sang tubuh
menerkam siular. Gerakannya tadi itu, Laksana burung terbang pesatnya. Tapi ternyata
binatang itupun cukup waspada. Tahu akan gelagat jelek, dia berpaling kebelakang terus
menyurut sampai beberapa tindak.
Tahu ada ular bisa menyurut kebelakang, Tio Jiang sudah heran. Tapi serta tampak
bagaimana gerakan siorang tua itu lebih cepat dari siular, tanpa terasa dia mengikutinya.
Sekali kepala ular memagut, mulutnya mengeluarkan hawa merah. Dua larik gigi yang
beracun, menggigit siorang tua. Hai, apa2an itu? Bukannya siorang tua berusaha untuk
menghindar, tapi sebaliknya diapun pentang mulutnya lebar2, maju memapaki. Sampai
disini, mau tak mau terpaksa Tio Jiang tak dapat menahan keheranannya. „Hai"......dia
berseru!
Mendengar seruan itu, baik ular maupun siorang tua, sama2 tertegun. Tapi
menggunakan kesempatan detik ketegunan itulah, siular terus memberosot mundur.
Laksana anak panah terlepas dari busurnya, si tiok-yap-ceng itu segera meluncur masuk
kedalam goanya.
Melihat korbannya lolos, marahlah siorang tua. Jeuggotnya yang putih meletak itu ber-
goyang2, maju beberapa Iangkah kemuka, selimut kain dilontarkan, begitu angkat
sebelah kaki didupaknya kuali besi itu „grombyang ............. Kuali itu mencelat kearah
tempat persembunyian Tio Jiang. Men-deru2 suaranya, pesat jalannya. Kini tak dapat
Tio Jiang tetap bersembunyi ditempatnya lagi. Sekalipun tadi siorang tua tak gusar, dia
sendiri karena merasa telah membuat kapiran usaha orang, juga akan keluar untuk
menghaturkan maaf. Demi sikuali melayang tiba, dia segera melesat keluar.
„Bum!", demikian kuali besi itu jatuh membentur batu, isinya menumpah semua. Melihat
isinya itu, hati Tio Jiang bercekat. Kiranya bau wangi yang keluar dari kuali besi itu,
berasal dari ramuan binatang2 kecil dan kutu2. Ada yang sudah hancur terebus, ada lagi
yang masih berkutetan meregang jiwa. Ngeri juga Tio Jiang melihatnya.
„Bujung, mengapa kau berani merusakkan urusan Sam-thay-ya ini?" bentak siorang tua
itu demi melihat Tio Jiang munculkan diri. Ternyata biarpun tubuhnya kate, tapi
suaranya keras menggeledek.
Sewaktu menampak isi kuali yang tumpah itu, Tio Jiang sudah mundur beberapa tindak.
Tapi demi mendengar suara geledek siorang tua itu, buru2 dia berpaling, dengan hormat
sekali dia memberi hormat: „Sam-thay-ya, aku tak tahu sama sekali kalau kau tengah
menangkap ular, jadi aku kuatir yangan2 kau akan digigit binatang itu!"
Siorang tua yang menyebut dirinya sebagai Sam-thay-ya (tuan besar ketiga) itu
mengawasi sampai sekian lama pada Tio Jiang. Kembali dia tampak merenung. Mata,
alis, hidung, mulut ja sampaipun daun telinganya, tampak bergerak2 lucu benar
kelihatannya. Tapi kali ini karena sudah merasa salah, tak berani Tio Jiang tertawa.
Beberapa saat kemudian, orang tua itu menggeleng berkata: „Aneh, aku tak kenal
padamu seorang bujung itu, mengapa kau ketahui namaku Sam-thay-ya?!"
Diam- Tio Jiang mendapat kesan bahwa orang tua itu ternyata seorang yang sudah
linglung pikirannya. Bukantah tadi dia sendiri yang memberitahukan namanya, mengapa
lupa? Kalau Tio Jiang itu seorang yang licin, tentu dia akan segera mengatakan ini itu.
Tapi bagi Tio Jiang, putih tetap putih, hitam tetap hitam. Tak dapat dia „berhias bibir"
menipu orang. „Kau sendiri tadi yang mengatakan, menuduh aku merusakkan urusan
Sam-thay-ya!" katanya menurut apa adanya.
Mendengar itu, siorang tua menarik tangannya yang digendong dipunggung tadi, terus
menampar mukanya sendiri. ,,Benar! Kau tak kenal pada Sam-thay-ya, Sam-thay-ya juga
tak kenal padamu. Dengan begitu tak boleh menyebut persahabatan. Merusak urusan
penting dari Sam-thay-ya, seharusnya bagaimana? Bujung, coba kau katakan
sendirilah!”
Benar2 tingkah laku orang tua itu aneh lucu, nada suaranyapun menggeledek membikin
terkejut orang, namun Tio Jiang mendapat kesan bahwa dia bukan seorang jahat. Dia
sendiripun tak tahu bagaimana harus menyawab pertanyaan itu, katanya: „Sam-thay-ya,
akupun tak tahu harus bagaimana, kau saja yang bilang!"
Mendengar itu siorang tua delikkan matanya pada Tio Jiang. Tangannya kembali
digendong dibelakang punggung, lalu mondar mandir kian kemari. Sebelah tangannya
tak henti2nya masih menampari muka. Mata, telinga, mulut serta hidung, sebentar
dikerutkan sebentar dijulurkan. Setelah berselang bebrapa saat, dia merandek dan
berseru dengan marahnya: „Bujung, berani kau memper-olok2 Sam-thay-ya?"
Tio Jiang heran setengah mati, tanyanya: „Ah, masakan aku berani ?"
Siorang tua kibaskan tangan, menampar sebuah batu karang, dan hancurlah batu itu.
Saking terkejutnya, TioJiang tersentak jantungnya.
Batu gunung adalah benda yang keras, tapi cukup sekali menepuk saja sudah dapat
menghancurkan, dapat dibayangkan betapa sakti pukulan siorang tua aneh itu. Kalau
tubuhnya sampai kena ditabok, huh ngeri awak membayangkannya, demikian Tio Jiang
berpikir. Dapatkah suhunya berbuat demikian, entahlah, karena seIama ini belum
pernah dia melihatnya. Dia sendiri sudah helajar sampai 6 tahun, dan turut kata
suhunya, kemajuannya pesat sekali. Tapi kalau disuruh menepuk hancur batu semacam
itu, aduh mak, minta ampun! Kalau sang pikiran tengah dihujani oleh berbagai
pertanyaan, adalah orangnya sendiri masih menyublek disitu, ter-longong2 mengawasi
siorang tua.
„Kau masih mengatakan tak berani meng-olok2 Sam-thay-ya? Suruh kau punya Sam-
thay-ya berpikir sendiri? Apakah ini bukan hendak meng-olok2 namanya? Siapakah yang
tak kenal Sam-thay-ya-mu ini seorang yang tahu makan tak tahu berpikir?"

Gambar 4 (Gambar Diatas)


Tio Jiang heran setengah mati, tanyanya: „Ah, masakan aku berani ?" Siorang
tua kibaskan tangan, menampar sebuah batu karang, dan hancurlah
batu itu. Saking terkejutnya, Tio Jiang tersentak jantungnya.
Karena makin mendengar siorang tua berkata makin tak karuan, hati Tio Jiang seperti
di-kili2. Kalau mau ketawa nanti dikatakan kurang pantas, namun tidak ketawa
sesungguhnya tak dapat dia menahan gelombang tawanya. Tapi saking seringnya, tanpa
dapat ditahan lagi mulut menghambur „huh huh", tertawa ter-kial2. Pada permulaan,
masih dapat Tio Jiang ketawa mendekap mulut, tapi karena tubuhnya lama kelamaan
turut ber-guncang2 tahu2 „trang", pedang yang diselipkan pada pinggangnya membentur
batu karang.
Bermula orang tua aneh itupun hanya mengawasi saja pada Tio Jiang, tapi demi
mendengar suatu benda berkelotekan, dia terus berjingkrak dan ber-kaok2 dengan keras:
„Bujung! Kau bisa silat, bukan?"
Tadi ber-kata2 saja, suaranya sudah seperti geledek. Kalau kini dia ber-kaok2, sudah
tentu suaranya seperti halilintar memecah bumi kerasnya. Saking dahsjatn ja, dari arah
gunung sana mengeluarkan kumandang yang gemuruh, sehingga Tio Jiang bising
dibuatnya, tak tahu dia apa yang dikatakan orang tua itu. „Sam-thay-ya, harap berkata
sedikit pelan saja."
Siorang tua-aneh tertawa, ujarnya: „Kubertanya, kau bisa ilmu silat tidak? Dengan
membekal pedang, berani kau mengatakan tak bisa silat?"
„Ja, bisa sedikit2, tapi jelek," sahut Tio Jiang.
Siorang tua aneh miringkan kepalanya berpikir, kemudian kedengaran berseru: „Kau
telah mengagetkan ceng-ong-sin (ular tadi). Ini berarti aku harus buang waktu selama
dua bulan lagi untuk mengumpulkan kutu2, harus menanti sampai ada kabut tebal lagi,
dan harus naik turun gunung pula. Kurang dari 3 bulan sungguh tak bisa."
Sembari berkata itu, jari tangannya tak henti-nya ditekuk2, rupanya untuk menghitung.
Pancainderanya pun turut ber-gerak2. Dan menghitung sampai disitu, dia mendongak
lagi sembari berkata: „Bujung, dengarlah. Sam-thay-ya karena teriakanmu tadi, harus
buang waktu 3 bulan lagi untuk menangkap si Ceng-sin-ong itu. Nah, begini saja. Kau
bisa main pedang, maka kau kuhukum supaja memberi pelajaran 3 jurus ilmu pedang
padaku. Kalau kau menolak, ho, akan kulempar tubuhmu kesebelah gunung sana !"
Tio Jiang menyawab dengan sangsi: „Sam-thay-ya, bukan aku tak mau. Hanya saja ilmu
pedang perguruan sebelum mendapat idin suhu, mana bisa diajarkan pada lain orang?"
Biji mata, siorang tua berkeliaran bolak-balik, tanyanya : „Siapakah suhumu itu?"
„Ceng Bo siangjin dari biara Cin-wan-kuan."
Kembali siorang tua miringkan kepalanya berpikir, kemudian kedengaran ber-sungguh2
sendirian: „Ceng Bo siangjin? Sam-thay-ya juga ber-tahun2 keliaran didunia persilatan,
Kwitang sampai ke Kwisay, tidak sedikit tokoh2 ternama yang kujumpai. Tapi mengapa
belum pernah kudengar nama Ceng Bo siangjin itu?
Habis ber-sungguh2 dia segera berseru: „Apa itu Ceng Bo siangjin, Cut Cui hejin? Ilmu
pedang cakar ajam dan anying remuk, tak sudi Sam-thay-ya belajar. Coba kau unyukkan
sejurus dulu kulihatnya !"
Tio Jiang tahu bahwa ilmu pedang to-hay-kiam-hwat perguruannya, penuh dengan gaja
yang indah. Kalau hanya dipertunyukkan saja, rasanya tak mengapa. Disamping itu ingin
sekali dia lekas2 lolos dari situ, karena hendak menyenguk bagaimana keadaan sang suci
dan sumoay tadi. Sekali pedang dikiblatkan, lengannya mengibas, memapas keatas.
Sementara itu kedua jari tangan kiri, telunyuk dan tengah, ikut2 mengimbangi dengan
gerak yang rapi sekali.
Menampak gerakan jurus itu, tahu2 tubuh siorang tua aneh melesat kebelakang sampai
3 tindak jauhnya. „Boan thian kok hay", serunya.
Tio Jiang tak kurang terkejutnya. Begitu gerak pedang ditarik, segera dia bertanya: „Sam-
thay-ya, mengapa kau mengetahuinya ?"
Tapi siorang tua aneh itu tak mau menyahut dan melainkan berteriak lagi: „Hay-te-kau!"
(biawak dari dasar laut). „Apa?" menegas Tio Jiang.
„Kiang Siang-yan!" seru siorang tua pula.
Tio Jiang makin tak mengerti, berserulah dia keras2 : „Apa katamu?"
„Wut" tiba2 siorang tua itu melesat maju, „wut2, se-konyong2 dia loncat undur sampai 3
tindak. Anehnya, walaupun berloncatan maju mundur itu kedua kakinya tak kelihatan
bergoyang. Hanya tumitnya saja yang kelihatan mempunyai daja membal seperti karet.
Tio Jiang tahu bahwa itulah kesaktian ilmu Iwekang yang disalurkan kearah tumit, terus
langsung menyentuh tanah, sehingga dapat wat-wut wat-wut maju mundur. Dengan
kepandaian itu teranglah bahwa siorang tua aneh tersebut seorang cianpwe (angkatan
tua) yang lihay. Tapi heran, mengapa selinglung begitu? Seraja berloncatan maju mundur
itu, berserulah siorang tua aneh itu: „Hay-tee-kau, Kiang Siangyan, sepasang pedang
yang mengadu biru didunia persilatan, menyungkirkan sungai membalikkan laut selama
30 tahun. Bujung, kau pernah apa dengan Hay-tee-kau ?"
„Apa itu Hay-tee-kau?" sahut Tio Jiang dengan keheranan, „selama 6 tahun diatas
gunung, kecuali suhu, suci dan sumoay, hanya ada seorang tojin (iman) tua yang tuli dan
gagu."
Sikate aneh tak percaja, ujarnya: „Kau berani membohong pada Sam-thay-ya bujung?
Kalau tidak kenal Haytee-kau, mengapa kau bisa ilmu pedang to-hay-kiam-hwat? Hajo,
jawablah!"
„Ilmu pedang itu suhu yang mengajarkan," sahut Tio Jiang apa adanya.
,,Siapa suhumu?"
Tio Jiang anggap orang tua itu agak 'setengah', segera dia menyahut keras2 : „Suhuku
adalah Ceng Bo siangjin, ja Ceng Bo siangjin!"
Benar2 orang tua kate itu tak mengerti, comelnya: „Apa itu 'siang siang'? Kumaksudkan
Hay-tee-kau!"
Karena kewalahan, Tio Jiang tak mau bicara lagi.
„Pulang kasih tahu pada Hay-tee-kau, Sam-thay-ya amat merinduinya. Kasih tahu lagi
padanya, bukan Sam-thay-ya takut menyumpainya, melainkan.... hm .....”
Kembali siorang itu miringkan kepalanya merenung, sehingga saking getolnya, mulutnya
hampir menempel sang hidung. „Tidak menyumpainya, apa alasannya, kau bilang Sam-
thay-ya ini tak bisa mengutarakan. Ja, Sam-thay-ya cuma bisa makan tak bisa berpikir!"
Habis menyomel panjanglebar itu, terus „sret, sret, sret", lari turun kebawah.
Kesemuanya itu berlangsung sebelum Tio Jiang dapat menyangkanya.
---oo0oo---
BAGIAN 1.5.

Seperginya siorang tua kate yang aneh itu, Tio Jiang terpaksa harus memutari dulu
lamping gunung, baru dia berbasil mendapatkan jalanan naik keatas puncak. Tapi ketika
dia melihat kemuka, tampak disebelah atas sana ada beberapa sosok bayangan tengah
lari dengan pesatnya. Sejak pada usia 12 tahun dia tinggal digunung situ, entah berapa
ratus kali dia naik turun gunung itu. Dan itu memang merupakan latihan yang berharga,
karena kini Ilmunya berjalan tambah sempurna sekali. Dikala dia memikirkan bahwa
diatas gunung sana hanya ada suci dan sumoayn ja, dia terkesiap dan sesalkan dirinya
mengapa sekehendaknya sendiri saja tinggalkan mereka. Juga simahasiawa tadi, pun
belum diketahui asal usulnya, lawan atau kawan.
Tapi ketika pikirannya terlintas renungan bagaimana Bek Lian telah begitu manis
sikapnya terhadap simahasiswa tadi hatinya entah karena apa, menyadi tawar. Tapi pada
lain saat rasa kuatir telah menguasai pikirannya. Sekali enyot kakinya, secepat kilat dia
lari se-keras2nya keatas gunung. Tak antara lama, beberapa sosok bayangan yang
mendahuluinya tadi, segera tersusul. Kiranya mereka ada 6 orang. Ada setengahnya yang
bertubuh tinggi besar, membawa senyata. Tio Jiang makin gellsah buru2 kepingin sampai
dirumah. Dilihatnya diantara keenam orang itu ada seorang paderi yang gemuk, memakai
jubah warna hijau, dadanya memakai kalung 108 biji liam-cu (mutiara). Alisnya
menyungkat keatas, matanya bersorot bengis. Yang tiga orang bermuka brewok dan berd
jenggot lebat. Wajahnya hampir sama satu dengan lain. Agaknya mereka bertiga saudara.
Sementara yang dua orang lagi, adalah kaum wanita. Yang satu umurnya antara 30-an
tahun, lainnya agak mudaan sekira umur 20 tahunan. Perempuan yang tua umurnya itu
membekal sebuah senyata rode, sebelah dalam dan luar roda itu berbentuk runcing. Dari
warnanya yang ke-biru2an, terang kalau senyata itu terbuat daripada baja murni. Sedang
yang mudaan itu tampak bermuram durja, tangannya mencekal sebatang senyata macam
tusuk ikan. Panjang senyata itu lebih tinggi dari orangnya.

Gambar 5 (Gambar Diatas)


Ketika mendadak melihat ada beberapa sosok bayangan orang
melesat kearah biara, cepat Tio Jiang menyusulnya. Ternyata satu
diantaranya adalah seorang Hwesio gemuk berjubah hljau.........
Tengah keenam orang itu mendaki keatas, tiba2 dirasainya ada angin meniup dari arah
belakang, dibawakan oleh seseorang yang tengah mengejarnya. Dengan terkejut, mereka
cepat menoleh kebelakang. Dan keheranan mereka bertambah besar, ketika diketahuinya
bahwa orang yang mendatangi itu ternyata seorang anak muda yang dandanannya
seperti tukang angon sapi. Salah seorang dari siberewok segera berkata: „Ah, Lo-hou-san
ini sungguh2 suatu tempat persembunyian dari harimau dan naga, maka tak heran kalau
Ceng Bo siangjin memilih tempat ini untuk mengasingkan diri!"
Mendengar itu buru2 Tio Jiang memberi hormat dan bertanya: „Para eng-hiong (orang
gagah) ini hendak mencari suhuku perlu ada urusan apa?" Dalam bertanya itu, hati Tio
Jiang tetap curiga. Belum pernah ada orang luar yang berkunyung kesitu, mengapa
begitu suhunya pergi, tahu2 ada sekian banyak orang asing mencarinya? Dengan
tabahnya, Tio Jiang mengawasi keenam orang itu satu per satu. Dari wajah mereka yang
bengis dan sikapnya yang kasar, terang mereka itu bukan orang baik. Sampai2 siwanita
yang tuwaan itu, wajahnyapun tak mengasih. Hanya siwanita muda tadi wajahnya
tampak bermuram durja, kasihan tampaknya.
„O, kiranya engkoh kecil ini murid Ceng Bo siangjin," sahut si-hweshio gemuk, „apakah
suhumu dirumah? Tolong sampaikan padanya bahwa 4 orang she The, Ciook, Ma dan
Chi dari Lam-hay datang berkunyung!"
Mendengar itu, teringatlah Tio Jiang akan keterangan simahasiswa, tanyanya: „Masih
ada seorang she The dandanannya sebagai seorang mahasiswa, apakah juga kawanmu
?"
„Hai, kiranya The toako sudah mendahului kemari!" serentak ketiga orang yang bermuka
brewok itu berseru. Sebaliknya si-hweshio itu hanya tertawa tawar saja dan dengan sinis
berkata: „Langkah kaki yang cepat, kalau menyelamatkan jiwa kiranyapun tak nanti
terlambat!"
Ketiga orang brewok itu delikkan mata kepada sihweshio, agaknya akan cari setori. Tapi
wanita yang membekal roda-baja tadi segera melerai: „Apa kalian hendak bikin onar?
Belum bertemu dengan tuan rumah, mengapa ribut2 dihadapan seorang siaupwee
(angkatan muda), apa2an itu!"
Sihweeshio dan ketiga orang brewok itu rupanya jeri terhadap siwanita, nyatanya mereka
lantas bungkam. Hanya sigadis yang maju selangkah bertanya kepada Tio Jiang: „Tolong
tanya, mahasiswa she The itu sudah berapa lama tiba kemari?"
Melihat orang begitu perhatikan sekali pada si The Go, Tio Jiang mengawasi sipenanya.
Didapatinya bahwa gadis itu walaupun agak hitam kulitnya, namun manis juga. sesaat
muka Tio Jiang ke-merah2an karena dia merasa tak patut melihati seorang gadis sampai
sedemikian rupa, lalu sahutnya: „Baru tadi pagi datangnya, mungkin dua jam yang lalu!"
Sigadis hitam mendenguskan hidungnya. Ketika Tio Jiang mengawasi kearahnya lagi,
ternyata gadis itu ber-linang2 air matanya. Dua butir air mata mengucur dari kelopaknya.
Rupanya gadis itu berdaja se-kuat2nya untuk menahan sedu sedannya, maka ia segera
kacupkan bibirnya se-kencang2nya. Sudah tentu Tio Jiang menyadi heran. Tapi karena
baru saja berkenalan, tak lajaklah kiranya untuk menanyai keadaan orang. Pada lain
saat berkatalah dia dengan lantang: „Kemaren tengah hari, suhu telah menerima surat
dari seekor merpati pos. Ber-gegas2 beliau turun gunung, entah bila akan kembali
pulang. Adakah saudara2 sekalian ini hendak beristirahat dulu kedalam biara atau "
„Ciok jiso, dari siapakah surat burung merpati itu?" pernyataan Tio Jiang telah diputus
oleh sihweeshio yang bertanya kepada siwanita tuaan tadi, siapa dengan nada yang
dingin menyahut: „Toa-ah-ko dari Thian-tee-hwee!"
„Kalau begitu, kita terlambat sedikit ini?!" tanya aihweeahio pula.
„Kita be-ramai2 naik kegunung sini. Setiba di Kwitang tiada tunggu berjumpa dengan
toa-ah-ko dari Thian-tee-hwee, dia tentu akan sudah mengetahuinia. Kalau dia bisa
melihat gelagat bahwa kita, berempat keluarga ini tak boleh dibuat main2, dia tentu ber-
gegas2 pulang!"
Dengan mengiangkan seruan „oh" hweeshio tersebut segera memuji: „Kau benar, Ciok
jisoh!" Setelah itu dia lalu berpaling kepada Tio Jiang: „Siauko (engkoh kecil), sekalipun
nanti malam kemungkinan besar suhumu belum pulang, tapi rasanya besok pagi dia
tentu sudah kembali. Tak apalah kita bermalam dibiara Cing-wan-kuan sana, harap
siauko jalan dululah!"
Dari nada bicara sihweeshio gemuk itu, teranglah kalau dia (Tio Jiang) dianggap sebagai
tuan rumah. Tapi mengapa tadi mereka sebut2 nama Thian-tee-hwee? Apakah mereka
itu musuh2 sang suhu? Kalau benar demikian, jumlah mereka begitu banyak, terang
fihaknya takkan dapat melawan. Ah, biarlah dia pura2 tak tahu saja, nanti apabila sudah
sampai digunung hendak dia rundingkan dengan suci dan sumoaynya, daja untuk
mengundurkan mereka. Dengan ketetapan itu, Tio Jiang terus ajunkan langkah mendaki
keatas. Tak berapa lama kemudian, biara Cinwan-kuan sudah tertampak. Keenam orang
asing itu tetap mengikuti dibelakangnya.
Tapi baru kakinya sampai dimuka pintu biara atau telinganya segera mendengar suara
cekikikan dan ter-bahak2 dari Bek Lian, Yan-chiu dan The Go yang tengah berkelakar
dengan teramat gembiranya. Kening Tio Jiang mengerut, dengan berseru keras2 dia
menereaki: „Suci! Ada 6 orang tamu hendak mengunyungi suhu."
Bek Lian menyahut seraja muncul keluar. Saat itu Tio Jiang tampak bagaimana wajah
sucinya itu ber-seri2 girang, mulutnya menyungging senyum gembira, suatu hal yang
belum pernah dilihatnya sejak dia berada disitu.
„Tetamu?" menegas Bek Lian dengan lebih dahulu bergelak tawa.
Belum Tio Jiang menyahut, atau The Go dan Yan-chiu sudah menyusul keluar. Begitu
melihat akan keenam orang itu, The Go ter-bahak2 menegur: „Ciok jiso, mengapa kalian
baru sekarang tiba?"
Yang dipanggil Ciok jiso itu diam saja. Tapi gadis hitam manis yang berada dibelakangnya
segera melangkah maju mendekati The Go dan hendak mengucap suatu apa kepadanya.
Namun The Go pura2 tak melihatnya dan terus bertanya kepada ketiga orang brewok
tadi: „Sam-kiat (3 orang gagah) dari keluarga Chi juga ikut datang. Marilah,
kuperkenalkan kalian!"
Kalau The Go begitu ramah terhadap ketiga orang brewok itu, sebaliknya dia tak ambil
perhatian terhadap sihweeshio gemuk. Rupanya hweeshio gemuk itu pun sudah
menduga kalau orang she Tio tersebut akan berlaku demikian padanya. Dengan
memasukkan tangan kedalam jubah, dia tertawa dingin.
,,Suko, siapakah orang2 ini ? Kawan atau lawankah?" tanya Yan-chiu kepada Tio Jiang,
siapa menyahut dengan Gejujurnya saja: „Entah, akupun tak tahu, sedang suhu tak
berada dirumah, sungguh repot nih !"
Meskipun tanya jawab itu dilakukan dengan suara pelahan, namun tak urung dapat
didengar juga oleh The Go, siapa dengan senyum tawanya menerangkan kepada Yan chiu:
„Dik Yan-chiu, usah kuatir, orang2 ini adalah sahabatku semua."
,,Setan", demikian diam2 Tio Jiang memaki orang she The. Masa dalam waktu sesingkat
itu, sudah begitu akrab dengan suci dan sumoaynya. Tapi walaupun hatinya
mendongkol, namun mulut Tio Jiang tidak dapat mengucap apa2. Dan karena itu, diapun
lalu tak mau mengomong lagi. Oleh sebab Bek Lian dan Yan-chiu adalah gadis2, jadi tak
enak kiranya untuk mengawani bicara keenam orang yang belum dikenalnya itu. Maka
dengan sendirinya, The Go wakilkan dirinya sebagai tuan rumah untuk memperkenalkan
rnereka.
Kini baru Tio Jiang tahu bahwa hweshio gemuk itu bergelar Ti Gong hweshio. Asalnya
orang she Ma. Ketiga orang brewok itu dari keluarga she Chi, masing2 bernama Chi Beng,
Chi Kwi dan Chi Sim. Wanita setengah tua tadi bernama Ciok Ji-so. Sedang sigadis hitam
mania itu bernama Ciok SiaU-lan. Samar2 Tid Jiang teringat akan kata2 suhunya, bahwa
di Lam-hay (laut selatan) ada gerombolan bajak laut terdiri dari empat keluarga: The,
Ciok, Ma dan Chi. Mereka mengganas penumpang2 kapal. Setiap orang, mempunyai
ratusan anak buah. Mereka masing2 mempunyai kepandaian istimewa sendiri2. Sang
suhu memesan, kelak kalau sudah turun gunung, lebih baik yangan kesamplokan
dengan mereka.
Karena keempat orang itu menganggap dirinya sebagai raja dilautan, maka merekapun
tak mau mengindahkan lagi apa yang disebut sebagai „tata kesusilaan dunia persilatan".
Sekali terikat permusuhan dengan mereka, sudah tentu banyak bahajanya, karena
jumlah mereka banyak sekali. Adakah ketujuh tetamunya itu termasuk The Go dan
kedua wanita itu benar2 gerombolan bajak laut ganas itu? Kalau benar, mengapa mereka
mencari suhunya? Demikian Tio Jiang me-nimang2 dalam hatinya.
Tapi orang telah mengunyungi dengan sikap yang hormat, sekalipun mereka
mengandung maksud jahat, tapi karena belum jelas diketahui, maka tak pantaslah
kiranya untuk bersikap memusuhi. Karena itu, Tio Jiang segera persilahkan ketujuh
tetamunya itu masuk kedalam. Tapi setelah sama berdudukan, lagi2 Tio Jiang tak dapat
memulaikan pembicaraan. Oleh sebab memang sifatnya yang pemaluan dan jujur,
apalagi dihadapan sekian banyak orang, Tio Jiang makin tak dapat ber-kata2.
Bek Lian juga hanya tundukkan kepalanya memainkan ujung bajunya. Sedang orang she
The itu tak henti2nya mengawasi padanya. Sebaliknya sigadis hitam manis itupun tak
putus2nya memandang pada The Go. Dengan begitu suasana dalam ruang biara situ,
menyadi hening lelap. Tiba2 terdengar derap langkah orang mendatangi. Ah, kiranya yang
datang itu seorang bongkok. Wajah sibongkok itu kotor, matanya merah dan suram.
Melihat siapa yang datang, Tio Jiang segera memberi isjarat dengan gerakan tangan,
maksudnya menyuruh sibongkok lekas menghidangkan minuman teh pada tetamu2nya.
Tapi begitu sihweshio gemuk menampak sibongkok itu, alisnya segera menyungkat,
serentak dia terus berbangkit !
---oo0oo---
BAGIAN 2
CENG BO SIANGJIN
Melihat kelakuan yang aneh dari sihweshio gemuk itu, semua orang menyadi heran. Mata
sihweshio itu ber-api2 mengawasi tanpa berkesiap kepada sibongkok. Tapi sibongkok itu
acuh tak acuh, seperti tidak kejadian apa2, membalas isjarat tangan, lalu pergi dengan
pe-lahan2. Setelah mengantarkan bayangan sibongkok sampai lenyap, barulah sihweshio
itu bertanya kepada Tio Jiang: „Maaf, siauko, siapakah sibongkok tadi?"
„Dia adalah imam pelajan dari biara ini. Seorang yang tuli dan gagu. Sejak aku datang
kemari, dia sudah disini. Tadi karena kupanggil dia membuatkan teh untuk tetamu, baru
dia masuk keruangan ini," sahut Tio Jiang.
Sihweshio kedengaran ber-sungut2 tak jelas suaranya. Setelah sekian saat berdiam diri,
The Go tertawa bertanya: „Mengapa mendadak toasuhu tanyakan hal itu?"
Karena sihweshio tengah merenung, tanpa hiraukan siapa yang bertanya itu, dia segera
menyahut dengan semaunya saja: „Yangan turut campur !"
Serentak The Go berbangkit. Sembari kibaskan lengan bajunya, dia menegas dengan
sinisnya: „Toasuhu, apa katamu tadi?" Sepasang matanya yang ber-api2 me-mancar2
kearah Ti Gong hweshio. Rupanya Ti Gong terkesiap atas kegarangan simahasiswa,
mulutnya ber-gerak2 tapi tak dapat mengucapkan sesuatu. Chi Sim, itu salah seorang
dari orang yang bermuka brewok, karena tak akur dengan sihweshio, buru2 menambahi
minyak: „The toako, tadi diapun mengatakan bahwa kau cepat kaki, cepat pula
menyelamatkan jiwa!"
,,Ha, ha!" The Go dongakkan kepala lalu menegas dengan keras: „Apa?" Begitu nyaring
dan tangkas bentakan itu sehingga membuat semua orang tersentak kaget. Yan-chiu
membelalakkan matanya, heran atas tingkah laku tetamu2nya itu. Dihadapan sekian
banyak orang, sudah tentu Ti Gong tak mau mundur, sahutnya dengan tak kurang
garang: „Ja, lalu bagaimana.?" Diapun segera berbangkit. Dari sikapnya berdiri, terang
dia seperti tengah menghadapi. musuh besar. Kedua kakinya tegak dengan kokohnya,
tangannyapun tak bergerak, hanya jubahnya yang kelihatan berguncangan. Melihat dia
berdiri, The Go segera menghampiri. Ini membuat Ti Gong menyadi tegang.
Bek Lian diam2 kuatirkan The Go. Dalam percakapan tadi, walaupun semuda itu
usianya, ternyata The Go bukan saja cakap wajahnya, pun juga cakap dalam segala
pengetahuan. Hanya dalam ilmu silat orang itu agak merendah. Dari sikapnya terang
kalau orang muda itu hendak cari setori dengan sihweshio yang telah memperolokann ja
itu. Dibanding dengan dia, hweshio itu seorang yang bertubuh gemuk besar, jadi kalau
berkelahi terang bukan tandingannya. Memikir sampai disini Bek Lian jengah sendiri.
Mengapa ia begitu menaruh perhatian atas diri The Go? Namun tak tahu dia mencari
jawaban dari pertanyaan dalam hatinya itu. Yang menguasai pikirannya pada saat itu
jalah, hendak dia nantikan dulu perkembangannya, kalau ternyata nanti The Go
mengalami kerugian, ia akan turun tangan membantunya.
Bahwa sekalipun sedang sibuk menyambut sekian banyak tamu, namun perhatian Tio
Jiang tak pernah lepas kepada Bek Lian, sucinya itu. Demi tampak bagaimana
pandangan mata dari sang suci itu tertumpah dengan penuh arti kepada The Go, diam2
Tio Jiang mendongkol. Dia harap hweshio itu dapat memberi hajaran yang setimpal pada
si The Go itu.
Lain2 anggauta dari rombongan tetamu, tampak The Go tengah pe-lahan2 menghampiri
Ti Gong, pun tak berdaja untuk mencegahnya. Ciok Jiso melengos, pura2 seperti tak
melihat. Ketiga persaudaraan Chi, tegang wajahnya. Hanya Ciok Siau-lan yang
mengawasi dengan sorot mata yang mengandung seribu arti kepada The Go. Begitu maju
3 tindak kemuka, orang she The itu segera berhenti, lalu tenang2 berkata: „Aku yang
rendah ini kepingin melihat, adalah toasuhu ini bisa cepat tidak menyelamatkan jiwa?"
Kata2 itu ditutup dengan mengibaskan lengan kanannya. Berbareng dengan deru
samberan angin lengan baju itti. tinyunya melayang kemuka. Cepat dan seru hantaman
itu datangnya, sehingga diluar dugaan orang2. Juga pukulan itu luar biasa dahsjatnya.
Tapi ternyata Ti Gong sudah siap sedia. Begitu The Go melancarkan pukulannya, sebat
sekali dia menghindarkan mundur. „krak...." karena sihweshio sudah menyingkir kedekat
pintu, maka kursi yang didudukinya tadi menyadi sasaran pukulan The Go, hingga
sungsal sumbal. Dengan sabar The Go menarik tangannya lalu tersenyum berkata: „Oho,
kiranya toasuhu juga tangkas sekali menyelamatkan jiwa!" Dan sehabis berkata itu,
dengan gaja tindakan seorang pelajar, dia kembali ketempat duduknya semula. Sewaktu
lalu dihadapan Bek Lian, dia unyuk senyuman.
Makin kagum dan mengindahkanlah Bek Lian kepada orang muda itu, yang ternyata
mempunyai kepandaian yang sedemikian hebatnya. Dengan menyungging sarinya madu,
dia balas bersenyum. Melihat itu Tio Jiang makin mendedek hatinya. Tanpa dapat
dikendalikan.lagi dia segera ikut menimbrung berseru: „The .... The..... toako, kalau
hendak berkelahi, mengapa tak berkelahi diluar saja? Tuan rumah dari biara ini sedang
tidak dirumah, mengapa kau berani merusakkan alat2 perabot disini?"
Mengetahui sang sute merah padam mukanya, tahulah Bek Lian bahwa sute itu tak
senang kalau ia, terlalu rapat pada The Go. Ia, lebih tua setahun dari Tio Jiang. Pada
umumnya, anak perempuan lebih dahulu masak pikirannya dari anak lelaki. Rasa kasih
Tio Jiang yang ditujukan kepadanya itu, bukan ia tak mengetahuinya. Tapi karena ia
merasa 3 hal yang terutama," „rupa, kepandaian ilmu silat dan ilmu surat", mana ia dapat
menyambut kasih seorang macam Tio Jiang itu? Dalam perkenalan yang singkat dengan
The Go yang orangnya cakap, pandai ilmu surat dan tinggi ilmunya silat, diam2
bersemilah bibit asmara dalam hatinya. Maka atas ucapan sang sute tadi, buru2 ia
membentak: „Sute, terhadap tetamu mengapa kau berlaku begitu?"
Sebaliknya The Go segera berpaling kearah Tio Jiang, serunya: „Sedari tadi, engkoh ini
selalu mencekal pedangnya saja. Telah lama kudengar.ilmu pedang Ceng Bo siangjin itu
sangat menyagoi, sukakah kiranya memberi sedikit pelajaran padaku?"
Tak sangka Tio Jiang kalau orang she The itu sedemikian sombongnya. Memang sejak
tadi dia tak menyukai gerak-gerik orang itu. Sebagai seorang jujur yang tak bisa
mendendam, serentak berbangkitlah Tio Jiang: „Kalau The toako ingin aku
mempertundukkan permainan yang jelek, akupun tak berani membantahnya." Dengan
berkata itu, dia terus melangkah keluar.
The Go ganda bersenyum. Dari atas mejanya dia memungut kipasnya, terus dibukanya.
Sepasang matanya sebaliknya dari melihat Tio Jiang, mengawasi terus kepada Bek Lian.
Maksudnya dia hendak melihat bagaimana perobahan Bek Lian. Sijelita ini memangnya
tak mempunyai rasa apa2 terhadap Tio Jiang. Tapi sebagai kakak seperguruan, diapun
tak ingin melihat sutenya dicelakai lain orang. Tadi demi diketahuinya bagaimana sekali
pukul The Go telah dapat menghancurkan kursi sihweshio, ia jakin kalau Tio Jiang tentu
bukan tandingannya. „Sute, yangan berlaku kurang adat!" katanya kemudian.
Sekalipun masih penasaran, namun karena Bek Lian yang melarang, Tio Jiang terpaksa
menurut. Memang terhadap sang suci itu, Tio Jiang tak pernah berani membantahnya.
Selagi dia hendak kembali ketempat duduknya, sibongkok dengan membawa senampan
teh masuk keruangan situ.
Setelah menyingkir dari hantaman The Go tadi, sihweeshio gemuk mengambil tempat
duduk pada sebuah kursi dipinggir pintu. Begitu nampak dibongkok, kembali dia
menyadi beringas dan menatapnya dengan tajam2. Tapi tetap sibongkok itu tak
menghiraukannya. Dia ambil cawan2 teh itu untuk dihidangkan pada tetamu. Ketika
berada disebelah Tio Jiang, tiba2 anak itu mendapatkan bahwa kawannya bongkok itu
mengicup-ngicapkan mata kepadanya, sikapnya agak aneh.
Selama 6 tahun berada digunung situ, belum pernah Tio Jiang mendapatkan sibongkok
berlaku begitu aneh. Dalam kagetnya, hampir2 cawan yang tengah dipegangi Tio Jiang
itu terlepas dari tangannya. Sebaliknya dengan tenangnya, sibongkok berlalu untuk
mengantarkan teh pada Ti Gong. Setelah menaruhkan cawan dimeja sihweeshio,
sibongkok terus hendak berlalu dengan membawa menampannya. Tapi tiba2 Ti Gong
menggerung keras. Sekali kakin ja diangkat dia tendang penampan itu hingga terbang
keatas, seraja membentak: „Thocu (bongkok)! Kiranya kau bersembunyi disini. Ini
namanya pucuk dicinta ulam tiba", berjerih pajah mencari tak berhasil, ternyata tanpa
disengaja bisa ketemu!"
Kejadian itu menyadikan paniknya suasana. Tiada seorangpun yang tahu apa sebabnya
sihweeshio berlaku begitu. Semua orang segera berbangkit dari tempat duduknya. Begitu
penampan ditangan kena ditendang keatas, sibongkokpun nampak ter-hujung2
kebelakang sampai beberapa tindak. Wajahnya mengunyuk kecemasan. Malah pada saat
itu, Ti Gong segera akan menyusuli dengan sebuah hantaman dan sibongkok yang
nampaknya tak bisa ilmu silat, diam saja tak mau menyingkir.
Tio Jiang tak dapat bersabar lagi. Begitu tinggalkan tempat duduk, tanpa berkata ba atau
bu, dia segera serang Ti Gong dengan jurus „ceng wi thian hay", salah satu dari jurus
ilmu pedang to-hay-kiam-hwat. Kepala sihweeshio tampak ber-goyang2 dan kalung
tasbih yang terkulai dilehernya itu tiba2 ber-goyang2, merupakan sebuah lingkaran
bundar. Dan ini ternyata dapat menangkis serangan pedang Tio Jiang.

Gambar 6
Tanpa bicara lagi segera Tio Jiang segera serang Ti
Gong Hwesio gemuk itu. Diluar dugaan kalung tasbih Ti Gong
Hwesio menyungkat dan tepat membentur ujung pedang Tio Jiang.

Tio Jiang terkesiap. Masa tanpa menggerakkan tangan, orang telah dapat menangkis
serangannya dengan hanya cukup meng-goyang2kan kepalanya saja. Tapi dia benci akan
kelakuan sihweshio yang hendak menganiaja kawannya tadi. Tanpa banyak cingcong, dia
segera susuli lagi dengan jurus „hay siang tiau go". Jurus ini walaupun baru saja
dipelajarinya, tapi karena merupakan salah satu jurus dari to-hay-kiam-hwat, sudah
tentu gajanya lain dari yang lain. Begitu ujung pedangnya bergerak, diam2 Tio Jiang
menghapalkan kunci rahasia dari ilmu pedang itu: „dalam 49 gerakan, memikat lawan
kedalam kait". Ini diambilkan dari dasar nama gerakan itu yang disebut 'hay siang tiau
go' diatas laut mengail ikan besar. Dan memangnya jurus itu terdiri dari 49 gerakan.
Karena dengan gerakan leher saja tadi telah dapat menghalau serangan orang, maka Ti
Gong tak memandang mata pada sianak muda yang dianggapnya hanya begitu saja ilmu
kepandaiannya. Tapi segera kesombongannya itu berobah menyadi suatu keluhan hebat,
ketika menghadapi serangan yang kedua dari Tio Jiang. Bukan saja gajanya jauh
berlainan dari serangan pertama tadi, pun tahu2 dihadapannya seperti terkurung dengan
ratusan sinar pedang yang me-magut2 seru, sehingga menyebabkan matanya ber-
kunang2 dan kewalahan untuk menghindar. Dengan ter-birit2 dia lekas2 menyingkir
kesamping.
Tapi sedikitpun sihweeshio itu tak menyangka bahwa sesuai dengan namanya „hay siang
tiau go", ilmu pedang itu betul2 seperti memikat orang supaja kena digait. Ke 49 sinar
pedang itu, ternyata serangan kosong. Begitu Ti Gong menyingkir dan hendak dongakkan
kepalanya untuk gerakkan kalung tasbihnya, pedang Tio Jiang telah mengikutinya
kesamping, „sret" terus menusuk kemuka. Kala itu kaki Ti Gong belum dapat berdiri jejak
ditanah, maka mana dia bisa menghadapi serangan kilat itu? Namun hweeshio itu cukup
lihay juga, begitu sang tumit dienyot, dia melambung keatas.
Sewaktu serangannya menemui sasaran kosong, karena ilmunya pelajaran masih belum
sempurna, buru2 Tio Jiang tarik balik pedangnya. Sebaliknya karena tak mengetahui
kelemahan lawan, sewaktu diatas udara dengan gerak „lee hi bak thing" ikan leehi berd
jumpalitan, Ti Gong lont jat kebelakang sampai beberapa langkah. Karena tempat
duduknya itu dekat pintu, maka dengan loncatan itu tubuh Ti Gongpun sudah berada
diluar ruangan. Sesaat itu tak berani Ti Gong masuk kedalam.
Tio Jiang tak ambil peduli akan sihweeshio, terus dia mengangkat bangun sibongkok.
Sejak dia belajar silat digunung tersebut, walaupun suhunya amat menyayanginya, tapi
diwaktu memberikan pelajaran dia bersikap bengis. Maka dalam kebatinan Tio Jiang,
hanya tergores rasa hormat dan jeri pada suhunya itu. Sebaliknya dengan sibongkok
yang tuli dan gagu itu, Tio Jiang bersahabat karib sekali. Sibongkok itupun bisa beberapa
macam permainan, misalnya memanyat puhun tangkap burung, membuat perangkap
untuk menyebak binatang buas dan sebagainya. Karena belum dapat melepaskan
sifatnya kanak2, sudah tentu Tio Jiang amat menyukai permainan itu. Sekalipun
sibongkok itu tak dapat berbicara, tapi dengan gerak isjarat tangan, dapat juga dia diajak
sambung bicara. Begitulah selama 6 tahun, keduanya menyadi sahabat yang akrab
sekali. Sudah tentu tadi Tio Jiang tak ijinkan orang menganiaja sahabatnya itu. Dalam
dua gebrak saja ternyata dia dapat mengundurkan Ti Gong.
Kecuali terhadap The Go, Bek Lian tak menyukai tetamu2nya itu. Terutama terhadap
sigadis hitam yang bernama Ciok Siau-lan itu, siapa terus menerus mengawasi
sembarang tingkah laku The Go saja. Hal mana telah membuat Bek Lian heran dan sirik.
Tadi sewaktu sihweeshio hendak memukul sibongkok, iapun gusar sekali. Kalau
menuruti perangainya, tentu siang2 ia sudah turun tangan. Tapi entah karena apa, hari
itu ia harus berlaku istimewa susilanya dihadapan simahasiswa itu. Tak mau ia sampai
dicacat dalam pandangan anak muda itu. Maka tadi demi sang sutee turun tangan, iapun
tak mau mencegahnya.
Mungkin diantara ketiga saudara seperguruan itu, adalah Yan-chiu yang paling merasa
erat hubungannya dengan sibongkok. Tadi iapun sudah serentak berbangkit, tapi sudah
kedahuluan sukonya. Begitu Tio Jiang sudah dapat menghalau sihweeshio, berserulah
nona centil itu: „Suko, yangan ijinkan hweeshio biadab itu masuk. Masa mertamu begitu
kurang ajar, apa2an itu!" Dara itu ternyata tangkas orangnya, tajam mulutnya. Dia
pandai menyindir orang. Bagian yang terachir dari dampratannya itu, sebenarnya
ditujukan pada rombongan tetamu lainnya. Dan setelah puas mendamprat, ia tertawa
sendiri.
---oo0oo---
BAGIAN 2.2.

Setelah mengangkat bangun sibongkok, Tio Jiang masih mengawasi sihweeshio itu
dengan gusarnya. Ti Gong ternyata sedang berpikir keras. Baik masuk atau tetap diluar
saja. Kalau tetap diluar, rasanya dia akan kehilangan muka. Namun kalau masuk, tentu
akan terjadi onar dan ini berarti akan membikin kapiran urusan besar kedatangannya
disitu. Selagi dia mondar mandir dalam kesangsian itu, tiba2 dari arah belakang
terdengar orang berkata: „Aha, hweeshio yang telah menyadi pembesar tentara, benar2
cepat kaki. Mengapa tak mau masuk saja?"
Dengan terkejut Ti Gong berpaling kebelakang dan dapatkan disana kelihatan ada 3
sosok bayangan tengah mendatangi. Hendak dia tegur mereka itu, atau salah seorang
dari mereka goyangkan lengan bajunya. Sebuah samberan angin yang kuat menyampok
datang. Astaga, kakinya serasa digempur dan ter-hujung2lah Ti Gong beberapa tindak
hingga kini dia terdorong masuk lagi kedalam ruangan. Mengira kalau hweeshio itu
hendak membalas, Tio Jiang lepaskan sibongkok terus menyerang dengan pedangnya.
Tapi segera diapun mengetahui bahwa diluar pintu sana tampak ada 3 sosok bayangan
ber-gegas2 masuk. Salah seorang dari mereka ternyata adalah suhunya sendiri, Ceng Bo
siangjin.
Melihat kedatangan siangjin, Bek Lian dan Yan-chu tersipu2 berbangkit. Ceng Bo siangjin
mengangguk sedikit. Dengan wajah keren, dia tegak berdiri sembari merangkap kedua
tangannya. Kiranya siangjin itu seorang tosu (imam setengah tua), mengenakan jubah
dan topi keagamaan. Wajahnya terang berseri, sikapnya agung berwibawa, sehingga
orang terpaksa tak berani berlaku sembarangan dihadapannya. Dibelakang siangjin itu
terdapat dua orang yang masing2 berpakaian aneh. Mereka mengenakan kain kepala
pahlawan, jakni yang sebelah warnanya hitam yang sebelah warnanya putih. Bajunya
hitam, celananya putih, begitu juga sepatunya pun hitam putih. Yang tepat berada
dibelakang Ceng Bo siangjin, usianya hampir sebaja dengan tosu itu. Sedang kawannya
yang dibelakang sendiri, agak mudaan, tapi wajahnya sangat keren, tidak seperti
kawannya yang lebih tua tadi siapa berwajah riang peramah.
Rombongan tetamu yang berada dalam ruangan itu, walaupun belum pernah mengenal
Ceng Bo siangjin, namun dari sikapnya tahulah mereka kalau tosu itulah tuan
rumahnya. Merekapun segera berbangkit. Malah The Go sembari menutup kipasnya
terus hendak membuka mulut, tapi orang berpakaian aneh yang agak tuaan umurnya
tadi, tiba2 tampil kemuka mengawasi sampai beberapa jenak pada The Go. Kata2 yang
sudah siap hendak diucapkan The Go tadi, terpaksa dibatalkan. Semua hadirin pun tak
mengerti sikap orang aneh tadi, siapa pada lain saat kedengaran berseru: ,,Bagus, Cian-
bin Long-kun (anak muda seribu wajah) yang telah menyadi cong-peng-kuan (pembesar
militer) juga berada disini!"
Sehabis berkata begitu, orang itu mengalihkan pandangannya kearah Ciok Jiso, ujarnya:
„Bagus juga, Ciok Jiso, sam-kiat (3 orang gagah) keluarga Chi yang menyadi pembesar2
militer, juga berkumpul disini!"

Gambar 7
„Bagus, bagus, kiranya Cian-bin Long-kun yang sudah
menyabat Cong-peng-kuan juga berada disini:
" Tiba2 kawan Ceng Bo Siangjin yang agak
tuaan Itu menegur The Go.

Kecuali Tio Jiang, Bek Lian dan Yan-chiu yang tak tau apa artinya semua2nya itu,
rombongan tetamu cukup menginsjafi ucapan siorang yang berpakaian aneh itu. Seketika
itu The Go lalu membentang kipasnya, sembari di-kipas2kan dia tertawa berkata: „Ah,
kiranya yang datang ini adalah Ki lotoa. Benar, aku yang rendah ini memang telah
menyadi pembesar militer kerajaan. Apabila Ki lotoa berkenan menerima panggilan
kerajaan, kurasa akan mendapat kedudukan lebih dari congpeng!"
Orang yang disebut Ki lotoa itu, tertawa dingin. Sedang Ceng Bo siangjin dengan perasaan
heran, berkata dengan lelahnya: „Tuan2 ini adalah pembesar2 kerajaan. Pinto (bahasa
yang digunakan oleh seorang imam bila membahasakan dirinya) adalah rahajat gunung.
Entah tuan2 datang kemari ini hendak mempunyai keperluan apa saja, harap lekas
mengatakan!"
Ucapan Ceng Bo siangjin itu mengandung suatu paksaan kepada sang tetamu, ini cukup
diketahui oleh semua orang. Bek Lian yang tak mengetahui asal usul romhongan tetamu
itu, merasa heran atas sikap sang ajah. Karena biasanya orang tua itu senantiasa
membawa sikap yang sabar peramah, masa kali ini begitu keras tak sabaran.
Diluar dugaan, The Go dengan tenangnya menyuruh kawan2nya duduk pula. „Harap
saudara2 duduk dulu, kita bicara dengan tenang." Dan setelah semuanya duduk kembali,
dengan tertawa The Go menyurah kepada Ceng Bo siangjin, katanya: „Aku yang rendah
Cian-bin long-kun The Go, dan ini adalah Ciok Jiso yang dijuluki orang sebagai 'Kim kong
song lun', sedang yang ini......", dalam berkata itu tangannya menunyuk kearah ketiga
persaudaraan Chi. Tapi orang berpakaian aneh yang mudaan yang selama tadi masih
tutup mulut saja, kini tiba2 menyela dengan bengis: „Tak usah diperkenalkan, itu sam-
kiat dari keluarga Chi, itu Ti Gong hweeshio bekas orang she Ma. The, Ciok, Ma, Chi,
adalah golongan2 rendah dalam dunia persilatan. Kini menyadi pembesar kerajaan, hem,
apa2an itu!"
Ketiga persaudaraan Chi dan Ciok Jiso merah mendengarnya.Kim-kong-lun atau senyata
roda baja ditangan wanita itu, sudah terus hendak diajunkan, tapi dengan tetap
menyungging senyum The Go memberi isjarat tangan kepada kedua kawannya itu.
Anehnya walaupun orang she The itu masih muda usianya, namun mempunyai wibawa
juga. Semua kawan2nya tak berani membangkang.
The Go masih ter-senyum", sembari ber-kipas2 berkata kepada orang tadi: „Hari ini
sungguh beruntung sekali dapat dapat berjumpa dengan Ki lotoa dan Kiau loji dari Thian-
te-hwe! Dari lagu ucapan Kiau loji tadi, apakah bukannya sudah berhamba puda Siau
Ging?"
Siau Ging adalah kota kerajaan dari baginda Ing-bing-Ong dari ahala Beng didaerah
selatan yang sekarang ini. Orang yang disebut Kiau loji itu kedengaran mengelah napas,
katanya: „Ah, sungguh tak tahu mati! Induk pasukan Ceng sudah tiba diperbatasan
Hokkian, sembarang saat akan sudah masuk ke Tiau-yang. Sebaliknya, kita orang2 Han,
dalam wilajah yang sesempit ini, masih main mendirikan dua orang kaisar dan main
gasak2an sendiri. Bukankah ini berarti tak tahu mati namanya? Ki toako, patriot macam
kau dan aku ini, apakah tidak merasa sedih berkumpul dengan orang2 macam begini !”
„Ha, ha..." demikian orang yang lebih tua jakni yang dipanggil Ki toako (ketua Ki) itu
tertawa, „Kiau jite, benar katamu ini! Baru saja masuk tadi, hidungku telah mencium
bau yang busuk, namun tak kukira kalau berasal dari orang2 ini.”
Riang gembira kedua orang itu bertanya jawab dan memaki sembari tertawa-tawa, se-
olah2 menganggap sepi akan sekalian tetamu itu. The Go tetap masih tersenyum, Ceng
Bo siangjin memandang keatas, seperti tak menghiraukan apa2. Sebaliknya ketiga
saudara Chi tadi tak kuat lagi menahan-nahan napasnya. Serempak mereka berseru
dengan gusarnya: „Awas, kalau berani ngoceh tak keruan lagi !"
Kiau loji atau yang sebenarnya bernama Kiau To, secepat kilat menoleh. Entah
bagaimana dia bergerak tadi, tapi tahu2 orangnya sudah melesat kehadapan ketiga
saudara Chi. Dalam penglihatan ketiga saudara Chi, pada saat itu dihadapannya
berkelebat sesosok bayangan warna putih hitam. Hendak mereka berbangkit mencabut
senyatanya, tapi tiba2 kedengaran suara „plak, plak, plak", dan Kiau To tampak duduk
kembali ketempat duduknya semula. Aha, kiranya ketiga saudara Chi itu mukanya
masing2 telah mendapat persen sebuah tamparan.
,,Kiau jite, mengapa kau tak sayang tanganmu kotor? Mengapa tak lekas2 keluar cuci
sana?" seru Ki lotoa.
Kejadian itu telah membuat Tio Jiang dan kawan2 terperanyat. Pertama atas ketangkasan
Kiau To dan kedua karena nyata2 kedua orang berpakaian aneh itu tak memandang sama
sekali pada rombongan The Go. Tapi mengapa suhunya tinggal diam saja? Apakah
memang benar rombongan tetamu itu orang2 yang rendah? Demikian Tio Jiang, Bek Lian
dan Yan-chiu saling mengawasi satu sama lain. Bek Lian alihkan pandangannya kearah
The Go. Dilihatnya anak muda itu masih tetap tenang2 saja, hal mana telah
menimbulkan rasa kagum atas peribadi orang. Tapi mana Bek Lian tahu sebabnya The
Go digelari „Cian bin long kun" atau siorang muda seribu muka? Yang diketahui oleh
gadis jelita itu, hanyalah kedua orang yang datang bersama ajahnya itu, telah berlaku
kurang hormat kepada The Go dan kawan2, dan untuk itu symphatinya tercurah pada
siorang muda. Segera ia menghampiri kedekat sang ajah lalu katanya dengan bisik": „Tia,
mereka adalah tamu2 yang datang dari tempat jauh, bukankah tidak sejogjanya disuruh
minum dahulu baru nanti diajak bicara?
Ceng Bo siangjin menghela napas, ujarnya: „Lian-ji, Jiang-ji dan Siau-chiu, apakah kalian
tahu maksud kedatangan mereka kemari ini?"
Ketiga anak muda itu menggeleng.
„Induk pasukan Ceng sudah mendesak ditapal batas, kalian tentu sudah mengetahuinya.
Segolongan menteri yang berkuasa, karena untuk kepentingan kedudukan mereka, telah
mengangkat seorang kaisar di Siau Ging. Tapi ada lain golongan yang iri, dan mengangkat
pula seorang kaisar berkedudukan di Kwiciu. Dewasa ini wilajah kita hanya tinggal
Kwitang, Kuiciu dan berapa propinsi lagi, namun kedua kaisar itu saling gasak rebutan
tachta sendiri. Kedatangan mereka kemari ini jalah hendak meminta aku turun gunung
bantu memukul kaisar di Siau Ging. Ha, ha, mereka adalah orang2 yang rakus akan
pangkat, kalau akupun berbuat demikian, apakah gelar yang kalian hendak berikan
padaku?"
Kata2 itu diucapkan dengan penuh keperwiraan. Ketiga anak muridnya itu sama
bungkam. Malah Yan-chiu yang tangkas itu segera lari kehadapan Kiau To, terus unyuk
jempolnya: „Kiau loji, bagus juga kau telah menghajar mereka tadi!"
Muda usianya, tapi kalau bicara sicentil itu suka meniru lagak orang tua. Tak mau dia
ambil pusing Kiau To itu tergolong angkatan apa, tapi demi didengar The Go tadi
menyebutnya Kiau loji, iapun lalu tiru2 saja. Dan begitu garang nada suaranya itu
sehingga membuat Kiau To ter-kial2 menahan gelaknya. „Bek-heng, anak didikmu ini
sungguh hebat!" serunya kepada Ceng Bo siangjin.
Sudah tentu Ceng Bo siangjin ter-sipu2, bentaknya : „Siao-Chiu, yangan kurang ajar,
harus panggil Susiok!"
Kiau To mengawasi dara nakal itu dengan seksama, lalu ujarnya: „Bek-heng, usah
sungkan. Sikap nona kecil itu cukup garang, tentu memiliki dasar ilmu silat yang kokoh.
Adakah ilmu pedang kesayangan Bek-heng itu sudah diajarkan padanya?"
Ceng Bo siangjin menghela napas, tak menyahut. Adalah siorang yang disebut Ki lotoa
yang umurnya agak tuaan, rupanya mengerti tentu ada persoalannya, buru2 dia menyela
: ,,Loji, bukankah maksudmu hendak menguji kepandaian orang, karena hendak
memberi bingkisan lagi?"
Yan-chiu yang cerdas tangkas itu, segera merasa ada sesuatu dalam ucapan orang she
Ki itu. Jelas tadi diketahuinya bagaimana sebat orang she Kiau itu memberi tamparan
pada ketiga orang brewok she Chi itu. Ter-sipu2 Yan-chiu berjongkok ketanah untuk
memberi hormat sampai 3 kali. Begitu berbangkit ia terus mengatur kata2: „Kiau susiok,
ajarkan aku ilmu gerakan menampar ketiga kantong-nasi tadi !"
Melihat kelakuan dara jenaka itu, kembali Kiau To tertawa gelak2. Demikianlah dengan
asjik dan gembira rombongan tuan rumah itu ber-cakap2 sendiri, sehingga rombongan
The Go seperti tak dihiraukan lagi. Muka ketiga saudara Chi tadi biru telur, Ciok Jiso
tertawa urung, sedang Ti Gong dengan uring2an tampak hendak turun tangan, tapi lagi2
dicegah oleh The Go. Dalam pada Yan-chiu bertukar pembicaraan begitu asjik gembira
dengan Kiau To, sikap The Go itu tenang2 saja. Dengan ber-kipas2, dia se-akan2 tak
menghiraukan kesemuanya itu. Hanya sebentar2 ekor matanya dikerlingkan kearah Bek
Lian. Tapi kini setelah mendengar keterangan ajahnya tadi, Bek Lianpun mendongkol.
Dalam keadaan negara sudah separoh bagian terjajah itu, masa orang masih bersitegang
leher saling jegal2-an sendiri.
Benar Bek Lian mempunyai pendirian yang begitu mulia, namun kesannya terhadap The
Go tetap tak berobah. Dalam pandangannya, The Go itu seorang muda yang cakap,
pandai berkelakar dan sangat menarik. Sampaipun gelaran anak muda itu „Cian bin long
kun", juga merdu kedengarannya. Ah, memang begitu kalau orang suka, segala apa
kelihatannya bagus semua. Maka tatkala The Go menatap kearahnya, sebagai tersedot
besi-semberani, Bek Lianpun balas memandangnya. Ketika pandangan matanya
tertumbuk dengan sinar mata sianak muda, hati sinona serasa mendebur keras.
---oo0oo---

Catatan: - Ketika pemerintah Beng telah didesak oleh tentara Ceng hingga mengungsi
kedaerah Kwitang, ternyata disitu dalam kalangan kerajaan Beng timbul pertentancan
sendiri. Pada tahun ketiga dari pemerintahan Ceng kaisar Sun Ti, pangeran Ing-bing-ong
Cu Yu-Iong telah angkat dirinya menyadi kaisar Beng dengan gelar Liong Bu dan
berkedudukan di Siau Ging. Tapi pada bulan 11 tahun itu Tong-ong-tee Cu Gi-yap pun
diangkat oleh menteri2nya menyadi kaisar Siau Bu berkedudukan di Kwiciu.
Dipanggilnya empat bajak laut kesohor jakni The Go, Ciok Jiso, Ti Gong dan ketiga
saudara Chi, untuk menyabat sebagai cong-peng (jenderal perang) guna menggempur
Siau Ging. Demikian menurut catatan dalam kitab „Ichtisar sejarah ahala Beng didaerah
selatan."
---oo0oo---
BAGIAN 2.3.

Ketika The Go mengetahui bahwa Kiau To telah mengabulkan permintaan Yan-chiu


untuk mengajarkan ilmu silat, dengan batuk2 The Go melangkah kemuka, sembari
membentang kipasnya untuk dibuat kipas2 beberapa kali. Kini tahulah sekalian orang,
bahwa kipas orang muda itu ternyata diberi lukisan, jakni 3 larik gelombang laut. Corak
lukisan itu kuat tandas, warnanya ke-hitam2an.
Sehabis ber-kipas2 sementara saat, kipasnya itu kembali dilipat. Tingkah lakunya itu,
kecuali Bek Lian, tiada seorangpun yang menghiraukan. Namun baginya, Bek Lian
seorang sudah cukup daripada sekian banyak manusia. „Kalau begitu, siauseng pun
hendak belajar ilmu silat pada Kiau locianpwe!" serunya kepada Kiau To.
Kumandang getaran suara The Go itu ternyata sekali kedengarannya. Biara Cin Wan
Kuan yang begitu kasar bangunannya itu, se-olah2 tergetar oleh kumandang suaranya
itu. Ada beberapa tempat, dimana temboknya kurang kokoh, telah berhamburan
kapurnya. Ini menandakan, sekalipun masih berusia begitu muda, tapi ilmu lweekang
dari The Go itu telah mencapai tingkat yang tinggi.
„Kau ingin belajar apa pada Kiau loji?" tanya Kiau To dengan serentak.
„Ingin belajar memukul, untuk membalas serangan orang!" sahut The Go dengan tertawa.
Orang2 sama terkejut, terang kalau pernyataan The Go itu berarti suatu tantangan.
Malah Bek Lian yang selalu perhatikan diri anak muda itu, diam2 telah kucurkan
keringat dingin. Tapi disana, dengan tertawa dingin Kiau To menyahut: „Siapakah orang
persilatan yang tak mengetahui bahwa walaupun namanya saja kau ini adalah cucu
murid dari Ang Hwat cinyin di Ko-to-san, tapi sebenarnya karena ibu dan anak sama2
belajar pada sesama guru, jadi tergolong anak murid cinyin tersebut. Mau belajar apa lagi
sih?”
Sejak tadi The Go selalu unyuk senyuman saja, tapi demi dikatakan Ibu dan anak sama2
belajar pada seorang guru," berobahlah warna wajahnya dengan seketika. Sewaktu kata2
Kiau To itu selesai, tampak wajah The Go sedemikian rupa bengianya. „Mau belajar ilmu
memukul orang secara membokong, agar bisa mendapat kemenangan yang mudah!"
ujarnya dengan nada sedingin es. Dan ucapan itu telah ditutup dengan merangkap
kearah Kiau To.
Kiau To geser kakinya sembari mendakkan tubuh, karena dia kira kalau The Go hendak
menyerangnya. Tapi tak tahunya begitu samberan angin menyampok, ternyata The Go
melejit disampingnya. Maka dengan ter-sipu2 dia julurkan kedua tangan untuk
mencengkeram anak muda itu. Tapi astaga, „plak, plak", berbareng dengan
cengkeramannya terdengar suara tamparan sampai dua kali. Buru2 Kiau To berpaling
kebelakang dan, ai, kurang ajar betul! Orang she Ki, toa-ah-ko dari Thian-tee-hwee, yang
tak tahu apa2, ternyata kedua belah pipinya telah benyol merah, dua buah giginya rontok
mulutnya berdarah!
Gerakan si The Go itu laksana kilat cepatnya, lebih hebat dan pesat dari Kiau To. Kalau
tadi walaupun keras suaranya, namun ketiga saudara Chi itu hanya ber-kunang2
matanya. Tapi kini orang she Ki itu telah mendapat tamparan yang digerakkan dengan
lweekang, hingga giginya sampai ada yang rontok. Orang diruang situ terkejut dan
keheranan. Terkejut, mengapa The Go bukan memukul Kiau To melainkan menampar
orang she Ki. Heran, karena hasil dari pembokongan itu hebat dan tepat sekali. Bukankah
orang she Ki toa-ah-ko (ketua) dari sebuah perkumpulan yang berpengaruh macam
Thian-tee-hwee? Mustahil kalau tak memiliki kepandaian yang hebat bisa diangkat
menyadi toa-ah-ko dari perkumpulan semacam itu, yang anggautanya saja pasti terdiri
dari orang- gagah yang berkepandaian tinggi. Heran bukan?
Diantara orang2 yang tak mengerti kejadian itu, hanya Kiau To dan Ceng Bo siangjin
yang mengetahui sebab2nya. Malah yang tersebut belakangan itu segera menghela
napas. Diam2 dia kagum atas kecelian si The Go yang sepintas pandang segera dapat
mengetahui bahwa ketua dari Thian-tee-hwee itu telah punah ilmu kepandaian alias
menyadi seorang tanpaguna lagi!.
Begitu habis membokong, The Go sudah dengan segera balik ketempat duduknya lagi.
Kejadian itu hanya berlangsung dalam beberapa kejab saja. Kecuali perdengarkan suara
mengaduh „ah" dan disusul dengan muntahan dua buah gigi, orang she Ki itu segera
tenang kembali, se-olah2 tak kejadian suatu apa. Katanya dengan tertawa: „Cian-bin
long-kun, hebat nian gerakanmu tadi! Aku Ki Cee-tiong, rela mengaku kalah. Dua buah
gigi ini untuk sementara biar terlepas dulu, apabila sampai temponya pasti akan kembali
padamu!"
„Tiga tamparan dibajar dengan dua, sudah selajaknya lebih keras sedikit. Gigimu sendiri
yang tumbuhnya tak kuat, kalau hendak mengembalikan, kapan saja pun boleh!" sahut
The Go dengan garangnya. Namun dibalik kegarangannya itu, tak urung hatinya diliputi
dengan rasa kegelisahan. Dia cukup kenal siapakah toa-ahko dari Thian-tee-hwee itu.
Setiap orang persilatan pasti mengenal siapa Ki Cee-tiong yang dijuluki „Thong thian pa"
(Penyelajah langit) itu. Baik ilmunya gwakang (luar) maupun lweekang, telah mencapai
kesempurnaan. Lebih2 sepasang tun-kong-kian (semacam tongkat pesegi terbuat dari
bahan baja murni), lihaynya bukan olah2. Kalau tiada memiliki kepandaian yang sehebat
itu, masakan dia dapat diangkat menyadi ketua Thian-tee-hwee? Tapi mata The Go yang
celi, segera mengetahui, bahwa sewaktu masuk kedalam ruangan tadi langkah kaki dari
orang she Ki tersebut enteng mengambang bagai orang yang tak mengerti ilmu silat saja.
Bagi seorang achli, itu saja sudah cukup memberitahukan, kalau orang telah punah
kepandaiannya. Untuk membuktikannya, dia telah menyelonong menamparnya, dan
ternyata dugaannya itu tak meleset.
Karena tak dapat menghalangi gerakan The Go itu, Kiau To menyala kemarahannya,
bentaknya: „Bagus, aku Kiau lojin, juga akan meminta pengajaran barang sejurus!"
Mulut mengucap, tangan menyulur dan tubuhnya sudah segera melesat kebelakang The
Go, wut, wut wut, kelima jarinya bagaikan deru angin menyambar siku lengan The Go.
Tapi orang she The ini, begitu melihat orang melesat kebelakangnya, pun segera ikut
berputar. Untuk ancaman cengkeram itu, tak mau dia menyingkir, melainkan
membalikkan kipasnya, gunakan tangkai kipas untuk menutuk lengan belakang lawan.
Yang diarah adalah „yang ti", „yang ko" dan „yang kee", 3 buah jalan darah.
Dengan tertawa dingin, Kiau To turunkan lengannya, diteruskan untuk mencengkeram
perut orang. The Go cukup insjaf akan kelihayan cengkeram itu. Sekali kena
dicengkeram, isi perutnya pasti akan merocot keluar. Cengkeram itu disebut „toh beng
cap jit jiau" atau 17 cakar perampas jiwa. Salah satu kepandaian istimewa dari orang she
Kiau itu.
Sewaktu tegas melihat bahwa setiap kali menyerang tentu terdiri dari 3 buah
cengkeraman, The Go tak mau berlaku terburu-buru. Dengan tenang dinantikannya
kelima jari orang menyentuh pakaiannya, baru miringkan kipasnya. Sebat luar biasa,
kipas itu di-kebut2-kan 3 kali, dan 3 kebutan itu ternyata untuk menutuk jalan darah
„siang yang", „tiong tiong" dan „kwat tiong". Ketiga jalan darah itu masing2 dibawah kuku
dari jari telunyuk, tengah dan manis.
Gerak serangan Kiau To tadi, bukan saja amat cepat, pun isi kosongnya sukar diduga.
Bahwasanya The Go dapat tepat menduga jatuhnya serangan orang dengan suatu
tutukan yang tepat, telah memaksa Kiau To buru2 menarik kembali cengkeramannya.
Begitulah dalam sekejab saja, kedua orang itu telah bertempur sampai 6 jurus, dan
selama itu masih belum ketahuan menang kalahnya. Tapi dalam penilaian seorang achli,
sudah dapat menaksir siapa yang lebih unggul: Kiau To menyerang dulu, tapi dapat
dipaksa mundur oleh The Go.
Ceng Bo siangjin yang selama itu mengawasi disamping, diam2 mengalem The Go yang
dalam usia semuda itu telah dapat memiliki kepandaian yang sedemikian tingginya.
Walaupun didengarnya cerita2 tentang keganasan orang she The itu, namun selama itu
belum pernah dia menyaksikan sendiri. Pada saat itu dia masih mempunyai urusan
penting, kiranya lebih baik menghindari bentrokan2 yang tiada gunanya, maka
berserulah dia: „Kiau-heng silahkan mundur. The-heng, jika tiada urusan lain, harap
tinggalkan tempat ini!"
Ramah tamah nadanya, namun dalam ucapan itu tergenggam suatu perbawa yang
memaksa orang mengindahkan. Ketiga saudara Chi dan Ti Gong hweeshio sudah terus
hendak ajunkan langkah pergi, sebaliknya Ciok Jiso perdengarkan suara ketawa dingin
acuh tak acuh. Sedang The Go bibirnya ber-gerak2 seperti hendak mengucap apa2, tapi
tiba2 terdengar gemeroncangnya senyata dan Ciok Siaulan, itu nona yang sejak masuk
kedalam biara tadi tak bicara apa2, kini dengan hi-jat (garu ikan), tampil kehadapan The
Go. Dari gerakannya, terang nona itu tak lemah kepandaiann ja. Tapi demi sudah
berhadapan dengan The Go, mukanya menyadi merah dan dengan tundukkan kepala ke-
malu2an ia berkata dengan suara sember: „Engko Go, turutlah kata2 totiang itu, mari
kita tinggalkan tempat ini!"
Kalau semua orang tak menghiraukan hal itu, adalah Bek Lian yang menyadi sibuk
sendiri. Sejak diketahui sikap sinona tersebut yang begitu memperhatikan sekali akan
The Go, hati Bek Lian sudah kurang senang. Kini demi didengar mulut sinona memanggil
„engko" pada The Go, Bek Lian tak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Memang
dalam biara Cin Wan Kuan itu, selain sang ajah, se-olah2 dialah yang menyadi ratunya.
Segala perentahnya tak boleh dibantah. Perangainya keliwat angkuh karena dimanyakan.
„Hai, kau mau apa?" bentaknya kepada Siau-lan sigadis hitam mania itu.
Ciok Siau-lan berpaling. Dami tampak Bek Lian itu bagaikan seorang puteri kahyangan
cantiknya dan dari sikapnya kentara menaruh perhatian pada engkoh Go-nya itu,
merahlah mata sinona. Ciok Siau-lan itu hanya berkulit agak hitam saja, karena
sebenarnya iapun cantik juga. Dalam sikapnya yang begitu minta, dikasihani, ia tambah
kelihatan menarik. Katanya dengan ter-iba2: „Taci, kau sungguh cantik sekali! Engkoh
Go adalah kepunyaanku, yangan kau tegah merebutnya! Kalau kau hendak merebut,
karena kalah cantik, aku pasti kalah!
Sedikitpun Bek Lian tak mengira, kalau dihadapan aekian banyak orang, gadis hitam Itu
berani mengatainya aecara begitu. Memang is, sendiri sudah merasa tak pada tempatnya
menanyai orang begitu tadi. Maka dari malu, ia berobah menyadi gusar. „Budak hina,
apa katamu itu?" dampratnya, terus ulurkan tangan merebut senyata sinona.
Tapi dengan hanya goyangkan sedikit senyatanya itu, tangan Bek Lian sudah menangkap
angin. Gelang besi yang dipasang pada ketiga ujung garu penusuk ikan itu, menyadi
berkerontangan, namun Ciok Sian-lan tak mau balas menyerang. Malah dengan tertawa
sedih ia berkata. „Taci, kalau kau tak merebut engkoh Go-ku kau sungguh taciku yang
berbudi." Rawan dan lembut kata2nya itu diucapkan, sehingga meluluhkan perasaan
orang.
Bek Lian kesima seperti terpaku ditanah. Tetap menyerang, salah berhentipun malu.
Sebenarnya perasaan itu hanyalah suara hatinya sendiri, karena selain The Go, semua
orang ternyata tak menghiraukan hal itu. Kini tahulah orang she The tersebut, bahwa
sijelita yang berhati tinggi itu, ternyata menaruh hati padanya.
Begitu penuh rasa hati Bek Lian yang mengira bahwa sekalian orang diruangan situ se-
akan2 mencemohkan kelakuannya. Saking malu dan gusarnya terdengarlah suara „hu,
hu" dan pecahlah tangisnya. Sekali memutar tubuh, ia terus lari keluar menuju
kekamarnya. Tio Jiang yang sangat open terhadap sucinya itu, sambil delikkan matanya
kepada The Go terus ber-gegas2 mengikuti Bek Lian.
Setelah sijelita pergi, legahlah hati Ciok Siau-lan, lalu mengajak lagi kepada The Go:
„Engkoh Go, mari kita lekas turun gunung. Hidup ditengah laut, kan lebih berbahagia!
Peduli spa sih dengan tentara Ceng atau Beng?!"
Sebaliknya demi mengetahui sinona itu mengganggu kesenangannya, The Go tumpahkan
kemarahannya padanya. ,,Budak hina, yangan ngaco belo!"
Didamprat begitu, ternyata Siau-lan tak marah, malah dengan mengucur beberapa butir
air mata, ia tampak meratap: „Engkoh Go, makilah sesukamu, aku takkan marah.
Sekalipun kau pukul, akupun tetap tak marah. Pukullah!"
Untuk membuktikan kata2nya itu, sinona angsurkan senyatanya, siapa oleh The Go
ternyata juga disambutinya. Senyata hi-jat itu berbentuk seperti garu berujung tiga yang
tajam. Setiap ujung, dipasangi sebuah gelangan besar. Begitu gerak, tentu mengeluarkan
bunyi berkerontangan. Begitu menyambuti dengan wajah bengis, The Go undur
selangkah terus menusuk ulu hati sinona. Sebalikn ja sinona, malah meramkan kedua
matanya, dengan wajah ichlas, ia nantikan sang ajal. Baginya binasa ditangan orang yang
dicintainya, adalah suatu kebahagian besar.
Tapi secepat kilat, begitu ujung hi-jat menusuk, sekonyong2 Ciok Jiso menyampok
dengan kim-kong-lunnya. Karena memang tak gunakan kekuatan, begitu disampok, The
Go segera undur lagi.
„Cian-bin long-kun, yangan keliwat menghina keluarga Ciok!" bentak wanita itu. Sembari
tertawa dingin, The Go lemparkan hi-jat, dan menyahut: „Kan adikmu sendiri yang
memintanya, mengapa kau sesalkan orang!"
Terang kalau Ciok jisoh, atau kakak iparnya telah membantunya, namun Ciok Siau-lan
malah membantahnya: „Ensoh, sudahlah. Biarkan dia menghina, aku rela saja!"
Ciok jisoh menghela napas. „Adikku, dikolong langit ini banyak nian orang yang melebihi
dia, mengapa kau mantep padanya saja?"
„Ja, memang hatiku tertampak padanya seorang," sahut Sian-lan dengan rawan.
Mendengar itu, The Go tertawa dingin.
Kini tahulah sekaian orang disitu, bahwa Ciok Siau-lan telah ter-gila2 pada The Go, tapi
sebaliknya anak muda itu tak menghiraukannya. Bagi seorang macam Ceng Bo siangjin
yang telah merasakan pahit getirnya gelombang asmara sehingga rela menyadi seorang
sahit, kedengaran menghela napas. Sebaliknya tidak demikian dengan Kiau To dan Ki
Cee-tiong. Kedua orang ini bermula mejakinkan ilmu gwakang (tenaga luar) kemudian
baru lweekang. Untuk memelihara pejakinan gwakang itu, orang harus tetap
membuyang, menyauhkan diri dari paras cantik. Kata2 „asmara" tak terdapat dalam
kamus hatinya. Begitu melihat kelakuan The Go terhadap sinona Siau-lan, karena sudah
menyadi seorang tanpa guna Ki Cee-tiong sih hanya menggeram saja dalam hati, tapi
Kiau To mans, mau sudah. Dengan suara keras dia segera berseru: „Orang she The,
pergilah sana bereskan urusan gelapmu dengan wanita itu. Yangan unyuk kemesuman
di Giok-li-nia sini!"
Sedari dikatakan „ibu dan anak belajar sama seorang guru" tadi, The Go benci sekali
kepada Kiau To. Maka dengan delikkan matanya dia segera menyahut: „Adakah Giokli-
nia ini milikmu orang she Kiau? Memang harini aku The Go hendak bikin ramai disini,
habis kau mau apa?"
Ucapan dan sikap Cian-bin long-kun itu memang keliwat kurang ajar sekali, sehingga
sampai2 seorang sabar macam Ceng Bo siangjin membeliakkan mata, kearahnya serta
diam2 memaki „biadab". Tapi Ceng Bo orangnya keliwat menyaga nama, sekalipun hati
mendongkol namun mulutnya tak mau mendamprat. Sebaliknya Kiau To dengan tertawa
dingin segera menyahut: „Siapa bilang Giok-li-nia ini tiada bertuan, hanya saja
pemiliknya itu tak sudi kotorkan tangan untuk menghajar adat padamu. Maka biarlah
Kiau jiya ini yang akan mewakili tuan rumah untuk memberi hajaran padamu!"
Cepat The Go pentang kipasnya. „Kiau loji, lama nian kudengar bahwa sebatang tiang-
pian dan sepasang kepalanmu itu tiada lawannya didunia persilatan. Maka hari ini aku
hendak mohon pengajaran ilmumu ke 36 jurus 'liok kin pian hwat' serta 'toh beng cap jit
jiao' itu!"
„Liok kin plan hwat" ilmu pian (cambuk 6 indera itu, adalah kepandaian istimewa yang
diwarisi dari guru Kiau To, Tay Siang Siansu. Yang dimaksud dengan „liok kin" jakni
berdasarkan keenam indera yang termaktub dalam kitab keagamaannya, jakni „mata,
telinga, hidung, tubuh, mulut dan perasaan." Kesemuanya itu diciptakan dalam sebuah
ilmu pian yang disebut „liok kin pian hwat". Setiap baglan terdiri dari 6 jurus, jadi sama
sekali berjumlah 36 jurus. Terutama ke 6 jurus yang terachir yang disesuaikan dengan
bunyi kitab itu: „Perasaan, adalah akar (sumber) dari keinginan."
Karena keinginan itu tiada batasnya, maka ke 6 jurus itupun penuh dengan gerak-
perobahan yang sukar diduga. Lemah gemulai tampaknya namun hebat keliwat2,
tangkas cepat tiada terkira. Kiranya sukar untuk melukiskan dengan kata2, cukup kalau
dikatakan „datangnya tanpa bayangan, perginyapun tanpa bekas."
Berkat ilmupiannya itu, dapatlah Tay Siang Siansu malang melintang selama lebih dari
20 tahun didunia persilatan dengan tanpa tandingan. Tapi kemudian, karena salah
paham kena diadu domba oleh siaojin (orang yang bermartabat rendah), dia telah bentrok
dengan sepasang suami isteri yang terkenal gagah dan perwira budinya, dan berachir
Siansu itu telah kena dijatuhkan oleh pasangan suami isteri yang memiliki dua macam
ilmu pedang sejodoh, saling mengisi dan saling bantu membantu. Buru2 Tay Siang
Siansu pulang kebiara Liok-yong-si di Kwiciu, kemudian kepada murid tunggalnya, Kiau
To, ia meninggalkan pesan: „Luasnya dunia, dalamnya ilmu silat, sungguh tiada dapat
diukur. Kali ini aku hendak berkelana lagi. Kalau dalam 10 tahun nanti tak kembali,
anggaplah aku sudah meninggal 10 tahun. Kalau 20 tahun, anggap 20 tahun yang
meninggal." Setelah meninggalkan kata2 itu, berangkatlah Tay Siang Siansu pergi
berkelana.
Pada ketika itu, Kian To baru berumur 20-an. Dia baru saja mendapat pelajaran ilmu
pian. Dia asalnya memang seorang kacung biara Liok-yong-si situ. Ketika Tay Siang
Siansu mengetahui anak itu mempunyai tulang yang bagus, Tay Siang berkeras
menyuruh anak itu menyadi orang biasa lagi, karena masih belum temponya untuk
menyadi orang pertapaan, tapi disamping itu dia menurunkan pelajaran ilmu silat pada
anak itu. Orang yang mejakinkan ilmu pian „liok kin pian hwat", harus menyaga betul2
ke 6 inderanya itu supaja yangan sampai ternoda oleh nafsu2 selera. Memang pada
hakekatnya, itulah intisari daripada pelajaran Buddha.
Dalam kebatinan, Kiau To penasaran dirinya dianggap belum berjodoh masuk ke
lapangan agama itu. Begitu suhunya pergi, diapun tak lama kemudian juga tinggalkan
biara Liok-yong-si untuk berkelana didunia persilatan, kemudian masuk dalam Thian-
tee-hwee. Dengan kepandaiannya silat yang tinggi, tak berapa tahun kemudian, dia
segera menduduki kursi kedua dalam pimpinan Thian-tee-hwee tersebut.
Ber-tahun2 dalam pertempuran, paling banyak dia hanya gunakan sampai jurus ke 28
saja dari „liok kin pian hwat", dan lawan pasti akan sudah keok. Tapi orang yang dapat
bertahan sampai jurus ke 28 itupun sudah tergolong jago yang sukar dicari. Maka selama
itu, ke 6 jurus penghabisan itu belum pernah digunakannya.
Bahwa kini The Go telah menantang „liok kin pian hwat"nya itu, diapun tak berani
memandang ringan pada lawan itu. Karena dari beberapa gerakannya tadi, cukup
diketahuinya bahwa orang she The itu telah dapat mewarisi kepandaian dari suhunya,
Ang Hwat cinyin, yang sangat terkenal sebagai achli tutuk jempolan. Kalau tidak
demikian, masa anak itu sedemikian temberangnya?
„Kalau Cian-bin long-kun menghendaki begitu, akupun mengiringkan saja. Bagaimana
kalau kita ambil tempat dilapangan luar sana?" sahutnya.
Tanpa mengucap apa2 The Go ber-kipas2 seraja melangkah keluar. Dengan memungut
senyata hi-jat, Ciok Siaulanpun mengikutinya. Tapi baru The Go melangkah beberapa
tindak, dari luar pintu se-konyong2 menobros masuk seseorang, yang begitu menampak
The Go terus menusuk dengan pedangnya. Sebat sekali The Go mengegos kesamping dan
karena tak keburu menarik serangannya ujung pedang orang itu Iangsung menusuk
kepada Ciok Siau-lan. Nona yang berada dibelakang The Go itupun dengan gugup segera
hadangkan hi-jatnya untuk menangkis. Kini tahulah sekalian orang, bahwa sipenyerang
itu bukan lain adalah Tio Jiang.
„Siau-ko, dia cukup keras, biarkan aku yang membereskan!" seru Kiau To, namun Tio
Jiang tak mau menghiraukan. Begitu pedang dibalikkan, dengan jurus „Ho peh kuan
hay", ujung pedangnya diguratkan keatas menyerang The Go. Tapi kini The Go sudah
siaga. Dengan tenang, dia ulurkan kipas. Begitu ujung pedang tiba, kipas dipalangkan
dan laksana besi sembrani telah menempel lekat2 dibatang pedang. Sekali tangannya
kanan mengibas, mulutnyapun membentak: „Enyahlah!"

Gambar 8
Baru saja The Go melangkah keluar, tahu2 ia dipapak sekali
tusukan oleh Tio Jiang, cepat ia mengegos hingga serangan
itu menuju Ciok Siau-lan yang berada dibelakangnya.

Tio Jiang merasa seperti dari ujung pedangnya mengalir suatu tenaga kuat yang
menggempur siku tangannya. Begitu keras tenaga gempuran itu, hingga terasa tangann
ja kesemutan dan „kerontang", lepaslah pedang itu jatuh ketanah. The Go bergelak tawa,
tapi tak mau balas menyerang. Namun sekalipun tahu bukan tandingannya, Tio Jiang
tak mau mengalah. Dia pungut lagi pedang terus menyerang kembali dengan jurus „hay
li long huan". Jurus ini, baru saja kemaren siang dia pelajari, sehingga baru saja 2 kali
berlatih. Sampai dimana kebagusan ilmu pedang itu, entahlah. Yang diketahuinya
hanyalah kunci aba2 jalannya, terdiri dari 8 kata: „4 datar 8 tenang, mulut, hidung, mata,
telinga." Begitulah tangan kanan mencekal tangkai pedang dengan agak kendor, selekas
diangkat naik terus dikibaskan keatas, tengah dan bawah. Kemudian selagi sinar pedang
berkelebatan, tiba2 ujungnya ditusukkan kearah kepala dan muka The Go.
Bermula The Go anggap kepandaian Tio Jiang itu, hanya biasa saja. Buktinya, tadi
dengan hanya gunakan sedikit lweekang, dia telah berhasil membikin terpental pedang
anak itu. Nah karena anak itu tetap membandel, biar dia unyuk sedikit kepandaian untuk
menghajarnya. Tapi sedikitpun dia tak menduga, kalau ilmu pedang „to hay kiam hwat"
dari Ceng Bo siangjin itu, hebatnya bukan kepalang. Sampai jurus ke 4 „Ho Peh kuan
hay" tadi, sudah mulai nampak keindahannya. Jurus „hay li long huan" itu adalah jurus
yang ke 6, istimewa diperuntukkan menyerang kepala dan muka orang.
Sewaktu, Tio Jiang membolang balingkan pedangnya dalam 3 kiblat tadi, masih The Go
tak mengacuhkan. Tapi se-konyong2 ujung pedang dalam gaja yang luar biasa dapat
menusuk kemuka, telah membuat The Go serasa terbang semangatnya. Gaja serangan
macam itu, betul2 belum pernah dilihatnya selama ini. Dengan sibuknya, segera dia
gunakan jurus „tiat pan kiau" (jembatan besi gantung) badannya membalik kebelakang
terus melengkung kebawah. Dengan tiara itu, barulah dia dapat terhiiidar dari tusukan
pedang. Tapi ketika mata pedang berkelebat lewat disamping mukan ja, muka teraaa
seperti disambar deru angin yang dingin. Diam2 dia mengeluh „celaka", dia perkokoh
kuda2 kakinya. Kakinya tetap tegak terpaku, tapi tubuhnya tiba2 menggeliat kesamping.
Itulah ilmu „i heng huan wi" (memindah bayangan, mengganti kedudukan), suatu ilmu
mengentengi tubuh tingkat tinggi.
Sayang Tio Jiang bukan Ceng Bo siangjin. Ilmunya pedang itu baru saja kemaren
dipelajari, jadi masih belum sempurna. Coba pada saat itu, dia terus susuli lagi dengan
jurus yang ke 7„hay Iwee sip ciu", kalau tidak binasa se-kurang2nya The Go pasti akan
terluka berat. Malah hal yang harus disayangkan itu tak cukup begitu saja, karena
setelah mendapat pengalaman pahit itu, The Go telah dapat menarik pelajaran berharga
dari ilmupedang „to hay kiam hwat" tersebut. Dikelak kemudian hari walaupun ilmu
pedang Tio Jiang telah sempurna, namun tak mudah lagilah kiranya untuk mengalahkan
The Go. Dan memang hal itu telah terjadi dikemudian harinya, hanya saja lebih baik kita
yangan melantur kekejadian yang belum datang.
Sewaktu The Go dengan cara-geliatannya yang luar biasa itu dapat menggelincir keluar
pintu, dengan bernapsu sekali Tio Jiang terus akan mengejarnya, tapi Ceng Bo siangjin
yang tahu akan kekuatan mereka tadi, buru2 mencegahnya: „Jiang-ji, Kiau susiok
hendak bertanding dengan dia, mengapa kau turut2an menimbrung?"
Tio Jiang menurut tapi mulutnya menyomel: „Bangsat itu telah membuat marah suci,
sehingga suci menangis tak mau sudahnya!"
Orang2 bermula mengira kalau anak itu tentu mempunyai dendam besar sehingga
hendak mengadu jiwa dengan The Go, siapa kira hanya lantaran soal Bek Lian menangis
saja. Sudah tentu orang2 sama geli melihatnya. Tapi bagi Tio Jiang hal itu merupakan
soal penting. Bek Lian tertawa, dia juga merasa berbahagia. Bek Lian menangis, diapun
turut bersedih. Ja, segala apa yang dirasakan oleh sijelita itu, se-olah2 seperti
dirasakannya juga. Tadi dia coba hiburi sang suci, tapi sebaliknya dari menerima kasih
Bek Lian malah menumpahkan kemendongkolan hatinya pada Tio Jiang. Anak itu sudah
kenyang menerima gegeran (dampratan) sang suci, jadi dianggapnya biasa saja. Tapi apa
yang paling menyakitkan hatinya ialah rasa sedih yang dikandung oleh Bek Lian itu.
Mengapa sang suci sampai sedemikian berdukanya? Ah, tak lain tak bukan, The Golah
biang keladinya. Maka tanpa banyak cingcong lagi, tadi dia telah serang si Cian-bin long-
kun itu. Walaupun achirnya ditegur oleh Ceng Bo siangjin, namun hati Tio Jiang tetap
puss, karena dengan perbuatannya tadi dia merasa seperti telah Tio Jiang tetap puas,
karena dengan perbuatannya tadi dia merasa seperti telah menunaikan panggilan
hatinya untuk membela Bek Lian.
„Jiang-ji yangan sembarangan mengomong!" lagi2 sang suhu membentaknya. Dan Tio
Jiangpun tak berani bercuit lagi.
---oo0oo---
BAGIAN 2.4.

Setelah sekalian orang sama keluar untuk menyaksikan pertempuran, Ceng Bo siangjin
segera mengajak Ki Cee-tiong: „Ki-heng, mari kita masuk kedalam saja untuk
merundingkan masalah yang peting."
Dengan ucapan itu, Ceng Bo telah mengira, betapa lihaynya The Go namun rasanya Kiau
To cukup dapat mengatasi. Dan kalau orang she The itu sudah dipecundangi, kiranya
yang lain2pun takkan berani mengadu biru. Adanya Ceng Bo ber-gegas2 balik kegunung
lagi, kiranya memang mempunyai suatu urusan yang penting. Oleh karena Ceng Bo
mengatakan „masalah penting," maka Ki Cee-tiong segera mengikutnya.
Sudah sejak menyaksikan ramai2 tadi, Yan-chiu ketarik sekali hatinya. Hanya lantaran
suhunya berada disitu, jadi tak beranilah ia ini itu. Tapi begitu sang suhu sudah berlalu,
segera ia loncat mencekal tangan Tio Jiang: „Suko. hajo kita lihat Kiau susiok menghajar
sikurang ajar itu!"
Dengan tersenyum tawar, Tio Jiang menurut. Tapi baru saja dia melangkah keluar pintu,
disana dilihatnya Kiau To sudah saling berhadapan dengan The Go. Jarak keduanya
hanya terpisah 2 meter saja. Ber-gegas2 Tio Jiang menuju kedekat tanah lapang itu.
Dengan tempelkan badannya pada suatu batu karang yang menonyol, dia tegak berdiri
mengawasi jalannya pertandingan. Tahu orang tak begitu mempedulikan, Yan-chiu
mendongkol. Iapun menyingkir agak jauh dari sukonya itu.
Tak berapa lama kemudian, Kiau To dan The Go masing2 bertukar salam, setelah itu
mereka lalu sama mundur sampai satu tombak jauhnya. Dengan mata saling mengawasi,
mereka segera bergerak ber-putar2. Sekalipun Tio Jiang bukan tergolong d jago kelas
satu, namun 6 tahun diasuh oleh seorang achli kenamaan macam Ceng Bo siangjin,
diapun cukup mengetahui arti gerakan kedua orang itu. Betul nampaknya saja mereka
main ajal2an, yang satu ber-kipas2 yang lain menggendong tangan, namun sebenarnya
mereka itu sedang ber-slap2 untuk suatu pertempuran dahsjat.
Gerak kaki The Go merupakan sebuah lingkaran kecil. Sewaktu ber-gerak2 itu sikapnya
tenang sekali. Pula gerakannya itu agak aneh, sehingga tiada seorangpun yang
mengetahui gerakan-kaki ilmu silat apakah itu. Sebaliknya kaki Kiau To ber-putar2
dalam formasi lingkar besar, malah mengitari daerah The Go sana. Langkah kakinya
sangat anteng, kokoh bagai gunung Thay-san. Nyata ilmu silat keduanya itu berlainan,
namun dua2nya adalah achli semua. Kini perhatian semua orang ditumpahkan kesitu.
Sejenak kemudian, tiba2 Kiau To tertawa keras. Ilmunya lweekang adalah pelajaran dari
kaum agama. Dalam beberapa kitaran saja, dia telah dapat mengalurkan tenaga
dalamnya keseluruh tubuh. Tertawanya tadi, pertanda dari sudah mengalirkan tenaga
itu dan begitu keras suara ketawa itu hingga orang yang belum tinggi ilmu silatnya, pasti
akan terpelanting kaget. „Cian-bin long-kun, silahkan menyerang dulu!" serunya
kemudian,
Tapi The Go tak menyahut. IImunya lweekang adalah ad jaran dari Ang Hwat cind jin
gunung Ko-to-san, yang berpokok pada ketenangan. Menghadapi musuh lihay, harus
makin tenang dan se-kali2 tak mau menyerang lebih dahulu. Memang hal itu sudah
diketahui Kiau To, siapa telah sengaja bertanya untuk menggodanya. Tapi diluar dugaan
The Go telah menyahut: ,Balk!" seraja menghamperi maju, sembari melipat kipas terus
gunakan tangkainya untuk menutuk kedua pundak lawan.
Cepat dan berbahaya adalah serangan The Go itu, sehingga Kiau To tak menyangka
barang serambutpun juga. Cepat2 dia pendakkan tubuh, begitu membalik siku
lengannya, kelima jari yang laksana kulit besi itu, segera mencengkeram siku tangan
orang. Atas ancaman itu, The Go mundur kebelakang seraja tertawa, karena serangannya
tadi itu ternyata hanya gertakan kosong saja.
Gambar 9
Dengan sengit Kiau To tempur The Go
yang telah membokong kawannya.

„Yangan lari!" bentak Kiau To dengan marah ketika tahu dirinya dipermainkan begitu.
Berbareng dengan memburu maju, kini dia gunakan dua tangannya untuk
mencengkeram. Begitu hampir mengenai, kedua tangannya itu dipentang. Yang kiri
untuk mencengkeram pinggang orang, sedang yang kanan untuk mencengkeram kearah
dada. Dengan bersuit nyaring, tiba" The Go melambung keatas, melayang keatas kepala
lawan. Dan ketika berada diatas kepala, dia segera tutukkan kipasnya kearah jalan darah
,,peh hap hiat" di-umbun2 kepala.
Menampak lawan telah gunakan jurus yang berbahaya, Kiau To segera putar tubuhnya
untuk mencengkeram paha belakang lawan, tapi si The Go dengan lincahnya sudah
melorot turun ketanah lagi. Kini dengan tangkai kipas, dia merangsang seru sekali,
menghujani lawan dengan tutukan2 yang berbahaya. Mau tak mau terpaksa Kiau To
harus mengakui kalau lawan itu betul2 seorang berisi. Dalam pada itu berpikirlah dia,
kalau kall ini eampai tak dapat mengatasi lawan, mungkin dikemudian hari sukar untukn
ja mendapat kedudukan lajak didunia persilatan, akibatn ja, Thiantee-hweepun akan
merosot namanya. Dengan ketetapan itu, dia segera berlaku hati2 sekali gunakan ilmu
cengkeram „toh beng cap jit jiao".
Begitulah dalam beberapa kejab saja, kedua rival itu telah bertempur lebih dari 30 jurus.
Makin lama, makin seru. Sesaat saling merapat, sesaat saling berpencar, gerakannya
kian pesat. Orang2 yang menyaksikan, sama berpudar penglihatannya. Selama itu sudah
beberapa kali Ciok Siau-lan hendak tampil membantu, tapi selalu dicegah oleh Ciok jisoh.
Pada saat itu Tio Jiang menampak Bek Lian muncul dan berdiri ditempat agak berjauhan,
sedang Yanchiu malah sudah lari memapaki sang suci. Seperti terkena stroom, Tio Jiang
segera hendak menghamperi sang suci juga, tapi baru hendak mengangkat kaki, tiba2
merasa ada suatu tenaga yang luar biasa kuatnya telah mencekik tengkuknya (leher
belakang). Dalam kagetnya, dia terus hendak berpaling kebelakang, tapi ol, begitu kuat
cekikan itu sehingga tak dapatlah dia gerakkan lehernya. Malah sesaat itu kedengaran
sipencekik itu berseru: „Bujung, yangan lari. Kalau kau pergi, Sam-thay-ya pasti takkan
bisa melihat pertunyukan bagus. Mereka berdua telah bertempur dengan seru, ja tidak?"
Dari nada suaranya, tahulah Tio Jiang kalau orang itu adalah siorang tua kate yang
dijumpainya digunung tempo hari. „Sam-thay-ya!" serunya dengan kaget. Tapi baru
mulutnya bertereak, atau lehernya dirasakan seperti dicekik keras sehingga sampai
hampir tak dapat bernapas rasanya. „Bujung, kalau berani bertereak lagi, awas! Yangan
sampai orang2 itu tahu aku berada disini!" siorang tua aneh itu mendampratnya. Dengan
terengah2 Tio Jiang mengiakan: „Sam-thay-ya, tapi kendorkan sedikit cengkerammu itu
ah!"
„Bagus, bujung, kau berani mempermainkan Sam-thayya?!" kembali orang tua aneh itu
mendamprat. Tio Jiang meringis, namun tak berdaja untuk lepaskan diri. „Masa aku
berani mempermainkan kau?" dia memperotes dengan berjengit. Sam-thay-ya ketawa ter-
besit2, rupanya saking gembiranya, ujarnya: „Kalau Sam-thay-ya kendorkan tangan, kau
tentu akan ngacir pergi bukan?"
Pikir Tio Jiang, orang tua itu memang benar2 seorang aneh yang linglung, sahutnya: „Aku
tak pergi dan membayangimu, kau mau tidak melepas aku?"
Kini agaknya siorang tua linglung itu puas, lalu kendorkan cengkeramannya. Beberapa
kali Tio Jiang usap2 batang lehernya, dan coba gerak2kan kepalanya supaja kendor,
setelah itu lalu menghela napas. Ketika dia mengawasi lagi kegelanggang pertempuran,
kiranya kini cara bertempur dari Kiau To dan The Go itu sudah berobah sifatnya. Kalau
tadi keduanya adu kegesitan, kini ternyata lambat2 saja gerakannya, sehingga Tio Jiang
dapat melihatnya dengan jelas.
Tapi Itu bukan berarti keduanya sudah kepajahan, malah pada kebalikannya kini telab
menginyak dalam phase (tingkatan) yang berbahaya. Tak lagi The Go jual obral
tertawanya, tapi dengan delikkan sepasang matanya dia menatap tajam2 kearah Kisu To,
siapa sebaliknyapun berlaku demikian juga. Keduanya sama ber-putar2 kian kemari,
kemudian pada lain saat, dengan menggerung keras terus saling meneryang. Anehnya,
hanya sebentar saja saling teryang itu berlangsung, karena pada lain saat mereka sudah
saling pencar dan kembali ber-putar2 lagi. Bagi orang yang belum tinggi ilmunya silat,
tentu tak tahu apa artinya itu. Ini berlaku juga pada Tio Jiang. Tapi Sam-thay-ya yang
beraembunyi dibelakangn ja selalu kedengaran mericis sendirian. Sesaat mengatakan
„ah, sudah 6 jurus, kipas anak itu meleset, kalau tidak tentu dapat menutuk jalan darah
thian-tee-hiat lawan"! Tapi pada lain saat kedengaran dia berbisik „ah, 3 jurus yang
hebat, cengkeram orang itu luput, sayang, sayang!"
Bermula Tio Jiang mengira kalau orang tua linglung itu ngaco belo tak keruan. Tapi
begitu dia memperhatikan dengan seksama, jalah ketika kedua orang itu saling teryang
lagi, ternyata memang benar seperti yang diocehkan oleh silinglung tadi, kedua orang Itu
telah saling lancarkan serangan dengan gerak yang luar biasa t jepatn ja. Mengetahui itu,
diam2 Tio Jiang kagum atas kelihayan siorang tua aneh. Demikianlah kedua orang itu
telah bertempur hampir 200 jurus, tapt tetap belum ketahuan menang kalahn ja.
Cian-bin long-kun The Go berpuluh kali melancarkan tutukannya, tapi tak dapat
menemui sasarannya, aebaliknya ilmu „toh beng cap jit jiao" yang bergaja 3 kali serangan
kosong satu kali serangan iai dari Kiau Topun tak ban jak gunanya. Masing2 saling
mengagumi kepandaian lawan.
Tapi se-konyong2 The Go merobah gajanya. Kakinya dimiringkan, sebentar kekanan
sebentar kekiri, aehingga sukar lawan untuk meneryangnya. Sedang kipasnya tiba2
dikibaskan, sehingga kain lipatannya terlepas jatuh. Kiranya rangka kipas itu terdirl dari
14 batang lidi baja. Begitu dipentang untuk dibuat menyerang, dapat menusuk jalan
darah lawan aampai 14 buah ban jakn ja. „aret, eret!" pakaian Kiau To telah dapat
dilubanginya beberapa buah. Sudah tentu buru2 Kiau To lancarkan pukulannya, terus
loncat mundur, serunya: „Orang she The, Kiau jiyapun hendak gunakan senyata!"
„Silahkan!" sahut The Go.
Begitu tangannya merogoh pinggang, Kiau To telah menarik keluar sebatang pian sebesar
lengan anak baji, panjangnya hampir dua meteran. Pian itu lemas sekali, 'warnanya
kuning ke-merah2an, terbuat dari anyaman urat2 kerbau. Dengan mencekal pecut, Kiau
To makin bertambah garang. Sekali mengibas, dia menghajar lawan. Namun dari
menyingkir, sebaliknya The Go tetap berdiam diri, malah maju meneryang sekali. Benar
ujung pian itu melayang kepunggung The Go, tapi 14 batang lidi baja dari rangka kipas
itu maju menusuk. Sudah tentu karena tak mau tertusuk, Kiau To menggeliat kebelakang
dan karena tubuhnya mundur kebelakang, tangannyapun turut tersentak kebelakang,
jadi piannya pun makin keras jalannya. Namun bagaikan seekor belut, The Go miringkan
tubuhnya kesamping sampai hampir seperti jatuh ketanah dan berhasil menghindar dari
hajaran pian yang sebaliknya kini terus langsung menghajar tuannya sendiri. Cepat2
Kiau To memutar tubuh agar piannya melibat lawan lagi. Tapi The Go tak kurang
sebatnya dorongkan kipasnya kemuka sehingga terserak 7 batang dikiri dan 7 batang
dikanan, dengan dijepit oleh kedua jari ditusukkan kearah jalan darah hong-si dan hok-
tho, sekali gus dua. Dan dalam pada itu, dia loncat keatas untuk menghindari hajaran
pian, lalu maju meneryang.
Dua buah serangan itu, aneh dan cepat sekali. Hajaran pian tadi, telah dilancarkan se-
kuat2n ja oleh Kiau To yang ingin lekas2 merebut kemenangan. Dirangsang begitu aneh
sehingga hampir sad ja jalan darah hong-si-hiatn ja kena ditutuk, telah membuatnya
terperanyat dan ter-sipu2 buang dirinya ketanah untuk bergelundungan. Dengan
berbuat begitu, barulah dia dapat menghindar dari serangan musuh.
Kalau achli silat bertempur, jurus2nya memang aneh luar biasa. Cara Kiau To menolong
diri itu memang istimewa, tapi lebih istimewa lagi adalah serangan' yang berikutnya dari
The Go. Dengan miring2 seperti orang mabuk yang sukar diduga arah langkahnya, tiba2
dia merangsang dengan cepatnya. Lagi2 Kiau To terpaksa menyingkir mundur. Saking
bingung akan gaja serangan orang, dan aibuk menyingkir kesana sini, terpaksa Kiau To
tak dapat gunakan pisaunya.
Melihat Kiau susioknya terdesak, Tio Jiang ber-ulang2 membanting kaki. Tlba2 orang tua
linglung yang bersembunyi dibelakangnya tadi berkata: „Gerakan anak itu disebut 'hong
cu may ciu', ilmu istimewa Ang Hwat cinyin dari gunung Ko-to-san!"
---oo0oo---
BAGIAN 3
HILANG TAK BERBEKAS

Mendengar itu, hati Tio Jiang tertarik. „Loocianpwee..... eh, salah, Sam-thay-ya,
bagaimana kau tahu kalau itu jurus ilmu silat 'hong cu may ciu' (orang gila menyual
arak)?" tanyanya.
Orang tua kate yang aneh itu tertawa tawar, sahutnya : „Bujung, kau berani tak
memandang mata pada Sam-thay-ya"
Karena sudah ber-kali2 mendengar ucapan yang melantur dari siorang tua aneh itu, kini
Tio Jiang tak kaget lagi. „Kalau Sam-thay-ya tahu, coba katakan kali ini orang itu akan
menutuk bagian mana?"
Pada saat itu Kiau To tengah abitkan piannya kearah The Go, siapa tampak miringkan
tubuhnya kesebelah kanan. Melihat itu berserulah Sam-thay-ya: „Setelah memutar
tubuh, dia (The Go) tentu akan menutuk jalan darah yang-kwan-hiat dipunggung orang
itu (Kian To)."
Tio Jiang agak sangsi, karena The Go kala itu bereda disebelah kanan Kiau To, bagaimana
dapat menutuk punggungnya? Tapi berbareng dengan ucapan siorang tua aneh itu,
tampak tubuh The Go menggeliat condong kemuka, lalu se-konyong" berputar
mengangkat tubuhnya lagi. Dengan rebah bangun cara begitu itu, kini The Go berada
disamping lawan, dan apabila dengan sekali rebah-bangun lagi, dia tentu akan tepat
berada dibelakang lawan serta dapat menutuk punggung.
„Hai," Tio Jiang mengeluarkan seruan tertahan sambiI mengawasi Kiau To. Rupanya
orang she Kiau belum insjaf kalau lawan bisa menutuk punggung, maka begitu
mendengar ada samberan angin dari belakang, dengan sibuk dia terus maju dua langkah
kemuka untuk menghindar. Ini bukan berarti karena tahu akan ditutuk lawan,
melainkan hanya sekedar penyagaan saja atas serangan lawan yang sangat
membingungkan itu. Oleh karena inisiatip berada ditangan musuh, diapun tak dapat
menguasai permainannya pian lagi.
Buru2 Tio Jiang berpaling. Dilihatnya orang tua aneh itu tengah kerat-kerutkan alisnya
sehingga hidungnyapun turut naik turun. „Bujung, percaja tidak omonganku?" tegur
orang tua tersebut.
Pepatah mengatakan „didalam keadaan mendesak, orang bisa mengeluarkan pikiran
yang cerdas". Tio Jiang bukan seorang yang sama sekali tak berbakat. Soalnya dia itu tak
pandai omong. Maka sesaat itu terkilaslah suatu pikiran bagus padanya. „Sam-thay-ya,
kalau ber-turut2 10 kali kau bisa menebak jitu, aku benar2 tunduk padamu!"
„Baik," sahut siorang tua sambil mengatupkan kelopak matanya.
Ketika Tio Jiang alihkan pandangannya kegelanggang, dilihatnya Kiau To baru saja
dengan susah pajah lolos dari dua buah serangan The Go. Ikat kepalanya yang berwarna
hitam putih itupun sudah terpapas jatuh oleh rangka kipas The Go. Kini pemimpin no. 2
dari Thian-Tee-Hui itu makin keripuhan, sebaliknya si The Go makin tangkas. Gerak
serangannya memang seperti gaja seorang gila, menyorok ketimur tapi ternyata memukul
kebarat, berkelebat kearah selatan namun kearah utara yang dihantamnya. Tio Jiang tak
dapat mengendalikan diri lagi, serunya: „Kiau susiok, yangan kuatir. Ilmu menutuk orang
itu dinamakan 'hong cu may ciu', semuanya aku tahu!"
Mendengar itu, The Go terperanyat sekali. Masakan anak gembala itu tahu akan ilmu
perguruannya „hong cu may ciu" yang istimewa itu? Karena pikirannya terpecah,
gerakannyapun agak lambat. Kiau To pun bukan seorang jago sembarangan, begitu gerak
lawan lamban maka piannya hidup gajanya lagi. „Wut......” dia lancarkan serangan
balasan. The Go seperti orang gelagapan, buru- dia tenangkan pikirannya, lalu rubuhkan
diri kebelakang. Begitu pian sudah lewat, serentak dia berdiri tegak lagi.
„Sam-thay-ya, dia mau menutuk apa?" buru- Tio Jiang bertanya, tapi hai, mengapa orang
tua aneh itu tak menyahut? Tio Jiang menoleh kebelakang dan dapatkan siorang tua
aneh itu unyuk kemarahan. „Sam-thay-ya, mengapa kau diam saja?" tanyanya dengan
heran.
„Kau ini seorang buyang yang licin. Suhu dari anak muda itu adalah sahabatku. Kau
hendak memberi kisikan pada orang itu, supaja anak itu kalah?"
Sudah terlanyur diketahui, Tio Jiang tak mau kepalang tanggung, ujarnya: „Sam-thay-
ya, kalau sememangnya talc tahu, bilang saja tak tahu dah!"
Kontan saja siorang tua linglung itu menyahut dengan murkanya: „Kau berani
memandang remeh pada Sam-thay-ya? Hm, kali ini dia hendak menutuk jalan darah si-
tiokgong dipinggir mata!"
Tanpa pedulikan lagi, lekas2 Tio Jiang berpaling kemuka. Tepat pada saat itu, The Go
tutukkan kipasnya, dan benar juga yang diarah jalah jalan darah si-tiok-gong yang
terletak dipinggir mata. Benar Kiau To dapat menghindar, tapi karena tak mengerti akan
gerak serangan lawan, dia tak berani gegabah balas menyerang, dengan begitu dia tetap
dipihak yang diserang.
Setelah mengirim tutukannya tadi, The Go tampak hujung2kan tubuhnya kesamping,
sedang Kiau To sambil tegak berdiri, bolang balingkan piannya siap untuk menyambut.
„Wi-tiong-hiat!" tiba2 mulut siorang tua aneh berseru pelan2, tanpa ditanya lagi. Jalan
darah wi-tiong-hiat itu terletak pada buku-persambungan betis dengan paha, jadi
tampaknya mustahil dapat diarah. Tapi karena sudah bulat kepercajaannya, dengan tak
banyak cingcong lagi, buru2 Tio Jiang berseru: „Kiau susiok, kali ini dia hendak menutuk
'wi-tiong-hiat'mu!"
Baru seruan itu keluar, tiba2 The Go melengak, namun karena tangan sudah bergerak
maju sukarlah untuk ditarik kembali. Se-konyong2 dia melambung keatas meloncati
samberan pian. Dengan tangan dan kaki berserabutan macam orang kelelap disungai,
dia meluncur turun dibelakang Kiau To. Begitu hampir ketanah, tiba2 tangannya kiri
dicengkalkan kebumi, sedang tangan kanan menutukkan rangka kipas kearah jalan
darah wi-tiong-hiat dibetis orang!
Karena mendapat peringatan dari Tio Jiang, kini Kiau To sudah bersiaga. Tahu musuh
melayang turun kebelakangn ja, dia tinggal diam saja. Tapi begitu musuh sudah
menyentuh bumi serta belum sempat untuk melancarkan serangannya, Kiau To barengi
memutar tubuhnya dengan sebuah hajaran pian yang seru. Sudah tentu The Go tak mau
biarkan iganya dilibat cambuk musuh, maka buru2 dia batalkan rencana
penyerangannya tadi, diganti dengan jejakkan kedua kakinya ketanah untuk berdiri
tegak. Dalam kesibukannya itu, dia sempat juga melirik kearah Tio Jiang, namun anak
itu tak mau hiraukan. Dengan balingkan tangannya kebelakang dia kutik2 tubuh siorang
tua linglung lagi. „Jin-tiong-hiat" bisik suara dari belakang, dan kembali Tio Jiang berseru
keras lagi: „Kiau susiok, orang itu hendak menutuk jin-tiong-hiat-mu!"
Memang setelah berdiri tegak, tiba2 The Go berjongkok dan ber-putar2 kemuka Kisu To
lalu secepat kilat angkat tubuhnya keatas. Menurut rencana Kiau To tiara menghalau
serangan orang itu jalah putar pian untuk melindungi tubuh bagian muka. Tapi karena
sudah mendapat peringatan Tio Jiang, maka sengaja dia biarkan saja lawan menyerang.
Sebaliknya dari memutar pian, dia kibaskan pian itu keatas melampaui kepala lawan,
kemudian dengan se-konyong2 disentaknya pian itu menurun kebelakang musuh untuk
menghantam bagian tengkuknya (leher sebelah belakang). Jadi kalau The Go tetap
hendak menutuk jintiong-hiat lawan, tengkuknyapun tentu terhantam pian. Maka buru2
dia menghindari hajaran pian dan dalam penghindarannya itu gerakannyapun tak
menurut gaja „hong cu may ciu" lagi.
Tapi menggunakan kelemahan lawan itu, Kiau To segera hajarkan piannya lagi. Wet, wet,
wet, ber-turut2 The Go undur sampai 3 langkah, baru dia dapat dengan susah pajah
menghindar. Jurus2 selanyutnya, Kiau To menang angin. Tiang-pian atau rujung panjang
macam cambuk me-nari2 dengan lincah dan seru, samberan anginnya kedengaran men-
deru2. Beberapa kali The Go berganti gaja, baru achirnya dapat dia balas menyerang.
Tapi setiap kali dia hendak lancarkan serangannya jurus „orang gila menyual arak" itu,
setiap kali itu pula tentu dipecahkan oleh tereakan Tio Jiang. Dalam beberapa jurus saja,
topi-pelajar yang menutupi kepalanya $ena dihajar jatuh oleh pian Kiau To. Bahkan kini
keadaan The Go tak keruan macamnya. Rambutnya terurai kacau, mukanya bercucuran
keringat dan kotor dan gaja gerakannyapun sudah Hmbung. Asal dua kali lagi Tio Jiang
memberi kisikan kepada Klan To, maka si The Go itu pasti akan rubuh.
Dalam saat2 yang genting itu, tiba2 „trang" terdengar bunyi senyata berkeroncangan,
dibarengi dengan melesatnya sesosok tubuh kedalam gelanggang, serta seruan
melengking: „Cis, tak malu, dua mengerubut satu!"
Kiranya itulah sigadis nelajan Ciok Siau-lan. Begitu melesat maju, dia tusukkan hi-jat
(garu ikan) kedada Kiau
To. Namun pemimpin kedua dari Thian-te-hwe hanya berkelit saja tak mau balas
menyerang, karena dia curahkan perhatiannya mendengari seruan Tio Jiang untuk
menghadapi serangan The Go. Sampai pada saat itu, siorang tua aneh tadi sudah
memberi 8 kali petunyuk yang kesemuanya jitu sekali. Jadi masih kurang 2 kali lagi. Tapi
dengari tampilnya sigadis nelajan itu, walaupun menang angin, kiranya masih sukar juga
bagi Kiau To untuk mengalahkan The Go. Dalam pada itu sempat pula Kiau To
menyapukan matanya kesekeliling tempat itu. Dilihatnya sigenit Yan-chiu berdiri
disebelah sucinya (Bek Lian), memandang dengan penuh keheranan kepadanya (Kiau To)
mengapa dapat memecahkan gaja ilmu silat The Go yang luar biasa anehnya itu. Buru2
dia (Kiau To) memberi isjarat tangan kepada gadis lincah itu, siapapun ternyata dapat
menangkap maksud orang serta terus ber-kaok2: „Mengapa kau tak tiru2 memberi tahu
saja? Apakah karena ilmu tutukanmu terpecahkan, kau marah karena malu? Kalau mau
berkelahi, akulah tandingmu." habis berkata begitu, tangannya melepaskan senyatanya
bandringan yang terikat dipinggang, begitu melangkah maju, kira2 masih satu tombak
jauhnya, ia sudah lontarkan bandringan rantai itu seraja enyot tubuhnya kemuka.
Tadi karena kuatir orang yang dikasihinya (The Go) sampai celaka, Ciok Siau-lan buru2
maju membantu. Tapi seperti dikatakan orang „kalau hati gelisah, orangnyapun kacau".
Siau-lan mainkan ilmu permainannya garu „Lamhay cak sat" (laut selatan mendampar
ikan tawes) secara rancu sekali. Maka dalam 10-an jurus, ia tak dapat melukai Kiau To.
Malah pada saat itu, keburu Yan-chiu sudah menyerang dari belakang, maka buru2 ia
putar tubuh dan menangkis dengan hi-jatnya (penusuk ikan).
„Oho, kiranya hanya begini saja!" seru Yan-chiu sambil leletkan lidah demi senyatanya
saling beradu. Tapi apakah benar kepandaian sigadis hitam dari laut selatan itu hanya
sebegitu saja? Bukan, itulah siasat cerdik dari sigenit Yan-chiu untuk membikin panas
hati lawan. Karena pada hakekatnya, gerakan memutar tubuh sembari menusuk dari
Siau-lan tadi, terselip jurus dari ilmu tombak Yo-kee-jiang yang termasjhur. Yo-kee-jiang
atau ilmu tombak keluarga Yo (Nyoo), adalah buah ciptaan Yo Ci-giap, seorang panglima
yang terkenal pada jaman Pak Song (kerajaan Song utara). Salah satu jurusnya yang
paling lihay jalah yang disebut „hwee ma jiang" atau memutar kuda dengan menusuk.
Ilmu permainan jat (tusuk garu) dari keluarga Ciok Siau-lan, penuh dengan gaja
perobahan. Hampir gaja yang indah dari pelbagai permainan senyata panjang, diambil
dan dipersatukan dalam satu permainan jat itu. Sewaktu berada ditengah laut, asal
kelihatan ada ikan mengambang, sekali tusuk tentu kena. Saking gapahnya Siau-lan
mainkan jat itu, ia telah digelari sebagai Lam-hay hi-li (sigadis nelajan dari laut kidul).
Sebenarnya tadi, dengan susah pajah baru Yan-chiu dapat menghindar dari tusukan
Siau-lan, namun dasarnya genit, mulut Yan-chiupun tetap mengeluarkan ejekannya tadi.
Tapi Siau-lan tak mau ambil mumet, melainkan menyerang lagi.
Karena merasa tak ada lagi angin menyambar dibelakangnya, tahulah Kiau To kalau
sigadis hitam tadi sudah dilibat oleh Yan-chiu. Tapi pada saat itu justeru The Go sudah
menyerangnya, rangka kipasnya dipecah menyadi 3 bagian berbareng maju menutuk.
„Kiau susiok, awas kong-sun-hiat!" kembali Tio Jiang berseru. Kini Kiau To dapat
memperhitungkan, meskipun gaja si The Go itu seperti orang ter-hujung2, tapi karena
jalan darah kong-sun-hiat itu terletak pada 3 dim dibelakang ibu jari kaki, maka dia duga
lawan tentu akan menyorok maju. Maka dia segera gunakan jurus „cu ham to cuan"
hajarkan piannya.
Benar juga, The Go se-konyong2 jatuhkan tubuhnya kemuka untuk menutuk jempol kaki
orang, tapi ujung tiangpianpun sudah menurun datang. Saking kagetnya, buru2 The Go
loncat bangun, sehingga bujarlah kuda2 kakinya. Sekali Kiau To angkat kakinya kiri, dia
mendupak se-kuat2nya kebetis The Go. Betapapun anak muda itu coba loncat mundur
dengan cepatnya, namun samberan angin dupakan yang keras itu telah membuatnya ter-
hujung2 sampai 7 atau 8 langkah kebelakang, baru dia dapat berdiri anteng lagi. Tapi
baru sang kaki anteng, laksana bayangan, Kiau To sudah melesat datang terus
menghajarkan pian kemukanya. Dalam gugupnya, The Go hendak menangkis dengan
lengan kanan, tapi serangan lawan itu adalah jurus dari permainan pian liok-kin-pian-
hwat yang penuh dengan variasi gaja. Tiba2 tangkai pian menurun, hendak melibat siku
tangan kanan lawan. Hendak The Go menarik mundur siku tangannya itu, tapi ujung
pian telah melibat kipasnya.
Melihat tiang-pian berhasil melibat kipas, Kiau To membentak: „Lepas!", dengan
kerahkan seluruh tenaganya dia sentakkan pian kebelakang untuk membetot kipas.
Tangan The Go segera terasa kesemutan, buru2 diapun kerahkan lweekangnya untuk
menarik balik kipasnya. Jadi kini kedua seteru itu saling tarik adu lweekang. Hanya
beberapa kejab saja adu tarik itu berlangsung, karena tiba2 terdengar bunyi yang keras
„krakkk" dan putuslah rangka kipas yang terbuat daripada baja murni itu. Bagian
tangkainya masih terpegang The Go, tapi bagian atasnya kecantol diujung tiang-pian.
Sekali Kiau To kibaskan piannya, maka diudara segera tampak beberapa puluh bintik
sinar kemilau dari kutungan batang rangka tertimpa cahaja matahari, dan cet, cet cet,
berpuluh kutungan lidi baja itu menyusup masuk ke sebuah puhun siong semua.
Penilaian meskipun orang menganggap The Go telah kalah karena senyatanya patah,
namun sebenarnya kepandaiannya setingkat lebih atas dari Kiau To. Kutungnya kipas
itu, bukan karena lweekang The Go kurang tinggi, tapi oleh karena rangka kipas itu
merupakan lidi2 yang terbuat dari baja, jadi begitu saling ditarik, tentulah putus.
Melihat kipasnya patah, merahlah selebar muka si The Go, siapa lalu mundur beberapa
langkah dan dengan tertawa mesam dia berkata: „Kiau loji, aku mengaku kalah!" Kiau To
seorang yang berwatak jujur. Tahu kalau kemenangannya itu tak begitu gemilang, dia
segera rangkapkan kedua tangan memberi hormat seraja berseru: „Maafkanlah........"
Tapi baru ucapan itu keluar, disana terdengar Yan-chiu berteriak: „Aku tak mau
berkelahi lagi dengan kau!"
Ternyata hanya dalam tujuh delapan jurus saja, Siau-lan telah dapat mendesak Yan-chiu
sampai kewalahan tak bisa balas menyerang. Tapi sembari bertempur itu, mata Siau-lan
senantiasa diarahkan pada The Go. Demi melihat pemuda kesayangannya itu kalah,
iapun agak lambat gerakannya. Dan karena memperoleh kesempatan ini, Yan-chiu dapat
loncat undur beberapa tindak. Tapi dasar nona genit, ia tetap tak mau akui kekalahannya
melainkan keluarkan jengekannya lagi, se-olah2 dia tak mau kotorkan tangannya
berkelahi dengan nona lawannya itu. Dan karena memangnya Siau-lan tak mau terlibat
dalam pertempuran dengan Yan-chiu, begitu lawan lari, iapun buru2 menghampiri The
Go seraja bertanya dengan cemasnya: „Engkoh Go, bagaimana?"
Dihadapan sekian banyak orang, dirinya telah kena dipecundangi itu, perasaan The Go
sukar dilukiskan. Dupakan Kiau To tadi, terasa sakit sekali. Belum sempat dia empos
semangatnya untuk menghilangkan rasa sakit itu, dia sudah dipaksa untuk adu
Iweekang lagi. Ini menyebabkan rasa sakit itu makin menghebat. Kalau bukannya dia itu
tergolong orang yang berhati keras, apa lagi dihadapan sekian banyak orang dan
teristimewa dihadapan Bek Lian, tentu siang2 dia sudah tak kuat lagi berdiri jejak. Tapi
disebabkan terlalu memaksa diri itu, keningnya tampak bercucuran keringat. Melihat itu,
hati Siau-lan seperti di-remas2. Buru2 ia keluarkan saputangan putih, niatnya hendak
menyeka kening sang kekasih itu. Tapi The Go menghindar kesamping seraja
mendamprat: „Menyemukan sekali, budak yang tak tahu malu!"

GAMBAR 10
Dengan perasaan cemas, Siau-lan keluarkan saputangan
untuk mengusap muka The Go yang dicintainya itu.

Namun gadis nelajan yang hitam manis kulitnya itu sudah dimabuk asmara. Walaupun
dimaki, ia tetap mengikuti lagi untuk menyeka kening orang. Kalau sinona begitu ter-
gila2, sebaliknya The Go makin jemu. Tadi sewaktu melihat Bek Lian lari masuk dengan
menangis karena ucapan Siau-lan, The Go gusar sekali. Maka setelah menghindar dari
rangsangan Siau-lan, dia (The Go segera melirik kearah Bek Lian. Demi diketahuinya
juwita itupun mengawasi dirinya, terhiburlah hati The Go sehingga untuk sesaat itu dia
ter-longong2. Tapi justeru selagi dia ter-longong2 seperti kehiIangan semangat itu, tahu2
saputangan Siau-lan sudah menyeka dikeningnya. Seketika itu meluaplah kemarahan
The Go, serentak dia ulurkan tangannya kanan, dengan kelima jari yang bagaikan kait
besi kerasnya itu, dia cengkeram bahu sinona. Sudah tentu karena tak mengira orang
yang dikasihinya itu berbuat begitu, menyeritlah Siau-lan karena kesakitan. Malah
saking hebatnya cengkeram itu, muka sinona berobah ke-hijau2an dan bibirnya menyadi
pucat lesi. Namun sembari meronta, masih sinona ichlas menderita, serunya: „Engkoh
Go, tumpahkan kemarahanmu itu padaku, aku tak sesalkan kau!"
Empat keluarga The, Ciok, Ma dan Chi dari Laut Selatan itu, sebenarnya akrab sekali
hubungannya, lebih dari itu, malah hubungan mereka itu dipererat juga dengan
perkawinan. Misalnya Ciok jisoh itu adalah berasal dari keluarga Ma. Bermula karena
Ciok Siau-lan jatuh hati padanya. walaupun gadis itu tak secantik bidadari, namun
karena dilautan ia tergolong jelita kelas pilihan, maka The Gopun bersikap mengimbangi
kasih sinona itu. Tapi sejak dia berjumpa dengan bidadari Lo-hou-san Bek Lian, lupalah
sudah dia akan Siau-lan. Untuk mengunyukkan pada sijuwita bahwa dia tiada sedikitpun
mempunyai perasaan apa2 terhadap sigadis nelajan, The Go lupa akan rasa kasihan lagi.
Apalagi sememangnya dia itu seorang yang berwatak kejam ganas, seketika itu timbullah
rencananya yang jahat. Dengan menyeringai, dia segera mendamprat : „Budak hina yang
tak punya malu?"
Demi mengetahui tindakan The Go itu, cemaslah Ciok jisoh. Ia cukup kenal keganasan
orang she The itu, yang berani melakukan segala macam perbuatan jahat. „Orang she
The. kau berani menghina adikku?" serunya cemas sembari lari menghampiri, namun
sudah terlambat. Karena pada saat itu, tampak The Go mengangkat kakinya kanan.
Dengan lututnya dia bentur dada sinona, sembari lepaskan cengkeramnya tadi. „Aduh...."
hanya sekali mulut Siau-lan merintih tubuhnya sudah segera rubuh terlentang
kebelakang..........
Sjukur tepat pada saat itu, Ciok jisoh sudah tiba disitu, sehingga terus dapat menyanggah
tubuh adik iparnya. Melihat tindakan yang kejam itu, bukan saja Ciok jisoh, pun Kiau
To, Tio Jiang dan Yan-chiu yang berwatak jujur perwira itu, marah sekali. Masa seorang
lelaki berbuat semacam begitu terhadap seorang gadis yang menyayanginya. Yan-chiu
yang paling tak kuat menahan peraasannya itu, segera memaki: „Kau benar2 seorang
yang tak kenal budi! Mengapa kau berbuat sekejam itu?"
Sebenarnya The Go masih belum hilang kemarahannya terhadap Siau-lan, tapi demi
mendengar dampratan Yan-chiu itu, buru2 dia berganti wajah. Dengan tertawa manis dia
menyahut: „Nona Yan, kalau andainya ia itu seorang lelaki dan aku ini perempuan, dia
pantas ditampar tidak?"
Yan-chiu terdesak kepojok oleh pertanyaan itu. Kalau mengiakan, terang dia setuju
perbuatan anak muda tadi. Namun tidak setuju, berarti dia itu seorang gadis yang rendah
nilainya. Sesaat dara yang belum faham akan seluk beluk pergaulan muda mudi itu,
menyadi jengah dan ter-longong2 sampai sekian detik.
„Budak perempuan yang tak kenal malu macam begitu, perlu apa diberi hidup?" The Go
main unyuk „keperwiraannya" seraja kerlingkan ekor mata kearah Bek Lian.
---oo0oo---
BAGIAN 3.2.

Sebagai seorang gadis, Bek Lian merasa kurang penuju atas perbuatan sianak muda itu
terhadap sesama kaumnya. Tapi entah bagaimana, demi mengetahui si The Go benci
pada perempuan lain, diam2 ia merasa girang. Dan ketika anakmuda itu mengawasi
dirinya, ia menyadi jengah sendiri terhadap orang banyak, maka buru2 dongakkan kepala
memandang awan dilangit.
Yan-chiu yang biasanya bermulut tajam itu, kali ini terpukul k.o. oleh kelicinan The Go,
namun ia tetap penasaran, serunya: „Ja biar bagaimana juga, tak pantas kau melukai
orang, nah sudah tak mau berbantah lagi dengan kau.
Sedang Tio Jiang yang tak pandai ber-kata2 itu hanya menuding kepada The Go seraja
berseru dengan gelagapan : „kau...... kau.....”
„Aku bagaimana?" cepat The Go menukasnya sambil menahan kesakitan.
„Kau seharusnya tahu bahwa ia menaruh hati padamu?" sahut Tio Jiang.
The Go ber-gelak2, ujarnya: „Engkoh kecil, hatimu murni amat. Namun setiap curahan
kalbu itu harus berbalas. Misalnya kau sendiri saja, menaruh hati pada seorang nona,
dan ia tak membalas cintamu, andainya kau masih menguber2 saja, apakah kau harus
memaksanya?" The Go sengaja mengucap dengan nada keras, agar orang2 dapat
mendengarnya.
Wajah Tio Jiang merah padam. Sepintas teringatlah perihal dirinya sendiri. Dia telah
abdikan panggilan hatinya terhadap sang suci, namun suci itu tak ambil perhatian
kepadanya. Dalam hal itu, dia tak dapat sesalkan sikap sucinya itu. Berpikir sampai
disitu, dia melangkah maju hendak mengatakan sesuatu. Hai, kalau tadi begitu bergerak
siorang tua aneh tentu lekas2 mencengkeramnya, tapi kini tidak lagi. Kemana dia? Buru2
dia berpaling dan dapatkan orang tua aneh itu sudah tiada disitu. Tapi karena saat itu
dia sedang mempunyai urusan, maka dia tak mau menyibukinya lagi.
Sebaliknya karena telah dapat membuat Yan-chiu dan Tio Jiang bungkam, The Go
merasa girang, dengan dongakkan kepalanya dia tertawa riang. Tiba2 dirasanya ada
sebuah sinar berkelebat disusul dengan samberan angin keras menyampok datang.
Buru2 dia tundukkan kepalanya, lalu dengan tahankan rasa sakit dia melangkah
setindak kesamping. Kiranya itulah Ciok jisoh menyerang dengan kim-kong-lun (senyata
roda baja). Kalau tadi dia tak lekas2 menghindar tentu celaka sudah.
„Ciok jisoh, kau juga akan main2 dengan aku?" tanyanya dengan menyeringai.
Tadi sewaktu Kiau To kirim dupakannya, dengan sebatnya The Go mundur kebelakang,
maka orang2 sama mengira kalau dia dapat menghindari serangan itu. Dan meskipun
sudah terluka, masih dia unyuk senyuman sambil ber-kata2 agar tak kentara sakit.
Ternyata Ciok jisohpun dapat dikelabuhinya. Sedikitpun jago perempuan itu tak
mengetahui bahwa lutut The Go telah terluka, ja sekalipun tak sampai patah tulangnya,
tapi cukup membuat gerakannnya tak leluasa. Maka demi The Go mengeluarkan
hardikannya, karena merasa kalah tinggi kepandaiannya, iapun bersangsi. The Gopun
tak mau mempedulikannya. Dipungutnya ikat kepalanya yang jatuh ditanah, setelah
membereskan rambutnya yang kacau, lalu dipakainya lagi. Kemudian katanya kepada
Kiau To dan Tio Jiang berdua: „Kepandaian jiwi berdua, aku amat kagum. Terutama
kepada engkoh kecil ini yang telah dapat mengenal ilmu tutukan darah dari perguruanku
yang sangat dirahasiakan itu. Kalau benar2 seorang lelaki, nanti pada hari Peh-cun
tahun muka, supaja datang kebio Ang-kun-kiong digunung Ko-to-san!"
Saat itu Tio Jiang tengah kelelap dalam pikirannya mengenai perhubungannya dengan
sang suci, jadi dia tak mendengarkan apa yang dikatakan The Go itu. Sebaliknya Kiau To
yang merasa kalau kemenangannya tadi itu tak lajak, hendak menghibur agar lawan itu
yangan kehilangan muka. Tapi demi menyaksikan kekejaman orang itu terhadap seorang
gadis kawannya, dia berbalik gusar sekali. Maka demi siganas itu mengeluarkan
tantangannya, kontan saja dia menyahut: „Kau mau agul2kan nama Ang-hunkiong
untuk menggertak orang? Hm, ucapan seorang lelaki........"
„Laksana kuda mencongklang pesat!" buru2 The Go menyambung kata2 Kiau to itu, „nah,
siaoseng hendak minta diri!" Dan dengan kata2nya itu The Go sudah melesat dua tombak
jauhnya, justeru tepat disisi Bek Lian. Melihat anak muda itu hendak berlalu, hati Bek
Lian seperti terasa kehilangan sesuatu, maka tanpa dapat ditahan lagi, meluncurlah
kata2 dari mulutnya: „Kau..... kau terus pergi begini saja?"
„Tahun muka, kalau dapat kau turut saja berkunyung ke Ko-to-san, kita pasti akan
berjumpa pula," sahut The Go dengan berbisik.
Bek Lian sendiripun tak tahu, mengapa dalam perkenalan sesingkat waktu itu saja, dia
sudah mempunyai perasaan begitu terhadap sianak muda itu. Pehcun (Pesta air) masih
setengah tahun lagi, baginya waktu itu keliwat lama sekali. „Kecuali Pehcun itu, apakah
tiada lain kesempatan lagi?" tanyanya.
Mendengar itu, The Go girang bukan buatan, sahutnya berbisik: „Kalau kau dapat turun
gunung, carilah aku ke Kwiciu!"
Bek Lian mengangguk dan setelah melesat lagi beberapa kali. The Gopun lenyap kebawah
gunung. Ketiga saudara Chi buru2 mengikut jejaknya. Hweeshio gemuk Ti Gong taysu
setelah merandek sejenak lalu menghampiri Ciok jisoh, siapa tengah berjongkok
memeriksa luka adik iparnya. Demi melihat sihweeshio datang, Ciok jisoh segera
membentaknya: „Kepala gundul, sejak naik kemari kaulah yang mulai cari perkara, sana
enyahlah!"
Dengan tertawa menyengir, hweeshio gemuk itu pamitan lalu ajunkan langkahnya turun
gunung. Dan karena berhenti sebentar itu, dia sudah ketinggalan jauh dengan The Go
dan ketiga saudara Chi. Sukur jalanan disitu tak keliwat ber-belit2, jadi diapun tak
sampai kesasar. Malah kuatir kalau Ciok jisoh yang sedang gusar itu menyuaulnya, dia
percepat langkahnya. Kira2 satu li jauhnya, tiba2 dia teringat akan sesuatu, lalu menoleh
memandang kepuncak tadi. Sampai sekian saat dia merandek dan merenung. Pada lain
saat ketika dia hendak lanyutkan perjalanannya lagi, se-konyong2 dari sebelah samping
terdengar orang berkata dengan nada yang dingin sekali: „Kepala gundul, kau kenapa?
Mengenang Liok-ya? Inilah liokya-mu berada disini!"
GAMBAR 11
Selagi Ti Gong Hwesio ngacir kebawah gunung,
tiba2 ia dipapak si Bongkok, Thaysan-sin-tho,
seorang musuh bujutan pada 10 tahun yang lalu.

Mendengar nada yang dikenalnya sejak 10 tahun yang lalu. bagaikan diburu setan Ti
Gong segera loncat kemuka. Kebetulan tempat yang diloncatinya itu adalah sebuah
semak belukar duri. Biarpun ilmunya mengentengi tubuh cukup baik, begitu turun
kesemak terus secepatnya loncat keatas lagi, namun tak urung jubahnya bagian bawah
tertusup pecah oleh duri2 disitu, sehingga tak keruan macamnya.
„Ha. ha, mengapa takut, kepala gundul?" kedengaran suara tadi tertawa mengejek, „liok-
ya masih belum selesai dahar, belum sempat untuk memberesimu. Kalau kenal aelatan,
lekas jongkok memberi hormat. Apabila liok-ya attdah selesai menyantap kaki anying ini,
baru nanti memberi putusan!"
Ti Gong terkejut bercampur marah, cepat dia berpaling kebelakang. Tak jauh dari situ,
tampak seorang yang berwajah mesum tengah menggerogoti sepotong paha anying. Ha,
itulah sibongkok dari biara Cin Wan Kwan. Melihat dugaannya tak meleset, lebih dahulu
Ti Gong gunakan tangannya kiri melindungi dada, lalu tangannya kanan menuding pada
sibongkok, dia balas mendamprat: „Bagus, Thaysan Sin-tho! Mengapa kau sembunyikan
diri menyadi paderi gagu berganti nama Hwat Ji tojin? Ceng Bo siangjin tentu kena kau
kelabui!"
Sembari masih menggerogoti kaki anying, si Bongkok berbangkit dan menyahut dengan
pelahan: „Benar, orang she Bek itu telah kukelabui!"
Tegas dilihat oleh Ti Gong, bahwa ketika si Bongkok itu berbangkit, meskipun masih tetap
seorang bongkok, tapi jauh bedanya dengan bentuknya ketika berada dibiara Cin Wan
Kwan tadi. Kini sepasang matanya memancarkan sorot ber-api2. Ja, itulah orang she Ih
nama Liok bergelar Thaysan sin-tho (si Bongkok sakti dari gunung Thaysan) yang telah
dijumpahinya 10 tahun berselang dipesisir utara sungai Tiangkang. Itu waktu dia tengah
melakukan keganasan membunuh wanita hamil, mengeluarkan kandungannya untuk
dibuat ramuan obat. Perbuatannya itu kepergok Thaysan Sin-tho dan dalam
pertempuran itu dia kena dijatuhkan oleh sibongkok tersebut.
Dengan kekalahan itu, Ti Gong lalu mencari guru yang pandai, mencukur rambutnya
masuk menyadi hweeshio dan mejakinkan ilmu silat lagi dengan jerih pajah. Setelah
merasa kepandaiannya cukup, dia cari lagi musuhnya itu guna melakukan pembalasan.
Tapi dari selatan menyelajah keutara, orang2 persilatan golongan atas yang dijumpainya
sama mengatakan bahwa Ih Liok itu sudah sejak 10 tahun ini menghilang tak berbekas,
entah mati atau hidup. Ti Gong terpaksa hentikan pengejarannya.
Sewaktu melihatnya dibiara Cin Wan Kwan tadi, Ti Gong sudah curiga. Tapi demi
mendengar keterangan Tio Jiang bahwa sibongkok itu adalah seorang tuli dan gagu,
apalagi setelah dicobanya ternyata benar dia itu tak bisa ilmu silat maka Ti Gongpun
lepaskan kecurigaannya itu. Ah, mimpipun tidak dia kalau kini sibongkok yang ternyata
benar2 Thaysan Sin-tho itu, sudah menunggunya dibawah gunung situ. Merasa dirinya
itu sudah banyak berbuat kejahatan dan keganasan, diam- bercekat hati Ti Gong. Tapi
demi merasa bahwa jerih pajahnya mejakinkan ilmu silat telah membuat dirinya jauh
berlainan dari 10 tahun yang lalu, timbullah nyalinya lagi. „Hm, orang she Ih, Ceng Bo
siangjin boleh kau selomoti, tapi aku tidak!"
Ih Liok memberakot lagi segumpal daging paha anyingnya, sembari berkerujukan
mengunyah, dia menyahut dengan suara sember: „Tak dapat mengelabui kau, Liok-
yapun tak jeri. Coba kulihat, apakah mulutmu itu masih bisa dipakai berbicara lagi?"
„Celaka!" diam2 Ti Gong mengeluh dalam hati menduga kalau ucapan sibongkok ttu tentu
ada apa2-nya. Cepat2 dengan gerak „i-heng huan-poh" dia raba tasbih 108 mutiaranya
itu untuk mendahului menyerang musuh. Tapi sudah terlambat. Sesosok bayangan
bundar hitam, merangsang datang. Gerakannya lebih cepat dari suara. Baru tangan
meraba mutiara, atau serangkum angin keras telah menyampok putus kawat peronce
mutiara itu. Insjaflah Ti Gong, bahwa jerih pajah pejakinannya aelama 10 tahun ini masih
tak dapat menandingi kesaktian Thaysan' Sin-tho. Rupanya dalam waktu itu, Thaysan
Sin-thopun membuat kemajuan yang pesat sekali. Tahu gelagat jelek, buru2 dia hendak
kabur, tapi sudah tak keburu lagi. Sesaat itu dirasanya seluruh persendian tulangnya
kesemutan dan tubuhnya lemah lunglai. Kiranya dia telah kena dicengkeram oleh
Thaysan Sin-tho. Sewaktu berpaling kebelakang, dilihatnya wajah sibongkok itu amat
menakutkan sekali walaupun mulutnya masih enak2an menggeragoti santapannya itu.
Saking ketakutan, buru2 Ti Gong meratap: „Liok-ya, ampunilah.......", tapi belum sempat
dia mengucapkan „jiwaku", atau dadanya serasa sesak, mulut terasa manis dan matanya
ber-kunang2 gelap. Sekali Thaysan Sin-tho menepuk kearah dadanya, tubuh Ti Gong
segera ngelumpruk, kepalanya terkulai dan putusalah nyawanya.
Begitu tangan Thaysan Sin-tho melepas, sekali dorong tubuh Ti Gong yang gemuk itu
segera ber-guling2 kebawah gunung. Setelah itu, tampak Ih Liok menepuk2 tangan,
sembari menyembat santapannya kaki anying tadi, dia segera memanggul tong air. Dalam
bentuknya sebagai imam Bongkok yang tuli gagu dari Cin Wan Kwan, dia mendaki keatas
gunung lagi.
Majat Ti Gong yang digelundungkan kebawah oleh Thaysan Sin-tho dengan cepatnya
telah dapat menyusul perjalanan ketiga saudara Chi. Mendengar dibelakangnya ada
suara benda ber-gelundung ketiga orang itu sama menoleh kebelakang dan mengenalnya
itu sebagai potongan tubuh Ti Gong. Tapi mengapa bergelundungan, tidak berjalan biasa
saja? Karena tak tahu kalau Ti Gong sudah menyadi majat, mereka sama tertawa geli.
Seru Chi Sim: „Toa-hweeahio, mengapa bergelundungan begitu? Apa kuatir kalau
ketinggalan 'sepur'?" Sedang lain saudaranya juga menambahi: „Bukan, rupanya toa-
hweeaio hendak meniru Hoa-hweesio Lou Ti-sim dari kawanan Liang-san. Bukankah
setelah mencuri arak digunung Siau-pa-ong, lalu menggelundung turun gunung?"
Sewaktu ketiga saudara itu berolok2 dengan riangnya, tubuh Ti Gongpun sudah tiba
dihadapan mereka.
„Celaka!" tiba2 Chi Sim menyerit kaget. Ternyata kedua saudaranyapun telah mengetahui
perihal Ti Gong itu. Buru2 mereka mengangkatnya untuk diperiksa. Amboi, ternyata dada
Ti Gong telah hancur jeroannya, maka sewaktu diangkat itu mereka dapatkan bahwa
majat hweeshio yang gemuk itu sangat ringan sekali, se-olah2 tak bertulang lagi. Saking
takutnya ketiga saudara Chi berseru memanggil The Go yang jauh berada dimuka: „The
toako, ada peristiwa hebat!"
The Go mendengar juga teriakan itu, tapi mengira kalau yang dimaksudkan dengan
„peristiwa" itu adalah Kiau To dan Ceng Bo siangjin melakukan pengejaran, dia agak
terkejut. Terang dia tak nanti sanggup melawan kedua tokoh itu, apalagi ketiga saudara
Chi Itu orang2 yang tak berguna, maka dari merandek dia malah percepat langkahnya.
Ketiga saudara Chi itu adalah orang2 kasar. Betul biasan ja mereka tak akut dengan Ti
Gong, tapi karena perhubungan diantara keempat keluarga The, Ciok, Ma dan Chi itu
sangat akrab sekali, maka mereka anggap Ti Gong itu juga termasuk orang sendiri.
Melihat kematian yang mengenaskan dari sihweeshio, perasaan merekapun tak enak.
Diulanginya lagi seruannya memanggil The Go, namun yang tersebut belakang itu berlaga
tak mendengar, malah kini lari se-kencang2nya. Melihat itu mereka mengeluh, kenapa
tadi tak lekas2 berjalan sehingga kesamplokan dengan majat Ti Gong. Ah, lebih baik
gelundungkan lagi saja majat itu, dan mereka mengikutinya dari belakang.
Tepat pada saat tubuh Ti Gong menggelundung dikaki gunung, The Gopun sampai
ditempat situ. Melihat ada sesosok tubuh bergelundungan, burul dia loncat menghindar,
sehingga tubuh itu menggelundung beberapa meter lagi baru berhenti. Kini baru The Go
kaget, berbareng pada saat itu ketiga saudara Chi tadipun tiba, terus menuturkan apa
yang dialaminya tadi. Wajah The Go hanya mengunyuk senyuman getir, tapi diam2 dia
makin mendendam pada orang2 Cin Wan Kwan. Hanya terhadap sijuwita Bek Lian, dia
tak dapat melupakannya. Sesaat terbayanglah kecantikan puteri gunung Lo-hou-san
yang sangat mempesonakan itu. Pikirnya: „Sungguh tak nyana kalau dipuncak yang
sunyi itu, terdapat seorang bidadari. Aku, The Go, seorang bun-bu coan-cay (serba guna),
mempunyai hari depan yang gemilang, apapun tentu dapat kucapai. Walaupun aku
terikat permusuhan dengan kaumnya, namun hati seorang gadis itu lemah, masakan dia
bakal terluput dari tanganku?" - Puas melamun, dia segera dupak majat Ti Gong kedalam
sebuah semak belukar, kemudian dengan ketiga saudara Chi, lanyutkan perjalanannya
menuju ke Kwiciu.
---oo0oo---
BAGIAN 3.3.

Sekarang mari kita tengok keadaan digunung Lo-housan. Sepeninggalnya The Go, Bek
Lian seperti kehilangan sesuatu. Dengan ter-longong2 ia memandang kearah awan yang
bertebaran dilangit, pikirannya jauh me-layang2. Sedang disebelah sana Ciok jisoh dan
Kiau To sedang asjik memereksa luka Siau-lan. Habis memeriksa, keduanya sama
berkerut alis. Kata Kiau To: „Ciok jisoh, kini tiada lawan atau kawan, menolong orang
adalah yang terpenting. Adikmu terluka parah, baik dibawa masuk kedalam biara
dahulu!" - Sembari berkata itu dia ulurkan tangannya hendak menutuk jalan darah
thian-ti-hiat yang terletak disebelah dada sinona. Maksudnya hendak menolong supaja
mengurangkan sakitnya. Tapi teringat kalau yang sakit itu adalah seorang nona, dia
batalkan niatnya dan merandek. Tahu akan maksud baik orang she Kiau itu, karena
dirinya sendiri tak mengerti ilmu menutuk, buru2 Ciok jisoh mempersilahkan: „Kisu looji,
tutuklah, yangan sungkan!"
Mendapat anyuran itu, baru Kiau To berani. Tapi ketika tangannya menyentuh badan
sinona, tiba2 hatinya bergetar. Diam2 dia mengeluh dan lekas2 tenangkan pikirannya.
Setelah itu, Ciok jisoh menggendong adik iparnya itu masuk kedalam biara. Yan-chiu
meskipun genit dan nakal, tapi hatinya welas asih. Tadipun dia sudah mendamprat The
Go dan kini iapun mengikuti Ciok jisoh masuk kedalam.
Sebaliknya Tio Jiang melihat sucinya menyublek diam, ialu menghamperi dan berkata
dengan tertawa: „Suci, tadi Kiau susiok dapat menangkan orang itu, adalah karena
kebetulan "
Belum omongan Tio Jiang itu selesai, Bek Lian sudah cepat memotongnya: „Kau
menyingkir sana, mau tidak?"
Mendapat sambutan dingin itu, tetap Tio Jiang tak marah, katanya pula: „Tetapi orang
itu........."
Kalau tadi hanya mulutnya saja yang menyemprot, kini tiba2 dengan gusarnya Bek Lian
angkat kedua tangannya terus hendak menampar Tio Jiang. Namun Tio Jiang tak mau
menghindar. Dia mempunyai cara berpikir sendiri yang aneh: „Suci memukul aku ini
karena marah padaku. Bukantah aku harus membiarkan dipukul supaja menghilangkan
kemarahannya?" Maka dari menyingkir, sebaliknya Tio Jiang lantas ulurkan kepalanya
kemuka.
Bek Lian tahu kalau anak itu bukan seorang tolol. Cuma saja, memang begitu melihat ia,
Tio Jiang itu lalu seperti orang gagu dan merah mukanya. Dahulu sebelum ber-3jumpa
dan mengetahui bahwa didunia ini ternyata ada seorang lelaki (The Go) yang bagusnya
seperti Arjuna itu, ia sih tak begitu jemu terhadap Tio Jiang. Tapi kini setelah berjumpa
dengan „Arjuna"nya itu, dia benci melihat kelakuan sang sutee yang tolol itu. Buru2 dia
tarik pulang tangannya, terus melangkah maju tak ambil mumet lagi pada Tio Jiang.
Tio Jiang mengintil anying, serunya: „Suci aku........."
„Kau mengapa, kau menyingkir sana mau tidak?" Bek Lian putuskan omongan orang
dengan ketusnya, seraja melangkah maju lagi dua tindak. Justeru disebelah muka itu
adalah sebuah karang buntu yang meluncur kebawah curam sekali. Melihat itu Tio Jiang
gugup dan berteriak: „Suci, hati2lah!"
Jengkel direcoki sang Sute, Bek Lian timbul kemarahannya lalu hendak me-maki2nya.
Tapi tepat pada saat itu Yan-chiu kelihatan muncul dari dalam biara dan ber-lari2
menghampiri. Kira2 masih beberapa meter jauhnya, ia sudah me-lambai2kan tangannya
seraja berseru: „Lekas kemarilah! Mengapa kalian berdua omong tak putus2nya itu?
Suhu memanggil kita, bertiga!" - Sembari berkata itu sinona genit itu masih sempat
unyuk „muka setan" pada Tio Jiang, katanya pula: „Suhu memanggil kita itu, apakah
bukan hendak mengajarkan jurus ke 5, 6 dan 7 dari To-hay-kiam-hwat? Kau sirik,tidak?"
Namun Tio Jiang tak hiraukan olok2 sumoaynya itu. Begitu Bek Lian ajunkan langkah
pulang, diapun terus mengintil saja. Hendak berkata lagi, dia tak berani, namun kalau
diam saja dia merasa seperti ada sesuatu yang mengganyel dalam hatinya. Tiba" dia
rasakan ada orang menarik bajunya, ketika menoleh kebelakang, ha, si Yan-chiu yang
menggodanya lagi. Menuding kearah Bek Lian, nona nakal itu mengiwi-iwi (unyuk muka
seperti setan) padanya. Sudah tentu Tio Jiang jadi uring2an bentaknya: „Sumoay,
mengapa kau terus2an menggoda orang saja?"
Yan-chiu jebikan bibirnya menyahut: „Huh, terhadap suci sih seperti tikus berhadapan
dengan kucing, tapi kalau terhadap aku mau main galak2an ja?"
Sebenarnya terhadap Yan-chiu, Tio Jiang menyayang seperti seorang adik kandungnya
sendiri. Ketika dua tahun yang lalu Yan-chiu datang digunung situ, dialah yang
merawatnya. Maka atas protes Itu, dia hanya menyengir saja: „Sumoay, kalau kau tak
selalu mencari kesalahan dan tak menggoda aku, aku pasti sayang padamu."
Yan-chiu goyang2kan tangannya berseru: „Apa2an sih itu! Kau sayang saja pada suci,
kan ia nanti tak mau menghiraukanmu!"
Sambil bicara itu, mereka sudah melangkah kedalam pintu biara. Didengarnya Ceng Bo
siangjin batuk2 diruangan samping, maka merekapun tak berani bicara keras2, terus
masuk kedalam. Begitu masuk, dilihatnya sang suhu itu duduk disebuah kursi,
wajahnya keren sekali. Memang Ceng Bo siangjin itu tak suka banyak omong. Diantara
ketiga saudara seperguruan itu, kecuali Bek Lian yang karana dimanyakan oleh
kecintaan sang ajah, kalau berhadapan dengan ajahnya itu tetap berani berbicara.
dengan keras. Tapi sutee dan sumoaynya itu karena merasa sebagai anak jatim piatu
yang ditolong oleh Ceng Bo siangjin, merekapun tahu diri. Disamping itu, keduanya pun
agak jeri terhadap sang suhu yang dihormatinya itu.
Demi nampak wajah suhunya luar dari biasanya, begitu masuk Tio Jiang dan Yan-chiu
terus tegak berdiri dengan chidmatnya. Adalah Bek Lian seorang saja yang berani maju
dan menghampiri kearah meja disisi ajahnya untuk melihat sebuah peta yang terbentang
disitu. Sementara Ki Cee-tiong, itu toa-ah-ko Thian Tee Hui, tetap riang berseri wajahnya.
Memang dengan wajahnya yang selalu ber-seri2 itu, kalau sedang menghadapi
ketegangan, tampak makin lcu kelihatannya.
Setelah ketiga muridnya datang. Ceng Bo siangjin segera suruh mereka melihat peta bumi
itu. Menunyuk kearah tapal batas Tiau-yang, berkatalah Ceng Bo siangjin: „Coba kalian
lihat, tentara Ceng sudah tiba disini! Turut katanya Ki susiokmu ini, kaisar Siau Bu yang
bertachta di Kwiciu itu, mempunyai dua orang menteri yang bernama Ko Tiau-cian dan
Hongo-ciu. Kedua orang itu berlainan muka dengan hatinya (palsu). Salah seorang akan
bersekongkol dengan tentara Ceng, agar memperoleh pangkat. Ah, anying2 Boan-ciu
terkenal ganas sekali. Misalnya peristiwa pengganasan dan pembunuhan besar2an di
Yangciu dan Ka-ting, entah berapa banyak jiwa bangsa Han yang melayang! Kita akan
segera turun gunung menggabungkan diri ber-sama2 dengan saudara2 dari Thian-Tee-
Hui guna berusaha mengusir tentara musuh dari perbatasan Kwitang. Ini adalah urusan
besar. Kepandaian kalian bertiga sebenarnya masih belum seberapa, seharusnya belum
waktunya turun gunung, tapi apa boleh buat!"
Ketiga anak muda itu mendengarinya dengan penuh perhatian. Tiba2 Bek Lian
kedengaran membuka mulut: „Ajah, aku dan Yan-chiu sumoay masih belum belajar ilmu
pedang dengan sempurna!"
Ceng Bo siangjin menghela napas, ujarnya: „Ah, terus terang saja lebih baik yangan
harapkan hal itu. Sebenarnya To-hay-kiam-hwat itu walaupun satu jurusnya saja, kalian
berdua tak boleh belajar. Telah kuajarkan 4 jurus pada kamu berdua itu, sudah berarti
mencelakai. Lian-ji, kau harus belajar ilmu pedang 'hoan kang kiam hwat' seperti ibumu
itu, tetapi ah.............."
Sejak Bek Lian berangkat besar, setiap kali mendengar sang ajah membicarakan ibunya,
tentu disusul dengan helaan napas yang panjang. Entah tak tahulah Bek Lian apa
sebabnya dan lama sudah ia ingin mengetahui sebab itu. Maka menggunai kesempatan
kala itu, ia beranikan diri bertanya: „Ajah, dimanakah ibu?"
Ceng Bo siangjin ter-mangu2 sampai sekian lama, lalu tiba2 dia berkata: „Lekas siapkan
senyatamu ikut Ki dan Kiau kedua susiokmu pergi ke Kwiciu. Aku segera akan
menyusul!"
Walaupun kurang puas atas jawaban yang bukan jawaban itu, namun Bek Lian tak
berani membantah sang ajah. Tiba2 Tio Jiang teringat akan halnya siorang tua aneh
(Sam-thay-ya) itu, hendak dia tuturkan pada suhunya, atau tiba2 dari arah luar Ciok
jisoh kedengaran berseru keras: „Kiau loji, pil istimewa buatan suhumu Tay Siang Siansu
itu, sungguh mujijat sekali. Siau-lan sudah sadarkan diri, rasanya sudah tak apa2 lagi.
Biar gunung dan sungai menyaksikan, kami keluarga Ciok telah berhutang budi
padamu!"
„Ciok jisoh," sahut Kiau To seraja tertawa, „apa2an kau omong begitu. Itulah sudah
jamaknya orang persilatan saling tolong menolong. Kau hendak membalas budi untuk
sebuah pil buatan suhuku, ah susahlah rasanya! Hati2lah setelah kau turun gunung.
Sadarkan adikmu bahwa orang itu seorang ganas, tak usah memikirkan padanya!"
Tapi berbareng pada saat itu, kedengaran suara Siau-lan mengajak taci iparnya: „Soso,
hajo kita lekas pergi, kalau terlambat tentu takkan dapat berjumpa dengan engkoh Go!"
Mendengar itu Ki Cee-tiong yang berada disebelah dalam segera bertanya pada Tio Jiang:
„Hai, mengapa loji begitu murah hati mengobral pil sam-kong-tan? Siapakah yang terluka
dan mengapa?" Atas pertanyaan itu Tio Jiang -segera tuturkan duduk perkaranya. Dan
baru saja selesai menutur, Kiau To yang habis mengantar Ciok jisoh dan Ciok Siau-lan
berangkat, sudah balik dan masuk kedalam ruangan lagi.
„Sisu-ko, kau sungguh hebat," seru Kiau To mengalem Tio Jiang, „tapi mengapa kau kenal
akan ilmu tutuk "hong cu may ciu" orang itu?"
„Ah, mana aku tahu! Itulah seorang tua aneh beryanggul panjang bernama Sam-thay-ya
yang memberitahu padaku!" sahut Tio Jiang, tapi berbareng saat itu se-konyong2 Ceng
Bo siangjin berbangkit dan tangannya memijat meja, krak, krak, rompallah ujung meja
ltu.
Melihat kelakuan aneh dari Ceng Bo siangjin itu, orang2 sana terkejut sekali. Malah
dengan tak terkesiap, Yan-chiu menatap sang suhu. sesaat teringatlah Ceng Bo siangjin
bahwa tadi dia telah kehilangan penguasaan dirinya, maka dengan tertawa tawar dia
bertanya pada Tio Jiang:
„Sik loo-sam itu mengatakan apa lagi?"
„Sik Loo-sam," Tio Jiang mengulangi pertanyaan suhunya dengan keheranan.
„Itulah siorang tua kate tadi!" buru2 Ki Ce-tiong menanggapi.
„Oh," seru Tio Jiang, „dia bilang, dia bukannya takut menemui suhu, melainkan tak ingin
bertemu saja. Dan kemudian bilang, dia hanya tahu makan tak tahu berpikir."
Ceng Bo siangjin tundukkan kepala merenung sejenak Ialu berkata: „Sudah yangan
hiraukan dia, kalian ikut saja pada saudara Ki dan Kiau menggabungkan diri dalam
Thian-Hui di Kwiciu. Tak berapa hari kemudian, aku tentu menyusul kesana !"
Bagi kaum persilatan, selain senyatanya tak ada lain benda perbekalannya lagi. Begitulah
mereka bertiga lalu menuju kekamarnya masing2 untuk berkemas membawa sedikit
barang yang perlu. Mendengar dapat pergi ke Kwiciu, bukan kepalang girangnya Yan-
chiu. Tak berapa lama kemudian, Ki Ce-tiong, Kiau To, Bek Lian, Tio Jiang dan Yan-chiu
berangkat turun gunung. Meskipun ilmu silatnya sudah punah, tapi sedikit2 Ki Ce-tiong
masih bisa menggunakan ilmu mengentengi tubuh, jadi kini mereka berlima dapat
berjalan berendeng.
Berada sendirian didalam kamarnya, Ceng Bo siangjin tampak mondar-mandir, lalu
mengambil pedangnya yang tergantung pada dinding. Pedang itu sebuah tiang-kiam
(pedang panjang), bentuknya sangat istimewa jauh berlainan dari pedang biasa, karena
lebih panjang beberapa dim. Sarung pedang itu yang sebelah berbentuk bundar, yang
sebelah terepes. Tangkai pedang itu yang sebelah kanan panjang yang sebelah kiri
pendek. Lebih dahulu Ceng Bo meniup sarung pedang itu, lalu membersihkannya dengan
lengan baju. Rupanya dia begitu sayang sekali akan pedangnya itu. Setelah itu, dengan
pe-lahan2 dia lolos keluar.
Dibarengi dengan suara bergemuruh samar2, batang pedang itu tertarik keluar ke-
biru2an warnanya. Anehnya, pedang itu seperti tak mempunyai ujung. Jadi batang
pedang itu tampaknya bundar panjang seperti sebuah berambang panjang. Ceng Bo
siangjin ketuk2kan dua buah jarinya kebatang pedang, dan terdengarlah suara bening
macam suara batu pualam. Ditariknya pula batang pedang itu sedikit keatas lagi, lalu
dengan ter-longong2 dia mengawasi dua huruf „yap kun" yang terukir disitu. Mendadak
dia menghela napas, wajahnya mengunyuk kedukaan yang sangat.
Setelah memandang sampai sekian saat, dia segera sarungkan lagi pedangnya, lalu
menuju keluar. Saat itu keadaan disekeliling puncak situ lelap sekali. Hanya ada
sementara burung berkicau keluar dari dalam hutan puhun siong dan Hwat Ji tojin itu
tojin gagu tuli yang nampak memikul tong air mendaki keatas, untuk diisikan kedalam
gentong. Karena sudah biasa jadi Ceng Bo pun tak merasa heran.
Se-konyong2 Ceng Bo siangjin bersuit pelahan, tapi nadanya ternyata melengking bening
sekali. Thaysan Sin-tho Ih Liok, itu sibongkok yang pura2 menyaru jadi orang tuli gagu,
sambil menuang air sambil memperhatikan gerak-gerik Ceng Bo itu. Tadi sewaktu
dilihatnya siangjin itu keluar sendirian dengan membawa pedang pusakanya yang sama
sekali tak boleh disentuh orang itu, diapun sudah terperanyat heran. Dan begitu
mendengar siangjin itu bersuit, tahulah dia kalau kepala Cin Wan Kuan itu tengah
menyampaikan tantangan. Apakah penyaruannya itu sudah diketahuinya? Demikian
pikir Ih Liok dengan gelisah dan oleh karena kegelisahannya itu dia telah keliru
menuangkan setengah tong air itu keluar gentong. Tapi ternyata suitan Ceng Bo itu
makin lama makin tinggi nadanya, baru dia (sibongkok) lega hatinya karena terang itu
bukan ditujukan dirinya.
Tak antara lama, kumandang suitan itu sudah jauh menyusup keseluruh peloksok. Tapi
orangnya sendiri sudah menggendong tangan dengan mencekali pedang, tampak
mondar-mandir kian-kemari. Hanya kini sikapnya sudah tenang lagi. Diam2 Ih Liok
merasa kagum. Tapi dia tetap heran, siapakah yang hendak diundang berkelahi oleh
siangjin itu? Tengah dia me-mikir2 itu, tiba2 didengarnya ada seseorang berteriak: „Hay-
te-kau, yangan bersuit setan lagi, jantung Sam-thay-ya kau tusuk2 rasanya!" Berbareng
dengan teriakan itu, dari sebelah bawah sana melesat sesosok tubuh dan entah
bagaimana caranya, dalam dua kali loncatan saja orang itu sudah berada satu tombak
jauhnya dihadapan Ceng Bo siangjin. Demi melihat siapa orang itu, sibongkok bukan
main terkejutnya terus ber-gegas2 masuk kedalam bio. Tapi disitu dia mengintip keluar
dari sela2 lubang pintu. Oleh karena bio itu sudah kosong, jadi perbuatannya itu tiada
seorangpun yang tahu.
Begitu nampak munculnya orang itu, Ceng Bo siangjin segera berhenti bersuit serta lalu
membentak: „Sik Lo-sam, tidak nyana setelah berpisah 10 tahun bisa berjumpa lagi
bukan?"
Batok kepala siorang tua yang besar itu tampak mengagguk beberapa kali, lalu
menyahut: „Benar, benar, Hayte-kau, sungguh tak nyana. Tapi mana Kang-siang-yan?
mengapa ia tak tampak ? Kau mempunyai murid yang baik ja? Makanya sampai tak kenal
suhunya itu siapa, ha, ha!"
Sambil mendengari ocehan si Sam-thay-ya atau Sik Losam itu, tangan Ceng Bo siangjin
yang digendong dibelakang tadi ditarik dan dialihkan kemuka dada, lalu balas bertanya:
„Sik Lo-sam, ia berada dimana?"
„Siapa? Siapa yang kau maksudkan berada dimana itu?" tanya siorang tua kukway
dengan heran.
Ceng Bo siangjin tetap berlaku sabar, katanya: „Yang pada 10 tahun berselang ketika
sedang beristirahat sakit dikaki gunung ini, malam2 kau ......... tutuk jalan darahnya
itulah!" Ketika mengucapkan kata2nya yang terachir itu nadanya berat tenggorokannya
gemetar, seperti menderita suatu kesakitan. Sebaliknya siorang tua kate aneh itu seperti
tak kejadian apa2, ia menepuk batok kepalanya sendiri berseru: „O, itulah Kang-siang-
yan !"
„Benar, dimanakah dia?" hardik Ceng Bo dengan nada keras.
„Sret", se-konyong2 orang tua aneh itu melesat 3 tindak kebelakang. Ceng Bo siangjin
melangkah maju setindak mengikutinya. „Entah, aku tak tahu!" Sik Lo-sam gelengkan
kepalanya. „Sring", Ceng Bo siangjin melolos pedangnya.
„Bagus, Hay-te-kau! Kau mau berkelahi lagi? Mari, mari, mari!" seru Sik Lo-sam seraja
silangkan kedua tangannya, maju kemuka terus menghantam Ceng Bo siangjin. Tapi
dengan kibaskan baju pertapaannya, Ceng Bo telah dapat menghalau serangan itu, seraja
berseru: „Sik Lo-sam, kau mau tidak menerangkan duduk perkara yang sebenarnya dari
peristiwa dahulu itu?"

Gambar 12
„Bagus, Hay-te-kau! Kau mau berkelahi lagi? Mari, mari, mari!" seru Sik Lo-sam seraja
silangkan kedua tangannya, maju kemuka terus menghantam Ceng Bo siangjin.
Tapi dengan kibaskan baju pertapaannya, Ceng Bo telah dapat menghalau serangan itu,
seraja berseru: „Sik Lo-sam, kau mau tidak menerangkan duduk perkara yang
sebenarnya dari peristiwa dahulu itu?"

„Bukan aku. Tapi siapa yang menutuk pingsan Kangsiang-yan, aku menyaksikan dengan
mata kepala sendiri. Tapi kau tetap tak mempercajai keteranganku, habis aku harus
mengatakan bagaimana? Pedangmu itu, kau curi kepunyaan Kang-siang-yan !"
Melihat caranya siorang tua aneh itu berkata secara berputar balik sukar dirasakan,
setelah berpikir sejenak, berkatalah Ceng Bo: „Sik Lo-sam, pedang ini merupakan
sepasang lelaki dan perempuan. Ketika itu Kang-siang-yan sedang sakit, aku kegunung
mencari obat. Ketika pulang kudapati hanya kau seorang yang berada disitu, itu
waktu........ ja kau tentu mengetahui sendiri keadaan itu waktu. Setelah kututuk-
sembuhkan jalan darahnya, ia tak mau bicara apa, tahu2 pergi entah kemana. Adakah
kau pernah bertemu padanya?"
„Haja, kalau tak kau sebut2 hal itu tentu aku lupa. Nyonya itu keliwat bengis, kalau aku
tak cepat2 menyingkir, tentu sudah tak bernyawa lagi."
„Dimana kau menyumpainya?" tanya Ceng Bo siangjin dengan gugup.
Sik Loo-sam gelengkan kepala, menyahut: „Entahlah, aku lupa. Otak Sam-thay-ya ini,
tak bisa muat barang."
Kini Ceng Bo hilang sabarnya. „Sik Loo-sam, kau juga tergolong tokoh kenamaan dalam
dunia persilatan. Menghina isteri orang, harus menerima hukuman apa, kau bilanglah!"
Mata istimewa dari siorang tua aneh itu berkicup membalik, sahutnya: „He, siapa yang
menghina isterimu?"
Ceng Bo siangjin perdengarkan ketawa tawar, terus siapkan pedangnya. Tanpa kelihatan
bergoyang tubuh, „sret" tahu" Sik Loo-sam melesat kesamping pintu bio dan terus
miringkan kepalanya untuk mendengari, lalu mendorong pintu terus masuk. Sibongkok
Ih Liok yang berada dibelakang pintu tak dapat lari mengumpat.
---oo0oo---
BAGIAN 3.4.
„Bagus, Hay-tee-kau, kau sembunyikan seorang pembantu?" Sik Loo-sam menyerit seraja
mencengkeram lengan kanan sibongkok. Thaysan Sin-tho Ih Liok bukan seorang yang
lemah, sebenarnya dia dapat menghindar dari cengkeram itu. Tapi tiba- dia memperoleh
pikiran, maka mandah diam saja. Gerakan Sik Lo-sam itu luar biasa cepatnya, begitu
mencengkeram terus dia lemparkan sibongkok itu keluar. Sewaktu melayang diatas,
tangan dan kakinya berserabutan dan mulutnya ber-kuik2 men-jerit2. Melihat itu buru2
Ceng Bo siangjin maju untuk menyanggapi, lalu pelan2 ditaruhkan diatas tanah.
Tadi Sik Loo-san tak mau memperdatakan siapa yang disergapnya itu. Begitu sibongkok
disambuti Ceng Bo, diapun terus ikut memburunya serta membolak-balikkan si-
bongkok, kepalanya (sibongkok) ditundukkan lalu didongakkan dan dipereksanya sampai
sekian saat.
„Sik Loo-sam, kau apakan dia?" tanya Ceng Bo siangjin dengan heran.
„Sibongkok ini! Yang malam itu masuk kedalam pondok hendak mencuri pedang, adalah
sibongkok ini!" sahut Sik Loo-sam.
Tengah Ceng Bo siangjin melengak tak tahu apa yang harus diperbuat, se-konyongr
sibongkok itu meronta terus enyot tubuhnya keatas. Gerakannya yang luar biasa
tangkasnya itu, sungguh diluar dugaan orang. Sik Lo-sam pun cepat mundur selangkah,
dan baru Ceng Bo siangjin sadar apa sebenarnya, yang telah terjadi, sibongkok itu sudah
melakukan suatu gerakan yang istimewa. Selagi melayang diudara, kakinya kiri
diinyakkan kekaki kanan, sekali enyot terus melambung lagi makin tinggi. Itulah suatu
gerak ilmu mengentengi tubuh yang sakti. Saat itu dia sudah berada diluar karang buntu
tadi, dan sembari melayang turun kelembah, mulutnya berseru: „Malam itu benar aku
berada di dalam pondok, tapi belum sempat mendapatkan pedang itu. Yang menutuk
jalan darah hun-hiat pun bukan aku!" Dan berbareng dengan seruannya itu, orangnya
pun sudah menobros kedalam halimun tebal.
Kalau orang biasa saja yang loncat turun tadi, tentu tak sedemikian lincahnya. Ceng Bo
siangjin dan Sik Lo-sam adalah tokoh achli. Tahu mereka bahwa sibongkok tadi telah
gunakan gerak cian-kin-tui (tindihan seribu kati) agar secepatnya dapat turun kebawah
serta dapat selekasnya lolos dari tangan kedua achli kenamaan itu.

GAMBAR 13
Se-konyong2 si Bongkok itu meronta terus enyot
tubuh meloncat keatas, terus melesat
kebawah gunung melarikan diri.
„Itulah Thaysan Sin-tho!" tiba2 Ceng Bo siangjin teringat akan seorang tokoh persilatan
yang lihay.
Karena tak tahu bahwa sibongkok itu telah menyaru sebagai Hwat Ji tojin yang gagu
untuk bekerja dibiara situ, dengan delikkan mata, Sik Lo-sam menegur: „Mengapa? Apa
kau tak tahu?"
Dengan terjadinya peristiwa itu, tahulah Ceng Bo bahwa peristiwa 10 tahun yang lalu itu
makin ruwet jalannya. Thaysan Sin-tho diutara dan dia sendiri didaerah selatan,
yangankan berkenalan, sedang melihat wajahnya pun belum pernah. Apalagi Thaysan
Sin-tho itu juga seorang tokoh yang namanya sangat berkumandang didunia persilatan.
Tapi mengapa pada waktu itu (peristiwa 10 tahun berselang) orang bisa kedapatan berada
dipondoknya juga? Dan yang paling tak dibuat mengerti, mengapa sibongkok itu rela
kerja berat selama 6 tahun dibiara situ? Lagi, mengapa begitu terbuka kedoknya lalu
buru2 mengambil langkah seribu? Adakah sesungguhnya dia itu tahu akan keadaan yang
sebenarnya? Orang yang dapat menundukkan isterinya, boleh dihitung dengan jari.
Kalau bukannya sibongkok, mungkinkah Tay Siang Siansu dari gereja Liokyong-si di
Kwiciu? Benar sebabnya sang isteri yang sangat dikasihi itu sampai jatuh sakit adalah
karena perbuatan Tay Siang Siansu. Tapi ia adalah seorang imam kelas tinggi yang telah
menuntut penghidupan suci, masakan dia mau melakukan perbuatan yang serendah
itu? Ketika dia balik kepondok, hanya Sik Lo-sam yang ada disitu, tapi dia menyangkal
keras. Juga tadi sibongkokpun membantah tuduhan itu. Tapi kenyataannya, begitu
dipulihkan jalan darahnya yang tertutuk tadi, tanpa berkata sua!u spa Kang Siangyan
sang isteri itu, telah menghilang dan sejak itu sampai kini tak pernah muncul kembali.
Oleh karena kala itu dia sibuk berkelahi dengan Sik Lo-sam yang dicurigainya, jadi dia
tak sempat untuk menguntit sang isteri. Dilihat dari perkembangannya, rahasia itu
takkan terpecahkan selama dia belum berhasil menyumpai sang isteri sendiri. Namun
tiga tahun lamanya dia berkeliaran mencarinya, tapi tetap sia2. Achirnya karena putus
asa, dia ambil keputusan menyadi pertapa (imam). Tapi setiap kali teringat nasib dari
sang isteri yang tak ketahuan rimbanya itu, hatinya perih seperti di-sajat2.
Begitulah pada saat itu, lubuk pikiran Ceng Bo penuh dikarungi oleh seribu satu
pertanyaan, yang tak terpecahkan olehnya. Dengan helaan napas panjang, dia memberi
isjarat tangan: „Sik Lo-sam, kau enyahlah !"
„Suruh aku pergi sih mudah, tapi harus mengajari aku 3 jurus ilmu pedang!"
Ceng Bo siangjin tahu kalau orang tua itu seorang yang linglung, tapi sangat suka sekali
belajar ilmu silat. Adakah ilmu orang lain itu baik atau buruk, dia selalu meminta diajari
beberapa jurus. Mengingat bahwa ilmu pedangnya „to hay kiam hwat" itu tak boleh
diturunkan pada orang luar, maka Ceng Bo siangjin mendapat akal, katanya: „Sik Lo-
sam, kalau kau dapat mencarikan isteriku, ilmu pedangku akan kuturunkan padamu
seluruhnya!"
Mendengar itu, hidung Sik Lo-sam berkembang kempis saking girangnya. „Baik, baik",
serunya seraja memutar tubuh terus lari kebawah gunung. Ceng Bo siangjin menghela
napas lagi, setelah menyarungkan pedangnya dia kedengaran berkata seorang diri; „Ang-
moay, Ang-moay, kemanakah kau ini? Kalau benar2 kau mempunyai dendam, biarlah
seluruh sisa hidupku ini kugunakan untuk mencari musuhmu itu!"
Habis mengikrarkan isi hatinya itu, dengan pe-lahan2 dia menuju kedalam biara.
Rupanya dia mendendam kemarahan besar, maka tanah yang dilaluinya itu hingga
sampai kemuka pintu, tampak ada bekas telapak kakinya yang mendalam.
Malam itu tak kejadian apa2. Pada besoknya sore, baru kelihatan Ceng Bo siangjin
muncul keluar dari biara. Dari sikapnya yang sangat lesu itu, terang kalau tadi malam
dia kurang tidur. Dengan menyelipkan pedang dipinggang, dia gunakan ilmunya lari
cepat untuk turun gunung.
Kerajaan Beng yang berhijrah kedaerah selatan itu, terpecah menyadi dua, masing2
dikepalai oleh seorang kaisar. Kaisar2 itu saling bertempur sendiri, tapi sedikitpun tak
menghiraukan akan serbuan tentara Ceng yang sudah tiba ditapal batas. Kaisar Siau Bu
yang berkedudukan di Kwiciu, telah mengirim tentara untuk menindas kaisar Liong Bu
yang berkedudukan di Siao Ging. Terang kalau pasukan penyerbu dari kaisar di Kwiciu
itu telah dapat dibasmi habis2an, tapi Kaisar Liong Bu di Siau Ging telah keliru
menyangka kalau tentaranya yang kalah, maka dengan ter-sipu2 dia melarikan diri. Baru
setelah tiba di Ngociu propinsi Kwisay dan mendapat laporan resmi tentang jalannya
pertempuran yang sebenarnya, kaisar Liong Bu pulang kembali kekota raja Siau Ging.
Seorang junyungan yang setolol itu mana dapat memimpin pemerintahannya untuk
menggempur tentara penyajah Ceng!
Sejak isterinya menghilang secara aneh itu, semangat Ceng Bo siangjin sudah padam,
hatinya tawar akan urusan dunia. Tapi kali ini setelah mendapat surat undangan dari
perkumpulan Thian Te Hui, hatinya tergugah lagi. Bahwa tanah tumpah darahnya akan
dijajah oleh tentara asing, itulah suatu hinaan besar. Maka dengan melupakan
kedukaannya, dia segera berangkat ke Kwiciu memenuhi undangan lcetua Thian Te Hui
tersebut. Tapi setibanya disana, didengarnya kalau keempat bajak laut dari Laut Selatan
jakni The, Ciok, Ma dan Chi berkunyung ke Lo-hou-san untuk mencarinya. Maka dengan
ber-gegas2 pulanglah dia kegummg. Walaupun, mondar-mandir dalam perjalanan sejauh
itu, namun dia tak merasa lelah.
Sewaktu turun gunung untuk yang kedua kalinya ini, Ceng Bo siangjin berlaku hati2
dalam perjalanan. Siang hari dia tak berani gunakan ilmu berjalan cepat, karena kuatir
menimbulkan kecurigaan orang. Kalau malam hari, dia tak mau menginap dihotel tapi
mencari tempat dibiara yang rusak. Menyelang siang hari pada hari kedua, barulah dia
tiba dipintu kota sebelah timur.
Markas perkumpulan Thian Te Hui yang sangat dirahasiakan itu, karena sudah pernah
datang kesitu, maka dengan mudah Ceng Bo dapat langsung menuju kesana. Tapi baru
melangkah kedalam, dia segera mendapat ada sesuatu perobahan. Biasanya, anggauta2
perkumpulan itu banyak sekali jumlahnya, sehingga keadaan markas itu selalu ramai.
Tapi saat itu, sepi2 saja keadaannya. Juga dalam perjalanan kesitu tadi, dia tak
menyumpai barang seorang anggautanya.
Diam2 Ceng Bo siangjin terperanyat dalam hatinya. Setelah melalui beberapa rumah dan
sebuah gedung hesar, baru didengarnya ada suara orang sedang ber-cakap2. Tapi dari
nada percakapan mereka yang tak keruan juntrungannya itu, terang kalau keliwat
banyak minum arak. Setelah menurut arah suara itu, ternyata disitu terdapat dua orang
lelaki tengah bermain domino (terbuat dari bahan tulang), dan dihadapannya ada seguci
arak. Dari dandanannya, mereka itu adalah anggauta Thian-Te-Hui. Baru Ceng Bo
siangjin hendak membuka mulut, atau salah seorang dari mereka telah melihatnya dan
meng-goyang2kan tangannya: „Lo-to (imam tua), kali ini kau sial. Orang2 sudah sama
berangkat, kau susullah!".
Ceng Bo siangjin tak kenal dengan orang itu, sembari tertawa kecil dia bertanya: „Mana
toa-ah-ko?"
„Semuanya sudah pergi kegunung Gwat-siu-san, pergilah!" sahut yang seorang lagi
dengan tak sabaran.
---oo0oo---
BAGIAN 4.1.
BAGIAN 4
PERTEMPURAN DIATAS LUITAY

„Mengapa disana :" tanya pula Ceng Bo siangjin dengan heran.


Rupanya kedua orang itu adalah golongan orang2 kasar, dengan menggebrak meja
mereka berseru: „Bukankah kau ini hendak memungut derma? Kesanalah, tanggung
dalam satu bulan kau takkan kelaparan?"
Merasa bahwa didalam kata2 orang itu terselip sesuatu hal, apalagi mereka dalam
keadaan mabuk mengoceh tak keruan, Ceng Bo tak mau cari urusan. Tanpa banyak
bicara dia terus keluar dari situ untuk menuju kegunung Gwat-siu-san.
Belum lagi tiba digunung tersebut, Ceng Bo sudah melihat disepanjang jalan banyak
orang2 yang berjalan, malah dikedua tepi jalan banyak didirikan warung2 darurat serta
penyual2 sama menyajakan dasarannya. Dengan rasa heran, Ceng Bo siangjin lanyutkan
perjalanannya. Tapi makin dekat kegunung itu makin ramai pula orang. Lagi maju
sedikit, segera dia tampak ada dua buah luitay (panggung untuk bertempur) yang besar.
Di-tengah2 dari salah satu panggung luitay itu, digantungi sebuah lencana besar,
berbentuk bulan, sebelah atas hitam dan sebelah bawahnya putih. Sementara yang
sebuah, tiada ada pertandaan apa2. Disekeliling luitay itu didirikan panggung penonton
yang penuh sesak dengan manusia.
Melihat lencana hitam putih itu, tahulah Ceng Bo siangjin bahwa Thian Tee Hui tengah
membuka luitay ditempat itu. Diam2 dia mengeluh. Suasana negara begini suram,
mengapa main dirikan luitay mencari permusuhan? Orang2 sama ber-bondong2 kesitu,
kota Kwiciu kosong, kalau se-waktu2 pasukan Ceng menyerang, bukankah celaka? Ceng
Bo siangjin ambil putusan untuk menemui Ki Cee-tiong dan Kiau To, tapi karena orang2
disekitar luitay itu penuh sesak ber-jubel2, sukarlah dia mendapatkannya. Malah ketiga
anak muridnya, Tio Jiang, Bek Lien dan Yan-chiu, pun tak kelihatan batang hidungnya.
Satu2nya jalan untuk menemui pemimpin2 Thian Tee Hui itu ialah loncat keatas luitay,
tapi Ceng Bo tak mau berbuat begitu. Dia cukup tahu, memang2 orang2 yang berjejal itu
sebagian besar adalah penonton biasa, tapi tentu tidak sedikit jumlahnya tokoh2
persilatan yang turut hadir juga. Dia membiluk, singgah pada sebuah warung dan
memesan minuman.
Belum berapa lama dia duduk, dari arah belakang terdengar ada dua orang tengah ber-
cakap2. „Toako, kali ini bakal ada pertunyukkan yang bagus benar2. Sejak beberapa
tahun ini, dikalangan persilatan sepi dengan keramaian macam begini," kata salah
seorang. Sementara kawannya dengan menghirup tehnya kedengaran berkata dengan
suara sember: „Benar, Thian Tee Hui itu sudah mempunyai nama dikalangan persilatan!"
Orang yang pertama terdengar berkata pula: „Ja, aku merasa heran mengapa Thian Tee
Hui sampai terlibat permusuhan dengan Hay-siang su-kee (4 keluarga dari Laut
selatan)?"
„Akupun baru lusa datang dari Go-ciu. Konon kabarnya ji-ah-ko (pemimpin kedua) Thian
Tee Hui telah membinasakan salah seorang dari bajak Laut itu, jaitu si Ti Gong hweeshio!"
sahut kawannya. „Astaga, dua tahun yang lalu aku pernah berjumpa dengan Ti Gong
hweeshio, kepandaiannya sih tak seberapa. Mungkin karena peraturan perguruannya
yang menetapkan 'dendam harus dibalas', maka kali ini kalau tiada suhunya tentu susiok
(paman guru) yang mempelopori pertandingan luitay ini!" kata yang seorang pula.
Mendengar itu, Ceng Bo siangjin terkesiap. Heran dia, mengapa Kiau To tertuduh
membunuh Ti Gong? Dia jakin disitu tentu terselip sesuatu yang tak beres. Maka dia
Ianyutkan mendengari lagi. Kata salah seorang dari orang itu pula: „Benar, tokoh yang
angker macam Sam Tay tianglo dari gereja Ci Hun Si digunung Lam-kun-san itu, mana
mau menerima hinaan begitu? Karena anak muridnya terbinasa, dia tentu mencari balas
pada Thian Tee Hui, dan mengirim surat tantangan. Karena Thian-Te-Hui pun sedang
jaja, sudah tentu terima juga tantangan itu. Menurut berita2 yang kudengar sampai siang
ini, orang2 dari kedua fihak semua sudah hadir disini!"
Ceng Bo siangjin makin mengeluh. Yang dimaksud dengan Sam Tay tianglo (tiga
serangkai imam) gereja Ci Hun Si itu ialah: To Kong, To Ceng dan To Bu. Meskipun dia
sendiri belum pernah bertemu muka, namun nama ketiga hweeshio besar itu sangatlah
terkenal didunia persilatan. Kalau kali ini mereka berserekat dengan keempat bajak dari
Laut Selatan itu, urusan tentu makin besar. Ang-hwat cinyin (suhu dari The Go) dari Ang-
hun-kiong di Ko-to-san, tentu akan keluar kandang juga. Sekali bertempur, mungkin
setengah bulan atau bisa juga setengah tahun belum habis. Dengan begitu bukankah
akan membikin kapiran urusan besar? Kini tentara Ceng sudah berada ditapal batas,
rakjat hanya mengharap akan usaha Thian Tee Hui, dengan berserekat pada seluruh
tokoh persilatan, untuk melawannya. Adakah Ki Cee-Tiong dan Kiau To, kedua pemimpin
Thian Tee Hui itu tak menginsjafi hal itu?
Selagi dia me-nimang2 dalam pikirannya, tiba2 dari tengah2 kedua luitay itu, terdengar
bunyi genderang ber-talu2, dibunyikan 3 kali. Ceng Bo mendongak kemuka dan
dapatkan matahari sudah hampir ditengah, jadi luitay segera akan dimulaikan. Sesaat
itu hiruk pikuk suara orang menyadi sirap hening. Pada lain saat dari belakang luitay
tampak muncul 3 orang paderi yang bertubuh kurus2. Yang dua orang memanggul
sebuah bok-pay (papan) sekira 3 kaki panjangnya. Yang seorang tidak membawa apa2.
Begitu keluar kedua paderi yang membawa bokpay tadi segera lontarkan bokpaynya
keatas udara. Dengan lurus dan tepat, bokpay itu melayang kearah tiang penglari yang
paling tinggi dari luitay itu. Ketika hampir dekat dengan penglari, tiba2 paderi yang tak
membawa apa2 tadi tampak gerakkan tangannya keatas dan tik, tik, dua buah benda,
hitam kecil panjang melayang menyusup kedalam bok-pay yang segera menempel lekat
pada tiang penglari.
Kiranya yang dilepaskan itu adalah dua buah paku, untuk memaku bok-pay itu.

GAMBAR 14
Mendadak paderi ketiga itu ajun tangannya,
dan„tak-tak" dua kali, dua papan kecil yang
kedua kawannya telah terpaku diatas penglari.
Demonstrasi kepandaian yang ditunyukkan ketiga paderi itu, sungguh menakjubkan.
Benar papan bok-pay itu dilontarkan oleh dua orang, tapi kalau kepandaian sipelontar
itu tak tinggi, pasti tak nanti dapat melayang begitu necis dan tepat sekali. Lebih2
kepandaian melemparkan paku dari sihweeshio yang bertangan kosong tadi. Maka tak
heranlah kalau para penonton baik didalam bangsal maupun yang dibawah luitay, sama
bersorak sorai dengan gemuruh sekali. Ceng Bo siangjin mendongak mengawasi kearah
bok-pay itu dan dapatkan pada papan itu ada 3 buah gambar roda. Seketika tahulah
Ceng Bo, bahwa ketiga hweeshio itu adalah 3 paderi pemuka dari Ci Hun Si, To Kong, To
Ceng dan To Bu.
Setelah mengunyuk demonstrasi, ketiga hweeshio itu segera meleset naik keatas luitay.
Begitu menghadap kemuka, para penonton melihat wajah mereka itu pucat lesi bagaikan
majat hidup. Mereka tampak duduk bersila diatas luitay. Tapi baru ketiganya duduk
tenang, dari arah timur terdengar gemuruh suara penonton. Kiranya para penonton itu
tengah menyambut dengan hangat atas kedatangan kedua pemimpin Thian Tee Hui, Ki
Cee-tiong dan Kiau To, siapa terus loncat keatas luitay.
Tegas dilihat oleh Ceng Bo, sewaktu melompat itu Kiau To pakai tangannya kiri
memimpin tangan kanan Ki Ceetiong untuk diangkat keatas. Diam2 Ceng Bo siangjin itu
kerutkan keningnya. Dari tempat duduknya situ dengan luitay walaupun hanya terpisah
4 atau 5 tombak jauhnya, namun dipagari oleh lautan manusia. Dia dapat enyot
tubuhnya kesana, tapi tak mau dia buru2 unyukkan diri. Tapi kalau berdiam diri saja,
tentu takkan dilihat oleh Kiau To. Tiba2 dia mendapat akal bagus. Dengan sebuah jarinya
dia tekan pecah cawan teh dan sentikkan pecahan cawan itu kearah Kiau To. Sudah
tentu pecahan cangkir itu menerbitkan suara angin melengking.
Saat itu Ki Cee-tiong dan Kiau To hendak membuka muIut, tapi begitu tampak ada sinar
putih melayang keatas luitay. Kiau To mengira kalau sebuah senyata rahasia, maka
dengan sebatnya dia melangkah kehadapan tao-ah-ko untuk melindunginya. Tapi begitu
dia dapat menyambuti benda putih itu, ternyata adalah sebuah pecahan cawan. Dengan
keheranan, dia sapukan pandangan matanya kesekeliling penyuru. Buru2 Ceng Bo
siangjin lambai2kan tangannya, hal mana dapat dilihat juga oleh Kiau To. Segera
pemimpin kedua Thian Tee Hui berpaling kebelakang luitay serta mengucapkan sesuatu.
Saat itu segera tampak Bek Lian dan Yan-chiu muncul dari belakang lui-tay. Dengan
gunakan gerak „yan cu sam jo cui" (burung walet 3 kali menyentuh air) kedua gadis itu
loncat turun.
Kedua gadis dari Lo-hou-san itu sememangnya berparas cantik. Lebih2 Bek Lian yang
laksana seorang bidadari itu. Maka kali ini hiruk pikuk makin bergemuruh lagi. Melihat
kedua anak muridnya itu unyukkan kepandaian, Ceng Bo siangjin menghela napas.
Namun kenyataan memang begitu. Malah itu waktu Bek Lian suah berseru memanggil
„Tia" (ajah) dan Yan-chiu berseru „Suhu" kepadanya. Dasarnya genit lincah, tanpa
menghiraukan sekalian orang lagi, Yan-chiu terus ceriwis menuturkan pengalamannya
pada sang suhu.
„Suhu, wah ramai sekali, "kata siceriwis itu dengan lincahnya, "baru kita bertiga datang
di Thian Tee Hui, entah bagaimana ada orang mengantar surat yang menuduh bahwa
Kiau susiok telah membunuh Ti Gong sihweeshio gemuk itu ah yangan2 sibongkok yang
melakukannya. Eh, surat itu menantang pibu (adu silat) pada Kiau susiok, yang sudah
tentu terpaksa menerimanya. Suhu, kebenaran kau sudah tiba, apa nantl akan turut
naik kelui-tay?"
Biasanya Yan-chiu takut dan menghormat pada suhunya. Tapi karena pertama kali turun
gunung, ia sudah menghadapi peristiwa begitu, maka saking girangnya, dia bicara
dengan cerocos sekali. Apalagi ketika nampak suhunya datang kesitu itu, menurut
anggapannya, tentu akan turun tangan juga. Tapi diluar dugaan sinona genit, dengan
perdengarkan dengusan hidung, Ceng Bo berbangkit mengangkat bahu. Demi tampak
suhunya tak senang, Yan-chiu seperti ditapuk setan, cap kelakep tak berani bercuit lagi.
Tapi dasarnya dara nakal, ia segera unyuk muka-setan kepada sang suci Bek Lian,
sehingga dua orang yang ber-cakap2 dibelakang Ceng Bo tadi tertawa ter-bahak2 saking
gelinya. Tapi Yan-chiu segera deliki mata kepada kedua orang itu.
„Mana Jiang-ji?" tanya Ceng Bo.
„Dia berada dibelakang lui-tay," sahut Yan-chiu.
Masih Ceng Bo hendak bertanya lagi, tapi ketika itu dilihatnya Kiau To sudah tegak
berdiri ditengah luitay, seraja berseru dengan nyaring: „Para enghiong dan hoohan
sekalian, para saudara2 Thian Tee Hui, disini Kiau To, ji-ah-ko dari Thian Tee Hui. Sam
Tay tianglo dari Ci Hun Si berkeras menuduh bahwa salah seorang muridnya yang
bernama Ti Gong hweshio telah dibinasakan oleh orang Thian Te Hui. Bukannya
mempersalahkan muridnya sendiri yang tak punya guna sehingga sampai dibunuh
orang, sebaliknya menimpahkan kesalahan itu pada Thian Tee Hui serta menantang
diluitay. Saudara2 sekalian, apakah Thian Te Hui itu mandah dihina orang?"
„Tidak, tidak!" terdengar tereakan bergemuruh dari sebelah timur. Rupanya mereka itu
adalah rombongan orang2 Thian Tee Hui. Kiau To rangkap tangan memberi hormat seraja
lanyutkan kata2nya lagi: „Karena Thian Tee Hui tak boleh diperhina orang, dan karena
Ci Hun Si sam tianglo itu tetap berkeras dengan tuduhannya, maka terpaksa diadakan
luitay ini. Kalau bahasa mulut tak dapat diterima, maka kepelanlah yang memutuskan.
Para sahabat persilatan sekalian, barang siapa yang hendak berminat membantu kedua
fihak silahkan naik kemari untuk mengeluarkan kepandaian masing2. Mati atau hidup
itu tergantung dari kepandaian kita sendiri!"
Bermula Ceng Bo siangjin mengira kalau urusan masih bisa diselesaikan dengan damai.
Tapi serta didengarnya rsiau To mengucapkan begitu, terang sudah jalan buntu. Diam2
siangjin itu menarik napas dalam2 lagi. Dia pun lalu memberi isjarat tangan kepada Bek
Lian dan Yan-chiu, suruh mereka yangan mengajak bicara lagi. Dia tampak duduk lagi,
untuk mencari pikiran. Jalan satu2nya ialah tunggu setelah pertempuran bubar, dia
hendak meminta agar kedua pemimpin Tian Tee Hui bubarkan saja luitay itu, yangan
cari setori pada orang lain.
---oo0oo-
BAGIAN 4.2.

Tepat disaat dia mendapat pikiran itu, disebelah luitay yang satunya sana, salah seorang
hweeshio yang yang duduk di-tengah2 segera tampil kemuka. Dan setelah memberi
hormat pada para penonton, dia berseru suara tajam: „Memang kepandaian dari murid
pinceng (hweeshio membahasai dirinya) kurang tinggi, itu benar. Tapi menggunal
kesempatan :sebagus ini, pin-ceng hendak memohon pelajaran yang sakti dari para
enghiong hoohan (orang gagah) Thian Tee Hui!"
Dari ucapan itu, terang dia tetap menghendaki pertempuran. Tapi baru tantangan itu
disampaikan, dari bawah luitay sudah terdengar seorang berseru keras megjambutinya:
„To Kong tianglo, potong ajam mengapa memakai pisau pemotong sapi, biarlah kami
ketiga saudara ini menyadi pelopor pihak barisanmu, yang tampil pertama kali!"
Berbareng dengan seruan itu, loncatlah 3 orang lelaki bermuka brewok, keatas luitay.
Sekali lihat, Yan-chiu segera mengenali mereka itu sebagai ketiga saudara Chi, jakni Chi
Beng, Chi Kwi dan Sim. Saking senang bakal menyaksikan pertempuran, Yan chiu seperti
me-nari2. Namun karena suhunya berada disebelah situ, tak berani ia unyuk tingkah.
Diam2 ia kutik2 Bek Lian serta membisikinya: „Suci, lebih baik kebelakang luitay saja,
supaja bisa nonton dengan jelas!"
„Huh, untuk menghadapi bangsa begitu masa kami lajak maju keluitay!" Bek Lian
tertawa, tapi cepat ajahnya mendenguskan hidung sambil tertawa dingin, Ketiganya
segera bangkit untuk mengawasi kesekeliling penyuru. Kiranya sekalian penonton
tampak curahkan perhatian kearah luitay. Sam Tay tianglo sudah turun dari luitay dan
kini ketiga saudara Chi yang menggantikan naik. Babak pertama dari pertempuran
diluitay itu, Ceng Bo siangjinpun tak mau menghiraukan lagi. Sementara Bek Than dan
Yan-chiu sudah menyusup masuk diantar penonton yang ber-jubal2 itu, untuk menuju
kebelakang luitay. Begitu tiba disana, kedengaran Kiau To berkata-kata: „Mengapa untuk
babak pertama mereka menyuruh ketiga saudara Chi yang maju? Aneh juga!"
„Entah apa maksud mereka itu!" sahut Ki Ce-tiong. Justeru dia berkata begitu, Bek Lian
dan Yan-chiu muncul, maka buru2 toa-ah-ko itu bertanya: „Apa Bek-heng belum
datang?"
„Entah apa sebabnya, kelihatannya suhu tak senang hati!" jawab Yan-chiu.
„Sudah tentu karena adanya luitay ini. Akupun kuatir juga, yangan2 membikin kapiran
urusan besar. Tapi karena orang mencari urusan, apa kita tinggal diam saja?"
„Looji, mengapa kau begitu ngotot. Sebaiknya lekas tunyuk siapa yang harus tampil
kedepan. Ketiga bajak dari keluarga Chi itu, tak boleh dipandang ringan. Masakan dalam
babak pertama, mereka buru2 hendak menang angin," kata Ki Ce-tiong.
Dalam kedua pemimpin Thian Te Hui itu berunding, memang ada sementara anggauta2
Thian Te Hui berpangkat thau-bak yang tawarkan diri untuk maju kegelanggang luitay,
namun mata Kiau To tertuju kearah Tio Jiang yang sejak tadi berdiam diri saja itu. Waktu
Bek Lian masuk kesitu, Tio Jiang memaku (terus menerus memandang) sang suci saja,
maka dia sampai tak mengetahui akan isjarat Kiau To itu. Adalah Yan-chiu yang tahu
akan isjarat itu, terus mengutik sukonya, hingga Tio Jiang gelagapan. Sewaktu dia
mendongak mengawasi kemuka, dilihatnya ada seseorang yang memakai sepasang
sepatu jo-eh (sepatu rumput), mengenakan sehelai baju (pada hal itu waktu adalah bulan
sebelas yang hawanya dingin) tengah setindak demi setindak menyeret kakinya
menghampiri kearah ketiga saudara Chi sana. Sambil jalan beringsut-ingsut itu,
mulutnya berseru: „Hai, adakah kalian bertiga ini orang she Chi?"
Ketiga saudara Chi itu terkesiap. Dengan perlahan diamat-amati orang yang berpakaian
mesum itu, tapi mereka tak mengenalnya. „Benar, apakah loheng ini hendak membantu
fihak Thian Te Hui?" sahut mereka serempak.
Sembari beringsut jalan menghampirl kedekat, orang itu inenyahut: „Apa itu sih Thian
Te Hui, Jin Kau Hui (perkumpulan orang anying)? Locu (membahasai dirinya sendiri) tak
kenal semua. Yang kuketahui dilaut selatan ada 3 ekor belut she Chi, ganas tak kenal
kasihan. Justeru kebenaran hari ini aku sempat, hendak kutangkapnya !"
Sekalian orang yang mendengar keterangan itu, sama terperanyat kaget. Terang luitay
itu diperuntukkan pertandingan antara Thian Te Hui melawan Sam-tianglo dari Ci Hun
Si. Ketiga saudara Chi itu adalah salah seorang Empat Sekawan bajak Laut Selatan.
Kalau mereka berkelahi untuk fihak Sam-tianglo (tiga paderi besar) itu dapat dimengerti.
Tapi masa tahu2 muncul orang lain yang hendak mencari ketiga saudara Chi itu!
Perawakan orang itu sedang. Cara berjalannya yang diseret setindak demi setindak itu
sih tak mengherankan, tapi yang mengherankan adalah caranya membawakan kata2nya
yang begitu tajam itu. Selagi orang masih men-duga2, orang aneh itu sudah tiba dimuka
luitay, lalu berseru kearah samping luitay: „Ambilkan tangga, supaja locu bisa naik
keatas !"
Ketiga saudara Chi itu tertawa mengejek: „Loheng toch hendak pi-bu, mengapa keatas
luitay saja tak mampu?"
Sembari memanyat ketangga, orang itu menyahut: „Locu hanya pandai menangkap belut,
baik dimana saja, didarat maupun dilaut. Tapi memang locu tak bisa main loncat !"
Setelah berada diatas papan luitay, orang itu menuding kepada ketiga saudara Chi,
serunya: „Bagaimana, kamu bertiga maju serempak atau satu per satu?"
„Kami bertiga saudara ini, selama maju berbareng. Kalau kau jeri, lekas enyah sana!"
sahut Chi Kwi.
Orang itu memutar tubuh, menghadap kearah penonton dia beraeru nyaring: „Para
enghiong hohan dari seluruh penyuru, dengarlah! Mereka bertiga hendak mengerubuti
aku seorang, kalau mereka mampus rasanyapun sudah cukup pantas!"
,,Yangan jual omongan tak berguna! Siapa namamu?" bentak ketiga saudara Chi itu.
„Aku orang she „Si!"
„Si" artinya „ja". Sudah tentu ketiga saudara itu melengak seraja menegas: „She Si?"
„Tidak salah," sahut orang itu dengan tertawa, „namaku yang lengkap jalah Si Li Tia (jalah
ajah-mu)!"
Baru kini ketiga saudara itu sadar bahwa orang berniat mem-per-olok2kan. Cepat mereka
berjajar rapi, lalu siap menghunus golok kui-thau-to (kepala setan) masing2. Melihat itu,
Ki Ce-tiong berkata kepada Kiau To: „Loji, ilmu golok dari persaudaraan Chi itu memang
dimainkan oleh bertiga orang. Dan itu merupakan suatu ilmu permainan yang sukar
dilajani. Kukira lebih baik kau panggil orang itu, agar publik tak menyangka kalau Thian
Te Hui tiada mempunyai orangI"
Dipikir omongan toa-ah-konya itu memang tepat, maka berbangkitlah Kiau To terus
berseru keras2: „Sahabat, harap berhenti dulu!" lalu lolos jwan-pian (rujung lemas
semacam cambuk) dipinggangnya. Begitu dikebutkan sehingga lempang seperti sebatang
pit (pena Tiongkok), dia terus melesat ketengah luitay. Selagi masih melayang diatas
udara itu, piannya dimainkan dengan gencar sekali sehingga menderu' merupakan
sebuah lingkaran sinar, atau mirip dengan sekuntum bunga yang tengahnya berisi
bayangan orang. Cara pemimpin kedua dari Thian Te Hui itu naik keatas luitay, memang
indah dan istimewa sekali.
Ketiga saudara Chi itu telah bertindak menurut rencana yang telah ditetapkan. Rencana
itu menghendaki agar pertempuran luitay itu bisa berlangsung sampai beberapa hari
lamanya, agar mereka dapat melaksanakan rencana itu lebih ianyut. Mengapa dalam
babak pertama ketiga saudara itu yang maju, adalah karena pada pikiran mereka,
masakan dalam hari pertama fihak musuh akan mengeluarkan jago2nya yang lihay.
Dengan begitu, tentu mereka bertiga akan dapat merebut kemenangan. Pemimpin kedua
dari Thian Te Hui, Kiau To itu, wataknya berangasan. Menghadapi setiap persoalan, tak
mau dia berbanyak pikir untuk menelitinya. Lain halnya dengan Ki Cee-tiong yang cermat
teliti. Nampak ketiga saudara Chi yang pertama turun kegelanggang, dia menduga, tentu
ada sebabnya, maka disuruhnya Kiau Tolah yang menghadapinya. Loncatan Kiau To
ketengah luitay itu tepat jatuh di-tengah2 ketiga saudara Chi dan siorang kurus tadi. Per-
tama2 Kiau To memberi hormat kepada orang itu seraja berkata: „Sahabat, aku yang
rendah atas nama Thian Te Hui haturkan terima kasih atas bantuanmu. Hanya saja kali
ini adalah menyangkut urusan Thian Tee Hui, apabila sahabat memang sungguh
berhasrat membantu, sukalah kiranya pada nanti giliran yang kedua saja."
Ucapan Kiau To Itu disusun dalam bahasa tata kesopanan dunia persilatan yang sopan
sekali. Sekalipun orang itu datang bukan karena hendak membantu Thian Tee Hui tapi
karena hendak membereskan permusuhannya sendiri, namun turut aturan, dia harus
mengalah. Tapi ternyata tidak demikian. Kelopak matanya membeliak, mulutnya berseru
aneh: „Bagaimana? Bukankah luitay ini diperuntukkan berkelahi? Apa hakmu untuk
melarang aku, hajo menyingkir sana!"
Orang itu berkata dengan suara keras, hingga para pera penonton dapat mendengar
dengan jelas. Tapi Kiau To masih menahan hatinya serta masih hendak menyahutinya.
Tapi dia agak dikejutkan dengan derap kaki dari belakang luitay. Begitu berpaling
kebelakang, kiranya Yan-chiulah yang ber-lari2 mendatangi terus loncat keatas luitay.
Begilu menginyak dllantai dia terus menuding pada orang jembel itu: „Kau mau berkelahi
sih boleh saja, tapi satu melawan tiga, itu tidak seimbang. Begini saja, kita bertiga ini
melawan mereka bertiga, jadi satu melajani satu!"
Dan tanpa tunggu jawaban orang lagi, sigenit itu mengeluarkan bandringannya, terus
dihantamkan kepada Chi Beng. Sudah tentu si Chi Beng itu buru2 menangkis dengan
goloknya. Yan-chiu tarik kebelakang tangannya seraja memutar tubuh untuk
melancarkan lagi serangannya yang kedua. Melihat kegarangan nona itu, Chi Beng
murka. Masa seorang lelaki gagah tak bisa menangkan seorang gadis kecil, bukankah dia
nanti akan kehilangan muka dikalangan persilatan? Dengan menggerung keras, dia
segera mainkan ilmu golok keluarga Chi jani yang disebut „Sam Kek To Hwat". Dengan
gencar dan serunya, dia merangsang nona itu. Yan-chiu andalkan kelincahannya, sedang
senyatanya rantai bandringan Itu merupakan senyata yang lemas dan panjang, maka
dapatlah dia loncat kian kemari sambil memberi pukulan pada setiap ada kesempatan.
Dalam beberapa saat saja, pertempuran sudah berlangsung 10-an jurus.
Melihat sikap sinona yang tegas dan garang itu, siorang aneh tadi tertawa riang, serunya:
„Bagus, nona kecil, dengan memandang mukamu locu serahkan kedua ekor belut itu
kepada kalian!" - Setelah mengucap begitu, dengan jarinya yang kotor penuh dangkal itu,
dia tuding Chi Kwi: „He, majulah, apa takut mati?"
Saking marahnya, dada Chi Kwi hampir meledak. Serentak dia maju membacok dengan
goloknya, tapi orang itu hanya miringkan tubuhnya. Rantai bandringan si Yan-chiu
panjangnya hampir 4 meter. Oleh karena luitay itu memang tak sebrapa luas, jadi
sewaktu Yan-chiu mainkan baderingannya itu, boleh dikata telah memakan lebih dari
separoh panggung luitay itu. Seperti telah dikatakan tadi, atas bacokan Chi Kwi, orang
itu miringkan tubuhnya. Justeru pada saat itu bandringan Yan-chiu tepat melayang
kearah mukanya. Sedang pada saat itu, karena bacokan yang pertama gagal, Chi Kwi
mengirim lagi bacokannya yang kedua kearah kepala orang itu. Namun orang itu tinggal
diam saja. Untuk bandringan Yan-chiu yang datangnya lebih dahulu, dia tampar bola
besi diujung rantai itu, aehingga sesaat itu Yan-chiu seperti terjorok kemuka. Dengan
begitu bola besi itu berganti arah layangnya, wung terus menghantam Chi Kwi.
Mimpipun tidak Chi Kwi kalau bola bandringan Yan-chiu itu akan menghantam
kearahnya. Dengan gugup dia menangkiskan goloknya, trang, golok dan bola besi saling
berbentur. Yan-chiu sih tak merasakan apa2, tapi Chi Kwi kesemutan tangannya
sehingga goloknya hampir terlepas „Nona kecil, sungguh kuat sekali tanganmu!" serunya
memuji.
Tapi sebenarnya Yan-chiu sendiri ketika bola bandringannya di tampar oleh tangan
siorang aneh, hampir saja juga tak dapat menguasai pegangannya. Diam2 ia puji siorang
aneh itu bukan seorang tokoh sembarangan. Namun tak mau Ia pedulikan hal itu, serta
balas membentak si Chi Kwi : „Nonamu ini bertenaga besar, tak perlu dengan pujianmu!”
Dari berhadapan dengan Chi Beng kini Yan-chiu berganti melawan Thji Kwi. Sebaliknya
karena mendapat kesempatan, tiba2 Chi Beng membacok Yan-thjiu.
Untuk menyerang Chi Kwi yang berada disebelah muka, tapi dari belakang diserang oleh
Chi Beng, Yan-chiu menyadi kelabakan. Se-konyong2 orang aneh itu kedengaran berseru:
„Nona kecil, kita saling tukar musuh!", terus melesat kehadapan Chi Beng, ulurkan
tangannya hendak menampar. Buru2 Chi Beng angkat goloknya memapas lengan orang.
Tapi secepat kilat tangan orang itu ditarik kebelakang dan „plak", tahu2 menampar muka
lawan. Hebat kiranya tamparan itu, karena seketika itu Chi Beng ter-hujung2 mundur
sampai 3 langkah, malah hampir terjungkal kebawah luitay. Separoh mukanya menyadi
bengkak kebiru2an.
Setelah menampar muka, orang aneh itupun tak mau mengejar. Dengan berdiri tegak,
dia mengawasi Chi Beng seraja tertawa cekikikan, sepertinya tak memandang mata pada
lawan.
„Lociaaipwe, bagus sekali pukulanmu tadi," seru Yan-chiu dari samping.
„Hai, kiranya mania juga nona kecil ber-kata2," sahut orang aneh itu.
Tadi bertempur dengan Chi Kwi, Yan-chiu sudah merasa berat, apalagi kini ia pecah
perhatiannya untuk memuji siorang aneh, maka hampir saja golok lawan membabatnya.
Kini tak berani lagi dia bicara dengan siorang aneh, lalu menumplek perhatiannya untuk
menghadapi lawan.
Disamping sana, Kiau To mengawasi dengan penuh perhatian akan jalannya
pertempuran itu. Yan-chiu keripuhan, mungkin kehabisan napas. Tapi siorang aneh itu
ternyata seorang ko-chiu (jago kelas tinggi), hingga dapat mempermainkan lawannya.
Dengan begitu pertandingan seri. Setelah jelas, dia segera menuding pada Chi Sim, bajak
yang ketiga: „Mari, kita naik keluitay yang sana itu !"
Diantara ketiga saudaranya, Chl Simlah yang paling rendah kepandaiannya. Tapi biarpun
kalah lihay, dia menang cerdik dari kedua kakaknya itu. Kiranya ilmu golok „sam kek to
hwat" dari keluarga Chi itu terdiri dari 3 pokok dasar: thian (langit), tee (bumi) dan jin
(orang). Ketiga saudara itu masing2 mempelajari satu macam jurus. Maka untuk
menghadapi lawan, mereka bertiga harus maju berbareng, baru kelihatan lihaynya. Sam-
kek-to-hwat ternyata berdasarkan sebuah ucapan dalam kitab I-keng yang mengatakan:
„gerakan dari ke 6 garis, adalah jalanan dari ke 3 kek (batas). Oleh karena itu, letak
keindahan dari perobahan ilmu golok itu, jalah harus dimainkan oleh 3 orang itu, barulah
hidup.
Chi Sim tak mau ladeni tantangan Kiau To, karena itu berarti terpecah kekuatannya.
Cepat dia maju setindak untuk berjajar dengan kakaknya, Chi Kwi yang tengah
bertempur dengan Yan-chiu itu, lalu berseru menantang Kiau To: „Disini, kalau berani
majulah, kalau takut mati, sana mundur saja !"
„Bangsat yang tak tahu mati!" damprat Kiau To seraja ajunkan tiang-pian menyabet kaki
orang.
„Toako, jiko, pundak rata!" Chi Sim meneriaki kedua kakaknya. Pundak rata, berarti
bertempur bahu membahu. Chi Kwi dan Chi Beng tersadar dari kekliruannya yang sudah
tak mau bertempur secara berbareng itu. Maka tanpa hiraukan sakitnya dibagian muka,
Chi Beng maju dua langlcah kemuka. Tapi tepat pada saat itu siorang aneh tadipun
melangkah maju, hingga saling berhadapan.
„Bagaimana? Hendak mati bersama disatu tempat?" kata orang mesum itu dengan
cekikikan.
Karena pernah merasakan tangannya, tak berani Chi Beng meneryangnya. Dan karena
merandek itu, kini Chi Beng terpencil dihadang oleh siorang aneh itu. Apa boleh buat,
Chi Beng segera ajunkan golok kui-thao-tonya untuk meneryang. Namun dengan ke-
tawa2, siorang aneh itu berlincahan diantara samberan golok, setempo loncat keatas
setempo membungkuk kebawah. Kalau tidak menggaplok pantat, tentu me-ngitik2 iga
orang, hingga dalam melancarkan serangannya yang hebat itu, mau tak mau si Chi Beng
geli karena ngeri. Mungkin karena belum pernah menyaksikan pertempuran selucu itu,
para anak2 Thian Te Hui dan penonton sama ketawa ter-bahak2. Tapi ketiga Sam Tay
tianglo dari Ci Hun Si itu tetap sedingin es wajahnya.
Sementara diluitay yang satunya, Chi Kwi dan Chi Sim dapat bahu membahu bertempur.
Yang satu chusus menyerang tubuh, sedang yang lain melulu mengarah kaki. Balk
menyerang maupun menangkis, kedua orang itu tentu ajak-ajakan. Benar ilmu
permainan pian dari Kiau To cukup lihay, namun dalam waktu singkat tak dapatlah dia
merebut kemenangan. Kini dia keluarkan jurus permainan „liok kin pian hwat", sehingga
gerakannya berobah menyadi gencar bagaikan angin pujuh.
Juga Yan-chiu tak kurang garangnya dengan senyata bola bandringannya. Sebenarnya
Kiau To seorang saja sudah cukup untuk menghadapi kedua saudara itu. Maka Yan-chiu
hanyalah bergerak untuk menghantam, se-waktu2 ada lubang kesempatan. Berkelahi
cara begitu, sungguh enak bagi sinona nakal. Karena dia ber-putar2 untuk mencari
kesempatan, maka gerakannyapun bagaikan seekor kupu2 me-nari2 diantara kuntum
bunga. Malah sigenit itu me-niru2 perbuatan siorang aneh tadi ialah dengan tangannya
kiri menggablok pantat kedua lawannya itu. Dan itu dapat dia lakukan se-puas2nya
karena kedua saudara Chi itu tengah tumplek perhatiannya untuk melajani serangan
Kiau To. Juga pemandangan diatas luitay yang ini, tak kurang menariknya. Para
penonton sama ter-pingkal2, sampai orangnya fihak keempat bajak itu sendiri, tak kuat
menahan gelinya.
Dalam waktu sesingkat saja, pertempuran itu sudah berjalan belasan jurus. Kini Chi Kwi
dan Thji Sim tampak sudah kepajahan didesak pian Kiau To, sehingga pada lain saat
saking gugupnya mereka ber-jingkrak2 seperti monyet kena api. Dan berbareng dengan
itu pantat mereka habis digaploki Yan-chiu.
Diluitay yang sebelah sana, Chi Beng anggap bahwa orang aneh yang menyadi lawannya
itu sebenarnya tak seberapa lihaynya. satu2nya kepandaian yang paling diandalkan jalah
ilmun ja mengentengi tubuh yang hebat. Ini terbukti beberapa kali sudah dia menerima
tamparan siorang aneh itu, bermula memang kaget, tapi ternyata rasa sakitnya itu hanya
sebentar saja terus sembuh kembali. Dengan anggapan itu, timbullah nyali Chi Beng.
Sret, aret, sret, 3 kali dia maju membabat dan berhasil mendesak lawan mundur
selangkah. Benar dalam mundurnya itu, siorang aneh dapat memberi tamparan, namun
sekali enyot, dia terus hendak melesat kearah kedua saudaranya sana. Tapi hai, gila betul
siorang aneh itu, ilmumengentengi tubuhnya sungguh sakti benar. Sekali bergerak tahu2
dia sudah menghadang dihadapan Chi Beng lagi, bluk ……dia meninyu dada Chi Beng
seraja berseru: „Tubuhmukan besar, mengapa takut ditinyu!"
Mendengar itu, sudah tentu Yan-chiu ketawa meringkik. Saking gemasnya. Chi Beng
menabas, tapi siorang itu terus menghindar. Dalam kesempatan itu, dapatlah sekarang
Chi Beng bersatu dengan kedua saudaranya, sehingga kini permainan mereka menyadi
hidup.

GAMBAR 15
Mendadak banderingan Yan-chiu terpental dari
tangan, berbareng bebokongnya kena digablok
siorang aneh hingga tubuhnya terapung keatas.

Memang dengan tergabungnya menyadi satu, permainan golok ketiga saudara Chi
tampak bersemangat. Yang pertama menderita pengaruhnya adalah Kiau To, siapa
tampak terdesak mundur selangkah. Yan-chiu masih mengimpi hendak mengocok
mereka, dengan coba2 menyodok ketiak Chi Sim. Tapi untuk kekagetannya, Chi Kwi
menabas dengan goloknya, hingga saking gugupnya sinona segera tangkis dengan
bandringannya. Tapi sekali Chi Kwi putar goloknya, bandringan itu telah kena
digubatnya. „Lepas!" bentak orang she Chi itu sembari mendorongkan golok keluar.
Yan-chiu rasakan tangannya kesemutan, saking kagetnya bandringan terlepas terus
dilontarkan oleh Chi Kwi. Baru Yan-chiu hendak mundur, Chi Sim sudah membarengi
menusuknya. Yan-chiu mengeluarkan keluhan tertahan, tapi sekonyong2 orang aneh itu
mengulurkan tangannya yang kotor berdaki, secepat kilat telah menggaplok pantatnya
sehingga selebar muka Yan-chiu ke-merah2an. Serasa didorong oleh suatu tenaga besar,
diluar kemauannya, Yan-chiu telah terangkat naik sampai satu tombak keatas.
Sebenarnya nona itu gugup sekali, tapi karena waktu melambung keatas, bandringannya
tadi justeru melayang jatuh kebawah, make sebat sekali dia menyambretnya lalu ikut
melayang turun bersama bandringan itu. Ketika melayang turun, jatuhnya tepat ditepian
luitay.
Setelah terhujung sebentar, sekarang ia sudah berdirik tegak lagi.
Saking cepatnya siorang aneh itu menggerakkan tangannya tadi, maka para penonton
dibawah luitay sampai tak mengetahui kalau sebenarnya Yan-chiu telah didorongnya
keatas. Mereka mengira, karena bandringannya terpental keudara, nona itu segera enyot
tubuhnya mengejar. Seorang nona semuda itu umurnya, kalau kalah kuat dengan 3
orang lelaki yang bertenaga besar sehingga senyatanya sampai kena dilemparkan keatas,
itu sih sudah jamak. Tapi bahwasannya dalam keadaan yang membahajakan jiwanya itu,
sinona masih dapat mengelakkan bacokan yang gencar dari Chi Sim dan malah dapat
enyot tubuhnya setinggi itu untuk menyusul senyatanya yang terlepas tadi, adalah suatu
kepandaian yang luar biasa. Jadi dapatlah dianggap bahwa nona itu dapat merobah
kekalahannya dengan suatu kemenangan yang mengagumkan. Demikian penilaian para
penonton yang segera memberi pujian tepuk tangan yang meriah sekali.
Malah disana, Tio Jiang dan Bek Lianpun sama terperanyat. Bek Lian leletkan lidah
mengeluarkan seruan tertahan. Tio Jiang yang dalam beberapa hari ini tak mempunyai
kesempatan (alasan) untuk bicara dengan sucinya itu, buru2 menggunakan kesempatan
baik itu, katanya: „Suci, ilmu mengentengi tubuh sumoay mendapat kemajuan pesat
sekali."
Bek Lian hanya mengiakan dengan dingin, tapi itu sudah membuat Tio Jiang girang
setengah mati, maka dengan wajah ber-seri2 dia mengawasi lagi keadaan diluitay. Hanya
Ceng Bo siangjin yang mendongkol, karena melihat muridnya itu tak mengindahkan
nasehat untuk tidak turun kegelanggang. Tapi demi menampak permainan bandringan
sinona nakal itu bertambah maju, dia terhibur hatinya. Tentang gaplokan siorang aneh
pada Yan-chiu tadi, Ceng Bopun datang melihatnya dengan jelas, tapi dia malah
bersjukur, karena kalau tidak tentu muridnya yang masih hijau dan baru pertama kali
turun dalam pertempuran itu tentu tak dapat mengelakkan tabasan Chi Sim.
Seperti telah diterangkan diatas, tergabungnya ketiga saudara Chi itu dalam
permainannya sam-kek-to, telah melahirkan suatu gaja permainan yang lihay. Kalau
tidak dua menyerang satu menyaga, tentu yang satu menyerang yang dua menyaga. Ilmu
permainan golok itu, penuh dengan ragam perobahan, sehingga ketiga golok kui-thau-to
itu merupakan ribuan sinar golok yang berkelebatan dengan derasnya. Dalam hati, Kiau
To mengagumi permainan itu, maka diapun lalu mainkan piannya dengan se-hebat2nya.
Setelah mendapat pengalaman pahit bandringannya terlepas tadi, sekarang Yan-chiu tak
berani gegabah lagi. Dia andalkan kelincahannya saja. Tapi siorang aneh yang mesum
Itu dengan sepasang sepatunya rumput yang mengeluarkan bunyi tik-tak tik-tak, ber-
ingsut2 kian kemari, sepertinya tak menurut gerak permainan silat. Namun betapa deras
dan serunya samberan ketiga golok lawan itu, tetap tak dapat mengenainya. Keadaan itu
berjalan sampai belasan jurus.
Sebaliknya karena sampai sekian lama tak ada kesudahannya itu, Kiau To menyadi tak
sabaran lagi. Dia perhebat permainannya pian, merangsang musuh dengan bernapsu
sekali.
„Mau lekas2 memberesi ketiga ekor belut ini bukan? Mengapa tadi2 tak bilang?" seru
siorang kotor itu dengan tertawa, sembari maju merapat. Chi Beng dan Chi Kwi
menyambutnya dengan 3 kali bacokan be-runtun2, tapi tak kuasa menahan majunya
siorang aneh itu. Chi Sim yang tengah melajani Kiau To itu menyadi lengah, betisnya
kena disawut oleh siorang aneh tadi, terus dijorokkan kearah Kiau To, sehingga jatuh
kemulca. Kiau To sebat gunakan jurus „ular aneh mencari mangsa" menyabet dan tepat
melibat betis si Chi Sim. Sekali tangan menyentak, tubuh Chi Sim yang besar itu
terangkat naik. Dan begitw tangan Kisu To tampak bergerak lagi, mulutnya segera
berseru: „Enyahlah!" Tubuh Chi Sim telah kena dilempar keluar luitay.
Ilmu mengentengi tubuh dari ketiga saudara Chi itu biasa saja. Maka sewaktu melayang
turun, tangan dan kaki si Chi Sim itu me-ronta2 seperti orang kelelap dikali. Maka dapat
dipastikan, nanti kalau jatuh, tidak mati pun tentu akan luka parah. Tapi se-konyong2
tampak sesosok tubuh berkelebat, malah nyata2 orang itu masih duduk diatas sebuah
dampar (semacam permadani) yang bulat, tepat dapat menyanggapi jatuhnya Chi Sim
itu. Dengan merah padam, Chi Sim terus hendak loncat keatas luitay lagi, karena
pikirnya, dengan kurang seorang, permainan sak-kek-to itu pasti akan kacau, tapi
ternyata sudah terlambat. Kakaknya yang satu kena dihantam punggungnya oleh bola
bandringan Yan-chiu hingga muntah darah terus jatuh kebawah luitay. Sedang kakaknya
yang lain, telah dihajar pian mukanya hingga berlumuran darah dan berjumpalitan loncat
kebawah luitay. Jadi dalam babak pertama itu, fihak Thian Te Hui telah mencatat
kemenangan.
Diantara ketiga saudara itu, terhitung Chi Simlah yang tak mendapat luka, sekalipun dia
kena dilempar keluar gelanggang oleh Kiau To. Bermula ketiga saudara itu
memperhitungkan kalau pada hari pertama fihak Thian Te Hui tentu takkan
mengeluarkan jagonya yang lihay, dan ini akan memberi kesempatan fihaknya untuk
menang. Memang menurut rencana Cian-bin-long-kun The Go (si Wajah seribu) ialah:
hari pertama, kedua dan ketiga, Thian Te Hui harus dikalahkan, agar mereka tak dapat
lekas2 membubarkan luitay itu. Dengan begitu dapatlah seluruh tokoh2 Thian Te Hui
dan tokoh2 persilatan lainnya semua berkumpul digunung Gwat-siu-san situ, sementara
dia dapat melaksanakan rencananya dikota Kwiciu.
Namun rencana itu telah dipecahkan oleh penilaian Ki Ce-tiong yang tepat. Dengan
menganyurkan Kiau To maju kegelanggang, sebenarnya sudah cukup untuk mengatasi
ketiga saudara Chi itu. Apalagi dengan mendapat tenaga tambahan dari murid
kesayangan Ceng Bo siangjin. Bahwa munculnya siorang mesum yang aneh itu untuk
fihaknya, telah membuat kekalahan ketiga saudara itu menyadi suatu kekalahan yang
mengenaskan sekali. Begitu kedua kakaknya turun dari luitay, Chi Sim buru2
memapakinya lalu dengan bermuram durja masuk kebelakang panggung.
---oo0oo---
BAGIAN 4.3.

Sebaliknya dalam pengalamannya turun kegelanggang itu telah mendapat kemenangan,


dengan diantar oleh tepuk sorak yang gegap gempita dari orang2 Thian Te Hui, Yanchiu
tak mau segera berlaku dari luitay itu. Mata Kiau To yang tajam segera dapat mengenali
bahwa orang bersila diatas dampar terbang yang memberi pertolongan pada Chi Sim tadi
adalah paderi To Kong, itu salah seorang gembong dari gereja Ci Hun Si yang mengantar
surat tantangan tempo hari. Dilihat dari caranya dia menolong Chi Sim, begitu tenang
dan gapah sekali, Kiau To terperanyat. Ilmu mengentengi tubuh yang sedemikian itu,
jarang sekali terdapat dikalangan kaum persilatan. Maka ter-sipu2 dia memanggil Yan-
chiu: „Siao Chiu, lekas turun dari luitay. Hweshio itu lihay sekali!"
Walaupun enggan, namun menurut juga Yan-chiu. Tapi baru dia hendak turun, tiba2
didengarnya mulut siorang aneh tadi berseru pelan: „Nona kecil, kepala gundul itu hanya
garang diluar, tapi tak berisi. Kalau kau berani menghadapinya, kujamin kau tentu
menang!"
Karena Kiau To saat itu mengawasi pada paderi To Kong yang berada dibawah luitay, jadi
dia tak dapat mendengar anyuran siorang aneh kepada Yan-chiu itu. Karena memang
sifatnya nakal, begitu dianyuri ia segera memanggut kepada orang aneh itu, lalu
melangkah maju dua langkah seraja menuding kearah To Kong, serunya: „Bangkai
keledai, bagus, apa kau berani naik kemari untuk ber-main2 dengan nonamu ini ?"
Lwekang dari Yan-chiu yang baru dua tahun ini dipelajarinya belum sempurna, maka
sewaktu bicara tak dapat ia gunakan lwekang, sehingga para penonton sama
mendengarnya jelas. Tapi oleh karena dia itu seorang dara yang lincah sympathik, maka
perhatian penontonpun terpikat kearahnya. Apalagi dengan nada suaranya yang merdu
bagaikan kicau burung kenari itu, makin membuat terpesona orang2.
Yang paling kaget setengah mati, adalah Kiau To. Dia heran mengapa nona itu begitu
berani mati? Sam Tay tianglo atau Tiga Imam besar dari gereja Ci Hun Si, sudah terkenal
didunia persilatan. Dalam segala2nya, nona itu tak nempil dengan sebuah ujung jarinya
saja. Babak pertama, fihak lawan menderita kekalahan, babak kedua ini tentu akan
mengambil pembalasan. Hendak Kiau To melarangnya, tapi dia teringat akan peraturan
dunia persilatan, bahwa barang siapa yang sudah berani menantang berkelahi dalam
luitay itu, tentu berani sudah menanggung akibatnya. Apa boleh buat, terpaksa dia hanya
berseru: „Siao Chiu!"
Sebenarnya Yan-chiupun tak mengetahui akan tokoh hweeshio To Kong itu. Bahwa
begitu dia mengeluarkan tantangannya, para penonton sama kesima, telah membuatnya
heran. Menduga kalau ada sesuatu yang kurang beres, din segera hendak mencari alasan
turun saja dari panggung. Tapi tiba2 siorang mesum aneh itu kembali berkata: „Nona
kecil, maki lagi kepala gundul itu, tanggung kau pasti menang!”
Orang aneh itu hanya tampak kemak kemik, namun suaranya begitu nyaring tajam
masuk kedalam telinga Yan-chui, sedang Kiau To yang berdiri tak jauh dari situ tak dapat
mendengarnya, ini mengingatkan pada Yan-chiu akan apa yang pernah dikatakan oleh
suhunya, bahwa ada semacam lwekang yang dapat menyalurkan suara menyusup
ketelinga orang. Ilmu itu disebut „thoan seng jip bit" (susupkan suara kedalam lebatan),
suatu ilmu Iwekang yang sudah mencapai tingkat tertinggi. Teringat pula nona lincah itu.
bagaimana tadi siorang aneh telah begitu istimewa sekali mendorong tubuhnya keatas.
Terang dia itu bukan tokoh sembarangan. Maka hilang kesangsian Yan-chiu. Tanpa
pedulikan kecemasan Kiau To dan para penonton lagi, dia memaki pula: „Keledai gundul,
bangsat gundul, takut naik kepanggung? Kalau kau mengharap nonamu memberi ampun
itulah mudah, asal kau julurkan kepalamu yang gundul, untuk kulompati 3 kali, baru
nanti kuampuni jiwamu!"
Kata2 itu menyakiti perasaan tapi lucu, sehingga walaupun para penonton tahu bahwa
To kong hweshio itu se-kali2 tak boleh dibuat main2 dan nona genit itu pasti akan
menyesal nantinya, namun tak urung pecah juga ketawa bergemuruh dibawah luitay.
Tapi To Kong hweshio itu tetap berwajah seperti majat, tenang2 duduk diatas
damparannya. Setelah ketawa orang2 sirap, baru dia berkata dengan pelahan2: „Budak
hina, siapakah gurumu?"
„Bangsat gundul, pada aku saja kau tak berani bertempur, apa2an mau tanya suhu?"
Kini To Kong yang berwajah majat itu kedengaran tertawa keras, tapi nadanya ter-kekeh2
seperti burung betet. Yan-chiu bercekat, ketika melihat bahwa sekalipun mulut
sihweeshio itu tertawa tapi wajahnya tetap pucat seperti majat, sedikitpun tak berobah
mimik wajahnya. Karena bercekat, kini Yan-chiu berganti nada, katanya: „Toahweshio,
apa yang kau ketawakan?"
Belum To Kong menyahut, Yan-chiu sudah mendengar suara siorang aneh tadi: „Nona
kecil, mengapa bernyali kecil? Masa kau takut mendengar ketawa keledai gundul itu saja?
Satu lawan satu, kalau bisa menangkan hweshio itu, namamu akan menggeletar!"
Yan-chiu berpaling kearah orang itu. Tampak orang itu masukkan sebelah tangannya
kedalam lengan bajunya yang „tes” keluar jarinya memitas seekor kutu. Dengan menyeret
sepatunya rumput, ber-ingsut2 dia turun dari luitay, begitu jatuh ketanah dengan susah
pajah dia baru bisa bangun lagi terus ajunkan langkah seraja menyomel sendirian: „Aneh,
aneh, seorang hweesiho yang begitu hebat takut pada seorang nona kecil saja. Kalau
dunia persilatan mendengar hal itu, sungguh dunia ini seperti terbalik!" Sembari berkata
begitu dia masuk diantara lautan penonton.
To Kong memandang kearadh Yan-chiu, siapa segera tampak bersiap untuk
menghadapinya.
Sewaktu Yan-chiu memaki sihweeshio itu, Tio Jiang sudah pucat, sehingga dia ambil
putusan hendak maju menggantikan sumoanya itu. Pikirnya, lebih baik dia saja yang
menderita. Tapi dicegah oleh Ki Cee-tiong:" „Siaoko, yangan kuatir. Kali ini meskipun
nona itu tentu kalah, tapi takkan terjadi suatu apa pada dirinya, percajalah!"
Tio Jiang alihkan pandangannya kearah warung dimana suhunya berada tadi.
Tampaknya suhu itu tetap enak2 saja menikmati tehnya, hal mana sungguh
membuatnya tak habis mengerti. Bukankah kepandaian dari sumoaynya itu masih belum
beberapa, mengapa suhu dan Kiau susioknya itu begitu ichlas2 saja membiarkan anak
itu menghadapi sihweeshio? Karena tak mengerti, diapun segera bertanya kepada Bek
Lian: „Lian suci, hari ni mengapa sumoay begitu garang."
Kiranya Bek Lian sendiripun tak tahu sebabnya, tapi tak mau ia kentarakan
kegelapannya. „Suhu sudah cukup tahu, mengapa kau binggung?" sahutnya dengan
tawar.
Tepat pada saat itu, tiba2 terdengar suara menderu dan dengan duduk diatas
damparnya, To Kong nampak melayang keatas panggung. Tersambar oleh anginnya saja,
Yan-chiu sudah tak dapat mempertahankan berdirinya, ia agak terhujung kebelakang
sampai beberapa langkah, dan saat itu Kiau To sudah melesat dimukanya. Melihat itu
Yan-chiupun segera mundur lagi dua tindak. Disebabkan rasa sayangnya kepada Yan-
chiu maka biarpun insjaf bahwa To Kong hweeshio itu bukan lawannya, namun terpaksa
juga Kiau To maju menggantikan. Dan demi tampak bagaimana dengan mata ber-api2 To
Kong mengawasi Yan-chiu yang berada dibelakangnya, Kiau Too segera menegurnya: „To
Kong tiangloo, apakah benar2 akan meladeni seorang nona kecil?"
Kiau To berwatak berangasan, tapi pada saat itu bisa gunakan otaknya yang dingin.
Dengan ucapannya tadi, asal Yan-chiu tidak usil mulut lagi, dalam kedudukannya
sebagai tokoh kenamaan pasti To Kong tak nanti mau cari urusan dengan Yan-chiu.
Diam2 Yan-chiu memaki siorang aneh tadi, yang sudah tak berani bertanggung jawab.
Orang itu mengatakan To Kong seorang „bungkusan nanah" (tak berguna), tapi tu lihat,
tadi samberan angin damparnya saja sudah begitu hebat hingga membuat ia (Yan-chiu)
terhujung. Terang dia (Yan-chiu) bukan tandingannya, maka iapun segera lepaskan bola
bandringannya hendak diselipkan dipinggangnya lagi. Biar penonton akan
menertawainya, pokok asal dia bisa tinggalkan gelanggang maut itu. Tapi tiba2 dilihatnya
dibawah sana tak jauh dari luitay situ, tampak siorang aneh tadi ketawa kearahnya.
Tergerak hati Yan-chiu. Se-konyong2 orang aneh itu gerakkan tangannya kanan sebuah
sinar putih ber-kilat2 meluncur kearahnya. Benda itu seperti suatu senyata rahasia.
Hendak ia menyingkir tapi sudah tak keburu lagi. Begitu tiba dihadapannya benda
berkilat yang aneh itu se-konyong2 menghantam rantai bandringnya dan merasa tak
kuasa lagi Yan-chiu mencekal rantainya itu. Wut, bandringannya terpental menghantam
kearah To Kong.
Kejadian itu berlangsung dengan teramat cepatnya, sehingga tiada seorang penontonpun
yang mengetahui apa yang telah terjadi tadi. Malang Kiau To seorang achli silat yang
tergolong kelas tinggi, tak mengetahui juga. Apa yang dilihat oleh sekalian orang itu jakni
bola bandringan itu tiba2 melayang kemuka!
Sebaliknya Yan-chin yang mengetahui dan merasakan sendiri kejadian itu, malah
tubuhnya pun hampir ikut menyorok kemuka karena tak kuat menahan getaran
bandringannya itu, menyadi terkejut dan girang. Terkejut, karena dia masih belum jakin
apa bisa mengatasi sihweeshio. Girang, karena orang aneh itu ternyata begitu sakti,
sehingga rasanya melebihi lihaynya dari sang suhu.
Saat itu Kiau To tengah mendesak agar To Kong batalkan niatnya mengejar Yan-chiu,
atau diluar dugaan malah bandringan sinona itu telah menghantam lawan. To Kong
hanya tertawa dingin sambil tetap duduk diatas damparnya. Dia julurkan tangannya
yang kurus kering untuk menyambuti bandringan sinona itu telah menghantam lawan.
To Kong hanya belum sempurna, tapi ilmu bandringan itu adalah ilmu warisan dari Ceng
Bo Siangjin. Begitu To Kong hendak menyambuti, ia sentak rantai bandringan, sehingga
bola besinya naik keatas dan terhindar dari sawutan lawan. Gerakan itu disebut „hong
hong sam tiam thau" atau burung hong 3 kali menganggukkan kepala.
Sewaktu Yan-chiu datang berguru pada Ceng Bo, Ceng Bo keluarkan semua senyata dan
bertanya ia suka belajar ilmu senyata apa. Setelah me-milih2, achirnya Yan-chiu ketarik
dengan rantai bandringan yang panjang dan lemas itu. Rantai itu panjangnya lebih dari
setombak, pada dua ujungnya diberi dua buah bola besi bundar macam hamer(palu besi).
Tapi oleh karena tabu Yan-chiu itu seorang nona yang bertenaga lemah, Ceng Bo
lepaskan sebuah dari bola besi itu, sehingga bandringan yang digunakan Yan-chiu itu
berbeda dengan senyata bandringan yang lazim terdapat didunia persilatan.
Begitu bola bandringan terangkat naik, To Kong pun juga tampak berdiri, untuk merebut
rantai bandringan dari tangan Yan-chiu. Sedang tangannya kiri dia gunakan untuk
menampar sinona. Kiau To terkejut bukan buatan. Dalam dunia persilatan To Kong
dikenal sebagai achli „thiat sat ciang" pukulan tangan besi. Ketika menyulurkan jari2nya
tangan kiri tadi, tegas kelihatan telapak tangannya hitam sekali, gerakannya cepat. Dia
(Kiau To) cemas, yangan2 Yan-chiu karena hanya memperhatikan supaja bandringannya
yangan sampai kena direbut musuh, lalu tak menyaga serangan yang menyusul itu.
Yangan kata sampai kena dihantam, cukup baru terkena samberan anginnya saja, sudah
tentu akan t jelaka.
Dalam gugupnya, Kiau To segera hantamkan piannya ketangan kiri To Kong. Tapi baru
pian bergerak, bola bandringan yang melayang lurus keatas itu, tiba2 meluncur kebawah
dengan cepatnya. Kalau To Kong berani teruskan rangsangannya, punggungnya pasti
terhantam bola besi itu. Dan hantaman itu tentu akan mengenakan jalan darah „leng tay
hiat", dan ini pasti akan menamatkan jiwa sihweeshio.
To Kong tahu apa artinya hantaman itu. Sebat sekali dia tarik pulang tangannya kanan,
lalu melangkah setindak kesamping, sehingga dapat menghindar dari serangan sinona
yang luar biasa hebatnya itu. Kejadian itu mendapat sambutan yang hangat dari para
penonton, sedang Kiau To sendiripun kesima. Malah Yan-chiu sendiri juga ter-heran2.
Tadi sehabis gunakan gerak „hong hong sam tiam thau", ia merasa tentu akan kena
disawut oleh To Kong, tapi sekonyong2 terasa ada suatu tenaga kuat mendorong bola
bandringannya itu melambung keatas, kemudian ada lagi lain tenaga yang mengajunkan
bola itu turun kebawah. Sewaktu sihweeshio kerupukan menghindar, Yan-chiu sempat
mengawasi kearah siorang aneh, siapa tampak meng-iwi2 unyuk muka-setan padanya
seraja bersenyum. Sebagai seorang dara yang cerdas tangkas, tahu Yan-chiu siapa yang
melakukan tadi. Mendapat hati, Yan-chiu segera susuli dengan 3 serangan ber-turut2.
Sampai pada saat itu, Kiau To sudah dapat merasakan ada sesuatu yang terjadi
dibelakang lajar. Maka tanpa banyak bimbang lagi, dia segera mundur kesudut dan
mengawasi jalannya pertempuran dengan penuh perhatian.
Disebelah sana, sewaktu Yan-chiu mulai buka serangan tadi, Tio Jiang seperti dipagut
ular kagetnya. Tapi serta dilihatnya sang sumoay mengeluarkan jurus yang aneh
sehingga To Kong hweeshio kerupukan menghindar, bukan kepalang girangnya. „Lian
suci, kalau kali ini sumoay dapat menangkan To Kong hweeshio, wah, namanya pasti
akan menyadi buah bibir seluruh orang persilatan!"
Tio Jiang orangnya polos. Melihat sumoaynya menang, hatinyapun turut bergirang. Bek
Lian sebenarnyapun turut bergirang juga, tapi karena dasarnya seorang gadis manya
yang beradat tinggi, maka tak senang ia mendengar Tio Jiang memuji Yan-chiu itu.
Sebagai seorang suci (kakak perguruan), masakan sampai kalah dengan sumoay. Maka
bulat tekadnya, baik sang sumoay nanti kalah atau menang, tetap ia tak mau dilanggar
olehnya. Oleh karena mengandung perasaan demikian, ia sudah tak pedulikan kata2 Tio
Jiang tadi. Tapi karena sudah biasa mendapat sambutan sedingin begitu, jadi Tio
Jiangpun tak banyak menaruh perhatian serta mengawasi kepanggung pertempuran
sana.
Seorang hweeshio yang kurus kering dan seorang dara remaja yang lincah, tengah
berhantam seru. Beberapa kali, apabila To Kong sudah nyata2 berada diatas angin dan
sinona rasanya pasti celaka, sehingga para penonton sudah menahan napas dan
mengucurkan keringat dingin, atau secara tak ter-duga2 keluarlah jurus2 yang aneh dari
sinona itu, ja sungguh mengherankan tapi nyata. Setiap kali peristiwa aneh itu
berlangsung, maka gemuruhlah tampik sorak penonton bagai memecah bumi. Mereka
betul2 mengagumi nona kecil itu.

GAMBAR 16
Mendadak banderingan Yan-chiu terpental dari
tangan, berbareng bebokongnya kena digablok
siorang aneh hingga tubuhnya terapung keatas.
Setelah berlangsung 20-an jurus, Yan-chiu tunduk betul2 akan kesaktian orang aneh
yang menyadi „dalangnya" itu. Maka dengan seksama ia perhatikan setiap petunyuk dari
siorang aneh itu. Selama itu didapatinya bahwa banyak sekali gerakan2 istimewa yang
selama ini belum pernah dipelajarinya. Sudah tentu girangnya sukar dilukiskan. Dalam
sekejab saja, „kursus teori dan praktek kilat" ilmu permainan bandringan itu, telah
menyadikan dia seorang achli bandringan yang lihay. Kini gerak bandringannya men-
deru2 laksana angin pujuh.
To Kong hanya lihay dalam ilmunya thiat-sat-ciang, tapi tak dapat ber-buat apa2
terhadap sinona nakal itu. Ber-kali2 dia merasa pasti berhasil dalam serangannya, tapi
ternyata senantiasa mendapat hidung panjang. Ber-tahun2 sudah dia mengangkat nama
didunia persilatan, masa kini berhadapan dengan seorang nona kecil yang masih belum
hilang bau pupuknya, dalam 30 jurus masih belum menang. Saking malunya, dia marah
besar. Tapi oleh karena wajahnya itu pucat seperti majat, makin marah malah tambah
berseri kelihatannya.
Pada lain saat, setelah mendapat bantuan dari siorang aneh, Yan-chiu kembali lakukan
suatu jurus gerakan yang aneh untuk menghindar hantaman lawan, sehingga hweeshio
itu kini berbalik mundur 3 langkah. Sudah sejak tadi, Yan-chiu merasa kalau tidak
dengan bantuan orang aneh itu, mungkin 10 dia tak nanti sanggup melawan sihweeshio.
Maka begitu sihweshio mundur, iapun ingatan tak melanyutkan lagi pertempuran itu.
Maka iapun mundur 3 langkah, seraja rangkapkan kedua tangan, pikirnya hendak
mengucapkan beberapa patah perkataan sebagaimana lazim dilakukan oleh orang2 yang
bertempur diluitay. Tapi baru tangannya diangkat, atau laksana seekor harimau
kelaparan, To Kong segera menyerbunya.
Yan-chiu serasa sesak napasnya tersambar oleh angin yang dahsjat, berbareng itu
didepan matanya tampak ada sesosok bayangan hitam merangsang, biar bagaimana juga
rasanya tak dapat ia menghindar lagi. Dalam ketakutannya ia abat-abitkan
bandringannya se-bisa2nya, tapi sekonyong2 berbareng dengan terdengarnya suara
„buk", To Kong tergelincir jatuh dan berbareng dengan itu bola bandringan yang diobat-
abitkan itu kebetulan tepat jatuh kepunggung sihweeshio. Terpelantingnya si To Kong
dan, jatuhnya bola bandringan dipunggungnya itu, adalah suatu hal kebetulan yang luar
biasa. Sampai2 Yan-chiu sendiri menganggap kalau rubuhnya sihweeshio itu karena
terhantam oleh bola bandringannya. Tiba2 terdengarlah siorang aneh itu menyusupkan
suaranya: „Nona kecil, kau bernyali besar dan berotak terang, tentu ada harapan. Apa
yang kuajarkan tadi, kalau kau dapat memahaminya, kau pasti akan menyadi achli yang
lihay. Hweeshio itu telah terkena senyata rahasia yang kulepaskan pada jalan darah ci-
tonghiat dipunggungnya. Lekas cabut dan sembunyikan, supaja yangan terbit
kerewelan!"
Suara itu makin lama makin lemah: Ternyata orang aneh itu sudah menyingkir jauh dan
ketika dia menengok, sudah tak kelihatan lagi. Sigap sekali dia membungkuk memeriksa
punggung To Kong dan benar disitu terselip sebuah benda. Ketika dicabut dan diperiksan
ja, ternyata itulah sebuah gelang besi yang ke-hitam2an warnanya, besarnya hanya
beberapa dim saja. Benda itu cepat dimasukkan kedalam bajunya. Setelah senyata itu
tercabut, dengan menggerang beberapa kali To Kong tampak berbangkit terhujung2 terus
duduk bersila diatas damparnya lagi. Melihat lawan sudah pergi, Yan-chiupun tak berani
lama2. berada diluity situ.
„Kiau susiok, mari kita pergi!" serunya sembari loncat turun, diikuti oleh Kiau To.
Baru saja keduanya turun, kedua hweeshio kawan To Kong tadi segera duduk diatas
dampar terus melayang naik keatas luitay menghampiri To Kong. Tanpa berkata apa2,
yang satu disebelah kiri dan yang lain disebelah kanan, kedua hweshio itu ulurkan
tangannya memegangi kedua samping dari jalan darah gi-hay-hiat To Kong.
Jadi dengan itu, Thian Te Hui sudah menang dua babak. Senyata rahasia dari siorang
aneh itu, ternyata merupakan rangkaikan ros (buku) sumpit kecil2. Selain Ki Ce-tiong,
Ceng Bo siangjin dan achli2 kelas tinggi, malah Kiau To sendiripun, tak mengetahui apa
namanya. Mendapat kemenangan yang gemilang itu, gemuruhlah sorak sorai orang2
Thian Te Hui.
Juga orang2 persilatan yang hadir disitu sama gempar dengan peristiwa tadi. Melihat
suasana itu, buru2 Ceng Bo mencari kedua pemimpin Thian Te Hui, ujarnya: „Saudara
Ki, setelah menang baik kita mengalah sedikit, bubarkan luitay ini dan mulai kerjakan
urusan kita!"
Ki Ce-tiong kesima. Memang setelah menerima surat tantangan dari Sam Tay tianglo,
kedua pemimpin itu berunding dengan masak. Achirnya diputuskan, kalau tak
mendirikan luitay, pasti Thian Te Hui akan kehilangan pengaruh didunia persilatan.
Benar telah diketahui bahwa tentara Ceng sudah berada diperbatasan Hokkian, tapi
masih terpisah ratusan li dari Kwiciu situ. Jadi kalau saat itu membubarkan luitay,
rasanya masih keburu mengatur persiapan pertahanan. Atas usul Ceng Bo siangjin itu,
Ki Ce-tiong diam berpikir. Tapi Kiau To yang berangasan itu cepat menyahutnya: „Bek-
heng, kita sih boleh mengalah sedikit, tapi apakah saudara2 yang lain mau berbuat begitu
?"
„Kiau-heng, rasanya saudara2 kita itu akan dapat dibikin mengerti karena urusan negara
diatas urusan dunia persilatan!" sahut Ceng Bo sejenak kemudian.
„Bek-heng, bukannya membandel, tapi aku tak setuju!" kata Kiau To.
Ceng Bo menatap sebentar padanya hingga Kiau To serentak berdiri tegak sebagai tanda
bahwa dia merasa tak bersalah.
„Rupanya memang sudah tak bisa ditolong lagi!" kedengaran Ceng Bo menghela napas.
„Bek-heng, kalau tentara musuh belum masuk ke Hokkian, turut gelagatnya kita akan
memperoleh kemenangan. Bukankah tak halangan kalau menunda pembubaran luitay
ini sampai beberapa hari lagi?" kata Ki Ce-tiong.
„Tanggal berapakah ini?" tanya pula Ceng Bo.
„Tanggal 6 bulan 12," sahut Ki Ce-tiong.
„Di Kwiciu, dua menteri besar telah bentrok. Kabarnya ada salah seorang sebelum tanggal
10 nanti akan bersekongkol dengan tentara Ceng, apakah kalian mengetahuinya?" ujar
Ceng Bo.
Kini Ki Ce-tiong dan Kiau To melengak. Tapi baru keduanya merenung, disebelah luitay
sana terdengar suara orang ber-kata2 dengan nada yang dingin. Kiranya itu To Ceng
hweshio yang berbicara, katanya: „Kemenangan Thian Te Hui tadi, pinto sekalian
sungguh mengagumi. Diam2 membokong dengan senyata rahasia, meskipun telah
menghilangkan sifat2 keperwiraan orang persilatan, namun mengunyukkan kelihayan
Thian Te Hui juga, maka pintopun masih ingin menerima pelajaran lagi !"
Nada ucapannya itu tak sedap didengar. Dan boleh dikata hampir seluruh penonton tak
mengerti mengapa To Ceng menuduh orang Thian Te Hui melepaskan senyata rahasia
dalam pertempuran tadi. Kiranya naiknya To Ceng dan To Bu keatas luitay tadi ialah
untuk mengobati To Kong dengan saluran lwekang.
Memang kedua paderi besar itu merasa aneh mengapa To Kong sampai jatuh ditangan
seorang nona kecil. Ketika memeriksa lukanya, mereka dapatkan bukan karena terkena
bandringan. Luka itu aneh sekali bekasnya dan tepat mengenai jalan darah yang
berbahaya, sementara diatas panggung situ tersebar potongan2 kecil dari sumpit bambu.
Tahulah mereka seketika itu, bahwa tentu ada seorang jago kosen yang diam2 telah
membantu sinona. Maka dengan kata2 sindirannya yang tajam tadi, To Ceng telah
melontarkan tuduhannya.
Ki Ce-tiong dan Kiau To sangat mengindahkan sekali kepada Ceng Bo siangjin. Walaupun
perkenalan mereka itu sudah lama, tapi karena mereka itu adalah tokoh2 persilatan yang
memegang teguh disiplin, jadi hubungan merekapun didasarkan atas saling mengindahi.
Tahu juga bahwa 20 tahun berselang, Ceng Bo telah kehilangan isterinya yang tercinta,
sehingga sejak itu dia seperti orang yang putus asa. Bahwa dalam keadaan negara
terancam bahaja, Ceng Bo telah timbul lagi semangat perjoangannya itu, Ki Ce-tiong dan
Kiau To merasa kagum sekali. Maka dengan serta merta mereka turut nasehat siangjin
itu. Tapi baru Kiau To hendak maju kedepan untuk mengucapkan kata2 pembubaran
luitay itu, atau telinganya segera panas membara demi mendengar sindiran To Ceng tadi.
„Keledai gundul, yangan tekebur, akulah yang akan memberi hajaran padamu!" tiba2
terdengar suara nyaring wanita membentak, berbareng satu bayangan orang sudah
melesat keatas dan tegak berhadapan dengan To Ceng.
---oo0oo---
BAGIAN 5.1.
Tengah Ki Cee-tiong men-duga2 adakah yang maju keluitay itu sinona genit Yan-chiu tadi
dan belum lagi dia mendongak mengawasinya, atau dari samping kedengaran suara
mengguntur dari Tio Jiang: „Keledai gundul, yangan menghina suciku!" Dia terus melesat
kemuka. Dari caranya meloncat itu, terang seperti orang menyerbu dengan kalap.
Suasana menyadi tegang. Kiranya yang pertama melesat kemuka tadi adalah Bek Lian.
Gadis yang beradat tinggi itu tanpa dapat dicegah sang ajah, telah maju dengan
menghunus pedangnya. Tubuh yang langsing gemulai dari sinona cantik itu ketika tiba
diatas panggung bagaikan sebatang pohon liu yang bergoyang gontai. Orang mengira
kalau sinona itu tak dapat berdiri dengan jejak. Tapi bagi seorang achli tentu cukup
mengetahui bahwa sinona itu sedang menggunakan jurus ilmu mengentengi tubuh yang
disebut „hong pay lian hwa", angin menggoyang bunga terate. Orangnya berparas cantik,
tubuhnya langsing gemulai, maka gerak lambaiannya yang sedemikian luwes indah itu,
mengaburkan pandangan orang kalau ia itu seorang bidadari yang turun dari kahyangan.
Hal mana telah membuat seluruh penonton mend jadi ter-longong2 kesima! Malah ada
sementara orang persilatan yang tergolong kaum pelesiran, sudah serentak mau tampil
melajaninya.
„Lian suci," kata Tio Jiang yang ketika itu sudah berdiri dimuka Bek Lian, „kau bukan
tandingannya hweeshio itu. Lekas turun, biarkan aku yang menghadapinya!"
Oleh karena tadi Yan-chiu telah memperoleh kemenangan atas salah seorang hweeshio
itu, sudah tentu Bek Lian tak percaja nasehat suteenya itu. Dengan mendongkol dia
ancam suteenya: „Sutee, kau mau menyingkir tidak?"
Biasanya Tio Jiang selalu menurut segala perintah sucinya, tapi kali ini demi untuk
keselamatan sucinya itu, dia membandel, serunya: „Suci, kau turunlah!"
Karena tak pandai bicara, jadi beberapa kali dia hanya mengulangi permintaannya „suci,
kau turunlah" itu saja. Suasana ketika itu menyadi gemuruh. Belum pernah terjadi dalam
sejarah perkelahian diluitay, bahwa ada dua orang yang ribut mulut menyuruh turun
kawannya. Bermula para penonton itu terpikat akan kecantikan Bek Lian, tapi kini
mereka menyadi gaduh tak keruan. Ada yang bersorak2 dan ada pula yang tertawa keras.
Tio Jiang sih tak peduli akan sorak teriakan orang itu, asal dia bisa mencegah sucinya.
Tapi Bek Lian yang beradat tinggi itu. asking malunya menyadi murka. Dengan banting
kaki, dia mengancam: „Sutee, kalau kau masih tetap membandel,mungkin aku lupa
dirimu itu siapa!"
Sampai disini, Tio Jiang kewalahan. Dengan menghela napas, dia segera loncat turun
kebawah. Namun tanpa menghiraukan tertawaan orang, dia berdiri dipinggir luitay situ.
Selama kedua saudara seperguruan itu ribut mulut, To Ceng dan To Bu se-olah2 tak mau
mendengarinya. Baru setelah Tio Jiang menyingkir turun, To Ceng segera maju selangkah
hendak bicara. Tapi se-konyong2 dari bawah luitay terdengar orang berseru: „Tianglo,
tahan, biarkan aku yang melajani nona itu!"
Berbareng dengan seruannya, orangpun sudah melayang keatas. Begitu menginyak
papan luitay, orang itu segera mengawasi sinona tanpa terkesiap. Orang itu rambutnya
kelimis, mukanya bedakan. Sekali lihat tahulah Bek Lian kalau orang itu tentu bangsa
tukang „petik bunga" (suka cemarkan kehormatan gadis/wanita baik2). Dalam
kebatinan, Bek Lian sudah benci bangsa begitu, apalagi ia tak tahu akan tata kesopanan
persilatan, begitu gerakan pedang ia sudah terus akan menyerang. Orang itu buru2
rangkapkan kedua tangannya memberi hormat seraja mengucapkan rangkaian kata2
yang halus: „Siapakah nama nona yang mulia?"
„Apa peduli denganmu? Naik kepanggung bertanding, mengapa tanyakan nama orang?"
Bek Lian delikkan matanya. „Nona sungguh pemarah, aku yang rendah ini adalah Hun-
ouw-tiap Lim Ciong, hendak mohon pengajaran nona."
Hun-ouw-tiap atau Kupu2 Berbedak Lim Ciong memang bangsa tukang „petik bunga",
tapi kepandaiannya biasa saja. Melihat orang itu, To Ceng dan To Bu kerutkan keningnya.
Tapi karena orang sudah mendahuluinya, Merekapun tak dapat berbuat apa2, lalu loncat
turun kebawah.
„Sudah tak ada yang merintangi lagi, kita boleh mulai!" kata Hun-ouw-tiap.
Kata2 itu kurang ajar sekali, maka meluaplah kemarahan Bek Lian. Ia menyerangkan
pedangnya dengan jurus „Tio ik thian hay", pentang sajap mengisi laut, salah satu jurus
dari ilmupedang To-hay-kiam-hwat. Ilmupedang itu Bek Lian hanya pelajari sampai 4
jurus saja. Tapi karen.t sejak kecil ia sudah belajar silat, jadi mempunyai dasar yang
bagus sekali. Walaupun hanya 4, tapi dapat dipelajari dengan sempurna. Sari
keindahannya, pun dapat difahaminya dengan jelas.
„Nona, kau yang mulai dulu?" Lim Ciong tertawa lepas tanpa membalas.
Kemarahan Bek Lian makin menyadi. Serangan yang partama belum selesai, ia sudah
susuli lagi dengan dua buah lainnya jakni dari jurus „Boan thian kok hay" clan ,ch'Ing wi
thian hay". Untuk serangan pertama tadi, Lim Cong sudah setengah mati
menghindarinya. Demi nampak serangan kedua datang, dengan sibuknya dia segera
gunakan jurus
„thiat pan kio" (jembatan gantung besi), tubuhnya diajunkan membalik kebelakang untuk
menghindari. Tapi tanpa tarik pulang pedangnya, Bek Lian segera balikkan pedangnya
untuk melancarkan serangannya yang ketiga itu.
Sesaat itu Lim Ciong rasakan hawa angin pedang yang dingin sekali, buru2 dia hendak
tarik senyata poan-koan-pit yang terselip dipunggungnya, tapi sudah terlambat.
Tangannya kiri terasa nyeri, sakitnya sampai menusuk keulu hati, lengannya kiri itu
ternyata telah dibabat kutung oleh Bek Lian. Seketika itu, pandangan Hun-ouw-tiap
menyadi gelap, tapi Bek Lian masih tak puas. Memburu maju, ia terus akan membacok
lagi, tapi „tring" se-konyong2 sebuah thiat-lian-cu (senyata rahasia macam biji terate)
telah mengbantam batang pedangnya hingga tangan Bek Lian serasa kesemutan dan
hampir2 melepaskan pedangnya. Terpaksa ia loncat mundur. Tapi berbareng saat itu,
kedengaran pula suara mengaung. To Ceng hweshio dengan berduduk diatas damparnya,
tampak melayang keatas panggung. Dan begitu tiba dipanggung, dia terus menghantam
kearah Bek Lian. Bek Lian ter-sipu2 menangkis dengan pedangnya. Tapi sementara itu
tangan kiri To Ceng sudah mencekal Lim Ciong, lalu dilemparkan kebawah.
Karena sebelah lengannya sudah terkutung, begitu dilempar kebawah, darahnya muncrat
kesana sini memenuhi lantai panggung itu. Dibawah luitay, To Bu sudah siap
menyambutinya, diserahkan pada kawans Lim Ciong untuk diobati.
Kini kita balik mengikuti keadaan diatas luitay. To Ceng segera mendapatkan bahwa ilmu
pedang sinona itu cukup lihaynya, sehingga ilmu pukulan thiat-sat-ciangnya tak dapat
berbuat apa2 Maka tertawalah dia mengejek: „Entah dimanakah orang2 Thian Te Hui,
mengapa mengajukan barisan wanita? Ha, ha, lucu benar !"
Tapi dalam tertawanya mengejek itu, wajah To Ceng tak berobah, tetap pucat seperti
majat. Sewaktu menangkis pukulannya tadi Bek Lian sudah merasa hweshio itu „keras"
sekali, maka diam2 dia merasa heran mengapa tadi Yan-chiu bisa menangkan sute
sihweshio itu. Tapi sembari berpikir begitu, ia balas menusuk dada lawan.
To Ceng masih tetap duduk diatas damparnya. Begitu ujung pedang menusuk, dia tak
berani berajal. Secepatnya berbangkit, dia congkelkan ujung kakinya kedampar, dan
nielayanglah dampar itu seperti terbang kearah Bek Lian.
Bek Lian anggap, walaupun menggunakan Iwekang tapi karena itu hanya sebuah
dampar, makpi tak perlu ditakuti. Maka diapun tak mau menyingkir, melainkan siap
gunakan jurus „Ho Pek kuan hay", pikirnya, tentu dapat membelah dampar itu kemudian
hendak dilemparkan kebawah luitay. Tapi mana ia tahu akan kelihayan dampar itu yang
dapat digunakan sebagai suatu senyata rahasia yang ampuh.
Sepintas panjang, dampar itu merupakan sebuah tikar duduk yang biasa saja. Tapi
sebenarnya benda itu terbuat daripada bulu suri kera gin-lok-kauw (kera bulu hijau
perak) keluaran istimewa dari gunung Cap-ban-tay-san (gunung seribu). Lemas dan
ulatnya bukan kepalang, dapat bertahan segala macam bacokan senyata. Tapi karena To
Kong memandang remeh pada Yan-chiu, dia sudah tak gunakan damparnya. Kalau dia
gunakan dampar itu, walaupun lawan dibantu oleh tokoh lihay, namun tak semudah itu
Yan-chiu mendapat kemenangan. Biasanya apabila ketiga hweshio itu maju dalam
pertempuran, mereka tentu dudiilc bersila diatas damparnya. Baru kalau menghadapi
lawan kuat, mereka akan berbangkit dan menendang dampar itu kearah lawan. Sembilan
(9) dari sepuluh (10) bagian, lawan pasti celaka.
Jurus itu dinamai „siu-Ii-kian-gun" atau dunia didalam lengan baju.
Sebagai anak yang masih hijau, sudah tentu Bek Lian tak mengetahui hal itu. Begitu
pedangnya menyentuh dampar dan baru saja ia hendak memapaskan kemuka, atau ia
telah terbentur dengan sebuah tenaga dahsjat hingga lengannya serasa kesemutan.
Dalam gugupnya ia hendak cekal kencang2, agar pedangnya yangan sampai terlepas, tapi
pada lain saat „krak" terdengar logam meretak dan pedangnya itu telah patah dibentur
dampar To Ceng hweshio.
Tak terkira terkejutnya Bek Lian, sedang pada waktu itu dampar menyadi miring
melayang disampingnya. Samberan anginnya saja telah membuat Bek Lian sempojongan
dan To Ceng melesat maju. Tangannya kiri menyawut dampar, tanagnnya kanan
menghantam dada Bek Lian. Dalam gugupnya, Bek Lian menangkis sembari loncat
kesamping.
Dengan tertawa ter-kekeh2 To Ceng mengejar. Dalam dua jurus saja, Bek Lian sudah
keripuhan sekali bertahan. Kiau To dan Yan-chiu yang mengawasi dibawah luitay, sama
kucurkan keringat dingin. Sebaliknya wajah Ceng Bo tetap keras. Benar dia teramat
kasihnya kepada sang puteri ini, tapi sebagai orang persilatan yang tahu diri, tak mati
dia maju menolong. Karena dengan berbuat begitu, dia pasti akan ditertawai orang. Kiau
To yang akan turun tanganpun dicegah oleh Ceng Bo Siangjin.
Dengan hanya bersenyata pedang kutung, gerakan Bek Lian menyadi kaku. Apalagi
memang kepandaianny<ipwi masih dibawah To Ceng. Satu-nya jalan, ia hanya andalkan
ilmunya mengentengi tubuh berlincahan kian-kemari. Jadi ia hanya bertempur untuk
menghindari diri. Sebaliknya ToIjeng makin garang. Tangan kiri dampar, tangan kanan
melancarkan pukulan lwekang thiat-sat-ciang. Lewat beberapa jurus lagi, rangsekan To
Ceng makin menghebat, sehingga kalangan untuk menghindarkan diri dari Bek Lian,
makin lama makin sempit. Dari satu tombak, makin menciut sampai dua tiga meter saja.
Dapat dipastikan, dalam beberapa jurus lagi To Ceng pasti berhasil. Bek Lian kalau tidak
binasa terkena thiat-sat-ciang tentu akan terluka berat terhantam dampar.
Diantara orang2 yang cemas menyaksikan keadaan sinona itu, adalah Tio Jiang yang
paling gelisah sendiri. Tadi sewaktu pedang sucinya itu kutung, sebenarnya ia hendak
maju. dan ketika Bek Lian dalam bahaja itu, dia sudah dekat dipinggiran luitay. Dari situ
kalau mau dia bisa loncat keatas. Dengan 7 jurus ilmu pedang To-hay-kiamhwat yang
baru dipelajarinya itu. Walaupun belum tentu bisa menang, dengan kekuatan dua orang,
rasanya dapatlah mereka bisa mundur dengan selamat. Tapi demi teringat akan kata2
pedas dari Bek Lian tadi. dia agak bersangsi. Yangan2 kalau dia maju membantu, nanti
didamprat lagi oleh sang suci.
Berapa saat lagi, kembali terdengar To Ceng tertawa dingin. Dampar diputar2 sehlngga
menerbitkan deru angin yang dahsjat. Bek Lian tampak agak sempojongan. Maka buru2
ia mundur 3 tindak kesamping. Tapi To Ceng tetap membayangi. Tangannya kanan
diangkat keatas, jarinya dibuka, sehingga nampak telapakannya yang ke-hitam2an
warnanya, lalu diajunkan menampar kepala Bek Lian. Hendak Bek Lian menyingkir, tapi
terhadang oleh dampar yang ber-putar2 itu. Dengan begitu, jalan untuk menghindar,
sudah tertutup. Kini Bek Lian sadar, bahwa ajalnya tak dapat dielakkan lagi. Dengan
menarik napas panjang, dia meramkan mata menunggu ajal.
Adalah dalam saat2 yang berbahaya itu, tiba2 Bek Lian rasakan ada serangkum angin
menderu, kedahsjatannya lain dengan sihweeshio. Cepat Bek Lian buka matanya dan
samar2 dilihatnya ada sesosok bayangan menghadang dihadapannya, malah dengan
ulurkan sepasang tangannya orang itu telah memeluknya erat2. Begitu mundur
selangkah, To Ceng segera menghantam. Dengan ter-putus2 orang itu merintih: „Lian
suci…… aku naik…… kemari lagi…… yangan kau sesali……!"
Berbareng dengan ucapannya, orang itupun roboh. Tapi oleh karena tangannya masih
memeluk erat2 maka Bek Lian terbawa jatuh juga. Sewaktu diamatinya, ternyata orang
yang membuang jiwa untuknya itu, bukan lain adalah suteenya sendiri. Napas Tio Jiang
sudah lemah, matanya meram melek, rupanya dia terluka berat. Mau tak mau Bek Lian
berterima kasih atas pengorbanan itu. Juga Ceng Bo yang mengetahui hal itu, tergerak
hatinya. Dalam peraturan luitay, apabila sudah diketahui menang kalahnya, orang boleh
maju menolong yang terluka. Maka dengan bersuit, Ceng Bo apungkan diri keatas
panggung.
Suitan itu mempunyai daja seperti mampu membelah batu, lengking kumandangnya
amat tajam. Orang2 persilatan yang berada disitu, sama terperanyat. Juga To Ceng
terkesiap. Teringat dia pada 20 tahun yang lalu didunia persilatan ada seorang tokoh
kenamaan bergelar „Hay-te-kau" (naga dari dasar laut) pada setiap kali bertempur tentu
lebih dahulu mengeluarkan suitan yang panjang begitu. Mungkinkah tokoh itu muncul
pula pada saat itu? Karena menduga begitu, To Ceng mundur selangkah untuk bersiap.
Tapi begitu naik dipanggung, Ceng Bo tak hiraukan sihweeshio, melainkan menghampiri
kepada Tio jiang untuk memberi pertolongan dengan menutup jalan darahnya.
Melihat ajahnya datang, dengan muka ke-merah2an Bek Lian meronta dari pelukan Tio
Jiang. Setelah berdiri, ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ceng Bo angkat tubuh
Tio Jiang seraja membentak pada Bek Lian: „Mengapa Lak lekas turun!"
Dengan ke-malu2an Bek Lian segera turun dari luitay. Setelah mengangguk sedikit pada
To Ceng, Ceng Bo siangjin segera angkat Tio Jiang kebelakang luitay orang Thian Tee Hui.
Tio Jiang diletakkan diatas pembaringan, lalu dibuka bajunya. Ternyata pada pundak Tio
Jiang, terdapat sebuah bekas telapak tangan yang berwarna hitam. Bekas2 kelima jari
nampak dengan jelas, melekuk kedalam daging. Sedang kulit disekelilingnya berwarna
semu biru, kalau dipijat dengan tangan, turut melesak kedalam tak bisa membal balik
lagi. Tahulah Ceng Bo bahwa thiat-sat-ciang berbeda dengan thiat-sat-ciang biasa. Bukan
saja disertai dengan lweekang yang kuatpun tangannya itu mengandung racun yang
dapat disalurkan begitu menyentuh tubuh musuh. Kalau tadi Ceng Bo tak lekas menutup
jaIan darah supaja racun itu tak menyalar, walaupun mendapat pertolongan obat dewa
sekalipun, tetap Tio Jiang takkan dapat tertolong jiwanya.
Tampak luka muridnya begitu parah, kening Ceng Bo Kelihatan mengerut dalam. Yan-
chiu menyerit dengan suara tertahan seraja memandang kearah Bek Lian, siapa kelihatan
tundukkan kepalanya. Kiau To mengambil sebuah kotak emas, begitu tutupnya dibuka,
lalu menyiarkan bau yang amat harum sekali. Dari dalam peti diambilnya sebutir pil
sebesar kuku jari, terus menghampiri kesamping Tio Jiang. Mulut pemuda itu terkancing
rapat, Ceng Bo segera mencangarnya dan Kiau To lalu memasukkan sekaligus 4 butir pil.
„Bek-heng, pil ini adalah buatan guruku Tay Siang tamsu. Meskipun entah bisa
memunahkan racun itu atau tidak, tapi melindungi jantung orang," kata Kiau To.
Ceng Bo siangjin mengiakan, lalu duduk bersila. Tak lama kemudian, dia berbangkit lagi,
lalu me-raba2 punggung Tio Jiang. Sewaktu menderita luka itu, pikiran Tio Jiang tak
sadar lagi, mulutnya serasa manis, sementara punggungnya seperti ditusuki oleh
puluhan jarum kecil. Benar tidak sakit, tapi rasanya gatal dan kaku sekali. Hendak dia
merangkak bangun, tapi tangannya serasa tak bertenaga lagi. Tapi setelah minum pil
tadi, hatinya menyadi tenang pikirannya jernih lagi. Ketika gurunya meng-urut2
punggungnya untuk menyalurkan lwekang, tak putus2nya Tio Jiang mengaduh
kesakitan. Matanyapun kini dibuka. Begitu kelihatan Bek Lian tundukkan kepala sambil
memain ujung baju,
Tio Jiang segera berusaha keras untuk berseru: „Lian Suci……kau….. tak apa2 bukan?"
„Lian suci tak kena apa, usah kau kuatir!" Yan-chiu cepat2 menyanggapi. Dengan
ucapannya itu, ia seperti sesalkan sang suci yang telah menyebabkan sampai sukonya
itu mendapat luka begitu parah.
Tatkala Bek Lian memperhatikan sekeliling situ, rasanya orang2pun sama
mempersalahkannya. Sampai ajahnya yang biasanya begitu memanyakannya itu, kini
asjik menumplak seluruh perhatiannya kepada Tio Jiang serta sedikitpun tak
menghiraukannya lagi. Diam2 dalam hati sigadis jelita yang beradat tinggi itu
mengambul: „Kalau begini, lebih baik aku mati saja!"
Kalau tadi ia merasa berterima kasih pada Tio Jiang, sebaliknya kini ia merasa gusar
padanya. Sampai sekian saat Ceng Bo siangjin meng-urut2 punggung Tio Jiang. Serta
dilihatnya diluitay sana To Ceng sudah turun, berkatalah Ceng Bo: „Ki-heng, rasanya hari
ini baik luitay itu ditutup!"
Karena haripun sudah sore, Ki Ce-tiongpun setuju. Dia segera maju kegelanggang luitay
untuk mengumumkannya. Jadi dalam pertempuran hari itu. Thian Te Hui menang dua
kali, kalah sekali.
---oo0oo---
BAGIAN 5
ANTARA CINTA DAN BENCI
BAGIAN 5.2.2.

Tapi belum tiba disitu, tiba2 dia mendengar ada seseorang tengah me-maki2: „Bagus,
keluar saja kalau mau adu kepandaian. Main sembunyi seperti setan belang itu, kan
bukan cara yang lajak!"
Mendengar nada suara itu, hati Bek Lian bergoncang keras. Bukankah itu suara orang
yang siang malam dikenangnya itu? Tapi menurut ucapannya itu, rupanya dia tengah
ketemu dengan seorang musuh. Kalau tidak, masakan dia memaki kalang kabut begitu.
Maka ber-gegas2-lah Bek Lian memburunya.
Dengan gunakan gerak „yan cu sam jo cui" (burung seriti 3 kali menyentuh air), dalam 3
kali lonIjatan saja ia sudah sampai dipinggir rimba situ. Tiba2 disitu terdengar suara
„plak", menyusul dengan itu terdengarlah The Go menggerang keras. Menduga yangan2
ajahnya berada disitu, Bek Lian tak berani gegabah memanggil The Go, melainkan lalu
bersembunyi dibalik sebatang pohon. Dari situ ia mengawasi kesebelah muka.
Amboi, kiranya didalam rimba situ The Go tengah berputar2 seorang diri. Dari warna
mukanya, nyata orang itu sedang marah besar. Setelah sekian saat berputar, orang muda
itu tegak berdiri diam lagi. Rupanya dia tengah merenungkan sesuatu. Tak berapa saat
lagi, kedengaran dia terlaiwa dingin: „Hem, sekalipun cianpwe (angkatan tua) dari
persilatan, namun perbuatan itu tadi juga tak pantas!"
Bek Lian melihat bahwa orang itu hanya seorang diri, tapi mengapa ber-kata2 sendiri dan
bersikap seperti menghadapi seorang musuh tangguh. Tengah Bek Lian heran, tiba2 dari
atas udara muncul sesosok bayangan orang yang dalam kegelapan malam tampaknya
seperti segumpal asap ber-gulung2. Gerakannya luar biasa cepatnya, sehingga dalam
sekejab saja, sudah lenyap dari pemandangan. Tapi yang mengherankan, pada saat itu
terdengar pula suara ,,plak" tadi, kemudian lagi2 The Go men-jerit2 dengan marahnya,
ber-jingkrak2 seperti menginyak api.
Setelah menunggu sampai beberapa saat sampai The Go sudah selesai memberesi
pakaiannya, Bek Lian terus hendak menghampirl. Tapi baru tubuhnya bergerak hendak
keluar, tiba2 dari arah belakang terasa ada angin mendorongnya keras2, hingga hampir
saja ia terjorok kemuka. Sebat sekall ia berpaling kebelakang, tapi tak tampak apa2.
Dorongan angin tadi, terang dilakukan oleh seorang achli persilatan yang berilmu tinggi,
cuma saja hal itu membuktikan kalau orang itu tak berhasrat mencelakai dirinya, karena
kalau memang hendak berbuat jahat, pasti ia (Bek Lian) akan sudah celaka tadi.
Mengingat hal itu, tanpa terasa Bek Lian kucurkan keringat dingin. Dan karena didorong
tadi, kini dia menyorok kemuka sampai 7 atau 8 langkah jauhnya.
The Go yang dijadikan bulan2 permainan tadi, menyadi merah matanya. Kalau dapat,
hendak dia telan hiduplah orang yang kurang ajar itu. Tapi orang itu luar biasa sebatnya,
hingga bagaimanapun dia tadi telah melesat mengejarnya, namun bayangan orang itu
sudah menghilang tanpa bekas.
Kiranya sewaktu mendapat laporan dari kaki tangannya yang mengatakan kalau fihak
Thian Te Hui telah menderita kekalahan dipanggung luitay pada babak ketiga dan salah
satu jagonya terluka parah kena pukulan thiat-sat-ciang To Ceng hweshio, The Go
menduga tentu orang2 Thian Te Hui akan kecantol membikin pembalasan. Maka The Go
anggap itulah saat yang baik untuk melaksanakan rencananya. Malam itu juga dia
menuju ke Hokkian untuk menghadap Li Seng Tong, congpeng (jenderal) tentara Ceng,
guna menyerahkan Kwitang. Rencana penghianatan itu, terkilas dalam pikirann ja
sewaktu dia turun dari gunung Lo-hou-san tempo hari.
Kunyungannya ke Lo-hou-san dulu itu, sebenarnya dia bermaksud dengan lidahnya yang
tad jam hendak menganyurkan Ceng Bo siangjin dan orang2 Thian Te Hui supaja yangan
melawan tentara Ceng. Tapi disana dia telah terbentur karang. Ceng Bo siangjin ternyata
seorang laki2 yang berpambek perwira, sedang dalam percekcokan yang terachir dengan
perkelahian, dia telah menderita kekalahan. Nah, inilah yang mengobarkan
kemarahannya terhadap orange Lo-hou-san dan Thian-te-hui.
Sewaktu tampak majat Ti Gong bergelimpangan, dia mendapat pikiran bagus. Sam Tay-
tianglo dari gereja Ci Hun Si, terkenal sebagai tokoh2 yang suka mengagungkan gengsi
tak mau tunduk pada lain orang. Dia suruh orangnya mengantar surat pada ketiga paderi
besar itu, anyurkan mereka supaja menantang orang Thian Te Hui pibu diatas luitay.
Pertandingan itu harus di-ulur2 sampai setengah atau satu bulan lamanya, agar dia
dapat kesempatan untuk melaksanakan rencananya. Begitu tentara Ceng sudah masuk
ke Kwiciu, bereslah semua. Rencana itu diberitahukan kepada menteri dorna Ko Tiau
Cian, slapa, menyetujui sepenuhnya. Begitulah malam itu, dia lakukan rencananya itu.
Tapi belum berapa lama dia keluar kota atau dia telah bertemu dengan seorang jail yang
dalam beberapa kejab saja, sudah berhasil merampas kipasnya. Sudah tentu bukan
terkira kaget si The Go itu. Buru2 dia mengejarnya, tapi pada lain saat se-konyong2
punggungnya dirasakan dingin sekali. Ketika dirabah, ternyata kipasnya telah dise1ipkan
ditengkuk, entah oleh siapa karena sampai sebegitu jauh dia tak melihat adanya
seorangpun juga.
Yang paling menyengkelkan hatinya, setan jail itu terus menerus mengikuti perjalanan
The Go saja. Kalau tidak merabah mukanya, tentu menggaplok pantat atau karena
sampai setengah harian tak muncul maka The Go mengira kalau tak diikuti, tapi tahu2
belakang kepalanya disemprot tiupan angin. Benar2 The Go kelabakan setengah mati.
Beberapa kali dia tantang orang itu supaja unyuk diri berkelahi, tapi tiada penyahutan
lama sekali. Yang bisa diketahuinya hanyalah sesosok bayangan berkelebatan pergi
datang, tapi bagaimana sebenarnya orang itu, dia tak jelas karena tak mampu
menghampiri dekat.
Tadi sewaktu Bek Lian didorong kemuka sampai hampir jatuh, karena suasana dirimba
situ gelap aekali, The Go sudah mengiranya itulah orang jail yang mempermainkan- nya
tadi, Dengan sebat sekali, dia melesat maju menutuk jalan darah hun-cui, ki-kwat, kian-
ce dan tiong-thing sekaligus empat.
Tatkala terjorok kemuka tadi, Bek Lian buru2 menoleh kebelakang tapi tak melihat siapa
orangnya yang jail itu, dan kini tahu dari sebelah muka terasa ada angin menyambar,
diam2 ia mengeluh. Dalam gugupn ja buru2 ia buang tubuhn ja kebelakang terus
bergelundungan sampai beberapa meter jauhnya.
Melihat orang hanya menyingkir dengan cara bergelundungan dan lagi cara
penghindaran itu dilakukan dengan sedemikian susahnya, kemudian setelah diawasi
dengan perdata potongan tubuh orang itu begitu langsing seperti seorang wanita, The Go
kesima dan berhenti menyerang.
,,Mengapa begitu bertemu terus menyerang?" seru Bek Lian setelah berdiri tegak lagi.
Mendengar nada suara orang, The Go mengeluh ke-malu2-'an. Dibawah cahaja rembulan
remang2, dilihatnya jelas siapa yang berada dihadapannya itu. „Nona Lian, engkaukah?"
tanyanya ter-sipu2.
Biasanya kalau orang berani menyerang begitu kurang ajar, Bek Lian tentu tak mau
memberi ampun. Tapi entah bagaimana, demi mendengar nada suara sianak muda yang
begitu halus meraju, lenyaplah amarahnya dengan seketika. ,,Hm, masih pura2 bertanya,
masa begitu bertemu terus mau membunuh!"
Pada saat itu keadaan The Go seperti kata orang „sigagu makan empedu", menderita
susah tapi tak dapat mengucapkan. Sudah tentu dia tak mau menceritakan kalau tadi
ada setan jail mempermainkannya, malu sih! „Nona Lian, karena salah mengira kalau
ada orang hendak membokong, maka aku telah keliru menyerang nona tadi. Ah, aku int
patut dihajar, ja harus dihajar!" katanya kemudian. Dan untuk mengunyukkan
penyesalannya, si Wajah Seribu (Cian-bin-long-kun) itu segera menggaplok punggungnya
dua kali dengan kipas. Melihat itu sinona tertawa. Da1am sekejab saja amarahnya telah
dibawa lenyap oleh kepandaian bersandiwara dari si Wajah Seribu. Kalau yang berbuat
itu Tio Jiang, mungkin mulut sinona akan tak henti2- nya menghemburkan makian. Tapi
terhadap anak muda yang dikenangnya itu, lain halnya!
„Ha ……, ha ……, sudahlah, Say-hong-hong (nona yang menyamai burung cenderawasih
cantiknya) sudah ketawa!" seru The Go menggoda. Dan untuk itu, hati Bek Lian meluap
girang sehingga tak dapat mengucap apa2.
The Go maju menghampiri kedekat sinona. Dibawah cahaja rembulan, dilihatnya
kecantikan sijelita itu jauh bedanya daripada waktu siang hari. Dalam pandangannya,
rembulan dilangit se-olah2 suram cahajanya dibanding dengan wajah jelita Lo-hou-san
yang berseri gemilang itu. Matanya bagaikan bintang kejora yang memancarkan sinar
keagungan. The Go menarik napas panjang.
Bertemu dengan orang yang dikenangn ja itu, hati Bek Lian dilamun rasa girang dan
resah. Tapi anehnya, dia merasa mulutnya seperti terkancing. Sekalipun ingin mengucap
beberapa patah kata, namun berat rasanya untuk me-ngatakan karena ia itu seorang
gadis. Achirn ja perasaan ingin bicara dengan orang yang dikenanginya itu lebih menang.
Demi mendengar The Go menghela napas, bertanyalah ia : „Mengapa menghela napas
begitu?"
Terkejut ditanya begitu, The Go menyahut ter-putus2: „Nona, Liaaaannn." - Kata „Lian"
itu sengaja dia tarik panjang sekali. Tapi bagi pendengaran Bek Lian, suara anak muda
itu sudah merupakan seperti buluh perindu (seruling untuk menidurkan anak). Dengan
suara pelahan dia mengiakan.
,,Teringat kala dipuncak Giok-li-nia tempo hari, begitu pertama kali melihat nona, aku
terus, aku terus …….. siang malam memikiri saja. Bahwa malam ini bisa berjumpa pula,
adalah berkahnya yang Maha Kuasa, seharusnya aku tak lajak menghela napas," kata
The Go pula.
Bek Lian hanya sekenanya saja bertanya, tak kira kalau sianak muda bisa merangkai
kata2 yang sedemikian memikatnya. „Kenapa kau harus menghela napas?" tanyanya.
,,Karena tadi aku telah kesalahan tangan, kalau nona selanyutnya tak mempedulikan
aku lagi, hidupku pasti kosong melompong."
Hati Bek Lian seperti terbetot, tukasnya : „Tolol, siapa yang tak mempedulikanmu?" - Tapi
habis berkata begitu, Bek Lian merasa sudah kelepasan omong. Sebagai seorang gadis
tak seharusnya ia berkata begitu. Mukanya ke-merah2an dan kepalanyapun lalu
ditundukkan, mulutnya bagai terkancing.
The Go seperti mendapat jalan, kakinya bergerak maju, hampir kedekat Bek Lian. Bek
Lian tampak bergerak kakinya, tapi hanya bergerak saja, tidak mau menyingkir. Saat itu
hidung The Go tertusuk dengan bau harum seorang perawan, matanya disuguhi dengan
paras nan cantik gemilang, telinganya mendengar nada suara bening laksana kicauan
burung kenari. Ja, tak salahlah kalau dia gerakkan kakinya maju selangkah lagi. Selebar
muka Bek Lian makin merah, jantung berdetak keras, tapi ia tetap diam saja, malah agak
berkisar maju sedikit.
Tampak sang juwita juga mendekati, secepat kilat The Go ulurkan tangan memegang
bahu sinona, siapa dengan serta merta terus rubuhkan kepalanya kedada orang. Kedua
pemuda yang tengah dibuaikan oleh dendang asmara itu, hatinya penuh dengan beribu
perkataan, namun mulutnya sukar unutk mengatakan. Lupalah Bek Lian untuk
bertanya, mengapa The Go melakukan perjalanan pada waktu malam begitu. Sebaliknya
si Wajah Seribu itu tetap ingat akan tugasnya menuju ke Hokkian, Tapi pada saat itu,
dia tak mau membikin kaget „sang burung". Dipeluknya sinona erat2 dan bagaikan anak
kambing menyerah sajalah Bek Lian. Hanya kepalanya diangkat naik, matanya yang
bening laksana air telaga itu ber-kicup2 memandang The Go.
Entah berapa lama kemudian, barulah The Go lepaskan pelukannya itu. Dengan
memegangi tangan sinona berkatalah dia: „Lian, tepat nian peribahasa 'garam dilaut,
asam digunung, achirnya akan ketemu juga'. Bukankah kita ini juga begitu?"
Ucapan itu bagaikan menyadarkan Bek Lian. la disuruh ajahnya untuk mencari The Go,
jadi bukan secara kebetuIan berjumpa padanya. „Ah, aku memang berniat mencarimu!"
katanya.
Bermula The Go tak begitu menghiraukan kata2 sinona itu, dan hanya mempermainkan
tangan Bek Lian. Tapi pada lain saat dia teringat, mengapa nona itu tahu kalau dia berada
dalam perjalanan ditempat itu. Jalanan itu hanya menuju ke Hokkian, apa tidak mungkin
kalau sinona itu tahu bahwa dia hendak mengundang tentara Ceng di Hokkian?
Tugasnya itu sangat rahasia sekali, mengapa sampai bocor? The Go tertegun memikirkan
hal itu, namun sebagai si Wajah Seribu, dia tetap mengunyukkan muka yang menyayang.
,,Lian-moay, mengapa kau tahu aku akan berada dijalan ini?" tanyanya mencari
keterangan.
Pertama kali terperangkap dalam jaring asmara, Bek Lian anggap bahwa segala apa yang
diketahuinya itu tiada halangan untuk diberitahukan kepada sang kekasih. Tanpa
banyak pikir lagi, ia menyahut: „Ajahku yang bilang. Dia berjalan ditepi utara, aku ditepi
selatan sini, kita berpencar menyusulmu."
,,Mengapa hendak mencari aku ?" tanya The Go dengan terperanyat.
„Ajah bilang, kau hendak mengundang tentara Ceng di Hokkian, maka menyusulmu
supaja kau yangan jadi kesana." Karena dugaannya tak meleset, tertawalah The Go: „Lian
moay, kalau begitu kaupun takkan meluluskan aku pergi?" „Yangan pergi, maukah?"
Pikiran The Go yang licin bekerja, tanyanya pula: „ApaIcah ada lain orang lagi yang
mengejar aku?" ,,Tak ada, melainkan ajah dan aku !"
The Go mendapat siasat bagus. Jalan satu2-nya jalah membujuk sinona untuk diajak
ber-sama2 menuju ke Hokkian. Melihat sinona telah jatuh hati padanya, rasanya siasat
itu pasti berhasil. Dan memang dia sendiripun ketarik dengan kecantikan nona itu, jadi
„sekali dajung dua tepian" namanya. „Lian-moay ada suatu hal yang hendak kukatakan,
entah kau suka mendengarinya tidak?"
Hati Bek Lian sudah diserahkan pada sianak muda. Kalau orang sudah dimabuk cinta,
apalagi seorang gadis, segala apa dapat dilakukan. Bek Lian sebenarnya seorang gadis
yang beradat tinggi, tapi terhadap The Go, dia menurut saja seperti seekor anak kambing.
„Engkoh Go, yangan kata hanya sepatah, seribu patah perkataanmupun aku tentu
senang mendengarnya."
Mengetahui bahwa hati sijuwita sudah terjerat dalam asmara, barulah The Go tak ragu2
lagi, katanya: „Lian-moay, ikutlah padaku menghadap Li congpeng di Hokkian !"
Bek Lian tertegun. Kuatir yangan2 salah mendengar, dia menegas: „Apa katamu itu?"
The Go seorang yang cerdik. Sebagai puteri seorang perwira macam Ceng Bo siangjin,
tentu Bek Lian itu telah diasuh dengan didikan keluhuran budi. Jadi sewaktu mendengar
kata2nya tadi, nona itu tentu terperanyat. Tapi biar. bagaimana hati nona itu sudah
dibutakan oleh asmara, tak nanti bisa terlepas dari genggamannya. Maka diulanginya
lagi maksudnya tadi : „Lian-moay, aku minta kau ikut padaku menghadap Li congpeng
di Hokkian !"
Bek Lian agak terhujung. „Untuk apa kesana?" tanyanya. dengan mata terbeliak.
The Go menebarkan kipasnya di-goyang2kan, ujarnya : ,,Adalah sudah menyadi
kehendak alam, bahwa kerajaan Beng sudah tak dapat dipertahankan lagi. Kita undang
tentara Ceng masuk ke Kwiciu !"
Tadi Bek Lian melayang dalam nirwana asmara, kini demi mendengar ucapan The Go itu,
serentak dia gelagapan tersentak dari lamunannya. Terkilas dalam batinnya, segala
ajaran dan petuah dari sang ajah tentang garis2 kehidupan manusia yang berwatak
luhur, jauh berlawanan dengan perbuatan dan peribadi The Go. Maksudnya semula,
ialah hendak menginsjafkan anak muda itu, supaja yangan mau menyadi kaki tangan
kaisar Siau Bu dan gabungkan diri saja dalam Thian Te Hui untuk melawan penyajah
Ceng. Serambut dibelah tujuhpun ia tak menyangka kalau anak muda itu mengajukan
permintaan begitu. Maka untuk beberapa saat, ia ter-mangu2 seperti orang gagu.
Keduanya tadi masih berdiri berendeng sambil bercekalan tangan. Tatkala ter-mangu2
kaget tadi, Bek Lian segera hendak lepaskan tangannya dari cekalan sianak muda. Tapi
The Go yang cerdik, cepat menggenggam kencang2 tangannya lalu dipeluknya lagi. Bek
Lian tak kuasa meronta. Pada lain saat ketika The Go mencium lehernya, seketika Itu
Bek Lian rasakan aliran darahnya berjalan keras tubuhnya bagaikan tak bertulang.
Sepasang matanya yang bagus, mengundang The Go dengan ter-longong2.
„Lian-moay, tadi kau katakan seribu patah perkataanku! kau tentu suka mendengarnya.
Tapi mengapa baru sepatah saja kau sudah tak menyukainya?"
Bek Lian menghela napas, sahutnya : „Engkoh Go, bukan aku tak suka mendengarnya,
tapi tentara Ceng itu sangat ganas sekali. Kita sebagal putera puteri Han, mengapa tak
melawan malah mau menyambutnya?"
The Go mendongak tertawa gelak2. Ian ulurkan tangannya utuk meraba yanggut sinona,
lalu didongakkan. Begitu keempat mata saling beradu pandangan, berkatalah The Go :
„Lian-moay, kau anggap aku ini juga seorang siaojin yang rendah martabatnya bukan?
Huh, aku ini juga seorang yang memikirkan akan nasib saudara2 sebangsa!"
GAMBAR DIATAS
GAMBAR 18
Dibawah cumbu-raju The Go yang cakep ganteng,
Bek Lian menyadi kelelap dimabuk cinta.

Dalam bualan sianak muda yang pandai meraju itu, Bek Lian seperti diajun dalam sorga
ketujuh. „Betul?" tanyanya.
,,Kalau aku yang mengantar tentara Ceng, rahajat tentu takkan menderita kerusakan.
Tapi coba pikirkan, orang2 Thian Te Hui itu bagaikan kawanan burung2 yang hendak
membentur ber-laksa2- tentara pilihan Ceng yang bersenyata lengkap. Bukankah hal itu
berarti hendak 'mengadui telur dengan ujung tanduk' ? Bukankah hal itu akan memhawa
malapetaka bagi rakjat Kwiciu?"
Bek Lian merenung sejenak dan merasa bahwa ucapan sianak muda itu memang
beralasan juga. Maka sekalipun hatinya memperotes, namun ia tak mau mengutarakan.
Dalam batinnya, terbit perkelahian sendiri. Mengetahui sinona diam saja, The Go
menduga kalau perangkapnya berhasil, maka dia segera alihkan lagi pembicaraannya :
„Lian-moay, sejak kita bertemu di Giok-li-nia, hati kita segera saling berkesan, inilah yang
dibilang 'sekali lihat terus jatuh cinta'. "
Walaupun merdu sekali Bek Lian mendengar senandung asmara yang didendangkan
sianak muda itu, namun pura2 Giok Lian tarik lepas tangannya seraja berseru: „Bah,
siapa yang jatuh hati padamu?"
The Go tertawa riang, sahutnya: „Siapa? Siapakah yang jatuh hati kepada Cian-bin Long-
kun The Go? Tak lain siapa lagi kalau bukan sijelita yang ilmusilatnya tinggi, wajahnya
bagaikan bidadari yang bernama Say-hong-hong Bek Lian !"
Bek Lian betul'' dinina-bobokkan oleh rajuan asmara. Dalam gelak senyum sarinya madu,
kedua pemuda itu berpelukan lagi dengan mesranya. ,Lian-moay, kits, takkan berpisah
lagi bukan?" - Mendengar itu Bek Lian hanya mengangguk saja. „Lian-moay, mari kita,
lanyutkan perjalanan lagi," bujuk The Go.
,,Kemana?" tanya Bek Lian agak terperanyat. ,,Ke Hokkian!"
Setelah mengalami perjuangan batin sampai sekian saat, memang Bek Lian merasa tak
dapat berpisah dengan orang muda yang menyadi tambatan hatinya itu. Kalau tadi ia tak
berjumpa, spa boleh buat ia, terpaksa harus tunggu sampai hari Pesta Air (Pehcun) tahun
depan. Tapi karena kini sudah saling berjumpa, ditambah pula keduanya telah
mencurahkan isi kalbu masing2, kalau disuruh berpisah lagi, aduh, rasanya dunia ini
seperti berhenti berputar. Maka dengan menghela napas, achirnya meluncurlah
penyerahan bersjarat: „Kalau ketahuan ajah, bagaimana nanti?"
,,Mana dia bisa tahu? Taruh kata tahupun masakan kau maukan dia dan membuang
aku?"
,,Ah, aku maukan kau!" buru2 Bek Lian memutus kata2 sang kekasih.
The Go tertawa sejenak. Puas dia dengan kemenangannya.
Itulah pembaca! Kalau orang sudah dimabuk asmara. Lupa sudah akan ajaran orang tua
yang berbudi luhur, berwatak ksatrya seperti Ceng Bo Siangjin. Lupa sudah ia akan
kepatuhannya terhadap seorang ajah yang telah merawat, membesarkan dan
memanyakannya dengan lautan kecintaan. Ibarat matipun rasanya masih belum cukup
Bek Lian untuk membalas budi sang ajah itu.
Begitulah ringkasnya saja, The Go lalu memimpin Bek Lian diajak menuju kearah barat.
Bek Lian seperti patung yang tak mempunyai kesadaran pikiran sendiri.
ANTARA CINTA DAN BENCI

BAGIAN 5.3.

Begitu keluar dari rimba itu, se-konyong2 disebelah muka sana terdengar ada orang ber-
kata2. Anehnya, nada suara orang itu bukan orang lelaki bukan pula perempuan,
tajamnya sampai menusuk keanak telinga. Keduanya melengak, tak kira mereka kalau
disitu ternyata ada lain orang lagi. Teringat akan perbuatannya tadi, merahlah selebar
muka Bek Lian. Pada lain saat, kedengaran orang itu mengoceh sendiri : ,,Siapa?
Siapakah yang jatuh hati padaku si Pengemis Wajah Selaksa ini? Huh, kiranya dia itu
Say-ya-jat (Hantu malam) yang ilmu silatnya biasa saja, wajahnya jelek sekali !"
The Go teringat, dalam perjalanan tadi dia selalu dipermainkan orang. Seketika tampillah
kemurkaannya. Dia andalkan ilmu silatnya yang tinggi, apalagi dihadapan Bek Lian,
maka serentak membentaklah dia keras2 : ,,Siapakah yang dimuka situ? Main sembunyi
seperti setan itu, model orang persilatan mana?".
Orang itu tak marah, sebaliknya malah tertawa cekikikan. Dengan suara melengking
macam anying digebuk, berserulah dia : ,,At! Aku kan hanya mengatakan kalau si
Pengemis Wajah Selaksa saling jatuh cinta dengan Say-ya-jat, adakah itu
mengganggumu?"
Nada suaranya dart pelan menyadi makin nyaring. Malah frerkataan yang terachfr
„adakah itu mengganggumu?" itu, ,liucapkan dengan tekanan auara yang tinggi nadanya.
Menyusul dengan itu tiba2 sesosok tubuh melesat muncul, sehingga saking kagetnya The
Go lekas2 tank tangan Bek Lian inundur beberapa langkah. Ketika diawasi dengan
perdata, kiranya dia itu seorang lelaki yang dandanannya macam seMang pengemis.
Muka kotor penuh daki, tingkah lakunya rnenggelikan orang.
Bek Lian terkesiap, rasanya la kenal dengan wajah orang i tu. Ja, bukankah dia itu
siorang aneh yang ber-sama2 Yan-chiu tempur ketiga persaudaraan Chf ketika diatas
luitay itu? Oleh karena kesannya dalam pertandingan luitay itu siorang aneh tersebut
hanya berloncatan kian kemari dan sedikitpun tak mengunyukkan Ilmu kepandaian yang
mengagumkan, maka Bek Lian agak tak'memandang mata padanya. Sebaliknya mata The
Go yang lebih achli, segera mendapat tahu bahwa dari gerakan siorang aneh yang
sedemikian lincahnya tadi, dia segera mendapat kesimpulan bahwa yang
mempermainkan selama dalam perjalanan tadi, tentulah dianya. Maka siaplah dia
dengan kipas, seperti kalau dia sedang berhadapan dengan seorang musuh yang
tangguh.
Begitu munculkan diri, orang aneh itu hanya mengawasi saja kepada Theo Go dan Bek
Lian, dari ujung kaki sampai keatas kepala. Sikapnya tampak kurang senang. Kini dia
kelihatan maju menghampiri kedekat Bek Lian. Bek Lian dan Yan-chiu berlainan
perangainya. Bek Lian angkuh, Yan-chiu peramah. Melihat orang itu mesum dengan
kotornya, Bek Lian agak merasa jijik. Tiba2 orang aneh itu mendongak tertawa: „Aii,
mengapa melihat Ban-bin Kiau-hua (Pengemis Berlaksa Wajah) lantas jemu, tapi
memandang Cian-bin Long-kun (Si jejaka Wajah Seribu) merasa senang.
Diam2 The Go mendapat kesan, walaupun orang itu sikapnya seperti orang tak waras,
tapi ilmunya mengentengi tubuh sakti sekali, jadi tentunya seorang cianpwe dalam dunia
persilatan. Maka dengan serta merta dia menyurah untuk memberi keterangan: „Ban-bin
Kiau-hua, kami berdua sedang mempunyai urusan penting, kalau sekiranya cianpwe
tiada akan memberi pengunyukan apa2, silahkan lanyutkan perjalanan."
„Aii, kau mempunyai urusan? Jalan saja, siapa yang menghalangimu. Aku hanya hendak
mengatakan disini, bahwa diseberang tepi sungai utara sana, aku melihat ada seorang
imam tua tengah2 ber-lari2 seperti dikejar setan. Hal itu, nanti hendak kuceritakan pada
Say-ya-jat-ku. Siapakah yang menghadang perjalananmu?"
Betapapun pandainya The Go berputar lidah, tapi saat itu dia bungkam dalam seribu
bahasa. Benar juga orang itu tak menghadang jalannya, maka legahlah hati The Go. Tapi
Bek Lian berdebar hatinya. Yang dimaksudkan dengan seorang imam tua oleh orang aneh
tadi, tentulah ajahnya. Teringat seketika itu, bahwa dia ditugaskan oleh sang ajah untuk
menghalangi perginya The Go ke Hokkian. Tapi ternyata sekarang ia malah ikut serta
dengan anak muda itu.
Ah, bagaimana nanti dia akan mengatakan pada, sang ajah? „Tunggu aebentar!" katanya
serentak.
„Tunggu apa lagi?" tanya The Go.
„Ajahku ……. dimana imam tua itu sekarang?" tanya Bek Lian kepada siorang aneh.
Orang itu dongakkan kepalanya melihat kelangit, ujarnya: „Entahlah, aku tak tahu. Tapi
kalau kau mau balik mencarinya, tentu ketemu."
Seketika itu terkilaslah dalam hati Bek Lian untuk bersuit panjang memberitahukan
pada sang ajah, agar The Go yangan sampai mengundang tentara musuh. Tapi terkilas
pula lain suara hatinya, bahwa begitu sang ajah datang, sudah tentu akan bertempur
dengan The Go. The Go tentu bukan tandingan sang ajah, Taruh kata bisa lolos, baginya
pun sukar lagi untuk bertemu dengan anak muda itu. Memikir sampai diaini, diama is,
mencuri lihat kewajah sang kekasih, siapa nampaknya juga gelisah tengah
memandangnya. Dalam pertentangan batin yang hebat itu, achirnya suara sang hatilah
yang menang, katanya: „Engkoh Go, mari kits, jalan la,gi!"
Tadi The Go sudah gelisah, kini girangnya bukan terkira. Tapi siorang aneh itu
kedengaran menghela napas panjang, katanya: „Kalau Tuhan yang menyelmakan
sidurjana, dia masih berhak hidup. Tapi kalau orang yang menyelma jadi durjana, dia
tak harus hidup. Nona, ingatlah kata2ku hari ini !"
Habis berkata begitu, siorang aneh itu dengan pe-lahan2 ajunkan langkahnya.
Nampaknya saja berjalan pe-lahan2 tapi toh dalam sekejab mata saja, dia sudah tak
nampak dari pemandangan. The Go legah sudah hatinya, walaupun ada sedikit halangan
namun tampaknya urusan akan berhasil baik. Dengan girang dicekalnya tangan sinona
erat2. „Lian-moay, malam ini kita, bersatu dan selanyutnya takkan berpisah untuk se-
lama2nya."
Bek Lian seperti orang mabuk arak. Benar kata2 orang aneh itu menyajat hatinya, tapi
hanya sekejab saja, hilang tertiup angin. Menatap kearah The Go, dia tampak kemalu2an,
tapi hatinya merasa bahagia sekali. Begitulah dengan bergandengan tangan, kedua
muda-mudi itu ber jalan kearah barat.
Selama dalam perjalanan itu, masing2 seperti tak mau berpisah satu sama lain.
Walaupun demikian, dalam kebatinan masing2 tengah mempunyai lamunan sendiri. The
Go melamun, Li Seng Tong congpeng dari pimpinan tentara Ceng itu kabarnya pandai
memakai orang. Dia sendiri serbaguna (pandai silat pandai sastera), tentu akan
mendapat kedudukan yang setimpal. Dia tentu dapat mendirikan pahala, achirnya
mendapat pangkat tinggi. Hari kemudiannya gilang gemilang, dapat pangkat dapat isteri
cantik. Hm, betapakah nikmatnya penghidupan ini. Demikian pikirannya.
Sedang Bek Lian tetap masih terkenang akan ajahnya. Tapi demi melihat The Go itu
orangnya pandai bermain senyum, cakap merangkai kata2, sikapnya begitu menyinta
dan senantiasa penuh dengan kasih mesra, terhiburlah hati Bek Lian. Maka selama
dalam perjalanan sejauh itu, iapun tak merasakan capai.
Baru ketika matahari terbit dari sebelah timur, mereka saling lepaskan tangan, karena
merasa likat kalau dilihat orang.
Setelah melalui kota Tang-wan, kemudian Hui-ciu, besoknya siang mereka memasuki
daerah gunung Hoa-san. Daerah itu terletak di sebelah timur dari Kwitang, sangat luas
sekali. The Go tahu bahwa didaerah situ banyak sekali orang2 „keras" (achli persilatan)
yang keluar masuk. Tapi jakin akan kepandaiannya sendiri. The Go tak kuatir. Untuk
memburu perjalanan, malam itu tak mau dia beristirahat. Hari itu adalah tanggal 13
bulan 11, jadi rembulan mengunyukkan wajahnya yang penuh. Memasuki sebuah rimba,
mereka berdua ber-gegas2 menempuh perjalanan.
Selama dalam perjalanan sehari semalam itu, makin tetap hati Bek Lian bahwa
pilihannya kepada The Go itu, tak salah. Dan dengan seni-rajuannya yang lihay,
berhasillah The Go merebut betul2 hati sijelita itu. Tiba2 terasa ada angin meniup dan
dilangitpun tampak tebaran awan hitam, menutup rembulan. Dalam suasana yang
segelap itu, Bek Lian agak jeri dan makin menempel sang kekasih rapat. Berjalan tak
berapa jauh, awan dilangit makin tebal, malah disekitar situ hawanya lembab, agaknya
turun kabut. „Lian-moay, rupanya kita terpaksa harus beristirahat," kata The Go.
Bagi Bek Lian, kemana saja asal bersama The Go, la menurut saja. The Go sulut api
untuk menyuluhi disekitar teminit situ. Kebetulan tak jauh dari situ tampak ada sebuah
goa besar yang tentunya tidak ditinggali oleh bangsa binatang buas. Kesanalah The Go
ajak Bek Lian. Karena suasana sangat gelap dan berhubung perjalanan masih jauh The
Go tak mau boroskan api, maka dengan susah pajah ahirnya dapatlah mereka mencapai
goa itu. Saking kurang tidur dan keliwat lelah, maka begitu masuk kedalam goa, Bek Lian
terus menerus menguap. „Lian-moay, kau tidurlah disini, besok terang tanah kita
lanyutkan perjalanan lagi," kata The Go.
„Engkoh Go, kalau aku tidur, yangan kau nanti tinggalkan aku !"
„Biarpun leherku dipanggal, aku tentu tak mau berpisah denganmu," The Go tertawa
menghibur. Bek Lian puas hatinyanya, tak antara lama tidurlah ia dengan nyenyaknya
dipanggiran sianak muda.
The Go jakin dalam suasana segelap itu, tentu takkan ada hinatang buas keluar
berkeliaran, maka diletakkannya kepala sinona keatas tanah, karena dia sendiripun
kepingin tidur, tapi pada lain saat dia batalkan niatnya itu, karena kuatir yangan2 Bek
Lian terbangun dan nantinya akan marah hingga membikin gagal urusan. Maka terpaksa
dia duduk didekat situ saja.
Tapi baru dia duduk agak tenang, atau tiba2 terasa ada sesuatu yang luar biasa. Alat
pendengaran dan penglihatan dari seorang yang mejakinkan ilmu silat, tentu tajam
sekali. Sewaktu masih dalam kandungan, ajah The Go sudah meninggal. Ajah dan ibunya
itu adalah murid2 kesayangan Ang Hwat cinyin dari gereja Ang Hun Kiong. Begitu
mengetahui dirinya mengandung, ibunya lalu menyalurkan lwekangnya untuk
memperkuat tubuh sang anak. Maka, tak heranlah kiranya, dalam usia baru 24 tahun
saja, The Go itu sepertinya sudah mempunyai pejakinan ilmu silat selama 24 tahun,
karena disebabkan begitulah halnya.
Pada saat itu dirasanya dalam goa situ terdapat seseorang lagi. Betapapun halusnya
pernapasan orang itu, namun tertangkap juga oleh alat pendengarannya. Bermula
dipikirnya kalau hembusan napas Itu dari Bek Lian, tapi sewaktu diperiksa kedekat
hidungnya, ternyata bukan. Sudah tentu terperanyat The Go sukar dilukiskan. Dapat
masuk kedalam goa tanpa diketahui orang yang berada disitu, adalah suatu kepandaian
yang luar biasa. Ah, yangan2 siorang aneh itu lagi yang mengadu biru. Maka The Go tak
berani bergerak atau menyulut apinya, melainkan menantikan perkembangan lebih
lanyut.
Tak berapa lama, kedengaran orang itu makin mendekati, seperti tengah berlarian dalam
goa sebelah tengah sana. Tapi anehnya, sedikitpun tak terdengar suaranya apa2. Sampai
disitu, timbullah rasa takut dihati The Go. Adakah betul2 yang disebut setan rimba itu
benar ada? Karena seorang achli yang bagaimanapun hebat ilmunya mengentengi tubuh,
tapi tetap akan kedengaran derap kakinya, meskipun betapa halusnya. Dirangsang oleh
rasa takut, dengan hati2 sekali The Go beringsut beberapa langkah dari tempat Bek Lian
tidur, namun „setan" itu agaknya dapat juga mendengar gerakannya itu, karena dengan
se-konyong2 diapun berhenti diam.
The Go menyadi jengkel. Dia sedang melakukan tugas penting, se-kali2 tak boleh terhenti
disitu. Karena bukan saja impiannya akan kosong, malah kalau ketemu dengan musuh
tangguh, salah2 dia nanti terkubur digunung belantara situ. Memikir akan kepentingan
diri sendiri, rasa cintanya terhadap Bek Lian menurun beberapa derajat. Maka dengan
ber-ingsut dia bergerak beberapa tindak lagi, jaraknya makin jauh dari Bek Lian.
Bagi orang yang bersalah tentu ada2 saja gangguan perasaannya. Se-konyong2 dilihatnya
diantara kegelapan tempat situ berkelebat sebuah sinar terang. Menurut perasaannya,
itulah tentu pancaran sinar dari sepasang mata Bek Lian. Tapi ketika diawasinya dengan
seksama, ternyata tak ada apa2 kecuali kegelapan malam. Diam2 dia memaki dirinya
sendiri: „The Go, The Go! Pantaskah kau hendak tinggalkan ia?" Pertanyaan itu
dijawabnya sendiri : „Seorang juwita yang begitu cantik, walaupun dunia ini lebur, tapi
sukarlah dicari keduanya. Ah, tak pantaslah kalau meninggalkannya!"
Tapi pada lain saat, terkilas pula lain pikiran dan berian jalah dia kepada dirinya: „Hai,
The Go! Kalau kau sendiri berparas cakap, sekalipun gadis itu lebih cantik dari ia
sekarang, apakah gunanya bagimu? Pepatah mengatakan : asal masih ada gunung yang
hijau, masa takut tak ada kaju bakar. Apakah betul2 dunia ini hanya sedaun kelor saja,
tiada lain gadis cantik yang melebihi itu?"
Pertentangan hebat terjadi dalam batinnya. Lewat beberapa saat, dia tertawa sendiri: „Ah,
suara napas tadi begitu Iemahnya, terang bukan dari orang tapi dari binatang kecil.
Mengapa aku ketakutan setengah mati sendiri, gila aku ini!"
Dari alam pikiran orang she The itu, terang sudah kalau dia itu hanya mengutamakan
kepentingan diri sendiri. Cinta? Ah, tahulah baginya. Cinta hanyalah semacam pakaian,
yang sembarang waktu boleh dibuang kalau sudah jemu. Kasihan Bek Lian, nona cantik
yang bernasib malang itu, karena jatuhnya pilihannya ditempat yang keliru. Untuk itu.
kelak ia akan menebus dengan penderitaan yang hebat!
Dengan anggapannya tadi, The Go kembali kedekat Bek Lian lagi dan coba meramkan
matanya untuk tidur. Tiba2 dari luar gua ada serangkum angin malam meniup masuk.
Angin itu terasa dingin sekali sampai menusuk kedalam hidung. Dengan ter-sipu2 buru2
The Go hendak menyingkir kesamping, tapi saking gugupnya bajunya telah kecantol
(terkait) pada ujung batu gua yang runcing, hingga robek sampai setengah bagian. Suara
baju robek itu, dalam kegelapan suasana malam yang sunyi, telah menerbit kumandang,
yang keras. Cepat2 The Go bersiap dengan kipasnya, tapi sampai sekian saat tak terjadi
suatu apa. Malah pada saat itu terdengarlah Bek Lian menggeliat seraja menggigau daIam
mimpinya: „Engkoh Go, yangan tinggalkan daku!"
Dengan tiupan angin yang meruntuhkan nyalinya tadi, The Go makin keras dugaannya,
kalau didalam gua situ tentu terdapat seorang lihay yang berilmu tinggi. Entah kawan
entah lawan. Dengan gunakan kepandaiannya mengentengi tubuh, hati2 sekali dia
mondar-mandir didalam situ, untuk coba2 memancing apakah orang ketiga itu dapat
mendengarnya. Sampai sekian saat ternyata tidak terjadi perobaban apa2. Tapi kini jelas
didengarnya, kalau suara napas orang itu berada didekat Bek Lian tidur.
Buru2 dia menghampiri ketempat Bek Lian yang terletak didekat mulut gua. Se-konyong2
serangkum angin malam menyerang lagi kearah mukanya. Malah samar2 dilihat ada
sesosok bayangan berkelebat. Dari perawakannya, orang itu bukan seperti siorang aneh
tempo hari itu. Kini The Go tak sangsi lagi. Begitu kipas digerakkan, secepat kilat terus
ditutukkan kearah jalan darah yu-bun-hiat dari bayangan hitam itu.
Diluar dugaannya, sebat sekali bayangan hitam itu menghindar terus melesat
kebelakangnya. Buru2 The Go putar tubuhnya, tapi kalah cepat. Rambutnya telah
dijambak oleh sebuah tangan yang kuat dan terdengarlah suara seorang wanita
menghardiknya: ,Siapakah nona itu?"
Nada suaranya itu seperti menembus pecah anak telinga The Go, siapa dengan sebatnya
terus memutar tubuh untuk melepaskan jambakan orang itu. Tapi wanita itu bagaikan
bayangan saja, selalu lebih cepat dapat berada dibelakangnya, malah perkeras juga
jambakannya. Tahu akan kelihayan orang, serta merta The Go membuka mulutnya:
„Locianpwe sukalah kendorkan pegangan, ia adalah kekasihku."
,,Hm," wanita itu tertawa dingin. „Siapakah namanya?"
Pikiran The Go bekerja. Kalau sekiranya wanita itu terikat permusuhan dengan keluarga
Bek Lian, bukankah dirinya sendiri nanti akan celaka? Ah, mengapa tadi dia berterus-
terang mengatakan Bek Lian itu kekasihnya! Karena kesangsiannya itu, dia agak berajal
memberi penyahutan dan tahu2 lengannya kiri telah dicengkeram oleh tangan siwanita.
Sakitnya bukan kepalang seperti dijepit besi. Buru2 dia empos semangatnya untuk
bertahan.
,,Lekas bilang, siapakah namanya?" bentak siwanita itu dengan bengisnya.
,,Ia orang she Bek namanya Lian, puteri dari Ceng Bo siangjin!" The Go tak berlaku ajal
lagi.
,,Siapakah Ceng Bo siangjin itu?" tanya siwanita pula. ,,Tokoh yang pada 10 tahun
berselang menggetarkan dunia persilatan dengan nama Hay-tee-kau. Ceng Bo Siangjin
adalah namanya setelah dia menyucikan diri menyadi Imam."
Wanita itu melengak sejenak, cengkeran2nya pads Iengan The Go pun dikendorkan,
kemudian mulutnya kedengaran kemak-kemik berkata sendiri : „Hay-te-kau, hoan-kang-
to-hay (nama iimu pedang), kini tiba2 menyadi Ceng Bo siangjin, jadi berarti dia sudah
tak menghiraukan peristiwa 'hoan-kang-to-hay' (membalik sungai menyungkirkan Iangit)
yang lalu lagi."
Tak tahu The Go apa yang dikatakan oleh wanita itu. Yang diperhatikan, adalah
cengkeram wanita itu sudah kendor, maka sekali meronta dapatlah dia terlepas sama
sekali dari cengkeram besi itu, enyot tubuhnya terus melesat satu tombak jauhnya.
Gerakan The Go itu amat cepat sekali, tapi siwanita lebih cepat lagi. Belum kaki si The
Go menginyak tanah, atau begitu ada angin menyamber, dia rasakan pinggangnya
dicengkeram orang, sehingga hampir saja dia ter-hujung2 jatuh kemuka. Dengan
sigapnya dia bangun, tapi pinggangnya tetap tercengkeram oleh siwanita.
The Go mengeluh dalam hati. Sjukur cengkeram wanita itu tak keras, jadi hanya ingin
menahannya saja, tak bermaksud membunuhnya. The Go yang cerdik segera dapat
mengetahui maksud orang. Nyalinyapun timbul lagi. „Locianpwe, apakah hendak
memberi pengunyukan padaku?" tanyanya dengan lantas,
„Siapakah kau ini?"
„Aku yang rendah ini bernama The Go, cucu murid Ang Hwat cinyin dari gereja Ang Hun
Kiong," sahutnya.
Diluar dugaan The Go, wanita itu segera berkata: „Akupun pernah bertemu dengan
beberapa murid dari Ang Hwat cinyin. Kau mengaku menyadi cucu muridnya, mengapa
kepandaianmu sebagus itu?" ,
Kiranya wanita itu adalah seorang cianpwe yang berilmu tinggi. The Go sesalkan dirinya
tadi mengapa telah mengeluarkan kepandaian, hingga dapat dikenal oleh wanita Itu.
„Hopwe (aku yang rendah) karena mengetahui berbakat jelek, lalu belajar dengan rajin,
sehingga dapat lebih maju dari lain saudara seperguruan."
Wanita itu tertawa, ujarnya: „Kau tidak tolol tapi cerdik sekali!"
Mendengar nada ucapan siwanita itu tak mengandung maksud jelek terhadap dirinya,
legahlah hati The Go.
,,Mengapa kau dengan Lian……… gadis she Bek itu bersama2?" tanya siwanita pula.
Belum lagi The Go menyahut, atau disana Bek Lian sudah terbangun. Karena tak
didapatinya The Go berada disamping situ, bertereaklah gadis itu: „Engkoh Go, kau
berada dimana?"
„Lian-moay, aku berada disini, yangan takut!"
„Engkoh Go, kemarilah, aku tak dapat melihat kau," kembali Bek Lian menereaki. The
Gopun segera mengiakan, tapi karena pinggangnya dicengkeram siwanita, terpaksa dia
tak dapat bergerak. Tengah dia bingung apa yang harus diperbuat, tiba2 siwanita itu
kedengaran berbisik: „Kalau kau sanggupi dua hal yang kuajukan, akan kulepaskan!"
„Apakah itu?" tanya The Go dengan kegirangan. Tapi ternyata percakapan itu dapat
didengar juga oleh Bek Lian, siapa lalu buru2 bertanya: „Engkoh Go, kau ber-cakap2
dengan siapa itu ?"
Baru The Go hendak menyahut, tiba2 terasa pinggangnya dicengkeram makin kencang
dan segera kedengaran siwanita berkata:
„Pertama, kalau kau berani mempermainkan nona Bek, meskipun kau sembunyi keujung
dunia, tentu tetap akan kucari untuk mencabut jiwamu. Kedua, se-kali2 kau tak boleh
mengatakan pada lain orang bahwa kau bertemu dengan aku ditempat ini. Sekalipun
nona Bek itu juga tak usah tahu. Mengerti?"
The Go anggukkan kepalanya, dan wanita itu lepaskan cengkeramannya. Hanya seperti
kelebat bayangan saja The Go melihatnya, atau wanita luar biasa itu sudah menghilang
lenyap.
„Engkoh Go, mengapa kau belum kemari ?" Bek Lian berseru lagi. Atas itu, ber-gegas2
The Go menghampiri. Ternyata disitu Bek Lian masih berbaring ditanah. Ah, gelap nian
tempat itu, betapa enaknya kalau berbaring juga disitu pikir The Go yang terus segera
duduk disamping sinona, sembari tangannya merabah pipi orang. „Kau kenapa?" „Ah,
aku bermimpi," sahut Bek Lian setelah termenung sekian saat.
„Mimpi bertemu siapa?" tanyanya menggoda. Juga sampai sekian saat Bek Lian diam
dulu, baru kemudian berseru dengan mengkal: „Huh, tak perlu tahu !"
,,Ha, ia tentu bermimpi ketemu dengan aku," pikir The Go. Siapa lalu menggodanya lagi:
„Kutahu sudah !" „Tahu apa?"
„seorang yang cakap yang selalu dikenang dalam kalbu, bukan?" kata The Go dengag
pelan dan atas itu pecahlah ketawa dari mulut sinona yang mungil, siapa terus bangkit
menuju keluar goa. Karena kala itu cuaca sudah terang, maka Bek Lian pun segera terus
berjalan kemuka.
Walaupun selama dalam perjalanan itu, dua kali The Go. berjumpa dengan dua orang
aneh yang telah membuat terkejut dan mempermainkannya, namun dengan sudah
mendapatkan hati sijelita itu, puaslah sudah hatinya. Keesokan harinya, tibalah mereka
di Hokkian. Tapi apa yang dilihatnya, disepanjang jalan sungguh membuat mereka
terkejut. Laki2 dan perempuan2 sama ber-bondong2 menuju ketimur. Kiranya meskipun
tentara Ceng belum resmi masuk ke Kwitang, tapi sudah ada sementara kerucuknya yang
mengganas diperbatasan, merampok harta benda rakjat, mencemarkan orang2
perempuan dan lain2 perbuatan se-wenang2. Pembesar2 pemerintah Beng setempat
siang2 sudah angkat langkah seribu. Begitu karena tak berdaja, rahajat sama ber-dujun2
mengungsi kearah timur.
Melihat pemandangan itu, Bek Lian merasa kurang senang, sebaliknya The Go buru2
mengatakan: „Lian-moay, mari kita lekas2 bertindak. Begitu tentara Ceng sudah masuk
kewilajah Kwitang, rahajat tentu takkan menderita lagi."
Bek Lian kena diomongi manis. Tak berapa lama kemudian mereka masuk kewilajah
Hokkian. Melihat kedatangan The Go yang minta menghadap Li tayjin, salah seorang
opsir Ceng segera memberikan dua ekor kuda untuk mengantarnya ke Hokciu.
Dengan tiada halangan suatu apa, dibawalah The Go menghadap Li Seng Tong congpeng.
The Go segera serahkan surat peribadi dari Ko Tiau Cian. Habis membaca, Li Seng Tong
segera menanyai lebih lanyut dan The Gopun memberi keterangan: „Li tayjin, asal Kwiciu
sudah jatuh, fihak Lam Beng tentu akan kocar-kacir, dan dengan mudah tayjin tentu
akan dapat menduduki Kwitang."
Li Seng Tong sebenarnya adalah pembesar militer dari kerajaan Beng. Karena pemerintah
Beng pada waktu itu sangat korup, sana sini main sogok jual beli kenaikan pangkat,
maka dia merasa putus asa untuk menanyak ketempat yang tinggi. Ketika tentara Ceng
menyerang wilajah Beng, dengan hanya mempunyai beberapa ratus serdadu tua dan
lemah, dia telah mempertahankan daerah Tongkwan dengan gigih sekali, sehingga
berhasil memukul mundur fihak penyerang. Pemerintah Ceng terperanyat. Mereka
menduga disitu tentu terdapat seorang jenderal pandai, maka dengan berbagai jalan
achirnya dapatlah achli perang yang cemerlang itu ditangkap hidup2an. Dengan cara
halus, Li Seng Tong dapat dibujuk untuk menakluk dan malah diangkat menyadi
congpeng (panglima perang) Kerajaan Ceng. Benar juga pilihan pemerintah Ceng itu tepat
sekali. Li Seng Tong seorang panglima yang pandai sekali menggunakan tentara, achli
strategi yang jempol. Berkat kecerdasannya, daerah demi daerah dapat diduduki dan
achirnya masuk ke Hokkian dan kini tengah merencanakan penyerbuan ke Kwitang dan
Kwisay.
Dia setuju atas keterangan The Go. Cepat dia serahkan 300 tentara pilihan pada The Go
untuk menyerang Kwiciu. Kepada The Go dia memberi pujian hangat dan menyanyikan
kedudukan tinggi apabila kedua wilajah itu berhasil didudukinya. The Gopun segera
bertindak cepat. Dia suruh ke 300 tentara pilihan itu menyamar menyadi anak kapal,
sedang dia bersama Bek Lian menyaru menyadi saudagar kaja. Rencana The Go, jalah
hendak gunakan jalan diair menyerang Kwiciu, itu tentu tak dapat diketahui musuh.
Sebagai bajak dari Laut Selatan, sudah tentu mahir sekali The Go dalam urusan
pelajaran. Dalam sehari semalam saja, perahunya sudah tak jauh dari tempat yang
dituju. Kira2 satu setengah hari lagi, tentu akan sudah tiba di Kwiciu.
Kala itu lamunan The Go meninggi langit. Berdiri tegak diatas geladak, dia jauh
memandang kemuka laut, mulutnya tak putus2nya memberi aba2 atau bersuit keras,
sikapnya garang sekali, se-olah2 dunia ini dia yang punya. Sedang Bek Lian yang berdiri
disamping, merasa bahwa sang kekasih itu benar2 seorang muda yang gagah perwira.
Makin bahagialah perasaan nona itu.
Selagi kedua anak muda itu memberi komando pada awak kapal, sembari diseling dengan
gelak ketawa riang, tiba2 The Go berteriak kaget: „Astaga, aneh !"
,,Ada apa engkoh Go?" tanya Bek Lian. Tapi sebaliknya dari menyahut, The Go cepat
berpaling kebelakang seraja bertereak memanggil: „Po tayjin!"
Yang dipanggil Po tayjin itu, adalah pemimpin dari ke 300 tentara pilihan itu. Namanya
lengkapnya jalah Po Tho, seorang Boan. Pertama kali melihat bagaimana serdadu2 Ceng
itu sama memelihara kuncir, lelaki tidak perempuan bukan, Bek Lian menyadi geli. Tapi
demi membayangkan, bahwa nantinya apabila tentara Ceng sudah menduduki Kwitang,
The Go dan semua orang lelaki juga akan memelihara rambut begitu, hati Bek Lian
merasa sedih. Tapi kesedihan itu bagaikan awan tertiup angin, apabila ia membayangkan
kebahagiaan hidup disamping orang yang dikasihi itu.
Kala itu ke 300 serdadu Ceng itu sama menyaru menyadi penumpang kapal, kuncirnya
sama digelung. Tapi Po Tho sendiri yang tak mau berbuat begitu. Namun The Go terpaksa
mengalah juga, karena dia masih memerlukan tenaga orang itu. Pada saat The Go
memanggil tadi, Po Tho tengah menikmati pipa huncwe (pipa bambu). Oleh karena telah
dipesan oleh panglima (Li Seng Tong), Po Tho tak berani berlaku ajal, lalu buru2
menghampiri datang, serunya: „The tayjin, ada apa?"
,,Lekas perintah dua perahu kita yang berada dibelakang itu supaja kemuka, yangan
terlalu ketinggalan jauh, mungkin bakal terjadi peristiwa."
Po Tho lakukan perintah itu.
„Engkoh Go, ada kejadian apa?" Bek Lian ulangi pertanyaannya yang belum terjawab
tadi.
„Tu lihatlah!" seru The Go menunyuk kemuka.
Bek Lian memandang kearah yang ditunyuk The Go. Memang jauh disebelah muka,
diantara gelombang laut yang ke-biru2an, tampak ada setitik benda hitam ber-ajun" naik
turun. Karena tak mengetahui adanya hal itu, Bek Lian memandang The Go. „Tu lihat
lagilah!" seru The Go.
Begitu Bek Lian memandang kemuka lagi, kini benda kecil itu ternyata sudah makin
mendekat, bagaikan sebatang pelepah pisang besar. Makin dekat, nyata bukan perahu
melainkan sebatang dahan kaju yang masih penuh dengan daun. Rupanya dahan itu
begitu dipotong terus dilemparkan kedalam laut, digunakan sebagai perahu. Tapi itu
sajah masih belum mengherankan, karena yang paling aneh jakni ternyata batang dahan
puhun itu dinaiki oleh seorang yang tegak berdiri diatasnya. Massa Allah! Batang kaju
itu bulat bentuknya, jadi timbul tenggelam saja didalam air, tapi toh orang itu dapat
menaikinya dengan laju sekali menghampiri datang kearah perahu The Go.
Dapat berdiri dengan kokohnya diatas batang kaju bulat yang terapung didalam air, bagi
The Go yang berpengalaman luas segera mengetahuinya, bahwa orang itu tengah
menggunakan ilmu cian-kin-tui (tindihan seribu kati). Tapi dapat menggunakan ilmu
cian-kin-tui sedemikian lihaynya itu, juga jarang terdapat dalam kalangan achli
persilatan.
Oleh karena dihembus angin, maka perahu The Go pun dapat berjalan dengan laju sekali.
Demi dapat melihat jelas siapa yang berlajar dengan batang dahan puhun tadi, seketika
pucatlah wajah The Go. „Astaga!" serunya dengan tertahan. Juga Bek Lian pun segera
mengenal orang yang berbaju dan topi bintang serta menyekal sebilah tiang-kiam itu
ternyata bukan lain ialah ajahnya sendiri. Serasa terbanglah semangat Bek Lian
dibuatnya.
Tengah kedua orang itu gelisah, batang puhun itu telah maju membentur badan perahu.
„Lian-moay, bersembunyilah kebawah ruang kapal sana!" The Go menyuruh Bek Lian,
siapa pun sudah terus hendak melakukan anyuran itu. Tapi baru hendak melangkah
turun kebawah, atau orang yang berada diatas batang puhun tadi kedengaran berteriak
keras, sehingga Bek Lian menyadi tertegun sesaat. Menyusul dengan benturan tadi, anak
perahu menyadi gempar. Ada yang menyerit2 mengatakan perahunya bocor, ada yang
menyerukan ajah ibunya, ja pendeknya keadaan di perahu situ menyadi panik. Orang2
sama berebutan naik ketangga tali untuk memanyat keatas kedua perahu yang
disebelahnya.
The Go tak sempat meneriaki mereka supaja tenang, karena pada saat itu, melesat
sesosok tubuh kehadapannya. Itulah Ceng Bo siangjin dengan pedang terhunus tegak
berdiri di-tengah2 The Go dan Bek Lian. Melihat sang ajah, sesaat lupalah Bek Lian akan
perbuatannya dalam beberapa hari ini, maju selangkah ia berseru memanggil: „Tia,
kau…………"
Belum achir kata „datang" diucapkan, Bek Lian segera mendapatkan bahwa wajah sang
ajah ketika itu tampak bengis sekali, sehingga saking takutnya Bek Lian tak jadi
mengucap kata2nya yang terachir, terus mundur selangkah tak berani membuka mulut
lagi.
Sepasang mata Ceng Bo siangjin, memancarkan sinar ber-api2. Tanpa disadari, Bek Lian
segera menggeser kedekat The Go, sehingga kini keduanya berdiri berjajar. Yang satu
seorang gadis cantik jelita, yang lain seorang pemuda cakap garang, sepintas pandang,
memang merupakan suatu pasangan yang setimpal. Tapi bagi Ceng Bo siangjin yang
sudah dirangsang oleh api kemarahan karena mengetahui puterinya telah berbuat begitu
rendah, kiranya sudah lupa akan segala apa.
Sebelum melanyutkan apa yang bakal terjadi diatas geladak itu, marilah kita tengok lebih
dulu mengapa Ceng Bo dengan se-konyong2 bisa muncul disitu itu. Kiranya setelah
sampai terang tanah, dia tak dapat menemukan jejak The Go, maka dia mulai bersangsi
dan kuatir akan diri Bek Lian. Kalau betul orang she The itu mengambil jalan ditepi
sungai yang sebelah utara situ, biar bagaimana cepatnya dia berjalan, tapi kalau dia
(Ceng Bo) mengejar sampai semalam suntuk tentu akan dapat menyusulnya. Yangan2
orang itu mengambil jalan ditepi sungai yang sebelah sana. Tapi mengapa Bek Lian tak
memberi pertandaan ? Diam2 dia mengeluh, yangan2 puterinya mengalami hal2 yang tak
terduga.
Maka dengan gunakan ilmu istimewa „teng ping tok cui", dia melintas sungai. Kalau itu
waktu setelah melintasi sungai, dia terus mengejar kearah timur, pasti akan dapat
mencandak kedua orang itu. Tapi karena tak menduga bahwa puterinya akan berbuat
semacam itu dengan orang buronannya, maka Ceng Bo lebih dahulu mengejar kearah
barat. Baru setelah disana tak menemukan jejak apa2, dia balik mengejar kearah timur.
The Go dan Bek Lian memiliki ilmu berjalan cepat yang lumajan. Dengan penundaan tadi,
begitu Ceng Bo balik ketimur, The Go dan Bek Lianpun sudah tiba di Hokkian, terus
berkuda menuju ke Hokciu.
Tiba di Hokkian, Ceng Bo kaget demi mendengar pembicaraan dari salah seorang penyaga
pintu kota, bahwa ada seorang gadis cantik bersama seorang pemuda cakap masuk
kekota situ. Dalam dandanannya sebagai seorang imam, Ceng Bo menanyakan hal itu
kepada sipenyaga, siapa karena mengetahui bahwa tentara Beng sudah ngacir pergi jadi
tentunya mustahil akan ada mata2 musuh, lalu menceritakan tentang keadaan kedua
pemuda pemudi (The Go dan Bek Lian) tadi. Saking marahnya, hampir2 saja Ceng Bo
terjungkal rubuh. Tanpa menghiraukan bahwa kala itu adalah pada waktu siang hari,
dia segera enyot tubuhnya dan dalam sekejab saja sudah melesat jauh sekali. Hal mana
telah membuat penyaga itu menyadi terlongong2 karena mengira kalau imam lawan
bicaranya tadi adalah seorang dewa yang turun kedunia!
Bagaikan terbang, Ceng Bo menuju ke Hokciu. Dia segera menyirepi kabar kegedung
congpeng, tapi pada waktu itu (siang hari) tak berhasil mendengar berita apa2. Malamnya
dia lakukan penyelidikan lagi kesitu dan baru mengetahui bahwa The Go sudah
berangkat menuju ke Kwiciu dengan membawa sepasukan tentara Ceng pilihan.
Ceng Bo cukup menginsjafi, bahwa Kwiciu itu adalah pusat jantung propinsi Kwitang.
Kalau Kwiciu jatuh, Kwitang tentu tak dapat dipertahankan lagi. Malam itu juga dia ber-
gegas2 menuju ketepi laut. Tapi disitu dia tak dapat menemui sebuah perahu pun juga.
Semangatnya semasa muda timbul lagi.
Dengan mengeluarkan kekuatan sakti, dia berhasil dapat mencabut sebatang puhun
sampai ke-akar2nya. Batang puhun itu dilemparkan kedalam laut, lalu dia loncat berdiri
disitu. Dengan lwekangn ja yang aakti, dia meluncur ketengah laut, laju bagaikan
sebatang anak panah terlepas dari busurnya.
Didalam gelombang laut yang naik turun itu, batang puhun yang bulat bentuknya itu
turut diajun tinggi rendah, timbul tenggelam. Betapa saktinya ilmu kepandaian Ceng Bo,
namun tak kuasa juga dia menguasai perahunya yang istimewa itu. Tapi meskipun
demikian, batang kaju itu dapat meluncur lebih pesat daripada perahu rombongan The
Go. Tak antara berapa lama kemudian, Ceng Bo segera tampak adp, 3 buah perahu besar
berlajar kearah tempatnya. Salah sebuah perahu besar itu, tampak ada dua orang muda
mudi tengah berdiri diatas geladak. Tak salah lagi itulah The Go dan puterinya yang
„manis" itu.
Bahwa The Go dapat melakukan perbuatan chianat itu, memang sudah diduga oleh Ceng
Bo. Tapi bahwa puterinya sendiri, sampai terpincut dengan orang yang hendak menyual
negara itu, sungguh tak terpikirkan oleh Ceng Bo. Maka begitu dia loncat keatas geladak
perahu dan Bek Lian berseru memanggilnya tadi, Ceng Bo sudah menyambutnya dengan
dingin2 saja, sepatahpun tak mau dia menyahutinya.
Dari kakek gurunya, Ang Hwat cinyin, The Go pernah diceritakan tentang kesaktian tokoh
yang bergelar Hay-te-kau itu. Dia jakin, gelar „Hay-te-kau" itu tentu berdasarkan bahwa
ilmu air dari tokoh tersebut tentu lihay sekali. Kalau menempuh jalan kekerasan, rasanya
ke 300 serdadu pilihan diatas perahu itu, tentu bukan tandingannya Hay-te-kau (Naga
dari dasar laut). Malah dirinya sendiri pun pasti takkan terluput dari kebinasaan.
Satu2nya siasat yang tepat, jalah dengan gunakan diplomasi lidah, agar tokoh itu yangan
sampai unyuk kekerasan. Setelah rencananya tetap, dengan langkah lebar majulah The
Go kemuka. Begitu memberi hormat dengan membungkuk, dia berseru lantang2:
,,Karena tak mengetahui akan kunyungan lopeh (paman) kemari, maka siaotit
(keponakan) telah berlaku kurang hormat menyambutnya. Harap lopeh suka memberi
maaf sebesar2-nya!"
Demi tampak Bek Lian berdiri berendeng dengan siorang she The, Ceng Bo siangjin sudah
dapat menduga apa yang telah terjadi. Bahwa siorang she The menyebutnya „lopeh" dan
membahasakan dirinya sebagai „siaotit" itu bukan meredakan hatinya, sebaliknya malah
makin mengobarkan hawa kemarahannya. Tapi sebagai seorang pertapa yang saleh, tak
mau Ceng Bo me-maki`' The Go. Tak mau dia menghiraukan tegur salam penghianat itu,
sebaliknya tcrus bertanya kepada Bek Lian: „Apakah artinya ini?"
Nampakh wajah sang ajah makin suram dengan bengisnya, Bek Lian bercekat. Selama
19 tahun lamanya melajani sang ajah, belum pernah ia menampak wajah sang ajah
sedemikian murkanya. Kalau bercerita terus terang, tentu takkan mendapat keampunan
lagi.
Belum berapa hari Bek Lian turun gunung, disana sini orang2 persilatan sama bercerita
bagaimana pada 10 tahun berselang ajahnya itu sangat memusuhi sekali akan segala
kejahatan. Nama Hay-te-kau cemerlang diangkasa persilatan. Dunia penyahat menyadi
tergetar, apabila mendengar disebutnya nama Hay-te-kau itu. Tapi mendadak sontak jago
pemberantas kejahatan itu lenyap dari pergaulan ramai, seolah2 telah padam api
perjuangannya, lalu masuk menyadi imam. Hal mana telah menimbulkan keheranan
dikalangan persilatan pada umumnya.
Diam2 Bek Lian bercekat hatinya. Kalau saja api-semangat ajahnya itu berkobar pula,
dia pasti takkan mempedulikan ikatan ajah dan anak, sanak atau kadang lagi. Tapi
bagaimana lagi, hatinya (Bek Lian) telah tertawan oleh sianak muda, tak dapat ia
melawan suara kalbunya itu. Maka sampai sekian saat timbullah pertentangan hebat
dalam batinnya.
,,Lekas bilang!" bentak Ceng Bo.
Pada saat itu keadaan Bek Lian serba salah, maju celaka mundur tersiksa. la melirik
kearah The Go, tapi sianak muda itu tak mau melihatnya. „Ah, rupanya engkoh Go tak
mau dilihat ajah kalau dia yang bermaksud memikat aku. Ini adalah untuk kebaikanku
sendiri.
Ah, sial amat, mengapa baru beberapa hari aku berbahagia didamping engkoh Go, ajah
sudah lantas datang mengadu biru. Agaknya harapanku untuk berdamping selama-
lamanya dengan engkoh Go akan bujar!" demikian Bek Lian me-nimang2 dalam hatinya.
Bagi hati yang menyinta, memang segala tingkah dan sikap dari jantung hatinya itu
hanya dipandang dari sudut yang baik saja. Pada hal sebenarnya mengapa The Go tak
mau memandangnya tadi, adalah karena kelicinannya. Melihat sikap Ceng Bo siangjin
yang bengis itu, tahulah The Go urusan bakal menyadi runyam apabila dia dituduh
membawa lari gadisnya. Maka bersikaplah dia sedemikian rupa, agar Ceng Bo tak
menyangka begitu. Ha, licin betul si Wajah Seribu itu.
„Tia…………." tiba2 Bek Lian mengucap, tapi belum sempat ia menyelesaikan kata2nya
Ceng Bo sudah menukasnya : ,,Hm…………" Bek Lian tertegun sejenak, lalu memaksa
berkata lagi: „Tia, aku aku………"
Sebenarnya Bek Lian hendak mengatakan „aku cinta padanya", tapi sebagai seorang
gadis sudah tentu tak dapat ia mengucapkan kata2 itu dihadapan sekian banyak orang.
Malah seketika itu wajahnya menyadi merah dan menundukkan kepala.
,,Hai, anak keparat………..! Anak keparat…………!" hanya begitu Ceng Bo dapat
menghamburkan kemarahannya, karena dia segera berpaling untuk menanya The Go:
„Cian-bin Long-kun, dalam orang2mu itu apakah ada serdadu Ceng?"
The Go tersentak kaget atas ketajaman mata Ceng Bo. Hendak dia menyangkal atau tiba2
dari sebelah belakang terdengar suara seruan keras: „Hai, tosu, perlu apa kau datang
kemari ?"
Amboi, itulah si Po Tho, thongleng dari pasukan Ceng, siapa masih tetap mengenakan
pakaian seragam dan kuncirnya terkulai dibelakang. Cepat2 The Go delikkan mata
kepada opsir Ceng itu seraja memaki dalam hati: „Manusia yang bosan hidup !"
Tanpa banyak bicara, Ceng Bo melesat kesamping Po Tho, sekali ulurkan tangan dia
segera seret opsir Ceng itu
kepinggir geladak. „Tolong!" Po Tho men-jerit2 seperti babi hendak disembelih, tapi siapa
yang berani menolongnya. Sekali Ceng Bo mendorong, maka tubuh si Po Tho segera
terlempar kedalam laut. „Mau pergi ke Kwiciu, ambil jalan air saja !"(lihat Gambar 19).

(Lihat Gambar Ilustrasi Diatas)


GAMBAR 19
Sekali Ceng Bo Siangjin ajun tangan, perwira Ceng
Itu dilemparkannya kelaut dalam keadaan menyerit2.

The Go ketar-ketir hatinya. Dia mengira, pantangan-membunuh Ceng Bo siangjin sudah


ditiadakan. Dan siapakah yang sanggup melawannya? Kalau dia berani turun tangan,
tentu akan tersapu oleh imam yang gagah perkasa itu, dan ini berarti akan habislah
seluruh rencananya, demikian pikir The Go. Maka dia lalu mundur beberapa langkah,
siap hendak lolos dengan ceburkan diri kedalam laut. Tapi tiba2 dia merandek. Dengan
gelar „Hay-te-kau" (Naga didasar laut), tentu kepandaian air dari imam itu ber-lebih2an.
Dan karena berajal itu, Ceng Bo siangjin sudah berpaling kepadanya : ,,Cian-bin Long-
kun, kau sebagai orang Han masakan tak ingat akan peristiwa 'Yang-ciu 10 hari' dan '3
kali penyembelihan rakjat Ka-ting' ? Kau menyadi pengchianat membawa tentara musuh
ke Kwiciu, bilanglah, hukuman apa yang harus kau terima !"
Kata2 Ceng Bo itu diucapkan dengan penuh semangat keperwiraan, sehingga pada saat
itu juga, Bek Lian mengutuk perbuatan yang sedemikian hinanya itu. Teringat bahwa
orang yang berbuat chianat itu adalah jantung hatinya sendiri, serta iapun turut
membantunya, gemetarlah tubuh Bek Lian.
Betapapun The Go itu biasanya pandai adu lidah, namun hati nuraninya terasa berjengit
juga mendengar tuduhan yang begitu tajam itu. Saking gentarnya, dia mundur lagi dua
langkah, hingga kedekat tepi geladak. Ceng Bo memburu maju. „Seorang laki2 berani
berbuat berani bertanggung jawab sendiri. Apabila sampai saatnya memikul akibat
perbuatannya itu hendak melarikan diri, itulah keliru !"
Ditelanyangi habis2an, muka The Go pucat lesi. Melihat itu Bek Lian terkesiap. Lupa
bahwa setelah The Go, nanti dirinyapun akan mendapat giliran dihukum sang ajah, ia
segera melesat berdiri dihadapan sianak muda, serunya: „Tia, kau mau melukainya?"
---oo0oo---
(Bersambung Ke Bagian 5.4.)
ANTARA CINTA DAN BENCI

BAGIAN 5.4.1.

Ceng Bo melengak. Tak kira dia kalau puterinya telah sekalap itu terang2an hendak
melindungi The Go. „Menyingkir sana!" bentaknya. Ternyata Bek Lian masih belum
seratus persen berani membangkang perentah ajahnya, tapi iapun tak mau menyingkir
jauh dari sang kekasih, maka ia hanya bergeser sedikit disamping The Go. Tapi kejadian
itu, cukup memberi ilham pada The Go yang penuh akal muslihat itu. Wajahnya tak
mengunyuk kecemasan lagi. Malah dengan ber-kipas2 sikapnya tenang sekali. „Siangjin,"
serunya lantang, „memang benar siaoseng memimpin pasukan Ceng masuk ke Kwitang.
Tapi puterimu pun ikut pada siaoseng menghadap Li congpeng di Hokciu. Hukuman
apakah yang akan dijatuhkan padanya? Siangjin seorang yang penuh dengan pambek
perwira, maka siaoaeng hendak mohon pengajaran!"
Ceng Bo tahu kepandaian orang untuk menyerang kelemahannya. Tahu pula dia bahwa
orang she The itu hendak menyual Bek Lian, tapi pikir punya pikir, dia benci pada
puterinya sendiri yang telah berbuat sedemikian hinanya itu. Ini berarti, kalau hendak
memberesi orang itu, lebih dahulu harus memberesi puterinya sendiri. Sebaliknya Bek
Lian yang masih hijau dan baru pertama kali itu jatuh cinta, beranikan diri untuk
mengetuk perasaan sang ajah. „Tia, apa yang dikatakan engkoh Go tadi benar. Aku
bersama dia menghadap Li Seng Tong di Hokciu."
Sedih dan murka perasaan Ceng Bo. Sedih melihat tingkah puterinya yang tak senonoh
itu, murka akan kelicikan The Go. Orang semacam itu, kalau dibiarkan hidup lebih lama,
tentu akan mencelakai orang banyak. Begitu ambil keputusan tetap, Ceng Bo
perdengarkan tertawa dingin: ,,Cian-bin Long-kun, kau bertanya bagaimana aku hendak
menyatuhkan hukuman kepada anak itu? Baik, bukalah matamu, karena kau sendiripun
tak nanti dapat lolos!"
Habis berkata begitu, dia berpaling kearah Bek Lian. Dengan memancarkan sorot mata
ber-api2, dia membentak: ,,Anak keparat, dalam urusan ini, apa kau masih tak tahu ?"

GAMBAR 20
Mengetahui puterinya berbuat serendah itu, dengan
perasaan cemas Ceng Bo Siangjin putar tubuh
memandang jauh kepermukaan laut yang luas.

Bek Lian teringat akan apa yang pernah diajarkan oleh sang ajah, bahwa bangsa dorna
dan penyahat itu, adalah penyakit masjarakat. Apabila nanti turun gunung dan bertemu
dengan bangsa begitu, harus dibunuh demi untuk kepentingan rakjat. Maka atas ucapan
terachir dari sang ajah ,,apa tak tahu" itu, artinya harus menerima hukuman berat. ,,Tia!"
serun ja dengan wajah pucat.
Ceng Bo berputar tubuh membelakangi Bek Lian. Jauh memandang kepermukaan laut
yang luas, dia kuatkan hatinya, mendamprat: „Aku tak mempunyai anak perempuan kau
lagi, yangan panggil ajah padaku!" Habis mengucap begitu, bagaimanapun kerasnya sang
hati, tak urung diam2 dia kucurkan air mata.
Pikirannya jauh melayang pada kejadian 10 tahun berselang. Sejak isterinya, Kiang
Siang-yan, lenyap tanpa alasan apa2, dia sayang Bek Lian sebagai nyawanya sendiri. Kala
itu Bek Lian baru berumur 9 tahun. Dengan penuh kasih sayang, diarawat dan mengasuh
puterinya tunggal itu hingga sampai menanyak usia remaja. Bahwa buah daripada jerih
pajahnya itu ternyata sedemikian pahitnya, benar2 dia tak menyangkanya! Kelemahan
itu telah dipergunakan oleh The Go untuk mendesak Ceng Bo.
Mendengar ucapan sang ajah itu, pecahlah tangis Bek Lian tersedu sedan. Cepat2 ia
berlari hendak menubruk ajahnya, tapi Ceng Bo kibas2kan tangannya kebelakang,
sehingga seperti disamber oleh tenaga kuat, Bek Lian merandek tak bisa maju. „Tia, aku
adalah anakmu! Aku ini anakmu!"
Hati Ceng Bo seperti di-sajat2 tapi demi yangan sampai dilihat oleh The Go yang
dibencinya itu, dia pakai lengan bajunya untuk mengusap air matanya, kemudian dengan
tawar berkata: „Anakku, tentu takkan bersekongkol dengan bangsa penyajah asing, kalau
berbuat berarti lebih berat dari 10 kedosaan!"
„Aku aku cinta pada engkoh Go, apakah salahnya aku bersama dia pergi ke Hokciu itu?"
Bek Lian ter-sedu2 bertanya.
Tanpa menoleh lagi, Ceng Bo berseru: „Lekas bereskan dirimu sendiri, yangan yangan
sampai aku….. turun tangan!" Sampai disini, karena teringat bahwa puterinya nanti
tentu meninggal, dia menghela napas panjang, lalu berkata pula: .Kalau dalam
kematianmu itu kau tak dapat memejamkan mata, biarlah nanti kubalaskan sakit hatimu
itu!"
Dengan mulut sang ajah mengucapkan „kematianmu" itu, Bek Lian tersentak
semangatnya, ia ter-longong2 sampai lupa menangis lagi. Hati Ceng Bo pada saat itu
seperti di-remasl. Karena tak mendengar suara Bek Lian lagi, hatinya gentar, terus
berbalik tubuh kebelakang. Demi tampak Bek Lian tak kurang suatu apa, dia menarik
napas longgar. The Go yang licin itu, cepat dapat mengetahui isi hati Ceng Bo yang masih
tetap tak tegah kepada puterinya itu. Tanpa berajal lagi, dia segera berkata seorang diri:
,,Harimau yang buas takkan memangsa anaknya. Mengapa karena hendak
mengunyukkan kegagahan sesaat, lalu meninggalkan penyesalan besar!"
Ceng Bo merasa terkena dengan ucapan itu. Memang pada saat itu, timbul pertentangan
hebat dalam batinnya, antars, cinta dan benci. Kemauannya menyuruh Bek Lian bunuh
diri, tapi hatinya tak tegah melihat darah dagingnya itu sampal mengalami nasib yang
sedemikian mengenaskan itu. Kembali dia menghela napas lagi, matanya memandang
lekat pada Bek Lian tapi mulutnya membisu tak ber-kata2.
Tahu kalau ada setitik harapan tertolong, silicin The Go batuk2 sembari tertawa. Hendak
dia bicara lagi, tapi Ceng Bo telah keburu delikkan mata kepadanya, se-olah2
memperingati bahwa sekalipun dia dapat memaafkan puterinya, tapi tak dapat memberi
ampun kepadanya. Tapi pada lain kilasan, dia teringat akan pengakuan Bek Lian tadi ia
iktut The Go ke Hokciu, sehingga membuatnya serba susah. Tapi demi memikirkan
betapa penderitaan rakjat Kwitang apabila tentara Ceng datang, dia mendamprat dirinya
sendiri. Berapa banyak orang2 tua yang akan kehilangan putera-puterinya, berapa
banyak gadis2 dan wanita2 yang akan tercemar kehormatannya nantinya? Adakah hanya
karena memikirkan kepentingan Bek Lian seorang, maka dia tegah membiarkan seluruh
rakjat Kwitang menderita kesengsaraan sebesar itu ?
Liangsim (nurani) Ceng Bo tergugah lagi. Tapi karena tak tegah melihat puterinya mati
secara mengenaskan itu, kembali dia berputar tubuh dan serunya dengan suara sember:
„Yangan berajal, lekas habisi jiwamu!" Nada ucapannya itu berat sekali, menandakan
bagaimana beratnya perasaan yang menindih hatinya.
Tadi The Go sudah hampir bersorak dalam hati demi melihat sikap Ceng Bo berobah
tenang. Tapi tatkala dengan tiba2 berobah beringas lagi, diam2 dia memaki siangjin itu
sebagai seorang yang kukuh. Sedang Bek Lian setelah mendengar sang ajah
mendesaknya lagi, segera memandang kearah The Go seraja berseru: „Engkoh Go!"
ANTARA CINTA DAN BENCI

BAGIAN 5.4.2.

GAMBAR 21
„Orang she The, kiranya kau berada disini!" seru Ciok
Jisoh seraja menyerang dengau rodanya yang bergigi.

Begitu merawankan sekali seruan itu, biarpun berhati sekeras baja, orang pasti akan
tergerak juga hatinya. Sebaliknya tidak demikian dengan The Go. Demi dilihatnya Ceng
Bo masih membelakangi, dia segera hendak bertindak. Baru dia hendak loncat kedalam
laut, tiba2 ombak laut berserak dan berbareng dengan bunyi damparan ombak yang
keras, sesosok tubuh loncat kedalam perahu situ. Orang itu mengenakan pakaian seperti
sisik ikan. Begitu tangannya memegang buritan, dia segera berjumpalitan loncat
kegeladak.
Selain Bek Lian, kedua orang (The Go dan Ceng Bo siangjin) yang berada digeladak
perahu situ tadi, adalah achli2 air yang jempolan. The Go sejak kecil dibesarkan dilaut.
Sedang gelaran Ceng Bo siangjin dahulu adalah Hay-tee-kau Tapi demi nampak
kepandaian orang tadi, keduanya menyadi kesima. Yang paling jengkel, adalah The Go.
Baru saja dia mempunyai kesempatan untuk lolos, atau orang itu datang mengadu biru,
hingga kini Ceng Bo sudah berbalik badan dan mengawasi padanya. Ketika diamat-amati
ternyata orang itu adalah Kim-kong-lun Ciok jisoh, siapa begitu menginyak geladak
lantas saja berseru: „Bagus, orang she The tidak didarat, dilaut achirnya kita berjumpa.
Ha, kiranya kau berada disini!" Habis berkata, ia perdengarkan suara keheranan,
serunya: „Hai, Ceng Bo siangjin, mengapa kau bersama puterimu juga berada disini?"
Ceng Bo hanya perdengarkan jengekan saja, sebaliknya The Go segera menegur: „Ciok
jisoh, mengapa kau tak berada di Kwiciu melindungi junyunganmu, tapi datang kemari
?"
,,Huh, apa itu melindungi junyungan. Aku sudah bukan pembesar negeri lagi, tapi
hendak mengarungi ujung dunia untuk mencari orang she The!" Ciok jisoh tertawa dingin
seraja melepaskan senyata jit-gwat-lun dari ikatannya. Begitu sepasang kim-kong-lun
(roda baja) yang bergigi tajam itu siap ditangan, berserulah ia: „Orang she The, kau terlalu
menghina orang. Biarpun aku bukan tandinganmu, tapi aku tetap hendak adu jiwa
dengan kau!"
Dari sikapnya itu, Ciok jisoh terang seorang wanita yang berterus terang tanpa tedeng
aling2. Kalau dia seorang pria, kiranya mirip dengan watak tokoh hweshio Lou Ti-sim dari
kawanan Liang-san dahulu. Ceng Bo pun memuji dalam hati, bahwa diantara keempat
bajak laut itu, hanya wanita she Ciok itu saja yang masih berpambek seperti orang
persilatan. Maka demi mendengar, wanita itu hendak membuat perhitungan dengan The
Go, Ceng Bo menunggu dengan penuh perhatian. Pikirnya, apabila wanita gagah itu
sampai kalah, dia hendak membantunya.
Melihat kedatangan Ciok jisoh Itu, The Go mendapat ketika untuk mengulur waktu lagi.
Dengan ber-kipas2, berserulah dia: „Ciok jisoh, bagaimana aku siorang she The ini
menghina orang she Ciok?"
Ciok jisoh tak mau menyawab dengan mulut, tapi begitu melangkah maju, ia tikamkan
kim-kong-lun ditangan kiri kedada The Go, siapa cepat2 menangkisnya. Ciok jisoh
susulkan kim-kong-lun ditangan kanan kearah pundak lawan. Tapi tanpa gugup, The Go
ulurkan kipasnya untuk menangkis, dan tepat kipas itu menancap ditengah gigi baja.
Dipasangnya gigi2 baja itu, memang chusus diperuntukkan merebut senyata musuh.
Maka lekas2 Ciok jisoh menarik sekuat2nya kesamping kiri. Jakin ia kipas The Go pasti
akan tersentak jatuh. Tapi ternyata orang she The itu sudah memperhitungkan
kemungkinan itu. Begitu dilihatnya Ciok jisoh menyentak kekiri, The Go sudah mencekal
kencang kipasnya untuk dibantingkan kesamping kanan. Jadi adu kekuatan namanya.
Seketika Ciok jisoh rasakan tangannya kesemutan, kim-kong-lun hampir2 terlepas dari
cekalannya. la coba kendorkan sentakannya, untuk selekasnya menarik kebelakang,
pikirnya hendak lolos dari adu kekuatan itu. Tapi justeru dengan begitu, tanpa
disadarinya, ia masuk keperangkap The Go. „Lepaskan!" kedengaran The Go membentak
seraja balik membanting kipasnya kekiri. Benar juga, kim-konglun Ciok Jisoh terpental
lepas, dan jatuh terlempar kedalam laut.
Tapi se-konyong2 terdengar bunyi „trang dari beradunya logam dan kim-kong-lun itu
mencelat balik keatas perahu lagi. Sudah tentu, dengan sebatnya Ciok jisoh
menyanggapi. Belum hilang kekagetan orang2, atau muncul pula seorang yang
mengenakan pakaian kulit ikan yang dengan enteng sekali loncat keatas geladak.
Dibanding dengan Ciok jisoh, gerakannya jauh lebih lincah. Tangannya mencekat
sebatang hi-ja (garu penusuk ikan) yang berujung 3. Begitu tiba digeladak, ia memandang
kearah orang2, kemudian berseru keras: „Engkoh Go, kiranya kau berada disini!" Setelah
itu ia memberi salam pada Bek Lian: „Taci yang baik, sukakah kau menyingkir jauh
sedikit dari engkoh. Go ?"
Kiranya itulah Lamhay hi-li Ciok Siao-lan.
,,Moaycu (adik), orang yang tak kenal budi itu berada disini, mengapa kita tak adu jiwa
dengannya?" seru Ciok d jisoh kepada adik iparnya.
Siao-lan hanya sebentar mengerlingkan mata kearah taci iparnya, lalu maju beberapa
tindak lagi menghampiri kedekat The Go, serunya: „Sosoh, aku tak dapat persalahkan
dia tak kenal budi!"
Setelah pemimpin mereka si Po Tho dilempar Ceng Bo kedalam laut, serdadu pilihan
bangsa Ceng yang menyaru jadi penumpang itu, sama ketakutan. Sekalipun yang agak
bernyali, toh paling banyak hanya berani memandapg saja. Oleh sebab itu, kemudi kapal
tak ada yang memegangnya. Perahu terombang-ambing didampar ombak, dan makin
lama makin jauh dari kedua perahu yang tadi.
Seturunnya dari Giok-li-nia, Ciok jisoh dan Cjiok SiaoIan tak mau kembali ke Kwiciu,
melainkan kembali kelaut untuk merawat luka Siao-lan. Luka Siao-lan cukup berat, tapi
setelah ditutup jalan darahnya oleh Kiau To dan diberi sebutir pil mujijad sam-kong-tan,
tak berapa hari kemudian dapat sembuh juga. Pada hari itu, kebetulan keduanya tengah
pesiar dengan sebuah perahu kecil. Melihat ada sebuah perahu besar terombang ambing
tak tentu arahnya, mereka menyadi heran. Disuruhnya Siao-lan menyaga perahunya,
lalu Ciok jisoh berganti pakaian air menyelam kesana. Dan bertemulah tadi ia dengan
The Go.
Melihat sampai sekian lama taci iparnya tak balik, menyusullah Siaolan. Begitu melihat
The Go, hatinya sebesar gunung. Tapi serta dilihatnya Bek Lian juga berada disitu,
hatinya mendeluh sekali.
Mendengar kata2 sigadis nelajan itu, makin pedihlah hati Ceng Bo. Sedikitpun tak
mengira dia, kalau puterinya sampai begitu tak tahu malu lagi. Ter-gila2 pada seorang
pemuda, itu sih masih mending. Tapi kalau turut rebutan lelaki, ah ...... demikian Ceng
Bo menghela napas panjang. ,,Kalau jiwi (kalian berdua) tiada urusan apa lagi, harap
tinggalkan perahu ini," achirnya dia meminta kepada kedua orang wanita itu.
,,Mengapa?" tanya Siao-lan dengan tangkasnya, atas itu Ceng Bo tak mau banyak
berdebat lagi, katanya dengan suara berpengaruh: „Laki-2 dan perempuan itu,
bersekongkol hendak masukkan tentara Ceng ke Kwitang, suatu perbuatan chianat yang
tak dapat diampuni, maka hendak kusuruh keduanya bunuh diri sendiri!"
,,Hai, Ceng Bo sianyin, bukankah nona itu puterimu sendiri?" tanya Ciok jisoh dengan
keheranan.
,,Benar, tapi ia telah melakukan perbuatan terkutuk itu. Kecintaan kenal kasihan, tapi
hukum tetap hukum!" sahut Ceng Bo dengan keraskan hatinya, lalu berseru kepada The
Go: „Orang she The, setelah ia beres, yangan harap kau bisa lolos!"
Wajah The Go pucat lesi. Tak tahu dia bagaimana untuk menyawab ultimatum siangjin
itu. Dilihat naga2nya, siangjin itu sudah bulat tekadnya, anak kandung sendiri tetap
dihukum, apalagi dia? Pikirannya bekerja keras, namun tak dapat dia mencari jalan
keluar. Apa boleh buat, terpaksa dia pura2 bersikap tenang saja. Ceng Bo masih hendak
mengatakan apa2, tapi Siao-lan tampak maju kemuka, serunya: „Ceng Bo siangjin, ilmu
silatmu tinggi, itu aku tahu. Tapi apapun alasanmu hendak menganiaja engkoh Go, jika
aku masih bernapas, tentu kau takkan dapat."
Kata2 itu diucapkan dengan jakin sekali oleh Siao-lan. sampai2 Ceng Bo melengak,
sahutnya: „Kau tak bersekongkol dengan tentara Ceng, buat apa menghendaki jiwamu?"
,,Kalau kau hendak membunuh engkoh Go, lebih dahulu harus melangkahi bangkaiku!"
balas Siao-lan.
Sejak menyucikan diri menyadi imam, sebenarnya Ceng Bo memegang pantangan
membunuh. Hanya karena menganggap urusan kali ini teramat besarnya, dimana
menyangkut keselamatan rakjat kedua wilajah Kwitang dan Kwisay, maka dia terpaksa
melanggar pantangan itu. Atas pernyataan Siao-lan tadi, dia tampak merenung. Selagi
dalam keadaan begitu, tiba2 terdengarlah suara gedabrukan yang dahsjat sekali, disusul
dengan goncangan yang hebat. Andaikata orang2 dalam perahu tak pandai ilmu silat,
pasti mereka akan terbanting jatuh. Sudah tentu semua orang menyadi terkejut sekali,
termasuk Ceng Bo juga. Hanya Siaolan saja yang masih tampak tenang. Meskipun
geladak perahu itu terombang-ambing keras, tapi ia tetap menghampiri kedekat The Go
untuk memberi tahu: „Engkoh Go, perahu telah menubruk karang, yangan takuti imam
tua itu lagi!"
Dua macam perasaan timbul dalam hati The Go, girang dan gelisah. Girang karena
dengan kejadian yang tak terduga itu, dia ada harapan besar dapat lolos dari tangan
siimam. Gelisah sebab urusan yang dikerjakan itu, telah menemui halangan. Entah
berapa jauhnya dari daratan, yang nyata kini mereka berada ditengah lautan besar.
Sekalipun ilmunya diair lihay, tapi rasanya dia pasti akan mati kelelap dalam laut itu.
Pikiran itu juga terdapat dalam pikiran semua orang yang berada didalam perahu situ,
kecuali Bek Lian seorang yang tak pandai berenang. „Engkoh Go!" serunya dengan cemas.
„Lian-moay, yangan takut! Ada aku disini, biarkan perahu tenggelam, nanti akan
kubawamu berenang!" sahut The Go dengan gagahnya, dan politik itu telah termakan
dalam hati Ceng Bo, siapa diam2 berpikir: „Dia rupanya sungguh2 menyinta Bek Lian.
Kata orang 'dalam kesusahan terlihatlah hati orang'. Dia rela membawa renang Lian-ji,
bukankah itu suatu tanda kecintaannya pada Bek Lian ?"
Habis menyahut tadi, The Go diam2 melirik kepada Ceng Bo. Tahu siangjin itu merenung,
kembali dia berkata lagi kepada Bek Lian: „Lian-moay, kemarilah. Mati kita bersama,
hidup kita bersama!"
Ucapan itu makin menyentuh hati Ceng Bo, pikirnya: ,.Kalau kelak mereka dapat kembali
kejalan yang benar, rasanya tak lajak untuk menceraikan mereka hidup2-an."
ANTARA CINTA DAN BENCI
BAGIAN 5.4.3.

,,Taci yang baik, kalau kau berani mendekati engkoh Go Iagi, yangan persalahkan aku
berhati kejam," tiba2 Siaolan menyeletuk.
Benar Bek Lian cinta pada The Go, tapi belum sampai hatinya berlaku terang2-an seperti
Siao-lan itu. Gadis hitam itu dibesarkan dilaut, jadi wataknya pun kasar terus terang.
Sudah tentu Bek Lian tak mau meladeni adu mulut, hanya karena disebabkan soal
seorang lelaki saja. Maka sejenak itu ia diam saja. Tapi The Go yang perlu untuk mencari
muka pada Ceng Bo yang agak sudah terpikat hatinya itu, cepat menarik senyata garu
Siao-lan, hingga nona itu ter-hujung2 beberapa tindak jauhnya. Dengan langkah lebar
The Go segera menghampiri Bek Lian, sebaliknya lalu mendamprat Siao-lan: „Budak hina
yang tak tahu malu, aku sudah terikat janyi sehidup-semati dengan Lian moay, mengapa
kau selalu mengerecoki saja?!"
Siao-lan melengak kesima, serentak ia menubruk kepada Ciok jisoh, menangis ter-lara2:
„Sosoh, ternyata engkoh Go tak mau pada aku, dia ambil lain orang menyadi isterinya!"
Pikir Ciok jisoh hendak menasehati adik iparnya itu, tapi dari dalam ruang perahu
rombongan serdadu Ceng berdesak2-an keluar, sembari men-jerit2: „Air sudah masuk,
air sudah masuk!"
Baru kini semua orang sama insjaf bahwa setelah terjadi goncangan hebat tapi perahu
itu tetap tenang saja, adalah karena sedang tenggelam dengan pe-lahan2. Geladak yang
sesempit itu, sudah tentu menyadi penuh sesak dengan ratusan orang yang desak
mendesak tak keruan. The Go murka, wut, wut, dua kali dia menghantam. Beberapa
serdadu yang mendesak kedekatnya, telah terpental kebelakang, menyatuhi kawan2nya
lain, dan kawan2 itu menyatuhi lagi yang dibelakang. Dengan begitu segera ada beberapa
orang yang kecemplung dalam laut. Adalah karena kepanikan Orang2 itu, maka tubuh
perahu menyadi miring lagi, hingga serdadu2 itu sama ter-hujung2 kesana kemari seperti
gabah ditampi (diinteri).
,,Engkoh Go, dalam kehidupan kita sekarang ini, adalah benar2 kita selalu bersatu?"
bisik Bek Lian meraju. „Sudah tentu, Lian-moay!" sahut The Go sembari memegang
tangan sinona.
Mendadak perahu bergoncang lagi dengan hebatnya, sehingga karena miring maka ada
sejumlah besar serdadu2 Ceng yang terlempar lagi kedalam laut. Sisanya sama ber-
gegas2 menurunkan perahu sekoci (perahu penolong bahaja, terus be-rebutan naik
kedalamnya. Dalam kepedihannya, Siao-lan tak menghiraukan segala apa, sementara
Ciok jisoh yang tumpahkan perhatiannya untuk menasehatnya juga tak mempedulikan
orang itu, Ceng Bo siangjin yang memikirkan soal puterinya dengan The Go, juga ter-
mangu2. Hanya The Go sendiri yang cepat dapat menginsjafi keadaan berbahaya itu.
Karena perahu2 sekoci sudah dipakai oleh secdadu2 Ceng tadi, dia terkejut dan
mengeluh keras. Ciok jisoh tersadar karenanya, cepat dia hendak meronta dari pelukan
Siao-lan untuk mengejar kelaut, tapi seperti orang gila, Siao-lan tetap merangkul iparnya,
seraja me-ratap2: „Engkoh Go, yangan pergi, yangan pergi! Kau tetap bersamaku saja!"
Ciok jisoh tahu bahwa adik iparnya itu sudah ber-tahun2 ter-gila2 pada The Go. Kejadian
tadi, adalah yang paling menggoncangkan batinnya, hingga ia seperti orang linglung tak
waras pikiran. Jalan yang terbaik, jalah lekas" singkirkan nona itu dari situ. Cepat ia
mengambil putusan, cepat pula ia bertindak. Sang adik ipar dirangkul pinggangnya,
sekali enyot sang kaki, keduanya segera melayang masuk kedalam laut. Blung........
tahu2ketika muncul lagi dipermukaan air, mereka berdna sudah 4 atau 5 tombak
jauhnya. Dalam sekejab saja. Ciok jisoh sudah dapat mengejar perahu sekoci tadi.
Dengan membolang balingkan kim-kong-lun, serdadu yang berada disitu sama
kecemplung kedalam air. Cepat Ciok jisoh angkat iparnya kedalam sekoci, laksana anak
panah cepatnya, ia mendajung kemuka. Sebentar saja lenyaplah sudah.
Kini yang masih tinggal didalam perahu besar, hanya Ceng Bo siangjin, The Go dan Bek
Lian. The Go makin gelisah demi dilihatnya Ciok jisoh sudah kabur, dan tiba2 dirasanya
sang kaki menyadi dingin, hai...... kiranya air laut audah merangsang keatas geladak
situ. Ketika The Go berseru kaget, air dengan cepatnya sudah naik kelutut. Dalam waktu
yang singkat, terang perahu itu pasti kelebuh. Ditatapnya Bek Lian, tapi tampaknya nona
itu juga ter-longong2 mengawasi padanya.
,,Siangjin, perahu sudah hampir tenggelam. Lian-moay tak bisa berenang, bagaimana
daja Siangjin sekarang?" tanyanya memberanikan diri.
Setelah merenung sejenak, Ceng Bo balas bertanya: „Cian-bin Long-kun, sudah berapa
lama kau kenal dengan Lian-ji ?"
The Go melengak, tak tahu apa maksud orang dengan bertanya begitu. Tapi dia tak berani
diam saja, sahutnya: Baru 4 atau 5 hari saja."
,,Kalau begitu, kalian ini begitu ketemu sudah saling jatuh hati?" kata Ceng Bo pula,
kemudian diam merenung.
The Go tahu siasatnya mencari muka pada Ceng Bo dengan jalan bersikap begitu
menyayang sekali kepada Bek Lian, telah dapat mendobrak nurani imam itu. Kini dalam
saat2 yang seperti telor diujung tanduk berbahayanya itu. nampaknya sikap siimam
sudah berobah. Malah siapa tahu, imam Itu berkenan juga menyodohkan puterinya
dengan dia nanti. Dengan penimangannya itu, cepat The Go merobah haluannya: „Lopeh,
sejak siaotit pertama berjumpa dengan Lian-moay, kami berdua sudah saling menyinta.
Adalah karena kegelapan pikiran siaotit, maka siaotit hendak mengundang tentara
musuh sehingga Lian-moaypun turut lerembet ........."

GAMBAR 22
„Bawalah Lian-ji keatas tiang kapal, ada yang hendak
kutanya padamu:" kata Ceng Bo Siangjin",
yang lututnya sudah kerendam air laut.

,,Engkoh Go, aku kedinginan!" tiba2 Bek Lian berseru memutus omongan orang. Memang
tampak oleh The Go, bahwa air sudah merangsang kebatas pinggang. Buru2 dia angkat
Bek Lian.
„Bawalah Lian-ji keatas tiang besar, aku ada omongan denganmu!" kata Ceng Bo Siangjin.
The Go tak berani berlaku ajal. Dengan sebelah tangan memanggul Bek Lian, sebelah
tangannya lagi memegang tiang perahu. Sekali enyot sang kaki, tubuhnya melesat keatas
tiang besar itu.
---oo0oo---
WANITA BERAMBUT PANJANG

BAGIAN 6.1.

Begitu The Go sudah naik keatas tiang perahu. Ceng Bo siangjinpun enyot tubuhnya
menyusul. Perahu itu be-rajun2 masuk kedalam air, tapi baru beberapa meter tiba2
berhenti tenggelam. Heran Ceng Bo dibuatnya. Terang kalau tempat situ adalah ditengah
lautan besar, tapi mengapa sedangkal itu? Dalamnya tak sampai dua tombak saja.
Karena masih mempunyai urusan, jadi dia tak mau banyak pikirkan hal itu. Mengawasi
kearah Bek Lian, didapati anak itu sudah merasa benai2 cintanya kepada The Go.
Sekalipun pakaiannya sudah basah kujup dengan air, namun tampak nya seperti tak
menghiraukan sama sekali. Malah pada saat itu ia tengah bantu membereskan kain
kepala The Go.
„Lian-ji," achir-nya Ceng Bo siangjin berseru dengan didahului oleh helaan napas yang
panjang.
„Ajah, kau mau menyebut aku Lian-ji (anakku Lian) lagi apa engkau tak marah?" Bek
Lian angkat mukanya menyahut.
„Ah, Lian-ji, kalau kau tak berbuat kesalahan besar, tentu aku takkan semarah tadi.
Ketahuilah, soal perkawinan itu bukan macam permainan kanak2. Kau hanya 5 hari
mengenalnya, mana mengetahui hatinya? Mari ikut pulang dulu, kelak kita rundingkan
lagi!"
Girang The Go bukan kepalang. Ini berarti dia diberi jalan lolos, bisa melanyutkan
rencananya lagi, kembali dulu ke Hokkian untuk mengambil bantuan tentara. Buru2 dia
memberi isjarat dengan ekor mata kepada Bek Lian, agar suka menurut perentah ajahnya
itu. Tapi ternyata gadis itu sudah kelebuh didasar laut asmara. Berat sekali rasanya.
untuk berpisah dengan sang jantung hati lagi. Maka tanpa sangsi lagi, menyahutlah ia:
„Ajah, dalam beberapa hari ini saja, cukup sudah kuketahui bagaimana kecintaan
engkoh Go kepadaku. Mengapa harus menunggu beberapa tahun lagi ?"
„Lian-ji, mengajak kau berhamba pada bangsa asing sehingga kau bakal dicaci oleh rakjat
sebagai penghianat, itu yang kau namakan menyinta padamu? Kalau tak menunggu
beberapa tahun lagi untuk menilik bagaimana perjalanan orang itu, bagaimana kudapat
menyerahkan nasibmu kepadanya?" tegur Ceng Bo dengan geram.
Bek Lian terbungkam oleh dampratan tajam dari ajahnya itu. Dia memandang saju
kepada The Go dengan harapan agar sang kekasih itu mencarikan daja. Siapa tahu, The
Go malah pura2 tak tahu akan maksud Bek Lian itu, ujarnya: „Apa yang dikatakan
siangjin itu tepat sekali. Memang perlu dinantikan, adakah perbuatan The Go nanti dapat
dianggap sebagai ksatrya. Lian-moay, tunggulah tiga empat tahun lagi, dan buktikanlah
bagaimana peribadiku nanti!"
,,Cian-bin Long-kun, dalam usiamu semuda itu, kau sudah memiliki ilmu silat yang
bagus. Perjalananmu tentu penuh dengan pengalaman2 yang besar, harap saja kau ber-
hati2!" kata Ceng Bo sembari menatapnya.
,,Huh, menyemukan sekali imam ini, merusak rencanaku. Kelak kalau ada kesempatan
berjumpa lagi, rasai sendiri kau!" The Go mendamprat dalam hati, namun Iahirnya dia
bersikap menerima kasih sekali atas nasehat Ceng Bo itu, maka ber-ulang2 dia
mengangguk, kemudian menyahut: ,,Wanpwe akan selalu ingat nasehat siangjin yang
berharga itu!"
„Lian-moay, peganglah sendiri tiang ini dan ber-hati2lah!" katanya kepada Bek Lian.
„Tunggu! Cian-bin Long-kun ingatlah, kelak apabila kudengar berita2 buruk tentang
dirimu, biarpun kau mengumpat diujung dunia, tetap akan kukejar!" Ceng Bo siangjin
memberi peringatan yang terachir kepada The Go.
Kebencian The Go terhadap siangjin itu, sudah memuncak. Namun karena insjaf bukan
tandingannya, terpaksa dia telan perasaannya. Biarkan saja imam itu berkata apa saja,
pokok asal dia bisa lolos dulu. Maka ber-ulang2 dia mengiakan saja.
„Engkoh Go, apa kau sungguh2 hendak pergi?" tanya Bek Lian demi diketahuinya anak
muda itu hendak berlalu.
„Mana aku berani melanggar perentah siangjin?" sahut The Go dengan berat hati. Tapi
baru saja kata2nya itu keluar, atau tiba2 telah disambut dengan suatu seruan yang tajam
menusuk telinga: „Hm, lagi2 ada seorang manusia yang tak berguna, sehingga tegah hati
pada orang yang dicintai!"
Seruan yang sinis itu, telah membuat ketiga orang yang berada diatas tiang perahu
menyadi tersirap kaget. Yang paling kaget, adalah Ceng Bo siangjin. Sebagai „Hay-tee-
kau" atau Naga dari dasar laut, hebatlah kepandaiannya dalam ilmu air, hebat pula
dalam ilmunya silat. Benar ketika itu suasana gempar karena gemuruh ombak, namun
tahu2 bisa datang tanpa diketahuinya, lihaylah kepandaian orang itu. Ilmunya
mengentengi tubuh pasti jempol sekali. Maka cepat Ceng Bo memandang kearah
datangnya suara itu, dan ah, tampaklah seorang wanita bergantungan menggelandot
pada tiang perahu yang berada disebelah muka. Rambut wanita itu panjang terlepas,
sehingga wajahnya tak dapat dilihat jelas karena hampir ketutupan. la mengenakan
pakaian keper warna abu2. Sedangkan warna rambutnya itupun kusam ke-abu2-an.
Kalau hanya sepintas pandang saja, orang bisa keliru menyangka, itulah sebuah lajar
abu2 yang berkibar pada tiang perahu.
Ceng Bo menggali lubuk pengalamannya didunia persilatan, tapi tetap tak dapat
mengenal siapakah wanita berambut panjang itu. „Siapakah ini?" tanyanya.
Wanita aneh itu menyambut pertanyaan orang dengan tertawa ter-kekeh2 seram, hingga
membuat bulu roma The Go dan Bek Lian menyadi berdiri. Keduanya sudah kedinginan
karena pakaiannya basah kujup, kini masih menggigillah rasanya.
„Sudah tentu kau tak kenal padaku. Tapi siaoko (engkoh kecil) ini, bukankah anak murid
Ang Hwat cinyin dari gereja Ang Hun Kiong di Ko To San?" sahut wanita itu seraja balas
bertanya.
The Go melengak. Tiba2 dia seperti kenal suara itu sebagai yang dijumpainya ketika digua
tengah rimba dahulu. Kalau dahulu dia hanya merasa aneh dan tak berkesempatan
melihat wajahnya, kini hatinya menyadi jeri demi melihat wajahnya. Kalau bukan
ditengah hari, mungkin dia akan sudah mengira kalau wanita berambut panjang yang
datang perginya tanpa bersuara itu, sebagai sesosok setan. „Hopwe memang begitu,"
sahutnya ter-sipu2.
Sepasang mata siwanita itu memancar ber-api', dan sekilas teringatlah The Go, ketika
digua dahulu dia telah keliru menyangkanya sebagai sorot mata Bek Lian. Diam2
heranlah dia, mengapa wanita itu bisa datang kesitu sedangnya perahu tengah
membentur karang ditengah laut? Dari manakah ia itu? Dan teringat pula akan
pengalamannya ketika di Hokciu, pada suatu pagi bertanyalah Bek Lian dengan ke-
malu2-an apakah dia (The Go) tadi malam memberinya tutup selimut. Kala itu dia kira
kalau Bek Lian mengigau, maka tak begitu dihiraukan. Kini dia jakin tentu siwanita aneh
inilah yang melakukannya. Jadi terang selama perjalanannya dari gunung Hoasan (goa),
wanita itu tetap menguntit sebagai bayangan. Mengapa ia berbuat begitu? Mungkinkah
ia itu masih terikat hubungan dengan Bek Lian ? Tapi biar bagaimana, kepandaian wanita
itu sudah mencapai batas yang sukar diukur dalamnya.
Memikir akan kesemuanya itu, diam2 The Go bersjukur bahwa selama dalam perjalanan
itu dia tak sampai berbuat yang tak senonoh terhadap Bek Lian serta selalu rukun ber-
kasih2an saja.
Karena sudah sekian lama menggelandot pada tiang perahu, maka Bek Lian rasakan
tangannya kesemutan. Tidak demikian dengan Ceng Bo siangjin atau The Go yang ilmu
silat nya lebih dalam. Karena kecapean, Bek Lian bersandar pada The Go siapapun lalu
memegangi pundak sinona.
„Kau hendak bersama nona ini ......... sehidup-semati, bukan ?" tanya wanita itu pula.
„Kami berdua sudah saling memateri janyi .......... "
„Tapi mengapa kau tadi hendak tinggalkan ia?" tanya siwanita memutus omongan orang.
Dalam pikiran The Go yang penuh tipu muslihat itu, segera terkilas sebuah rencana.
Wanita itu berbeda fahamnya dengan Ceng Bo, kalau dia adu dombakan supaja
bertempur, tentu dia akan memperoleh jalan lolos. „Locianpwe," sahutnya setelah
mempunyai ketetapan, „houpwe se-kali" tak ingin berpisah dengan Lian-moay. Hanya
totiang inilah yang mengatakan kalau tingkah laku houpwe ini kurang baik, maka
disuruh menunggu lagi sampai 3 tahun. Karena malu hati, houpwe terpaksa hendak
tinggalkan Lian-moay!"
Karena dikatakan manuaia yang tak berguna" tadi, maka The Go hendak membela diri
dan menimpahkan kesalahan itu kepada Ceng Bo.
,,Kutahu, hatimu itu bukannya buruk. Orang muda siapakah yang tak menginginkan
kemajuan? Seorang pemuda memang harus berbuat begitu." ujar siwanita itu dengan
tertawa dingin. „Hanya sipengecut sajalah yang tak berani mengadu jiwa untuk
kepentingan orang yang dicintai nya.......... !
The Go girang dan terperanyat. Girang, karena faham wanita itu berlawanan dengan si
siangjin dan rupanya ilmu kepandaiannya tak dibawah si siangjin itu. Terperanyat,
karena dengan kata2 wanita aneh itu telah mengintilnya selama dalam perjalanan tempo
hari. Sesaat dia menatap kearah Bek Lian, siapa tampaknya tengah merenung kepada
siapakah ia hendak jatuhkan pilihannya: turut ajah atau ikut kekasih? Dalam hati Bek
Lian timbul suatu perasaan aneh. Sejak munculnya siwanita aneh itu, walaupun wajah
dan suaranya tak menyenangkan, tapi serasa ia senang sekali mendengarkannya.
Menilik sikap The Go yang begitu menyayang selama berhadapan dengan ancaman sang
ajah dan elmaut mati kelelap tadi, Bek Lian sudah mendapat kesan bahwa The Go itu
bukan seorang yang culas (palsu) dan pengecut. Walaupun dalam hubungannya dengan
The Go nanti ia tentu menerima umpat caci dari orang banyak, namun ia sedia juga untuk
mengambil resiko itu. Kini mendengar siwanita aneh itu memuji sang kekasih, sudah
tentu ber-lebih2-an sjukurnya. Serentak ia dongakkan mukanya kemuka untuk menatap
siwanita itu, siapa nyana ternyata si wanita berambut panjangpun tengah
memandangnya. Tapi begitu tertumbuk dengan sorot mata siwanita yang ber-api- itu,
Bek Lian terbeliak kaget.
Yang paling murka adalah Ceng Bo siangjin. Pertama, kata2 „hanya sipengecut sajalah
yang tak berani mengadu jiwa untuk orang yang dicintainya" itu, menusuk sekali ke-
hatinya. Kedua, perbuatan chianat dari si The Go oleh siwanita masih dianggap baik.
Karena tak kuat menahan hatinya, menyelutuklah Ceng Bo dengan pertanyaannya yang
tajam: „Tolong anda memberi pengunyukan. Kalau bersekongkol dengan tentara Ceng
untuk memasukkannya ke Kwitang itu masih tak boleh dianggap jahat, nah perbuatan
apakah yang baru pantas dinamakan jahat itu?"
Wanita aneh itu ter-kekeh2 mendongak keatas, lalu tundukkan kepalanya. Sewaktu
mendongak-tunduk itu, rambutnya tampak kejur kuat sekali. Hal mana telah membuat
Ceng Bo heran. „Lwekang dari cabang perguruan manakah yang sedemikian anehnya
itu?" pikirnya. Tapi sesaat itu, didengarnya siwanita aneh itu memberi penyahutan:
„Kalau seorang lelaki terhadap isterinya saja tak mampu melindungi, adakah dia itu
mampu untuk melindungi negara? Segala ocehan yang muluk2 hanya membuat orang
tersenyum ewa saja!"
Kaget Ceng Bo pada saat itu, sukar dilukiskan. Tadi sewaktu mendengar „tak mampu
melindungi orang yang dicintanya", dia sudah tersinggung. Kini demi mendengar siwanita
itu mengucap lagi „tak dapat melindungi isteri", dia makin termenung. Teringat akan
kejadian pada 10 tahun berselang, dimana isterinya telah menghilang tanpa bekas, dia
ter-longong2 seperti patung. Sebaliknya, siwanita aneh itu kedengaran berkata kepada
The Go: „Siaoko, menilik kepandaianmu rasanya kau tentu mampu melindungi orang
yang kau cintai, mengapa kau tak lekas" meninggalkan tempat ini?"
,,Banyak terima kasih ...........
Belum lagi The Go dapat mengatakan „cianpwee", atau Ceng Bo sudah menghela napas
panjang dan bertanya kepada siwanita: „Bagaimana anda tahu kalau aku tak dapat
melindungi isteri?"
Siwanita aneh tertawa dingin. Se-konyong2 dia gerakkan tangannya menebas tiang
perahu, krak .............. tiang perahu itu telah kutung 3 meter panjangnya, begitu
disambuti terus dilontarkan keudara. Dan begitu kutungan tiang itu jatuh
kehadapannya, ia hantam lagi, brak............... putuslah kutungan itu menyadi dua, lalu
jatuh kedalam laut. Yang paling mengherankan, tebasan kedua tadi sedikitpun tak
terdengar suara samberan anginnya. Begitu kutungan tiang itu jatuh kedalam laut, ia
terus melesat loncat keatasnya.
Dengan gerak „kim kee tok lip" (ajam emas berdiri dengan sebelah kaki), ia tegak diatas
kutungan tiang yang terapung timbul tenggelam itu. Tanpa menghiraukan pertanyaan
Ceng Bo, ia berseru kepada The Go: „Mengapa tak lekas2 berlalu ? Dekat dengan orang
begitu, apa gunanya?"
The Go tak mau sia2kan ketika sebagus itu. Dengan empos semangat, dia menekan sisa
tiang perahu, kemudian meminyam kekuatan tekanannya itu, dia rangkul Bek Lian enyot
tubuhnya loncat keatas kutungan tiang yang satunya. Jarak Ceng Bo dengan The Go itu
hanya lebih kurang satu meter, kalau mau dapat dia menghadang. Tapi karena masih
ter-menung2 memikiri dampratan siwanita aneh „tak mampu melindungi isteri" tadi,
pikirannya me-layang2 jauh pada pada peristiwa 10 tahun yang lalu.
10 tahun yang lalu, Ceng Bo siangjin masih sebagai Bek Ing yang bergelar Hay-tee-kau.
Dengan In Hong yang bergelar Kiang Siang Yan (seriti diatas sungai), sebenarnya adaIah
suheng dan sumoay (saudara seperguruan). Karena sama saling jatuh cinta, keduanya
terangkap menyadi suami isteri sampai 10 tahun lamanya. Mereka dikarunia seorang
puteri, Bek Lian, yang itu waktu sudah berumur 9 tahun. Ketika itu Kiang Siang Yan In
Hong sudah hamil lagi. Sejak sepasang suami isteri itu menerima kepandaian dari suhu
dan subo, mereka berkelana didunia persilatan untuk menyalankan dharma kebajikan.
Selama itu, belum pernah mereka menemui tandingannya.
Pada kala itu, mereka telah keliru diadu domba oleh dua orang siaojin, maka
bertempurlah keduanya melawan Tay Siang Siansu dari gereja Liok-yong-si Kwiciu (guru
Kiau To). Pertempuran itu telah berlangsung dengan seru sekali, hingga sampai satu hari
dua malam belum putus. Baru setelah Bek Ing mengeluarkan ilmu pedang to-hay-kiam-
hwat dan In Hong menggunakan ilmu pedang boan-kiang-kiamhwat dan berkat
ketajaman pedangnya masing2 yang sakti itu, dapatlah mereka mengalahkan hweshio
gagah itu. Tapi walaupun menang, mereka telah mengalami pengalaman yang pahit.
Karena keliwat menggunakan kekuatan, kandungan In Hong goyang dan achirnya
mengalami keluron (gugur kandungan). Dan karena keluron itu, In Hong banyak
mengeluarkan darah, hingga badannya lemah sekali. Untuk sementara, terpaksa mereka
menetap disebuah pondok dikaki gunung Lo-hou-san guna beristirahat. Setiap hari, Bek
Ing naik ke atas gunung untuk mencarikan daun obat2an sang isteri.
Tapi peristiwa hebat telah terjadi. Pada suatu hari, ketika Bek Ing pulang dari mencari
obat, dilihatnya pintu pondok (gubuk) terbuka lebar, sedang penerangan didalamnya
tampak sebentar suram sebentar terang. Dia terkejut karena menduga tentu terjadi apa2
yang tak diinginkan. Secepat kilat dia menobros masuk. Seorang tua kate yang rambut
dan alisnya sudah putih tampak sedang menyeringai memandang In Hong. Demi
menghampiri dekat, diketahuinya sang isteri itu telah kena ditutuk jalan darahnya
sampai pingsan. Buru2 Bek Ing membuka jalan darah sang isteri, siapa tak antara lama
kemudian dapat siuman lagi.
Sewaktu ditanya, orang kate itu ternyata seorang linglung, maka tanpa bicara lagi Ceng
Bo menempurnya. Tapi kiranya orang tua kate itu „keras" sekali, hinggi sampai sekian
lama, belum bisa menang malah achirnya musuh dapat lolos. Pertempuran itu terjadi
diluar pondok. Sia2 mengejarnya, Ceng Bo kembali kedalam pondok, tapi isterinya sudah
menghilang. Cepat dia mencarinya, namun tak berhasil. Sejak itulah dia berpisah dengan
sang isteri, hingga kini sudah 10 tahun lamania.
„Adakah aku dapat dikatakan seorang yang tak mampu melindungi isteri? Peristiwa itu
diluar dugaanku, serta setelah pulang dari atas gunung baru kupergoki, mengapa aku
dituduh 'hanya orang pengeculah yang tak berani mengadu jiwa untuk kepentingan orang
yang dicintainya'?" demikian tanyanya seorang diri. Sampai sekian lama, tak dapat dia
menyawab pertanyaannya itu. Baru setelah segelombang ombak mendamparnya, dia
menyadi gelagapan tersedar. Dia mengawasi kemuka, tapi ternyata The Go, Bek Lian serta
siwanita aneh tadi sudah lenyap dari pandangannya.
Dia perdengarkan hembusan napas panjang. Jauh memandang kelautan lepas, air laut
bercahaja ke-emas2-an ditimpa pancaran sinar Batara Surya, sekilas hatinya jauh me-
layang2. Selang berapa saat kemudian, baru dia tersadar dan cepat- menabas tiang
perahu. Sewaktu dia inyak kutungan tiang itu, dia merandek sebentar untuk mengawasi
sisa tiang perahu lainnya yang bekas ditabas oleh siwanita aneh tadi. Demi melihat bekas
tabasan itu, mau tak mau dia geleng2 kepala.
Kiranya sisa tiang itu, ujungnya seperti ditabas rata dengan golok. Menandakan bahwa
sekalipun ilmu kepandaiannya dengan siwanita aneh itu setingkat, tapi berlainan
sumbernya. Habis itu, Ceng Bo segera meluncur dengan kutungan tiangnya, tapi bingung
dia hendak menuju kemana.

---oo0oo---
BAGIAN 7 (Hasil Revisi)
HATI NAN LARA

„Engkoh Go, mengapa binatang itu tak rubuh ?" tanya Bek Lian. The Gopun turut heran.
Dipungutnya dua biji batu dan ditimpukkannya lagi. Kali ini perut kedua binatang itu
terkena, ucus keluar darah mengalir, terang sudah tentu mati. Tapi yang mengherankan,
binatang itu tetap tegak berdiri saja. Selagi masih diliputi oleh rasa heran, tiba2
didengarnya ada orang berbangkit.
„Sahabat manakah yang ..................", belum habis The Go menyerukan pertanyaannya,
tiba2 kedua ekor binatang rusa yang sudah mati tadi melesat maju dengan cepat sekali
hingga sampai mengeluarkan deru angin. Buru2 The Go menarik Bek Lian untuk
menyingkir kesamping.
Pada lain saat terdengarlah dua kali suara blak....... blak....... , dan tersungkurlah kedua
binatang tadi ketanah.
Ketika The Go menengok kebelakang, dilihatnya binatang itu sudah hancur tubuhnya.
Tahu dia bahwa tentu ada seorang berilmu tinggi yang meluncurkan binatang itu. Baik
kawan atau lawan, tapi yang perlu harus bersiap dulu. The Go cepat hendak
mengeluarkan kipasnya. Kipas itu terbuat dari bahan sutera yang ulet sekali, hingga tak
rusak terendam dalam air laut. Tapi baru tangannya menarik kipas, atau terdengarlah
suara orang memakinya: „Jahanam, dengan susah pajah Sam-thay-ya mencari tempat
yang sunyi untuk tidur serta membawa dua ekor rusa untuk mengalingi diri dari sinar
matahari, mengapa berani mengganggu kesenangan Sam-thay-ya"
Nada suara itu berpengaruh sekali, hingga menusuk kedalam telinga dan hidung. The Go
dan Bek Lian segera mengetahui bahwa kini mereka berhadapan dengan seorang yang
tinggi ilmunya lwekang. Ketika mengawasi dengan perdata, kiranya ditempat kedua rusa
berdiri tadi, tampak ada seorang tua yang bertubuh kate dan alia serta rambutnya sudah
putih semua. Dia mengenakan jubah panjang yang warnanya menyerupai warna batu.
Oh, kiranya tadi siorang tua kate ilulah yang ber-baring dibawa kedua ekor rusa, maka
kaki kedua binatang itu tampaknya seperti terpaku ditanah.
Mengetahui kesaktian siorang kate itu, The Go tak berani mencari perkara. Tapi baru dia
hendak mengatakan sesuatu, tiba2 orang kate itu loncat menghampiri kemuka Bek Lian
seraja mengawasinya. „Kiang Siang Yan!" serunya dengan nyaring sekali hingga membuat
Bek Lian terkejut.
„Wut.......", sehabis berteriak tadi siorang tua kate itu meluncur kebelakang sampai dua
meter jauhnya. Tangannya menabok pada batok kepalanya sendiri lalu mengoceh sendiri:
,,Salah, he? Kalau Kiang Siang mau semacam itu, tak seharusnya kumemelihara yanggut
begini."
The Go dan Bek Lian tak mengerti ocehan orang itu, maka ditunggunya saja sampai
beberapa saat.
„He, kalian lihat, aku ini mempunyai yanggut tidak ?" tiba2 siorang tua kate itu
mendongak bertanya.
Diam2 The Go menyadi heran. Orang itu mempunyai buge (kepandaian silat) yang
sedemikian sakti, tapi mengapa selinglung itu. Tiba2 dia teringat akan keterangan kakek
gurunya Ang Hwat cinyin, bahwa dalam dunia persilatan memang terdapat seorang tokoh
yang bertubuh kate, siapa paling gemar sekali belajar silat. Dia selalu memaksa orang
yang dijumpainya supaja mengajarkan ilmu silat, maka ilmu silatnya banyak macam
ragam alirannya. Ilmunya lwekang, dipelajarinya dari seorang sakti ketika dia masih
kecil. Lihaynya tiada tertara. Tapi pikiran orang itu seperti linglung, omongannya tak
keruan juntrungannya. Ang Hwat cinyin memesan, apabila berjumpa dengan tokoh itu,
The Go harus bersikap mengindahkan, baru nanti tak mengalami kesusahannya dari dia.
Dilihat, ciri2nya, terang siorang kate inilah yang dimaksudkan oleh kakek guruna itu.
Teringat hal itu, ter-sipu2 The Go menyura memberi hormat seraja -berkata: „Sam-thay-
ya !"
Memang siorang tua kate itu bukan lain adalah si Sik Lo-sam adanya. Sejak berpisah
dengan Ceng Bo siangjin, dia lalu mengembara ke-mana2 dia tanpa disengaja telah
kesasar dipulau kosong situ. Begitu melihat The Go begitu menghormatnya, dia tertawa
ter-loroh2. Habis itu, sekonyong2 dia menampar keningnya sendiri, lalu berseru dengan
murka: „Hai, bujung, tadi Sam-thay-ya tanya kau punya yanggut tidak, mengapa kau
diam saja ?"
The Go tak jelas akan pertanyaan orang, dikiranya yang punya atau tidak yanggut itu
adalah siorang tua itu sendiri, maka cepat dia menyahutnya : „Tidak!"
Mendadak Sik Lo-sam ber-kaok2 aneh, serunya : „Haja, celaka, aku tak punya yanggut.
Kalau bukan Kiang Siang Yan siapa lagi ia itu ?" Habis itu dia lantas memutar tubuh lari.
Tapi baru beberapa tindak, se-konyong2 dia memutar tubuhnya lagi, serunya: „Salah,
asal bisa menemukan Kiang Siang Yan, Hay-te-kau tentu mau mengajari aku ilmu
pedang. Ah, tak boleh lari...... , tak boleh lari...... !" Dan „wut .....", dia loncat kesamping
Bek Lian.
Geli Bek Lian melihat siorang tua kate yang linglung itu, maka kini diapun tak takut lagi,
malah ter-tawa2. Melihat dirinya diketawai, Sik Lo-sam tanya pada The Go: „Bujung,
adakah aku ini sungguh2 tak beryanggut ?"
Merasa tadi salah faham, kini The Go menyahut kalau orang tua itu beryanggut. Tapi
mendadak sontak, siorang tua itu men-jerit2 dengan marahnya: „Kau berani
mempermainkan Sam-thay-ya bujung?" Dan „wut.....”, begitu meluncur tahu2 dia hendak
mencengkeram dengan tangan kanannya. Tapi anehnya tangan kanan itu walaupun
menyulur tapi tetap kaku, sebaliknya tangannya kiri sudah nampak disiapkan.
The Go tahu bahwa serangan tangan kanan orang aneh itu hanya kosong, maka jika dia
keburu menghindar tentu akan dicengkeram oleh tangan kiri orang. Maka dengan
gerakan yang tak mirip dengan ilmu silat, dia buang diri kesamping. Benar jiiga
cengkeram Sik Lo-sam tadi telah menemui tempat kosong, sementara The Go seperti
tingkah orang mabuk, lalu ter-hujung2 bangkit kembali.
,,Ang Hwat cinyin ! Bagus, bujung, kau pernah apa dengan Ang Hwat cinyin ?" tanya Sik
Lo-sam demi melihat gerakan The Go tadi adalah dari jurus „Hong-cu-may-ciu" atau sigila
menyual arak.
,,Hopwe adalah cucu murid dari Ang Hwat cinyin," sahut The Go dengan hormat sekali.
„Hai, mengapa kau tak menyura padaku ? Meskipun Ang Hwat cinyin pernah mengajari
ilmu silat padaku, tapi akupun juga memberi pelajaran padanya. Jadi terhitung aku ini
suhumu, hajo mengapa tak mengangguk pada Sam-thay-ya ?"
Sampai disini tak kuasa lagi Bek Lian menahan gelaknya, saking gelinya ia tertawa ter-
kial2. Sik Lo-sam penasaran, matanya terbolak-balik. The Go cukup mengerti, kalau
orang tua kate itu memang linglung, jadi tak dapat diajak bicara genah, maka dia lalu
menerangkan : „Sam-thaya, ia bukan Kian Siang Yan, tetapi puterinya."
Rupanya Sik Lo-sam agak sadar, sampai sekian saat dia diam saja. Kemudian tanyanya:
„Bujung, mengapa kau datang kepulau kosong ini ?"
The Go tahu tak usah banyak ini itu dengan orang linglung itu, karena- kalau salah lidah,
dia tentu dihujani pertanyaan yang tak putus2nya.
Maka dengan sembarangan saja, dia menerangkan secara ringkas. Dan benar juga Sik
Lo-sam mau mempercajainya.
„Sam-thay-ya begaimana bisa datang kemari ?" kini The Go yang balas bertanya.
,,Kau berani memandang rendah pada Sam-thay-ya ?" kembali silinglung angot
penyakitnya.
,,Apa kau naik perahu ?" buru2 The Go menyusuli pertanyaan.
Sik Lo-sam tertawa, sahutnya: „Perahu sih hanya mencuri sebuah, tapi aku berenang
tadi, hanya saja perahu itu juga kubawa kemari."
The Go girang, karena kalau Sik Lo-sam bisa berenang kesitu, terang pulau itu tak jauh
dari daratan besar. Kalau benar siorang tua membawa perahu, mudahlah untuk kembali
kedaratan sana. „Sam-thay-ya dari mana kau mulai terjun ?" tanyanya.
,,Huh, masih bertanya ? Di Kwiciu diadakan luitay besar, apa kau tak tahu ?"
Muka The Go merah, sahutnya: „Tahu."
,,Dalam keramaian begitu, mana bisa Sik Lo-sam tak turut melihat ? Thian Te Hui kalah,
Sam-thay-ya tentu membantunya. Kalau Thian Te Hui menang, Sam-thay-ya akan bantu
fihak Ci-hun-si."
Diam2 The Go leletkan lidahnya. Dengan ilmunya itu, terang kalau mau, orang tua aneh
itu tentu dapat mengacau luitay.
,,Tapi, cialat, Sam-thay-ya temaha tidur, terlambat sehari. Malam itu kesana luitay sudah
beristirahat. Besok paginya luitay baru dimulai lagi. Tapi Sam-thay-ya tidur, seperti orang
mati lagi. Pikir Sam-thay-ya, tidur itu pengacau besar, yangan tidur saja. Tapi makin
benci tidur, makin kepingin tidur, sehingga lima enam hari selalu ketinggalan spor (kereta
api) saja! Entah bagaimana, orang2 sudah tak berhantam diluitay, suasananya menyadi
kacau. Sam-thay-ya tak mau mumet2 dengan orang2 banyak itu, mencuri sebuah
perahu, lalu berenang kemari. Aneh, sepanjang jalan, bertemu dengan beberapa orang
yang kepalanya berkuncir, seperti orang perempuan. Sam-thay-ya senang sekali
melihatnya, lalu membetot beberapa buah. Tapi rupanya orang2 itu sudah beberapa hari
tak keramas, baunya apek sekali, lalu Sam-thay-ya lemparkan kuncir2 itu."
The Go tahu sekalipun orang tua itu linglung, tapi apa yang diceritakan tadi tentu
sungguh. Jadi nyata tentara Ceng sudah menyerang Kwiciu, maka luitay itu lantas tutup.
Tapi siapakah yang memimpin tentara Ceng itu, karena toh dia sendiri berada ditengah
lautan ? Keinginan The Go untuk lekas2 balik ke Kwiciu, makin besar. „Sam-thayya,
dimanakah perahu itu ?" tanyanya.
,,Turut sama Sam-thay-ya jo, perahu baik2 tertambat disana," kata Sik Lo-sam dan
„tok.... , tok.... " seperti katak, dia melompat kemuka. The Go ajak Bek Lian mengikuti
siorang tua aneh itu. Ketika sampai dipesisir, ternyata disitu tampak ada sebuah perahu.
Maju lagi beberapa tindak, Bek Lian cepat melihat ada seseorang tengkurap dipesisir.
Tubuhnya sebentar diangkat sebentar diturunkan, seperti orang yang baru saja datang
dengan berenang, sehingga kehabisan tenaga.
,,Engkoh Go, ada lagi seorang lain disana itu," seru Bek Lian kepada The Go. Orang itu
mengangkat pelan2 kepalanya, dan tiba2 berseru: „Suci!"
Bek Lian terkejut sekali, serunya: „Sute, mengapa kau disini ?" Sembari lari menghampiri.
Sebagai saudara seperguruan, sudah tentu setelah lama tak berjumpa, Bek Lian ingin
sekali menanyakan kabarnya Yan-chiu.
Tapi The Go menyadi cemburu. Teringat dia ketika di Giok-li-nia tempo hari, Tio Jiang
sikapnya begitu memperhatikan sekali kepada Bek Lian, terang kalau diam2 tentu
menyintai. Benar sijuwita itu telah menyerahkan seluruh hatinya kepadanya, tapi kini
dengan adanya Tio Jiang, dia bersangsi. Cepat dia ulurkan tangannya untuk menyambret
Bek Lian, seraja berkata dengan dingin sekali: „Pe-lahan2 saja berjalan, perlu apa harus
begitu kesusu !"
Bermula Bek Lian tak mengerti mengapa sang kekasih .menariknya, tapi demi nampak
perobahan muka sianak muda itu, tahulah ia apa sebabnya. „Engkoh tolol, aku kan
sudah menyadi kepunyaanmu!"
The Go merasa tadi dia sudah keterlaluan, maka diapun segera tertawa. Dalam keajalan
itu, Sik Lo-sam sudah menghampiri kemuka Tio Jiang. ,He, bujung, kaulah kiranya!"
serunya dengan suara yang aneh.
Belum Tio Jiang menyahut, The Go dan Bek Lian sudah tiba. Tio Jiang pe-lahan2
mengangkat kepalanya, lalu berseru: „Sam-thay-ya!"
Sik Lo-sam- tertawa girang. Tapi Tio Jiang tak menghiraukannya lagi, serta berkata
kepada Bek Lian :„Lian-ci, kemana saja kau beberapa hari ini ? Dan suhu? Hari itu......
malam...... ", tangannya lalu merabah kedalam baju. Peniti kupu2an kepunyaan Bek Lian
masih berada di-situ, katanya lagi :„Malam itu aku tidur kepati, sampai keesokan harinya
baru bangun. Yan-chiu mengatakan kau ber-sama suhu berangkat kedalam kota, tapi
mengapa sampai beberapa hari ?"
Bek Lian tak tahu mengapa dalam keadaan sepajah itu, begitu melihat dirinya, Tio Jiang
timbul lagi semangatnya. Ia tak tahu kalau Yan-chiu main gila. Yang diketahuinya ketika
pergi dengan sang ajah itu, sutenya itu masih terluka parah. „Sute, apa lukamu sudah
baik ?" tanyanya.
Melihat sang suci kini begitu memperhatikan dirinya, tangan Tio Jiang terus menerus
me-mijat2 peniti kupu. „Sejak Lian suci mengikat janyi padaku, sikapnya betul2 sudah
berobah," pikirnya, lalu berbangkit sembari melolos sarung pedang yang terselip
dipinggang, untuk menuang air didalamnya. „Lukaku sudah hampir sembuh. Tapi karena
ber-gegas2 terjun keair, sehari penuh berenang, maka punggungku terasa sakit lemas !"
,,Mengapa lari kelaut ? Apa kau dikalahkan diluitay dan di-kejar2 musuh ? Sungguh tak
ada aturan begitu!" tanya Bek Lian.
Tio Jiang membeliakkan matanya, balas bertanya: „Lianci, apa kau tak tahu kalau tentara
Ceng sudah masuk ke Kwiciu ? Kiau susiok memimpin ratusan saudara2 Thian Te Hui
untuk menyerang kekota. Aku dan Yan-chiu ikut serta. Tapi tentara Ceng keliwat banyak
jumlahnya, hingga kami terkurung. Setelah bertempur mati2an sampai sehari semalam,
baru bisa lolos, ah rasanya tulang2ku seperti copot!"
Mengira kalau sang suci itu sudah menyadi orangnya, maka Tio Jiang kini bisa bicara
dengan lancar, tak akuk seperti dahulu. The Go bergirang, karena apa yang diduganya
itu tak salah. „Siaoko, bilamana tentara Ceng itu masuk. ke Kwiciu, siapa yang
memimpinnya, tahukah kau ?" 'tanyanya seraja maju selangkah.
Sejak menampak The Go, Tio Jiang sudah tak senang, maka dia hanya menggerendeng
„hem" saja tak mau menyahut, sebaliknya lalu berbisik tanya kepada Bek Lian lagi:
,,Lian-ci, mengapa kau bisa ber-sama2 dengan dia? Apa dia tak menghinamu ?"
Bek Lian jengkel. Baru saja omong genah, kini sutenya itu keluar ketololannya lagi.
„Sute!" bentaknya.
Tio Jiang tak mengerti mengapa sucinya berlaku begitu. Dia melirik kepada The Go, siapa
ternyata memandang dengan sikap mengejek pada Bek Lian. Tio Jiang tahan sabarnya
dan melainkan berkata lagi kepada Bek Lian: „Lian-ci, mari kita lekas mencari suhu, kau
pergi bersama suhu, dimanakah suhu sekarang ? Kalau tak dapat mencari suhu, asal
ketemu susiokpun boleh juga!" Habis berkata begitu dia segera menghampiri Bek Lian
lalu menarik tangannya.
Biasanya Tio Jiang tak bernyali untuk unyuk „kegagahan" begitu, maka karena tak
mengira, Bek Lian sudah kena dicekal tangannya. Dengan wajah ke-merah2an, ia
membentak: „Sute, kau.......", belum kata2nya itu selesai, atau ia segera menampak ada
sesosok bayangan berkelebat, dan tahu2 Tio Jiang menghindar kesamping, trang....... dia
sudah siap pula, dengan pedangnya.
Pedang itu tangkainya bertotolan, milik Ceng Bo siangjin. Ketika memberikan pedang
pusaka itu, suhunya berkata :
„Nampaknya kau ini seperti orang tolol tapi sebenarnya tidak, melainkan karena terlalu
polos saja. Walaupun pedang hitam badannya penuh dengan terotolan tahi karat, tapi
tajamnya bukan kepalang." Maksud dari ucapan sang suhu itu juga mengandung arti,
supaja Tio Jiang yangan puas dengan apa yang didapatnya.
Ketika Tio Jiang dengan jakin sekali mencekal lengan Bek Lian, dia sudah tak
menghiraukan kalau disitu masih ada Sik Lo-sam dan The Go. The Go yang sudah
mempunyai dendaman hati dengan Tio Jiang itu, sudah tentu menyadi murka melihat
perbuatannya terhadap sang juwita. Dengan sebat dia loncat menutukkan kipasnya
kearah jalan darah ko-bong-hiat orang. Jalan darah kong-bong-hiat itu termasuk salah
satu jalan darah kematian. Barang siapa kena tertutuk jalan darahnya disitu, tentu akan
meninggal. Memang The Go sudah benci sekali, hingga hendak membinasakan Tio Jiang.
Tapi dalam beberapa hari selama ikut bertempuran melawan tentara Ceng itu, Tio Jiang
tambah banyak pengalamannya, makin sempurna juga latihannya dalam ilmu pedang to-
hay-kiam-hwat. Begitu merasa ada angin menyambar dari belakang, cepat dia menyingkir
kesamping sambil mempersiapkan pedang. „Cian-bin Long-kun, mengapa mau
membokong orang ?" dampratnya.
The Go tebarkan kipasnya untuk dibuat kipas2, belum lagi mulutnya menyawab
dampratan orang, atau Sik Lo-sam sudah kedengaran mengoceh sendirian: „Hm, bujung
itu terlalu jahat, masa sekali turun tangan sudah mau menutuk jalan darah ko-bong-hiat
?"
Tio Jiang terperanyat. Pedangnya dibolang-balingkan sebentar, lalu bertanya: „Sam-thay-
ya, apa katamu ?"
Sik Lo-sam delikkan matanya, menyahut: „Bujung, bocah yang itu tadi hendak menutuk
jalan darah ko-bong-hiatmu. Cara kau menghindar bagus sekali! Lebih baik ajarkan
padaku saja !"
Dalam kesusunya, tadi Tio Jiang menyorok kesamping, pedang terlepas. Tapi dengan
sebat sekali, tangannya membalik untuk menyawut pedang itu lagi. Itulah yang disebut
jurus „hay lwe sip ciu" (10 benua dalam laut), termasuk jurus yang ke. 7 dari ilmu pedang
to-hay-kiam-hwat. Sebagai orang yang gemar ilmu silat seperti nyawanya sendiri, sudah
tentu Sik Lo-sam dapat mengenal „barang baik", maka dia telah ajukan permintaan itu.
Sebaliknya Tio Jiang tengah delikkan mata kepada The Go.
Tio Jiang murka sekali. Sekalipun terhadap musuh, tapi tak seharusnya berbuat seganas
tadi. Pikirnya, karena bersama-sama orang itu, tentu Bek Lian dihinanya. Sayang
penyakitnya kumat lagi, makin marah makin tak dapat berkata2. Sampai sekian saat,
baru dia dapat mengucap : „Cian-bin Long-kun, kau...... kau..... "
,,Aku bagaimana ?" tanya The Go dengan tertawa mengejek, seraja menghampiri maju.
Dia perhitungkan, sejak pertemuannya dengan anak muda itu baru lima enam hari ini,
ternyata anak itu telah menderita luka parah, dan dalam pertempuran melawan tentara
Ceng juga lari pontang-panting, terang kalau kepandaiannya masih sama seperti kala
dijumpainya di Giok-li-nia itu. Kini keduanya sudah blak-blakan, saling bermusuhan.
Daripada timbulkan bahaja dikemudian hari, lebih baik sekarang ini ditumpas saja. Maka
ketika jaraknya sudah diperhitungkan tentu berhasil, dia miringkan tubuh dan secepat
kilat kipasnya dijulur-surutkan 3 kali. Membarengi tangannya kiri menghantam pelan,
kipas ditangan kanan tadi ditutukkan kearah kepala orang untuk mengarah jalan darah
thay-yang-hiat.
Sewaktu orang mendekati tadi, Tio Jiang sudah mengira tentu akan diserang, maka
siang2 dia sudah bersiap, melangkah maju, maka kebetulan sekali hantaman tangan kiri
The Go tadi telah dapat dihindarinya. Begitu dilihatnya orang sudah bergerak menyerang,
Tio Jiang gunakan jurus hay-li-long-hoan (puteri laut memain gelang), pedangnya
dijungkat keatas. Kelihatannya jurus itu biasa saja, tapi ternyata telah dapat
menghadang serangan lawan.
Memang serangan kipas The Go itu, hanyalah gertakan kosong. Begitu orang hanya
bermaksud melindungi muka atau kepalanya, atau mengegos kesamping, tentu akan
terkena perangkapnya. Dalam gerak perobahan selanyutnya, musuh tentu tak bisa
menghindar lagi.
Tapi telah diterangkan diatas bahwa selama ikut bertempur melawan tentara Ceng itu,
ilmu pedang Tio Jiang tambah maju sekali. Benar dia terluka hantaman thiat-sat-ciang
dari To Ceng hweshio, tapi setelah diminumi 4 butir pil sam-kong-tan, lukanya tak
berbahaya lagi. Dia lebih jelas lagi akan arti dua kalimat yang menyadi pokok ilmu pedang
to-hay-kiam-hwat itu, jakni: „Alun kecil gelombang besar, masih jauh tampaknya pelahan
begitu dekat tentu cepat". Memang ombak laut yang mendampar ketepi itu, kalau masih
jauh, tampaknya pe-lahan2 mengalun, tapi begitu sudah dekat lagi bergemuruh dan
mendampar dengan cepatnya. Letak rahasia ilmupedang to-hay-kiam-hwat, adalah
disitu. Jadi serupa dengan ilmu pedang Bu-kek-kiam yang berdasarkan atas „dengan
ketenangan mengatasi gerakan", atau „dua tail menahan ribuan kati".
Tahu bahwa ilmu permainan 'Hong-cu-may-ciu' (orang gila menyual arak) itu penuh
perobahan yang lihay, Tio Jiang tak berlaku lengah. Tangan kiri untuk melindungi dada,
lalu pedang ditangan kanan digerakkan dalam jurus ,,hay li long hoan" tadi. Dengan jurus
itu, The Go mati kutu tak dapat menyerang dan terpaksa mundur selangkah. Kini Tio
Jiang yang balas menyerang dengan jurus hay lwe sip ciu (10 benua dalam laut ).
Melihat kedahsjatan pedang sianak muda, The Go tak berani menyambuti. Dia
pendakkan tubuh, niatnya hendak menyusup kesamping. Tapi untuk kekagetannya,
ujung pedang lawan seperti tetap membayangi saja. Diam2 hatinya menyadi keder, demi
teringat akan kesaktian ilmu pedang Hay-te-kau Bek Ing itu. Karena tempo hari belum
pernah menyaksikannya, maka The Go menduga anak itu tentu baru saja mempelajari
jurus tadi. Diapun tak berani berajal, begitu dilihatnya empat jurusan diliputi oleh
samberan pedang, dia terus main mundur sampai beberapa tindak jauhnya.
Pertempuran melawan tentara Ceng itu, ternyata merupakan latihan praktek yang
berharga bagi Tio Jiang. Entah sudah berapa banyak jiwa tentara Ceng yang melayang
di, ujung to-hay-kiam-hwat itu. Maka diam2 dia merasa kagum juga terhadap The Go,
demi dalam gebrak pertama. tadi dapat menghindar dengan jalan mundurkan langkah.
Tapi mana dia mau memberi hati lagi. Mulai dari jurus. ,,Thio Ik memasak laut" sampai
„Ho Peh memandang laut", usul menyusul dia merangsak lawan, sehingga binggunglah
lawan dibuatnya. Baru mundur begini, atau ujung pedang sudah mengancam datang,
mundur kesitu, disana sudah menanti babatan pedang. Buru2 orang she The itu
tenangkan pikirannya dan tumplak seluruh kepandaiannya. Sekalipun dapat
menghindar dari setiap serangan, namun keadaannyapun sudah tak keruan, montang-
manting keripuhan. Untunglah Bek Lian segera berseru mencegah sang sutee, siapa
walaupun tak mengerti maksud sang suci, namun menurut juga.
,,Lian-moay, ilmu pedang sutemu itu, jauh lebih menang dari kau !" kata The Go dengan
napas ter-engah2.
Bek Lianpun mengenal kalau sang sute itu telah dapat mempelajari habis seluruh
permainan To-hay-kiam-hwat,. Kembali wataknya ingin menang-dewek timbul, katanya :
,,Sute, mengapa jurus „Ho Peh kuan hay" tadi boleh di buat menggertak dulu baru
menyerang yang sesungguhnya, sehingga memancarkan 7 buah sinar pedang ?"
,,Lian-ci, mari kita cari suhu, nanti ditengah perjalanan kuajarkan jurus itu padamu,"
kata Tio Jiang.
Bek Lian heran atas perobahan sikap sute yang biasanya begitu celingus, mengapa kini
begitu „gagah" itu. Tanpa banyak pikir lagi, dia menyemprot: „Kau suka mengajarkan
tidak, itu terserah. Tapi siapa kesudian kau ajak mencari suhu ? Aku akan tetap
berdamping dengan engkoh Go."
Tio Jiang seperti disambar petir, sehingga hampir tak mempercajai apa yang didengarnya
itu. „Lian-ci, apa katamu itu ?" tanyanya menegas.
Belum Bek Lian menyawab, The Go sudah menghamperi dan menggandeng tangan
sinona. Dengan melirikkan pandangan matanya yang menghina pada Tio Jiang, dia
berkata kepada Bek Lian : „Lian-moay, buat apa dekat2 dengan anak itu? Hajo, kita ke
Kwiciu sana!"
„Baiklah !" sahut sinona dengan tertawa riang. Dan tanpa menghiraukan kedua orang
yang masih berada disitu, mereka berdua segera lari menuju kepantai dimana perahu itu
ditambatkan.
Tio Jiang seperti orang bermimpi. Bukantah, malam itu Bek Lian telah memberi tanda
pengikat padanya ? Mengapa kini begitu mesranya terhadap The Go dan membalikkan
muka padanya ? Bermula dia kuatir kalau sedang bermimpi, maka dicubitnyalah
lengannya, tapi dia menyerit sendiri karena kesakitan. Terang kalau dia masih berjaga.
Tetapi....... mengapa terjadi keanehan begitu ? Tanda matanya saja masih disini,
mengapa orangnya sudah membelakangi ? Saking tak dapat memecahkan soal yang aneh
itu, Tio Jiang ter-longong2 seperti patung. Hatinya. begitu mendelu sekali, semangatnya
patah dan lukanya terkena thiat-sat-ciang itu kembali terasa sakit sekali. Setiup angin
laut telah menusuk kedalam lukanya itu, ngilu dan nyeri. Tadi waktu datang kepulau itu,
sebenarnya dia sudah kehabisan tenaga karena hampir setengah harian berenang
melintasi laut. Hanya karena melihat Bek. Lian saja, maka timbullah semangatnya baru.
Namun hal itu terlalu dipaksakan sekali. Kegoncangan menyaksikan Bek Lian lari
bersama The Go itu, telah menusuk sekali sanubarinya, membanting hancur seluruh
impiannya. Sesaat terasa mulutnya anyir, matanya berkunang2, setelah menggigil
sebentar, matanya menyadi gelap dan, „bluk........." jatuhlah dia tak sadarkan diri.
Karena sampai sekian detik, tak mendengar suara Tio Jiang, Bek Lian menoleh
kebelakang, dan demi dilihatnya sang sute rubuh ditanah, ia merandek.

Lian-moay, lekaslah ! tak lekas2, mungkin kita nanti alami impian yang buruk lagi!"
cepat2 The Go menyerukan.
Bek Lian kuatir kalau tak dapat berkumpul dengan The Go, maka setelah menghela
napas, ia tak memikirkan sang sute lagi.
,,Anak perempuan, yangan pergi !" tiba2 Sik Lo-sam berseru.
The Go terperanyat, sembari mencekal tangan sinona kencang2, dia bertanya: „Sam-thay-
ya, ada urusan apa ?"
,,Hay-te-kau suruh aku carikan Kiang Siang Yan, kalau ketemu baru dia nanti ajarkan
aku ilmu pedang. Kalau kini aku berhasil menemukan anak perempuannya, masa dia
tak mau mengajarkan 3 jurus saja ? Anak, berhenti, ikut aku mendapatkan Hay-te-kau
!"
Sik Lo-sam itu seorang linglung yang blak2an. Apa yang sang hati mau, mulutnya segera
men jatakan. The Go mengeluh. Terhadap orang aneh Itu hanya bisa dilawan dengan
akal, se-kali2 tak boleh dengan kekerasan. Sembari percepat langkahnya, The Go
mengajukan sebuah pertanyaan : ,,Sam-thay-ya, anak perempuan dari Kiang Siang Yan
itu, pernah apa dengan Hay-te-kau, mengapa kau tak dapat memikir ?"
Benar juga, Sik Lo-sam termenung memikirkan pertanyaan itu. Dan pada saat itu The
Go beserta Bek Lian audah jauh dari. situ. Dan begitu tiba ditempat tambatan perahu
lalu cepat2 mengajuhnya. Baru ketika melihat kedua anak muda itu melarikan
perahunya, Sik Lo-sam menyadi kelabakan. „Hai, budak kecil, berani mempermainkan
Sam-thay-ya ja ?" serunya sembari wut.......... loncat setombak lebih jauhnya dan tak
antara lama sudah sampai kepinggir laut. Tapi dengan memasang lajar, The Go serta Bek
Lian sudah jauh dari pesisir situ.
Saking marahnya, Sik Lo-sam ber-jingkrak2 seperti orang kebakaran jenggot. Dia
berloncat kian kemari dipesisir situ. Mulutnya meng-hembus2, sehingga............ rambut
yanggutnya yang mend julai panjang itu, sama tegak lenc ang. Bahkan alisnyapun mend
jigrak semua. Tangannya me-nari2 tak keruan sehingga puhun dan batu karang yang
berada didekatnya menyadi hancur beterbangan. Setelah melampiaskan kemarahannya,
tiba2 dia bertereak keras: „Ja, bujung itulah yang merusak urusanku !" Habis itu, dia
terus berloncatan menghampiri Tio Jiang.
,,Bujung, kau berani merusak urusan besar Sam-thay-ya, lekas bangun, bertempur
dengan Sam-thay-ya sampai 300 jurus !" serunya dengan suara mengguntur. Tapi
bagaimana dahsjatnya tereakan Sik-Lo-sam itu. Tio Jiang yang terluka hati dan tubuhnya
itu, tetap belum siuman.
,,Hi? Matikah ?" achirnya Sik Lo-sam menyatakan keheranannya. Dia tunggu lagi sampai
beberapa saat dan sekonyong2 wut ........ dia loncat menyingkir, lalu bertereak : ,,Manusia
mana yang tak bermuka itu, berani membokong bujung ini ? Lekas keluar !" Di ulangi
tereakan itu sampai dua kali, tapi setelah tak mendengar balasan dan melihat
seorangpun keluar, dia membungkuk kebawah untuk membau napas Tio Jiang. „Ha,
bujung ini pura2 mati!" Tapi ketika mengawasi wajah Tio Jiang, dia terkejut lagi.
Meskipun linglung, tapi dalam hal ilmu silat, dia termasuk tokoh kelas utama. Sepuluh
tahun yang lalu, pernah bertempur dengan Hay-te-kau, siapa tak bisa berbuat banyak
terhadapnya. Tahu wajah Tio Jiang begitu lesu, dia mengerti anak itu luka berat. Waktu
memereksa getaran urat nadi jim dan tok, rupanya sudah berhenti mendenyut. Sedang
jantungn japun sudah lemah berdetak. Cepat dia memondongnya seraja berkata:
,,Bujung, kau terluka, kalau sudah kusembuhkan, maukah kau mengajari aku ilmu
pedang ?"
Ketika dipondong itu, kepala Tio Diang terkulai kebawah, dan ini diartikan oleh si Sik Lo-
sam itu sebagai tanda mengiakan. Dia girang sekali. Brett, baju Tio Jiang dirobeknya dan
jatuhlah sebuah peniti kupu2. Did jemputnya benda itu. „Huh, bujung yang tak tahu
malu, masa mencuri perhiasan anak perempuan," serunya terus membuang peniti itu.
Dia letakkan lagi tubuh Tio Jiang ketanah, lalu dia sendiri duduk bersila, kedua
tangannya dilekatkan pada bagian ulu hati dan punggung sianak itu.
Setelah mendapat pengobatan secara penyaluran lwekang itu, barulah Tio Jiang tersadar.
Ingatannya masih lemah, tapi yang selalu ter-bayang2 dalam ingatannya itu hanyalah
Bek Lian seorang sad ja. Sesaat, dia membayangkan kalau sudah mend jadi suami isteri
dengan Bek Lian serta bersama2 berkelana menyalan dharma kebaikan didunia
persilatan. Pada lain saat lagi, dia seperti menampak Bek Lian sudah mend jadi isteri The
Go, dan sikapnya seperti tak kenal padan ja. Karena selalu memilirkan hal itu sad ja,
dadan ja serasa makin sesak. Segumpal darah panas, serasa matt muntah keluar.
Tenggorokan berasa gatal, sehingga tak kuat lagi untuk menahan muntah. Dia membuka
matanya sedikit, Atau Sik-Lo-sam sudah membentaknya: „Tahan yangan sampai
muntahkan darah.!"
Tio Jiang tak berani membangkang, buru2 dia tenangkan pikirannya untuk menahan se-
dapat2nya. Tapi pada matan ja yang separoh meram separoh terbuka itu, samar2 dia
melihat Bek Lian tengah bergandengan tangan The Go dipesisir sana. Hatinya pedih
sekali, dan naiklah gumpalan darah itu ketenggorokan. Saking sudah tak tahan lagi,
mulutnya sudah akan terbuka untuk muntah.
„Tahankan!" bentak lagi Sik Lo-sam kedekat telinganya. Tio Jiang menurut dan bertahan
se-kuat2n ja. Tapi sang kemauan tak kuasa menahan meluapnya sang darah. Gumpalan
darah, naik keatas, Vehingga ketika memandang kearah Sik Lo-sam sepasang mata Tio
Jiang ke-merah2an warnanya.
„Bujung, sayang. Menolong jiwa adalah yang penting. Kelak yangan membikin jengkel
Sam-thay-ya lagi," seru Sik Lo-sam sembari menghela napas, dan terus menarik
tangannya yang dilekatkan dipunggung Tio Jiang tadi.
Karena dilekati kedua tangan Sik Lo-sam itu, maka Tio Jiang dapat menahan sehingga
gumpalan darah panas itu tak cepat2 naik. Begitu tangan Sih Loo-sam lepaskan
tangannya, Tio Jiang kedengaran menguak „huk," terus hendak muntah. Ini berbahaya
sekali. Asal gumpalan darah panas itu muntah keluar, pejakinan lwekang selama 6
tahun, akan hilang musna dan orangnya akan menyadi lemah. Kalau hendak mengulangi
belajar lagi, lebih susah dari orang yang dilekatkan pada punggung Tio Jiang tadi
dilepaskan, dengan sebat sekali dia pakai jari tengah untuk menekan jalan darah thian-
tho-hiat ditenggorokan sianak. Jalan darah itu termasuk salah satu pintu terpenting dari
seluruh jalan darah dalam tubuh. Kini Tio Jiang merasa longgar dadanya, tapi dalam
pada itu kepalanya menoleh kesamping. Justeru matanya terbentur peniti kupu2 milik
Bek Lian yang dilempar ketanah oleh Sik Lo-sam tadi. Terang benda itu bukan palsu dan
benar pemberian Bek Lian. Kalau sucinya itu terpaksa mengikuti The Go tentu ada
apa2nya. Memikir sampai disitu, kembali tenggorokan terdengar mengauk „kuk" lagi.
Kalau tadi buakan itu menyentak keatas, kini turun kebawah tenggorokan. Tapi
untungnya, darah tetap tak termuntahkan keluar.
Kini Tio Jiang sudah banyak baik. Mengawasi kearah Sik Lo-sam dia berbisik
menghaturkan terima kasih : ,,Sam-thay-ya, banyak terima kasih atas budi
pertolonganmu."
,,Bujung, ajarkan ilmu pedang pada Sam-thay-ya," alis Sik Lo-sam turun naik disungging
oleh mulutnya yang bergelak tawa.
Tio Jiang melengak. Buru2 dia hendak berbangkit memberi hormat. Tapi ketika sudah
berdiri dan hendak putar kepalanya kemuka lagi, hai ........ tak dapat. Rasanya tulang
lehernya sudah kaku, tak bisa digerakkan lagi.

---oo0oo---
BAGIAN 8
SI TENGENG

BAGIAN 8.1.
Bukan kepalang kaget Tio Jiang. Se-kuat2-nya dia hendak memutar sang kepala, namun
tetap masih berpaling kesamping saja. Karena tadi dia berpaling kesamping mengawasi
peniti kupu2 itu, jadi sebelah pipinya bagian bawah hampir menempel dipundak dan tak
dapat diputar lagi. „Sam-thay-ya !" serunya dengan gugup, karena mengira siorang tua
aneh itu tengah mempermainkannya.
Tapi wut, Sik Lo-sam loncat menyingkir, serunya: „Bujung, yangan sesalkan aku. Tadi
kalau aku tak menutuk jalan darahmu thian-tho-hiat, kau tentu sudah binasa. Kini
meskipun kau menyadi pemuda tengeng, tapi nyawamu masih ada, mengapa susah hati
?"
Mendengar dirinya bakal menyadi seorang tengeng yang tak sedap dipandang, buru2 Tio
Jiang berseru : „Sam-thay-ya, kau bisa menuntuk mengapa tak mampu
mengembalikan?"
Sik Lo-sam menggeleng kepala. Tio Jiang seperti putus asa, berdiam diri.
„Bujung, kepala tengeng apa halangannya ?" tanya Sik Lo-sam. Kesedihan Tio Jiang
sukar dilukiskan. Kalau Bek Lian nanti makin tak sudi padanya, itu sih dapat dimengerti.
Tapi dengan cacadnya tengeng itu, kelak tentu dia tak dapat belajar silat lagi. Memikir
sampai disini, pecahlah tangis Tio Jiang tersedu-sedan.

(Lihat Gambar Ilustrasi Diatas)


GAMBAR 25
Ketika tahu2 kepala berubah mend adi tengeng, Tio
Jiang bingung dan gugup, achirnya la menangis ter-guguk2.

Melihat sianak muda menangis, Sik Lo-sam menyadi seperti semut diatas kuali panas.
Tangannya sebentar menampar2 kepala, sebentar2 meng-usap2 matanya. Setelah sekian
saat, tiba2 dia berseru :„Bujung, lukamu masih belum sembuh betul, kalau terus
menangis, tentu membahajakan jiwamu."
Hati Tio Jiang tergetar. Teringat ia akan pesan suhunya, bahwa mati dan mati itu ada
dua. Mati yang sepele seperti rontoknya bulu angsa, dengan mati berharga seperti
megahnya gunung Thaysan. Kalau karena tengeng, dia kepingin mati, bukankah itu sama
halnya dengan mati sepele seperti rontokannya bulu angsa? Kini tentara, Ceng sudah
menduduki Kwiciu. Tunggu nanti kalau lukanya sudah sembuh betul, dia hendak adu
jiwa dengan pasukan asing itu. Kematian itu, rasanya jauh lebih berharga. Setelah
hatinya tetap, dia tak mau menangis lagi.
BAGIAN 8
SI TENGENG

BAGIAN 8.2
Melihat omongannya diturut, Sik Lo-sam sangat girang. Diambilkannya pedang yang
jatuh ditanah itu, lalu berkata kepada Tio Jiang: „Bujung, kau tadi sudah menyanggupi,
lekas ajarkan aku ilmu pedang!"
Tio Jiang terkesiap. Bilakah dia memberi kesanggupan itu? Tapi serta terkilas dalam
pikirann ja, yangan lagi hanya ilmu pedang nyawanya sendiripun belum ketentuan kalau
bisa selamat, maka apa jeleknya kalau mengajarinya jurus pertama dari ilmupedang to-
hay-kiam-hwat jakni „Thio Ik cu hay" (Thio Ik membakar lautan). Setelah melakukan
gerak jurus itu beberapa kali, Sik Lo-sam kegirangan, karena menganggap jurus itu betul
lihay sekali. „Bujung, kau ajari aku ilmupedang, apa aku harus menyebutmu suhu?
Salah, kau ini hendak mempermainkan Sam-thay-ya. Pantasnya aku juga harus
mengajari sebuah ilmu silat padamu, kau minta padaku pelajaran apa? Harus dijelaskan
dulu, meskipun kita saling mengajari, kau tetap menyadi muridku!"
Pikir Tio Jiang, toh dia sudah bulat tekadnya untuk mati sahid, maka makin tambah ilmu
kepandaian lagi makin baik. Teringat dia, ketika menyaksikan Kiau susiok bertempur
lawan The Go di Giok-li-nia tempo hari, Sik Lo-sam itu telah dapat mengatakan jurus
ilmu tutukan. orang gila menyual arak" dari The Go, maka tanpa ragu2, dia membuka
mulut: „Sam-thay-ya, aku mau belajar jurus tipu Hong-cu-may-ciu !"
„Aduh mak!" tiba2 Sik Lo-sam menyerit kaget, „sewaktu Ang Hwat cinyin menurunkan
pelajaran itu padaku, aku telah memukul tanganku selaku sumpah, tak boleh
mengajarkan pada lain orang!"
Apa boleh buat, Tio Jiang menurut saja apa yang hendak diajarkan siorang tua aneh itu,
tapi tiba2 Sik Lo-sam itu menampar kepalanya sendiri, berseru: „Tak apa, kalau Ang Hwat
cinyin menegur, jawab saja kalau Sam-thay-ya lupa peristiwa sumpah menabok tangan
itu, boleh dah!"
Meskipun hatinya berduka, namun melihat cara siorang tua linglung itu mengoceh
sendirian begitu lucu, tak urung Tio Jiang tertawa geli juga. Begitulah ringkasnya saja,
Tio Jiang dan Sik Lo-sam sudah hampir dua bulan lamanya tinggal dipulau kosong itu.
Dalam dua bulan itu, setiap 10 hari sekali, Tio Jiang tentu menurunkan satu jurus dari
ilmu pedang to-hay-kiam-hwat. Saking ketariknya, Sik Lo-sam pun menurunkan seluruh
ilmunya yang beraneka ragam itu kepada Tio Jiang. Achirnya luka Tio Jiangpun sembuh
sama sekali. Untuk itu Sik Lo-sam teramat girang-nya. Malah saking kegirangannya me-
luap2, dia turunkan juga ilmu sakti „cap-sah-sik-heng-kang-sim-coat" atau 13 cara
untuk menyalurkan tenaga dalam dengan kekuatan hati.
Ilmu tersebut adalah sebuah ilmu lwekang yang sakti sekali. Pokoknya adalah begini:
„dengan hati menyalurkan hawa, empos semangat masuk ketulang, dengan hawa
menggerakkan tubuh, tentu leluasa menurut kemauan hati. Menyalankan hawa, seperti
kiu-kiok-t ju (mutiara 9 lekukan), tentu takkan terhalang. Bergerak laksana baja putih,
tiada benda yang tak dapat dihancurkan. Tenang laksana gunung, bergerak seperti
sungai bengawan."

(Lihat Gambar Ilustrasi Diatas)


GAMBAR 26
Selama dua bulan tinggal dlpulau karang itu setiap hari
Tio Jiang saling, barter" llmu silat dengan Sik Lo-sam.
Semasa masih kecil, ternyata Sik Lo-sam itu seorang anak yang berbakat jelek. Tapi pada
suatu hari secara tak disengaja, dia telah membantu kerepotan seorang lihay, siapa
untuk membalas terima kasihnya telah menurunkan ilmu lwekang „cap-sah-sik-heng-
kang-sim-coat" yang sakti itu. Hampir separoh dari hidupnya, Sik Lo-sam telah gunakan
untuk mejakinkan ilmu itu, barulah dia, berhasil. Beda halnya dengan Tio Jiang yang
berbakat bagus, apalagi sudah digembleng oleh Ceng Bo siangjin. Begitu mendengarkan,
weyangan ilmu sakti, itu, hampir separoh bagian dia sudah jelas. Sehingga waktu
dipraktekkan, seluruh tenaga dan tulang2nya bebas lepas, tepat seperti yang
dimaksudkan, dalam salah satu kalimatnya „menyalurkan hawa seperti „kiu-kiok-cu"
Sudah tentu bukan alang-girangnya Tio Jiang. Selama dua bulan itu, dia telah belajar
ber-macam2 ilmusilat yang aneh2 dan sakti, sehingga kelihayannya bertambah pesat
sekali.
Pada hari itu, Tio Jiang sedang mengajarkan jurus ke-7 dari to-hay-kiam-hwat jakni jurus
hay-lwe-sip-ciu (10 benua dalam laut ). Dengan pe-lahan2 dia menyelaskan jurus itu
kepada Sik Lo-sam. Setelah itu, dia kembali lanyutkan pekerjaannya membuat rakit yang
telah dimulainya sejak dua bulan yang lalu. Kebetulan hari itu, rakit tersebut sudah
selesai. „Sam-thay-ya, aku hendak menuju ke Kwiciu, kau ikut tidak ?" tanyanya.
Sik Lo-sam yang tengah asjik mejakinkan jurus hay-lwe-sip-ciu yang baru dipelajarinya
itu, menyadi marah, serunya: „Bujung, kau mau pergi lekas pergi sana, yangan
mengganggu Sam-thay-ya berlatih silat!"
BAGIAN 8
SI TENGENG

BAGIAN 8.3

Selama berkumpul dalam dua bulan itu, Tio Jiang sudah kenal betul akan watak perangai
siorang tua aneh itu. Maka dengan tertawa, dia segera luncurkan rakitnya kedalam laut
dan tak berapa lama kemudian, sudah ter-apung2 ditengah laut.
Sewaktu terapung-apung seorang diri ditengah laut itu, pikiran Tio Jiang dilamun oleh
pelbagai kenangan. Benar kini kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dulu, tapi kini dirinya
telah menyadi seorang pemuda tengeng, ia menghela napas sedih. Apakah sucinya akan
dapat menyintainya lagi? Ingin benar dia lekas sampai di Kwiciu, namun rakit itu
sedemikian pelannya. Apa boleh buat, untuk mengisi kekosongan waktu, dia tenang diri
berlatih ilmu „cap-sah-sik-heng-kang-sim-coat" yang baru dipelajarinya itu. Sampai
setengah harian dia berada dalam keadaan begitu, lewat tengah hari samar2 seperti
terdengar suara mengaung yang lemah. Tapi ketika dia membuka mata, ternyata tak ada
apa2, kecuali laut yang lepas. Tapi karena kini dia seorang tengeng, maka dia terpaksa
harus berputar tubuh kalau hendak melihat kesebelah samping dan belakang. Benar juga
ketika berputar kesebelah belakang, tampak jauh disebelah muka sana ada sebuah
perahu kecil berjalan laju sekali. Tio Jiang terperanyat dan girang. Terperanyat melihat
kecepatan luar biasa dari sampan kecil itu. Girang karena kalau dia bisa menggabungkan
diri, tentu akan dapat mencapai daratan dengan lekas.
(Lihat Gambar Ilustrasi Diatas)
GAMBAR 27
Sedang Tio Jiang ter-menung2 sendirian diatas rakit, tiba2 dilihatnya jauh
dibelakang sana ada sebuah perahu sedang meluncur datang dengan pesatnya.

Tio Jiang segera berteriak se-kuat2-nya. Tapi begitu suaranya keluar, dia segera menyadi
kaget sendiri, karena teriakannya itu hampir menyerupai guntur dahsjatnya. Kiranya
tanpa disadari, kini lwekangnya bertambah maju sekali. Sudah tentu orang2 dari perahu
kecil itu dapat mendengarnya, dan makin cepat menghampiri. Ketika dekat, salah
seorang dari perahu itu tampak melontarkan sebuah tali yang ujungnya diberi yangkar
kecil kearah rakit Tio Jiang.
„Adakah saudara ini hendak menghadiri undangan rapat ?" tanya orang itu.
Tio D jiang melengak, sahutnya: „Tidak !"
Dari perahu itu lont jat 3 orang kerakit Tio D jiang. Salah
seorang setelah mengawasi Tio Jiang dan berkata: „Bukan,
Ceng Bo sianyin hanya mengundang para enghiong dan hohan dari seluruh penyuru,
mana bisa mengundang seorang anak tengeng begini !"
Hati Tio Jiang sakit sekali, ketika disebut anak tengeng itu. Tapi demi didengarnya sang
suhu mengirim undangan pada seluruh orang gagah, dia girang sekali, tanyanya: „Sam-
wi toako (engkoh bertiga), Ceng Bo siangd in adalah guruku. Dimanakah beliau sekarang
ini, harap suka membawa aku kesana."
Ketiga orang itu mengawasi sampai sekian lama kepada Tio Jiang. „Siaoko, mengapa kau
bisa ngelantur begitu ?" kata salah seorang dengan tertawa.
Tio D jiang tidak pernah berbohong, maka merahlah selebar wajahnya demi dituduh
begitu, sehingga tak dapat berkata apa2.
„Ceng Bo siangjin mempunyai murid, itu belum pernah terdengar. Tapi kalau dia
mempunyai dua tiga orang gundik, itu memang nyata!" kata yang seorang lagi.
„Mengapa kau berani menghina suhuku ?" bentak Tio Jiang dengan marahnya.
„Siaoko, apakah kau ini benar muridnya T jeng Bo siangjin ?" kata siorang tadi dengan
masih bergelak tawa.
„Benar !"
„Mengapa kau tak tahu suhumu mempunyai gundik ?" tanya orang itu.
Sudah tentu Tio Jiang tak percaja. Suhunya seorang lelaki yang berpambek luhur,
masakan dia mau berbuat hal begitu? „Apakah saudara tahu untuk maksud apa suhu
mengundang para orang gagah itu ?"
Menyahutlah ketiga orang itu dengan berbareng : „Tentara Ceng sudah menduduki
Kwitang. Bahwa masih ada setengah orang2 didunia persilatan yang tak kenal selatan
hendak mengadakan perlawanan itu, kan berarti hanya ibarat 'telur diadu dengan batu'
saja. Maka Ceng Bo siangjin mengirim undangan pada sekalian hohan untuk
menganyurkan supaja mereka yangan mengadakan gerakan yang sia2 itu. "
Tio Jiang ter-longong2 mendengarinya. ,Ah, tidak, tidak, mana suhu mau berbuat
begitu?" katanya pada lain saat. Terkilas dalam ingatannya, bahwa baik dalam ucapan
maupun dalam perbuatan, suhunya itu bukan tergolong orang yang sudi melakukan hal
yang merosotkan moral itu. ,Dimanakah pertemuan itu akan diadakan?" tanyanya pula.
„Apa? Kau mengaku sebagai muridnya, tapi mengapa tak tahu? Ha, Ha!" sahut mereka
bertiga.
Tio Jiang tak ambil mumet disangka me-ngaku2 murid Ceng Bo siangjin itu. Dia ulangi
lagi pertanyaan tentang tempat pertemuan itu. Maka menyahutlah ketiga orang itu :
,,Kami bertiga ini ditugaskan untuk menyambut tetamu yang naik perahu. Jika siaoko
benar2 ingin mengunyungi pertemuan itu, mari ikut pada kami menuju kepulau Ban-
san-to disana itu. Tapi sesampainya disana, siaoko yangan mengatakan ini itu. Ceng Bo
siangjin adalah seorang tokoh silat kenamaan, mana bisa dia mempunyai seorang anak
murid yang tengeng? Yangan sampai membuat dia gusar, awas bisa dikemplang mati
nanti !"
Tio Jiang makin curiga., Mengapa Ceng Bo siangjin yang dikatakan oleh ketiga orang itu,
jauh bedanya dengan Ceng Bo siangjin yang menyadi suhunya? Ah, biar dia ikut ke pulau
Ban-san-to itu, guna menyaksikan sendiri. Begitulah dia lalu berpindah keatas perahu.
Benar juga tak berapa lama, mereka menghampiri kesekelompok pulau2. Salah seorang
dari ketiga orang tadi meniup terompet terbuat dari keong laut, dan dari arah muka sana
terdengarlah penyahutan bunyi macam begitu juga.
Tahu gelagatnya mencurigakan, Tio Jiang ber-siap2 dengan pedangnya. Tatkala perahu
mendekat pantai, kiranya yang disebut Ban-san-to atau pulau selaksa gunung itu, jalah
pulau yang separoh terdiri dari gunung dan separoh daratan. Karena letaknya dilaut
selatan, jadi meskipun kala itu dalam musim dingin, namun didaerah situ tanam2an
masih tetap menghijau. Ketika hampir berlabuh kepantai, tiba2 dari salah satu muara
tampak keluar sebuah perahu. Orang yang berdiri diburitan perahu itu kedengaran
berseru :
„Siapakah yang datang ini kali?"
„Hanya seorang anak muda yang mengaku murid Ceng Bo siangjin," sahut ketiga orang
tadi, lalu serentak tertawa gelak2. Tapi Tio Jiang tak menghiraukan. Jauh disebelah
depan sana, dilihatnya banyak sudah orang berkumpul disebuah tanah lapang.
„Rasanya sudah tak ada orang yang datang lagi. Tadi Toa cecu (pemimpin) dari gunung
Hoasan jakni Nyo Kong Lim baru saja datang. Rupanya dia tak puas dengan siangjin,
maka sudah membawa beberapa kawan2nya kemari," kata orang yang baru datang itu.
Dan ketiga orang tadipun mengiakan.
Sebaliknya Tio Jiang terkejut mendengar hal itu. Teringat ia bahwa sering kali suhunya
me-muji2 Nyo Konglim itu sebagai seorang persilatan yang berpambek perwira,
semestinya kedua orang itu akan merasa girang dapat bertemu, masakan bisa bentrok.
Ah, lupa dia, bukankah tadi ketiga orang itu mengatakan bahwa, Ceng Bo siangjin
hendak, mencegah supaja orang2 persilatan yangan melanyutkan perlawanannya
kepada, pemerintah Ceng? Sudah tentu dalam hal ini, Nyo Kong-lim pasti akan
menentangnya.

(Bersambung Ke Bagian 8.4.)


BAGIAN 8
SI TENGENG

BAGIAN 8.4

Selama berjalan dan berpikir itu, tahu2 sampai dia ketempat berkumpulnya orang
banyak itu. Ternyata orang2 gagah yang berkumpul disitu, tak dikenalnya semua. Pada
3 deret bangku pat-sian yang berada disebelah timur sana, semua sudah penuh diduduki
orang. Salah seorang dari mereka itu, tinggi besar badannya. Kalau bicara, orang itu
suaranya seperti genta dipalu. Orang2 yang disekitarnya tampak sangat menghormat
sekali padanya. Selain 3 buah meja pat-sian besar itu, orang2 lainnya sama duduk
dibawah tanah. Tio Jiang memilih tempat kosong lalu ikut duduk dibawah. Tapi se-
konyong2 dia berbangkit lagi, demi dilihatnya pada saat itu Ceng Bo siangjin berjalan
mendatangi dari balik gunung.
Tio Jiang anak yang berwatak polos jujur. Hampir 3 bulan tak berjumpa dengar sang
suhu, dia sangat rindu, itu nampak sang suhu, terus saja mulutnya hendak berseru
memanggil. Tapi tiba2 dia mempunyai pikiran lain dan terpaksa bersabar diri, demi
tampak pemandangan yang aneh. Kiranya begitu Ceng Bo siangjin muncul,
dibelakangnya mengikut 2 orang wanita muda, yang berparas cantik. Dilihat
dandananya, wanita muda itu juga seperti orang persilatan. Yang satu disebelah kanan,
yang lain disebelah kiri, keduanya seperti menggelandotkan, tubuhnya pada Ceng Bo
dengan sikap yang aleman, sekali, namun Ceng Bo tak marah sebaliknya malah
memegangi pinggang keduanya.
Tio Jiang hampir tak percaja pada apa yang dilihatnya itu. Enam tahun lamanya dia
berguru pada siangjin itu, baik sikap maupun bicaranya, siangjin itu sangat correct
(tepat), dapat menyaga harga diri. Sungguh tak mengira dia, kalau siangjin itu berlaku
begitu, gila2an, bercanda dengan orang perempuann dihadapan umum, apalagi
dihadapan sekian banyak tokoh2 persilatan !

(Lihat Gambar Ilustrasi Diatas)


GAMBAR 28
Mendadak siorang tinggai besar tadi berdiri dengan
kerennya dan menegur Ceng Bo Siangjin.

Ternyata bukan melainkan Tio Jiang seorang yang mempunyai perasaan begitu. Semua
orang yang hadir disitu sarna ber-bisik2 satu sama lain. Dalam hati mereka sama sangsi
mengapa, Ceng Bo siangjin yang namanya begitu termasjhur ternyata, seorang yang
bermoral serendah itu. Malah siorang gagah bertubuh tinggi besar tadi, segera berbangkit
dari tempat duduknya dengan kurang senang. Karena orang itu mengenakan pakaian
warna hitam, maka begitu berdiri se-olah2 merupakan sebuah menara tinggi, sehingga
orang! sama terkesiap. Namun sikap Ceng Bo siangjin itu tetap tenang2 saja. Dengan
membawa sikapnya seperti tadi, dia menuju meja pat-sian itu dan mengambil tempat
duduk disitu.
Begitu Ceng Bo siangjin sudah duduk, maka terdengarlah siorang gagah tadi berseru
keras: „Siangjin, apakah maksud tujuan dari undangan pertemuan paraa hohan harini?
72 orang saudara2 dari Hoasan hadir disini untuk bersedia mendengarkannya! Siangjin
kiranya tentu sudah mengetahui bagaimana nasibnya ribuan saudara2 Thian Te Hui
yang telah dihancurkan oleh tentara penyajah itu. Adakah siangjin bermaksud hendak
mengadakan, perserekatan dengan seluruh enghiong dunia persilatan guna melakukan
pembalasan ?"
Mendengar itu, semangat Tio Jiang me-nyala2 lagi. Teringat dia bagaimana nasib Kiau
To, Ki Ce-tiong dan Yan-chiu yang tiada kabar beritanya itu. Li Seng Tong dengan 30.000
tentara Ceng telah mengurung gunung Gwat-siu-san, Setelah mengadakan perlawanan
sehari semalam, barulah dia (Tio Jiang) dapat membuka jalan lolos. Kiranya peristiwa itu
telah diketahui oleh seluruh orang persilatan. Tiada korban yang jatuh sia2, Thian Te Hui
pecah sebagai ratna dimedan bhakti.
Maka pada saat itu, ingin sekali dia lekas2 mendengarkan bagaimana penyahutan dari
sang suhu yang sudah berobah perangainya itu. Habis mengajukan pertanyaan, orang
gagah itu lalu berdiri dengan dada berkembang-kempis karena menahan kemarahannya.
,,Nyo-toa-cecu," Ceng Bo siangjin menyahut dengan bergelak tawa, tolong tanya mengapa
ribuan saudara2 Thian Te Hui tiada bernyawa lagi? Mengapa toa-ah-ko Ki Ce-tiong dan
ji-ah-ko Kiau To tiada berkubur majatnya lagi ?"
Tanpa menunggu sedetikpun, siorang gagah itu cepat menyahuti dengan suaranya yang
mengguntur: „Seorang taytianghu (laki2 sejati), mengapa jerikan soal mati hidup?! Benar
dengan toa dan ji-ah-ko dari Thian Te Hui aku, Nyo Kong-lim, belum pernah berkenalan,
namun aku sungguh2 kagum pada mereka!"
Ceng Bo siangjin menyeringai, ujarnya dengan sinis: „Jadi Nyo-toa-cecu juga siap hendak
menyuruh 72 saudara dari Hoasan bernasib seperti Thian Te Hui?"
Kini tahulah Tio Jiang bahwa orang tinggi besar itu adalah Toa-cecu atau pemimpin besar
dari ke 72 Cecu (kepala begal) gunung Hoasan. Dibalik ituu dia merasa heran atas
jawaban sang suhu itu. Mengapa kini sikap suhunya itu berbalik 100 derajat? Bukannya
dia mengobarkan semangat perjoangan pemimpin besar perserekatan begal dari gunung
Hoasan itu, sebaliknya memadamkan api perjoangan mereka. Aneh, sungguh aneh......
Setelah sampai sekian saat Nyo Kong-lim diam saja, Ceng Bo siangjin bergelak tawa,
ujarnya: „Toa-cecu, apakah tahu alam ini mempunyai hukum? Dengan telur hendak
memukul batu, hanya seperti anai-anai (laron) menghantarkan jiwa kedalam api! Kiranya
lebih baik dengarkan nasehat pinto, bekerjalah pada kerajaan Tay Ceng!"
Bukan olah2 kaget Tio Jiang mendengar mulut sang suhu mengucapkan kata2 itu, saking
tak kuat menahan perasaannya, tanpa disadari dia berbangkit seraja mengeluh keras :
„ai........ " sehingga semua orang terkejut dan sama, mengawasi kearahnya. Ceng Bo
siangjin jua memalingkan mukanya, seraja berkata dengan nada menghina: „Ho, siaoko
itu rupanya berani membangkangkah?"
Tio Jiang makin men-jadi2 terperanyatnya. Mengapa sang suhu menyebutnya siaoko
(engkoh kecil) ? Adalah karena kejujuran Tio Jiang yang selalu ingat akan budi kebaikan
suhunya, sehingga dia tak mempunyai kecurigaan apa2 kecuali, perasaan
mengindahkan. Mengapa suhu berbuat begitu, tentu ada sebabnya. Mungkin dia hendak
menyuruh aku mempelopori setuju akan anyurannya itu, hingga nanti semua hohan pun
ikut2an setuju. Biar bagaimana juga, budi suhunya itu adalah sedalam lautan, rasanya
seluruh pengabdian hidupku saja masih belum cukup untuk membalas budi suhunya
itu, pikir Tio Jiang. Dan sehabis mantep berpikir, segera dia melangkah maju seraja
berseru: „Suhu!"
Lagi2 suasana, persidangan itu menyadi gempar. Ceng Bo siangjin sendiripun menyadi
melengak, tapi pada lain saat dia sudah dapat menguasai perasaannya. „Duduklah,
tunggu sehabis kuselesai berunding dengan Toa-the-cu Nyo Kong-lim"
Tio Jiang tak berani membantah, dan lalu duduk dimeja pat-sian situ. Karena kepala
tengeng, maka ketika tubuhnya, mengambil tempat duduk, kepalanya bukan menghadap
kemuka melainkan kesamping. Baru dia hendak mengalih tubuhnya, tiba2 dilihatnya
disebelah samping situ berkelebat sesosok bayangan orang. Dilihat dari dandanannya,
orang itu seperti Cian-bin Long-kun The Go. Karena kini lehernya kaku melekat pada
pundaknya, jadi tak leluasa diputar2. Begitu dia memutar tubuhnya agar kepalanya
menghadap kearah tadi, ternyata bayangan orang itu sudah lenyap.

---oo0oo---
BAGIAN 9
RAPAT PARA ORANG GAGAH

BAGIAN 9.1.

Tio Jiang ragu2 atas penglihatannya tadi, tapi gerak orang itu memang teramat sebat
sekali. Memikir the Go, dia teringat akan Bek Lian. Cepat dia hendak lantas berbangkit
mencari keterangan, tapi pada lain saat dia tersentak diam, demi teringat dirinya kini
menyadi seorang tengeng. Adakah nanti Bek Lian sudi melihatnya? Ah, lebih baik dia
sabarkan diri menunggu sang suhu. Bila nanti sang suhu sudah dapat mengusahakan
pertolongan, barulah dia nanti ada muka untuk bertemu dengan sang suci itu. Kalau
pikiran Tio Jiang itu hanya penuh dengan persoalan Bek Lian, adalah disana kedengaran
Nyo Kong-lim berkata: „Ceng Bo siangjin, Hay-te-kau! Dunia persilatan mengagungkan
namamu sebagai seorang lelaki sejati. Berapa buIan yang lalu, orang katakan kau masih
berserekat dengan Thian Te Hui menentang tentara Ceng. 72 Cecu dari Hoasan, berminat
untuk berserekat dengan Thian Te Hui. Kalau kini kau sudah berobah menyadi bangsa
babi dan anying, mengapa tak lekas2 memelihara buntut dibelakang kepala itu?
Bermula Tio Jiang sangat ketarik dengan ucapan perwira dari ketua perserekatan Hoasan
itu, tapi serta pada klimaksnya orang me-maki2 suhunya yang dianggapnya sebagai
ajahnya sendiri itu, berobahlah wajah Tio Jiang. Dengan sigapnya serentak dia
berbangkit menuding Nyo Kong-lim: „Kau....., kau...... mengapa memaki orang ? !"
Nyo Kong-lim berpaling, dengan sepasang alis mengerut naik turun, berkatalah dia
dengan mengejek: „Kalau sang guru kencing berdiri, tentu muridnya kencing berlari! Tak
peduli setan belang mana, asal berani menyerahkan tanah air kita kepada penyajah, aku
tentu akan mencaci makinya!”
Ucapan ketua Hoasan yang tegas dan perwira itu, mendapat sambutan gegap gempita
dari para hadirin. „Bagus, makian tepat! Harus dimaki begitu!" tereak mereka dengan me-
luap2. Tapi ada juga segolongan kecil yang jebikan bibir, mengejek: „Hem, manusia yang
tak tahu mati!" Ada juga yang menyambungi: „Garang dibibir saja, apanya sih yang dibuat
bangga!"
Dan kini suasana pertemuan itu kacau dengan suara2 yang pecah menyadi dua aliran.
Ceng Bo kerutkan jidatnya. Begitu mendorong sisihkan kedua wanita yang dandanannya
seperti perempuan rendah itu, dia segera bangkit. „Ai....., siangjin, mengapa
mengeluarkan tanduk?" seru kedua wanita muda itu dengan aleman sekali.
Mengkirik bulu roma Tio Jiang mendengar tingkah laku yang memuakkan dari kedua
wanita muda itu. Ah, mengapa sang suhu kini menyadi begitu lupa diri? Namun hanya
sedetik saja pikiran itu terkilas dalam hati Tio Jiang, karena biar bagaimana juga, dia
tetap mengindahkan dan menyunyung tinggi sang suhu yang telah menanam budi
setinggi gunung itu.
Ternyata begitu Hay-te-kau yang menggeletar namanya diangkasa persilatan itu berdiri,
maka sunyi siraplah suasana. Hanya Nyo Kong-lim beserta rombongannya saja yang
kedengaran masih ter-tawa2 kecil yang sinis. Begitu berdiri, Ceng Bo siangjin hantamkan
tangannya keatas meja pat-sian, brak........ dan tembuslah meja itu dengan sebuah
lubang. Hadirin makin diam jeri. Setelah menyapukan pandangan matanya keseluruh
hadirin, barulah Ceng Bo siangjin menatap kearah Nyo Kong-lim tadi, ujarnya: „Toa-cecu,
pinto se-mata2 hanya memikirkan akan nasib saudara2 dikalangan persilatan. Kalau
Toa-cecu hendak menggunakan ke 72 cecu Hoa-san itu guna mencari kebesaran nama
sendiri, pintolah orang pertama, yang takkan mengijinkan!"
Nyo Kong-lim itu adalah seorang kasar. Sejak kecilnya, dia bertenaga besar dan suka
belajar silat. Achir masa pemerintahan Beng itu korup sekali, sehingga nasib rakjat
sangat sengsara. Itu waktu karena hendak membela rakjat sedesanya yang tertindas, dia
telah membunuh seorang tuan tanah. Setelah itu, dia merat dari kampung halamannya
dan mendirikan perserekatan begal haguna digunung Hoa-san. Digunung Hoa-san situ
sebenarnya sudah ada 72 orang Cecu. Namun karena melihat sikap dan perangai Nyo
Kong-lim itu gagah perwira, mereka mengangkatnya menyadi toa-cecu atau pemimpin
besar dari para Cecu.
Tatkala mendengar ucapan Ceng Bo siangjin itu, karena sesaat tak dapat mencari
bantahan yang tepat, dia hanya men-dengus2kan hidungnya seperti kerbau marah.
Terang siangjin itu hendak mendesaknya dalam, suatu pertandingan pibu (adu silat).
Benar selama ini orang persilatan mengagungkan nama siangjin itu, namun dia sendiri
belum pernah menyaksikan sampai dimana kelihayan siangjin itu. Bahwasanya kini
ternyata sangjin itu tak lebih tak kurang hanya seorang bangsa penyilat, dia tak mau
menhiraukan soal etiket lagi. ,Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan, seorang
hidung kerbau macam kau ini. Kalau hendak memaksa orang, lebih dahulu harus dapat
menangkan senyataku sam-ciat-kun ini!"
Habis berkata itu, tangannya merogoh kepinggang dan „trang", sebatang sam-ciat-kun
(toja yang bersambung tiga) sudah siap ditangannya. Begitu dikebaskan, sam-ciatkun itu
dapat lempeng seperti sebatang alat tulis pit, ujungnya menutuk Ceng Bo siangjin.
Sam-ciat-kun itu terbuat dari baja murni yang berwarna hitam kemilau. Setiap batang,
ada satu meter panjangnya, berat seluruhnya ada 60-an kati. Senyata itu dinamakan
juga sam sat to beng kun" (toja tiga malaekat elmaut). Mengetahui bahwa tentu akan
terbit pertempuran seru, maka para hadirin segera ber-ingsut2 mundur bebrapa tindak.
Dan dengan kesadaran, kini orang2 itu terpecah menyadi dua rombongan. Yang
menyokong Nyo Kong-lim untuk melanyutkan perlawanan terhadap tentara Ceng, sama
berkumpul dibelakang pemimpin Hoa-san itu. Sedang sebagian kecil yang menyokong
Ceng Bo siangjin, segera berkerumun dibelakang siangjin itu.
Sebaliknya Tio Jiang yang agak kebingungan. Tapi demi dilihatnya Ceng Bo siangjin
seperti kesima saja menghadapi ancaman sam-ciat-kun Nyo Kong-lim itu, serentak
pikirannya tetap. Sebagai seorang murid, tak pantas dia membiarkan suhunya dihina
orang. Tentang faham pendirian, itu soal lain. Jakin akan kemajuan yang diperolehnya
selama, dua bulan galang-gulung dengan Sik Lo-sam itu, dia harus bertindak cepat. Maka
sekali enyot sang kaki, dia melesat maju menengahi. „Toa-cecu, wanpwe hendak mohon
bebrapa jurus pelajaran darimu!" katanya, sembari melolos, pedang.
Begitu dilihatnya anak muda tengeng tadi sudah menyanggapi kehadapannya, Ceng Bo
siangjin lalu duduk kembali. Sedangkan begitu mencabut pedang, Tio Jiang segera
bergerak dengan jurus „Thio Ik cu hay". Ujung pedang dijuruskan kebawah, begitu
orangnya berkelebat maju, ujung pedang itu diguratkan keatas untuk memotong yanggut
orang. Atas serangan itu, Nyo Kong-limk tarik sam-ciat-kunnya kebawah untuk menutup
serangan orang. Setelah itu dia sembari mundur selangkah, sembari berseru keras:
„Siaoko, kau hendak membela suhumu, itulah sikap perwira. Tapi mengapa kau tersesat
memilih seorang guru macam begitu ?
Tio Jiang tertegun. Memang ucapan orang itu tepat. Kalau dulu2-nya Ceng Bo siangjin
itu orang macam begitu, tak nanti dia sudi berguru padanya. Tapi biasanya siangjin itu
tidak demikian. Entah mengapa harini mendadak sontak suhunya bisa berlaku begitu?
Ah....., tentu ada sesuatu yang memaksanya begitu, pikir Tio Jiang, siapa lebih banyak
terpengaruh dari budi kecintaan terhadap sang suhu daripada kenyataan yang dihadapi
pada saat itu. „Toa-cecu, silahkan kau memberi pelajaran beberapa jurus!", serunya
seraja maju. Begitu tubuhnya menurun, dia terus mengajun2kan pedangnya dalam jurus
boan-thian-kok-hay.
Melihat gerakan pedang dari sianak tengeng itu tak sembarangan, Nyo Kong-lim tak
berani berajal. Sebenarnya dia tak bermaksud hendak bertempur dengan anak tengeng
itu, namun kalau tak menundukkan anak itu lebih dahulu, sukarlah rasanya untuk
mengajak berunding Ceng Bo siangjin. Juga misalnya orang lain yang mempunyai
kedudukan seperti dia, jakni sebagai pemimpin dari ke 72 Cecu gunung Hoasan, biar
bagaimana tentu tak sudi merosotkan diri untuk melajani seorang bocah tengeng yang
tak ternama itu. Tapi dasar seorang kasar, jadi tak dapatlah orang she Nyo itu berpikir
sampai sekian jauh. Begitu ujung pedang menyerang datang, diapun segera menyambut
dengan sam-ciat-kunnya.
Melihat cara berkelahi orang itu mengandung maksud meremehkan dirinya, Tio Jiang
marah. Belum seluruh gerakan dari jurus pertama tadi dikeluarkan, atau dia tiba2
mendakkan. tubuh lagi. Pedang di miringkan kesamping, di kembangkan menyadi
ratusan titik sinar. Itulah gerak dari jurus ilmu pedang hay-siang-tiau-go (mengail ikan
besar dilaut). Dan belum lagi kelebat lingkaran sinar pedang itu lenyap, atau secepat kilat
pedang sudah mengancam muka dan kepala orang.
Duapuluh tahun lamanya Nyo Kong-lim mejakinkan permainan sam-ciat-kun itu. Dalam
gebrak pertama tadi, tampaknya dia hanya sembarangan saja menangkis. Tapi pada
hakekatnya, gerakannya itu mengandung gerak merampas senyata lawan. Asal ujung
tongkat yang ketiga menempel senyata orang, maka tongkat yang kedua akan melambung
menghantam lawan, sehingga karena tak menduga, lawan pasti akan lepaskan
senyatanya. Jurus itu disebut „ci bwe koan hay" alingkan alis untuk melihat matahari.
Tapi gerak perobahan Tio Jiang tadi, sungguh diluar dugaannya, sehingga tanpa terasa
dia berseru memuji : „Bagus!"
Tio Jiang terkesiap atas pujian orang. Dan tepat pada saat itu Nyo Kong-lim sudah
sapukan sam-ciat-kunnya keperut orang. Tadi Tio Jiang baru gerakkan separoh dari
jurus hay-siang-tiau-go, atau sapuan lawan sudah tiba. Maka dalam gugupnya tak dapat
jalan mengindar, dia buang tubuhnya jatuh kesamping, wut ...... sam-ciat-kun tepat
menyambar diatas tubuhnya. Tio Jiang bangkit, tapi kembali dia jatuh lagi 3 langkah
kemuka, seperti dia itu sudah tak kuasa berdiri jejak. Tapi anehnya, pedangnya susul
menyusul menyerang lawan sampai 3 kali.
Melihat cara menyatuhkan diri dari sianak tengeng tadi, bermula Nyo Kong-lim sudah
termangu. Dan setelah melihat lagi cara jatuh sianak muda yang aneh itu, bertereaklah
pemimpin Hoasan itu dengan kagumnya: „Bocah lihay, bisa ilmu istimewa dari Ang Hwat
cinyin!"
Sekali Nyo Kong-Iim bertereak begitu, maka seluruh hadirin menyadi gempar! Sedang
yang bertereak sendiripun buru2 putar sam-ciat-kun hingga merupakan sebuah
lingkaran sinar hitam, sedangkan orangnya menyerang maju. Cara berkelahi begitu, Tio
Jiang belum pernah mendengar atau melihatnya. Ketika dia hendak gunakan lubang
kesempatan untuk maju menyerang, sam-ciat-kun itu berubah menyadi semacam perisai
sehingga Tio Jiang terdesak mundur beberapa langkah. Dalam gugupnya Tio Jiang
kembali gunakan jurus Hong-cu-may-ciu (sigila menyual arak) pikirnya hendak
menyelinap kebelakang lawan.
Tentunya Kong-lim tahu akan maksud orang, tapi ternyata dia malah memperlambat
serangannya se-olah2 memberi kesempatan pada orang untuk melakukan rencananya.
Tapi ketika Tio Jiang sudah berada dibelakang orang, tiba2 kedengaran suara orang
mengeluh heran „iih.....". Itulah suara Cian-bin Long-kun The Go, hingga Tio Jiang berajal
dari memutar tubuh untuk melihatnya. Tapi dalam keajalan itu, Kong-lim sudah berputar
tubuh seraja menghantamkan samciat-kun, trang......beradulah pedang dengan sam-
ciat-kun, disusul dengan geseran kaki tersurut 3 tindak kebelakang. Baik Kong-lim
maupun Tio Jiang, sama2 terpental. Tio Jiang rasakan tangannya kanan kesemutan,
begitu pula Kong-lim, siapa jakin hantamannya itu tentu dapat memukul lepas senyata
lawan, tapi sebaliknya malah menderita kesakitan itu. Orang she Nyo yang bertenaga
kuat sekali itu, belum pernah mengalami kerugian macam begitu. Dengan ke-heran2an
kagum dia mengawasi sianak muda, yang walaupun tengeng ternyata lihay sekali
kepandaiannya. Sebagai seorang yang jujur, mau tak mau dia berseru memuji: „Bagus!"
Kini keduanya berhadapan muka lagi. Hanya saja karena, tengeng, jadi tubuh Tio Jiaiig
menghadap kesamping, sikapnya lucu juga. Kini mata semua hadirin terbuka. Tak lagi
mereka berani memandang sebelah mata pada anak tengeng itu. „Toacecu, turutlah
suhuku.........” sebenarnya, Tio Jiang bermaksud menasehati toa-cecu itu supaja
menurut nasehat Ceng Bo, tapi demi teringat bahwa maksud suhunya itu jalah
menyuruh orang yangan melawan pemerintah Ceng, dia tak mau teruskan kata2nya dan
merobahnya dengan permintaan berkelahi, serunya: „Toacecu, silahkan memulai lagi!"
Tapi Nyo Kong-lim, yang senang akan sikap sianak muda yang polos itu, mengalah:
„Siaoko, kau saja yang mulai dulu, agar yangan dikatakan aku yang tua hendak
menindas yang muda!"
Dalam kebatinan, Tio Jiangpun anggap lawannya itu seorang laki2 sejati. Hanya karena
membela sang suhu, terpaksa dia harus bentrok dengannya. „Maaf!" serunya sembari,
melangkah maju dua tindak dan sret...... memapas bahu orang. Atas serangan, itu Nyo
Kong-lim mendak kebawah, lalu balas menyerang. Demikianlah keduanya segera
bertempur lagi.
Tio Jiang tetap gunakan ilmu pedang to-hay-kiam-hwat. Pada 4 jurusan dan 8 penyuru,
sinar pedang mengurung Nyo Kong-lim dengan gencarnya, sehingga para hadirin menyadi
terkesiap kaget. Pikir mereka, kalau muridnya saja sudah sedemikiann lihaynya, apalagi
gurunya. Kini mereka, tunduk betul2 atas kesaktian Ceng Bo siangjin. Sedang si Ceng
Bo siangjin itu sendiri, bermula terperanyat sekali melihat Tio Jiang unyukkan permainan
to-hay-kiam-hwat. Tapi demi dilihatnya semua mata hadirin tertuju kepadanya. dengan
sikap mengagumi, cepat sekali dia unyuk muka berseri. Sedang kedua wanita muda
tadipun tak putus2nya berseru me-muji2, hingga orang2 yang sedikit saja masih
mempunyai perasaan halus, tentu akan mengerutkan alisnya.
Sebenarnya Nyo Kong-lim itu juga seorang jago kelas berat. Hanya karena sejak menyadi
Toa-cecu digunung Hoa-san dia jarang keluar berkelana lagi, jadi orang persilatan hanya
mendengar namanya tapi belum pernah menyaksikan kepandaiannya. Dia timpali
permainan pedang Tio Jiang dengan gerakan sam-ciat-kun yang seru sekali. Sedang
dalam pada itu, tubuhnya yang tinggi besar itu berlincah2an dengan gesitnya. Saking
cepatnya pertempuran itu, dalam sekejab saja, 20 jurus sudah berlangsung, namun
masih tetap seri saja.
„Toako, mengapa membuang2 tempo untuk melajani anak tengeng itu ?" kedengaran
beberapa Cecu yang duduk dimeja pat-sian itu ramai2 menganyurkan.
Bermula karena sayang akan kegagahan Tio Jiang, Nya Kong-lim tak mau keluarkan
seluruh kebiasaannya. Nanti kalau sudah kehabisan tenaga, biarlah anak muda itu
mundur sendiri. Tapi ternyata anak muda itu makin lama malah makin bersemangat.
Maka demi mendengar anyuran saudara2nya itu, sembari mengiakan, Kong-lim segera
perhebat sam-ciat-kunnya. To-hay-kiam-hwat benar merupakan, ilmu pedang yang luar
biasa indahnya, tapi karena Tio Jiang masih belum sempurna, jadi dalam beberapa jurus
kemudian, dia tampak terdesak. Kini dia hanya dapat menangkis, tapi tak mampu
membalas serangan.
Pada saat itu dengan gunakan jurus hay-li-long-hoan (puteri laut memain gelang), dengan
susahnya Tio Jiang menangkis serangan heng-soh-cian-kun (menyapu ribuan serdadu)
dari Nyo Kong-lim. Nyo Kong-lim tak mau sia2kan kesempatan itu. Tiba2 sam-ciat-kun
dilempangkan seperti pit untuk menutuk jalan darah siang-jiok-hiat dipinggang sianak
muda. Tapi ketika melihat sianak muda itu rupanya tak dapat menghindar lagi, karena
sayang akan bakatnya, maka Nyo Kong-lim agak tarik sedikit tangannya kebelakang, asal
menutuk kena saja, sudahlah, yangan sampai membahajakan jiwa orang. Tapi diluar
dugaan, tubuh Tio Jiang terhujung dan jatuh menengadah kebelakang, seperti macam
gerak tiat-pian-kio, maka serangan sam-ciat-kun tadipun hanya melayang diatas
tubuhnya saja. Karena tadi sudah dikendorkan, begitu luput, cepat sekali Nyo Kong-lim,
menarik balik sam-ciat-kunnya. Tapi berbareng pada saat itu, seperti macam orang gila
Tio Jiang menubruk lawan dengan membolang-balingkan pedangnya.
Melihat itu, sudah tentu Nyo Kong-lim tertegun heran. Terang itu bukan gerakan ilmu
silat. Yangan2 karena kalap, sianak muda itu lalu membabi buta hendak mengadu dliwa,
Maka diapun tak mau melajani dengan kekerasan, melainkan mundur 3 tindak. Tapi
ternyata Tio Jiang tetap mengejarnya dengan mengobat-abitkan pedangnya keatas. To-
hay-kiam,hwat sudah sakti, ditambah pula dengan gerakan Tio Jiang yang serba aneh
itu, telah membuat Nyo Kong-lim kebingungan serta terpaksa main mundur lagi. Dengan
begitu, kini Tio Jianglah yang memegang inisiatip penyerangan. Maju lagi kemuka, dia
kirim tebasan kemuka dan bahu orang.
Dua kali Nyo Kong-lim terdesak mundur tadi, sudah membuat gempar para penonton.
Masa seorang pemimpin darl ke 72 Cecu gagah itu sampai kena didesak mundur oleh
seorang pemuda tengeng yang tak ternama. Maka kini Nyo Kong-lim. mulai unyuk gigi.
Begitu serangann pedang tiba, sam-ciat-kun segera menyambutnya seperti seekor ular
keluar dari guanya. Ujung toja membabit keatas, disusul dengan sodokan kemuka, ujung
kedua menonyol maju untuk menutuk jalan darah lwe-kwan-hiat disiku tangan orang.
Jadi sekali gerak, dua serangan Indah dan sebatnya bukan kepalang. Benar juga
pengaruh serangan Tio Jiang menyadi lambat. Buru2 dia tarik pedangnya, tapi orangnya.
tak mau mundur melainkan meraba maju. Hal mana telah membuat Nyo Kong-lim kaget,
serunya: „Mau kepingin mati?"'
Tapi ternyata Tio Jiang bukan merabu maju, melainkan dengan se-konyong2 miring
kesamping, terus menyelinap kebelakang orang. Tanpa memutar kebelakang lagi, Nyo
Kong-lim mainkan sam-ciat-kun dalam jurus giok-tay-wi-yau (sabuk kumala melibat
pinggang). Setelah sam-ciat-kun ber-putar2 baru orangnya membalik, kebelakang, tapi
ternyata sianak muda sembari melorot turun sudah menyusup kesamping lagi. Dan dari
situ dengan gerak „Ho Peh koan-hay," dia menusuk pinggang orang.
Gerakan itu sungguh membingungkan Nyo Kong-lim yang belum tahu dimana posisi
lawan, atau dari sebelah kanannya ada angin menyamber kepinggag. Dalam gugupnya
dia menyapu sembari berputar kesamping. Tapi bagaikan bayangan, sianak muda, itu
tetap mengintil sembari guratkan ujung pedangnya, bret kolor celana pemimpin Hoasan
itu tergurat putus. Hal mana sudah tentu membuatnya gusar sekali. Cepat diaa kebas
pedang lawan dengan sam-ciat-kunnya, dan berbareng dengan memutar tubuh dia
ulurkan tangannya kiri untuk merebut senyata sianak muda. Dikebas sam-ciat-kun tadi,
tangan Tio Jiang sudah kesemutan lagi rasanya, dan tahu2 ada sebuah tangan besar
yang penuh bulu hendak mencengkeram mukanya, ter-sipu2 dia melangkah mundur.
Tapi astaga, begitu terdengar suara orang tinggi besar itu ketawa, pedangnya sudah
pindah tangan.
Senyata dapat direbut lawan, sudah cukup berbicara kalah atau menang. Dengan merah
padam mukanya, Tio Jiang berdiri menyubelek. Tapi berbareng dengan itu „terdengarlah
riuh rendah gelak tawa dari para hadirin. Nyo Kong-lim lemparkan pedang sianak muda,
tapi dalam pada itu kedua gundik Ceng Bo siangjin itu menyerit-jerit: „Ai....., ai.....,
mampus aku! Orang tinggi besar itu masa didepann orang banyak, meloloskan
celananya?!"
Nyo Kong-lim terperanyat mengawasi celananya, aduh mati aku......karena kolornya
putus digurat sianak muda, celananya kedodoran dan pahanya yang penuh bulu itu
tampak bulat2 kelihatan oleh orang banyak, sehingga menimbulkan buah tertawaan
mereka. Dengan geram ke-maIu2-an, buru2 Nyo Kong-lim beresi tali celananya itu,
kemudian tantang lagi pada Tio Jiang: „Anak muda, ambillah pedangmu dan hajo
bertempur lagi!"

(Lihat Gambar Ilustrasi Diatas)


GAMBAR 29
Disusul dengan terpental pedangnya Tio Jiang, tahu2 celana
Nyo Kong-lim kedodoran hingga kelihatan kedua pahanya yang penuh bulu.

Menurut nilai pertandingan itu, terang Nyo Kong-lim lebih unggul. Sebagai orang jujur
macam Tio Jiang, sedikit itu ja sedikit, kalah ja kalah. Apa yang dipikir dalam hatinya,
mulutnyapun mengatakan begitu. Senyatanya terebut lawan, secara sportief dia
mengaku kalah. Biar sang suhu saja yang menghadapinya.
„Toa-cecu, banyak terima kasih atas pengajaranmu tadi. Hopwe mengaku kalah dan
menghaturkan hormat," kata Tio Jiang sembari menyura. Setelah itu dia memu-ngut
pedangnya, lalu hendak mundur.
Nyo Kong-lim terperanyat dan kagum atas kejujuran sianak muda itu. Seketika timbullah
perasaannya senangakan dia, ujarnya: „Siaoko, sayang seorang anak laki perwira seperti
kau ini, keliru memilih guru yang sesat!"
Mendengar suhunya dimaki lagi, Tio Jiang putar tubuhnya untuk melototi mata pada
orang she Nyo,itu. Tiba2 serasa dilihat ada sesosok bayangan berkelebat disamping Ceng
Bo siangjin. Sayang kepalanya tengeng, jadi gerakannya tak leluasa. Ketika dia putar
tubuhnya untuk mengawasi adakah orang itu si The Go, ternyata bayangan itu sudah
lenyap lagi. Karena sudah 3 kali ini Tio Jiang merasa, jakin kalau bayangan ituu adalah
si The Go, kini dia mulai curiga. Tapi tatkala dia hendak mencarinya, tiba2 kedengaran
Ceng Bo, siangjin berkata: „Jiang-ji, terhadap sibangsat tadi, mengapa kau tak mau
menempur sekuat tenaga?"
Tio Jiang melengak lagi. Baru dua bulan dia tak berjumpa dengan suhunya mengapa kini
sang suhu berobah sedemikian galaknya. Enam tahun lamanya, belum pernah dia
mendengar suhunya memaki bangsat". Tapi karena di sesali oleh sang suhu, diapun
hanya mengaku salah saja. „Murid memang bersalah!" serunya, lalu menuding pada Nyo
Kong-lim: „Toa-cecu, aku masih hendak minta pelajaran lagi padamu!"
Habis berkata, terus saja dia melangkah maju, menusuk kedada Nyo Kong-lime Belum
orang she Nyo itu bergerak menangkis, atau tiba2 dari tengah2 lapangan muncullah
seseorang dengan seruannya yang keras: „Siaoko, tahan!"
BAGIAN 9
RAPAT PARA ORANG GAGAH

BAGIAN 9.2

Melihat orang itu, bukan kepalang kaget Tio Jiang, sampai2 pedang yang dicekalnya itu
hampir terlepas. Bermula dia tak percaja kepada matanya. Tapi serta diawasi dengan
perdata, memang tak salah lagilah dianya. Mukanya kotor, punggung menonyol keatas,
ja sidia, Hwat Ji tojin atau sibongkok yang menyadi pelajan biara Cin Wan Si digunung
Lo-hou-san! Pertama, mengapa dia turut hadir dalam pertemuan para orang gagah ini?
Kedua, dahulu gagu tuli mengapa mendadak sontak kini bisa bicara? ,Suhu berobah
aneh, sigagu bisa bicara, aneh, adakah aku ini sedang bermimpi tanya Tio Jiang seorang
diri. Karena bingung memikirkan dia menyublek disitu sampai sekian saat.
Si Bongkok unyukkan muka-setan pada Tio Jiang, lalu menuding kearah Ceng Bo,
serunya: „Ceng Bo siangjin, kau maukan agar saudara2 dalam dunia persilatan itu ber-
hamba pada tentara Ceng saja, bukan ?"
Bening dan nyaring nada suara si Bongkok itu, suatu tanda bagaimana tinggi ilmunya
lwekang. Tapi karena si Bongkok itu memakai dialect (logat) utara, jadi orang2 sama
kurang jelas. Sebaliknya Tio Jiang kembali terperanyat. Ingin sekali dia mendengar
bagaimana penyahutan suhunya itu.
Bermula kaget juga Ceng Bo melihat munculnya si, Bongkok, tapi dengan cepat dia segera
dapat menyahut: ,,Memang pinto mempunyai maksud begitu."
Si Bongkok kelihatan maju beberapa tindak kemuka, lalu bertanya dengan suara keras:
„Maksudmu sendiri atau atas perentah dari Li Seng Tong congpeng tentara Ceng itu?"
Karena pertanyaan itu diucapkan pe-lahan2, maka semua orang sama mendengar jelas,
dan mereka merasa heran bagaimana seorang bongkok yang tak mempunyai tanda2
keistimewaan suatu apa, berani begitu garang menanyai seorang tokoh macam Ceng Bo
siangjin. Siangjin ini tertawa tawar, lalu berbangkit me-ngebut2kan lengan bajunya.
Dengan wajah cemas, dia menyahut: „Pinto hanya memikirkan keselamatan saudara2
seperjoangan saja. Mau, tidaknya, terserah pada masing2. Kalau saudara2 ingin
mengadu telur dengan batu, silahkan cari kematian sana !"
Atas penyahutan itu, rombongan Nyo Kong-lim menyadi panas hati. Ada beberapa orang
yang tak kuat menahan kemarahannya lagi, segera berteriak: „Bagaimana kau merasa
pasti kalau kita semua ini bukan lawan pemerintah Ceng?"
Ceng Bo siangjin hendak menyahut, tapi si Bongkok maju lagi selangkah seraja me-
lambai2kan tangannya kepada hadirin supaja yangan gaduh. Setelah itu, dia mengajukan
pertanyaan lagi: „Ceng Bo siangjin, apakah kau mengenal aku si Bongkok ini?"
Bermula Tio Jiang menganggap pertanyaan si Bongkok itu edan. Masakan suhunya tak
kenal padanya? Tapi ternyata, setelah bersangsi sebentar, kedengaran suhunya itu
berkata : „Banyak tahun yang lalu, pinto pernah bertemu dengan cunke (anda), tapi
lupalah siapakah gelaran cunke ini?"
Tio Jiang seperti rasakan otaknya terbalik. Sebaliknya si Bongkok itu segera mendongak
keatas tertawa keras. Bening dan nyaring nada ketawanya itu, hingga kalau tak melihat
orangnya, tentu orang takkan percaja kalau suara sebagus itu ternyata keluar dari mulut
seorang bongkok. „Benar, 10 tahun yang lalu kau memang pernah bertemu dengann aku
disebuah pondok dikaki gunung Lo-hou-san! Ha, ha.............! 10 tahun, lamanya
terpaksa aku bertapa menyadi orang gagu, baru hari ini dapat mencari keterangan yang
jelas! Kau masih berani jual lagak disini, tak takut kalau Kiang Siang Yan akan
mencarimu ?"
Pucat lesi wajah Ceng Bo siangjin seketika itu. Berpaling kebelakang dia segera ber-kaok2
ketakutan: „Cian-bin Long-kun........! Cian-bin Long-kun.........!"
Sebenarnya saat itu seharusn ja Tio Jiang sudah mengetahui duduk perkara mengenai
diri „suhunya" itu. Tapi dasar dia itu sedang buta cinta, jadi waktu mendengar Cian-bin
Long-kun dipanggil, diapun ikut2an berseru: „Cian-bin Long-kun, mana Lian suci ?"
Karena kedua 'orang itu ber-teriak2 tak keruan, hadirin menyadi panik. Sebaliknya Nyo
Kong-lim yang menampak si Bongkok itu hanya bersenyum mengawasi saja, segera maju
menghampiri, tanyanya: „Bukankah cunke ini seperti yang diagungkan oleh orang
persilatan sebagai Thay-san sin-tho Ih Liok ?"
,,Benar, siapakah gelaran yang mulia dari Toa-cecu ini, Ih Liok lama nian
mengaguminya!" sahut Ih Liok seraja mengangguk.
Sebagai orang yang berwatak blak-blakan, seketika berserulah Nyo Kong-lim dengan
girangnya: „Ih thocu, 72 Cecu dari Hoa-san, hendak mohon kau menyadi Toa-cecu !"
Sebenarnya Thay-san sin-tho atau si Bongkok sakti dari gunung Thay-san itu hanya
berkelana didaerah utara dan selatan dan Sungai Kuning saja, jarang dia berkunyung ke
Kwitang dan Kwisay. Tapi ilmu „tho kang" (tenaga punuk ), sangat termasjur diseluruh
penyuru. Melihat walaupun Nyo Kong-lim itu orangnya tinggi besar namun hatinya masih
seperti anak kecil, tertawa si Bongkok, ujarnya : „Mengapa Toa-cecu mengucap begitu !"
Kemudian menuding pada Ceng Bo siangjin, dia berkata lagi :„Tunggu dulu sehabis Ih
Liok beresi bangsat itu!" Dan sambil berkata Itu, dia maju menghampiri Ceng Bo siangjin.
Ber-ulang2 mengaoki Cian-bin Long-kun tetap orang itu tak muncul, Ceng Bo itu sudah
kelabakan. Kini demi dilihatnya Thay-san sin-tho yang lihay Itu menghampirinya, dengan
ketakutan dia putar tubuhnya ter-birit2 lari. Tapi dengan sebat sekali, Ih Liok melesat
maju dengan kelima jarinya dipentang. Melihat itu Tio Jiang cemas. Sekali enyot, dia
melesat kebelakang si Bongkok. ,,Thocu, yangan kurang ajar!" serunya sembari menusuk
kebahu kanan orang.
Sebenarnya Ih Liok hendak menangkap orang yang mengaku menyadi Ceng Bo siangjin
itu, guna ditanyai keterangan tentang peristiwa 10 tahun yang lalu itu beserta hilangnya
sebuah pedang pusaka. Tapi serentak Tio Jiang hendak menusuknya, tahulah dia kalau
anak itu tetap menyangka si Ceng Bo tetiron itu sebagai suhunya. Dia kenal watak anak
itu, maka tak dapat mempersalahkannya. Tapi untuk memberi penyelasan, terang
memakan waktu. Maka sembari pendakkan badan, dia menyeruduk Tio Jiang dengan
punuknya, Tio Jiang terperanyat, masa daging punuk hendak diadu dengan ujung
pedang. Cepat2 dia hendak tarik pedangnya itu, tapi tahu2 tangan si Bongkok sudah
membalik kebelakang dan menyawut tangannya. Selcali dipijat, aduh mak, bukan
kepalang sakit tangan Tio Jiang dibuatnya, sehingga trang.......... pedangnya terlepas
jatuh. Saking terkesiap melihat kesaktian si Bongkok itu, Tio Jiang ter-longong2! disitu.
Kini barulah si Bongkok berpaling kebelakang, ujarnya dengan ketawa: „Siaoko, yangan
cemas, nanti saja-pasti kujelaskan padamu!"
,,Suhu........"I, belum Tio Jiang melanyutkan kata2nya, atau tiba2 dia berseru kaget:
,Ai........., kemana, suhu tadi ?"
Kiranya selagi kedua orang itu berajal, si Ceng Bo tetiron sudah menghilang ketikungan
balik gunung. „Ho, hendak lari kau?!" seru si Bongkok sembari enyot tubuhnya mengejar.
Tapi baru memburu sampai ditengah, tiba2 terdengar suara sorak sorai bergemuruh dan
muncullah sejumlah besar orang2 yang memakai kuncir. Terang itulah tentara, Ceng.
Dalam sekejap mata, men-desing2lah ribuan anak panah terbang diudara, menghujani
rombongan orang gagah yang berada ditanah lapangan situ. Yang paling celaka, adalah
Thay-san sin-tho. Karena berada dimuka sendiri, dia seperti dihujani dengan anak
panah. Sjukur ilmu silatnya tinggi. Selagi melayang ditengah udara, begitu didengar ada
suara mendesing, dia cepat meluncur turun. Begitu punggungnya yang bongkok itu
mengenai tanah, sembari, berjumpalitan, dia sudah menyawut dua batang anak panah
yang lalu digunakan untuk melindungi tubuhnya hingga tak sampai terluka.
Mulut menyumpah serapah Ceng Bo tetiron sebagai penghianat yang keji, sekalian orang
gagah itu segera putar senyatanya untuk menangkis hujan anak panah, sembari
mundur. Ada beberapa orang yang tadinya menyokong usul Ceng Bo tetiron, karena
memangnya mereka itu adalah kaki tangan pemerintah Ceng yang menyelundup kedalam
rombongan orang gagah, sudah ber-kaok2: ,,Ceng Bo siangjin, mengapa kawan2 sendiri
kau binasakan ?" Tapi belum ucapan itu selesai, sudah ada beberapa orang yang rubuh
........... terkena panah.

(Lihat Gambar Ilustrasi Diatas)


GAMBAR 30
Mendadak Tio D jiang dan Nyo Kong-lim dihujani anak panah mejusul
serombongan tentara Ceng yang berkuncir sudah datang menyerbu.

Tio Jiang yang hanya memikiri diri Bek Lian, bermula hendak mengejar jejak The Go, tapi
hujan anak panah yang lebat itu, telah merintanginya. Terpaksa dia putar pedangnya
untuk melindungi diri sembari melangkah maju. Tapi barisan pemanah musuh itu, kuat
dan gapah sekali. Tidak semakin reda, sebaliknya hujan anak panah itu makin deras
seperti hujan dicurahkan dari langit. Sudah beberapa kali Tio Jiang hampir terkena.
Saat itu rombongan orang gagah lainnya sembari menangkis sembari mundur ketepi
pantai. Jadi yang masih tinggal, hanya Thay-san sin-tho dan Tio Jiang.
,,Suhu, suhu! Lian suci berada dengan Cian-bin Longkun, ha!" teriak Tio Jiang sembari
menangkis. Mendengar itu terpaksa si Bongkok mundur kedekat sianak muda itu,
ujarnya: ,,Siaoko, 3 bulan tak berjumpa, kepandaianmu maju pesat sekali!"
,,Thocu, kau bukan orang baik. Mengapa dalam 6 tahun kau pura2 gagu?" tanya Tio
Jiang, yang sudah biasa ber- canda dengan si Bongkok itu. Tapi pada lain ketika teringat
bahwa dengan kesaktiannya tadi, terang si Bongkok itu juga seorang cianpwe dalam
persilatan, maka dia kemaIu2-an sendiri, karena merasa tak pantas memanggil begitu
,,Siaoko ceritanya panjang sekali. Nanti saja setelah mengundurkan rombongan tentara
Ceng itu dan menangkap Ceng Bo siangjin, baru kujelaskan padamu," sahut si Bongkok
dengan tertawa sembari menangkis serangkan anak panah.
Mendengar suhunya hendak ditangkap, kembali Tio Jiang tertegun. Dan karena gerakan
tangannya agak terlambat, sebatang anak panah menyambar didekat sisi telinganya,
sehingga dia berjingkrak kaget. ,,Thocu (bongkok), enam tahun suhu memperlakukan
baik2, mengapa kau hendak menangkapnya?"
,,Ho, jadi kau masih menganggap imam tua tadi sebagai suhumu?" tanya si Bongkok
tertawa.
Terkilas dalam pikiran Tio Jiang bagaimana aneh sekali sikap suhunya tadi. Tapi biar
bagaimana juga, dia merasaa berhutang budi besar pada suhunya itu. To-hay-kiam-hwat
yang sedemikian saktinya, sedang puterinya sendiri tak diajari, sebaliknya diturunkan
padanya. Adakah dia sampai hati untuk membaliki muka kepada suhu yang berbudi itu?
Nyo Kong-lim tadipun mendamprat habis2an pada suhunya. Jadi terang suhunya pasti
tak dapat melawan dikerubuti oleh sekian tokoh2 lihay nanti. Memikir sampai disitu,
ujung pedang dimiringkan dan sret ........ memapas bahu si Bongkok, serunya: ,,Kalau
hendak menangkap suhu, harus kalahkan dulu aku!" Tapi berbareng pada saat itu, dua
batang anak panah menyambar disisinya. Malah yang sebatang telah menyusup bajunya
hingga robek.
Waktu dipuncak Giok-li-nia dahulu, 'sering si Bongkok itu' menyaksikan Tio Jiang
berlatih ilmu pedang. Jadi tahulah kalau serangan sianak muda itu disebut jurus ,,ching
wi kiam hwat", maka dengan tenangnya dia pakai anak panah untuk membuat lingkaran
sinar, guna menghalau serangan itu. Tapi kini Tio Jiang sudah mempelajari habis dan
mengerti keindahan sari ilmupedang to-hay-kiam-hwat itu. Begitu dilihatnya si Bongkok
pakai sebatang anak panah untuk menangkis, dia segera geser sedikit kesamping
pedangnya, dap tiba2 ujungnya ditusukkan kemuka.
Ih Liok tak menyangka sama sekali akan gerakan yang luar biasa dari sianak muda itu.
Dengan gugupnya, dia cepat memutar tubuhnya kebelakang, terus menyingkir dua
tindak, baru dia dapat menghindar. Tapi tak urung sebatang anak panahnya tadi, sudah
kena terpapas kutung oleh pedang Tio Jiang. Namun Thay-san sin-tho adalah tokoh
kenamaan,
begitu membuang kutungan anak panah itu, ,segera dia sudah dapat mencari gantinya
lagi. ,,Siaoko, kenapa kau ini" serunya dengan geli.
Tapi berbareng dengan itu, tiba2 dari arah belakang sana terdengar suara tambur riuh
rendah dipukul orang, dan tereakan gegap gempita dari rombongan orang gagah tadi.
Lekas2 Tio Jiang berpaling dan menampak dimulut muara sana muncul ber-puluh2
perahu kecil yang penuh membawa barisan pemanah. Malah sudah di lancarkan
serangan anak panah yang gencar. Jadi kini rombongan orang gagah itu dijepit dari muka
belakang. Saking marahnya, Nyo Kong-lim kedengaran ber-tereak2 seperti kebakaran
yanggut: ,,Hay-te-kau, orang mengagungkan kau ini sebagai lelaki sejati, tak tahunya tak
nempil dengan binatang berekor macam babi dan anying saja!"
Sembari ber-tereak2 begitu, Nyo Kong-lim putar sam-ciat-kunnya dengan dahsjat maju
menyerbu maju. Tadi saja demi diketahui tentara Ceng sudah mengatur stelling bayhok
(barisan pendam) dibelakang gunung, pemimpin Hoa-san itu sudah murka. Tapi setelah
berunding dengan saudara2-nya para Cecu, diputuskan mundur kembali dulu ke Hoa-
san, Disana hendak menyusun kekuatan, guna meI kukan perang total dengan musuh
itu. Tapi demi kini diketahuinya musuh telah mengurungnya dengan rapat, dia teramat
gusar.
Dengan memutar sam-ciat-kun laksana kitiran, dia mengamuk seperti banteng ketaton.
Ber-puluh2 batang anak panah yang menuju kepadanya, segera tersinglap berhamburan
terbentur sam-ciat-kun. Tak berapa lama kemudian, pemimpin Hoa-san itu makin
mendekati kearah Thay-san sin-tho dan Tio Jiang sana. Sembari berjuang mati2-an,
mulut pendekar gunung Hoa-san itu tak henti2-nya mengumpat caci Ceng Bo siangjin.
Mendengar makian Toa-cecu Nyo Kong-lim, Tio Jiang makin marah. Sembari teruskan
serangannya kepada Thay-san sin-tho Ih Liok, dia bentak Nyo Kong-lim: ,Toa-cecu kau
memaki siapa?"
Nyo Kong-lim berasal dari Ineluarga pasaran (rendah), jadi soal ,,me-maki2l” sudah
menyadi darah dagingnya. Apalagi pada, saat itu, dia sedang gusar sekali, maka tak
peduli setan belang lagi, dia, segera menyahut seribu satu makian: ,,Ceng Bo siangjin,
makanya orang2 persilatan sama mengatakan kalau isterimu minggat. Karena menilik
perbuatanmu macam babi anying itu, kalau yang menyadi isteri tak main gila dengan
lain lelaki, sungguh dunia ini tidak adil. Hajo, unyukkan cecongornya untuk mengetahui
siapa lelaki siapa perempuan. Apakah kau kira permainan kanak2 ini akan dapat
menangkap Nyo toaya-mu ini?"
Tio Jiang teringat akan sumaoynya, Yan-chiu. Kalau sumoay itu ada disitu tentu akan
dapat me-retour makian itu kepada sipengirim. Tapi ah..., sumoay itu tiada kabar
beritanya, kemungkinan besar lebih banyak celaka daripada selamat. Maka kini dia
tumpahkan kejengkelannya itu kepada Nyo Kong-lim. Begitu tarik pulang serangannya,
dia cepat beralih menyerang Nyo Kong-lim.
Seorang- kasar macam Nyo Kong-lim mana mau memikir ini itu. Tanpa banyak bicara
lagi, dia segera sambut serangan anak muda itu. Demikianlah dalam sekejab saja
keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang seru. Ber-kali2 Thay-san sin-tho
menereakinya supaja berhenti, namun kedua orang itu sudah seperti orang kalap.
(Bersambung Ke Bagian 09.3)
BAGIAN 9
RAPAT PARA ORANG GAGAH

BAGIAN 9.3

Tiba2 dari atas gunung sana kedengaran seseorang ketawa gembira sekali: ,,Ha......,
ha......, anying berkelahi dengan anying, saling gigit menggigit mati2an. Biarlah.....,
biarlah......, toh nanti keduanya akan mati dalam hujan panah!"
Tio Jiang rasanya kenal sekali akan suara orang itu. Cepat sekali dia putar separoh
tubuhnya mengawasi keatas. Ja, benar, itu dia si Cian-bin Long-kun The Go! Tapi karena
dia mendongak begitu, wut.........., sam-ciat-kun Nyo Kong-lim sudah menyambar datang.
,,Cian-bin Long-kun, mana Lian suci?" tereak Tio Jiang tanpa pedulikan Nyo Kong-lim
lagi.
,,Toa-cecu, tahan!" tiba2 Thaysan sin-tho yang sedari tadi mengawasi akan jalannya
pertempuran itu, kedengaran berseru.
Atas seruan itu, Nyo Kong-lim tersadar. Memang anak itu seorang anak jujur setia, tak
boleh dicelakai. Maka buru2 dia sentakkan tangannya kebelakang. Tapi biar bagaimana
juga, serangannya dalam jurus ,,Sun Bu patahkan kaki" itu, dilancarkan dengan se-
kuat2-nya, maka walaupun dia berhasil juga untuk menarik balik dengan tiba2 itu,
namun tak urung dia terjorok kebelakang. Justeru pada saat itu salah satu dari hujan
anak panah yang masih deras itu, telah menyambar pundaknya, sehingga pemimpin Hoa-
san itu ber-kaok2 mengaduh kesakitan, dan mulutnya segera menghamburkan makian:
,,Keparat, anggaplah kalian anying, tapi aku tetap akan menghajarmu, anying!”
Yang dimaki itu bukan Tio Jiang, melainkan The Go. Dan ber-sama2 Thay-san sin-tho,
kini dia menyerbu keatas. Sebaliknya Tio Jiang yang sudah - dibutakan cinta kepada Bek
Lian itu, kembali ulangi pertanyaannya tadi, serunya: ,,Cian-bin Long-kun, Lian suci kau
bawa kemana, hajo bilang tidak ?"
The Go dengan enak saja ber-kipas2, seraja menyahut dengan tertawa, mengejek:
,,Hem.........., menyadi sute tak tahu kemana perginya sang suci, masa tanya pada lain
orang? Siaoko, kurasa kau tak menanyakan sucimu, tapi menanyakan orang yang kau
cintai bukan? Ha....., ha....., sewaktu kau sakit, orang yang kau cintai itu pergi tanpa
pamit. Bukankah ini berarti menyintai orang yang tak cinta? Ho, ngenas, kasihan!"
Ucapan itu telah menusuk betul2 keulu hati Tio Jiang. Lupa dia kalau saat itu, masih
ditengah hujan panah. Pedang terkulai kebawah, orangnya menyublek berdiri seperti
patung. Hujan anak panah yang masih berseliweran dikanan kirinya itu, tak diacuhkan
sama sekali.
Mata The Go yang tajam dapat mengetahui keadaan saingannya itu. Pikirannya jahat
timbul. Dia ambil busur dan anak panah dari seorang serdadu Ceng yang berada
didekatnya. Busur dipentangnya lebar2, sekali lepas maka menderulah sebatang anak
panah kearah tenggorokan Tio Jiang. Anak ini tengah merenungkan ucapan si Cian-bin
Long-kun itu tadi. Memang rasanya kata2 itu tepat. Buktinya, Bek Lian telah lari
bersama. The Go ketika dia pingsan dipulau kosong tempo hari. Tapi heran, kalau Bek
Lian benar tak menyinta, mengapa malam itu ia memberikan tanda, mata peniti kupu2
padanya? Justeru dia melamun sampai disitu, anak panah tadi sudah terpaut hanya 2
meteran jauhnya. Kalau dia mau menghindar, rasanya masih bisa. Tapi seperti orang
linglung, dia malah merogoh kedalam baju, Perlunya untuk merabah peniti kupu2. Dan
begitu tangannya menyentuh benda itu, hatinya serasa terhibur. Namun pada detik itu,
anak panah telah menyambar tiba, tepat mengenai tenggorokannya, sret ........... darah
muncrat keluar, dan barulah dia tersadar. Secepat kilat, dia tangkap tangkai anak panah
itu. Untunglah dia lekas2 bisa berbuat begitu, karena terang tadi The Go telah gunakan
seluruh kekuatannya untuk memanah. Tak boleh tidak, panah itu tentu akan menembus
batang leher Tio Jiang. Maka meskipun tangan Tio Jiang keburu mencekalnya, tak urung
setengah dim dari ujung panah itu telah menyusup kedalam tenggorokan. Sakitnya
sampai menusuk ke-ulu hati. Dan begitu tubuhnya terhujung, kembali betisnya
termakan sebatang anak panah lagi.
Tempo hari Yan-chiu memberikan peniti kupu2 milik Bek Lian itu kepada Tio Jiang, se-
mata2 adalah untuk memper-olok2-nya saja. Jadi bukan untuk mencelakai sukonya itu.
Maka kalau saat itu ia menyaksikan buah perbuatannya yang dipikul oleh Tio Jiang itu,
ia pasti, akan mengucurkan air mata. Tapi bagaimanaa lagi, nasi sudah menyadi bubur.

(Lihat Gambar Ilustrasi Diatas)


GAMBAR 31
Selagi Tio Jiang ter-menung2 dilanum, cinta,' meradadak The Go lepaskan
anak panah dan tepat menancap ditenggorokan pemuda itu.

Balik menutur keadaan Tio Jiang, dalam pikirannya yang sudah limbung akibat luka
ditenggorokannya itu, tiba2 dia beringas pula. Biar bagaimanaa dia harus cari orang she
The itu untuk menanyakan dimana sang suci itu. Ini perlu, sebab dia ingin mendengar
keterangan dari mulut orang yang dicintai itu sendiri, bagai manakah sejatinya
pikirannya itu. Yang perlu, dia hendak bertanya, mengapa malam itu Bek Lian sanggup
untuk menyadi isterinya?
,,Cinta menangkan segala", demikian kata orang. Dan ini rupanya berlaku jugaa bagi Tio
Jiang. Tenggorokan adalah bagian yang berbahaya dari tubuh manusia. Ini sudah
terpanah, begitu pula betisnya. Andaikata lain orang pasti siang2 sudah rubuh. Tapi
karena mempunyai kekuatan batin Yang keras, Tio Jiang malah beringas. Dengan putar
pedangnya, dia meneryang maju. Benar anak panah tadi sudah dicabutnya, tapi karena
dia bergerak, maka darahpun mengalir seperti menganak sungai. Kini Tio Jiang bukan
seperti manusia lagi macamnya, melainkan seperti manusia darah. Begitu menghampiri
kedekat Thay-san sin-tho dan Nyo Kong-lim, kedua orang ini menyadi berdiingkrak kaget.
,,Siaoko, kau kenapa itu ?" tanya mereka serentak.
Tio Jiang memutar kepalanya, dengan bengis dia deliki mata kepada mereka Tapi begitu
mulu,tnya hendak berkata2, se-konyong2 dia kesima, serunya dalam hati: ,,Hai?
Leherku! Mengapa dapat diputar?" Dia coba lagi untuk menoleh kekanan kiri dan
ternyata mudah sekali, tidak tengeng kaku lagi. Dalam kegirangannya, dia unyukkan
ketawa pada kedua orang tadi.
Biasanya orang ketawa itu tentu sedap dipandang. Tapi tidak dengan Tio Jiang. Karena
dia sudah berobah menyadi manusia-darah, begitu ketawa, malah membikin takut orang.
,,Kau ini orang mati atau orang hidup?" seru Nyo Kong-lim.
Tio Jiang tak sahuti pertanyaan orang. Pikirannya dikliputi rasa girang, karena bukankah
nanti Bek Lian takkan mencelahnya sebagai orang tengeng? Tapi dalam pada itu, dia juga
merasa heran. Mengapa dengan terpanahnya tenggorokannya itu, malahan dapat
memulihkan tengengnya? Bukankah tempo hari Sik Lo-sam mengatakan, tiada obatnya
lagi? Kiranya dia memang tak mengetahui, bahwa untuk menyelamatkan jiwanya, Sik Lo-
sam terpaksa gunakan ciong-chiu-hwat (ilmu tutuk berat) untuk menutup jalan
darahnya. Sebenarnya walaupun dikatakan tutukan tangan berat, tapi seharusnya tak
boleh seratus persen digunakan. Tapi karena kurang faham, jadi Sik Lo-sam telah pakai
seluruh tenaga untuk menutuknya, hingga akibatnya dia menyadi tengeng. Sudah begitu
orang tua kate itu masih malu mengatakan kalau dia tak bisa memulihkan kembali, maka
mengatakan kalau tiada obatnya lagi.
,,Siaoko, ini sambutlah dan poleskan pada tenggorokanmu!" seru. Thay-san sin-tho
seraja melemparkan sebuah bungkusan kertas. Sibongkok ini tahu bahwa sekalipun Tio
Jiang mandi darah, tapi lukanya tak berbahaya.
Kini ketiga orang itu sudah berhasil menyerbu sampai kekaki gunung. Barisan pemanah
tentara Ceng itu bertempat diatas batu2 besar. Maka begitu ketiga orang tadi sudah
mencapai kaki gunung dimana banyak terdapat batu2, mereka tak bisa berbuat apa2
lagi. Sekalipun masih menghujani anak panah, tapi percuma saja. Juga hujan panah dari
jurusan laut tadi, karena sudah terpisah pada jarak jauh, pun tak sampai disitu.
Entah sudah berapa kali Tio Jiang pakai obat kepunyaan si Bongkok itu. Ketika masih
digunung dahulu, setiap kali tertusuk duri atau jatuh, begitu pakai obat itu, tentu
sembuh dengan lantas. Maka meskipun masih mendendam karena orang hendak
menangkap suhunya, namun Tio Jiang sambuti obat itu dan dipakainya untuk mengobati
tenggorokan dan betisnya yang kena panah itu. Kemudian diangsurkannya kepada Nyo
Kong-lim yang terluka pundaknya itu.
Mereka bertiga adalah orang2 yang berwatak sama, suka blak2an tanpa tedeng aling2.
Baru beberapa menit tadi mereka saling bertempur, kini sudah baik dan akur kembali.
,,Sayang, siaoko. Kau sesungguhnya seorang lelaki utama, mengapa memperoleh seorang
guru yang begitu?" kata Nyo Kong-lim sembari mengobati lukanya.
Kembali Tio Jiang kerutkan alisnya, namun mulutnya tak dapat berkata apa2. Tiba2 dia
teringat bahwa tempatnya situ adalah dikaki gunung, jadi kalau membiluk sedikit, tentu
akan bisa berjumpa dengan suhunya. Tanpa banyak pikir lagi, dia lantas berseru keraS2:
,,Suhu, suhu!"
Baru dua kali dia bertereak, tenggorokannya berasa sakit lagi. Maka dia tak mau lagi
bertereak, melainkan hendak lanyutkan penyerbuannya lagi. Tapi tiba2 si The Go yang
berada dipuncak gunung sana menyerit kaget. Sudah tentu Tio Jiang berpaling
kebelakang untuk mengetahui apa yang terjadi. Hai, tentara Ceng yang berada ditepi laut
sana, tampak kacau balau keadaannya. Dalam kekacauan itu tampak ada seorang dalam
sebuah perahu, mengamuk laksana banteng ketaton. Setiap arah tangan menghantam,
terdengarlah jeritan orang. Setiap kaki menendang, terdengarlah orang mengerang. Dan
demi didengarnya Tio Jiang berseru memanggil tadi, orang itu segera berseru: ,Jiang-ji,
mengapa kau juga berada disini ?"
Tio Jiang mengawasi pula dengan seksama. Orang itu mengenakan jubah pertapaan,
Gerak teryangnya bebas le.pas. Sekian ratus tentara Ceng itu dianggapnya seperti
rumput saja. Ah............, siapa, lagi imam gagah itu kalau, bukan gurunya yang teramat
dicintai itu! Diam2 dia bergirang hati dan mengira dugaannya tadi tepat, jakni mengapa
sang suhu sengaja menganyurkan para orang gagah supaja takluk kepada fihak Ceng,
jalah karena, disebabkan sesuatu hal, Buktinya kini suhunya itu kembali sudah
mengamuk tentara Ceng lagi. Saking girangnya, dia deliki mata pada Nyo Kong-lim. ,,Toa-
cecu, orang bagaimanakah suhuku itu, seharusnya kau sudah tahu sekarang."
Toa-cecu dari Hoasan itu ter-longong2 melihat keanehan itu. Dilihatnya belasan perahu
tentara Ceng itu dalam sekejab saja sudah disapu bersih oleh Ceng Bo siangjin. Sebagai
seorang yang polos, cepat dia mengakui kesalahannya. Untuk menyahut pertanyaan Tao
Jiang, dia segera me.nampar mukanya sendiri, plak.........! ,Manusia edan..........!"
serunya memaki diri sendiri.
Tio Jiang geli, tapi Nyo Kong-lim itu sudah lari menghampiri kearah Ceng Bo, seraja
bertereak-tereak: ,,Hay-tekau, 72 saudara Cecu dari Hoa-san, tetap akan minta kau
menyadi pemimpin kami!"
Bermula para orang gagah itu terkesiap melihat munculnya Ceng Bo, tapi demi diketahui
sepak teryang siangjin itu membasmi tentara Ceng, mereka bersorak kegirangan. Ber-
bondong2 mereka datang mengerumuni imam yang gagah perkasa itu. Kawanan orang
yang tadi pro menakluk pada pemerintah Ceng, juga menyadi heran atas kejadian itu.
Tapi Ceng Bo tak mengacuhkan mereka. Langsung dia memapaki Nyo Kong-lim, serunya
sembari memberi hormat: ,,Adakah saudara ini Nyo Toa-cecu dari ke 72 cecu Hoa-san ?
"
Sudah tentu sikasar itu melengak. ,,Hay-te-kau, kau pandai juga bersandiwara!"
sahutnya dengan ter-gelak2.
Ceng Bo siangjinpun heran. Tapi karena menganggap orang she Nyo itu seorang kasar
yang blak2an, maka diapun tak marah. Tapi ketika hendak berkata lagi, se-konyong2
dari balik gunung muncul seseorang yang sambil bertepuk tangan segera mengeluh
keras: ,,Ah......, sayang! Terlambat sedikit saja, mereka sudah lolos!"
Itulah sibongkok Thay-san sin-tho I Liok. Tapi begitu melihatnya, Ceng Bo siangjin
tampak kerutkan alisnya. Wajahnya nampak kurang senang. Sebaliknya Nyo Kong-lim
segera memanggil sibongkolk: ,,Tho-cu, lekas kemari!"
Sibongkok segera menghampiri. Tapi tatkala lewat disamping Tio Jiang, dia segera seret
tangan si anak muda itu.
Karena ber-tahun2 sibongkok itu mengelabuhi Tio Jiang, dengan ber-pura2 sebagai orang
gagu, Ceng Bo tak menyukai sibongkok, maka diapun tak mau menyapanya, melainkan
bertanya kepada muridnya: ,,Jiang-ji, mengapa kau berada disini? Dimana Ki dan Kiau-
susiok berdua? Dan mana Siao Chiu?"
,,Suhu, apa kau tak mengetahui bahwa, Li Seng-Tong sudah menduduki Kwiciu. Setelah
membunuh kaisar Siau Bu, dia mengirim 300 ribu tentara untuk mengurung Gwat-siu-
san. Saudara Thian Te Hui boleh dikata telah binasa!”
Wajah Ceng Bo tampak berobah keren, serunya: ,,Mengapa kau takut mati melarikan diri
?"
Saking takutnya, Tio Jiang ter-sipu2 jatuhkan diri berlutut. Sedang disana demi
menyaksikan peribadi Ceng Bo siangjin yang sedemikian perwiranya itu, Nyo Kong-lim
lalu unyukkan, jempol tangannya, berseru memuji: ,,Hebat!"
,,Murid berhasil meneryang kepungan musuh dan bisa lolos. Ki dan Kiau susiok diserang
cerai berai oleh musuh. Sedang sumoay yang bermula, selalu berdampingan dengan
murid, karena gelombang serangan serdadu musuh yang sedemikian banyaknya itu,
maka terpencarlah kita semua ...... entah kemana," Tio Jiang memberi keterangan.
Kemudian tuturkan juga pengalamannya selama itu. Karena dia tak dapat berbohong,
maka tentang bagaimana dirinya terluka, bagamana dia hendak mengadu jiwa,
bagaimana, dia tukar menukar ilmu dengan Sik Lo-sam, Kemudian bagaimana dia
sampai di pulau Ban-san-to. Setelah itu dia menyerahkan diri rela menerima, hukuman
apapun yang hendak dijatuhkan sang suhu, karena dengan menurunkan ilmu pedang
to-hay-kiam hwat kepada Sik Lo-sam itu, dia telah menyalahi peraturan perguruan.
Memang setelah mendengar penuturan muridnya itu, wajah Ceng Bo tampak berobah
bengis, kemudian pada lain saat kedengaran dia berkata: ,,Menurut peraturan kaum kita,
sekalipun saudara seperguruan, tak diperbolehkan untuk mencuri lihat latihan lain
saudara seperguruan ................”
Belum dia menghabiskan keputusannya itu, sikasar Nyo Kong-lim terus saja
mengibaskan sam-ciat-kun seraja berseru keras: ,,Hay-te-kau, kalau kau hendak
menghukum anak itu, sungguh tak mempunyai liang-sim (hati bajik)!"
,,Apa maksud Toa-cecu berkata begitu?" tanya Ceng Bo dengan heran.
Tanpa tedeng aling2 lagi, Nyo Kong-lim segera menuturkan apa yang terjadi barusan tadi.
Bagaimana karena membela, sang suhu, anak itu telah bertempur dengan dia.
Keterangan Nyo Kong-lim itu dibenarkan oleh para orang gagah. Ceng Bo siangjin
tergerak hatinya. Tapi dia adalah seorang yang dapat membedakan mana soal peribadi
dan mana soal hukum. Dengan menghela napas, dia berkata: ,,Bangunlah, setelah
urusan segera selesai, kupertimbangkan lagi. Kini kuberi! kesempatan padamu,
mendirikan jasa untuk menebus dosa! "
Tio Jiang menghaturkan terima kasih. ,,Hay-te-kau, sandiwara yang kau bawakan tadi,
sungguh bagus!" kembali Nyo Kong-lim bergelak tertawa. Ceng Bo siangjin tetap tak
mengerti, mengapa seorang lelaki gagah begitu, omongannya tak keruan. Tapi tiba2 Thay-
san sin-tho turut campur bicara: ,,,Ceng Bo siangjin, dengarkanlah penyelasanku.
Memang urusan itu panjang nian untuk diceritakan. Mengapa aku si Bongkok ini sampai
ber-tahun2 menyadi orang bisul adalah karena untuk menyelidiki urusan itu, sjukur kini
sudah dapat kubikin terang. Ceng Bo siangjin, kau benar2 seorang lelaki berpambek
perwira sekali, bukan orang yang takut mati!
Ceng Bo siangjin kerutkan alisnya, menegas: ,Apa maksudmu ?"
„Siangjin, apakah kau pernah mendengar bahwa didunia persilatan terdapat seorang
yang bernama Tan It-ho?" tanya si Bongkok pula.
„Rasanya sudah, bukankah yang gelarannya 'Yau-sin-ban-pian' (Gerak robah selaksa) itu
?" ujar Ceng Bo. Atas itu Thay-san sin-tho mengiakan, katanya pula : ,,orang itu pandai
sekali bermake-up (men jaru) dengan topeng kulit muka, lagi pintar meniru nada suara
orang. Ilmu silatnya sih biasa saja, tapi dengan mengandalkan kedua macam
kepandaiannya itu, dia banyak melakukan perbuatan2 jahat. Tadi diapun munt ul disini,
menyaru mend jadi dirimu, menganyurkan supaja para saudara kaum persilatan tunduk
saja pada pemerentah. Ceng!"
Bukan saja Ceng Bo, pun sekalian orang2 yang hadir disitu terperanyat bukan kepalang.
„Masakan kepandaiannya tadi sedemikian hebat hingga dapat mengelabuhi orang banyak
?" kata Ceng Bo.
„Tadi sih dia gagal, tapi pada 10 tahun yang lalu, karena disewa oleh orang dia telah
berhasil dengan bagus sekali memainkan peranannya dikaki gunung Lo-hou-san. Dia
dapat menipu sehingga dapat mencerai beraikan 'Kau' (Hay-te-kau) dan 'Yan' (Kiang Siang
Yan), serta melarikan sebatang pedang pusaka !" menerangkan si Bongkok.
Hati Ceng Bo tergerak, maju selangkah dia menegas: „Bagaimana kau tahu? !"
,,Kata Sik Lo-sam bahwa saat itu aku berada ditempat kejadian itu, memang aku
menyaksikan dengan mata kepala sendiri!" sahut Thay-san-sin-tho. Tiba2 Ceng Bo
siangjin bertereak keras2, sehingga sekalian orang sama berd ingkrak kaget. „Dimana
manusia itu ?" tanyanya. Tapi si Bongkok kedengaran menghela napas, jawabnya:
„Karena ajal sedikit saja, dia sudah lolos dengan perahu. Tapi terang dia bersama Cian-
bin Long-kun. Kalau kita dapat mengejar Cian-bin Long-kun itu, bangsat itu tentu takkan
dapat Lari!"
Ceng Bo tampak berdiam diri. Pikirannya jauh melayang akan peristiwa 10 tahun yang
lalu, serta siwanita berambut panjang yang dijumpainya dilaut itu. Samar2 dia serasa
terang akan duduk perkaranya.
Melihat ditinggal bicara sendiri, sikasar Nyo, Kong-lim. muring2. ,,Hay-te-kau, mengapa
tak lekas2 pergi ke Hoa-san? Sekalian saudara sudah menunggumu!" serunya.
Mendengar itu, Ceng Bo, agak gelagapan. Urusan peribadi pada 10 tahun itu, tinggalkan
dulu saja. Urusan negara lebih penting. Baik, mari kita berangkat ke Hoa-san!" sahutnya,
Kemudial diajaknya para orang gagah itu menuju kepantai, dari situ mereka berlajar
keutara.
BAGIAN 9
RAPAT PARA ORANG GAGAH

BAGIAN 9.4

Tio Jiang, Ceng Bo siangjin, Thay-san sin-tho, dan Nyo-lim berkumpul disebuah perahu.
Selama dalam perlajaran itu, tampak Ceng Bo selalu merenung saja. Sebaliknya dengan
mendapat kawan seorang imam yang begitu gagah perwira, Nyo Kong-lim tak putus2nya
bicara dan tertawa, sehingga perahu itu penuh diliputi dengan gelak ketawanya. Lewat
bebrapa saat, Ceng Bo siangjin minta supaja Thay-san sin-tho, menghampiri kedekatnya.
Sedang Nyo Kong-lim asjik menceritakan pada Tio Jiang tentang keadaan ke 72 Cecu
Hoa-san itu.
Sembari mendengari. Tio Jiang sembari se-bentar2 memasang mata kearah suhunya. Dia
heran sewaktu sang suhu memanggil si Bongkok. Entah apa yang dibicarakan mereka.
Tapi samar2 Tio Jiang seperti teringat akan kejadian pada masa yang lalu. Misalnya
bagaimana sekali ketika masih digunung, Bek Lian telah menangis dengan ter-lara2.
Bermula dikiranya kalau dia (Bek Lian) kesalahan padanya, tapi ternyata suci itu teringat
akan ibundanya. Bek Lian telah menanyakan perihal ibunya kepada sang ajah, tapi ajah
itu tetap tutup mulut saja. Dan teringat pula tempo hari Sik Lo-sam pernah menyebut
kata2 ,Hay-te-kau dan ,,Kiang Siang Yan." Sedangnya dia berpikir sampai disitu,
dilihatnya wajah Ceng Bo siangjin berobah murka sekali. Kemudian pada lain saat,
suhunya itu mondar mandir diatas lantai perahu, krak......, krak..... lantai perahu yang
dilewatinya itu sama melekah atau ada yang amblong.
,,Hay-te-kau, mengapa tak kau jumpalikkan sekali perahu ini untuk melampiaskan
kemarahanmu itu, perahu tenggelam ....... kita semua kan akan mandi dilaut ?" Seru
sikasar Nyo Kong-lim demi melihat gerak gerik Ceng Bo.
Atas seruan itu, Ceng Bo hentikan langkahnya. Tapi dari mimik wajahnya, dia tetap
dirangsang kemurkaan hebat. Tio Jiang juga tak mengerti apa kata si Bongkok tadi,
hingga menyebabkan sang suhu sedemikian murkanya. Selama ini belum dia melihat
suhunya sedemikian murkanya. Juga lain2 orang yang tak tahu menahu akan urusan
peribadi Ceng Bo, hanya menganggap bahwa siangjin itu sebagai seorang patriot besar
tentu sedang tumpahkan kemurkaannya terhadap tindakan tentara Ceng selama ini.
Menampak siangjin itu begitu murka, merekapun tak berani bercuit.
Perahu berlajar dengan cepatnya dan saat itu sudah tengah hari. Tiba2 Nyo Kong-lim
berteriak : „Hai, mengapa kapal besar dimuka sana itu ter-katung2 ditengah laut ?"
Ceng Bo pun melihat hal itu. Perahu besar itu adalah perahu yang dipakai The Go dan
Bek Lian beserta sejumlah tentara Ceng untuk menggempur Kwiciu tapi telah dipegat
oleh Ceng Bo tempo hari. Terang kala itu perahu membentur karang dan sudah akan
tenggelam, tapi mengapa sampai sekarang masih ter-katung2 timbul tidak tenggelam
bukan ?
„Siapa diantara saudara2 yang mengetahui laut sana itu terdapat karang ?" tanya Ceng
Bo kepada awak kapal. Salah seorang tampil kemuka dan menerangkan bahwa laut itu
disebut Hay-sim-kau atau Laut Karang. „Siapakah nama saudara ? Tempat itu bukantah
dahulu tempat pertapaan Su Liong Po ?" tanya Ceng Bo. Orang itu menerangkan bahwa
dia bernama Su Khin-ting bergelar Bo-lin-hi (ikan tak bersisik), kemudian menuturkan
bahwa Su Liong Po itu sudah lama meninggal.
Ceng Bo memandang orang itu, wajah siapa sih tak mengunyuk apa2 yang luar biasa,
kecuali sikap dan bicaranya tadi cukup tegas. Tahu Ceng Bo bahwa dengan bergelar Bo-
lin-hi itu, kepandaian didalam air dari orang itu tentu istimewa. Sekilas terbayang dalam
ingatan Ceng Bo, bahwa wanita berambut panjang yang muncul diperahu tenggelam itu
dulu, menilik daerah laut situ adalah Hay-sim-kau, ke-mungkinan besar ia itu adalah
murid daripada Su Liong Po tersebut. Su Liong Po, juga seorang wanita yang sudah
berumur lanyut. Ia termasjhur memiliki ilmu lwekang istimewa yang disebut ,Thay-im
lian sing". Setelahh mendapat keterangan dari Thay-san sin-tho tadi, samar2 Ceng Bo
menyatuhkan dugaannya kalau wanita berambut panjang itu, adalah orang yang ber-
tahun2 ini dicarinya dengan sia2 itu. ,,Saudara Su, apakah kau pernah menyelam
kebawah laut situ ?” tanyanya kemudian.
,,Dua tahun yang lalu, pernah dua kali meninyau kesana. Tapi ternyata dibawah laut situ
hanya terdapat batu2 karang yang aneh bentuknya, tapi tak dapat kuketemukan pintu
goa dimana dahulu Su Liong Po telah mejakinkan pelajarannya,” sahut Su Khin-ting.
,,Ilmu lwekang dari Su Liong Po itu disebut 'thay-im lian sing," suatu jenis lwekang yang
paling istimewa sendiri. Untuk mejakinkan ilmu itu, harus berada dibawah tanah, Tiap
sejam sekali muncul keatas untuk, menghirup hawa sampai 32 kali. Achirnya setelah
mencapai tingkat seperti apa yang dikatakan dalam kitab Lam Hwa Keng ‘dimana sang
malaekat tinggal, disitulah sang naga akan muncul. Tenang bagaikan sesosok malaekat,
bergerak bagaikan seekor naga', maka sempurnakah sudah pejakinan itu. Su Liong Po
atau wanita malaekat naga, begitulah mendapat gelarannya. Terang ia tentu mempunyai
goa rahasia didasar laut Hay-sim-kau situ, soalnya saudara belum dapat menemukannya
saja," menerangkan Ceng Bo.
Sekalipun penumpang2 perahu itu sebagian besar adalah orang2 persilatan namun
mereka tak pernah mendengar hal itu. Hal ini menambah kekaguman mereka, terhadap
Ceng Bo siangjin yang begitu luas pengalamannya. Malah setelah habis menutur tadi,
Ceng Bo tampak melucuti jubah pertapaannya, lalu mengajak Su Khin-ting: ,,Sdr. Su,
karena kau sudah pernah kesana, maukah menemani aku sekali lagi ?”
Sudah tentu Su Khin-ting menurut, tapi sebaliknya Nyo Kong-lim cemas, serunya: ,,Hay-
to-kau, yangan lupa kita masih mempunyai urusan besar!" -Namun Ceng Bo hanya
mendengus saja, terus loncat kedalam laut.
Gelar Hay-te-kau atau Naga didasar laut itu, ternyata tak bernama kosong. Sekali terjun
kedalam air, dia sudah menyelam jauh kedalam. Ketika Su Khin-ting yang mengikuti
dibelakang membuka mata, ternyata siangjin itu sudah berada 3 tombak lebih didepan
sana. Nyo Kong-lim perentah menurunkan lajar, supaja perahu berjalan selambat
mungkin. Tio Jiang sebaliknya segera menanyai si Bongkok apa yang dibicarakan dengan
suhunya tadi.
,,Siaoko, mengapa harini kau begini teliti?" sahut si Bongkok sembari menoleh kekiri
kanan. Melihat sikap si Bongkok itu, tahulah Tio Jiang kalau pertanyaannya tentu tak
dijawab. Kini kita ikuti perjalanan Ceng Bo siangjin dan Su Khin-ting.
Tak berselang berapa lama, Ceng Bo tiba pada sebuah deretan batu karang raksasa yang
ber-warna hitam bertutulkan putih. Batu2 itu menyulang didasar laut. Ceng Bo meluncur
turun kesana. Karena tengah hari, jadi dasar laut situpun kelihatan terang. Pegunungan
karang itu tinggi rendah menonyol turun, bentuknya beraneka ragam anehnya. Tapi
walaupun berenang mengelilingi seputarnya, namun kedua orang itu tak berhasil
menemukan sesuatu yang luar biasa. Ceng Bo berhenti sejenak sambil memegangi
sebuah tiang batu, kemudian dia meneliti lagi sekeliling tepian pegunungan itu, namun
tetap tak berhasil menemukan apa2. Su Kin-ting membuat isjarat tangan yang
maksudnya menerangkan, dua kali sudah dia berkunyung kesitu, pun tiada berhasil.

(Lihat Gambar Ilustrasi Diatas)


GAMBAR 31
Sesudah Ceng Bo Siangjin menyelam kedasar laut bersama Su Kin Ting,
tidak lama lantas tertampak didepan ada batu2 karang, putih yang aneh2.

Pikiran Ceng Bo bekerja. Lam-hay Hek-mo-kun (Raja Iblis Hitam dari Laut Selatan) jakni
gelaran dari Su Liong Po sebelumnya, mejakinkan ilmunya di laut Hay-sim-kau situ,
semua orang sudah mengetahuinya. Benar semasa Hek-mokun tersebut masih hidup,
tiada seorangpun yang diidinkan Masuk kedalam laut Hay-sim-kau situ, namun
bagaimana dia tentu melakukan pejakinannya itu dibawah laut dan se-kali2 bukan diatas
permukaan laut. Konon kabarnya, ilmu thay-im-liang-sing itu, sewaktu mejakinkannya,
tak boleh tersentuh dengan benda yang bagaimana pun kecilnya juga. Kalau dia
mejakinkan diluar karang (diatas permukaan laut), terang tak mungkin karena
gelombang laut itu penuh dengan bermacam2 benda. Memikir sampai disitu, Ceng Bo
siangjin mulai mencari lagi. Dan achirnya jerih pajahnya itu berbuah. Dia menemukan
sebuah batu karang yang bentuknya luar biasa serta berbeda dengan yang lain.
Batu itu hanya 2 meter pesegi besarnya. Anehnya, diatas batu tersebut tiada tumbuh
pakis (lumut), jadi licin2 saja. Terang kalau sering dijamah oleh tangan orang. Karena
berada didasar laut, batu itu sebagian telah ditimbun oleh pasir, maka pada pencarian
pertama tadi, sudah tak tertampak jelas. Ceng Bo memberi isjarat supaja Su Khin-ting
datang kesitu. Mereka berdua segera menyingkirkan timbunan pasir itu. Setelah itu Ceng
Bo menghantam kemuka. Hantamannya itu diarahkan pada air, bukan pada batu tadi.
Ber-gulung2 air meluncur kemuka, lalu dengan tiba2 dia menarik tangannya kebelakang.
Begitulah dengan mendorong-tarik itu, maka timbullah suatu tenaga hantaman yang
dahsjat. ilmu silat Su Khin-ting juga tak lemah, tapi terdampar oleh tenaga dahsjat tadi,
dia sudah tak dapat berdiri tetap. Diam2 dia kagum sekali kepada imam yang sakti itu.
Pada lain saat, ketika Ceng Bo menarik tangannya kebelakang, dia sertai dengan tenaga
Iwekang sehingga air ber-gulung2 turut tersedot kebelakang. Oleh tenaga sedotan yang
kuat sekali itu, achirnya batu karang tadi turut bergoyang2 dan bergeser beberapaa dim.
Sekali Ceng Bo mendorong kuat2, maka batu karang itu segera bergeser jauh dan
tampaklah sebuah lubang goa.
Sebenarnya pegunungan karang tersebut, adalah gunung didasar laut. Sifatnyapun
serupa dengan gunung didaratan, maka juga terdapat goa2-nya. Tanpa, ragu2 lagi,
keduanya segera menyusup kedalam lubang itu. Kiranya benar seperti yang diduga
mereka, tempat itu merupakan sebuah goa bundar seluas satu tombak. Goa itu penuh
dengan ikan2 kecil yang tubuhnya dapat memancarkan cahaja sinar, sehingga goa itu
seperti diterangi dengan ratusan lampu kecil. Air disitu pun jernih sekali, sehingga kalau
orang berada disitu rasanya seperti memasuki sebuah Cui-ci-kiong (istana didalam air).
Ceng Bo menduga disitulah tempat pertapaan dari So Liong Po dahulu. Dia berenang
mengelilingi dinding goa itu. Disana sini didapati seperti ada ukiran huruf2, tapi kini
sudah rusak oleh guratan2 yang malang melintang memenuhi dinding itu, sehingga
tulisan2 tadi tak dapat dibaca lagi. Tak tahu Ceng Bo apa maksud kesemuanya itu. Tiba2
pada sebuah dinding lain, dia tertegun mengawasi sebuah lukisan yang diukir disitu.
Melihat itu, Su Khin-tingpun lekas2 menghampiri. Entah bagaimana dulu sipelukis dapat
mengukir lukisan itu didinding tersebut. Tapi jelaslah sudah, lukisan itu
menggambarkan sebuah pondok gubuk, seorang wanita cantik tidur diatas balai2,
wajahnya mengunyuk malu dan marah besar. Ditepi balai2, tampak ada 2 orang lelaki
yang dengan beringas bengis tengah mencekik tengkuk (leher bagian belakang) dari
seorang lelaki lain, wajah siapa mirip dengan Ceng Bo siangjin. Orang laki itu (yang
melukiskan Ceng Bo) tampaknya seperti me-ratap2 minta ampun. Diantara buaian air
laut mengalir, lukisan itu tampaknya hidup sekali.
Bagi Su Khin-ting, lukisan itu tak dimengertinya. Tapi Ceng Bo siangjin segera
menginsjafi apa artinya. Kiranya apa yang telah dikatakan Thay-san sin-tho itu, benar
semua. Kedua penyahat tadi (jakni lukisan kedua orang laki yang mencekik orang) karena
hendak mencuri pedang pusaka kepunyaannya (Ceng Bo) dan Kiang Siang Yan, telah
gunakan tipu muslihat yang keji. Selagi Ceng Bo naik keatas gunung mencari obat,
mereka telah menutuk jalan darah Kiang Siang Yan yang tengah sakit berat itu.
Kemudian menyuruh si Yau-sin Ban-pian Tan It-ho menyaru jadi Ceng Bo dan disuruh
membujuk agar Kiang Siang Yan menyerahkan pedangnya pusaka !
Ah........, tak heranlah kini Ceng Bo, mengapa sedemikian murka Kiang Siang Yan pada
saat itu. Tanpa mengucap apa2, ia lolos merana ke-mana2. Tentu isterinya itu sampai
ditempat situ dan berhasil menemukan goa tempat pertapaan Su Liong Po. Ukiran
tulisan2 pada sekeliling dinding gua itu tadi, tentulah merupakan pelajaran dari ilmu
sakti thay-im-lian-sing, dan mulailah Kiang Siang Yan mejakinkannya. Kiang Siang Yan
seorang wanita yang pandai ilmu sastera dan ilmu silat. Dengan kecerdasan otaknya, ia
tentu dapat menangkap inti sari pelajaran itu. Terang kalau lukisan keadaan digubuk
kaki gunung Lo-hou-san itu, ialah yang membuatnya !
Hati Ceng Bo makin pilu. Sekilas terbayanglah dia akan siwanita rambut panjang yang
dijumpai diatas perahu tempo hari. Sebelum menyadi isterinya, Kiang Siang Yan itu
sebenarnya adalah sumoaynya. Sudah tentu ilmunya lwekang sama. Tapi kala itu, ketika
memeriksa bekas tiang perahu yang ditabas oleh wanita tersebut, ternyata berlainan
sekali. Kini baru dia jelas duduk perkaranya, bahwa ilmu lwekang wanita itu adalah dari
pelajaran thay-im-lian-sing. Dengan begitu, jelaslah sudah wanita berambut panjang itu
bukan lain jalah isterinya sendiri, Kiang Siang Yan, atau ibu dari Bek Lian. Ah, hampir
sepuluh tahun dia selalu mengenang dan mencari isteri yang dikasihinya, tapi begitu
berjumpa, dia sudah tak mengenalnya! Ah..., sayang......, sayang...........
Sebaliknya, Kiang Siang Yan tentu sudah mengenal suaminya itu. Hanya mengapa ia tak
mau mengenal lagi, itu disebabkan dua hal: Pertama, dala,m kalbu nyonyah gagah itu
tentu masih ter-bayang2 bagaimana wajah sang suami yang begitu pengecut minta
ampun pada musuh, Kedua, karena thay-im-lian-sing itu harus dijakinkan dibawah
tanah atau laut, jadi sipejakin tentu menyadi orang yang mempunyai watak aneh dan
hatinya berobah dingin tak berperasaan lagi.
"Untuk menyelesaikan salah faham itu, jalan satu2nya jalah harus dapat membekuk Tan
It-ho dan kedua bangsat itu. Demikianlah putusan Ceng Bo. Su Khin-ting menampak
Ceng Bo ter-longong2 mengawasi lukisan didinding gua itu, pun tak berani mengusiknya.
Berkat ilmu dalam, air sangat mahir, maka walaupun sampai sekian lama mereka berdua
berada dalam air, namun tak menyadi halangan. Lewat beberapaa saat Imemudian,
barulah Ceng Bo kelihatan bergerak keluar, diikuti Su Khing-ting. Setelah meletakkan
batu karang tadi ditempat semula, keduanya segera melambung keatas.
BAGIAN 10
GURITA RAKSASA

Baru saja muncul dipermukaan air, kedengaran Ceng Bo menghela napas, ujarnya:
„Saudara Su, apa yang kau ketahui dalam gua karang tadi, harap saudara suka
merahasiakan." Su Khing-ting mengangguk. Tampak oleh kedua orang itu, perahu yang
ditumpangi Nyo Kong-lim dan kawan2 berada tak jauh disebelah muka. Tapi anehnya
perahu itu kelihatan terombang-ambing keras sekali, dan kedengaran pula Nyo Kong-lim
ber-tereak2 dengan nyaringnya.
Ber-gegas2 Ceng Bo sianyin dan Su Khin-ting berenang menghampiri. Kiranya orang2
sama berkumpul ditepian badan perahu. Terdengar angin pukulan men-deru2, rupanya
Nyo Kong-lim tengah berkelahi. Dengan terkejut, Ceng Bo segera meluncur pesat untuk
mendekati perahu. Tampak dengan jelas tubuh Nyo Kong-Iim, yang tinggi besar itu
berloncatan kian kemari berkelahi dengan seorang wanita, yang bukan lain adalah
siwanita berambut panjang tempo hari dan yang kini dia jakin itu adalah isterinya sendiri
Kiang Siang Yan In Hong. Sudah tentu bukan kepalang girangnya.
Gerakan dari wanita itu cukup iincah dengan serunya, namun sedikitpun tak
mengeluarkan suara apa2. Benar tampaknya sam-ciat-kun dari ketua Hoa-san itu
dimainkan dengan gencar sekali, tapi dalam pandangan seorang achli, itu sia2 saja.
Nyata2 dia bukan tandingan siwarita ltu. Di bawah serangan siwanita yang ber-tubi2 itu,
permainan sam-ciat-kun sudah kacau balau. Hanya karena mengandalkan tenaga besar
dan perawakannya yang kuat, barulah orang she Nyo itu dapat bertempur dengan gigih,
walaupun dengan susah pajah sekali.
Melihat itu, Ceng Bo meluncur cepat. Baru dia hendak ajunkan tubuhnya keatas perahu,
tiba,2 didengarnya disebelah sana Su Khing-ting menyerit ngeri. Cepat Ceng Bo
mengawasi. Kiranya orang she Su itu tampak membelalakkan mata, kedua tangannya
diacungkan keatas, macamnya seperti orang dicengkeram setan. „Sdr. Su!, kau kenapa?"
Cehg Bo berseru, tanya. Su Khin-ting dengan napas ter-engah2 menyahut ter-putus2:
„Siangjin......lekas tinggalkan....... yangan sampai terlambat....... biar aku saja........ yang
korban ........” Nada suaranya sedih memilukan.
Ceng Bo heran. Su Khin-ting, dialah yang mengajaknya kedalam laut. Kalau ada bahaja
apa2, masa dia berpeluk tangan saja? Saudara Su, apakah kau mendapat keyang urat
(kram)?" tanyanya sembari berenang menghampiri. Memang bagi seorang perenang,
keyang urat dikaki, adalah suatu hal yang membahajakan jiwa. Begitu urat kaki keyang,
orangnyapun tentu akan tenggelam binasa.
„Hai ........!, hai........!" tiba2 Su Khing-ting berteriak kalang kabut demi dilihatnya Ceng
Bo hendak menghampari. Dan, sehabis itu, dia bergerak me-regang2 tangan dan tubuh,
kemudian tenggelam kedalam air. Sudah tentu Ceng Bo teramat kagetnya. Dengan
mengempos semangat, dia selulup kedalam air untuk memeriksanya. Tapi baru saja
selulup, atau pahanya terasa dilibat kencang2 oleh semacam benda, sehingga dia tak
kuasa lagi bertahan dan kena diseret masuk kedalam laut.
Dalam gugupnya, Ceng Bo masih sempat mengawasi keadaan Su Khin-ting. Kiranya
kawannya itu juga mengalami nasib serupa, dilibat oleh semacam benda hitam. Karena
air laut bergelombang keras, jadi tak dapat Ceng Bo me-lihat jelas. Samar2 seperti
dilihatnya orang she Su itu tengah digubat oleh semacam tali jaring yang berwarna putih.
Tengah Ceng Bo hendak mengawasi dengan perdata, tiba2 kakinya terasa, sakit sekali.
Buru2 dia kerahkan lwekang untuk meronta se-kuat2nya, namun tak berhasil. Hal itu
makin membuatnya terkejut. Tenaga yang digunakan tadi, bukan kepalang dahsjatnya.
Ibarat bisa digunakan untuk menghancurkan gunung, tapi mengapa tak mampu lepas
dari libatan benda putih itu. Tambahan pula, rasa nyeri pada kakinya itu, tetap tak
berkurang. Hendak dia memeriksanya, atau tiba2 tampak sebuah benda macam sutera
putih ber-gerak2 dari dalam laut. Dan pada lain saat, Ceng Bo melihat dari dasar laut
disebelah muka sana ada dua buah lentera besar yang memancarkan cahaja warna hijau
gelap. Benda putih macam selendang sutera itu, kiranya berasal dari lentera hijau itu.
Kini jelaslah sudah Ceng Bo siangjin apa artinya itu. Diam2 dia mengeluh dalam hati.
Baru saja hatinya merasa girang bakal berjumpa dengan isteri yang dicintainya itu, atau
kini dia sudah ditimpaa bahaja besar. Dengan ilmunya kepandaian, tidaklah sukar untuk
melepaskan diri dari genggaman machluk laut itu. Tapi biar bagaimana dia harus
menolong juga Su Khin-ting. Tak mau dia cari selamat dewek. Ketika, dipereksanya,
ternyata benda yang melibat kakinya itu, pada bagian atas terdapat banyak sekali
lubang2 penyedot. Kulitnya licin dan kusam. Tenaganya maha kuat. Terang itulah salah
sebuah tangan dari seekor ikan gurita, raksasa. Sama sekali gurita raksasa itu
mempunyai 8 tangan. Maka disebut juga ikan pat-jiao-hi atau delapan cakar. Binatang
itu dapat hidup lama sekali. Yang tergolong raksasa, benar hanya lebih kurang 3 meter
besarnya, namun kedelapan tangannya itu dapat dijulurkan sejauh tiga empat tombak.
Ada kalanya binatang itu menghampiri ketepi laut, untuk mencari mangsa berupa
binatang kerbau atau kambing yang kebetulan berada ditepi situ. Korban itu disergap
dengan gubatan tangannya yang kuat dan panjang, terus diseret masuk kedalam laut.
Setiap pelaut kenal apa artinya bahaja yang dihadapi bila berpapasan dengan machluk
jahat itu ditengah laut. Maka sedapat mungkin, mereka menyauhi binatang itu. Sekali
kena digubat, yangan harap dapat lolos lagi.
Mengetahui kelihayan musuhnya itu, Ceng Bo kerahkan seluruh tenaganya untuk
meronta. Saking kerasnya tenaga ronta itu, air sampai muncrat ber-gulung2 keatas.
Namun libatan pat-jiao-hi itu tetap tak terlepas bagaikan terpateri. Tapi dalam pada itu,
dia mendengar suara berkeretakan beberapa kali. Benar genggaman tak lepas, tapi
tangan itu menyadi rowak, hingga libatan pada kaki Ceng Bo pun tak sekencang tadi lagi.
Saking kesakitan, tangan yang melibat itu segera, dikendorkan lalu di-kibas2kan
sedemikian hebatnya, sehingga air muncrat seperti ditiup badai yang dahsjat. Tapi
berbareng itu, tangannya yang lain segera menyambar untuk menggubat pinggang Ceng
Bo. Betapapun saktinya siangjin itu, namun tak dapat dia menghadapi kekuatan
machluk laut raksasa itu. Cepat dia merabah kepinggang, pikirnya hendak mencabut
pedangnya pusaka, yang ketajamannya dapat digunakan untuk memotong segala macam
logam. Tapi pada lain saat, dia segera mengeluh hebat. Kiranya pedang itu masih terselip
pada jubah pertapaan yang ketika hendak masuk menyelidiki gunung karang didasar
laut tadi, telah ditanggalkan dan ditinggalkan diatas perahu. Baru2 dia meluncur jauh
untuk menghindar. Kemudian setelah ber-putar2, dia berenang menghampiri pula.

(Luihat Gamnbar Ilustrasi Diatas)

GAMBAR 33
Mendadak Ceng Bo Siangjin merasa kakinya digubat oleh sesuatu, lalu badannya
terseret kedasar laut. Waktu ia tegasi, ternyata seekor gurita raksasa
dengan delapan kakinya yang panjang telah menggubat badannya.

Setelah sekali mengungkap balik tubuhnya, machluk raksasa itu kelihatan berdiam
tenang. Untuk mencari tahu keadaan Su Khing-ting, Ceng Bo tak jeri lagi berenang
mendekati. Amboi, kiranya Su Khing-ting sudah tak berdaja diringkus gurita itu, siapa
tengah mengangkat tubuh orang Su itu untuk dimasukkan kedalam mulutnya. Tapi serta
dilihatnya orang she Su itu masih me-ronta2 kaki tangannya, timbullah harapan Ceng
Bo. Terang sang kawan itu masih belum binasa. Sekali kedua kakinya menyejak, Ceng
Bo melesat maju, lalu menghantam tangan sigurita. Untuk melancarkan hantaman
didalam air, berbeda dengan diatas daratan. Karena terhalang oleh desakan air, jadi
tenaga hantaman itu agak berkurang dajanya. Tapi karena didalam air, tambahan lagi
tangan sigurita itu licin luar biasa, jadi tak memberi hasil apa2. Malah pada saat itu,
sigurita sudah kibaskan kedua tangannya yang lain untuk menyerang. Tapi kini Ceng Bo
sudah tak menghiraukan suatu apa lagi. Seluruh perhatiannya hanya ditimpahkan
untuk menolong Su Khing-ting saja. Cepat dia cengkeram tangan sigurita yang tengah
melibat Su Khing-ting itu. Kalau diatas daratan, cengkeram Ceng Bo itu pasti akan
menghancur remukkan benda yang dicengkeramnya. Tapi karena didalam air, cengkeram
itu hanya berhasil menguntungkan tangan sigurita. Walaupun kutungannya masih tetap
melibat Su Khin-ting, namun dengan sekali meronta saja dapatlah orang she Su itu
terlepas, terus berenang melambung keatas permukaan air. Tapi tatkala Ceng Bo hendak
mengikuti, tiba2 pinggang dan pahanya terasa dilibat kencang sekali. Kiranya kedua
tangan sigurita tadi, sudah berhasil melibat Ceng Bo siangjin.
Dua kali kedua tangan sigurita itu putus, maka saking marahnya kali ini binatang itu
melibat se-kuat2nya. Kalau Ceng Bo pada saat itu tak lekas2 kerahkan lwekangnya untuk
melawan, tentu dia akan sudah binasa. Setelah berhasil melibat Ceng Bo, binatang itu
segera membawanya kedasar laut. Dalam pada itu, Ceng Bo menghantam lagi dan
berhasil memutuskan salah sebuah tangan sigurita. Namun dua tangannya yang lain,
dengan cepat sekali sudah bergerak melibat tubuhnya. Bagaikan sebuah karung yang
melembung kempes, gurita itu masuk kedalam dasar laut sembari menyeret sang korban.
Saking pesatnya sigurita itu berjalan didalam air, hidung Ceng Bo serasa dituangi air.
Buru2 Ceng Bo menutup napasnya. Tapi karena begitu, gerakannyapun agak lambat.
Baru setelah kedua tangan sigurita yang hendak melibat tadi dapat dibikin putus, Ceng
Bo jejakkan kakinya kepada kutungan tangan-gurita tadi, lalu bagaikan anak panah dia
melesat 3 tombak jauhnya, pikirnya hendak muncul kepermukaan air. Tapi meskipun
dari 8 tangan sudah 7 yang putus, namun gurita itu masih tetap mengejarnya. Dalam
kecepatan berenang, sudah tentu orang tak bisa menang dengan binatang itu. Pikir Ceng
Bo, sekalipun semua tangan sigurita itu dibikin putus, namun binatang itu tetap
mengejar dan menggubatnya. Maka jalan satu2nya ialah membunuhnya saja. Tapi untuk
melakukan hal itu, tak semudah seperti kehendaknya, karena dia tak membekal senyata
apa2. Tiba2 terkilaslah suatu pikiran bagus. Ketika digubat lagi, dia tak mau melawan
dan biarkan dirinya diseret kedasar laut. Begitu melalui pegunungan karang Hay-sim-
kau tadi, dia hantam sebuah batu karang yang panjangnya hampir 2 meter. Potongan
batu itu ujungnya tajam, dan kini segera dicekalnya untuk dijadikan senyata. Pada saat
itu, sigurita sudah menyeret tubuh Ceng Bo untuk dimasukkan kedalam mulut. Malah
karena tadi ke 7 tangannya diputuskan, dengan marahnya binatang itu hendak lekas2
menelan sang korban. Ceng Bo kerahkan tenaganya, batu lancip itu dihantamkan se-
kuat2nya kedalam mulut sibinatang, dan setelah itu, dengan tangannya kiri dia hantam
putus tangan yang melibat tubuhnya itu, lalu tubuhnya membarengi melesat kebelakang.
Karena hantaman Ceng Bo itu keras sekali, maka batu sepanjang 2 meter tadi dengan
cepatnya masuk kedalam mulut sigurita, terus meluncur kedalam perut. Begitu perutnya
kemasukan benda keras itu, tubuh sigurita, seketika. Menyadi surut kecil dan pada lain
saat melembung besar.
Oleh karena gerak surut-melembung itu dilakukan ber-ulang2, maka air disekitar situ
menyadi berombak keras, bertaburan buih. Saat itu Ceng Bo sudah menyingkir beberapa
tombak jauhnya. Sembari melepaskan kutungan tangan-gurita yang melibat tubuhnya
tadi, dia menunggu kesudahan dari sigurita. Rupanya binatang itu tengah menderita
kesakitan hebat. Tubuhnya berkembang kempis beberapa kali, lama kelamaan tenaganya
makin berkurang, dan achirnya bagaikan sebuah kantong, gurita itu silam kedasar laut
tiada berkutik lagi.
Secepat terlepas dari bahaja itu, Ceng Bo ber-gegas2 naik kepermukaan air. Tapi se-
konyong2 matanya tertumbuk pada sebuah benda mencorong berkilauan ditempat
sigurita jatuh itu. Ketika diawasi dengan seksama kiranya perut sigurita tadi sudah pecah
dan, batu karang tadi menonyol keluar. Tapi benda tadi tetap ber-kilau2an memancarkan
cahaja. Rupanya benda itu keluar dari dalam perut sigurita. Karena binatang itu sudah
mati, tanpa ragu2 lagi Ceng Bo menyelam menghampiri. Ketika benda itu dijemputnya,
ternyata sebuah kotak dan terbungkus dengan lemak yang licin sekali. Rupanya saking
keliwat lama berada didalam perut sigurita, benda itu terbungkus dengan ludah atau
getah perut. Oleh karena, didalam air tak dapat melihat jelas apakah adanya benda itu,
maka setelah diselipkan dalam baju, dia meluncur naik kepermukaan air.
Begitu berada dipermukaan air, ternyata matahari sudah condong disebelah barat. Entah
sampai kemana, tadi dia diseret oleh gurita itu. Tapi yang nyata baik laut perairan, Hay-
sim-kau maupun perahu Nyo Kong-lim dan kawan2, sudah tak nampak lagi disitu. Dia
mendongkol sekali kepada gurita tadi. Coba kalau tidak terganggu sibinatang itu, tentu
tadi dia sudah dapat bertemu dengan isterinya. Kini dia ter-katung2 ditengah lautan.
Dan karena sudah keliwat menggunakan tenaga, walaupun kepandaiannya tinggi,
na.mun tak urung dia merasaa cape juga. Apa boleh buat kini dia apungkan diri, biarkan
kemana ombak hendak mendamparnya. Jaraknya, dengan daratan tak jauh, bila air
pasang datang tentu dalam setengah malam saja dia akan sudah dibawa ketepi pantai.
Tapi kalau jauh dengan daratan, satu2nya harapan jalah kalau ada perahu berlajar lewat
disitu. Jika tiada perahu yang lalu disitu, terpaksa dia harus ter-apung2 dilaut sampai
entah berapa lama.
Se-konyong2 dia teringat akan benda yang keluar dari perut gurita tadi. Ketika benda itu
diambil dan dipereksanya, hatinya ber-debar2 keras. Begitu kotoran dan lendir gurita
yang melekat dibersihkan, Ceng Bo segera berseru kaget. Kiranya benda itu adalah
sebuah peti kecil berbentuk, persegi, terbuat dari emas. Kunci daripada kotak kecil itu,
merupakan dua batang pedang2an kecil, yang halus sekali buatannya. Tangan Ceng Bo
serasa gemetar. 'Walaupun dia sudah mengetahui akan isinya, namun dibukanya juga
tutup kotak itu. Benar seperti apa, yang diduganya, kotak emas itu berisi sebutir beng-
cu (mutiara mustika) yang luar biasa bagusnya.
Sampai sekian saat baru Ceng Bo menutup kotak emas itu lagi. Pikirannya me-layang2.
Kotak emas berisi beng-cu adalah miliknya sendiri yang telah diberikan kepada sang
isteri. Kiang Siang Yan pernah bersumpah, bahwa dalam hidupnya, ia takkan berpisah
dengan mustika itu. Tapi mengapa kotak itu berada didalam perut gurita? Adakah
isterinya itu sudah mengingkari sumpah kesetiaannya? Lagi2 pikirannya melayang
kepada, siwanita berambut panjang. Siapakah gerangan ia itu? Dari sikap dan nada
suaranya, wanita itu tak mirip dengan sang isteri. Rambut sang isteri dahulu hitam
mengkilap bagus sekali. Sedang rambut wanita, aneh itu berwarna kelabu serta morat-
marit tak karuan.
Entah berapa lama Ceng Bo ter-menung2 dalam lamunan kenangannya itu, tapi tahu2
dia sudah terdampar kedekat pantai. Baru pada saat itu, dia tersadar lagi. Kepentingan
negara dan rakjat, diatas kepentingan peribadi. Biarlah dia kubur dulu kenangannya
tentang sang isteri itu, karena negara sedang dalam bahaja.
Demikian pikirannya tergugah dan semangatnya timbul lagi. Kini dia silam kedalam air
terus berenang se-kuat2nya. Begitu sampai ditepi pantai, dia lalu loncat keatas daratan.
Kalau menilik keadaannya, tempat itu terang bukan sebuah pulau, namun keadaan
disitu sunyi sekali, tiada tampak barang seorang manusiapun jua. Untuk sesaat tak
dapat dia mengenal nama tempat itu. Maka lebih dahulu dia jemur pakaiannya yang
basah kujup itu, lalu mengobati luka2nya. Setelah itu dia teruskan perjalanannya.
Menyelang magrib, dia tiba ditepi sebuah hutan. Dibelakang hutan itu rupanya terdapat
sebuah gunung. Tapi oleh karena hari petang, jadi tak dapat melihatnya dengan jelas.
Baru dia hendak ajunkan langkahnya masuk kedalam hutan, tiba2 didengarnya ada
beberapa puluh anak panah melayang kearahnya. Mengira kalau disebelah muka ada
bayhok (barisan pendam) tentara Ceng, maka dia maju memapaki. Dalam beberapa
gerakan saja, dia sudah berhasil menghalau anak panah itu. Setelah itu dia hendak
menyerbu maju, pikirnya hendak menanyakan jalan pada si penyerang. Tapi se-konyong2
terdengar suara orang perempuan berseru nyaring: ,,Gunung ini milikku, jalan ini aku
yang membuat, kalau hendak lalu disini, tinggalkanlah uang sewanya !”
Suara itu melengking bening. Nadanya mirip dengan suara kanak2, tapi sengaja di-buat2
agar kedengaran garang. Ceng Bo cepat mengenali suara itu. Dia mendongkol dan geli.
Dan habis mengeluarkan gertakan tadi, melesatlah sesosok tubuh keluar, dibarengi
dengan gertak ancaman yang garang: ,,Saudara2, ada seekor kambing gemuk datang !"
Berbareng mulut berseru, begal perempuan itu terus memutar liu-sing-tui (bandringan)
menghantam dada Ceng Bo. ,,Berani mati kau!" bentak Ceng Bo seraja menangkap
bandringan itu.
,,Makanan keras, angin kencang, lari!" teriak begal perempuan, itu dengan kagetnya,
sambil terus lari kedalam rimba lagi.
,,Siao Chiu, apa2an kau!" seru Ceng Bo. Atas seruan itu sibegal perempuan merandek
kesima. Begitu maju mengawasi, selebar mukanya merah padam. Kiranya begal
perempuan yang garang itu, bukan lain adalah Liau Yan-chiu, sumoay Tio Jiang atau
murid buncit dari Ceng Bo siangjin yang genit nakal itu. Sesaat itu, dari dalam rimba,
muncul tiga atau empat puluh lelaki yang bertubuh kuat serta masing2 mencekal
senyata. Tampak bandringan dari pemimpinnya kena direbut musuh, mereka berteriak
gempar. Tapi hanya berteriak saja, tak berani maju menyerang.
Takut digegeri suhunya, Yan-chiu segera timpahkan kemarahannya pada kawanan anak
buahnya itu, serunya lantang2: ,,Manusia tak punya guna, apa tak tahu siapa yang
datang ini. Mengapa berani ribut tak keruan dihadapan suhuku?”
Aneh sekali begitu sinona mendamprat, ber-puluh2 lelaki yang gagah itu segera
mengiakan dengan serta merta. Setelah itu, Yan-chiu segera memberi hormat pada
suhunya. Dengan mata merah dan seperti mewek ia memberi keterangan: ,,Suhu, sepergi
suhu tempo hari, tentara Ceng dalam jumlah yang besar telah menyerbu. Ki dan Kiau
susiok serta suko kukuatir sudah dibinasakan musuh. Murid yang berhasil lolos kemari
ini, segera mengumpulkan ratusan orang, tetap melanyutkan perlawanan kepada tentara
Ceng !"
Ceng Bo tergerak hatinya melihat jiwa patriot dari muridnya itu. Tapi demi teringat akan
tingkah laku Yan-chiu tadi, dia geli juga. Sampai sekian saat, baru dia menghela napas
berkata: ,,Siao Chiu, sukomu tak kurang suatu apa. Aku sudah berjumpa dengannya."
,,Benarkah itu, suhu? Tapi Lian suci kemana?" tanya Yan-chiu sambil berjingkrak
kegirangan.
Demi mendengar pertanyaan itu, wajah Ceng Bo tambah keren, hingga Yan-chiu tak
berani mendesak lagi, katanya : ,,Suhu, kedatanganmu kemari ini sungguh kebetulan
sekali. Kita dapat kumpulkan anak buah, beli kuda dan bikin pembalasan pada musuh!"
Oleh karena banyak sekali yang hendak ditanyakan, maka Ceng Bo segera ikut sang
murid menuju ke ,,soache" (markas diatas gunung). Apa yang disebut ,,soache" itu
ternyata adalah sebuah biara gunung, yang pada kedua sampingnya dialingi oleh
beberapa buah pondok gubuk. Ketika Ceng Bo masuk, per-tama2 yang dilihatnya jalah
tho-te-ya (patung penunggu bumi) sudah dihancurkan. Di-tengah2 ruangan tergantung
sebuah papan yang bertuliskan ,,tiong gi tong" atau paseban setia luhur. Dari coretannya,
terang tulisan itu ditulis oleh Yan-chiu sendiri. ,Suhu, lihatlah. Disitu aku telah
mencontoh perilaku kaum gagah dari gunung Liang-san dahulu!" kata Yan-chiu dengan
bangga.
Atas keterangan itu, walaupun biasanya Ceng Bo mahal senyuman, kini terpaksa tertawa
juga. Yan-chiu dapat hati. Dituturkannya bagaimana tempo hari dia telah lolos dari
kepungan tentara Ceng. Waktu menceritakan tentang keganasan tentara Ceng yang
mem-bunuh2i rakjat tak berdosa wajah Yan-chiu merah padam murka sekali. Dalam
markasnya situ, Yan-chiu mempunyai anak buah sebanyak 30 orang lebih. Pemimpinnya
bernama Siao-pah-ong Tan Jiang. Bermula pada waktu mendapatkan Yan-chiu, Tan
Jiang hendak mengambilnya menyadi isteri. Tapi dalam dua tiga gebrak saja, Yan-chiu
telah berhasil merobohkan. Sejak itu, si genit tersebut diangkat menyadi pemimpin
mereka. Yan-chiu telah mengadakan reorganisasi dalam rombongannya. Banyak juga ia
menerima tambahan tenaga dari pelarian2 yang singkirkan diri dari tindasan tentara
Ceng. Sehingga kini jumlahnya menyadi 100 orang lebih. Dengan melakukan taktik
gerilja, Yan-chiu dan rombongannya berhasil menerbitkan gangguan besar pada
pasukan2 Ceng yang lalu didaerah tersebut.
,,Siao-chiu, apakah namanya tempat ini? Berapa jauhnya dari Hoa-san ?" tanya Ceng Bo
kemudian segera setelah Yan-chiu menutur habis. Tapi Yan-chiu hanya membelakakkan
mata, karena ia sendiri tak mengetahui juga. Saking mabuk ,,naik pangkat" menyadi
pemimpin rombongan, A sudah tak pusing2 lagi mencari tahu apakah namanya, gunung
situ. ,,Hajo, salah seorang maju kemari!" serunya setelah dia tak dapat menyawab
pertanyaan sang suhu.
Seorang liaulo (anak buah) masuk kedalam. ,,Li-tay-ong ada perentah apa ?" katanya
dengan memberi hormat. Mendengar liaulo itu menyebut li-tay-ong (ratu begal) pada
Yanchiu, gelilah Ceng Bo. Dia, duga tentang si Yan-chiu sendiri yang meng-ada2kan.
Begitu siliaulo masuk, Yan-chiu mulai beraksi. Dengan dehem2 dahulu, ia berkata:
,,Lekas katakan apakah namanya tempat ini! Dari Hoasan masih berapa jauhnya? Kalau
tak dapat memberi keterangan, akan kupersen 20 gebukan!"
,,Li-tayong, gunung ini disebut Yan-san, kalau menuju kebarat sampailah ke Hoasan,"
sahut siliaulo ter-sipu2. Mendengar itu, Ceng Bo segera bertanya kepada sang murid:
,,Siao-chiu, bukankah tadi kau mengatakan kemaren ada sepasukan tentara Ceng
menuju kearah barat?"
,,Benar, mereka keliwat besar jumlahnya, sedang fihak kami hanya 100-an orang, maka
terpaksa dengan mata merah kami awasi mereka berjalan. Sjukur aku berhasil
membekuk seorang ordonan (pemberita). Setelah kusuruh orangku memotong kuncirnya,
orang itu kumasukkan dalam perapian!" sahut Yan-chiu. Girang hati Ceng Bo
mengetahui bahwa, sang murid ternyata tak men-sia2kan harapannya. Sekalipun gadis
itu genit nakal, namun dapat menyalankann tugas se-baik2nya. Bermula Yan-chiu sudah
segera akan menghabisi jiwa ordonan itu, tapi karena siordonan tersebut ber-ulang2
menyebutnya ,,li-tay-ong" untuk minta ampun, saking senangnya disebut begitu, Yan-
chiu tak jadi membunuhnya. Coba yangan Yan-chiu dimabuk sebutan itu, walaupun ia
tak turun tangan tapi anakbuahnya yang sebagian besar terdiri dari pemuda2 atau
orang2 lelaki yang telah kehilangan rumah tangga anak isteri serta ajah bunda, tentu
segera mencingcang serdadu musuh tersebut.
Ceng Bo minta supaja ordonan itu dibawa menghadap, siapa segera ditanyainya:
Mengapa tentara Ceng setelah berhasil menduduki Kwitang tak sekalian menyerbu
Kwisay, sebaliknya menuju kearah barat laut?"
,,Li congpeng mengatakan ........ belum ordonan tersebut menghabiskan kata2nya, Yan-
chiu sudah cepat2 memutusnya: Li Seng Tong!"
,,Ja, ja, ja......, Li Seng Tong mengatakan, salah seorang dari kedua kaisar Lam Beng
sudah dibinasakan, tinggal satu masih bersemajam di Kwisay. Kaisar itu sudah
seumpama
kura2 dalam jambangan. Tapi yang paling menyengkelkannya jalah orang2 Hoa-san yang
berkeras kepala itu
„Hohan," lagi2 Yan-chiu menukas omongan orang. Saking takutnya ordonan itu terpaksa
mengulangi lagi kata2nya: ,,Ja......., terhadap para hohan (orang gagah) Hoa-san itu.
Maka dia lalu mengirim sejumlah besar pasukan !"
,,Berapakah jumlahnya tentara ltu ?" tanya Ceng Bo dengan terperanyat.
„3000 orang tentara pilihan dan 10 pucuk meriam besar", sahut siordonan.
Atas pertanyaan Ceng Bo, siapa yang memimpin pasukan itu, siordonan menerangkan :
„Li cong .......... Seng Tong sendiri." Diam2 Ceng Bo mengeluh dalam hati. Sudah lama
dia mendengar bahwa Li Seng Tong itu seorang panglima perang yang pandai. Benar
pertahanan ke 72 markas digunung Hoa-san itu cukup kokoh, tapi mana bisa tahan
dibombarder dengan meriam ? Karena baru kemaren hari pasukan Ceng itu menuju ke
Hoa-san, terang akan dapat mempergoki rombongan Nyo Hong-lim. Teringat nasib apa
yang bakal menimpa ke 72 markas Hoa-san itu, Ceng Bo menyadi gelisah sekali. Ular
tanpa kepala, tentu tak dapat berjalan. Pasukan tanpa pemimpin, pasti akan kalut.
Begitu pula nasib ke 72 markas di Hoa-san yang tanpa Cecu (pemimpin markas )
masing2.
Terkilas dalam hati Ceng Bo, bahwa kini mencari sang isteri untuk menyelaskan
kesalahan paham itu, makin penting artinya. Karena dengan tambahan seorang tenaga
macam sang isteri itu, kubu2 pertahanan melawan tentara Ceng, pasti bertambah kokoh
lagi. Maka dengan serentak berbangkitlah dia dari tempat duduknya, sehingga membikin
siordonan tadi gemetar ketakutan. „Siao-chiu, lekas kumpulkan anak buahmu disini.
Pilih salah seorang yang faham jalanan menyadi pengunyuk jalan ke Hoasan. Yangan
berajal, lekas!" serunya pada Yan-chiu, siapa segera melakukan perentah itu.
Dari mulut li-tay-ong Yan-chiu, anak buah sekalian sama mengetahui bahwa guru dari
li-tayongnya itu adalah Hate-kau Bek Ing, tokoh yang termasjhur didunia persilatan itu.
Kedatangan Ceng Bo kesitu, telah mengobarkan semangat keberanian mereka. Begitulah
dengan dua, orang pencari kaju dan, Yan-chiu berangkat menuju Hoa-san.
Dengan mengambil jalan-singkat, yang ber-belit2 melalui tebing dan naik turun gunung,
keesokan harinya saja mereka tiba, pada sebuah soache (markas). Dimsudah ukaitu telah
ditumpuki kaju2, rupanya mereka, bersiap. Begitu Ceng Bo melesat maju menghampiri,
dan orang membentak keras:
,,Siapa yang berani mengadu biru kemarkas ini ?!"
„Adakah Nyo-toa cecu sudah kembali?" sahut Ceng Bo dengan pertanyaan.
Sampai sekian saat tiada penyahutan dari sebelah dalam.
Baru setelah itu ada seseorang menonyolkan kepalanya keluar seraja bertanya:
„Siapakah yang datang ini? Mengapa menanyakan, Nyo-toa cecu? Toa cecu memenuhi
undangan Ceng Do siangjin datang kepulau Ban-san-to, sampai saat ini belum pulang."
Ceng Bo telah menduga akan adanya keterangan itu, maka dengan cepatnya dia segera
memberi perintah: „Lekas buka pintu markas, aku ini adalah Ceng Bo siangjin sendiri !"
Orang itu melihat bahwa rombongan tamu diluar markas itu, terdiri dari 100 orang.
Kuatir mereka adalah kaki tangan pemerintah Ceng, orang tadi tak membukakan pintu,
serunya: Sebelum mendapat perintah dari Toa cecu, harap andapulang dahulu !”
Yan-chiu sangat murka. Sekali enyot kaki, tubuhnya melayang melalui pagar tumpukan
kaju itu. Dan pada lain saat terdengar suara „plak" maka, orang yang munculkan
kepalanya tadi, segera terbanting meloso. Dan berbareng itu, pintu markaspun
terpentang lebar !
Tieng Bo siangjin tak keburu mencegah perbuatan muridnya itu. Dia menghampiri dan
menolong orang itu. Melihat siangjin itu berwajah agung, walaupun pakainnya sudah
kumal2 tak keruan, orang tadi buru2 hendak berbangkit. Tapi ternyata bantingan Yan-
chiu tadi cukup hebat, hingga dia tak kuasa untuk bangun. Ceng Bo menerangkan bahwa
dia telah bertemu dengan pemimpin mereka, Nyo Kong-lim dipulau Ban-san-to,
Kedatangannya kemari itu. Ialah hendak merundingkan cara perlawanan terhadap
tentara Ceng yang kini sudah menyusun barisannya dikaki gunung situ.
Seluruh thaubak (kepala liaulo) dan anak buah dari markas itu segera berkumpul untuk
mendengarkan amanat Ceng Bo. Kiranya markas itu adalah markas pertama dari ke 72
markas gunung Hoasan. Yang menyadi Cecu bernama Ko Kui, seorang bun-bu coan-cay
(pandai sastera dan iimu silat), disamping memiliki kecerdasan otak , yang luar biasa.
Tapi itu waktu diapun ikut pada Nyo Kong-iim kepulau Ban-san-to, jadi belum pulang
juga. Ceng Bo terperanyat. Terlambat sedikit saja dia datang kesitu markas no. 1 itu tentu
akan jatuh ketangan musuh. Dan kalau markas kesatu jatuh, ke 71 markas lainnya
sukar dipertahankan. Tengah berunding itu, tiba2 terdengarlah suara ledakan dahsjat.
Sebuah bola api, jatuh diluar markas.
Ledakan itu men-denging2 ditelinga. Disusul lagi dengan beberapa kali dentuman
menggelegar, maka kapur dinding ruangan situ menyadi rontok, bumipun bergoncang.
Sampai2 raja gunung dua bulan" Yan-chiu, ciut nyalinya, Wakil Cecu bernama Liang
Pheng, bergelar Ban Li Hui (terbang selaksa Ii). Oleh karena iImunya silat biasa saja, jadi
belum2 dia sudah pucat wajahnya. Lebih2 para anak buahnya. Melihat kepanikan
suasana para anak buah dimarkas situ, Ceng Bo membesarkan semangat mereka: ,,10
kali dentuman tadi, hanya suatu percobaan menyulut meriam dari fihak tentara Ceng.
Malam ini mereka baru tiba, jadi tentunya belum menyerang sungguh2, harap saudara2
tenang."
Tapi wakilnya Ko Kui tadi menyatakan, bahwa lebih baik segera mundur kemarkas pusat
saja, karena walaupun bagaimana juga, markas disitu yang hanya terbuat dari bahan
balok kaju, mana bisa tahan serangan meriam. Pernyataan itu rupanya didukung oleh
seluruh anak buahnya
Kalau menurut disiplin tentara, wakil Cecu tadi harus segera dibunuh agar disiplin anak
buah dapat dipulihkan. Tapi di-pikir lagi untuk merelbut hati anak tentara, tak se-mata2
mengandallkan cara tersebut. Ceng Bo sudah mendapat cara lain, jakni mengadakan
serbuan pada fihak musuh. Menghasilkan kemenangan sedikit saja, cukup sudah untuk
memulihkan semangat para anak buah. „Siao-chiu, ada berapa orang dari anak buahmu
yang bernyali besar?" tanyanya kepada sang murid.
Yan-chiu terkejut girang. Tak disangkanya kalau sang suhu memandang mata pada anak
buahnya. Dengan berlagak geleng2 kepala, dia menyahut: „Pun-tayong .........” baru dia
mengucap kata2nya yang berarti „aku siraja gunung"
itu, sang suhu telah deliki mata kepadanya, hingga semangatnya bujar, mulutnya
terkancing rapat. Karena selama 2 bulan ini ia biasa menyebut dirinya sebagai „pun-
tayong", maka sampai2 ia lupa dengan siapa ia berhadapan ketika itu.
,,Ada berapa?" Ceng Bo ulangi lagi pertanyaannya tadi. Kini baru Yan-chiu berani
menyahut: Kalau disorter, 8 atau 10 orang rasanya, ada."
,,Saudara Liang supaja berjaga disini. Biar aku bersama muridku dan anak buahnya
melakukan penyelidikan kefihak musuh!" kata Ceng Bo kepada si Liang Pheng.
,,Apa maksud suhu itu?!" tanya Yan-chiu dengan kagetnya. ,Aku hendak ajak kau
bersama beberapa anak buahmu untuk menyelidiki markas besar tentara Ceng sana,"
sahut Ceng Bo dengan tegasnya.
Betapapun, centil dan lincahnya nona itu, namun pada saat mendengar ucapan itu, tak
urung bercekat juga hatinya. Mengapa tidak? Tentara Ceng yang bermarkas dikaki
gunung, tidak kurang 3000 jiwa, jumlahnya. Mereka, adalah tentara pilihan. Untuk
melakukan penyelidikan kesana terang sukar, tapi lelah sukar lagi kalau dengan rencana
merebut kemenangan kecil. Tapi sebagai nona yang berotak, cerdas, tahulah ia bahwa
gerakan itu hanya dimaksud untuk mempertinggi moreel anak buah markas disitu. Dan
ini memang penting. „Baik, mengapa mesti takuti orang2 yang bukan laki bukan
perempuan memakai kuncir itu? Lihatlah pun-tay................... eh, aku turun gunung
nanti, tentu akan kuangkut meriam2 mereka itu kemari” sahutnya dengan garang.
Liang Pheng tak berani buka mulut, tapi hatinya tetap tak percaja kepada si nona.
Memang dia seorang yang ber-hati2. Tak temaha jasa, tapi yangan sampai kesalahan.
Terpaksa dia menyangupi permintaan Ceng Bo untuk berjaga markas situ. Ceng Bo
siangjin segera perentah Yan-chiu supaja memilih 10 orang anak buahnya yang berani
serta sedikit2 mengerti ilmu silat. Demikian Suhu dan murid beserta 10 orang itu segera
turun gunung.

(Bersambung Ke Bagian 11)


BAGIAN 11
LICIN BAGAI BELUT

Setelah mengantar keberangkatan mereka, Liang Pheng segera menutup rapat2 pintu
markas. Dia tak berani lengah tidur. Diperintahkan supaja semua liaulo mengadakan
ronda dan penyagaan yang kuat. Para thaubak berkumpul dalam gedung
permusjawaratan, untuk menanti perkembangan lebih jauh. Hampir sejam lamanya,
Ceng Bo dan rombongannya tak kedengaran beritanya, sedang dibawah kaki gunung
sanapun sepi2 saja keadaannya. Mau tak mau, mereka, menyadi gelisah juga. Tengah
mereka mondar-mandir di ombang-ambingkan kecemasan itu, tiba2 kedengaran diluar
sana, ada suara gaduh. Diantaranya ada orang berseru ,,yangan main gilal” Buru2 Liang
Pheng dan kawan2-nya menuju keluar. Ternyata para liaulo sudah panik dan mundur
dengan kacaunya. Malah ada beberapa, orang yang mengaduh kesakitan dan terjungkal
ditanah. Ada seorang lelaki yang hendak menerobos masuk kedalam markas situ, tapi
dihadang oleh beberapa liaulo. Namun dengan memukul dan menyepak, berhasillah
orang itu membubarkan penghadangnya, dan terus melangkah masuk.
Orang itu ternyata seorang pemuda, Rupanya, dia memiliki ilmu silat yang tinggi. Kalau
tak menyaksikan sendiri, mungkin Liang Pheng dkk tak percaja kalau siorang yang
dandanannya sebagai seorang mahasiswa itu dapat merobohkan kawanan liaulo. Dan
setelah menghalau lagi ber-puluh2 liaulo orang itu achirnya menghampiri kemuka Liang
Pheng. ,,Adakah kau ini Cecu disini?" tanya orang muda itu setelah sejenak mengawasi
tuan rumah.
Sambil mundur selangkah, Liang Pheng menyahut: „Benar. Ada keperluan apakah maka
saudara malam2 begini datang kemari? Mahasiswa muda itu segera mengeluarkan
sebuah kipas, sambil ber-kipas2 dia berkata: ,,Aku yang rendah ini orang she The nama
Go. Orang memberi julukan Cian-bin Long-kun. Kini menyadi kunsu (pesehat militer)
dari congpeng Li Seng Tong!"
Liang Pheng melengak kaget, begitu pula seluruh liaulo. Seperti telah diterangkan diatas,
walaupun ilmunya silat kurang tapi Liang Pheng itu mempunyai otak. ,,Oh, kiranya
saudara ini adalah kunsu dari tentara Ceng, maaf kami sudah tak menyambut
sepantasnya. Tapi entah ada keperluan apa kedatangan saudara ini ?"
The Go tak mau marah mendengar ucapan orang yang sinis itu. Sebaliknya dengan
mendongak tertawa lebar, dia berkata: „Induk pasukan Ceng yang kuat, sudah tiba dikaki
gunung. 10 kali dentuman meriam tadi, kurasa Cecu pasti sudah mendengarnya. Karena
kini Nyo Kong-lim sudah binasa ditangan Ceng Bo siangjin, maka ke 72 Cecu Hoa-san
ibarat ular yang tak berkepala lagi. Taruh kata Cecu tak ingin dikatakan temaha pangkat,
tapi se-kurang2nya tentu mau juga memikirkan kepentingan ke 72 Cecu sekalian'"
Kata2 The Go itu sudah tentu menyebabkan Liang Pheng pusing kepala. Kalau diingat
tadi Ceng Bo siangjin mengatakan bertemu dengan Nyo Kong-lim dipulau Ban-san-to dan
ternyata kini sebelum Toa cecu itu datang, siangjin tersebut sudah datang kesitu lebih
dahulu, kemungkinan besar Toa cecu Nyo Kong-lim itu tentu sudah dibunuh oleh siimam
tersebut. Tapi kalau dipikir lagi, mengapa Ceng Bo membunuh Nyo Kong-lim, toch mereka
berdua tak saling bermusuhan. Oleh karena pikiran hanya ribut mencari kesimpulan,
lupalah sampai si Liang pheng itu memberitahukan pada The Go bahwa Ceng Bo siangjin
tadi sudah datang kemarkas situ. Coba dia mengatakann hal itu, tak nanti The Go berani
unyuk kegagahan lagi disitu. Setelah berpikir sejenak, achirnya wakil Cecu itu berkata:
,,Ceng Bo siangjin dengan Toa cecu tak mempunyai dendam permusuhan apa2, mengapa
mencelakainya ?"
Kiranya The Go sudah memperhitung orang akan rnengajukan pertanyaan begitu, rnaka;
diapun sudah siap dengan jawabannya :„Kata orang 'kenal orangnya tapi sukar mcngenal
hatinya'. Undangan Ceng Bo siangjin kepada sekalian orang gagah supaja datang kepulau
Ban-san-to-itu, sebenarnya xnemang, suatu rencananya hendak menumpas mereka.
Karena Nyo-cecu membandel, Ceng Bo siangjin telah bertindak. Lama sudah, siangjin itu
mengiler akan kedudukan gunung Hoa-san dengan ke 72 markasnya, maka tak segan2
lagilah dia melakukan rencananya yang keji itu. Ah, kasihan Nyo-cecu yang mati dalam
penasaran itu!," berkata sampai disini, untuk mengunyukkan kesungguhan kejadian itu,
The Go pura2 bersedih.
Sebagai Cecu pertama dari Hoasan, sudah tentu Liang Pheng banyak menerima budi
kebaikan dari Nyo Kong-lim. Apalagi peribadi Nyo Kong-lim yang tegas jujur itu telah
dapat merebut hati sekalian anak buahnya. Sudah tentu mereka menyadi gusar
mendengar berita itu. Melihat umpannya termakan, The Go maju selangkah lagi, ujarnya:
„Jalan yang terbaik, kita harus buka pintu markas ini guna menyambut kedatangan
tentara Ceng. Ini untuk menghindari malapetaka yang tak diinginkan !"
Betul semula sekalian orang sama percaja atas keterangan The Go tadi. Tapi karena
terlalu pagi, dia sudah membuka kartu, sebaliknya malah menerbitkan kesangsian orang.
Kiranya sejak Li Seng Tong berhasil menduduki wilajah Kwiciu, Nyo Kong-lim melatih
keras anak buahnya. Toa-cecu itu telah menanam kesadaran kedalam sanubari seluruh
anak buah, bahwa musuh negara itu adalah tentara penyajah asing Ceng, bahwa
melawan penyajah itu adalah tugas suci dan mulia. Dan indoktrinasi kesadaran itu,
termakan betul2 oleh anak buah Hoa-san. Mendengar anyuran menakluk dari The Go
tadi, Liang Pheng masih berdiam merenung, tapi ada beberapa kawan yang berwatak
keras, sudah tak tahan lagi. Sret....., sret........, mereka loncat kemuka untuk membacok
pada The Go. ,,Kalau menyuruh kami menyambut tentara penyajah Ceng, rasakan dulu
golokku ini!" seru mereka.
,,Tahan!" buru2 Liang Pheng mencegahnya, tapi sudah terlambat. Hujan bacokan telah
menabur The Go, siapa ternyata masih ber-kipas2 sembari tersenyum. Tapi begitu
bacokan2 itu tiba, se-konyong2 dia perdengarkan tertawa keras panjang. Begitu lengan
bajunya di-kibas2an, orangnya pun segera tampak melesat kesana-sini dalam ruangan
itu. Dan tahu2 hanya kedengaran bunyi berkerontangan beberapa kali dari senyata yang
jatuh ketanah, disusul dengan suara gedebak-gedebuk dari tubuh yang menggelepar
rubuh. Beberapa penyerang itu hanya thaubak2 kecil, maka dalam beberapa gebrak saja
dengan mudahnya The Go telah dapat menutuk jalan darah mereka hingga rubuh.
Sekalipun begitu, masih ada beberapa orang lagi yang hendak mengunyuk rasa setia-
kawan terus hendak meneryang The Go, tapi keburu dicegah oleh Liang Pheng.
Dengan ber-kipas2 dan unyuk senyuman, berkatalah The Go: ,,Kutahu Cecu seorang
yang mengenal gelagat. Kalau nasehatku ini diturut, bukan saja jasa besar serta kekajaan
Liang Pheng tak berani bergerak karena insjaf bukan lawannya, tapi serta orang begitu
rendah menganggap peribadinya, maka cepat ia memutus kata2 orang:
,,Bagaimana saudara begitu jakin, kalau aku ini kemaruk akan pangkat dan harta
kekajaan?"
,,Ah........., tapi mati hidup saudara2 disini ini, hanya tergantung pada keputusan Cecu
seorang!" The Go mengancam halus.
Rupanya kata2 yang terachir dari The Go itu, mempengaruhi pikiran Liang Pheng, yang
achirnya mengakui bahwa ada sebagian dari ucapan anak muda itu memang beralasan.
Bagaimana kedahsjatan meriam tentara Ceng itu, telah disaksikannya sendiri. Kalau ke
10 buah meriam musuh itu berbareng diletuskan, dapatkah anak buah markas disitu
yang hanya berjumlah lebih kurang 200 orang bertahan? Mundur salah, majupun keliru.
Di-pikir2 lebih baik tarik mundur seluruh anak buahnya dari markas situ. Peribahasa
'selama gunung itu masih menghijau, masakan takut tak bakal mendapat kaju bakar'.
Asalkan kekuatan masih utuh, masakan tak ada harapan untuk balas menggempur
musuh.
Rupanya The Go telah dapat membaca pikiran orang. Dia biarkan saja Cecu itu berpikir
sampai sekian Iama. Lewat beberapa jenak, achirnya kedengaran juga Liang Pheng
berkata: ,,Kalau aku disuruh ajak sekalian saudara menakluk pada tentara Ceng, itulah
tak mungkin!" Pernyataan yang gagah itu, telah disambut dengan sorak gembira oleh
sekalian anak buahnya, selaku pendukungnya.
,,Maksud kedatanganku kemari ini, adalah demi kepentingan saudara2 sekalian, agar
tak mengalami apa2!" kata The Go dengan tertawa. Liang Pheng setengah tak percaja,
tanyanya: ,,Habis kalau menurut pendapat saudara, sebaiknya bagaimana?"
Rencana Li congpeng untuk menyerang markas ini, itu sudah pasti. Cecu boleh ajak
sekalian saudara tinggalkan tempat ini. Tindakan ini menguntungkan kedua fihak
,,bukan?" menerangkan. The Go.
Bermula Liang Pheng pun sudah mempunyai rencana itu. Jadi kata2 sang tetamu itu,
sesuai dengan pikirannya. Begitulah dia segera perentahkan pada anak buahnya supaja
mundur kemarkas kedua. Bahwa tanpa mengucur darah setetespun, The Go telah dapat
merebut markas kesatu yang penting sekali kedudukannya itu, telah membuatnya
kegirangan sekali. Dengan mendapat kedudukan markas kesatu yang dapat dijadikan
pangkalan penting itu, rasanya ke 72 markas digunung Hoasan situ tentu akan mudah
direbutnya. Dalam pikirannya, dia sudah membayangkan suatu pahala besar.
Mengapa tahu2 The Go bisa muncul disitu? Baik kita mundur sedikit. Setelah bersama
Bek Lian dia meninggalkan pulau kosong dulu itu, achirnya berhasillah dia tiba di Kwiciu.
Sebagai jenderal yang pandai, Li Seng Tong tak hanya mengandalkan pada The Go
seorang. Kwiciu sangat penting artinya, dan tempat ituu harus dapat direbutnya untuk
memberi pukulan terachir dari sisa kerajaan Lam Beng. Mata2-nya melapor, bahwa
ditengah perjalanan romhongan The Go telah mengalami halangan. Kuatir kalau kabar
itu bocor sehingga, musuh siap mengadakan penyagaan, Li Seng Tong segera pimpin
sendiri 3000 tentara pililhan, menyerang Kwiciu. Ternyata gerakan itu telah mendapat
hasil gilang gemilang, karena boleh dibilang tanpa, perlawanan suatu apa. Pembesar2
militer Lam Beng kalau tidak lari tunggang langgang, tentu menyerah tanpa bersjarat.
Maka pada keesokan harinya, tatkala penduduk Kwiciu membuka pintu, mereka dapati
jalan2 dikotanya sudah peimh dengan serdadu2 Ceng yang mondar-mandir kian kemari.
Setelah menduduki Kwiciu, pertama hal yang dikerjakan Li Seng Tong ialah mengirimm
pasukan besar untuk mengurung gunung Gwat-siu-san, tempat dimana, seluruh anggota
Thian Te Hui dan tokoh2 persilatan sama berkumpul mendirikan pertandingan luitay. Li
Seng Tong cukup menginsjafi, sumber perlawanan terhadap fihak Ceng itu, pertama
bersumber pada rakjat, ini harus selekasnya ditindas. Hal kedua, ialah membunuh kaisar
Siau Bu yang berkedudukan di Siau Ging segera ter-birit2 lari ke Ngo-ciu di Kwisay.
Tengah Li Seng Tong sibuk mencari tenaga yang cakap, datanglah The Go. Anak muda
itu terus saja diberi kedudukan penting. Rencana menggunakan nama Ceng Bo siangjin
untuk mengundang para orang gagah kepulau Ban-san-to itu, adalah The Go yang
mengusulkan. Siapa tahu, rencananya yang mendapat pujian dan persetujuan penuh
dari Li Seng Tong, telah gagal.
Malah kalau tak lekas2 lolos, dia tentu akan-celaka ditangan Thay-san sin-tho Ih Liok.
Dengan bermuram durja, dia menghadap Li Seng Tong lagi. Dalam pembicaraan
selanyutnya, The Go, mengusulkan untuk menduduki gunung Hoa-san. Lagi2 usul itu
mendapat persetujan Li Seng Tong. The Go tahu bahwa untuk menyerang Hoa-san yang
mempunyai 72 markas itu, terang sukar sekali. Maka dia gunakan siasat gertakan.
Dengan membawa sejumlah besar tentara Ceng, dan membawa 10 pucuk meriam, dia
bermarkas dikaki gunung tersebut. Secara demonstratif, dia perentahkan 10 kali
tembakan. Setelah itu baru dia datangi kemarkas kesatu tadi seorang diri. Kalau orang
macam Ceng Bo siangjin atau lain2 tokoh yang bernyali besar, tak nanti kena digertak.
Tapi Liang Pheng bukan tokoh yang berkaliber begitu. Maka dengan mudahnya did
digertak mundur dari markas situ. Tapi, dari pengalaman pertama itu, tahulah The Go
bahwa semangat anak buah sudah digembleng kokoh. Andaikata Liang Pheng tadi tak
kena dipengaruhi, rasanya tak semudah itu dia dapat merebut markas no. 1 dari Hoa-
san tersebut.
Pada saat itu The Go ber-kipas2 dengan puas sekali. Lewat setengah jam lamanya datang
seorang liaulo melapor pada Liang Pheng bahwa semua persiapan untuk mundur sudah
siap, tinggal menunggu perintah saja. Dengan batuk2, Liang Pheng segera berbangkit.
Tapi tepat pada saat itu diluar sana terdengar ramai2 para liaulo berseru ,,Cecu!."
Kemudian terdengar seseorang berkata dengan suara keras: ,,Hai, tentara Ceng sudah
berada dikaki gunung, mengapa kalian tak bersiap. Pintu markas tak dijaga barang
seorang penyagapun juga? Mana Liang-cecu?"
Mendengar suara itu, serasa longgarlah kesesakan dada Liang Pheng. Buru2 dia lari
keluar menyambutnya. Sebaliknya The Go mengeluh dalam hati. Diapun ikut keluar.
Seorang lelaki gagah berumur 30-an yang berwajah kuning langsap dan memiliki
sepasang alis bagus, tengah naik keatas markas situ. ,,Ko-heng, sjukur kau sudah
datang. Sungguh berat masalah ini, aku tak sanggup memutuskan!" seru Liang Pheng
kepada orang itu yang bukan lain adalah Ko Kui, Cecu dari markas ke 1 yang ikut
menyertai kepergian Nyo Kong-lim ke Ban-san-to.
Belum lagi menyahut seruan wakilnya itu, demi melihat The Go berada ddsitu, alis Ko
Kui segera tampak menyungkat, lalu berkata dengan suara dingin: ,,Hm, bangsat,
mengapa, kau berada disini ?"
Kiranya waktu dipuncak gunung Ban-san-to The Go memberi perintah pada barisan
panah supaja menyerang para orang gagah tempo hari, telah dapat dilihat jelas oleh orang
banyak. Sebagai seorang yang terang otaknya, Ko Kui tentu masih ingat akan wajah The
Go. Sebaliknya dari marah, The Go segera menyahut dengan tenangnya: ,,Tadi Liang cecu
telah menurut anyuran siaote untuk tinggalkan markas ini dari serbuan musuh. Ini demi
mengingat keselamatan para saudara2 sekalian. Adakah Ko-cecu bermaksud hendak
menghalanginya?"
,,Liang-heng, apakah keterangan orang itu benar?" tanya Ko Kui setengah tak percaja.
,,Benar!" sahut Liang Pheng. Serentak murkalah Ko Kui, katanya dengan pedas: ,,Liang-
heng, apakah pesan Toa-cecu kita sewaktu hendak pergi 1 tempo hari? Tentara Ceng itu
amat ganasnya. Kalau markas pertama ini jatuh, ke 72 markas yang lain, sukar
dipertahankan. Kekuatan untuk melawan penyajah, akan patah. Apakah kau tak
menyadari hal itu?"
Liang Pheng bungkam dalam seribu bahasa. Sebenarnya tahu juga dia akan hal itu.
Soalnya dia itu kurang tegas dan kedua kalinya karena memikiri nasib anak buahnya.
,,Karena toako sudah kembali, kami semua tentu tunduk pada perintahmu," achirnya dia
berkata Ko Kui menghela, napas, ujarnya: ,,Saudaraku yang baik, mengapa kau sampai
gelap pikiran begitu? Sedetik saja aku terlambat datang, bukankahh markas ini akan
jatuh ketangan musuh?"
Liang Pheng mengunyuk penyesalannya. Sebaliknya The Go segera menyela dengan
tertawa tawar: „Ucapan Ko cecu itu kurang tepat!"
„Apa?" sahut Ko Kui sembari deliki mata.
,,Sekalipun sejam tadi kau sudah datang kemari, markasmu ini tetap akan jatuh kedalam
tanganku!"
Ko Kui tahu apa artinya kata2 orang she The itu. Sekalipun ilmunya silat Iihay tapi
masakan dia dapat tahan dikerojok sekian banyak orang. Ah.........., kalau tak dihajar,
belum tahu rasa rupanya bangsat itu, demikian pikir Ko Kui. ,,Lama nian kudengar cerita
dikalangan persilatan, bahwa Cian-bin Long-kun dan ibunya telah mendapat gemblengan
dari Ang Hwat cinyin, maka ingin sekali aku meminta barang sedikit pengajaran !"
katanya sembari tanggalkan pakaiannya luar yang sudah compang camping tak keruan
itu. Dengan pakai baju dan celana pendek dia tampil kemuka menghadapi lawan.
Yang paling dibenci The Go ialah apabila ada orang berani menyindir „anak dan ibu sama
mendapat pelajaran dari Ang Hwat cinyin." Perkelahiannya dengan Kiau To ketika
dipuncak Giok-li-nya tempo hari, adalah karena kata2 itu juga. Dengan wajah pucat ke-
hijau2an karena menahan murka, dia tantang lawan : ,,Jadi Ko-cecu ini hendak ajak
berkelahi ?”
Sebagai jawaban, Ko Kui segera cabut sepasang senyata yang aneh bentuknya. Bermula
kelihatannya hanya seperti dua lembar kain hitam. Tapi begitu dikibaskan, kiranya
merupakan sepasang sarung tangan yang selengan panjangnya. Jari-jari dari sarung
tangan itu, panjangnya ada 1/2 meter. Mau tak mau ter-kesiap juga The Go. Teringat dia
akan pembilangan orang bahwa senyata itu disebut „ing jia thao" sarung cakar garuda.
Ujung jari2 yang lancip itu, dapat dipergunakan untuk menutuk jalan darah orang. Jurus
permainan hampir menyerupai dengan permainan „Toa lat Ing jiao chiu hwat" (ilmu
cakar, garuda yang bertenaga besar) ciptaan Tat Mo loco, itu cikal bakal dari Siao-lim-
pay.

GAMBAR 34
Dengan senyatanya yang berupa sarung tangan berjari sepanjang hampir
setengah meter, segera Ko Kui melancarkan serangan ber-tubi2 pada The Go.

Tapi The Go tak gentar. Dia jakin, dalam dunia persilatan tiada ilmu tutukan yang dapat
menandingi kesaktian Ang Hwat cinyin. Cepat dia pun tebarkan kipasnya, lalu berputar2
sejenak. Ko Kui tertawa dingin, tanpa menunggu orang berdiri tegak, dia segera
menyerang dengan sepasang sarung tangan itu, yang satu dihantamkan keatas yang lain
kebawah. Melihat serunya serangan itu, The Go melejit menghindar. Agar yangan sampai
terlibat lama2 dengan sigapnya dia maju menutuk jalan darah tay-meh-hiat dipinggang
lawan. Ko Kui tak mau menyingkir, melainkan gerakkan senyata ditangan kiri untuk
mencakar kipas musuh. Kelima jari dari sarung tangan itu bermula lemas2 saja
tampaknya. Tapi begitu berada ditangan Ko Kui, jari2 itu segera menyulur kaku bagai
baja kerasnya.
Tampak orang begitu sembrono itu, The Go balikkan tangkai kipas untuk menutuk jalan
darah disiku tangan lawan. Tapi lagi Cecu itu tak mau menyingkir, malah maju selangkah
untuk mengemplang kepala orang dengan senyatanya yang kanan. The Go heran.
Separoh tubuhnya bagian atas dia surutkan kebelakang untuk menghindar, namun
tutukan2-nya tadi tetap dilangsungkan, dan berhasil mengenai sasarannya. Menurut
dugaan, tangan Ko Kui pasti akan lumpuh, tapi kenyataan tidak apa2. Dan berbareng
pada saat itu, jari2 sarung tangan itu malah merangsang kemukanya. Dalam gugupnya,
terpaksa The Go gunakan jurus permainan ,,hong cu may ciu" (sigila menyual arak).
Begitu tubuhnya mendak, dia segera melesat kebelakang lawan. Disitu dengan sebat dia
tutuk jalan darah sin-to-hiat dipunggung orang.
Lagi2 Ko Kui unyuk permainan yang aneh. Terang hendak ditutuk punggungnya, dia tak
mau berpaling kebelakang, melainkan ajunkan sepasang sarung tangannya kebelakang.
Kesepuluh jari2 sarung tangan itu me-nari2 dengan lincahnya. Sebentar lemas, sebentar
kaku.
Otak The Go bekerja keras. Tadi terang dia sudah berhasil menutuk tangan lawan, tapi
lawan tak kena apa2 berkat memakai sarung tangan itu. Ditilik dari situ terang sarung
tangan itu merupakan suatu senyata yang kebal dengan segala tabasan senyata tajam.
Teringat dia akan suatu tokoh persilatan yang kenamaan, Sin Eng Ko Thay atau Ko Thay
si Garuda Sakti, yang telah gunakan waktu 3 tahun lamanya untuk mencari kulit kura2
hitam dari dasar Laut. Secara istimewa kulit (bukan batoknya yang tebal) itu telah
dibuatnya menyadi semacam sarung tangan. Kalau benar Ko Kui itu turunan Sin Eng Ko
Thay, terang dia mempunyai senyata yang ampuh sekali. Yangankan ditutuk, sedang
ditabas dengan pedang yang bagaimana tajamnyapun takkan mempan. Memikir sampai
disini, tercekat juga hati The Go. Tapi pada lain saat terkilaslah suatu pikiran bagus
dalam otaknya. Karena memiliki senyata kebal itu, lawan tentuu bernyali besar tak
menghiraukan setiap serangan. Andalan lawan itu, hendak dia gunakan sebagai siasat
untuk merebut kemenangan.
Se-konyong2 dia miringkan tubuh kekiri tapi lalu menyatuh kekanan, tingkahnya macam
orang mabuk yang terhujung2 hendak jatuh. Begitu jatuh, sebelah tangannya bertahan
ketanah, lalu kakinya kanan menendang kearah jalan darah ci-ceng-hiat dilengan orang.
Ko Kui tertawa dingin. Tanpa menghindar, dengan ,,gerakan garuda lapar menerkam
mangsa" kedua tangannya menyawut betis lawan. Karena dugaannya, benar, The Go
girang sekali. Begitu tubuhnya membalik, dia bergelundungan sampai 2 meter jauhnya.
Dan setelah dapat menghindar dari sergapan lawan tadi, tiba2 dia loncat bangun.
Laksana kilat, dia meneryang kemuka untuk menutuk jalan darah leng-to-hiat disiku
tangan lawan.
Melihat lagi2 orang hendak mengarah jalan darah dibagian lengannya, Ko Kui tak ambil
mumet lagi. Dia toch mempunyai senyata kebal, mengapa takuti tutukan itu? Maka demi
serangan The Go tiba, dia malah menyambutnya dengan hantaman kearah kepala lawan.
The Go telah memperhitungkan hal itu. Serangannya kearah siku tadi hanyalah serangan
kosong. Dia tahu musuh tentu tak menghiraukan dan tentu akan menerkam kepalanya.
Ini berarti dadanya terbuka, tak terlindung lagi. Secepat tubuhnya mendak sembari
condong kemuka, ujung kipas yang sedianya ditutukkan pada lengan tadi, lekas ditarik
untuk ditutukkan kedada orang pada bagian jalan darah hoa-kay-hiat. ,,Rubuhlah,
yangan membandel!" serunya.
Karena terlalu mengandalkan pada-sarung tangannya yang kebal, tadi Ko Kui biarkan
saja lengannya ditutuk. Dan untuk merebut kemenangan dia menghantam kepala lawan.
Maka atas perobahan serangan orang yang sedemikian cepat dan dekat sekali, sudah
tentu dia tak berdaja menghindar lagi. Jalan darah hoa-kay-hiat, merupakan jalan darah
utama dari tubuh manusia. Begitu kena ditutuk, maka tangan dan kaki Ko Kui serasa
lemah lunglai, matanya ber-kunang2 dan kepalanya pening. Dalam keadaan antara sadar
tak sadar itu, terdengar suara ketawa panjang dari The Go, dan pada lain saat tak kuasa
lagi Ko Kui untuk berdiri tegak, Bumi dirasakan seperti ber-putar dan sekali mulutnya
memuntahkan darah segar, rubuhlah dia ketanah.
Liang Pheng pucat seperti majat wajahnya. Sebaliknya sembari ber-kipas2 The Go
mengejek: ,,Bukankah telah kukatakan tadi, walaupun kau datang sejam lebih pagi,
namun markas ini tetap akan jatuh ketanganku ?"
Setelah rubuh ditanah, Ko Kui coba empos semangatnya. Tapi karena hoa-kay-hiat
terluka, seluruhh kepandaiannya pun punah. Sekalipun dia sembuh, namun dia bakal
menyadi seorang invalid. Terdengar dia menghela napas, sekalipun didengarnya ejekan
The Go tadi, namun dia tetap meramkan mata tak menghiraukan. The Go sudah merasa
pasti, dengan menundukkan Ko Kui itu, berarti sudah mengukup kemenangan total,
maka dia segera ulangi permintaannya kepada Liang Pheng agar lekas memerentahkan
pengunduran anak-buahnya. Namun Liang Pheng masih bersangsi.
,,Liang-heng," tiba2 dengan suara sember tak lampias Ko Kui berseru, tak lama Toa-cecu
pasti datang, yangan sampai terperangkap ....... tipu muslihat bangsat itu!"
The Go murka sekali. Segera dia maju menghamperi Ko Kui tahu bahwa jiwanya
terancam, maka dia tetap meramkan mata menunggu sang ajal. Sekali The Go mendupak,
maka Ko Kui, salah seorang pendekar, perwira perserekatan orang gagah dari Hoasan
telah binasa secara mengenaskan dikaki The Go! Melihat kekejaman itu, Marahlah
seluruh anak buah markas disitu. Namun karena merasa bukan tandingannya, mereka
tak dapat berbuat apa2.
Yang paling sulit sendiri kedudukannya, adalah Liang Pheng. ,,Liang-cecu kau tak lekas
memberi perintah, akupun tak sungkan lagi!" ancam The Go pada wakil Cecu itu.
Liang Pheng memandang kearah anak buahnya. Dari sorot mata dan wajah mereka,
mengunyuk kemarahan. Jalan satu2nya ialah mengulur waktu, demikian pikir Liang
Pheng, siapa sembari batuk2 segera berkata: ,,Cian-bin Longkun ..............”
,,Liang-cecu, bukankah kau hendak main ulur waktu? Kukuatir sebelum balabantuanmu
datang, jiwamu sudah melayang!" tukas The Go dengan tertawa dingin.
Karena siasatnya ditelanyangi, wajah Liang Pheng pucat lesi sehingga ter-hujung2
mundur sampai beberapa langkah. Tiba2 dari arah belakang terasa ada angin
menyambar. Coba dia tak lekas2 menyingkir, pasti akan sudah tertumbuk oleh seseorang
yang menobros datang. Begitu orang itu muncul, maka gegap gempitalah sorak sorai dari
sekalian anak buah markas. Begitupun Liang Pheng yang mengetahui siapa yang datang
itu segera bertereak girang:
,,Toa-cecu!"
Orang bertubuh tinggi besar yang muncul itu, memang adalah Nyo Kong-lim sendiri.
Mengikut dibelakangnya adalah rombongan tokoh2 kaum persilatan. Begitu tampil
kemuka segera toa-saycu dari Hoasan"itu berseru lantang2: ,,Hola, kiranya kutu busuk
ini!"
Melihat kedatangan Nyo Kong-lim diiringi oleh tokoh2 persilatan yang mengunyukkan
kemurkaan kepadanya, The Go telah memikirkan suatu siasat. Maka dengan berlaku
tenang sedapat mungkin, dia bersenyum menyambutnya: ,,Bagus, Nyo-toa-cecu sudah
datang. Aku datang kemari untukk menyerahkan surat permakluman perang. Besok
terang tanah fihak kami akan menyerang markas ini, harap Toa-cecu bersiap, agar
yangan menuduh fihak kami main curang! "
Sebenarnya begitu tampak The Go, Nyo Kong-lim sudah siapkan sam-ciat-kun untuk
menghantamnya. Tapi demi mendengar mulut orang mengatakan begitu, dia tertegun
sejenak karena mengingat bahwa tak selajaknya seorang utusan musuh yang
"menyampaikan surat tantangan itu dibunuh. The Go yang licin segera gunakan
kesempatan itu untuk melangkah keluar pintu markas. Dan rupanya karena melihat Nyo
Kong-lim diam saja, orang2pun tak mau menghalangi.
The Go tahu kalau semua mata memandang kearahnya dengan penuh kebencian, namun
kesemuanya itu dianggap sepi saja. Dengan langkah lebar dia menuju kepintu. Adalah
pada saat sang rase hendak berhasil lolos, tiba2 terdengarlah suara jeritan yang seram.
Dengan berlagak ke-gagah2an, The Go berpaling. kebelakang, seraja siap dengan
kipasnya. ,,Bagus, mengapa tak berani tampil ber-terang2an?" serunya dengan garang.
Tantangan itu sudah bersambut dengan cepatnya. Dari dalam rombongan para orang
gagah, tampillah seorang bongkok. ,,Orang she The, lain orang rela melepasmu, tapi aku
si Bongkok tetap hendak menahanmu beberapa hari disini!" seru orang bongkok itu yang
bukan lain. Thay-san sin-tho Ih Liok.
Wajah The Go pucat seketika. ,,Toa-cecu, bagaimana ini?" tanyanya kepada Nyo Kong-
lim yang kebetulan pada saat itu justeru sedang berjongkok untuk memereksa majat Ko
Kui. Mendapatkan salah seorang saudara seperjoangannya mati secara begitu
mengenaskan, bukan kepalang kemurkaan Nyo Kong-lim. Maka atas pertanyaan The Go
tadi, dia segera berbangkit. ,,Apa kataku? Hutang jiwa bajar jiwa!" serunya dengan kalap
sembari melangkah maju terus hantamkan sam-ciat-kun kepundak orang untuk
mengarah jalan darah keng-thian-hiat.
Dengan tertawa mengejek, The Go menghindar kesamping. Tapi se-konyong2 dari arah
belakang ada samberan angin dingin, tahu2 rambutnya telah rompal kena dibabat
senyata tajam. Ketika dia buru2 menyingkir, Nyo Kong-lim kedengaran berseru: ,,Siaoko,
tunggu, aku hendak balaskan sakit hati Ko-cecu!"
Orang yang menyerang dari belakang tadi, adalah Tio Jiang, itu murid kesayangan Ceng
Bo siangjin. ,,Toa-cecu, biarkan kutanyakan dia dimana adanya suci-ku dulu!" sahutnya
dengan geram.
Pada saat itu, seluruh orang yang hadir disitu sama bersiap dengan senyata masing2.
The Go terkepung di-tengah2.
Sekalipun dia mempunyai kepandaian untuk menobros langit mebjelusup kebumi,
namun sukar juga rasanya dia lolos dari kepungan terapat itu. Tahu The Go bahwa
jiwanya berada ditangan sekalian patriot penentang penyajah Ceng. Kesemuanya itu
harus dilawan dengan akal, se-kali2 tak boleh dengan kekerasan. Setelah menetapkan
haluannya, dia segera menertawai Tio Jiang, serunya: ,,Siaoko, taruh kata benar kau
hendak menanyakan soal suci-mu, apakah pantas membokong orang ?
Seorang jujur macam Tio Jiang, terpaksa mengakui bahwa serangannya dari belakang
tadi memang tak lajak, karena itu dia tak mampu berbantah, kecuali mukanya menyadi
merah padam. Setelah memukul knock-out Tio Jiang dengan kata2 yang tajam, The Go
mendongak ketawa ter-bahak2, lalu berseru dengan nyaring: ,,Nyo toa-cecu, dengan
setulusnya hati aku datang menyampaikan surat tantangan. Tapi aku dikepung begini
rupa. Apakah kau tak takut diketawai oleh kaum persilatan ?"
Kembali seorang jujur hampir menyadi korban lidah The Go yang tajam. Menilik
pertanyaan itu memang beralasan, maka Nyo Kong-lim sudah ambil keputusan untuk
melepas sirase yang licin. Dan keputusan itu segera hendak dia keluarkan coba tidak si
Bongkok keburu maju kemuka dan menuding pada The Go, dampratnya: ,,Orang she
The, yangan kau mimpi bisa bersilat lidah. Karena kejujurannia, saudara2 yang hadir
disini pasti akan tertipu dengan kata2-mu yang penuh muslihat itu. Tapi bagi si Bongkok
ini, sudah kenyang dengan segala macam permainan bangsat itu. Persetan dengan
kata2mu yang indah itu. Kalau kau, hendak berlalu dari sini, kau harus minta idin dulu
padaku si Bongkok ini!"
Selama pertempuran dipulau Ban-san-to tempo hari, tahulah sudah The Go bahwa
diantara sekian tokoh yang berada dimarkas situ, hanyalah si Bongkok itu yang paling
lihay sendiri. Entah dapatkah dia mengatasi, itu tak diketahuinya. Tapi baiklah
dicobanya dulu, untuk menguji sampai dimana kesaktian si Bongkok. ,,Silahkan cuwi
sekalian memberi tempat yang lebih longgar, agar aku dapat meminta pengajaran barang
sejurus dua dari Thay-san sin-tho yang termasjhur ini serunya sembari mengangkat
tangan memberi hormat.
Mengira kalau orang hendak menantang berkelahi, maka sekalian orang sama mundur
kedekat tembok ruangan disitu. Dengan laku tenang sembari menyungging senyuman,
The Go lalu mulai berputar dalam sebuah lingkaran kecil, serunya: ,,Nah, Bongkok, kalau
tak biarkan aku berlalu, habis kau. Mau apa?"
Bongkok hanya perdengarkan ketawa dingin. Tiba2 The Go menerdiang kemuka terus
menutukkan kipasnya kepada orang. Gerakan itu sangat cepat dan secara tak terduga
sekali. Tapi Ih Liok bukan si Bongkok sakti dari gunung Thay-san kalau dia kaget dengan
serangan mendadak itu. Dengan tertawa menghina, dia balikkan tubuhnya kebelakang.
Tutukan kipas The Go tadi, tepat membentur punuk daging dipunggung si Bongkok
....................

(Bersambung Ke Bagian 12)


BAGIAN 12
SI BONGKOK

Diam2 The Go bersorak dalam hati. Rangka kipasnya terbuat dari lidi baja murni. Baja
diadu dengan daging, terang menang. Maka dengan kerahkan seluruh tenaganya, dia
tusukkan kipas se-kuat2nya. Tapi astaga, begitu ujung kipas menyentuh daging-
tambahan itu, serasa seperti membentur segunduk kapas yang empuk. Dan malah
rasanya, tubuhnyapun ikut kesedot menyorok kemuka. Terang kipasnya menyusup
kedalam daging, mengapa dirinya yang tersedot ? Mati aku demikian dia mengeluh. Thay-
san sin-tho terkenal mempunyai tho-kang, ilmu-punuk yang sakti. Segumpal daging
mentah yang menemplek dipunggungnya itu telah dilatih menyadi semacam senyata yang
ampuh. Dia dapat dijulur-surutkan menurut sekehendak hati, dapat berobah menyadi
lunak bagaikan kapas untuk menerima setiap serangan, tapi dapat pula berobah menyadi
tenaga, gempuran hebat untuk melemparkan setiap penyerang.
Cepat The Go kendorkan tangannya lalu mundur, tapi si Bongkok sudah mendahuluinya,
dengan Sebuah tamparan yang dengan tepatnya mengenai sasaran. Betapapun The Go
sudah bertindak dengall cepatnya, namun tak urung siku tangannya telah kena,
dihantam, Sjukur dia tadi memang hendak mundur, maka tak sampai menderita luka
berat. Mengingat bahwa lebih banyak bahaja daripada selamatnya kalau dia terus berada
diruangan situ, maka jalan satu2nya ialah meloloskan diri. Dilihatnya dijendela sana
hanya terdapat seorang liaulo, maka sekali melesat dia merat kesana. Orang banyak coba
menghalanginya, namun sekali hantam dapatlah The Go merobohkan liaulo itu, lalu
loncat menobros keluar dari jendela.
,,Yangan lepaskan dia!" teriak si Bongkok dengan geramnya. ,,Yangan kuatir, dia tak
mampu lari!" tiba2 terdengar suara sambutan, disusul dengan terlemparnya sesosok
tubuh dari jendela kedalam ruangan. Itulah si Cian-bin Long-kun The Go. Selagi orang2
sama ke-heran2an, tiba2 seorang nona dara masuk kedalam ruangan sembari tertawa
cekikikan dan mencekal sebuah bandringan. ,,Yan-chiu sumoay?" seru Tio Jiang demi
melihatnya.
Memang dia itu adalah Yan-chiu. ,,Suko, kiranya kau tak terbunuh tentara Ceng?!" sahut
nona itu dengan tak kurang girangnya. Tapi demi teringat akan peristiwa ,,pertunangan"
pada malam itu, dia ke-merah2an mukanya.
,,Siao Chiu, kau sudah mendirikan pahalamu pertama!" kata si Bongkok sembari
menekan jalan darah The Go. Bahwa si Bongkok gagu bekas kawannya dahulu dapat
berbicara, telah membuat Yan-chiu melengak kaget. Sebelum ia tahu apa yang harus
diperbuat, se-konyong2 Ceng Bo siangjinpun menobros masuk, seraja berseru pada Nyo
Kong-lim: ,,Nyo-heng, lekas atur siasat untuk menghadapi tentara Ceng!"
Setelah sampai ditengah jalan, Ceng Bo anggap lebih baik dia ajak Yan-chiu seorang diri
untuk menyelidiki kekubu musuh. Maka disuruhnya ke 10 anak buahnya itu menunggu
disitu, sedang dia sendiri bersama Yan-chiu lalu gunakan ilmunya berjalan cepat
meluncur kekaki gunung. Ternyata kubu2 tentara Ceng itu sangatlah rapatnya, namun
rapih sekali formasinya. Terang kalau musuh berjumlah besar, keduanyapun tak berani
gegabah. Tapi yang aneh, sekalipun sudah mondar mandir beberapa kali, tetap mereka
tak berhasil mendapatkan tempat persembunyian dari ke 10 pucuk meriam itu. Begitu
pula tak diketahuinya, yang manakah markas panglima. Sebagai orang yang faham ilmu
perang, tahulah Ceng Bo bahwa musuh mempunyai seorang panglima perang yang
pandai sekali. Jadi nyatalah Li Seng Tong itu tak bernama kosong. Karena sudah sekian
lama melakukan penyelidikan itu, dikuatirkan akan diketahui jejaknya oleh fihak musuh,
maka dia segera ajak Yan-chiu balik keatas gunung.
Setiba dimuka pintu markas, mereka merasa suasananya agak berlainan. Yan-chiu lari
mendahului sang suhu. Tapi begitu tiba dimarkas, ia kesamplokan dengan seorang yang
lari dari jendela. Cepat ia ajunkan bandringannya menurut ilmu bandringan yang
diajarkan oleh Kui-eng-cu. Tapi The Go cukup lihay, dengan tipu tiat-pan-kio, jakni
tubuhnya diajunkan kebelakang seperti sebuah jembatan melengkung. Tapi permainan
bandringan ,,hong hong sam thau" (burung Kim 3 kali mengangguk) dari Yan-chiu jauh
berbeda dengan dahulu. Begitu bola bandringan melayang diatas tubuh The Go, Yan-chiu
cepat sentakkan tangannya kebawah sehingga bola itu dapat membal balik menghantam
tubuh lawan. The Go dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu loncat masuk kembali
kedalam ruangan dan diringkus atau mandah terhantam bola bandringan yang akan
menyebabkannya kalau tak mati konyol tentu luka berat. Dia memilih jalan pertama
dengan berkesudahan begitu masuk kedalam ruangan, terus dittituk jalan darahnya oleh
Thay-san sin-tho. Dan begitu 'Ceng Bo muncul, nyali The Go semangkin copot. Tapi
sebagai seorang yang penuh tipu muslihat, dia tetap melipur getar bibirnya mengunyuk
wajah yang tenang. Kalau tak dibikin lumpuh oleh tekanan si Bongkok tadi, mungkin dia
masih akan jual lagak sebagai utusan negara.
Melihat beradanya The Go disitu, menimbulkan kebimbangan Ceng Bo. Disamping dia
hendak lekas2 merundingkan siasat menghadapi musuh dengan Nyo Kong-lim, juga ingin
tanya peristiwa si Yau-sin ban-pian Tan It-ho pada The Go. Juga rasanya tak dapat dia
menahan hatinya untuk segera monanyai Tio Jiang, bagaimana jalannya pertempuran
Nyo Kong-lim dengan siwanita berambut panjang diatas geladak perahu tempo hari itu.
Setelah ditimbang dengan kepala dingin, achirnya dia hendak mendahulukan
kepentingan negara dari urusan lain2nya. Musuh didepan mata, harus segera dihalau.
,,Nyo-heng, hasil penyelidikanku dengan Yan-chiu kemarkas musuh tadi, menyatakan
bahwa disiplin mereka sangat rapi sekali. Panglimanya tentu seorang jenderal yang
pandai. 3000 serdadu, sih tak perlu ditakuti. Tapi ke 10 pucuk meriam mereka itulah
yang perlu kita pikirkan. Oleh karena tadi kami belum berhasil menemukan tempat
persembunyiannya, maka, malam ini harus dilakukan penyelidikan lagi sampai berhasil.
Ini untuk menentukan langkah kita selanyutnya."
Sebaliknya Nyo Kong-lim yang jujur itu, menyatakan isi hatinya: ,Ceng Bo siangjin, boleh
dikata wilajah Kwitang kini sudah diduduki musuh. Mumpung sekalian saudara
persilatan sama berada disini, maka Hay-te-kau, peganglah pucuk pimpinan Hoa-san ini,
karena tempat ini merupakan kubu2 pertahanan rakjat yang terachir, Aku, Nyo Kong-
lim, senang mendengar titahmu!" Habis berkata begitu, dia mengambil sebuah lencana-
baja dari dalam baju, diserahkan kepada Ceng Bo. Lencana itu diukir bentuk gunung
Hoa-san dengan ke 72- Ce. ,,Inilah lencana pimpinan dari ke 72 Cecu Hoasan, harap kau
suka terima!"
Ceng Bo siangjin terharu. Tak disangkanya didalam semak belukar pegunungan lebat,
terdapat seorang peribadi yang berwatak kuat macam Toa-cecu itu. Ia lihat bagalmana
pem-besar2 kerajaan saling berebut mencari pangkat dan kedudukan hingga merusak
negara, tapi siorang jujur begitu tulus ichlas menyerahkan kedudukan padanya. ,,Nyo-
heng, saat ini bukan saat main sungkan2-an. Musuh sudah didepan mata, usah kita
main mengalah. Kau lebih faham akan keadaan ke 72 ce disini, peganglah terus tampuk
pimpinannya !"
Nyo Kong-lim hendak membantah, tapi Thay-san sin-tho keburu mendahului-nya:
,,Mengapa ini itu seperti ular kambang? Nyo-heng, ucapan Ceng Bo siangjin itu tepat.
SudahIah yangan sungkan, lebih baik lekas2 jatuhkan hukuman pada bangsat ini!"
katanya sembari perkeras tekanannya. The Go sudah kerahkan lwekang untuk menahan,
tapi mana dia mampu menangkan kesaktian si Bongkok, apalagi memang si Bongkok itu
sengaja hendak memberi pil-pahit padanya. Maka saking sakitnya, kepala The Go basah
dengan kucuran keringat.
The Go sadar bahwa sekalian yang berada disitu itu adaIah para orang gagah patriot
dalam dunia persilatan. Meminta ampun, itu akan sia2 saja malah tentu di-maki2. Maka
lebih baik dia berlaku gagah saja. Walaupun selebar mukanya pucat pasi menahan
penderitaan hebat, namun, bjbirnya tetap berhias senyuman.
,,Ih-heng, tutuk saja nui-hiatnya (jalan darah supaja orang lemas). Tunggu nanti sampai
kita selesaikan urusan penting ini," kata Ceng Bo. Ih Liok segera jalankan perintah
siangjin tersebut. Sekali tutuk, maka lemah lunglailah tubuh The Go seperti tak
bertulang. Terbaring ditanah, dia hanya me-ngicup2kan kedua matanya.
Kini sekalian orang sama mendengarkan penuturan Liang Pheng tentang kejadian yang
dialaminya. Melihat wajah, dan sikap dari sekalian orang yang bertekad bulat melawan
penyajah Ceng itu, diam2 Liang Pheng menyadi malu sendiri. , Orang2 sama bersjukur,
kalau terlambat sedikit saja markas ke 1 disitu tentu akan sudah jatuh ditangan The Go,
dan ini membahajakan kedudukan seluruh Hoa-san. Nyo Kong-lim segera mengirim
berita agar pasukan dimarkas besar lekas datang kesitu. Dalain waktu semalam itu saja,
maka pertahanan markas ke 1 telah diperkuat. Balok2 dan tong2 besi di-tumpuk2
merupakan perbentengan yang kokoh.
Juga penguburan Ko Kui telah mendapat perhatian seIajaknya. Semua orang turut
mengucurkan air mata atas gugurnya seorang pahlawan yang berhati baja itu. ,,Kalau
Sin-eng Ko Thay mengetahui tentang kematian saudara Ko Kui, dia pasti tak mau sudah!"
kata Nyo Kong-lim. Sembari menghela napas, dia serahkan senyata sarung-tangan kulit
kura2 milik Ko Kui itu kepada Tio Jiang, ujarnya: ,,Siaoko, sarung tangan ini tak mempan
senyata tajam. Karena kini belum dapat diserahkan kepada Ko lo-tayhiap, maka untuk
sementara kau pakailah!"
Maksud Nyo Kong-lim itu baik sekali. Karena diketahuinya anak muda itu hanya
mempunyai sebilah pedang yang bertotolkan karatan, maka disuruhnyalah memakai.
Tapi dia tak mengira, kalau hal itu kelak bakal menimbulkan bermacam2 urusan. Tio
Jiang juga senang akan senyata ampuh itu, tapi dia tak berani mengambil putusan,
melainkan memandang kearah gurunya. Setelah Ceng Bo mengangguk barulah dia mau
menerimanya.
Nyo Kong-lim menyuruh dua orang liaulo yang berkepandaian cukup dan faham keadaan
gunung Hoasan, untuk turun kekaki gunung guna menyelidiki meriam fihak tentara
Ceng. Sekalipun malam itu tak terjadi apa2, tapi orang2 sama tak dapat tidur nyenyak.
Dalam kesempatan itu Ceng Bo menanyakan Nyo Kong-lim perihal pertempurannya
dengan siwanita berambut panjang diatas perahu tempo hari. ,,Huh, yangan di-ungkat2
lagi urusan itu, aku heran dengan wanita yang luar biasa ganasnya itu!" sahut Nyo Kong-
lim.
,,Adakah wanita itu menyebutkan namanya ?" tanya Ceng Bo. Setelah mengingat
sebentar Nyo Kong-lim menyahut tidak. ,Karena laut keliwat dalam, terpaksa kita tak
dapat melepas yangkar (sauh), maka segera kusuruh putar haluan perahu mengitari
perairan karang Hay-sim-kau situ. Lewat beberapa lama, karena kau masih belum
nampak muncul, aku lantas hendak menyuruh orang menyusulmu kedalam dasar laut
baru menutur sampai disitu, tampak Nyo Kong-lim celingukan kian kemari, lalu tiba2
berseru: ,Hai, mana Bo-lin-hi Su Khin-ting?"
Ceng Bo cepat2 menuturkan apa yang telah dialaminya dengan Su Khin-ting dibawah
laut situ. Mendengar kisah pertempuran antara dua orang manusia dan seekor gurita
raksasa, semua orang sama leletkan lidah. Setelah melihat lukisan pada dinding gua
dibawah laut, bermula Ceng Bo jakin bahwa siwanita berambut panjang itu tentulah sang
isteri, Kiang Siang Yan In Hong. Tapi ketika didapati kotak berisi mutiara berada dalam
perut sigurita, pikiran Ceng Bo agak bersangsi. Kotak berharga itu dahulu adalah
pemberiannya kepada In Hong selaku tanda pengikat kawin. Dengan beradanya barang
itu didalam perut gurita, yangan2 sang isteri itu telah binasa dimangsa machluk laut
tersebut. Maka dia cenderung pada dugaan, kemungkinan besar wanita berambut
panjang itu adalah kawan dari sang isteri. Tapi itu hanya dugaan, yang penting dia harus
lekas dapat berjumpa, dengan wanita berambut panjang itu lagi guna ditanyai keterangan
yang jelas. Maka setelah menuturkan pengalamannya dengan seringkas mungkin buru2
dia minta agar Nyo Kong-lim melanyutkan lagi penuturannya.
Nyo Kong-lim masih meng-ingat2 lagi, dan ketika dia baru hendak membuka mulut,
Thay-san-sin-tho Ih Liok sudah mendahuluinia: ,,Nyo-heng tak pandai bercerita, biarkan
aku saja yang menuturkan." Memang watak Nyo Konglim itu menyamai Tio Jiang, seorang
jujur yang tak pandai berbicara. Maka dengan girang dia menyetujui. Karena para orang
gagah lainnya sudah sama mengalami sendiri peristiwa diatas perahu itu, jadi mereka,
tak mau mendengarkan lagi cerita itu. Ada yang masuk tidur, ada yang keluar meninyau
pos penyagaan. Begitulah kini dalam ruangan situ hanya tinggal Nyo Kong-lim, Ih Liok,
Ceng Bo siangjin, Tio Jiang, Yan-chiu dan beberapa orang saja, serta si The Go yang
menggeletak dilantai sana tak dapat berkutik. Karena percaja akan kelihayan si Bongkok,
maka orang2 yang berada disitu tak ambil perhatian lagi kepada penghianat The itu.
Betapapun lihaynya toch se-kurang2-nya 4 atau 5 jam barulah dia akan dapat sembuh,
demikian pikir mereka.
Yan-chiu, belum pernah merasakan begitu girang seperti pada malam itu. Tadi suhunya
menuturkan pertempurannya dengan gurita raksasa, hatinya berdebar keras, peluhnya
mengalir deras dan mulutnya meng-gigit2 kuku jarinya. la begitu tegang, se-olah2 turut
ambil bagian sendiri dalam pertempuran itu. Dan kini si Bongkok bakal membawakan
kisah pertempuran lain yang tak kurang serunya, ia makin terpesona. Juga Tio Jiang
yang rindukan sang suhu, ikut duduk disitu menemaninya. Mulailah Thay-san-sin-tho
Ih Liok menghidangkan ceritanya:
,,Karena sudah menunggu sampai sekian lama, kami sekalian menyadi gelisah. Toacecu
mondar mandir digeladak dengan cemas sekali. Tiba2 dari arah laut sana, terdengar
suara aneh yang halus, dan nyaring sekali. Para saudara2 yang biasa hidup dilautan,
menyadi heran juga. Ketika itu perahu ditengah laut besar, tiada bertepi tiada pula
sebuah perahupun yang mendatangi, mengapa ada suara tersebut? Lama kelamaan nada
suara aneh itu berobah menyadi semacam orang merintih, tapi lengking suaranya
menusuk tajam kedalam anak telinga. Ini menandakan bahwa siorang itu tentu tinggi
sekali ilmunya lwekang. Kini dari heran sekalian orang diperahu itu menyadi tegang.
Terang itulah seorang kaum persilatan yang berkepandaian tinggi. Dan tepatlah dugaan
itu, karena tak lama kemudian dipermukaan laut tampak mengapung sebuah benda
hitam. Benda itu dengan pesatnya meluncur kearah perahu. Suara rintihan itu makin
lama makin jelas juga.........”
Apakah yang dirintihkan orang itu ?" tiba2 Ceng Bo memutus.
,,Ach........., sayang kepandaianku dalam ilmu surat terbatas, namun masih dapat juga
kukenal rintihan itu sebagai sjair Souw Hak Su dalam kisah tragedi 'Ratapan kalbu Ong
Ciau-kun' !"
Adakah sjair itu berbunyi begini: 'Siapakah gerangan yang berdendang itu, sehingga.
membujarkan impian indah dibalik jendela hijau. Rembulan sisir dan asap kesedihan
bertebaran memenuhi angkasa'?" tanya Ceng Bo.
,,Hai, mengapa Bek-heng tahu sekali ?" tanya Ih Liok dengan terperanyat. Tapi Ceng Bo
hanya menghela napas saja. ,,Teruskanlah penuturan tadi!" katanya dengan rawan.
Orang2 yang berada disitupun siap mendengarinya lagi dengan penuh perhatian,
sebaliknya si Bongkok tak mau lekas2 mulai menutur lagi, melainkan merenung sampai
sekian lama.
,,Thocu, lekaslah!" tiba2 Yan-chiu yang tak sabaran mendesaknya. Karena ketika
digunung Giok-li-nia dahulu ia biasa memanggilnya ,thocu" (si Bongkok), jadi otomatis
iapun berseru begitu. Tapi sesaat ingat bahwa si Bongkok itu ternyata seorang cianpwe
kenamaan yang menyamar, ia merasa jengah sendiri. Tapi si Bangkok rupanya tak
menghiraukan hal itu. Tiba2 tangan si Bongkok menggebrak meja dan mulutnya berseru
keras: ,,Bek-heng, bukankah ia itu .........”

GAMBAR 35
Dengan panjang lebar si Bongkok menceritakan pertempuran diatas
perahu antara Nyo Kong-lim dan wanita aneh yang berambut panjang itu.

Belum lagi dia teruskan kata2nya, atati dilantai sana The Go mendadak melesat
menerobos keluar. Gerakannya amat gesit sekali. Orang2 yang mendengari cerita si
Bongkok tadi, sama duduk membelakangi The Go, jadi tak tahulah mereka akan lolosnya
sibelut yang licin itu. Hanya si Bongkoklah yang tak pernah lengah sedetikpun. Walaupun
sembari bercerita, tapi dia tetap dapat mengetahui lolosnya orang muda itu. Maka itu,
ketika The Go baru tiba diambang pintu, ia serentak bangkit dari tempat duduknya. Ceng
Bo dan Nyo Kong-lim pun cepat mengetahui hal itu. Ketiga jago lihay itu dengan serentak
melesat memburu. Se-konyong2 The Go kibaskan lengan baju dan belasan siucian
(passer) melayang berhamburan. Ceng Bo kebutkan lengan bajunya dan beberapa batang
siucian itu segera terjemput didalam tangannya. Ketika dipereksa ternyata siucian itu
adalah lidi baju rangka kipas si The Go. Jelaslah kalau rencana meloloskan diri dari orang
she The itu memang sudah disiapkan dengan masak, jaitu menggunakan kesempatan
selagi orang2 tengah asjik mendengarkan cerita si Bongkok. Tapi yang mengherankan
orang, mengapa selekas itu The Go dapat sembuh dari tutukan si Bongkok yang teramat
saktinya itu? Tapi justeru karena berajal dilamun keheranan itu, The Go sudah melesat
keluar. Thay-san sin-tho coba menghalangi. Lebih dahulu dia menghantam kemuka,
hingga daun pintu rubuh dan menyusul itu tubuhnya melejit keluar. Tapi disana, The Go
sudah tak kelihatan bayangannya lagi. Saat itu Ceng Bo dan Nyo Kong-lim pun sudah
menyusul keluar. Yan-chiu mendongkol dan me-maki2 dalam hati. Tapi ia bukan getun
karena lolosnya The Go, melain marah karena The Go itu menyebabkan putusnya cerita
si Bongkok yang menarik perhatiannya itu. Mereka berpencar mencarinya. Ketika
menanyai saudara2 yang bertugas menyaga diluar ruangan, semua menyatakan tak
nampak barang seorangpun yang loncat keluar.
Thay-san sin-tho menarik kesimpulan. Betapapun lihaynya ilmu mengentengi tubuh dari
anak muda itu, tak nanti dalam sekejab itu dapat melenyapkan diri. Jadi tentunya dia
masih bersembunyi disekeliling tempat situ. Setelah menyuruh Nyo Kong-lim memerintah
agar para penyaga berjaga2, dia sendiri lalu mencari disekeliling gedung
permusjawaratan situ. Tapi tetap sia2.
,Ah dasarnya bangsat itu masih terang bintangnya, maka aku sampai lupa bahwa dia itu
memiliki kekebalan antitutuk. Karena dia itu rapat sekali hubungannya dengan Ang Hwat
cinyin, maka begitu lahir, setiap hari dia tentu digosok dengan obat-istimewa-, hiat-ko
buatan cinyin itu, yang chasiatnya jalah untuk menutup jalan darah dari tutukan.
Ditambah pula anak itu tentu mewarisi ilmu memindah kedudukan jalan darah dari Ang
Hwat. Kalau penghianat itu sampai berhasil meloloskan diri dan mengadu pada Ang Hwat
cinyin, rasanya tentu berabe juga!"
Ceng Bo sendiri yang mempunyai keperluan untuk bertanya pada The Go, terpaksa
kembali kedalam ruangan lagi. Pada saat itu, kedua liaulo yang diperintahkan
menyelidiki tempat persembunyian meriam2 musuh itu sudah kembali dengan hasil
nihil. Malah hampir sedikit saja, mereka dipergoki musuh. Ceng Bo sangsikan
kepandaian kedua liaulo itu, makanya tak berhasil.
,,Pergilah kalian berdua untuk menyelidiki, kata Ceng Bo kepada Tio Jiang dan Yan-chiu
berdua, kalau sampai terang tanah tak berhasil, markas ini sukar dipertahankan. Tugas
kali ini berat dan penting sekali, harap kalian berhati2!"
Tio Jiang dan Yan-chiu ber-gegas2 menyalankan titah suhunya itu. Setelah itu, si
Bongkok lanyutkan penuturannya lagi, sebagai berikut: ,,Kiranya setelah dekat benda
hitam itu adalah seorang wanita berambut panjang. Karena tak mengerti bahwa wanita
itu tengah merintihkan sjair ,,Ratapan kalbu Ong Ciau Kun”, maka Nyo toa-cecu segera
berseru keras2: ,,Ih-heng, wanita itu seorang siluman jahat!" Ih Liok yang jakin bahwa
wanita itu tentu seorang tokoh persilatan lihay, buru2 hendak mencegahnya, tapi
ternyata Nyo Kong-lim sudah terlanyur mengatakannya dengan kasar. Maka sahutnya:
,,Nyo-heng, harap yangan sembarangan mengomong! "
Namun rupanya wanita aneh berambut panjang itu telah mendengarnya. Diantara
segompjok rambut panjang yang terurai kacau balau itu, tampak sepasang matanya
memancarkan sorot ber-api2, sehingga walaupun ketika itu masih pada waktu siang hari,
tak urung orang2 sama berdiri bulu romanya.
,,Kalau bukan bangsa siluman, masa sorot matanya begitu macam?" kembali Nyo Kong-
lim omong seenaknya sendiri tanpa menghiraukan peringatan si Bongkok. Tapi baru
kata2nya itu selesai, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun, wanita aneh itu ajunkan
tubuhnya loncat keatas haluan perahu. Yang luar biasa adalah gerakannya itu,
sedikitpun tak mengeluarkan suara apa2. Orang2 yang berada didalam perahu sama
mundur. ,,Mengapa katakan mataku ber-api2 seperti setan api ?" tanya wanita itu dengan
nada yang dingin sekali.
Nyo Kong-lim yang kasar dan sembrono itu, menyadi kurang senang. ,,Lantas kau mau
apa ?" sahutnya. Wanita yang rambutnya hampir menutupi selebar muka itu
perdengarkan suara ketawa yang dingin sekali. Rambutnya itu tiba2 berajun2 naik turun
sampai 3 kali. Sebagai orang persilatan yang penuh pengalaman, si Bongkok segera tahu
bahwa siwanita itu memiliki lwekang yang teramat sakti. Dalam dunia persilatan itu tak
sedikit jumlahnya tokoh2 yang berilmu tinggi, dan terhadap mereka lebih baik yangan
sampai kebentrok. Maka dengan ter-sipu2, dia segera menyanggapi: ,,Saudaraku ini
memang gemar omong, harap cunke (saudara yang terhormat), yangan ambil marah!"
Tapi kalau mulutnya besar, tentu besar juga kepandaiannya," kata wanita aneh itu
sembari menyapukan matanya kesekelilingnya. ,,Hiii.......," serunya sembari
menghampiri kearah Tio Jiang.
Sejak siwanita berambut panjang itu naik keatas perahu, orang2 diatas situ sudah sama
bersiaga. Melihat wanita yang menghampiri itu matanya memancar sorot yang jahat,
tanpa banyak omong lagi Tio Jiang lagi putar pedangnya dalam gerak ,,Ceng Wi mengisi
laut" guna melindungi dirinya. Kalau bermula hanya berjalan pelan2, kini demi melihat
jurus permainan ilmu pedang itu, se-konyong2 wanita aneh itu meneryang maju.
Bukan kepalang terkejutnya Tio Jiang. Gerakan tadi sebetuInya hanya melindungi diri,
tak nyana kalau siwanita aneh itu berbalik malah menyerbunya. Walaupun masih pada
jarak jauh, tapi gerakan wanita itu telah menerbitkan samberan angin. Hi........, yangan2
ia itu benar2 seorang siluman, tapi masakan pada tengah hari bolong ada setan muncul
? Ah, tentunya seorang tokoh lihay dari dunia persilatan, pikir Tio Jiang sembari robah
setengah bagian yang terbelakang dari permainan pedang itu menyadi jurus menyerang.
Begitu pedang menurun, dia lalu menusuk kearah siwanita.
Sejak mendapat pelajaran lwekang „Cap ji si heng kang sim ciat" dari Sik Lo-sam dipulau
kosong tempo hari, kepandaian Tio Jiang bertambah pesat majunya. Apalagi selama 3
bulan sesudah itu, sering dia bertempur dengan musuh yang tangguh, jadi latihannya
ilmu pedang to-haykiam-hwat, mendekati kesempurnaan. Perobahan gerak dari bertahan
menyadi menyerang itu, teramat cepat dan tangkas sekali. Jakin dia, taruh kata lawan
bisa xnenghindar tapi ilmu permainannya pedang itu memiliki perobahan yang sukar
diduga, bagairriana.pun juga wanita aneh itu tentu sukar 'bertahan.
Tapi segera dugaannya itu kecele. Dia memang gesit, tapi siwanita aneh lebih tangkas
lagi. Begitu pedang membabat, siwanita sudah condongkan tubuhnya kemuka dalam
kedudukan yang bagus sekali. Memang setiap jurus permainan silat dengan senyata itu,
tentu masih ada lubang kekurangannya, Hanya, saja dalam ilmu permainan yang lihay,
lubang kekurangan itu sedikit sekali. Atau kalau ada, tentu tak mudah orang
mengetahuinya. Malah terhadap ilmu silat atau senyata yang sakti, biarpun tahu ada
lubang kekurangan itu, namun orang takberani gegabah menyerangnya.
Dalam jurus „Ceng Wi mengisi laut" yang dimainkan Tio Jiang itu, lubang kelemahannya
adalah pada bagian pundak kiri. Tapi manakah orang yang berani menyerang bagian itu
? Karena dikala tangan kanan memainkan pedang, tangan kiripun ber-gerak2 dalam
jurus permainan untuk mengimbangi gerakan pedang. Apabila pundaknya kiri diserang,
terang orang bakal dibabat oleh pedang ditangan kanan itu. Taruh kata hantaman
pundak kiri itu dari sebelah atas, pinggang orang pasti termakan oleh tutukan Tio Jiang.
Namun kenyataannya, wanita aneh itu sudah gerakan tangannya untuk menebas
pundak kiri Tio Jiang. Tio Jiang buru2 mundur sembari menarik pedangnya. Adalah
karena kemajuan yang
didapatnya dalam waktu2 terachir ini, maka, dia sudah dapat menghindar tabasan
siwanita aneh yang luar biasa cepatnya itu. Tapi celaka, walaupun tabasan tak mengenai,
namun samberan anginnya yang menyambar disisinya itu, telah membuat Tio Jiang
cukup meringis kesakitan. Hal mana sangat membuat terperanyat Tio Jiang. Terang
siwanita aneh itu hanya menyerang dengan seenaknya saja, tampaknya tak memakai
tenaga sama sekali, tapi mengapa samberan anginnya sedemikian dahsjat? Oi,
hebat.......... kalau tadi sampai kena ditabas, bukantah tulang pundaknya akan remuk
luluh? Dia tak kenal dan tak bermusuhan dengan si-wanita itu, mengapa seganas itu ia
menurunkan tangan jahat kepadanya ?
Dalam penghindarannya tadi, Tio Jiang mundur kesamping sampai dua tindak. Tapi
bagaikan bayangan saja, siwanita aneh itu tetap mengintilnya. Dalam jarak yang
sedemikian dekatnya itu, lebih nyata pula bagaimana, hebat mengerikan orang sorot
sepasang mata dari siwanita aneh itu. Tapi heran, me-ngapa bentuk dan gaja kicupan.
mata itu menyerupai mata Bek Lian ? Demikian dalam saat2 yang berbahaya itu tiba2
Tio Jiang teringat pada sang-suci.

(Bersambung Ke Bagian 13)


BAGIAN 13
MASUK SARANG MACAN
BAGIAN 13.1

Karena mengenang sang suci itu, Tio Jiang tertegun. Tahu2 kelima, jari siwanita yang
bagaikan kait besi itu menerkam dadanya. Baru kini Tio Jiang gelagapan. Hendak
menyingkir, terang tak keburu. Maka cepat dia hendak kerahkan lwekang untuk
melindungi dada supaja yangan terluka. Tapi pada saat2 yang berbahaya itu, untung Nyo
Kong-lim keburu bertindak memberi pertolongan. Tanpa menghiraukan peraturan apa2
lagi, dia menyapu dengan sam-ciat-kun.
Nyo Kong-lim suka akan pemuda yang jujur itu, maka tak segan dia memberi pertolongan
seperlunya. Selagi cengkeram siwanita hendak mencapai sasarannya sapuan sam-ciat-
kun menyambar datang. Siwanita perdengarkan sebuah ketawa seram. Batal menerkam,
ia gunakan tangannya kiri untuk menampar. Benar Tio Jiang lolos dari bahaja besar, tapi
tak urung dadanya terasa sesak, sehingga dia , harus mundur sampai beberapa langkah.
Karena perahu itu tak berapa besar, hampir saja dia kecebur kelaut.
Siwanita melihati Tio Jiang dengan tertawa dingin, sembari sedikit loncat kesamping,
hingga hantaman Nyo Kong-lim tadi menemui tempat kosong. Kong-lim hendak tarik
pulang sam-ciat-kun tapi karena tadi dihantamkan dengan keras, jadi agak ajal sedikit.
Dan lubang kesempatan sedikit itu, telah digunakan secara mengagumkan sekali oleh
siwanita, yang secara tiba2 dan cepat luar biasa apungkan diri menginyak ujung sam-
ciat-kun yang diatas. Nyo Kong-lim diam2 memaki wanita yang dianggapnya gila itu, dia
balikkan tangannya hendak membetot, tapi dengan berjumpalitan wanita itu sudah
menginyak kegeladak, krek..... , krek...... , sam-ciat-kun itu terinyak melesek masuk
kedalam papan geladak.
Kalau sekalian orang berseru kaget, adalah Nyo Kong-lim yang ber-kaok2 seperti orang
kalap. Dengan undang seluruh kekuatannya, dia sentakkan sam-ciat-kun keatas. Nyo
Kong-lim dikaruniai tenaga kekuatan besar. Tatkala. berumur 8 tahun, dia sudah dapat
mengangkat lumpang batu seberat ber-puluh2 kati, untuk dinaik turunkan. Apalagi kini
setelah dewasa dan belajar silat. Sekalipun sam-ciat-kun itu ditindih oleh batu besar
ribuan kati, tentu dapat juga dia, menariknya. Apalagi hanya diinyak oleh seorang wanita
kurus.
Ak..... , ak...... , ak...... , 3 kali sudah mulut Nyo Kong-lim menggeram dan 3 kali pula dia
kerahkan tenaganya menarik. Tapi wanita aneh itu tetap tegak seperti gunung,
sedikitpun tak bergeming. Malah bukan begitu saja. Melalui sam-ciat-kun. yang
dicekalnya itu, rasanya ada semacam tenaga yang menyerang ketangannya hingga
tangannya serasa sakit kesemutan, dan achirnya lengannya berasa lemas sekali. Celaka
aku, keluhnya. Terang wanita aneh itu sudah salurkan lwekang untuk menyerangnya.
Tapi entah macam lwekang apa yang sedemikian lihaynya itu. Tahu gelagat jelek, buru2
Nyo Kong-lim lepaskan sam-ciat-kun, kemudian loncat mundur. Jakin dia, kalau
berkeras adu tenaga, terang dia bakal menderita.

GAMBAR 36
Se-konyong2 bagian toja Nyo Kong-lim kena diinyak wanita
aneh yang rambutnya hampir menutupi seluruh wajahnya.
Kejadian itu telah membuat sekalian orang menyadi pucat terperanyat. Kalau orang
macam Nyo Kong-lim dengan mudah dapat ditindas, habis siapa lagi yang berani
menandingi? Sesudah mundur itu, Nyo Kong-lim tak henti2nya obat-abitkan lengannya
kanan. Pikirnya karena tadi keliwat banyak menggunakan tenaga, maka lengannya
menyadi lemah lunglai.
,,Huh, kalau tak mengingat karena kau hendak menolong seorang sahabat, tentu takkan
kuampuni perbuatanmu menyerang secara gelap itu!" seru siwanita aneh sembari ketawa
mengejek. Napas Nyo Kong-lim ter-engah2, tak dapat dia menyahut. Tiba2 Thay-san sin-
tho yang sejak tadi menyelip diantara awak kapal, kini tampil kemuka, ujarnya: ,,Cunkeh
tak kenal kami, entah apa maksud kedatangan cunkeh kemari ini?"
Jelek rupanya, bongkok punggungnya, tapi Ih Liok itu cukup cerdas pikirannya.
Ucapannya itu tak dapat dianggap menyalahi orang, tapi mengandung maksud
mendamprat orang yang dikatakan cari perkara. Mendengar itu sepasang mata siwanita
yang memancarkan sorot ke-hijau2an itu memandang kearah si Bongkok. Si Bongkok
seorang yang bernyali besar, tinggi pula ilmu kepandaiannya. Benar tampaknya dia
tenang2 saja, tapi diam2 hatinyapun bercekat dan bersiaga.
,,Benar, dengan orang2 diperahu aku tak kenal mengenal. Tapi ada seorang yang
mempunyai hubungan rapat dengan orang yang paling kubenci. Bangsa manusia begitu
kalau tak dibasmi tentu menimbulkan bahaja bagi dunia!" kata siwanita dengan nada.
yang dingin,
,,Siapakah dianya?" tanya si Bongkok.
,,Dia!" sahut siwanita sembari menuding pada Tio Jiang.
Karuan Tio Jiang menyadi terperanyat disamping heran, Dia seorang anak jatim piatu
tiada sanak kadang lagi, mengapa dikatakan mempunyai hubungan rapat dengan
seseorang. ,,Cianpwe, yangan salah faham!" serunya serentak. Tapi sembari
perdengarkan suara ketawa yang seram, siwanita sudah segera meneryangnya. Apa boleh
buat, untuk menyaga, diri, Tio Jiang sambut kedatangan wanita itu dengan serangan to-
hay-kiam-hwat.
Sedang Nyo Kong-limpun sudah berhasil membetot keluar sam-ciat-kun dari lantai
geladak, terus dihantamkan pada siwanita. Meskipun diserang dari muka dan belakang,
siwanita aneh itu bagaikan sesosok bayangan berlincahan diantara sabetan pedang dan
hantaman sam-ciat-kun. Gerak tubuh siwanita itu tak mengeluarkan suara apa2, tapi
baik Tio Jiang maupun Nyo Kong-lim merasa dikelilingi oleh samberan angin yang keras.
Malah seorang tokoh persilatan macam si Bongkok yang faham akan aliran cabang
persilatan didaerah utara maupun diselatan, tak mampu mengenali aliran cabang dari
siwanita aneh itu.
Dalam beberapa jurus saja, Tio, Jiang dan Nyo Kong-lim sudah keripuhan. Mereka kini
hanya difihak membela diri, tak dapat balas menyerang. Sampai pada saat itu, apa boleh
buat si Bongkok hendak turun tangan. Tapi belum lagi dia bergerak, atau se-konyong2
kedengaran orang berseru: ,Ceng Bo siangjin!"
Memang pada saat itu tampak Ceng Bo siangjin dan Su Khin-ting muncul dipermukaan
air. Dan salah seorang awak perahu telah menereakinya. Juga si Bongkok melihat hal
itu, pikirnya kalau siangjin itu sudah datang, tak perlu jerikan siwanita itu lagi.
,Ceng....... " baru dia hendak turut meneriaki, Ceng Bo sudah selulup lagi untuk
menolong Su Khin-ting. Sudah tentu siangjin itu tak mendengar teriakannya, dan si
Bongkokpun tak berdaja apa2.
Tapi anehnya begitu mendengar nama Ceng Bo diteriakkan, wanita aneh itu
mendorongkan kedua tangannya hingga Tio Jiang dan Nyo Kong-lim mundur kebelakang.
Kemudian dengan gerak ,,han te pat jong", wanita tersebut apungkan diri kedekat
rombongan awak perahu seraja berseru dengan nyaring: ,,Siapa yang meneriakkan Ceng
Bo siangjin tadi ?
Bagi orang yang kepandaiannya masih dangkal, nyalinya sudah copot mendengar suara
siwanita, yang mengandung getaran lwekang itu. Yang menereaki Ceng Bo siangjin tadi,
kiranya adalah salah seorang thaubak (kepala liaulo) Hoasan. Diapun seorang yang keras
wataknya. ,,Akulah!" sahutnya sembari tampil kemuka.
Siwanita aneh perdengarkan ketawa seram, wajahnya berobah, menyeramkan orang. la
singkap rambutnya yang terurai menutupi muka, dengan tajam menatap Go Tiong,
thaubak itu. Tapi Go Tiong yang tak kenal kelihayan orang, tetap tegak disitu. Semua,
orang, kagum atas keberanian dan kejujuran Go Tiong, maka mereka serentak maju
mendampinginya guna. memberi pertolongan apabila sampai thaubak itu diserang.
Betapapun lihaynya siwanita, namun kalau dikerojok orang banyak, tentu akan
kewalahan juga. Wanita itu maju selangkah, hal mana makin membuat darah orang2
tersirap. Tapi ternyata ia tak menyerang, melainkan bertanya: ,,Mengapa tadi kau
meneriaki Ceng Bo siangjin?”
,,Oleh karena Ceng Bo siangjin tadi muncul dipermukaan air,!" sahut Go Tiong.
,,Apa katamu?" tanya siwanita itu dengan setengah tak percaja. Kini tahulah si-Bongkok
bahwa siwanita itu mempunyai hubungan dengan Ceng Bo siangjin, mungkin suatu
dendam kesumat yang hebat. Maka diapun segera memberi penyelasan: ,,Memang Ceng
Bo siangjin turun naik dalam perahu ini. Oleh karena hendak melakukan penyelidikan
didasar laut Hay-sim-kau, dia selulup kesana. Tapi dia sudah muncul dipermukaan air,
tapi entah bagaimana, kembali silam lagi.”
,,Hm, mengapa dia berani menyumpai aku ?" siwanita perdengarkan ketawa-nya yang
sinis.
Heran si Bongkok dibuatnya, tapi dia tak berani menegas. Siwanita tampak merenung.
Tiba2 dengan gerak ,,ji hi ta ting" ikan lehi meletik, ia loncat kedalam laut. Adalah pada
saat ia masuk kedalam laut, Ceng Bo siangjin telah diseret oleh sigurita kedasar laut,
maka keduanyapun tak dapat bertemu. Mungkin karena mempunyai perasaan lain,
siwanita itu tak kembali keatas perahu dan terus menuju kedalam gua karang didasar
laut Hay-sim-kau.
Oleh karena sampai sekian lama Ceng Bo tak kunyung datang, achirnya Nyo Kong-lim
perentahkan berlajar. Dia kuatir karena waktunya mendesak kalau tak cepat2 kembali
ke Hoasan mungkin nanti The Go dan Tan It-ho mengadu biru dimarkas itu, dan ini
membahajakan kedudukan ke 72 Cecu Hoasan.
Tiba dipantai utara, benar juga hari sudah malam. Begitulah langsung mereka menuju
ke Hoasan. Sewaktu dilihat disekeliling kaki gunung Hoasan tampak banyak kubu2
tentara, Ko Kui (cecu markas ke 1) menyadi heran, dia segera minta idin pada Nyo Kong-
lim, untuk mendahului pergi kemarkas dengan mengambil jalan singkat.
Ketika dia tiba dimarkas, tepat kala itu wakilnya (Liang Pheng) tengah hendak memberi
perintah menarik mundur anak buah kemarkas no. 2. Kemudian bertempur dengan The
Go, achirnya wakil Cecu itu telah menemui ajalnya secara mengenaskan. Demikian si
Bongkok mengachiri kissah penuturannya. Entah bagaimana perasaan Ceng Bo siangjin
setelah habis mendengar itu, tapi sebagai seorang yang kuat perasaannya, dia tetap
berusaha menahannya. Andaikata dia seorang diri, tentulah akan sudah mengucurkan
air mata karena terharu melihat nasib sang isteri yang sangat dikasihinya itu.
Hari sudah menyelang pukul 3 malam, turut kata The Go, begitu terang tanah tentara
Ceng pasti akan sudall bergerak menyerang. Suasana sudah tentu menyadi tegang.
Hanya sebentar2 terdengar Nyo Kong-lim ber-teriak2 memberi perintah pada anak
buahnya.
,,Terkaan Ih-heng itu memang benar. Wanita itu adalah isteriku yang kasar!" tak lama
kemudian Ceng Bo berkata, kepada si Bongkok, siapa tampaknya tak heran atas
keterangan itu, sahutnya: ,,Kalau benar ia itu Kiang Siang Yan, mengapa ilmu
kepandaiannya tak sama dengan Bek-heng?"
Ceng Bo tuturkan apa yang telah disaksikan digua dasar laut Hay-sim-kau. ,,Dalam 10
tahun ini, dengan tekun ia telah mejakinkan ilmu lwekang sakti thay-im-lian-sing.
Dengan begitu, kini aku bukan tandingannya lagi!" katanya pula.
,,Haja, celaka ni!” seru si Bongkok, ketika lolos dari, pondok, Kiang Siang Yan telah
membawa dendam penasaran sedalam laut. Konon kabarnya, thay-im-lian-sing itu akan
merobah orang menyadi seorang yang ganas ke-liwat2. Kalau lain2 ilmu lwekang akan
menyadi seorang lebih tenang dan sabar, sebaliknya ilmu thay-im-lian-sing itu
kebalikannya! "
,,Benar, karena dengan kebencian dia mejakinkan ilmu itu, maka sudah tentu
dendamnya makin menyusup kedalam tulangnya. Ia tentu akan memakan dagingku,
merobek kulitku. Ah, meskipun kesalahan itu akibat perbuatan manusia terkutuk, tapi
untuk menyelaskan bukanlah mudah. Makanya ia selalu menentang tindakanku, sengaja
menyuruh Lian-ji ikut pada The Go!" kata. Ceng Bo.
Apa katamu itu, Bek-heng?" tanya si Bongkok dengan terperanyat sekali
Apa boleh buat, Ceng Bo tuturkan juga kejadian diperahu dengan Bek Lian dan The Go,
,Habis kemana nona Lian sekarang?" tanya si Bongkok sembari banting2 kaki. Ceng Bo
sendiri kacau balau hatinya. Isteri yang dicintainya, lolos tak ketahuan rimbanya, disusul
dengan puteri biji matanya, menyintai seorang penghianat bangsa. Betapapun juga, imam
itu tetap seorang yang terdiri dari darah dan daging, maka, bagaimana hancurnya sang
hati, tentu dapat dimaklumi.
Kalau si The Go masih disini, kita bisa menanyainya!" katanya sembari menghela napas
panjang.
,,Ah, kalau tahu begitu, kita tentu tak membiarkan dia Iolos, ai.... , ai....!" seru si Bongkok
sembari ber-kuik2 dengan gusar. Karena sudah terlanyur, kedua orang itu tak dapat
bicara apa2. Tiba2 datanglah Nyo Kong-lim menanyakan mengapa Tio Jiang dan Yan-
chiu belum datang. Ceng Bo terperanyat. Memang kedua anak muridnya itu cukup lama
perginya. Si Bongkok tawarkan diri untuk menyusul. Tapi belum setengah jam dia turun
gunung, dengan cepat sudah balik melapor: ,,Aneh, mengapa, siaoko dan nona Liau tak
kelihatan jejaknya? Tentara Ceng masih menggeros, semua, jadi terang keterangan The
Go itu bohong. Tapi yang memgherankan mengapa tak dapat kuketemukan letak markas
besar panglima mereka. Juga tempat persembunyian meriam2 mereka, itu entah
dimana!"
Ceng Bo makin resah, ujarnya: ,Li Seng Tong benar seorang panglima perang yang
pandai, tapi menghadapi orang2 persilatan dia tentu tak dapat berbuat banyak. Turut
pendapatku, tentu disana bersembunyi seorang juru pemikir yang lihay."
,,Ah, tentunya si Cian-bin Long-kun The Go lah!" sahut si Bongkok serentak. Ceng Bo
anggukkan kepalanya, ujarnya: ,,Memang dia cukup hebat. Walaupun ustanya masih
muda, tapi sudah begitu pandai, Sayang dia terjun kejaIan yang sesat"
Dalam hati, si Bongkok sendiri juga mengagumi kecerdikan The Go. Dalam riwajat
perkelanaannya didunia persilatan, belum pernah diingusi macam yang terjadi dengan
diri The Go tadi. Begitulah persiapan dalam markas kesatu itu, terus diatur dengan tak
henti2nya. Sekarang marilah kita tengok keadaan Tio Jiang dan Yan-chiu.
Begitu keluar dari pintu gerbang markas, dilihatnya udara mendung sekali. Takut kalau
saling berpencar, keduanya l alu bergandengan tangan. Selama dalam perjalanan turun
gunung itu tak putus2nya Yan-chiu menuturkan pengalamannya selama berpisah itu.
Dengan genit dan lucunya, ia ceritakan bagaimana rasanya menyadi raja gunung selama
dua bulan. Bermula dibiarkan saja sumoay itu bercerita sembari bergelak tawa, tapi
setelah hampir dekat kemarkas musuh, dia lalu melarangnya. Tapi Yan-chiu sudah salah
mengerti, dikiranya sang suko jemu mendengar ceritanya, maka dengan ketus ia berseru:
ja sudah...., tak boleh bicara ja sudah......!"
Tahu akan perangai sang sumoay, Tio Jiang hanya ganda tertawa saja. Dengan begitu
habislah perselisihan kecil itu.

(Bersambung Ke Bagian 13.2)


BAGIAN 13
MASUK SARANG MACAN

BAGIAN 13.2

Begitu mendekati kubu musuh, Yan-chiu sembari berjinyit kaki, membisiki kedekat
telinga sang suko: ,,Suko, aku hendak tanya padamu sebuah lagi, boleh tidak?"
Tio Jiang sidejaka bodoh, kuatir kalau membuat sang sumoay marah lagi, terpaksa
mengiakan. ,,Suko, mana peniti kupu2 yang Lian suci berikan padamu tempo hari?"
katanya sembari ketawa cekikikan.
Tio Jiang seperti disengat kalajengking saking kagetnya. Tukar menukar tanda pengikat
kawin itu dilakukan hanya berdua orang saja, mengapa Yan-chiu dapat mengetahui? Tapi
dasarnya bodoh, dia hanya mengira kalau Yan-chiu tentu mengintip, maka rahasia itu
sampal bocor. Dengan suara ter-putus2 gemetar, dia sagera menyahut: ,,Masih padaku.
Sumoay ......... se-kali2 yangan bilang pada Suhu, agar dia orang tua tidak marah !"
Sudah tentu Yan-chiu geli, jawabnya tar-Sipu2: ,,Ja...., ja...., ja......, aku tak akan bilang!"
Dalam pikiran sinona yang nakal itu hanya terlintas suatu rencana memperolokkan suko
dan sucinya. Apabila kedua orang itu berjumpa satu sama lain hendak ia pertunyukkan
barang panyer masing2 dan mengocok keduanya sampai puas betul. Hanya begitulah
maksudnya, jadi bersifat hati kanak2. Sedikitpun ia tak sadar bahwa hal itu telah
menyiksa Tio Jiang setengah mati, dan achirnya putus asa. Tapi biarlah yangan kita
ungkap dahulu kejadian yang belum datang itu.
Karena ceriwis dan cekikikan, Tio Jiang mengira kalau sang sumoay menggodanya soal
perjodohan itu, maka diapun tak marah. Demikianlah kini keduanya sudah hampir
mendekati kubu2 musuh. Sebagai seorang anak perempuan, Yan-chiu lebih teliti.
Dilihatnya diatas tanah hutan situ banyak sekali terdapat bekas tapak kuda den roda2
kereta. Yan-chiu me-raba2 tengkuk leher Tio Jiang, hingga saking kagetnya Tio Jiang
sampai lompat berjingkrak. Ketika diketahuinya bahwa itulah sang sumoay yang sengaja
hendak mempermainkan, Tio Jiang mendongkol sekali. Tapi hendak mendamprat, dia tak
berani kuatir menerbitkan suara yang dapat didengar oleh serdadu2 Ceng. Maka
apaboleh buat dia hanya deliki mata saja kepada gadis nakal itu. Tahu, sang suko marah
tapi tak dapat berbuat apa2, Yan-chiu makin gembira Tio Jiang mendelik, ia balas unyuk
muka-setan sembari me-lelet2-kan lidah. Tio Jiang meringis betul2. Puas menggoda, baru
Yan-chiu berbisik kedekat telinga sukonya, suruh dia melihat apa yang terlihat ditanah
situ. Saking girangnya, Tio Jiang sampai berjingkrak2: ,,Sumoay, bukankah itu bekas
roda2 meriam ?"
,,80 persen, ja!" sahut Yan-chiu.
"Suhu suruh aku menebus dosa dengan jasa. Kalau aku dapat merusakkan ke 10 pucuk
meriam itu, tentu akan berjasa besar," kata Tio Jiang dengan girang. Yan-chiu
menanyakan dengan heran. Tapi Tio Jiang membantah, masa ditempat macam begitu dia
disuruh menceritakan.
,,Kalau tak mau memberi tahu, aku tak mau menemani mu suko!" Yan-chiu unyuk
gertakannya. Tahu akan tabiat sang sumoay, terpaksa Tio Jiang bercerita. Berulang kah
Yan-chiu leletkan lidah saking kagum, dan ketika mengetahui sang suko telah
mempelajari sekian banyak ilmu silat yang luar biasa, Yan-chiu segera minta diajari.
Untuk yangan melenyapkan kegembiraan sinona, Tio Jiang menyanggupi: ,,Baik, tapi
mari lebih dahulu kita cari tempat meriam2 jtu! "
Keduanya segera berjalan menurut bekas roda itu. Tak berapa jauh, bekas2 roda itu
tampak saling bersilang. Kini makin teguhlah dugaan mereka akan tempat
persembunyian meriam2 itu. Setelah berunding, keduanya memutuskan untuk tetap
bersama2 mencarinya, tak usah berpencar. Benar juga tak berapa jauh, mereka tampak
ada dua orang serdadu mondar-mandir didepan sebuah kubu. Bekas roda, itu menyurus
kesana. Dilihat bentuknya, kuuu itu menyerupai tempat tinggal orang.
Setelah saling memberi isjarat mata, keduanya segera menyelinap pe-lahan2. Yan-chiu
berhasil mendekati dibelakang, salah seorang serdadu, siapa ternyata tak
mengetahuinya. Sekali menarik kuncir orang, serdadu itu segera terjengkang jatuh
kebelakang. Begitu mulutnya hendak berteriak, buru2 Yan-chiu menutuk jalan darah
thian-tho-hiat ditenggorokan, hingga tamatlah riwajatnya. Sedang yang seorang lagi pun
kena ditutuk pingsan oleh Tio Jiang. Dengan tak menerbitkan barang suatu suara,
keduanya ber-jengket2 menghamperi kubu. Tapi begitu Yan-chiu susupkan kepalanya
kedalam tenda kubu, segera ia-lekas2 tarik keluar seraja memaki sukonya: ,,Suko,
mengapa kau begitu kurang ajar, suruh aku tonton pemandangan macam. begitu?!"
Tio Jiang segera susupkan kepala dan diapun menyadi menyeringai juga. Kiranya
didalam kubu situ bukannya meriam yang ada, tapi 7 atau 8 orang serdadu Ceng sama
terlentang tidur. Serdadu2 itu berasal dari daerah utara yang dingin. Meskipun didaerah
selatan itu waktu dalam bulan 11, dan 12, tapi mereka tak merasa kedinginan. Dan
memang sudah menyadi adat kebiasaan orang utara, kalau tidur tentu lepas pakaian.
Sudah tentu pemandangan itu sangat ,,mengerikan" Yan-chiu. Tapi sebagai anak laki,
sudah tentu Tio Jiang tak menyadi jengah. Dia heran mengapa bekas tapak roda tadi
terang masuk kedalam kubu situ, tapi mengapa kawanan serdadu yang ada? Diawasinya
lagi dengan perdata dan achirnya tampak juga diujung sana ada sebuah benda warna
hitam, berbentuk bulat, menggeletak ditanah. Karena tak mengetahui benda apa itu,
buru2 dia memberi isjarat agar Yan-chiu datang kesitu. Sudah tentu Yanchiu tak mau,
kapok ia. Apa boleh buat, Tio Jiang terpaksa menghampiri sang sumoay, ujarnya:
,Sumoay, mengapa pada saat2 yang penting, kau mundur teratur?"
,,Suko, kalau kau menghina, tentu kubilangkan pada suhu!" sahut Yan-chiu dengan
uring2an.
,,Diujung kubu itu ada sebuah benda yang hitam gelap warnanya. Kupikir hendak
menobros masuk untuk memeriksanya, harap kau berjaga diluar, sumoay," kata Tio
Jiang.

GAMBAR 37
Dengan batang kaju itu, Tio Jiang menyusup kedalam kemah musuh, ia gunakan
ilmu menutup yang di pelajarinya dari Sih Lo-sam, dengan gerak cepat, sekejap
saja ia telah tutuk jalan darah lumpuh tujuh perajurit penyaga.

Setelah sumoaynya setuju, bermula Tio Jiang hendak gunakan pedangnya tapi tak jadi.
Dia memotes sebatang ranting puhun, lalu menyusuk kedalam tenda. Menurutkan ajaran
Sik Lo-sam, dalam sekejab saja dia sudah dapat menutuk jalan darah ke-8 serdadu itu.
Setelah itu dia menghampiri kesudut tenda. Ah......., makanya tak dapat kawan2nya yang
dahulu mencari tempat persembunyian meriam, karena senyata itu disembunyikan
didalam tanah. Permukaan lubang itu, ditutup dengan sebuah papan. Waktu papan itu
diangkat, terdapatlah sebuah lubang gua dibawah tanah dengan diterangi oleh beberapa
batang lilin. Disitu terdapat dua orang serdadu tengah duduk mengantuk. Tio Jiang
berkerja sebat. Meriam digulingkan, isinya dibuang, sementara sipenyagapun ditutuk
pingsan. Setelah merusakkann beberapa barang dalam kubu tersebut, Tio Jiang lalu
menyusup keluar lagi. Tapi disitu Yan-chiu tak nampak bayanganya. Berulang kali Tio
Jiang memanggilnya tapi senantiasa tak berbalas.
Tio Jiang makin gelisah. Taruh kata dia berhasil merusakkan ke 10 pucuk meriam
musuh, namun kalau Yan-chiu sampai ada apa2, artinya dia itu tetap berdosa. Apa boleh
buat dia terpaksa menyelidiki berpuluh kubu yang berada disitu. Padaa sebuah kubu,
didapatinya ada seorang serdadu Ceng rubuh binasa. Hal mana membuat Tio Jiang
girang, karena dia dapat mengetahui jejak lari sang sumoay. Dengan menurutkan arah
pengunyukan itu, achirnya berhasillah dia keluar dari barisan kubu2 musuh, tapi sampai
berapa kali dia berseru keras, tetap tiada berbalas.
Ketika itu Tio Jiang mendongkol dan gelisah. Mendongkol karena mengira sumoaynya
lagi2 hendak main ugal2an. Gelisah karena memikiri penemuannya tadi. Meriam sudah
diketahui, tapi kalau tak lekas2 dihancurkan, nanti terang tanah tentu akan digunakan
menyerang Hoa-san. Maka Tio Jiang mondar mandir saja disekitar kaki gunung situ,
belum dapat mengambil keputusan. Adalah pada saat itu, si Bongkok sebenarnya juga
sudah datang untuk mencari dia dan Yan-chiu, tapi karena kebetulan Tio Jiang baru
mengitari bagian sana, jadi tak dapat dilihat si Bongkok.
Tio Jiang, Tio Jiang! Mengapa dikau begitu tolol? Biar tak menyumpai jejak Yan-chiu, tapi
seharusnya kau lekas2 menghancurkan senyata2 maut itu dulu. Apakah kau tak
mengerti bahwa keajalanmu itu berarti maut bagi sekian banyak orang2 gagah yang
berada digunung Hoasan?" tiba2 dia bertanya seorang diri. Memikir sampai disitu, peluh
membasahi sekujur tubuhnya. Buru2 dia kembali kedaerah perkubuan musuh lagi.
Menyusur bekas roda2 meriam, dia memasuki kubu demi kubu. Untungnya para serdadu
yang bertugas dalam setiap kubu itu sama menggeros seperti babi, jadi mudahlah dia
hancurkan meriam2 itu satu per satu. Dan dalam waktu tak berapa lama saja,
berhasillah dia menghancurkan 9 pucuk meriam. Meriam ke 10, atau meriam yang
penghabisan setelah agak lama dicarinya barulah dapat diketemukan tempat
persembunyiannya.
Segera ia menyusup kedalam kubu itu, ia dapatkan suasana didalam situ agak lain. Baru
dia merandek sejenak, atau tiba2 dia rasa ada serangkum angin menyambar dari muka.
Karena tak keburu berkelit, maka Tio Jiang cukup gunakan jurus ,,hong cu may ciu"
melejit kesamping. Dengan ujung ranting puhun tadi, dia segera tutuk jalan darah orang
dibagian betis pada jalan darah wi-tiong-hiat. Orang itu bergelundungan ditanah untuk
menghindar, kemudian berseru melengking: ,,The toako, akulah! Ini benar2 'istana raja
laut kebanyiran air' (artinya orang sendiri hantam orang sendiri) !"
Tio Jiang rasanya faham akan suara itu. Ah, benar dialah! Itulah Chi Sim, salah seorang
dari persaudaraan Chi. Sewaktu pertempuran luitay di gunung Gwat-siu-san tempo hari,
hanya dia seorang yang tak mendapat luka. Tentu kini dia mengikut The Go. Tapi
mengapa orang she Chi itu mengira kalau dia itu si The Go? Oho, mungkin orang
mengambil kesimpulan begitu itu karena, tampak dia (Tio Jiang) tadi gunakan jurus
hong-cu-may-cu, itu ilmu silat warisan Ang Hwat cinyin yang diturunkan pada The Go.
Ah, biar bagaimana meriam yang no. 10 itu harus dihancurkan agar tak menerbitkan
bahaja bagi Hoa-san.
Memang penyaga dalam buku itu adalah si Chi Sim, siapa tak mengira kalau yang hendak
masuk kedalam kubu situ adalah The Go. Malah ketika si The Go palsu diam saja, Chi
Sim mengira kalau orang menyadi kurang senang. ,,The toako, seranganmu tadi laksana
kilat cepatnya. Kalau aku tidak lekas2 menyingkir, tentu habislah riwajatku!" kata 'Thji
Sim sembari ketawa ingin mengambil hati orang.
Tio Jiang geli tapi tak mau menyahut. Belum lagi dia mengambil putusan, diam saja atau
menyahut, sudah kedengaran lagi si Chi Sim mengoceh: ,,Tadi aku telah menyambangi
nona Bek. Semalam ia tak tidur karena kau tak pulang. Kemana saja pergimu tadi malam
itu toako ?"
Kaget Tio Jiang sukar dilukiskan. Apakah betul2 Beh Lian tak mau pada dirinya dan mati
hidup hendak ikut pada The Go? Kalau tidak, mengapa suci itu tetap mengintil orang
kemana The Go pergi? Gusar dan pedih, Tio Jiang cepat melesat maju untuk menampar"
muka Chi Sim, plak.............
Karena sedang berusaha untuk mengambil hati ,,The Go", maka Chi Sim sudah tak ber-
jaga2 akan datangnya serangan yang begitu mendadak itu. Saking keras tamparan si Tio
Jiang, maka gigi Chi Sim telah copot sampai dua biji. Dia ber-kuik2 kesakitan, serunya
ter-putus2: ,,The toako, mengapa kau .............”
Belum kata2 itu diselesaikan, tiba2 jalan darah dibelakang batok kepalanya dipijat
keras2 oleh orang (Tio Jiang). Chi Sim coba meronta dari cengkeramm itu, tapi bukan
saja tak dapat lolos malah dirasakan ada semacam tenaga yang panas, menyalur pada
kepalanya. ,,The toako, yangan bersenda-gurau" serunya.
Mana Tio Jiang mau meladeni, dengan bengis dia menggertak: ,,Siapa yang sudi jadi The
toako-mu? Dimana nona Bek, lekas bilang!"
,,Siapa .......kau .......kau ini?" tanya Chi Sim dengan ketakutan. Tio Jiang makin perkeras
tekanannya dan paksa orang menunyukkan tempat persembunyian Bek Lian. Apa boleh
buat Chi Sim terpaksa menurut, tapi lebih dahulu dia minta orang kendorkan
cengkeramannya. Tapi Tio Jiang sudah ketelanyur gusar melihat orang berajal,
dampratnya: ,,Sampai ditempatnya, tentu kukendorkan. Kalau berani main gila, tentu
kukirim kau keacherat !"
Begitulah dengan serta merta Chi Sim bawa Tio Jiang ber-biluk2 " diantara kubu2,
sehingga sampai membingungkan Tio Jiang. Yang diketahuinya, kubu2 itu diatur dengan
rapi sekali, mirip dengan formasi sebuah barisan. Maka tak heranlah kalau orang tak
dapat mengetahui tempat markas panglima. Untung tadi Yan-chiu dapat melihat bekas
tapak roda, hingga dapat mengetahui tempat persembunyian meriam2. itu. Jadi kalau
menurut cengli (nalar) Yan-chiulah .yang harus diberi ganyaran jasa. Ini telah menyadi
keputusan Tio Jiang juga, apabila kelak berhadapan dengan suhunya. Memikirkan hal
itu, tiba2 dia teringat bahwa masih ada sepucuk meriam yang belum dihancurkan.
,,Kembali" bentaknya dengan suara tertahan.
,,Kemana?" tanya Chi Sim dengan heran. Tio Jiang menyuruh kembali ketempat tadi.
Terpaksa, Chi Sim menurut. Begitu sampai dikubu tadi, segera Tio Jiang tutuk jalan
darah pemingsan Chi Sim, kemudian menghancurkan meriam disitu. Selesai tugasnya,
baru dia buka jalan darah si Chi Sim lagi dan suruh dia membawanya ketempat Bek Lian.
Sepanjang jalan, mereka tak berjumpa barang seorang serdadupun juga. Hal mana
membuat Tio Jiang heran. ,,Mengapa tiada seorangpun serdadu penyaga?" tanyanya.
,,Kubu2 disini diatur menurut susunan barisan yang ditentukan Ang Hwat cinyin. Kalau
orang luar sampai masuk kemari, mereka akan ber-putar2 kesana-sini namun tetap,
berada diluar. Bagi tokoh yang tinggi ilmunya, paling2 hanya, dapat mencapai susun
yang ketiga," menerangkan Chi Sim, Tio Jiang terperanyat. Tapi pada lain saat Chi Sim
mengatakan sudah sampai dikubu Bek Lian,
Tio Jiang belum mau kendorkan cengkeramannya. Dia, susupkan kepalanya melongok
kedalam, tapi disitu tiada seorangpun juga. Dengan geramnya Tio Jiang cekik tengkuk
Chi Sim. Cekikan itu dipelajarinya dari Sik Lo-sam, maka keadaan. Chi Simpun persis
seperti ketika dia (Tio Jiang) dicekik Sik Lo-sam di Giok-li-nia tempo hari. Dengan meng-
uak2 kesakitan, Chi Sim diseretnya masuk kedalam kubu. Tio Jiang curiga mengapa
didalamm kubu situ kosong tiada orangnya, kecuali sebuah meja hijau dengan 3 batang
lilin, sebuah tempat tidur dengan selambu sulaman. Sama sekali tak mirip dengan kubu
tentara. Diam2 Tio Jiang berpendapat, mungkin disitulah tempat tinggal Bek Lian. Ketika
memandang kearah tempat tidur, dilihat selimut dan bantal agak berserakan dan tatkala
tangannya meraba keatasnya, masih terasa hangat. Terang orang baru saja habis
menidurinya
,,Orang she Chi, lekas katakan, adakah benar2 nona Bek berada disini ?" tanyanya.
Dicekik tengkuknya itu, Chi Sim ketakutan setengah mati. Buru2 dia pegangi tangan
pencekiknya itu. Bukan hendak melawannya, tapi hendak berjaga2 kalau orang perkeras
cekikannya, dapatlah dia berusaha untuk meringankan kesakitannya. Kini kalau dia,
menerangkan dengan terus terang, tentulah Tio Jiang mau mengampuninya. Maka, tanpa
ragu2 lagi, diapun segera menyahut: ,,Kedatangan nona Bek ke Kwiciu sini adalah
bersama dengan The toako. Sudah dua hari ini The toako pergi belum pulang, sehingga
membuat nona Bek bersedih sampai tak mau makan, karena selalu mngenangkan The
toako"
,,Ngelantur!" bentak Tio Jiang demi mendengar keterangan orang yang menyajat hatinya
itu. Hal itu telah membuat kaget Chi Sim. Coba dia itu orangnya bisa berpikir, tentulah
akah segera mendapat kesan bahwa tentu ada apa2 antara pemuda itu dengan nona Bek,
makanya dia begitu tanya melilit tentang sinona, Dan dengan pengertian itu, dapatlah
dia merangkai kebohongan. Tapi Chi Sim sih orangnya kasar. Dia keliwat takut mati,
maka teruskan lagi keterangannya:
,,Aku omong hal yang sebenarnya. Nona Bek memang rindu pada The toako. Beberapa
kali dia mengunyungi kemarkas congpeng untuk menanyakan diri The toako, mengapa
sampai sekian lama belum pulang serta pergi kemana saja agar ia dapat menyusul. Oleh
karena ke.pergian The toako kali ini bersifat rahasia, jadi Li congpeng tak mau
memberitahukannya. Nona Bek marah dan membuat gaduh dimarkas congpeng!"
Tio Jiang memang kenal akan adat perangai sang suci. Kalau sudah marah sucinya itu
tentu takkan peduli segala apa. Kalau ditilik dari tingkah laku Bek Lian terhadap The Go
ketika dipulau kosong tempo hari, keterangan Chi Sim itu memang tak bohong. ,,Setiap
orang telah mengetahui rencana keji dari The Go dipulau Ban-san-to!" kata Tio Jiang
sambil menghela napas.
Atas penyelaan Tio Jiang itu, Chi Sim berhenti sejenak. Tapi dia. segera lanyutkan
keterangannya lagi: ,,Sedatangnya dari Ban-san-to, The toako kembali majukan sebuah
rencana untu-k menyerang Hoa-san. Kali itu Bek Lian berkata ikut pada The toako.
Melihat ia itu seorang gadis, semula Li congpeng tak memberi idin. Nona Bek minta diadu
dengan dua orang perwira. Achirnya, kedua perwira itu telah dikalahkannya dan barulah
Li congpeng mengidinkan."
Tio Jiang percaja penuh keterangan itu. Makin keras niatnya untuk menemui sang suci.
Hendak dia tanyakan, mengapa malam itu sudah memberikan panyer nikah kemudian
tak menyintai dia (Tio Jiang). Dengan ketetapan itu, segera dia tutuk jalan darah
pemingsan Chi Sim, hingga orang itu rubuh tak berkutik dilantai, melainkan sepasang
matanya saja yang masih bisa mengawasi Tio Jiang.
"Dalam waktu empat, kau akan pulih sendiri!" kata Tio Jiang, terus keluar. Diluar kubu
penuh dengan kabut. Hari sudah menyelang terang tanah. Dia mulai lakukan
penyelidikan, tapi kabut makin tebal sehmgga dalam jarak beberapa meter saja sudah
tak dapat melihat apa2. Tiba2 Tio Jiang teringat bahwa kubu2 itu disusun menurut
ajaran Ang Hwat cinyin yang disebut barisan Ko-cut-tin. Hendak dia balik saja mencari
pada Chi Sim, tapi matanya sudahh kehilangan penglihatan karena tebalnya sang kabut.
Apa boleh buat, Tio Jiang segera mengambil sebuah arah, terus lari kemuka. Hari makin
terang. Oleh karena semalam tak, tidur, maka sekalipun Tio Jiang seorang sehat kuat,
terpaksa merasa letih juga. Pada kala itu, kira2 dia sudah berlari sejauh 30-an li jauhnya.
Tapi anehnya, masih ubek2an berada di-tengah2 barisan kubu situ. Kemana dia lari,
kesitu dia selalu tak menyumpai seorangpun juga.
Lama2 mendongkol juga Tio Jiang. Sekali berbuat, tak mau kepalang tanggung lagi. Dia
menobros kedalam sebuah kubu, pikirnya hendak menyeret seorang serdadu untuk
dipaksanya menyadi pengunyuk jalan. Tapi untuk kekagetannya, begitu masuk begitu
disambut dengan beberapa sen-jata rahasia. Dalam gugupnya, segera dia gunakan jurus
thiat-pian-kio, lengkungkan tubuhnya kebelakang. Ber-puluh2 senyata rahasia men-
desing2 diatas tubuhnya. Diam2 Tio Jiang bersjukur didalam hati. Tapi ketika dia hendak
bangun, tiba2 melayang sebuah hantaman. Oleh karena tubuh Tio Jiang masih
melengkung kebelakang, tambahan pula tak membekal senyata apa2, terpaksa dia buang
dirinya untuk bergelundungan kesamping. Tapi tanpa disengaja, gerakannya itu sesuai
dengan jurus hong-cu-may-ciu atau sigila menyual arak, itu ilmu pusaka dari Ang Hwat
cinyin.

(Bersambung Ke Bagian 14)


BAGIAN 14
LAWAN LAMA

BAGIAN 14.1

Dengan bergelundungan beberapa tindak, kini Tio Jiang sudah berada diluar tenda.
Justeru kabut masih tebal., jadi dia tak dapat melihat apa2. Dengan ter-nnangu2 tak
tahu apa yang harus dikerjakan, dia terkenang akan sang suci yang sudah menyintai The
Go. Hatinya serasa pilu dan pedih. Lewat berapa saat kemudian, diantara kabut yang
sudah agak menipis itu, dilihatnya ada sesosok bayangan berkelebat. Buru2 dia bersiap.
Rupanya orang itupun mengetahui dirinya..... Sekali enyot sang kaki, orang itu segera
meneryang kearah Tio Jiang. Orang itu bertubuh kecil kurus, sedang pakaiannya agak
kebesaran.
Tio Jiang tak hiraukan lagi siapakah dia itu lalu buru2 berkelit kesamping. Karena masih
mempunyai urusan penting, Tio Jiang tak mau lajani orang itu. Begitu menghindar dia
terus lari. Tapi karena pikirannya sedang dilamun kesedihan, dia seperti orang linglung.
Maunya hendak berputar, tapi ternyata malah menuju kearah sipenyerang tadi. Dan
karena sudah begitu, tak mau dia kepalang tanggung terus ulurkan tangannya untuk
menutuk jalan darah keng-tian-hiat dipundak orang.
Orang itupun tak mau unyuk kelemahan. Begitu miringkan tubuh, dia menyambut
sebuah senyata yang bulat datar bentuknya dan ke-hitam2an warnanya, mirip dengan
sebuah ajakan (saringan) bakmi. Senyata, itu diserangkan seperti cara orang hendak
menutup kepala lawan. Agak jauh jaraknya, sudah mengeluarkan samberan angin yang
keras. Tio Jiangpun tak mau berajal, cepat pedang dilolos terus dimainkan dalam jurus
Ho Pek kuan hay" untuk menangkis.
Sewaktu kedua senyata itu saling berbenturan, Tio Jiang rasakan suatu tenagaa yang
luar biasa kuatnya. Buru2 dia kerahkan ilmunya lwekang ,,jjap ji si heng kang sim ciat",
kearah lengan kanan. Begitu tangannya menghantam, plak, bendaa bundar kepunyaan
musuh itu tertindih dibawah tapi Tio Jiang sendiri telah menderita kerugian besar.
Pedang, pemberian sang suhu itu, kutung menyadi dua
Kejut Tio Jiang tak terlukiskan. Buru2 dia menyingkir beberapa langkah. Dan karena
tebalnya kabut, dapatlah dia, menyingkir serangan musuh. Dia masih kurang
pengalaman. Sebenarnya, pedang putus, belum pasti kalau kalah angin. Saling berbentur
senyata, sudah tentu senyata yang terbuat dari bahan baja akan menderitaa kerugian.
Ditempat penghindarannya, Tio Jiang masih dapat mendengar angin pukulan men-
deru2. Tapi karena musuh tak dapat melihatnya, jadi hanya ngawur saja. Tio Jiangpun
tahan napasnya. Berapa saat kemudian, serasa ada lain orang yang muncul kesitu, lalu
bertanya: ,,Apa ada mata2 musuh"
,,Ja, tapi entah lari kemana karena kabut begini tebal. Bagaimana dengan budak she
Lian itu ?" tanya orang yang menyerang Tio Jiang tadi.
,,Budak itu bermulut tajam. Kalau tak dicegah cong-peng, tentu siang2 sudah kukirim
keacherat!" sahut siorang yang baru datang. Mendengar itu, Tio Jiang mengeluh dalam
hati. Ah, jadinya sang sumoay itu sudah kena ditangkap musuh. Tentu karena tak
sabaran menunggunya, sumoay itu segera mengaduk ke-mana2. Sebagai seorang suko,
mana dia peluk tangan tinggal diam saja? Tanpa banyak bimbang lagi, dia terus
melangkah maju. Walaupun kutung, pedang itu masih hampir satu meter panjangnya.
Teringat dia, dahulu Sik Losam juga mengajarnya ilmu pedang pendek, ajaran Tay Siang
Siansu, itu suhu-dari Kiau To. Ternyata pedang pendek tak kurang lihaynya dari pedang
panjang. Selama itu, dia belum berkesempatan untuk mempraktekkan. Kini baiklah
dicobanya.
Dengan ber-jengket2, dia menghampiri maju. Begitu dekat dia segera teryang kedua
lawannya tadi. Ternyata kedua orang itu tak mau menyingkir mundur, sebaliknya segera
gerakan senyatanya yang berbentuk bundar tadi untuk menghadangnya. Baru saat itu
Tio Jiang tersadar. Terang kedua orang itu adalah dua dari ketiga tianglo (paderi tua)
gereja Ci Hun Si dari gunung Kun-san selatan yang dahulu pernah bertempur, diluitay
Gwat-siu-san. Ja, tak salah lagi, paderi itulah yang tempo hari pernah melukai dirinya
dengan pukulan thiat-sat-ciang (pukulan pasir besi). Senyata bundar yang digunakan
masing2 itu, tentulah sebuah permadani atau dampar. Dengan pedang kutung, terang
takkan menandingi senyata mereka. Maka lagi2 Tio Jiang loncat mundur untuk
bersembunyi dalam kabut tebal.
,,Tikus, mengapa bersembunyi !" mereka berseru dengan kerasnya. Dan suara itu makin
mejakinkan Tio Jiang akan benarnya dugaannya tadi. Anak itu lupa atau mungkin tak
sadar, bahwa kini dirinya sudah jauh berlainan dari ketika dia baru turun gunung tempo
hari. Sejak digembeleng oleh Sik Lo-sam, dia telah menyadi seorang achli silat yang
tangguh dan memiliki beraneka ilmu pelajaran silat yang sakti. Tambahan pula sejak Sik
Lo-sam menurunkan pelajaran ilmu lwekang ,,cap ji si heng kang sim ciat" yang sakti itu,
ilmu lwekangnya maju pesat sekali.
Pada saat itu, dia pikir hendak lolos kembali ke Hoa-san dulu, baru nanti lakukan
pembalasan pada To Ceng hweshio (salah seorang dari mereka) yang dahulu melukainya
itu. Tapi pada lain saat, dia tampar mulutnya Sendiri sembari memaki dirinya sendiri:
,,Huh, Tio Jiang, mengapa kau begini tak punya malu? Sumoaymu ditangkap musuh,
entah siksaan apa yang dideritanya, mengapa kau tak berusaha menolong ?”
Karena berpikir begitu, terus Tio Jiang hendak menyerbu maju, Tapi ternyata sudah
kalah dulu. Kala itu kabut sudah menipis, tadi ketika dia menampar mulutnya sendiri,
telah menyebabkan kedua hwesio itu mengetahui tempat persembunyiannya. Jadi
sebelum Tio Jiang bergerak, dia, sudah diteryang.
Dengan pedang yang sudah kutung itu, Tio Jiang tak bisa berdaja. Tapi se-konyong2 dia
teringat akan senyata sarung tangan pemberian Nyoo Kong-lim tempo hari. Sambil
nienyingkir menghindar, dia keluarkan sarung ,,cakar garuda" itu. Kedua hweshio itu,
yang ternyata adalah To Ceng dan To Kong, menyerang dari kanan dan kiri. Yang satu
menghantam keatas, yang lain menyerang kebawah. Tak tahu bagaimana harus mainkan
cakar-garuda itu, terpaksa Tio Jiang gunakan hay-lwe-sip-ciu, salah satu jurus dari ilmu
pedang to-hay-kiam-hwat. Wut...., wut....., wut......, tahu2 3 jari dari sarung cakar-garuda
itu menyantol permadani. Tio Jiang buru2 hendak menariknya, tapi permadani itupun
mengeluarkan suatu tenaga kuat tertarik kebelakang. Buru2 Tio Jiang mundur sampai
3 langkah. Namun ketika, mengawasi dengan seksama, ternyata keadaan lawan lebih
celaka lagi dari dia. Hweshio itu ter-hujung2 hampir jatuh kebelakang.
Kini timbullah nyali Tio Jiang. Dengan andalkan kelincahan dan ketangkasannya, dia
mainkan sepasang sarung tangan cakar-garuda itu. Ja, apapun boleh. Setempo menurut
permainan golok, malah bila perlu menurut permainan ilmu silat tangan kosong. Bebrapa
kali sudah, To Ceng dan To Kong merasa tentu berhasil dalam serangannya, tapi setiap
kali sianak muda selalu dapat terlolos karena gunakan jurus permainan hong-cu-may-
ciu atau sigila menyual arak. Memang gerakan permainan dari ilmu silat yang luar biasa
itu, seringkali diluar dugaan lawan.
Begitulah walaupun dikerubut dua, Tio Jiang main serie. Belasan jurus telah
berlangsung, masih belum ketahuan kalah menangnya. Pada saat itu, timbullah suatu
kesimpulan pada Tio Jiang. Kiranya kedua hweshio yang namanya begitu disegani
sebagai sam-tianglo (tiga tertua) gereja Ci Hun Si, hanya sebegitu sajalah kepandaiannya.
Karena mendapat kesan itu, keberaniannya makin menyala. Dan karena hatinya besar,
permainannyapun makin bersemangat. Kadang2 dia lancarkan serangan berbahaya.
Sebaliknya karena tak dapat menangkan sianak muda, kedua hweshio itupun geram
sekali. Mereka mulai buka serangan ganas. Begitu sang kaki menggelincir, To Kong maju
merapat Tio Jiang menghantam dengan damparnya (permadani). Karena tak mengetahui
siasat orang, Tio Jiang cepat hantam iga sebelah kanan dari To Kong.
To Kong perdengarkan ketawa dingin. Dampar dimiringkan menangkis serangan,
tangannya kiri menghantam dada Tio Jiang. Tangan kanan ataupun kiri dari ketiga
hweshio gereja Ci Hun Si itu terlatih dengan thiat-sat-ciang semua. Jarak keduanya dekat
sekali, apalagi karena tadi menyerang jadi kini dada Tio Jiang tak terlindung. Jadi
hantamannya tadi, terang akan mendapat hasil.
Karena tak keburu berkelit, terpaksa Tio Jiang turunkan tubuhnya kebawah. Pikirnya,
biar kena asal tak dibagian jalan darah yang berbahaia. Selagi memendak turun itu,
dilihatnya To Kong hanya pikirkan menyerang, tapi lengah melakukan penyagaan diri,
jadi bagian kakinya tak terlindung. Kesempatan itu tak di-sia2kan Tio Jiang. Cepat dia
tarik kembali tangannya kanan, lalu secepat kilat diterkamkan pada kaki lawan, dan
berhasillah. Sekali tangan mendorong, maka terlemparlah To Kong keatas. Jadi
hantamannya kedada tadi gagal, sebaliknya dirinya kini terlempar keudara.
Buru2 To Kong gunakan jurus ,,le hi ta ting" ikan le-hi meletik. Tapi Tio Jiangpun
berjumpalitan untuk mengikutinya, terus menghantam. To Kong hendak menangkis
dengan damparnya, tapi karena sudah meluncur turun jadi kedudukannya (posisi)pun
berlainan seperti kalau berada diatas tanah. Ini sudah disadari To Kong siapa se-
konyong2 segera, meronta kesamping. Tapi Tio Jiang tak mau memberi kesempatan lagi.
Sekali cakar-garuda dijulurkan, siku tangan To Kong kena tertutuk, sehingga saking
kesemutan tak bertenaga lagi, tangan To Kong dipaksa melepaskan senyata damparnya.
Tio Jiang memburu kemuka. Sekali tendang, dampar itu terlempar, justeru tepat
mengenai dampar yang hendak digunakan menyerang oleh To Ceng.
GAMBAR 38
Tio Jiang kewalahan dikerojok To Cing dan To Kong, dua diantara tiga Tianglo atau
tetua dari Cu-hun-si. Dalam gugupnya cepat ia keluarkan sarung tangan bercakar
yang diperolehnya dari Nyo Kong-lim, ketika pemiliknya, Kok Kui meninggal,
dengan sarung tangan bercakar ini segera ia balas merangsak.

Dalam kesibukannya, Tio Jiang sudah keluarkan seluruh kebisaannya. Dan hasilnya
ternyata boleh dibanggakan. Tubuh memendak turun dan berjumpalitan ditanah tadi,
adalah diambil dari jurus hong-cu-may-ciu, sedang tendangan kearah dampar tadi,
adalah jurus thiat-bun-tui (tendangan nyamuk), ajaran dari Sik Lo-sam. Kemudian
tutukan pada siku tangan musuh tadi, diambil dari jurus hay-siang-tiauto, salah atau
jurus permainan ilmu pedang to-hay-kiam-hoat.
,, Karena heran atas hasil yang didapatnya, Tio Jiang terlongong2 kesima. To Kong tak
mau sia2kan ketika sebagus itu, lalu hendak balas menyerang. Tio Jiang sudah lantas
menyambutinya dengan gaja mrip orang mabuk dari ilmu silat hong-cu-may-ciu. Karena
lengannya kanan terluka, gerakan To Kong terhambat. Dalam dua jurus saja, betisnya,
kena ditutuk oleh Tio Jiang lagi. Kali ini Tio Jiang gunakan tenaga penuh untuk menutuk,
jadi sekali kena, rubuhlah To Kong. Dan karena geram, Tio Jiang susuli lagi dengan
tebasan kearah jalan darah lo-tong-hiat dipinggan orang. Seketika To Kong roboh knock-
out.

(Bersambung Ke Bagian 14.2)


BAGIAN 14
LAWAN LAMA

BAGIAN 14.2

To Ceng murka dan menyerang dengan kalap. Tio Jiang menyadi sibuk. Kabut sudah
tipis, dan para anak tangsi tentara Ceng ber-bondong2 keluar dengan berisik sekali. Tapi
anehnya, disekeliling tempat pertempuran itu tiada tampak barang seorang serdadupun.
Adakah dia sudah keliru memasuki, kubu markas panglima musuh, maka tiada
sembarang serdadu berani masuk disitu?
Sekalipun demikian, Tio Jiang tetap gelisah. Bentar hari akan terang tanah. Seorang
gagah tetap akan kewalahan kalau dikerojok musuh yang berjumlah besar. Untuk lolos,
lebih dulu dia harus dapat merobohkan To Ceng hweshio. Begitulah dia lalu perhebat
serangannya cakar-garuda, tangan menghantam kaki menendang, namun To Ceng hanya
bertahan saja, tak mau balas menyerang.
Beberapa serangan Tio Jiang telah macet ditangkis dampar. Lama kelamaan jengkel juga,
dia. Dengan menggerung keras, dia enyot tubuhnya sampai satu tombak tingginya.
Kemudian dengan cian-kin-tui (tindihan 1000 kati) dia meluncur turun kearah lawan.
Dengan jurus pedang hay-lwe-sip-ciu, dia menusuk punggung sihweshio. Karena tak
keburu berjaga, To Ceng kibaskan tangan kirinya kebelakang untuk menangkis. Tapi dia
sudah menaksir salah. Hay-lwe-sip-ciu adalah jurus penghabisan dari ilmu pedang to-
hay-kiam-hoat. Jurus itu mengandung 7 serangan kosong 7 serangan isi. Gerak
perobahannya amat luar biasa sekali. Tambahan lagi, Tio Jiang telah salurkan
lwekangnya kearah sang tangan, hingga kelima jari sarung tangan cakar-garuda itu
merupakan 5 batang pedang pendek yang tajam. Begitu tampak To Ceng gerakkan
tangannya kiri menangkis kebelakang, sambil miringkan tubuh Tio Jiang segera
mendesakkan serangannya. Terang serangan itu akan memperoleh hasil.
Se-konyong2 terdengarlah letusan dahsjat, berbareng pada saat itu dilamping gunung
Hoasan sana tampak api berkobar. Bum..., bum...., bum..., bum..., kembali terdengar
dentuman meriam ber-turu2". Digunung sanapun lagi2 tampak 4 gulung api besar me-
nyala2.
Tio Jiang kaget sampai kucurkan keringat dingin. Kesepuluh meriam musuh sudah
dihancurkan, mengapa masih bisa menembak? Ah....., sjukurlah bom yang ditembakkan
itu tak jatuh di-markas2, demikian dia menghibur diri sendiri. Tapi baru dia berpikir
begitu, diatas gunung terbit kebakaran besar. Menurut letaknya, terang itulah markas
pertama yang merupakan tulang punggung Hoa-san.
Pertama kali terdengar dentuman meriam tadi, Tio Jiang sudah lambat gerakannya. Maka
dalam pada itu, To Ceng sudah keburu putar tubuhnya. Selagi hati Tio Jiang kacau balau,
tahu2 sebuah benda bundar hitam menutup mukanya. Sesaat matanya ber-kunang2, dia
tak kuasa berdiri tegak lagi ...... lalu rubuh ketanah tak ingat orang.
Entah sudah berapa lama dia berada dalam keadaan pingsan tadi, ketika ingat kembali,
kepalanya serasa sakit seperti mau pecah. Dadanyapun terasa sesak dan sakit. Diapun
tak mengetahui tempat apa disitu itu. Dia hendak menghela napas, tapi astaga, tak dapat!
Hai........, kiranya mulutnya telah disumbat orang dengan sebiji buah tho besar. Ketika
pikirannya makin sadar, didapati tangan dan kakinya diikat pada sebuah tiang kaju.

GAMBAR 39
Ketika Tio Jiang sadar kembali, ia merasa kepala sakit, dada jarem, waktu ia pentang
matanya, sekeliling gelap gelita, ia hendak menghela napas, tapi tenggorokan se-akan2
buntu, kiranya mulutnya telah disumbat musuh. Ketika ia meronta, tapi lantas insaf
dirinya terikat pada suatu tiang kaju. Malahan samar2 dalam dilihatnya tidak jauh
disebelahnya juga ada suatu bayangan orang yang mungkin juga kena, diringkus musuh.

Tio Jiang goyang2kan kepalanya, untuk coba mengerahkan lwekang, tapi tangannya
malah terasa makin sakit, tali pengikatnya tetap tak bisa putus. Tio Jiang coba gali
ingatannya. Sampai sekian lama barulah dia teringat bahwa letusan meriam tadilah yang
menyebabkan dia berajal, hingga dapat dirubuhkan sihweshio. Dia coba salurkan iImu
lwekang ,,cap ji si heng kang sim ciat", tapi yang paling menyengkelkan jalah buah tho
yang menyumpal mulutnya itu. Kini dia mendapat akal. Dia beringsut menghampiri
ranyang yang terdapat disitu. Begitu tempelkan mulutnya keranyang, dengan sekuat
tenaga dia menggigit buah itu. Kalau dia tak berbuat begitu, paling2 hanya tak dapat
bersuara saja. Tapi begitu menggigit se-keras2nya ..... dan menimbulkan rasa sakit
bukan kepalang hingga matanya sampai kucurkan air mata, alias ..... mewek.
Kiranya buah tho itu bukan buah sesungguhnya, melainkan sebuah besi yang dibuat
macam bentuk buah tho. Sudah tentu dia meng-erang2 kesakitan. Tiba2 didengarnya tak
jauh dari situ ada juga suara orang meng-erang2 (se-sambat) seperti merintih-rintih. Dari
nada suaranya, terang orang itupun mengalami nasib serupa dengannya, jakni mulutnya
tersumpal dengan buah besi. Orang itu ternyata berada dekat sekali, tapi karena suasana
disitu teramat gelapnya, jadi tadi dia tak dapat melihatnya. Oleh sebab senasib
sependeritaan, tentu orang itu bukan musuh. Maka kali ini dia kerahkan kekuatan besar
untuk mengeluarkan suara, lebih keras agar dapat didengar orang. Dan ini ternyata,
berhasil. Orang disisi sana mengauk juga, dan ini telah membuat Tio Jiang girang
setengah mati. ,,Siao Chiu!" hendak mulutnya berteriak, tapi buah besi dimulutnya itu.....
keliwat besar, hingga tak mampu dia mengeluarkan suara kecuali a-u .... a-u.... saja.
Tapi itu sudah cukup bagi Tio Jiang. Terang orang yang disebelah sana itu adalah Yan-
chiu, yang mengalami nasib serupa dengannya. Dan untuk kegirangannya, kini setelah
berteriak keras2 tadi buah besi didalam mulut itu agak terasa Ionggar sedikit. Jadi kalau
diusahakan, tentu dapat keluar. Maka dicobanya sekali lagi. Mulutnya dingangakan se-
lebar2nya, lidahnya bantu men-dorong2, dan ber-gerak2lah buah besi itu. Begitu
mengempos semangat, dia menyembur se-kuat2nya, huh........bluk......! Buah tho besi itu
jatuh keluar.
,,Yan-chiu sumoay! Bagaimana kau?" serunya dengan segeraa setelah--berhasil
mengeluarkan sumpal mulutnya. Tapi Yan-chiu hanya ,,a-u .... a-u.... " tak dapat
menyawab. Terang nona itupun tersumbat mulutnya.
,,Sumoay,........ngangakanlah”mulutmu lebar2 lalu muntahlah se-kuat2nya!" Yan-chiu
turut apa yang diperentahkan, tapi walaupun hidungnya beberapa kali mendengus keras,
tapi tetap tak mampu mengeluarkan sumpalnya itu. ,,Sumoay, yangan takut, tunggu
kulepaskan ikatan tanganku ini, nanti segera kubantu!" seru Tio Jiang sembari kerahkan
tenaganya meronta. Krek....., krek....., achirnya putuslah tiang kaju dengan mana dia
diikat itu. Karena tiangnya putus, maka Tio Jiangpun jatuh tertelungkup. Hendak dia
segera bangun tapi tak bisa, karena kakinya masih terikat. Jadi hanya bergelundung
kesana kesini saja. Tiba2 dia menyentuh sebuah benda lunak dan berbareng itu
didengarnya suara ,,a-u .... a-u.... " dari atas. Tahulah kini Tio Jiang, bahwa yang
disentuhnya itu jalah kaki Yan-chiu. Buru2 dia menggigiti tali pengikat kaki sang
sumoay. Kala mulutnya menyentuh tali itu, barulah dia tahu tali itu terbuat dari urat
kerbau maka tak heranlah kalau tadi dia sudah tak berhasil untuk memutuskannya.
Begitu tali tergigit putus, saking girangnya kaki Yan-chiu lantas menendang kalang kabut
hingga hampir menendang kepala Tio Jiang. Sudah tentu Tio Jiang ber-kaok2
memperingatkannya.
Kini dia hendak coba bangun. Begitu kerahkan seluruh kekuatan, dia, loncat bangun dan
karena kaki tangan terikat lagi2 dia terjerungup kemuka. Ini sudah diperhitungkannya,
maka dia menyatuhi tubuh Yan-chiu, dan astaga tepat benar jatuhnya itu, muka
menempel dengan muka. Bagi Tio Jiang yang kalbunya hanya ada seorang Bek Lian saja,
hal itu tak berarti apa2. Tapi tidak demikian dengan Yan-chiu. Walaupun, rapat sekali
hubungan dengan sang suko, tapi selamanya belum pernah ia berapat-rapatan pipi
dengan Tio Jiang seperti pada saat itu. Serasa darahnya berdenyut keras dan jantungnya
berdetak hebat. Kini Tio Jiang segera meng-hampus2kan mulutnya ketubuh Yan-chiu
untuk mencari bagian tangan. Sudah tentu sinona merasa geli tapi nyaman juga.
Achirnya berhasillah Tio Jiang mendapatkan tali pengikat tangan Yan-chiu. Setelah
beberapa kali mengerjakan sang gigi, talipun dapat digigitnya putus. Saking tak tahan
kerinya, begitu bebas Yan-chiu terus jorokkan sang suko. Lupa ia kalau sang suko itu
masih te-rikat kaki dan tangannya hingga sekali jorok, bluk ......... jatuhlah Tio Jiang.
,,Siao-chiu, kenapa?" seru Tio Jiang dengan heran.
Pada saat itu Yan-chiupun sudah mengeluarkan sumpal besi dimulutnya. Tahu kalau
tadi ia yang salah, namun masih tak mau ia mengaku. ,,Kau sendiri, mengapa meng-
hembus2 tubuhku!" sahut Yan-chiu dengan ke-merah2an mukanya. Kemudian ia
loloskan semua tali yang masih mengikat dikaki tangannya. Karena sekian lama diikat,
darahnya serasa berhenti. Untuk melancarkan, lebih dahulu nona itu berlatih silat sekali
dua jurus
,,Siao-chiu, lekas bukakan tali pengikatku ini!" seru Tio Jiang dengan mendongkol karena
masih menggeletak ditanah. Yan-chiu lakukan permintaan itu dengan segera. Tapi
betapapun ia meregangnya, tali yang terbuat dari gulungan urat2 kerbau itu, tak dapat
diputuskan. Tio Jiang menyuruhnya menggigiti. Tapi sampai beberapa jam, Yan-chiu
baru berhasil menggigit putus 3 utas, pada hal tali terbuat dari 8 utas urat digulung
menyadi satu.
,,Sumoay kau menyingkir dulu!" seru Tio Jiang lalu ia kerahkan lwekang sakti ,,cap ji si
heng kang sim ciat". Begitu ber-gerak2, sisa tali urat kerbau yang belum terputus tadi
menyadi berkeretekan putus. Bukan kepalang girangnya Tio Jiang. Setelah membuka tali
pengikat kakinya, dia segera tarik tangan Yan-chiu untuk diajak pergi. Sinonapun amat
girang. Sebagai seorang anak jatim piatu, ia sudah anggap suhu dan suci serta sukonya
itu sebagai ajah dan kakak2nya. Maka sembari tempelkan tubuhnya pada bahu sang
suko, ia terus hendak loncat. ,Hai, dimanakah kita sekarang ini? Bagaimana kita dapat
keluar dari sini ?" tiba2 ia berseru memperingatkan Tio Jiang.
Memang tempat disitu, gelap sekali hingga tak tampak apa2. Mereka lari kian kemari dan
dapatkan bahwa tempat itu hanya lebih kurang 5 tombak luasnya tapi dikelilingi oleh
tembok yang licin penuh lumut. Hendak loncat keatas pun tak mampu karena tak
kelihatan tepi atasnya.

(Bersambung Ke Bagian 14.3)


BAGIAN 14
LAWAN LAMA

BAGIAN 14.3

,,Sumoay, bagaimana kau bisa sampai kemari?" achirnya dia keputusan akal beitanya.
Mendengar itu, se-konyong2 Yan-chiu marah besar dan mendamprat: ,,Lian suci kutu
busuk !"
Tio Jiang terperanyat dan menegas kenapa?
,,Kukatakan kutu busuk, tak peduli siapa dia tetap kutu busuk!" sahut sinona genit,
siapa setelah mengeluarkan hawa kemarahannya lalu tertawa lagi.
Tio Jiang tak mengerti apa yang dimaksud oleh sang sumoay itu. Tapi dia menduga, tentu
sumoaynya itu ketemu dengan sang suci. Dan begitu teringat akan orang yang dikenang
itu, dengan kontan dia segera menanyakan: ,,Surnoay, adakah kau berjumpa dengan
Lian suci ?"
,,Kalau berjumpa lalu bagaimana? Orang toh sudah tak ingat akan cinta persaudaraan
lagi!" sahut Yan-chiu dengan dada berkembang kempis. Tahu ada apa2 yang kurang
beres, hati. Tio Jiang berdebur keras. Dengan tangannya yang sedingin es dia pijat lengan
sang sumoay dengan keras dan menyuruhnya bicara yang jelas. ,,Aduh!" teriak Yan-chiu
karena kesakitan, bilang ja bilang, masa lenganku kaupijat se-mau2nya. Ketika aku
berjaga diluar tenda, tiba2 disebelah muka sana tampak ada sesosok bayangan mondar-
mandir ..........”
,,Lian suci ?" Tio Jiang buru2 memutus
,,Ha, ketika kulihat orang itu berkuncir, kemarahanku timbul seketika. Begitu
menghampiri segera kutendangnya dan rubuhlah dia!" tutur sigadis tak menyawab.
,,Sumoay, kusuruh kau berjaga diluar tenda, mengapa pergi ke-mana2?" Tio Jiang sesali
sang sumoay.
Padahal kalau sang sumoay masuk kedalam tenda, bukankah malah berbahaya? Tapi
Yan-chiu yang lincah itu tak mau disalahkan, sahutnya dengan tangkas: ,,Kalau aku tak
kesana, mungkin tak nanti dapat berjumpa dengan Lian sucimu itu !"
Dalam setiap perdebatan memang Tio Jiang selalu tak menang dengan sumoaynya yang
genit nakal itu. Kali itu, diapun terpaksa bungkam saja. Melihat itu, Yan-chiupun
merobah lagunya. Dengan nada girang ia lanyutkan pula ceritanya: Setelah kuberesi
serdadu itu, tiba2 kudengar ada orang menghela napas. Dari nada suaranya, terang
seorang wanita. Dan akupun kesanalah !"
Sampai disini lagi2 Tio Jiang hendak menyela. Tapi baru bibirnya bergerak, teringatlah
akan watak dara genit itu, yangan2 nanti membikin kurang senang hatinya. Apa boleh
buat, dia batalkan saja niatnya itu. Kata Yan-chiu pula : ,,Tapi ketika aku tiba kesana,
ternyata tiada seorangpun juga. Suara itu begitu dekat kedengarannya, tapi sampai
sekian lama ku-ubek2an tetap tak dapat menemukannya. Karena jengkel kumemaki :
'Siapa yang main setan2an disitu?' Baru kukeluarkan makian itu, segera kurasa ada
angin menyamber dari sebelah belakang! Dan ketika kumenoleh kebelakang, ai, kiranya
pecundangku, kedua keledai gundul dari Ci Hun Si! Keduanya masing2 membawa
damparnya. Huh, wajahnya itu ngeri kumelihatnya, pucat lesi seperti majat hidup.
Melihat aku, mereka tak berani terus menyerang."
Memang apa yang dikatakan Yan-chiu tak dusta. Sejak salah seorang dari ketiga hweshio
Ci Hun Si itu kena dirobohkan oleh Yan-chiu, mereka agak jeri juga. Bukan jeri terhadap
sinona, tapi terhadap orang dibelakang lajar yang diam2 memberi bantuan pada sinona
itu. Tapi dasar nakal, tahu orang tak berani menyerang, Yan-chiu malah memain dengan
bandringannya seraja berseru: „Hai, dua ekor keledai gundul. Tadi nonamu mendengar
suara helaan napas dari seorang wanita, adakah kalian yang berbuat tak senonoh ? "

GAMBAR 40
........ Ketika aku mendadak menoleh, wah, celaka, ternyata dibelakangku
sudah berdiri dua kepala gundul, jaitu pecundangku dahulu, To Kong dan
To Bu Hwesio, demikian tutur Yan-chiu kepada Tio Jiang.
Memang kedua hweshio bukan lain jalah To Ceng dan To Kong, siapa sudah tentu
menyadi murka tak terkira. Tapi mereka cukup ber-hati2. Mengapa sinona begitu garang,
tentulah dibelakangnya mempunyai andalan yang lihay.

(Bersambung Ke Bagian 15)


BAGIAN 15
LUPA DARATAN

,,Nona kecil, besar sekali nyalimu berani masuk kedalam sarang macan sini!" sahut
mereka dengan tertawa dingin.
,,Huh, apanya yang perlu ditakuti ?" ujar Yan-chiu. Ucapan itu yang sebenarnya karena
kegenitan sinona, ternyata, diterima lain oleh kedua hweshio. Kalau sinona sudah begitu
tabah, tenang tentu mempunyai pelindung yang sakti. Dan ini makin membuat mereka
tak berani gegabah turun tangan. Sebaliknya sigenit makin melonyak. Mengira orang jeri,
ia makin garang. Tapi justeru itu telah membuka kedoknya sendiri, dan menyebabkan
urusan jadi runyam. Yan, chiu menggunakan kesempatan bagus itu untuk
mengunyukkan kecakapannya bermain lidah, mencuci maki orang sampai meringis
seperti monyet kena terasi. Antara lain dikatakan kedua hweshio itu adalah bangsa
hweshio cabul yang suka menodai kehormatan kaum wanita.
Sam-tianglo dari Ci Hun Si namanya cukup bersemarak didunia persilatan. Sudah tentu
lama2 panas juga telinga mereka dikocok begitu macam oleh seorang nona. Begitu sang
mata gelap, To Ceng sudah meneryang maju mencengkeram. Karena tak keburu berkelit,
Yan-chiu sudah kena dicengkeram. Masih untung To Ceng berlaku murah karena jeri
akan menerbitkan kemarahan siorang sakti yang dikiranya melindungi sinona. Kalau
tidak begitu, tentu jiwa Yan-chiu sudah amblas.
Yan-chiu diam2 mengeluh celaka. Untuk melawan, terang ia tak ungkulan. Satu2nya
daja jalah menghadapinya dengan siasat tipuan. Maka dengan wajah tenang
menyungging senyum, ia menghardik: ,,Bagus, hweshio kurus, jadi betul2 kau tak
takut?"
,,Takut apa?" tanya To Ceng coba memancing keterangan dari sinona, karena sebenarnya
diapun gelisah ragu2.
Yan-chiu ketawa cekikikan, serunya: ,,Ho...., jadi kalian sudah lupa akan kejadian
diluitay tempo hari ? "
To Ceng melengak. Baru dia hendak membuka mulut atau Yan-chiu sudah berpaling
kebelakang seraja berseru keras: ,,Cianpwee, silahkan kemari lekas!"
Seruan itu sudah tentu membuat kedua hweshio itu terbang semangatnya. To Ceng agak
menyurut kebelakang dan Yan-chiu segera meronta. Sekali 'bergerak, " berhasillah ia
lepas dari cengkeram To Ceng. Andaikata saat itu ia terus lari, belum tentu To Ceng dan
To Kong berani mengejarnya. Tapi dasar nona nakal, ia hendak bikin pembalasan pada
To Ceng yang menyakiti lengannya tadi. Sekali loncat kesamping, ia hantam pundak To
Ceng. Karena tak mencluga, bahu To Ceng kena dihantam telak. Walaupun lwekang
sinona belum tinggi begitu pula tenaganya tak seberapa kuat, tapi karena pukulan itu
tepat sekali jatuhnya, mau tak mau To Ceng meringis kesakitan juga. Habis memukul,
Yanchiu hendak lari, tapi To Ceng yang sudah murka itu segera mencengkeram
lengannya: lagi, sehingga kini Yan-chiu harus meringis kesakitan pula.
Kini tahulah sudah hweshio itu, bahwa seruan sinona tadi hanyalah tipu muslihat untuk
menyiasatinya saja. Yan-chiu segera didorong kemuka disuruh masuk kedalam sebuah
tenda. Karena kerasnya dorongan itu, Yan-chiu terjerembab jatuh kedalam tenda. Tapi
begitu ia mendongak, girangnya bukan kepalang. ,,Lian suci !" teriaknya.
Dibelakang meja tulis besar yang berada didalam kubu itu, duduklah seorang lelaki
setengah tua. Wajahnya keren, mengenakan pakaian pembesar kerajaan Ceng. Berdiri
disebelahnya, adalah seorang wanita muda yang sangat cantik. Wanita yang ter-iba2
dihadapan sinar lampu, bukan lain ialah Bek Lian.
Mendengar seruan Yan-chiu, Bek Lian berpaling kebelakang dan menyahut dengan
enggan sekali, se-olah2 menganggap pertemuan dengan sang sumoay yang telah lama
berpisah itu tiada berarti apa2. Hal mana sudah tentu membuat Yan-chiu heran, ,Li
congpeng, sebernarnya kemanakah perginya engkoh Go? Mengapa sampai sekarang
belum, pulang?" kedengaran Bek Lian bertanya kepada si pembesar itu.
Belum sipembesar yang disebut ,,Li congpeng" itu menyahut, Yan-chiu yang sudah tak
sabar lagi segera berseru: ,,Lian suci, mengapa kau berada disini? Apakah juga ditangkap
oleh kedua keledai.......eh, keduaa hweshio itu ?"
Semula Yan-chiu hendak mengatakall ,,keledai gundul", tapi mengingat dirinya masih
dalam tawanan orang, jadi terpaksa dia robah perkataannya seperti diatas.
,,Siao-Chiu, yangan mengganggu aku dulu, karena aku masih mempunyai urusan,"
sahut Bek Lian dengan kurang puas, lalu ulangi lagi pertanyaannya kepada sipembesar:
,,Li Congpeng, kalau kau tak mengatakan, akupun tak mau menurut lagi. !"
Sipembesar kedengaran batuk2. Yan-chiu yang cerdas segera memastikan bahwa
pembesar itu tentu Li Seng Tong, itu panglima besar dari tentara Ceng. Mengira sang suci
mengancam hendak membuka rahasia militer, buru2 Yan-chiu menyeletuk: ,,Bagus, Lian
suci, kalau dia berani rnembandel, bongkar saja rahasianya!"
,,Siao Chiu, apa kau tahu dimana engkoh Go?" tanya Bek Lian seraja berpaling. Sudah
tentu Yan-chiu heran dan menegas. ,,Sore tadi engkoh Go keluar, tapi sampai sekarang
belurn pulang, ah......aku cemas setengah mati!" kata Bek Lian, gelisah. Menderngar itu
Yan-chiu menghela napas. Kiranya sang suci itu sudah begitu ter-gila2 pada kekasihnya.
Bagaimana The Go ditangkap oleh Thay-san sin-tho dimarkas ke 1, telah diketahui Yan-
chiu. Namun bagaimana achirnya pemuda itu telah berhasil melarikan diri, Yanchiu
sudah tak tahu, maka ia mengatakan seenaknya saja: ,,Manusia rendah macam begitu,
biarkan saja digebuki orang, perlu apa kau tanyakan?"
Bek Lian meradang. Dengan sorot mata murka, dia melejit kehadapan Yan-chiu. ,,Siao
Chiu, mengapa kau berani omong tak keruan ?" bentaknya dengan sengit. Yan-chiu heran
atas sikap sang suci itu. la tak tahu, bahwa sejak Bek Lian serahkan hatinya kepada The
Go, ia sudah buta segala apa. Apapun tak peduli baginya, kecuali keselamatan diri orang
yang dicintainya itu. Sebaliknya Yan-chiupun tak kurang sengitnya. Masa dibilangi baik2
malah kurang senang. ,,Siapa yang ngaco belo? Cian-bin Long-kun sudah didalam tangan
suhu dan Thay-san sin-tho, mana dia bisa lari ?"
Kiranya Bek Lian tak kenal siapakah Thay-san sin-tho itu. Namun demi didengarnya
nama sang ajah, terbanglah semangatnya. Cepat berpaling kearah sipembesar, ia
berseru: ,,Li Congpeng, mengapa kau biarkan engkoh Go jatuh ketangan musuh ?"
,,Cian-bin Long-kun pergi menyelidiki keadaan markas ke 1 di Hoasan, mana aku tahu
keadaannya waktu ini?" Li Seng Tong balas bertanya dengan nada berat. Hati Bek Lian
serasa hancur, butir2an air mata mengucur turun dari kelopak matanya. Melihat sang
suci begitu dekat hubungannya dengan sipembesar, lekas2 Yan-chiu minta sang suci
mendesak sipembesar agar membebaskan dirinya. Tapi dalam hati Bek Lian, hanya ada
seorang Cian-bin Long-kun, mana ia mau menggubris sang sumoay lagi. Sekali bergerak,
melesatlah Bek Lian keluar dari tenda situ. Hal mana membuat Yan-chiu gusar bukan
kepalang. Mulutnya segera me-maki2 kalang kabut.
,,Jiwi taysu, jebeloskan budak perempuan itu kedalam sumur kering sana!" perintah Li
Seng Tong pada kedua hweshio tadi.
Bercerita sampai disini, tiba2 Yan-chiu bertepuk tangan kegirangan, serunya: ,,Suko, ja
benar, inilah sebuah sumur kering!" - Tapi Tio Jiang diam saja tak mau menyahut. ,,Suko,
kau dimana?" seru sigadis heran. Namun sampai dua kali ia ulangi pertanyaannya itu,
tetap Tio Jiang tak menyahut. Karena tempat mereka berdua situ adalah didasar sebuah
sumur kering, jadi gelapnya bukan main. Yan-chiu ulurkan tangan me-raba2, astaga,
itulah lengan sang suko, siapa terus ditariknya keras2: ,,Suko, apa kau sudah gagu,?"
Disentak begitu, baru Tio Jiang gelagapan. Kiranya sewaktu mendengar cerita "Yan-chiu,
bagaimana sikap Bek Lian yang begitu mesranya kepada The Go itu, hati Tio Jiang seperti
dibanting hancur. Dan sampai sekian lama dia ter-longong2 diam seperti kehilangan
semangat. Seruan Yan-chiu sampai dua kali tadi, sampai tak didengarkannya. Kasihan
anak itu. Gadis yang siang malam dirinduinya itu, ternyata menyintai lain orang. Dan
kalau Tio Jiang berlaku begitu, sebenarnya adalah gara2 sinona genit Yan-chiu. Memang
Bek Lian sedari dulu tak mempunyai hati kepada sang sute. Hanya karena permainan
Yan-chiu yang sudah memberikan sebuah peniti kupu2, maka Tio Jiang mengira kalau
sucinya itu mau membalas cintanya. Memang cinta itu buta. Mendadak dia tersadar. Bek
Lian tentu menyusul The Go keatas Hoasan dan dengan begitu bukankah akan celaka
dibombader oleh meriam2 tentara Ceng tadi? Sukar mencari seorang lelaki seperti Tio
Jiang. Tahu sang suci tak menyintainya, namun dia tetap tak berobah hatinya.
,,Siao Chiu, hajo lekas keluar dari tempat ini. Lian suci tentu menyusul The Go keatas
gunung, yangan2 ia nanti mendapat kecelakaan kalau kita tak keburu menolongnya!"
,,Lian suci sudah tak menghiraukan kita, mengapa kau mau menolongnya?" seru Yan-
chiu dengan uring2an demi diketahui sang suko itu masih mabuk cinta. Tio Jiang tak
pandai main lidah, jadi apa-yang dikandung dalam hati terus dinyatakan saja, ujarnya:
,,Siao Chiu, Lian suci dengan aku mempunyai ikatan janyi seumur hidup bagaimana aku
bisa tinggal diam saja ?"
Mendengar itu, pecahlah ringkik tertawa sinona genit. Sudah tentu Tio Jiang melongo.
,,Sumoay, kau ketawai apa?" tanyanya. Bermula Yan-chiu segera akan menceritakan saja
duduk perkara yang sebenarnya. Tapi terkilas pada pikirannya, lebih baik yangan
sekarang, karena siapa tahu nanti Tio Jiang akan kalap benturkan kepala didinding
sumur situ. ,,Jiang suko, aku ewah dengan pikiranmu yang buta itu !"
,,Kan sudah selajaknya berbuat begitu, karena hati kami sudah terikat cinta" tanpa ragu2
lagi Tio Jiang membela diri. Diam2 Yan-chiu sangat kagumi kejujuran sang suko. Rasa
sympathinya makin besar. Dahulu ia anggap Tio Jiang itu hanya sebagai saudara
seperguruan saja. Kini melihat isi hati Tio Jiang itu, ia menganggap itulah seorang
pemuda yang di-idam2kan oleh setiap gadis, mencinta setulus hati dan rela berkorban
untuk orang yang dicintainya itu. Memikir sampai disitu, mau tak mau berobahlah wajah
Yanchiu ke-merah2an karena jengah. ,,Suko, marilah kita cari jalan keluar dari sini!"
achirnya ia terima ajakan sang suko. Begitulah mereka berunding cara bagaimana dapat
keluar dari dasar sumur kering itu. Tengah mereka asjik begitu, se-konyong2 disebelah
atas sana tampak ada sinar terang memancar kebawah. Buru2 Yan-chiu tarik sukonya
kesamping. ,Mungkin ada orang turun kemari, yangan sampai kelihatan" bisiknya.
Begitulah keduanya segera tempelkan tubuh rapat2 kedinding sumur. Benar juga tak
antara lama, terdengar ada orang berkata: ,,Hi........, mengapa tak kelihatan? Yangan
sampai kedua anak kurang ajar itu lolos!"
,,Yangan ngoceh tak keruan! Mereka diikat dengan tali urat kerbau, mulutnya disumpal
buah besi, sekalipun seorang anak dewa tak nanti dapat lolos juga!" sahut kawannya.
Jadi terang yang disebelah atas itu ada dua orang. Habis berkata begitu, terdengarlah
salah secrang dari mereka tertawa, serunya: ,,Oi, budak perempuan itu boleh juga dah !
Lauko, bukankah kau bermaksud turun kebawah untuk bercumbu2an dengan ia?"
Kawannya itu menyambutnya dengan suara ter-kekeh2, ujar: ,,Lauhia, yangan kasih
tahu siapapun juga. Memang anak perempuan itu cukup cantik; Memikat hati orang !"
Kalau kedua orang disebelah atas itu bercanda dengan girangnya, adalah Tio Jiang
menyadi murka sekali. Tapi bagaimana lagi, dia tak dapat berbuat apa2. Yan-chiu
sembari jinyit, berbisik kedekat telinga sang suko: ,,Suko, kata mereka aku ini cantik,
bagaimana pendapatmu?"
,,Sumoay, dalam keadaan begini kau masih suka ber-olok2 ?" sahut Tio Jiang.
,,Hajo bilang tidak, apakah aku ini buruk rupa?" Yan-chiu sudah mulai meradang. Tio
Jiang yang tak bisa berbohong itu segera menyahut: ,,Sudah tentu tak buruk dan
emangnya cantik sekali !"
Yan-chiu tertawa puas dan sembari makin menempel rapat ia bertanya pula: ,,Kalau
melihat aku, kau tergerak hatimu tidak, suko?"
Bohwat alias kewalahan betul2 Tio Jiang saat itu. Dengan deliki mata ia memandang
Yan-chiu. Justeru pada saat itu, sorot dari atas itu makin menerangi dasar sumur situ.
Niatnya dia hendak damprat sang sumoay, tapi demi matanya tertumbuk akan wajah
sinona yang tampaknya makin cantik dalam keadaan tak berhias serta rambut terurai
itu, mau tak mau tergeraklah hati Tio Jiang. Darahnya tersirap, ingin sekali dia makin
merapat kepada sinona nakal itu untuk menciumnya. ,,Tergerak!" achirnya meluncurlah
kata2 dari mulutnya. Tapi pada lain saat, dia merasa ucapannya itu keterlaluan, maka
buru2 menyusulinya: ,,Ah, bukan, Siao Chiu. Kau tahu aku sudah mencintai Lian suci,
maka sudah tentu tak dapat ........ "
Geli Yan-chiu bukan terkira. Tapi menyaga tak sampai suara ketawanya kedengaran, ia
tahan se-dapat2nya hingga tubuhnya saja yang menggigil seperti orang kedinginan. Tio
Jiang makin ke-heran2an. ,,Engkoh tolol, siapakah yang ingin kau peristerikan! Tak usah
kau katakan yang bukan2 !" achirnya Yan-chiu berkata, sehingga wajah Tio Jiang merah
padam ke-malu2an. Diam2 Yan-chiu melamun jauh.
Begitu murni cinta Tio Jiang pada sang suci, walaupun pada hakekatnya sang suko itu
hanya menyadi korban perolokannya. Kelak kalau hal itu diketahuinya dan suko itu tak
memarahi bahkan mau memperisterikan ia (Yan-chiu), bagaimanakah perasaannya? Ah,
Liau Yan-chiu, Liau Yanchiu, apakah kau suka terima peminangan Tio Jiang itu? Atau
kau tolak dia? Demikian Yan-chiu ber-tanya2 dalam lamunannya. Dan tak dapat ia
memberi jawaban pada pertanyaan yang dichajalkan itu.
Itulah dara Lo-hu-san yang genit lincah! Umurnya sih baru lebih kurang 16 tahun, dan
ketika berada di Lo-hu-san ia selalu jengah memikirkan soal hubungan wanita dengan
pria itu. Tapi mengapa pada saat itu !a melamunkan yang tidak2, bertanya pada hatinya
sendiri bagaimana jika kelak dipinang oleh sang suko? Itulah pembaca, tanpa disadari
nona genit itu telah terpanah asmara, Orang yang menyadi tambatan idaM2annya, bukan
lain adalah sukonya sendiri, Tio Jiang, jejaka bodoh yang polos itu.
Saat itu dari sebelah atas meluncurlah seutus tali besar hingga sampai kedasar sumur.
Setelah itu lalu ada dua orang serdadu Ceng melorot turun dari tali itu. Begitu Mereka
sudalh berada di-tengah2, Tio - Jiang melesat maju untuk, menarik tali itu.
,,Lauko, yangan bergurau. Sumur ini sangat dalam, kalau sampai jatuh, wah, yangan
main2!" seru salah seorang pada kawannya ketika tali ber-gerak2. Dan sekali Tio Jiang
menyentak, maka bujarlah impian yang indah dari kedua serdadu Ceng tadi. Tubuhnya
serasa dihantam oleh suatu tenaga besar dan saking sakitnya mereka dipaksa untuk
lepaskan cekalannya ...... bum, ....... bum, segera kedengaran suara dua sosok tubuh
jatuh dari atas sekira satu tombak tingginya. Jatuhnya begitu pajah hingga lebih banyak
matinya daripada hidup.
,,Lekas-naik keatas!" seru Tio Jiang seraja melambaikan tangan pada sumoaynya.
Sekejab saja, keduanya sudah berada diatas. Saat itu sudah hampir sore. Entah sudah
berapa hari mereka dikurung dalam sumur kering itu. Ketika melihat kesekelilingnya,
ternyata kubu2 tentara, Ceng tadi sudah tak kelihatan disitu, entah pindah kemana.
Sedang dimarkas no. 1 gunung Hoasan sana tampak menyulang gulungan asap. Teringat
Tio Jiang sewaktu berkelahi dengan To Ceng dan To Kong, memang dimarkas ke 1 sana
mendadak timbul kebakaran. Adakah markas itu kini sudah terbakar habis ?
,,Siao Chiu, hajo lekas keatas gunung!" serunya dengan gugup. Tapi Yan-chiu lebih terliti.
Ketika hab-is mendengarkan keterangan Tio Jiang tadi, segera ia menyatakan
pendapatnya: ,,Suko, kalau memang tentara Ceng menang dan markas Hoasan no. 1 itu
sudah terbakar, sukar untuk kita naik kesana. Taruh kata kita dapat sampai kesana, toh
sama artinya dengan mengantar jiwa saja!"
Tio Jiang tak dapat membantah. Sampai sekian saat dia diam saja. Tiba2 dia banting2
kaki berseru: ,,Waktu Lian suci naik keatas gunung, tentara Ceng tengah melancarkan
serangan meriam2-nya, yangan2 ia mendapat kecelakaan. Biar bagaimana aku harus
kesana!"
Yan-chiu tak dapat mencegah kernauan, sang suko itu. Apa boleh buat iapun lari
mengikutnya naik keatas gunung. Disepanjang jalan ternyata tak menemui halangan
suatu apa, karena dimarkas ke 1 itu sudah menyadi rata dengan tanah. Majat2
bergelimpangan disana-sini, gedung permusjarahan sudah menyadi tumpukan puing,
Hanya ada sisa2 bangunan yang masih menyala lelatu apinya.
Tio Jiang dan Yan-chiu heran melihat pemandangan itu. Baru semalam dia tinggalkan
markas itu, mengapa, kini menyadi tumpukan puing? Kemana perginya tentara Ceng itu?
Kemana pulakah beradanya rombongan orang gagah gunning Hoasan serta suhunya?
Keduanya kesima dihadapan tumpukan puing2 dan sisa api unggun yang membisu
dihadapannya.
Tiba2 Yan-chiu mendapat pikiran. Diantara sekian majat yang bergelimpangan itu,
masakan tiada seorang yang masih bernyawa, dan ini bisa ditanyai keterangan. Setelah
disetujui Tio Jiang, keduanya segera melakukan pemeriksaan pada korban2 disitu.
Keduanya adalah orang2 persilatan, jadi nyalinya cukup besar. Tapi walaupun sampai
sekian saat meriksa kesana-sini, ternyata semua korban2 yang bergelimpangan disitu
sudah menyadi majat. Kalau tidak kepalanya hangus, mukanya hancur atau dadanya
tertusuk senyata tentu tulang belulangnya remuk. Betul diantaranya beberapa serdadu
Ceng, tapi sebagian besar adalah anak buah dari gunung Hoa-san. Dari keadaannya,
mereka itu sudah lama menyadi majat.
,,Hai .....majat2! Mengapa kamu membisu saja!, hajo lekas bersuara!" mendadak Yan-
chiu berseru nyaring. Mendengar sang sumoay unyuk ugal2an lagi, walaupun sedang
resah hati, Mau tak mau Tio Jiang" tertawa kecut juga. Tapi diluar dugaan seruan Yan-
chiu tadi sudah bersambut dengan suara rintihan. Mendengar itu segera Tio Jiang dan
Yan-chiu menghampiri kearah datangnya rintihan itu. Segera Yan-chiu mengenali orang
itu sebagai anak buahnya sendiri. Dengan napas ter-engah2 orang itu berkata: ,,Li-tayong
......meriam, lihay sekali.......sekalian saudara sama melarikan diri"
,,Ceng Bo siangjinn berada dimana?" tanya Yan-chiu.
Orang itu ulurkan tangannya menunyuk kearah barat daja (barat selatan). Hendak dia
mengatakan sesuatu, tapi tiba2 kepalanya terkulai kedada dan putuslah jiwanya.
Yanchiu segera ajak sang suko untuk mencari suhu mereka. Setelah mengawasi
sekeliling tempat itu dengan elahan napas terharu, segera keduanya ajunkan langkahnya
kearah barat. Namun dalam hati Tio Jiang tetap mengandung pertanyaan yang tak dapat
dijawabnya. Terang semalam dia telah rusakkan 10 pucuk meriam musuh, mengapa
meriam2 itu masih bisa muntahkan pelurunya. Adakah meriam2 yang dirusakkannya itu
palsu dan yang tulen masith disembunyikan mereka?
Keduanya tak faham akan jalanan digunung Hoa-san situ. Mereka kira ke 72 markas itu
terletak dibelakang satu dengan yang lain. Mereka tak mengetahui bahwa-pegunungan
Hoa-san itu luas sekali sampai beberapa ratus Ii kelilingnya. Benar pegunungan itu
disebut Hoa-san, tapi sebenarnya entah berapa jumlahnya puncak2 dari pegunungan itu.
Hampir sejam lebih mengitari gunung itu, tapi makin lama makin tersesat jalan. Bukan
jalanan yang ditemuinya, tapi, padang belantara daerah pegunungan yang sunyi senyap.
Tiba2 Yan-chiu yang berjalan dimuka, berhenti. Tio Jiang buru2 menghampirinya.
Kiranya dibawah kaki tempat mereka berdiri itu, adalah sebuah lembah yang tak terkira
dalamnya. Begitu curam lembah itu, hingga keduanya tak dapat melihat jelas dasarnya.
Ketika terasa ada angin menyambar, maka dibawah lembah sana segera terdengar suara
menderu2. Ketika itu adalah permulaan musim semi, hawa udarapun masih dingin.
Puncak karang dimana keduanya berada itu, kira2 ada 5 atau 6 tombak luasnya. Lembah
yang memisahkan puncak itu dengan puncak karang yang disebelah sana, mirip dengan
bentuk sebuah mulut yang aneh. Yan-chiu hendak kembali kebelakang, tapi tiba2 Tio
Jiang mengeluarkan seruan tertahan: ,,Hai, lihatlah sumoay, siapakah yang berada
dipuncak karang sebelah muka itu?"
Yan-chiu mengawasi kemuka. Disebelah sebuah puhun siong tua yang tumbuh diatas
puncak karang sana, tampak ada seorang wanita berdiri tegak. Sambil menutupkan
sepasang tangannya pada kedua belah pipi, wanita muda itu memandang kesebelah
utara. Benar karena menghadap kesebelah sana maka mukanya tak tertampak, namun
dari bentuk tubuhnya yang molek langsing itu, tentulah ia itu seorang wanita yang cantik.
Dan dari potongan tubuhnya itu, kedua suko dan sumoay itu segera dapat mengenalinya.
Ja, tak salah lagi, itulah Bek Lian, suci mereka yang manis itu.
,,Lian suci, kau disitu ....... mengapa?" Yan-chiu segera meneriakinya. Diulangnya sekali
lagi teriakan itu, namun rupanya Bek Lian tak mau mendengari serta masih tetap berdiri
membelakangi. Kuatir kalau teriakan sumoaynya itu kurang keras, make Tio Jiang segera
empos lwekangnya ,,cap ji si heng kang sim ciat" dan berseru lantang sekali: ,,Lian,-suci!"
Karena ilmu lwekangnya maju pesat sekali, maka teriakan Tio Jiang itu menggelegar
berkumandang jauh sekali. Disana sini segera riuh, sambut menyambut kumandang
suara ,,Lian-suci"..., ,,Lian-suci"...... wanita itu benar2 tergetar dan berpaling kebelakang.
Kini walaupun terpisah dengan jurang yang lebarnya 6 atau 7 tombak, tapi satu sama
lain dapat melihat dengan jelas, memang wanita itu benar Bek Lian adanya. Hanya saja
wajahnya tampak saju muram, air matanya ber-linang2.
Berjumpa dengan orang yang dirindukan, Tio Jiang ingin menumpahkan seluruh isi
hatinya, tapi entah bagaimana, makin bernapsu menyatakan makin mulutnya berat
sehingga achirnya tak dapat die bicara same sekali. Setelah sejenak memandang kepada
kedua saudara seperguruannya itu, tanpa mengucap apa2, Bek Lian berpaling
kebelakang pula. Ia tampak memandang kearah utara lagi. ,,Lian-suci!" teriak Tio Jiang
dengan se-kuat2nya. Mestinya Bek Lian mendengar seruan itu, tapi ternyata ia tetap
berdiam diri saja.
,,Hai....., Lian-suci yang manis, apakah yang kau pandang itu ?" tanya Yan-chiu Serribari
menyengir kurang senang, lalu berjengket dengan ujung kaki untuk melihat kesebelah
utara. Tapi disana ia tak melihat sesuatu yang aneh.
Buru2 ia panyat sebuah puhun yang tumbuh didekat situ untuk melongok kearah tempat
Bek Lian berdiri. Begitu mengawasi, saking terkejutnya hampir saja ia jatuh dari pohon.
Melihat tingkah Yan-chiu yang mencurigakan itu, Tio Jiang pun segera loncat keatas
puhun. Kejutnya, malah melebihi Yan-chiu tadi. Dengan gigi bercakrukan berserulah dia
ter-putus2: ,,Lian-suci! Yangan..........loncat, yangan........Ioncat !"
Kiranya puncak karang tempat Bek Lian berdiri itu hanya satu tombak luasnya.
Disebelah depan pun terdapat sebuah lembah yang teramat curamnya. Dari atas pohon
situ, dapatlah dilihatnya apa yang terjadi dengan Bek Lian. Bek Lian tengah mondar
mandir ditepi puncak, sedang ketika itu angin berembus dengan kuatnya. Pakaiannya
yang bergontaian tertiup angin itu, sepintas pandang seperti orangnya sudah tengah
ajunkan tubuh loncat kebawah Iembah. Sekali loncat tentu tamatlah riwajatnya. Maka
tak heranlah ketika Yan-chiu dan Tio Jiang melihat hal itu, mereka sama berdiri bulu
romanya. Tio Diiang ulangi lagi seruannya beberapa kali, namun Bek Lian tetap tak
mengacuhkan. la memandang jauh kebawah lembah, air matanya bercucuran turun
seperti hujan dicurahkan.
Tio Jiang seperti semut diatas kuali panas. Hendak dia loncat kesana, tapi apa, daja
untuk inelintasi jarak pemisah yang antara 6 tombak jauhnya itu. Sekalipun ilmunya
mengentengi tubuh lihay, namun tak nanti dia dapat meloncati jarak itu, kecuali dia bisa
tumbuh sajap. Tiba2 terkilas dalam pikiran Tio Jiang, mengapa sang suci yang
kepandaiannya masih kalah dengan dia itu, dapat naik kepuncak itu terpisah lima enam-
tombak jaraknya, yangan2 sang suci itu pergi kesana dengan jalan melompati selat
lembah itu. Dan kalau sang suci bisa, mengapa dia tidak? Memikir sampai disini, tanpa
terasa dia meniru tingkah Sik Lo sam, menampar mukanya sendiri sembari memaki:
,,Huh, Tio Jiang....., Tio Jiang....... Macammu mana berharga mencintai Bek Lian. Masa
selat lembah begitu saja kau sudah jeri melompatinya ?"
Melihat kelakuan sang suko yang menampar muka dan bicara sendiri itu, Yan-chiu heran
juga. Tapi Tio Jiang tak ambil peduli lagi. Loncat turun dari atas puhun, segera dia
mundur kebelakang sampai belasan langkah. Sekali enyot. dia terus berjumpalitan
sampai 3 kali kemuka. Dan begitu tiba ditepi puncak dia menyejak se-kuat2nya.
Tubuhnya segera melayang diudara. Apa yang didengarnya hanyalah deru angin
menyambar disisi telinganya dan jeritan Yan-chiu dari arah belakang. Begitu memandang
kesebelah bawah, bulu romanya berdiri tegak. Dan tepat pada saat itu, dirasanya sang
tubuh melayang turun kebawah. Buru2 dia empos semangatnya. Tapi tepat pada detik
itu, tiba2 terdengarlah suara auman senyata rahasia. Lima bintik sinar perak,
menyambar kearahnya.
Ketika hendak menurun tadi, buru2 Tio Jiang pijakkan kakikiri nya keatas kaki kanan.
Dan sekali, enyot, dia melambung lagi keatas. Tapi samberan kelima biji senyata rahasia
itu luar biasa cepatnya. Malah ketika sampai ditengah jalan, senyata2 rahasia itu sama
berpencaran sendiri, menghantam bagian kepala, tubuh dan kaki.
Sesaat itu tahulah Tio Jiang, bahwa senyata rahasia itu adalah Bek Lian yang
menyabitkan. Itulah yang disebut liuyap-piau (piau yang bentuknya seperti daun puhun
liu), permainan yang dijakinkan dengan tekun oleh Bek Lian sewaktu masih digunung
Giok-li-nia. Dalam gugupnya, Tio Jiang segera berjumpalitan. Tapi sayang karena
latihannya ilmu mengentengi tubuh masih belum sempurna, maka walaupun kelima biji
liu-yap-piau itu dapat dihindari, namun tubuhnya meluncur turun kebawah lembah.
Lembah itu tak terukur dalamnya. Dalam sekejab saja, lenyaplah sudah bayangan Tio
Jiang.
Sewaktu Tio Jiang hendak loncat tadi, Yan-chiu sudah akan turun dari puhun untuk
mencegahnya. Tapi ia kalah cepat dengan sang suko yang sudah loncat kemuka itu.
Dengan menyerit kaget, dia awasi tubuh sukonya. Dalam hati, ia mendoa mudah2an
sukonya dapat berhasil melintasi lembah yang berbahaya itu. Tapi bukan kepalang
kagetnya demi dilihatnya Bek Lian dengan geram sekali sudah menaburkan liu-yap-piau.
Liu-yap-piau itu terbuat dari baja lemas pilihan. Jumlahnya hanya belasan saja. Jadi
kalau tak bertemu dengan musuh tangguh, Bek Lian tak sembarangan mau
menggunakannya. Dan rasa kagetnya makin men-jadi2 demi setelah berjumpalitan
tubuh Tio Jiang lalu meluncur kebawah lembah. Nona yang biasa lincah tangkas itu,
pada itu tak dapat berbuat apa kecuali terlongong2 sambil mengucurkan air mata,
kesedihan.
Tiba2 disebelah muka sana didengarnya Bek Lian juga ter-isak2 menangis pe-lahan2.
Kiranya nona itu juga menangis tersedu sedan. Sebenarnya Yan-chiu tak mau mengadu
biru dalam hubungan Tio Jiang dengan Bek Lian. Tapi dalam beberapa hari ini, demi
difahaminya betapa kesungguhan hati sang suko mencintai sucinya itu, iapun tergerak
perasaannya. Pula menilik kelakuan yang tak selajaknya dari sang suci itu, sympathi
Yan-chiu terhadap sukonya, makin tebal. Maka tanpa disadari, timbullah rasa bencinya
terhadap Bek Lian. ,,Orangnya kan sudah jatuh kebawah, masa ber-pura2 menangis
seperti sang kucing menangisi sitikus saja!" serunya dengan sinis.
Saat itu angin reda, jadi Bek Lian dapat mendengar jelas apa yang dikatakan sang sumoay
itu. „Kalian tak usah pedulikan aku!" sahutnya seraja mendongak.
„Apa ?" menegas Yan-chiu karena tak mengerti ucapan orang. Bek Lian gentakkan
kepalan ja tertawa dingin : „Siapa yang mengurusi aku, tentu akan turun kebawah
lembah sana. Kalau seorang ajah boleh tak mengakui anaknya, mengapa seorang suci
tak boleh mengusir sutenya ?"
Mendengar sang suci mengoceh tak keruan, Yan-chiu maju selangkah seraja berseru:
„Mana suhu ?"
Bek Lian menangis. „Entah, tak tahulah !" sahutnya kemudian. Yan-chiu makin gusar,
tanyanya pula: „Dan mana Cian-bin long-kun-mu itu ?" Mendengar nama itu disebut,
serentak majulah Bek Lian menghampiri ketepian puncak. ,,Jadi kau tahu tentang
engkoh Go?" tanyanya sembari menangis. Kini Yan-chiu timbul rasa kasihannya. Bek
Lian menyintai The Go sebenarnyapun bukan suatu kesalahan. Mungkin sang suhu
menentangnya, jadi sucinya itu. lalu mengambil putusan pendek begitu. „Lian suci,
bagaimana kau bisa berada disitu ? Sukalah memberitahukan agar aku bisa menyusul
ketempatmu situ," katanya dengan lemah lembut. Tapi diluar dugaan, Bek Lian segera
menyahut dengan gugup : „Yangan datang kemari !" ,
„Mengapa ?"
„Ja, tak perlu kemari. Kalau kau berani datang sini, aku tentu tak sungkan lagi !" kata
Bek Lian. Tapi dasarnya bengal, Yan-chiu menantangnya: „Tapi aku justeru hendak
kesitu !" katanya sembari mengambil sikap seperti hendak melompat. Hal itu sebenarnya
hanya untuk mengetahui bagaimana reaksi sang suci. Biasanya Bek Lian cukup faham
akan sifat2 yang nakal dari sumoaynya itu. Tapi karena semalam ia menderita goncangan
bathin hebat, pikirannyapun menyadi kalut. Demi dilihatnya Yan-chiu hendak melompat,
ia terus taburkan 5 biji liu-yap-piau.
Tadi memang sebelah kaki Yan-chiu sudah sengaja diacungkan kemuka, jadi
bergelantungan diatas lembah. Begitu liu-yap-piau menyambar, cepat2 ia dongakkan
tubuhnya kebelakang. Benar liu-yap-piau dapat dihindari, tapi batu ditepian puncak
yang diinyak dengan sebelah kaki itu tiba2 sol alias longsor. Sudah tentu tubuhnya terhu
jung dan d jatuh kebawah lembah. Dalam lain kejab, ia tentu akan mengalami nasib
serupa dengan Tio Jiang. Untunglah dalam detik2 berbahaya itu, matanya dapat melihat
serumpun puhun rotan yang tumbuh ditepi puncak situ. Secepat kilat tangannya
menyawut dua batang rotan yang tumbuh bergelantungan didinding bagian bawah
samping karang itu. Tapi mana dua batang rotan dapat menahan berat tubuh seorang
yang menggandulinya? Akar dari rotan itu, segera ber-gerak2 tercabut keatas.
Dalam keadaan yang berbahaya itu, Yan-chiu berusaha untuk menguasai
ketenangannya, Sedianya ia hendak gunakan gerakan „tho cu boan sim" si bongkok
balikkan tubuh. Dengan meminyam kekuatan rotan, ia akan apungkan tubuh keatas
puncak lagi. Tapi baru ia hendak kerahkan tenaga kearah tangan, tiba2 terdengarlah
suara angin menderu. Sebuah liu-yap-to (golok bentuk daun liu) yang besarnya hanya
lebih kurang 5 dim menyambar diatas kepalanya. Beberapa butir batu segera
berhamburan jatuh dari atas puncak. Karena dirinya sedang bergelantungan, jadi Yan-
chiu tak dapat berkelit, maka ada beberapa butir batu yang jatuh menimpa kepalanya,
sakitnya lumajan juga. Dan yang lebih hebat dari itu, salah sebatang dari 3 batang rotan
yang dicekalnya itu menyadi putus terpapas liu-yap-to tadi.
Berpaling mengawasi kearah sang suci, didapatinya dalam tangan sang suci itu masih
menggenggam, 3 batang liuyap-to. Dengan wajah dingin tak kenal kasihan lagi, Bek Lian
menatap tajam2 kearah Yan-chiu. Keadaan Bek Lian pada saat itu, mirip dengan sebuah
patung ukiran kaju dari seorang wanita aju, Yan-chiu mengeluh dalam hati. Kalau Bek
Lian timpukkan dua buah liu-yap-tonya lagi, maka ia tentu akan kecemplung kedalam
dasar lembah.
Ilmu menimpuk dengan liu-yap-to termasuk salah satu macam kepandaian yang luar
biasa dari Ceng Bo siangjin. Siangjin itu telah memberi pelajaran ilmu itu. pada Bek Lian
dan Yan-chiu. Tapi disebabkan sifat Yan-chiu yang kurang sabar, setelah belajar
beberapa bulan, achirnya dia menyerah. Pilihannya jatuh pada senyata bandringan liu-
singcui yang hampir setombak panjangnya. Kalau ilmu permainan itu dijakinkan dengan
sempurna, rasanya dapat menyamai semacam senyata rahasia kegunaannya. Maka sejak
itu, ia tak lanyutkan latihanya lagi. Sebaliknya Bek Lian siang-malam berlatih dengan
tekun sekali, sehingga achirnya ia mahir sekali dalam permainan itu. Seratus kali timpuk,
seratus kali tentu mengenai sasarannya. „Lian-suci!"seru Yan-chiu dengan cemasnya.
Seruan Yan-chiu itu sedemikian rawan menghibakan hati. Betapun keras hati seseorang,
tak urung tentu tergerak juga. Tapi bagi Bek Lian yang sudah menderita siksaan batin
itu, perasaannya sudah mati. Kalau Yan-chiu jatuh kedalam lembah, paling banyak ia
tentu mati. Dan ini akan himpaslah sudah segala beban kuajibannya sebagai manusia.
Tidak demikian dengan dirinya. Hidup tidak matipun bukan. „Kau suruh aku bagaimana
lagi ? Paling2 kau nanti mati didasar lembah, dan kematianmu itu tentu memuaskan,
jauh lebih baik dari diriku ini!" sahutnya dengan nada dingin. Masih Yan-chiu tak tahu
mengapa Bek Lian sampai berubah sedemikian tak berperasaan itu. Rencananya, begitu
sang suci agak lengah, hendak ia apungkan tubuhnya melayang keatas puncak karang.
„Lian........ su.........", mulut berseru tangannya segera siap melakukan rencananya itu.
Tapi ternyata Bek Lian tetap mengawasi gerak geriknya. „Wut", sebuah liu-yap-to
melayang pula dan sesaat Yan-chiu rasakan cekalannya agak kendor lagi. Kiranya
sebatang rotan yang dicekalinya itu, putus pula.
,,Aku hendak naik kesorga tapi tiada mendapat jalan, mau masuk ke neraka tiada
mendapat pintu. Maka takkan kubiarkan kau menyiarkan hal ini pada lain orang. Aku
tak suka dikasihani oleh siapapun juga!" seru Bek Lian disebelah sana.

(Bersambung Ke Bagian 16)


BAGIAN 16
SETAN LAWAN IBLIS

Yan-chiu tak pedulikan ocehan orang, tetap ia hendak lanyutkan rencananya. Tapi se-
konyong2 terdengarlah wut...., wut....., suara samberan dua kali dan batang rotan yang
dicekalinya itu putus semua, tubuhnyapun melayang turun kebawah. Samar2 masih
didengarnya sang suci melengking seperti orang gila: „Siao Chiu, segera kau dapat mati,
wah senangnya! Ha...., ha.......ha..., ha...... "
Pada lain saat, dilihatnya suasana makin gelap gelita, angin menderu-deru disisi
telinganya, kepalanya terasa pening. dan matanya ber-kunang2. Yan-chiu yang masih
belum tinggi kepandaiannya itu, segera pingsan tak sadarkan diri
Entah sudah berapa lama ia dalam keadaan begitu, tapi ketika tersadar didengarnya ada
suara orang ber-kata2. Yang seorang sembari berkata sembari ketawa dengan keras,
sedang yang lain nada suaran ja kecil halus macam orang perempuan. Lapat2
didengarnya juga deru samberan angin pukulan, sepertinya kedua orang itu tengah
berkelahi. Tapi ditilik dari lagu pembicaraannya, kedua orang itu tak mirip dengan orang
yang sedang tantang2an.
Dalam pada itu, tak habis keheranan Yan-chiu, Terang tadi ia telah jatuh kedalam
lembah, tapi mengapa dirinya tak kurang suatu apa. Salah seorang dari kedua orang
yang tengah adu mulut dan adu kepandaiannya itu, nada suaranya tak sedap
dipendengaran telinga. Yangan2~ bangsa siluman mereka itu ?! Tapi biarlah kunantikan
saja, demikian keputusan Yan-chiu lalu meramkan matanya lagi.
„Ha...., ha...... jurus keberapakah ini, apa masih ada lainnya lagi ?" kata yang seorang
sembari tertawa mengejek. „Kau sambut saja, yangan banyak omong!" sahut yang lain
dengan marahnya. Nada suaranya melengking sedemikian tajam, sehingga mau tak mau
Yan-chiu membuka matanya lagi.
Dan ketika membuka mata lebar2, bukan kepalang kejut dan girangnya. Kiranya terpisah
hanya berapa meter dari tempatnya situ, tampak Tio Jiang tengah berdiri. Malah tampak
sang suko itu mengawasi kearahnya. Tapi ketika ia hendak meneriaki, Tio Jiang cepat2
menggoyangkan tangan, menyuruhnya diam. Setelah itu sang suko menunyuk kemuka.
Yan-chiu memandang kearah yang ditunyuk itu, dan amboi........, hampir saja dia
berjingkrak bangun.
Kiranya disana, tampak ada seorang lelaki dan seorang perempuan tengah ber-putar2
dalam lingkaran. Ternyata didasar lembah itu tak segelap yang diduganya. Sinar
matahari dapat menyinari masuk, maka walaupun menyelang magrib, namun masih
tampak terang benderang. Dasar lembah itu penuh ditumbuhi tanam2an. Cuma saja
disekitar tempat silelaki dan siwanita ber-putar2 itu, puhun2 yang tumbuh
disekelilingnya sama tumbuh. Wanita itu berambut panjang terurai menutupi mukanya.
Sepasang matanya memancarkan sorot ke-hijau2an warnanya. Barang siapa yang
mengawasinya, tentu akan bergidik. Sedang silelaki itu pakaiannya luar biasa anehnya.
Dia seperti memakai sarung dari kulit rase, tapi kakinya tak memakai sepatu. Gerak
kakinya mantep, jauh berlainan dengan gerak kaki siwanita yang se-olah2 terapung
diatas tak menyentuh tanah itu.
Begitu mereka berputar tubuh, Yan-chiu melengak. Rasanya ia sudah pernah kenal
dengan silelaki itu. Ja, benar ia sudah kenal baik dengan orang itu, tapi ah....., lupalah
siapa dianya itu. Setelah saling berhadapan, siwanita itu berseru : ,,Jurus ini disebut ce-
gwat-bu-kong (rembulan dan bintang tiada bercahaja). Hati2lah !"
Habis berkata, terus meneryang. Gerakannya itu luar biasa cepatnya. Yan-chiu tak
terpisah jauh dari kedua orang yang tengah bertempur itu. Semestinya, ia tentu rasakan
samberan angin dari gerakan siwanita itu. Tapi nyatanya, baik suara maupun anginnya,
tiada terasa sama sekali. Yan-chiu kesima kaget, masa didunia terdapat manusia macam
begitu. Yangan2 ia itu berada diacherat ini ?! Teringat ia akan penuturan orang, bahwa
bangsa setan hantu itu tiada mempunyai bayangan, maka serentaklah ia berbangkit
untuk mengawasi. Oho......., mereka masing2 mempunyai bayangan, jadi bukan bangsa
lelembut. Waktu mengawasi jalannya pertempuran, kiranya silelaki dan siwanita itu
sudah merapat satu mama lain hingga merupakan sebuah lingkaran bayangan. . Tapi
pada lain saat, keduanya saling berpencar lagi.
,,Bagus, bagus, lihay amat kau! Didunia jarang mendapat tandingan tentu !" seru silelaki
dengan tertawa keras. Dan serta tampak Yan-chiu sudah berdiri, silelaki aneh itu segera
unyuk muka-setan, serunya: „Ho, kau sudah bangun?"
Melihat tingkah silelaki aneh itu, tersadarlah ingatan Yan-chiu. Tak salah lagi, dia jalah
sipengemis lucu yang tempo diluitay telah membantunya merobohkan salah seorang
samtianglo dari Ci Hun Si. Tempo hari sih pakaian dan mukanya kotor kumal, tapi kini
dengan mukanya yang bersih, yanggut bercabang tiga serta jubah kulit rase itu, mirip
sudah dia dengan seorang pedagang kaja dari daerah utara. Malah sesaat itu teringatlah
Yan-chiu bahwa ia masih menyimpan sebuah gelang besi dari orang aneh itu. Saking
girangnya, Yan-chiu bertepuk tangan berseru: „Oi....., kiranya kau ......"
Tapi baru dia berseru begitu, siwanita tadipun memandang kearahnya. Bulu roma Yan-
chiu seketika berdiri, perasaannya tak enak, maka buru2 ia memalingkan kepalanya.
Tapi disana dilihatnya sang suko mengawasi tajam2 pada siwanita itu, rupanya tengah
bersiaga keras. Tiba2 ia teringat akan cerita Nyo Kong-lim tentang seorang wanita
berambut panjang. Yangan2 inilah wanita itu. Dengan sigap, ia berpaling lagi kemuka;
justeru kala itu mata siwanita aneh itu tengah menatapnya. Begitu saling bentrok
pandangan mata, menggigillah Yan-chiu. Kalau pada tengah malam ia menyumpai wanita
itu, mungkin ia kira tentu berhadapan dengan sesosok hantu !
Melihat Yan-chiu tak berani memandangnya, tertawalah siwanita itu ter-kekeh2, ujarnya:
,,Kui Ing-cu, apakah budak perempuan itu juga muridnya Ceng Bo siangjin ?"
„Ceng Bo siangd jin juga seorang pemimpin ternama dalam jaman ini, masakan dia mau
mempunyai seorang murid kantong kosong seperti dianya itu!" sahut silelaki aneh dengan
tertawa meringis. Yan-chiu tak marah dikatakan begitu, melainkan deliki mata saja.
Mencuri kesempatan selagi siwanita itu tak mengawasinya, silelaki aneh itu kembali
unyuk muka-setan pada Yan-chiu. Matanya dimerem-melekkan beberapa kali.
Sebagai gadis yang cerdas, segera Yan-chiu dapat menangkap, maksud isjarat orang.
„Macam Ceng Bo siangjin, mana lajak menyadi suhuku?" ia mendamperat. Tapi segera ia
jeri sendiri. Sungguh keterlaluan sekali ucapannya tadi. Kalau sampai didengar sang
suhu, yangan tanya dosa lagi. la celingukan kesana-sini, lalu tertawa sendiri. Masakan
sang suhu bisa datang ketempat macam begitu ?
,,Siao Chiu, yangan kurang ajar!" tiba2 seorang lelaki membentak. Semangat Yan-chiu
serasa terbang. Kedua tangannya didekapkan kekepala, „Celaka!" serunya dengan
ketakutan. Tapi demi ia berpaling dan melihat yang membentak tadi hanya sang suko,
kontan ia menyahut: „Fui, siapa yang kurang ajar?"
Kui Ing-cu tertawa ter-kakah2, sebaliknya siwanita aneh segera memujinya: „Bagus!
Macam apakah Ceng Bo siangjin itu. Budak, siapakah suhumu ?" Mendengar itu Yan-
chiu kemekmek. la kerlingkan ekor mata kearah silelaki aneh, siapa ternyata tengah
memandang kelangit. „Suhu wanpwe ialah Ma Bu-tek!" sahutnya se-kena2nya. Ma Bu-
tek, artinya „kuda tiada terlawan."
,,Ma Bu-tek ?" menegas siwanita setelah merenung sejenak, „rasanya seorang yang tiada
terkenal itu." Kemudian ia berpaling kearah Kui Ing-cu, serunya: „Mari mulai lagi, sudah
janyi 300 jurus, mengapa baru 70 saja sudah berhenti ?
Kui Ing-cu ter-bahak2. „Kiang Siang Yan, kau anggap 'thay im lian sing kang" mu itu
tiada lawannya dikolong langit, maka setelah bertempur seri dengan aku, kau lantas
kurang terima bukan ?"
Mendengar nama „Kiang Siang Yan", Tio Jiang dan Yan-chiu sama terperanyat. Kiranya
wanita itu adalah isteri suhunya atau subo mereka juga!
,,Ja, memang. Apa kau berani lanyutkan pertempuran lagi ?" tanya Kiang Siang Yan
dengan tertawa dingin, seraja ber-putar2 mendekati Kui Ing-cu. Bermula Tio Diang dan
Yan-chiu yang berdiri dekat sekali tak merasakan samberaan apa2, tai tahu2..... terasa
ada dorongan suatu tegnaga yang maha kuat.
Buru2 kedua anak muda itu gunakan cian-kin-tui agar tak jatuh. Tio Diang Jiang yang
kepandaiannya tinngi, hanya ter-hujung2 sedikit. Tapi Yan-chiu sudah sempojongan
sampai empat-lima tindak kebelakang baru kemudian dapat tegak lagi. Diam2 ia leletkan
lidah. Belum Pernah ia melihat atau mendengar ilmu kepandaian macam begitu.
Kiang Siang Yan pun sudah bertempur lagi dengan Kui Ing-cu. Baru Kiang Sian Yan
menghampiri, Kui Ing-cu sudah segera menyambutnya dengan sebuah hantaman keras,
hingga terpaksa. Kiang Siang Yan melambung keatas. Rambutnya kejur menyulai
kebawah, begitu ulurkan jari2 tangan kanannya yang keras bagai kait itu, ia melayang
kearah kepala lawan, serunya: „Inilah yang disebut 'peh hun kam kau' (mega putih
mengejar anying!" -
Yan-chiu melengak, masa ada jurus silat Yang namanya begitu aneh ? Tiba2 Kui Ing-cu
miringkan tubuh, sepasang tangannya digerak2kan terus dihantamkan kearah Kiang
Siang Yan- serunya: „Jurusku ini, juga disebut Peh-hun-kam-kau."
Baru Yan-chiu ketahui bahwa kedua orang aneh itu. tengah adu lidah bersitegang leher
ngotot). Dalam Pertempuran sedahsjat itu, keduanya tetap dapat bergurau suatu, suatu
pertanda bagaimana lihay mereka itu. Yan-chiu makin ketarik. Tadi Kian Siang Yan
masih melayang diatas dan Kui Ing-cu telah menyambutnya dengan tebasan dua belah
tangannya, tapi entah bagai mana, tahu2 Kiang Siang Yan sudah meluncur turun
dibelakang lawannya. Karena hantamannya menemui tempat kosong, maka terdenrlah
bunyi krek-bum....... dari puhun tua yang tumbang kena hantaman Kui Iug-cu itu.
Cepat2 Kui Ing-cu berpaling kebelakang seraja berseru: „Huh, sial, sial, kepalaku
dilangkahi oleh bibi itu!" Mendengar kata2 itu, pecahlah ketawa Yan-chiu.
„Budak perempuan, kau tertawai apa" tiba2 Kui Ing-cu deliki mata terus mirngkan tubuh
dan menampar Yan-chiu, sudah tentu bukan kepalang , kejut Yan-chiu, hendak
menghindar sudah tak keburu. Se-konyong2 dilihatnya ada sesosok bayangan berkelebat
dihadapannya, dan menampar juga, plak ........ bukan Yan-thiu yang kena ketampar, tapi
kedua tenaga hantaman dari Kui Ing-cu dan sibayangan yang bukan lain adalah Kiang
Siang Jan itu yang saling berbentur. Entah berapa jurus lagi pertempuran akan
berlangsung setelah itu. Tapi tahu2 Kui Ing-cu loncat kesamping dan berseru keras:
„Kiang Siang Yan, aku punya usul baru!"
,,Kui Ing-cu, kaupun terhitung dalam golongan datuk jaman ini. Mengapa kau lepaskan
tangan jahat pada seorang budak perempuan yang masih bau pupuk ?!" jawab Kiang Sian
Yan dengan ejekan dingin.
Kui Ing-cu tertawa panjang, serunya: ,,Tapi baimana kau perlakukan bocah lelaki itu
tadi?" Yang dimaksud dengan bocah lelaki ialah Tio Jiang, siapa waktu jatuh kedasar
lembah situ justeru tepat Kui Ing-cu tengah mengukur kepandaian dengan Kiang Siang
Yan. Demi tampak ada sesosok tubuh meluncur turun, dengan segera Kui Ing-cu melesat
untuk menyanggapinya, sehingga Tio Jiang tak kurang suatu apa dan dapat berdiri tegak
lagi . Tapi begitu Kiang Siang Yan mengetahui Tio Jiang itu adalah murid Ceng Bo siangjin
yang dibencinya itu, terus saja menghantamnya, sukur keburu dihadang oleh Kui Ing-
cu. Maka demi Kui Ing-cu menyebut2 hal itu, Kiang Siang Yan tak dapat menyahut, lalu
berganti haluan, tanyanya: „Lekas katakan apa usulmu itu !"
„Naga2nya kita berdua ini, sekalipun bertempur sampai 300 jurus, pun bakal tiada yang
menang atau kalah....."
Baru Kui Ing -cu berkata begitu, Kiang Siang Yan terus menukasnya; „Rasanya tak
sampai begitu lama."
„Maka aku.. mempunyal usul entah bagmana Pendapatmu," teruskan Kui Ing-cu tanpa
pedulikan ejekan orang.
„He, apa2an begitu sopan santun?"
„Lekas katakan" seru Kiang Siang Yan.
Kui Ing-cu cekikikan seraja menunyuk pada Tio Jiang dan Yan-chiu. „Kedua bocah itu,
kepandaiannya tak terpaut banyak satu sama lain. Kita masing2 mengambil seorang
untuk memberinya pelajaran silat. Setelah itu kita adu mereka, bermula dengan tangan
kosong lalu dengan senyata. Siapa yang lebih pandai mengajar, dialah yang menang.
Setuju tidak kau ?" tanyanya.
Hm........, kaum persilatan menyohorkan kau seorang yang kaja muslihat. Nyatanya
memang begitulah! Bocah lanang itu terang lebih lihay dari sibudak perempuan, jadi kau
hendak cari enak sendiri bukan ?" jawab Kiang Siang Yan dengan tertawa mengejek. Kui
Ing-cu balas tertawa, ujarnya: ,,Kiang Siang Yan, kalau kau takut kalah, ambil saja bocah
lanang itu !"
Seketika marahlah Kiang Siang Yan. Rambutnya yang terurai itu serentak menyulur
dengan kaku, serunya: „Kui Ing-cu, sambutlah seranganku ini !" Begitu kakinya bergerak,
tahu2 tubuhnya sudah melesat kesamping Kui Ing-cu. Begitu sepasang tangan diangkat,
plak........bukan untuk menampar Kui Ing-cu tapi untuk saling ditepukkan sendiri. Tapi
begitu kedua tangan itu bercerai, tahu2 mendorong kearah Kui Ing-cu.
Kui Ing-cu pun aneh. Ketika Kiang Siang-Yan bertepuk tangan, dia diam saja. Tapi
sewaktu tangan Kiang Siang Yan hendak mendorongnya, se-konyong2 dia memutar
tubuh, hingga jubahnya yang terbuat dari kulit rase itu bertebar keatas. Sambil berseru:
„Pukulan thay-im-ciang yang lihay", orangnyapun sudah menyingkir pergi.
Tio Jiang dan Yan-chiu yang mengawasi pakaian Kui Ing-cu, serentak menyadi terkejut.
Baju yang terbuat dari kulit rase itu, begitu terbentur dengan tangan Kiang Siang Yan
tadi, telah berlubang sebesar mangkok. Jeri, kagum dan heran, demikian perasaan Tio
Jiang dan Yan-chiu terhadap kedua cianpwe persilatan itu.
Sewaktu menyingkir tadi, Kui Ing-cu telah lewat disisi Yan-chiu, slapa tahu2 telinganya
seperti tersusup dengan perkataan: „Budak perempuan, makilah aku lekas. Kalau
berhasil memikat wanita itu, seumur hidupmu kau tak menyesal !"
Yan-chiu yang cerdas segera mengetahui bahwa rencana Kui Ing-cu untuk mengusulkan
mengambil jago itu, dimaksud agar ia dan sukonya dapat menerima pelajaran yang sakti.
Ia mengangguk mengiakan. Begitu Kui Ing-cu sudah berada, disebelah sana, mulut Yan-
chiupun segera mulai 'berkicau: „Setua itu umurmu, mengapa hendak menghina seorang
muda seperti nonamu ini. Apakah itu bukan perbuatan seorang .......... sampai disini Yan-
chiu merandek. Ia tak boleh memaki keliwat kurang ajar, yangan2 nanti bisa
menimbulkan kemarahan siorang aneh yang bermaksud baik terhadap dirinya itu.
Sebenarnya ia hendak mengatakan „seorang bajingan besar", tapi tak jadi dan berganti
dengan lain istilah: „Kau ini benar2 seorang telur busuk !"

(Bersambung Ke Bagian 17)


BAGIAN 17
ADU JAGO
Ilmu ..Thay-im-lian-seng" telah merobah seorang jago wanita yang berhati mulia seperti
Kang Siang Yan, menyadi seorang eksentrik atau yang beradat aneh. Tiada barang
sekejabnpun dia melupakan peristiwa 10 tahun dipondok kaki gunung Lo-hu-san.
Chusus itu adegan dimana Ceng Bo siangjin, sang suami, serta merta bertekuk lutut
meratap pengampunan pada musuh. Kenangan itu menggores dalam didalam
sanubarinya, dan ini membuat ia benci sekali kepada sang suami itu.
Ikatan cinta selama 20 tahun terangkap menyadi suami isteri, telah dikikis habis oleh
thay-im-lian-seng. Hilang kepercajaannya mengapa seorang jantan perwira macam sang
suami dapat bertekuk lutut terhadap beberapa musuh saja. Maka dengan me-nyala2 rasa
kebencian, tempo hari ia telah selulup kedalam air untuk mencari suami itu. Tapi setelah
tiada berjumpa, ia naik pula kedaratan.
Ketika digoa gunung Hoasan ia menyumpai Bek Lian, timbullah kenangannya. Sepuluh
tahun yang lalu, Bek Lian hanya seorang gadis kecil yang rambutnya dikepang dua. Kini
sepuluh tahun kemudian ia sudah berobah menyadi seorang nona yang cantik bagaikan
bidadari hidup. Rasa kecintaan seorang ibu terhadap anak, meletik pula. Dan ketika
melihat sang puteri itu ber-sama2 dengan seorang pemuda ganteng, secara diam2 ia lalu
mengikuti mereka ke Hokciu.
Kang Siang Yan sudah meliliki dasar ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Ditambah 10
tahun ia berlatih keras, kini sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Keistimewaan dari
ilmu lwekang thay-im-lian-seng, jalah baik memukul, menendang, bergerak maju
mundur, sedikitpun tak mengeluarkan desis suara. Oleh karena itulah maka The Go dan
Bek Lian tiada mengerti kalau dikuntit. Ketika ia tiba didaratan, didengarnya pasukan
Ceng sudah mengepung Hoasan, malah dari seorang persilatan ia mendapat tahu, bahwa
The Go juga ikut dalam pasukan Ceng itu. Terdorong hendak bertemu dengan puterinya,
ia cepat2 menuju kesana.
Tiada disangka, begitu menginyak gunung ia berjumpa dengan Kui-ing-cu, siorang kurus
yang tak kurang anehnya itu. Entah apa sebabnya, orang itu menghambur-hamburkan
olok dan makian, kemudian memikatnya datang kedasar lembah itu. Pada pokoknya,
Kui-ing-cu mengejek kepandaian dari Kang Siang Yan, sehingga keduanya bersepakat
untuk adu kepandaian sampai 300 jurus, adalah karena itu, tanpa sengaja mereka dapat
menolong jiwa Tio D jiang dan Yan-t jhiu.
Kui-ing-t ju pernah sekali berjumpa dengan Ceng Bo siangjin. Dia suka sekali akan
kenakalan dan kegenitan dari Yan-chiu, yang dalam banyak hal menyerupai wataknya.
Maka dia lalu merancangkan suatu akal, agar Yan-chiu bisa diterima menyadi murid-
darurat dari Kang Siang Yan. Secara rahasia dia kisiki sinona supaja memakinya, dan
ketika hal itu dilakukan, diapun pura2 murka lalu hendak menyerang. Untuk „membeli"
kepercajaan Kang Siang Yan, dia mendamprat Yan-chiu: „Apa katamu, budak edan ? Tadi
aku hendak mengajarmu beberapa macam kepandaian supaja dapat mengalahkan anak
itu, tapi kini huh, persetan! Biar kau dipukul mampus olehnya!"
„Uiii, siapa sudi kau ajari?" Yan-chiu jebikan bibir.........., „bibi ini lebih jempol dari kau,
aku sudah melihat sendiri. Kalau kau tak jeri, tentu tak minta berhenti setengah jalan
begini! Bukankah kau hendak ulur waktu untuk cari kesempatan kabur ? Kalau bibi ini
mau memberi sedikit pelajaran padaku, tak nanti kau dapat lolos!"
Sahut menyahut semacam ber-olok2 itu, telah membuat Tio Jiang bersimbah peluh.
Kalau saja orang aneh itu keluar tanduk, tentu Yan-chiu akan celaka. Beberapa kali, dia
gentak2kan kakinya untuk mencegah sang sumoay, namun tak digubris. Sebaliknya
Kang Siang Yan terpikat. la, benci sekall orang kurus itu, tapi mulutnya kaku tak dapat
berdebat, Bahwa Yan-chiu telah nerocos dengan mulutnya yang tajam itu, telah
membuatn ja tertawa puas. Se-olah2 seluruh isi hatinya untuk mendamprat siorang aneh
itu, telah diwaklli Yan-chiu.
„Kiii-ing-cu, dengar tidak kau ? Seorang anak saja tahu slapa yang lebih lihay, masa kau
masih keras kepala?" ia menyeletuk.
Melihat orang termakan jerat, Kui-ing-cu dan Yan-chiu gembira benar. Masing2
mengunyuk muka-setan dan berkatalah Kui-ing-cu: „Siapa sudi,percaja kata2 seorang
budak perempuan? Sudahlah, kau berani tidak terima tantanganku tadi?"
Behim Kang Siang Yan menyahut, Yan-chiu sudah mengipasi. „Mengapa bibi takut?
Cukup satu macam ilmu pukulan saja, anak itu tentu kujatuhkan !"
Mendengar dirinya disebut „anak itu" dan hendak diajak berkelahi, Tio Jiang yang tak
tahu akan sandiwara itu, kelabakan setengah mati, seru ja: „Yan ...........''
„Huh, telur busuk macam kau, siapa kesudian kau panggil ?" bentak Yan-chiu memutus
kata2 Tio Jiang, siapa menyadi cep kelakep tak dapat berkata. Kui-ing-cu kenal watak
TIo Jiang yang jujur, besok saja dia jelaskan hal itu, tapi sekarang agar tidak pecah
rahasia, dia segera tarik lengan TIo Jiang, serunya: „Anak, ikut aku. Biar kuajarimu
sebuah ilmu pukulan untuk melabrak anak perempuan kurang ajar itu !"
Tio Jiang hendak bicara tapi tiada kesempatan lagi, karena tubuhnya terasa diseret oleh
Kui-ing-t ju menuju kebawah sebatang puhun.
Didesak begitu, Kang Siang Yan terpaksa menyerah. „Baik, Kui-ing-cu, 3 jam kemudian
kita suruh mereka bertempur!" serunya dengan nyaring yang dijawab oleh Kui-ing-cu
dengan kata „baik". Ilmu lwekang kedua tokoh itu sangatlah tingginya, jadi suara seruan
mereka melengking tajam sekali kedengarannya.
Yan-chiu bukan kepalang girangnya, tak henti2nya ia menyebut bibi kepada Kang Siang
Yan yang sudah tentu menyadi senang juga. „A-thau (budak perempuan), tunyukkan
barang sejurus kebisaanmu!" katanya.
„Celaka, masa belum diajari, malah disuruh mengunyukhan kepandaian," demikian Yan-
chiu mengeluh. Tapi ia tak berani membantah. Untuk yangan diketahui aselinya, baiklah
ia keluarkan salah satu ajaran Ceng Bo siangjin yang disebut ilmu silat Leng-wan-kun.
Sebenarnya Leng-wan-kun itu, adalah pelajaran pertama yang diterima oleh Ceng
Bosiangjin ketika diwaktu muda dia belajar silat. Ketika guru Ceng Bo tengah pesiar
kegunung Ngo-bi-san, dilihatnya kawanan orang utan ber-main2 loncat naik turun
diantara puhun dengan tangkas sekali. Diperhatikan cara2 binatang itu bergerak, dan
achirnya diciptakannyalah sebuah ilmu silat yang berdasarkan gerak orang utan yang
tangkas itu. Maka ilmu silat itu dinamakan Leng-wan-kun, atau silat orang utan yang
tangkas. Dan ketika Yan-chiu melihat T jeng Bo siangjin memainkan ilmu itu, ia ketarik
sekali dan mohon suhunya mengajarkan. Berkat bakat pembawaannya yang lincah
tangkas, Yan-chiu telah dapat mempelajari ilmu itu dengan mahir sekali.
Leng-wan-kun terdiri dari 32 jurus. Setiap jurus merupakan jurus serangan. Begitu
dimainkan, maka ber-tubi2lah serangan menyatuhi fihak lawan, sehingga lawan tak
mempunyai. kesempatan untuk balas menyerang lagi!. Demikian setelah mengambil
keputusan, Yan-chiu terus mengambil sikap hendak memulai. Tapi se-konyong2 Kui-ing-
cu kedengaran berseru: „Kang Siang Yan, jauh sedikitlah, yangan mencuri lihat
kepandaianku !"
Saking menahan kemarahann ja tapi tak dapat mengeluarkan, Kang Siang Yan
mendongak, seluruh rambutnya menyingrak kebawah dengan kencangnya. Yan-chiu
dapatkan bahwa paras dari subonya (ibu guru) itu mirip sekali dengan Bek Lian.. Ah,
kiranya sedemikian cantik subonya itu, tapi mengapa sepasang matanya sedemikian
menakutkan ? „Bibi, bolehkah aku mewakilimu mendamperatnya ?" tanyanya.
Kang Siang Yan mengangguk.
„Biarpun kau tak menyuruh, kamipun juga pergi, karena kuatir kau curi lihat nanti bisa
dibuat menyagoi dunia persilatan!" segera Yan-chiu berseru keras. Disebelah sana
terdengar orang tertawa membatu roboh, diantaranya terdapat nada ketawa Tio Jiang.
Diam2 Yan-t jhiu menduga kalau Kokonya sudah diberitahu.
Yan-chiu mengikut Kang Siang Yan menuju kebalik sebuah batu gunung. „Bibi,
kepandaianku jelek harap kau suka memberi petunyuk!" katanya setelah berada disitu
dan lalu bersyiap dalam gaja „kun wan kuan thian" (kawanan kera memandang langit),
sepasang kaki disurutkan, tangan kiri menutup dahi dan tangan kanan mengepal. Diluar
dugaan, waktu melihat itu, wajah Kang Siang Yan berobah, tanyanya „A-thau, dari mana
kau pelajari ilmu silat itu ?"
Pertanyaan itu diajukan dengan nada, geram, terbukti dart suaranya yang tajam. Karena
hebatnya lwekang Kang Siang Yan maka anak telinga Yan-chiu seperti ditusuk jarum,
sehingga saking kagetnya ia lompat berjingkrak. Tak tahu ia apa sebabnya, tapi yang
nyata dilihatnya wajah Kang Siang Yan berobah bengis. Sekilas teringatlah akan
kecerobohannya. Ilmu silat Leng-wan-kun adalah pelajaran yang paling dibanggakan oleh
sucouwnya (kakek guru), tentulah subonya itu mengetahui. Tolol...., tolol....., mengapa
pertama kali ia sudah keluarkan ilmu silat itu ?! Tapi ia bukan Liau Yan-chiu kalau dalam
menghadapi hal itu sudah mundur teratur. Cepat ia sudah mendapat akal, serunya:
„Adalah suhuku Ma Bu Tek yang mengajarkan !"
Kang Siang Yan perdengarkan suara ter-kekeh2 yang seram, lalu setindak demi setindak
maju menghampiri Yan-chiu. Sepasang matanya pencarkan sorot ber-kilau2an, sehingga
hati Yan-chiu kebat kebit. Namun ia masih pura2 tenang.
„Teruskan lagi" achirnya Kang Siang Yan memberi perentah. Kini Yan-chiu sudah
mendusin. Jurus pertama kun wan-kuan-hay tadi dilakukan dengan genah. Tapi jurus
ke dua Yang seharus „Leng wan hi kou" (orang utan mempersembahkan buah), telah
diganti begitu rupa seperti orang main pencak cakalele, tubuhnya menurun sedikit lalu
kakinya bergantian menendang kesana-sini, Sembari main pencak itu, ia melirik kearah
Kang Siang Yan, wajah siapa tampak berobah tenang. Heh, demikian Yan-chiu dapat
bernapas legah - lagi.
„Stop, berhentilah! Apa nama jurusmu itu?" tanya Kang Siang Yan. Sambil menarik
pulang tangannya, Yan-chiu menyahut dengan tangkasnya: „Kata suhuku, itulah jurus
'Thian-he-bu-tek-kun'."
Dalam sepuluh tahun kemari, hati Kang Siang Yan selalu direndam oleh kebencian,
sehingga perangainyapun berobah eksentrik. Wajahnya sedingin es, tak pernah
bersenyum. Tapi pada saat itu demi mendengar jurus „thian-he-bu-tekkun" atau ilmu
silat tiada tandingannya didunia, pecahlah mulut Kang Siang Yan menghamburkan tawa.
„A-thau, kau dibohongi suhumu, mana didunia ada ilmu silat macam begitu ?"
Hati Yan-chiu serasa terlepas dari tindihan sebuah batu besar. Menuruti lagu orang, la,
menyahut: „Bibi, sukalah kau mengajari barang sejurus saja yang genah!"
Kata orang „segala apa dapat diterebos, melainkan pantat kuda saja yang tidak". Ujar2
itu berlaku juga pada para maha wiku dan dewa, apalagi Kang Siang Yan. „Athau, anggap
saja peruntunganmu bagus. Untuk memenangkan pertaruhan tadi, kau bakal mendapat
keuntungan besar!" katanya. Sudah tentu Yan-chiu ter-sipu2 mengiakan. Kata Kang
Siang Yan pula: „Anak itu adalah murid Hayte-kau Bek Ing, sudah tentu menyadi
kebanggaan Hay-te-kau. Meskipun anaknya lolok (sedikit tolol), tapi ilmu silatnya boleh
juga!"
Yan-chiu heran mengapa subonya itu begitu membenci sang suhu. Namun tak berani ia
bertanya.
„Untung kepandaian dari Hay-te-kau itu, dapat kufahami semua......" baru saja Kang
Siang Yan bicara sampai disini, Yan-chiu memberanikan diri memutusnya: „Bibi, pernah
apa kau dengan Hay-te-kau ?"
„A-thau, apa katamu ?" bentak Kang Siang Yan dengan mata beringas. Yan-chiu leletkan
lidah, menyahut: ,,Oh, kutahu bibi ini tentu susiok (paman guru) dari dia, kalau tidak
masa mengetahui kepandaiannya ?
Kang Siang Yan menghela napas panjang „Sekarang hendak kuajarmu sebuah ihnu silat
yang disebut Ngo-hok-kun. Kulihat ilmu mengentengi tubuhnya t jukup baik, tentu lekas
dapat. Nah, lihatlah dengan perdata!" habis berkata, tiba2 meloncat keudara, bum.......
tangannya menghantam kebawah, puhun2 siong didekat iitu sama bergoncang dan
daunnya rontok. Kini tubuhnya me-layang2 diudara dilkuti uleh samberan angin yang
men-deru2. Gajanya tak ubah seperti seekor kelelawar yang me-nyambar2 diudara,
penuh padat dengan kelincahan dan keindahan.
Ngo-hok-kun atau silat lima ekor kelelawar terdiri dari 26 jurus. Dengan penuh perhatian
Yan-chiu mencatat semuanya itu dalam hati. Boleh dikata lebih dari separoh bagian dia
telah dapat menghafalnya. Berulang kali ia mainkan iImu silat itu, dengan Kang Siang
Yan tak putus2nya memberi petunyuk. Tak sampai dua jam, meskipun belum seluruhnya
dapat memahami intisari kesaktiannya, namun ia mendapatkan ilmu silat itu jauh lebih
hebat dari Leng-wan-kun. Didam girangnya ia segera berseru keras2: „Telur busuk:
Tio Jiang menyahut seraja keluar, disusul oleh Yan-chiu, siapa tanpa tanya ini itu terus
saja lancarkan serangannya Ngo-hok-kun yang habis dipelajari itu. Tio Jiang memendak
untuk menghindar. Demikianlah kedua „jago" itu bersabung dengan seru. Disebelah sana
sang botoh, Kui-ing-cu dan Kang Siang Yan, melihati dengan penuh perhatian.
Yan-chiu tahu kalau sukonya itu tak nanti akan melukainya, maka sembari bertempur
ia memikat sukonya berada lebih jauh dari kedua tokoh aneh itu. „Suko, bikin serie saja
agar kita dapat mengeduk pelajaran mereka!" bisik sinona.
„Siao - Ciu, Lian suci masih berada diatas karang!" sahut Tio Jiang. Penyahutan itu telah
membuat Yan-chiu mendongkol benar, dampratnya: „Kau ini sungguh gila basa! Mengapa
otakmu penuh dengan Lian suci, saja ? Apakah aku ini bukan seorang anak perempuan
? Mengapa kau tak pikiri aku ?" Tapi seketika itu Yan-chiu meram, telah keterlaluan
bicara, wajahnya menyadi merah padam. Untuk menutupi malu, dia perhebat
serangannya kepada sang suko.
Melihat perobahan itu, Tio Jiang terkesiap. Dilihatnya gerak sang sumoay itu luar bias,
juga. Selama dua jam dengan Kui-ing-cu tadi, dia tak diajari apa2, kecuali sedikit
penyelasan tentang ilmu lwekang. Tapi ini saja cukup membuat Tio Jiang girang bukan
buatan, karena kini pengetahuannya tambah maju, Maka diapun tak berani mohon
pengajaran lainlnya dari orang aneh itu.
Karena itu, dalam menghadapi serangan Ngo-hok-kun, dia telah menyadi kelabakan juga.
Achirnya setelah dapat meloloskan diri dengan susah pajah, dia keluarkan ilmu silat
ajaran Sik Lo-sam. Berkat kini ilmunya lwekang sudah dalam, jadi dapatlah dia
memaksakan suatu pertandingan seri. Sampai 3 kali Yan-chiu ulangi penyerangannya
Ngo-hok-kun itu, namun tetap seri. Achirnya dia terpaksa loncat keluar gelanggang,
serunya: „Pertandingan seri, nanti kita bertemu lagi!" Habis berkata begitu. ia lari
menghampiri Kang Siang Yan, lapornya: „Bibi, anak itu benar lihay, aku belum dapat
menyatuhkan!"
Tadi diperhatikan oleh Kang Siang Yan bahwa anak perempuan itu benar bertempur
secara mati2an. Kini demi dilihatnya wajah Yan-chiu ke-merah2an, ia menduga tentu
penasaran, maka iapun menghiburinya: „Sememangnya, anak itu mempunyai dasar
latihan yang lebih tinggi dari kau. Kalau kini kau sudah dapat bertanding seri, itu
menandakan bagaimana hebatnya Ngo-hok-kun. Yangan takut, kuajari lagi lain'macam!"
Difihak lain, Kui-ing-cupun tampak mengajak Tio Jiang masuk kedalam rimba lagi.
Ketika kedua „jago" itu hendak berkelahi lagi!, haripun sudah menyelang malam. Kujing-
cu memotes dua buah dahan pohon siong yang besar, lalu disulut untuk penerangan.
Lagi2 dalam pertempuran yang kedua kali itu, keduanya tetap main seri, Kui-ing-cu
keluarkan olok2nya, yang dibalas dengan tepat oleh Yan-chiu. Dalam kesempatan yang
luang, Kui-ing-cu telah menyusupkan kata2nya kepada Yan-chiu: „Budak, ilmu lwekang
dari wanita Itu tinggi sekali, dalam waktu sesingkat ini tak nanti kau, dapat
mempelajarinya, Tapi ia mempunyai sebuah ilmu pedang yang sakti jalah yang disebut
Hoan-kang-kiam-hwat, (ilmu pedang membalikkan sungai), Besok pagi hendak ku-.
usulkan pertandingan dengan senyata. Kau harus pura2 kalah, agar ia suka
mengajarkan ilmu pedang itu !"
Dalam dua kali bertempur itu, Yan-chiu telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Sudah tentu ia ingin mendapat pelajaran lebih banyak lagi, maka iapun mengangguk.
Malam itu Yan-t jhiu diajak Kang Siang Yan berburu kelinci hutan, yang dipanggangnya
untuk dahar malam. Untuk tempat tidur, mereka menumpuk daun puhun. siong buat
sebagai pengganti kasur.
Keesokan harinya pagi2 sekali, Yan-chiu sudah dibangunkan Kang Siang Yan. Saat itu
kedengaran Kui-ing-cu berkaok2: „Kang Siang Yan, lekas suruh jagomu keluar menerima
hajaran !"
Yan-chiu terus saja , hendak maju, tapi dicegah oleh kang Siang Yan, serunya: „Kui-ing-
cu, hari ini aku belum mengajarinya, kau mau bertanding apa ?"
„Ja, ja, benar. Dengan tangan kosong kurang menarik, apa kau berani bertanding dengan
senyata ?" balas Kui-ingt ju.
„Hm, mengapa tidak ?" sahut Kiang Siang Yan, tapi sesaat itu dia teringat kalau Tio Jiang
adalah murid kesayangan Hay-te-kau. Sudah tentu anak itu faham ilmu pedang to-hay-
kiam-hwat (menyungkirkan laut). Dalam ilmu thay-im-lian-seng, tiada terdapat pelajaran
menggunakan senyata. Untuk memenangkan pertandingan, ia harus mengajarkan ilmu
pedang Hoan-kang-kiam-hwat pada Yan-chiu. Setelah menentukan langkah, berkatalah
ia kepada Yan-chiu: „A-thau, ambillah setangkai dahan !"
Yan-chiu girang sekali. Perintah itu berarti ia akan diajari ilmu pedang. Maka dengan
cepatnya diapun sudah memutus setangkai dahan puhun siong. Kang Siang Yan
beberapa kali tebaskan tangannya, hingga dahan itu kini menyadi runcing seperti
pedang. „A-thau, ilmu pedang ini, lain dari yang lain. Aku akan memainkan lambat2,
supaja kau dapat mengerti jelas !"
Habis itu, Kang Siang Yan pindahkan dahan itu ditangan kiri, sedang tangan kanan lalu
ber-gerak2 ngimbangl. „Bibi, mengapa pedang itu dimainkan dengan tangan kiri ?" tanya
Yan-chiu.
„Benar, ilmu pedang ini memang chusus diperuntukkan kaum wanita, gerakannya
sangat halus tangkas dan harus, dimainkan dengan tangan kiri. Sudahlah, yangan
banyak bertanya, perhatikan saja !" jawab Kang Siang Yan. Yan-chiu tak berani bertanya
lagi. Tampak Kang Siang Yan ber-putar2 diri, ujung pedang mengacung keatas. Tiba2
sekali berputar, ujung itu diguratkan dalam bentuk sebuah lingkaran kecil, kemudian
tak hentinya di-kibas2kan achirnya ditusukkan kemuka. Gerakan ilmu pedang itu
memang luar biasa, maka Yan-chiupun memperhatikan sepenuhnya.
„Jurus ini dinamakan „Pah-ong oh-kang" (baginda Pahong. melintasi sungai Hitam). Coba
kau lakukan!" kata Kang Siang, Yan sembari berikan dahan itu kepada Yanchiu. Setelah
menirukan hampir sejam lamanya, baru Kang Siang Yan mengajari lagi jurus kedua.
Ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hwat dan To-hay-kiam-hwat, adalah sepasang. Sama2
terdiri dari 7 bagian jurus. Seperti jurus2 pada To-hay-kiam-hwat, pun jurus2 dari Boan-
kang-kiam-hwat itu mempunyai nama2 aneh, jakni: Pah-ong-oh-kang, Kut-ji-tho-kang,
It-wi-tok-kang, Kang-sim-poh-lo, Kang-cui-kiu-jiok, Kang-te-yong-cwan dan Kang-cui-
kui-tang. Baru mempelajari jurus kelima, Yan-chiu sudah setengah mati girangnya.
Melihat anak itu lekas sekali menangkap pelajaran, Kang Slang Yanpun girang. Setelah
ke 7 jurus itu diajarkan semua, disuruhnya Yan-chiu mengulang. lagi seluruhnya. Pada
ketika Kang Siang Yan anggap permainan Yan-chiu sudah cukup, haripun sudah dekat
tengah hari. Mereka dahar lagi santapan hasil hutan situ. Lupa Yan-chiu akan
rencananya semula. Dengan memiliki ilmu pedang yang lihay itu nanti hendak unyuk
gigi membuat kaget sang suko. Biarkan suko itu mendapat tanda mata berupa lubang
tusukan pada baujunya. Hm....., garangnya! Kuatir waktunya tak mengidinkan, setelah
meruncingkan dahan itu lagi, Yan-chiu loncat keluar dan berseru: „Keluarlah hai,
buyang! Biar kukirim kau ke Se-thian (acherat) !"
Biasanya ia selalu membahasakan „suko" pada Tio Jiang, kini mendapat keaempatan
bagus, berulang kali dia memanggil „buyang atau telur busuk" sampai puas. Dalam
setengah harian itu, lagi2 Kui-ing-cu hanya memberi penyelasan mendalam tentang ilmu
lwekang, hingga makin sempurnalah pengertian Tio Jiang akan ilmu itu. Mendengar
tantangan sinona, Tio Jiangpun lalu memotes setangkai dahan. Tanpa sungkan lagi. Yan-
chiu segera buka serangan dengan jurus pertama „Pah-ong-oh-kang", dan untuk itu Tio
Jiang gunakan jurus „Tio Ik cu-hay" (Tio Ik memasak laut). Sewaktu menyerang itu,
tubuh keduanya mendorong maju, tapi anehnya, kedua dahan masing2 melayang
kesamping, sehingga kini mereka saling berhadapan muka sedemikian rapatnya, ase-
olah2 orang membisiki kawan seperti orang bertempur.
Yan-chiu terperanyat dan kuatir kalau2 diketahui rahasianya oleh Kang Siang Yan. Kini
buru2 dia berganti dengan jurus Kut-ji-tho-kang (Kut Gwan mencebur kesungai). Tapi
astagafirullah! Lagi2 kedua dahan itu masing2 lewat disisinya, bahkan kini lengan
keduanya seperti orang saling merangkul................ "
Yan-chiu makin heran. Jurus ketiga ia lancarkan, pun mengalami nasib serupa saja.
Demikan-jurus kelima dan keenam. Tatkala menginyak jurus ke 7, atau jurus yang
terachir yang semesatinya merupakan jurus yang terlihay, senyata keduanya saling
berbentur. Tubuh Yan-chiu menyorok kebelakang, sedang tangan kiri Tio Jiang tepat
menyulur kemuka dan dengan tepatnya merangkul pinggang sumoay itu. Merah padam
wajah kedua anak muda itu. Cepat2 keduanya loncat menyingkir. „Bibi, runyam ni!" seru
Yan-chiu.
Kang Siang Yan sendiripun tak mengerti. Kang Siang Yan mengasah otak dan tiba2
tersedarlah ia. Ternyata sepasang ilmu pedang itu, harus dimainkan oleh pasangan pria-
wanita untuk menghadapi musuh. Dan ini baru mengunyukkan kesaktiannya. Tapi kalau
pria dan wanita Itu saling bertempur sendiri, tiada seorangpun yang akan dapat melukai
kawannya. Sewaktu Kang Siang Yan dan Hay-te-kau masing2 mempelajari ilmu pedang
itu,. mereka masih ber-kasih2an, jadi tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk
bertempur sendiri. Apa lagi peraturan perguruan menetapkan, siapa pun juga tidak boleh
mencuri lihat kepandaian saudara seperguruannya, Jadi keduanya tak mengerti akan
keindahan dari ilmupedang masing2. Setelah menyelesaikan pelajarannya, mereka
terangkap menyadi suami isteri, jadi tak pernah bertempur. Oleh karena itu, mereka
gelap akan inti kebagusan kedua ilmu pedang itu. Baru kini Kang Siang Yan terbuka
matanya.
Memikir sampai disitu, terdengar ia menghela napas. la, menduga, pencipta dari
sepasang ilmu pedang itu, tentu sudah mengerti akan kehidupan sepasang suami isteri
atau sepasang kekasih. Bagaimanapun juga, tetap ada kemungkinan bahwa suami isteri
itu akan timbul perpecahan atau percekcokan. Bermula bibit itu kecil saja, tapi jurang
salah paham itu makin lama makin lebar dan achirnya jadilah suatu pertentangan hebat.
Apabila kedua suami isteri itu sampai bertempur, masing2 tiada dapat tercelaka. Malah
kedua ilmupedang itu digubah sedemikian rupa, sebingga dapatlah pasangan yang
sedang menuruti kemarahan hati masing2 itu, akan tersedar dan berachir dengan suatu
perdamaian dan kerukunan kembali. Ah, tentulah pencptanya itu seorang yang pernah
mengalami badai gelombang penghidupan didalam melajari bahtera hidupnya.
Pikiran Kang Siang Yan melayang jauh akan masa kehidupan suami-isteri dengan Bek
Ing. Adakah disitu terselip suatu kesalahan faham ? Ah, ia menyaksikan hal itu dengan
mata kepala sendiri, masa bisa keliru! Maka dalam sekejab saja kenangan Itupun lenyap
dalam pikirannya.
„Kang Siang Yan, bukantah kita serie namanya ? Maaf, aku tak dapat menemani lama2
!" ser Kui-ing-cu.
„Yangan kesusu pergi dulu! Masa hanya sekali bertanding senyata, lantas sudah!" cepat
Kang Siang Yan mencegahnya, sembari merebut dahan kaju yang dicekal Yan-chiu turut
tertarik kemuka dan jatuh, cring.........sebuah benda jatuh keluar dari dalam bajunya.
Yan-chiu menyadi pucat dan buru2 hendak mengambilnya, tapi kalah cepat dengan Kang
Siang Yan yang sudah menyambarnya. Melihat rahasia telah pecah, dengan gugupnya
Yan-chiu mundur hampai 10 tindak seraja melambaikan tangan pada Kui-ing-cu.
Begitu melihat benda itu, wajah Kang Siang Yan berobah murka besar. Kiranya benda itu
adalah thiat-hoan (gelang besi) pemberian Kui-ing-cu ! Gelang yang melingkar macam
ular itu, adalah ciri peribadi dari Kui-ing-cu. Setiap orang persilatan sama
memakluminya. Misalnya ketika pertempuran diluitay gunung Gwat-siu-san tempo hari,
toa-ah-ko Thian Te Hwe jani Ki Ce-tiong pun mengenali benda itu sebagai milik Kui-ing-
cu, apalagi seorang tokoh mat jam Kang Siang Yan.
Kini jelaslah Kang Siang Yan akan persoalannya, Dirinya dilijadikan, bulan2 sandiwara
kedua orang itu, yang maksudnya supaja ia menurunkan pelajaran silat pada sinona.
Sudah tentu marahnya bukan kepalang, sehingga seluruh rambut kepalanya sama
menyingkrak lempang. Dalam wajahnya yang cantik itu, terlihat juga raut muka yang
menyeremkan orang. „Setan cilik, besar sekali nyalimu ja ?!"
Yan-chiu mundur lagi sampai sepuluhan. tindak, namun Kang Siang Yan men jeringai
seram: „Setan cilik, kau naik kelangit, aku susul kelangit. Kau masuk kebumi aku kejar
kesana. Apa abamu ?"
Kini Yan-chiu yang main mundur itu sudah. tiba disamping Kui-ing-t jiu. „Lo-cianpwe,
tolonglah aku!" serunya dengan meratap. Tapi Kui-ing-cu siorang aneh itu malah
terkekeh-kekeh, sahutnya: „Apa bukan 'telur busuk' lagi ?"
Melihat sorot mata Kang Siang Yan memancar buas dan sikapnya sudah siap menyerang,
wajah Yan-chiu menyadi pucat, dia meratap gugup sekali: „Lo-cianpwe, yangan bergurau
lagi!" ,
,,A-thau, kemana larinya kecerdasanmu biasanya itu ?" balas Kui-ing-cu dengan tenang2.
Memang karena jeri akan kesaktian Kang Siang Yan, Yan-chiu sudah menyadi ketakutan
sedemikian rupa. Sepatah kata darl Kui-ing-cu itu telah menyadarkannya. Resiko itu, dia
sendiri yang harus menghadapinya, karena toh ia sendiri yang berbuat. Sesaat itu
timbullah nyali ja. Dengan mendapat ketenangannya lagi, ia berseru, kepada Kang Siang
Yan: „Subo, lain kali aku sungguh tak berani lagi!" ,
Mendengar dirin ja disebut „subo" (ibu guru), Kang Siang Yan termangu. Diam2 dia
anggap gadis itu keliwat jerdik sehingga dirinya , sampai kena dikelabui mentah2.
Pertama kali sewaktu mempertunyukkan ilmu silat Lang-wan-kun, memang ia sudah
curiga, Tapi karena pandainya gadis itu mainkan rolnya, sehingga kini dengan serta
merta ia telah turunkan pelajaran yang sakti2. Kalau dulu, mungkin Kang Siang, Yan
akan menyudahi begitu saja urusan itu, tapi kini setelah kemasukan hawa jahat dari
ilmu thay-im-lian-seng, sudah mend jadi kerangsokan setan. Sekali bergerak tampak dia
melesat 'kearah Yan-chiu, Kui Ing-cu dan Tio Jiang. Melihat sikapnya, ia tentu akan
menyerang. Tapi entah bagaimana, terpisah tujuh delapan tindak jauhn ja, tiba2 ia
berhenti dengan serentak. Benar2 ia telah menguasai puncak kesempurnaan ilmunya,
sehingga „kalau bergerak seperti kelinci, jika diam bagaikan gunung", artinya ia dapat
menguasai gerak-geriknya dengan tepat. Yan-chiu bertiga kagum sekali atas gerakan
wanita tersebut yang mengunyuk sampai dibatas mana ilmu lwekangnya.
Kui-ing-cu tahu kalau wanita itu amat murka, sehingga wajahnya sedemikian pucat.
Sahutnya: „Kedua anak ini mengakui kau sebagai subo. Dalam pertemuan pertama,
seharusnyalah kalau memberi sedikit hadiah, mengapa kau begitu pelit ?"
Kang Siang Yan termenung diam. Memang peristiwa pertengkarannya dengan sang
suami, sudah menyadi buah tutur orang persilatan. Walaupun begltu, tak mau ia
menerangkan kepada Kui-ing-cu. Dalam keheningan suasana itu, tiba2 Kui-ing-cu
ulurkan tangan mencubit lengan Yan-chiu, sehingga nona itu menyerit kesakitan. Kang
Siang Yan terkesiap, adalah detik2 kesiap itu, secepat kilat Kui-ing-cu melesat kearahnya
dan tahu2 Kang Siang Yan rasakan matanya ber-kunang2. Tahu ia kalau orang telah
menyerang dengan tiba2, hal mana telah menimbulkan kegusarannya. Tak kurang
sebatnya, ia menebas dengan thay-im-ciang yang tak bersuara itu.
Kui-ing-cu takut kalau Kang Siang Yan menghancurkan gelang besinya itu. Gelang besi
itu merupakan ciri peribadinya, dengan dirusak orang, hilanglah mukanya. Maka tadi dia
telah nekad untuk merebutnya. Tapi perbuatan itu telah menimbulkan kemarahan Kang
Siang Yan. Kalau kepandaian Kang Siang Yan lemah, tentu. Kui-ing-cu akan dapat
mencapai maksudnya, tapi wanita itu setingkat kepandaiannya dengan dia, malah
ilmunya thay-im-ciang luar biasa berbahayanya karena tidak mengeluarkan suara hingga
orang sukar untuk menolaknya.
Baru tubuh keduanya berbentur sejenak, atau secepat itu pula sudah saling berpencar
lagi. Benar gelang telah terampas oleh Kui-ing-cu, tapi pundaknyapun kena terbentur
dengan samberan pukulan thay-im-ciang. Bagaimana lihaynya, terpaksa dia menggigil
juga tubuhnya. Itu saja dia hanya terkena separoh bagian dari pukulan maut tersebut.
„A-t.hau, sambutilah ini !" serunya melemparkan gelang besi kepada Yan-chiu. Habis itu,
dia lalu duduk bersila mengambil napas. Kang Siang Yan memandangnya dengan
menyeringai, ujarnya : „Kui-ing-cu, kau telah termakan thay-im-ciangku, kalau kuhajar
lagi dirimu, adalah semudah orang membalik telapak tangan. Tapi kau tentu tak mau
mengaku kalah. Kalau kau masih mau mengukur kepandaian, tunggulah sampai 7 hari,
lagi!" Kata2 itu ditutup dengan,sebuah tawa dingin.
Melihat tiang-pelindungnya terluka, Tio Jiang dan Yan-chiu sangat terperanyat. Tio Jiang
menyembat sebatang dahan puhun sebesar lengan, melangkah kehadapan sumoaynya,
hal mana telah membuat sinona sangat berterima kasih.
Biasanya ia sangat cerdas, tapi entah bagaimana pada saat itu otaknya macet, tak dapat
memikir jalan lolos. Tampak ia kepalkan kedua tangannya sendiri yang basah dengan
keringat itu.
Kang Siang, Yan perdengarkan suara ketawa, yang kumandangnya makin dekat. Dan
berbareng dengan itu Kang Siang Yan loncat - merangsangnya. Tio D jiang men jambut
dengan sebuah tusukan dahan ka ju tadi, tapi sesaat itu d juga sikun ja terasa dipijat
keras dan tahu2 dahan itu sudali pindah ketangan Kang Sang Yan, siapa sudah loncat
beberapa tindak kebelakang. „Kalian berdua ini, tidak berharga membikin kotor
tanganku! A-thau, lekas kembalikan kepandaianku tadi. baru nanti kuampuni!" serun ja
kepada Yan-t jhiu, lalu gerakkan. dahan kaju tadi yang secepat kilat sudah lantas
melayang kearah Yan-t jhiu. Yan-chiu mau menghindar, tapi sudah tak keburu lag!, sret
.......dahan kaju itu menancap masuk kedalam sebuah batu karang yang berada beberapa
centi dimukanya. Tangkainya tak henti2nya bergoncang !
Saking takutnya, Yan-chiu mengucurkan keringat dingin. „Lekas lakukan sendiri!"
kembali Kang Siang Yan membentak yang dimaksud dengan „mengembalikan Ilmu" jalah
suruh Yan-chiu mengutungi sendiri kaki tangannya, sehingga' menyadi seorang invalid.
Kui-ing-cu terluka, sedang ia dan sukonya bukan lawan wanita itu. Saking bingungnya,
ia lalu menangis, ratapnya : „Subo, aku berjanyi tak gunakan kepandaian dari ajaranmu
tadi. Kalau harus mengutungi kaki tangan, artin a pelajaranku sendiri dulu juga turut
hilang, bukantah ini tak adil !"
Yan-t jhiu masih berusia muda, jadi Iagu pembicaraann ja itu pun masih mengunyuk
sifat kanak2. Dalam menghadapi ancaman sehebat itu, kata2nya masih lucu
kedengarannya. Juga Tio Jiang tak kurang kagetnya. Dia menghampiri dan dengan
kerahkan tenaganya, cabut dahan kaju yang menancap pada karang tadi. Kala
mendengar ratapan Yan-chiu, diapun tergetar hatinya. Dipandangnya wajah Kang Siang
Yan untuk mengharap kemurahan hatinya, namun agaknya hati Kang Siang Yan sudah
membatu. „A-thau, berani berbuat berani menanggung resiko. Kalau berajal dom sampai
aku terpaksa turun tangan, akibatn ja akan lehIh hebat !" serunya.
Kali ini Tio Jiang tak kuasa menahan perasaannya lagi!. Mulutnya menyatakan apa yang
dirasa oleh sang hati, Subo, Siao Chiu sudah berjanyi tak akan menggunakan pelajaran
darimu, mengapa kau mendesaknya ? Masakan orang tak dapat menerima perasaan
orang ?" serunya dengan tabah. Mendengar itu, Kang Siang Yan mendongak tertawa,
rambutnya menyigrak kencang, lalu 'dengan suara yang bagaikan guntur menyambar,
berkata: „Kalau aku tak mau menerima, habis kau mau apa ? A-thau, lekas kerjakan
sendiri!"
Tio Jiang segera angsurkan dahan kaju tadi pada Yan-chiu, siapa kedengaran bertanya
dengan heran: „Suko, adakah kau juga maukan aku melakukan perentah itu ?"
Tio D jiang membungkuk untuk mengambu sebatang ran1 Ing ket jil sera ja berbisik:
„Siao T jhiu, sedikitn ja kita ber(hra dapat bertahan sampai beberapa jurus!"
„Suko, mana kita bisa menandinginya ?" ,
„Itu bukan soal, asal kita tak mati sia2!"
Tanya jawab itu didengar juga oleh Kang Siang Yan. Dia benci kepada sang suami karena
suaminya itu dianggap ber-laku pengecut. Bahwa TIo Jiang telah berlaku gagah untuk
melindungi sumoaynya, ia terpikat d juga. „Baiklah, bhiar aku mengalah sampai 3 jurus!"
serunya dengan tertawa dingin.
Tiga jurus, mungkin ada perobahan, demikian pikir Yan-chiu siapa terus pindahkan
„pedang" ketangan kiri, lalu membuat sebuah gerakan hingga menerbitkan lingkaran
sinar. Habis itu, maju selangkah ia menusuk dengan gerak jurus Hoan-kang-kiam-hwat
yang pertama jakni Pah-ong-oh-kang. Ilmu pedang itu baru sa ja la pelajari dari Kang
Siang Yan. Melihat sumoaynya sudah bertindak, Tio Jiang pun maju dengan serangannya
Thio-Ik cu-hay. Sepasang ilmu pedang yang sakti, saling bertemu pula dalam menghadapi
bahaja. Yang satu dari kanan dan yang lain dari kiri, berbareng menyerang dengan
serentak.
Untuk serangan pertama itu Kang Siang Yan sesual dengan janyinya, hanya menghindar
kesamping, sehingga serangan kedua anak muda tadi menemui tempat kosong. Tio Jiang
tak mau buang tempo, secepat kilat merobah gerakannya dengan jurus Boan-thian-ko-
hay, ujung kaju menuju kearah tenggorokan Kang Siang Yan, sedang berbareng itu Yan-
chiupun lancarkan jurus kedua Khut-ji-tho-kang. Dua buah serangan itu merupakan
pasangan yang tiada bandingannya lagi, yang satu menyerang yang lain bertahan.
Tapi kepandaian Kang Siang Yan sudah mencapai tingkat yang sukar diukur. Dengan
hanya melangkah setindak, dapatlah ia menghindar. Tapi Tio Jiang tetap membayangi,
dengan sebuah serangan lagi. Sedang disana Yan-chiupun sudah memutar tubuh lalu
menyerang dari belakang Kang Siang Yan. Satu dimuka satu dibelakang. Sinar pedang
me-lingkar2, perbawanya hebat benar. Sekali kurang cepat, lengan baju Kang Siang Yan
telah kena tertusuk oleh dahan Tio Jiang, baru ia enyot tubuhnya loncat melewati kedua
samberan pedang lawan.
Pengalaman itu telah memaksanya berpikir dan mengakui betapa kehebatannya
sepasang ilmu pedang. itu, Misalnya kedua anak muda itu yang dalam tingkat
kepandaian masih kalah beberapa kali lipat ganda darinya, namun sekali kurang hati2,
hampir saja tadi ia terluka. Terkenang ia akan mesa kejajaannya ber-sama2 sang suami
menyagoi dunia persilatan. Selama itu belum pernah ia mendapat tandingan. Tapi kini
hanya tinggal ia seorang diri dan memikir sampai disini, kemarahannya berkobar lagi,
serunya: „Tiga jurus sudah lampau, aku yang turun tangan atau kau mengerjakan
sendiri'"
Waktu ujung dahannya menusuk lengan baju Kang Siang Yan, Tio Jiang rasakan ada
suatu tenaga dahsjat menyampoknya. Mau tak mau Tio Jiang harus mengakui betapa
hebat ilmu lwekang sang subo itu. Yangankan hanya dia dan Yan-chiu, sekalipun
ditambah 20 orang lagi, rasanya masih belum mampu melawannya. Tapi karena urusan
sudah sampai sekian macam, lebih baik terus menggempur daripada melihat sang
sumoay kutung kaki tangannya, Maka iapun segera memberi isjarat Yan-chiu untuk
menyerang lagi.
Dengan perdengarkan suara tawa dingin, lengan baju Kang Siang Yan mengibas kemuka
Yan-chiu dan tahu2 tangannya sudah mencekal dahan Yan-chiu, terus hendak
menariknya. Tapi berbareng itu, Tio Jiang sudah menusukka dahannya kejalan darah
thian-tho-hiat ditenggorokannya, sehingga terpaksa Kang Siang Yan memutar balik
tubuhnya. Kesempatan itu digunakan Yan-chiu untuk menarik kembali dahannya, inilah
kesaktian dari sepasang ilmu pedang itu.
Tapi kini Kang Siang Yan tak mau memberi kesempatan kedua anak muda itu untuk
melancarkan jurua ke 5. Sang tangan baju mengebut, dan Yan-chiu rasakan dirinya
tertindih oleh sebuah tenaga dahsjat, sehingga dadanya hampir susah untuk bernapas.
Tak berani ia menangkis, melainkan buru2 mundur. Tio Jiang buru2 maju menolong,
tapi jarak keduanya agak jauh, sehingga sepasang ilmu pedang itu hilang daja gunanya.
Kang Siang Yan tiba2 berputar kebeIakang, kelima jarinya yang bagai kait besi itu
menerkam dan Tio Jiang rasakan tangannya sakit, lalu buru2 mundur kebelakang. Tapi
dahannya sudah berpindah ditangan Kang Siang Yan, siapa dengan melintir beberapa
kali saja telah membuat dahan sebesar lengan itu hancur lebur seperti bubuk. Sekali
menekan, dahan itu patah menyadi beberalpa kutung kecil.
Melihat Yan-t jhiu terpisah jauh dari Kang Siang Yan, Tlo Jiang menereakinya: „Siao Chiu,
lekas, lekas lari!" Yan-chiu tak mengerti apa maksud sang suko, 'tapi sekonyong2 Tio
Jiang menyerang Kang Siang Yan dengan nekadnya. Kini baru Yan-chiu tersadar akan
maksud yang mulia dari sukonya itu. Dia rela berkorban supaja sumoaynya selamat.
Adakah seorang lelaki yang berhati lebih mulia dari itu ? Dia rela binasa, untukku,
mengapa aku berlaku pengecut ? Demikian Yan-chiu mengambil keputusan. „Jiang suko,
biarlah kita mati ber-sama2!"
Sahut menyahut itu terdengar oleh Kang Siang Yan, siapa menduga kalau kedua anak
muda itu adalah sepasang kekasih. Waktu Tio Jiang merangsang maju, ia kebutkan
lengan baju dan se-olah2 ada sebuah dinding tembok kuat menghadang, hingga Tio Jiang
tak dapat menobros dekat. Waktu melihat sang sumoay tak mau lari, hati Tio Jiang makin
gelisah. Ber-ketes2 peluh mengucur dari kepalanya, urat2 didahinya pada menonyol.

(Bersambung Ke Bagian 18)


BAGIAN 18
TELUR DIUJUNG TANDUK

Adalah karena menganggap kedua anak muda itu sepasang kekasih, maka Kang Siang
Yan tergetar hatinya, maka dia tak mau balas menyerang sianak muda. Pikirannya
terkenang akan sang suami yang begitu mesra sekali kasih sayangnya, namun dalam
saat2 berbahaya, dia telah berlaku begitu pengecut. la menghela napas dalam. Sepasang
tangannya yang sedianya sudah siap dilancarkan kepada sepasang gadis dan jejaka itu,
diturunkan pula.
Melihat kesempatan itu, Tio Jiang melesat kearah Yan-chiu. Betapa tajam biasanya mulut
Yan-chiu itu, namun dalam saat2 yang mengharuk itu, ia segera menyongsong
kedatangan Tio Jiang itu dengan getaran jiwa raganya.
Kepalanya disusupkan kedada sang suko, air matanya membanyir dengan suara sedu-
sedan.
Kang Slang Yan termenung melihatnya. Pertama, waktu nampak pemuda itu maju
kehadapan untuk melindungi Yan-chiu, ia sudah symphati. Kemudian, waktu
menyakasikan pemandangan yang tragis romantis itu, hatinyapun mengiri. Turut
perasaannya dia tak mau melukai nona itu, tapi sang napsu amarah tetap mengatakan
bahwa biar bagaimana nona yang sudah berani menipu pelajarannya itu, harus dihukum.
„A-thau, apa kau masih membangkan tak mau melakukan perentahku tadi ?" -tanyanya
kemudian. Tapi berbareng itu, disebelah sana tampak Kui-ing-cu sudah berbangkit
bangun. Ket uali wajahnya yang agak pucat, nampaknya dia tak kena apa2.
Kang Siang Yan jakin bahwa ilmun ja thay-im-ciang tadi, walaupun hanya mengenai
separoh, tapi biar bagaimana lihaynya orang tentu harus memerlukan 7 hari untuk bisa
sembuh kembali. „Kui-ing-cu, apakah kau hendak membantu lagi pada, kedua bocah
itu?" tanyanya dengan sinis.
Kui-ing-cu tertawa, sahutnya: „Kang Siang Yan, benar2 lihay ilmu thay-im-ciang mu itu!
Mungkin yang menyagoi dalam dunia. Rupanya seluruh kepandaian dari Hu Liong Po,
telah kau warisi semua. Sayang seorang sakti seperti Hu Liong Po itu tiada meninggalkan.
keharuman nama, oleh karena perjalanan hidupnya Kang Siang Yan, renungkanlah!"
Seharusnya orang akan tergerak hatinya mendengar nasehat mas dari Kui-ing-cu itu,
namun Kang Siang Yan tetap berhati batu. „Perlu apa dengan etiket kosong itu ?"
sahutnya dengan mengejek.
„Baik, kalau kau turut kemauanmu dewek, asal kami bertiga tua-muda ini bersatu,
kaupun takkan berbuat banyak !" kata Kui-ing-cu dengan nada berat. Tapi belum Kang
Siang Yan menyahut, dari balik gunung sana kedengaran suara orang bersenandung:
„Mengapa bersitegang leher mencari menang, damai adalah jembatan menuju
kebahagiaan!"
Nampaknya senandung itu lelah dan lamban, tapi setiap patah kata me-lengking2
bagaikan martil memukul batu. Tio Jiang dan Yan-chiu heran, tapi tak mengetahui letak
keistimewaan suara itu. Lain halnya dengan Kang Siang Yan dan Kui-ing-cu yang segera
sama2 terperanyat, karena suara itu diucapkan oleh seorang ahli lwekang yang tinggi
sekali tingkatannya. Kalau ditilik dari tingkat kepandaiannya, mungkin orang itu adalah
Ang Hwat cinyin dari gunung Ko-to-san. Tapi kalau ditinjau dari senanyung itu, terang
bukan. Ah, entah kawan entah lawan. Begitulah kedua tokoh lihay itu me-nimang2
sembari her-siap2.
Seorang hweahio tua yang wajahnya bercahaja merah, tubuhnya tinggi besar,
mengenakan jubah pertapaan kain macao kasar, telanyang kaki dan mencekal sebatang
tongkat timah yang melebihi tinggi orangnya, nampak berjalan pe-lahan2 keluar dari
balik gunung. Setindak demi - setindak ia melangkah dengan tenang tapi kokoh laksana
sebuah gunung. Waktu sudah dekat, nampak bagaimana sepasang alisnya yang sudah
putih semua itu menyulai panjang sampai tiga dim. Rambut yanggutnya jarang, hingga
kelihatan tegas daging yanggutnya. Per-tama dia memandang kearah Tio Jiang dan Yan-
chiu, habis itu lalu berputar diri menghadap Kang Slang Yan, ujarnya: „Sian-cay....,
siancay....! Sepuluh tahun tak berjumpa, kiranya li-tham (anda) sudah berubah banyak
!"
Sewaktu hweshio itu tadi muncul dari balik gunung, agaknya ingat2 lupa Kang Siang Yan
sudah pernah mengenalnya. Kini demi mendengar kata2nya, ia tak merasa sangsi lagi.
Itulah suhu dari ketua kedua Thian Te Hui Kiau To yang disebut Tay Siang Siansu dari
gereja Liok-yong-si di Kwiciu. „Bagus, toa-hweshio !" seru- Kui-ing-cu. Tay Siang Siansu
berpaling, setelah mengawasi sejenak, dia berkata: ,,Andapun sudah terluka, apakah tak
tahu ?"
„Benar, toa-hweshio, adakah kau mempunyai daja ?" tanyanya seraja diam2 mengagumi
kepandaian sihweshio tua itu.
Tay Siang merogoh kedalam baju dan menyerahkan sebutir pil pada Kui-ing-cu, siapa
dengan kegirangan sekali sudah lantas menelannya.
„Tay Siang Siansu, orang agama mengapa suka usilan ? Lekas menyingkir, yangan
mengganggu aku!" bentak Kang Siang Yan dengan murka. Kembali sihweshio rangkapkan
kedua tangannya, menyahut dengan tenang: „Siancay......! Sepuluh tahun yang lalu
pinceng pernah menerima ajaran dari kalian. Ketika menderita kekalahan, bermula
pinceng menyiksa diri untuk berlatih lagi guna membalas sakit hati. Tapi ternyata
pelajaran Hud (Budha) itu tiada batasnya. Nyonya, sekalipun kau sekarang tusuk
tubuhku beberapa kali, akupun tak nanti membalasnya !"
Ucapan itu merupakan sumber air dingin yang menggujur tubuh Kang Siang Yan. Heran
ia mengapa orang begitu meremehkan akan dendam kesumat ? Jadi terang ilmu lwekang
thay-im-lian-seng itu berlawanan dengan ilmu lwekang kaum Hud dari Tay Siang Siansu.
Cara jalan pikirannyapun, "berbeda sekali. Petuah dari hweshio tua itu, menggetarkan
sanubari orang, tapi sayang jiwa Kang Siang Yan telah keliwat mendalam diracuni dengan
thay-im-lian-seng yang jahat itu.
„Kau tak menyalahi padaku, mengapa aku harus mengusikmu ? Budak ini telah menipu
pelajaranku, maka akan kumintanya mengembalikan!" serunya sembari terus enyot diri
kearah Yan-chiu. Kui-ing-cu cepat2 hadangkan lengannya. Tapi gerakan Kang Siang Yan
sebat, sekali. Luput yang pertama, ia melejit lagi kesamping sinona terus mencengkeram
jalan darah tay-tong-hiat dipunggungnya.
Yan-chiu rasakan tubuhnya kedinginan sekali, sehingga giginya kedengaran gemerutuk.
Buru2 ia loncat kemuka, tapi Kang Siang Yan tetap membayangi. Kemana Yan-chiu
hendak menghindar, kesitu punggungnya selalu masih dilekati tangan Kang Siang Yan.
„A-thau, jadi kau minta aku turun tangan ?" serunya. Yan-chiu tak dapat berkutik lagi,
hanya sepasang matanya mengawasi kearah Kui-ing-cu.
Kui-ing-cu hilang akal. Tadi bermula dengan munculnya Tay Siang hweshio yang pernah
terikat permusuhan dengan suami isteri Kang Siang Yan - Bek Ing itu, dia kira bakal
terjadi perobahan. Tiada kira setelah 10 tahun mengisap pelajaran Hud itu, Tay Siang
telah berobah menyadi seorang yang tawar akan segala dendam kesumat. Dia sendiri
merasa belum sembuh sama sekali. Benar tadi telah menelan pil sam-kong-tan dari Tay
Siang Siansu, tapi juga masih memerlukan suatu waktu yang tertentu, baru dapat pulili
betul2. Atas pandangan minta dikasihani dari Yan-chiu tadi, dia terpaksa tak dapat
berbuat apa kecuali tertawa kecut.
Ternyata Kang Siang Yan telah gunakan thay-im-ciang untuk menekan punggung Yan-
chiu, siapa sudah tentu tak kuat menahannya. Tubuhnya serasa demam, giginya
menggigil bergemerutukan. Wajahnya berobah menyadi ke-hijau2an. Beberapa kali Tio
Jiang hendak maju meneryang, tapi setiap kali dengan hanya mengebutkan lengan baju
Kang Siang Yan telah dapat menggebahnya. Beberapa jenak kemudian, tampak Yan-chiu
sudah kepajahan, serunya: „Kaum agama mengagungkan welas asih, tapi kau hweshio,
apakah benar2 tegah melihati aku mati ?"
Tay Siang Siansu mengawasi sejenak, lalu menghela napas, ujarnya: „Sian-cay........,
nona kecil itu benar2 tak kuat menahannya, harap nyonya suka sudahi hukuman itu'."
Kalau aku tak melepaskannya, habis mau apa?" Kang Siang Yan tertawa dingin. Adalah
karena tanya jawab itu, Yan-chiu makin bertambah kesakitan. Melihat itu Tay Siang
segera ulurkan tongkatnya kepada Yan-chiu: „Nona kecil, peganglah ini "

GAMBAR 41
„Pegang ini !" mendadak Tay Siang Siansu mengulurkan tongkatnya
kepada Yan-chiu hingga anak dara itu mendadak merasa semacam
tenaga hangat mengalir ketubuhnya melalui tongkat itu.

Yan-chiu menurut. Dari tongkat timah itu dirasanya ada. Hawa hawa hangat mengalir
kelengannya lalu menyalar keseluruh tubuh. Melihat datang bintang penolong yang
berupa penyaluran lwekang melalui tongkat, Yan-chiu makin memegang erat2 tongkat
itu. Wajahnyapun tampak agak tenang. Melihat itu, Kui-ing-cu menyadi girang, tapi
sebaliknya Kang Siang Yan murka sekali. Sebenarnya tadi ia tak ingatan hendak melukai
sungguh2, tapi kini berobahlah pendiriannya.
„Kepala gundul, jadi kau mau menolong jiwa budak ini ?" tanyanya dengan bersenyum
iblis. Dan sesaat itu Yan-chiu rasakan hawa dingin tadi merangsang lagi. Tahu ia kalau
Kang Siang Yan perhebat tenaga lwekangnya. „Toa-hweshio, aku merasa dingin lagi":
serunya dengan gugup.
Tay Siang Siansu kedengaran menghafal ajat kitab Hud (Buddha) dan Yan-chiu segera
rasakan hawa hangat pula. Tapi tak lama kemudian, tekanan thay-im-ciang merangsang
hebat lagi. Dengan begitu Yan-chiu telah menyadi „medan pertarungan" lwekang yang
hebat.
Tay. Siang tak menduga kalau Kang Siang Yan berhati seganas itu. Kini urusan sudah
runyam betul, ibarat orang naik kepunggung harimau, maju mundur serba salah. Kalau
dia tak perhebat saluran lwekangnya, Yan-chiu tentu tak kuat. Tapi kalau dia perhebat
salurannya, Kang Siang Yan pun tentu memperhebat tekanannya juga. Dengan
dirangsang hawa panas dingin begitu, wajah Yan-chiu pun sebentar merah sebentar
pucat. Darahnya serasa bergolak kencang sedang pekakas dalamnya serasa bergoncang
hebat.
Tahu juga Tay Siang Siansu, dalam beberapa saat kemudian tentu Yan-chiu akan tak
kuat menderita lagi. „Nyonya, mengapa harus merusakkan tubuh nona kecil ini ?"
katanya demi kasihan atas keadaan Yan-chiu. Tapi Kang Siang Yan sudah dirangsang
kemarahan, tak mau menyahut omongan orang. Tay Siang Siansu tak gentar menghadapi
lwekang Kang Siang Yan, tapi yang jadi korban adalah Yan-chiu sendiri nanti. Begitupun
pikiran Kui-ing-cu, dan Tio Jiang yang sibuk tak keruan sendiri itu. Kalau keduanya turut
mencekali tongkat itu, tentu dapat menambah tekanan fihak Tay Siang, tapi jiwa Yan-
chiu pasti akan melayang! Tio Jiang putar otaknya keras2, achirnya dia menemui jalan,
serunya dengan pilu: „Lian suci....., Lian suci......! Siao Chiu mendapat kesukaran dan
aku tak dapat tinggal diam. Kalau aku sampai binasa, yangan persalahkan aku !"
Sehabis berseru itu, dia merogoh keluar peniti kupu2 lalu, disisipkan ketangan Kui-ing-
cu,, katanya: „Lo-cianpwe, peniti ini adalah milik seorang nona bernama Bek Lian.
Apabila jiwaku melayang didasar lembah ini, tolong cianpwe serahkan benda itu padanya
serta sukalah sampaikan pesanku terachir kepadanya: „Sekalipun dalam kehidupan
sekarang tak beruntung terangkap menyadi suami-isteri, tapi pada penyelmaan
kemudian, kita berdua tentu akan tetap berdampingan."
Habis meninggalkan pesan, dia meneryang dengan sepasang tangan menyerang Kang
Siang Yan. Belum orangnya tiba, angin pukulannya sudah men-deru2. Begitu
merangsang maju, dia tutuk jalan darah wi-tiong-hiat sang subo. Karena kaget Tio Jiang
meneriaki nama Lian suci, Kang Siang Yan berpaling kebelakang. Dan melihat Tio Jiang
mengeluarkan peniti kupu2, wajahnya terkesiap. Hendak ia mengucap sesuatu, tapi Tio
Jiang telah merangsangnya begitu kalap, sehingga terpaksa ia menggeser setengah
tindak, lalu hantamkan sebelah tangannya, bum............. dalam jarak hanya 3 tindak
jauhnya mendapat pukulan thay-im-lian-seng, Tio Jiang mengira kalau jiwanya pasti
melayang. Tapi aneh, ketika dia menarik napas, ternyata tak merasa sakit apa2. Tapi oleh
karena dia sudah mengambil keputusan nekad untuk mengadu jiwa, maka dengan kalap
dia ulangi. lagi serangannya. „Budak, dari mana kauperoleh peniti kupu2 itu ?" bentak
Kang Siang Yan.
Atas bentakan itu, Tio Jiang merandek, sahutnya: „Pemberian Lian suci !"
„Ngaco belo!" bentak Kang Siang Yan pula.
Lian suci telah mengikat jodo denganku, peniti kupu2 ini sebagai panyarnya, mengapa
ngaco belo?" tanya Tio Jiang dengan ke-malu2an. Mendengar itu, hati Kang Siang Yan
tergetar dan karena itu, tekanannya agak kendor. Sekali didesak oleh lwekang Tay Siang
Siansu achirnya tangan itu terlepas dari punggung Yan-chiu.
Walaupun keadaannya sudah antara, sadar dengan tiada, namun pikiran Yan-chiu masih
agak terang. Demi punggungnya dirasakan longgar, cepat2 ia loncat kemuka, terus
berdiri diantara sihweshio dan Kui-ing-cu. Dipale lwekang panas-dingin tadi, sebenarnya
Yan-chiu sudah mendapat luka dalam. Maka ketika ia loncat kemuka, serasa bumi yang
dipijaknya itu ber-putar2, wajahnya pun kelihatan pucat lesi. Sekali menyerit keras,
rubuhlah ia tak ingat orang.
„Siancay....., siancay........! Karena loceng keliwat usil nona kecil ini sampai terluka,
loceng tak boleh berpeluk tangan!" kedengaran Tay Siang Siansu menghela napas seraja
melangkah maju mengangkat tubuh Yan-chiu lalu dibawa pergi. Kang Siang Yan hendak
mengejar, tapi ia berpaling kebelakang mengawasi Tio Jiang tanyanya: „Lian-ji terang ber-
kasih2an dengan seorang pelajar ganteng, masa bertungangan padamu ? Lekas katakan
!"
Setelah Yan-chiu terlepas dari bahaja, hati Tio Jiang legah sekali. Kini tak gentar lagi dia
menghadapi pertanyaan Kang Siang Yan, maka soal pertungangan itu dituturkannya,
begitu pula semua pengalamannya dengan Bek Lian. Sewaktu mendengar Bek Lian lepas
hui-to sehingga Tio Jiang sampai jatuh kedalam lembah situ, murkalah Kang Siang Yan.
„Jadi kau maksudkan puteriku itu seorang yang boceng, tak kenal cinta tak tahu
membalas budi ?"
(Bersambung Ke Bagian 19)
IBU DAN ANAK

BAGIAN 19.1

„Bukan, kukira Lian suci tentu kena ditipu oleh orang she The itu, yang berusaha hendak
memikatnya. Lian suci bukan seorang yang tak tahu budi !" sahut Tio Jiang dengan
sejujurnya. Kang Siang Yan mengawasi tajam2 pada anak muda yang tampaknya ke-
tolol2an itu. Pikirnya, ketika didalam goa tempo hari dengan mata kepala sendiri ia
saksikan Bek Lian bersama-sama dengan The Go, mereka sangat berkasih2an
nampaknya. Mengapa kini anak itu menggigau begitu ? Tapi kalau tidak, mengapa anak
itu menyimpan peniti kupu2, yang terang adalah miliknya (Kang Siang Yan) yang
diserahkan pada Bek Lian? Sikap dan wajah anak itu, menunyukkan seorang yang jujur,
jadi tentu tak berbohong. Achirnya ia menarik kesimpulan, disitu tentu ada persoalannya.
„Dimana sekarang Lian-ji ?"
„Diatas puncak karang lembah ini," sahut Tio Jiang seraja menuding keatas, ,karena
melihat ia hendak bunuh diri loncat kebawah lembah, maka aku buru2 loncat hendak
mencegah, tapi telah diserang jatuh olehnya dengan timpukan hui-to."
„Hem........." kedengaran Kang Siang Yan menggerutu terus menarik lengan Tio Jiang
diajak keatas gunung, tanpa menghiraukan Kui-ing-cu lagi.
Lembah itu ternyata curam dan gundul, hanya tumbuh beberapa tanaman kecil dan
sedikit rotan. Tiba2 Kang Siang Yan mengangkat tubuh Tio Jiang lalu dengan secara
mengagumkan sekali bagai seekor cecak merajap, ia merajap naik keatas. Tio Jiang
merasa seperti melayang diudara, angin dan kabut silih berganti lalu disisihnya. Tak
antara lama kemudian, sinar matahari makin terang benderang, jadi tentu sudah hampir
tiba diatas puncak lembah. Tiba2 serasa dia dilemparkan oleh Kang Siang Yan keatas,
maka buru2 ia gunakan gerak „burung merpati membalik badan" dan tepat jatuh berdiri
diatas tanah. Menyusul Kang Siang Yan pun tampak melayang naik.
Tio Jiang dapatkan tempat itu adalah karang yang kemarin ditempati oleh Bek Lian. Tapi
heran, mengapa kini sucinya itu tiada tampak disitu ?„Lian suci......! Lian suci......!" dia
segera berteriak dengan cemas. Tiba2 didengarnya dari balik sebuah batu besar, ada
suara orang menangis. Setelah memandang sejenak pada Kang Siang Yan, dia bergegas
menghampiri kesana. Ha.....!, kiranya disitu terdapat se-orang nona cantik tengah
menangis sembari separoh ber-jongkok. „Lian suci......, aku datang, subopun juga!"
serunya dengan kegirangan.
Pe-lahan2 Bek Lian mendongak, ah......, mungkin sehari semalam ini ia terus menerus
menangis sehingga sepasang biji matanya benyul begap. „Lian suci.....," bisik Tio Jiang
sambil berjongkok, „apakah Cian-bin Long-kun menghinamu ?"
„Plak......!" tepat kata2 itu berhenti, tepat mukanya ditampar Bek Lian, sudah tentu Tio
Jiang ke-heran2an. „Sudahku, katakan yangan datang kemari, mengapa kau berani
datang ?" bentak Bek Lian. Tapi sembari mengusap mukanya, Tio Jiang menyahut dengan
sabar: „Subo juga kemari !"
„Subo apa, kalau aku mempunyai ibu tentu tak nanti ber-nasib begini!" damprat sinona.
Pada saat itu Kang Siang Yan tepat menghampiri, kesitu, jadi ia mendengar juga, kata2
Bek Lian itu. Kasih seorang ibu, menangkan segala. Hatinya seperti disajat sembilu,
serunya: „Bek Lian, biji mataku!"
Mendengar itu, Bek Lian mendongak mengawasi. Dihadapannya tampak berdiri seorang
wanita yang walaupun rambutnya terurai panjang tapi wajahnya menyerupai dirinya.
Wajahnya yang mengunyuk rasa kasih sayang, serta kedua matanya yang memancarkan
sumber kecintaan seorang ibu, adalah yang ia cari dalam impian selama 10 tahun ini.
Tanpa dapat dicegah lagi, menyeritlah ia lalu menubruk kedalam pelukan sang ibu.
„Ma....., ma......! Anakmu ini bernasib malang!"
Ucapan itu bagaikan sembilu menyajat hati Kang Siang Yan. Sepuluh tahun mengingkari
kewajibannya sebagai seorang ibu, entah bagaimana penderitaan dari sang anak yang
haus dengan kecintaan ibunya itu. „Lian-ji......, A Lian......, yangan bersedih, ibumu disini
!"
Bek Lian tumpahkan kesedihannya didalam dekapan dada sang ibu. Tak henti2nya
tangis isaknya mengiring sang, air mata. Sepuluh tahun keduanya kehilangan satu sama
lain, kini pertemuan itu menyadi curahan haru dan sesai. masing2. Sampaipun Tio Jiang
yang menyaksikan, turut kucurkan air mata.
Entah sampai berapa lama kedua ibu dan anak itu menumpahkan perasaannya masing2.
Tapi setelah sekian lama, menangis, kini longgarlah perasaan Bek - Lian dan achirnya
berhentilah ia menangis. „Ma......, kemanakah kau pergi selama ini ? Mengapa begitu tega
meninggalkan aku ?"
A Lian, tambatan hatiku, ibu takkan meninggalkan kau lagi!," sahut Kang Siang Yan
sambil mem-belai2 rambut Bek Lian. Adalah setelah mendengar keduanya bicara, Tio
Jiang lalu menyela: „Subo, suhu masih berada di Hoasan bersama2 ke 72 Cecu
mengadakan perlawanan pada tentara Ceng. Apakah subo tak hendak, menyumpainya?"
Diluar dugaan, Kang Siang Yan dan Bek Lian deliki mata kepadanya, sehingga dia
kembali merasa heran. Karena tak tahu bagaimana harus berbuat, dengan ter-longong2
memandang Bek Lian, dia bertanya: „Lian suci, apakah kau tak kurang suatu apa ?"
Kang Siang Yan memandang Bek Lian sebentar, lalu mebgawasi Tio Jiang, tanyanya: „A
Lian, sitolol itu mengatakan padaku bahwa kau telah mengikat pertunangan padanya,
benarkah itu ?''
„Fui! Apa2an itu ?" sahut Bek Lian dengan jemu.
Lian suci, malam itu bukankah kau telah memberikan persetujuan ?" tanya Tio Jiang
dengan gugup. Bek Lian melangkah setindak membentak: „Kau gila! Malam yang mana'"
Bagi Tio Jiang malam bahagia itu diukir betul2 dalam lubuk ingatannya. „Bulan 12
tanggal 6!" sahutnya dengan tanpa ragu2.
„Edan kau!" tiba2 Kang Siang Yan membentaknya. Wajah Tio Jiang merah padam,
ujarnya; „Kalau ada sepatah kata2ku yang bohong, biarlah aku tak dapat mati dengan
aman !"
,,Siapa peduli dengan sumpahmu itu ?" seru Bek Lian dengan mengejek. Tiba2 Kang
Siang Yan loncat maju menerkam bahu Tio Jiang yang tak keburu untuk menghindar
lagi. Sesaat itu pundaknya terasa seperti dijepit oleh kait baja. „Tolol, bulan 12 tanggal 6
malam, Lian-ji tak berada ,di Kwiciu!" seru Kang Siang Yan.
„Ma, mengapa kau tahu ?" tanya Bek Lian dengan kagetnya. „Kujumpai kau ber-sama2
seorang pelajar ganteng ber-gegas2 melakukan perjalanan. Bukantah dia itu murid Ang
Hwat cinyin yang disebut Cian-bin long-kun The Go?" kata Kang Siang Yan dengan
tertawa.
„Benar, itulah engkoh Go. Ma, aku......., aku........."
„A Lian, kutahu isi hatimu. Yangan kuatir, aku dibelakangmu!" tukas Kang Siang Yan.
„Ma, tapi kini engkoh Go berada dalam tangan ajah, dikuatirkan dia tentu mendapat
kecelakaan."
„Mengapa begitu ?" tanya Kang Siang Yan. Tapi belum Bek Lian menutur, Tio Jiang yang
sedari tadi tak dibawa ber-cakap2, tak dapat menahan sabar lagi. „Lian suci, kalau kau
benar tak memberi persetujuan pada malam itu, mengapa barang ini bisa jatuh kedalam
tanganku ?" sembari menunyukkan peniti kupu2 dia berseru. Bek Lian agak kesima
melihat itu, tapi ia sendiri tak tahu sebabnya. Tapi oleh karena pikirannya hanya pada
The Go yang itu waktu berada dalam tahanan sang ajah, maka tak mau lagi ia hiraukan
Tio Jiang.
„Tatkala aku berada diperkemahan tentara Ceng, kudengar Siao Chiu mengatakan bahwa
engkoh Go sudah jatuh ditangan ajah. Ma, ketika dilautan tempo hari ajah telah
memaksa kami berdua bunuh diri, kaupun tahu sendiri. Maka begitu mendengar berita
itu, aku ber-gegas2 naik kegunung sana," Bek Lian mulai mengadu.
Lucu adalah tingkah Tio Jiang yang digilakan asmara itu. Waktu Bek Lian dan Kang Siang
Yan hanya uplek bicara sendiri tak menghiraukannya; iapun sudah tak enak. Apalagi
setelah Bek Lian menyangkal soal pertunangan itu, hati Tio Jiang remuk rendam seperti
gelas dibanting diatas batu. Tanpa disadari dia berlutut sembari memandang peniti
kupu2nya itu. Sikapnya seperti orang yang sudah berobah pikiran.
Kiranya sewaktu Bek Lian hendak menyusul ke Hoasan, tiba2 ditengah, jalan peluru
meriam jatuh tak jauh dari situ. Bummm......... bunyi menggelegar bagai halilintar
memecah bumi itu, disusul dengan terbakarnya hutan digunung situ. Puhun2 sama-ber-
derak2 roboh dan apipun berkobar dengan cepatnya. Pucatlah wajah Bek Lian. Hendak
kembali, ia tak tega memikirkan nasib The Go. Maka dengan gunakan ilmu berjalan
cepat, ia teruskan mendaki keatas. Tapi berselang berapa lama lagi, bum....., bum.....,
bum....., bum....., kembali 4 kali dentuman menggelegar, jatuh dibelakangnya. Bek Lian
makin gugup. Hari masih remang2, belum terang tanah. Ia terus mendaki keatas, tapi
karena tak kenal jalanan, tiada berapa, lama ia mendengar disebelah depan sana ada
suara hiruk pikuk.
Didalam tirai asap yang membungkus tempat itu, tanpa, disadari Bek Lian telah tiba
dimuka sebuah Soache (markas). Orang2 dalam markas itu kedengaran ramai2
menunyuk pada bola-api (peluru) yang jatuh dilamping gunung. Diantara orang2 itu,
terdapat Tieng Bo siangjin dan si Bongkok. Maka tanpa pedulikan apa2 lagi, Bek Lian
segera berteriak seperti orang gila: „Jah, dimana engkoh Go? Yangan mencelakai dia....."
Sewaktu mendengar dentuman meriam musuh, Ceng Bo, siangjin tengah memberi
perintah pada anak buah markas bagaimana untuk mempersiapkan penyagaan. Demi
mendengar teriakan Bek Lian tadi, bukan kepalang terkejutnya. Melihat keadaan
anaknya itu sedemikian rupa, pakaiannya tak keruan, rambutnya terurai kacau dan
wajahnya cemas ketakutan, buru2 Ceng Bo menobros keluar markas. Begitu menyamret
tubuh Bek Lian, terus dia enyot lagi tubuhnya melayang keatas pintu markas. Gerakan
yang mengagumkan dari siangjin itu, telah mendapat sambutan tepuk sorak yang hangat
dari Nyo Kong-Iim dan lain2nya.
Dari mana kau?" tanya Ceng Bo setelah membawa Bek Lian masuk. Tapi Bek Lian tak
lekas2 menyawab hanya, menyapukan matanya mencari The Go kesekeliling tempat situ.
Dalam kalbunya hanya terukir seorang The Go. Tidak menyawab pertanyaan sang ajah,
sebaliknya ia malah balas bertanya: „Mana engkoh Go ?" dan tanpa tunggu penyahutan
sang ajah ia sudah berteriak keras2: „Engkoh Go.....! Engkoh Go......! "
Kali ini Ceng Bo siangjin betul2 hilang kesabarannya lagi.
„Budak hina, kau panggil siapa?" bentaknya dengan murka.
Bek Lian menyeringai, sahutnya: „Aku mencari engkoh Go."
Ceng Bo melangkah setindak, sekali tangan mengajun, dia tampar muka Bek Lian, plak
......didorong oleh amarah, Ceng Bo telah menampar keras hingga pipi Bek Lian yang
halus bagaikan bunga melati itu, menyadi benyul ke-biru2an.

GAMBAR 42
„Cinta itu buta,", demikian kata pepatah. Mungkin begitulah Bek Lian menyadi
buta dimabuk cinta kepada The Go, sehingga ketika berhadapan dengan sang
ajah, masih dia tidak sadar. Saking gusarnya, „plak", Ceng Bo Siangjin
memberi tempililigan sekali kepada gadisnya itu.

„jah, pukullah aku, tapi yangan mencelakai engkoh Go!" kata Bek Lian seperti orang
linglung. Melihat Ceng Bo siangjin marah, orang2 sama tak berani buka suara. Sjukur si
Bongkok I Liok yang tak tega melihat Bek Lian dihajar, lekas2 men jela: ,Nona Lian, The
Go sudah lolos dari sini tak kurang suatu apa. Kami sekalian disini sedang sibuk, kau
beristirahat dululah kedalam markas sana !"
Serasa longgarlah dada Bek Lian mendengar hal itu. Tanpa menghiraukan lagi mengapa
si Bongkok yang biasa gagu itu bisa mendadak sontak bicara, ia serentak menyahut lega
.,,Ja, sjukurlah kalau begitu
„Nanti masih hendak kutanya lagi, sana lekas masuk!" bentak Ceng Bo siangjin. Bek Lian
menurut. Saat itu seluruh anak buah dalam markas sama keluar semua. Bek Lian men-
cari2 barangkali dapat melihat sang kekasih dan benar juga tiba2 dia berteriak keras:
„Engkoh Go!"
Teriakan itu telah membikin terkejut semua orang. Mereka sama mengawasi kearah yang
diteriakkan Bek Lian. Ada seorang liaulo (anak buah) menyusup kedalam rombongan
orang banyak. Hanya saja gerakan liaulo itu tangkas sekali. Terang itulah suatu ilmu
mengentengi tubuh yang lihay. Sampaipun Nyo Kong-lim terbelalak kaget. Seingatnya,
dalam kalangan liaulo tiada seorang yang setangkas itu.
Tapi si Bongkok sudah bertindak sebat. Sembari perdengarkan suitan, dia loncat melalui
serombongan orang, terus mengudaknya. Tapi kala itu hari masih remang2, tambahan
pula markas sangat luas, untuk mencari seorang yang dandanan semacam liaulo yang
berjumlah sekian banyak, bukan pekerjaan mudah. Tak lama kemudian tampak dia
muncul lagi, tanyanya: „Nona Lian, benarkah tadi kau melihat The Go?"
„Ih-thocu, kenapa kini kau dapat bicara? Benar dia engkoh Go, tak nanti aku salah lihat,"
sahut Bek Lian. Si Bongkok dan Nyo Kong-lim saling bertukar pandangan dan pada
banting2 kaki.
Memang Cian-bin Long-kun The Go itu seorang anak muda yang cerdas, penuh akal.
Untuk menyaga kemungkinan yang tak diinginkan, ketika dia naik keatas Hoasan, dia
mengenakan dua macam pakaian. Yang didalam pakaian liaulo, luarnya pakaiannya
sendiri. Ketika dia berhasil sembuh dari tutukan, dia segera enyot kakinya melesat keluar
dan diburu oleh si Bongkok. Begitu membiluk pada sebuah tikungan, cepat dia buang
pakaiannya luar dan kini dengan berpakaian liaulo, dia menobros masuk kedalam
rombongan liaulo. Itulah sebabnya maka si Bongkok telah kembali dengan tangan
hampa.
Itu waktu Nyo Kong-lim telah mendatangkan bala bantuan dari markas yang terdekat,
ditambah Yan-chiu dengan 100-an orang anak buah, maka banyaklah wajah2 baru yang
satu sama lain tak saling kenal. Keadaan ini sangat menguntungkan The Go. Jika kala
itu dia lantas turun gunung, tentu mudah. Tapi dia seorang yang bernyali besar. Sudah
diketahui bahwa nanti terang tanah Li Seng Tong tentu akan membombarder markas itu,
maka lebih baik dia menyadi colok dari dalam. Dentuman pertama, sangat
menggirangkan hatinya. Tapi kegirangan itu segera tersapu seketika dengan munculnya
Bek Lian.
Heran dia melihatnya, tapi demi diketahuinya Bek Lian hendak mencarinya, dia merasa
puas, lalu hendak lanyutkan rencananya. Tak terduga mata Bek Lian yang selalu
terbayang wajahnya itu, telah dapat melihatnya bahkan malah meneriaki namanya.
Saking gugupnya, dia terus menyusup masuk kedalam rombongan liaulo. Bek Lianpun
tersadar akan kechilafannya. Tak seharusnya ia membuka rahasia sang kekasih.
Suasana menyadi panik. Ceng Bo siangjin cepat loncat kebawah menghampiri Bek Lian.
Dalam pandangan imam patriot itu, Bek Lian kini bukan anaknya, melainkan seorang
kaki tangan musuh. Bek Lian segera rasakan lengannya sakit sekali sehingga menyerit:
„Ajah !"
Ceng Bo tak kenal kasihan lagi. Bermula dicengkeramnya lengan sang anak, lalu ditutuk
jalan darah yang-ko, dan -ki-ti-hiat. Habis itu dipeluntirnya lengan Bek Lian, hingga nona
itu sampai terputar tubuhnya, lalu ditutuk bahunya. Sekali didorong kemuka maka Bek
Lian ter-hujung2 kemuka. „Ringkus gadis hina ini!" seru Ceng Bo pada kawanan liaulo.
Jiwa patriot yang perwira dari Ceng Bo siangjin itu, telah disambut dengan puji-sorak
oleh semua orang. Tapi tiba2 ada orang berteriak keras2: „Api.....! Api..... !" Dan memang
dibelakang istal kuda api menyilat keatas. Kembali orang2 menyadi panik ber-gegas2
memadamkan kebakaran itu. Tapi karena dimarkas itu kekurangan air, jadi kebakaran
itu tak dapat ditolong. Si Bongkok cepat dapat menduga bahwa yang melepas api itu
tentulah The Go, maka. dengan gagahnya dia menobros kesana. Adalah Nyo Kong-lim
yang per-tama2 melihat ada seseorang tengah berloncatan diantara api dengan membawa
sebatang obor. Dengan menggerung keras, dia maju meneryang dengan sam-ciat-kun.
Memang orang itu bukan lain adalah The Go, siapa dengan sebat sekali sudah berputar
badan lalu Iontarkan obor itu kearah Nyo Kong-lim.
Nyo Kong-lim seorang lurus, akalnya sederhana. Dia tak sangka kalau bakal dilontari
obor. Dia cepat2 miringkan kepala menghindar, tapi kalah cepat. Separoh mukanya telah
kena dicium api hingga yanggut brewoknya terbakar. Dia ber-jingkrak2 murka, tapi
karena keajalan itu, The Go sudah melesat kesamping untuk secepat kilat memberi
tutukan pada jalan darah jip-tong-hiat didada ketua Hoasan itu. Dengan surutkan dada,
Nyo Kong-lim mundur selangkah sembari hantamkan sam-ciat-kun kepinggang orang.
Tapi dengan tangkasnya The Go loncat sampai 2 meter keatas. Ketika terapung diatas,
dia gerakkan sepasang kakinya untuk mendupak jalan darah jin-tiong-hiat dikepala Nyo
Kong-lim, siapa terpaksa harus mundur beberapa langkah lagi. Sjukur saat itu si
Bongkok datang dan wut .......angin pukulannya menyingkap pergi asap yang
menyelimuti tempat itu. Melihat dirinya terkepung oleh dua musuh tangguh, The Go
copot nyalinya. Sekali enyot sang kaki dia melesat kembali kedalam orang banyak.
Saking murkanya, Nyo Kong-lim dan Ih Liok berdua rasakan dadanya seperti mau
meledak. Mereka memburu maju tapi tepat pada saat itu sebuah bola-api jatuh tepat
ditengah2 markas situ. Itulah jasa The Go. Sebenarnya pasukan meriam Ceng kehilangan
sasaran, tapi begitu melihat The Go memberi kode dengan lambaian obor, mereka segera
lepaskan dua kali tembakan yang tepat mengenai.

(Bersambung Ke Bagian 19.2)


IBU DAN ANAK

BAGIAN 19.2

Hiruk pikuk dalam markas situ tak dapat dicegah lagi. Orang2 sama ber-teriak2 minta
tolong. Kegagahan mereka copot seketika demi menyaksikan kedahsjatan peluru meriam
itu. Tunggang langgang mereka hendak tinggalkan markas situ. Ceng Bo siangjin serta
Nyo Kong-lim dan kawan2 hendak mencegah, tapi tiada kuasa lagi.
„Keparat! Hay-te-kau, apa daja kita?" tanyanya kepada Ceng Bo. Siapapun tiada pilihan
lagi kecuali memerintahkan: „Mundur! Toa-cecu, mundur kemarkas ke-5 !"
Lwekang Ceng Bo siangjin sangat tinggi. Walaupun dalam kumandang dahsjat dari
letusan peluru dan suasana hiruk pikuk, namun semua orang dapat mendengarnya. Nyo
Kong-lim segera pimpin pengunduran. „Ih-heng, markas ini sukar dipertahankan. Mari
kita berpencar mencari si Cianbin Long-kun. Kalau sampai tak dapat meringkusnya, kita
tak enak hati terhadap saudara2 Hoa-san," kata Ceng Bo siangjin kepada si Bongkok,
yang tampak mengiakan. Begitulah dalam, suasana yang kacau balau itu, keduanya
mulai mencari.
Ternyata itu waktu The Go berada didalam ruangan paseban. Sedianya dia hendak
mengumpat disitu sampai orang2 Hoasan sudah menyingkir semua. Benar dipaseban itu
sudah dimakan api, tapi lebih aman rasanya daripada kalau diluar dengan resiko dapat
dipergoki si Bongkok, Ceng Bo siangjin atau lain2nya. Siasatnya itu memang lihay,
karena siapakah yang menduga kalau tempat yang tengah dimakan api itu dijadikan
tempat bersembunyi?
Namun dia boleh mengelabuhi semua orang tapi tidak sibongkok Thay-san-sin-tho Ih
Liok. Setelah sekian lama tak dapat menemukan jejaknya, Ih Liok jakin The Go tentu
bersembunyi didalam paseban. Maka tanpa hiraukan api yang men-jilat2 dia menobros
masuk. Aha......., itulah dia si Cianbin Long-kun dengan ter-tawa2 telah „bercanda"
dengan letikan api yang menyerang tubuhnya. Oleh karena letikan api riuh ber-derak2,
maka The Go sudah tak mengetahui kalau si Bongkok berada disitu.
Berhadapan dengan musuh lama, merahlah biji mata si Bongkok. Pertama kali The Go
dapat lolos, si Bongkok sudah menganggap hal itu sebagai suatu hinaan. Maka kali ini
takmau dia lepaskan sang burung lagi. Sekali melesat maju, tangan dan kakinya
berbareng menyerang. Tapi karena mendengar ada samberan angin dari samping, The Go
lekas2 menghindar. Hanya saja paseban itu sudah banyak dimakan api, jadi tempat yang
masih luang, tinggal tak seberapa banyak. Baru dia loncat dua tindak kesamping, disitu
api sudah mengulurkan lidahnya, hingga terpaksa dia balik lagi. Kini apa boleh buat, dia
undang seluruh tenaganya untuk menangkis serangan si Bongkok. Masih untung dia
berkepandaian tinggi, jadi meskipun separoh tubuh menyadi kesemutan karena
menerima hantaman si Bangkok, namun dia masih bisa melejit kesamping orang dan
bahkan memperoleh kesempatan juga untuk menutuk jalan darah siau-yau-hiat
dipinggang lawan.
Si Bongkok hanya tertawa dingin. Begitu tutukan The Go datang, cepat sekali dia putar
tubuhnya hingga ujung jari sianak muda menutuk tepat pada punuk atau segumpal
daging yang menonyol dipunggungnya itu. Astaga, mengapa selunak kapas? Saking
terperanyat, The Go terus hendak menarik balik tangannya tapi mana dapat semudah
itu! Dengan ter-kekeh2, Ih Liok berpaling sembari menerkam. Masih The Go dengan
goyangkan pundaknya bisa menghindar, tapi serangan kedua dari si Bongkok sudah
menyusul tiba.
„Celaka, The Go mengeluh. Se-konyong2 „Bumm .......", peluru tepat jatuh dipaseban itu;
Dua buah tiang besar pada paseban yang sudah tengah dimakan api, ambruk menyatuhi
kepala Ih Liok siapa dengan sebatnya segera mundur.

GAMBAR 43
Dalam keadaan kacau balau, asap tebal dan api men-jilat2 hebat.
Ih Liok,si Bongkok dari Thay-san, masih terus mencecar The Go mati2an.

Kala itu dia tengah „menangkap" jari The Go dengan tho-kang atau ilmu lwekang punuk.
Karena kejadian tadi, perhatiannya terganggu dan ini dapat digunakan se-baik2nya oleh
The Go untuk menarik keluar jarinya. Dua buah jari itu menyadi merah bengap, sakitnya
bukan kepalang. Diam2
The Go menyumpahi si Bongkok yang hendak dibalasnya apa bila kelak dapat
kesempatan. Begitu terlepas, The Go terus hendak lolos dari pintu, tapi mana pintu itu
masih ada?
Berpaling kebelakang The Go dapati wajahnya si Bongkok itu sudah beringas seperti
orang gila. Apa boleh buat, dia terpaksa menutupi mukanya dengan lengan baju, lalu
menobros, dan berhasil. Tapi begitu berada diluar, segera kedengaran ada orang
memanggilnya: „Engkoh Go!"
Itulah Bek Lian, dia tahu. Tapi karena sampai sekian lama matanya dihadapkan dengan
api besar, jadi sesaat itu dia silau tak dapat melihat jelas keadaan disekelilingnya. Tanpa
menyahut, dia membabi buta maju kemuka. Tapi baru melangkah dua tindak, ada
sebuah suitan berbunyi. Ketika diawasinya, Ceng Bo siangjin tampak menghadang
dimuka. Wajah siangjin itu mengunyuk kemurkaan hebat. Jeri melihat itu, The Go
hendak balik saja kebelakang, tapi baru tubuhnya berputar, disana sudah kedengaran
suara orang ketawa ter-kekeh2 Thay-san sin-tho Ih Liok dengan baju hangus dimakan
api dan biji matanya melotot, menghampiri datang.
Dalam jepitan kedua tokoh sakti itu, The. Go merasa harinya sudah dekat. Tapi sebelum
mati dia hendak berpantang ajal dahulu. Tiba2 matanya tertumbuk pada, tubuh Bek Lian
yang menggeletak ditanah dengan diikat. Hatinya memaki benci, tapi lahirnya
mengunyuk tawa mesra. „Lian-moay, apa kau tak terluka?" tegurnya dengan tenang.
Sudah tentu Bek Lian tak tahu kebatinan orang yang dikasihinya. „Engkoh Go, aku tak
kena apa2," sahutnya dengan serta merta. Bermula The Go hendak membuka mulut lagi,
tapi lengan kiri-kanannya telah dicekal masing2 oleh Ceng Bo siangjin dan Ih Liok.
Karena tahu akan sia2 saja, The Gopun, tak mau meronta. Malah dengan menyungging
senyum dia berkata: „Jiwi locianpwe, cayhe (aku) tentu tak mungkin lolos, mengapa jiwi
gunakan tenaga kuat2 begini ?"
Mendengar orang, masih bermaksud mengejek, Ih Liok murka sekali, cuh........, segumpal
ludahnya menyemprot muka The Go, siapa tak dapat menghindar lagi. Sesaat itu
dirasakan mukanya sakit sekali. Memang semburan ludah si Bangkok itu disertai
lwekang, jadi pipi The Go seperti dihantam palu besi, rasanya. Tapi sebagai Cian-bin
Long-kun atau si Wajah Seribu, benar dalam hati gusar sekali namun mukanya masih
mengunyuk senyum. Terima kasih atas pengajaran Iocianpwe ini!" ujarnya, Mendengar
itu, Ceng Bo segera, membentaknya: „Bangsat, yangan main lidah tajam lagi ! "
Nada suara Ceng Bo sangat berwibawa, hingga tak berani lagi The Go bercuit. Dengan
urat kerbau yang direndam minyak, kini The Go diikat kencang2 dan diletakkan didekat
Bek Lian. Ceng Bo mencari dua batang pikulan, lalu bersama Ih Liok segera membawa
mereka pergi.
(Bersambung Ke Bagian 19.3)
IBU DAN ANAK

BAGIAN 19.3

Kala itu boleh dibilang seluruh anak buah sudah tinggalkan markas itu. Malah dibawah
sana ada sebuah regu pasukan Ceng mulai menyerang naik. Setelab lepaskan pandangan
sebentar pada keadaan markas yang mengharukan itu, Ceng Bo dan si Bongkok segera
tinggalkan tempat itu menuju kebelakang gunung. Tentara Ceng pun segera membongkar
kubu2 untuk lakukan pengejaran. Adalah pada saat itu, Tio Jiang dan Yan-chiu berhasil
keluar dari sumur kering kemudian menuju kemarkas situ. Jadi mereka hanya menemui
markas No -1 itu sudah menyadi tumpukan puing tak keruan.
Tahu kalau bakal celaka, Bek Lian tak bersedih. Mati hidup asal berdampingan dengan
orang yang dikasihinya, puaslah ia. Maka selama dalam perjalanan itu, tak putus2nya ia
mengajak The Go bicara. Juga The Go tak mau unyuk kecemasannya, dia tetap
menyahuti dengan asjik gembiranya. Satu2nya harapan, mudah2an nanti muncul suatu
pertolongan yang tak di-sangka2. Ceng Bo sudah mengambil keputusan, hendak mencari
sebuah tempat sunyii lalu menghabisi jiwa kedua anak muda itu. Jadi dia antapkan saja
mereka bergurau. Tidak demikian dengan si Bongkok yang tak putus2nya me-maki2.

GAMBAR 44
Alangkah gusarnya Ceng Bo Siangjin melihat gadisnya rela menyerahkan
diri kepada pemuda penghianat bangsa itu, sekali angkat tangannya,
segera ia hendak gablok batok kepala kedua muda-mudi itu.

Tak lama kemudian, Ceng Bo tiba2 berhenti, katanya Ih-heng, aku hendak melakukan
sesuatu, harap Ih-heng menyadi saksi agar kaum persilatan tak mengatakan bahwa aku
seorang ajah yang kurang keras, sehingga anakku perempuan melakukan perbuatan
yang memalukan!"
Ih Liok cukup kenal akan perangai siangjin itu, jadi hanya mengiakan saja. Tapi tiba2
The Go tertawa menyindir: „Untuk mengejar nama kosong telah tega membunuh darah
daging sendiri, itu namanya tak kenal perikemanusiaan tak tahu kebajikan."
Ceng Bo terkesiap. Diam! dia mengakui ucapan itu memang tepat. Tapi kalau teringat
akan perbuatan Bek Lian dan The Go yang telah menyual bangsanya itu, hatinya keras
lagi, lalu teruskan perjalanannya. Tak antara berapa lama kemudian, tibalah merelka
disebuah puncak karang dimana dahulu Tio Jiang dan Yan-chiu pernah kesasar datang
disitu. Setelah menurunkan kedua orang yang dipikulnya, maka dengan menghela napas
panjang bertanyalah Ceng Bo
Ih-heng, kau atau aku yang turun tangan?"
„Bek-heng, aku ada sedikit omongan, entah kau suka mendengari tidak ?" sahut Ih Liok.
Ceng Bo menyuruhnya mengatakan. ,Nona Lian masih muda jadi tak tahu akan
persoalan, tak selajaknya dihukum seperti bajingan ini !"
„Hati orang bisa memaafkan, tapi hukum tak boleh dilanggar!' sahut Ceng Bo setelah
merenung sejenak, kemudian menghela napas lagi.
„Thocu, yangan usil. Aku tetap mau sehidup semati dengan engkoh Go, apa pedulimu ?"
tiba2 Bek Lian berseru, lalu berpaling kepada The Go: „Engkoh Go, kini kita berdua sudah
diambang pintu kematian, biar kuberitahu padamu, aku...........aku sudah berbadan
dua!"
Girang The Go bukan kepalang. Tapi bukan karena sang isteri tak resmi itu sudah hamil,
melainkan karena mempunyai jalan untuk lolos. Sebaliknya Ceng Bo makin meluap
kemurkaannya. Dia benci anaknya yang sudah begitu memalukan itu. Tangan segera
diangkat dan ......... Yangan, tiba2 The Go berteriak" taruh kata kedosaan Lian-moay itu
pantas menerima hukuman mati, orok dalam kandungannya itu masa juga berdosa!
Mengapa kau hendak lakukan perbuatan yang tak kenal peri-kemanusiaan itu !"
Benar juga Ceng Bo menyadi tertegun dan batal turun tangan. Ih thocu, dengarkanlah.
Kalau sampai, Ceng Bo siangjin tak mengampuni pada seorang orok yang tak berdosa,
apa katamu terhadap kaum persilatan ?" seru. The Go.
Ceng Bo perdengarkan ketawa dingin. Begitu menyambret tubuh Bek Lian, dia segera
membawanya keatas puncak karang buntu. Setelah memutuskan beberapa tali pengikat
tubuh Bek Lian, dia berkata: „Disini cukup dengan puhun buah2an yang dapat kau
makan sampai 7 atau 8 bulan. Sepuluh bulan kemudian, aku nanti datang kemari,
mencari-mu!" Habis itu, lalu turun! lalu memikul The Go dibawa pergi.
Bek-heng, mengapa kau tak selesaikan bangsat ini? tanya Ih Liok
„Tak nanti dia bisa lari keatas langit. Sepuluh bulan lagi, sekalian dihukum ber-sama2.
Kalau sekarang dibunuh dia tentu penasaran!" sahut Ceng Bo. Diatas puncak karang
buntung itu, Bek Lian hanya dapat mengawasi kekasihnya dibawa pergi oleh sang ajah.
Karena hatinya berduka, tadi Bek Lian telah tak dapat mendengar kata2 ajahnya yang
mengatakan kalau The Go akan dibunuh 10 bulan kernudian. Begitu ajahnya dan si
Bongkok lenyap dari pemandangan, dia makin berduka tak keruan. Sebentar nekad
hendak bunuh diri loncat kebawah, sebentar merasa'kagihan akan orok yang
dikandungnya. Pikirannya yang sudah buta dengan cinta dan gelap dengan kedukaan
tak dapat mernikir mengapa sang ajah begitu membenci sekali kepada The Go. Yang
dirasakan hanya kedukaan yang kemudian berobah menyadi rasa benci. Munculnya Tio
Jiang dan Yan-chiu disebelah puncak, sana, telah dijadikan tumpuan arus atau bulan2
kesalahan. Baru setelah kini berjumpa dengan ibunya, ia menyadi longgar perasaannya.
„Ma, berilah pertimbangan!" katanya setelah menutur, habis semua pengalamannya.
Melihat anak kesayangannya disiksa begitu macam oleh suaminya yang dalam
pandangannya tetap merupakan seorang pengecut yang sangat dibencinya, maka makin
menyadi2lah kemurkaan Kang Siang Yan. Ia melangkah maju menghampiri sebuah batu
besar dan wut ................. tangannya menempel pada batu itu. Lama kemudian baru ia
tarik kembali tangannya itu. Sewaktu tangannya melekat, batu itu biasa saja, tak kena
apa2. Tapi tangannya ditarik, maka ber-derai2lah batu itu menggemuruh rontok menyadi
beberapa potongan kecil. Tapi Kang Siang Yan, tak menganggap hal itu aneh, katanya:
„A Lian, mari kita pergi!"
Dengan kata2 itu, ia tampak memimpin tangan Bek Lian. Sekali mengenyot kaki, Bek
Lian rasakan dirinya terbang diantara deru angin dan tahu2 kakinya menginyak
dipuncak karang sebelah sana. Jadi tadi dia sudah dibawa terbang melompati jarak
pemisah lembah yang lebar itu. Girang benar hati Bek Lian. Terang kepandaian ibunya
itu diatas ajahnya. Oleh karena takut kalau sampai terlambat menolong sang kekasih,
maka Bek Lian terus ajak ibunya lekas2 tinggalkan tempat itu.
Kebencian lama masih belum dilampiaskan kini datang lagi yang baru. Bagi Kang Siang
Yan tiada kecintaan suami isteri lagi dengan Ceng Bo. Tujuan telah tetap, hendak mencari
suami yang dianggap pengecut itu. Maka dengan gunakan ilmu berlari cepat, kedua ibu,
anak itu segera melesat kemuka dengan pesatnya.

(Bersambung Ke Bagian 20)


PEDANG JANTAN DAN BETINA

BAGIAN 20.1

Kini mari kita ikuti keadaan Tio Jiang, sahabat kita, jujur tolol itu. Waktu mulut Bek Lian
menyangkal pertunangan itu, Tio Jiang sudah lemah lunglai mendeprok ditanah.
Kemudian setelah mendengar lagi bahwa Bek Lian benar2 sudah menyadi isteri The Go,
kepalanya ber-kunang2 seperti dipalu godam. Tak tahu dia, kemana hendak
menyembunyikan mukanya ?
Begitu kedua wanita itu sudah jauh, pikirannya baru mulai terang lagi. Dibayangkannya,
apabila kedua ibu anak itu sampai membikin onar, tentu akan hebat jadinya. Apakah
sang suhu dapat melawan kedua wanita itu, itu soal kecil. Tapi kalau sampai suhunya
terganggu oleh kedatangan kedua wanita itu, bukankah saudara2 di Hoa-san itu akan
seperti anak ajam kehilangan induknya. Siapa yang akan memberi pimpinan kepada
mereka dalam menghadapi serangan tentara Ceng itu? Urusan negara diatas segala
urusan peribadi. Sejak kecil selain diberi pelajaran ilmu silat oleh Ceng Bo siangjin, pun
jiwa Tio Jiang telah disi dengan doktrin (ajaran) patriotisme. Makin memikirkan hal itu,
makin dia menyadi sibuk tak keruan. Mondar-mandir kesana sini, dia tampak mengasah
otak. Achirnya dia menemui keputusan. Dia harus mendahului kedatangan Kang Siang
Yan dan Bek Lian untuk memberi kisikan pada sang suhu agar ber-siap2.
Tio Jiang hanya pikirkan soal cara menolong sang suhu, tak mau memeriksa dirinya
adakah dia dapat melampaui larinya Kang Siang Yan atau tidak. Dengan pejamkan mata,
dia segera enyot tubuhnya melompat kepuncak sana. Berhasil tidak melompati jurang
pemisah yang lebar itu, bukan soal. Yang dipikirkannya, dia sudah mendapat keputusan
dan harus dikerjakan lekas2. Sjukurlah, karena sehari semalam dia diweyang oleh Kui-
ing-cu tentang intisari ilmu lwekang, jadi kepandaian dalam ilmu itu kini bertambah
pesat sekali. Maka sekali loncat, dapatlah dia mencapai karang sana. Mungkin kalau
kemaren dibiarkan melompati jurang yang lebarnya 7 tombak itu, tentu dia akan gagal.
Sewaktu dia mengawasi jurang yang habis dilompatinya itu, kepalanya berkeringat.
Setelah itu dia terus berlari turun entah kemana asal sepembawa, kakinya saja. Kira2
sejam kemudian, kepalanyapun sudah basah mandi keringat, tapi dia tak kenal jalan.
Maka setelah berselang sekian lama barulah dia dapat berjumpa dengan dua orang
pencari kaju. Salah seorang dari mereka terus saja diterkamnya. „Bung, mana letaknya
markas pusat dari Hoa-san ?" tanyanya.
Melihat kawannya diterkam begitu rupa oleh seorang pemuda yang kasar, si pencari kaju
yang satunya segera hantamkan pikulannya kearah kaki Tio Jiang. Tio Jiang menyingkir
kesamping, tapi diluar dugaan pencari kaju itu rnenyapu lagi dengan pikulannya, lalu
ditarik clan dijojohkan, maka buk terjungkallah Tio Jiang kebelakang. Cepat Tio Jiang
bangun, tapi pikulan sipencar kaju itu kembali menyapu kepinggang. Tio Jiang kesal
hatinya Tak mau dia, diganggu lama2, cepat dia sambut pikulan itu. Namun sipencari
kaju itu gesit sekali. Pikulan diturunkan kebawah untuk menyodok kaki Tio Jiang, siapa
buru2 loncat keatas. Tapi sebagai bayangan, pikulan sipencari kaju mengejar keatas
sambil diputar-putarkan dan lagi2 Tio Jiang terjengkang ketanah..........
Kejadian itu, sungguh membuat Tio Jiang heran, sehingga dia ter-longong2 duduk
ditanah. Mengawasi tukang kaju itu, nyata hanya seorang dusun biasa saja. Aneh,
mengapa dia yang mempunyai kepandaian silat, sekali dua kali dijegal dengan pikulan,
bisa jatuh terjungkal? Ah....., mungkin tadi dia bingung hatinya, maka dengan penasaran
dia terus bangun dan menghantam pencari kaju tersebut. Orang itu loncat kesamping
dan ,Hai........tiba2 dia bertereak keras, hingga Tio Jyang kesima. Dalam detik2
kekosongan itu, tahu2 kakinya sakit didorong oleh suatu tenaga dahsjat dan
bluk.........untuk yang ketiga kalinya dia jatuh kebelakang lagi! Malah kali ini, dia harus
mendahar santapan lezat" berupa lumpur
GAMBAR 45
Tio Jiang menyangka, orang hanya tukang kaju biasa saja, siapa duga, sekali
orang itu ajun pikulannya, kontan Tio Jiang kejegal hingga jatuh terjengkang

„Aku tadi kan hanya tanya jalan, mengapa kau 3 kali bikin aku jatuh," seru Tio Jiang
sembari berbangkit.
„Ho...., ho...., ho.....," tertawa sipencari kaju, kalau tak diberi hajaran, lain kali kau pasti
main melukai orang.
„Maaf, bung, aku tadi kesalahan. Tolong tanya mana jalanan ke markas besar Hoa-san
?" tanya Tio Jiang dengan agak tenang. Sipencari kaju satunya yang dicengkeram
pundaknya oleh Tio Jiang masih meng-erang2 kesakitan, jadi tak mau dia menyahuti
pertanyaan orang. „Sudahlah, kalau kalian tak mau memberitahukan," kata Tio Jiang
sembari hendak ajunkan langkah. Tapi tiba2 sipencari kaju yang menyerang dengan
pikulan tadi, berseru: „Engkoh kecil, perlu apa kau tanyakan tempat itu ?"
Tio Jiang menyawab hendak mencari suhunya. Sipencari kaju menanyakan pula siapa
nama suhunya itu. „Siang Ceng he Bo (diatas bening dibawah bergelombang), Ceng Bo
siangjin!" sahut Tio Jiang.
„Oh, kiranya orang sendiri," seru sipencari kaju sembari lemparkan pikulannya ketanah,
„engkoh kecil, apakah kau kenal akan toa-ah-ko dan ji-ah-ko dari Thian Te Hwe"
„Ki dan Kiau kedua susiok itu, mengapa tidak? Lekas beritahukan dimana markas besar
itu, yangan sampai terlambat!" seru Tio Jiang. Namun orang itu masih ajal2an, ujarnya:
„Ki lotoa dan Kiau loji, sekarang berada ditempatku! "
„Benar?" teriak Tio Jiang kegirangan sekali. Tapi seruan itu disela dengan muncul dua
orang lelaki dari balik gunung. Yang berjalan dimuka bertubuh tinggi besar, adalah- Ki
Ce-tiong. Sedang dibelakangnya adalah Kiau To.
Mengapa jiwi susiok berada disini ? Apakah sudah mengetahui kalau Hoa-san diserbu
tentara Ceng?" tanya Tio Jiang sembari menyongsong kedua pernimpin Thian Te Hui itu.
„Ma Cap-jit, mengapa tak kau katakan ?" Ki Ce-tiong dan Kiau, To serempak bertania
pada sipencari kaju yang lihay tadi. Tapi orang itu hanya ganda tertawa, sahutnya:
„Tentara Ceng mengepung atau tidak, tiada sangkut paut denganku. Kalian merawat
luka2 kalian kalian, sedang aku menebang kajuku, persetan dengan tentara Ceng atau
Beng!"
Ki Ce-tiong mem-banting2 kaki, serunya: „Ma Cap-jit, kau bikin kapiran urusan besar!"
Sebalikiya Tio Jiang tak sabaran lagi menunggu pembicaraan mereka yang tak berguna
itu, katanya dengan gugup: „Jiwi susiok, subo dan Lian suci kini mencari suhu. Kita
harus lekas2 memberitahu, kalau terlambat, nasib Hoa-san sukar ditolong!"
Saking gugupnya, Tio Jiang tak mengatakan maksud kepergiannya itu. Pikirnya, apa
yang diketahui, orang lain tentu tahu juga. Dia tak tahu kalau sehabisnya lolos dari
kepungan tentara Ceng, beberapa bulan ini Ili Ce-tiong dan Kiau To beristirahat dirumah
Ma Cap-jit untuk merawat luka2nya yang parah, Sudah tentu keduanya tak mengerti apa
yang diucapkan Tio Jiang itu. Engkoh kecil, karena kesusu kau tadi telah terjatuh 3 kali,
tapi rupanya kau perlu jatuh satu kali lagi ni!" tiba2 Cap-jit berkata.
„Dalam urusan sebesar ini, mengapa hatiku tak resah?" balas Tio Jiang seraja deliki mata
orang she Ma itu. Ma Cap-jit ajunkan pikulannya hendak menyerang lagi tapi dicegah
oleh Ki Ce-tiong: ,Siao-ko (engkoh kecil), dia adalah seorang persilatan yang
mengasingkan diri. Ilmu pikulannya itu terdiri dari 17 jurus, setiap jurus tentu dapat
membikin terjungkal orang. Banyak orang lihay yang pernah merasakan pikulan itu,
maka kaum persilatan menyulukinya sebagai Ma Cap-jit atau orang she Ma si 17."
Tio Jiang membahasakan Cap-jit siok pada orang; itu, lalu meminta agar kedua pemimpin
Thian Te Hui itu lekas2 berangkat. Tapi Ki Ce-tiong juga tak kenal dimana letak markas
besar Hoasan itu, maka dia minta agar Ma Capjit suka mengan.tarkannya. Tapi Ma Cap-
jit menolak, katanya: ,Aku tak pusingi urusan itu, kalian pergi sendiri sajalah. Dari sini
kalian menuju ketimur, setelah melalui dua buah puncak, tentu akan sampai
ditempatnya!"
„Ma Cap-jit, terima kasih dan selamat tinggal!" Ki Cetiong dan Kiau To serempak minta
diri, tapi orang aneh itu diam saja. Dia angkat pikulannya yang dimuati dua untai sajur,
lalu ajak kawannya berlalu. Masih terdengar ngiang nyanyian gunung yang
didendangkan dengan bebas gembira. Selama beristirahat ditempat itu, Ki Ce-tiong sudah
dapat pulih lagi seperti dahulu (pulih kepandaiannya). Begitulah dengan gunakan ilmu
mengentengi tubuh mereka bertiga lalu berangkat.
Benar juga, ketika melewati sebuah puncak, mereka menampak banyak sekali kubu2
tentara Ceng. Menuruti adat Kim To, saat itu juga dia hendak mengadakan serbuan, tapi
Tio Jiang mencegah. Dia tetap kuatirkan keselamatannya sang suhu yang hendak
didatangi oleh Kang Siang Yan dan Bek Lian itu. Sjukur Kiau Topun menurut. Begitulah
dengan mengambil sebuah jalan kecil, setelah melewati sebuah puncak lagi, mereka tiba
dimarkas besar Hoa-san.
Markas pusat itu terletak di-tengah2 dari ke 72 markas, keadaannya strategis sekali,
merupakan jantung gerakan dari ke 72 markas itu. Nampak dalam markas itu para anak
buahnya teratur rapi, ketiga orang itu segera percepat langkahnya. Setengah jam
kemudian, sampai mereka dipintu markas. Demi mengetahui kedatangan kedua
pemimpin Thian Te Hui itu, Ceng Bo Siangjin ter-sipu2 menyambut dengan girang.
Mereka diperkenalkan kepada sekalian orang gagah lainnya.
Bagus, Hoa-san hendak menyerahkan tampuk pimpinan pada jiwi," seru sikasar Nyo
Kong-lim dengan gembira. Malah seketika, itu juga dia serahkan lengpay (tanda tampuk
pimpinan) pada mereka berdua.
„Nyo-heng, setiap orang baru tentu kau serahi pimpinan, nah habis berapa banyak
Toacecu nanti ?" seru si Bongkok tertawa. Nyo Kong-lim merah mukanya, sahutnya
dengan tertawa lebar: „Memang begitulah watakku, karena kuanggap kepandaianku, ini
masih rendah!"
Melihat sifat ketua Hoa-san yang blak2an itu, Ki Ce-tiong dan Kiau To segera menyabat
tangannya dengan mesra, katanya: „Nyo-heng, kita bersatu melawan penyajah, yangan
banyak sungkan! "
(Bersambung Ke Bagian 20.2)
PEDANG JANTAN DAN BETINA

BAGIAN 20.2

Kedatangan kedua pemimpin Thian Te Hui telah disambut hangat oleh seluruh anak
buah markas. Semangat perjoangan mereka makin ber-nyala2. Juga Ceng Bo merasa
terhibur, tapi demi dilihatnya wajah Tio Jiang agak gugup seperti hendak mengatakan
sesuatu, dia segera menegurnya : „Jiang-ji, mana Siao Chiu? Seharusnya setelah kamu
dapat menyelidiki tempat meriam, terus kembali kemarkas !"
„Meriam2 mereka telah kuhancurkan, tapi mengapa masih dapat memuntahkan peluru?"
jawab Tio Jiang lalu menuturkan semua kejadian yang dialaminya. „Ho, siaoko, kau telah
tertipu! Tentu The Go sibangsat itu yang merencanakan, sjukur dia sudah ketangkap
disini, biar nanti kusiksanya supaja mengaku!" kata si Bangkok.
„Suhu, apakah subo belum datang kemari?" tanya Tio Jiang dengan gugup.
„Apa?" Ceng Bo balas bertanya dengan kaget. Tio Jiang ceritakan duduknya perkara.
Ceng Bo tahu kalau muridnya itu tentu tak bohong, maka diapun agak gugup. Tapi pada
saat itu si Bongkok sudah membawa The Go keluar. Dihadapan sekian banyak orang
yang sangat membencinya itu, The Go masih coba berlaku tenang.
„Penghianat busuk! Bukankah ke 10 meriam yang berada dalam kubu2 tentara Ceng itu
palsu?" bentak si Bongkok seraja memaki. Namun tertawalah The Go, sahutnya: „Ilmu
perang adalah suatu seni yang penuh tipu muslihat. Kalau ada meriam sesungguhnya,
masakan diluar kubu dibiarkan ada bekas roda keretanya?"
Meskipun orang2 sama membencinya, namun mereka mengakui kebenaran ucapan, itu.
Ceng Bo siangjinpun menghela napas, menyayangkan anak muda yang cerdik tapi sesat
jalan itu. Habis itu, dia suruh orang membawa The Go masuk lagi. Tapi baru ada dua
orang liaulo hendak mengangkatnya tiba2 diluar terdengar ribut2, menyusul ada
serangkum angin keras meniup jkedalam ruangan itu. Bagi yang ilmu silatnya masih
cetek, tubuhnya tentu sudah menggigil. Anehnya begitu angin reda, entah bagaimana
tadi tahu2 diruangan situ ketambahan dengan dua orang wanita. Yang satu rambutnya
terurai, jakni Kang Siang Yan, sedang satunya lagi matanya bengap, jaitu Bek Lian.
Begitu tampak The Go menggeletak ditanah Bek Lian terus memburunya dan menyerit:
„Engkoh Go, apa kau tak kena apa2?"
Melihat bintang penolongnya tiba, semangat The Go tergugah lagi. „Lian-moay aku tak
kena apa2," sahutnya tersipu2.
Kang Siang Yan sapukan matanya kearah sekalian orang. Dengan mata ber-sinar2 dia
menatap tajam2 Ceng Bo sejenak, lalu perdengarkan suara ketawa dingin sehingga
membikin orang2 merinding. Pelahan-lahan dia menghampiri, The Go, dengan ujung kaki
ia songkel tubuh anak muda itu keatass untuk disanggapi, lalu memijat tali pengikat
tubuh The Go. Tali Yang terbuat dari urat kerbau itu putus seketika. Kesemuanya itu
hanya dilakukan oleh dua buah jari saja. Begitu dapat bebas, The Go ter-tawa2 girangnya
bukan kepalang.
GAMBAR 46
Betapa cemas dan gusar Ceng Bo Siangjin ketika2 tiba2 melihat kedatangan
isteri yang sangat dicintainya itu hingga The Go terhindar dari kematian. Dasar
„jejaka muka seribu", segera The Go ganti haluan, dengan hormatnya ia,
memberi hormat dan memanggil ibu mertua kepada Kang Siang Yan.

Waktu melihat kedatangang sang isteri-dengan puterinya, hati Ceng Bo berdebar keras.
Hendak di~jelaskan salah faham dari 10 tahun yang lalu itu, tapi, demi dilihatnya Kang
Siang Yan melepaskan The Go, wajahnya berobah keras lagi dan batal bicara. Oleh karena
dia diam saja, semua orangpun tak berani berbuat apa2. Maka ruangan itu se-olah2
menyadi dunianya di The Go dan Kang Siang Yan.
„Gakbo tayjin (mertua perempuan yang terhormat), menantu memberi hormat!" Cian-bin
Long-kun, si aktor yang lihay, mainkan peranannya sembari melirik kearah Bek Lian.
Bek Lian-tersenyum puas. Juga Kang Siang Yan kena terpikat oleh tingkah The Go yang
menyurah dengan hormat dihadapannya itu.
„Bangunlah, menantuku!" seru Kiang Sang Yan sembari kebutkan lengan baju. Sesaat
itu The Go rasakan angin keras menyampok, hingga, buru2 dia berdiri. Diam2 dia sangat,
kagumi lwekang mertuanya itu, Bek Lianpun segera menghampiri kedekat The Go.
Bek Lian seperti orang yang hidup kembali. Entah bagaimana ia hendak curahkan isi
kalbunya pada sang kekasih itu. Sementara itu Kang Siang Yan tampak mondar-mandir
didalam ruangan situ, se-olah2 hendak menantikan siapa yang berani mengganggu
kepada puteri dan menantunya itu. Ceng Bo menarik kesimpulan bahwa sebab musabab
dari keadaan hari itu adalah terletak pada kesalahan faham 10 tahun yang lalu itu. Maka
meskipun melihat tingkah laku Bek Lian dan The Go yang menganggap sepi sekalian
orang itu, dia tak marah.
„Hong-moay, apakah kau tak kurang suatu apa?" tegurnya pada sang isteri. Nama aseli
dari Kang Siang Yan adalah In Hong, dan biasanya Ceng Bo memanggilnya Hongmoay
(adik Hong).
Bermula Kang Siang Yan duga suaminya itu tentu bersikap keras, maka atas salam tegur
yang mesra itu, ia kesima juga. „Ah, dia memang pengecut takut sama yang kuat, maka
dia pura2 berlaku manis begitu," demikian Kang Siang Yan menarik kesimpulan. Maka
dengain ketawa sinis dia menyahut: „Bek Ing, kau masih tetap seperti 10 tahun yang lalu:
„takut mati karena temahai hidup! Dengan orang macam kau, akupun tak sudi
mengotorkan tangan! Lian-ji, hajo kita pergil"
Ketika hendak berlalu lebih dahulu Kang Siang Yan menatap Ceng Bo lagi dengan
pandangan mata yang menghina, namun siangjin itu hanya menghela napas, saja tak
dapat berkata apa2. Adalah Thaysan sin-tho Ih Liok yang cepat berseru: „Kang Siang Yan,
tahan dulu!"
„Jadi kaulah yang tidak terima ?" hardik Kang Siang Yan seraja berhenti.
„Kau katakan kalau pada 10 tahun yang lalu Bek-heng berlaku pengecut takut mati,
apakah kau ketahui kalau disitu terselip suatu kesalahan faham ?" tanya si Bongkok Ih
Liok, lalu dengan nyaring tuturkan duduknya perkara jaitu karena ada orang berniat
hendak memiliki sepasang pedang dari suami isteri itu, maka dia telah menyewa Yau-
sin-ban-pian Tan It-ho untuk menyaru jadi Ceng Bo. Oleh karena semua orang telah
menyaksikan sendiri roman muka Tan It-ho yang dapat menyaru seperti pinang dibelah
dua sebagai Ceng Bo ketika dipulau Ban-san-to tempo hari, merekapun memberi
kesaksian.
Mendengar itu, Kang Siang Yan tergerak hatinya, tapi belum mau percaja seluruhnya"
Sebenarnya Ceng Bo seorang yang menyaga gengsinya, tapi dalam keadaan semacam itu,
dia terpaksa kesampingkan hal itu. Maju dua tindak, dia keluarkan kotak emas dan
berkata: „Hong-moay, ketika didasar laut aku telah dapat menemukan kotak ini. Kalau
kau mempercajai keterangan Ih-heng tadi, sukalah kau terima lagi kotak ini!"
Demi melihat kotak itu, terkenanglah Kang Siang Yan akan kejadian pada 30 tahun yang
lalu, jalah ketika dia saling tetapkan jodoh dengan Bek Ing. Kenangan itu terbayang lagi
dihadapannya. Dalam pandangannya, Ceng Bo itu adalah Bek Ing dari 30 tahunan yang
lalu, ketika serahkan kotak itu selaku ikrar janyi untuk ber-sama2 mengarungi bahtera
penghidupan. Kala itu dengan menundukkan kepala ke-malu2an, ia ulurkan tangannya
menerima, dan teringat sampai disini tanpa tersadar diapun....... ulurkan sebelah
tangannya kemuka. Betapa kagetnya ketika dia tersadar dari lamunannya dan dapati
kota emas itu berada dalam tangannya lagi. Dihadapan sekian banyak orang, sudah tentu
ia agak kikuk „Thocu, kalau ada sepatah saja dari kata2mu itu yang bohong, nyawamu
pasti kucabut!" serunya kepada Ih Liok, siapa hanya tertawa ter-bahak2 tak mau
menyahuti.
„Hong-moay, kau kira aku ini seorang macam begitu? Setelah mencuri pedangmu, entah
kepada siapa bangsat itu memberikannya. Hal itu dapat ditanyakan pada orang she The
itu!" kata Ceng Bo sembari tampil kemuka dua tindak lagi!"
Kini benar2 Kang Siang Yan sudah seratus persen mempercajai keterangan si Bongkok
tadi. Sukar dilukiskan betapa perasaannya ketika itu. Sepuluh tahun ia menderita pahit
getir yang tak terkira hanya karena menuruti suara hati kemarahannya terhadap sang
suami yang ternyata tidak seperti yang diduganya. Ah.........
„Sampai keujung langit, akupun tetap hendak mencari pedangku itu!" serunya,
kemudian, „Nah, sampai berjumpa pula lain waktu!"
Mengetahui sang isteri sudah tak salah faham lagi, giranglah Ceng Bo, sehingga sekian
saat baru dia dapat membuka mulut: „Hong-moay, apa kau hendak berlalu?" Atas itu,
Kang Siang Yan mengangguk.
Kiranya kedua pedang dari suami isteri itu, terdiri dari „jantan'" dan „betina" yang disebut
,Pi-ih-siang-hong-kiam" (sepasang pedang burung hong hong yang menyerupai bulu).
Pedang Bek Ing, disebut yap-kun, sedang kepunyaan In Hong dinamakan kuan-wi.
Pedang itu peninggalan dari ajah In Hong jakni Wi-tin-pat-hong In Thian-kau.
Ketajamannya dapat dibuat memapas batu kumala.
Konon menurut cerita, didaerah Tiongkok selatan hidup sepasahg burung hong, yang
baik terbang maupun mencari makan selalu berdampingan, tak mau berpisah. Pasangan
burung itu disebut pi-ih-siang-hong. Yang jantan dinamakan yap-kun dan yang betina
kuan-wi. Sepasang pedang pusaka itu diberi nama burung hong tersebut. Sipria dengan
mencekal pedang yap-kun memainkan ilmupedang to-hay-kiamhwat. Siwanita dengan
rnenghunus pedang kian-wi memainkan ilmupedang Hoan-kang-kiam-hwat.
Kesaktiannya mengarungi dunia persilatan. Sampaipun itu waktu Tay Siang Siansu dari
gereja Liok-yang-si yang menyadi guru Kiau To, meskipun ilmunya lwekang lebih tinggi
dari Bek Ing dan In Hong berdua, tapi toch achirnya dapat, dikalahkan oleh sepasang
ilmu pedang dari suami isteri itu.
Sejak pedang In Hong dicuri orang, 10 tahun lamanya Ceng Bo siangjin pun tak mau
gunakan pedangnya. Meskipun kala itu dia ada membawanya, tapi juga belum pernah
digunakan. Kini setelah tersadar dari kekeliruannya, Kang Siang Yan mengambil putusan
hendak mencari pedangnya itu, baru nanti ia berkumpul lagi dengan suaminya. Karena
jakin akan kelihayan sang isteri sekarang, Ceng Bopun tak mau mencegahnya. Maka oleh
karena sudah tak ada yang perlu dibicarakan, Kang Siang Yan segera ajak Bek Lian
berlalu.
Seruan itu telah menyadarkan pikiran sekalian orang yang berada diruang situ. Oleh
karena tadi yanggutnya kebakar obor si The Go, Nyo Kong-lim segera mencegah: „Kang
Siang Yan, silahkan kau pergi sendiri, tapi orang she The itu harap ditinggal!"
Tapi The Go yang sudah kuat kedudukannya, segera mengejek: „Toacecu, kalau aku
tinggal dikuatirkan kau tak tahan nanti!" Digandengnya tangan Bek Lian untuk diajak
berdiri disamping Kang Siang Yan.
Ceng Bo siangjin serba sulit. Kalau berkeras hendak menahan The Go, adaa
kemungkinan nanti bentrok lagi dengan sang isteri. Maka tak dapat mulutnya
mengatakan sesuatu, kecuali sang mata mengawasi siorang she The itu melangkah pergi.
Ketika dia hendak membuka mulut, Kang Siang Yan sudah mendahului mengancam:
„Siapa yang berani menghadang kami bertiga, dia tentu akan lekas menghadap, raja
acherat!"
Sikasar Nyo Kong-lim tak mau banyak pikir lagi. Sekali loncat kemuka, dia kibaskan sam-
ciat-kun sampai lempang. „Yangan umbar suara, rasailah rujungku ini!" serunya sembari
ajunkan sam-ciat-kun.
„Nyo-heng, yangan!" seru Ceng Bo dengan gugup. Tapi sudah terlambat. Rujung
menyambar, Kang Siang Yan cepat menangkap lalu menariknya kebelakang. Tubuh tinggi
besar bagai sebuah pagoda dari Nyo Kong-lim itu segera ter-hujung2 mau jatuh. Dalam
kagetnya, dia segera hendak lepaskan cekalannya, tapi sudah kasip. Sekali tangan Kang
Siang Yan menyorok, maka Nyo Kong-lim segera terlempar kebelakang, ngeri benar .........
kalau terbentur dengan tiang besar pasti dia akan luka parah. Wut......, tiba2 tampak
sesook tubuh melesat, menyongsong Nyo Kong-lim dengan punggungnya yang benyul
besar itu. Ja, memang dia adalah Thay-san sin-tho Ih Liok.
Dorongan lwekang yang dilancarkan oleh Kang Siang Yan itu, hebatnya bukan buatan.
Sekalipun Kui-ing-cu, Tay Siang Siansu dan lain2 tokoh lihay, sukar untuk menolong
Nyo Kong-lim dalam keadaan begitu. Tapi ketika menyentuh punuk A Bongkok, Nyo
IforigNlim serasa terbentur dengan kapas. Buru2 dia tegak lagi. Dia sih tak kurang suatu
apa, tapi Thay-san sin-tho tidak demikian. Karena menahan gempuran lwekang Kang
Siang Yan yang sedahsjat itu, maka diapun lalu menguak keras dan muntahkan darah
segar........
„Ih-heng, kau bagaimana?" tanya Ceng Bo bergegas menghampiri. Tapi si Bongkok itu
seorang jantan yang keras, sahutnya: „Tak apa2, kalau mengaso 3 sampai 6 bulan, tentu
akan sembuh!"
„Siapa yang berani menghadang lagi ?" seru Kang Siang Yan dengan seramnya. Orang2
sama beringas murka, tapi satupun tiada yang berani maju. Kini terpaksa Ceng Bo
keraskan hatinya berkata: „Hong-moay, apapun kau boleh lakukan kecuali yangan
membawa pergi The Go itu. Orang itu berhati binatang berhamba pada musuh, tak boleh
diampuni!"
„Kalau aku hendak membawanya, habis mau apa?" tanya Kang Siang Yan dengan murka.
Rupanya penyakitnya eksentrik angot lagi. Lagi2 Ceng Bo didesak kepojok kesulitan.
Tetap melarang, tentu bentrok dengan isterinya yang sudah berbaik itu. Tapi kalau
membiarkan, dia malu kepada orang banyak. Saking bingungnya, sampai sekian saat dia
termenung diam.
„Masing2 orang mempunyai cita2 sendiri, mengapa hendak memaksanya yang berarti
mencelakai dua jiwa?" kata Kang Siang Yan pula. Turut adat Kang Siang Yan, ucapan itu
sudah keliwat mengalah sekali. Diantara sekian banyak orang, hanya si Bongkok sendiri
yang terang hatinya, walaupun kini dia sedang luka. Kang Siang Yan, bawalah orang itu
telah membangkitkan kemarahan orang banyak. Hari ini dapat lolos, tapi besok pagi
tentu tidak!" serunya.
Kang Siang Yan perdengarkan tertawa dingin, berputar tubuh lalu pergi. Baru sampai
diambang pintu, tiba2 Kiau To berseru: „Cian-bin long-kun, bagaimana dengan janyi hari
Peh-cun nanti?"
„Kiau Ioji, siapa yang tak datang, bukan laki2!" sahut The Go serentak, „Sudah tentu aku
datang!" balas Kiau To dengan keren. Orang2 sama tak mengerti apa yang dimaksudkan
dengan „janyi hari Pehcun" itu, Setelah rombongan Kang Siang Yan pergi, baru Siau To
menceritakan hal itu. Mendengar itu, walaupun kalau Ang Hwat cinyin dari gereja Liok-
yong-si itu tak boleh dibuat main2, tapi karena hal itu merupakan kesempatan, baik
untuk menangkap si The Go, maka sekalian orang telah mencapai kata sepakat begini:
Karena temponya masih 3 bulan, mereka hendak berpencar mengundang bantuan dari
tokoh2 Iihay. Nanti sampai temponya mereka hendak datang be-ramai2 ke Gereja Liok-
yong-si itu.
Pada hari ketiga, tiba2 mereka melihat dibawah gunung penuh rapat dengan kubu2
tentara Ceng. Jadi nyata Hoa-san sudah dikepung rapat oleh musuh, malah kali ini
agaknya kepungan itu berlipat ganda kuatnya. Diam2 kebencian seluruh orang Hoa-san
ditumpahkan pada The Go yang dianggap mencijadi biang keladinya. Hanya anehnya,
meski mempunyai kekuatan yang sedemikian hebatnya itu namun musuh tetap tidak
mau menyerang keatas. pihak Hoa-san pun terpaksa mengadalkan siasat bertahan diri.
Perang dingin itu berlangsung sampai 1 bulan lamanya. Ransum pihak Hoa-san sudah
mulal habis, sedangkan tentara Ceng belum nampak mundur. Sudah tentu orang Hoa-
san menyadi bingung gelisah.
Hari itu adalah tanggal 14 bulan 3, Nyo Kong-lim kedengaran megghela napas: „Keparat,
rangsum kita hanya masih tinggal dua hari, kalau mereka tak menyerang kitapun akan
mati kelaparan !"
Ceng Bo siangjin juga tak dapat berbuat apa2. Berulang kali dia suruh orang untuk
menyelidiki fihak musuh, namun tiada membawa hasil apa2. Pernah Kiau To membawa
100-an anak buah untuk menyerbu kebawah, tapi dia balik pulang sendirian dengan
penuh luka. Seluruh, anak buahnya tak satupun yang masih hidup.
Dua hari kemudian, rangsum habis. Kini anying dan kuda yang dijadikan kawan perut
dan hal itu dapat bertahan sampai 3 hari lagi. Setelah itu keadaan menyadi genting.
lbaratnya sebutir beraspun tiada ketinggalan lagi, Malah saking tak tahan, sudah ada
beberapa liaulo yang diam2 nyeberang kepada musuh. Keesokan harinya kawanan liaulo
itu sama ber-teriak2 dikaki gunung, se-olah2 menganyurkan kawan2nya yang lain supaja
mengikuti jejaknya. Benar juga, besok paginya ada beberapa laulo yang menghilang.
Ceng Bo siangjin mengadakan permusjawarahan dengan sekalian saudara2. Tiba2
datanglah seorang, utusan dari fihak tentara Ceng yang membawa surat untuk Nyo Kong-
lim.
Oleh karena ketua Hoa-san itu buta huruf, maka surat lalu diberikan pada Ceng Bo
siangjin siapa lalu membacanya :
„Dengan ini congpeng tentara Ceng, Li Seng Tong, memberitahuhan pada Hoa-san Nyo
Kong-lim, bahwa gunung Hoasan sudah sebulan lebih dikurung, sehingga anak buah
Hoa-san lemah kurus karena persediaan ransum habis. Kuberi batas waktu sehari
sampai besok, kalau mau menyerah tentu akan diganyar pangkat besar, tapi kalau
membangkang, akan digempur habis2an. Harap direnungkan, se-masak2nya !"
„Tebas kepala utusan ini!" seru Nyo Kong-lim dengan murka sehabis mendengar bunyi
surat itu. Tak tiada seorang dari liaulo yang melakukan perintah itu. Malah ada belasan
thaubak (kepala hauk) yang tampil kemuka, kata mereka: „Toacecu, para Cecu
mempunyai kepandaian jadi tak jeri. Tapi kami sekalian saudara ini tentu takkan bisa
selamatkan jiwa !"
Nyo Kong-lim tak dapat membantah, malah Ceng Bo siangjin yang sedianya hendak me-
robek2 surat itu telah membatalkan niatnya, katanya kepada utusan itu: „Sampaikan
pada Li Seng Tong, kami minta perpanjangan waktu sampai 3 hari lagi ! "
Ketika si utusan berlalu, dengan marah2 Nyo Kong-lim menegur: „Hay-te-kau, apa kau
berniat menakluk?" Ceng Bo siangjin kedengaran menghela napas, ujarnya: „Nyo-heng,
harap suruh sekalian thaubak berkumpul disini !"
Nyo Kong-lim tak tahu apa maksud siangjin itu, namun dia jalankan perintahnya. Setelah
sekalian thaubak lengkap berkumpul, berkatalah Ceng Bo siangjin: „Kutahu saudara2
sekalian telah menunaikan tugas dengan baik dan cukup lama menderita. Malam ini aku
bersama Toacecu hendak melakukan serangan ke-kubu2 musuh. Kalau berhasil
menangkap Li Seng Tong, kita tertolong semua. Tapi andaikata gagal dan mengalami
apa2, saudara2 boleh lakukan apa yang dirasa baik untuk saudara ! "
Sekalian thaubak kembali ketempat masing2. Menurut perhitungan Ceng Bo, orang2
yang pantas diajak menyerbu hanyalah 6 orang jakni Nyo Kong-lim, Ih Liok, Tio Jiang, Ki
Ce-tiong, Kiau To dan dia sendiri. Kembali dia perdengarkan helaan nafas, ujarnya:
„Usaha kita malam nanti, penuh bahaja banyak gagal daripada berhasilnya. Tapi kita tak
boleh jeri atau putus asa Begitulah setelah dahar seadanya, mereka berenam siap2
menantikan tibanya tengah malam.
Luka si Bongkok, kini ternyata sudah sembuh. Karena sudah sekian lama mengeram diri,
dia merasa keisengan lalu, ber-jalan2 keluar sembari menggendong tangan. Demi
menampak keadaan para liaulo yang sudah tak bersernangat itu, diam2 si Bongkok
menarik napas. Kala itu hari sudah petang, tiba2 pada sebuah kubu musuh, dilihatnya
bukan seperti sebuah kubu melainkan semacam tumpukan dami padi. Dan begitulah
keadaan lain2 kubu dikanan kiri. Tiba2 terkilas sesuatu pada pikirannya dan
berteriaklah dia: „Celaka, kita masuk perangkap !"
„Bek-heng, Nyo-heng, kita ditipu musuh!" serunya demi dia datang ber-gegas2! menemui
Ceng Bo siangjin dan Nyo Kong-lim.
„Ditipu bag'aimana?" tanya Ceng Bo.
„Masa, kubu2 mereka itu, bukan kubu sesungguhnya melainkan tumpukan dami!"
menerangkan si. Bongkok yang sudah tentu menggemparkan sekalian orang. Ber-
bondong2 mereka menuju keluar untuk menyaksikan dan memang kubu2. musuh itu
tampak ,mati" tiada tanda2' ada asap mengepul karena dihuni orang.
„Keparat, itulah siasat 'Kota kosong', hajo kita serbu seru Nyo Kong-lim.
(Bersambung Ke Bagian 21)
MEMBAYAR HUTANG

BAGIAN 21.1

„Kalau benar tentara Ceng masih kuat dan persediaan ransumnya masih cukup,
mengapa mereka mengirim, utusan memberi ultimatum? Kurasa, karena mereka sudah
lapuk dalam, jadi menggunakan siasat 'Kota kosong' (gertak sambel) ini," seru Ki Ce-tiong.
Sekalian orang gagah menyetujui pendapat itu. Begitulah sebelum petang hari, 2000
anak buah Hoasan bersiap turun gunung. Setengah jam kemudian, mereka sudah tiba
dikaki gunung. Dengan ber-sorak2, mereka menyerbu. Benar juga dalam kubu musuh
itu hanya terdapat berpuluh serdadu yang sudah lemah dan cacad. ZJntuk kegirangan
anak buah Hoa-san, ternyata diperkubuan situ terdapat sejumlah besar persediaan
beras. Karena sudah beberapa hari menahan lapar, jadi mereka lalu serempak
menghidupkan api menanak nasi dan memakannya dengan lahap sekali.
Tapi Thay-san sin-tho Ih Liok yang cerdas segera mendapat kesan lain. „Bek-heng
keadaan ini amat mencurigakan!" serunya. Memang Ceng Bo siangjinpun curiga,
mengapa musuh meninggalkan ransum disitu. Makin memikirkan hal itu, Ih Liok makin
gelisah. Kalau benar musuh memasang perangkap, habislah nasib sekian banyak anak
buah Hoa-san. Buru2 dia mencari Nyo Kong-lim. „Nyo-heng, lekas suruh sekalian
saudara tinggalkan tempat ini !"
Tapi ketika Nyo Kong-lim mengeluarkan perintah itu, sekalian anak buah tak mau.
Mereka, tengah berpesta pora seperti harimau lapar. Ih Liok dan Nyo Kong-lim tak dapat
berbuat apa2. Mereka hanya mengharap agar pengundurkan musuh itu benar2 suatu
pengunduran, bukan siasat.
„Kalau benar ini merupakan siasat, arsiteknya tentu si Cian-bin Long-kun!" Tio Jiang
mengutarakan dugaannya.
Juga sekalian orang gagah berpendapat detnikian. Dalam kepandaian silat, banyaklah
fihak Hoa-san yang melebihi dari orang she The itu, tapi dalam soal mengatur rencana
dan siasat, semua tak ada yang menang.
„Kalau kali ini kita sampai termakan perangkapnya, kelak tentu kucincang manusia itu!"
kata, Ih Liok. Tapi baru saja kata2 itu diucapkan, atau bum........pecahlah sebuah
dentuman laksana membelah bumi. Belasan kubu terbakar seketika. Dan didalam
tereakan celaka" dari sekian banyak orang, dentuman kedua kembali menyusul.
Dentuman reda, jerit tangis mengganti memekakkan telinga. Kerat2 anggauta tubuh
manusia bertebaran ke-mana2 ditimpa oleh hujan darah diatas lautan api. Sungguh
suatu pemandangan yang mengerikan bulu roma
Tiba2 Ih Liok mencabut pedang yang terselip dipinggang Ceng Bo, lalu memapas kutung
jari tangan kirinya sendiri. „Ih-heng, mengapa kau ?" tanya Ceng Bo dengan kaget.
„Jika dalam kehidupan sekarang ini, Ih Liok tak dapat mencincang tubuh The Go, biarlah
lukaku ini jadi busuk!" seru Ih Liok dengan wajah pucat. Memang karena malu hati dan
geram terkena perangkap si The Go ini, si Bongkok telah mengikrarkan sumpah.
Meriam musuh masih berdentuman tak henti2nya, disana sini orang menyerit dan
merintih laksana menghadapi kiamat. ,Untuk membalas sakit hati, 10 tahunpun tak
terlambat. Mengapa seorang ksatrya lekas berputus asa ?" Ceng Bo menasehati. si
Bongkok siapa segera menyahut dengan pilu: „Bukan kusayangkan selembar jiwaku ini,
tapi adalah karena gara2ku maka sekian banyak saudara telah berkorban jiwa!"
Semua orang sarna menghiburnya. Kala itu suara tembakan meriam sudah berhenti tapi
sehagai gantinya tentara Ceng dengan gegap gempita menyerbu datang. Keenam
pahlawan Hoasan itu segera bersatu padu menghadapi. Sudah lebih sebulan Tio Jiang
menganggur dan hanya berlatih keras sehingga kini kepandaiannya bertambah maju
pesat. Melihat kesempatan ini, dia maju mempelopori dimuka sendiri. Direbutnya
sebatang tombak dari seorang serdadu musuh dan dalam sekejab saja dia sudah berhasil
membinasakan 6 orang musuh lagi. Juga Ceng Bo siangjin, Ki Ce-tiong, Nyo Kong-lim dll
hebat tandangnya. Bagaikan sekawan harimau menggasak gerombolan anak kambing,
demikian amukan pahlawan2. Hal ini tepat seperti kala mereka rnembuka jalan darah
dari kepungan tentara Ceng digunung Gwat-siu-san tempo hari.
Selama bertempur itu, Ceng Bo siangjin tetap bahu membahu dengan Thay-san-sin-tho
Ih Liok. Menyelang te.ngah malam, suasana medan pertempuran itu makin sepi dengan
tereakan orang. Ini menandakan bahwa anak buah Hoasan telah kena dihancurkan
musuh. Betapa geram dan pilunya keenam orang gagah itu, dapat dibayangkan. Dengan
bersuit-keras, serentak Ceng Bo mencabut pedang pusaka yang dalam 10 tahun belakang
ini tak pernah digunakan. „To hay kiam hwat" ilmu pedang membalik laut, haus dengan
darah lagi. Imam yang gagah perkasa itu menyerbu maju, diikuti oleh kelima kawannya."
Kemana pedang yap-kun berkelebat, disitulah pedang dan tombak musuh kutung
bertebaran kesana-sini. Belum pernah dalam sejarah pertempuran, serdadu2 Ceng itu
melihat kesaktian seorang pahlawan macam siimam itu. Bagaikan air surut, mereka
sama menyisih mundur, memberi jalan kepada ke-enam pahlawan itu. Tapi mendadak
terdengar lagi aba2 tembakan dan serdadu2 itu segera bergelombang-maju menyerang
lagi. Kembali „To hay kiam hwat" meminta korban belasan jiwa serdadu musuh. Melihat
caranya sang suhu menarikan „To hay kiam hwat" sedemikian hebanya Tio Jiang sangat
kagum sekali.
Se-konyong2 mata Tio Jiang tertumbuk pada sebuah pemandangan yang
mempesonakan, Tak berapa jauh dari situ, dipinggir sebatang puhun siong yang tumbuh
dilhutan dekat tempat itu, tampak ada seorang gadis langsing bersandar berdiri
membelakangi arahnya. Dalam cahaja bulan remang2, tegas dilihatnya itulah Bek Lialn.
Tersirap darah didada Tio Jiang. Gerakannya agak berajal dan hampir sedikit saja dia
termakan sebatang tombak musuh. Walaupun nyata2 Bek Lian tak mencintai, namun
api asmara dalam hati anak itu tetap tak padam. Dalam kamus hatinya, dunia ini hanya
ada Bek Lian seorang. Maka untuk kedua kali, dia ulangi lagi melirik kearah itu. Ternyata
Bek Lian masih tetap berdiri disitu seorang diri. Seketika lupalah dia kalau masih
ditengah medan pertempuran. Sret...., sret......, sret......, 3 kali dia bolang balingkan
pedang untuk mengundurkan beberapa, serdadu, lalu menyelinap ketempat Bek Lian
tadi.
Oleh karena tengah bertempur mati2an jadi kelima tokoh tadi tak mengetahui akan
kepergian Tio Jiang. Tampak makin lama Ceng Bo makin beringas. Dengan perkasa dia
berhasil membuka sebuah jalan darah, diikuti oleh keempat kawannya. Setelah itu
dengan pesatnya mereka lolos. Agaknya kawanan musuh masih coba, mengejar, tapi
mana mereka dapat mengikuti lari ke-lima pahlawan yang lihay itu.
„Hai, kemana Jiang-ji ?" tanya Ceng Bo setelah berhasil lolos. „Entahlah!" sahut Nyo
Kong-lim. Ih Liok tampak kerutkan kening, sementara Kiau To mem-banting2 kaki,
serunya: „Mengapa bocah itu tak tahu bahaja?" Sedang Ki Ce-tiong menyatakan
kekuatirannya yangan2 Tio Jiang tertangkap musuh. Tapi, tetap kelima orang itu tak
tahu kemana perginya Tio, Jiang.
Setelah memulangkan napas, berkatalah Ceng Bo: „Kalian tunggu disini, biar kubalik
kesana melihatnya!"
„Tidak, kalau satu pergi, pergi semua!" seru Nyo Kong-lim sambil getarkan Sam-ciat-kun.
Lain2 kawanpun setuju.
Bermula fihak tentara Ceng sudah segera akan menarik pulang barisannya, karena
sudah mendapat hasil kemenangan. Tapi dengan datangnya kembali kelima harimau itu,
mereka jadi kalang kabut lagi. Tapi setelah beberapa lama kelima orang itu mengobrak-
abrik kian kemari tak menyumpai Tio Jiang, mereka lalu mengangkat kaki lagi. Saking
letihnya, mereka berlima sampai kehabisan tenaga.
„Mati hidup terserah Allah. Jiang-ji seorang anak jujur herhati patriot, semestinya dia tak
sampai mengalami nasib buruk!" kata Ceng Bo sembari menghela napas.
„Li Seng Tong pandai memakai orang. Kalau siaoko tertangkap, jiwanya pasti terpelihara.
Kelak kalau mereka sudah mundur kita dapat menyirepi kabar ke Kwiciu!" ujar Ih Liok.
Demikianlah mereka hanya menghelaa napas tak dapat berdaja apa2. Malam itu mereka
tidur dihutan.
Keesokan harinya, benar juga tentara Ceng telah ditarik mundur. Oleh karena kini hanya
tinggal berlima, maka. Ceng Bo usulkan supaja pulang dulu ket-empat kediamannya di
Lo-hu-san, guna merencanakan siasat lagi. „Siaoko pernah mengatakan kalau suhuku
Tay Siang Siansu masih hidup. Untuk menggempur gereja Ang-hun-kiong, kita harus
mendapat bantuannya!" kata Kiau To.
„Akupun hendak kegunung Hud-san mencari pemilik dari senyata Eng-jiao-thau (sarung
cakar garuda)," kata Ki Ce-tiong. Juga Ih Liok hendak mengundang bantuan kawannya.
Maka undangan Ceng Bo tadi terpaksa tak dapat dipenuhi. Begitulah mereka, lalu ambil
selamat berpisah satu sama lain.
Kini mari kita ikuti Tio Jiang, sibocah sembrono itu.
Dengan, ber-debar2 dia menghampiri Bek Lian. Anehnya, mengapa sampai sekian lama
Bek Lian tetap membelakangi saja dan tak kelihatan bergerak, Tio Jiang sudah curiga,
tapi dia sudah dimabuk cinta. „Lian suci!" serunya, sembari maju mengulurkan tangan.
Ketika hendak menyentuh bahu Bek Lian, se-konyong2 ujung kakinya melesak kebawah.
Celaka! Bam dia hendak loncat, sebuah samberan angin keras menghantam kepalanya.
Makin cepat dia hendak enyot kakinya mehambung keatas, tapi hai ......, begitu sang kaki
di-enyot, bukannya dapat melambung malah terjerumus kebawah. Kiranya tempat yang
dipijaknya itu merupakan sebuah lubang jebakan yang ditutupi tumpukan rumput!
Sembari berjumpalitan, Tio Jiang jatuh kebawah. Karena lubang perangkap itu tak se-
berapa tingginya, Tio Jiang cepat enyot tubuhnya loncat keatas dan sudah mau berhasil
kalau tidak se-konyonyong2 dimulut lubang itu muncul belasan batang kait, sehingga
pakaian dan badannya kena tertusuk. Betapapun lihaynya, achirnya Tio Jiang dapat juga
diringkus hidup2 oleh serdadu2 Ceng. Begitu berada diluar, segera terdengar gelak
tertawa seseorang dan sesosok tubuh melesat menutuk jalan darah dibagian iganya. Kini
Tio Jiang tak dapat berkutik lagi. Ketika diawasinya, orang itu bukan lain adalah sang
musuh lama, Cian-bin Long-kun The Go !
Bukan main gusarnya Tio Jiang melihat orang itu. Ketika dia melirik kesamping,
dilihatnya Bek Lian masih menyandar dipuhun. „Lian suci, kau sangat kejam!" serunya.
The Go ter-bahak2 menghampiri, lalu mengangkat „Bek Lian" terus dilemparkan kearah
Tio Jiang, serunya: „Ini gadis yang kau rindui siang malam, ciulah se-pua2mu !"
Astaga! Baru kini Tio Jiang tersadar atas ketololannya. Yang disangka Bek Lian itu
ternyata adalah sebuah orang2an yang diberi pakaian Bek Lian. Kembali dia termakan
tipu The Go, hingga sampai dia ter-longong2. Kini dilihatnya The Go sudah berganti
dengan pakaian seorang pembesar militer Ceng. Rambutnya dipangkas
dandibelakangnya memakai jkuncir. Wajahnya girang ke-bangga2an.
„Anying Boan kau!" damprat Tio Jiang sembari meludah. Dia tak pandai bicara, tapi kata2
yang dikeluarkan sepenuh hati itu, membuat The Go terkesiap. „The Go....., The Go......,
jasamu menghancurkan Hoa-san itu, tidak kecil. Bukan saja seluruh dunia persilatan
memujimu, pun pemerintah Ceng akan mengganyarmu pangkat besar. Mengapa kau
hiraukan makian seorang budak macam begitu ?" pikiran The Go membantah sendiri.
Maka wajahnyapun berobah tenang dan mendongak tertawa riang.
Amarah Tio Jiang ber-golak2 memenuhi ruang dadanya, namun karena kaki tangannya
terikat, dia tak dapat berkiitik. Tiba2 terdengar suara kecil meraju: „Engkoh Go, mengapa
kau tertawa? Apa yang kau girangkan ?"
The Go berpaling dan sesosok tubuh langsing melesat lari kearahnya. Oho, itulah Bek
Lian, sijelita yang digilai Tio Jiang. Dia segera berseru dengan suara ter-putus2: „Lian
suci! Kau........... kau........... "
Banyak nian kata2 yang hendak diucapkan Tio Jiang, tapi entah bagaimanaa serasa
tenggorokannya tersumpal dengan suatu kesesakan hawa, sehingga untuk bernapas saja
susah rasanya. Tapi sebaliknya Bek Lian hanya dingin2 saja mengawasi Tio Jiang
sejenak, lalu menggelandot pada Tho Go sembari tempelkan mulutnya ketelinga
sikekasih. Entah apa yang dibisikkan dengan riangnya itu.
Bermula Tio Jiang mendongkol dan marah sekali. Tapi serta dilihatnya sinona sedemikian
dingin terhadapnya dan begitu mesra terhadap The Go seorang penghianat bangsa,
tawarlah perasaan Tio Jiang, Bidadari sekalipun gadis itu, namun dengan tingkah
lakunya yang memuakkan itu, dapatkah ia menyadi pujaan hatinya? Ah...., tidak...,
tidak. Dan seketika tenanglah perasaan Tio Jiang. Hawa yang menyumbat
tenggorokannya tadi, tanpa terasa menurun lagi kedada lain ber-putar2 didalam perut
terus naik lagi.
Tio Jiang sangat kaget mengalami keadaan tubuhnya, Baik ilmu lwekang „Cap ji bu heng
kang sim" yang dipelajari dari Sik Lo-sam, maupun lwekang ajarann sang suhu, se-kali2
tak boleh ber-golak2 begitu karena ditimbulkan hawa kemarahan. Kalau hawa murni itu
sampai meluap kemudian balik menyusup kesaluran yang salah, dia tentu ba menyadi
seorang senewen. Teringat akan itu, buru2 dia kembalikan hawa murni yang ber-golak2
itu, tapi sukar.
Hawa itu sudah menyalur keseluruh tubuh, melewati kepala, jalan darah lalu kembali
lagi kedada. Walaupun kaget, tapi kini Tio Jiang rasakan semangatnya segar. Sekilas
teringat dia akan weyangan Kui-ing-cu tempo hari. Ilmu lwekang itu tergantung dari
bakat sipelajar sendiri. Menurut cabang persilatannya, lwekang itupun masing2
berlainan, mempunyai kelebihan sendiri2. Kalau orang dapat mengambil sari kebagusan
dari setiap Iwekang itu, tentu akan berhasil menciptakan suatu macam lwekang sendiri
yang hebat.
Itu waktu Tio Jiang hanya mendengarkan saja tak ambil perhatian terhadap nasehat Kui-
ing-cu. Pikirnya, untuk Mempelajari semacam lwekang saja dia masih belum mana dapat
menciptakan sendiri? Kini dalam menghadapi saat2 genting* dimana hawa murninya
setiap detik bisa menyalur salah, dia segera teringat akan ajaran Kui-ing-cu. Bek Lian
dan The Go, dianggap sepi saja. Pikirannya dibulatkan satu, dan hawa murni itu kembali
beredar lagi. Kalau tadi yang pertama tidak dengan sengaja, kini dia empos betul2
semangatnya dan tahu2 begitu serasa bergetar, jalan darah yang ditutuk si The Go tadi
telah dapat diterobos buka oleh emposan hawa murninya!
Girang Tio Jiang tak dikata. Ilmu tutukan The Go itu adalah ilmu istimewa dari Ang hwat
cinyin yang sudah ter-masjhur lihaynya, tapi toh ternyata dapat dijebolkan. Ini
membuktikan kalau dalam sekejab mendapat penerangan itu, ilmunya bertambah maju
pesat sekali. Hal ini kelak dia baru mengerti setelah bertanya pada Kui-ing-cu. Dan sejak
itu, dia selalu berhati2 mengendalikan perasaannya.
Setelah jalan darahnya terbuka lagi, kembali dia hendak mencoba sampai dimana
kemajuannya pada saat itu. Dia salurkan lwekang kearah sepasang lengan, lalu meronta
keras. Hai, tali pengikat yang terbuat dari urat kerbau direndarn minyak itu, putus
semua. Dalam terperanyat girangnya itu, dia lagi2 gerakkan sang kaki dan kembali tali
peiigikatnya putus juga. Sedikitpun Tio Jiang yang sangat gemar ilmu silat itu, tak ngimpi
kalau dalam beberapa detik itu saja dia telah mencapai kesempurnaan yang begitu gilang
gemilang. Sudah tentu girangnya sukar dilukis.
Adalah disana The Go dan Bek Lian masih ber-cumbu2an dengan mesranya. Mereka tak
mengetahui kalau Tio Jiang sudah bebas. Maka dengan menyeringai hina, dia mengejek:
„Anak kerbau, kau ingin mati secara bagaimana, bilanglah!"
Habis berkata, The Go tertawa puas. Bek Lian yang mendengari, diam saja malah setelah
menatap sebentar kearah Tio Jiang, ia memandang lagi pada The Go dengan mesranya.
Dengan begini, nona itu sudah kelebuh dalam sekali ke dalam perangkap asrama yang
dipasang The Go.
Tio Jiang hanya tertawa dingin saja. Bermula saat itu, juga dia hendak loncat meneryang
penghianat itu, tapi sekilas terlintas dalam pikirannya untuk mencari keterangan lebih
jauh dulu sebelum turun tangan. „Cian-bin Longkun, kemana Li Seng Tong sekarang?"
tanya dengan tenang.
Li congpeng siang2 sudah balik. Tentara Ceng disini, adalah orang2ku!" sahut The Go,
dengan tertawa bangga. Dengan wajah keren, Tio Jiang memaki: „Kalau begitu, dosamu
sudah memuncak, sampai mati masih dicaci orang!"
Mulut The Go yang masih tertawa tadi, tak dapat meneruskan ketawanya lagi. „Anak
kerbau, kematianmu sudah didepan mata, mengapa masih kurang ajar? Hai, anak2 !,
Bawa wajan dan api kemari"
„Cian-bin Long-kun, perlu apa alat masak itu?" tanya,
Tio Jiang dengan keheranan. The Go ter-bahak2, sahutnya :
„Tulang kepalaniu keras, maka perlu digodok dengan wajan !"
Tio Jiang menelan ludah, terhadap manusia sekejam itu tak dapat dia bersabar lagi.
Sekali loncat dia meneryangnya. „Bangsat, yangan umbar kebiadaban !"
The Go terperanyat, dengan gugup dia segera tarik tubuh Bek Lian kemuka, untuk
menutupi diri. Teryangan Tio Jiang tadi disertai dengan sebuah hantaman kuat, tapi
demi, melihat kelicikan The Go menyadikan Bek Lian perisainya, dia buru2 tarik pulang
tangannya. „Lian suci, bangsat itu telah menyadikan kau sebagai perisainya, apa kau
belum insjaf ? "
Sebaliknya Bek Lian malah deliki mata dan tertawa dingin „Makin kau menyelekkan
namanya, makin aku mencintainya !"
Tio Jiang tertegun. Sucinya itu bukan seorang dungu, mengapa kini begitu limbung
pikirannya? Tapi dalam pada itu, walaupun heran mengapa Tio Jiang bisa lolos, The Go
terus keluarkan kipasnya yang terbuat dari lidi baja murni. Sekali bergerak dengan thui-
jong-bong-gwat (mendorong jendela melihat rembulan) dia maju menutuk tenggorokan
Tio Jiang.
Sejak perkenalan pertama di Lo-hu-san entah sudah berapa kali Tio Jiang selalu
mendapat kopi pahit" dari The Go. Lama nian hati anak muda ini hendak membikin
pembalasan. Dan inilah saatnya. Begitu miringkan tubuh menghindar, dia maju
selangkah. Secepat kilat, dia cengkeram ugal2 tangan lawan. Gajanya lain dari Tio Jiang
dahulu, hingga membuat The Go kagum dan heran juga. Cepat2 The Go itu tarik turun
tangannya, lalu dijulurkan lagi untuk menutuk dada. Juga serangan itu, indah dan cepat.
„Bagus!" seru Tio, Jiang melihat gaja tangkisan yang dapat menyerang itu. Dia putar
tubuhnya sembari mendak, lalu tiba2 dia gunakan sepasang tangan mendorong dada
orang yang terbuka itu. Dapat dipastikan serangannya itu tentu berhasil. Se-konyong2
ada angin menyambar dari belakang, maka terpaksa dia tarik tangannya kanan untuk
menangkap kebelakang, hai mengapa benda itu sedingin es? Adalah karena dia tertegun
bahwa yang disawutnya itu adalah sebatang liu-yap-to milik Bek Lian, The Go sudah
beroleh kesernpatan untuk loncat menyingkir. Wajahnya pucat lesi, dahinya mandi
keringat. Ternyata dia seperti orang yang sudah mati dapat hidup kembali, hatinya
berguncang keras
Ketika Tio Jiang berpaling kebelakang, didapatinya Bek Lian bersikap bengis sembari
menghunus pedang. „Lian suci, mengapa kau?" tegur Tio Jiang.
„Kalau kau berani melukai engkoh Go, aku tentu mengadu jiwa denganmu!" seru Bek
Lian.
„Lian suci, bangsat itu berdosa besar. Semua saudara dari Hoa-san, telah hilang jiwa
gara2 tipunya. Mengapa harus diampuni ? "
„Tidak mengampuni dia berarti tidak mengampuni aku!" seru Bek Lian sembari putar
pedangnya terus menusuk dada Tio Jiang dengan jurus cing-wi-tian-hay. Bagi Tio Jiang,
ilmu pedang to-hay-kiam-hwat sudah difahaminya. Terhadap, sang suci sedikitpun dia
tak jeri. Tapi mengingat ikatan saudara seperguruan tak mau dia membalas, melainkan
menghindar kesamping. Tapi good-will itu telah dirusak oleh The Go yang se-konyong2
loncat menurun menutuk jalan darah dikaki. Jadi dalam keadaan itu, Tio Jiang diserang
dari muka dan belakang. Tapi Tio Jiang sekarang lain dengan Tio Jiang setengah tahun
dulu. Sekali enyot sang kaki, tubuhnya melambung keudara.
GAMBAR 47
Dalam keadaan tergencet dikerojok, ketika The Go melontarkan
hantaman pula, terpaksa Tio Jiang melompat keatas terus
berjumpalitan hingga melintasi ,diatas kepalanya The Go.

Biasanya kalau orang loncat keatas, tentu akan jatuhnya melayang turun kemuka. Tapi
karena Bek Lian berada disebelah muka, Tio Jiang tak mau berbuat begitu. Dia buang
kepalanya kebelakang dan berjumpalitan diudara, lalu melayang melalui kepala The Go
dan turun dibelakangnya. Suatu loncat-indah yang mengagumkan sekali!
Melihat Tio Jiang menghilang tiba2, dengan gugup The Go segera berputar kebelakang,
tapi dia sudah disambut dengan sebuah hantaman. Karena jaraknya sudah sedemikian
dekat jadi The Go dipaksa untuk menangkis, krak...... baik dia maupun Tio Diiang sama2
tersurut kebelakang sampai 3 tindak. Hanya saja kalau dia terhujung, adalah murid Ceng
Bo itu hanya tergetar sedikit, malah sudah lantas merangsangnya lagi. Dari sini bisa
diketahui sampai dimana, kini nilai kepandaian kedua seteru besar itu.
The Go gunakan jurus hong-cu-ma-ciu untuk menghindar, tapi karena tadi diua sudahh
terluka, dalamnya, jadi gerakannyapun lamban. Apalagi karena Tio Jiang pun faham
akan ilmu silat hong-cu-may-ciu (dari Sik Lo-sam), jadi dengan susah pajah barulah The
Go dapat lolos. Namun bagai bayangan, Tio Jiang tetap membayangi kemana larinya.
(Bersambung Ke Bagian 21.2)
MEMBAYAR HUTANG

BAGIAN 21.2

Dalam beberapa gebrak saja, pakaian kebesaran si The Go ittu sudah compang-camping
tak keruan, dan terus-menerus dia main mundur. Pada lain saat, Tio Jiang mendesak
rapat, setelah menangkis serangan The Go, dia ulurkan tangan kanan. „Lepas!" dan tahu2
kipas The Go telah dapat direbut.
Saking ketakutan, The Go segera men-jerit2:
„Hajo, lekas kerojok dia!"
Bagaikan tawon keluar dari sarangnya, kawanan serdadu Ceng yang sudah sedari tadi
mengawasi pertempuran itu disamping, segera maju menyerang Tio Jiang. Tapi Tio Jiang
cepat merangsang hebat pada The Go, sehingga untuk beberapa saat kawanan serdadu
itu tak berdaja turun tangan. Masih The Go dapat memaksa bertahan sampai dua jurus,
tapi pada lain saat pahanya tiba2 dirasakan sakit sekali terkena tutukan Tio Jiang.
Saking sakitnya dia tak kuasa berdiri lagi, berbareng dengan itu tangan kiri Tio Jiang
pun sudah melayang kearah umbun2 kepalanya..............
„Tahan dulu!" seru The Go dengan gugup, lalu berteriak lagi se-kuat2nya: „Lian-moay,
yangan kau mengambil keputusan pendek begitu!"
Lagi2 Tio Jiang kena diselomoti oleh rase yang licin itu.
Ini sebagian disebabkan karena api-asmaranya terhadap sang suci masih tetap menyala,
sebagian memang wataknya yang ksatrya. Buktinya tempo Yan-chiu didesak hebat Kang
Siang Yan tempo hari, diapun mati2an mengadu jiwa. Dia berpaling kebelakang, tapi
bukannya Bek Lian hendak bunuh diri, tapi menghunus pedang dengan cemasnya. Tahu
kalau diselomoti, cepat Tio Jiang berpaling kemuka lagi, tapi sirase The Go sudah
menyingkir pergi!
Dengan menggerung keras, Tio Jiang loncat memburu, tapi segera dihadang oleh
lingkaran pagar tombak dan golok dari kawanan serdadu. Tapi mana serdadu2 kerucuk
itu bisa menandingi amukan murid kesayangan Ceng Bo siangdiin? Sekali bergerak, dia
sudah dapat menyampok jatuh beberapa serdadu dan merampas tombaknya.
Dengan,sebatang tombak, dia mengamuk laksana banteng ketaton, namun lapisan
serdadu itu sangatlah rapatnya. Sekalipun begitu, mereka tak dapat mendekati Tio Jiang,
rupanya mereka jeri juga akan kegagahan jago muda itu. Kalau dia berhenti, serdadu2
itupun berhenti tak berani menyerang. Kalau dia menyerang lagi, pun mereka bergerak
pula.
Menyingkir!" tiba2 dari dalam kawanan serdadu itu Ioncat maju seorang opsir yang
mencekal toja long-ge-pang. Tanpa berkata sepatah kata, orang itu segera menghantam
kepala Tio Jiang. Melihat gerakan kaki orang itu tak teratur, Tio Jiang ganda tertawa saja.
Tahu dia, orang itu hanya bertenaga besar tapi ilmunya silat biasa saja. Begitu
menghindar kesamping, dia lalu maju kemuka dan blek tangannya menabas
pundak siopsir, siapa tojanya terlempar dan orangnya jatuh terlentang!
Tio Jiang cepat mengambil alih toya long-ge-pang itu, yang ternyata berat. „Hem......,
sejak rombonganmu masuk kekota, entah berapa banyak rahajat Han yang kehilangan
jiwa, sekarang hendak kubestelkan kau keacherat!" seru Tio Jiang seraja menyambret
tubuh opsir itu terus di-putar2 lalu dilemparkan kemuka. „Aduh" terdengar suara jeritan
dalam kawanan serdadu sana.
Kembali Tio Jiang mengamuk, sehingga kawanan serdadu itu kocar kacir mundur.
Kemana long-ge-pang menghantam, darah menyembur membawa gumpalan daging. Ki-
ni terbukalah suatu jalan darah untuk Tio Jiang. Tapi sekonyong2 ada dua orang maju
dengan masing2 mencekal sebuah tun-pay (perisai) besar macamnya. Wut....., wut....,
kedua benda itu berbareng menyerang dan berhasil mengapit long-ge-pang. Tio Jiang
coba kerahkan tenaga untuk membetot, tapi tak bergeming. Mengapa tiba2 dalam barisan
musuh terdapat seorang lihay, demikian diam2 Tio Jiang terkesialp. Oho......., kiranya
kedua orang itu bukan lain adalah dua paderi besar atau Sam-tianglo dari gereja Ci-hun-
si. Malah kini mereka lengkap tiga jumlahnya. Yang dua menyepit long-ge-pang dengan
dampar, sedang yang seorang lagi melesat maju menghantam perut Tio Jiang dengan
pukulan hek-sat-ciang (pukulan pasir hitam).
GAMBAR 48
Belum lagi Tio Jiang dapat merobohkan To Ceng, sementara
itu To Kong dan To Bu juga sudah datang, ia menyadi lebih
pajah menghadapi kerojokan tiga tertua dari Ci-hun-si An.

Tio Yang undang seluruh kekuatannya, baru dia berhasi menarik lolos long-ge-pang. Tapi
kedua paderi itu bukan tokoh lemah. Benar Tio Jiang telah membuat kemajuan pesat,
namun masih kalah dengan pejakinan mereka dari berpuluh tahun itu. Apalagi dua orang
maju berbareng. Krek........putuslah long-ge-pang itu, hingga Tio Jiang terjerembab jatuh
kebelakang dengan mencekal separoh kutungan toja. Keadaan itu teramat berbahaya,
karena berbareng dengan itu ketika tianglo itu maju serempak menyerang 3 bagian
tubuhnya .

(Bersambung Ke Bagian 22)


TIGA ORANG HWESHIO DAN SEORANG PEMALSU

BAGIAN 22.1

Sebat luar biasa, terpaksa Tio Jiang menekankan kutungan tangkai toja itu ketanah
tubuhnya segera melambung setombak tingginya. Tapi ketiga paderi itu merangsang lagi
keatas. Namun murid kesayangan Ceng Bo itu tak gugup. Kutungan toja dijadikan
semacam pedang, diobat-abitkan ditengah udara. Sambil meluncur turun dia mainkan
jurus boan-thian-kok-hay. Memang hebat nian ilmupedang tohay-kiam-hwat itu. Ketiga
tianglo itu menyingkir mundur, hingga Tio Jiang leluasa turun ketanah. Dan sekali inyak
tanah, dia mainkan lagi jurus hay-lwe-sip-ciu.
Hay-lwe-sip-ciu atau 10 benua didalam laut, merupakan jurus terachir dari ilmupedang
to-hay-kiam-hwat. Perbawanya dahsjat sekali. Sekalipun hanya dengan kutungan toja,
namun karena lwekangnya kini maju pesat, Tio Jiang tetap membahajakan lawan,
sehingga ketiga tianglo itu tak berani merapat dekat2 dan mundur lagi dua langkah.
Mendapat hasil, Tio Jiang makin bersemangat. Kutungan toja, dimainkan selebat hujan.
Begitulah pertandingan satu lawan tiga itu berjalan dengan seru dalam tempo yang cepat.
Se-konyong2 ketiga tianglo itu bersuit dan sama menyingkir mundur Wut....., wut.....,
ujung toja kutung menghantam beberapa kali kearah dampar mereka, tapi sedikitpun
tidak pecah atau hancur karena dampar itu terbuat dari bahan bulu suri kera putih dari
gunung Sip-ban-tay-san. Tio Jiang heran mengapa, ketiga tianglo itu main mundur
bertahan diri. Padahal terang, setiap kalau ujung toja kutung menghantam dampar, tentu
se-olah2 terbentur dengan suatu„tembok keras", sehingga, setiap kali itu juga Tio Jiang
harus gunakan tangkisan lwekang untuk menghalau pukulan balik dari dampar itu. Baru
setelah berjalan 50-an jurus, kagetlah Tio Jiang. Kedua lengannya kini terasa lemah
lunglai kesemutan.
Ketiga tianglo Ci-hun-si itu adalah jago2 kawakan. Ketika didapatinya perobahan besar
yang luar biasa dari perbawa permainan Tio Jiang, mereka mengatur siasat. Tak mau
menyerang, melainkan bertahan, tapi tetap mengepung rapat. Senyata dampar itu,
memang tepat sekali untuk menyalankan siasat bikin lemah lawan itu. Setiap kali Tio
Jiang menggempur, merekapun menggunakan lwekang untuk menangkis, alhasil, lama
kelamaan habislah tenaga Tio Jiang.
Tio Jiang tersadar tapi agak teriambat. Sekali lagi dia coba kerahkan tenaga, wut....,
wut...., hay-li-long-hoan disusul dengan hay-lwe-sip-ciu dilancarkan, dan berhasil
membuat ketiga paderi itu menyingkir mundur. Tapi dengan serangan yang diforser itu,
napas ter-sengal2, tenaga habis dan terlongong2lah dia.
„He...., he...., he....," ketiga paderi itu tertawa ter-kekeh2, „bocah, serahkan diri agar tak
mengalami sakit!" Sembari mengejek, sembari mereka bertiga menghampiri maju.
Dampar menggelimpang dan 3 buah thiat-sat-ciang berbareng menghantam.
Tio Jiang merasa masih ada sisa tenaga untuk melawan, tapi karena dirasaakan sia2
saja, tak mau dia menangkis. Begitu ketiga tangan hitam itu melayang datang, buru2 Tio
Jiang gunakan jurus terachir dari hong-cu-may-ciu jakni yang disebut ciu-seng-hin-lan
(bau arak membangunkan bunga). Begitu tubuhnya turun sampai menempel tanah, dia
telah memberosot keluar dari sela2 ketiga tangan dan dampar............
„Hebat!" diam2 ketiga tianglo itu memuji dalam hati. Sukur disana pagar barisan serdadu
sudah menghadang Tio Jiang yang rupanya hendak lolos itu. Tio Jiang berhasil
merubuhkan beberapa serdadu, tapi belum sempat lolos ketiga tianglo itu sudah
memburu datang lagi. Tio Jiang sudah mandi keringat. Kini dia kalap sudah. Tangan kiri
menghantam dan tangan kanan mengajun toja kutung. Tanpa hiraukan To Ceng dan To
Bu yang, sudah menghampiri didekatnya, dia menghantam se-kuat2nyan pada To Kong.
Semasa kecil ketiga tianglo itu sebetulnya adalah 3 kawan yang karib. Mereka ber-sama2
menyadi paderi dan ber-sama2 pula mejakinkan ilmu silat. Persahabatan yang sudah
dipupuk puluhan tahun itu sudah mendarah daging bagai saudara putusan perut. Demi
melihat sahabatnya terancam bahaja besar itu, To Ceng dan To Bu batal menyerang Tio
Jian, tapi segera datang menolong To Kong.
Sebenarnya karena kalap, maka Tio Jiang telah lancarkan serangan nekad tadi. Bahwa
ternyata serangan itu menimbullkan reaksi lain berhubung kedua hweshio lainnya sibuk
menolong, telah menyebabkan kegirangan Tio Jiang. sekali toja kutung diturunkan, dia
menyapu kearah kaki ketiga
paderi itu. Sapuan itu disebut tipu ngo-hou-tuan-kun-hwat, ilmu toja dari 5 harimau
menerkam nyawa. Dan ketika ketiga, tianglo itu loncat keatas, Tio Jiang menyusuli lagi
dengan serangan to-hay-kiam-hwat. Ketiga tianglo itu sibuk benar2 , bluk...., bluk .....
mereka menangkis dengan dampar.
Tio Jiang terperanyat, karena didapatinya toja itu hampir tetlepas dari cekalannya, suatu
pertanda, kalau tenaganya mendekati habis. Buru2 dia lempar toja kutung itu dan
berbareng itu loncat melejit kesamping menyambar sebatang goIok dari seorang serdadu
Ceng.
Begitu ketiga paderi itu memburu, Tio Jiang menimpuk dengan golok. Dan selagi ketiga
lawannya itu sibuk menangkis, dia sudah balikkan tangan kiri menghantam rubuh
seorang serdadu lagi. Rupanya serdadu itu remuk tulang belulangnya. Cepat Tio Jiang
mengangkat kaki serdadu itu, lalu di-putar2 terus dilemparkan kearah ketiga hweshio
tadi. Ketiga tianglo itu menyadi melongo, karena selama ini belum pernah dijumpai orang
berkelahi macam cara sianak muda itu. Tapi Tio Jiang tak mau ambil pusing. Susul
me,nyusul dia lemparkan lagi dua orang majat serdadu kepada ketiga lawannya itu.
Kawanan serdadu Ceng itu hanya kantong2 nasi yang tiada berguna. Mengliadapi jago
silat macam Tio Jiang, mereka merupakan anak kambing yang dibuat mainan oleh
harimau. Dalam sekejab waktu saja, Tio Jiang telah menimpukkan 30-an serdadu. Ketiga
tianglo itu terhalang dalam jarak seta tombak lebih. Mereka tak berdaja mendekati jago
muda itu. Sebaliknya karena memberi basil, Tio Jiang terus gunakan cara itu.
Tapi fihak serdadu Ceng menyadi panik. Bermula mereka tampak garang hendak
membunuh „seekor harimau", tapi kini ternyata harimau itu hendak menerkam mereka.
Hampir 35 serdadu telah melayang jiwanya. Namun lapisan serdadu pengepung itu tak
man bubar. Sedang barisan yang terdekat dengan Tio Jiang sudah merinding dan ber-
desak2an mundur, hingga saling pijak2an sendiri. Melihat itu Tio Jiang lari menghampiri
dan meloncati mereka. Menghadapi tembok lapisan serdadu yang mengepung dibagian
luar, bermula Tio Jiang tak man segera menyerang. Tapi melihat kesaktian anak muda
itu, walaupun andaikata mau, mereka dapat menyerangkan senyatanya, tapi mereka
lebih suka mundur menyingkir untuk memberi jalan. Tio Jiang sudah diambang pinto
kebebasan.
Pada seat itu, tersadarlah ketiga tianglo tadi. Tanpa hiraukan entah mati atau masih
hidupkah kawanan serdadu yang bergelimpangan desak mendesak itu, meraeka loncat
memburu. Belum orangnya tiba, sebuah dampar telah melayang kearah punggung Tio
Jiang. Tio Jiang berputar tubuh sembari menangkap dampar itu. Namun dampar itu
telah dilontarkan dengan tenaga lwekang oleh To Ceng. Benar Tio Jiang dapat
menyanggapi dengan tepat, tapi begitu jarinya kendor sedikit, dampar itu jatuh ketanah.
To Ceng tianglo perdengarkan tertawa seram sembari melesat kesamping Tio Jiang,
wut....., wut......, sepasang tangannya berbareng menghantam. Tio Jiang tak berdaja
menangkis, dia hanya dapat miringkan tubuh kesamping menghindar. Tapi keajalan itu
telah menyebabkan To Bu dan To Kong sudah tiba. To Bu mengait dengan ujung kaki
dan dampar itu melayang kearah To Ceng yang sages menyambutinya. Kini figs serangkai
hweshio lihay ituu kembali mengerojok To Jiang.
Kini Tio Jiang tak mencekal senyata apa2. Bertempur -aiati2an sekian lama, tenaganya
sudah habis, sedang pada saat itu dia- masih harus menghadapi Icerojolkan dari 3
hweshio yang berilmu tinggi. Jadi kans untuk meloloskann diri, kecill atau boleh dibilang
tiada sama sekali. Namun menyerah, Tio Jiang tetap berpantang. Kalau dapat membunuh
seorang lawan, serie namanya. Tapi kalau dapat membunuh artinya masih untung
karena dia hanya kehilangan sesosok jiwa. Demikian keputusan Tio Jiang yang sembari
empos semangatnya tampak memandang tak berkesiap pada To Ceng. Tiba2 dia
merangsangnya. To Ceng melejit kesamping, sedang To Bu menyerang dari kiri, brettt......
karena tak keburu menghindar separoh baju Tio Jiang telah robek !
Tio Jiang merasa terhina dan hinaan itu mendesaknya kesudut tekad: bertempur sampai
mati! Dia menyemput sebuah golok lalu melancarkan 3 kali serangan gencar berturut2,
menyerang kepala, perut dan kaki To Ceng. Benar dampar dapat digunakan untuk
menangkis, tapi dalam menghadapi serangan berantai yang disebut sam-ce-lian-hoan (3
bintang merangkai untai) itu, terpaksa To Ceng mundur. Serangan dibagian kepala. dan
perut dapat dihindarinya, tapi karena kurang sebat kakinya telah terrpapas, darahnya
menyembur keluar
Tapi berbareng pada saat itu, dari belakang terasa ada angin menyamber. Cepat Tio Jiang
berputar tubuh untuk mengiringi dua buah serangan. To Kong dan To Bu terpaksa
mundur. Melihat caranya anak muda itu bertempur seperti orang kerangsokan setan,
ketiga tianglo itu jalankan lagi siasat. „membikin lelah" orang. Tak rnau menyerang, tapi
tetap mengurungnya.
„Mengapa tak mau menyerang?" tegur Tio Jiang dengan ter-engah2. To Kong tertawa
meringkik, sahutnya: „Kini walaupun Hay-te-kau sendiri yang datang, juga diharuskan
menghadap Giam-lo (raja acherat) !" -
Tio Jiang menghela napas, hendak balas mendamprat tapi sayang mulutnya tak lincah.
Maka tanpa mengatakan apa2, dia maju selangkah dan ajunkan goloknya. Tiba2 pada
saat itu dari atas sebatang puhun terdengar suara melengking memaki : „Kepala gundul
yang tak tahu malu! Kamu bertiga ekor keledai gundul tak mampu mengalahkan seorang
murid Hay-to-kau saja, masa berani umbar suara menantang Hay-te-kau! Cis!, kalau
Hay-te-kau berada disini, dikuatirkan kau menyadi setan tak berkepala lagi !"
Tio Jiang tertegun, lalu berseru keras: „Siao Chiu, kaukah?"
„Hi...., hi....., ja....! benar akulah, suko!" suara diatas puhun itu menyahut, „hebat benar
kau tadi suko, lama sudah aku disini menyaksikan !"
Tio Jiang mendongkol, masa orang hampir melayang jiwanya......kok, malah enak2
menonton. Terlalu benar sigenit itu ! Ketika mengawasi kearah puhun, sinona itu masih
tetap selincah dahulu. Dengan gerakan yang enteng, ia loncat turun ketengah
gelanggang. Tapi, hai, mengapa gerakannya itu sedikitpun tak mengeluarkan suara? Ah,
tentulah dara nakal itu selama dua bulan berada dengan Tay Siang Tansu, telah berhasil
„memeras" kepandaian dari hweshio besar itu. Mendadak sontak semangat Tio Jiang naik
seratus derajat. Kini keduanya berdiri bahu membahu. Siao Chiu, apa kau sudah lama
disitu tadi?"
„Belum, hanya sudah hampir dua jam!"
„Mengapa tak lekas2 membantu aku?" tegur Tio Jiang dengan mendongkol. Sebaliknya
sigenit itu hanya ganda tertawa, sahutnya: „Suko, kau memiliki beberapa, macam
kepandaian yang istimewa. Kalau tak melihat kau satu per-satu mengeluarkan tentu aku
tak dapat memintamu mengajari. Nah, kau mau mengajari aku tidak ?"
„Hajo kita lolos lulu dari sini, baru nanti bicara lagi sahut Tio Jiang geli berbareng
mendongkol. Yan-chiu mengiakan, tapi segera dia bertanya: „Suko, ape kau tidak
membekal pedang? Hajo kita mainkan Hoan-kang-kiam-hwat dan to-hay-kiam-hwat."
Belum Tio Jiang menyahut, disebelah sana ketiga tianglo tadi sudah membentak: „Budak
Hina, dineraka sini tiada pinto untuk keluar, masa kau ngimpi hendak lolos?! "
Tatkala Yan-chiu melayang turun masuk ketengah gelanggang tadi, ketiga tianglo itu tak
mau menghadangnya. Mereka sudah merasakan pil-pahit dari sigenit, baik berupa
hajaran (ketika diluitay) maupun kocokan mulutnya yang tajam. Tanya jawab antara
kedua anak muda tadi yang se-olah2 menganggap sepi adanya ketiga hweshio itu disitu,
telah menimbulkan kemurkaan mereka bertiga. Maka sembari membentak, mereka
segera serentak maju kedekat.
„Tahan!" seru Yan-chiu sembari cabut pedangnya. Ketiga tianglo itu terkesiap, heran
hendak mengapa gadis nakal itu. „Didunia persilatan ketiga tianglo dari gereja Ci-hun-si
itu juga merupakan tokoh2 ternama. Tapi masa kini mengerojok dua bocah kemaren sore
saja, tak, mau memberikan senyata apa2 pada lawan!" sambil ketawa dingin Yan-chiu
mengocok, sehingga saking gusarnya ketiga tianglo itu tak dapat mengucapkan apa2
sampai sekian saat.
„Kau minta senyata apa?", tanya mereka kemudian. Yan-chiu cekikikan girang, sahutnya:
„Kamsia, kurang sebilah pedang saja!"
To Kong hweeshio segera mengambil sebatang pedang dari seorang opsir. Kemarahannya
tadi disalurkan kearah tangannya yang sekali menyelentik, pedang itu segera melayang
kearah Yan-chiu. Tio Jiang terkejut, buru2 dia hendak maju menyanggapi, tapi telah
kalah dulu dengan Yan-chiu, yang tampak menguratkan pedang pusakanya dalam
separoh lingkaran, tring...... selentikan Iwekang To Kong tadi telah digurat bujar, dan
jatuhlah pedang itu kebawah disambuti dengan manis oleh Yan-chiu lalu diberikan pada
sukonya.
Bagi Tio Jiang yang kini sudah memiliki pelbagai ragam ilmu silat itu, segera dapat
mengenal gerakan tangan Yanchiu menggurat tadi adalah termasuk ilmu lwekang yang
tinggi, jakni cara untuk menyambut ancaman lwekang berat atau yang disebut „4 tail
menyambut ribuan kati". Diam2 Tio Jiang girang. Tak tahu dia cara bagaimana
sumoaynya yang nakal itu, telah dapat mengeduk ilmu lwekang tinggi dari Tay Siang
Siansu. Begitu menyambuti pedang Tio.Jiang lalu berseru: „Jurus pertama!"
Dia mainkan jurus „Tio Ik cu hay", sementara Yan-chiu segera mainkan „Khut cu tho
kang." Sepasang ilmu pedang mengalami „reuni" (pertemuan kembali) lagi dengan
sasaran pertama To Kong tianglo!
Rupanya To Kong belum kenal kelihayan pasangan ilmu pedang yang termasjhur itu.
Melihat orang menusuk dada, dia hanya, gunakan damparnya untuk menangkis. Mimpipi
pun tidak dia kalau begitu menusuk, se-konyong2 kedua pedang itu berpencar, satu
menyerang paha satu memangkas betis, Begitu tangkisan menemui tempat kosong, To
Kong terperanyat. Masih untung dia mempunyai dasar latihan selama berpuluh tahun,
hingga dalam saat berbahaya itu dia masih dapat loncat mundur.
Tio Jiang dan Yan-chiu berhenti sebentar untuk menghalau, To Ceng dan To Bu yang
menyerang dari samping. Begitu mereka mundur, kedua anak murid Ceng Bo itu segera
merangsang To Kong lagi. Malah kali ini luar biasa sebatnya. Belum To Kong berdiri jejak,
sepasang pedang itu dengan rukun sekali sudah menyongsongnya. Jurus kedua, boan-
thian-kok-hay dan Pah-ong-oh-kang, dengan manis hendak „memeluk" dada, hingga
saking gugupnya To Kong buang dirinya kebelakang berjumpalitan sampai 3 kali baru
dapat menghindar...........
Tio Jiang dan Yan-chiu tak mau kasih hati. Dengan enyot sang kaki, mereka maju
mengejar sembari lancarkan jurus ketiga: „cing-wi-tian-hay" dan „it-wi-to-kang". Dalam
paniknya, To Kong gunakan dampar untuk menangkis. Tapi dengan sebatnya, kedua
anak muda itu berpencar. Begitu dampar lewat disisinya, tilba2 Yan-chiu bertereak:
„Kena!" ujung pedang sinona, telah masuk dua dim kedalam bahu To Kong. Untung ketika
ia akan susuli lagi dengan lain tusukan, To Ceng dan To Bu keburu datang. Melihat
paduan itu telah memberi hasil, yang luar biasa, Yan-chiu sangat girang sekali. „Karena
Allah bersifat murah, maka untuk sementara kutitipkan dulu kepalamu itu!" damprat
Yan-chiu. Lihay benar lidah nona genit itu. Sebetulnya karena diserang oleh To Ceng dan
To Bu, ia terpaksa repot melajani, tapi toch dengan garang ia masih dapat mendamprat
si To Kong.
Juga Tio Jiang tak kurang girangnya atas hasil luar biasa dari sepasang ilmu pedang itu.
Dia pun segera berpaling kebelakang untuk menghadapi kedua lawannya itu. Selama 7
jurus itu dilancarkan, sam-tianglo dari, gereja Ci-hun-si yang termasjhur itu tak dapat
berbuat apa2. Mereka hanya bertahan tak mampu balas menyerang.
„Siao Chiu, kita harus lekas2 keluar dari kepungan ini!" dia menyerukan sang sumoay,
tapi rupanya sigenit itu masih belum puas. Biar kita tinggalkan dulu tanda mata pada
kedua keledai gundul ini" sahutnya dan sret...... ia lancarkan jurus kang-sim-bo-lo.
Karena tak keburu menghindar, empat, buah jari tangan To Ceng terpapas kutung,
sehingga saking sakitnya dia meng-erang2 sambil mundur. Yan-chiu dan Tio Jiang maju
memburu, saking ketakutan To Ceng enyot kakinya loncat melewati pagar barisan
serdadu. Ah....., masa dia dapat Ioncat jauh melalui lapisan serdadu yang begitu banyak,
bluk....... beberapa serdadu telah keinyak jatuh. Namun tianglo gereja Ci-hun-si yang
berhati kejam itu, tak ambil pusing adakah serdadu2 itu mati atau hidup, pokok asal dia
sendiri bisa selamat. Begitupun To Kong dan To Bu mengikuti tindakan kawannya,
menyusup masuk kedalam barisan serdadu. Oleh karena kepalanya sudah begitu, maka
barisan serdadu itupun juga ikut bubar.
Sedari mendapat luka tadi, The Go ajak Bek Lian berlalu dan main pasrah saja pada anak
buahnya. Sudah tentu opsir2 bawahannya itu bujar nyalinya. Kemana Tio Jiang dan Yan-
chiu meneryang, disitu tentu terbit kekalutan.
„Suko ketiga keledai gundul itu sudah lari, kita balik saja untuk mengejarnya !"
Sudah sejak tadi, Tio Jiang lampiaskan kemarahannya mengamuk tentara musuh,
rasanya puaslah sudah dia. „Siao Clihi, sudahlah. Lebih baik kita lekas2 mencari suhu
dan para cianpwe yang entah kemana larinya itu!" cegahnya. Yan-chiu jebikan bibir,
rasanya masih belum puas.
„Baiklah, kuajarkan kau sebuah ilmu pedang yang sakti!", buru2 Tio Jiang menghibur
ketika ditengah jalan. Baru setelah mendengar itu, wajah Yan-chiu tampak berseri
gembira.
Setelah melalui sebuah tikungan gunung, mereka mentiari sebuah tempat yang sepi dan
melepaskan dahaga derigan, air sebuah sumber. Untuk pengisi perut, dicarinya buah2an.
Sembari beristirahat itu, Tio Jiang tutuj~kan pengalaman selama berpisah. Ketika sampai
bagian tentang kesaktian Kang Siang Yan, Siao Chiu leletkan lidahnya. Tapi ketika
diceritakan soal kejahatan The Go, mulut Yan-chiu tak putus2nya menghambur makian.
Malah lebih banyak makiannya daripada Tio Jiang yang menuturkan.
Habis itu, kini giliran Yan-chiu yang bercerita. Ternyata ia dibawa kegunung Hoa-san
oleh Tay Siang Siansu. Disitu setelah diberi pil sam-kong-tan, dalam beberapa hari saja,
ia sudah sembuh kembali. „Siao Chiu, tapi dalam 2 bulan ini, kepandaianmu maju pesat
sekali!" Tio Jiang menyela.
Sigenit hanya cekikikan saja, tangan dan kakinya membuat gerakan seperti hendak
menerangkan sesuatu, tapi karena masih cekikikan jadi Tio Jiang tak jelas apa yang
dikatakan itu. „Lucu...., lucu.... sekali! Begitu tinggi kepandaian hweshio tua itu, tapi
begitu jujur juga hatinya!" seru Yan-chiu sembari mendekap pinggang untuk menahan
gelaknya.
„Bagaimana?" tanya Tio Jiang melongo keheranan. Yan-chiu malah makin keras
gelaknya. Setelah puas ketawa, baru dia menyahut: „Tiga hari saja, lukaku sudah
sembuh, tapi aku pura2 me-rengek2 kesakitan. Setiap hari ber-ganti2 saja yang
kukatakan, kalau tidak jantungku lemah .... atau pinggang pegal.... tentu..... kepala
pening,....ja pendeknya ada2 saja yang kurengekkan itu. Tak henti2nya mulutku
menyesali hweshio tua itu yang sudah berani menyalahi subo, sehingga akibatnya aku
menderita luka berat. Karena percaja, hweshio tua itu gugup dan lalu menurunkan
pelajaran ilmu lwekang kalangan Hud yang disebut 'Tay-siang Iwekang'. Ha....., senang
sekali bukan, suko?"
Diam2 Tio Jiang memaki sumoaynya yang nakal itu, masa seorang Siansu atau hweshio
besar berani mempermainkannya! „Siao Chiu, Tay Siang Siansu adalah seorang hweshio
agung yang saleh, jadi dia tak mau membikin malu kau. Coba kau pikir, masakan tokoh
semacam dia tak mengerti kalau kau pura2 sakit? Hanya karena melihat bakatmu yang
bagus, maka dia tak pelit menurunkan pelajaran yang sakti itu. Selanyutnya kau harus
berlaku hormat pada golongan cianpwe ja !"
Dalam hati Yan-chiu mengindahkan nasehat sang suko itu, namun mulutnya tetap tak
mau mengalah. „Suko, siapa yang sudi mendengari weyanganmu itu.? Kalau aku tak
pura2 sakit, masakan bisa mendapat pelajaran sakti itu?"
Tio Jiang sampai beberapa saat tak dapat menyawab, achirnya...... baru dia mengatakan:
„Ja, sudahlah, aku hanya bermaksud baik untuk kepentinganmu."
„Nah, akupun mengerti," ketawa Yan-chiu, hingga membuat Tio Jiang meringis, sambil
ter-longong2 memandang sang sumoay. Ada pepatah mengatakan „wajah seorang
perawan itu berobah 18 kali". Dua bulan saja tak melihat, kini dalam pandangan Tio
Jiang, sigenit itu telah berobah Ielbih cantik dan menarik.
„Suko, apakah Lian suci tak mengakui kalau sudah bertunangan padamu?" Yan-chiu
alihkan pembicaraan karena jengah diawasi sang suko itu, sahut Tio Jiang dengan suara
sember. Mendengar itu Yan-chiu menyadi geli, tanyanya pula: „Suko, apakah kau sedih
?"
Tio Jiang melengak, katanya dengan sungguh2: „Bermula memang begitu, tapi setelah
menyaksikan ia menyintai The Go dan tak cinta lagi pada bangsa Han, hatiku sembuh
lagi."
Yan-chiu mendengari dengan tekun. Sambil terdiam ia tundukkan kepala memain ujung
baju, wajahnya kemerah2an memancarkan sinar harapan. Tapi karena Tio Jiang tengah
memikirkan persoalan Bek Lian dan The Go, jadi dia tak memperhatikan. Sampai sekian
lama, baru Yan-chiu kedengaran bertanya: „Suko, aku hendak tanya padamu sepatah
kata."
Kali ini Tio Jiang heran. Biasanya sumoay itu selalu tangkas bicara, mengapa kini plegak-
pleguk ke-malu2an begitu. „Katakanlah!" Tio, Jiang menyuruhnya sambil mengawasi
kearah sang sumoay, siapa kebetulan itu waktupun memandangnya dengan ke-malu2an.
Heran Tio Jiang, mengapa mata Yan-chiu ke-merah2an seperti orang habis menegak
arak.
„Tak jadi, mari kita lanyutkan perjalanan saja lagi tiba2 Yan-chiu tundukkan kepala
berseru. Dasar hatinya tak isi, maka Tio Jiang pun diam saja tak mau menanyai lebih
jauh. Dia hanya menanyakan hendak pergi kemana. „Terserah kemana sajalah!" sahut
Yan-chiu sembari melirik pula.
Karena tak mempunyai tujuan tertentu, mereka lalu jadi berangkat menurut sepembawa
kakinya.
Tak berapa lama kemudian, hujan turun. Semula karena hujannya hanya rintik2, kedua
anak muda itu tak menghiraukan. Setelah melewati sebuah hutan, mereka tetap berjalan.
Lama kelamaan, hujan makin lebat, pada hal keduanya kini tiada tempat untuk meneduh
lagi. Buru2 mereka gunakan kepandaian berlari cepat. Tak berselang berapa lama
kemudian, disebelah muka tampak ada sebuah bio (biara) kecil, kedalam mana keduanya
segera menyusup masuk.
Bio itu tiada palangnya pintu, juga tiada patung pemujaannya. Hujan lebat yang didera
oleh angin kencang itu, masuk juga kedalamm bio tersebut, sehingga lantainya basah,
Saking kecilnya tho-te-bio atau bio untuk menuju penunggu bumi (bau rekso), mereka
berdua tak dapat duduk.
„Suko, hajo kita menyusup kebawah meja sembahyang itu!" seru Yan-chiu sewaktu
dilihatnya dibawah meja itu kering saja, Tapi karena tempat itu sempit sekali, Tio Jiang
enggan. „Mengapa diam saja, apa mau terus2an berdiri disini?" Yan-chiu ulangi
ajakannya. Kali ini Tio Jiang terpaksa menurut.
Karena keliwat sempit, begitu anak muda itu masuk kebawah meja, maka sesaklah
tempat itu. Apalagi karena pakaian mereka basah kujup, jadi makin tak enak lagi.
Keadaan ini berlangsung sampai beberapa saat.
„Suko, setelah Lian suci tak menyintai kau, apakah kwi. tak mau jatuh cinta pada lain
gadis lagi?" tiba2 Yan-chiu memecah kesunyian. Bagi seorang gadis seperti Yan-chiu,
sudah tentu merasa kalau pertanyaannya itu keliwat batas. Tapi apa daja? la ketarik
sekali akan peribadi sang suko yang sederhana jujur dan setia dalam percintaan. Ia
sendiri tak tahu entah apa sebabnya, tapi berada disamping Tio Jiang, hatinya merasa
girang sekali. Sebenarnya kalau mau, ia masih boleh tinggal bersama Tay Siang Siansu
untuk mejakinkan lain2 ilmu yang lebih sakti, tapi ia tak mau. Hal ini disebabkan rasa
rindunya hendak berjumpa dengan sang suko. Berkat pembawaannya yang lincah
tangkas, dapat juga mulutnya mengeluarkan pertanyaan semacam itu.
GAMBAR 49
Suko, apa selain Lian-suci, tiada orang kedua yang bisa
kau cintai lagi ?" tanya Yan-chiu tiba2. Tio Jiang melengak,
sampai lama sekali baru jawab: „Entahlah, aku sendiri tidak tahu."

Tio Jiang menghela napas, sahutnya: „Siao Chiu, aku sendiri tak tahu." Kata2 itu
memang keluar dari isi hatinya. Setelah kehilangan gadis pujaannya, dia telah mengalami
ketawaran hati jadi tak tahulah bagaimana hendak menyawab pertanyaan sumoaynya
itu. Mendengar itu, sampai beberapa saat Yan-chiu terdiam, kemudian katanya „Tio suko,
aku telah ber-olok2 keterlaluan padamu. Kalau kuberitahukan apakah kau marah ?"
Huh, entah berapa kali sudah kau meng-olok2 aku, tapi aku tetap bersabar. Demikian
pikirnya dan demikian pula sahutnya: „Sudah tentu tidak !"
„Malam itu.........."
„Sst, diam!" tiba2 Tio Jiang mencegahnya. Sebenarnya Yan-chiu sudah ambil putusan
hendak menceritakan olok2nya memberi peniti kupu2 pada itu malam. Hendak ia
menerankan, bahwa hal itu se-mata2 hanya bergurau saja disamping hendak
menghibur sang suko agar lekas sembuh dari penyakitnya. Tapi baru mulai sudah
terganggu dengan cegahan sang suko. Dan memang berbareng itu terdengar derap kaki
orang menghampiri kebio situ. Nyata derap kaki itu menyatakan siorang tengah ber-
gegas2. Maka Tio Jiang dan Yan-chiu segera menahan napas seraja saling berjabatan
tangan dengan erat sekali.
„Blak!" demikian bunyi daun pintu bio ketika didorong oleh sipendatang, siapa masuk2
terus memaki: „Setan alas, hujan lebat ini !"
„Memang beginilah keadaan rumah yang atapnya tiris," sahut seorang lagi. Jadi rupanya
mereka itu ada dua orang. Makin lama rupanya mereka itu masuk kedalam dan
menghampiri meja sembahyangan. Tio Jiang sudah terus hendak menobros keluar untuk
menemui orang2 itu, tapi buru2 dicegah Yan-chiu. „Yangan, suko, lebih baik kita
sembunyi disini mendengari pembicaraan mereka. Mungkin ada apa2nya yang menarik!"
bisik Yan-chiu.
„Keparat, mengapa didalam bio juga basah begini!" kembali siorang Yang rupanya gemar
memaki tadi keluarkan makiannya lagi. „Dibawah kolong meja sembahyangan tentu
kering, hajo kita menyusup kesitu!" ajak kawannya.

(Bersambung Ke Bagian 22.2)


BAGIAN 22
TIGA ORANG HWESHIO DAN SEORANG PEMALSU

BAGIAN 22.2

Kaget Tio Jiang bukan kepalang. Buru2 dia siapkan senyatanya, siapa tahu mereka
adalah lawan. Ah, kan kita tak lama meneduh disini, lebih baik kita duduk diatas meja
itu saja!" sahut yang satu. Dan bluk...., bluk...., keduanya segera sudah loncat keatas
meja.
„Kurang ajar!" bisik Yan-chiu dengan mengkal. Sebaliknya Tio Jiang berusaha keras
untuk menahan gelinya. Tiba2 wajahnya berobah ketika mendengar salah seorang ada
yang menyebut nama kawannya.
GAMBAR 50
Cepat Tio Jiang dan Yan-chiu menyelusup
kebawah meja sembahyang ketika tiba2 mendengar suara
tindakan orang mendatangi. Benar juga, dua orang telah masuk
kelenteng itu dan duduk diatas meja sembayang untuk pasang omong.

„Saudara It-ho, ada urusan apa Cian-bin Long-kun mencarimu?" demikian salah seorang.
Sedang yang ditanya kedengaran menghela napas menyahut: „Dia telah mengikat
tantangan dengan ketua Thian Te Hui untuk adu kepandaian digereja Ang-hun-kiong
gunung Ko-to-san pada nanti pesta air (pehcun). Benar dengan Ang Hwat Cinyin sebagai
andalan, dia tak jerikan lawan, namun sedikitnya diapun harus unyuk kepandaian juga.
Tahu kalau akulah yang mencuri pedang Kang Siang Yan pada 10 tahun yang lalu dia
hendak membelinya.
Kata2 itu membikin terkejut Yan-chiu, siapa lalu menyikut sukonya. Tapi Tio Jiang diam
saja. Dia tengah pasan telinga benar2.
„Memang benar, kaum persilatan manakah yang tak mengakui bahwa Yau-sim-ban-pian
Tan It-ho itu mempunyai kepandaian untuk menembus langit? Sampai pedang pusaka
dari Kang Siang Yan, diapun berani mencurinya. Kabarnya pedang itu terdiri dari
sepasang, laki dan perempuan. Milik Kang Siang Yan itu tentulah yang perempuan!"
kedengaran pula suara dari atas meja.
„Benar, saudara Lim, pedangi itu dinamakan „kuan wi", dapat memapas logam seperti
memapas lumpur. Merupakan pedang nomor satu tajamnya didunia," sahut Tan It-ho.
„Saudara It-ho, rasanya kau belum pernah mengunyukkan pedang itu diluaran, dapat
siaote (aku) melihatnya barang Sejenak?" tanya yang disebut si Lim tadi. Tan It-ho
kedengaran menghela napas panjang, sahutnya: „lama pusaka itu tak berada padaku !"
„Saudara Tan, aku Hun-ou-tiap Lim Ciong, bukan yang kemaruk untung melupakan
budi, mengapa kau, begitu pelit ?" kata si Lim dengann kurang senang.
Mendengar orang menyebutkan namanya sendiri itu, Yan-chiu segera membisiki
sukonya: „Suko, si Hun-ou-tiap Lim Ciong itu, adalah orang yang ketika dalam
pertandingan luitay di Gwat-siu-san telah dikutungi sebelah tangannya oleh Lian suci
........."
Kuatir kalau ketahuan orang, maka dalam membisilki sukonya itu, begitu rapat Yan-chiu
tempelkan bibirnya ketelinga Tio Jiang, hingga yang tersebut belakangan itu mendapat
perasaan aneh yang sukar dikatakan, sampai dia ter-longong2 tak dapat bicara.
„Yanganlah saudara Lim curiga padaku, kalau benar pedang itu masih ditanganku, masa,
terhadap The Go yang sudah mengurukku dengan budi besar itu, aku dapat
menolaknya?" kata Tan It-ho pula. Mendengar itu Lim Ciong mendesak dimana adanya
pedang pusaka, itu. Terpaksa Tan It-ho menerangkan: „Setelah mendapat pedang itu,
karena merasa kepandaianku tak cukup, maka aku bermaksud hendak
mempersembahkannya kepada Ang Hwat cinyin dengan sjarat agar cinyin itu suka
mengajari aku barang satu dua macam ilmu kepandaian untuk menyaga diri. Tapi tiba2
ada seorang sahabat dari, Kwisay berkeras hendak meminyamnya, hingga terpaksa aku
kesana sendiri untuk mengantarkan. Tapi sepulangnya dari, sana ketika melalui
pegunungan Sip-ban-tay-san, pedang itu telah disamun oleh suku bangsa Biau ! "
„Apakah kau juga mengatakan begitu kepada Cian-bin Long-kun?" tanya Lim Ciong.
„Benar, maka dia suruh aku menuju ke Sip-ban-tay-san, mencari orang yang merampas
pedang itu!" sahut Tan It-Ho.
„Suku bangsa Biau digunung Sip-ban-tay-san itu keliwat banyak jumlahnya, mana kau
dapat mencarinya?"
„Orang Biau itu dari suku Thiat-theng-biau"
„Astaga, mengapa berurusan dengan suku itu?" seru Lim Ciong dengan kaget. Mendengar
itu Tan It-hoo segera menegas: „Adakah saudara Lim mengetahui tentang suku itu?"
„Tidak begitu jelas. Hanya turut pembicaraan seorang sahabat persilatan Hek-to
(golongann hitam), suku Thiat-theng-biau mempunyai senyata pelindung diri yang sakti.
Mereka mencari semacam rotan hutan, dijemur kering lalu dianyam menyadi sematiam
perisai yang dikenakan
Sebagai baju yang menutup kepala sampai ujung kaki. Rotan hutan itu disebut thiat-
theng (rotan besi), kebal terhadap tusukan segala senyata tajam. Maka suku itu disebut
Thiat-theng-biau, atau suku Biau daerah thiat-theng. Kepala suku dinamakan Kit-bong-
to, orangnya gagah berani pandai berperang, bukan?"
Mendengar itu se-konyong2 Tan It-ho menggebrak meja, sehingga, debu yang melekat
dibawahnya sama rontok jatuh kebawah. Bukan kepalang mendongkolnya Yan-chiu,
hatinya penuh dengan umpat caci tapi sang mulut tak berani mengeluarkan.
„Saudara Lim, cerita sahabatmu itu tentu masih ada lanyutannya lagi. Kalau dapat
memberikan pengunyukan jelas, kelak tentu akan kubalas budi itu!" kata Tan It-ho lagi.
Hun-ou-tiap Lim Ciong tertawa menyeringai, sahutnya: „Kit-bong-to itu gemar paras elok,
memang setiap orang tentu mempunyai cacad. Turut omongan sahabatku itu, Kit-bong-
to mempunyai semacam obat racun yang luar biasa lihaynya. Pernah ketika disungai Cu-
kang, dia mengantar dua orang gadis nelajan yang cantik. Sebagai gantinya, Kit-bong-to
memberi beberapa obat racun istimewa kepada sahabatku itu."
„Hai, kalau begitu sahabatmu itu bukankah Can Bik-san yang digelari kaum Hek-to
sebagai Ngo-tok-lian-cu-piau (senyata rahasia lian-cu-piau 5 racun) ?"
„Benar! Dua gadis nelajan itu cukup membuatnya mengangkat nama didunia persilatan,"
kata Lim Ciong. Selesai pembicaraan itu, hujanpun sudah reda. „Aku mempunyai suatu
usul, entah Cian-bin Long-kun menyetujui tidak ja ?" kata Tan It-ho.
„Usul apa ?" tanya Lim Ciong.
„Baru2 ini Cian-bin Long-kun telah dapat memikat seorang anak perawan bernama Bek
Lian, yang cantiknya bagai bidadari turun dari kahyangan. Kalau dia mau serahkan gadis
itu, kutanggung Kit-bong-to tentu akan terbang ke Nirwana!"
Baru Tan It-ho jelaskan usulnya itu, Tio Jiang sudah tak kuat menahan hatinya lagi.
„Kawanan tikus, yangan lari!" serunya seraja menyundul meja itu dengan kepalanya,
hingga Tan It-ho dan Lim Ciong menyadi gelagapan seperti disamber halilintar. Oleh
karena ilmu silat mereka hanya biasa saja, begun meja terbalik, merekapun jumpalitan
jatuh kebawah.
Saking kesusun ja, begun meja terangkat, Tio Jiang tak dapat segera memberosot keluar,
maka dia hantam saja meja itu hingga berlubang baser. Hun-ou-tiap yang sedikit lambat,
telah kena dipegang kakinya oleh Tio Jiang terus dibanting ketanah. Hanya sekali Lim
Ciong menyerit ngeri, din begun d jatuh ditanah tubuhnya terkulai tak dapat berkutik
lagi. Habis itu; Tio Jiang menghantamkan kedua lengannya keatas, hingga meja itu kini
hancur separoh, baru dia dapat keluar. Tapi si Yau-sim-ban-pian Tan It-ho sudah tak
kelihatan bayangannya.
„Siao Chiu, apa kau mengetahui bangsat she Tan itu ?"
Serunya pada Yan-chiu siapa kedengaran menyahut dari ujung tembok sebelah utara:
„Aku juga sedang mencarinya disini !"
Mendengar Yan-chiu berada disebelah utara, Tio Jiang lalu memburu kesebelah barat.
Tapi baru dia tiba disitu, tiba2 ada sesosok tubuh melesat keluar dan itu bukan lain Yan-
chiu adanya. Tio Jiang heran dibuatnya. Terang tadi sumoay itu berada disebelah timur
utara, masa kini berada disebelah barat?
„Suko, kau bilang bangsat itu bersembunyi dibawah patung malaekat yang berada
disebelah barat selatan sana, tapi mana buktinya?" belum Tio Jiang menanyakan, Yan-
chiu sudah mendahului. Kembali Tio Jiang tertegun, karena dia tak merasa pernah
mengatakan begitu. „Siao Chiu, kau sendiri tadi mengatakan sedang mencari bangsat itu
disebelah utara, bukan?" kini dia balas menanya. Tak dapat membekuk Tan It-ho, Yan-
chiu sudah mendongkol. Maka demi mendengar pertanyaan sukonya itu, dia segera
menyahut dengan geram :
„Rupanya kau ketemu setan tadi, siapa yang berkata begitu padamu ?"
Tiba2 Tio Jiang teringat sesuatu. Sekali melesat, dia loncati tubuh Lim Ciong, terus
memburu kesebelah utara timur. Kiranya dibelakang patung malaekat disitu, ada
'sebuah gang kecil. Dia lari menyusur gang itu, namun tetap tiada ketemu sebuah
bayanganpun juga. Masih belum puas ia mencari dibelakang bio itu. Baru setelah tak
mendapat hasil suatu apa, dia terpaksa balik masuk.
„Aku tak percaja kalau bangsat itu dapat lolos!" kata Yan-chiu.
„Kita diselomoti !" sahut Tio Jiang. Habis itu, dia bertanya kepada Yan-chiu lagi : „Tadi
kau sangka aku mengatakan padamu kalau bangsat itu berada disebelah barat utara
sini, bukan ? "
Yan-chlu mengiakan. „Itu si Tan It-ho yang mengatakan!" kata Tio D jiang. Yan-chiu
terbelalak matanya, membantah :
„Ngaco belo ! Masa suaramu aku tak kenal ?"
„Memang dalam hal ilmu silat Tan It-ho itu biasa saja."
Tapi dia mempunyai dua macam kepandaian yang istimewa.
Kesatu, dia pandal menyaru sehingga orang tentu kena dikelabui. Kedua, dia pandai
menirukan suara orang sampai persis sekali. Aku pernah menyaksikan sendiri kala
dipulau Ban-san-to dia menyaru jadi suhu, sampai aku sendiri kena di selomoti! Tadi
diapun tentu gunakan kepandaiannya meniru suaraku dan suaramu untuk
mengacaukan kita berdua!"
Yan-chiu banting2 kaki. Tapi dibalik itu, diam2 ia kepingin juga mempelajari seni
kepandaian itu. Kini mereka memeriksa Lim Ciong yang ternyata terluka parah.
Lengannya yang tinggal satu itu, pun kini sudah patah. Wajahnya mengunyuk kesakitan.
hebat. „Dimana si The Go sekarang, hajo lekas bilang!" bentak Tio Jiang.
„Hohan, ampunilah jiwaku!" meratap Lim Ciong ketakutan.
„The Go masih berada digedung congpeng Kwiciu sana ! "
„Huh, kau ini memang manusia jahat, sudah kutung sebelah lengan masih, belum kapok
.............. "
„Suko, tak usah marah2 padanya!" tukas Yan-chiu seraja angkat pedangnya.
"Lihiap, ampunilah diriku!" seru Lim Ciong ketakutan. Sekilas Yan-chiu mendapat lain
pikiran. Pedang diturunkan, hanya ujungnya saja kini ditempelkan kearah tenggorokan
Lim Ciong. Dilekati alat maut yang sedingin es itu, Lim Ciong tegang kaku tak berani
bergerak sedikitpun juga. Karena sedikit saja bergerak, tenggorokannya pasti tertutuk
tembus.
(Bersambung Ke Bagian 23)
BAGIAN 23
KERA BERSAUDARA BUAYA

Diam2 Yan-chiu geli melihat keadaan Lim Ciong itu. „Mana tempatnya Thi-theng-biau
yang kau ceritakan tadi !" tanyanya. Biji mata Lim Ciong tampak berkicup. Diam2 dia
telah memasang perangkap, sahutnya: „Lihiap, kalau kukatakan apakah kau sudi
memberi ampun ?" Baik Tio Jiang maupun Yan-chiu, adalah anak yang berhati welas
asih. Seorang yang kedua lengannya sudah patah, biar bagaimana tentu tak dapat
melakukan kejahatan lagi Apalagi wajah Lim Ciong yang me-ratap2 belas kasihan itu,
menyebabkan kedua anak muda itu mengiakan. „Baik, lekas katakan. Kalau dikemudian
hari kau sudah kapok, tentu, kuampuni jiwamu !"
Lim Ciong menghela napas longgar. Sebentar matanya menatap kearah ujung pedang
yang melekat ditenggorokannya itu, lalu berkata: „Suku, Thiat-theng-biau itu tinggal
dipuncak Tok-ki-nia dari pegunungan Sip-ban-tay-san. Anak buahnya hanya berjumlah
200-an orang."
Mendengar kata2 „Tok-ki-nia", Tio Jiang terkesiap. Ra-sanya dia sudah pernah
mendengar nama itu. Mungkin Sik Lo-sam yang menceritakan hal itu, tapi entah lupalah
dia. „Tok-ki-nia?" dia menegas pula. Mendengar pertanyaan itu, tiba2 wajah Lim
Ciong,berobah seketika. Sampai sekian jenak, baru tampak tenang lagi. Tapi mata Yan-
chiu yang celi segera mengetahui hal itu, bentaknya: „Bangsat, kau masih berani menipu
orang lagi ja?"
„Tidak, tidak! Kalau ada sepatah saja perkataanku yang bohong, biarlah aku mati
didalam hujan panah!" buru2 Lim Ciong memberi jaminan. Yan-chiu leletkan lidah
mendengar sumpah orang seberat itu. Juga Tio Jiang menaruh kepercajaan. Oleh karena
tak suka melihat cecongor Lim Ciong lebih lama, maka Tio Jiang segera tarik tangan
sumoaynya diajak keluar. Dengan berkutetan susah pajah Lim Ciong paksakan dirinya
untuk berdiri. Dia hiringkan bayangan kedua anak muda itu dengan tersenyum iblis.
Kalau benar The Go masih berada di Kwiciu, Bek Lianpun tentu berada dengannya. Kalau
Tan It-ho keburu menyumpai The Go, dikuatirkan The Go yang tak cinta setulus hati
pada Bek Lian itu, tentu akan menyetujui usul Tan It-ho: tukarkan Bek Lian dengan
pedang kuan-wi pada Kit-bong-to. Maka ajun langkah Tio Jiang dan Yan-chiu itu
ditujukan untuk mengejar Tan It-ho, atau palirIg tidak harus dapat mendahului manusia
seribu muka itu. Maka sampai petang hari, keduanya masih pesatkan larinya, menuju
ke Kwiciu. Juga malamnya mereka tetap lanyutkan perjalanannya.
Keesokan harinya, mereka menyumpai orang2 yang dijumpai dijalan itu, sikapnya aneh.
Dan yang terlebih mengherankan lagi, sejumlah besar serdadu Ceng sama berbondong2
keluar dari kota Kwiciu. Mereka ber-kelompok2, ada yang terdiri dari 10 orang, ada tujuh
atau delapan orang. Selama berjalan itu, mereka hiruk-pikuk tak keruan macamnya. Ada
sementara rombongan anak2 nakal yang melempari batu kearah kawanan serdadu2 Ceng
itu. Melihat itu Tio Jiang dan Yan-chiu menyadi heran. Bukankah Kwitang dan Kwisay
sudah diduduki tentara Ceng, mengapa rahajat masih begitu bernyali besar?
Dalam men-duga2 itu, keduanya sudah mendekati kota. Tiba2 ada seorang pembesar
tentara Ceng, dengan terhujung2 tak tetap jalannya, keluar dari pintu kota. Dia tak
membekal senyata. Kepada kawanan serdadu itu, dia meneriaki keras2 , entah apa yang
diteriakan itu. Tio Jiang dan Yan-chiu tak mengerti akan bahasa mereka, tapi jelas
dilihatnya bahwa serdadu2 itu semuanya adalah bangsa Boan.
Sedari tentara Ceng menduduki kota Kwiciu, mereka: segera memaksa orang2 Han untuk
menyadi serdadu guna menambah angkatan perangnya. Dan orang2 Boan itu diangkat
menyadi opsir dan pembesar militer, Tapi mengapa kini keadaan mereka tak - keruan
macamnya? Sampai sekian lama, Yan-chiu tetap tak memperoleh jawaban pendugaannya
itu. Tapi dalam pada itu, jelas didengarnya baik didalam maupun diluar kota, rahajat
sama ber-sorak2 gempar, sana sini orang memasang petasan. Suasananya lebih ramai
dari Tahun Baru.
Oleh karena didalam sekian banyak orang yang sama berbondong2 entah apa maksudnya
itu, Yan-chiu tak dapat memperoleh keterangan jelas, dia menyadi tak sabar lagi. Sekali
enyot sang kaki, dia segera melayang menyerang seorang opsir Ceng. Ternyata opsir itu
mengerti ilmu silat juga. Dia miringkan tubuh menghindar lalu mengirim hantaman.
Melihat itu, Yan-chiu berbalik girang. Sudah lama ia merasa keisengan tak berkelahi. Kini
dapat sparring partner (lawan bertanding). Dengan gunakan cian-kin-tui atau tenaga
tindihan 1000 kati, dia meluncur turun. Begitu turun, dia segera kerjakan kakinya untuk
mengait dengan gerak kau-theng-thui. Bum, tak ampun lagi opsir itu tergelincir jatuh !
Yan-chiu ter-bahak2, sementara opsir itu dengan merangkang bangun lalu berteriak
keras menyerangnya. Yan-chiu melejit kesamping, sekali ulurkan tangan, kembali opsir
itu terjerembab jatuh. Bahkan kali ini Yan-chiu gunakan tenaga, sehingga opsir itu keras
sekali terbantingnya. Hidung pencet, mata bendul, mulutnya meng-erang2 kesakitan.
,,Aku hanya hendak bertanya sepatah kata, mengapa kau memukul?" seru Yan-chiu.
Terang dirinya diserang lebih dulu dan dibanting sampai dua kali, masa masih
dipersalahkan. Sudah tentu opsir itu meringis seperti monyet kena terasi. Achirnya
terpaksa dia menyahut: „Apa yang hendak kau tanyakan itu?"
,,Mengapa kamu tak berpesta pora didalam kota, sebaliknya malah seperti anying
digebuk lari pontang, panting keluar kota ?" tanya Yan-chiu. Opsir itu deliki. Berputar
kebelakang dia berteriak beberapa kali dan berbarislah beratus serdadu Ceng itu lalu
menuju kebarat. Opsir itu mengikuti dibelakang. Mendongkol tak dijawab
pertanyaannya, Yan-chiu mengejar lalu menangkap kuncir orang. Baru ia hendak
memaksanya berkata, tiba2 dari samping melesat sesosok bayangan. „Nona, lepaskanlah
dia. Bangsat macam begitu, sudah tiada berharga lagi!" kata orang itu.
Tio Jiangpun sudah mendatangi. Kuatir sang sumoay berlaku kasar, lekas2 dia
menyurah, ujarnya: „Lotio, apa maksudmu ?"
Orang tua itu terkekeh-kekeh, sahutnya: „Ini artinya Allah tiada mau membasmi bangsa
Han. Sikuncir Boan, selekasnya akan angkat kaki dari Kwitang dan Kwisay !"
„Yangan2 kaisar kantong nasi itu akan kembali lagi ?" Yan-chiu menyela. Tapi sebaliknya
Tio Jiang bertanya : „Adakah saudara2 dari Thian Te Hui muncul lagi ?"
„Salah semua," sahut siorang tua. „Habis bagaimana ?" tanya kedua anak muda itu
dengan heran. Wajah siorang tua berseri girang, serunya: „Kemaren tanggal 10 bulan 4,
Li congpeng telah membawa anak buahnya dari kedua propinsi Kwi, menakluk pada
Beng!"
„Adakah keteranganmu itu benar, „Lotio ?" Tio Jiang dan Yan-chiu serentak bertanya
dengan girang.
„Aku seorang tua, masa masih suka bergurau? Kawanan serdadu Ceng itu digebah pergi
oleh anak buah Li Seng Tong tayjin. Tak lama lagi kaisar Ing Lek akan kembali ke Kwiciu
sini!" sahut siorang tua dengan tegas.
Yan-chiu tak bersangsi lagi. Ia segera tarik tangan sukonya diajak masuk kedalam kota.
Seluruh penduduk tua muda besar kecil, sama2 bersuka ria. Kini kedua anak muda itu
percaja penuh. Kalau tadi saja mereka masih memaki Li Seng Tong, kini berbalik
memujinya setinggi langit. Keduanya ambil putusan menuju kekantor congpeng. Para
pengawal digedung situ, ternyata sudah berganti uniformnya (pakaian seragam). „Apakah
Li congpeng ada ?" tanya Tio Jiang.
Penyaga itu tak memandang mata pada kedua anak muda kita. „Li congpeng masih
sibuk!" sahutnya ringkas. Saking gusar, Yan-chiu segera ajun tangannya. Ada 4 atau 5
orang serdadu pengawal menyerit jatuh. Yan-chiu tarik sukonya menobros masuk. Tanpa
ada yang berani menghadang, mereka berdua langsung masuk keruangan besar
dibelakang. Disitu kedengaran ada orang berkata: „Kalau sekarang kuturut
permintaanmu, lantas kau bagaimana?"
„Sudah tentu aku taat janyiku!" sahut sebuah suara lagi yang nadanya seperti orang
perempuan. Tio Jiang dan Yan-chiu terperanyat. Yang pertama tadi, mereka kenal
sebagai suara Li Seng Tong, sedang suara wanita itu adalah suara Lam-hay-hi-li Ciok
Siao-lan!
„Ciok Siao-lan, Raukah?" tiba2 Yan-chiu menegur. Kedengaran suara berkerontangan,
seorang gadis cantik yang berkulit hitam, tampak menyongsong keluar dengan
senyatanya hi-jat. Memang ia adalah Ciok Siao-lan adanya, siapapun tercengang melihat
kedatangan kedua anak muda itu. ,Mengapa-kalian,datang kemari ?" tegurnya.
„Mencari Cian-bin Long-kun!" sahut Tio Jiang dengan tegas. Lagi2 Siao-lan terkesiap,
menggetarkan seny atanya, berkata: „Perlu apa cari dia? Akupun juga sedang mencarinya
!"
Dan kau perlu apa padanya?" Yan-chiu membalas. Tiba2 Siao-lan menghela napas
panjang, ujarnya: „Mencarinya atau tidak, sebenarnya sama saja !"
Selagi Tio Jiang dan Yan-chiu hendak menegas, dibalik ruangan besar muncul seorang
lelaki yang berwajah keren, mengenakan pakaian luar biasa, bukan Ceng bukan Beng,
tapi lebih banyak menyerupai pakaian pembesar dalam sandiwara.
„Li congpeng, kau tak kecewa sebagai seorang pahlawan besar!" Yan-chiu segera
memujinya. Memang orang itu adalah Li Seng Tong sendiri, siapa hanya ganda tertawa
saja, tak mau menyahut sebaliknya malah berkata kepada Siaolan: „Siao-lan, kau
beristirahat dulu kedalam. Sakitmu masih belum sembuh, yangan keliwat ngotot !"
Dari nada suaranya, mengunyuk perhatian sekali, diucapkan dengan ramah tamah tak
memadai ucapan seorang pembesar agung. Sudah tentu Tio Jiang dan Yan-chiu heran
dibuatnya.
„Apa maksud kedatangan kalian ini?" tegur Li Seng Tong kemudian pada Tio Jiang dan
sumoaynya.
„Dimanakah sekarang Cian-bin Long-kun itu?" ujar Tio Jiang. Li Seng Tong melirik pada
Siao-lan sejenak, lalu menyahut: „Entahlah, punkoan sedang sibuk, harap jiwi keluar
dulu !"
Yan-chiu melangkah maju setindak, katanya: „Kami mencarinya karena ada urusan
penting !"
„Sst, yangan sampai Siao-lan mendengarnya. Kemaren sore, The Go telah membawa gadis
she Bek itu, entah kemana!" Li Seng Tong menyahut dengan suara berbisik.
„Mengapa?" tanya Tio Jiang dan Yan-chiu serentak.
„Karena punkoan sudah kembali kepada Tay Beng, mungkin merasa berdosa besar dia
lalu ketakutan sendiri!" sahut Li Seng Tong. Mendengar itu Tio Jiang segera ajak
sumoaynya berlalu, karena turut gelagatnya The Go pasti sangat membutuhkan pedang
pusaka kuan-wi itu. Begitu ketemu dengan Tan It-ho dia tentu jalankan usul keji itu.
Yan-chiu berpaling kearah Li Seng Tong sebentar, sahutnya : „Tunggu sebentar dulu. Li
congpeng, mengapa kau sekonyong2 membaliki diri, kepada pemerintah Boan Ceng?"
Li Seng Tong menghela napas dalam. Sampai sekian lama baru dia mengucap: „Kemauan
alam !"
„Huh, doa sajak apa itu ?" kata Yan-chiu seraja melangkah keluar diikuti sukonya. Ketika
dijalan besar, didapati orang2 sama mengerumuni sebuah rumah cat merah dan
melontari batu. Ternyata, rumah itu adalah gedung kediaman pembesar Beng yang
menakluk pada Ceng. Bermula Yan-chiu juga hendak ikut2an, tapi keburu digelandang
oleh sang suko. (Catatan: Peristiwa setelah berhasil menduduki Kwitang dan Kwisay lalu
tiba2-Li Seng Tong berbalik menakluk pada pemerintah Beng itu, tercatat dalam buku
sejarah. „Sejarah ringkas kerajaan Lam, Beng" dan „Peristiwa Kwiciu". Mengapa jenderal
itu berbuat demikian, merupakan teka-teki sejarah. Yang diketahui orang, dia
dipengaruhi oleh seorang wanita).
„Siao Chiu, dahulu rahajat mengutuk Li Seng Tong sebagai penghianat bangsa, tapi kini
dia disanyung-puji. Jadi segala apa itu tergantun dari perbuatan orang sendiri," kata Tio
Jiang ditengah perjalanan. „Ah lihat2 dulu orangnya. Kalau orang macam The Go tiba2
berobah baik, rasa2nya setanpun takkan mempercajainya!" bantah Yan-chiu. Tio Jiang
terdiam. Lewat sekian lama tiba2 dia berkata: „Yangan2 The Go kembali kegereja Ang-
hun-kiong."
„Tepat, hajo kita ke Ko-to-san saja!" sahut Yan-chiu.
Begitulah keduanya segera berputar balik arah, menuju kegunung Ko-to-san.
Ko-to-san terletak disebelah selatan dari propinsi Kwiciu. Berita Li Seng Tong menakluk
pada kerajaan Beng, sudah pecah diseluruh negeri. Maka disepanjang kota kecil yang
dilaluinya, tampak suasana penuh dengan kawanan serdadu Ceng yang ber-bondong2
menuju kebarat. Beberapa kali mereka berjumpa dengan serdadu2 Ceng itu, setiap kali
Yan-chiu tentu memberi hajaran. Tiga hari kemudian menyelang sore hari, keduanya
sudah tiba dikaki gunung Ko-to-san.
„Siao Chiu, apa kita langsung menuju keatas gunung?" tanya Tio Jiang agak bersangsi.
Yan-chiu leletkan lidah berkata: „Mungkin kita tak kuat melawan Ang Hwat cinyin.
Tapi Tio Jiang berkeras: „The Go tentu sudah berada disana, kalau tak menyusul, kesana,
bagaimana kita bisa mencari -Lian suci ?"
„Jadi kalau demikian, kita harus pergi?" „Tentu !"
„Ja, kalau nanti The Go tak ada kita bilang saja datang hendak mengunyuk hormat pada
Ang Hwat cinyin. Sebagai seorang locianpwe, dirasa Ang Hwat cinyin tentu takkan sampai
memperlakukan keras kepada kita !"
„Tapi kalau The Go ada?" tanya Tio Jiang.
Yan-chiu menngecupkan biji matanya, menyawab: Masakan dia bisa lari kemana?"
Begitulah setelah menanyakan letak gereja itu pada seorang penduduk, keduanya mulai
mendaki keatas. Kala itu matahari menyelang turun memancarkan sinar ke-emasan. Dari
jauh sudah kelihatan dinding gereja yang berwarna merah diatas puncak gunung sana.
Sepintas pandang, mirip dengan segumpal awan merah. Lapat2 terdengar suara genta
gereja ber-talu2 dibunyikan. Diam2 kedua anak muda itu mendapat kesan, bahwa
kiranya tak kecewa gereja Ang-hun-kiong itu menyadi tempat kediaman seorang guru
besar dari kalangan persilatan yang begitu dimalui orang.
Tak lama kemudian, tibalah sudah mereka disebuah lapangan diluar gereja itu.
Temboknya yang menyulang tinggi, nampak megah dan perkasa. Sehingga seorang anak
peremuan yang genit macam Yan-chiu, tak urung merasa tercekat hatinya. Baru mereka
mendekati pintu besar, dari sebuah thing (pagoda kecil) yang terletak dimuka pintu itu,
muncul dua orang to-thong kecil dengan pertanyaannya : „Ada keperluan apa jiwi datang
kemari ?"
„Siao-totiang, tolong tanya adakah Cian-bin Long-kun The Go yang termasjhur didunia
persilatan itu berada disini?" tanya Yan-chiu cepat2 mendahului sukonya, karena kuatir
sang suko yang tak pandai bicara itu nanti plegak-pleguk tak tegas. Sudah tentu Tio
Jiang mendongkol dan deliki mata, tapi Yan-chiu menganggap sepi saja.
„0oo..., kiranya jiwi hendak mencari The suko. Sejak musim rontok tahun yang lalu dia
turun gunung, sampai sekarang belum pulang kemari," menerangkan kedua to-thong
kecil itu.
„Masa" tiba2 Tio Jiang menyeletuk. Kedua to-thong itu kiblatkan biji matanya menukas:
„Apa mungkin kau lebih tahu dari kita yang berada disini ?"
Tio Jiang terbentur dan menyeringai. Sedang Yan-chiu yang mendongkol terpaksa tahan
perasaannya, karena kuatir kesalahan dengan Ang Hwat cinyin. „Harap jiwi siaototiang
yangan marah. Sukoku sebenarnya orang baik2, tapi ada sedikit cacad, jaitu agak dogol,"
kata Yan-chiu sambil tertawa.
Rupanya kau ini lebih baik!" kedua to-thong itu turut tersenyum riang. Yan-chiu merasa
suka dengan kedua anak gereja yang wajahnya terang berseri dan bibirnya ke- merah2an
itu. „Ja, memang aku ini suka bicara. Tapi siapakah nama yang mulia dari jiwi ini ?"
Anak gereja itu hanya kurang lebih berumur dua tigabelas. Di-junyung2 dengan sebutan
„siao-totiang" oleh sumoay Tio Jiang, girangnya setengah mati. „Kami bernama Kuan
Gwat dan Siang Hong, termasuk murid angkatan ke 3 dari sucou. The Go adalah suko
kami," sahut mereka.
„Ai....., ai......, makanya dalam usia semuda ini sudah begitu lihay. Sungguh
mengagumkan!" Yan-chiu mengobral sanyung pujian, walaupun sebenarnya kepandaian
kedua anak gereja itu tak seberapa. Dasar anak2, kedua to-thong itu menganggap Yan-
chiu seorang nona yang baik hati. Dan tanpa disadari, kelak Yan-chiu akan memperoleh
bantuan besar ketika ia mendapat kesusahan digereja itu.
Oleh karena The Go tak ada, Tio Jiang menyatakan hendak mencari suhunya saja, tapi
Yan-chiu berkeras hendak menuju kegunung Sip-ban-tay-san, minta rotan besi pada
suku Thiat-theng-biau. Sjukur kalau The Go disana, bolehlah diberesi. Tio Jiang terpaksa
menurut.
Kini kita tinggalkan dulu perjalanan kedua anak muda itu ke Sip-ban-tay-san. Mari kita
jenguk keadaan The Go. Setelah dilukai Tio Jiang, dia ber-gegas2 membawa Bek Lian ke
Kwiciu. Sesudah beristirahat semalam, lukanya banyak baikan. Tiba2 didengar diluar
gedung ada suara hiruk-pikuk. Setelah dicari keterangan, ternyata Li Seng Tong berontak
terhadap pemerintah Ceng. Sudah tentu terkejutnya bukan kepalang, karena besok
paginya dia bermaksud hendak menghadap congpeng itu. Keluar dijalanan, disana sini
rakjat sama ber-jubal2 ber-sorak2 dengan gempar, sedang serdadu2 Ceng sama kalut tak
keruan keadaannya.Buru2 dia potong kuncirnya, lalu berganti pakaian. „Lian-moay, Li
Seng Tong orang yang suka bolak balik pikirannya. Lebih baik kita pergi ketempat sucou
sana saja !"
„Aku tak hiraukan kepada Ceng atau Beng dia memberontak, asal aku tetap
didampingmu!" sahut Bek Lian dihiring senyum tawanya. Tapi karena hati The Go kala
itu sangat kalut, dia anggap sepi saja cinta kasih isterinya itu. Sejak mengandung,
beberapa hari ini Bek Lian suka muntah2, tak suka makan. Tubuhnya makin kurus
wajahnya pucat lesi. Melihat itu, rasa cinta The Go makin hari makin luntur.
Adalah,karena takut terhadap Kang Siang Yan, dia terpaksa belum berani bertindak.
Begitulah dengan ber-gegas2 The Go segera ajak Bek Lian angkat kaki. Begitu tiba diluar
kota, dia tepat berpapasan dengan Tan It-ho. „The-heng, wah, berbahaya sekali!" seru It-
ho dengan ter-engah2.
„Apanya?" The Go tak mengerti maksud kata2 orang. Tan It-ho segera tuturkan
pengalamannya berjumpa dengan kedua anak murid Ceng Bo siangjin dibio kecil itu. The
Go benci tujuh turunan terhadap kedua anak muda itu. „Tanheng, bagaimana kabarnya
pedang itu ?" tanyanya.
Tan It-ho lirikkan ekor mata kearah Bek Lian. Rupanya itu sebagai suatu isjarat rahasia,
dan The Gopun tak mau bertanya lagi. The Go ajak Tan It-ho menginap dihotel. Malamnya
mereka bertiga pesan hidangan lengkap, tapi ternyata Bek Lian tak suka makan, lalu
masuk tidur lebih dulu. Melihat Bek Lian sudah pergi, baru Tan It-ho mulai
membentangkan siasatnya: „Cian-bin Long-kun, siaote ada merencanakan sebuah siasat,
apabila sampai menyalahi sukalah kau memaafkan !"
Sejak dijatuhkan Tio Jiang, The Go perihatin sekali. Ang Hwat cinyin mempunyai ilmu
pedang Chit-sat-kiam-hwat yang saktinya bukan kepalang. Terdiri dari 49 jurus.
Beberapa kali dia pernah minta ajaran itu, tetapi suhunya selalu memberi alasan, ilmu
itu akan hilang kesaktiannya kalau tiada memiliki pedang pusaka yang tajam. Maka
terhadap pedang pusaka kuan-wi-kiam, The Go mau mempertaruhkan segala apa asal
bisa memiliki. Dengan pedang kuanwi-kiam dan ilmu pedang Chit-sat-kiam-hwat,
hendak dia cuci bersih hinaan dari orang2 yang dibencinya, pada nanti pertempuran
dihari pehcun. Sewaktu It-ho menerangkan bahwa pedang pusaka itu berada ditangan
suku Thiat-thengbiau, perasaannya sudah longgar. Apalagi ketika It-ho mengatakan
mempunyai daja, hatinya segera me-lonyak2.
Sebagai seorang durjana, Tan It-ho ber-hati2. Sebelum mengatakan lebih jauh dia
celingukan kian-kemari dulu adakah ada lain orang yang mencurigakan. Ternyata disitu
sepi orang, kecuali ada seorang hweshio yang sedang menyalankan tugas berkelana,
tengah mengantuk dan letakkan kepalanya diatas meja. Dihadapannya tertumpuk
beberapa bak-pao, sedang orangnya mendengkur keras". Tidur mendengkur atau ngorok,
belum berarti orang tidur pulas betul2, bisa juga orang itu ber-pura2 saja. Ini dapat
diketahui dari cara dengkuran orang itu. Sebagai seorang durjana, It-hopun dapat
mempelajari adakah orang itu sungguh tidur atau pura2. Setelah didengarnya dengan
perdata, hweshio itu memang tidur sesungguhnya, barulah It-ho legah, katanya: „Thiat-
theng-biau itu sangat gagah perkasa dan kebal segala macam senyata. Dengan
kekerasan, rasanya sukar memperoleh hasil.
Lekas katakan siasatmu itu saja. Kang Siang Yan sudah bersumpah hendak
mendapatkan lagi pedang itu, kalau sampai keduluan, tentu lebih sukar lagi!" The Go -
mendesak dengan tak sabar. Tan It-ho terperanyat, serunya: „Kang Siang Yan ? Benarkah
ucapanmu itu ?"
„Tan It-ho, yangan ngaco belo yang tidak2! Kalau kau dapat membantu aku sampai
mendapatkan pedang itu, nanti aku ajarkan padamu 3 macam kepandaian sakti dari
gereja Ang-hun-kiong menurut sesuka pilihanmu, puas ?" Tan It-ho teramat sukanya,
lalu duduk merapat pada The Go, katanya: „Tapi kepala suku Thiat-theng-biau yang
bernama Kit-bong-to itu gemar sekali akan paras cantik "
„Susah...., susah...., kalau kita antar beberapa wanita cantik, masakan dia lantas
menerimanya saja?" tukas The Go. Tan It-ho mendekati tujuannya: „The toako, Kit-bong-
to banyak pengalamannya, terhadap wanita biasa tentu dia tak memandang mata !"
„Habis, bagaimana kemauanmu ?"
Diam2 Tan It-ho mengejek sang kawan yang biasanya membanggakan diri sebagai
gudang otak, mengapa kini sedemikian tololnya. Tapi dia beranggapan lain, mungkin The
Go sudah dapat menebak, tapi tak enak untuk mengatakan sendiri. „Siaote hendak
mempersembahkan kata2, mohon toako yangan marah!" katanya.
The Go bersikap tenang saja. Setelah menuangkan arak dan meneguknya habis, dia
berkata: „Tak apa, bilanglah!"
Lagi2 Tan It-ho celingukan keempat penyuru, setelah disitu makin sepi orang kecuali
sihwesio yang masih menggeros tadi, segera dia berkata: „Puteri dari Hay-te-kau itu
laksana bidadari menyelma, Kit-bong-to pasti jatuh hati!"
Mendengar itu wajah The Go berobah seketika, brak....., brak.....dia menggebrak meja:
„Tan It-ho, selama ini kuanggap kau sebagai sahabatku yang sejati, mengapa be, rani
mengucapkan kata2 itu?"
(Bersambung Ke Bagian 24)
BAGIAN 24
KETAWA MONYET

Tan It-ho terkesiap kaget. Diam2 dia menduga, apakah The Go itu sungguh mencintai
Bek Lian dengan setulus hati ? Sampai sekian saat dia tak dapat berkata suatu apa,
sedangkan dengan dada berombak-ombak The Go meneguk araknya lagi. Tiba2 terkilas
dalam pikiran Tan It-ho, bagaimana pribadi The Go yang terkenal sangat licik-licin itu.
Rupanya dia berlaga kaget dan marah2, agar terhindar dari kesalahan. Bermula Tan It-
ho sesali dirinya mengapa mengambil resiko besar begitu, tapi pada lain saat ketika dia
memikirkan betapa hebat 3 macam pelajaran Ang Hwat cinyin itu, semangatnya timbul
lagi. Bukankah dengan memiliki kepandaian itu, dia akan dapat malang melintang
didunia kangouw? Dia berpantang mundur, serunya: „The toako, orang mengatakan
'dalam kesukaran harus berdaja, ada daja tentu ada harapan'. Pertemuan pehcun, sudah
didepan mata. Kalau tak memiliki pusaka, tentu tak dapat mengalahkan musuh. 'Isteri
adalah ibarat pakaian' kata orang pula. Dengan puteri Hay-te-kau, kau belum tentu
hitam putihnya. Masa remaja muda hanya sekali dalam hidup. Kalau hanya tergantung
pada seorang perempuan saja, masakan hidup kita ini berbahagia ?"
Ucapan beracun dari Tan It-ho itu termakan betul dalam hati The Go. Setelah Bek Lian
hamil, The-Go, memang agak menyesal. Kalau tanpa persetujuan fihak orang tua,
dapatkah perkawinan itu berlangsung terus ? Tapi kalau melihat kecantikan yang gilang
gemilang dari Bek Lian, berat rasa hati untuk meninggalkan.
Dalam hati dia mulai me-nimang2 usul It-ho tadi, namun lahirnya dia masih mengunyuk
wajah gusar, katanya: „Tan-heng, aku si The Go, mana bisa berbuat tak bertanggung
jawab begitu ? „Heh....., heh...., heh.....," Tan It-ho ter-kekeh2 demi mengetahui isi hati
The Go yang mulai goncang itu. Sembari tertawa, dia sapukan ekor mata kesekelilingnya.
Sihweshio masih asjik mendengkur dengan kerasnya. Jongos sudah sama menyingkir
untuk beristirahat. Hatinya makin legah, katanya: „The toako, kau kenyang dengan isi
segala macam kitab, mengapa pikiranmu limbung?"
„Kalau kuturut rencanamu, lalu ?" The Go menyeringai.
„Turut pikiranku, kau ajak saja nona itu ke Ko-to-san untuk menghadap sucoumu. Mana
ia tahu Ko-to-san atau Sip-ban-tay-san? Malam ini aku hendak pergi lebih dahulu
menyumpai Kit-bong-to dan memberitahukan maksud kita. Simata keranyang itu mana
tak terpikat melihat kecantikan nonamu? Dengan pedang pusaka kuan-wi-kiam
ditanganmu, dalam pertempuran hari pehcun nanti, siapakah yang dapat menandingi
kau?" Tan It-ho bentangkan tipunya.
„Sip-ban-tay-san sangat luas sekali, dimana tempat kediaman Kit-bong-to itu?" The Go
mulai menurut. Hendak It-ho menerangkan, tapi tiba2 dia tak mau membuka mulut.
Tangannya dicelupkan kedalam teh, lalu menulis diatas meja: „Dipuncak Thiat-nia,
penuh dengan batu2 hitam, seluruhnya hanya ada satu macam tumbuhan thiat-theng
(rotan besi)" Sehabis menulis, lekas2 dihapusnya bersih2. Sementara mulutnya pura2
mengatakan: „Siaote sendiripun kurang jelas, kita nanti tanya saja kalau sudah tiba
disana !"
The Go puji sikap ber-hati2 dari orang itu. Setelah memiliki ilmu silat, orang yang pandai
menyaru dan meniru suara orang itu, tentu akan berguna padanya. It-ho-heng, siaote
ada suatu permintaan, entah Ho-heng menyetujui tidak!"
Tan It-ho terperanyat dan mempersilahkan The Go mengatakan. „Dalam soal kecerdasan,
kita berdua ini tiada yang melawan didunia persilatan. Hendak siaote mengangkat per-
saudaraan, dengan Ho-heng, entah bagaimana pikiran saudara ?
Bukan kepalang girang It-ho mendengar maksud The Go itu. Memang diapun butuh
sekali akan bantuan orang she The itu. Begitulah kedua orang yang ganas dan licin bagai
belut itu segera mengangkat saudara. Atau lebih tepat dikatakan 'si kera dan buaja'
mengangkat saudara. (Dalam dongeng kanak2, kera dan buaja itu saling bermusuhan,
jadi kalau mereka mengangkat saudara, itu hanya pulasan saja).
Oleh karena Tan It-ho pernah tua, jadi dia yang menyadi toako (saudara tua). Setelah
merajakan upacara itu dengan 3 tegukan arak, mereka lantas hendak masuk tidur. Tiba2
brak....., terdengar pintu terbuka dan masuklah seorang lelaki tinggi besar kedalam
ruangan situ. Begitu masuk orang itu segera menghamburkan makian: „Jahanam, kakek
moyanglu 18 turunan ! "
Mendengar suara orang itu, The Go tampak gugup, lalu bertanya kepada Tan It-ho:
„Toako, apakah kau membawa topeng muka?" Tan It-ho mengeluarkan sebuah topeng
kulit muka. Begitu dipakai, pemuda The Go yang tampan segera menyadi seorang yang
buruk rupa. Setelah itu, baru The Go berani mendongak mengawasi kemuka dan tak
kuat menahan gelinya lagi. Orang lelaki kasar tadi mengawasinya sejenak, lalu memaki:
„Bangsat, apanya yang lucu?"
Tan It-ho hendak membalas, tapi secara diam2 dicegah The Go, hingga membuat yang
tersebut duluan heran. Memang tindakan The Go itu beralasan, karena sikasar itu bukan
lain adalah Nyo Kong-lim, itu pemimpin dari ke 72 Cecu Hoa-san. Entah bagaimana dia
bisa datang ketempat itu. Brewok yanggutnya tinggal separoh, mukanya pun belang
hitam putih, rambutnya yang sebelah kiripun (separoh) sudah kelimis, sehingga kulit
kepalanya tampak jelas. Barang siapa melihatnya, yangan tanya tentu akan kaku
perutnya karena geli. Dari wajahnya, dia tengah dirangsang kemurkaan. The Go tahu
ilmu silat ketua Hoa-san itu cukup tangguh, maka siapa yang berani
mempermainkannya? Ah, yangan2 Kang Siang Yan?!
Teringat akan nama Kang Siang Yan, The Go kucurkan keringat dingin. Dia bergidik
sendiri kala membayangkan apabila rencananya keji itu sampai ketahuan Kang Siang
Yan, tentu majatnya tiada tempat untuk mengubur lagi! Tapi ah...., mana Kang Siang Yan
sempat untuk mem-perolok2 orang kasar itu ? Demikian karena sudah berganti rupa,
maka dengan tenangnya The Go duduk mengawasi.
Nyo Kong-lim kelihatan mengambil sebuah tempat duduk, lalu bung...., bung...., bung....,
tinyunya berlincahan diatas meja dan mulutnya ber-kaok2: „Hajo, lekas bawakan, arak
dan daging "
Jongos yang tadinya sudah siat-siut matanya, minta ditidurkan itu, begitu melihat
kedatangan sikasar dan sikapnya yang bengis itu, segera bujar rasa kantuknya. Ter-sipu2
dia membawakan barang pesanan itu.
Nyo Kong-lim usap2 kepalanya yang gundul separoh itu, lalu meng-elus2 yanggutnya
yang tinggal separoh itu juga. „Jahanam .....", tiba2 dia berhenti merenung sejenak lalu
melanyutkan lagi: „Jahanam, apakah bukan sibudak perempuan itu yang main gila
padaku?" Tapi sesaat lagi, dia menyahut sendiri: „Tidak, tidak, budak itu bersama siaoko
pergi ke Sip-ban-tay-san, masakan dia bisa kemari mengolok2kan aku ? !"
Berkata begitu, wajahnya tampak agak tenang, kemudian se-konyong2 dia tertawa ter-
bahak2 sendiri, seperti orang setengah gila. Baru separoh ketawa, dia lantas berhenti dan
berkata sendirian: „Rupanya budak itu galang-gulung rapat dengan si siaoko, biar
kutanyakan pada suhunya, bilakah aku dapat minum arak kebahagiaannya (menikah) ?"
Habis berkata, dia kembali ter-bahak2 seorang diri.
Bermula The Go dan Tan It-ho anggap ketua Hoasan itu tolol tapi menyenangkan. Tapi
lama kelamaan didengarnya suara ketawanya itu bukan seperti orang ketawa lagi,
melainkan menyerupai orang menangis. Ketika keduanya mengawasi tajam2, mereka
segera merasa kaget. Walaupun Nyo Kong-lim masih tengah ketawa, tapi sepasang
matanya tampak mendelik, kaki tangannya ber-jingkrak2, sikapnya kesakitan sekali.
Sebagai seorang murid dari Ang Hwat cinyin, tokoh besar dalam ilmu menutuk jalan
darah itu, mata The Go yang tajam segera mendapat tahu bahwa dalam sekejab waktu
barusan tadi, sikasar itu telah ditutuk jalan darahnya oleh seseorang. Justeru yang
diarah adalah jalan darah 'tertawa'. Maka walaupun terus menerus ketawa, tapi nada
ketawanya itu menyerupai orang merintih kesakitan.
The Go terkesiap. kaget. Didalam ruangan situ hanya terdapat 4 orang. Dia berdua
dengan It-ho terang tak melakukan. Adakah sihweshio penidur itu seorang tokoh
persilatan yang bersembunyi ? Tapi yang luar biasa, mengapa Nyo Kong-lim sampai tak
mengetahui kalau dirinya dibokong orang, pada hal kaum persilatan mengenal dia
sebagai jago silat yang mahir ilmu lwekang. Sihweshio itu masih tetap terkulai menggeros,
mulutnya ngiler seperti kelebuh benar2 di dalam pulau kapuk.
„Biar kau tahu rasa sekarang!" demikian diam2 The Go girang menampak keadaan Nyo
Kong-lim yang dibencinya itu. Tapi baru dia mempunyai perasaan begitu se-konyong2
pinggangnya terasa lentuk, celaka...... secepat merasa secepat itu pula dia empos
semangatnya untuk kerahkan tenagaperlawanan. Tapi sudah kasip, sekali mulutnya
pecah „ha...., ha..., hi..., hi...", terus menerus dia bergelak ketawa tak berkeputusan juga.
Tapi adalah karena kelihayan pelajaran ilmu tutuk Ang Hwat cinyin, sehingga walaupun
tertawa, namun The Go masih dapat berdaja untuk menyalurkan lwekang guna menindas
rasa ketawanya itu. Tepat pada saat itu, Nyo Kong-limpun sudah berhenti ketawa.
Dengan melotot mata, dia mendelik gusar kearahnya.
,,Hiante, apakah kau juga kena bokongan orang ?" tanya Tan It-ho ketika merasa keadaan
yang tidak wajar itu. Belum The Go menyahut, Nyo Kong-lim sudah menggerung keras
sembari meneryang datang. „Jahanam, kiranya kau!" sembari memaki tangannya
menghantam.
Ketika dirinya diketahui, The Go tak mau menangkis serangan yang dahsjat itu. Sekali
tangannya menekan meja, tubuhnya segera melambung setombak keatas. Juga Tan It-
ho yang melihat gelagat jelek, segera mundur menyingkir. ,,Bang..., bang....! karena
orangnya sudah menyingkir, maka meja itulah yang menyadi sasaran pukulan Nyo Kong-
lim, sehingga hancur ber-keping2. Sikuasa hotel ketakutan seperti melihat setan. Dia ber-
ingsut2 lari keluar dan ter-kencing2 mendeprok ditanah.........
Melihat pukulannya menemui tempat kosong, Nyo Kong-lim cepat mencabut rujung sam-
ciat-kun, yang terus dikibaskan lempang kemuka kearah The Go dan Tan It-ho. „Bangsat,
kau berani mempermainkan loya, mengapa sekarang takut berkelahi ? Mari, kau rasakan
rujungku ini sekali saja!" serunya sembari mengajunkan sam-ciat-kun dalam gerak
,,heng soh cian kun" (menyapu ribuan lasjkar). Ujung rujung bergeliatan, terpencar
menutuk kedua orang itu.
Mendengar itu, tahulah The Go kalau sikasar itu sebenarnya belum mengetahui siapakah
dirinya itu. Nyo Kong-lim itu kasar orangnya, seribu satu alasan dia tentu tak mau
menerima, maka lebih baik diladeni saja. Begitu rujung tiba, The Go mendak kebawah
sembari menyingkir kesamping, lalu secepat kilat dia julurkan kelima jarinya untuk
menerkam dada orang. Ternyata itulah. suatu gerakan yang istimewa lihaynya. Kelima
jari itu sebenarnya dipencar untuk menutuk jalan darah orang masing2 pada kiok-kwat,
siangwan, ki-bun, tiong-wan dan kian-li, lima tempat.
„Lihay benar ilmu tutukanmu!" seru Nyo Kong-lim sembari menarik pulang rujung dan
mundur 3 langkah kebelakang. Tanpa disengaja, tubuhnya yang menyurut kebelakang
itu telah menatap kepala sihweshio, hai gila betul rupanya hweshio itu. Disekitarnya
terjadi ribut2, malah kepalanya juga dibentur tubuh orang, tapi masa dia masih enak2
tidur seperti babi mati. Hidungnya masih tetap mendengkur keras seperti cerobong kapal.
Sebagai seorang persilatan yang sudah kenyang makan asam garam, heran Nyo Kong-lim
melihat ilmu tutukan yang menyerangnya itu. Sepanjang pengetahuannya, ilmu tutukan
macam itu, hanya dimiliki oleh Ang Hwat cinyin seorang saja. Oleh karena dia benci sekali
kepada The Go, jadi Ang Hwat cinyinpun turut2an dibencinya. „Anak jadah (haram),
kiranya kau masih sanak kadangnya Ang Hwat sikeledai gundul itu ja!" serunya sembari
kibaskan sam-ciat-kun.
Kini dia lancarkan serangan istimewa. Sembari menghantamkan sam-ciat-kun
tangannya kiripun ikut menebas bahu Tan It-ho, blek...... It-ho yang tak ber-jaga2 itu
termakan dulu. Sekali menyerit 'aduh...., mati', separoh tubuhnya seperti mati-rasa.
Melihat itu The Go sangat gugup. Dia masih perlu dengan tenaga It-ho, sedapat mungkin
yangan sampai orang itu keburu kehilangan jiwa dulu. „Tan-heng lekas lari sendiri, aku
setuju rencanamu, yangan sampai membikin kapiran !" serunya kepada It-ho.
Walaupun It-ho merasa aneh akan kejadian dalam ruangan penginapan situ, namun dia
, turut juga perentah The Go itu. Begitu Nyo Kong-lim tengah sibuk menangkis serangan
The Go yang mengarah pinggangnya, It-ho cepat menyelinap keluar meloloskan- diri.
Nyo Kong-lim terperanyat mendengar kata2 „jalankan menurut rencana" dari The Go tadi.
Walaupun dia tak tahu apa maksudnya, namun karena nada suara The Go itu seperti
pernah dikenalnya, ia menyadi tersentak sejenak. Keajalan ini, menyebabkan perutnya
hampir dimakan tutukan tangan The Go. „Keparat....., siapa kau ini ?" serunya sembari
sapukan sam-ciat-kun mundur selangkah.
Karena terpaksa tadi secara spontan The Go telah mengucapkan kata2, hal mana telah
menimbulkan kecurigaan musuh terhadap dirinya. Musuh menegas, sudah tentu dia tak
mau bicara lagi. Dalam pada itu, dia ambil putusan hendak lekas2 menyelesaikan
pertempuran itu. Karena kalau terlibat lama, ada kemungkinan rombongan Ceng Bo
siangjin akan keburu datang disitu. Dengan kehilangan seorang tiang pengandal macam
Li Seng Tong, sudah tentu dia tak berdaja menghadapi kawanan orang gagah itu. Cepat
diambilnya sepasang sumpit, menyelinap kebelakang Nyo Kong-lim lalu menutuk dua
buah jalan darah dipunggungnya.
„Ilmu tutukan yang bagus!" seru Nyo Kong-lim sembari kibaskan sam-ciat-kun keatas.
Sam-ciat-kun atau tongkat 3 ros (buku), merupakan 3 batang tongkat pendek yang
disambung2. Tapi dalam tangan Nyo Kong-lim senyata itu merupakan senyata yang dapat
digerakkan sesuka hatinya.
Sam-ciat-kun ber-putar2 melibat Iengan The Go. The Go memuji ketua Hoasan itu yang
walaupun kasar tapi ternyata mempunyai kepandaian berisi. Tanpa berajal, dia enyot
kakinya untuk loncat menghindar, tapi tiba2 telapak kakinya terasa kesemutan. Serupa
dengan jalan darah siauyau-hiat (tertawa) tadi, kini jalan darah hian-kia-hiat pada
telapak kakinyapun kenaa ditutuk orang.
Oleh karena terperanyat, The Go jadi menurun kebawah dan berbareng pada saat itu,
sam-ciat-kun menyapu datang. Terpaksa dia gunakan gerak tiat-pian-kio (jembatan
gantung) lemparkan tubuhnya kebelakang, lalu menyusul dengan ilmu mengentengi
tubuh i-heng-huan-wi, dia letikkan tubuhnya kesamping. Cara penghindaran itu ternyata
berhasil bagus sekali didalam menghadapi serangan sam-ciat-kun yang dilancarkan
dengan jurus2 istimewa jakni „bintang pagi menyulang balik" dan diteruskan „air terjun
memancar jatuh"
Untuk kegirangannya, setelah menghindar, telapak kakinyapun sudah sembuh dari rasa
kesemutan. Ini disebabkan karena The Go memiliki lwekang ajaran Ang Hwat cinyin yang
luar biasa. Maka ketika serangan sam-ciat-kut menyambar lagi, dia melintas maju lalu
menutukkan sumpit kearah jalan darah si-tiok-hiat. Tiba2 sihweshio penidur tadi tampak
bergerak pinggang, tangannya diangkat keatas dengan jari2nya ditekuk kebelakang.
Tampaknya seperti orang ngolet (bergeliat), namun anehnya Nyo Kong-lim dan The Go
berdua segera rasakan ada angin keras menyambar kearah mereka.
Sebagai orang persilatan, Nyo Kong-lim dan The Go segera sama terperanyat Terang
oletan sihweshio itu merupakan pukulan lwekang biat-gong-ciang. Mau tak mau terpaksa
keduanya sama mundur sampai 3 tindak.
„Aku hanya ingin tidur sekejab saja, mengapa kalian ribut2 tak keruan itu? Huh, kurang
ajar!" tiba2 sihweshio itu mengangkat kepala berkata.
„Ho, kiranya kau! Hampir saja aku keliru memukul orang yang tak bersalah! seru Nyo
Kong-lim dengan murka, lalu menarikan sam-ciat-kun merangsang sihweshio.
Sebaliknya sihwesio tampaknya seperti tiada kejadian suatu apa, enak2 saja dia beresi
jubahnya yang kucal2 itu.
Amboi, deru tarian sam-ciat-kun yang begitu dahsjat, baru sampai ditengah jalan tiba2
terkulai kebawah, hingga hampir makan kakinya, sendiri. Sudah tentu The Go yang
mengawasi dengan perdata, menyadi terkejut tak terkira.
Terang tadi dilihatnya hweshio itu hanya mengangkat tangannya keatas sedikit, mengapa
Nyo Kong-lim yang bertenaga seperti kerbau itu, tak kuat lagi mencekal sam-ciat-
kunnya?. Jadi nyata sampai dimana kesaktian sihweshio itu. Tapi seingatnya, tokoh
persilatan manakah yang memiliki kepandaian begitu itu? Rasanya tidak ada.
„Kepala gundul, aku tak mau hidup ber-sama2 dalam satu dunia dengan kau!" seru Nyo
Kong-lim sambil ber-jingkrak2 untuk menghindar dari serangan sam-ciat-kunnya
sendiri. Habis itu, dia lalu serangkan lagi senyatanya. Tapi dengan langkah lenggang,
hweshio itu lari keluar tak mau menghiraukan. „Ada kau tiada aku, ada, aku tiada kau,
sama dengan ada rambut dikepalamu tiada rambut dikepalaku".
Kalau kupangkas lagi rambutmu yang tinggal separoh itu, aku tentu dapat enak2
menikmati kaki-anying panggang!" serunya ketika berlari itu.
„Andiing kepala gundul, jadi kaulah yang memangkas rambutku ini? Hampir saja kusalah
duga kalau sibudak perempuan itu!" seru Nyo Kong-lim sembari mengejar keluar.
Sembari sahut2an, kedua orang tersebut sudah jauh dari rumah penginapan situ.
Melihat keduanya sudah berlalu, The Go legah hatinya. Sedangkan sipelajan tadipun
berani masuk kedalam lagi. Ketika dia sedang mengomel panjang pendek karena meja
kursinya hancur, tiba2 diatas meja sihweshio tadi dilihatnya ada setumpuk perak, sekira
5 tail beratnya. Wajah sipelajan yang kecut tadi, seketika berobah riang lagi. Sedang The
Gopun lalu masuk kekamarnya.
Didalam kamar Bek Lian tidur dengan enak sekali. Rupanya tengah menantikan
kedatangan The Go, karena lampunya masih menyala. Karena tak mau membuat
terkejut, The Go mendekati pe-lahan2, tapi rupanya Bek Lian mengetahui lalu menggeliat
kesamping, dan tidur lagi. Demi melihat wajah Bek Lian, berdeburlah jantung The Go.
„Didunia ini tak kurang dengan wanita cantik. Hanya dengan barter secara yang
diusulkan Tan It-ho tadi, barulah aku dapat memiliki pedang pusaka itu. Aku belum
resmi mengikat perkawinan dengannya, tapi sudah mempunyai anak, ah kalau hal ini
sampai diketahui orang, kemana hendak kutaruh mukaku ? Kalau tidak kejam itu bukan
lelaki! Persetan!" demikian pikiran jahat merangkum hati, The Go. Dan saking kerasnya
getaran hati, kakinya turun dibanting, hal ini telah mengejutkan Bek Lian. „Engkoh Go,
tidurlah lekas, sudah jauh malam!" seru sinona.
Sebaliknya The Go yang sudah dirangsang racun kata2 Tan It-ho tadi segera suruh Bek
Lian bangun. Dengan alasan menghindar dari kejaran musuh yang hendak melakukan
pembalasan, malam itu juga The Go ajak Bek Lian tinggalkan tempat itu untuk
melanyutkan perjalanan lagi.
Kita tengok Nyo Kong-lim sisembrono itu. Ternyata dia mengalami pengalaman seperti
petang hari tadi lagi. Dirinya dipermainkan oleh sihweshio, saking gusarnya dia mengejar.
Tapi biar dia kencangkan larinya sedang sihweshio itu hanya enak2 saja tampaknya,
namun tetap tak dapat mencandaknya. Begitu dengan keadaan pada saat itu. Setiba
dihutan. yang sepi, Nyo Kong-lim kehabisan bensin. „Anying kepala gundul, kenapa kau
tak pangkas sekali sisa rambutku ini ?'' makinya dengan keras.
Sihweshio tertawa cekikikan. „Aku bosan jadi hweshio, hendak kembali lagi menyadi
orang biasa. Tapi kalau belum mencari pengganti kau, mana aku dapat lepaskan
kedudukanku ?" sahutnya.
„Tapi mengapa separoh kepalamu tak tumbuh rambutnya?" tanya Nyo Kong-lim. „Kalau
tumbuh, lalu bagaimana ?" sahut sihweshio. Sikasar tertegun, heran dia mengapa
didunia bisa terdapat , kejadian begitu? „Baik, kalau benar separoh bagian dari kepalamu
itu bisa keluar rambutnya, rambutku yang separoh ini biar kau cukur sekali!" serunya
dengan geram.
Sihweshio tertawa, ujarnya: „Sekali taytianghu (lelaki sejati) mengeluarkan kata2........"
„Laksana kuda lari sukar diburu!" sambung Nyo Kong-lim serentak.
Sihweshio kembali tertawa. Dia ulurkan tangannya merabah keatas kepala dan se-
konyong2 berseru: „Lihatlah!"

(Bersambung Ke Bagian 25)


BAGIAN 25
BATU MUSTIKA

Waktu mengawasi, Nyo Kong-lim berjingkrak kaget. Begitu diusap, separoh bagian dari
kepala gundul sihweshio itu, sudah tumbuh rambutnya. „Setan atau manusia kau ini ?
Lekas katakan!" tanya Nyo Kong-lim dengan menyerit.
„Kau sudah berjanyi bukan? Setelah kucukur rambutmu baru nanti kuterangkan!" kata
sihweshio. Nyo Kong-lim adalah seorang lelaki yang tegas. Bilang hitam....... ya hitam,
bilang putih....... ja putih. „Sini, cukurlah !"
Sihweshiopun tampaknya tak sungkan2an. Dengan beringsut2 memakai sepatu rumput,
dia menghampiri lantas cekal kepala Nyo Kong-lim. Tapi sikasar itu segera marah2 : „Mau
memangkas, mengapa mencabuti ?"
„Habis kalau tak mencekal kepala, bagaimana bisa memangkas ?" sahut sihweshio.
Nyo Kong-lim bohwat tak dapat cari alasan lagi, kecuali meringis. Sihweshio keluarkan
pisau cukur dan srit...., srit...., sekejab saja kepala sikasar menyadi kelimis. Terasa silir,
Nyo Kong-lim merabah kepala, hai...... lagi2 dia meringis monyet. Rambut yang dipegang
dalam tangan kiri sihweshio, lalu dilontarkan keatas di-iringi dengan tiupan angin,
ribuan lembar rambut itu bertebaran ke-mana2. Tapi seperti disulap, tiba2 separoh
bagian kepala sihweshio yang masih gundul itu, tumbuh lagi rambutnya!
Bahna herannya Nyo Kong-lim segera berseru: „Bangsat gundul,......" tapi tiba2 dia
batalkan kata2nya itu. Makian, itu tidak mengenai sihweshio tapi kena dia sendiri.
„Hweshio, kau ini sebenarnya manusia atau setan?" cepat dia alihkan pertanyaannya.
„Bukan orang, bukan setanI" sahut sihweshio dengan tertawa. Tiba2 Nyo Kong-lim
tersentak kaget sendiri. Dia teringat dalam dunia persilatan ada seorang tokoh luar
biasayang bergelar Kui-ing-cu (bayangan setan). Wataknya keliwat eksentrik, suka ber-
olok2. „Adakah kau ini Kui-ing-cu?" achirnya dia bertanya.
Sihweshio bergelak-gelak, sahutnya: „Benar, aku memang si Kui-ing-cu yang kau suruh
mencukur kelimis kepalamu menyadi hweshio! - Mendengar itu, diam2 Nyo Kong-lim
rnengeluh: „Mati aku"
Petang tadi Nyo Kong-lim berpapasan dengan Tio Jiang dan Yan-chiu yang hendak
menuju kegunung Sip-ban-tay-san. Tampak sikap kedua anak, itu begituu- mesra, tanpa
tedeng aling2 lagi, dia segera bertanya: „Siao-a-thau (anak perempuan kecil) dengan
siaoko (engkoh kecil) begini mesranya, apa sudah memilih hari baik ja?"
Bagi Nyo Kong-lim yang polos blak2an itu, apa yang sang hati memikir mulutnya segera
mengatakan. Tapi dalam penerimaan Yan-tihiu yang genit lincah bicara itu, sudah tentu
tak mau mandah dibegitukan saja. „Toacecu, mengapa kau tak mencari seorang wanita
kawan ber-cumbu2an?"
„Setan! Mulutmu benar2 tipis, macam Kui-ing-cu. Tapi biar Kui-ing-cu, kalau benar2
bermulut tipis, nanti pada suatu hari aku tentu akan mencukur kelimis batok kepalanya,
biar dia menyadi bangsat gundul. Coba biar kulihat, kau masih berani bermulut tipis lagi
tidak!" kata Nyo Kong-lim tertawa.
„Kalau aku tetap tipis mulut bagaimana?" menantang Yan-chiu.
„Juga kucukurl rambutmu, supaja menyadl nikoh (paderi wanita) !" dengan cepat Nyo
Kong-lim memberi keputusan. Mereka bertiga, tertawa geli.
Celaka! Kui-ing-cu yang muncul perginya tak berketentuan itu, kebetulan pada saat itu
berada ditempat situ, tapi menyembunyikan diri. Apa yang diperolokkan oleh Kong-lim,
didengarnya semua. Dia tahu Nyo Kong-lim itu seorang kasar sembrono, tapipun seorang
yang suka bergurau. Maka diam2 diikutinya ketua Hoa-san itu. Untuk meramaikan
„permainannya", dia tutupi kepalanya dengann semacam sarung kepala, hingga
kepalanya gundul seperti seorang hweshio. Selagi Nyo Kong-lim tidur disebuah hutan,
dicukurnya kepala dan yanggut ketua Hoa-san itu.
Tapi, tidak semua, hanya separoh bagian. Jadi setelah itu, Nyo Kong-lim hanya
mempunyai sesisi rambut disebelah kanan dan sesisi yanggut disebelah kiri. Habis itu,
sengaja dia bangunkan sisembrono, kemudian dia sendiri lalu ber-lari2 menuju kedalam
rumah makan penginapan tadi. Justeru pada saat itu, The Go dan Tan It-ho tengah
rnerundingkan rencananya. Tahu kalau kedua orang itu juga kaum persilatan, Kui-ing-
cupun hendak mempermainkannya. Dia pura2 tidur mendengkur dan karena itu tanpa
disengaja dia telah dapat mencuri dengar apa yang dibicarakan oleh The Go dan Tan It-
ho itu.
Ceng Bo siangjin bukan melainkan termasjhur karena ilmu kepandalannya, tapi juga
karena perilakunya yang luhur budiman. Kaum persilatan sangat mengindahkan akan
peribadi siangjin'itu. Kui-ing-cupun tak terkecuali. Mendengar anak perempuan dari
siangjin ituu menghadapi bahaja, dia menyadi sibuk. Pada saat itu juga sebenarnya dia
sudah hendak turun tangan, tapi telah dirusak bleh kedatangan sisembrono Nyo Kong-
lim. Segera dia robah rencananya, lebih dulu mengocok sisembrono, baru nanti
memberesi kedua orang busuk itu. Pikirnya, masakan kedua orang itu dapat lolos dari
tangannya. Tapi siapa tahu, karena terlibat oleh Nyo Kong-lim, rencananya kedua betul2
menyadi kapiran.
Tapi hal itu termasuk dibagian belakang dari cerita ini. Sekarang mari kita ikuti
bagaimana sisembrono Nyo Kong-lim menghadapi Kui-ing-cu. Tahu dengan siapa dia
berhadapan, ketua Hoa-san itu tak berani memaki lagi. Tapi sebaliknya Kui-ing-cu malah
menagih, ujarnya: ,Bocah gede, mengapa kau tak jadi memaki keledai gundul ?"
Nyo Kong-lim usap2 kepalanya yang kelimis, lalu meringis: ,,Bagaimana aku ini, kalau
nanti ketemu orang?"
,,Yangan kuatir," sahut Kui-ing-cu sembari lolos jubahnya, „pakailah ini, setengah atau
satu tahun menyadi hweshio apa keberatannya?"
Sisembrono terpaksa menurut lalu tukar2an pakaian dengan Kui-ing-cu. Tapi oleh
karena tubuhnya tinggi besar, maka jubah itu hanya sampai kebatas lutut saja. Sudah
tentu hal ini makin mengocok perut " siapa pang melihatnya.
„Bocah gede, siapakah panggilanmu ?" tanya Kui-ing-cu setelah itu, Aku yang kasar ini
orang she Nyo nama Kong-lim, orang menggelari Thiat-kim-kong (sibesi keras)!"
Mendengar nama itu, Kui-ing-cu agak terkesiap. Kaum persilatan menyohorkan
sisembrono itu seorang lelaki yang perwira dan jujur. Diam2 diapun taruh perindahan
dan sesalkan perbuatannya tadi. Tapi karena olok2 tetap olok2 atau nasi sudah menyadi
bubur, jadi sukar untuk menarik kembali. Sjukurlah, dia hanya mencukur rambut kepala
dan separoh rambut yanggutnya serta tak keliwat merugikan orang. Nyo-heng, tadi aku
keliwat kurang adat, harap suka maafkan!"
Melihat perobahan sikap orang, Nyo Kong-lim pun sesali dirinya sendiri. Kalau tadi dia
tak begitu sembrono mengoceh, tentu takkan mengalami pengalaman pahit seperti itu.
,,Cianpwe mengapa begitu merendah!" sahutnya ter-sipu2.
Tu lihat! Baru beberapa detik yang lalu, keduanya masib bersitegang leher pukul2an, kini
sudah saling begitu mengindahkan. Kui-ing-cu tertawa, ujarnya: ,Yangan Nyo-heng
merendah juga, tadi permainanmu rujung, sudah cukup sempurna. Keras dan dahsjat
sudah cukup memenuhi sjarat, tapi dalam soal kelemasan dan ketenangan masih
kurang. Bagaimana pendapat Nyo heng sendiri ?"
Nyo Kong-lim penasaran hatinya. Tapi terkilas pula lain pikiran dalam hatinya, turut
anggapan kaum persilatan ilmu kepandaian dari Kui-ing-cu itu telah mencapai batas
yang sukar diukur. Dia sendiripun pernah mendengar bagaimana dengan dibantu dari
jauh oleh tokoh itu, Yan-chiu telah berhasil mengalah ketiga tianglo dari Ci-hun-si. Dia
merasa bakatnya terbatas, jadi sukar untuk memperoleh kemajuan lagi dalam ilmu
lwekang, maka bukankah itu suatu keberuntungan besar kalau dia sampai bisa
mendapat pengajaran beharga dari tokoh lihay itu? Dengan kesimpulan itu, buru2 dia
menyahut: Kiranya sukalah cianpwe memberi petunyuk yang berharga."
Habis berkata, dengan tanpa diminta lagi dia terus menyerahkan sam-ciat-kun pada Kui-
ing-cu, siapa tampak tertawa saja dan berkata: „Orang katakan kau ini limbung, tapi
ternyata tidak!"
Harap cianpwe yangan menertawakan!" kata Nyo Kong-lim dengan merah kemaIu2an.
Tiba2 wajah Kui-ing cu berobah sungguh2 dan berkata: „iImu sam-ciat-kun itu, berasal
dari pengajaran Cin Siok Po itu orang gagah no. 7 pada jaman ahala Tong. Orang hanya
mengetahui kalau Cin Siok Po itu hanya pandai menggunakan tombak, tapi siapapun tak
mengetahui kalau pada waktu dia belajar ilmu silat, per-tama2 adalah belajar ilmu sam-
ciat-kun ini. Ilmu permainan itu, disebuat „sam liong toh cu" (3 naga berebut mustika).
Keindahannya terletak pada perbawa kekerasannya yang mengandung gaja kelemasan
juga. Sebatang sam-ciat-kun dapat dipergunakan menyadi 3 batang tongkat pendek.
„Kau lihatlah!"
Nyo Kong-lim seperti orang mengimpi kala mendengarkan uraian itu. Diapun segera
pasang mata mengawasi betul2. Begitu Kui-ing-cu tegak, sam-ciat-kun itu segera pe-
lahan2 naik keatas, tampaknya lemah tak bertenaga. Tapi sekali tangan Kui-ing-cu
diturunkan, Nyo Kong-lim terbelalak kesima. Biasanya kalau orang dapat menggunakan
dua batang kun dari sam-ciat-kun itu untuk menyerang lawan, itu sudah tergolong lihay
sekali. Tapi gerakan Kui-ing-cu itu, dapat membuat batang kun yang ditengah, bergerak
menyulur juga. Kalau dijulurkan sampai jauh, dapat mengundurkan 3 orang musuh.
Kalau hanya dekat saja dapat menyerang sekali gus 3 bagian tubuh lawan. Kesaktiannya
bukan alang kepalang.
Oleh karena Nyo Kong-lim sudah mempunyai dasar kokoh dalam ilmu sam-ciat-kun itu,
jadi sekali lihat, dia dapat mencatatnya dalam hati. Habis itu, Kui-ing-cu mainkan jurus
kedua, begitulah dalam sesingkat waktu, 14 jurus telah dia mainkan semua. Setiap jurus
mengandung kesaktian2 yang sukar dilukis. Nyo Kong-lim juga seorang yang gemar
mati2an pada ilmu silat, maka apa yang dipertunyukkan Kui-ing-cu itu telah
membuatnya kegirangan setengah mati. Dia tumplek betul2 seluruh perhatiannya untuk
mengingat setiap gerak dari permainan yang gajanya lain dari yang lain. Begitu selesai,
dia terus hendak meminta sam-t jiat-kun itu guna berlatih satu kall, 'tapi tiba2 ada
seseorang berteriak keras: „Kui-ing-cu, berikan sam-ciat-kun itu, Sam-thay-ya mau
berlatih sebentar!"
Nyo Kong-lim terperanyat sekali. Dikiran ja kalau mulutnya yang mengucap perkataan
itu.tanpa disadariny i. Karena memang dalam kebatinan dia memikir hendak mengatakan
begitu. Tiba2 terdengar suara menderu dan muncullah seorang tua kate. Rambut
yanggutnya, menyulai panjang sampai ketanah, tangann ja ment jekal sehelai sabuk
hijau yang dijulur surutkan. Entah benda apa yang dibuat main2 itu !
Tapi Kui-ing-cu segera „memberikan" sam-t jiat-kun itu kepada siorang kate dengan
sebuah serangan sam-liong-toh-cu jurus pertama, jakni yang disebut cu-kong-theng-yau
(sinar mustika menyulang keatas) „Sik Lo-sam, apa hukumannya orang yang mencuri
lihat pelad jaran lain -orang!" serunya.
Wut......, tiba2 tubuh sikate melambung keatas menghindar.
„Kui-ing-cu, bilamanakah kau menerima murid seorang-hweshio ? Mengapa tak
mengundang Sam-thay-ya ?" gelak tertawa sikate membatu roboh. Wajah Nyo Kong-lim
merah padam, sebaliknya Kui-ing-cu tanpa menyahut sepatahpun, lalu jolokkan sam-t
jiat-kun keatas.
,,Celaka pantatku ! Kui-ing-t ju, kalau kau tak hentikan seranganmu, akan kulepas ceng-
ong-sin untuk menggigitmu !" Sik Lo-sam ber-kaok2 gugup. Dan ternyata ancamannya
itu berhasil. „Sik Lo-sam, dari mana kauperoleh ular sakti itu ?" seru Kui-ing-t ju sembari
hentikan serangan. Sik Lo-sam ter-kekeh2 girang, sahutnya: „Sudah tentu Sam-thay-ya
punya akal!"
„Katakan dulu, hukuman apa karena kau mencuri lihat permainanku sam-ciat-kun tadi
?" tanya pula Kui-ing-cu.
Seperti telah diterangkan dibagian muka, sikate Sik Lo-sam itu, sangat senang ilmu silat
seperti jiwanya. Seperti tempo dipulau kosong tempo hari, dia paksa Tio Jiang
mengajarkan ilmu pedang „to-hay-kiam-hwat." Kebetulan tadi dia bersemburnyi disekitar
situ dan dapat mencuri lihat permainan sam-ciat-kun yang luar biasa dari Kui-ing-t ju,
hal mana telah membuat girang aetengah mati. „Sam-thay-ya tak dapat memikir, kau
katakanlah !" sahutnya.
„Kalau suruh aku yang mengatakan, dikuatirkan kau tak mau menuruti !" kata Kui-ing-
t ju pula. Tapi Sik Lo-sam itu lebih linglung lagi dari Nyo Kong-lim. Dibikin panas oleh
Kui-ing-cu tanpa ban jak pikir serentak dia berseru dengan geram: „Siapa katakan Sam-
thay-ya bermulut lancang (palau) ?"
„Bagus, memang siapakah yang tak tahu kalau Sik Lo-sam itu seorang lelaki sejati, bilang
satu tetap satu. Kini terimalah hukumanmu: serahkan ceng-ong-sin itu kepadaku!!!"
„Kentut !" menyerit Sik Lo-sam serentak.
,,Ha...., ha...., benar tidak kalau kau ini seorang bermulut lancang !" Kui-ing-cu
menertawainya.
,,Baik, mari ambillah!" Sik Lo-sam menyerit seraja ajunkan tangan. Ditimpah cahaja
rembulan, seutas sinar hijau melayang kearah Kui-ing-cu. Orang aneh ini letakkan sam-
ciat-kun, lalu tegak berdiri memandang kemuka deagan penuh perhatian. Sebelum sinar
hijau itu melayang tiba, dia sudah maju menyongsong untuk julurkan kelima jarinya
tangan kiri dan tali hijau itu segera terjepit, lalu melingkar2 dijari, tapi secepat itu
tangannya kanan segera memijat sebelah ujung tali itu. Tali itu ternyata adalah seekor
ular tiok-yap-ceng yang besarnya hanya sama dengan sebuah jari tangan tapi panjangnya
hampir dua meter !
Pada lazimnya ular tiok-yap-ceng itu hanya 7 atau 8 dim panjangnya, itu saja kalau
menggigit tentu membinasakan orang. Tapi siraja tiok-yap-ceng itu begitu panjang,
kepalanya berbentuk segi tiga, lidahnya semerah darah, jadi bagaimana ganasnya dapat
di-kira2kan sendiri. Setelah memereksa sejenak, berkatalah Kui-ing-cu: „Sik Lo-sam,
dengan meminta ceng-ong-sin darimu, kau tentu penasaran..."
„Sudah tentu penasaran !" tukas Sik Lo-sam dengan kontan. Kui-ing-cu tertawa, ujarnya:
„Tentu merugikan jerih pajahmu mencarinya!"
„Yangan pura2 jadi orang baik ! Setengah tahun yang lalu, sebenarnya sudah dapat
kutangkapnya, tapi telah diganggu oleh sitengeng Tio Jiang. Coba kala itu aku sudah
berhasil menangkapnya, tentu tak kan kau hukum begini. Biar kucari anak tengeng itu
nanti!" sahut Sik Lo-sam. Diam2 Kui-ing-cu mengeluh, kalau benar orang kate limbung
itu mencari Tio Jiang, anak itu tentu bukan lawan.nya. „Kau sendiri yang bersalah,
mengapa timpahkan lain orang? Lekas fahamkan ilmu kun-hwat!" serunya.
Sik Lo-sam buru2 memungut sam-ciat-kun, lalu mulai berlatih. Dari samping Kui-ing-cu
memberi petunyuk mana2 yang kurang benar, hal mana membantu banyak bagi Nyo
Kong-lim juga untuk memahami ilmu permainan kun tersebut. Haripun sudah terang
tanah dan tiba2 teringat Kui-ing-cu akan The Go, katanya: „Sik Lo-sam, ilmu kun-hwat
ini sangat sakti. Kau harus mencari tempat yang sunyi untuk menyakinkannya lagi, baru
dapat kau fahami benar2. Hajo! lekas pergi sana!"
Sik Lo-sam joing sangat linglung itu, mengira kalau ucapan Kui-ing-cu itu sesungguhnya,
maka sekali berseru „Ha-ja, Sam-thay-ya akan pergi!", dia cepat angkat kaki. Setelah itu,
baru Kui-ing-cu memberitahukan kepada Nyo Kong-lim tentang yang didengarnya
dirumah penginapan tadi. „Hai, kemarin ketika berjumpa dengan siaoko dan siao-ahthau,
merekapun mengatakan begitu. Hajo, kita harus lekas2 cari si The Go!" seru Nyo Kong-
lim dengan kaget. Bergegas2 keduanya balik kerumah penginapan.
Siapa nyana, ketika ditanya sikuasa penginapan hanya a-u a-u tak dapat ber-kata2 demi
nampak kedatangan kedua orang itu. Ja, mengapa kini siorang tinggi besar (Nyo Kong-
lim) berobah menyadi hweshio, sebaliknya siorang kurus (Kui-ing-cu) dari hweshio
berganti menyadi orang preman? Setelah pulih kejutnya, barulah sikuasa itu
menerangkan bahwa orang she The itu sudah meninggalkan tempat itu. Kui-ing-cu dan
Nyo Kong-lim melakukan pengejaran sampai berpuluh li, tapi tak berhasil. ,Anak itu licin
benar achirnya Kui-ing-cu terpaksa mengakui. Nyo Kong-lim tuturkan juga bagaimana
Thay-san sin-tho Ih Liok, Ceng Bo siangjin dan dia sendiri pernah merasakan muslihat
orany, she The itu. „Sayang, anak muda yang secerdik itu, telah memilih jalan sesat!"
Kui-ing-cu memberi komentar. Nyo Kong-lim usulkan supaja menuju kegunung Sip-ban-
tay-san.
„Apakah Nyo-heng mengetahui tempat kediaman suku Thiat-theng-biau itu?" tanya Kui-
ing-cu. Atas pertanyaan itu Nyo Kong-lim menerangkan, turut keterangan Tio Jiang, suku
Biau itu bertempat tinggal dipuncak Tok-ki-nia. Kui-ing-cu terperanyat dan menegaskan.
„Ja, memang Tok-ki-nia, apakah cianpwe mengetahuinya?" sahut Nyo Kong-lim. Kui-ing-
cu menggeleng kepala, ujarnya: „Hanya pernah mendengar cerita orang saja yang
mengatakan bahwa Tok-ki-nia (puncak tunggal) itu sebenarnya disebut Bu-ki-nia (tanpa
puncak). Tiada yang berani menghuni tempat itu. Yangan2 hal itu disebabkan karena
disitu ditinggali suku Thiat-theng-biau itu !"
Nyo Kong-lim menyatakan tak jelas, lalu ulangi usulnya supaja menuju kesana saja. Kui-
ing-cu sayang akan kecerdikan The Go. Mungkin kalau diinsjafkan anak muda itu akan
dapat kembali kejalan yang benar. Maka diapun setuju. Ketika lewat disebuah hutan
bambu, Kui-ing-cu mengambil sebatang bambu untuk memasukkan ular cen sin-ong
kedalamnya. Setelah itu mereka lanyutkan perjalanan lagi kegunung Sip-ban-tay-san.
Kini kita ikuti perjalanan Tio Jiang dan sumoaynya. Ketika itu mereka berpapasan
dengan Nyo Kong-lim, lalu menceritakan peristiwa The Go. Setelah itu mereka lanyutkan
perjalanan lagi ke Sip-ban-tay-san, sedang Nyo Kong-lim hendak mencari Ceng Bo.
Tak antara berapa lama kemudian, karena hari sudah mulai gelap, bermula Yan-chiu
mau mengajak cari rumah penginapan, tapi Tio Jiang menolak karena harus lekas sampai
ditempat tujuan. „Apakah perut kita ini juga tak perlu diisi ?" bantah Yan-chiu dengan
mulut menyebir, Tio Jiang lekas2 mengeluarkan dua potong roti kering dan menyuruh
Yan-chiu mendaharnya.
„Siapa suruh makan roti yang sedemikian kering dan keras itu. Aku ingin dahar daging
yang empuk lezat!" Yan-chiu marah2. Adikku yang baik setelah selesai urusan ini, nanti
aku tentu menemanimu makan. Karena urusan ini sangat penting, kita harus lekas2
lanyutkan perjaianan ?"
Tio Jiang coba menyelaskan.
„Urusan apa yang kau anggap sedemikian penting itu ?"
„Siao Chiu, kau ini bagaimana ? Lian suci kena halangan, mengapa tak mau lekas2
menolong ?" seru Tio Jiang sambil hentikan langkah. Dulu kalau didengarnya sang suko
menggigau nama „Lian suci", Yan-chiu hanya anggap dia itu ter-gila2, pantas diketawai.
Tapi kini serta is sendiri terjerat asmara kepada sang suko, sudah tentu hatinya menyadi
tertusuk. Tapi karena memang sifatnya suka mengolok orang, maka iapun berlaga pilon,
tanyanya : „Ha langan apa sih ?"
„The Go tentu setuju usul Tan It-ho untuk menyerahkan Lian Suci kepada Kit-bong-to!"
sahut Tio Jiang seraja mem-banting2 kaki. Yan-chiu tetap mau menggodanya:
„Bagaimana kau tahu kalau The Go tentu menuruti usul Tan It-ho? Taruh kata menurut,
diapun tak nanti dapat datang lebih dahulu dari kita! Dan andaikata mereka ternyata
telah mendahului kita pun Lian suci itu bukan seorang anak kecil, masa menuruti saja
segala kehendaknya?"
Dibombardeer oleh Yan-chiu, sesaat Tio Jiang melongo karena tak dapat ber-kata2. „Tapi
biar bagaimana juga, kalau belum tiba di Tok-ki-nia, rasanya aku tak dapat makan enak,
tidur pulas!" achirnya Tio Jiang meradang. Tapi si genit tak ambil pusing, malah senang
melihat sukonya mulai uring2an itu. „Suko, dalam lubuk hati Lian suci hanya di tempati
oleh The Go seorang. Dimisalkan kau berhasil menolong, iapun tak mau menyadi
isterimu, mengapa kau begitu ngotot ?"
Lagi2 Tio Jiang knock-out. Tapi sekilas berpikir, dia segera menyahut: „Siao Chiu,
omonganmu itu salah. Lian suci adalah saudara seperguruan kits, apalagi puterinya
subo. Suhu telah melimpahkan budi sebesar gunung pads kits, masa kits hanya berpeluk
tangan saja ? Kau sangka, karena cinta saja maka aku begini ter-buru2 ? Aku tak
bermaksud menikah padamu, tapi mengapa aku menolongmu didasar lembah tempo hari
?"
Kini giliran Yan-chiu yang terpukul kena, hatinya seperti disiram es. „Suko, mengapa kau
berkata sembarangan begitu ? Siapakah yang mempunyai hasrat menyadi isterimu ?"
katanya. dengan wajah ke-merah2an. Karena Tio Jiang mengatakan kata2nya yang
menusuk tadi, terpaksa untuk menutup malu, Yan-chiu juga balas mengejeknya,
walaupun itu berlawanan dengan suara hatinya. Tapi setelah mengucap begitu, dia
terdiam lalu berjalan lagi. Sampai sekian besarnya, baru saat itu dia merasa berkenalan
dengan apa yang dikatakan 'derita kalbu'.
Tio Jiang terkejut, dia merasa tak mengatakan apa2 yang kurang sedap didengar,
mengapa sumoaynya marah begitu ? Ketika menyusul langkah sang sumoay, tampak
pada sepasang mata sigenit itu ber-linang2 air mata, tampaknya seperti orang yang
menderita. Pikir Tio Jiang, mengapa tadi sangat menyakiti hatinya ? Yangan2 apakah
...........apakah.......
Bagaimana tololnya seorang pemuda, tapi dalam keadaan seperti itu, dapat juga Tio Jiang
menarik kesimpulan.
„Adakah Siao Chiu itu diam2 menaruh hati padaku ? Kalau tidak, masa mendengar
kata2ku 'tak bermaksud menikahnya', dia lantas begitu murung tampaknya ?" demikian
sesaat Tio Jiang berpikir, tapi pada lain saat, dia membantah sendiri: „Ah, tidak.
Bagaimana bisa begitu ? Yangan2 dia sendiri yang melamun tak keruan, salah2 bisa
menerbitkan buah ketawaan !"
Dengan pikiran begitu, Tio Jiang tak terlalu menaruh dihati terhadap kejadian itu. Ah,
Tio Jiang, Tio Jiang, mengapa kau tak mengerti hati seorang dara ?
Saat itu Yan-chiu kencangkan larinya. Dua tetes air mata, tak dapat dicegah mengalir
dari kelopak matanya. Diam2 ia bersjukur bahwa ketika didalam bio tadi dia tak jadi
membuka rahasia 'memalsu jadi Bek Lian'. Teranglah sukonya itu tak menaruh hati
padanya, kalau sampai mengetahui rahasia itu, dia tentu akan gusar. Tanpa terasa
tangannya merogoh kedalam baju untuk meraba butir mustika batu puajam (giok) yang
pada malam itu Tio Jiang memberikannya karena menganggap dirinya (Yan-chiu) itu
adalah Bek Lian sesungguhnya. Setelah meraba, ia menarik napas panjang.
Selama ber-tahun2 berkumpul dengan Yan-chiu diatas gunung, sumoaynya itu adalah
seorang gadis periang yang lincah. Dimana Yan-chiu tampak, disitulah la tentu
membawakan tertawa. Maka betapa herannya ketika dilihat sang sumoay itu
mengucurkan air mata dan menghela napas panjang. Tapi sedikitpun Tio Jiang tak
menduga kalau sang sumoay itu telah kucurkan air mata jeritan kalbu!
Singkatnya setelah beberapa hari menempuh perjalanan, sampailah mereka dikaki
gunung Sip-ban-tay-san. Dinamakan Sip-ban-tay-san atau selaksa gunung, karena
pegunungan itu mempunyai puncak yang tak terhitung jumlahnya, dihias dengan hutan
belantara yang membujur dari Kwitang sampai ke Kwisay.
Ketika mendongak mengawasi keatas, puncak2 dari pegunungan itu sama menyulang
dengan megah dan angker. Dikaki gunung situ tiada perdesaan sama sekali, jadi masih
tetap belantara yang belum dihuni orang. Yang ada hanya beberapa rumah kediaman
pemburu, dengan didekatnya ada sebuah saluran air kecil. Setelah memutari sekali
namun tak berhasil menemukan jalanan, berkatalah Tio Jiang „Siao Chiu, mari kita tanya
pada penduduk disini saja!"
Dalam beberapa hari ini, Yan-chiu telah mengambill putusan untuk mengikis bibit
asmara yang bersemi dalam hatinya. Namun 'Amour vincit omnia' atau Cinta menangkan
segala', demikian kata sebuah peribahasa. Yangan lagi hanya seorang Yan-chiu,
sedangkan seorang dewa atau maha wiku yang salehpun, masih sering sukar untuk
menangkis serangan panah asmara. Makin ingin melupakan, makin keras sang hati
meronta.
„Mengapa aku harus mengalami penderitaan, ini? Terang dia hanya menyintai Lian suci,
mengapa aku tak dapat melupakannya?" demikian pertentangan yang terdapat dalam
hati Yan-chiu selama beberapa hari dalam perjalanan itu. Oleh karena keras memikiri,
dalam beberapa hari ituu saja, tubuhnya bertambah kurus. Tio Jiang mau menanyakan
jalanan, hanya dijawab dengan tawar saja.
Apakah didalam rumah ini ada penghuninya? Tolong tanya sebentar!" seru Tio Jiang
ketika sudah berdiri dimuka pintu sebuah pondok. Seorang muncuI dari dalam pondok
itu. Setelah sekian jenak Mengawasi Tio Jiang, orang itu menyahut: „Siaoko, kau hendak
perlu apa?"
Melihat dandanan orang itu sebagai seorang pemburu, Tio Jiang terangkan maksud
keperluannya: „Tolong tanya, apakah To k-ki-nia masih jauh dari sini?"
Orang yang memakai celana kulit macan tutul, tangannya mencekal sepasang senyata
garu untuk berburu dan wajahnya jujur, tiba2 berobah wajahnya, sahutnya: „Siaoko, apa
kau hendak ber-olok2 dengan aku ?"
„Tidak!" serentak Tio Jiang menyahut ter-sipu2. Tapi sipemburu hanya tertawa tawar,
lalu merogoh keluar selembar kulit kelinci untuk menggosok senyatanya. Tio Jiang
tertumbuk, fahamnya, tak tahu harus bagaimana. Adakah penduduk disitu itu
sedemikian koukati (egois) wataknya, hingga sampai jalanan saja tak mau
menunyukkan? Demikian pikir Tio Jiang. „Berhubung laoko lama menetap disini,
rasanya tentu mengetahui letak puncak Tok-ki-nia itu, maka dapatkah sekiranya laoko
memberitahukan padaku ?" Tio Jiang terpaksa ulangi lagi permintaannya.
„Siaoko! Jika kau terus ngaco belo, aku tak mau sungkan lagi," bentak sipemburu sambil
deliki mata. Sampai disitu, Yan-chiu tak kuat hatinya lagi. „Suka tidak memberitahukan
jalan, itu terserah padamu. Yangan jual gertak! Apa kau kira tiada lain, orang kecuali
kau yang dapat memberitahukan?" sahut Yan-chiu.
Sipemburtu tertawa dingin, sahutnya: ja, memang silahkan saja tanya pada lain rumah!"
Tengah mereka ribut2 itu, tiba2 dari dalam rumah terdengar suara orang batuk2. ,A-ji,
siapa yang kau ajak ribut2 itu? menyusul suatu suara orang tua berseru. Sipemburu
yang ternyata bernama A-ji itu segera menyahut: „Ajah ada dua orang hendak
menanyakan Tok ........ " baru sampai disitu, tiba2 dia berhenti, tak mau melanyutkan
nama Tok-ki-nia itu selengkapnya.
Melihat gelagat itu, timbul kecurigaan Yan-chiu. Tapi ia segera mendapat kesan lain,
mungkin karena suku Thiat-theng-biau itu keliwat ganas, maka rakjat setempat menyadi
ketakutan. Memang mana ia bisa mengetahui akan bom waktu yang dipasang oleh Lim
Ciong yang sudah sekarat itu ?
Pada saat itu, dari dalam ruangan tengah, muncul seorang tua dengan mencekal
sebatang tongkat. Menurut taksiran, dia sudah berumur 80-an tahun. „Ada apa dengan
kedua tetamu itu ?" tanyanya. Sipemburu muda menyilahkan supaja orang tua itu,
menanyakan sendiri.
„Lo-yacu (pak tua), mohon tanya dimanakah ke Tok-ki-nia itu.?" buru2 Tio Jiang maju
menghampiri. Ternyata pendengaran orang tua itu masih tajam, diapun tampaknya
terkesiap. „Apakah kalian ini sudah bosan mempunyai nyawa ?" katanya balas bertanya.
„Lo-yacu, Iekaslah beritahukan, kami mempunyai urusan penting!" menyela Yan-chiu
dengan tak sabar. Mata siorang tua menyapu sejenak kearah sinona, ujarnya: „Oh,
kiranya nona ini ahli dalam ilmu silat, 'tu pinggangnya menyelip pedang. Tigapuluh tahun
berselang, pernah aku bertemu dengan seorang anak muda yang membawa pedang,
hebat nian kepandaiannya .............."
„Mengambil jalan dari mana, harap kau lekas katakan!" tukas Yan-chiu demi mengira
orang tua itu melantur tak keruan. Tapi siorang tua itu tampak geleng2kan kepala, tiada
mau menyahut. Sebaliknya sipemburu muda tadi tak kurang sengitnya segera
menyawab: „Kalau kamu berkeras hendak pergi, setelah melintasi gunung ini kemudian
17 buah puncak iagi, barulah kau sampai ke Tok .............. ah, tapi kita pun hanya
menurut keterangan orang saja, dan belum pernah kesana sendiri."
Tio Jiang tak mau membuang tempo lagi. Begitu mengucapkan terima kasih, dia terus
ajak sumoayn ja berlalu.
Masih terdengar siorang tua itu berkata sendiri kepada anaknya itu: „Tempat itu, tiada
seorang yang berani mendatangi. Tigapuluh tahun yang lalu, anak muda yang pergi
kesana itu belum tampak kembali lagi !" Mau tak mau Tio Jiang menanyakan pikiran
sang sumoay, tapi nona genit yang tak kenal takut itu hanya menyahut bahwa mungkin
penduduk disitu takut akan keganasan suku Thiat-theng-biau. Begitulah dalam waktu
tak lama saja, keduanya sudah melintasi 5 buah puncak.
Kala. itu sudah tengah hari, untuk melepaskan lapar dan dahaga. Mereka makan ransum
kering dan minum air mata air. Keadaan ditempat situ, lelap sekali. Sana-sini penuh
ditumbuhi dengann ber-macam2 puhun aneh yang diramaikan oleh kicauan kawanan
burung. Puncak yang menyulang dihadapan mereka sana, tampak dibungkus dengan
kabut yang tebal, hingga memberi kesan yang seram. „Siao Chiu, dalam menghadapi
perjalanan selanyutnya, kita harus hati2, kata Tio Jiang sehabis merigawasi
pemandangan dipuncak itu. ,Mati ada lebih baik!" sahut sinona.
Mendengar itu Tio Jiang terkesiap, tanyanya: „Sumoay, mengapa kau berkata begitu?"
Tapi Yan-chiu ibarat orang yang sudah sunyi hatinya, maka dengan segan ia menyahut:
„Kalau tetap kukatakan begitu, habis mau apa?"
Tio Jiang terbentur batu, cep kelakep tak bisa berkata apa2. Demikianlah keduanya lalu
melanyutkan perjalanannya lagi. Menurut perhitungan rnereka kini sudah medaki 10
buah puncak dan haripun sudah gelap. Oleh karena sangat berbahaya melakukan
perjalanan malam, terpaksa mereka mencari sebuah gua untuk ternpat beristirahat.
Setelah mencari ranting2 kaju untuk dijadikan alas pembaringan, begitu
menggeletak.Yan-chiu terus menggeros.
Melihat beberapa hari ini Yan-chiu selalu kurang senang, Tio Jiang mengira kalau
disebabkan setiap hari hanya makan roti kering saja. Maka dia tak mau turut tidur,
melainhan hendak mencari beberapaa ekor binatang yang hendak dibakarnya untuk Yan-
chiu. Tak seberapa jauh dari situ, dia berhasil menangkap dua ekor kelinci. Laksana
seorang pahlawan pulang membawa kemenangan, dia ber-gegas2 pulang. Tiba2 ketika
sampai ditengah perjalanan dilihatnya ada sebuah batu besar yang berbeda dengan
lain2nya. Batu itu tampaknya licin bersih, seperti dipangkas orang. Dengan keheranan,
dia maju menghampiri. Kiranya batu itu empat pesegi bentuknya, penuh ditumbuhi pakis
(lumut). Karena tak ada lain2 keistimewaan pada batu itu, maka Tio Jiang segera hendak
berjalan lagi. Tapi selagi dia memutar tubuh, tiba2 matanya tertumbuk akan sesuatu
yang aneh. Ternyata salah satu ujung batu tersebut yang menempel pada gunung,
berlainan dengan ketiga ujung' lainnya. Tampaknya seperti tak rata, macam pahatan
huruf. Maka dihampiri pula dan dari dekat memang bagian yang legak-leguk itu mirip
benar dengan huruf. Karena ditutupi oleh pakis yang tumbuh tebal2 diatasnya, jadi tak
kelihatan jelas. Saking ketarik, Tio Jiang letakkan kelinci lalu meng-usap2 pakis dan
kiranya memang disitu tampak ada duapuluh huruf yang berbunyi: „Biji kuning didalam
batu, seribu tahun kemudian boleh dimakan, benda itu jarang terdapat, membuat tubuh
enteng umur panjang, siapa yang berjodoh pasti dapat menemukannya." Sedang pada
bagian bawah terdapat dua buah tanda tangan Tat Mo.
Bermula Tio Jiang tak mengerti apa yang disebut biji kuning itu. Tapi demi dilihatnya
tulisan itu ditulis dengan guratan jari, dia sangat terperanyat. Suatu ilmu lwekang yang
belum pernah didengar seumur hidupnya. Dan ketika melihat nama dari tanda tangan
itu, dia berjingkrat kaget. Teringat dia apa yang pernah dikatakan sang suhu. Tat Mo
Cuncia itu orang dari Thian-tiok (India) yang datang ke Tiongkok pada ahala Tang Cin.
Dia pernah menyadi paderi digereja Kong-hau-si di Kwiciu, kemudian dengan gunakan
kepandaian ilmu mengentengi tubuh yang tinggi dia dapat melintasi sungai menetap
digereja Siao Lim Si Hokkian. Sembilan tahun lamanya dia bertekun menghadapi tembok,
achirnya berhasil memiliki suatu ilmu lwekang yang sakti. Sejak itu, entah tiada
ketahuan rimbanya. Adakah benar2 dia Pernah bertamasja kegunung Sip-ban-tay-san
situ dan tinggalkan tulisan itu?
Tanpa menghiraukan kelincinya lagi, Tio Jiang serentak ber-lari2 kegua untuk
mendapatkan Yan-chiu. „Siao Chiu, lekas ikut aku, ada sebuah benda mustika!" serunya
sambil mlengguncang lengan sumoaynya. Tapi sinona itu hanya sekali buka matanya
dengan kurang senang, lalu tidur lagi. Tio Jiang meng-guncang2kannya lagi. „Ada apa
sih?" tanyanya dengan acuh tak acuh. Tapi demi Tio Jiang tuturkan apa yang dilihatnya
tadi, Yan-chiu terbeliak kaget.
„Jadi diatasnya tertulis 'biji kuning dalam batu' ?" tanyanya menegas. Tio Jiang
mengiakan.
Dalam soal ilmu surat, Yan-chiu lebih pandai. Dia banyak membaca buku2. „Dalam kitab
Poa-bu-cu ada tertulis, biji kuning dalam batu itu hanya terdapat didalam batu besar.
Kalau batu itu dipecah, maka akan tampak sebuah benda merah ke-kuning2an, mirip
dengan kuning didalam telur. Kalau tak lekas2 disantap, benda itu akan keras menyadi
batu," achirnya Yan-chiu berkata. Atas pertanyaan sang suko tentang chasiat makan biji
kuning itu, Yanchiu menerangkan bahwa benda itu merupakan suatu mustika yang
jarang terdapat didunia. Barang siapa yang menyantapnya akan bertambah panjang
usianya serta tubuhnya akan menyadi enteng sekali.
„Bagus, Siao Chiu, lekas mari ikut aku, biar kau yang memakannya!" seru Tio Jiang
dengan gembira. Melihat kebaikan budi sang suko yang sedemikian besar itu, tergeraklah
hati Yan-chiu, pikirnya mengeluh: „Huh, tolol lu. Apakah kau kira dengan memperoleh
mustika itu hatiku menyadi gembira? Hem....., hanya kalau kau ucapkan sepatah kata
'aku cinta padamul kepadaku, barulah hatiku benar2 menyadi gembira!"
Demi tiba disana, Yan-chiu menyatakan sukarnya untuk memecah batu sebesar itu. Tio
Jiang coba gunakan lwekang untuk menghantam, namun batu itu sedikitpun tak
bergeming. „Percuma saja, kurasa diatas bumi ini hanya ada sepasang pedang dari suhuu
dan subo yang dapat digunakan untuk membelahnya. Ilmu lwekang yang bagaimana
lihaynya tetap tak dapat mengerjakannya," achirnya Yan-chiu menyatakan pendapat.
„Benar, kita, harus cari suku Thiat-theng-biau itu, kalau si The Go belum keburu datang,
kita rebut juga pedang itu dari Kit-bong-to!" kata Tio Jiang.
Begitulah kedua suko dan sumoay itu lalu kembali lagi kedalam goanya.

(Bersambung Ke Bagian 26)


BAGIAN 26
ORANG UTAN

Keesokan harinya mereka melanyutkan perjalanan lagi. Tetapi tiada seorang manusiapun
yang mereka jumpai. Puncak gunung yang didakinya itu, makin jauh makin tinggi, maka
menyelang petang hari mereka baru tiba dipuncak yang ke 17. Mendongak keatas,
tampak puncak gunung yang ke 17 itu sangatlah tingginya. Tio Jiang heran mengapa
dipuncak situ, yang menurut anggapannya adalah puncak Tok-ki-nia, tiada terdapat
seorangpun juga. „Hajo kita naik keatas!" seru Yan-chiu setelah mengawasi sejenak.
Pada hari itu karena naik turun 7 buah gunung yang tinggi2, keduanya merasa lelah
sekali. Sampai dipuncak, mereka makin lelah dan duduk disebuah batu karang besar.
Angin disitu meniup kencang, sehingga, keduanya merasa agak kedinginan. „Mengapa
tiada seorangpun disini, adalah kita ini tersesat ?" lagi2 Yan-chiu menggerutu.
Tapi baru saja ia ucapkan kata2 itu, dari tengah lereng gunung dibawah sana tiba2
terdengar semacam suara ketawa aneh, menyeramkan sekali. Apalagi karena seat itu
sudah magrib, jadi suasananya makin menakutkan. Mendengar itu otomatis Yan-chiu
duduk merapat disisi sang suko. Keduanya saling berpandangan, tapi tak berani
membuka mulut. Sesaat kemudian, suara aneh itu lenyap dan suasana kembali sunyi
lelap. „Suko, suara manusiakah itu?" bisik Yan-chiu. Tio Jiang yang pasang telinga
mendengari, dapatkan kalau suara itu nyaring dan bening sekali, bukan seperti suara
orang. Tapi dia sendiri tak mengetahui suara apakah itu. Sahutnya: „Mungkin bukan
suku Thiat-theng-biau, sumoay siapkanlah pedangmu untuk menghadapi segala
kemungkinan!"
Kedua anak muda itu kini siap dengan pedang ditangan.
Tak berapa lama kemudian, suara ketawa itu terdengar lagi.
Tapi kali ini suara itu ber-susun2 tak kurang dari 10 tempat munculnya. Kanan kiri,
muka belakang sahut menyahut. „Suko, kawanan orang itu hebat sekali ilmunya
mengentengi tubuh!" kata Yan-chiu. Tio Jiang mengiakan. Sewaktu tukar bicara itu,
mereka tak begitu merasa ketakutan, maka mereka lalu sambung lagi dengan beberapa
pembicaraan. Lama kelamaan suara2 itu tak terasa menakutkan kedengarannya. Oleh
karena keliwat lelah, Yan-chiu terus saja rebahkan diri. Tapi baru saja tubuhnya
merebah, tiba2 dilihatnya sekira 3 tombak terpisah dari tempat situ, seperti tampak ada
dua buah lentera hijau ber-gerak2 kian kemari, sehingga dengan serentak dia bangun
lagi dan menunyukkannya kepada sang suko.
Tio Jiang membungkuk kebawah dan terkejut jugalah ia. „Sumoay, hati2lah!" bisiknya.
Tapi tepat dia mengeluarkan kata2 itu, se-konyong2 dari semak2 rumput disebelah sana
terdengar suara berisik dan berbareng itu tampak sesosok bayangan hitam menonyol
naik, lebih dari setombak tingginya. Yan-chiu menyerit kaget dan susupkan kepalanya
kedada sang suko. „Siao Chiu, yangan takut!" kata Tio Jiang sembari mengawasi benda
itu dengan perdata. Machluk itu mirip orang bukan orang, kera bukan kera. Rambutnya
terurai kacau balau, sepasang lengannya panjang hampir sampai ditanah. Tiba2 Tio
Jiang teringat akan sesuatu dan dengan gugupnya segera berseru: „Siao Chiu, lekas lari!
Itulah orang utan, tentu bukan hanya seekor ini. Ah, makanya sipemburu tadi tak berani
menyebut nama Tok-ki-nia, kiranya karena disini terdapat orang utan. Larilah lekas, biar
kuhadangnya dial"
Mendengar kata2 'orang utan' hati Yan-chiu makin gelisah. Pernah didengarnya bahwa
binatang ituu termasuk binatang yang berotak terang, kulitnya keras, tenaganya bukan
kepalang. Mereka paling suka bergerombol, apabila sudah menetap disebuah tempat,
mereka tak mau pergi lagi. Setiap gerombol tak kurang dari tiga sampai limapuluh ekor
banyaknya. Tenaga dua orang, terang tak dapat melawan. Tapi kalau disuruh lari
sendirian, biar bagaimana dia tak mau. „Suko, kalau harus binasa, biarlah kita berdua
bersama2!!! sahut Yan-chiu sembari mainkan pedangnya.
Melihat sinar pedang, orang utan itu perdengarkan ketawanya yang seram. Dengan
pentang kedua lengannya dia maju menubruk Yan-chiu. Saking besarnya tubuh,
tubrukan ituu sampai menerbitkan suara men-deru2. Tio Jiang dan Yan-chiu lekas2
berpencar menghindar. Karena tubrukannya kosong, machluk itu mengaung keras. Tapi
karena tak dapat menguasai gerakannya, binatang itu menyeruduk kemuka sampai
beberapa tombak baru dapat berhenti tegak lagi. Pada saat itu, Yan-chiu tarik tangan
sukonya untuk diajak bersembunyi diantara batu2 karang.
Melihat kedua anak muda itu lenyap secara tiba2, kembali orang utan ituu mengaung
keras. Menyusul dari empat penyurupun segera terdengar kumandang suaranya. Dan
sesaat kemudian, dari tengah lamping gunung sanapun terdengar suara macam begitu.
Dari nada suaranya, jelas kalau beberapa auman itu dari bawah menuju keatas. Secepat
kilat, tiga empat ekor orang utan menyusul datang. Mereka tampak men-jerit, seperti
laku orang yang tengah berunding. Setelah itu, mereka pencar diri keempat penyuru,
mencabuti rumput dan puhun. Dari sikapnya se-olah2 hendak mencari jejak Tio Jiang
dan Yan-chiu. Dahan sebesar mangkok, dengan mudah dapat diputuskan.
Keparatlah bangsat Lim Ciong itu, dia telah menipu kita datang kemari. Kalau sampai
binasa, aku hendak menyadi setan untuk mencekiknya mampus!" Yan-chiu meng gigit
giginya bahna gusar.

GAMBAR 51
Dalam keadaan kewalahan, tiba2 Tio Jiang merasa tubuhnya
dipegang sepasang tangan yang kuat, ia kaget ketika melihat
dihadapannya sudah berdiri seekor orang hutan raksasa.

„Celaka, yangan2 Nyo-toa-cecu itu nanti juga kesasar kesini!" sahut Tio Jiang dengan
berbisik. Tengah pikirannya menimang begitu, se-konyong2 sinar hijau sebesar telur
ajam tadi menyorot kearah matanya. Kiranya tahu2 seekor orang utan tampak berdiri
dihadapannya. Dalam sibuknya, Tio Jiang segera serangkan pedangnya dengan jurus ,Ho
Pek kuan hay", salah satu dari jurus ilmu pedang To-hay-kiam-hwat, maju menusuk.
Begitu dekat sekali jaraknya ketika itu, maka bagaimanapun juga lihaynya seorang
musuh, sukar kiranya untuk menghindar dari tusukan itu. Juga orang utan itu,
walaupun tergolong jenis binatang yang bagus otaknya, namun binatang tetap binatang.
Bet....., demikian kedengaran semacam suara dan kedua lentera tadi padam seketika.
Kiranya tusukan Tio Jiang tadi telah diarahkan kearah mata. Hasilnya, sebelah mata dari
orang utan itu telah kena tertusuk buta.
Melihat serangannya berhasil, Tio Jiang buru2 tarik Yant-jhiu untuk diajak bersembunyi
kesamping. Tertusuk buta matanya, saking kesakitan orang utan itu menyadi bluddruk
(darah tinggi alias gusar). Dua buah batu yang beratnya tak kurang dari 1000 kati,
dilemparkan oleh orang utan itu, sembari mulutnya menggerung keras2. Disana segera
susul menyusul terdengar suara menyambut dann ber-gegas2 naik keatas. Sudah tentu
Tio Jiang dan Yan-chiu makin tak berani bernapas lagi.
Siorang utan yang terbutakan matanya tadi, masih mengamuk kalang kabut. Seekor
orang utan kecil yang lari paling muka dari kawanan orang utan yang datang membantu
itu, telah kena disamplok oleh gontaian sepasang lengannya yang panjang itu, hingga
terpental jatuh sampai kebawah lagi. Sekawan orang utan segera mengerumuni
kawannya yang buta tadi. Mereka sama ber-cuwit2 dan bercoa2 seperti bicara
tingkahnya. Dan nyatanya, siorang utan yang buta tadi segera berhenti menghantam
kalang kabut. Dengan ber-ingsut2 dia menghampiri sebatang puhun dan duduk
dibawahnya.
Melihat kawanan orang utan itu, lupa Yan-chiu kalau ia sedang dalam suasana yang
berbahaya. „Suko, orang utan itu menyerupai monyet. Kuat dan menyenangkan. Hajo,
kita tangkap seekor untuk dipelihara!" ujarnya. Tapi sebaliknya sang suko malah
membentaknya: „Siao Chiu, yangan bicara keras2!"
Kini kawanan orang utan yang barn datang tadi, yang jumlahnya antara 7 atau 9 ekor,
segera mewakili pekerjaan kawannya yang buta tadi. Mereka mencabuti puhun2 dan
membalikkan batu2, rupanya hendak mencari jejak kedua anak muda itu. Tapi sampai
sekian lama, Tio Jiang dan Yan-chiu dapat lolos dari mereka. Ini berkat keduanya
menggunakan ilmunya mengentengi tubuh. Dan kedua kalinya, kawanan orang utan itu
mempunyai cacad yang chas. Mata mereka hanya dapat digunakann memandang
kemuka, tak dapat kekanan kiri. Kalau hendak berpaling kebelakang atau kekanan kiri,
tubuhnya pun harus turut diputar. Inilah keuntungann dari Tio Jiang berdua, mengapa
sampai sekian lama tak dapat diketemukan.
Tak antara berapa lama, salah seekor orang utan besar dari kawanan bala bantuan tadi
mengaung keras. Mungkin karena tak menyumpai kedua anak muda tadi, mereka terus
hendak turun gunung lagi. Tio Jiang menghela napas lega. Tapi kelegahan itu segera
berganti dengan rasa kaget yang tak terhingga, demi menoleh kesamping didapatinya
Yan-chiu tiada disitu. Mengawasi keseluruh penyuru, kira2 setombak jauhnya dari situ,
Yan-chiu tengah mendekap seekor anak orang utan kecil. Melihat itu Tio Jiang banting2
kaki. Mengapa dalam keadaan jiwanya sendiri masih belum berketentuan, tapi mau
memelihara seekor anak orang utan!
Rupanya anak orang utan itu tak mau, lalu loncat setombak jauhnya. Dan Yan-chiu yang
tak kenal bahaja, memburunya. Sudah tentu Tio Jiang makin terkejut dan terpaksa
loncat memburu. Tadi sebenarnya orang utan itu sudah hendak turun gunung lagi, tapi
begitu mendengar suara rintihan anaknya, mereka berpencar mencarinya lagi. Berbareng
dengan tersingkap awan yang menutupi rembulan, maka suasana dipuncak situ menyadi
seperti siang terangnya. Segeraa mereka selihat seorang nona tengah mengejar seekor
anak orang utan. Pecahlah aum dan gerung yang hebat dan laksana barisan raksasa,
kawanan orang utan itu menyerbu.
Pada saat itu, baru Yan-chiu tersadar. Hendak ia lari balik, tapi ia telah diputari oleh
sekawan orang utan yang saling bercekalan tangan seperti orang mengedangkan lengan.
Ber-puluh2 mata sebesar telur ajam yang me-mancar2 cahaja ke-hijau2an, diarahkan
kepadanya. Benar sejak dua bulan yang lalu ini, Yan-chiu mendapat kemajuan pesat
dalam kepandaiannya, tapi menghadapi kepungan orang utan yang menyerupai hantu
malam itu, hatinya menyadi tercekat dan kakinya serasa lemas tak bertulang.
Pelahan tapi tentu, kawanan orang utan itu maju meng~ hampiri dan lingkungan
kepungan mereka menyadi makin sempit. Biasa dalam keadaan berbahaya, orang tentu
timbul dajanya. Demikian juga Yan-chiu. Setelah empos semangat, dia enyot tubuhnya
melambung sampai satu tombak tingginya. Baru ia hendak berjumpalitan memblerosot
keluar, tahu2 belasan ekor orang utan itu loncat keatas juga, malah lebih tinggi dari
sinona. Yan-chiu mengeluh, segera, ia berdaja gunakan cian-kin-tui (tindihan seribu kati)
meluncur turun. Dan ternyata berhasil baik. Sebagai bangsa monyet yang hidup
dipegunungan, orang utan itu hebat sekali kepandaiannya berloncat, jauh melebihi dari
achli mengentengi tubuh. Tapi mereka tak dapat menurun lekas2. Maka ketika Yan-chiu
sudah menginyak tanah, mereka masih melayang diatas. Yan-chiu tak mau berajal,
dengan. gunakan gerak 18 kali bergelundungan ditanah", dia menggelundung setombak
jauhnya. Dan tepat ketika Yan-chiu sudah lolos dari kepungan, Tio Jiangpun
menghampiri datang.
Jika waktu itu, mereka terus lari, rasanya tentu akan terhindar. Tapi dasar sigenit Yan-
chiu seorang anak yang nakal, maka demi dilihatnya sianak orang utan tadi berada
didekat situ, ia hendak memberi hajaran. „Binatang celaka!" serunya sembari
menghantam, buru2 Tio Jiang menarik sang sumoay, tapi sudah terlambat. Berbareng
dengann jeritan binatang kecil itu, maka ada tiga empat ekor orang utan memburu. Malah
seekor yang dimuka sendiri, sudah lantas lancarkan hantamannya kearah Yan-chiu.
Tio Jiang dan Yan-chiu segera menyambutnya masing2 dengan To-hay-kiam-hwat dan
Hoan-kang-kiam-hwat. Namun siorang utan itu deliki mata dan biarkan saja lengannya
dipapas, bluk..... celaka, tidak apa2, nyata kulit mereka kebal sekali. Tio Jiang sebat
sekali sudah mencari lain sasaran dibagian pantat, namun binatang itu tak
menghiraukannya. Maju selangkah, kelima jari siorang utan yang hampir satu meter
panjangnya itu merangsang hendak merebut pedang Tio Jiang. Dengan gugup, Tio Jiang
surut kebelakang sembari mengirim pukulan yang tepat mengenai dada sibinatang.
Benar kulit binatang itu tebal dan, keras, namun karena Tio Jiang, memukul se-
kuat2nya, tak urung orang utan itu menggerung kesakitan. Tujuh atau, delapan ekor
kawannya segera memburu datang.
„Siao Chiu, yangan berpisah lagi!" Dalam keadaan begitu, sudah tentu Yan-chiu tak
berani membantah lagi.. Kini keduanya bahu membahu. Kawanan orang . utan itu,
kembali mengepung seperti caranya tadi, saling bercekalan tangan, sembari maju
menghampiri. Tio Jiang menusuk keperut salah seekor, siapa kedengaran menyerit
kesakitan. Kiranya perut adalah bagian yang lemah dari orang utan itu.. Lubang
kesempatan itu digunakan se-baik2nya oleh Yan-chiu yang telah berhasil mendesak
mundur pengepungnya.
Tapi begitu serangannya agak kendor sedikit saja, kawanan orang utan itu ber-teriak2
keras dan maju mengepung lagi.
Sehari menempuh perjalanan yang begitu sukar, Tio Jiang dan Yan-chiu sudah sangat
letih. Baru mereka hendak tidur, atau sudah dipaksa bertempur dengan kawanan orang
utan yang lihay. Maka setelah bertahan setengah jam saja, keduanya sudah kehabisan
tenaga. „Suko, dalam saat2 dimana kita tentu takkan dapat lolos dari bahaja ini, aku
hendak memberitahukan padamu suatu hal penting, tiba2 Yan-chiu mengelah napas. la
hendak mencurahkan, isi hatinya.
„Siao Chiu yangan pikiran yang tidak2, hadapilah musuh, dengan sekuat tenaga!" sahut
Tio Jiang yang pantang menyerah. Tapi diluar dugaan, begitu mendengarkan
pembicaraan mereka, kawanan orang utan itu menyerit keras dan, dari mengepung
mereka berganti menyerang. Karena dari delapan penyuru terdengar samberan deru
serbuan mereka, Tio Jiang dan Yan-chiu tak dapat menghindar lagi. Dan yang lebih
merepotkan Tio Jiang, waktu itu Yan-chiu sudah dah tak mau melawan lagi. Pedangnya
dikulaikan dan orangnya menggelandot pada Tio Jiang. Tio Jiang mengira kalau
sumoaynya itu ketakutan, jadi diapun tak tegah untuk memarahi atau mendorongnya.
Tiba2 ketika dalam saat2 dimana kawanan orang utan itu sudah mengulurkan tangannya
maut, mereka mundur lagi kebelakang. Sesaat kemudian, maju lagi tapi pada ketika
sudah maju merapat dan hendak julurkan tangan, mereka mundur lagi. Hal itu terjadi
berulang kali. Tahulah kini Tio Jiang dan Yan-chiu apa sebabnya. Disebabkan karena
tubuhnya sangat besar, maka begitu mereka maju merapat, tubuhnya saling berbenturan
tak dapat mendekati korbiannya. Sebenarnya cukup dua ekor saja yang maju, tentu
bereslah. Tapi dasar binatang, mereka, tak mempunyai pikiran begitu. Yan-chiu timbul
lagi nyalinya.
Untuk keuntungan kedua anak muda itu, keadaan berobah lucu. Karena belasan kali
maju mundur begitu, kawanan orang utan itu marah sendiri, bukan marah kepada sang
korban tetapi kepada kawan2nya. Bluk...., bluk...., bluk..., mereka berhantam sendiri,
karena sama2 saling menyalahkan. Melihat kesempatan itu, Yan-chiu lekas2 ajak
sukonya lolos. Dengan ber-jengket2 supaja tak menyolok, keduanya surut kebelakang
dan begitu agak jauh, mereka segera gunakan ilmu berlari cepat untuk lari kebawah
gunung. ,Oleh karena masih saling hantam2an sendiri dengan dahsjatnya, kawanan
orang utan itu tak menghiraukan sang korban lagi. Sampaipun ketika Tio Jiang dan
sumoaynya sudah tiba di-tengah2 lamping gunung, masih mereka mendengar suara
gemuruh dari kawanan orang utan yang berhantam diatas puncak itu.
Ketika hendak meneruskan turun gunung, Yan-chiu berpaling kebelakang sebentar dan
hai sianak orang utan itu mengikutinya. Yan-chiu sudah tak berhasrat hendak
memeliharanya lagi, malah kini ia memberi persen dua buah pukulan. Tio Jiang hendak
mencegah, tapi sudah kasip. Anak orang utan itu melengking kesakitan dan tahu2
muncullah seekor rang utan yang lebih besar lagi dari yang dipuncak gunung tadi. Dua
tiga kali berloncatan, orang utan itu sudah menghadang dihadapan Tio Jiang dan
Yanchiu serta ajunkan kedua kakinya menendang. Tio Jiang' menghindar kesamping,
tapi tepat ada sebuah bafu melayang jatuh menyerempet telinganya, sehingga rasanya
telinganya itu seperti pecah. Malah menyusul dengan itu, dari atas berguguran beberapa
batu. Namun siorang utan tak In enghiraukan hujan batu itu, dan tetap merangsang
maju.
Tio Jiang dan Yan-chiu terpaksa memberi perlawanan. Tapi setiap kali ujung pedang
mereka menusuk kulit sibinatang, rasanya seperti menusuk batu saja. Dalam berapa
jurus saja, tangan Yan-chiu sudah lemah lunglai, pedangnyapun dapat direbut oleh
siorang utan, krek......... putuslah pedang itu. Yan-chiu nekat, kutungan tangkai pedang
yang masih dipegangi itu, ditimpukkan kearah mata siorang utan, tapi dengan sebatnya
binatang itu dapat menyampoknya jatuh. Kini dengan ulurkan tangannya dia maju
menerkam ..........
Tio Jiang kaget dan terus berjibaku. Dengan sepasang tangannya mencekal, dia tusuk
bagian perut siorang utan. Tapi sayang karena gugup, jadi tusukan itu tak tepat
mengenai bagiann yang berbahaya, hanya kena dibagian atasnya. Sekalipun perut
binatang itu tak sampai bobol, namun karena Tio Jiang menusuk se-kuat2nya, binatang
itupun menggerang kesakitan. Serentak dengan itu Tio Jiang rasakan ada suatu tenaga
pukulan-balik yang hebat sekali. Buru2 dia berjumpalitan kebelakang. Dari situ dia tarik
sang sumoay untuk diajak lari. Oleh karena pedangnya kutung separoh, yang
sebagianpun dibuangnya sama sekali.
Tapi orang utan itu ternyata sebat dan tangkas sekali. Cepat sekali dia sudah dapat
menyusul kedua anak muda kita. Karena tak mencekal senyata, Tio Jiang dan Yan-chiu
gunakan ilmu mengentengi tubuh berlincahan menghindar. Tapi lama kelamaan, saking
lelahnya gerakan loncat mereka itu makin lambat, beberapa kali mereka hampir kena
diterkam siorang utan. Untuk menolong sang sumoay, terpaksa berulang kali Tio Jiang
meneryang bahaja, hingga kini pakaiannya pun sudah robek dicakar siorang utan dan
pahanya pun luka terkena kuku, sakitnya yangan dikata.
Untuk beberapa saat, keduanya masih kuatkan hati untuk bertahan. Sebaliknya orang
utan itu makin lama makin inmengganas tandangnya. Sedang sianak orang utan tadi
ber-cuat-cuit mengawasi dipinggir, rupanya seperti ber-sorak2 kegirangan karena
fihaknya menang. „Bangsat kecil, hati2 kau nanti tentu kubeset kulitmu!" maki sinona.
Mendengar, itu Tio Jiang terpaksa menyeringai mendelu sekali.
Sepuluh jurus kemudian, tiba2 orang utan itu tertawa. aneh macam orang menyerit.
Celaka, keluh Tio Jiang., Satu saja sudah sedemikian berbahaya, kalau nanti kawan2nya
datang, tentu lebih2 lagi. Dia cepat mengirim sebuahhantaman, kemudian loncat keatas
untuk menutuk biji mata. Tapi siorang utan itu hanya miringkan kepala, tetap masih
tertawa. Sekejab kemudian, disana sini terdengar, ketawa macam begitu sahut
menyahut. Nyata itulah kawanan orang utan yang menyahuti dan menuju kesitu.
Tio Jiang cepat ambil putusan. Setelah melancarkan sebuah hantaman, secepat itu dia
sawut tubuh Yan-chiu untuk dilemparkan keluar gelanggang. Jadi teranglah maksudnya.
Biar dia tetap menghadang siorang utan, asal Yan-chiu bisa lolos. Tapi rencana itu telah
gagal, bahkan mengalami kerugian besar. Karena tenaganya habis, lontaran yang
dikiranya dapat melemparkan Yan-chiu sampai dua tombak tingginya itu ternyata hanya
mencapai setombak kurang. Sekali tangan siorang utan menyambar kedua kaki Yan-chiu
segera dapat dicengkeramnya.
Dengan mencengkeram kaki sinona, orang utan itu mendongak tertawa keras2. Saking
terperanyatnya, Tio Jiang, menyadi ter-longong2 dan tahu2 dia telah dirangkul oleh,
seekor orang utan lain. Begitu pelukan itu terasa kencang, barulah Tio Jiang gelagapan
namun tak berdaja untuk meronta lagi. Dua buah lengan besar yang penuh bulu, telah
mengangkat tubuhnya keatas dibarengi dengan suara ketawa keras. Buru2 Tio Jiang
kerahkan lwekang untuk bertahan dan hal ini meringankan juga kesakitannya. Bukan
menghiraukan dirinya yang terancam bahaja, sebaliknya dia selalu cemaskan
keselamatan sang sumoay. ,Siao Chiu, bagaimana kau."
Tapi ternyata Yan-chiupun kuatirkan keselamatan sang suko. Suko, kau bagaimana?"
tanyanya juga. Jadi kedua.a anak muda itu saling pikiran keselamatan kawannya,
bukan. dirinya sendiri. Hanya saja rasa kekuatiran mereka itu, berbeda. Yan-chiu
mencurahkan suara kalbunya, sebaliknya, Tio Jiang hanya didorong oleh kecintaan
saudara seperguruan saja.
Kawanan orang utan lainnya sama tampak ber-jingkrak2 dan ber-teriak2. Rupanya
seperti hendak merajakan kemenangannya. Karena tangannya masih bebas, Yan-chiu
menghantam kalang kabut kearah kepala siorang utan itu, tapi sedikitpun binatang itu
tak berasa dan tetap, tertawa.
Karena tak mempunyai daja lain, Tio Jiang ikuti juga cara Yan-chiu tadi. Baru. dia
hendak kerahkan tenaga untuk menendang, tiba2 telinganya mendengar semacam suara
halus yang melengking sekali. „Bujung dan budak, yangan bergerak sembarangan!"
Girang Tio Jiang sukar dilukis. Itulah suara Kui-ing-cu, ja tak salah lagi. Kiranya tokoh
aneh itu bersama seorang hweshio tampak bersembunyi dibalik sebuah batu besar.
Ketika Tio Jiang berpaling kearah sang sumoay, dilihatnya sumoaynya pun sudah
berhenti menghantam. Ah, tentu iapun mendengar juga perintah orang aneh itu. Tapi
kuatir kalau belum mendengarnya, buru2 Tio Jiang menyerukan: „Siao Chiu, yangan
takut! Kui-ing-cu locianpwe dan seorang hweshio datang menolong kita!"
„Tak usah kauberitahukan, akupun sudah tahu! Huh, siapa yang kaukatakan hweshio
itu! Dia kan Nyo-toa-cecu, entah bilamana dia masuk menyadi hweshio ", sahut Yanchiu.
Tio Jiang mengawasi dengan perdata, dan diapun heran juga.
Lagi2 pembicaraan itu menimbulkan reaksi pada beberapa orang utan itu. Orang utan
adalah sejenis binatang yang cerdas otaknya. Biarpun belum pernah mendengarkan
kata2 orang, tapi dari nada kedua anak muda yang begitu longgarnya, orang utan yang
mencengkeram kaki Yan-chiu, cepat berhenti ketawa. Sepasang lengannya dipentang
keluar, maksudnya hendak merobek tubuh shiona, siapa coba kerahkan lwekang untuk
bertahan, tapi kalah kuat. ,Locianpwe, lekas tolong jiwaku!" teriaknya ketakutan. Sesuai
dengan gelarannya Kui-ing-cu atau Bayangan Setan, tahu2 bagaikan bayangan Kui-ing-
cu sudah muncul keluar. Dua titik bintang melayang kearah perut bagian bawah dari
sibinatang, dan aaaahhhh........ menyeritlah binatang itu, terus berputar kebelakang
untuk mencari penyerangnya.
Kita tahu siapakah tokoh Kui-ing-cu itu. Sekalipun kulit binatang itu keras dan tebal,
namun menerima timpukan batu yang dilancarkan sekuat tenaga olehnya itu, biar
bagaimana binatang itu menderita kesakitan hebat juga. Tapi sekalipun seorang tokoh
persilatan yang berilmu tinggi, namun terperanyat juga Kui-ing-cu menampak wajah
siorang utan yang sedemikian menyeramkan itu."
„Nyo-heng, terimalah ini!" serunya lebih dahulu melemparkan bumbung bambu yang
berisi ular ceng-ong-sin kearah Nyo Kong-lim. Sekali tubuhnya menyulang keatas, dia
hantam dada siorang utan itu dengan sebuah pukulan tongcu-pay Hud" (anak
menyembah Budha). Jurus ini sebenarnya termasuk jurus biasa, sehingga setiap orang
yang belajar silat tentu dapat mengenalnya. Tapi dimainkan Kui-ing-cu, perbawanya
begitu dahsjat sekali.
Rupanya siorang utan itu tahu selatan juga. Melihat kedahsjatan yang mengancam, dia
mundur selangkah. Namun Kui-ing-cu tetap membayanginya. Belum jurus tongcu-
payhud dilancarkan penuh, tubuhnya sudah ikut maju merapat musuh dan robah
serangannya menyadi thian-li-san-hoa (bidadari menebarkan bunga), buk...., buk....,
buk.... siorang utan menyerit kesakitan karena bawah perutnya kena terhantam,
otomatis tangannya menurun!

(Bersambung Ke Bagian 27)


BAGIAN 27
SI RAJA ULAR

Tubuh siorang utan ter-hujung2 tak dapat berdiri tegak. Rupanya pekakas dalam
tubuhnya terluka kena hantaman Kui-ing-cu itu. Melihat kesempatan itu, Yan-chiu tak
mau men-sia2kan. Sekali meronta, ia enyot kakinya keatas lengan siorang utan dan
melayang lepas dari cengkeraman. Baru kakinya menginyak tanah, ia segera terkejut
bukan kepalang melihat keadaan disekelilingnya situ.
Kiranya sewaktu rubuh hendak meregang jiwa tadi, siorang utan yang terkena pukulan
dahsjat Kui-ing-cu itu, menggaum dengan kerasnya, hingga membuat terkejut seluruh
orang utan digunung situ. Entah berapa puluh ekor jumlahnya, kini mereka sama
berbaris rapat mengepung beberapa manusia yang memusuhinya itu. Ada seekor orang
utan jenis betina yang segera rubuh menelungkupi orang utan yang putus jiwanya sambil
ngak-nguk.... ngak-nguk.... me-ngiang2 dengan pilu sekali. Kala itu Tio Jiang masih tetap
dicengkeram oleh orang utan tadi, wajahnya merah padam karena dia sedang kerahkan
lwekang untuk menahan cengkeraman maut itu. Melihat itu Yan-chiu bertanya, pada
Kui-ing-cu, siapapun tak mempunyai daja apa2.
„Siao Chiu, kau apungkan diri menyerang sepasang mata dari binatang itu, untuk
menolong siaoko. Pertama gunakanlah jurus hong-hong-sam-tiam-thau lalu song-liong-
jongcu!" seru Kui-ing-cu kemudian.
Bocah perempuan lihay, pelajaran dari Tay Siang Siansu telah dapat dipelajarinya!" seru
Kui-ing-cu memuji ketika Yan-chiu enyot tubuhnya melakukan perintahnya tadi. Buru2
dia membantunya dengan maju menyapu kaki siorang utan.

GAMBAR 52
Sekali meloncat, Yan-chiu hindarkan tubrukan binatang buas itu,
sementara itupun Kui-ing-cu cepat memburu maju buat menolong.

Yan-chiu turut nasehat Kui-ing-cu. Belum jurus hong-hong-sam-tiam-thau diserangkan


tiba2 sudah terus diganti dengan jurus song-liong-jong-cu. Dua buah jarinya mengancam
sepasang mata siorang utan, tapi telah meleset, mengenai pelipis keningnya karena
binatang itu miringkan kepalanya menghindar. Diluar dugaan, tusukan jari yang tetap
menutuk jalan darah thay-yang-hiat itu, merupakan tutukan fatal (maut). Siorang utan
menggerung keras, dia lepaskan salah satu tangan yang mencengkeram Tio Jiang untuk
dibuat menyawuti Yan-chiu, tapi sinona itu menekan tangannya kearah badan siorang
utan, meminyam tenaga tekanan itu untuk loncat menghindar. Ketika siorang utan
hendak memburu, sapuan kaki Kui-ing-cupun sudah tiba.
Sapuan kaki yang bergaja jurus te-tong-thui (menyapu ruangan bumi) adalah ilmu yang
pertama kali dipelajari Kui-ing-cu sewaktu dia baru mulai belajar silat. Pejakinannya
selama ber-puluh2 tahun itu, telah mencapai tingkat kesempurnaan yang tiada taranya
lagi. Dalam pertemuan kaum persilatan daerah Kwiciu yang diadakan pada beberapa
tahun berselang, pernah dia gunakan jurus sapuan kaki untuk menendang patah 49
batang tonggak bwe-hoa-cung. Adakah kaki siorang utan melebihi kerasnya dari tonggak
kaju, rasanya tentu tidak. Maka krek......, sebelah kaki siorang utan telah tertendang
putus, ter-hujung2 terus rubuh ketanah. Begitu Tio Jiang meronta lepas, dia susuli
dengan sebuah hantaman yang dahsjat. Kini tak ampun lagi, siorang utan itu jatuh
terkulai ditanah.
„Suko, kita akan binasa berempat!" seru Yan-chiu ketika menyongsong sukonya.
Mendengar itu Kui-ing-cu tertawa di'ngin, serunya: „Kita berempat harus bertahan
dengan saling merapat bahu, yangan kasih kesempatan pada mereka mendekati kita!"
Perentah itu diturut. Kini mereka merapat satu sama lain, masing2 menghadap kesatu
arah mata angin kutara selatan barat timur. Yan-chiu tepat berdiri disebelah Nyo Kong-
lim. Ternyata keadaan yang sedemikian berbahayanya itu, tak mengurangkan rasa heran
sinona genit yang segera menanyakan Nyo Kong-lim mengapa masuk menyadi hweshio
itu. Sudah tentu yang ditanya menyadi merah padam mukanya.
„Sumoay, awas!" tiba2 Tio Jiang berseru sembari lan-carkan sebuah pukulan pada seekor
orang utan yang hendak menerkam Yan-chiu. Melihat itu, kini Yan-chiu tak berani usil
mulut lagi. Seluruh perhatiannya ditumpahkan kearah musuh. Kini keadaannya
berlainan. Kawanan orang 'Utann itu tak berani merapat dekat2 karena jeri akan pukulan
biat-gong-ciang dari Kui-ing-cu yang teramat dahsjatnya. Dua jam berselang, haripun
makin terang. Kalau kawanan orang utan itu makin lama tetap beringas, adalah Kui-ing-
cu berempat menyadi kehabisan tenaga. Sepasang lengan masing2 sudah terasa, lemah
lunglai kesemutan.
Sejak keluar dari rumah perguruan, entah sudah beberapa banyak kaum persilatan yang
pernah dijatuhkan. Tapi selama itu, belum pernah dia keluarkan tenaga habis2an seperti
ketika menghadapi kawanan orang utan pada saat tersebut. Setengah jam kemudian,
tampak cakrawala menyadi terang benderang menyongsong kedatangan matahari. Waktu
sempat menghitung jumlahnya, ternyata kawanan orang utan tak kurang dari 190 ekor
jumlahnya. Kalau pukulan Kui-ing-cu agak lemah, kawanan orang utan itu maju
menghampiri dekat2. Malah ada beberapa ekor yang berada dibarisan depan sendiri,
hampir dapat menyengkeram Yan-chiu. „Ah, binatang2 ini sekalipun tokoh silat yang
sakti, rupanya tetap tak dapat menghadapinya. Siaoko, mengapa kau katakan pada
bocah besar (Nyo Kong-lim) kalau suku Thiat-theng-biau itu tinggal ditempat ini?" tanya
Kui-ing-cu dengan menghela napas.
„Yang mengatakan begitu adalah Hun-ou-tiap Lim Ciong!" sahut Tio Jiang seraja
lancarkan dua buah pukulan kepada seekor orang utan yang hendak coba mendekati
rapat2.
„Kalian berdua telah ditipu oleh bangsat itu! A-thau, kau berotak cerdas, mengapa sampai
kena ditipu orang?" kata Kui-ing-cu. Tapi Yan-chiu tak banyak luang untuk menyahut.
Dengan mandi keringat, dia terus bertahan dengan gigih. Kui-ing-cu cukup mengetahui,
bahwa sekalipun pada saat itu datang bantuan berupa tokoh silat yang sakti, tapi
rasanya tak nantl dapat menolong keadaan mereka. Tapi sebagai seorang yang kenyang
makan asam garam, tak mau dia unyukkan perasaannya. Mati hidup tak dipandangnya
secara serious (sungguh2). Maka diapun tak henti2nya gerakkan tangannya untuk
melawan. Dalam pada itu, dia memberitahukan Tio Jiang: „Sikate tolol Sik Lo-sam ketika
kurampas ularnya ceng-ong-sin, sebenarnya akan menantang 3 bulan lagi jalah setelah
dia dapat memahami ajaranku ilmu sam-liong-toh-cu-kun-hwat. Tapi ah......, siaoko,
apakah kita masih bernapas pada waktu itu ?"
Tio Jiang kagum kepada tokoh aneh itu. Dalam menghadapi saat2 kematian, tokoh itu
masih bergurau. Diapun menaulad, sahutnia: „Pada 5 bulan yang lalu ketika Sik
locianpwe sedang menangkap ceng-sin-ong di Lo-hu-san, telah kukejutkan hingga gagal"
sampai disini tiba2 Tio Jiang teringat akan sesuatu, serunya. „Kui locianpwe!"
„Ho, ho, sekejab lagi binasa ditangan kawanan binatang itu, mungkin aku benar2
menyadi Kui (setan) locianpwe, ini!" Kui-ing-cu tetap ber-olok2. „Lo-cianpwe, yangan
menertawakan dulu! Ketika dibiara rusak kudengar sibangsat Lim Ciong menyebutkan
nama Tok-ki-nia, saat itu akupun rasanya teringat akan kata2 yang pernah diucapkan
oleh Sik Loo-cianpwe. Pernah dia, di Lo-hu-san kala itu, sayang tak berhasil menangkap
ular ceng-sin-ong, coba ja, dia hendak ajak aku pesiar ke Tokki-nia. „Ja....!, kini aku
ingatlah!" kata Tio Jiang. Adalah karena ber-cakap2 itu, Tio Jiang agak lengah,
wek.....lengan bajunya telah kena dicakar robek oleh seekor orang utan, sehingga
lengannyapun mengucurkan darah karena turut tergurat kuku. Buru2 Tio Jiang mendak
kebawah, sedang Kui-ing-cu lekas2 datang menghantam hingga binatang itu ber-teriak2
kesakitan dan mundur.
Apa kata Sik Lo-sam lagi?" tanyanya kepada Tio Jiang, siapa menyatakan tidak ada lagi.
Kui lo-cianpwe, bagaimana kepandaian Sik Lo-sam di banding dengan kau ?" tiba2 Yan-
chiu menimbrung. Kui-ing-cu tengah meneliti maksud yang tersimbul dalam kata" Sik
Lo-sam itu, ketika Yan-chiu bertanya begitu, tiba2 dia tersadar. „Siao-ah-thau, rupanya
Giam Ong locu (raja acherat) tak mau menerima kita!" serunya.
Yan-chiu cerdas, tapi Kui-ing-cu lebih pintar lagi. Meskipun ia tak tahu maksud yang
sesungguhnya dari kata2 Kui-ing-cu itu, namun ia percaja tokoh aneh itu tentu sudah
mempunyai apa2. Maka semangatnyapun timbul. lagi, Beda dengan Nyo Kong-lim dan
Tio Jiang yang kasar tolol, yang masih minta keterangan lagi pada Kui-ing-cu. Tapi dari
pada menyawab, tokoh aneh itu segera merampas bumbung bambu yang dicekal Nyo
Kong-lim. Begitu sumbatnya ditekan jari, lalu dilemparkan ketanah, sist......, sist......,
sist......, mendesis2-lah ceng-ong-sin keluar. Tubuhnya yang hijau kemilau, bagaikan
batang bambu muda yang habis disiram hujan, segar bugar menyedapkan mata.
Siapakah orangnya yang menyangka kalau binatang itu merupakan ular yang Maha
beracun!
Begitu ceng-ong-sin atau Malaekat Raja Hijau keluar,
Kawanan orang utan yang berjumlah banyak itu, laksana terkena sihir, sama porak
poranda mundur. Malah begitu siraja ular merajap berlingkaran, barisan orang utan yang
terdepan, sama menggigil.
„Siao-ceng-coa, lekas gigitlah siorang utan besar itu! Ha, kiranya machluk yang sebegitu
besarnya, takut juga kepada seekor ular kecil!" Yan-chiu berseru kegirangan. Tio Jiang
dan kedua tokoh itu pun sudah beristirahat, sama menantikan perkembangan lebih jauh.
Setelah ber-putar2 beberapa kali, tiba2 ekor ular itu menekan tanah dan kepala tegak
berdiri keatas, lidahnya menyulur mengeluarkan desis-an. Barisan orang utan yang
berada paling depan sendiri tampak menekuk lutut duduk seperti orang menyura tiada
berani bergerak. Kepala siular menyulur kemuka dan memagut leher seekor orang utan,
siapa lalu rubuh terjungkal. Setelah itu, siular memagut lainnya. Anehnya, korban itu
tak berani bergerak sama sekali. Dalam sekejab saja, sudah ada lima enam ekor yang
rubuh. Kawanan orang utan yang lain, memandang terIongong2 kearah keempat orang
itu dengan sorot mata minta dikasihani.
„Setiap benda atau apa saja didunia yang tergolong pusaka, tentu mempunyai gaja
kesaktian yang sedemikian hebatnya. Tapi meskipun kawanan orang utan itu sangat
ganas, asal orang tak menggangunya, merekappun tak mengganggu, jadi tak apalah,
lebih baik bebaskan mereka!" achirnya Kui-ing-cu menghela napas. Kalau Nyo Kong-lim
dan Tio Jiang menyetujui, sebaliknya Yan-chiu mengajukan sjarat, katanya: „Untuk
mengampuni mereka sih mudah, tapi asal aku dapat membawa dua ekor untuk
dipelillara! "
Dalam ber-kata2 itu , sudah ada 3 ekor orang utan lagi yang digigit mati oleh ceng-ong-
sin. Pada setiap luka gigitan dileher mereka, tentu mengalirkan darah yang berwarna
hitam. Suatu pertanda bagaimana hebat bisa dari ular itu.
„Dengan memiliki ceng-ong-sin, masakan mereka tak mau menurut. Kiranya Sik Lo-sam
juga mempunyai rencana untuk memelihara orang utan, makanya dia begitu telaten
mencari ceng-ong-sin!" kata Kui-ing-cu seraja memburu maju dan, dengan suatu gerakan
yang luar biasa sebat sebatnya, dia ulurkan ketiga jari untuk memencet, bagian telinga
siular dan membareng itu tangannya kiripun memijat bagian ekornya. Hanya beberapa
kali ular itu tampak menggeliat, lalu tak dapat berkutik.
Begitu sang momok sudah dibelenggu, hiruk pikuklah kawanan orang utan itu
berbangkit sembari berjingkrak kegirangan. Kui-ing-cu suruh Yan-chiu pilih dua ekor
orang utan yang dikehendakinya. Tanpa diulang lagi, Yan-chiu memilih dua ekor yang
berbulu kelabu ke-putih2an. „Binatang, lekas ikut pada nona itu. Kalau berani
membangkang, kawan2mu akan dihabiskan!" seru Kui-ing-tiu. Anehnya, orang utan itu
seperti mengerti maksud perkataan orang. Mereka mengangguk dengan patuh. Yan-chiu
memberi nama „Toa-wi" (kelabu besar) kepada yang lebih besar dan „Siaowi" kepada yang
kecil. Toa-wi, siao-wi, lekas ikut aku serunya sembari loncat kebelakang.
Benar juga, kedua ekor orang utan itu mengikutinya dengan serta merta. Saking
girangnya Yan-chiu berloncatan menari. Kui-ing-cu bertigapun ketarik juga. Sekejab
kemudian, Thio Jiang mengajak lekas2 turun gunung. „Entah bagaimanaa jadinya
dengan Lian suci!" katanya.
„Uh...., lagi2 Lian suci!" seru Yan-chiu sambil jebikan bibirnya. „Siao Chiu kau ini
bagaimana? Kan kita sudah terlambat sehari semalam ini!" tanya Tio Jiang keheranan.
Tapi Yan-chiu sendiri juga tak tahu sebabnya, mengapa ia kurang senang mendengar
sang suko menyebut nama sucinya. Memang kata2 sukonya itu benar, namun ia tak mau
mengakui kesalahannya. Adalah Kui-ing-cu yang segera tergelak2 ujarnya: „Jika
melintasi gunung dan puncak2 yang tinggi, kalian bertiga, pasti menghamburkan tenaga
dalam. Sekali kurang hati2, bisa kesasar tiba ditempat yang berbahaya. Lebih baik lekas
jalankan semadhi, nanti 3 jam kemudian baru boleh melanyutkan perjalanan lagi! Dan
lagi kita harus perlu menanyakan tempat kediaman suku Thiat-theng-biau itu pada
penduduk setempat."
Tio Jiang tak berani berajal. Dengan lekas dia mencari sebuah batu besar untuk
melakukan latihan bersemadi.
„Siaoko, kuucapkan selamat padamu!" se-konyong2 Kui-ing-cu berkata, demi
menyaksikan cara Tio Jiang mengambil napas.
Tio Jiang hanya bersenyum saja. Tahu dia kalau tokoh lihay itu tentu sudah mengetahui
bahwa ilmunya lwekang kini hebat sudah. Memang caranya dia menarik napas, tiada
sama dengan latihan lwekang yang kebanyakan. Nyo Kong-lim yang belum mencapai
kesempurnaan dalam ilmu Iwekang, agak terganggu sedikit tapi achirnya dia sudah dapat
menguasai tenaganya lagi. Begitu pula karena memikirkan maksud dari pada kata2 Kui-
ing-cu tadi, hatinya kacau pikirannya me-layang2. Sjukur achirnya ia dapat juga
menguasai ketenangan semadhinya.
Melihat ketiga kawannya duduk melakukan gerakan napas, Kui-ing-cu cari bumbung
bambu tadi untuk memasukkan ceng-sin-ong. Kui-ing-cu memikirkan bagaimana harus
mengajar kedua orang utan muda itu agar kelak disertai tenaganya yang maha kuat itu,
dapat kedua binatang itu menyadi pengawal yang kokoh kuat. Ah, baiklah dia kuajarkan
ilmu silat „silat siorang tolol" terdiri dari 7 jurus. Setelah itu lalu dia melambai si Toa-wi
supaja datang kepadanya. Setelah mengucap beberapa patah, Kui-ing-cu lalu mainkan
jurus mondar-mandir". Kedua orang itu meniru gerakannya. Memang kera atau monyet
itu paling gemar menaulad perbuatan orang.
Misalnia dahulu ada sebuah dongeng begini:
Adalah seorang penyual topi hendak kekota menyual barang dagangannya. Dalam
perjalanannya melalui sebuah rimba, ada sekawanan kera ramai2 mengerojok
dagangannia. Setiap kera memakai sebuah topi, lalu sama memanyat puhun. Sipenyual
itu mendongkol dan meringis. Tiba2 dia mendapat pikiran bahwa bangsa kera monyet itu
paling suka me-niru2 perbuatan orang. Maka sipenyual itu mengambil topi yang dipakai
diatas kepala, lalu dibanting ketanah. Benar juga kawanan kera itu segera sama
membanting topinya kebawah dan dipungutilah lagi topi2 itu oleh sipenyual.
Orang utan itu juga sejenis bangsa monyet kera, jadi merekapun tak ubahnya dengan
kelakuan bangsa kera. Dalam 3 jam kemudian, kedua orang utan piaraan Yan-chiu itu
sudah dapat mempelajari habis 7 jurus ilmu silat „pukulan orang tolol". „Dengan
mempunyai pengawal dua ekor orang utan yang dapat bersilat itu rasanya kita tak perlu
kuatir lagi akan pertempuran dihari Pehcun nanti!" kata Tio Jiang.
„Suko, kalau matamu menyadi merah (iri), yang satu kuberikan padamu!" sahut Yan-
chiu dengan tertawa. Tapi dengan serentak Tio Jiang menolak, katanya: „Binatang yang
sedemikian buruknya, aku tak sudilah!"
„Hem....., tunggu saja beberapa, hari nanti. Kalau sudah kubuatkan pakaian, orang utan
itu tentu akan kusulap menyadi seorang lelaki gagah!" Yan-chiu membantahnya. Melihat
Nyo, Kong-lim juga sudah berdiri bangun, Kui-ing-cu tertawa ter-bahak2, serunya: „Nyo-
heng, a-thau itu memakimu seperti binatang!"
Dengan terkejut sekali Yan-chiu berpaling. Memang perawakan Nyo Kong-lim yang tinggi
besar itu menyerupai siorang utan. Teringat kata2nya tadi, iapun geli juga. Sebaliknya
ketua Hoa-san itu tak marah, malah turut tertawa gelak2. Begitulah mereka berempat
lalu turun kekaki bukit. Tiba2 Tio Jiang menanyakan soal ,mustika didalam batu" kepada
Kui-ing-cu, siapa lalu menerangkan: „Mustika dalam batu" itu jauh lebih hebat dari ular
ceng-sin-ong. Siapa yang memakannya, badan ringan napas panjang, besar chasiatnya.
Kita dapat suruh Toa-wi dan Siao-wi memanggulnya bergiliran. Hajo lekas kita kesana
yangan sampai kedahuluan orang lain. Kalau didapatkan oleh orang jahat, bahajanya
besar sekali!"
Walaupun Tio Jiang tak percaja ada lain orang yang mengetahui batu itu, namun dia
segera ber-gegas2 ajak ketiga kawannya menuju kesana. „Itulah, hanya ........ " belum Tio
Jiang melanyutkan kata „30-an tombak jauhnya" dia sudah berseru kaget: „Hai, mengapa
ada orang?"
Mengikuti arah yang ditunyuk Tio Jiang, ketiga orang itupun melihat jelas bahwa
disamping batu besar itu ada seorang lelaki tengah membacoki bagian yang disebutkan
Tio Jiang itu dengan sebilah pedang yang memancarkan sinar ke-hijau2an. „Cian-bin
long-kun The Go! Tentu Lian suci sudah dijualnya, kalau tidak masa dia membawa
sebilah pedang pusaka macam begitu?!" Yan-chiu yang melihat jelas lebih dahulu segera
berteriak. Sebagai jawaban, Tio Jiang sudah enyot tubuhnya kemuka. Tapi karena
jaraknya masih ada 30-an tombak, jadi sebelum dia berhasil menyergap, The Go sudah
mendengar jeritan si Yan-chiu tadi. Dia membacok lebih gencar. Oleh karena seperti
membacok kaju saja, maka dalam beberapa kejab saja batu itu sudah menyadi satu elo
persegi besarnya. Cepat The Go pegang batu itu lalu mengangkatnya, tapi tepat pada saat
itu Tio Jiangpun sudah tiba. „Cian-bin Long-kun, jadi kau sudah menyual Lian suci
untuk sebuah pedang? Kau takkan dapat menginyak bumi persilatan lagi!" serunya.
Memang The Go menyalankan rencana Tan It-ho dan ajak Bek Lian ke Thiat-nia, yang
ternyata terletak disebelah pinggir dari puncak Tok-ki-nia. Mereka tiba ditempat itu kira2
setengah jam lebih dahulu dari tibanya Tio Jiang dan Yan-chiu di Tok-ki-nia. Dikaki
puncak Thian-nia situ ternyata ada sebuah batu karang yang hitam warnanya. Diatasnya
penuh ditumbuhi dengan puhun rotan yang berwarna hijau gelap.
„Engkoh Go, apakah disini Ko-to-san ?" tanya Bek Lian yang tak mengetahui akan
rencana keji dari kekasihnya itu. The Go hanya menyeringai iblis. Sjukur karena hari
sudah gelap, jadi Bek Lian tak mengetahui akan senyum iblis sang kekasih. Tahunya,
karena tak dijawab, ia menyadi heran lalu menanyakan lagi: „Engkoh Go, dimanakah
gereja Ang-hun-kiong itu? Apakah Ang Hwat cinyin tak mengetahui kalau kau mau
datang kemari ?"
Memang perangi Bek Lian itu sangat tinggi (sombong). Kecuali The Go, ia tak mau
memandang mata pada semua orang. Sampaipun sucou (kakek guru) dari The Go, hanya
dipanggil begitu saja tanpa, sebutan menghormat. The Go menyawab sekenanya saja,
tapi dalam hati dia mengumpat caci nona itu. Kalau sampai didengar sucou, mungkin
tubuhmu tak dapat dikubur nanti, demikian pikirnya.
Itulah mentaliteit seorang pemuda mata keranyang macam The Go. Bukan sekali dua kali
saja Bek Lian menyebut nama Ang Hwat cinyi tanpa memakai embel2 gelaran- nya, tapi
dahulu The Go menganggap biasa saja malah tetap sedap didengar. Tapi kini setelah rasa,
cintanya hilang, berganti dengan kebencian, dia anggap ucapan sinona itu suatu
kesalahan besar. Memang kalau sedang menyinta, loyang dikatakan emas, akan dianggap
loyang kalau orang ysudah bosan atau benci.
Mendengar The Go memberi jawaban dengan nada yang tawar, Bek Lian berhenti.
„Engkoh Go, mengapa dalam beberapa hari ini kau bersikap tawar terhadapku ?"
tanyanya. The Go merasa makin muak, sahutnya: „Lian-moay, perlu apa ucapan macam
begitu? Bagaimana kau katakan aku bersikap tawar kepadamu ?"
„Tidak, engkoh Go, kau harus menerangkan yang jelas!" desak Bek Lian demi mendengar
kata2 The Go itu makin, tak sedap. Sudah tentu The Go tak menghendaki rencananya
yang sudah 90 persen berhasil itu akan menyadi terbengkalai oleh sebab2 kecil saja.
Maka cepat dia member! kan muka tertawa seraja maju merapat, lalu merajunya:
Lian-moay, yangan pikir yang tidak2, nanti menggannggu kesehatanmu ah!
Julukannya adalah Cian-bin Long-kun atau Sianak muda, berwajah seribu. Jadi pandai
sekali bersandiwara. Apalagi Bek Lian hanya ributi soal nada, ucapannya yang tawar,
maka dalam sedetik saja hatinya, pun dapat terebut lagi. ,Engkoh Go, entah laki entah
perempuan anak kita nanti itu ja?", bisiknya seraja bersandar kepada sang kekasih.
„Kalau lelaki bagaimana, kalau perempuan bagaimana?" kata The Go. Karena sudah
berbadan dua, rasa keibuan sudah menyelubungi hati Bek Lian. „Entahlah, aku
sendiripun tak tahu. Tapi aku mengharapkan seorang anak lelaki yang menyerupai
dirimu dan kunamakan Siao Go!" ujarnya, Untuk menimbanginya agar yangan kentara,
sebaliknya The Go menyawab: „Tapi aku menghendaki seorang anak perempuan saja
yang menyamai kau dan kunamakan Siao Lian !"
Bek Lian tertawa puas. la anggap The Go masih tetap menyintainya. Walaupun sejak
mengandung itu, tubuhnya makin kurus, namun Bek Lian tetap cantik seperti bidadari
menyelma. The Go terkesiap memandangnya. Diam2 dia bersangsi mengapa harus
menurutkan rencana Tan It-ho itu? Tapi setelah dipikir pula, mendapat 10 Bek Lian lebih
mudah dari sebatang pedang pusaka, dia segera pimpin tangan Bek Lian untuk diajak
meneruskan perjalanannya. Begitu tiba dikaki puncak, se-konyong2 sebatang anak
panah. melayang kearahnya. The Go tahu bahwa panah dari suku, Thiat-theng-biau itu
dicelup racun, yang luar biasa ganasnya, maka dia gunakan kipasnya untuk menyampok
seraja, berseru: „Akulah!"
Sebagai sambutan disana terdengar orang bicara kak....kik-kuk...., kik-kuk...., entah
berkata apa. Tapi pada lain saat segera terdengar orang berseru: „Hiante (adik), apakah
kau yang datang ?"
The Go kenal, itu sebagai suara Tat It-ho, kakak angkatnyanya. „Toako, kau sudah disitu?
Apa kata Kit-bong-to ?" serunya dengan kegirangan. Sesosok tubuh melesat dan muncul
dari balik sebuah batu. „Bermula dia tak mau, tapi setelah kuomongi, dia mau lihat dulu
barangnya!" seru orang itu yang bukan lain Tat It-ho adanya. „Ah, bereslah!" sahut The
Go.
Siapa Kit-bong-to ? Apanya 'mau atau tidak' itu ?" tukas Bek Lian.
„Oh, It-ho-heng hendak meminyam suatu barang pada Kit-bong-to, bukan urusan apa2,"
sahut The Go dengan tertawa. Bek Lian tak mau menanyakan lagi, tapi, begitu ia
mengawasi kemuka, kagetlah ia. Dibelakang Tan It-ho tampak tiga orang kata yang
memakai pakaian rotan macam keranyang warna hitam. Juga kulitnyapun, hitam, jadi
kalau malam tentu seperti bangsa setan tujul. Cepat2 Bek Lian Menempel rapat2 pada,
The Go.
Lian-moay, usah takutlah. Kawanan orang liar itu, adalah sahabat karib It-ho-heng. Nanti
kita mengunyungi kepala suku mereka. Kepala suku itu amat ramah tamah, mungkin
kita nanti akan diberi barang2 yang luar biasa!"
Buru2 The Go menghibur. Bek Lian tak bercuriga lagi, hanya bertanya: „Jadi belum
sampai ke Ang-hun-kiong?"
Masih harus melintasi beberapa puncak lagi. Malam ini kita terpaksa tak dapat mencapai
kesana!" sahut The Go.
Tan It-ho lega hatinya, mengetahui diplomasi yang licin dari saudaranya angkat itu,
Untuk tak mem-buang2 waktu dia segera2 ajak The Go naik kepuncak.

(Bersambung Ke Bagian 28)


BAGIAN 28
ISTERI DI TUKARKAN PEDANG

BAGIAN 28.1

Dengan diiring oleh ketiga orang Biau kate itu, The Go bertiga mendaki keatas. Sampai
ditengah perjalanan, tampak pada tepi sebuah lapang,n ada ber-puluh2 gua batu besar
dan kecil seperti di-jajar2 merupakan sebuah lingkaran. Drum atau tambur, ramai
ditabuh orang. Rupanya suku Thiat-theng-biau itu tengah mengepung sebuah api
unggun sembari me-nari2.
Tan It-ho segera ajak The Go dan Bek Lian menuju 'kesalah sebuah gua yang paling besar.
Gua itu berlainan dengan gua lain2nya, mulut gua ditutupi dengan sebuah kere' terbuat
dari rotan besi hitam. Begitu tiba dimuka pintu, Tan It-ho bicara dengan bahasa Biau
dan dari dalam segera terdengar suara, penyahutan. „Hajo, kita masuk!" Tan It-ho,
mengajak The Go.
Waktu masuk kedalam, ternyata disitu alat2nya serba sederhana, hanya ada sebuah
meja batu. Sedang. dibawahnya tampak duduk seorang suku Biauw bertubuh kate, tapi
kepalanya besar. Sepasang matanya mendelik beringas, buas dan menakutkan sekali.
Begitu melihat ketiga tetamunya, dia segera ber-kata2 dengan suara keras yang me-
lengking2 dipendengaran orang. Rupanya dia pandai ilmu silat juga.
Tan It-ho silahkan The Go dan Bek Lian duduk ditanah. Melihat wajah yang menakutkan
dari kepala suku itu, Bek Lian segera ajak The Go lekas2 berlalu. Tapi The Go
menghiburnya: „Kepala suku sudah begitu baik hati menyamu, masa kita menolaknya?
Kita terpaksa bermalam disini." Karena tak curiga, Bek Lian menurut saja.

GAMBAR 53
,,Yangan takut Lian-moay, sebentar lagi kau tentu akan biasa
dengan mereka," kata The Go dalam usahanya menyual" Bek Lian.
Sudah tentu kepala suku Biau itu lantas kesemsem oleh kecantikan sigadis.

Orang Biau itu memang Kit-bong-to. Tan It-ho yang lebih dahulu datang kesitu, sudah
membicarakan hal itu kepada-nya. Demi menampak Bek Lian, kepala suku itu setuju
sekali. Sudah tentu Tan It-ho sangat girang. „Karena jauh2, datang kemari, hiante dan
nona Bek tentu lelah. Setelah minum arak, apakah tidak ingin beristirahat?" tanyanya,
sembari mengangsurkan dua% cawan kecil.
Bek Lian yang tak biasa minum arak, sudah tentu menolak. Tapi The Go yang mengetahui
kalau arak yang disuguhkan kepada Bek Lian itu tentu berisi obat pembius yang dapat
membuat orang tak sadarkan diri sampai 3 hari, buru2 mendesaknya: „Lian-moay, arak
ini teramat manis apalagi tak enaklah hati kita untukk menolak kebaikan tuan rumah.
Hajo, minumlah saja!"
Bek Lian menyilat sedikit, dan memang benar arak itu semanis madu. Pikirnya, cawan
yang begitu kecil masakan dapat memabukkan. Dan sekali teguk ia keringkan isi cawan
itu. The Go dan Tan It-ho saling melihat: dengan wajah ber-seri2. Melihat Bek Lian sudah
meminum obat pembius, Kit-bong-to berbangkit untuk mengambil sebatang pedang.
Begitu dilolos dari sarungnya, pedang itu ber-sinar2 hijau kemilau. Melihat itu, Bek Lian
terkesiap. Mengapa, ja, mengapa, pedang itu serupa dengan pedang milik ajahnya? Baru
iaa hendak berbangkit melihati, kepalanya serasa, pening sekali. Namun masih ia,
paksakan diri untuk berbangkit dan berseru: „Engko Go, badanku kurang enak!" Tapi
segera ia rasakan sekelilingnya ber-putar2 dan sekali ia melihat suasana menyadi gelap,
rubuhlah ia tak sadarkan diri lagi.
Cepat2 The Go hendak menghampiri untuk memeriksa pernapasan hidungnya, tapi
sret........... pedang pusaka itu menusuk kearahnya. Sudah tentu dia gugup sekali
menghindar. „Kit-bong-to mengatakan, bahwa nona jelita itu sudah menyadi miliknya.
Kau tak boleh sembarangan menyentuhnya!" kata Tan It-ho.
Sebaliknya dari gusar atau menyesal, The Go malah tertawa riang, sahutnya: „Toako,
suruh dia serahkan pedang itu !!! "
Begitu Tan It-ho menyampaikan permintaan The Go itu, ternyata orang Biauw yang masih
liar itu menyunyung kepercajaan. Pedang dan sarungnya sekalian diberikan. The Go
dapatkan pedang itu aneh bentuknya. Badan pedang itu yang separoh bentuknya bulat,
sedang telinga" (palang tangkai) pun hanya sesisih saja. Datasnya terukir dua buah huruf
„Kuan-wi". Setelah tercapai idam2annya, The Go ber-gegas2 minta diri, tapi Kit-bong-to
mencegahnya, hingga kedua orang itu terpaksa bermalam disitu. Besok pagi sore, baru
mereka diidinkan pergi. Ternyata Bek Lian sudah diangkut pergi kelain gua. Kepada Tan
It-ho, Kit-bong-to menyampaikan undangan: „Tiga hari kemudian setelah sicantik itu
tersadar, perkawinan akan segera dilangsungkan. Harap kalian datang menyaksikan
upacaranya."
Walaupun mengiakan, namun The Go dan Tan It-ho takkan sudi datang kesitu lagi.
Begitulah, dengan berlari, keduanya turun kebawah gunung.

(Bersambung Ke Bagian 28.2)


BAGIAN 28
ISTERI DI TUKARKAN PEDANG

BAGIAN 28.2

Setelah melintasi beberapa puncak, tibalah mereka didekat batu besar yang berisi
mustika tadi. Sebenarnya The Go pun takkan mengetahui coba disitu tak ada bekas
darah kelinci yang ditangkap Tio Jiang. Sebagai seorang durjana, sudah tentu The Go tak
mau lewatkan begitu saja keanehan itu. Menghampiri kedekatnya, diapun segera
mengetahui akan bagian batu yang pikisnya sudah dikupas habis oleh Tio Jiang. Oleh
karena mahir dalam ilmu sastera, maka diapun pernah baca juga bagian kitab Pao-bu-
cu yang mengatakan begini: „Mustika dalam batu itu, sebenarnya memang ada. Berada
didalam batu besar, yang selalu lembab tak pernah kering. Begitu batu itu dipecah, maka
didalamnya akan ada sebuah benda yang macamnya seperti telur kuning. Harus lekas2
diminum, kalau tidak, akan mengeras seperti batu."
Juga diketahuinya akan chasiat benda itu bagi orang yang telah meminumnya. Banyak
nian orang persilatan yang mengiler akan benda itu, tetapi tiada seorangpun yang berani
mengimpikan untuk memperolehnya. Bahwa kini dirinya telah berhasil mendapatkan
penemuan itu, bukankah itu suatu karunia Allah? Demikian pikir The Go sembari ter-
menung2 disitu. Tan It-ho menyadi heran, serunya: „Hiante, mengapa terus berada disitu
saja?"
Masih The Go me-nimang2. Sjukur dia sudah berhasil memiliki sebatang pedang pusaka,
kalau tidak mana dia dapat mengambil pusaka yang berada didalam batu sebesar itu?
Agaknya, segala jalan telah dibuka untuknya. Tapi, hai bagaimana dengan Tan It-ho yang
selalu membuntuti kemana perginya itu? Terkilas dalam ingatannya, bahwa peristiwa
dirinya dengan Bek Lian dan Kit-bong-to itu, hanya Tan It-ho seorang yang
mengetahuinya. Tiga hari kemudian apabila Bek Lian tersedar, ia tentu tak sudi
diperisteri Kit-bong-to. Berurusan dengan seorang liar ganas macam Kit-bong-to, Bek
Lian tentu akan kehilangan jiwanya. Ini berarti suatu penuduh atau saksi yang kuat,
telah lenyap. Tapi masih ada seorang saksi lagi, jakni Tan It-ho. Bukankah dia bakal
merupakan bahaja besar terhadap dirinya dikemudian hari?
Adanya Bek Lian sampai jatuh hati, adalah karena menampak wajah The Go itu sangat
cakap. Memang benar, Cian-bin Long-kun The Go itu seorang pemuda yang cerdik,
tampan dan gagah. Tapi sayang, hatinya berlawanan dengan wajahnya: licik, culas dan
ganas. Asal yang menguntungkan dirinya, apapun dia sanggup melakukan. Kini
keputusan telah dijatuhkan. „Toa-ko, kemarilah, memang disini terdapat sesuatu yang
luar biasal"
Tan It-ho menghampiri, bermula dengan wajah ber-seri girang, tapi pada lain saat, dia
segera mengeluh dalam hati.
„Hiante, aku tak mau benda itu. Hiante boleh memakannya semua!" serunya dengan
gugup. „Ah......., mengapa berkata begitu ?" The Go tertawa. Semula Tan It-ho merasa
lega mendengar nada ucapan The Go, namun dia tetap mau menyingkir saja. Tapi baru
tubuhnya berputar, tiba2 matanya disilaukan oleh sebuah sinar hijau kemilau. Sinar
yang hijau kemilau itu ternyata adalah sinar pedang Kuan-wi, tanpa disangka .........
tahu2 sudah menembus tenggorokan Tan it-ho.
GAMBAR 54
Mendadak sinar hijau berkilau dan tembuslah
tenggorokan Tan It-ho oleh pedangnya The Go yang keji.
Begitu pedang itu ditarik, kaki The Go berbareng diajunkan kemuka, dan
...........bum ..... tubuh Tan it-ho terhampar sampai setombak lebih jauhnya.

Tan it-ho adalah seorang durjana yang licik sekali, tapi toch dia harus mati ditangan
durjana lainnya juga. Dan yang paling tragis, dia yang merencanakan sehingga The Go,
berhasil memiliki pedang pusaka itu, tapi dia pula yang merasakan buah dari perbuatan
keji itu. Memang tepat apa yang dikatakan oleh sebuah peribahasa: „Barang siapa yang
memasang lubang jebakan, dia sendiri tentu akan terperosok kedalamnya."
Habis menyelesaikan saudaranya angkat, dia mencoba ketajaman pedang Kuan-wi dan
hai......, kiranya batu itu dapat dipapas dengan mudahnya. Dengan 3 kali bacokan, dia
papas empat ujung dari batu itu. Tapi ketika dia mulai hendak membelah, disebelah sana
kedengaran jeritan Yan-chiu, memberitahukan kepada Tio Jiang tadi. Malah untuk
kekagetannya, Kui-ing-cu dan Nyo Kong-limpun ikut serta. Cepat2 dia kerjakan
pedangnya. Berkat ketajaman pedang kuan-wi, dalam beberapa, detik saja batu itu hanya
tinggal satu elo pesegi besar, tapi pada saat itu Tio Jiangpun keburu sudah datang.
Saking gugupnya, The Go segera bawa batu itu bersama melarikan diri.
Tio Jiang juga tak kurang gugupnya. Celaka, kalau, mustika. itu sampai termakan The
Go, dia tentu laksana harimau tumbuh sajap, makin ke-liwat2 ganasnya. Apalagi
didorong oleh kemarahannya bahwa Bek Lian tentu sudah ditukar dengan pedang pusaka
yang dicekal siorang muda itu, maka sekali enyot sang kaki Tio Jiang maju
meneryangnya. Tapi si The Go sudah mendahuluinya lari. Selagi dia mengejar dari
sisihnya terasa ada angin menderu. Ketika diperdatakan, kiranyja itulah Kui-ing-cu yang
hendak mendahuluinya. Sudah tentu hatinya, sangat legah.
Sebaliknya ketika The Go berpaling kebelakang, kagetnya bukan kepalang. Dia masih
membawa batu besar yang 'tak kurang dari seratus kati beratnya. Kalau kali ini
tertangkap musuh, jiwanya tentu melayang. Tiba2 dilihatnya majat Tan It-ho membujur
ditengah jalan. Cepat majat itu disongkeInya dengan kaki, terus dilemparkan kearah Kui-
ing-cu.
Kali ini Kui-ing-cu yang cerdik, terpaksa mengakui kelicinan The Go.
Pertama Kui-ing-cu mengira, kalau The Go, itu hanya seorang diri.
Kedua disebabkan hari malam, jadi tak dapat melihat dengan jelas.
Maka tubuh Tan It-ho yang melayang itu dikiranya adalah si The Go yang akan
menyerangnya. „Bagus!" seru Kui-ing-cu sembari menyingkir kesamping. Sekali berputar
dia kirim sebuah hantaman, bluk...... dada The Go" kena terhantam tepat sekali, sehingga
pekakasnya dalam menyadi porak poranda terhampar ditanah. Tapi Kui-ing-cu segera
menyadi curiga. Masa orang diam saja dipukul, tiada menghindar tiada menangkis. Maka
dipereksanya tubuh itu dan ,Hai, ini Tan It-ho bukan The Go!" tiba2 Tio Jiang yang itu
saat sudah datang mendahujui bertereak.
Kui-ing-cu terbelalak. Dengan banting2 kaki, dia menggeram: „Hem, mana bisa dia lolos
dari tanganku? Hajo, kita berpencar mencarinya!" Tio Jiang, Yan-chiu dan Nyo Kong-lim
segera turut perentah itu.
Mereka berempat mengadakan penyelidikan yang teliti sekali diempat penyuru. Namun
bagaimana juga, pegunungan Sip-ban-tay-san itu sangatlah liar, rumputnya hampir
setinggi orang, apalagi diwaktu malam, jadi sukarlah untuk mencarinya. Hampir dua jam
lamanya, mereka tak memperoleh hasil suatu apa. Terpaksa mereka balik ketempatnya
semula lagi. „Sungguh ku tak nyana, dikolong langit ini masih ada orang yang sedemikian
cerdiknya," kata Kui-ing-cu, suatu pengakuan yang betul2 keluar dari setulus hatinya.
Karena tiada daja untuk menemukan jejak The Go, terpaksa mereka hendak mencari
penduduk disitu, guna minta keterangan tempat kediaman suku Thiat-theng-biau itu.
Tapi ketika berjalan baru beberapa puluh tindak, kedua ekor orang utan itu mendadak
berhenti, hidungnya berkembang kempis. „Hai, mengapa kamu berdua tak mau jalan?"
seru Yan-chiu terus hendak memukul kedua binatang itu.
Mendengar itu, pikiran Kui-ing-cu bekerja. Alat pembau dari binatang itu tentu jauh lebih
tajam dari manusia. Biar bagaimana The Go tentu takkan dapat menyingkir jauh dari
situ. Hanya karena suasana tempat itu yang sangat lebat, jadi mereka tak dapat
menemukan. Tapi rasanya kedua orang utan itu tentu dapat mencium bau orang
buronan tersebut. „Bukankah kamu mencium bau orang? Dimana dia?" ujar Kui-ing-cu.
Seperti mengerti ucapan orang, Toa-wi dan Siao-wi segera lari kemuka. Hanya sebentar
saja kedua binatang itu mencabuti semak2 puhun, atau dibalik sebelah sana tampak
sebuah mulut goa kecil. Kui-ing-cu jakin kedua orang utan itu tentu sudah dapat
mencium jejak The Go. „Jaga mulut goa ini, yangan sampai orang itu lolos!" serunya pula
kepada kedua binatang.
Tio Jiang, Yan-chiu dan Nyo Kong-lim sangat benci sehali kepada The Go. Sudah tentu
mereka bertiga menyadi kegirangan sekali. Tapi ketika mereka hendak berpencar, tiba2
didengarnya Toa-wi menggerung kesakitan seraja mundur dengan lengannya kanan
berlumuran darah. Berbareng itu, tampak seorang mahasiswa tengah melesat keluar
sembari bolang balingkan pedang.
Bertemu dengan musuh lama, merah mata Tio Jiang, „Tahan!" serunya dengan gusar
seraja memungut dua buah batu kecil terus ditimpukkan kemuka. Mahasiswa yang
bukan lain adalah si The Go menangkis dengan pedangnya, tring, tring, kedua batu itu
tersampok jatuh. Tapi karena keajalannya sedikit untuk menangkis itu, maka Kui-ing-cu
sudah menghadang dibelakangnya. The Go sapukan pandangan mata keempat jurusan.
Tiba2 dia tertawa keras2 sambil menyarungkan pedangnya. Sikapnya berobah tenang
sekali.
Bajingan, kau ketawa apa? !" bentak Yan-chiu dengan marahnya. Namun The Go tetap
ketawa tak mau menghiraukan, malah kedua tangannya digendong dipunggung, seperti
orang tengah ber-jalan2 mencari angin saja.
Melihat The Go tak menyahut, Yan-chiu bertindak sebagai hakim dengan membeber
panjang lebar tentang kejahatan dan kedosaan orang itu. Dengan bakat lidahnya yang
tajam disertai kebenciannya kepada orang itu, maka Yan-chiu dapat menelanyangi
habis2an si Cian-bin Long-kun yang dipersamakan martabatnya sebagai babi dan anying
yang hina dina. Namun wajah The Go tetap tak berobah, hanya mengulum senyum
mengawasi saja. Begitu Yan-chiu sudah puas memaki, barulah dengan tenangnya dia
bertanya:
„Lalu nona hendak berbuat apa kepada aku orang she The?"
Yan-chiu tertegun. Tak kira ia kalau orang muda itu sedemikian tebal kulit mukanya.
„Bunuh mati sampah masjarakat macam kau ini!"
The Go tertawa gelak2, matanya ber-kilat2 melirik kearah empat orang itu. „Silahkan
nona turun tangan!" sahutnya dengan tenang. Sepasang tangannya pun tetap masih
digendong dipunggung, seperti orang yang sudah ichlas menyerahkan nyawa.
Yan-chiu sudah gerakkan tangan hendak menghantam, tapi demi tampak The Go diam
saja, ia tertegun bentaknya: „Bangsat, kenapa kau tak mau menangkis ?" The Go ketawa,
sahutnya: „Bukankah nona tahu kalau sepasang tangan itu sukar melawan delapan
tangan, bukan? Aku hanya, seorang, fihakmu ada 4 masih ditambah dengan dua ekor
orang utan itu. Perlu apa aku harus lakukan kerjaan yang sia2? Lebih baik lekaslah
bunuh orang she The ini, agar yangan sampai ditertawai kaum persilatan nanti!"
Yan-chiu tak dapat berkutik dengan tangkisan mulut yang tajam, itu. Sebaliknya Kui-
ing-cu segera bertanya: „Dimana kau sembunyikan mustika batu itu ?"
Cukup diketahui oleh The Go bahwa diantara keempat orang itu, hanya Kui-ing-cu ini
yang paling lihay sendiri. Mendengar pertanyaan itu, pura2 dia bersikap kaget. „Hai, jadi
mustika batu itu kepunyaan lo-cianpwe ?" tanyanya. Kui-ing-cupun terbungkam dengan
mulut si The Go, siapa kedengaran berkata lagi dengan tertawa: „Testamen Tat Mo Cuncia
yang mengatakan 'barang siapa berjodoh dialah yang menemukan' itu bohong belaka.
Kiranya siapa yang lebih kuat, dialah yang berhak mendapatkan!"
Tu lihat ketajaman lidah Cian-bin Long-kun. Orang mengira dia sungguh2 meng-olok2
Tat Mo Cuncia, tapi maksud yang sebenarnya dia menuduh Kui-ing-cu berempat itu
sudah mengandalkan kekuatannya berjumlah banyak, hendak merampas hak orang lain.
Lagi2 Kui-ing-cu terkancing mulutnya. Kalian berempat, mengapa tak lekas2 maju
mengerojok aku?" tanyanya pula dengan sinis. The Go faham, bahwa musuhnya
berempat itu adalah orang2 persilatan yang menyunyung kesusilaan adat persilatan
sengaja dia keluar kata2 itu, supaja mereka yanggan mengerojok, tapi satu lawan satu
saja.
„Orang she The, yangan berlagak, biarlah aku seorang yang menyadi wakil!" tiba2 Tio
Jiang yang jujur, berseru. Pernyataan itu diluar persangkaan The Go, maka ia pun tak
mau sia2kan ketika yang baik itu lagi, tanyanya „Siaoko, apakah ucapanmu itu boleh
dipercaja?"'
„Tentu!" sahut Tio Jiang dengan kontan, tapi berbareng dengan itu Kui-ing-cu sudah
memperingatnya: „Siaoko, yangan kena perangkapnya!" Tapi peringatan Kui-ing-cu itu
sudah kalah dulu dengan janyinya tadi, apalagi disana The Go sudah menyurah dengan
menghaturkan kemenangannya: „Sam-wi, dengarlah. Pada saat ini aku orang she The
hendak bertempur satu lawan satu dengan murid Ceng Bo sdangjin, mati hidup terserah
pada nasib, masing2 tak boleh penasaran!"
Dengan ucapannya itu The Go hendak desak Kui-ing-cu, Nyo Kong-lim dan Yan-chiu
yangan menghalangi pertandingan itu. Yan-chiu deliki mata pada sang suko, yang
dianggapnya, keliwat sembrono hingga termakan tipu musuh. Tapi Tio Jiang tak
menghiraukan. Biar bagaimana, dia hendak mengadu jiwa pada orang yang sangat
dibencinya itu.
Tio Jiang tak mau buang banyak tempo. Begitu sepasang tangan dirangkapkan kedada,
dia segera lancarkan pukulan pertama. The Go menghindar kesamping, tangan kiri
mendorong maju sedang tangan kanan melolos pedang Kuan-wi. Dengan gerak heng-soh-
cian-kun, menyapu ribuan lasjkar, dia babat pinggang orang. Karena kepolosannya," Tio
Jiang tak mengira kalau begita bergebrak musuh terus hendak gunakan senyata. Karena
jaraknya begitu dekat, sudah tentu dia tak keburu menghindar. Pinggangnya serasa
nyeri, ketika tangannya meraba kiranya berlumuran kena darah. Ter-sipu2 dia mundur
3 langkah untuk memereksa lukanya. Pinggang itu terluka antara 3 inci dalamnya,
sjukur hanya terluka luar saja.
Dengan mata menyala-nyala, Nyo Kong-lim bertiga mengawasi Tio Jiang. Tapi mereka tak
dapat berbuat apa2, karena didesak oleh kata2 The Go yang tajam. Melihat serangannya
pertama berhasil, The Go tak mau memberi hati. Bergerak maju, dia menusuk keulu hati.
Dengan tahankan kesakitannya, Tio Jiang beralih kesamping seraja ajunkan sepasang
tangan, yang kanan memukul batok kepala dengan tok-biat-Huasan, yang kiri dengan
gerak siao-kin-na-chiu mencengkeram siku tangan kanan musuh. The Go tertawa, tiba2
dia rubuhkan diri kesamping untuk menusuk perut lawan.
Tio Jiang kenal jurus itu sebagai „menarik penampan mengambil poci" dari ilmusilat
hong-cu-may-ciu. Setelah mempelajari ilmusilat itu, Tio Jiang bertekun mempelajari sari2
keindahannya, maka diapun tak gentar menghadapi serangan macam begitu. Bukannya
menghindar, dia berbalik malah gunakan ilmu, tendangan wan-yang-lian-hoan,
menendang keatas.
Selagi The Go bersorak dalam hati melihat lawan diam saja, tiba2 sepasang kaki melayang
kedadanya. Benar kalau dia teruskan tusukannya, lawan pasti akan terjungkal, tapi
sendiripun akan, pecah kepalanya, Sudah tentu dia tak mau. Tangan ditarik kebelakang,
terus diganti dengan jurus it-ho-jong-thian (burung ho menobros langit) untuk membabat
kaki lawan. Sambil bertahan, menyerang. Demikian ke.gunaan jurus yang lihay itu.
Dia lihay, tapi iImu tendangan, musuh lebih lihay lagi. Tendangan tadi hanya kosong,
begitu musuh robah serangan, diapun menghadapinya dengan lain gaja. Setelah dengan
cian-kin-tui (tindihan seribu kati) tubuhnya menurun, lalu dilanyutkan dengan ko-chiu-
poa-kin (puhun tua melingkar akar) menyapu kaki lawan, bluk........ terjungkallah The
Go dengan telak sekali. Bahkan lukanya, lebih sakit dari luka pinggang Tio Jiang tadi.
Memang tadi dia hanya, tumpahkan perhatiannya kearah gerakan sang pedang, jadi per-
tahanan kaki kosong, ini dapat dimasuki Tio Jiang secara tepat sekali.
Tapi sesaat itu Tio Jiang rasakan lukanya gatal, tapi tidak sakit. Tapi dia tak mempunyai
banyak waktu untuk memereksanya, karena kala itu The Go sudah siap menghadapi lagi.
Pertempuran kali ini makin seru dalam tempo yang cepat. Sekejab saja sudah
berlangsung belasan jurus. Jurus2 'an' dilancarkan oleh masing2 fihak, jurus berbahaya
semua. Malah ada beberapaa kali, kedua seteru itu se-olah2 hendak mati bersama.
Serangan Tio Jiang makin lama makin dahsjat. Ilmu 1wekangnya kini sudah melebihi
The Go, jadi sekalipun orang she The itu membekal pedang pusaka, namun dia tak dapat
berbuat banyak. Tapi lewat beberapa saat lagi, hati Tio Jiang terasa bingung, tenaganya
berkurang. Melihat The Go hendak menyapu kakinya, dia malah menurunkan tubuh se-
olah2 hendak mendekati maju. Justeru dia lewat disisi Yan-chiu siapa kedengaran
berseru keras: „Suko, mengapa, luka dipinggangmu itu darahnya berwarna hitam?"
Tio Jiang terkesiap dan berbareng rasa gatalpun menyerang hebat. Habis melancarkan
pukulan, tenaganya terasa habis. The Go biarkan pundaknya dihantam, tapi diapun
berhasil menusuk pundak lawan. „Bangsat, mengapa kaupolesi racun pada senyatamu?"
damprat Tio Jiang sembari surut kebelakang. Apa? Baru kemaren saja senyata ini
kuterima, bagainiana aku dapat meberinya racun? Jiwamu tak dapat ditolong, yangan
penasaranlah!" sahut The Go.
Juga Kui-ing-cu melihat keanehan luka Tio Jiang. Demi tampak Tio Jiang tertusuk lagi,
cepat sekali dia sudah ulurkan tangan untuk mencengkeram tangan The Go. Sekali pijat,
The Go rasakan lengannya kesemutan dan pedangnyapun jatuh ketanah. „Ha...., ha....,
memang telah kukatakan tadi, orang gagah itu paling susah menghadapi kerojokan!" The
Go berbalik ketawa dengan tak gentar.
„Cuh....." Kui-ing-cu menyemburkan ludahnya kearah The Go. „Kau anggap dirimu itu
orang gagah dari mana?"
The Go miringkan kepala untuk menghindar, tapi tak keburu. Mukanya serasa panas
membara, nyerinya bukan alang kepalang. Benar dugaannya tadi, tokoh ini jauh lebih
sakti dari Ceng Bo siangjin. Untuk menghadapinya harus gunakan diplomasi lidah yang
tajam. ,Bukantah tadi engkoh Tio itu sendiri yang mengatakan hendak bertepur satu
lawan satu. Kalau sememangnya dia rendah kepandaian, memangapa aku yang
dipersalahkan?"
Kui-ing-cu kendorkan cengkeramannya dan sekali dorong, The Go terlempar jatuh
sampai setombak lebih jauhnya. Setelah itu dia inyak pedang Kuan-wi tadi, dia
mengancam: „Hai, anak muda yangan lari! Lekas ambilkan obat pemunah bisa!"
Ketika memereksa luka Tio Jiang, didapatinya sang daging sudah merekah, penuh
digenangi dengan air hitam, Cepat2 Kui-ing-cu tutup jalan darah ditiga bagian. Tio Jiang
rubuh ditanah tak dapat berkutik. Hati Yan-chiu serasa hancur, sambil memereksa luka
itu ia menyesali sang suko: „Mengapa kau begitu gegabah? Kalau kita berempat maju,
masa The Go akan dapat berkutik. Andaikata hendak berkelahi satu lawan satu, toh juga
harus Kui lo-cianpwe yang maju. Kau tangan kosong, diia mempunyai pedang pusaka,
kan sangat berbahaya sekali!"
Tio Jiang diam saja dilleyleri Sang sumoay itu. Karena diet merasa salah tadi sudah
keliwat sembrono. Ja, maklumlah karena dia sngat benci sekali kepada orang she The
All. Pada saat itu, kaki dan tangannya kiri serasa mati-rasa, jadi diet tak
menghiraukannya. ,Siao-ah-thau, sudahlah. Karena siaoko sendiri yang menghendaki,
jadi kalau harus binasa itupun sudah lajak, tak perlu kau sesalkan!" Kui-ing-cu
Mendengar Kui-ing-cu mengucap begitu, Yan-chiu terbeliak matanya tak dapat ber-kata2
lagi. Sebaliknya disebelah sana, The Go yang juga dapat mendengarnya, segera
menimbrung: ,Memang paraa cianpwe dalam dunia persilatan itu selalu menyunyung
kepercajaan dan janyi. Nah, aku yang rendahpun hendak minta diri."
Habis mengucap, dia terus hendakk angkat kaki, tapi dilarang oleh Kui-ing-cu.
„Aneh, bukankah kita sudah janyi? Bukankah telah dijanyikan terlebih dahulu ?" tanya
The Go pura2 heran.
,,Benar, memang yang telah dijanyikan tadi jalah fihak kita takkan maju 4 orang sekali
gus, tapi tidak dijanyikan tentang adanya kedua ekor orang utan itu, bukan?" sahut Kui-
ing-cu bergelak tawa.
The Go melirik kearah binatang yang dimaksud itu Bersoraklah dia didalam hati. Yang
besar tadi, telah termakan tusukan pedangnya. Disebabkan, karena tubuhnya kuat, jadi
binatang itu masih dapat bertahan. Tapi saat bekerjanya racun itu, rasanya tak lama lagi.
Masih seekor yang kecil, kiranya mudah diatasi. „Jadi binatang itupun mau coba2 juga?"
tanyanya dengan sinis.
„Hm.....," Kui-ing-cu perdengarkan dengus hidung karena geramnya, yang besar sudah
kena tusukanmu, tak usah berkelahi. Cukup kau melawan yang kecil saja!" Habis ituu
dia lalu memberi aba2 pada Siao-wi, sikecil: „Siao-wi, robeklah orang itu!"
Melihat kakaknya terluka, Siao-wi marah. Begitu menerixna perintah Kui-ing-cu dia terus
melangkah dan menghantam. Tapi baru sampai ditengah jalan, dirobah menyadi sebuah
tamparan kearah kepala. Itulah jurus pertama dari ilmusilat ,Mondar mandir". Sudah
tentu hilang semangat The Go dibuatnya. Karena pedang kuan-wi masih diinyak oleh
Kui-ing-cu, jadi terpaksa dia menghindar kesamping.
Diluar dugaannya, walaupun tubuh orang utan itu keliwat besar, tapi gerakannya tetap
lincah tangkas melebihi orang. Serangan pertama luput, serangan kedua sudah
menyusul. Dua belah tangannya yang besar dipentang untuk berbareng menghantam
The Go. The Go ke-heran2an, masakan orang utan dapat bersilat. Cepat dia rogoh keluar
kipas terus maju menurun untuk menutuk jalan darah ki-hay-hiat dirusuk sibinatang.
Kalau Siao-wi belum mempelajari ilmusilat „Ih-jin-kun" (Silat si Tolol), mungkin kala itu
dia akan sudah dapat ditutuk. Ilmusilat itu terdiri dari 7 jurus yang dapat digunakan
untuk bertahan dan menyerang. Jurus kedua tak kena, jurus ketiga sudah menyusul
lagi, kini menyotos kepala lawan. Sebelum The Go sempat melancarkan tutukannya,
belakang kepalanya terasa ada angin menyambar. Saking kagetnya, dia menyelinap
masuk di-sela2 kaki sibinatang untuk memberosot lari kebelakang. Kemudian disitu, dia
memutar diri dan menutuk jalan darah wi-liong-hiat.
Biar bagaimana, Siao-wi itu tetap seekor binatang. Begitu serangannya ketiga tak
mengenai, diapun heran mengapa musuh tak kelihatan disebelah muka. Tapi secara
otomatis, diapun mainkan juga jurus yang keempat dan ini sudah tentu memberi
keuntungan pada The Go. Sekali menghantam dan menusuk, dapatlah The Go mencapai
tujuannya..........
(Bersambung Ke Bagian 29)
BAGIAN 29
KALAH DAN MENANG
Kalau lwekang The Go tangguh, tutukan dan pukulan itu tentu akan sudah dapat
menyelesaikan Siao-wi. Tapi nyatanya tidak, karena Siao-wi hanya menderita kesakitan
hebat dan mengaum keras dengan geramnya. Begitu memutar, dia terus main terkam.
Sakit tadi telah menyebabkan ke 7 jurus ilmusilat „Ih-jin-kun" hilang dari ingatannya.
Gerakannya kini tidak menyerupai lmusilat lagi dan karena itu dalam beberapa saat saja,
ia telah menerima lagi beberapa hantaman. Adalah karena kulitnya keras, jadi
kesemuanya itu tak dihiraukan.
Pada fihak The Gopun tak kurang gelisahnya. Terang tadi dia sudah berhasil menutuk
jalan darah wi-liong-hiat, tapi mengapa binatang itu tak kurang suatu apa. Melirik kearah
Kui-ing-cu didapatinya tokoh lihay itu masih menginyak pedang kuan-wi. Ah, rasanya
pedang itu sukar kembali ketangannya, mengapa tak kabur saja ? Mustika batu itu sudah
dia sembunyikan dalam suatu tempat yang tak nanti diketemukan oleh keempat orang
itu. Setelah rencana ditetapkan, dia mengolok Tio Jiang: „Engkoh Tio, lewat dua hari lagi
Lian sucimu akan melangsungkan perkawinan dengan kepala suku Thiat-theng-biau si
Kit-bong-to. Apa kau tak ingatan datang meminum arak-kebahagiaannya ?"
„Dimana tempat kediaman suku Biau itu ?" tanya Tio Jiang tersentak kaget.
„Disamping dari Tok-ki-nia, pada puncak yang ketiga, terdapat sebuah batu yang bercat
hitam tiada tumbuhan rumput sama sekali, itulah ........tempatnya !"
Mendengar itu Tio Jiang terus serentak akan berangkat, tapi ditertawai Kui-ing-cu: „Usah
begitu kesusu, kan masih ada 2 hari. Biarkan anak itu mati konyol lebih dahulu."
„Rasanya tak mudah!" kedengaran The Go menyeringai, lalu menghantam pula pada Siao-
wi sampai mundur, baru, berkata lagi: yang nyata, raci4p pedang itu sudah bekerja,
dikuatirkan meskipun obat pemunah ada tapi sudah, kasip!"
Perang urat sjaraf si The Go itu, memaksa Kui-ing-cu, harus memperhatikan Tio Jiang.
Daging pada bagian lukanya itu memang sudah berwarna hitam, benar seperti yang
dikatakan si The Go. „Bangsat, kau harus turut serta ke Thiat-nia sana, kemudian setelah
balik kemari lalu bertempur lagi dengan Siao-wi. Coba kumau tahu, kau mati lelah, tidak
nanti!" seru Kui-ing-cu.
The Go menginsjafi bahwa untuk lolos, tak semudah seperti yang direncanakan.
Satu2nya harapan jalah mengulur, waktu, mudah2an nanti terjadi perobahan yang tak
terduga. „Janyi adalah janyi! Pergi ja pergi, perlu apa harus kuatir!" sahutnya.
Kui-ing-cu tak mengira sama sekali kalau si The Go berani memberi penyahutan begitu,
mengartikan ucapannya (Kui-ing-cu) tadi suatu janyi. Sebagai seorang cianpwe, diapun
tak mau kalah hawa. Disuruhnya Siao-wi berhenti, dan menggendong Toa-wi, sedang Nyo
Kong-lim memanggul Tio Jiang. Sekali menyentik dengan ujung kaki, maka pedang kuan-
wi segera disongsongnya dan mulutnya memerintah: „Berikan sarungnya!"
Tanpa ragu2 The Go lemparkan sarung itu kepada Kui-ing-cu, siapa setelah memasukkan
pedang kedalamnya lalu menyerahkan pada Yan-chiu: „Jaga baik2, yangan sampai kena
diselomoti oleh bangsat itu!"
„Apa dia bisa?" bantah Yan-chiu. „Ah......, yangan pandang rendah dia!" bentak Kui-ing-
cu. Mendengar itu, The Go tertawa, ujarnya: „Terima kasih, locianpwe begitu
menghargakan pada orang she The ini!"
„Hm .......," Kui-ing-cu mendengus, lalu menggusur The Go dan, menyuruhnya berjalan,
menuju kepuncak Thiat-nia tempat kediaman suku Thiat-theng-biau.
Menyelang terang tanah, sampailah mereka kesana. Ternyata suku Thiat-theng-biau itu
mengasingkan diri dengan, dunia luar. Orang asing dilarang kesana. Hampir tiba
disarang mereka, kelima orang itu sudah disambut dengan 3 batang anak panah beracun.
Sjukur Nyo Kong-lim yang berjalan paling depan dapat menghalaunya. Menyusul dengan
itu, 3 orang Biau muncul, Melihat The Go datang lagi dengan membawa seorang gadis
(Yan-chiu), mereka menyadi hiruk pikuk sendiri. Oleh karena kelima orang itu tak
mengerti bahasa mereka, jadi digunakan bahasa isjarat tangan, yang maksudnya mereka
hendak mengunyungi kepala suku. Rupanya ketiga orang Biau itu mengerti, lalu
membawa mereka naik kepuncak.
Ketika tiba dipertengahan lamping gunung yang ternyata menyadi tempat kediaman suku
Thiat-theng-biau, terdengarlah genderang ramai dibunyikan. Beratus-ratus orang Thiat-
theng-biau tengah mengelilingi sebuah tonggak, pada tonggak mana diikat seseorang.
Ada 4 orang Biau, tengah main lempar2an tombak disisi orang itu. Begitu dekat sekali
tombak2 itu berseliweran disisi siorang, hingga orang yang melihatnya tentu akan
mengucurkan keringat dingin. Kira2 4 meter jauhnya dari tonggak itu, duduk seorang
Biau yang tubuhnya juga kate, tapi kepalanya besar. Dia tengah berteriak2 dengan
kerasnya.
Melihat wajah orang yang diikat itu, Tio. Jiang terus saja berteriak: „Lian suci!" - Orang
itu rupanya mendengar dan dongakkan kepala. Hai, memang Bek Lianlah adanya!
Mengapa ia sudah tersadar, padahal, obat bius Kit-bong-to yang terkenal manyur itu,
akan dapat menidurkan orang sampai 3 hari? Kiranya obat itu hanya tepat
kemanyurannya apabila digunakan terhadap orang biasa. Terhadap orang yang mengerti
lwekang macam Bek Lian, dalam dua hari saja, jakni pada hari kedua tengah malam, ia
sudah tersadar. Ini disebabkan ketika merasa limbung, cepat2 ia kerahkan lwekang
untuk menahan.
Sebaliknya hal itu malah membuat Kit-bong-to kegirangan. Seketika itu juga dia hendak
melangsungkan pernikahan. Sudah terang, Bek Lian menolaknya. Dalam perkelahian,
Kit-bong-to kena ditampar dua kali, saking gusarnya dia bersuit keras. Dalam sekejab
saja, ratusan orang Biau segera datang. Sudah tentu Bek Lian kalah dan lalu diikat pada
sebatang tonggak. Kit-bong-to perintahkan 4 orang untuk main lempar tombak. Biermula
jaraknya 2 meteran dari Bek Lian, tapi lama2 makin dekat. Ketika kelima orang tadi
datang, jarak itu hanya tinggal berapa dim saja.
Hanya sekali Kui-ing-cu enyot tubuhnya kedekat tonggak dan empat batang tombak itu
sudah terpegang ditangannya. Kit-bong-to serentak berbangkit dengan marahnya, tapi
serta dilihatnya dibelakang tetamu pengacaunya ada dua ekor orang utan, dia duduk
kembali. Suku Thiat-theng-biau bertetangga dengan „kerajaan" orang utan, jadi tahu
bagaimana kelihayan orang utan itu. Melihat ada setitik harapan, Kui-ing-cu pondong Tio
Jiang kemuka kepala suku itu. Sembari menunyukkan lukanya, dia gunakan bahasa
isjarat meminta obat.
Rupanya Kit-bong-to mengerti, dia tundukkan kepala memeriksa. Setelah mengucap
beberapa patah kata, dia lalu berbangkit pergi. Kui-ing-cu cemas, kalau kepala suku itu
tak mau memberi obat, celakalah anak itu. Tangkap penyahat, harus tangkap kepalanya,
demikian pikirnya. Dia memburu sembari gunakan siao-kin-na-chiu untuk menangkap
siku tangan Kit-bong-to. Tapi karena bagian tubuh itu dibungkus dengan rotan besi,
terkaman Kui-ing-cu itu tak dapat menekan uratnya. Malah sekali gerakkan tangan, Kit-
bong-to balas menghantam.
„Ho, kau berani memukul ?" damprat Kui-ing-cu menarikk se-kuat2nya, hingga Kit-bong-
to terbanting jatuh. Kui-ing-cu loncat menghampiri untuk menariknya bangun sembari
mempelintir tangannya kebelakang. „Ambilkan obat!"
Ternyata Kit-bong-to itu se-dikit2 juga mengerti bahasa Han. „Hohan, ampunilah jiwaku!"
dia meratap. Kui-ing-cu tertawa dingin serunya: „Siapa maukan....... " baru sampai disini,
tiba2 terdengar jeritan melengking, seperti suara Yan-chiu. Kiranya tadi karena hendak
buru2 menolong Bek Lian, dia sudah lepaskan The Go. Kala itu dengan sebatnya, The Go
segera menyerang Yan-chiu, siapa karena sedang memperhatikan sang suci, jadi sudah
tak keburu menghindar. Mukanya tertampar dan tahu2 pinggannya ditarik, sekali
hantam tali pengikat sarung pedang kuan-wi putus, dan pedang itu dengan cepatnya
sudah beralih ditangan The Go.
Saking gusarnya Yan-chiu sampai pucat pilas. Ia kirim dua hantaman, tapi terpaksa tak
berani meneruskan karena, The Go tangkis dengan pedang pusaka. Nyo-kong-lim
menggendong Tio Jiang, sedang Siao-wi memanggul Toa-wi, jadi mereka sama tak
berdaja. Kui-ing-cu sembari menangkap tangan Kit-bong-to terus hendak loncat
memburu, tapi dihadang oleh kawanan orang Biau yang sama mengepungnya. Mereka
hiruk pikuk berisik sekali. Beberapa kali Kuiing-cu hendak menobros, selalu gagal.
Selama berpuluh tahun berkelana didunia persilatan, baru pertamakali itu Kui-ing-cu
menyadi gelisah. ,Kit-bong-to, lekas suruh orang2mu mundur!"
Kit-bong-to sombong dan ganas. Dipelintir oleh Kui-ing-cu, dia sangat gusar sekali. Lebih
baik mati bersama daripada menyerah. Maka setelah bertereak beberapa kali, kawanan
orang Biau itu bukannya bubar, malah makin mengepung rapat2 pada keempat orang
itu. Ada beberapa yang men-julur2kan tombak, se-olah2 hendak menyerang. Sampai
pada saat itu, Kui-ing-cu benar2 habis kesabarannya. Bang...., bang....... sebuah batu
yang berada disebelah situ menyadi hancur. Kui-ing-cu gunakan seluruh kekuatannya
untuk menghantam dan betapapun kerasnya batu itu, achirnya porak lebur bertebaran.
Walaupun orang2 Thiat-theng-biau itu masih liar, tapi menghadapi kejadian sedahsjat
itu, mereka terperanyat jeri juga. Setelah ber-tereak2 secara aneh, tampaknya kepungan
mereka menyadi agak kendor.
„Lekas suruh orangmu ambil obat penawar racun, tentu kuampuni jiwamu. Kalau tidak,
masa kepalamu sekeras batu itu?" Kui-ing-cu mengancam. Baru kini Kit-bong-to
mengerti maksud kedatangan tetamunya itu. Daripada jiwanya, terancam, dia lekas
suruh orangnya mengambilkan obat itu.
Sewaktu Kui-ing-cu mengawasi kedalam rombongan suku Biau itu, The Go sudah tak
kelihatan bayangannya lagi. Dia banting2 kaki, karena sekali ini sukarlah untuk
membekuk anak muda yang licin itu. Yan-chiu tetap cemberut, tapi pada lain saat ia
tertawa, katanya: „Kita pergi tunggui dia ketempat tadi, masakan dia tak datang
mengambil mustika batu itu lagi?"
„Mungkin kalau lain orang, tentu berbuat begitu. Tapi Masakan The Go tak dapat
memperhitungkan kalau kita, tentu datang menungguinya disitu?! Yangan buang tenaga
sia2!" ujar Kui-ing-cu.
Yan-chiu tak dapat membantah kecuali memaki kalang kabut pada The Go. Tak antara
berapa lama obat telah diambilkan. Setelah diminumkan, Tio Jiang dan Tao-wi menyadi
sembuh. Kit-bong-to pun lepaskan Bek Lian.
Sampai detik itu, nona itu tetap belum mengetahui keculasan The Go. „Engkoh Go? Tadi
dia masih disini, mengapa tak kelihatan.?" tanyanya. Yan-chiu tertawa dingin menyahut
„Mana engkoh Gomu berani bertemu kau lagi? Dia tukarkan dirimu dengan pokiam dari
orang liar sini, mengapa kau masih tak tahu? „
Bek Lian terkesiap. Memang selama dalam perjalanan itu sikap The Go tak sewajarnya.
Tapi pada lain saat, ia tentang sendiri kecurigannya itu Siao Chiu, yangan omong
sembarangan. Biar kamu membencinya, tapi aku tidak !"
Melihat sikap Bek Lian yang keras kepala begitu, Kui-ing-cu dan Nyo Kong-lim geleng2
kepala. Kui-ing-cu paling benci terhadap orang yang bertingkah begitu, maka dia
dongakkan kepala tak melihatnya lagi. Tio Jiang coba menyadarkan, katanya dengan
nada ber-sungguh2 : „Lian suci, jika kau tetap mempercajai bangsat itu, celakalah
dirimu! „
„Yangan ngoceh tak keruan! Sewaktu hidup, aku menyadi orangnya. Kalau binasa, pun
aku akan menyadi setannya. Mengapa kau larang aku memperhatikan dia? Mamah
bilang, siapa saja yang mencegah hubungan kami berdua itu, dialah musuhnya!" sahut
Bek Lian dengan murka. Kui-ing-cu terpaksa terkejut juga. Menilik perangai yang aneh
dari Kang Siang Yan, tentu ia benar2 mengeluarkan pernyataan begitu. Apalagi nyonya
itu keliwat menyayangi puterinya, serta terpengaruh oleh rupa dan sikap baik yang
dibawakan oleh The Go.
„Siaoko," kata Kui-ing-cu kepada Tio Jiang dengan menghela napas, „kewajiban kita
untuk menolong orang sudah selesai. Kini mari kita cari suhumu saja. Pertemuan hari
pehcun sudah tinggal 10 hari lagi!"
Nyo Kong-lim setuju, karena dia benci juga kepada, Bek Lian yang kepala batu itu.
Sebaliknya dengan Tio Jiang, yang meminta sang suci supaja ikut rombongannya. „Siapa
sudi turut pada rombonganmu? Aku dapat mencari jalan sendiri!" serunya sembari
membalik tubuh terus turun kebawah. Mata Kit-bong-to beringas hendak mencegahnya,
tapi tak berani. Kui-ing-cu kedengaran menghela napas, serunya seorang diri: „Kalau
memang sejak lahir jahat, itu dapat dimaafkan. Tapi kalau kejahatan itu timbul dari
perbuatannya sendiri, tak pantas hidup didunia ini!"
Itulah kata2 Kui-ing-cu ketika dia berjumpa dengan The Go dan Bek Lian dihutan.
Mendengar itu hati Yan-chiu tergerak, tanyanya: „Bagaimana dapat dikatakan timbul dari
perbuatannya sendiri itu?"
Kui-ing-cu tak menyahut. Diam2 Yan-chiu mengacai perbuatannya sendiri. Ia mencintai
sang suko, tapi tak berani menyatakan terang2an, hingga sang suko tak mengerti,
akibatnya ia menderita sendiri. Adakah itu pantas digolongkan pada ucapan kedua dari
Kui-ing-cu tadi? Dalam berpikir begitu, dia mendongak mengawasi Tio Jiang. Demi
tampak apa yang dilakukan sang suko pada saat itu, hatinya tawar lagi. Kiranya saat itu
Tio Jiang tengah memandang kebawah, memaku pandangan matanya kearah bayangan
Bek Lian. Sepintas pandang, tampaknya memang Tio Jiang masih lekatkan hatinya
kepada sang suci, seperti yang diduga oleh Yan-chiu. Tapi sebenarnya tidak demikian.
Kalau dia mengawasi itu, hanyalah karena kuatir akan keselamatan sang suci, bukan
sebagai kecintaan tapi sebagai saudara seperguruan.
Oleh, karena sifatnya yang polos, dia sudah begitu berduka karena Bek Lian masih gelap
pikirannya. Sejak ketika dikaki Hoasan dia melihat Bek Lian dan The Go begitu mesranya,
dia sudah tersadar bahwa cinta itu tak boleh dipaksa, Sikap Bek Lian beberapa, detik
tadi, makin memperkokoh keinsjafannya. Teringat bagaimana selama itu dia begitu, ter-
gila2, dia geli sendiri. Tapi hal itu tak diketahui Yan-chiu, siapa masih menyangka dia
tetap menyintai sang suci.
Begitulah mereka berempat segera tinggalkan puncak Thiat-nia situ. Turut perhitungan
kala itu sudah tanggal 20, bulan 4, jadi tinggal setengah bulan lagi dengan waktu
pertemuan hari pehcun itu. Sebenarnya pertemuan atau tantangan berkelahi itu, dibuat
antara The Go dengan Kiao To. Tapi dalam setengah tahun ini, perkembangan menyadi
lebih bih luas, hinggaa banyaklah kaum persilatan yang hendak mencari The Go. Dalam
hal itu sudah tentu fihak Ang Hwat cinyin akan bertempur mati2an untuk menyaga
gengsi. Oleh karena itu selama dalam perjalanan, Kui-ingcu memberi gemblengan terus
pada ketiga orang itu.
„Siao-ah-thau, apakah kau mengerti apa ‘yang disebut daIam ilmu perang yang kosong
itu berisi, yang berisi itu kosong’ ?" tiba2 Kui-ing-cu menanyai Yan-chiu. Pikiran nona,
itu tengah penuh sesak dihimpit oleh ber-macam2 lamunan, maka sembarang saja ia
menyahut: „Sudah tentu tahu!"
„Bagus," seru Kui-ing-cu bertepuk tangan, kita duga The Go tentu tak sebodoh itu untuk
kembali mengambil mustika batu, maka kita putuskan tak pergi kesana. Tapi dia
memperhitungkan tindakan kita itu, jadi dia tentu datang kesana, benar tidak?"
„Benar!" sahut Yan-chiu tanpa berpikir lagi. Malah Nyo Kong-lim serentak sudah
menggembor. „Kita kesana lekas"'
Kala itu mereka sudah tiba dekat tempat pertempuran kemarin malam. Maka mereka
cepat membiluk ketimur menuju kesana untuk me-lihat2. „Toa-wi, Siao-wi periksalah
apa bangsat itu tadi bersembunyi disini?" tanya Yan-chiu kepada kedua piaraannya. Toa-
wi yang baru sembuh, pikirannya masih belum terang. Tapi Siao-wi segera membau
beberapa, kali mencari kesekeliling tempat situ, tapi tak dapat menemukan suatu apa.
Kui-ing-cu tampak berpikir. „Orangnya tidak ada, batu mustikanya tentu masih ada. Hajo
kita berpencar mencarinya," katanya. "Tapi keadaan gunung sini penuh dengan
bermacam batu, kemana kita harus mencari? Lebih baik saja dia disini sampai beberapa
hari, masa dia takkan datang ?" Yan-chiu membantah. Tapi Nyo Kong-lim" segera deliki
mata. „Andaikata dia tak datang, apa kau -akan menungguinya sampai setahun dua
tahun?" tanyanya. Oleh karena hati Yan-chiu sedang dilamun keresahan, jadi seenaknya
saja dia membalas: „Setahun dua tahun, takut apa ?"
Nyo Kong-lim yang kasar polos, sebaliknya malah memuji sambil tunyukkan ibu jarinya:
„Nona kecil, kau sungguh hebat. Baik, aku temani kau menungguinya disini!"
„Toacecu, tadi aku hanya bergurau saja, masa betul2 mau menungguinya sampai begitu
lama?" Yan-chiu sungkan sendiri dan menyusuli kata2nya. Sudah tentu Nyo Kong-lim
yang polos itu tak mengerti sikap sinona, lalu menggerutu: „Siao-ah-thau, mengapa kau
menyadi belut? Masa bicara bolak balik begitu ?"
Yan-chiu hanya ganda tertawa saja. Achirnya keempat orang itu sependapat tak usah
lama2 menunggui disitu. Oleh karena jejak Ceng Bo itu tak berketentuan tempatnya,
maka diputuskan mereka akan berpencar mencarinya. Baru saja mereka hendak angkat
kaki, tiba2 dari kejauhan terdengar suara melengking tajam, hingga membuat jantung
orang berdebur keras. Suara itu makin lama makin dekat dan tampak sebuah bayangan
berkelebat. Namun sesaat bayangan itu terlihat, secepat itu juga ada serangkum angin
keras menyambar datang. Saking kagetnya, keempat orang itu cepat2 menghindar.
Hanya Kui-ing-cu yang sempat pula melancarkan sebuah hantaman. Begitu dirasai
kekuatannya berimbang, tahulah ia dengan segera, siapakah yang datang itu. Baru dia
hendak membuka mulut, atau sudah kedengaran suara pukulan keras melancar.
Berbareng itu, Toa-wi dan Siao-wi mengaum keras.
Kiranya sipendatang itu begitu tiba sudah melancarkan 6 buah pukulan tanpa bersuara.
Kalau keempat orang tadi dapat lekas2 menyingkir, adalah kedua ekor orang utan itu
yang termakan, hingga ter-hujung2 mundur. Orang yang muncul itu, rambutnya terurai
jatuh diatas pundak dan bukan lain memang Kang Siang Yan adanya.
Melihat subonya, Tio Jiang dan Yan-chiu ter-Sipu2 hendak memberi hormat, tapi Kui-
ing-cu yang melihat gelagat jelek, buru2 menyerukan kedua anak muda itu supaja
berhati2. Memang jitu rabahan Kui-ing-cu itu! Baru kedua anak muda tadi berjongkok
kui memberi hormat, dengan tertawa seram Kang Siang Yan ajunkan sepasang
tangannya. Kanan untuk Tio Jiang, kiri kepada Yan-chiu. Yanchiu dengan tangkas sudah
enyot tubuh loncat keatas. Sebaliknya Tio Jiang yang kurang waspada, begitu tubuhnya
hendak berjongkok sudah ditendang oleh Kui-ing-cu sampai terpental setombak jauhnya.
Ini lebih enak bagi Tio Jiang daripada menerima hantaman Sang Subo, Sudah tentu
pukulan Kang Siang Yan itu jatuh ditempat kosong. Ia tertawa meringkik, ujarnya: „Kiu-
ing-cu yang jempol, mengapa kau seorang cianpwe yang terhormat, lakukan juga
perbuatan yang sedemikian rendahnya? Siapa lagi, tentu kau yang menyadi biang
keladinya. Hari ini thay-im-ciang hendak mengunyungi padamu!"
Kang Siang Yan, apa yang kau ocehkan itu?" balas Kui-ing-cu. Dia duga disitu tentu
terselip apa2 yang kurang beres. Tapi belum mengucap habis, pukulan tanpa-suara dari
Kiang Siang Yan yang hebat itu sudah menghantarnnya. Karena sudah pernah
merasakan kedahsjatan ilmu pukulan itu, Kui-ing-cu tak berani menyambut dan
melainkan mundur sampai beberapa tindak, lalu balas mengirim hantaman. Itulah ilmu
pukulan lwekang sakti juga yang disebut biat-gong-ciang. Kiang Siang Yan tak berani adu
kekerasan. Dengan melengking tajam dan rambutnya sama tegak berdiri, ia menurun
kebawah lalu menyelinap beberapa tombak. Dari situ kembali ia mengirim sebuah
hantaman kearah dada orang.
„Kiang Siang Yan, kau sungguh tak tahu aturan!" seru Kui-ing-cu sembari menyingkir
dari serangan orang. Tapi Kiang Siang Yan sudah susuli lagi dua buah serangan
berbareng dari tangan kanan dan kiri. Kelihayan dari serangannya itu, setiap hantaman
itu tidak mengeluarkan suara apa2, gerak perobahannya sangat cepat sekali, sehingga
orang tak sempat bernapas.
Kui-ing-cu juga seorang tokoh yang sudah tergolong dalam tingkat cianpwe. Tapi toh
dalam menghadapi serangan yang luar biasa itu, dia kelabakan juga. Terpaksa dia enyot
kakinya melambung keatas sampai 5 tombak tingginya. Tapi ternyata Kiang Siang Yan
tetap membayangi kemana perginya. Lawan loncat keudara, iapun menyusuInya. Tapi
kedudukan Kui-ing-cu yang berada disebelah atas lebih menguntungkan. Wut......,
sebuah hantaman dilancarkan turun. Kiang Siang Yan tak dapat berkelit, terpaksa dia
kibaskan tangannya kanan menangkis. Begitu kedua tangan saling berbentur, keduanya
sama berjumpalitan. Secepat kaki menginyak bumi, keduanya sama2 berputar tubuh
dengan sigap sekali. Kini kedua tokoh yang lihay itu saling berhadapan.
Mereka berdua adalah tokoh persilatan terkemuka pada jaman itu. Dalam sekejab mata,
tadi mereka sudah bergebrak dalam 3 jurus, semua terdiri dari jurus2 yang berbahaya
dan istimewa. Sudah tentu Nyo Kong-lim tahu diri. Tak berani dia turut campur karena
merasa kepandaiannya terpaut jauh sekali.
Kui-ing-cu, harini aku hendak membasmi suatu racun dunia, mengapa kau katakan tak
tahu aturan? Terhadap kawanan bangsat yang begitu keji macam kalian ini, perlu apa
harus pakai aturan ini itu ?" Kiang Siang Yan mendamprat tajam.
„Siapa yang kau namakan kawanan bangsat keji itu? Anak menantumu yang bagus itulah
tepatnya!" Kui-ing-cu marah2. Rambut Kiang Siang Yan menyigrak, bentaknya: „Yangan
ngoceh yang tidak2, kau mengapakan Lian-ji Itu?"
„Siapa yang tahu? Yangan2 sudah menghadap Giam-ong, juga mungkin!" sahut yang
ditanya. Bukan tak ada sebabnya Kiang Siang Yan mencari rombongan Kui-ing-cu itu. Ia
bukan seorang wanita yang stika bergurau, sebaliknya Kub ing-cu adalah tokoh yang
gemar ber-olok2. Maka olok2Kuiing-cu itu telah dianggap sesungguhnya oleh Kiang Siang
Yan. „Kalau begitu, kalian harus mengganti jiwa. Kamu berempat tiada seorangpun yang
boleh pergi!" mulutnya me ngancam bengis, sedang tubuhnyapun sudah lantas melesat
rneneryang Nyo Kong-lim bertiga. Begitu cepat serangan itu dilancarkan, sehingga ketiga
orangjtu talc sempat menghindar dan tahu2 kena tertutuk rubuh. Dan tak kurang
sebatnya pula, Kiang Siang Yan sudah lancarkan pukulan thay-im-ciang kepada Kui-ing-
cu. Gerakan yang sedemikian tangkas dan hebat itu, sungguh sukar dicari
bandingannya. Mungkin Lam-hay Hu Liong Bo pada jamannya, tak sedemikian Iihaynya.
Belum Kui-ing-cu hilang kagetnya karena tak dapat menolong ketiga kawannya yang
tertutuk rubuh itu, atau dia sendiri sudah terima serangan yang dahsjat. Terpaksa dia
gunakan tangkisan istimewa. Begitu menangkis, berbareng tangannya yang satu
menghantam, gerakan itu waktunya sama. Tapi lawanpun berbuat sama. Serangan
pertayma tadi disusul dengan kedua. Blak.......dua buah pukulan saling berbentur
dengan hebatnya. Dua buah jari Kiang Siang Yan bengkok kesamping hendak menutuk
jalan darah yang-ko dan yang-ti lawan. Sebaliknya kelima jari Kui-ing-cu dikatupkan
menyadi tinyu. Begitu diturunkan untuk menghindar tutukan, lalu diteruskan menyotos
dada orang. Kiang Siang Yan tak berani menangkis dam tak sempat pula menghindar.
Terpaksa ia tarik pulang kedua tangan untuk mengacip lengan lawan. Sudah tentu Kui-
ing-cu tak mau membiarkan tangannya diperbuat begitu. Sekali enyot kaki, dia loncat
mundur. Demikianlah dalam sekejab waktu saja, kedua seteru itu mulai lagi merapat
maju. Dan 4 jurus kembali sudah dilancarkan.
Dalam pertempuran selanyutnya, Kui-ing-cu harus mengakui kelihayan wanita gagah itu.
Thay-im-ciang dilancarkan ber-tubi2 bagaikan hujan mencurah, hingga sukar dibedakan
mana yang isi mana yang kosong. Kui-ing-cu terpaksa harus tumplek perhatian untuk
menyaga bagian tubuhnya yang berbahaya. Tak jarang selama dalam pertempuran itu
keduanya harus adu benturan, dan setiap kali Kui-ing-cu selalu mendapat kesan bahwa
tenaga lembek dari Iwekang musuh itu hebat sekali. „Kelemahan dapat menundukkan
kekerasan," demikian dalil yang berlaku dalam ilmu lwekang. Kiang Siang Yan dapat
menguasai sari kelemahan lwekang itu, pertanda kalau lwekangnya sudah mencapai
tingkat kesempurnaan yang teratas. Sayang adatnyapun berobah sedemikian
eksentriknya. Selama kedua tokoh itu bertempur dengan Serunya, ketiga orang yang
ditutuk tadipun telah dapat pulih lagi.
Yang pertama mendapat kepulihannya adalah Tio Jiang, siapa lalu menolongi Nyo Kong-
lim dan Yan-chiu. Setelah itu dia menghampiri kedua tokoh yang sedang asjik bertempur.
„Suko, kau hendak mengapa?" tanya Yan-thiu. Tapi Tio Jiang tak mau menyahut.
Menghampiri kesisi gelanggang, dia berseru. „Subo, sukalah dengarkan omongan ku
sebentar."
Kiang Siang Yan tengah pusatkan perhatiannya menempur Kui-ing-cu. Demi melihat
kedatangan Tio Jiang, dia terperanyat juga. Diam2 ia merasa heran, mengapa begitu
cepat anak itu telah mendapat kepulihannya. Benar tutukannia tadi tidak berat, tapi toh
cukup membuat orang lemas sampai berapa jam, Yangan2 anak itu memiliki kepandaian
istimewa, sekarang, demikian pikirnya. Memang sejak mempelajari ilmu thay-im-lian-
seng, ia berobah menyadi seorang yang banyak curiga. Oleh karena pikirannya hendak
mencari tahu, gerakannya terpengaruh menyadi lambat. Wut....., hampir saja ia
termakan pukulan Kui-ingicu, untung ia masih bisa, loncat meloloskan diri, walaupun
dengan susah pajah.
Kini Kiang Siang Yan tak mau menghampiri Kui-ing-cu lagi, sebaliknya, menyongsong
kedatangan Tio Jiang, Karena tak mengandung maksud jahat, jadi Tio Jiangpun tak jeri.
Diam2 ia, mengetahui kalau anak itu telah memiliki dasar ilmu lwekang yang kokoh, ini
terbukti dari pancaran matanya yang ber-api2, heran ia dibuatnya karena terang yang
pasti saja, tentu bukan Hay-te-kau atau suaminya itu yang mengajari, sebab setahunya
sang suami itu tak memiliki lwekang macam begitu. „Apakah kepandaianmu sekarang
ini, suhumu yang mengajarkan?" tanyanya dengan dingin.
Terhadap sang suhu, Ceng Bo siangjin, Tio Jiang telah mengabadikan hormat dan
ketaatannya. Tanpa ragu2 lagi dia menyahut: „sudah barang tentu, subo.......... "
„Hem....., didalam rumah keluarga In, mana ada pelajaran lwekang jahat macam
kepunyaanmu itu!" tukas Kiang Slang Yan serentak. Kiranya pelajaran dari Hay-te-kau
itu adalah warisan dari keluarga In, ialah ajah Kiang Siang Yan. Sebenarnya kepandaian
itu merupakan warisan keluarga In, tak pernah diturunkan pada orang luar. Tapi karena
ajah Kiang Slang Yan mengetahiii Hay-te-kau itu seorang pemuda yang berbakat bagus
dan lurus hati, maka dia telah diterima menyadi murid. Jadi Kiang Siang Yan cukup
mengetahui jelas akan hal itu.
Tio Jiang ter-longong2 tak dapat menyawab. Sjukur Kui-ing-cu keburu menolongnya
dengan berseru: „Kiang Slang Yan, yangan bicara yang tidak2. Mengapa tidak hujan tidak
angin kau cari perkara pada kami?"
Jawab! Kau kemanakan Lian-ji itu? Kalau tak memberi keterangan jelas, yangan harap
kalian berempat ini dapat bernyawa lagi!," bentak Kiang Siang Yan dengan murka.
Sampai pada saat itu, Yan-chiu tak kuat bersabar lagi, terus saja ia hamburkan
kemengkalannya: „Wah, kata2 yang besar!"
Tio Jiang kaget dan buru2 hendak memberi isjarat dengan ekor mata, tapi sudah
terlambat. „Budak hina, kalau tak percaja cobalah!" Kiang Siang Yan sudah kedengaran
berseru, sepasang matanya beringas menatap anak itu. Yan-chiu terperanyat sekali. la
tadi hanya, mengomong sendirian, tak mengira kalau sampai didengar sang subo. Saking
kagetnya, ia mundur beberapa tindak.
Sememangnya terhadap anak itu, Kiang Siang Yan masih mempunyai rekening
kemarahan yang belum dihimpaskan. Jalah ketika tempo hari telah diselomoti oleh Kui-
ing-cu hingga sampai menurunkan ilmupedang Hoan-kang-kiamhwat. Itu waktu ia telah
menghajarnya, tapi keburu dapat ditolong oleh Tay Siang Siansu. Maka taruh kata tidak
karena urusan Bek Lian, pun kalau berjumpa dengan Yan-chiu, ia tentu masih hendak
menghukumnya.
Sebenarnya Yan-chiu tadipun hanya sekedar untuk melampiaskan kemengkalannya
saja, se-kali2 tidak bermaksud hendak menghina subonya. Tapi, justeru hal itu telah
kebetulan sekali bagi Kiang Siang Yan. Yan-chiu mundur, ia maju. „Budak hina, diantara
4 orang ini, kaulah yang lehih dulu binasa!" serunya sambil maju mengulurkan tangan
mencengkeram lengan sinona.
Dalam gugupnya, Yan-chiu enyot tubuh melejit lolos. Selama 3 bulan berada, dengan Tay
Siang Siansu, berkat kecerdikannya, sigenit telah berhasil mengeruk banyak sekali ilmu
lwekang hweshio itu. Ilmu lwekang yang dipelajari Siansu itu mendasarkan pada
ketenangan dan konsentrasi (pemusatan) pikiran. Sembarang saat dia dapat
menggunakan menurut sekehendak hatinya. Dapat mematahkan segala kekuatan, dapat
menggempur segala, kekerasan. Digunakan untuk ilmu mengentengi tubuh, tubuhnya
dapat bergerak kemana, sang hati maukan. Itu kalau sudah mencapai tingkat
kesempurnaan yang terpuncak. Tay Siang Siansu sendiripun masih belum mencapai
tingkatan itu. Apalagi Yan-chiu yang hanya mencukil sepintas lalu saja. Tapi oleh karena,
Kiang Siang Yan keliwat memandang rendah anak jadi serangannya tadi telah dapat
dihindari oleh sigenit.

--oo0oo--
(Bersambung Ke Bagian 30)
BAGIAN 30
PUNGGUNG DAN TUMIT

„Bagus, tak heran makanya kalian berani menyual Lian-ji. Kiranya hanya karena
mengandalkan barang satu dua macam, kepandaian begitu!" damprat Kiang Siang Yan
dengan meradang. Sekali tubuhnya, bergerak, dia meluncur dipermukaan tanah (kami
gunakan istilah „meluncur") karena ia tidak meloncat melainkan meluncur seperti orang
main ski. Tanah disitu naik turun tak rata, namun ia tetap dapat meluncur seperti
ditanah rata, Jadi ia tak gunakan ilinu mengentengi tubuh tapi ilmu lwekang tingkat
tinggi. Begitu tiba, ia ulurkan tangan mentengkeram, berbareng itu tangannya kiri
menampar punggung Yan-chiu.
Hendak Yan-chiu lari, tapi tiba2 punggungnya sakit. la tahu kali ini tentu celaka, Masa
kelihatannya diserang dari muka, kok punggungnya yang terasa nyeri? Sampai disini
baru ia tahu berapa jauh selisih kepandaiannya dengan sang subo itu. Dari pada lari
tentu akan lebih menderita kesakitan lagi, lebih baik ia menyorok jatuh kemuka saja.
Kini pergelangan tangannya kena dicengkeram oleh sang subo yang sementara itupun
sudah angkat sebelah tangannya untuk menampar kepala sigenit.
Tio Jiang seperti semut diatas wajan panas. Hendak menolong, tak keburu. Sjukur pada
detik2 yang berbahaya itu, Kui-ing-cu berseru : „Tahan !"
„Kau hendak memasang perangkap apa lagi ? Setelah mereka satu per satu mati, baru
paling belakang giliranmu!" sahut Kiang Siang Yan sembari berpaling. .
„Kiang Siang Yan, kalau kami katakan tempat beradanya anak perempuan
kesayanganmu itu, lalu bagaimana ?" seru Kui-ing-cu. Menilik ucapan Kang Siang Yan
„menyual Lian-ji" tadi, tahulah Kui-ing-cu bahwa disitu tentu terselip kesalahan faham.
Dia menduga keras, tentu lagi2 The Go yang menyelomoti nyonya aneh itu.
„Hem, itu harus tunggu sampai kuketemukan Lian-ji dan menanyainya jelas baru bisa
memberi keputusan. Tapi kutahu sudah, kalau tipu muslihat itu tentu budak hina yang
mengaturnya, maka biar sekarang kuberinya sedikit rasa!" sahut Kiang Siang Yan.
„Sayang kecerdsanmu itu menyadi suatu kelimbungan, karena mudah dikelabuhi orang!"
Kui-ing-cu menghela napas. „Apa ? Dikelabuhi orang ?" tanya Kiang Siang Yan makin
marah. „Coba jawablah, bagaimana kau bisa tahu kalau kami berada disini ?" tanya Kui-
ing-cu.
„Cian-bin Long-kun The Go yang mengatakan !"
Mendengar disebutnya nama orang itu, Tio Jiang dan Nyo Kong-lim berbareng sama
menggerung keras. Sebaliknya karena dugaannya benar, Kui-ing-cu tertawa gelak2,
ujarnya ; „Anak itu memang lihay. Dia tahu kalau kami tentu berada disini. Karena dia
sendiri takut datang, maka dia telah menipu kau supaja kemari !"
Perangai yang eksentrik dari wanita itu angot lagi. Dikatakan limbung lalu diejek kena
diakali orang, rambutnya sama menyigrak. „Mulutmu berminyak lidahmu benar2 licin!
Bagaimana aku bisa diakali orang?"
Kui-ing-cu tetap berjenaka dan menyabut: „Yangan meradang dulu, dengarkanlah
penyelasanku!"
Ringkas jelas Kui-ing-cu tuturkan segala yang telah terjadi. Bagaimana The Go telah
tukarkan Bek Lian dengan pedang Kuan-wi yang ternyata berada ditangan kepala suku
Thiat-theng-biau, telah dibentangkan se-jelas2nya. Achirnya dia memperteguhkan
keterangan itu: „Kalau kau tak percaja, mustika batu itu masih berada disini, majat Tan
It-ho juga masih terhampar disini. Apakah itu tidak bisa dibuat bukti teguh?"
Tapi mengapa, Cian-bin Long-kun mengatakan padaku bahwa kalian telah menukarkan
Lian-ji dengan dua ekor orang utan itu ?" tanya Kiang Siang Yan dengan setengah kurang
percaja.
„Siapa yang suruh kau mempercajai omongan manusia itu?!" tiba2 tanpa sengaja Yan-
chiu telah kelepasan menyeletuk. „Jadi suruh aku mempercajai omonganmu saja, ja?"
Kiang Siang Yan mendampratnya dengan tajam, hingga Yan-chiu yang pernah merasa
bersalah pada subonya itu, menyadi bungkam dalam seribu bahasa.
„Subo, biar kucarinya sampai ketemu mustika batu itu, rasanya kau baru percaja!" kata
Tio Jiang sembari terus pergi. Ternyata Kiang Siang Yan setuju. „Baik, kalau kau
dapatkan mustika batu itu, baru aku dapat mempercajaimu. Aku tak percaja orang she
The itu mempunyai nyali begitu besar berani menipu aku. Dia kata hendak pulang ke Ko-
to-san untuk mengundang Ang Hwat cin-jin menolongi Bek Lian!"
Kui-ing-cu tertawa, serunya: „Tu, bukti kebohongannya! Kalau benar dia bermaksud
hendak menolong anak kesayanganmu, begitu berjumpa dengan kau, bukankah sudah
lebih dari cukup? Mengapa dia harus perlu ke Ko-to-san ?"
Kiang Siang Yan terbungkam, mengakui logika (nalar) itu. Cengkeramnya pun setengah
dikendor, walaupun begitu tetap Yan-chiu masih meringis kesakitan serunya: „Subo, Tio
suko sudah pergi mencari bukti, harap kendorkan tangankulah!"
Kiang Siang Yan mendorong, dan Yan-chiu ter-hujung2 beberapa tindak kemuka. Setelah
bebas, nona genit itu tak berani buka mulut lagi. Begitulah mereka berempat kini
menantikan kedatangan Tio Jiang. Tapi sampai setengah jam lamanya, belum juga anak
itu kelihatan datang. Kala itu rembulan memancarkan cahajanya yang gilang gemilang.
Suasana disitu, sunyi senyap sekali. Andaikata Tio Jiang mencabuti rumput atau
semak2, tentu terdengar juga suaranya. Tapi mengapa tidak sama sekali? „Biar
kususulnya!" Nyo Kong-lim yang tak sabaran segera berseru, terus ajunkan kakinya
kearah jalan yang ditempuh Tio Jiang tadi, jaitu menuju tempat persembunyian. The Go
semalam.
Pegunungan Sip-ban-tay-san situ, jarang dijelajahi manusia, rumput2nya hampir
setinggi orang. Seperginya Nyo Kong-lim, kini yang tertinggal hanya Kui-ing-cu, Yan-chiu,
Kiang Siang Yan dan Toa-wi. Siao-wi rupanya berada diluar mencari angin.
Sampai sekian lama, Nyo Kong-limpun tak muncul datang. Kiang Siang Yan mulai terbit
kecurigaannya. Tak henti2nya ia tertawa sinis. Yan-chiu segera menghampiri kedekat
Kui-ing-cu, lalu berkata keras2 seorang diri: „Tio suko dan Nyo toako, adalah orang2 yang
dapat dipercaja Mereka tentu akan mencari benda itu sampai ketemu. Oleh karena harus
mencari diseluruh gunung yang masih belantara ini, jadi memerlukan tempo panjang.
Kalau orang menduga jelek, itulah salah!"
Untuk menandakan kalau ia bicara pada dirinya sendiri, sigenit itu tak memandang pada
siapa2 tapi tundukkan kepala. Sekalipun begitu, sengaja dia lantangkan suaranya agar
Kiang Siang Yan dapat mendengarinya. Melihat kecerdikan nona itu, Kui-ing-cu ganda
tertawa. „Yangan kalian berdua kegirangan dulu! Kalau mereka berdua tak kembali,
kamulah yang mengganti!" ujar Kiang Siang Yan dengan bengis.
Adalah selama tadi, Kui-ing-cu selalu membawa sikap mengalah. Tapi oleh karena Siang
Yan makin sombong seolah2 memandang dirinya (Kui-ing-cu) sebagai makanan empuk,
sudah tentu lama2 dia marah juga, serunya: „Kiang Siang Yan, aku masih ada urusan
tak sempat menemanimu. Kita tetapkan saja satu hari, untuk mengundang para orang
gagah dalam dunia persilatan menyaksikan. Kita boleh adu segala macam kepandaian,
untuk mengetahui siapa yang sebenarnya lebih unggul. Main bersombong mulut, apa
gunanya ?
„Mau adu apa lagi ?" Kiang Siang Yan tertawa dingin. „Mengapa tidak ?" sahut Kui-ing-
cu. Kiang Siang Yan menuding pundak lawan, serunya: ,Gila, pundakmu itu pernah
berkenalan dengan tangan siapa ?"
„Siapa yang merampas barang ditanganmu?!" balas Kui-ing-cu. Demikianlah kedua tokoh
itu, sahut menyahut saling tak mau mengalah. Sampai diklimaksnya, Kiang Siang Yan
menantang: „Kalau mau adu kepandaian, sekarangpun boleh, mengapa harus tunggu
lain waktu? Apakah karena kau hendak cari guru lagi ?"
„Baik, kepingin sekali aku menerima pengajaran ilmu thay-im-kang dari Lam-hay Hu
Liong Po!" sahut Kui-ingcu. Dengan ucapan itu, Kui-ing-cu se-olah2 hendak mengatakan
bahwa sebenarnya kepandaian Kiang Siang Yan itu biasa saja. Adalah karena kebetulan,
maka ia telah berhasill mempelajari ilmu kepandaian dari wanita gagah Lam-hay itu.
Sebaliknya yangan lagi siapa gurunya orang tak mengetahui, sedang siapakah nama
sebenarnya dari tokoh Kui-ing-cu sendiri, tiada manusia yang tahu. Karena tak dapat
balas menyemprot, Kiang Siang Yan menyadi marah-marah. „Baik, silahkan memulai
dulu" serunya dengan sungkan, tapi ia sendiri terus pasang kuda2.
Sampai disitu, terpaksa Kui-ing-cu tak dapat melihat jalan lagi kecuali harus berkelahi.
Tiba2 dari arah muka sana tampak berkelebat sesosok bayangan. Buru2 dia berseru:
„Engkoh Tio, kaukah?"
Sret......, seorang loncat datang dan bluk......... tahu2 menghantam pantat Toa-wi, hingga
binatang itu menggerang kesakitan lalu berputar kebelakang meneryangnya. Tapi orang
itu lincah sekali, sret......., dia loncat menghindar untuk menyotos dada Siao-wi, bluk!
Binatang inipun surut kebelakang, sebaliknya orang itu tertawa gelak2, serunya: „Kui-
ing-cu, kutahu setelah mendapatkan ceng-ong-sin, kau tentu datang kemari. Kau suruh
aku berlatih sam-ciat-kun-hwat selarna 3 bulan itu, bukankah karena hendak menipu
aku ?
Orang itu bukan lain adalah siorang tua kate yang limbung, Sik Lo-sam.
„Sik Lo-sam, sini, sini, kuperkenalkan pada ini Kiang Siang Yan yang namanya begitu
cemerlang itu!" buru2 Kui-ing-cu berseru. „Sudah tahu!" sahut orang tua aneh itu.
Sedangkan Yan-chiu yang mengetahui hari sudah terang tanah, lalu berkata: „Hai,
mengapa kedua orang itu belum kunyung datang? Biar kususulnya!"
„Tidak! Kau juga mau ngacir bukan?" bentak Kiang Siang Yan. la menduga dirinya hendak
diselomoti. „Siao Chiu, yangan pergi, yangan biarkan orang tak memandang mata pada
kita!" Kui-ing-cu menasehati, lalu berkata kepada Sik Lo-sam: „Sik Lo-sam, ilmu
permainan sam-ciat-kun-hwat itu masih kurang satu jurus, kau kepingin belajar tidak ?"
„Sudah tentu ingin sekali!" sahut Sik Lo-sam berjingkrak sembari lolos sam-ciat-kun dari
pinggangnya, terus dikibaskan kebelakang. Justeru tepat pada saat itu Toa-wi dan Siao-
wi hendak membalas kesakitannya tadi, hingga kedua binatang itu terpaksa loncat-
mundur lagi. „Ajarkanlah!" teriak silimbung.
Itu sih mudah, tapi kau lebih dulu harus mengerjakan satu kali!" sahut Kui-ing-cu. Lekas
katakan!" seru Sik Lo-sam, tak sabaran.
„Seorang hweshio yang bertubuh tinggi besar dan seorang anak muda tadi pergi
kesekeliling gunung ini mencari sesuatu benda, tapi sampai sekarang belum kembali.
Coba kau cari mereka!" kata Kui-ing-cu. Kali ini Sik Lo-sam keluar kecerdikannya, dia
deliki mata membantah: „Mengapa kau sendiri tak mencarinya? Tentu akan menipu aku
lagi ja?"
„Sik Lo-sam, ada satu orang yang melarang kita pergi, karena kuatir kita lolos!"
menyelutuk Yan-chiu. Ho, siapa orangnya yang bernyali besar itu ? Biar dia rasakan
gebukanku ini seru Sik Lo-sam sembari mainkan sam-ciat-kun dalam jurus cu-kong-
theng-yau, salah satu jurus dari permainan sam-liong-toh-cu.
Kui-ing-cu mendapat akal. Tadi sebenarnya dia hendak suruh sikate limbung itu mencari
Tio Jiang dan Nyo Kong-lim, tapi rupanya kini bisa digunakan untuk menghadang Kiang
Siang Yan, jadi dapat menghemat tenaga dari pada dia sendiri harus bertempur. Dia
cukup tahu, Sik Losam meskipun seorang limbung, tapi ilmunya silat tidak lemah. Andai
kata kalah, silimbung itu tentu masih bisa meloloskan diri tak sampai kena apa2. „Kau
suruh dia makan gebukanmu? Hem, yangan2 kau sendiri yang harus menelan 10 kali
pukulannya!" dia mulai memasukkan minyak tanah (membikin panas hati orang).
„Edan, suruh dia kemari coba2!" ternyata Sik Lo-sam mulai terbakar hatinya. Kui-ing-cu
menunyuk pada Kiang Siang Yan, serunya: „Itulah!"
Sret......, sekali Sik Lo-sam loncat, tanpa banyak cingcong lagi dia kemplang kepala Kiang
Siang Yan, siapa karena tak mengira orang begitu ugal2an hendak menggemplangnya,
sudah menyadi gusar sekali: „Telur busuk macam kau, mau jual lagak?"
Sik Lo-sam melayang turun, melancarkan serangan lagi, serunya „Aku telur busuk ini,
tidak mau jual lagak apa2, melainkan mau suruh kau rasakan tongkatku satu kali saja!"
GAMBAR 55
Karena diadu dombakan oleh Kui-ing-cu, tanpa pikir Sik Lo-sam
terus sabetkan tojanya sambil membentak: „Rasakan senyataku ini!"

Kiang Siang Yan mendongkol, tapi geli juga. la loncat menghindar. Tapi Sik Lo-sam
mengejarnya dengan sebuah serangan lagi kearah pinggang. Melihat kedua orang itu
sudah bertempur, lekas2 Kui-ing-cu menarik Yan-chiu diajak pergi. „Kita cari dulu kedua
orang itu, biarkan mereka bertempur disini, nanti kita lihat lagi!"
Yan-chiu tertawa riang atas kecerdikan Kui-ing-cu itu. Sebaliknya Kiang Siang Yan
sangat mendongkol. Beberapa kali ia hendak cari kesempatann hendak mengejar, tapi
selalu diganggu oleh sam-ciat-kun sikate. Malah saking gencarnya permainan sam-ciat-
kun itu, Kiang Siang Yan sam pai terkepung tak dapat lolos. „Budak hina, lain kali
yanganlah sampai bertemu dengan aku. Kalau sampai berjumpa lagi, kau tentu
mengalami penderitaan hebat!" satu2nya jalan ia hanya dapat mendamprat.
Walaupun tahu kalau Kiang Siang Yan itu subonya, tapi oleh karena selama ini ia selalu
mendapat siksaan, maka iapun hendak balas menyahuti, tapi dicegah oleh Kui-ing-cu.
Terpaksa Yan-chiu batalkan kata2nya, dan segera ajak kedua binatang piaraannya untuk
mengikut.
Melihat orang tangkapannya pergi, kini Kiang Siang Yan tumpahkan kemarahannya pada
Sik Loo-sam. Sebaliknya, silimbung pun tak mau mengerti. Sam-ciat-kun dimainkan
terlebih gencar lagi, sembari mulutnya tak putus2nya berseru: ,Rasakan tongkatku ini
satu kali saja dan Rau boleh pergi!" seenaknya saja si limbung itu mengucap. Dia tak
mau memikirkan bahwa ilmunya Iwekang sangat jempol, apalagi sam-ciat-kun itu
terbuat dari besi pilihan, sudah tentu tiada seorangpun yang sudi disuruh mandah
digebuk satu kali. Karena biar satu kali, tapi cukup meremukkan tulang belulang, malah
salah2 bisa kabur jiwanya.
Kiang Siang yan lepaskan pikirannya untuk mengejar kedua orang yang diduga tentu
sudah jauh. Kini ia hendak menghajar sikakek yang limbung itu. Membarengi tangan kiri
dibalik, tangannya kanan menghantam datangnya sam-ciat-kun, trang...... terpentallah
sam-ciat-kun itu. Adakah Sik Loo-sam kurang hebat lwekangnya? Adakah samciat-kun
kurang keras bahannya? Adakah lwekang Kiang Siang Yan tak terlawan?
Bukan begitu. Sebenarnya seperti yang telah kami paparkan tadi, barang siapa kena
terhantam sam-ciat-kun Sik Lo-sam, tentu akan remuk tulangnya. Hal ini tak terkecuali
juga bagi Kiang Siang Yan yang cukup menginsjafi hal itu. Maka ketika ia sambut
serangan itu, ia gunakan siasat meminyam tenaga. Begitu sam-ciat-kun datang, lekas2
ia turunkan tangannya menghindar, lalu secepat kilat menghantam. Jadi yang
membentur sam-ciat-kun itu adalah samberan lwekangnya, bukan tangannya. Hanya
orang yang sudah menguasai ilmusilat tinggi, berani mengambil resiko yang sedemikian
berbahayanya. Karena gusar sekali, Kiang Siang Yan baru lancarkan serangan maut itu.
Kini kita ikuti reaksi Sik Lo-sam. Begitu sam-ciat-kun terpental balik hendak
menghantam dadanya sendiri, kaget silimbung itu tak terkira. Sjukur dia memiliki ber-
macam2 cabang ilmusilat. Buru2 dia miringkan tubuh, lalu menghujungkan diri
kesamping dengan jurus hong-cu-may-ciunya Ang Hwat cinyin. Berbareng dengan itu,
sam-ciat-kun dikebutkan lempang kemuka untuk menutuk jalan darah te-ki-hiat dibetis
Kiang Siang Yan.
Juga Kiang Siang Yan tak kurang kagumnya melihat permainan yang luar biasa dari
musuhnya itu. Cepat2 ia menghindar. Kini dia dapat menilai kepandaian orang. Lawan
kaja dengan variasi permainan yang luar biasa, tapi kalah tinggi lwekangnya dengan dia.
la memutuskan, harus adu kekerasan. Kalau tidak, tentu entah kapan pertandingan itu
akan berachir. Maka, setelah menghindar, tubuhnya menurun, kelima jarinya diulur
untuk merebut sam-ciat-kun.
Namun ilmu permainan hong-cu-may-ciu itu kaja dengan gerak perobahan, Sik Lo-sam
dapat mejakinkannya lebih sempurna dari The Go maupun Tio Jiang. Kala Kiang Siang
Yan menurunkan tubuhnya, dia sudah loncat keatas untuk menghantam batok kepala.
Luput menangkap, Kiang Siang Yan makin marah. la menyerit se-keras2nya sehingga
memekakkan telinga Sik Lo-sam, siapa menyadi terkesiap sejenak. „Satu kali saja,
cukuplah. Kalau tidak aku tentu ditertawai Kui-ing-cu nanti!" serunya sembari masih
teruskan rangsangannya.
Dia tidak mengetahui sama sekali, bahwa dengan jeritannya tadi, Kiang Siang Yan sudah
mengeluarkan J-seng" salah satu jurus yang paling lihay sendiri dari ilmupukulan
Iwekang thay-im-lian-seng. Sesaat itu Sik Lo-sam merasa ada angin berseliweran disisi
tubuhnya, dia kira kalau Kiang Siang Yan yang menyelinap, tapi kiranya wanita itu masih
tampak disebelah muka. Tanpa banyak pikir lagi, dia segera menyapu dengan sam-ciat-
kun. Terang serangannya itu tepat mengenai sasaran, tapi hai kemana wanita itu tadi?
Dia menghantam angin, tapi berbareng pada saat itu punggungnya, dirasakan sakit
sekali.
Suatu hawa dingin, menyerang masuk kedalam tulangnya.
Celaka, dia mengeluh dalam hati terus buru2 kerahkan lwekang untuk menutup jalan
darahnya. Berputar kebelakang, disana dilihatnya sepasang mata Kiang Siang Yan
tampak memancarkan sorot ke-hijau2an, menyeramkan sekali.
Benar Sik Lo-sam itu pikirannya limbung. Tapi dalam soal ilmu silat, dia cukup lihay.
Walaupun lekas2 dia salurkan Iwekang untik mrnahan rasa sakit pada bagian tubuh
yang kena, hantaman tadi, namun sesaat itu separoh tubuhnya seperti direndam dalam
es, dingin, dingin......... sekali. Sampaipun ketika berkelahi, giginya bergemeretukan
karena menggigil.
Tahu dia bagaimana lihaynya lawan. Tapi oleh karena limbungnya, dia tak merasaa kalau
ditipu Kui-i.ng-cu, bahkan mengakui kebenaran ucapan Kui-ing-cu, serunya: „Aja, lihay
nian wanita ini. Kui-ing-cu benar. Aku tak dapat menggebukmu, malah aku telah makan
tinyumu satu kali, masih ada 9 kali lagi. Kau masih lanyutkan tidak?"
(Bersambung Ke Bagian 31)
BAGIAN 31
YAN CHIU BERJUDI

BAGIAN 31.1
Melihat wajah Sik Lo-sam sudah ke-hijau2an tapi mulutnya masih mengoceh tak keruan,
Kiang Siang Yan tak mau menghiraukannya lagi, berputar diri terus ajunkan langkah,
Ternyata ilmu lwekang „cap ji si hang kang sim ciat" yang dimiliki Sik Lo-sam itu
dipelajarinya dari seorang sakti yang luar biasa. Separoh tubuh bagian kiri meskipun
sudah mati-rasa, tapi yang sebelah kanan masih dapat digunakan. Dia mendongkol orang
tinggalkan begitu saja.
„Hai, rasakan dulu gebukanku satu kali!" serunya sembari maju menyapu. Tapi karena
lukanya berat, jadi tenaganyapun berkurang. Karena tak menduga orang masih bisa
bergerak, Kiang Siang Yan sudah terkena tumit kakinya.
Saking sakitnya, ia mendumprah jatuh terduduk, dua buah tulangnya kena disabet
patah. Sehabis menghantam, Sik Lo-sam puas, ia mundur beberapa tindak. Tapi disitu
dia tak kuat lagi, dia terduduk ditanah dan napasnya memburu keras.
Sejak keluar dikalangan persilatan, Kiang Siang Yan selalu bahu membahu dengan sang
suami. Selama itu, belum pernah ia mendapat luka. Baru pertama kali ini ia rasakan
bagaimana rasanya kalau tulang patah namun hal itu tak terlalu dihiraukan karena,
hanya luka luar. Sekalipun begitu, ia harus beristirahat juga untuk sementara waktu.
Bermula ia kuatir yangan2 nanti orang tua kate itu jual cerita diluaran kalau berhasil
melukai Kiang Siang Yan. Tapi serta dilihatnya silimbung itu duduk bersila meramkan
mata, tahulah ia kalau orang itu telah termakan thay-im-ciang. Dengan kepandaian yang
dipunyai orang itu, terang dia takkan dapat sembuh. Soalnya hanya tinggal tunggu saat
baik saja. Jakin kalau orang limbung itu bakal binasa, Kiang Siang Yan terus hendak
menghantam lagi tapi tiba2 Sik Lo-sam membuka mata berseru : „Kiang Siang Yan ! Lihay
nian pukulanmu itu. Apa suka memberikan pelajaran itu padaku ?"
Kiang Siang Yan tertegun. Tangannya yang siap diajun itu, diturunkan lagi. Membunuh
seorang limbung macam begitu, takkan ada faedahnya. la hanya urut2 tumitnya yang
patah tadi, setelah itu lalu loncat menghilang. Sedang saat Sik Lo-sam rasakan hawa
dingin itu mulai menyerang separoh tubuhnya yang kanan. Hingga sampaipun membuka
mata, dia tak berani karena sedang bergulat keras untuk salurkan lwekang menahan.
--oo0oo--
Kita tinggalkan dulu Sik Lo-sam untuk mengikuti perjalanan Kui-ing-cu dan Yan-chiu.
Membiluk dibalik sebuah batu besar, tiba disebuah semak rumput yang hampir
menyamai orang tingginya, mereka tertegun. Kiranya dihadapan mereka terbentang
sebuah rawa2 besar. Airnya yang ke-hitam2an memberi kesan akan dalamnya yang sukar
diduga. Mereka menduga, Tio Jiang dan Nyo Kong-lim pasti takkan melintasi rawa itu,
jadi tentunya melanda (menasak) semak rumput itu. Tapi mengapa disitu tiada kelihatan
bayangan mereka ? Sebaliknya mereka berdua masih lapat2 mendengar berisik suara
pertempuran antara Sik Lo-sam dan Kiang Siang Yan.
,,Huh, apa ada setan penunggunya sini ?" tanya Yan-chiu.
Tapi sebaliknya Kui-ing-cu yang menduga tentu terjadi suatu hal yang luar biasa,
membantahnya. „Habis Tio suko dan Nyo cecu lari kemana? Mustika Watu itu berada
dimana?" tanya Yan-chiu.
Kui-ing-cu melakukan pemeriksaan yang teliti disekeliling tempat situ. Waktu itu
dilihatnya tegas2 The Go lari kearah semak2 rumput, situ. „Siapa tahu yangan2 The Go
lemparkan mustika itu kedalam rawa?!" katanya.
Yan-chiu menunyang pernyataan itu. Tapi sebaliknya Kui-ing-cu nyatakan
keheranannya: „Kalau begitu apa mungkin silimbung berdua itu menduga juga begitu,
Ialu terjun kedalam rawa?"
Kembali Yan-chiu mengiakan, tapi berselang sejenak dia membantah sendiri: „Tidak,
locianpwe. Kalau mereka terjun kedalam rawa, ini saat tentu sudah muncul keatas. Kalau
tidak, tentu mendapat kecelakaan disitu!"
Kui-ing-cupun mencemaskan kemungkinan itu. Namun dia hiburi nona itu. ,Yangan
kuatir, mungkin kedua orang itu benar2 hendak gunakan kesempatan untuk lolos dari
ancaman Kiang Siang Yan saja!"
Tapi Yan-chiu yang cerdas dapat mengetahui, isi hati Kui-ing-cu yang sebenarnya. Tanpa
terasa air matanya membanyir turun. Tidak mungkin. Tio suko bukan orang macam
begitu. Tentu dirawa ini ada siluman atau binatangnya ganas yang telah menyeret suko
kedalam. Ah, aku telah mencelakainya!" ujarnya dengan ter-isak2.
Kui-ing-cu menanyakan maksud ucapan sinona, siapa tanpa malu2 lagi segera
menerangkan: „Selama dalam perjalanan, aku senantiasaa marah2 padanya karena dia
tak mengerti kalau aku suka padanya. Adalah karena mulutku mengomelinya, sampai
dia berhasil menemukan mustika batu itu. Kalau sekarang dia mengalami kecelakaan
hingga majatnya pun hilang, bukankah aku yang menyebabkannya?"
Bermula Kui-ing-cu hanya ganda tertawa mendengari. Tapi begitu mulut sigenit
mengatakan majatnya hilang lenyap", diapun terkesiap. Dia sayang akan sifat2 anak
muda itu serta bakatnya yang bagus. Dikemudian hari, anak itu tentu menyadi seorang
gagah yang luhur. Sampai sekian saat, dia ter-Iongong2 tak dapat ber-kata2.
Melihat Kui-ing-cu kesima, Yan-chiu makin berduka. Ter-bayang2 ia, akan kejujuran dan
kebaikan sukonya itu. Entah sudah berapa banyak, ia memper-olok2 sukonya itu,
sampaipun sudah berani juga membuat lelucon „tukar cincin palsu". Ia merasa berdosa,
dengan seribu satu penyesalan yang tak terhingga. Air matanya makin mengucur deras
bagaikan air sumber. Sembari mewek2, ia menyatakan hendak menebus dosa „Kalau
benar Tio suko binasa, aku bersumpah, akan menyadi paderi, tak mau menikah seumur
hidup!"
Hendak Kui-ing-cu menertawakan sigenit yang masih bersifat seperti anak kecil itu. Tapi
demi dilihatnya betul2 sigenit itu sangat berduka sekali, dia tak jadi ketawa. Sampai
sekian saat, baru kedengaran dia menghela napas, ujarnya menghibur: „Siao Chiu, sudah
yangan menangis. Taruh kata Tio sukomu, benar binasa, kau tangisipun tiada berguna.
Tapi kalau dia belum binasa, bukankah sia2 saja air matamu itu?"
Yan-chiu ternyata mau menurut. Tapi sesaat kemudian ia menangis lagi, katanya: „Kalau
Tio suko binasa, aku akan menangis terus!"
„Tio suko dan Nyo-cecu bukan orang yang lemah, mana mereka begitu gampang
menyerahkan jiwanya ? Bukan mustahil saat ini dia bersembunyi disuatu tempat!" ujar
Kui-ing-cu lalu berteriak keras2 sampai beberapa kali. Namun tiada berbalas. Disekeliling
tempat situ hening ditelan kelelapan abadi.
Mendadak Kui-ing-cu terkejut, mengapa tiada mendengar suara pertempuran kedua
tokoh tadi? Menduga mereka tentu sudah pergi, ia lantas menyelidiki lagi seluruh tempat
semak2 rumput itu. Yan-chiu hanya mengikuti saja seperti orang yang kehilangan
semangat. Tiba2 didekat rawa, dilihatnya air disitu berwarna hijau gelap hingga sepintas
pandang seperti hitam. Kui-ing-cu pungut sebuah, batu untuk dilemparkan kedalam air,
blung........ seketika timbul busa, batu itu tenggelam kedalam dasar rawa yang sukar
diketahui dalamnya itu. Melihat Yan-chiu masih terus menerus menangis, Kui-ing-cu
menanyainya kalau2 ia pandai berenang. Yan-chiu menyahut tidak dapat.

GAMBAR 56
„Sudahlah, Siao Chiu, yangan menangis, bila sibujung Tio Jiang sudah mati,
percuma kau menangisinya, jika belum mati, tangismu juga sia2 ujar Kui-ing-cu.

Sang Suhu bergelar Hay-te-kau, masa sang murid takut air? Malu ah!" Kui-ing-cu
menghela napas. Yan-chiu ter a, tapi pada lain kali ia segera cemberut mengangkut awan
kesedihan lagi, serunya: „Orang sedang susah, masa cianpwe malah membanyol begitu!"
„Siao Chiu, aku mempunyai firasat kalau Sukom tidak mati. Dia tentu disebabkan
sesuatu hal, lalu menyingkir. Lebih baik kita cari suhumu untuk ber-sama2 menuju ke
Ko-to-san yang tinggal 10 hari saja waktunya!" achirnya Kui-ing-cu menyatakan
pikirannya. Apa boleh buat, Yan-chiu terpaksa menurut.
Baru keluar dari tempat situ, Kui-ing-cu segera dapati Sik Lo-sam duduk bersila dengan
wajah tegang dan tubuh bergemetaran. Rambut yanggutnya turut bergoncangan. „Astaga!
Aku telah mencelakainya!" seru Kui-ing-cu sembari menghampiri. „Sik Lo-sam kau
bagaimana?" tanyanya.
Kala itu Sik Lo-sam tengah berjoang mati2an kerahkan lwekang untuk menahan hawa
maut-dingin itu. Satu2nya harapan, supaja Kui-ing-cu datang kesitu. Bukan karena
mengharapkan pertolongan, tapi karena hendak menyampaikan suatu omongan yang
penting. „Kui-ing-cu," serunya kegirangan demi mendengar orang yang dinantikan tiba,"
wanita itu benar lihay, tapi ia telah menerima gebukanku satu kali ditumitnya, Dengan
pincang sebelah kaki, ia ngacir pergi, lucu, lucu!"
Kui-ing-cu mengheka napas penyesalan. Dia hanya ber-olok2 supaja mereka bertempur
untuk sementara, Tahu sudah dia kalau Sik Lo-sam itu bukan lawannya, Kiang Siang
Yan, tapi ternyata orang, limbung tu tak kenal bahaja malah terus menerus
membayanginya kena satu kali gebukanmu, tapi kau sendiri?" tanyanya.
Sik Lo-sam ulurkan lengankanannya, sembari kibas2kan dia menunyuk kearah bahu
kirinya. „Pundakmu ini termakan pukulannya, lihay benar!" ujarnya. Kui-ing-cu
terperanyat, buru2 dia pinyat jalan darah leng-thay-hiat dipunggung silimbung. Jalan
darah itu tembus dihati. Begitu tangannya memijat, dirasakan debur jantung Sik Lo-sam
sangat lemah, sebelah kakinya sudah kaku. Dia sangsi adakah kepandaian cukup untuk
menolong orang, tapi biar bagaimana dia harus memberi pertolongan sekuat usahanya.
Benar Kui-ing-cu itu seorang tokoh yang suka ber-olok2, malah kadang membohongi
orang. Tapi sebenarnya dia bukan seorang jahat. Dia ambil putusan, akan
menyelamatkan jiwa Sik Lo-sam. Dengan menyalurkan lwekang, dia pijat jalan darah
leng-thay-hiat itu, hingga seketika Sik Lo-sam menyerit kesakitan: „Kui-ing-cu, yangan
menyiksa begitu. Mati biar mati, takut apa? Yangan bikin badanku panas dingin begini,
nanti belum menghadap Giam-lo, aku sudah teler2!"
Mendengar itu Kui-ing-cu makin terharu. Dia menyesal mengapa mencelakai seorang
limbung yang sedemikian putih hatinya. Makin teguh niatnya hendak menebus
kesalahannya, ujana: „Sik Lo-sam, kalau lwekang kita, berdua dipersatukan masa tak
dapat menghalau thay-im-ciang. Yangan bicara lagi, kerahkan lwekangmu menolak!"
Sik Lo-sam menurut. Berkatalah Kui-ing-cu kepada Yan-chiu: „Siao Chiu, aku hendak
menolong Sik Lo-sam, sebelum setengah bulan, terpaksa, aku tak dapat ke-mana2.
Kalau kau mau menemani disini, boleh. Tapi kalau kau hendak menuju ke gereja Ang-
hun-kiong untuk menghadiri pertempuran itu pun silahkan!" katanya dengan, menghela
napas, lalu melanyutkan kata2nya: „Setengah, bulan kemudian, luka Sik Lo-sam tentu
sembuh. Walaupun tenaga lwekang kita berdua tak sampai habis, tapi juga akan tinggal
separoh saja. Tinggalkan Toa-wi dan Siao-wi padaku dan kau bawalah ceng-ong-sin
untuk melindungi dirimu, setuju tidak ?"
Yan-chiu mengatakan ia takut ular. Kui-ing-cu menertawainya: „Takut apa! Pijat
angsangnya, tentu menurut. Tapi ingat, yangan se-kali2 sampai kena tertusuk sisik
kulitnya yang tajam. Ceng-ong-sin merupakan ular berbisa yang nomor satu didunia.
Menghadapi lawan tangguh, kalau kau kewalahan, lepaskan binatang itu, tentu menang
tahu?"
Yan-chiu masih mengandung setitik harapan kalau2 Tio Sukonya masih hidup dan
bersembunyi dilain tempat. Kalau sedemikian halnya, nanti di gereja Ang-hun-kiong,
tentu ada harapan bisa menyumpainya. Maka ia segera menyambuti lumbung bambu
yang terisi ular ceng-ong-sin. Kui-ingcu pesan kalau dapat, supaja dalam perjalanan
nanti Yanchiu cari katak untuk memberi makan pada ular itu. Tapi Sik Lo-sam buru2
menyelutuk: „Ceng-ong-sin paling gemar dengan kutu bambu, beri saja makanan itu!"
Sebagai seorang anak perempuan sudah tentu Yan-chiu ngeri dengan bangsa kutu. Ia
tanyakan bagaimana cara untuk mencari kutu bambu itu, Sik Lo-sam hendak memberi
keterangan, tapi karena hawa dingin merangsang keras, terpaksa dia tutup mulut. Kui-
ing-cu memberi pesanan macam2 pada nona itu, katanya: Kalau ditengah jalan tak
menemui halangan, nanti setiba di Ko-to-san tentu belum jatuh hari pehcun. Tunggulah
dibawah gunung, yangan naik sendirian. Ditengah perjalananpun yangan tiari onar, tahu
?"
Tokoh itu mempunyai persamaan perangai dengann sigenit. Dia anggap Yan-chiu tak
ubahnya seperti anak perempuannya sendiri. Begitulah menerima pesanan akan
beberapa hal, Yan-chiu segera minta diri.
--oo0oo--
(Bersambung Ke Bagian 31.2)
YAN CHIU BERJUDI

BAGIAN 31.2

Menyelang tengah hari, ia sudah jauh dari pegunungan Sip-ban-taysan. Sorenya ia,
sudah tiba di Ko-ciu-hu gedung thay-siu (bupati) yang terletak dikota, Bo-bing-koan.
Didaerah situ merupakan dataran subur. Didalam kota amat ramai, sana-sini rumah
makan menghias sepanjang jalan. Oleh karena perutnya me-ronta2 menagih janyi, buru2
Yan-chiu menghampiri kesebuah rumah makan. Melihat ada tetamu datang, buru2
sipemilik menyambutnya dengan hormat. Hal mana sebaliknya telah membuat Yan-tihiu
tertegun.
Kiranya selama dalam perjalanan dengan sukonya tempo hari, ia tak membelkal uang
sepeserpun juga. Tapi oleh karena selama itu, Tio Jiang yang mengurus makan tidurnya,
jadi ia tak usah sibuk2. Tapi kini berlainan halnya. Adakah sipemilik rumah makan mau
tak dibajar? Maka kakinya yang sudah melangkah diambang pintu itu, segera disurutkan
keluar lagi. Sipemilik menyadi heran dan mengawasi dengan tak mengerti. „Aku salah
masuk!" kata Yan-chiu ter-Sipu2 merah padam mukanya.
„Nona, papan merk yang tergantung dimuka rumah ini cukup besar, masakan. kau tak
melihatnya?" tanya sipemilik dengan mendongkol. „Habis kalau memang salah masuk,
apa tidak boleh?!" Yan-chiu menyahut dengan ketus. Melihat sifat ke-kanak2an sigenit
itu, pemilik rumah makan bergelak2. Bermula Yan-chiu hendak memberi hajaran, tapi
teringat akan pesan Kui-ing-cu supaja yangan terbitkan onar, ia hanya deliki sipemilik
itu lalu ngelojor pergi.
Sekeluarnya dijalanan, Yan-c.hiu uring2an. Dimisalkan hendak „pinyam" uang-nya
hartawan kejam, juga harus menanti sampai malam hari. Namun untuk menunggu
sampai waktu itu, perutnya sudah keroncongan. Perutnya berkerucukan, sehingga
orang2 yang berselisih jalan se-olah2 dapat mendengarkan. Buru2 ia menuju kesebelah
gang kecil untuk menyauhkan diri dari bau masakan rumah makan yang bisa,
menerbitkan air liur. Tapi perutnya tetap berontak. Teringat ia akan pembilangan orang
bahwa perut kosong dapat ditahan kalau ikat pinggang dikencangkan. la lakukan itu,
sembari tak henti2nya menelan ludah. Sudah dua hari satu malam ini ia tak makan apa2.
Selama itu karena mengandal pada lwekangnya, masih dapat ia bertahan.
Tapi pada saat itu, benar2 ia tak kuasa lagi. Selagi bingung seorang diri, tiba2 dari dalam
sebuah gedung yang besar mewah, terdengar suara gelak ketawa orang.
„Aku kalah!" kedengaran suara orang mengeluh dengan putus asa dan pada lain saat ada
dua orang tampak keluar. Yan-chiu menanyai orang itu: „Tolong tanya, apa kerja orang2
didalam itu?"
Kedua orang itu rupanya kalah main (judi). Sampaipun pakaiannya hampir berindil.
Dengan uring2an mereka menumpahkan kemarahannya: „Ada apa? Kepa....... " baru
hendak memaki, mereka mendongak. Ketika melihat yang bertanya itu seorang nona
cantik, mereka cengar-cengir menyahut: „Disitu tempat judi, apa nona mau kesitu ?"
Yan-chiu anggap orang yang membuka rumah perjudian itu tentu bukan orang baik2.
Untuk memberi hajaran pada mereka, juga sudah sepantasnya. „Ja, aku kepingin lihat2!"
sahutnya.
Kedua orang itu menyadi kegirangan. Bahwa seorang nona masuk kerumah perjudian,
adalah suatu hal yang langka. Meskipun kalah, mereka berdua ingin mengikuti juga.
Mereka lalu tawarkan sebagai pengantar.
Memasuki pintu, terdapat sebuah halaman kecil yang ditanami bunga dan sebatang
puhun delima yang sudah berbunga. Dibelakang halaman itu terdapat sebuah ruangan
besar. Kira2 ada 2 atau 30-an orang tengah berkerumun disitu. Seorang lelaki tengah
memainkan dua buah mangkok, sembari ber-seru2: „Mulai lagi! Mulai lagi! Siapa mau
kaja, lekas pasang!"
Melihat cecongor orang itu, Yan-chiu sudah benci. Sebaliknya kedua pengantarnya tadi
buru2 ingin melihat keramaian seorang nona main judi, maka begitu masuk mereka lalu
berseru: „Oey Bi-long, daganganmu bakal laris, ada pembeli besar!"
Orang2 disitu samaa heran, mereka kira kedua orang yang habis2an itu bertemu dengan
seorang tuan uang. Tapi sewaktu melihat yang diantar itu hanya seorang nona kecil dari
16-an tahun umurnya, ada yang meludah dengan jemunya, seraja memaki: „Lo Sam, Lo
Su, mengapa kau dah kalap membawa seorang budak perempuan kemari? Kalah ja
sudahlah, mengapa cari lain korban ?"
Melihat semua mata ditujukan kepadapja, Yan-ciu sikap seperti penyudi ulung, iapun
turut2an berseru: „Oey Bi-long, daganganmu laris benar!"
Kembali ruangan itu gempar dengan gelak tertawa, Yan-chiu tak ambil mumet, ia
menghampiri meja, pertaruhan, Disitu terdapat banyak tumpukan uang perak dan
beberapa barangl! berharga. Anggauta2 Thian Te Hui terdiri dari beberapa macam
golongan, dari orang gagah sampai kaum penyudi. Pernah didengarnya dari mulut
mereka, rumah judi itu ada dua macam. Yang hanya memakai taruhan uang dan yang
pakai taruhan barang. Rupanya rumah judi disitu itu tergolong yang kedua, jakni boleh
majukan barang perhiasan sampaipun pakaian untuk taruhan.
Teringat akan batu giok (pualam pemberian Tio Jiang tempo hari, ia segera merogohnya
keluar dan diterimakan pada Oey Bi-long siapa telah memeriksa sejenak lalu memberi
harga 5 perak. Karena hadiah itu pemberian sang suko yang dicintainya, Yan-chiu. tak
mau menyuaInya. Achirnya benda itu hanya digadai untuk 5 chi. Oey Bi-Iong lepaskan
benda itu dari atas, dan borkerontanganIah mustika itu diatas meja. „Setan, hati2 kau,
kalau sampai memecahkannya!" seru Yan-chiu. Namun si Bi-long itu hanya sapukan ekor
mata mengejek.
Sebagai seorang penyudi ulung, Oey Bi-long tahu akan adanya suatu pepatah yang
berlaku dikalangan persilatan, jakni „3 yangan". Yangan menghina kaum wanita, yangan
mempermainkan kaum pertapaan dan yangan main2 pada kaum Oey Poan. Yang
dimaksudkan dengan Oey Poan ialah orang2 yang tubuhnya lemah kurus, tapi
mempunyai kepandaian tinggi. Kalau seorang kaum wanita berani kelujuran diluaran,
tentulah ia memiliki kepandaian yang lihay.
Oey Bi Long mainkan gundu (macam kelereng kecil) yang segera ditutup dengan
mangkok. Ketika dibuka, ternyata, dua buah gundu terletak pada nomor 2 dan yang
sebuah pada nomor 1. Orang2 yang taruhkan uangnya pada tanda besar" segera diambil
oleh sang bandar. Melihat dirinya kalah, Yan-chiu marah2 serunya: ,Mustikaku itu tak
boleh kau, ambiI, yangan bergerak!"
„Nona, sekalipun barang milik raja, kalau sudah dipertaruhkan kalah, juga tak boleh
diambil kembali !" Oey Bi long menyeringai. Yan-chiu kalah suara, Tiba2 la memperoleh
akal. Diambilnya bumbung tempat ular yang menggantung dipunggung, katanya:
„Didalam bumbung ini terdapat mustika hidup yang lebih berharga, aku hendak
mempertaruhkannya dengan harga besar!"
„Benda apa aku harus melihatnya dulu !" kata Oey Bi-long.
„Yangan, kau tentu takut nanti!" sahut Yan-chiu.
„takut apa sih ? !"
„Baik," achirnya Yan-chiu menyentik sumbat bambu.
Melihat hawa terang, ceng-ong-sin segera merajap keluar.
Yan-chiu pijak angsangnya, saking sakitnya ular itu segera menyabet dengan sang ekor
hingga bambu tempatnya tadi mencelat, tepat jatuh diatas kepala seorang gundul. „Aduh
mak....! Mati aku.....!" orang itu menyerit. Tapi orang2 tak mempedulikan dia, melainkan
mengawasi ular yang dicekal sinona dengan terperanyat, „Nona yangan bergurau. Aku
membuka rumah perjudian bukan membuka rumah pergurauan!" kata Oey Bi-long
dengan wajah berobah.
Siapa Yang main2 padamu? Serapa harga ular ini, katakan!" sahut Yan-chiu sambil deliki
mata. Baru Oey-Bi-long hendak membantah lagi, tiba2 ada seorang Yang berwajah buruk
maju mendekati dan bertanya: „Nona, apa kau hendak jual ular itu ?"
Tampak wajah orang itu, diam2 Yan-chiu geli. Masa didunia terdapat orang yang berwjah
sedemikian jeleknya.
Tapi oleh karena orang itu menanyakan harga, iapun seegera
Menyadi girang, sahutnya: „Sebenarnya tidak ada ingatan akan kujual, hanya hendak
kubuat taruan main seharga 500 tail perak!"
Diluar dugaan, orang itu menerima. „Oey Bi-long, jadilah. Kalau kau menang ular itu
menyadi milikku, Kalau kalah, aku yang membajar 500 perak encer!"
Tapi Oey Bi-long bersangsi, karena dia belum kenal orang
itu, siapa rupanya tahu akan perasaan orang, katanya: „Kau kuatir yangan2 aku tak
punya uang bukan ?" orang itu tertawa. „Inilah!" serunya sembari mengeluarkan sebuah
kim-goan-po (kepingan emas) kira 20 tail lebih beratnya. Sepotong keping emas saja
sudah berharga 25 tail keping perak, jadi kim-goan-po itu berharga 500 tail perak. Heran
Oey Bi-long makin menyadi. Ada seorang nona datang berdiudi, ada pula seorang
bermuka jelek yang punya banyak uang.
Yan-chiu tak mau banyak bicara lagi, terus pasangkan uangnya dihuruf „toa" (besar).
Dan klutuk2 setelah mengocok sebentar, Oey Bi-long lalu buka mangkoknya. Satu
dinomor 5, satu pada nomor 6 dan satu pada nomor 3, jadi sama sekali 14 mata, tepat
tiocok dengan huruf „Toa" !
„Mana berikan kim-goan-po itu!" seru Yan-chiu kegirangan. Simuka jelek memberikan
sembari bertanya pula kalau2 nona itu maeih mau bertaruh lagi. Pikir punya pikir Yan-t
jhiu terpikat. Kalau kalah, paling banyak kim-goan-po tadi kembali pada yang empunya.
Tapi d jika menang, berarti la, mendapat dua kim-goan-po. Yan-chiu mengiakan, tapi
simuka d jelek itu mengajukan sjarat. „Kalau kalah, kau harus menyerahkan ular itu
padaku !" katanya.
Yan-chiu tahu kalau ceng-ong-sin itu merupakan sebuah mustika ular. Kawanan
orangutan yang begitu ganas, takut kepada ular itu. Andaikata tadi kalah, iapun tak
bersedia, menyerahkan ular itu. „Tidak main lagi !" sahutnya menggeleng.
Simuka jelek tak dapat berbuat apa2. Para penyudi lain yang melihat ia memperoleh
kemenangan sedemikian besar, sama mengerumuni sigenit. Malah sikepala gundul yang
kepalanya tertimpa bambu tempat ular tadi segera merengek :
„Nona, lihatlah! Karena ularmu menyabet, maka bambunya telah mengenai kepalaku,
aduh sakitnya !"
Yan-chiu menerima bambu itu lalu memasukkan ceng-sin-ong. Diberinya orang itu
sekeping perak hancur. „Kalau kau biarkan kepalamu terketuk bambu ini sampai 3 kali,
akan kuberimu 50 tail perak!" sigenit hendak ber-olok2. Bukan main girangnya orang
yang gundul itu. Dengan serta merta dia pasang kepalanya. „Ketuklah!" katanya.
Yan-chiu tertawa cekikikan. Ketika masih berada di Lo-hu-san, ia tak mengerti sampai
dimana pengaruhnya uang itu pada manusia. Maka tadi ia anggap masa orang mau
diketuk kepalanya sampai 3 kali dengan hanya diberi 50 tail perak. Pada hal 50 tail perak,
merupakan jumlah yang besar bgi kaum penyudi ditempat itu. Tuk...., tuk...., tuk...,
habis mengetuk 3 kali, la lalu tukarkan uangnya pada oey Bi-long, kemudian memberikan
50 tail perak pada sigundul.
„Siapa lagi yang mau ? 3 ketukan, 50 tail!"' seru sinona yang tak mengerti harganya uang.
Maka berebut-rebutanlah para penyudi itu menawarkan kepalanya. Sibuk juga Yan-chiu
meng-gerak2kan tangannya mengetuk. Selagi permainan itu berjalan dengan riangnya,
tiba2 simuka jelek tadi berseru: „Nona, tahan dulu!"
„Mengapa ? Perakku cukup banyak!" sahut Yan-chiu. Simuka jelek tertawa dingin,
ujarnya: „Coba nona hitung, sudah mengetuk berapa kepala ? !"
Ketika Yan-t jhiu menghitung, ia berseru kaget. Kiranya ia sudah mengetuk 12 kepala
orang, pada hal perak hanya 500 tail, terang tak mencukupi. Kalau hendak mengurangi
jumlah hadiahnya, dia sungkan. Kalau ia bingung terdiam, adalah orang2 yang kepalanya
sudah diketuk tadi sama hiruk pikuk karena mengetahui uang sinona tak cukup.
„Ribut2 apa ? Nonamu mau main lagi!" bentak Yan-t jhiu dengan gusar. Yang 450 tail
dibagikan pada 9 orang, sisanya dua orang masih diutang 100 tail, sama mengawasi Yan-
chiu dengan mata lebar. Simuka jelek terus saja mengeluarkan kim-goan-po lagi,
katanya: „Nona mau pegang „toa" atau „siao"
„Yang besar !" sahut Yan-chiu seraja meletakkan bumbung bambu pada bagian toa
(besar). Melihat peristiwa yang aneh itu, Oey Bi-long tak mau ladeni lain orang lagi
melainkan chusus untuk kedua orang itu saja. Setelah mengocok 3 kali, tiba2 dia
berseru: „Buka!" -
Lagi2 d jumlahnya 11, jadi Yan-chiu menang pula! Hai....., adakah benar2 Yan-chiu
sedang tangan naik (mujur dalam perjudian)? Bukan demikian. Soalnya, kalau sinona
yang menang, Oey Bi-long tentu dapat persen uang. Tapi kalau
simuka jelek yang menang, dia tak dapat apa2. Maka sewaktu mengopjok tadi, dia telah
gunakan siasat. Bagi seorang bandar, kepandaian untuk menentukan kalah menang itu,
menyadi darah daging (kebiasaan).
„Mankan uangmu itu !" seru Yan-chiu dengan girang sekali. Tapi kali ini simuka jelek itu
menggebrak meja mendamprat: „Oey Bi-long, besar nyalimu berani main curang!"
„Tuan kalah, lebih baik angkat kaki saja, yangan sampai ditertawai orang!" sahut Oey Bi-
long dengan ketus. Simuka jelek itu tampak gusar sekali, tapi pada lain saat tenang
kembali, katsnya: „Tadi tidak terpakai, ganti lain orang yang memainkan.!!"
Sudah tentu Yan-chiu marah, dampratnya: „Bangsat, kau mau main gila ja ?" Plak....., ia
memukul meja judi, hingga sekeping perak hancur, melesek masuk didalam meja.
Melihat itu penyudi lainnya sama terkejut. Yang nyalinya kecil, siang2 Sudah angkat
kaki. Juga Oey Bi-long sendiri terbeliak matanya. Tapi simuka jelek sebaliknya malah
loncat keatas meja. Kini tegas dilihat oleh Yan-chiu bahwa didalam baju simuka jelek itu
ada benda menonyol, terang tentu senyata tajam. Kalau bukan pedang tentu golok. Jadi
dia tentu orang persilatan juga!
Begitu berada diatas meja, simuka jelek lalu ulurkan tangannya menerkam Oey Bi-long,
siapa ternyata juga mengerti sedikit ilmu silat lantas hendak menyingkir. Tapi ternyata
gerakan simuka jelek itu tangkas sekali. Baru Oey Bi-long gerakkan tubuhnya, dia sudah
maju memburu dan dapat menerkam dengan tepatnya. Oey Bi-long rasakan bahunya
seperti dijepit jepitan besi. Saking kesakitannya, jidatnya sampai mengucurkan keringat
ber-ketes2 turun membasahi pakaiannya.
Mengapa kalian diam saja tak lekas2 panggil suhu !"
Oey Bi-long menereaki orangnya seraja berusaha se-kuat2nya untuk meronta. Melihdat
kekacauan itu Yan-chiu tak ambil peduli. Yang penting dia segera ambil kim-goan-po,
memberikan 100 tail perak pada kedua orang tadi (yang diketuk kepalanya), lalu
menggerombol pada orang banyak yang tengah melihat keributan itu. Makin Oey Bi-long
meronta, makin simuka jelek itu perkeras cengkeramannya sembari memaki: „Bangsat
busuk!"
Baru suara itu diucapkan, Yan-chiu terkejut dan segera berseru keras: „Hai, The Go, kau
juga berada disini ?"
Mendengar itu simuka jelek teramat kaget, lalu merobah nadanya: „Nona, kau panggil
siapa ? yangan pergi dulu, kita main lagi sampai habis!"
Terang tadi Yan-chiu mendengar nada suara The Go, maka ia segera mencari keeekeliling
tempat situ, namun tak menyumpainya. Apaboleh buat ia terpaksa kembali ketempatnya
tadi lagi. Saat itu kedengaran simuka jelek masih me-maki2 dengan nada melengking:
„Oey Bi-long, berani benar kau main gila dihadapan tuan besarmu ini. Kau masih sayang
kulitmu yang kuning pucat itu tidak ?"
Mendengar makian sang lucu itu, Yan-chiu tertawa geli.
Tapi dalam pada itu dari luar pintu terdengar suara orang menggerung dengan keras ja:
„Siapa yang berani mengacau disini? Apa sudah sediakan peti mati hingga tak jeri pada
nama yang menggetarkan dari Cui-kim-liong (naga emas mabuk ) ini !"
Yan-chiu mengawasi orang yang sumbar2 itu. Seorang lelaki gemuk, perutnya gendut,
melangkah masuk kedalam ruangan situ. Baru dia muncul, orang banyak segera berseru:
„Simuka jelek itu tentu diremuk tulangnya oleh Cui-kim-liong!"
Tapi berbareng dengan dugaan orang banyak itu, tiba2 terdengar suara mengaduh keras
dan sesosok tubuh gemuk dilemparkan keluar. Bluk..., rupanya keras juga jatuhnya,
hingga sigemuk itu tak hentinya mengerang. Me jusul dengan itu, sesoeok bayangan
berkelebat. Simuka jelek tadi dengan menyinying Oey Bi-long, loncat keluar. „Semua
orang tak boleh meninggalkan tempat ini ! Biar menyadi saksi. Oey Bi-long, jawablah tadi
kau bermain curang tidak ?" kata simuka jelek.
Mengetahui suhunya, Cui-kim-liong, dihajar jatuh bangun, Oey Bi-long insjaf kalau hari
itu ketemu dengan jago yang lihay. Tapi untuk mengakui tuduhan simuka jelek tadi,
terang dia tak mau. Karena begitu mengaku bermain curang, orang tentu tak mau datang
kerumah pend judian yang diusahakannya itu. Maka biar menderita kesakitan, dia tetap
menggigit gigi tak mau mengaku.
Dalam pada itu, Yan-chiu me-nimang2. Kalau si Bi-long mengaku curang, ia sendiri juga
kena akibatnya harus mengembalikan kim-goan-po tadi. Di-pikir2 lari adalah yang paling
selamat. Begitu keputusan diambil, ia segera menyelinap pergi diantara orang banyak.
Menyusur gang kecil, sampailah ia dijalan besar. Kini dengan mengantongi uang,
sikapnya berlainan. Untuk menuruti nafsu kemengkalannya, ia kembali lagi ketempat
rumah makan, dimana ia pernah diejek oleh si pemilik karena tak membawa uang tadi.
„Nona, lihatlah yang benar, yangan kesalahan masuk lagi !" kata sipemilik demi melihat
kedatangan Yan-t jhiu.
Yan-chiu hanya mendengus, sahutnya dengan adem: „Suruh orangmu menyediakan meja
yang bersih !"
„Begitu saja kan sudah cukup," sahut sipemilik. Tapi Yan-chiu segera deliki matanya
membentak: „Bagaimana ?"
Trang......, kim-goan-po dibanting diatas meja. Saking kagetnya sipemilik rumah makan
sampai berjingkrak. Seketika itu juga wajahnya berganti raut, dari kecut menyadi ber-
seri2 girang. „Harap nona suka tunggu sebentar!" serunya dengan ter-sipu2, sembari
memanggil pelajan untuk meladeni Yan-chiu.
Setelah menumpahkan kemengkalan hatinya tadi, Yan-chiu menyadi puas. Kim-goan-po
dikantongi lagi, lalu ikut pada sipelajan. la dipersilahkan duduk disebuah tempat yang
bersih. „Yangan banyak cakap, lekas bawa daftar makanan kemari!" aerunya,
„Bakpao daging anying, nona suka dahar tidak?" tanya sipelajan.
„Suka saja! Bakpao daging orangpun juga makan!" sahut Yan-chiu.
Siao-ji, sipelajan itu terbelalak matanya. Diam2 dia membatin, rupanya sih cantik tapi
mengapa nona itu bicara tak keruan. Sekalipun berpikir begitu, pela jan itu tak berani
bercuit.
Tak berapa lama, Siao-ji membawa penampan besar bak-pao daging anying. Kata orang
„kalau lapar segala apapun enak". Bagaikan macan menerkam korbannya, Yan-chiu
segera menyapu bersih bakpao itu. Kini dia betul kenyang.
Diam2 dia mendongkol melihat sikap sipemilik rumah makan tadi. Melihat berkilaunya
uang, sipemilik itu berminyak matanya, pertanda bagaimana rakus hatinya itu. Oleh
karena kebetulan senggang, Yan-t jhiu hendak memberi pengsajaran pada orang itu.
Otaknya bekerja untuk mencari akal.
„Jongos!" achirnya ia berseru memanggil Siao-ji.
Kedatangan Yan-chiu kerumah makan situ, telah menarik perhatiaan orang. Pertama ia
keluarkan kim-goan-po, setelah duduk lalu ber-kaok2 keras dan makan bakpao,
mulutnya berkecap-kecup dengan kerasnya. Sipemilik telah memesan pada Siao-ji supaja
melajani baikz pada nona itu. Mendengar panggilan Yan-t jhiu, eipela jan Begera ter-eipu2
menghampiri : „Nona hendak suruh apa ?"
„Suruh sipemilik kemarl !" kata Yan-chiu. Oleh karena sejak tadi sipemilik selalu taruh
perhatian pada sinona, maka dengan serentak dia menyahut: „Nona ada pesanan apa
memanggil aku ?" katanya sembari menghampiri.
„Apa namanya rumah makanmu ini ? Apakah yang terbesar dikota ini ?" tanya Yan-chiu.
„Diseluruh Ko-ciu-hu sini, tak nanti dapat dlcari yang melebihi dari rumah makanku ini,"
sahut sipemilik sambil meng-urut2 yanggut.
„Jadi tentunya kau bersedia segala macam masakan, bukan ?"
„Sudah tentu ! Kecuali limpa2 naga atau hati burung hong, kami bersedia lengkap. Entah
apa yang nona hehdak kehendaki ? Untuk satu orang, atau mau mengadakan pesta"
Yan-chiu tertawa cekikikan, ujarnya : „Aku hendak pesan, masakan telur Ho-pau-tan
(mata sapi), Telur itu harus dipilihkan yang ulam !"
„Ah, itu urusan kecil," sahut sipemilik.
„Yangan omong besar dulu. Telur bungkus itu kau iris
separoh. Separoh kumakan separoh kutinggalkan. Hanya saja, Dua2nya harus tetap ada
kuning telornya, Kalau sampai kurang mencocoki seleraku, kau harus ganti kerugian
satu tail perak. Tapi jika mencocoki, nanti kuberi persen 2 tail perak setiap orang!"
Mendengar pesanan istimewa itu, sipemilik terkesiap kaget. Telur mata sapi , itu, kalau
dipotong, (karena setengah matang) kuningnya tentu turut mengalir. Melihat sipemilik
rumah makan diam saja, Yan-chiu meradang: „Bagaimana ? Tadi kau telah buka suara
kecuali limpa2 naga dan hati burung hong, rumah makanmu itu serba lengkap
persiapannya. Masakan hanya telur mata sapi saja kau tak mampu ? Rumah makan apa
ini ? Hajo, lekas turunkan papan namanya !"
Melihat Yan-tihiu seorang nona muda itu membawa sekian banyak uang, sipemilik
mengira kalau dia sedang berhadapan dengan puteri seorang pembesar tinggi. Kala itu,
suasana negara sedang dalam kekalutan. Tentara Ceng baru masuk Kwiciu sudah
berhenti, disebabkan Li Seng Tong berpaling haluan, jadi daerah Kwisay tak sampai
mengalami gangguan apa2. Adalah pembesar2 Beng itu sendiri yang tak tahu diri.
Sedangn ja negara tengah menghadapi bencana, mereka masih berpesta pora menikmati
kesenangan.
Memeras rahajat guna mengisi kantongnya dewek. Anak2 didaerah situ sama ber-main2
sebuah pameo : „Baru si Biru pergi, si Hijau datang. Kasihanlah...... sang padi,
kasihanlah....... sang padi!"
„Sihijau" diartikan tentara pecundang kerajaan Beng.
Sedang sibiru, dimaksudkan tentara jeng. „Padi" arti kiasan bagi rahajat d jelata.
Karena anggapannya tadi, sipemilik rumah makan makin tak berani menyalahi Yan-chiu.
Kuatir kalau mendapat hukuman berat, dia segera perintahkan juru masaknya untuk
mengerjakan pesanan aneh dari sinona.
Habis memesan, Yan-chiu duduk dengan garangnya, Dia memandang kekanan,
mengawasi kekiri, se-olah2 tak menganggap pada orang2 yang berada disitu lagi. Oleh
karena cemas, sipemilik rumah makan esegera pergi kedapur untuk
Menilik pekerjaan tukang masak. „Tuan, lihatlah bagai mana ini ini ?" kata situkang
masak.
Ternyata sudah ada 18-an telur mata sapi yang digoreng, tapi begitu diiris, tentu
kuningnya turut mengalir keluar. Dicobanya dengan pisau kecil, juga tetap sama.
Arhirnya dia menghampiri Yan-chiu dan menghela papas, ujarnya: „Begitu Ho-pau-tan
itu diiris, kuningnya tentu ikut mengalir. Apa nona tak keberatan untuk memakannya
separoh bagian saja ?"
„Tidak mau !" sahut Yan-t jhiu dengan kegirangan. Dengan meringis, pemilik itu berdiri
menyublek tak dapat berbuat apa2. Para tetamu lainnya sama berisik membicarakan hal
itu. Ada beberapa langganan lama yang kenal baik dengan pemilik itu coba menerangkan
pada Yan-chiu:
„Ho-pau-tan yang nona kehendaki itu, mungkin dalam dunia ini tiada seorangpun yang
dapat mengerjakan. Yangan bergurau!"
„Kalau ada orang yang sanggup mengerjakan, lalu bagaimana?" Yan-chiu menantang.
„Papan rumah makan ini harus diturunkan !" sahut orang itu. Yan-chiu menerima
perjanyian itu, katanya: „Baik, Iihat nanti aku yang mengerjakan. Kalian ikut kemari
semua!"
Orang itu bersama sipemilik rumah makan lalu mengikut Yan-chiu kedapur. Didekat
wajan ada setumpuk 30-an Iebih butir telur, sedang didalam wajan tampak ada sebutir.
„Tolol!" damprat Yan-chiu, terus memegang susuk. Ia jemput sebilah pisau dapur lalu
dipanggang diatas api. Setelah panas, telur disusuk keluar lalu dipotong dengan pisau
tadi. Oleh karena pisau itu masih panas habis dipanggang, kuning telur jadi mengental
tak bisa mengalir keluar. Jadi dua potong Ho-pau-tan atau telur mata sapi itusama ada
kuning telurnya.
Habis mengerjakan itu tanpa menanyai apa2, is terus melangkah keluar dan turunkan
papan merknya. Walaupun si pemilik rumah makan mengeluh dalam hati, tapi dia tak
berani berkata apa2.
Puas membalas pada sipemilik rumah makan, iapun lalu angkat kaki. Sekeluarnya dari
rumah makan situ, haripun menyelang gelap. Ia cari rumah penginapan. Kiranya
peristiwa dirumah makan dan menang judi tadi cepat tersiar.
Begitu masuk kesebuah rumah penginapan, orang2 dirumah penginapan itu segera ter-
sipu2 melajaninya. Setelah cuci muka, ia hendak masuk kedalam kamarnya, tiba2
pengurus rumah penginapan itu menghampirinya dan membisikinya:
„Nona, tadi ada seorang yang bermuka jelek menanyakan tentang kamarmu. Harap nona
suka ber-hati2!"
Setelah menanyakan tentang ciri2 simuka jelek itu, di ketahui oleh Yan-chiu kalau sijelek
yang kalah main tadilah. Karena itu, iapun tak ambil perhatian lagi. Bumbung yang berisi
ceng-ong-sin diselipkan kebawah bantal, lalu berbaring. Oleh karena kurang tidur, baru
menggeletak, dia sudah cepat menggeros. Entah berselang berapa lama Ia tidur, ketika
lajap2 bangun ia seperti mendengar ada sebuah Suara berkeretekan. Yan-chiu buka mata
lebar2 dan mengeluarkan seruan tertahan karena melihat disela jendela kamar
memancar sebuah sinar. Begitu ia bersuara, sinar itupun lenyap. Yan-chiu terkejut
karena mengira ceng-ong-sin terlepas. Tapi ketika ia mengambil bumbung dan tempelkan
ditelinganya, ternyata masih terdengar ada suaranya.

GAMBAR 57
Maksud hati hendak tidur, tapi sang pikiran justeru terbayang
akan sang suko Tio Jiang, yang tak diketahui kemana perginya kini.

Tapi karena terbangun itu, ia tak dapat tidur lagi. Ingatannya me-layang2 pada Tio Jiang.
Kemana suko itu ? Ia jakin suko dan Nyo-cecu itu tentu tak mau berlaku licik hendak
lolos dari Kiang Siang Yan. Ia sangat harap kedua orang itu tak kurang suatu apa dan
nantinya dapat datang ke Ko-to-san.
--oo0oo--
(Bersambung Ke Bagian 31.3)
YAN CHIU BERJUDI

BAGIAN 31.3

Teringat Ko-to-san, Yan-thjiu terus buru2 hendak lanyutkan perjalanannya lagi. Tapi
mendadak suara tadi terdengar, disusul dengan memancarnya sinar dari sela jendela.
Kini Yan-t jhiu sudah terd jaga betul2, tidak seperti tadi masih lajap2. Ternyata jelas
dilihatnya bahwa sinar ke-hijau2an yang menyusup masuk itu berasal dari sebuah
pedang pusaka. Dan hai....., itu kan pedang kuan-wi yang direbut oleh The Go tempo
hari?!
Jelaslah kiranya kalau bukan The Go tentu juga salah satu kambratnya yang hendak
bermaksud jahat terhadap dirinya itu. Yan-chiu mendapat akal. Ia pura2 menggeros lagi
dengan men-dengkur keras. Tapi ternyata sitetamu malam itu juga bukan orang tolol.
Baru dia hendak loncat masuk, atau dia sudah menyurut balik"karena mendengar
dengkuran sinona. Seorang nona dari 16-an tahun, berbadan kurus, mana bisa
mendengkur begitu keras ? Ah......., tentulah hanya di-buat2 saja.
Yan-chiu terkesiap, ketika didengarnya suara tadi sirap.
Sebenarnya ia sudah siap menerkam, begitu sipenyahat masuk. Saking tak sabarnya, dia
segera timpukkan bantal ke-arah jendela. Oleh karena sekarang lweekangnya bertambah
maju, maka walaupun dengan bantal namun dapat membuat daun jendela itu terbuka.
Menyusul dengan itu,
Yan-chiu loncat keluar jendela, ia tepat jatuh diatas wuwungan rumah karena letak
kamar Yan-chiu, di loteng, namun tiada melihat seorangpun juga. Tapi ketika ia hendak
balik kembali kedalam kamar, dari belakang kepalanya terasa ada angin menyamber.
Buru2 ia loncat kemuka pada sebuah wuwungan. Tapi belum lagi ia sempat memutar
tubuh, suara senyata sudah melayang tiba pula.
Sejak mengikut Tay Siang Siansu, ilmunya mengentengi tubuh maju pesat. Tapi
sipenyahat itu sudah dapat mengikuti laksana bayangan, jadi dapat dikira2kan
bagaimana lihay orang itu. Karena tak membekal senyata, terpaksa Yan-chiu mendak
kebawah. „Bagus !" serunya demi senyata itu menabas diatas kepalanya. Tanpa berajal,
ia balikkan tangan mengirim sebuah hantaman.
Ternyata serangan Yan-chiu itu cepat dan tak terduga, hingga orang itu tak dapat
menghindar. Prak......, sebuah genting telah terinyak remuk. Tatkala Yan-chiu berputar
mengawasi, kiran ja pen jerangnya gelap itu bukan lain adalah simuka jelek yang
empunya kim-goan-po tadi. Tangannya mencekal pedang kuan-wi.
„Dari mana kau peroleh pedang itu ?" bentak Yan-chiu,
Orang itu tak menyahut hanya bolang-balingkan pedangnya untuk menyerang lagi.
Melihat ilmu permainan pedang simuka jelek sedemikian aneh seperti bukan ilmu
permainan pedang, bermula Yan-chiu kaget, tapi pada lain saat ia segera berseru:
„Bangsat, kau si The Go bukan ?!"
Orang itu tetap membisu. Habis 4 kali serangan, dia kembali menyerang lagi. Kali ini
ujung pedang ditusukkan kejalan darah jin-tiong-hiat. Dibawah cahaja rembulan, pedang
itu ber-kilau2an menyeramkan bulu roma. Tadi saja untuk 4 buah serangan itu, Yan-
chiu sudah setengah mati menghindarnya. Kini lebih runyam lagi. Pokok kelemahan Yan-
chiu disebabkan karena tak membekal senyata. Paling banyak ia hanya dapat andalkan
kelincahannya untuk berputar2 menghindar. Kemudian setelah berhasil menghindar,
segera ia cabut bumbung bambu yang tergantung dibelakang punggungnya. Simuka jelek
terkesiap.

GAMBAR 58
"Bangsat, bukankah kau The Go adanya?" bentak
Yan-chiu sembari menghindari serangan orang yang bertubi2.

„Siapa sebenarnya kau ini ? Kalau tak mau bilang, awas akan kulepaskan ceng-ong-sin
ini !" Yan-chiu mengancam.
Orang itupun tertegun tak berani menyerang dan menyahut dengan nada tajam :
„Bagaimana kau bisa kenal si The Go?"
„Bangsat itu dibenci oleh semua orang persilatan, masa aku tak kenal ?!" kata Yan-chiu.
„Ah, The sute bukan orang jahat begitu !" kata orang itu.
„Oh, jadi kau ini sukonya ?"
Orang itu mengiakan. Tahu2 dia sudah menggeliat seperti mau rubuh kearah Yan-chiu,
tapi yang sebenarnya jalah hendak menutuk jalan darah ki-bun-hiat pada dada orang.
Yan-chiu ke-merah2an muka, ta emnos dadan ja. Tapi tiba2 tangannya dirasakan sakit
dan tangan kirl sijelek itu sudah menerkam bumbung ular yang dipegangnya. Kini baru
Yan-chi insjaf, bahwa tutukan tadi hanya serangan kosong, serangan yang sebenarnya
jalah hendak merebut bumbung ular. Dalam gusarnya, Yan-chiu gunakan wan-yang-lian-
thui, sepasang kakinya berbareng menendang, tapi tangannya ditarik kebelakang dengan
sekuat tenaga.
Ternyata orang itu membandel dan berkeras handak merebut ular t jeng-ong-sin.
Begitulah kedua orang itu saling membetot adu tenaga. Bumbung bambu itu sudah tentu
tak tahan dibuat tarikan oleh dua orang yang mempunyai ilmu lwekang. Krek.......,
putuslah bambu itu. Karena keduanya sa-
Iing keluarkan tenaga besar, maka masing2 sama terjerembab surut kebelakang sampai
dua tindak. Tangan masing2 mencekal separoh kutungan bambu. Sedang ditanah
tampak ular ceng-ong-sin melingkar sembari julangkan kepaIanya keatas. lidahnya
menyulur surut diantara bunyi desisan yang keluar dari mulutnya.
„Bajingan, kau tak beda dengan sutemu. Ceng-ong-sin loIos, jiwamu tentu amblas!"
serunya sembari maju hendak menangkap ular itu. Tapi sebatang pedang hijau kemilau
tiba2 menusuknya, hingga ia terpaksa tarik pulang tangannya. Kiranya orang Itu telah
serangkan pedangnya dengan tangan kiri, sedang tangannya kanan juga akan
menangkap ular ceng-ong-sin. Saking gusarnya, Yan-chiu timpukkan kutungan bambu
tadi kearah siorang jelek sembari menyusuli dengan sebuah serangan. Simuka jelek mau,
tak mau terpaksa mundur menghindar.
Hendak dibuat rebutan, ceng-ong-sin marah juga. Dengan buasnya binatang Itu
meregangkan kepalanya, siap sedia menggigit siapa yang berani main gila padanya.
„Ceng-ong-sin, gigitlah bangsat itu !" seru Yan-chiu. Maksudnya hendak menyuruh ular
itu menggigit simuka jelek. Ia jakin ular itu tentu menurut. Tapi jadinya malah
kebalikannya.
KaIau tadi ia diam saja, itu sih baik. Begitu ia buka suara, ceng-ong-sin terus berputar
menghadapi Yan-chiu. Kiranya ular ceng-ong-sin itu mempunyai daja ingat yang kuat
sekali. Selama disekap dalam bumbung yang begitu sempit, beberapa kali ia mendengar
suara Yan-chiu. Begitu tadi Yan-chiu buka suara lagi, binatang itu segera mengenalnya,
itulah orangnya yang menyiksa ia didalam bumbung.
Yan-chiu yang tahu akan keganasan ceng-ong-sin, sudah tentu menyadi terperanyat
takut. Buru2 ia hendak bersiap Iari, tapi ular itu secepat kilat sudah merangsang
memagut padanya. Yan-chiu menghindar kesamping, hingga pagutan ular itu lewat disisi
tubuhnya. Sekalipun begitu saking lihaynya, lengan baju Yan-chiu yang kesrempet telah
men jadi robek separoh.
Luput meneryang, ular itu meluncur sampai dua meter jauhnya baru dapat berhenti dan
berputar diri terus maju menyerang lagi dengan dahsjatnya, Untuk menghindar, terpaksa
Yan-chiu loncat sampai 3 meter tingginya. Namun siular juga merangsang memburu
keatas. Sjukur Yan-chiu dapat melompat - lebih tinggi dari rangsangan siular, lalu terus
melayang kesamping. Namun dengan cepat sekali, siular sudah meluncur hendak
menggigit kaki sinona.
Dengan mengandal kelincahannya, lagi2 Yan-chiu loncat kesamping. Sebaliknya simuka
jelek yang mengawasi kejadian itu, tak henti2nya tertawa ter-kekeh2. Yan-chiu
mendongkol bukan buatan. Ia menghendaki orang itu supaja rasakan kelihayan ceng-
ong-sin juga. Sekali enyot sang kaki, ia loncat kesamping simuka jelek. .
Ceng-ong-sin terkenal sebagai raja sekalian ular berbisa. Kalau digunung, tak pernah ia
luput menerkam, korbannya. Segala jenis binatang kalau berjumpa dengan ular itu, tentu
akan sudah lemas badannya. Tapi dua kali ular itu menyerang sinona tanpa berhasil,
telah menyebabkan ia (ular) marah sekali. Dengan Was dan men-desis2, ular itu kembali
menyerang. Sebaliknya begitu berada disamping simuka jelek; Yan-chiu segera mengirim
dua buah hantaman. Ketika orang itu hendak menangkis, cepat luar biasa Yan-chiu
sudah menyelinap kebelakangnya. Inilah suatu siasat yang lihay. Biar bagaimana ular
ceng-ong-sin itu tetap seekor binatang, jadi tak dapat membedakan orang.
Karena tak melihat Yan-chiu, binatang itu menyerang simuka jelek, siapa sudah tentu
menyadi kelabakan setengah mati. Dengan. gugupnya, dia memutar pedang. Ternyata
ular itu kenal lihay juga. Ia mundur menyurut. sampai dua meter.
Ular dapat menghindar mundur, sungguh suatu hal yang langka. Sebenarnya hal itu
disebabkan karena bagian perut ular itu tumbuh sisik yang dapat dipergunakan sebagai
alat berjalan. Setelah mengundurkan ular, simuka jelek membacok Yan-chiu. Karena tak
dapat menangkis, terpaksa Yan-chiu menghindar. Tapi begitu ia bergerak, ceng-ong-sin
sudah maju menyerang lagi. Dan berbareng pada saat itu, pedang simuka jelekpun
melayang datang. Jadi kini Yan-chiu diserang dari muka belakang.
Tadi menghadapi seekor ceng-ong-sin saja, Yan-chiu sudah amat sibuk. Apalagi kini
masih ditambah dengan seorang musuh manusia yang tangguh. Dapat dibayangkan
bagaimana sukar kedudukannya pada saat itu. Dengan susah pajah, ia masih dapat
bertahan sampai dua serangan. Tapi pada lain serangan, pakaiannya kena disambar
robek oleh ceng-ong-sin lagi.
Kembali simuka jelek membacok punggung, sedang ceng-ong-sinpun menyerang dari
muka pula. Yan-chiu benar2 tak dapat loncat menghindar lagi. Jalan satu2nya jalah
loncat tinggi2 keatas. Diatas udara, ia pijakkan kaki kiri pada kaki kanannya untuk
loncat naik lebih tinggi lagi.
Dari situ, dia terus meluncur turun kebawah tanah. Sewaktu meluncur turun, ia masih
sempat memandang ketempat pertempuran tadi. Ternyata pada saat itu, ceng-ong-sin
tengah menyerang simuka jelek, tapi kena didesak oleh pedang pusakanya.
Begitu tiba ditanah, Yan-chiu menyejak lagi untuk meIambung keatas wuwungan. la
mendekam ditempat yang gelap untuk melihat jalannya pertempuran. Ceng-ong-sin
menggeliat kekanan-kiri, untuk mencari kesempatan memagut korbannya, Sekalipun
simuka jelek membekal sebilah pedang pusaka ditangan, namun tak mudah juga hendak
menebas siular. Malah beberapa kali orang itu terpaksa harus menyingkir dari teryangan
siular sangat dahsjatnya.
Yan-chiu girang dan mendongkol terhadap simuka jelek itu. la lepaskan sebuah genting,
lalu dipecahnya menyadi beberapa keping. Sekali merangkum dengan 3 buah jari, Yan-
chiu. segera timpukkan pecahan2 genting itu kedaerah jalan darah leng-thay-hiat
dipunggung orang.
la benci sekali terhadap orang bermuka jelek itu. Maka timpukannya itu dilancarkan
dengan sekuat tenaganya, KaIau orang itu tak dapat menghindar, tentu akan terluka
atau tentu kena digigit siular. Dan ternyata harapannya itu nampaknya terkabul. Orang
itu diam saja, hanya tumpahkan perhatian melajani teryangan siular. Dengan putar
pedang, mendesak ceng-ong-sin mundur dan bluk ........ punggungnya termakan pecahan
genting. Tapi hai....., mengapa tak apa2 ?
Orang itu tetap menghadap kemuka, sedikitpun tak menghiraukan punggungnya yang
terkena timpukan itu.
Yan-chiu tersadar. Oleh karena orang itu adalah suko dari si The Go, jadi tentu dia juga
murid Ang Hwat t jinyin yang faham ilmu i-hiat-hwat (memindah jalan darah).
Hingga kalau orang biasa bagian itu merupakan jalan darah berbahaya, tapi bagi dia
tidak. Namun Yan-chiu tak mau mundur putus asa. Tiga keping pecahan genting kembali
ditimpukkan. Rupan ja orang itu dapat juga mendengar samberan angin timpukan Yan-
t jhiu, tapi oleh karena dari muka siular tengah merangsang lagi, terpaksa dia tak mau
berpaling kebelakang.
Melihat orang itu terpaksa mandah menerima timpukan nya, Yan-chiu kegirangan sekali.
Karena lwekangnya bertambah maju, sekalipun orang itu dapat menutup jalan darahnya,
namun tak urung tubuhnya terasa sikit juga terkena timpukan genting itu. Lama2 orang
itu mendongkol juga. Kalau -mau, sekali tabas dapat dia menguntungi kepala si ceng-
ong-sin, tapi rupanya dia hendak menangkap hidup2an binatang istimewa itu. Hujan
pecahan genting itu, lama2 membuatnya kesakitan juga.-Achirnya tak dapat dia bertahan
sakit lagi. Sekali enyot kakinya, dia berjumpalitan melesat kebelakang, terus men jerangn
ja. Kaget Yan-chiu tak terkira. Kalau hendak tnen jurut kebelakang, orang itu tentu tetap
memba yangi. Maka terpaksa la gunakan gerak tiat-pian-kio, buang dirin ja kebelakang.
Sewaktu pedang itu menyambar lewat diatas tubuhnya, ia rasakan ada serangkum hawa
dingin menyampoknya. Dingin dan seram rasanya, hingga ada beberapa lembar
rambutnya menyadi rontok. Terang suatu pusaka yang tiada taranya didunia.
Luput menabas, orang itu turunkan tangkai pedangnya kebawah untuk menutuk jalan
darah ki-bun-hiat didada Yan-chiu. T jepat dan ta.n,gkss sekali gerakan itu dilakukan
hingga Yan-chiu tak sempat menghindar. Terpaksa ia gunakan cian-kin-thui (tekanan
1000 kati) untuk menekankan kakin ja keatas genting, brak ......tubuhnya melesak
jatuhkedalam rumah!
„Maling...., maling....!" se-konyong2 seorang perempuan didalam ruangan situ menyerit.
'
Yan-chiu ber-gegas2 merajap bangun. Tanpa pedulikan perempuan yang menyerit-jerit
ketakutan, ia terus loncat keluar jendela, dari situ ia loncat pula keatas wuwungan. Saat
itu dilihatnya simuka jelek mengulaikan tangannya kebawah, se-olah2 hendak membuka
bagian dadanya. Ceng-ong-sin bagaikan sebatang anak panah, meluncur dengan
pesatnya akan menggigit kening orang. Yan-chiu terperanyat girang. Terang orang itu
tentu akan melayang jiwanya. Tapi se-konyong2 suatu kejadian ajaib terjadi. Baru kepala
siular merangsang maju, sebat sekali tangan orang itu sudah menyambar angsangnya
dan mengibaskan kesamping dengan se-kuat2nya. Tanpa disengaja, tangannya telah
menyamplok muka dan tiba2 serongsong topeng muka tersingkap jatuh, lalu disambar
mulut siular yang terus menggigitnya dengan geram sekali.
Bermula Yan-chiu mengira kalau benda Itu adalah besetan kulit muka siorang jelek, tapi
begitu diawasi dengan perdata, mulutnya segera ternganga kaget. Kiranya orang bermuka
jelek itu bukan lain adalah si The Go! Adalah kalau Yan-chiu sudah begitu kesima,
sebaliknya The Go sudah begitu kegirangan sekali. Sehabis perdengarkan tertawanya
panjang, dia segera menghilang ditempat kegelapan.
Kini teringatlah Yan-chiu suasana dirumah perjudian. Pertama kali melihat gerak gerik
simuka jelek itu, Yan-chiu sudah merasa pernah mengenalnya. Malah pada saat itu, dia
pun mendengar suara si The Go. Tapi oleh karena kelicinan anak muda itu, jadi Yan-chiu
tak berdaja membuktikan kecurigaannya,
Pedang pusaka kuan-wi, seekor ular ceng-ong-sin yang keramat, dua2nya hilang didalam
tangannya. Dua2nya kena direbut mentah2 oleh The Go. Bagaimana marah dan
kebenciannya. Sekali enyot tubuh, ia lari mengejar. Tapi karena berajal sejenak tadi, sang
rase sudah menghilang.
Saking bingungnya, terpaksa Yan-chiu balik kedalam biliknya. Sudah tentu ia tak dapat
tidur lagi. la menduga keras, The Go tentu menuju ke Ko-to-san untuk mengadakan
persiapan pertempuran hari pehcun nanti. Saat itu, Yan-chiu segera berkemas berangkat
menud ju ke Ko-to-san. Sjukur bisa ketemu ditengah jalan, kalau tidak masih
mempunyai kesempatan. lagi untuk berjumpa di Ko-to-san.
Singkat ceritanya, dua hari kemudiaa tibalah Yan-chiu dikaki gunung Ko-to-san. Bulan
yang lalu, dia pernah datang kesitu bereama eukon ja, jadi ia sudah faham akan
jalan2nya. Setelah mencari keterangan pada penduduk disitu, diketahuinya kalau belum
ada seorsng kaum persilatanpun jua yang datang digunung tersebut. Ceng Bo
Siangjinpun belum nampak tiba. Yan-chiu indahkan pesanan Kui-ing-cu, jaitu
menunggu kedatangan rombongan sang suhu dikaki gunung itu.
Tapi pada lain saat terkilas suatu pikiran lain dibenaknya.
Celaka, kalau sampai rombongan suhunya mengetahui tentang peristiwa pedang Kuan-
wi dan ular ceng-ong-sin yang sudah kena dirampas The Go, ia (Yan-chiu) tentu akan
disesali kawan2, demikian pikirnya, Ah...., toh mereka belum datang, kiranya tak apa
kalau ia coba menyelidiki Keats gunung. Siapa tahu kalau nanti ia berhasil merebut
kembali kedua benda pusaka itu. Dengan demikian, dapatlah ia mengembalikan
kehilangan muka itu.
Ia hanya merasa kepandaiannya telah memperoleh kemajuan yang besar. Tapi sedikitpun
ia tak mau tahu atau memang benar2 tak mengetahui bahwa orang2 gereja Ang-hun-
kiong itu terlebih lihaynya! Oleh karena saat itu masih pagi, Ia mencari sebuah pandai
besi minta supaja dibuatkan Be perangkat rantai dan bandringan liu-ce-chui serta
sebilah pedang!
--oo0oo--
(Bersambung Ke Bagian 32)
BAGIAN 32
MASUK SARANG HARIMAU

BAGIAN 32.1

Setelah selesai, dicobanya kedua alat itu oleh Yan-chiu. Setelah memuaskan, ia lalu
berangkat ke Ko-to-san. Menyelang magrib, nun jauh disebelah muka, tampak tembok
merah dari gereja itu merebut pandangan mata. Mata Yanchiu yang tajam segera dapat
melihat bahwa dipintu dari gereja itu banyak sekali orang2 yang 'keluar masuk. Oleh
karena itu waktu, masih terang hari, terpaksa Yan-chiu mencari sebuah puhun rindang
untuk beristirahat. Untuk yangan diketahui orang, ia panyat keatas bersembunyi, nanti
setelah hari gelap, baru ia memasuki gereja itu.
Selagi ia me-nimang2 tentang keadaan gereja Ang-hunkiong yang begitu besarnya, se-
konyong2 terdengar dahan dibawah berkerotakan dan batang puhun itu ber-goyang2.
Cepat2 ia siapkan bandringan, tapi mendadak sebuah nada suara yang kasar terdengar
berkata: „Sam-suheng, rupanya gereja Ang-hun-kiong itu. kelak tentu jatuh pada The Go.
Kau dan aku, meskipun tergolong supehnya (paman guru), tapi tak dapat menyamai-
nya!"
Yan-chiu terkesiap, batal menggerakkan tangannya.
„Lo Su, apa kau penasaran ? Orang kan punya tiang andalan! Kali ini biar kita. lihat,
kalau kita berempat tampil, bagaimana suhu akan memutuskan ? Hem......, kemaren
Kuan Hong dan Wan Gwat mengatakan, suhu telah memutuskan hendak menurunkan
ilmu pedang Chit-sat-kiam-hwat padanya!" kata pula seorang. Terang dua orang yang
dibagian bawah dahan itu adalah orang2 Ang-hun-kiong.
„Apa benar begitu? Rasanya tidak, ah! Kita yang sudah ber-tahun2 mengikut suhu, belum
juga menerima pelajaran itu." sahut kawannya. Tapi orang tadi menetapkan kebenaran
keterangannya, katanya: „Sudah tentu benar! Suhu rupanya berat sebelah. Kali ini entah
dari mana anak itu berhasil membawa sebuah pedang pusaka. Sekali meminta, suhu
terus meluluskan!"
Yan-chiu yang cerdas segera dapat menduga siapakah kedua orang itu. Mereka tentulah
supeh dari The Go, juga muridnya Ang Hwat cinyin. Kalau mereka tak puas terhadap The
Go, terang menandakan bahwa anak itu memang jahat benar2. Dari sebutan yang
diucapkannya jakni „samsuheng" (kakak seperguruan ketiga) dan „Lo Su" (nomor 4),
adalah salah seorang Su Mo (empat iblis) Ang-hun-kiong yang bernama Sam-mo Long
Tek-san dan Su-mo Im Thian-kui. Yang tak dimengerti Yan-chiu jalah kata2 mereka yang
mengatakan bahwa The Go mempunyai tiang andalan itu. Untuk mengetahui lebih jauh,
ia pasang telinga dengan penuh perhatian.
Lewat sejenak, Sam-mo (iblis ke 3) Long Tek-san berkata pula: „Entah apa sebabnya,
sumoay sudah meninggal, namun suhu masih begitu sayang sekali terhadap anak itu!"
Su-mo atau Iblis ke-4 Im Thian-kui tertawa, ujarnya : „Ah, si 'kuda binal', punya gara2,
kalau tidak masa jisuheng sedemikian cepat meninggal dunia dan suhu lalu melanggar
pantangan menerimanya (sumoay) sebagai murid !"
„Lo Su, hati2lah bicara! Suhu tak senang orang mengungkat sebab2 kematian The
suheng. Yangan sampai didengarnya, celaka nanti!" Long Tek-san buru2
memperingatkan. Tapi Im Thian-kui tertawa sinis, ujarnya pula: „Kalau sudah melarang
begitu, apakah dikira tiada orang yang mengetahuinya? Masa apa ada perempuan yang
tidak menangis waktu suaminya meninggal? Setelah suaminya meninggal 11 bulan,
kemudian ia malah melahirkan anak. Huh, siapa yang mau mempercajai kalau anak itu
bibit tinggalan sang suami ? Orang yangan hanya memandang suhu itu seorang saleh
yang berilmu tinggi. Orang gagah paling sukar kalau menghadapi wanita cantik.
Namanya saja The Go itu cucu murid, tapi sebenarnya dia itu entah apanya suhu!"
Merah padam muka Yan-chiu mendengari pembajaraan yang agak cabul itu. Namun
karena mengenai persoalan The Go, jadi iapun terpaksa mendengarinya juga. Tiba2 ia
teringat akan kejadian di Lo-hu-san setengah tahun yang lalu. Itu waktu Kiau To telah
mengejek The Go dengan kata2 „ibu dan anak ber-sama2 belajar", yang menyebabkan si
The Go berobah wajahnya dan lalu menantangnya. Pertempuran hari pehcun nanti itu,
adalah gara2 ejekan Kiau To itu. Diam2 Yan-chiu mendapat kesan, diantara The Go dan
Ang Hwat cinyin itu tentu ada hubungan luar biasa. Kalau tidak, masa murid yang sudah
20-an tahun belajar tidak diberi pelajaran ilmupedang Chit-sat-kiam-hwat, sebaliknya
The Go diberi? Ji-mo atau iblis ke 2 dari Ang-hun-kiong itu bernama The Ban-li, sudah
lama meninggal. Sedang iblis pertama bernama Wi Tay-bing kini sudah berusia 50-an
tahun. Tapi entah siapa nama dari si „kuda binal" yang di-sebut2 tadi. Yangan2 ibu dari
The Go, tapi masa begitu tak sedap didengar julukannya, demikian Yanchiu berpikir.
Pada lain saat, terdengar genta gereja Ang-hun-kiong ber-talu2. Kedengaran Im Thian-
kui mengajak suhengnya menghadiri pelajaran malam. Ketika Yan-chiu mengintip di-
sela2 daun, kedua orang itu ternyata berdandan seperti tosu. Yang seorang bertubuh
tinggi besar, yang satunya pendek bermuka bersih.
Ketika talu genta gereja itu sirap, lampu2nya pun mulai dipadamkan. Itu waktu kira2
pukul 10 malam, Yan-chiu anggap sudah waktunya untuk mulai bekerja. Dengan hati2
ia menghampiri pintu gereja. Kira2 pada jarak 4 tombak dari pintu itu, ia mengumpat
disalah sebuah tempat yang agak gelap. Dua buah thing (paviljun) tampak sepi" saja.
Pada saat itu, Yan-chiu agak menyesal. Kalau jauh2 hari tahu hari itu hendak
menyelidiki, tentu dulu tempo datang kegereja situ ia perhatikan betul keadaan disitu.
Teringat juga ia tempo hari, begitu datang dipintu sudah disambut oleh kedua anak-
murid gereja jakni Kuan Hong dan Wan Gwat, jadi terang kalau penyagaan disitu teramat
kerasnya. Tak mau ia keluar pintu besar, tapi mengambil jalan mengitari tembok.
Tembok gereja itu lebih dari satu tombak tingginya. Semuanya terbuat dari batu merah
yang mengkilap, jadi sukar untuk dipanyat. Setelah tempelkan telinga ketembok dan
dapatkan didalam tiada kedengaran suara orang, baru Yan-chiu enyot tubuhnya loncat
keatas. Ia gunakan ilmu loncat dari Tay Siang Siansu. Ketika berada diatas tembok, ia
berjumpalitan melayang turun kedalam.
Tatkala berada didalam tembok, Yan-chiu agak terkesiap heran. Boleh dikata ruangan2
disitu hampir sama satu dengan yang lain. Sampaipun lankan terali pagar modelnya
sama semua. Kemana ia hendak mencari The Go? Tengah Yan-chiu ter-mangu2,
dilihatnya disebelah muka sana ada sebuah cahaja penerangan. Kalau tak masuk
sarangnya, tentu tak bisa mendapatkan anak harimau, Yan-ciu mengambil keputusan.
Kesanalah ia ajunkan langkahnya. Tapi setelah melewati dua buah kamar, ia menyadi
bingung dibuatnya, kepalanya terasa pening. Tak dapat ia membedakan arah mata angin
lagi. Diempat penyuru, semuanya kamar dan lorong serambi. Diam=' terbitlah sesalnya,
mengapa tak mau mendengarkan nasehat Kui-ing-cu. Kalau malam itu tak dapat lolos,
terang ia tentu akan menghadapi bahaja.
Hendak ia balik lagi ketempat tadi, tapi ber-putar2 sampai sekian lama tetap ia tak dapat
menemukan jalannya. Cahaja lampu yang dilihatnya, pun tiada tampak lagi. Selagi ia
mengeluh, se-konyong2 dari arah belakang terasa ada orang menyerang. Buru2 ia hendak
maju selangkah, tapi untuk kekagetannya, sebilah pedang telah menghadangnya. Yang
mengacungkan pedang itu ternyata seorang anak kecil. Yan-chiu tak gentar, terus ia
dorongkan tangannya untuk menangkap anak itu. Gerakan itu disebut „gong chiu toh
peh jim", dengan tangan kosong merebut senyata musuh. Duapuluh tahun lamanya
setelah menderita kekalahan dari suari isteri Hay-te-kau dan Kiang Siang Yan, Tay Siang
Siansu bersembunyi digunung Hoa-san untuk menciptakan ilmu tersebut yang kelak
sedianya hendak digunakan merebut pedang sepasang suami isteri itu. Tapi achirnya,
dengan bertambah dalamnya kebatinan Siansu itu, dia telah kikis habis rasa dendam itu.
Oleh karena tak jadi melakukan pembalasan, jadi ilmu itu belum pernah digunakan.
Yanchiulah yang beruntung mempraktekkan.
Bermula Yan-chiu jakin tentu akan dapat merampas senyata anak itu, tapi diluar dugaan
anak itu tangkas sekali. Sekali surut kebelakang, anak itu menghilang. Yan-chiu hendak
memburu, tapi tiba2 dibelakangnya ada sesosok tubuh kecil menusuk dengan pedang.
Yan-chiu terperanyat. Ketika ia hendak ulurkan tangan merampas, dari arah belakang
punggungnya kembali sudah terdengar suara senyata melayang. Tak mau ditelan
mentah2 disamping yangan sampai menerbitkan suara gaduh, Yan-chiu enyot tubuhnya
naik keatas genteng. Tapi baru sang kaki menginyak genteng, tiba2 serasa genteng itu
longsor kebawah dan sudah tentu iapun ikut terperosok jatuh kebawah, bum....... Tapi
anehnya, genteng itu tampak secara otomatis menyerampang lagi.
Yan-chiu leletkan lidah mengagumi kelihayan Ang Hwat cinyin. Sampaipun genteng atau
atap rumah juga berupa alat jebakan. Tempat dimana ia jatuh itu, ternyata merupakan
sebuah kamar kecil yang tiada jendelanya sama sekali. Yan chiu coba mendorong
dindingnya, tapi sedikitpun tak bergeming. Yan-chiu makin gelisah. Dengan se-kuat2-
nya ia hantam dinding itu dengan bandringan, bang.... dinding itu hanya berkerontang
macam besi terpukul tapi tak kena apa2.
Yan-chiu mulai kalap. Ia putar bandringan menghantam keseluruh ruangan itu, tapi
setiap bagian yang terkena bandringan, tentu berbunyi keras dan bandringannya pun
terpental balik. Jadi terang ruangan itu terbuat daripada besi yang kokoh. Setengah jam
kemudian, Yan-chiu rasakan tangannya capai kesemutan. Achirnya ia hanya dapat
menghela napas panjang dan berhenti menghantam.
Baru dia berbuat begitu, atau dari atas tembok segera terbuka sebuah pintu kecil. Lekas2
Yan-chiu mengumpat dipojok kamar sambil siapkan bandringannya. Tak peduli siapa
yang kelihatan masuk, tentu dibunuhnya. Tapi sampai sekian saat tak ada sebuah
bayanganpun yang masuk, kecuali sebuah ketawa dari anak kecil. Yan-chiu terkesiap
heran. Berselang beberapa saat lagi, kedengaran ada suara orang ber-kata2: „Kau masuk
dulu!" „Ditilik dari potongan tubuhnya, dia tadi seperti seorang wanita. Huh, aku takut,
yangan2 setan!"
„Fui, kau saja yang masuk dulu. Masa akupun tak takut juga!" sahut yang seorang. Nada
kedua orang itu bening nyaring macam suara kanak2. Yan-chiu tergerak hatinya dan
kedengaran suara ketawa cekikikan lagi. „Lekaslah masuk, yangan sampai digegeri sucou
yang tentu mendamprat kita ini hanya tahu ber-main2 saja, tapi disuruh tangkap pencuri
tak mampu!" kata salah seorang.
Yan-chiu agaknya pernah mengenal suara orang itu. Tiba2 ia teringat dan menyadi girang
bukan buatan, serunya:
„Bukantah disitu Kuan Hong dan Wan Gwat berdua siaototiang?, Mengapa masukkan
aku disini, kemarilah lekas!"
Begitu ia bersuara, disana orang diam tak menyahut. Yan-chiu ulangi lagi seruannya dan
barulah tampak ada sebuah kepala menongol kedalam. Hai, itulah kepala seorang anak
berumur 14-an tahun, wajahnya terang, bibirnya ke-merah2an. Ja, tak salah lagi, itulah
to-thong (murid imam) yang dijumpai tempo ia datang kesitu dahulu. Setelah masuk,
anak gereja itu segera menyulut lampu dengan korek. „Siao-totiang, mengapa aku
dijebluskan disini?" pura2 Yan-chiu menegur dengan marah.
Dasar anak2, to-thong itu menyadi ke-merah2-an mukanya, lalu berseru kesebelah atas:
„Wan Gwat, mengapa tak lekas datang kemari'' Kita telah kesalahan menangkap orang
baik2, inilah cici yang tempo hari datang kemari hendak mencari The suko!"
Selamanya Yan-chiu hanya memanggil suko atau suci. Belum pernah ia dipanggil cici
oleh orang. Maka dipanggil taci, saat itu girang Yan-chiu tak terkira. „Wan Gwat totiang,
apa benar'' kau tak mau turun kemari ?" katanya.
Sebagai jawaban, seorang tothong kecil menobros masuk, siapa dengan ke-merah"-an
wajah segera membuka mulut: „Cici hendak cari The suko, mengapa datang pada waktu
begini malam? Untung berjumpa dengan kami berdua, kalau lain orang tentu repot!"
Yan-chiu biarkan saja kedua anak itu menganggap begitu. Malah menur•utkan lagu
mereka, ia segera menyahut: „Ja, aku cari Cian-bin Long-kun karena ada urusan penting.
Kukira begitu datang kemari, tentu bakal ada orang yang memberitahukan. Siapa tahu,
kalian berdua telah menyambutku dengan serangan, malah genteng diatas rumah ini
juga dipasangi perangkap!"
Tu lihat bagaimana pintarnya sigenit. Ia yang salah, tapi dengan cerdiknya ia timpahkan
kesalahan itu pada kedua anak tersebut.
„Cici yangan heran. Peraturan digereja sini memang demikian. Bila ada orang yang berani
datang menggelap, tentu akan diringkus dan dimasukkan dalam kamar tahanan.
Hukumannya menunggu keputusan toa-supeh. Atap gereja ini asal yang berwarna hijau
tentu merupakan alat jebakan. Hanya yang berwarna merahlah yang tidak dipasangi
perangkap!" menerangkan kedua tothong itu. Takut kalau Yan-chiu marah, kedua anak
itu tanpa diminta telah membuka rahasia alat jebakan digereja situ.
Walaupun hatinya girang, tapi Yan-chiu tetnu membuat wajahnya bengis, ujarnya:
„Kalau begitu, lekas antarkan aku ketempat Cian-bin Long-kun! Yangan menelantarkan
urusan penting ini. Apa kalian tak mengetahui tentang pertempuran dihari pehcun
nanti?"
Digertak begitu, kedua tothong itu ter-sipu2 menyahut: „The suko saat ini masih berada
ditempa sucou sana untuk mejakinkan ilmupedang Chit-sat-kiam-hwat. Dia pesan, siapa
saja tak boleh menemuinya. Maafkan, harap cici yangan sesalkan kami berdua !"
Huh, kalian tahu apa? Urusan ini teramat penting sekali! Kalah atau menang fihak Ang-
hun-kiong, tergantung pada urusan ini, yangan kau main percaja kalau sucoumu itu tak
bisa terkalahkan. Ketahuilah, bahwa tokoh2 macam Hay-te-kau, Kang Siang Yan, Siang
Siansu, Kui-ing-cu dan beberapa tokoh lainnya akan datang kemari. Masa fihak gereja
sini takkan kelabakan nantinya. Huh, kalian ini tahu apa!" Yan-chiu menyomel. Karena
mengira benar2 begitu, kedua tothong itu tak berani berajal lagi. Cepat2 mereka ajak
Yan-chiu memanyat keluar dari lubang pintu diatas tadi. „Cici, kalau tiba pada tiang
kuningan sana, kau biluk kesebelah kiri, nanti tentu sampai daebuah paseban besar.
Disamping paseban itu, ada sebuah ruangan kamar. disitulah The suko dan sucou
sedang berlatih. Kami sedang bertugas jaga malam, maaf tak dapat menemani. Ini kuberi
sebuah tong-pay (pertandaan), kalau ada orang yang menghadang, tunyukkan saja tong-
pay ini, tentu beres kata kedua anak itu demi sudah keluar.
Kuan Hong dan Wan Gwat adalah murid dari Sam-mo Long Tek-san. Biasanya kedua
anak itu amat cermat sekali dan ilmu silatnya pun lumajan. Oleh karena tempo pertama
kali Yan-chiu berkunyung kegereja itu telah meninggalkan kesan yang baik pada mereka,
maka itu dengan mudah sekali ia dapat membuat kedua to-thong itu percaja
keterangannya. Bahkan telah memberinya tong-pay atau pertandaan jaga malam dari
gereja Ang-hun-kiong itu.
Tong-pay itu hanya sebesar telapak tangan orang saja. Dipermukaannya diukir dengan
lukisan beberapa gumpal awan merah (ang hun), sedang disebaliknya terdapat tulisan
„Ang Hun Kiong" „Nanti bila berjumpa dengan Cian-bin Long-kun aku tentu akan
mengemukakan budi pertolonganmu ini. Bukankah kalian mengagumi ilmu kepandaian-
nya?" tanya Yan-chiu.
„Ja, kami ingin sekali mendapatkan pelajarannya ilmu silat hong-cu-may-ciu itu!" dasar
anak2, kedua to-thong itu menyatakan apa yang dikandung dalam hati.
Yan-chiu menyanggupi, lalu ajunkan langkah kemuka. Memang setelah diamat"i dengan
perdata, pada setiap dua atau tiga buah kamar, tentu ada sebuah tiang yang terbuat
daripada kuningan. Dari situ, ia membiluk kekiri dan terdengar seseorang menegurnya.
Yan-chiu terperanyat. Ada suaranya, tapi mengapa tak tampak orangnya. Yan-chiu tak
tampak orangnya. Yan-chiu tak mau menyahut, melainkan tunyukkan tong-pay keatas
di-goyang2kan beberapa kali, tapi sembari teruskan langkahnya. Kira2 berjalan beberapa
meter jauhnya, didengarnya dari arah belakang ada dua orang ber-cakap2. Kata yang
seorang: „Huh, mengapa seorang anak perempuan? Aneh sekali ni!"
Yang-chiu terkesiap, tapi ada seorang lain kedengaran berkata: „Peduli apa denganmu ?
Ia membawa lengpay, itu sudah cukup. Kalau banyak usil, kau tentu dibenci orang.
Sucoupun tentu tak mau turunkan pelajaran Chit-sat-kiam-hwat padamu!"
Diam2 Yan-chiu mendapat kesan, bahwa Ang Hwat cinyin itu berat sebelah. Dia keliwat
manyakan The Go, sehingga menimbulkan ketidak-puasan anak murid Ang-hunkiong
lainnya. Setelah melalui penyagaan yang sangat gawat itu, dengan legahnya Yan-chiu
terus menuju kemuka. Beberapa kali ia kesamplokan dengan penyaga2, tapi berkat
tongpay yang berpengaruh besar itu, dapatlah ia tiba dipaseban besar.
Dipaseban itu terdapat sebuah patung, dimukanya ada 3 batang lilin sebesar lengan
orang. Tiada seorang yang tampak disitu. Kuatir kalau dipergoki orang, buru2 Yan-chiu
melintasi paseban itu. Benar juga disebelah muka sana terdapat sebuah ruangan yang
tampak ada penerangannya. Lapat2 terdengar suara orang bermain pedang. Menduga
kalau The Go tentu berada disitu, ia dengan ber-jengket2 menghampiri. Ruangan rumah
itu empat kelilingnya mempunyai pintu. Tapi semuanya ditutup rapat. Yan-chiu
tempelkan mukanya kejendela dan mengintip dari sela2nya. Tapi seperti orang dipagut
ular, ia segera menyurut kebelakang.
Kiranya sewaktu ia mengintip kedalam itu, ia belum sempat melihat apa2. Yang tampak,
hanya ada sepasang mata ber-kilau2-an, ber-api2 memandangnya. Ia kira kalau
perbuatannya itu telah diketahui orang, maka buru2 ia menyurut tadi. Itulah karena ia
keliwat ber-hati2, jadi menyangka yang tidak2. Sebenarnya, mata itu tak memandang
padanya, hanya karena keluar-biasanya, jadi se-olah2 seluruh ruangan itu tercangkum
dalam sorotannya.
Tiba2 dari sebelah dalam kedengaran The Go bertanya: „Sucou, apakah gerakan jurus
yang tadi sudah benar?" Anehnya, pertanyaan itu tiada orang yang menyahut, hanya
lagi2 kedengaran suara samberan pedang.
Yan-chiu tak dapat bersabar lagi, lalu mengintip disela jendela. Yang pertama tampak
padanya, lagi adalah sorot sepasang mata yang berapi luar biasa itu. Kali ini Yan-chiu
tak menghiraukan dan mengawasi dengan perdata keadaan didalam situ. Kini tegas
dilihatnya The Go sedang memainkan pedang kuan-wi. Ilmu pedang yang dimainkan itu
aneh sekali gerakannya. Disudut ruangan sana, ada sebuah kursi thay-su (guru besar)
yang diduduki oleh seorang yang bermuka jelek sekali. Mulut lebar, hidung pisek, rambut
kepalanya ke-merah2an, mengenakan jubah pertapaan berwarna merah. Yang luar biasa
pada orang itu, adalah sepasang matanya yang ber-kilat2 laksana memancarkan api.
Yan-chiu menduga, imam itu tentulah Ang Hwat cinyin, kepala gereja Ang-hun-kiong,
yang sangat termasjhur didunia persilatan. Dari sorot matanya yang sedemikian hebatn
ja, terang kalau lwekang dari imam itu telah mencapai tingkat kesempurnaan.
„Go-ji, dalam pertemuan hari pehcun nanti, harus menang tak boleh kalah. Kau mengerti
?" tiba2 Ang Hwat cinyin kedengaran berkata dengan pelahan, namun lengking suaranya
menusuk kedalam telinga, terus menggetarkan nati.
„Cucu murid mengerti," sahut The Go. Ang Hwat ciinyin menghela napas, ujarnya pula:
„Go-ji, setelah dapat memahamkan Chit-sat-kiam-hwat itu, kepandaianmu lebih tinggi
dari ketiga supehmu. Pesan dari marhum ajahmu, kiranya tak sampai kuabaikan!"
Mendengar itu, The Go kedengaran berhenti bermain pedang, katanya: „Su-cou, kuingat
kaupernah mengatakan bahwa menggunakan ular sebagai jwan-pian (rujung lemas)
saktinya biakan terkira. Adakah ular ceng-ong-sin itu tak memenuhi sarat?"
Ang Hwat mengiakan, sahutnya: „Memang tepat sekali. Tapi dalam pertempuran nanti,
apabila fihak musuh terdapat tokoh yang tangguh, sudah tentu aku tak dapat berpeluk
tangan. Ilmu itu, kelak saja masih belum terlambat kuajarkan. Sekarang rasanya
mustika dalam batu itu yang lebih penting, harus kau cari dulu!"
The Go memberi jaminan bahwa tempat dia sembunyikan mustika itu, tiada seorangpun
yang dapat mengetahuinya. Ang Hwat menyatakan sjukur, kemudian menerangkan:
„Rawa2 yang kau sebutkan itu, namanya Hek-cui-tham (rawa air hitam). Dahulu aku
pernah datang kesana, ja memang sangat aneh sekali!"
Yan-chiu terpikat sekali perhatiannya hendak mendengarkan keterangan Ang Hwat
tentang keadaan rawa itu lebih jauh, tapi untuk kemengkalannya, Ang Hwat tak
membicarakan lagi hal itu, melainkan suruh The Go berlatih lagi. Demi sangat
memikirkan diri Tio Jiang dan Nyoo Kong-lim yang hilang lenyap dirawa itu, Yan-chiu
lupa diri, lupa untuk menahan napasnya. Memang bagi seorang biasa, tarikan napas lain
orang tentu tak dapat terdengar. Tapi tidak demikian dengan Ang Hwat cinyin. Se-
konyong2 cinyin itu tampak kerutkan sepasang alisnya yang menyulai panjang itu,
sehingga bengis sekali tampaknya. Yan-chiu masih enak2 mengintip, ketika sepasang
mata cinyin itu lekat2 memandang kearahnya.
Rasanya tidak kecewa Yan-chiu dianggap seorang nona yang cerdas. la mendapat firasat,
ada sesuatu yang kurang beres. Menduga keras kalau Ang Hwat cinyin telah mengetahui
dirinya, secepat itu juga ia terus enyot kakinya loncat keatas. Tapi tepat ketika tubuhnya
tengah melambung itu, sebuah titik putih melayang keluar dari jendela, tepat mengenai
zool sepatu Yan-ciu, terus meluncur masuk kedalam dinding.

GAMBAR 59
Sekali Ang Hwat Cinyin membusungkan dadanya, tiba2
Yan-chiu merasa suatu tenaga maha besar menumbuk
kearahnya, tanpa kuasa lagi tubuhnya melayang2 jauh

Yan-chiu makin gugup. Ia menginsjafi dirinya telah dipergoki. Seperti dikejar setan, ia
segera lari keluar. Saat itu cuaca sangat gelap. Tahu2 ia merasa seperti membentur benda
yang sangat lunak. Ketika mendongak mengawasi kemuka, hai..., hai..., itulah rambut
gimbal dari Ang Hwat cinyin! Saking terkejutnya, Yan-chiu seperti melihat momok disiang
hari dengan gugup ia hendak lari kebelakang tapi Ang Hwat cinyin sudah dongakkan
kepala tertawa. Anehnya, walaupun mulutnya menganga, tapi tak kedengaran suara
ketawanya, hanya perutnya yang tampak mengial-ngial. Yan-chiu segera rasakan ada
sebuah tenaga dahsjat menggempurnya. Buru2 Yan-chiu loncat keatas, namun ketika
berada diatas udara, ia sudah menyadi seperti sebuah layang2 putus. Andaikata tiada
ada pagar tembok tentu ia sudah melayang jauh entah jatuh dimana. Terbentur dengan
tembok itu, sakitnya bukan kepalang. Cepat2 ia empos semangatnya untuk menahan
kesakitannya. Begitu jatuh ketanah, diantara pandangan matanya yang ber-kunang2 itu,
tampak Cian-bin Long-kun sudah menghampirinya. „Oh, kiranya nona Liau!" serunya.
Walaupun dalam hati sangat membenci sekali, namun lahirnya terpaksa Yan-chiu
memain senyum diwajah. „Cian-bin long-kun, apakah kau baik2 saja selama ini?"
tanyanya. The Go tertawa iblis, sahutnya mengejek: „Sjukurlah tak sampai digigit mati
oleh ceng-ong-sin!"
Yan-chiu terpepet ditembok, jadi tak dapat lolos. Ang Hwat cinyin kembali masuk
kedalam ruangan belajar silat tadi, sembari memerintah: „Go-ji, ringkus dia lebih dulu!"
--ooOoo--
(Bersambung Ke Bagian 32.2)
BAGIAN 32
MASUK SARANG HARIMAU

BAGIAN 32.2

Sembari mengiakan, The Go sudah lantas memampaskan pedangnya kelengan Yan-chiu,


siapa walaupun tampak tak mau melawan, tapi diam2 nona itu telah mengatur siasat.
Dilihatnya Ang Hwat sudah masuk kedalam, selagi The Go menduga, ia hendak
meneryangnya.
„Nona Liau, berikan tanganmu untuk diikat!" kata The Go. Yan-chiu ulurkan kedua
tangannya lurus kemuka. Walaupun tidak secantik Bek Lian, namun paras Yan-chiu
cukup menggiurkan. Biasanya nona itu genit dan tajam mulut, maka saat itu The Go
hendak balas mempermainkan. Pedang dipindah ketangan kiri, lalu ulurkan tangan
kanan untuk men-jawil2. Saking murkanya Yan-chiu hampir mati dibuatnya. Tapi ia tak
mau lewatkan ketika sebagus itu. Baru tangan The Go merabah tangan kiri Yan-chiu,
nona itu segera balikkan tangannya kanan kemuka. Gajanya aneh, mendorong bukan
mendorong, menebas tidak. Itulah ilmu ajaran Tay Siang Siansu yang diciptakan sendiri.
Jakni salah satu jurus dari „gong chiu toh peh jim" yang disebut „merogoh kantong
mengambil barang". Siku kiri The Go tepat dapat dicengkeramnya. Ilmu ciptaan Tay Siang
Siansu itu, ternyata tak bernama kosong. Dahsjatnya tak terkira. Tangan The Go
dirasakan lemas lunglai, mau tak mau kelima jarinya terbuka dan tahu2 pedang kuan-
wi telah berpindah ketangan Yan-chiu.............
Dalam kegirangannya, Yan-chiu sudah terus hendak gerakkan pedang, tapi pergelangan
tangannya kiri terasa sakit lemas lunglai. Demi merasa diakali sinona, cepat sekali The
Go pijat se-keras2 pergelangan tangan orang. Sudah tentu gerakan Yan-chiu sangat
terganggu. „Kalau tak kau lepaskan cekalanmu itu, tentu akan kutabas!" Yan-chiu
mengancam dengan pelahan.

GAMBAR 60
Sambil masih mencengkeram tangan kiri sigadis, dengan geramnya
The Go berusaha, merebut kembali Kuan-wi-kiam, tapi Yan-chiu
tidak kalah tangkasnya, cepat ia tarik pedang itu terus menusuk

Biasanya The Go selalu mempedaja orang, sudah tentu kali ini dia marah sekali. Diancam
begitu, dia malah perkeras pijatannya, sembari gunakan ilmu siao-kin-na-chiu untuk
merebut pedang. Juga Yan-chiu tak mau begitu gampang2 menyerahkan pedang pusaka
itu.
Dengan gunakan jurus Kut-cu-tho-kang dari ilmupedang Hoan-kang-kiamhwat ajaran
Kang Siang Yan, ia babat jari orang. The Go kaget dan buru2 tarik pulang tangannya,
tapi Yan-chiu mengejarnya dengan jurus kiang-sim-poh-lo, menusuk kaki.
Jarak begitu dekat sekali, terpaksa The Go harus memilih satu diantara dua. Biarkan
kakinya terbatas, atau lepaskan cengkeramnya pada pergelangan tangan sinona.
Sebenarnya The Go boleh memilih jalan kedua, toh disitu masih ada Ang Hwat cinyin.
Sekalipun ada 10 Yan-chiu, tetap takkan dapat lolos. Tapi dasar orang ganas, sembari
loncat menghindar sabetan pedang, dia gunakan jari kelingking untuk menutuk
pergelangan tangan sinona. Tutukan itu hebat akibatnya, dapat menembus sampai
keurat jantung dan orangnya tentu menyadi limbung pikirannya.
Yan-chiu segera merasa separoh tubuhnya menyadi mati rasa, jantungnya berdebur
keras. Ia menyadi kalap. Dengan sisa tenaganya yang masih, ia menusuk. The Go
miringkan tubuh, tapi lengan bajunya kena tertusuk pecah, malah lengannyapun kena
tertusuk sedikit hingga mengucurkan darah. Tapi dalam pada itu, dia menusuk lagi lebih
keras. Jantung Yan-ciu seperti me-lonyak2 mau loncat keluar. Dadanya serasa manis.
Yan-chiu membuladkan tekad. Kalau tak mengadu jiwa, sukarlah rasanya untuk lolos.
Dengan tahan rasa sakitnya, Yan-chiu menabas tangan si The Go yang mencengkeram
pergelangannya itu. Gerak tabasan itu tak menurut gerakan ilmu silat lagi, pokok asal
dapat mengenai saja. The Go terkejut, Kalau hendak menghindar, dia harus lepaskan
cengkeramannya. Tapi dia tak kurang akal. Sebat sekali tangan Yan-chiu itu ditariknya
kemuka. Kalau Yan-chiu teruskan babatannya, bukan The Go yang kena, tapi tangan
Yan-chiu sendirilah. Yanchiu tahu akan hal itu, maka lekas2 ia balikkan siku untuk
menahan pedangnya, kemudian dari situ ia babatkan kemuka.
--ooOoo--
(Bersambung Ke Bagian 33)
BAGIAN 33
LOLOS DARI LUBANG JARUM

BAGIAN 33.1

Sudah tentu The Go tak mau biarkan dirinya dibabat seperti batang pisang. Dengan
sekali dua langkah, dia sudah melejit kebelakang sinona, sembari pelintir-tangan orang.
Yan-chiu meringis kesakitan, hendak ia membacok kebelakang, tapi Tho Go berlincah
kian-kemari, jadi sisa2 saja.
Dalam keputusan daja itu, Yan-chiu mengambil putusan nekad. Daripada kena ditawan
hidup2an dan menerima, lebih baik ia mati ber-sama2 dengan musuh. Begitu pedang
diangkat kemuka, ia terus hendak membabat dirinya sendiri. Pikirnya biar tubuhnya
terkutung, tapi musuhpun pasti kena juga. Tapi rencananya itu, dapat diketahui The Go,
siapa menyadi terperanyat sekali. Hanya karena mentaati pesanan sang sucou supaja
menangkap hidup2an nona itu, maka dia tak mau mencelakai Yan-chiu. Andaikata tidak
begitu, dari tadi2 dia, sudah dapat mempelintir putus lengan sinona.
Buru2 The Go melejit kehadapan sinona lagi. Belum Yan-chiu sempat merobah
gerakannya, sebat luar biasa The Go ulur tangan hendak merebut. Tapi tak kalah
sebatnya, Yanchiu sudah lantas membabat kearah pinggang orang. Saking gugupnya,
gerakan Yan-chiu itu sudah tak menurut gerakan ilmu pedang lagi. Dalam keadaan
begitu, mau tak mau The Go terpaksa loncat kebelakang dan lepaslah cengkeramannya
itu.
Terlepas dari cengkeram besi, Yan-chiu pulih semangatnya. Cepat ia memburu dengan
serangan it-wi-tok-kiang. Saking kuncup nyalinya, The Go terus hendak panjangkan
langkah, tapi tiba2 Ang Hwat cinyin kedengaran berseru „Go-ji, apa sudah selesai?"
Dapat dibayangkan betapa bingung The Go pada saat itu. Bukannya dapat meringkus,
tapi pedangnya malah dapat direbut sinona. Dia tahu watak Ang Hwat itu sangat aneh
sekali, jalah mengindahkan sekali pada bangsa orang gagah. Kalau keadaannya itu
sampai ketahuan Ang Hwat, dia tentu akan dipandang hina. Maka dengan keraskan hati,
dia menyahut: „Ja, sudah hampir!", seraja meneryang pada Yan-chiu. Kini tangannya itu
sudah tambah dengan sebuah kipas yang hendak digunakan menutuk jalan darah ing-
hiang-hiat.
Bermula Yan-chiu tertegun mendengar suara Ang Hwat tadi. Tapi begitu melihat The Go
maju menyerang, ia tabaskan pedang, terus melarikan diri. Tapi pada saat itu, The Go
sudah lancarkan ilmusilat hong-cu-may-ciu. Dia rangsang sinona rapat sekali. Beberapa,
kali Yan-chiu berusaha hendak lolos, tapi selalu gagal untuk menembus serangan lawan
yang begitu gencar itu. Lama2 Yan-chiu murka, pedang dipindah ketangan kiri, lalu
dengan jurus Pah-ong-oh-kiang, ia menusuk tenggorokan orang.
Munculnya serangan ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hwat itu telah merobah situasi
pertempuran. Dari menyerang, kini The Go beralih diserang, malah untuk menghindar
dari serangan itu, dia nampaknya sangat susah pajah sekali. Sebaliknya Yan-chiu makin
dapat hati. Melihat serangannya berhasil, ia susuli lagi dengan lain jurus dari ilmu
pedang itu yang disebut kiang-cui-kiu-jiok. Saat itu, betul2 The Go mati kutu. Dari satu
kelain tempat main menghindar, tak terasa dia sudah mundur sampai satu tombak lebih
jauhnya.
Yan-chiu maju dua langkah lagi. Pedang diangkat, terus hendak dibacokkan lagi. Tapi
baru pedang itu melayang, orangnya sudah loncat keluar. Maksudnya hendak lari
membiluk ditikungan lorong. Tapi se-konyong2 ada sesosok tubuh, melayang kearahnya
dan tahu2 sudah mencengkeram bahu sinona. Kiranya orang itu bukan lain Ang Hwat
sendiri adanya.
Karena keliwat lama, dia menyadi tak sabaran lagi. Apalagi didengarnya diluar ruangan
situ agaknya seperti ada suara pertempuran, dia segera keluar menyenguk.
Astagafirullah, bukannya murid kesayangannya itu meringkus sinona, 'tapi' sebaliknya
dia pontang panting didesak oleh ceceran pedang sinona yang bermain dalam jurus
kiang-cui-kiujiok tadi.
Rencana melarikan diri dari Yan-chiu itu siang2 sudah diketahui oleh Ang Hwat, siapa
segera mendongak keatas ketawa yang tiada terdengar suaranya itu. Tahu2 bagaikan
segumpal awan merah, dia sudah melayang menyerang sinona yang segera dicengkeram
bahunya itu.
GAMBAR 61
Tahu2 Yan-chiu merasa segumpal awan merah menimpah dari udara,
tiba2 Ang Hwat Cinyin menubruk, kearahnya, segera pundaknya
terasa kesakitan dan pedangpun terjatuh ......................
Merasa, bahunya keliwat, sakit seperti dijepit oleh kait besi, Yan-chiu berpaling
kebelakang. Demi tampak rambut gimbal merah, hidung pisek mulut lebar menghias
muka Ang Hwat yang sedemikian jeleknya itu, Yan-chiu serasa terbang semangatnya.
Trang....... jatuhlah pedang kuan-wi kelantai dari tangannya yang lemas seperti tak
berurat lagi itu. Sekali tangan Ang Hwat bergerak, Yan-chiu terhujung2 sampai beberapa
meter kemuka. Untung Ang Hwat masih ingat kedudukannya sebagai tokoh ternama.
Kalau tidak, dia tentu sudah gunakan 8 bagian kekuatannya untuk mendorong tadi.
Dengan kepandaian yang dipunyai Yan-chiu pada waktu itu, kalau tidak terbanting
hancur tentu remuk bubuk tulang belulangnya.
Seperti telah diterangkan dibagian atas, Ang Hwat mempunyai watak aneh, menaruh
perindahan pada orang gagah, Dia tak percaja kalau sinona itu dapat merebut pedang
The Go. Maka tadi dia hanya mendorong sedikit, karena hendak menanyai lebih jelas.
Maka walaupun jatuh tersungkur, namun Yan-chiu tak sampai terluka berat. Sebaliknya,
The Go segera cepat2 memungut pedang itu. Mukanya ber-seri2 girang sekali.
Mengira kalau dirinya bakal tak dapat lolos dari bahaja, Yan-chiu tak mau unyuk rasa
takut. Setelah bangkit, ia berdiri dengan bertolak pinggang. „Go-ji, mengapa pedangmu
dapat direbut oleh budak perempuan itu ?" tanya An-g Hwat sembari bergantian
memandang kepada The Go dan Yan-chiu.
The Go mengeluh. Kalau terus terang, tentu bakal terima makian. Maka dia sengaja
mengarang cerita, katanya: „Ketika cucu murid agak lengah, budak itu segera
menyambar pedang yang kutaruh diujung tembok!"
„Itu masuk akal!" nada suara Ang Hwat berobah tenang tak sebengis pertanyaannya tadi.
Kini dapatlah Yan-chiu menarik kesimpulan mengenai diri kepala gereja Ang-hunkiong
itu. Dengan tak mau membanting se-keras2nya, terang kalau imam kepala itu sangat
menyunyung kehormatan nama. Apalagi dari kesimpulan pembicaraannya dengan The
Go tadi, cinyin itu sangat menganggap dirinya sebagai tokoh persilatan yang mempunyai
kedudukan tinggi, maka diapun menempatkan cucu muridnya itu sebagai jago kelas
tinggi juga.
Orang she The, apa kau mempunyai rahi gedek (bermuka tebal)? Kalau tak kurampas
dari tanganmu, apa pedang itu kurebut dari cengkeram binatang kura2 ?" dampratnya
nyaring2 agar didengar Ang Hwat.
Wajah The Go berubah pucat, sedang sepasang mata Ang Hwat menyadi beringas sekali.
„Sucou, yangan percaja ocehan budak itu. la hendak membikin provokasi supaja kau
marah. Budak macam dia, mana bisa merebut pedang didalam tanganku!" buru2 The Go
menyanggapi.
Yan-chiu tertawa gelak2. Nada ketawanya bening dan congkak sekali. Dengan tak
mengunyukkan perobahan air muka, Ang Hwat berseru: „Budak perempuan, dari
perguruan manakah kau ini, malam2 berani mengadu biru digereja sini? "
Pertanyaan kepala gereja itu, memberi kesempatan pada Yan-chiu untuk merangkai
siasat. Serta merta ia memberi hormat pada Ang Hwat lalu menghaturkan keterangan:
„Hopwe (aku) adalah murid dari Ceng Bo siangjin, kepala gereja Cin-wan-kuan dipuncak
Giok-li-nia gunung Lo-husan! Aku dititahkan suhu untuk menghadap pada cianpwe
disini guna menetapkan waktu dari pertempuran dihari pehcun itu."
„Dua negara yang bermusuhan, tak boleh membunuh seorang utusan". Berpegang pada
dalil itulah maka Yan-chiu menyatakan dirinya sebagai seorang duta. Kedengaran Ang
Hwat mendenguskan suara hidung. Untung tadi The Go tak jadi meringkusnya, kalau
tidak, tentu akan menyadi buah tertawaan orang persilatan. Tapi diapun tak gampang2
mempercajai keterangan itu. „Adakah kau membawa surat dari suhumu?" tanyanya. Yan-
chiu tertegun sejenak, tapi dengan tangkasnya ia segera menyahut: „Kaum gagah dari
dunia persilatan, mulutnya berharga seperti emas. Mengapa mesti pakai surat!"
Suatu jawaban yang tangkas dan tepat. Tapi sejenak ia tertegun tadi, telah dipegang oleh
The Go, siapa dengan tertawa dingin lalu memberi bantahan pada sucounya: „Sucou,
yangan kena diakali. Memang benar ia adalah murid dari Ceng Bo siangjin. Sampai pada
malam ini, siangjin itu bersama rombongannya belum tiba dikaki gunung, bagaimana
bisa menyuruh budak itu memberitahukan kemari? Apalagi pertempuran hari pehcun
itu, sudah jelas dijanyikan secara lisan. Perlu apa diterangkan lagi? Kujakin, disitu tentu
terselip rencana keji. Ceng Bo siangjin dan kawan2nya itu, tentu mengiri akan kebesaran
nama dari su-cou. Kedatangan mereka kegunung ini, rasanya tentu dengan maksud lain
lagi. Bukan mustahil mereka hendak merebut gereja Ang-hun-kiong yang sedemikian
bagusnya ini!"
Mendengar uraian The Go, rambut Ang Hwat sama menyigrak semua. Tapi Yan-chiu
masih coba berlaku tenang, katanya dengan tertawa tawar: „Orang she The, oleh karena
takut kau digegeri sucoumu karena pedangmu dapat kurampas, maka sengaja kau
karang cerita itu, supaja cianpwe menumpahkan kemarahannya padaku, bukan?"
Diam2 The Go mencaci maki Yan-chiu. Dia cukup faham akan watak perangai sucounya
itu. Dan kekuatirannya itu ternyata benar. Rupanya Ang Hwat terpengaruh oleh kata,2
sinona, katanya kepada The Go: „Go-ji, tak peduli dengan maksud apa ia datang kemari
ini, tapi kata2nya yang menekankan bahwa ia telah berhasil merebut pedangmu itu tadi,
sungguh keliwatan. Sekarang coba kau main2 beberapa jurus dengan dia, apa ia mampu
merebut pedangmu itu tidak!
Mendengar keputusan sucounya itu, legalah hati The Go.
Tapi karena Yan-chiu sudah tak berdaja, maka dia agak lengah. Akibatnya sinona telah
dapat merebut pedang kuan-wi. Kini biar bagaimana, sinona tentu tak mampu
melakukan hal itu. Maka begitu mulutnya mengiakan, pedangnya sudah segera menusuk
keulu hati Yan-chiu, hingga sinona genit tak sempat ber-kata2 lagi. Gerak serangan The
Go itu diambil dari salah satu jurus ilmupedang Chit-sat-kiam-hwat yang baru saja
dipelajari itu.
Ilmu pedang yang kebanyakan, jurus pembukaan tentu bergaja menyerang musuh. Tapi
ilmupedang chit-sat-kiahwat itu, berlainan halnya. Bukan saja jurus pembukaannya,
tapipun seluruh permainan yang terdiri dari 49 jurus itu, semuanya merupakan jurus
serangan yang berantai ber-tubi2 susul menyusul. Sebagai achli penutuk jalan darah,
Chit-sat-kiam-hwat buah ciptaan Ang Hwat cinyin itu selalu mengarah jalan darah lawan.
Merupakan ilmupedang yang serba guna. Maka, Ang Hwat belum mau menurunkan ilmu
pedang sakti itu, sebelum The Go berhasil mendapatkan pedang pusaka.
The Go berotak cerdas. Setelah mendengarkan penyelas Ang Hwat dan kemudian
melakukan satu kali gerakannya, dapatlah sudah dia mainkan ilmupedang sakti itu
dengan baiknya. „Jurus pertama „hiong mia ce hian" (nasib jelek bintang mengunyuk)
nampaknya menyuju kedada Yan-chiu, tapi begitu melayang tiba, ujung pedang sudah
mengarah juga jalan darah thian-tho-hiat ditenggorokan orang.
Yan-chiu masih belum jelas akan maksud Ang Hwat menyuruh The Go bertempur dengan
ia lagi itu. Tapi turut kesimpulan yang lajak, kalau ia dapat merebut pedang si The Go,
tentulah akan diberi kebebasan. Dengan membawa harapan itu, Yan-chiu tumplak
seluruh perhatiannya untuk menghadapi serangan lawan. Untuk ujung pedang yang
hendak menusuk tenggorokan itu, Yan-chiu segera miringkan kepalanya menghindar.
Hanya 3 dim saja ujung pedang itu lalu disisi leher Yan-chiu, dan dengan girangnya The
Go jungkatkan pedang untuk menutuk jalan darah hong-tihiat dibelakang batok kepala
sinona. Untuk itu, terpaksa Yan-chiu turunkan tubuhnya kebawah dan lagi2 dapatlah ia
menghindar.
Dua buah serangan The Go itu teramat lihainya. Semuanya merupakan serangan maut.
Dan Yan-chiupun mengetahui akan hal itu. Begitu tubuh menurun, ia segera melangkah
satu tindak kesamping. Sebelum The Go sempat mengirim serangan baru, ia sudah
lancarkan jurus kiang-cui-kiu-jiok, kiang-cui-kui-tang, jakni 2 jurus terachir dari ilmu
pedang Hoan-kang-kiam-hwat. Oleh karena ilmupedang itu dimainkan dengan tangan
kiri, jadi sukarlah lawan menduga arah yang hendak diserang. Ja, memang permainan
pedang dengan tangan kiri sangat membingungkan orang.
Serangan yang istimewa gairahnya itu, telah membuat The, Go gugup kebingungan. Tapi
pada lain saat, dia menertawai, kebodohannya sendiri. Dia mencekal pedang pusaka,
mengapa jeri menghadapi pedang lawan yang terbuat dari besi, baja biasa? Dengan
kelebihan itu, The Go tak mau berbanyak hati lagi. Begitu menghindar, dia terus angkat
pedangnya menabas pedang Yan-chiu, siapa baru tersadar atas maksud The Go ketika
keadaan sudah kasip. Tiba2 Yan-chiu mendapat sebuah siasat bagus. „Trang ........
sengaja ia angkat pedangnya supaja ditabas musuh, tapi pada, lain saat berbareng
dengan kutungnya pedang itu, The Go kedengaran menggerung keras dan ketika
keduanya saling loncat kebelakang, pedang kuan-wi sudah berada didalam tangan Yan-
chiu.
Ang Hwat locianpwe, sudah jelas bukan?" tanya sinona dengan garang.
The Go hendak maju menyerang lagi, tapi telah didesak, mundur oleh tabasan pedang
Yan-ciu. Sementara Ang Hwatt cinyin sendiri juga kedengaran berseru: „Go-ji,
berhentilah! "
Tampak wajah sang sucou menyadi bengis, The Go bercekat dan tak berani bergerak lagi.
Apa yang telah terjadi, dalam pertempuran itu, telah dilihat jelas oleh Ang Hwat. Ketika
Yan-chiu sengaja umpankan pedangnya supaja ditabas The Go, Ang Hwat sudah
mengetahui apa yang bakal terjadi. Namun sebagai seorang cianpwe dunia persilatan,
sudah tentu dia tak mau merosotkan gengsinya untuk membantu sang cucu murid. Maka
terpaksa dia melihati saja dengan hati mendelu.
Tatkala pedang Yan-chiu tertabas kutung, cepat bagai, kilat, Yan-chiu timpukkan
kutungan tangkai pedangnya keperut lawan. Jarak keduanya sangat dekat sekali,
timpukan Yan-chiu cepat dan keras. The Go buru2 miringkan tubuhnya kesamping dan
dari situ dia sudah merencanakan hendak menghabisi jiwa sinona dengan sebuah
tusukan. Tapi adalah pada saat tubuhnya miring kesamping itu, Yan-chiu sudah
julurkan tangan kiri untuk mencengkeram siku lengan The Go.
Gerakan Yan-chiu itu disebut „long tiong co biat" dalam kantong tangkap kura2. Salah
satu jurus dari ilmu gong-chiu-to-peh-jim (dengan tangan kosong merebut senyata)
ciptaan Tay Siang Siansu. Seperti telah kami paparkan terlebih dahulu, ilmu gong-chiu-
to-peh-jim itu sengaja diciptakan oleh Tay Siang Siansu chusus untuk merebut pedang
pusaka yap-kun dan kuan-wi dari sepasang suami isteri Hayte-kau dan Kiang Siang Yan
itu. Mengingat betapa tajamnya kedua pedang itu, maka setiap gerakan dari ilmu silat
itu harus menurut timing dan arah sasaran yang tepat.
Sewaktu kelima jari Yan-chiu memijat siku lengan The Go, The Go segera merasa
kesemutan. Dan secepat tangannya merangsang maju dan mencekal tangkai pedang
kuan-wi, terus dibetotnya kebelakang. The Go hanya melongo saja ketika pedang kuan-
wi itu pindah ditangan sinona. Ang Hwat melihatnya dengan jelas. Tentang ilmu
kepandaian silat, sinona itu biasa saja. Meskipun memiliki ilmupedang yang luar biasa,
belumlah dapat digolongkan lihay. Tapi ilmu merebut senyata tadi itulah yang luar biasa.
Karena kagum dia larang The Go bertempur lagi.
Yan-chiu girang sekali. la cukup tahu tak mungkin dapat membawa pergi pedang pusaka
itu, maka ditancapkannya pedang itu ditanah, lalu berkata: „Rasanya persoalan hopwe
masuk kegereja sini, sudah selesai. Maka hendak Mohon diri!" Dengan sebuah
bungkukan badan memberi hormat, Yan-chiu telah membuat Ang Hwat tak dapat
berbuat apa2. Malah untuk mengunyukkan gengsinya sebagai seorang cianpwe yang
terhormat, dia perentah The Go antarkan sinona keluar.
Muka The Go merah padam, namun tak dapat berbuat apa2 kecuali mengiakan. Terpaksa
dia iringkan Yan-chiu keluar. Yan-chiu tak mau lewatkan kesempatan untuk meng-olok2,
ujarnya: „Cian-bin long-kun, maafkan, hari ini aku berlaku kurang sopan padamu!"
Biasanya selalu The Go yang mengocok orang, tapi berhadapan dengan sigenit lincah dari
Lo-hu-san, dia meringis seperti monyet kena terasi. Setelah keluar dari pintu, Yan-chiu
tak mau berajal lagi terus ber-gegas2 turun gunung, dan mencari sebuah penginapan.
Teringat akan avontuurnya (petualangan) tadi, dimana jiwanya hampir saja melayang, ia
bergidik sendiri. Keesokan harinya, belum juga Ceng Bo siangjin dan rombongannya
kelihatan datang. Memang hari pehcun masih kurang seminggu. Sjukur ia masih
mempunyai uang cukup, jadi tidak sampai kerepotan.
--ooOoo—
(Bersambung Ke Bagian 33.2)
BAGIAN 33
LOLOS DARI LUBANG JARUM

BAGIAN 33.2

Kini marilah kita tengok keadaan Ceng Bo siangjin yang sudah lama kami tinggalkan.
Setelah berpisah dengan Nyo Kong-lim, Ki Ce-tiong serta Kiauto, dia menuju ke Hud-kong
tempat kediaman ajah dari Ko Kui, itu Cecu dari markas no. 1 gunung Hoa-san yang
telah gugur ditangan The Go. Mendengar kisah kematian sang putera yang mengenaskan
itu, Sin-eng (garuda sakti) Ko Thay seperti disambar petir. Malam itu juga dia ajak Ceng
Bo siangjin menuju ke Ko-to-san. Sebenarnya kedua tokoh itu belum kenal mengenal,
tapi karena keduanya adalah orang2 gagah yang berwatak ksatrya, maka dalam sekejab
saja mereka sudah menyadi seperti kenalan lama.
Gelar dari Ko Thay adalah „sin eng". Ilmunya mengentengi tubuh luar biasa hebatnya.
Senyatanya juga luar biasa, sepasang eng-jiao-thau (sarung cakar garuda), dapat dibuat
menutuk 80 buah jalan darah orang. Hebatnya bukan, terkira. Begitulah setelah tiba di
Kwiciu, lebih dahulu Ceng Bo ajak Ko Thay singgah kegereja Liok-yong-si. Tapi disitu baik
Tay Siang Siansu maupun Kiau To, sudah tak tampak. Kini mereka lanyutan
perjalanannya dengan perahu.
Menyelang petang hari, tibalah mereka, dikota Sun-tik. Ko Thay yang sedang dirangsang
oleh hawa kemarahan karena kematian puteranya, tampak berdiri dihaluan perahu
sambil memandapg alun riak gelombang sungai. Begitu bernafsu rupanya jago tua itu,
hingga seandainya bisa, saat itu ingin dia sudah berada di Koto-san untuk mengadu jiwa
dengan Ang Hwat cinyin, kemudian mencincang Cian-bin Long-kun. Tahu akan perasaan
hati orang, Ceng Bopun tak mau menggerecok. Begitulah diatas geladak, kedua orang itu
sama2 diam tak ber-kata2. Se-konyong2 dari hulu sungai disebelah muka sana tampak
meluncur sebuah perahu kecil. Tapi walaupun hanya kecil, perahu itu dapat meluncur
dengan pesatnya. Siorang yang mengemudikan perahu itu, mencekal sebatang galah
bambu. Rupanya dia galak sekali. Setiap ada lain perahu yang menghadang jalanannya,
sekali congkel dapat diterbalikkan semua.

GAMBAR 62
Sedang Ceng Bo Siangjin dan Ko Thay mengawasi suasana sungai itu
dihaluan perahu, tiba2 dilihatnya di depan sana lagi mendatangi sebuah
perahu lebih kecil, seorang dengan galah panjang tampak membikin
perahu2 nelajan disampingnya menyadi pontang-panting.

Ceng Bo dan Ko Thay marah atas perbuatan orang itu, yang dari dandanannya agaknya
adalah bangsa paderi. Tubuhnya kecil kurus tapi pakaiannya besar. Galah itu hampir
satu tombak panjangnya, namun dia dapat memainkannya dengan leluasa sekali, jadi
terang kalau memiliki kepandaian yang berarti juga. Dengan cepatnya, perahu itu telah
meluncur kearah perahu Ceng Bo. Kembali tampak galah diangkat keatas dan beberapa
perahu mayang (tangkap ikan) terbalik. Beberapa nelajan men-jerit2 kalang kabut
kecebur dalam air.
Ceng Bo tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali enyot, dia loncat kearah tali
temali perahunya. Dengan sekali sentak, putuslah tali temali tiang besar dari perahu itu,
hingga kini, perahu itu berputar membujur ditengah sungai. Tepat pada saat itu, perahu
kecil tadipun sudah tiba. Kiranya siorang ganas tadi adalah seorang hweshio yang Ceng
Bo dengan segera dapat mengenalinya sebagai To Kong hwatsu, itu salah seorang dad
sam-tianglo gereja Ci-hunsi dari gunung Lam-kun-san. Sebaliknya To Kong belum
mengetahui siapakah Ceng Bo dan Ko Thay itu. Yang diketahuinya, ada sebuah perahu
besar menghadang ditengah jalan, maka galah segera diturunkan kedalam air lalu
disentakkan keatas mencongkel haluan perahu penghadang itu.
Belum Ceng Bo bertindak, Sin-eng Ko Thay sudah tertawa dingin seraja enyot tubuhnya
melayang jatuh diatas galah. Sekali gunakan tenaga menginyak, maka tangan sihweshio
yang memegangi, itu menyadi terkulai. „Bangsat gundul, prang katakan kaum pertapaan
itu menyunyung welas-asih mengagungkan peri-kebajikan. Tapi ternyata kau adalah
kebalikannya, apa artinya itu ?" seru Ko Thay seraja perdengarkan suara ketawa yang
dingin.
To Kong terbeliak kaget. Masa seorang tua yang bertubuh kate dan nampaknya tak punya
kepandaian apa2 itu, dapat membuat tangannya terkulai lemas. „Ho....!, tua bangka yang
tak tahu diri, besar nyalimu berani mengusik tuanmu ini!" seru To Kong sembari
kibaskan tangannya. Yangan pandang kalau ketiga hweshio Ci-hun-si bertubuh kurus2,
tapi tenaga mereka luar biasa mengagumkan. Sekali gerakkan tangannya tadi, galah
berikut Ko Thay yang menginyak diatasnya, sama terlempar setombak tingginya.
Air disungai situ deras sekali arusnya, kala itu perahu sihweshio sudah merapat, kedekat
perahu Ceng Bo. Ceng Bo jakin bahwa Ko Thay cukup dapat mengatasi sihweshio, maka
diapun tak menaruh kekuatiran melihat kejadian tadi. Sebaliknya dia malah lemparkan
sauh untuk mengait perahu sihweshio. Suara gerodakan yang keras dari sauh itu, telah
membuat dua orang hweshio muncul diatas geladak. Mereka bukan lain adalah To Ceng
dan To Bu.
Berbareng pada saat itu, dipermukaan air terdengar suara keras dari, benda yang
kecemplung. Kiranya itulah suara galah dan Ko Thay yang jatuh kedalam air. Tapi tak
kecewalah Ko Thay mendapat julukan si Garuda Sakti (Sin-eng). Kira2 terpisah beberapa
inci dari permukaan air, dia goyangkan tubuhnya dalam gerak hui-yan-liap-bo (burung
walet menobros ombak), melesat naik setombak tingginya, kemudian disambung dengan
gerak ko-cu-boan-sim (burung merpati membalik diri) dia sudah inyakkan kaki diatas
haluan perahu. „Bek-heng, ketiga bangsat gundul itu keliwat jahat! "
Tapi belum Ceng Bo membuka mulut, diperahu sana To Ceng sudah berseru dengan
mengejek: „Ceng Bo siangjin, apakah kau hendak cari perkara dengan pinceng bertiga ini
?
Kiranya ketiga hweshio itu mempunyai urusan penting hendak ber-glegasi! menuju
kegereja Ang-hun-si di Ko-to-san. Sedikitpun mereka tak menyangka, kalau ditengah
perjalanan itu kesamplokan dengan Ceng Bo dan Ko Thay.
Atas pertanyaan sihweshio tadi, Ceng Bo tak ambil perhatian, Ko Thay mengawasi tajam2
kearah kedga hweshio itu. ,Bek-heng, siapakah ketiga bangsat gundul itu?" tanyanya.
„Oh, mereka adalah sam-tianglo dari Ci-hun-si!" sahut Ceng Bo.
„Bukankah mereka sudah berhamba pada tentara Ceng? Ah, kebenaran sekali, yangan
lepaskan mereka!" kata Ko Thay.
„Ha, macam kau mau unyuk tingkah!" To Kong perdengarkan ketawa menghina. Mereka
rupanya tak mau lama2 tertahan disitu. Sembari ber-kata2 tadi, To Kong sudah angkat
tanganya yang berwarna ke-hitam2an untuk menabas rantai sauh yang menahan
perahunya. Ko Thay tertawa meringkik. Sekali mengajun tubuh, dia, inyak rantai itu
dengan sebelah kakinya, jakni dalam sikap Kim-kee-tok-lip (ajam emas berdiri dengan
sebelah kaki). Tanpa jeri2 akan riak arus sungai yang begitu derasnya, dia tendang
tangan To Kong tadi.
Menampak tendangan orang itu mengarah jalan darah yang-ko-hiat, tahulah To Kong
bahwa dia berhadapan dengan seorang achli tutuk yang jempol. Tarik tangannya
kebelakang, dia berganti menghantam betis orang. Ketika diinyak tadi, rantai ber-
goyang2 kian kemari. Dengan meminyam gerak ajunan rantai itu, Ko Thay enyot
tubuhnya keatas sampai satu tombak tingginya. Sudah tentu hantaman To Kong tadi
mengenai angin.
Buru2 hweshio itu surut kebelakang, tapi diatas umbun2 kepalanya terasa ada angin
menyambar. Selagi melayang diatas, jari tengah Ko Thay menyulur kebawah untuk
menutuk jalan darah peh-hui-hiat sihweshio. To Ceng dan To Bu terperanyat, serempak
mereka maju menolong dengan menghantam pada Ko Thay. Turut situasinya, karena
berada diatas udara, Ko Thay tentu sukar untuk menghindar, Tapi Garuda Sakti itu hebat
sekali ilmumengentengi tubuhnya. Hanya sedikit dia menyurut kebelakang, lalu
melayang turun. Kedudukan tubuhnya tetap, berada diatas kepala kedua orang tadi,
siapa buru2 menyingkir kesamping.
„Bangsat gundul, sepasang hay-kim-eng-jiao-thau itu, mengapa bisa berada padamu?!"
tiba2 Ko Thay berseru dengan bengis demi dilihatnya senyata marhum puteranya terselip
dipinggang To Ceng hweshio. Sebagaimana diketahui, setelah Ko Kui meninggal, maka
sepasang cakar garuda itu telah diberikan Nyo Kong-lim kepada Tio Jiang.
„Tanya saja pada Ceng Bo siangjin," sahut To Ceng dengan dingin.
„Apakah senyata itu kau dapat rampas dari Tio Jiang? Dimana anak itu ?" Ceng Bo
bertanya dengan kaget. To Ceng ter-kekeh2, sahutnya: „Dimana anak itu, sebagai
suhunya kau tak mengetahui, bagaimana suruh kami mengetahui? Apakah dia tidak
menyadi orang hutan dipegunungan Sip-ban-tay-san sana?"
Memang pada jaman itu, pegunungan Sip-ban-tay-san masih merupakan daerah yang
belum terbuka. Adalah suatu hal yang kebenaran saja, kata2 mengejek dari To Ceng itu,
memang tepat dengan kenyataannya. Karena kala itu Tio Jiang sedang ikut pada Kui-ing-
cu menyelajah digunung tersebut guna menolong Bek Lian.
„Mengapa dia berada di Sip-ban-tay-san? Kau apakan dia?" tanya Ceng Bo pula. Sebagai
orang alim, dia tak mengerti jatuhnya kata2 sihweshio yang sebenarnya hanyalah suatu
kiasan saja.
--ooOoo—
(Bersambung Ke Bagian 33.3)
BAGIAN 33
LOLOS DARI LUBANG JARUM

BAGIAN 33.3

Sebaliknya Ko Thay yang begitu mendukai kematian puteranya itu, tak dapat bersabar
lagi. Dia tumpahkan seluruh kemarahannya pada diri ketiga hweshio itu. Dengan
menggerung laksana seekor harimau kelaparan, se-konyong2 dia loncat keatas udara.
Sejenak berputar-putar, tangannya sudah pakai sepasang sarung cakar garuda atau eng-
jiao-thau. Sret...., sret...., sret...., senyata itu sudah berkelebat mengarah jalan darah
peh-hui-hiat di-umbun2 ketiga hweshio.
Terperanyat ketiga hweshio itu, bukan alang-kepalang.
Perahu sedemikian kecilnya, sukar untuk menghindar. Mereka mempunyai urusan
penting, tak mau tertahan lama2. Apalagi demi ditilik dari gerak-geriknya yang
sedemikian lihaynya, mereka menduga, orang-tua itu tentulah Sin-eng Ko Thay, maka
tanpa ajak2an lagi, mereka segera buang dirinya kebelakang, dan blung...., blung....,
blung..... ketiganya sama mencebur kedalam sungai.
„Hendak lari kemana, kau bangsat gundul?" seru Ko Thay sembari menyusul terjun
kedalam air. Dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh sakti „li hi thian liong bun" (ikan
le-hi loncat kepintu naga), dia melesat dipermnukaan air dan menyamber punggung To
Ceng yang hendak menyelam kedalam. To Ceng hendak kerahkan lwekangnya untuk
melawan, tapi Ko Thay cepat sudah membuatnya tak berdaja, dengan menutuk jalan
darah sin-to-hiat di punggungnya. Sekali melempar, tubuh To Ceng melayang jatuh
diatas geladak perahu, kepalanya pusing tujuh keliling.

GAMBAR 63
„Bangsat gundul, yangan Iari !" bentak Ko Thay sambil meloncat keatas
dan memakai sepasang sarung tangannya „Eng-jiau-thiau" atau
sarung cakar elang, terus menyerang ketiga Hweshio itu.

Hendak Ko Thay menangkap dua, hweshio lainnya, tapi mereka ternyata sudah
menghilang lenyap didalam arus. Apa boleh buat ....... Ko Thay loncat kembaii keatas
perahu. Begtu mencabut eng-jiao-thau yang terselip dipinggang To Ceng, dia mendupak
dengan ujung kakinya, kepunggung orang, hingga walaupun jalan darahnya tadi dapat
dibebaskan namun orangnya bergelundungan diatas geladak. Ko Thay susuli lagi dengan
sebuah tendangan dan blung ....... tubuh To Ceng terlempar kedalam sungai. Begitu jatuh
kedalam air, To Ceng terus menyelam. Untunglah ketika itu tepat ada sebuah perahu
berjalan disitu. Cepat2 dia menggelandoti bagian bawahnya untuk lolos.
Ko Thay rupanya sudah puas menumpahkan hawa kemarahannya. Dia tak mau mengejar
lagi. „Bek-heng, kau mengapa ?" malah dia segera menegur Ceng Bo demi dilihatnya
siangjin itu diam ter-longong2 saja.,
„Senyata itu berada pada muridku, entah bagaima mereka telah dapat merampasnya.
Tadi mereka mengatakan, muridku itu berada di Sip-bon-tay-san, kukuatir yangan2 dia
mendapat bahaja" sahut Ceng Bo. Ko Thay dapat mengerti perasaan orang, Oleh karena
hari pehcun masih agak lama, dia usulkan pergi dulu kepegunungan itu.
Sudah tentu ajakan itu disambut dengan gembira oleh Ceng Bo, siapa ternyata hanya
lahirnya saja berlaku bengis tetapi dalam batinnya dia sangat menyayang akan muridnya
yang jujur dan berbudi itu. Begitulah mereka segera mendarat. Kurang lebih 4 hari saja,
tibalah sudah mereka dipegunungan Sip-ban-tay-san. Kala itu, tepat saatnya Yan-chiu
ambil selamat berpisah dengan Kui-ing-cu dan Sik Lo-sam. Andaikata ia berangkat 2 jam
kemudian, tentulah dapat ber-junipa dengan Suhunya.
Melihat keadaan pegunungan Sip-ban-tay-san yang hutan belantaranya sedemikian luas
itu, Ceng Bo sudah setengah putus asa. Untuk mencari seseorang dalam tempat macam
begitu, adalah laksana hendak mencari sebatang jarum ditengah laut. Tapi suatu
kejadian yang tak di-sangka2 muncul. Tengah kedua orang itu tertumbuk fahainmnya
(tak tahu harus berbuat bagaimana), secara kebenaran mereka bersua dengan dua orang
pemburu, seorang tua dan seorang masih muda. Ceng Bo menyakan hal itu kepada
sipemburu tua.
„Ada..., ada...! Rupa2nya dalam beberapa hari terachir ini Sip-ban-tay-san mendapat
kunyungan beberapa orang asing. Beberapa hari yang lalu, ada seorang pemuda bersama
seorang nona yang cantik sekali naik keatas. Menyusul ada 4 orang lagi, seorang nona,
seorang pemuda, seorang lelaki tinggi besar dan seorang lelaki setengah tua, menuju
kelembah pegunungan ini," menerangkan sipemburu tua itu.
Ceng Bo hanya dapat menduga kalau seorang tinggi besar itu tentulah Nyo Kong-lim,
sipemuda dalam rombongann kedua itu tentulah Tio Jiang sedang sinona itu tentu Yan-
chiu. Tapi yang Iain2nya, dia tak dapat mengira-ngirakan siapa adanya. Tapi dia jakin
orang2 itu tentu ada suatu urusan penting digunung situ. Maka setelah menanyakan
jalanan dan mengucapkan terima kasih, Ceng Bo dan Ko Thay minta diri dari sipemburu
tua yang makin tak habis mengerti.
--ooOoo--
Menyelang tengah hari, keduanya sudah berada di-tengah2 hutan pegunungan situ.
Tiba2 dilihatnya ada sesosok bayangan berkelebat. Dari potongan tubuh, terang orang
itu seorang wanita. „Hai....., siapa', itu?!" seru Ko Thay. Ceng Bo lebih terperanyat lagi.
Dari potongan tubuhnya yang langsing dan dandanannya, tahulah dia kalau wanita itu
adalah puterinya sendiri, si Bek Lian. Apa yang disebut oleh sipemburu tua tentang
seorang nona cantik, tentulah Bek Lian.
Dan pemuda cakap yang datang bersama dengan Bek Lian itu, siapa lagi kalau bukan
The Go.
„Tahan!" tiba2 dia berseru nyaring hingga menggemparkan suasana pegunungan yang
sedemikian lelapnya itu.
Wanita yang berkelebat disebelah depan tadi, memang Bek Lian adanya.

(Bersambung Ke Bagian 34)


BAGIAN 34
SETAN BERKEPALA DUA

Seperti telah diterangkan dibagian atas, dengan angkuh dan getasnya Bek Lian tak mau
ikut dengan rombongan Kui-ing-cu. Begitu tinggalkan puncak Thiat-nia, ia segera keluar
masuk menyusup hutan pegunungan situ. Karena tak kenal jalanan, ia ke-sasar2 tak
karuan. Setengah harian berjalan itu, ia merasa lelah dan lapar. Duduklah ia diatas
sebuah batu, sambil memakan biji buah siong untuk penahan lapar. Sambil duduk
melepaskan lelah, pikirannya melayang akan diri Cian-bin Long-kun. Teringat ia akan
sikap dan perbuatan kekasihnya itu selama mengajaknya keatas gunung. Aneh, mengapa
tahu kalau ia (Bek Lian) tak pernah minum, tapi kekasih itu memaksanya? Aneh-pula
mengapa setelah ia tersadar sang kekasih itu sudah tak nampak disitu ?

GAMBAR 64
Sesudah ubek2an kian kemari, achirnya Bek Lian merasa letih, ia daduk ter
menung2 diatas sebuah batu memikirkan kelakuan kekasihnya yang aneh
Bagi orang yang sadar, tentu segera, dapat menarik kesimpulan apa yang telah terjadi.
Tapi karena perangainya yang angkuh, sombong itu, tambahan pula ia sudah buta
dengan asmara, maka biar bagaimana juga tak mau ia menuduh sang kekasih itu sebagai
orang jahat! Sekalipun begitu, hatinya mulai bersangsi juga. Pada waktu itu ia sudah
hamil, 4 bulan lebih, jadi mulai malas2an. Dihempas oleh siliran angin yang nyaman
ditengah pegunungan sunyi itu, ia merasa tenteram. Ia rebahkan diri dan tertidurlah ia
dengan pulasnya.
Keesokan harinya ketika hari sudah tinggi, barulah ia terjaga. Baru ia hendak lanyutkan
perjalanannya lagi, se-konyong2 dari sebelah muka sana tampak ada dua orang
mendatangi. Salah seorang yang memakai pakaian pertapaan itu, adalah ajahnya sendiri.
Sudah tentu ia menyadi ketakutan dan lekas2 menyelinap kesamping untuk
bersembunyi.
Tak jauh dari situ dilihatnya ada sebuah sela2 lubang batu yang tiba cukup untuk
dimasuki satu orang. Disekitar sela batu itu, penuh ditumbuhi dengan semak2 rumput,
sedang disana sini akar2 rotan me-lingkar2 menutupinya. Kalau orang tak
memperhatikan dengan perdata, tentu tak mengetahui adanya sebuah sela sempit itu.
Karena tak mempunyai lain pilihan lagi, Bek Lian segera lari masuk kesitu.
Tepat ia menyelinap masuk, tepat terdengar seruan Ceng Bo yang menggetarkan empat
penyuru itu. Ternyata sela sempit itu merupakan pintu masuk dari sebuah lorong gua
yang dalam sekali. Dengan ber-ingsut2, ia masuk agak kedalam.
„Hai, kemana budak hina itu bersembunyi ?" tiba2 kedengaran Ceng Bo berseru. Dan
sret, kedengaran sesosok tubuh loncat keatas sebuah puhun. Rupanya seseorang hendak
meninyau kesekeliling tempat itu dari atas.
Bek Lian makin ketakutan dan ber-ingsut2 makin kedalam. Heran, lorong yang bermula
sedemikian sempitnya itu, makin kedalam makin lebar. Ia terus masuk makin jauh dan
suara Ceng Bopun makin tak kedengaran jelas. Nyata ajahnya sudah tak berhasil
menemukan tempat persembunyiannya itu. Legalah hati Bek Lian.
Bek-heng, tak jauh dari sini, ada seorang wanita ber-urai rambut tampak sedang berjalan
dengan ilmu mengentengi tubuh yang niengagumkan sekali!" seru Ko Thay dari atas
sebatang puhun. Kiranya yang kedengaran loncat kepuhun tadi, dialah. Ceng Bo segera
dapat menduga, wanita itu tentulah isterinya, Kang Siang Yan. Sejak berpisah di Hoasan,
dia belum berjumpa lagi dengan sang isteri itu.
Entah sudah dapatkah ia mencari pedang pusakanya itu?
Diapun menduga kalau Bek Lian tentu bersama dengan ibunya itu. Biar bagaimana dia
tak suka melihat wajah puterinya itu. „Ko-heng, mari kita lanyutkan perjalanan lagi!"
dengan menghela napas, ia segera ajak sahabatnya itu berlalu.
Pernah juga Ko Thay mendengar tentang peristiwa perpecahan suami isteri Hay-te-kau
dan Kiang Siang Yan, maka tanyanya: „Bek-heng, apakah yangan2 wanita itu Kiang Siang
Yan adanya?"
Benar, 10 tahun lamanya ia mejakinkan ilmu Thay-im-lian-seng dari Lam-hay Hu Liong
Po. Kini ia lebih lihay dari kita berdua, hanya sayang perangainya berobah aneh, ah......."
Ceng Bo menghela napas, lalu menuturkan tentang kelakuan puterinya yang telah
tersesat jatuh cinta pada The Go, serta bagaimana isternya itu (Kiang Siang Yan) memihak
puterinya. Ko Thay pun seorang jantan yang berhati blak2an, kontan dia menge-luarkan
isi hatinya: „Amboi, ah..... kalau begitu aku harus lekas2 mencari anak itu. Kalau dia,
sudah terlanyur menyadi menantumu, tentu aku tak dapat melampiaskan dendam
puteraku!"
Ceng Bo siangjin tertawa kecut. „Harap Ko-heng lapangkan dada, aku tentu akan
membantumu!" Ceng Bo memberikan janyinya. Baru kurang lebih setengah bulan kedua
orang itu saling berkenalan, tapi Ko Thay cukup mengetahui peribadi tokoh siangjin yang
berbudi luhur itu, ujarnya: „Bagus, itulah laku seorang sahabat sejati!"
--ooOoo--
Mereka tak lanyutkan pengejarannya lagi kepada Bek Lian, Setelah melintasi sebuah
puncak, didengarnya dari hutan yang disebelah muka sana ada suara auman binatang
buas. Bagi kedua orang, hal itu tak dihiraukan. Tapi baru berjalan beberapa langkah, se-
konyong2 terdengar sebuah suara jeritan aneh, menyusul seekor orang utan besar
menyerang keluar.
Ceng Bo yang luas pengalamannya, segera tahu machluk itu tak boleh dibuat main2.
Secepat mencabutt pedang yap kunnya, ia melesat menyongsong maju. Kiranya orang
utan itu adalah si Toa-wi, itu binatang piaraan Yan-chiu. Rupanya binatang itu tahu juga
akan kelihayan pedang pusaka yap-kun. Dengan menguak2, dia segera berputar
kebelakang melarikan diri. Sewaktu Ceng Bo dan Ko Thay mengejar, mereka segera
terperanyat melihat tak jauh disebelah muka sana, tampak Sik Lo-sam dan Kui-ing-cu
duduk bersila. Wajah Sik Lo-sam, tampak mengerut dahinya yang penuh becucuran
butir2 keringatnya sebesar biji kacang. Sedang Kui-ing-cu tampak meram melek, ubun2
kepalanya mengeluarkan segumpal hawa panas.
Ceng Bo dan Ko Thay adalah tokoh persilatan yang berilmu tinggi. Sekali melihat tahulah
mereka kalau Sik-Losam itu sedang menderita luka dalam yang parah. Sementara Kui-
ing-cu tengah bantu mengobati dengan cara penyaluran tenaga lwekang. Benar cara itu
dapat memberi hasil bagus, tapi orang yang mengobati itu tentu menderita sendiri,
tenaga-murninya banyak hilang dan salah2 bisa menyadi seorang yang tanpaguna lagi.
Ceng Bo pernah berjumpa dengan Kui-ing-cu ketika diluitay gunung Gwat-siu-san,
Sebaliknya Ko Thay tak kenal sama sekali akan kedua tokoh itu. Tapi keduanya (Ceng Bo
dan Ko Thay) adalah tokoh2 persilatan yang luhur budi, menampak ada lain kaum
persilatan yang mendapat kesusahan, tanpa diminta lagi mereka ulurkan bantuannya,
Ceng Bo menghampiri dan ulurkan tangannya, hingga tangan Kui-ing-cu tadi tergeser
kesamping sedikit. Kini kedua orang itu bersama meletakkan telapak tangannya
dipunggung Sik Lo-sam bagian jalan darah leng-thay-hiatnya.
Ko Thay tak mau ketinggalan. Diapun lalu menempelkan tangannya kearah jalan darah
ban-kay-hiat didada, Sik Losam. Kini ketiga tokoh itu salurkan lwekangnya untuk bantu
mengobati luka Sik Lo-sam. Segera Ceng Bom engetahui kalau sikate limbung itu terkena
pukulan lwekang thay-im-ciang yang lihay. Tanpa terasa dia menghela napas. Sebaliknya
setelah mendapat bantuan kedua tokoh lihay itu, Kui-ing-cu merasa enakan, ujarnya
dengan riang: „Hayte-kau, aneh juga mengapa kalian sepasang suami isteri itu, berlainan
perangai!"
Ceng Bo tertawa kecut, sahutnya: „Harap Kui-heng yangan menertawainya!"
Mendengar disebutnya nama itu, Ko Thay sangat terperanyat, tanyanya: „Jadi kau ini
orang she Kui ?"
„She apa aku ini sebenarnya, lupalah aku sudah. Tapi orang hanya menyebutku si Kui-
ing-cu saja!" sahut Kuiing-cu dengan tertawa.
„Ah, lama nian aku mengagumimu!" kata Ko Thay. Sebaliknya Kui-ing-cupun segera balas
menanya: „Bukankah cunke (anda) ini Sin-eng Ko Thay?"
Ko Thay gembira sekali mendapatkan orang yang dikagumi itu, ternyata juga seorang
jantan yang jujur suka berterus terang. Maka dengan serta merta dia mengiakan.
Mendengar itu, segera Kui-ing-cu berkata: „Ko-heng tentu juga akan hadir dalam
pertemuan di Ko-tosan. Dengan adanya gangguan ini, walaupun tak sampai terlambat
datang kesana, tapi sangat merugikan tenaga Ko-heng! Menyengkelkan adalah tua
bangka kate ini, kepandaiannya kecil, tapi merugikan besar pada lain orang !"
Sejak mendengar ketiga orang itu berbicara, Sik Lo-sam sudah kepingin turut omong.
Maka begitu Kui-ing-cu memakinya, segera tak tahan lagi dia. „Kui~ing-cu, mungkin saja
kau bisa memberi sebuah gebukan pada wanita itu, tapi aku sudah menggebuknya satu
kali!" dia menyerit.
„Sik Lo-sam, bagaimana kalau kau kancing dulu mulutmu itu.?" sahut Kui-ing-cu sambil
tertawa. Sik Lo-sam menurut. Memang setelah mendapat penyaluran lwekang dari ketiga
tokoh lihay itu, hawa dingin yang menyerang tubuhnya mulai berkurang, berganti dengan
hawa hangat. Ketika malam tiba, dia sudah separoh bagian baik, terus mengorak sila
hendak berdiri. Melihat kalau sikate limbung itu belum sembuh betul, ketiga orang itu-
memaksanya supaja duduk bersila lagi, Keesokan harinya, barulah ketiga orang itu
lepaskan tangannya dan menghela napas legah.
Sehari semalam menyalurkan lwekang itu, mereka bertiga menyadi lelah sekali, karena
hal itu sama dengan bertempur ma'Li2an. Betul tenaga mereka tak hilang sama sekali,
tapi toh separoh bagian lenyap. Kepulihannya memerlukan waktu ber-bulan2.
Se-malam2an itu, Kui-ing-cu telah menuturkan pengalamannya memasuki daerah suku
Thiat-theng-biau digunung Sip-ban-tay-san situ. Setelah itu, dia bertanya bagaimana
Ceng Bo juga datang kesitu. Mendengar keterangan bahwa Ceng Bo telah ditipu oleh To
Ceng, Kui-ing-cu tertawa gelak2. Keesokan harinya dapatlah Sik Lo-sam bebas dari hawa
maut-yang merangsang tubuhnya itu.
„Aku diberi mata, kalau sampai tak dapat melihat keramaian di Ang-hun-kiong itu,
bukantah penasaran sekali?!" seru silimbung seenaknya sendiri.
Setelah beristirahat sebentar, mereka menuju kerawa Hek-cui-than. Tapi sampai sekian
lama menyelidiki, mereka tak berhasil menemukan jejak Tio Jiang dan Nyo Kong-lim.
Menduga kalau mereka berdua sudah tinggalkan gunung itu menuju ke Ko-to-san, ke-
empat tokoh itu segera tinggalkan pegunungan Sip-ban-tay-san berangkat ke Ko-to-san.
--ooOoo--
Sekarang Mari kami ajak pembaca menengok keadaan Bek Lian. Makin masuk kedalam
gua, makin ia tak mendengar lagi suara ajahnya. Ternyata jalanan disitu, lebar sempit
tak berketentuan, ber-liku2 bahkan ada persimpangannya juga. Merasa sudah cukup
lama bersembunyi, ia jakin ajahnya tentu sudah pergi. Tapi ketika ia berjalan balik
ternyata ia tak dapat menemukan lubang pintu tadi. Bek Lian makin gelisah,
Diketahuinya tempat itu adalah lamping dari sebuah puncak gunung yang tinggi. Kalau
ia sampal tak berhasil menemukan pintu keluar tadi, bukankah akan celaka nanti? la
percepat kakinya menyusuri lorong jalan itu, tapi ber-jam2 lamanya, ia tetap tak berhasil.
Malah pada saat itu ia berada disebuah tempat yang gelap. Disekelilingnya merupakan
batu karang, agaknya seperti berada disebuah gua. Jalanan disitu sebentar agak lebar,
tapi ada kalanya, hanya tiba cukup untuk dilalui oleh seorang saja.
Saking putus asa, Bek Lian mendumprah ditanah, menangis ter-sedu2. Entah sudah
berapa, lama ia menangis Aitu. Ketika didengarnya disana sini riuh rendah dengan
kumandang suara tangisannya, ia menyadi ketakutan sendiri lalu berhenti menangis.
Kini ia berbangkit untuk berjalan lagi. la telah menetapkan arah jalannya, jaitu terus
berjalan lempang takk mau mem-biluk2 lagi. Tak berapa lama kemudian, ia mendengar
ada suara air mengalir.
Maju lagi beberapa meter, kakinya terasa dingin, ketika dirabanya, ternyata, tanah disitu
becek berair, kiranya ada beberapa inci tingginya. Rupanya air itu berasal dari tengah
gunung yang tak dapat mengalir keluar sampai ber-tahun2. Karena sangat haus, tanpa
hiraukan bersih tidaknya, Bek Lian segera merangkumnya sepasang lengan mengambil
air, lalu diminumnya. Nyaman juga air itu rasanya, sehingga tubuhnya terasa segar.
Disebelah muka sana dilihnya air makin banyak. Dan ketika dihampirinya, air sampai
merendam betis tingginya.
Makin melangkah kemuka, Bek Lian rasakan tanah rendah, jadi makin dalam airnya. la
sudah segera akan balik. ketika samar2 dilihatnya disebelah muka sana seperti ada.
bagian permukaan air yang kilau kemilau tertimpa sinar.
Diam-diam, ia menyadi girang. Kalau tiada lubang menembus keluar, Masakan ada sinar
matahari dapat menemblis kesitu? Ah, siapa tahu kalau2 disana ia akan berhasil
menemukan jalan keluar. Dengan tangan menempel pada dinding gua itu, ia maju
kemuka.
Kira2 3 - 4 tindak jauhnya air sudah sampai kebatas perut, Bek Lian bersangsi, baik
teruskan atau tidak. Kalau surut balik, terang ia bakal terkurung disitu seumur hidup,
ah......, lebih baik ia maju saja, siapa tahu mungkin ada harapan. Ternyata setelah itu,
tanah yang terendam air itu agak rata.
Baru ia tersadar kalau dirinya berada di-tengah2 sebuah gua berair. 0leh karena sekian
lama berada ditempat gelap, lama2 ia sudah biasa dengan keadaan dan samar2 dapat
juga melihat keadaan disekelilingnya. Entah berapa dalam air disebelah muka nanti,
karena pada saat itu air sudah sampai dibatas dada dalamnya.
Lama kelamaan Bek Lian merasa lelah juga. Ia berhenti sejenak, bersandar pada dinding
gua sembari meramkan mata. Ketika ia hendak mengheningkan pikiran memulang,
semangat, tiba2 didengarnya disebelah muka sana ada suara air beriak beberapa kali.
Waktu membuka mata mengawasi, kagetnya bukan alang kepalang.
Kiranya dimulut gua sana, terpisah kira2 3 tombak jaraknya dari tempat Bek Lian, ada
semacam machluk aneh sedang mondar mandir. Dikatakan aneh karena walaupun ditilik
dari bentuknya machluk itu adalah seorang manusia, tapi sebatas pundaknya kebawah
terendam air. Tapi diatas pundaknya itu terdapat dua buah kepala!"
Bermula Bek Lian mengira kalau matanya yang ber-kunang2, maka lalu di-sapu2 dengan
tangannya. Tapi ketika diawasinya dengan perdata lagi, ah..., benar2 orang itu
mempunyai dua buah kepala........ Saking, takutnya, jantung Bek Lian terasa
berdetakan keras.
Barang siapa masuk kedalam perut gunung yang mysterius (pelik) itu tentu takkan hidup
lama. Kalau toh disana ada machluk manusia yang sedemikian anehnya, tak salah lagi
tentu bangsa, siluman, demikian pikir Bek Lian. Dengan ber-ingsut2 ia segera balik
mundur ketempatnya tadi. Jakni dibagian yang dangkal airnya. Sekalipun sudah jauh,
masih juga ia kuatir yangan2 siluman itu akan mengejarnya. Maka ia diam menahan
nafas untuk mencari akal.
Namun sampai sekian lama, tiada tampak ada kejadian apa2. Achirnya Bek Lian
menyangsikan. dirinya, yangai2 tadi ia sudah salah melihat Bangsa siluman apapun juga,
tiada ada yang berkepala dua.
Mundur kembali, hanya gelap gulita yang dijumpainya. Sebaliknya disebelah muka sana,
tampak ada cahaja penerangan. la putuskan, maju lagi. Lebih baik bila perlu bertempur
dengan siluman, dari pada mati konyol diperut gua.
Tiba ditempat tadi, kembali ia melihat bayangan machluk aneh itu, masih mondar mandir
dimulut gua, Sebatang kepalanya berada ditengah pundak, sedang yang sebuah lagi
melekat dipundak kirinya. Tapi anehnya, pada lain saat kepala dipundak kiri itu bisa
beralih kepundak kanan. Setelah lama mengawasi dengan seksama, ketakutan Bek Lian
berkurang. Ia menyusur maju. Sjukur air disitu hanya sebatas dada saja tingginya.
Rupanya machluk aneh itu mendengar juga suara riak air yang diteryang Bek Lian. Tiba2
dia berpaIing kearahnya. Jelas tampak oleh Bek Lian, bahwa mata dari machluk itu- ber-
kilat2 memancarkan cahaja, banyak menyerupai mata dari seorang yang memiliki
lwekang tinggi dari pada suatu siluman. Kalau saja machluk itu tidak, mempunyai dua
buah kepala, siang2 Bek Lian tentu sudah berseru memanggilnya. Untuk keheranannya,
machluk itu hanya mengawasi kearahnya, tapi tak mau mengeluarkan suara. Malah pada
lain saat, machluk aneh itu mundur dan lenyap dari pemandangan.
Hai, kiranya machluk itu takut juga pada manusia. Nyali Bek Lian menyadi besar, lalu
terus menyeberang mengejarnya. Air disitu ternyata hanya sampai sebatas yanggutnya
saja. Kira2 setengah jam kemudian, tibalah ia dimulut gua. Begitu memandang keluar,
mulut Bek Lian segera mengeluh: „Ah, celaka!"
Kiranya dimuka mulut gua situ, terbentang tujuh atau delapan jalanan, yang
kesemuanya gelap gulita keadaannya. Adanya dimulut gua itu agak terang tadi, adalah
karena disebelah atasnya ada sedikit celah lubang. Tapi tinggi celah itu beberapa tombak,
jadi sukar untuk dicapai.
Bermula Bek Lian mengira, begitu mencapai mulut gua, ia tentu akan tertolong dari
penyara alam itu. Tapi ternyata harapannya itu hanya suatu chajal kosong belaka. Ceng
Bo menumpahkan seluruh kasihnya kepada puterinya tunggal itu. Jadi sewaktu
digunung Giok-li-nia, Bek Lian sangat manya sekali, segala kehendaknya harus
diluluskan. Ketika turun gunung dan berjumpa dengan The Go, iapun dimanyakan
dengan sanyung rajuan mulut si Cian-bin Long-kun yang ter-gila2 akan kecantikannya
itu. Jadi boleh dikata sampai sebesar itu, Bek Lian belum pernah merasakan apa yang
dinamakan kepahitan hidup itu. Maka pada saat menghadapi kesukaran itu, hancur
luluhlah keangkuhannya, dihanyutkan oleh sang air mata yang membanyir turun. Untuk
menumpahkan kekesalan hati, ia menangis gerung2. Tapi berbareng dengan pecah
tangisnya itu, disebelah muka sana terdengar benda kecemplung didalam air dan
menyusul dengan suara bergerutukan, macam benda tenggelam didasar air.
Bek Lian serentak tersadar dari tangisnya. la berada di tempat terang sedang simachluk
aneh ditempat gelap, sudah tentu celaka ia, kalau tak lekas2 berpindah tempat. Cepat2
ia melangkah kesalah sebuah lorong jalan yang airnya hanya sampai sebatas betis.
Tertiup oleh hembusan angin gunung, ia rasakan tubuhnya dingin sekali. Dilihatnya
simachluk aneh itu berenang lagi kedalam gua, tapi pada lain saat sudah berenang balik
lagi.
Bek Lian putus asa. Ia merasa kali ini ajalnya tentu datang. Teringat akan orok yang
dikandungnya itupun akan turut meninggal sebelum sempat melihat sinar matahari, ia,
mengeluh dengan duka-citanya. Tapi suara keluhan itu, telah menarik perhatian
simachluk aneh yang segera menuju kearahnya. Kali ini Bek Lian berada ditempat gelap,
mengawasi kearah tempat yang terang. Jadi penglihatannya jauh lebih jelas. Begitu
mengawasi, mulutnya terpecah tawa.
Kiranya machluk itu bukan bangsa siluman yang mempunyai dua buah kepala, tetapi
melainkan hanya seorang manusia biasa. Hanya saja orang itu tengah menyanyung
sebuah batu sebesar kepala orang, diatas kepalanya. Orang baikkah atau orang jahatkah
dia itu, bukan soal. Yang penting nyata2 mereka itu senasib, jadi harus kerja sama. Baru
ia hendak membuka mulut menegur, orang itu sudah mendahuluinya bersuara: „Siapa
yang disitu itu? Setan atau manusia atau bahurekso (malaekat penunggu) disini ?"
Dalam tempat yang mirip dengan sebuah penyara alam, Bek Lian dapat berjumpa dengan
seorang lain yang senasib, itu sudah cukup membesarkan hati. Apalagi ketika mendengar
nada suara yang tak asing lagi baginya itu, ia lalu berjingkrak kegirangan, serunya: „Sute,
kaukah? Ini aku, bukan setan bukan bahurekso!"
Ja, memang benar, orang itu bukan lain adalah Tio Jiang, siapa segera berseru dengan
kaget sekali: „Suci, ah....... kiranya benar kau! Tak heran tadi aku agak mengenal suara
tarikan napasmu. Tapi mengapa kau bisa berada disini?"
Bek Lian tak mau mengatakan kalau beradanya disitu itu disebabkan lari bersembunyi
melihat ajahnya, maka ia segera berbalik bertanya: „Kau beritahukan dulu, mengapa kau
bisa berada disini, apakah namanya tempat ini? Mengapa diperut gunung ini banyak
sekali jalan tembusannya begitu ? Hajo, kita lekas keluar dari sini dulu, baru nanti
bercerita!"
Tio Jiang kedengaran menghela napas. „Suci, apakah tempatmu disitu airnya tak dalam
? Terendam air sedingin itu, tentu sangat kedinginan," tanya Tio Jiang tak mau menyahut
pertanyaan yang ber-tubi2 dari sucinya tadi.
„Memang disini airnya dangkal, tapi cukup dinginlah, karena ada hembusan angin!"
„Ada angin menghembus?" seru Tio Jiang dengan terkejut kegirangan.
--ooOoo--
(Bersambung Ke Bagian 35)
TULISAN DI BATU HITAM

BAGIAN 35.2

Setengah jam kemudian, tibalah Tio Jiang ditempat kediaman suku Thiat-theng-biau.
Keempat orangy pengantarnya tadi segera lari lebih dahulu untuk menghadap Kit-bong-
to yang tampak sedang duduk bersila ditempatnya. Dengan meng-gerak2kan golok,
rupanya keempat orang Biau tadi tengah menceritakan tentang demonstrasi kepandaian
yang diunyuk oleh Tio Jiang tadi. Kit-bong-to masih ingat bahwa Tio Jiang itu adalah
salah seorang dari rombongan yang membebaskan calon mempelainya (Bek Lian). Sudah
tentu dia tak menyukai anak muda itu. Dengan membentak keras2, dia suruh keempat
orangnya tadi mundur, kemudian bertanya pada Tio Jiang: „Apa maksudmu datang
kemari lagi ini ?"
Sesaat Tie Jiang tersentak kaget. Memang dia tak mempunyai kepentingan istimewa
datang kesitu itu. Hanyalah karena melihat ilmu permainan golok keempat orang Biau
tadi, dia merasa ketarik dan hendak menanyakan lebih lanyut kepada kepala suku itu.
Apa boleh buat, Tio Jiang menceritakan maksudnya. Wajah Kit-bong-to berobah seketika,
tapi pada lain saat air mukanya berseri lagi, serunya dengan ramah: „Maaf tak dapat
memberi sambutan apa2 kepada tetamu jauh. Hanya teh keluaran gunung ini, tentu
dapat menghilangkan rasa dahaga!"
Tanpa sungkan2 lagi Tio Jiang segera menyambuti cawan teh terus hendak diminumnya.
Tiba2 dibaunya teh itu luar biasa wanginya, tapi dalam keharuman itu seperti ada bau
lain yang istimewa, maka dia, tak jadi meminumnya lalu melirik kearah kepala suku itu.
„Apakah hohan kuatir kalau teh itu dicampuri racun?" tanya Kit-bong-to yang rupanya
mengerti akan kesangsian orang. Malah tanpa tanya jawaban lagi, dia segera rebut cawan
yang dipegang Tio Jiang itu terus diminumnya. Setelah meneguk habis separo cawan,
lalu diberikan pada Tio Jiang, katanya: „Lekas minumlah, asal usul ilmu golok itu
memang aneh sekali. Setelah minum, segera kubawamu kesana."
Sebagai lelaki jujur, sudah tentu Tio Jiang menyadi sungkan. Disambutinya cawan itu,
dan demi dilihat isinya memang hanya tinggal sedikit, dia terus hendak meminumnya.
Adalah pada saat cairan itu sudah menempel dibibirnya, dia mencuri lihat sikepala suku,
yang ternyata dengan mata mendelik tengah mengawasi dirinya dengan wajah yang
beringas, se-olah2 tak sabar lagi supaja Tio Jiang lekas2 meminumnya.
Tio Jiang bersangsi lagi. Yangan2 kepala suku itu hendak main gila. Tapi karena sudah
menyatakan hendak meminum, jadi Tio Jiang mentiari akal. Cepat dia mengambil
keputusan. Diam2 dia kerahkan ilmu lwekang ajaran Sik Lo-sam jakni „cap ji si hang
kang sim ciat", hawa murni disalurkan kearah tenggorokan, kemudian, sekali teguk dia
habiskan isi cawan itu. Teh itu benar masuk kedalam mulut, tapi hanya berhenti
ditenggorokan, tidak masuk keperut.
„Mari ikut padaku!" seru Kit-bong-to dengan girangnya, demi dilketahui sang tetamu
sudah meminumnya. Dia kedengaran menyerit beberapa kali dan kawanan orang Biau
itu lalu me-nari2 dengan hiruk pikuknya. Adalah sewaktu mendapat kesempatan, Tio
Jiang segera muntahkan teh. tadi keluar. Tenggorokannya dirasakan gatal, manis2 serak.
Dia ikut Kit-bong-to naik kepuncak gunung.

GAMBAR 66
Tio Jiang dihantar oleh kepala suku Biauw itu kepuncak gunung yang
tandus gilap itu untuk melihat rahasia ilmu golok satu jurus yang lihay itu.

Dinamakan Thiat-nia atau puncak besi, karena memang keadaan gunung itu aneh sekali.
Makin keatas, makin tiada terdapat tumbuhan apa2. Batu2 disitu sama ke-hitam2an
warnanya. Tak berapa lama, sampailah mereka dipuncak. Kecuali gundul, puncak itu
tiada. Lain keistimewaannya, tapi anehnya sikap Kit-bong-to sedemikian hormatnya
seperti berhadapan dengan malaekat yang dipujanya. Dengan berlutut ditanah, dia
kedengaran berdoa. Diam2 Tio Jiang merasa geli juga.
Se-konyong2 Kit-bong-to loncat bangun, dari pinggangnya dia cabut sebatang golok-sabit
terus dibuat menabas dan tiba2 dirobah dengan hantaman kebawah. Melihat demontrasi
itu, Tio Jiang bertanya: „Dapatkah kau memberitahukan asal usulnya ilmu golok itu?"
„Siaoko, kau harus bersumpah dulu bahwa didalam 10 hari kau takkan mengatakan
pada lain orang tentang apa yang kau lihat hari ini!"
Tio Jiang heran. Dia tak mengerti Kit-bong-to hendak menunyukinya rahasia apa saja,
maka dia harus bersumpah begitu. Didalam 10 hari tak boleh memberitahukan lain
orang, tapi bagaimana setelah lewat waktu itu? Dia tak tahu bagaimana jawabannya, tapi
oleh karena kepala suku itu telah menaruh kepercajaan padanya, sebagai orang yang
berhati jujur, diapun segera mengikrarkan sumpah itu. Dengan berseri girang, Kit-bong-
to segera ajak dia maju. beberapa tindak lagi. „Lihatlah!" tiba2 dia berseru sembari
menunyuk kearah sebuah batu besar yang kelimis halus tiada ditumbuhi apa"
„Ada apanya?" tanya Tio Jiang dengan keheranan demi mengawasi batu itu tiada ada
apa2nya. Kit-bong-to segera menabas bagian atas dari batu hitam itu. Kiranya bagian
atas dari batu itu dilumuri dengan tanah liat, maka sekali papas dapatlah Kit-bong-to
menghilangkan lapisan tanah itu. Dan ketika permukaan batu itu kelihatan, Tio Jiang
menyadi, terkejut. Kiranya disitu terdapat lukisan-ukir dari sebatang golok yang
macamnya mirip dengan golok-sabit Kit-bong-to itu, Dibawah lukisan itu terdapat
guratan2 huruf yang ternyata merupakan keterangan dari sebuah ilmu golok. Tulisan
disitu, menerangkan menyerang badan bagian atas lalu setengah jalan dirobah
menyerang kaki orang. Serangan itu dapat dirobah menyadi pertahanan yang indah. Tio
Jiang ulangi memeriksa tulisan itu. Dia dapatkan sari keindahan dari ilmu golok itu,
sukar dilukiskan. „Kit-bongto, lekas bersihkan lapisan tanah liat itu semua. Ilmu golok
ini, tiada ternilai saktinya" buru2 Tio Jiang meminta. Namun Kit-bong-to tertawa
menyahut: ,Hanya ada satu jurus itu saja! "
Tio Jiang memeriksanya, kiranya benar yang dikatakan kepala suku itu. „Entah bilamana
ilmu golok itu tertera di atas batu ini," kata Kit-bong-to, „sejak kaum Thiat-thengbiau
kami menetap disini, ilmu golok itu sudah ada. Kaum kami gunakan ilmu golok itu untuk
menghadapi serangan binatang buas dan hasilnya memuaskan sekali! "
Sampai sekian saat, Tio Jiang ter-longong2 mengawasi huruf2 itu. Mendadak serasa dia
seperti pernah melihat huruf itu, ah..... benarlah! Buru2 dia memeriksa batu berisi
mustika yang dibawanya itu dan hai....., memang sama gajanya! Siapa lagi yang
menciptakan ilmu golok luar biasa itu kalau bukan Tat Mo Cuncia. Tapi anehnya,
mengapa hanya terdiri sejurus saja? Dia kini sudah memiliki dasar2 ilmu silat yang
dalam, sembari memeriksa dengan perdata akan pelajaran ilmu golok dibatu itu, diam2
dia telah menelaah sari keindahannya. Tak seperti dengan suku Biau yang hanya asal
menurutkan gerak2annya saja, tanpa mengerti dimana letak kegunaannya yang sejati.
Achirnya sampailah Tio Jiang pada suatu kesimpulan, bahwa andaikata ada,lagi satu
jurus, ilmu golok itu pasti merupakan ilmu golok yang tiada taranya didunia. „Kit-bong-
to, apakah benar2 hanya ada satu jurus ini saja?" tanyanya menegas.
Saat itu Tio Jiang tengah terbenam dalam renungan yang dalam, jadi sedikitpun dia tak
mengetahui akan sikap orang yang berobah aneh pada saat itu. „Ah, ilmu golok ini
memang sangat sakti, sayang tiada punya nama," kedengaran Tio Jiang menyatakan
perasaannya sendiri.
„Ada, disebaliknya," sahut Kit-bong-to, Tio Jiang buru2 mengikutinya kebalik batu itu
dan disitu didapatinya ada 3 buah huruf „it to hwat" (ilmu golok tunggal). Tio Jiang, makin
tak habis mengerti. Sesuai dengan namanya, ilmu golok itu jadi hanya terdiri dari sejurus
saja. Aneh, mengapa sejurus bisa merupakan sebuah ilmu golok yang lengkap ?
„Siaoko, batu bertulisan ini hanya aku seorang yang melihatnya. Kuajak kau kemari ini,
adalah karena aku hendak minta bantuanmu menyelaskan ilmu golok itu," demikian Kit-
bong-to.
Kiranya berulang kali Kit-bong-to pernah turun gunung mengembara didunia persilatan.
Setiap kaum persilatan yang menyaksikan permainan goloknya, tentu sama memuji dan
kagum akan kebagusannya. Tapi oleh karena hanya terdiri dari sejurus saja, mereka
anggap mungkin kepala suku Biau itu hanya dapat mencuri belajar saja, jadi mereka tak
rnenaruh perhatian lebih lanyut.
Disebabkan karena Kit-bong-to tak mengerti ilmu lwekang, jadi sekalipun ilmunya golok
istimewa, tapi tak lebih tak kurang dia hanya setanding dengan kaum persilatan biasa
saja. Yang mengherankan, turun menurun suku bangsaThiat-theng-biau itu memiliki
suatu kode pelajaran ilmu golok yang disebut „it to hwat, sip-to-hwat, peh-to-hwat, cian-
to-hwat dan ban-to-hwat." Tetapi tiada seorangpun yang dapat menyelaskan bagaimana
arti kode2 itu. Kit-bong-to jakin, disitu tentu terdapat sesuatu hal yang istimewa, tapi
oleh karena dia tak suka orang2 Han main gila, jadi rahasia itu dibiarkan tertutup begitu
saja.
Adalah tadi dengan kedatangan Tio Jiang yang dianggapnya sebagai seorang pemuda
jujur serta menaruh perhatian akan ilmu golok itu, timbullah suatu ilham dalam
perasaannya, mungkin pemuda yang ke-tolol2an inilah yang dapat menolong menyingkap
tabir rahasia itu. Tapi ternyata sampai hampir setengah harian, pemuda itu belum juga
dapat menyelaskan.
„Yu-tio (kepala suku) aku juga tak dapat menerangkan!" achirnya Tio Jiang menyatakan
dengan sejujurnya. Melihat sikap dan lagu ucapan anak muda itu menandakan
ketulusan hatinya, Kit-bong-to merasa suka dan malah menyuruhnya tinggal disitu dulu
untuk sementara hari.
„Siaoko, tinggallah dulu beberapa hari supaja dapat merenungkan dengan tenang !"
katanya.

(Bersambung Ke Bagian 36)


TULISAN DI BATU

BAGIAN 35.1

„Ja, ada angin berembus saja masa kau begitu kegirangan ?" Bek Lian ber-sungut2, Tio
Jiang menyahut: „Ah, suci tak tahu, si Cian-bin Long-kun The Go itu ........."
„Dia berada dimana ?" tukas Bek Lian serentak memutus kata2 orang. Tio Jiang tak
mengerti kemana jatuhnya pertanyaan sang suci itu, maka diapun cepat menegas: „Siapa
?"
Bek Lian mendongkol, lalu berteriak nyaring2: „Engkoh Go ! Kecuali dia, siapa lagi yang
akan kutanyakan ? !"
Diam2 Tio Jiang geli dibuatnya. Kalau beberapa bulan yang lalu, hatinya pasti sakit
mendengar ucapan sang suci begitu itu. Tapi setelah dia campur gaul dengan manusia2
jantan macam Kui-ing-cu dan Nyo Kong-lim, dia tawar sudah akan perilaku Bek Lian
yang sedemikian rendah martabatnya itu. Macam bidadari menyelma dimajapada pun,
Tio Jiang tak tergerak hatinya lagi pada sang suci itu.
Malah dia sesali dirinya sendiri, mengapa tempo hari sampai ter-gila2 membabi buta pada
sang suci. „Ah, entahlah kemana dia!" katanya dengan tawar.
„Sute, hajo kite Iekas2 keluar dari sini!" achirnya Bek Lian tampak bergelisah. Tio Jiang
enyot tubuhnya melayang diatas dinding lorong jalan itu. Benar juga disitu, dia rasakan
siliran angin menghembus. „Suci, yangan terburu nafsu dulu. Ceritakan dululah dari
many kau. Masuk kemari ini ! ".
Bek Lian terkesiap. Dulu sutenya itu takut2 berbicara dengannya, tapi mengapa kini
sikapnya berlainan sekali ?
„Adakah kau ini benar Tio Jiang ?" ia bertanya dengan aneh.
„Sudah tentu, ja. Suci, kau rupanya kedinginan. Kita harus lekas2 keluar dari sini, maka
coba, ceritakanlah padaku darimana kau masuk tadi."
Terpaksa Bek Lian menurut dan lalu menutur, „Sekian banyak jalanan gunung dan gua
yang kau lalui tadi, mana2 saja yang terasa ada angin menghembus ?" tanya Tio Jiang.
Atas itu, Bek Lian menerangkan hanya satu dua saja, tapi lupalah ia dibagian yang mana.
„Lian suci, aku ini disebabkan sibangsat The Go ......."
„Sute!" cepat2 Bek Lian membentak, Tio Jiang ganda tersenyum, lalu melanyutkan
kata2nya: „Karena dia merampas mustika didalam batu dan disembunyikan entah
dimana, maka Kui-ing-cu lo-cianpwe suruh aku mencarinya.........."
„Apa itu sih mustika dalam batu ? Apakah mustika yang disebut dalam kitab Pao-bu-cu
itu ?" kembali Bek Lian memutus.
„Benar. Karena melihat dia keluar dari sebuah celah batu, maka aku segera masuk dari
celah itu. Tapi sampai berhari2, aku tak bisa keluar lagi !"
„Ah, tak berguna mem-buang2 ludah sampai setengah harian ini. Kiranya kau juga tak
dapat keluar dari sini!" ujar Bek Lian dengan putus asa. „Yangan keburu putus asa dulu.
Sewaktu kau masuk dari celah yang tembus keluar itu, tentu ada angin berembus, bukan
?" tanya Tio Jiang. Bek Lian mengiakan dengan acuh tak acuh.
„Sewaktu aku gelisah tak dapat keluar dari sini, tiada ter-sangka2 aku telah berhasil
menemukan mustika batu itu terletak disebuah gua kecil. The Go tentu yang menyem
bunyikannya. Dia dapat keluar, sebaliknya aku tidak. Sehari penuh aku mengitari tempat
ini, tapi tetap tak berhasil. Sewaktu aku tak habis mengerti, kini dapatlah aku
memecahkannya. Ini suatu bukti, bahwa The Go itu mempunyai bakat dan otak yang
cerdas, jauh beberapa kali lebih jempol dari aku."
Sampai pada saat itu, dalam benak Bek Lian hanya terlukis diri The Go seorang. Maka
ketika tadi Tio Jiang memakinya „The Go sibangsat", ia menyadi kurang senang.
Kini sewaktu sutenya itu memuji sang kekasih, segera Bek Lian berseru dengan riang
gembira :„Itu sudah terang. Kecerdasan engkoh Go, siapa yang bisa menyamai ?"
Tio Jiang seorang anak yang lurus polos. Apa yang hatinya mengatakan, mulutnya segera
menyatakan. „Benar, hanya sayang kecerdikannya itu dicerdiki oleh kesalahannya!"
Bek Lian kurang puas, tapi karena tak dapat mencari alasan membantah, maka cepat2
ia alihkan pembicaraan :
„Tadi kau menyatakan sudah bisa memecah rahasia tempat ini, nah bilanglah lekas!"
Entah benar tidak pemecahanku itu, harap suci yang lebih cerdik dari aku, suka turut
menimbangnya. Kupikir jalanan yang terasa ada hembusan angin itu, kalau kita
turutkan, tentu akan dapat menuju keluar dari gunung.
„Benar," seru Bek Lian.
Kembali Tio Jiang berkata :
„Kupercaja The Go tentu untuk beberapa saat tersesat disini, tapi dalam sesingkat waktu
saja dia sudah dapat memecahkan rahasianya. Sebaliknya aku memerlukan satu
setengah hari baru dapat memecahkannya. Dan kau sendiri bagaimana, Lian suci ? !"
Bek Lian ke-malu2an. Ia beradat tinggi. Tak pernah ia memandang mata pada sutenya
yang dianggap tolol itu. Sudah tentu ia tak unyuk ketololannya dihadapan sutenya itu.
Dengan beberapa alasan, ia coba mau memintari. Walaupun kini Tio Jiang sudah tawar
terhadap sang suci, namun ikatan saudara seperguruan masih melekat. Melihat sang
suci masih tetap membawa sikap mau menang dewek, dia hanya ganda tertawa saja.
„Teoriku itu juga belum tentu berbukti kebenarannya, tapi marilah kita coba saja," kata
Tio Jiang sembari ajak sang suci menuju kelorong jalan disitu. Tiba diujung penghabisan
jalan itu, kembali disana terdapat lagi 7 atau 8 buah persimpangan jalan. Kedelapan
simpang jalan itu disusurinya. Achirnya, pada salah sebuah jalan terasa ada hembusan
angin. Kearah saulah mereka menyusur kemuka.
Pada ujung jalan itu kembali terdapat sebuah gua dan sehabis melalui gua itu, kembali
terdapat 10 buah persimpangan jalan. Oleh karena sudah menetapkan rencana, jadi
merekapun mencari salah sebuah jalan yang terasa ada hembusan anginnya.
Tio Jiang menyunyung batu yang terisi mustika itu diatas kepalanya. Sembari berjalan,
diam2 dia me-nimang2:
„Terang sudahlah kalau Lian suci ini menyintai The Go dengan segenap jiwa raganya."
Kalau begitu, mana boleh aku menyadi perintangnya. Peristiwa tukar panyar itu harus
kubatalkan saja." Setelah mengambil putusan, segera dia berkata: „Lian suci, aku ada
sebuah barang yang hendak kukembalikan padamu!"
„Barang apakah itu ?" tanya Bek Lian keheranan. Tio Jiang merogoh kedalam dada
bajunya dan mengambil keluar peniti kupu2an milik Bek Lian. Sampai detik itu Tio Jiang
menganggap kalau barang itu adalah pemberian dari Bek Lian sendiri. Ketika dihadapan
Kiang Siang Yan, Bek Lian menyangkal keras, Tio Jiang masih tetap mengira sang suci
itu waktu sedang marah.
„Sute, sebenarnya darimana kau peroleh peniti itu ?" Bek Lian ulangi pertanyaan yang
memang sudah lama ia kepingin mengetahuinya.
Kini Tio Jiang baru betul2 keheranan, apakah benar2 sang suci itu tak tahu menahu soal
itu. Dengan jelas dituturkan duduk perkaranya dan kemudian menambahkan:
„Sebagai penukaran, aku telah berikan padamu sebuah batu pualam milik suhu yang
diberikan padaku !"
„Huh, kau mimpi bertemu setan barangkali. Itu waktu aku sedang dalam perjalanan dan
bertemu dengan engkoh Go......" berkata sampai disini, wajah Bek Lian berseri girang
terkenang akan peristiwa yang romantis itu.
„Lian suci, apakah benar2 pada malam itu kau tak berada di Gwat-siu-san ?" Tio Jiang
meminta penegasan lagi.
Sudah tentu hal itu membuat Bek Lian mendongkol dan serunya dengan uring2an :„Perlu
apa aku membohongimu !"
„Jika bermimpi, mengapa tanganku mencekal peniti itu ?
Kalau tidak bermimpi, siapa yang ber-olok2 dengan aku itu ?"
Tio Jiang menggerutu seorang diri.
„Huh, selain Siao Chiu, siapa lagi !" kata Bek Lian, yang membuat Tio Jiang terkesiap dan
mengakui memang benar begitu. Tio Jiang tak mau bertanya Iagi kepada suci-nya. Kira2
dua jam kemudian, mereka tiba disebuah jalan sempit yang terasa banyak hembusan
anginnya. „Inilah dianya!" seru Tio Jiang kegirangan. Benar juga setelah melalui jalan
sempit itu, mereka dapat keluar dari perut gunung tadi. Kala itu rembulan sudah
menampakkan diri dilangit. Karena keliwat lelah ber-putar2 didalam perut, gunung yang
mempunyai ber-puluh2 jalanan kecil itu. mereka lalu duduk beristirahat disebuah batu.
Dahulu kalau berada berduaan dengan sang suci, Tio Jiang tentu menyadi seperti orang
pekok, jaitu orang yang tak dapat bicara lancar. Setiap kali Bek Lian tentu menertawai
kelakuannya itu. Kini berlainan halnya. Walaupun hanya berdua orang, tapi rasanya Tio
Jiang tak mempunyai kata yang hendak diucapkan. Baru berselang beberapa jenak
kemudian, dia kedengaran bertanya: „Lian suci, kau hendak menuju kemana ?"
Sebenarnya Bek Lian hendak mencari The Go, tapi kalau mengatakan hal itu - dihadapan
sang sute, seperti sang ajah, sute itu tentu membencinya. „Kau tak usah mengurus
diriku!" achirnya ia menyahut. Dan benarlah, setelah pulang semangatnya, Bek Lian
tampak berbangkit terus hendak angkat kaki.
„Suci, nanti dulu!" seru Tio Jiang.
„Apa kemauanmu ?" Bek Lian berpaling sembari kerutkan sepasang alisnya.
„Kau seorang diri melakukan perjalanan, dikuatirkan nanti berjumpa dengan orang jahat
" sebenarnya Tio Jiang bermaksud baik, tapi oleh Bek Lian telah diartikan lain. Ia anggap
sutenya itu menghina kalau ilmunya rendah, maka dengan tertawa dingin ia menukas
kata2 orang :„Terima kasih atas perhatianmu. Bertemu dengan penyahat apapun, biarlah
kuhadapinya sendiri, tak usah kau mengurusi !"
Mendapat semprotan yang begitu ketus, Tio Jiang ter-mangu2 diam. Sebaliknya, Bek Lian
makin gusar, berputar diri terus angkat kaki. Apa boleh buat Tio Jiang terpaksa tak dapat
berbuat apa2.
--ooOoo--
Setelah berlatih sebentar, dia loncat keatas sebatang puhun untuk tidur disitu.
Keesokan harinya, dia segera ber-gegas2 berangkat ke Ko-to-san. Dia juga memikirkan
bagaimana achir pertempuran antara Kui-ing-cu dengan Kiang Siang Yan itu. Karena
pegunungan Si-ban-tay-san itu tiada mempunyai jalanan sama sekali, jadi Tio Jiang
hanya menentukan arah barat daja sebagai tujuan langkahnya. Menyelang tengah hari,
tibalah dia pada sebuah puncak gunung. Disitu dilihatnya ada sebuah batu bercat hitam.
,,Hai, apakah ini bukan puncak Thiat-nia ?" tanyanya seorang diri. Tapi dia heran
mengapa keadaan tempat itu berlainan dengan Thiat-nia yang pernah didatangi tempo
hari.
Kiranya Tio Jiang tiba disebelah belakang dari puncak Thiat-nia. Sebaliknya Tio Jiang
merasa kini sudah mendapatkan jalan keluar dari pegunungan raya itu, maka dengan
girang sekali, dia berlari cepat2 turun gunung. Begitu tiba dikaki gunung, tahu2 sebatang
anak panah telah menyambarnya.
Teringat Tio Jiang akan pembilangan Kui-ing-cu bahwa suku Thiat-theng-biau itu paling
gemar menggunakan senyata panah yang. dicelup dengan racun istimewa. Maka buru2
dia menghindar saja seraja berseru :„Mengapa tanpa bertanya hitam putihnya, lalu main
membokong orang saja ?" .
Empat orang suku Thiat-theng-biau muncul keluar. Mereka bercuwat-cuwit mulutnya,
tapi Tio Jiang tak mengerti. „Lekas menyingkir, aku mempunyai urusan penting, hendak
lekas2 melanyutkan perjalanan!" serunya.
Berkat lwekangnya makin tinggi, maka seruan. Tio Jiang itu terdengar menggeledek
bunyinya, hingga karena telinganya sakit keempat suku Biau itu berjingkrak kaget.
Mereka berpencar, lalu masing2 melepaskan anak panah. Tio Jiang mendongkol geli.
Dipotesnya sebatang dahan pohon, lalu dengan memainkan jurus hay-li-long-huan dia
hantam jatuh anak panah itu, kemudian sekali melesat maju, ia segera mainkan
dahannya untuk menutuk jalan darah wi-tiong-hiat dari keempat orang itu.
Tapi tutukan Tio Jiang itu hanya menerbitkan suara tuk..., tuk..., tuk..., tuk saja, jakni
macam membentur kaju. Pakaian rotan yang dikenakan oleh keempat suku Biau itu,
senyata tajampun tak dapat menembusinya, yangan lagi hanya tutukan dahan. Lain
halnya kalau yang menutukkan itu tokoh sakti macam Tay Siang Siansu, Kui-ing-cu atau
Kang Siang Yan dan lain2. Namun walaupun tak selihay mereka, Iwekang Tio Jiang yang
sudah bertambah maju itu, dapat membuat keempat orang itu meringis kesakitan juga.
Saking murkanya, keempat orang Biau itu segera cabut golok dan serempak maju
menyerang. Golok mereka itu aneh bentuknya, jaitu seperti bintang sabit, melengkung
panjang sampai setengahan meter. Tio Jiang tak mau melukai mereka, cukup asal
memberi sedikit hajaran saja.
Baru dia hendak maju menyambut, salah seorang dari mereka yang bertubuh agak tinggi,
sudah maju menabas dengan goloknya. Tio Jiang angkat dahannya untuk menangkis,
tapi se-konyong2 orang Biau itu robah gerakannya. Begitu siku tangan diturunkan,
secepat kilat golok-sabitnya telah masuk menyerang sepasang betis Tio Jiang. Dengan
bentuk goloknya yang istimewa, jurus serangan itu sangat surup sekali. Saking gugupnya
terpaksa Tio Jiang tekankan dahan ketanah, lalu loncat menyingkir jauh.
Diam2 dia heran memikirkan serangan orang Biau yang istimewa itu. Ilmu pedang to-
hay-kiam-hwat yang sudah berpuluh tahun menggetarkan dunia persilatan itu, kiranya
hanya begitu saja. Sebaliknya serangan ilmu golok dari orang Biau liar tadi sedemikian
luar biasanya, entah dari mana mereka mempelajarinya ?
GAMBAR 65
Dengan aksi, Tio Jiang melambung keatas hendak
menangkap golok2 melengkung ke-empat lawannya

Kala dia lagi merenung, orang Biau tadi kembali sudah datang dengan sebuah tabasan
lagi. Kali ini Tio Jiang sudah bersiaga. Dia miringkan tubuh menghindar, dan nantikan
bagaimana tindakan lawan itu lebih jauh. Setelah tabasannya luput, orang Biau itu
berseru keras2, se-konyong2 goloknya diturunkan dan wut....., tahu2 membabat kaki Tio
Jiang, gajanya seperti tadi juga!
Tio Jiang sudah memperhitungkan lebih dahulu. Baru orang gerakkan tangan dia sudah
melambung keatas, begitu golok melayang dibawah kakinya, dengan gunakan cian-kin-
tui (tindihan seribu kati) dia menurun dan tepat menginyak golok orang Biau itu ditanah.
Ternyata orang Biau itu juga fanatik sekali. Terang dia tak dapat menarik golok yang
dipijak kaki sianak muda itu, namun tangannya tetap tak mau melepaskannya.
Melihat kawannya dipecundangi, ketiga orang Biau lainnya segera maju berbareng. Tapi
cukup dengan mainkan dahannya, Tio Jiang telah dapat menghalau mereka, kemudian
dengan gerak liok-ting-gui-san, disusuli menghantam bahu siorang Biau yang tinggi
besar tubuhnya tadi. Tio Jiang gunakan 3 bagian tenaganya, maka kali ini orang Biau itu
terpaksa lepaskan cekalannya, ter-hujung2 jatuh. kebelakang. Tio Jiang pungut golok-
sabit orang, lalu menyerang ketiga orang Biau tadi dengan tiga buah serangan ajaran Sik
Lo-sam. Trang..., trang..., trang..., ketiga orang Biau itu coba menangkis, tapi golok
mereka telah terpental jatuh.
Tio Jiang mau unyuk demonstrasi. Batu yang terisi mustika, dikempit dalam ketiak
kanan. Sekali enyot tubuhnya dia loncat keatas. Kedua tangannya dijulurkan kemuka
untuk mencekal 4 batang golok tadi. Selagi melayang turun, tangannya kiri timpukkan
dua batang golok kearah sebuah puhun besar yang berada didekat situ. Dua batang golok
itu tepat menancap masuk kedalam batang puhun, hingga sampai separoh bagian.
Sedang separoh bagian tangkainya, tampak ber-goncang2. Keempat orang Biau itu ter-
longong2 heran, tapi sebaliknya Tio Jiang sendiripun merasa aneh.
Jilid 10
Tadi dia melihat siorang Biau tinggi besar itu mainkan goloknya dalam gaja menyerang
yang luar biasa. Begitu pula ketiga orang Biau lainnya itu, pun memainkan jurus
pertahanan yang luar biasa juga. Inilah yang membuatnya heran. Segala ilmu pedang
apa saja! sampaipun itu to-hay-kiam-hwat, tentu terdapat ciri2 cacadnya (mempunyai
kelemahan). Tapi ilmu golok dari orang Biau itu, dapat digunakan untuk menyerang dan
bertahan secara mengagumkan sekali. Dia ambil putusan hendak menyumpai Kit-bong-
to, kepala suku mereka, untuk meminta penyelasan lebih jauh mengenai ilmu itu. Maka
dia segera memberi isjarat gerakan tangan supaja diantar kepuncak gunung, tapi
rupanya keempat orang Biau itu menolak.
„Aku mau bertemu dengan Kit-bong-to!" achirnya terpaksa Tio Jiang berseru mendongkol.
Tanpa disangka, begitu mendengar orang menyebut nama ,Kit-bong-to", sikap keempat
orang Biau itu berobah ramah dan tertawa. Salah kedua diantara mereka menuding
kearah golok yang dicekal Tio Jiang, siapa rupanya mengerti kehendak orang dan lalu
memberikannya, Sedang kedua kawan mereka yang lain, menghampiri batang puhun
tadi untuk mencabut golok mereka. Tapi bagainianapun mereka berdua gunakan seluruh
tenaganya untuk mencabut, namun tetap tak mampu. Separoh bagian dari golok itu telah
menyusup kedalam batang puhun tua yang keras sekali kajunya, hingga wajah mereka
sampai merah padam.
„Mari kutolong!" seru Tio Jiang seraja menghampiri.
Tanpa pedulikan wajah mereka yang mengunyuk kesangsian dan, sekali kerahkan
Iwe.karig Tio Jiang segera mencabutnya keluar. Setelah itu, dia cabut lagi golok yang
lainnya. Kini keempat orang Biau itu tunduk betul2 pada sianak muda. Dengan hormat
sekali, mereka segera membawa Tio Jiang kepuncak Thiat-nia.
Adalah karena mengunyungi kepala suku Thiat-theng-biau itu, maka Tio Jiang agak
terlambat datangnya ke Koto-san. Coba dia tak pergi kegunung itu, tentu siang2 sudah
sampai kesana dan Yan-chiupun tak nanti keisengan coba2 memasuki gereja Ang-hun-
kiong.
(Bersambung Ke Bagian 35.2)
TULISAN DI BATU HITAM

BAGIAN 36.1

Oleh karena masih cukup temponya, Tio Jiang terima baik tawaran itu..Tiga hari lamanya
dia menetap dipuncak Thiat-nia situ. Siang malam, baik makan maupun mau tidur, ja
pendek kata setiap seat, dia selalu merenung untuk memecahkan intisari daripada
pelajaran yang tertulis diatas batu itu. Tapi ternyata dia selalu gagal. Achirnya karena
hari pehcun sudah mendekat, maka dia segera minta diri pada kepala suku Biau itu.
„Kit yu-tio, aku telah mengadakan janyi adu kepandaian dengan seseorang pada nanti
hari pehcun digereja Ang-hun-kiong. Sudah tentu aku tak dapat mengingkari janyi itu.
Setelah dapat kupecahkan rahasia tulisan dibatu itu, aku tentu akan datang kemari lagi,"
katanya.
„Pergilah, tapi ingat akan sumpahmu !" Kit-bong-to berkata dengan dingin didahului
dengan sebuah helaan napas.
Tio Jiang memberi jaminan takkan membocorkan rahasia selama 10 hari ini kepada lain
orang. Kit-bong-to lalu suruh dua orangnya untuk mengantar dia turun gunung.
Ternyata kala itu hari pesta air (pehcun) sudah menyelang tiba. Tio Jiang ber-gegas
menuju ke Ko-to-san, tapi oleh karena dia kelamaan tinggal di Thiat-nia, jadi hampir saja
dia terlambat datangnya. Tiba dikaki gunung Ko-to-san haripun sudah terang tanah. Dia
coba bertanya pada beberapa penduduk kota kecil situ, tapi mereka seperti menutup
rapat2 mulutnya, tak mau memberi keterangan suatu apa. Dia mondar mandir bertanya
kebeberapa. tempat, pun idem. Achirnya dia tiba pada kesimpulan bahwa rombongan
suhunya, tentu sudah naik keatas gunung. Penduduk itu tentu mengetahui hal itu,
hanya disebabkan karena mereka jeri akan keganasan orang2 Ang-hun-kiong, jadi
mereka tak berani memberitahukan. Maka setelah mengisi perut, ber-gegas2 dia mendaki
keatas.
Dia pernah sekali mengunyungi Ang-hun-kiong, maka belum tengah hari disebelah muka
sana segera kelihatan tembok merah dari gereja itu. Kemudian setelah mengitari
sebuah gunung, tibalah dia dimuka pintu dari Ang-hun-kiong. Disitu ternyata tampak
banyak orang berkerumun.
Begitu menghampiri dekat, didengarnya Yan-chiu berteriak keras2: „Kiau susiok, yangan
terkena tipunya!"
Dia tahu pertempuran sudah dimulai, maka dia segera lari cepat2. Mata Yan-chiu yang
tajam segera dapat melihat bayangan sukonya itu. Saking girangnya, selebar mukanya
menyadi ke-merah2an. Lupa kalau disitu ada banyak orang, lupa kalau antara kaum
hawa dan adam itu masih terhalang dengan dinding adat istiadat, sigenit itu segera
mencekal tangan sukonya. Dari kaki sampai keujung rambut, sigenit meng-amat2i sang
suko sedemikian rupa, hingga membuat Tio Jiang kikuk sendiri. „Siao Chiu, yangan
membuat gaduh!" achirnya dia memberi peringatan. „Orang begitu kegirangan akan
kedatanganmu, masa kau malah mengatakan begitu! Kemana saja kau selama ini, hingga
baru sekarang datang ? Ah, betul2 kau tak mau mengerti kesibukan orang memikirkan
dirimu!" mulut Yan-chiu berhamburan dengan kata2. Tio Jiang cukup mengenal watak
sumoaynya itu. Kalau berterus terang, tentu sumoay itu menanyakan ini itu tak
habis2nya, maka sembari tertawa dia hanya menyahut ringkas saja: „Lewat beberapa hari
lagi, nanti kuceritakan padamu!"
GAMBAR 67
Melihat kedatangan sang Suheng, saking
girangnya Yan-chiu ber-lari2 memapaki.

Habis itu Tio Jiang segera menghampiri suhunya. Disitu ternyata tampak hadir Kui-ing-
cu, Ki Ce-tiong, Thaysan sin-tho Ih Liok dan masih ada seorang tua bertubuh kate yang
belum dikenalnya. Setelah suhunya mengenalkan, barulah diketahui kalau orang tua itu
adalah Sin-eng Ko Thay adanya.
Kiau To dan The Go sudah tampak ber-putar2 ditengah sebuah lapangan. Sedang difihak
sana, tampak ada 3 orang Ang-hun-kiong. Ang Hwat cinyin tak kelihatan. Rupanya dia
masih memegang teguh derajatnya sebagai cianpwe persilatan.
Tio Jiang menganggap Ceng Bo siangjin itu bukan melainkan sebagai suhu saja, tapi juga
sebagai seorang bapak kandungnya sendiri. Dia girang sekali bertemu dengan sang suhu
yang dihormatinya itu. Setelah memberi hormat kepada sekalian orang, dia lalu
menghaturkan batu yang berisi mustika itu seraja berkata: „Murid telah menemukan
sebuah batu yang terisi mustika, mohon suhu memberi keputusan bagaimana hendak
memperbuatnya."
Tio Jiang jakin suhunya tentu bergirang hati, tapi diluar dugaan, siangjin itu hanya
mendengus „hem" sekali, lalu tak mengacuhkan. Kini baru Tio Jiang sempat memper
hatikan bagaimana air muka suhunya, Kui-ing-cu, Thaysan sin-tho, Ko Thay dan lain2
sama mengunyuk kegelisahan.
Heran dia dibuatnya. Kepandaian The Go toh hanya setingkat dengan Kiau To dan
andaikata Kiau susiok itu kalah, toh masih ada dia yang menurut kejakinannya tentu
dapat menundukkan The Go. Taruh kata menguatirkan Ang Hwat cinyin akan muncul
kegelanggang, toh keempat tokoh lihay itu, akan dapat menghadapi 'juga, mengapa begitu
diresahkan? Karena tak berani langsung menanyakan pada suhunya, dia lalu mendekati
sang sumoay dan bertanya dengan bisik2 : „Siao Chiu, ada apa dengan suhu itu ? Apakah
fihak lawan keliwat lihay ?"
„Entahlah, kalau aku bicara nanti dikatakan ceriwis, buat apa membuka mulut dengan
sia2" sahut Yan-chiu dengan mengkal.
„Siao Chiu, kau ini kenapa ?" Tio Jiang makin kebingungan. Rupanya kasak kusuk kedua
anak muda itu telah diketahui Kui-ing-cu siapa segera bertanya: „Siaoko, mana Nyo-cecu
?"
„Nyo-cecu ?" sahut Tio Jiang dengan kaget, „entahlah aku tak tahu !"
„Tak lama setelah kau mencari mustika batu itu, diapun lalu menyusulmu, mengapa bisa
tak bertemu ?" menerangkan Kui-ing-cu.
Teringat akan keadaannya selama diperut gunung itu, dia menduga keras Nyo Kong-lim
tentu juga terkurung disitu.
„Aja, celaka!" serunya tak tertahan lagi. Kui-ing-cu buru2 menanyakan dan Tio Jiang
segera menuturkan pengalamannya diperut gunung itu. Rupanya Ceng Bo siangjin dan
beberapa tokoh lainnya sama terperanyat juga. Mereka saling melihati satu sama lain.
„Biarkan kita rundingkan lagi nanti. Saat ini kita tak sempat untuk mengurusi," achirnya
Kui-ing-cu menyatakan
Oleh karena terlambat datang, jadi Tio Jiang tak mengetahui apa yang • telah terjadi
dalam pertempuran itu.
Baru dia hendak bertanya, atau tiba2 terdengar Yan-chiu menyerit, hingga terpaksa dia
berpaling kebelakang. Kiranya ketika Tio Jiang datang, Kiau To dan The Go sudah
bertempur. Pada saat itu The Go tampak menusuk kearah tenggorokan Kiau To. Oleh
karena Yan-chiu kenal serangan The Go itu menggunakan ilmupedang Chit-sat-kiam-
hwat, maka tadi ia menyerit kaget.
Dalam beberapa bulan ini, Kiau To berusaha untuk menyumpai Tay Siang Siansu. Tapi
oleh karena Siansu itu sukar dicari. jejaknya, jadi dia tak berhasil. Berhubung hari
pertempuran sudah dekat, terpaksa dia menuju ke Ko-to-san untuk menggabungkan diri
dengan rombongan orang gagah lainnya. Pertempuran itu, menurut tantangan yang telah
disetujui, adalah antara The Go melawan Kiau To dan Tio Jiang. Tadi karena Tio Jiang
terlambat, jadi Kiau To lah yang maju lebih dahulu. Kiau To cukup mengetahui, bahwa
pertempuran hari itu, penting sekali artinya. Maka dalam pertempuran, dia berlaku hati2
sekali. Tampak ilmu permainan pedang lawan luar biasa, ditambah pula menggunakan
pedang pusaka kuan-wi, dia tak berani menangkis dengan jawan-piannya. Dengan
gunakan gerak tiat-pian-kio dia buang tubuhnya kesamping, kemudian secepat kilat
menyabet betis lawan.
The Go bersenyum ewa, sikapnya sangat jakin 'sekali. Begitu tusukannya luput, cepat
dia balikkan pedang membabat pinggang Kiau To, sedang kakinya melangkah kesamping
untuk menghindar jwan-pian Kiau To. Gerakannya begitu lemah gemelai, laksana
seorang mahasiswa mengajun langkah. Dalam pandangan tokoh2 yang menyaksikan
pertempuran itu, Kiau To sukar mencapai kemenangan. Hal inipun diinsjafi juga oleh
Kiau To. Kelemahannya adalah terletak dalam senyatanya rujung lemas (jwan pian) itu.
Untunglah rujung itu cukup panjang serta ilmu rujung Liok-kin-pian-hwat itu cukup kaja
dengan gerak perobahan.
Jadi dapatlah dia memaksa lawan tertahan dalam jarak satu tombak. Mengetahui lawan
hendak maju merapat, dia segera melesat kebelakang. Pian di-kibas2kan, tidak untuk
menyerang tapi untuk melindungi diri.
The Go bukan tak mengetahui kalau lawan hendak merebut kemenangan dengan
ketenangan. Dia lemparkan pedangnya keudara, begitu tangannya menyambuti,
mulutnya tertawa mengejek: „Kiau loji, mengapa tak maju menyerang lagi ?"
Habis berkata itu dia maju kemuka, tapi cepat mundur lagi. Sikapnya congkak sekali.
Kiau To tak mau hiraukan propokasi orang. Tanpa membalas sepatah pun, dia putar
jwan-pian, orang bersama senyata berbareng maju menyerang. Itulah salah satu jurus
istimewa dari permainan Liok-kin-pian-hwat, orang dan pian dapat menunggal jadi satu.
Tapi kini The Go telah berhasil memiliki ilmu pedang Chit-sat-kiam-hwat yang amat
ganas aekali. Ditambah dengan mencekal sebuah pedang pusaka macam pedang kuan-
wi-kiam, dia tak jerikan segala apa. Begitu Kiau To dan jwan-piannya merangsang datang,
dia menyabet kalang kabut. Sepintas pandang, gerakannya itu kacau balau tak keruan,
tapi pada hakekatnya itulah salah sebuah jurus Chit-sat-kiam-hwat yang paling
istimewa, jakni yang disebut chit-che-tay-hwe (7 bintang saling bertemu). Didalam
kegencarannya, mengandung seribu satu gerak perobahan yang berbahaya.
Melihat orang menyambut dengan pedang, Kiau To buru2 tarik pulang serangannya.
Kalau pedang lawan itu pedang yang kebanyakan, seratus persen tentu dapat dia hantam
jatuh. Tapi pedang kuan-wi-kiam, bukan pedang sembarang pedang. Pedang itu dapat
menabas segala mat jam logam, semudah menabas tanah liat. Sudah terang jwan-pian
akan terbabat kutung. Begitu tarik pulang tangannya, dia pun loncat kesamping, sembari
mengancamkan jwan-pian.
Ancaman itu kosong, hanya diperuntukkan melindungi diri saja.
The Go tak mau melepaskan lawan. Dia bolang balingkan pedang untuk di-main2kan
sebentar diatas, kemudian secepat kilat ditusukkan kedada orang. Dibawah ancaman
pedang kuan-wi-kiam yang sakti itu, terpaksa Kiau To main mundur terus. Tio Jiang yang
menyaksikan pertempuran itu berkerut kening, sebaliknya Yan-chiu mendongkol bukan
kepalang. „Hanya mengandalkan sebatang pedang tajam saja, apanya sih yang harus
dibuat bangga!" serunya mengumpat. Tapi pada lain saat, dia teringat bahwa pedang itu
adalah milik subonya yang telah berpuluh tahun mengangkat nama didunia persilatan.
Dengan umpatannya tadi, bukantah juga berarti mengatakan suhu dan subonya tak
mempunyai kepandaian yang berarti kecuali mengandalkan pedang pusakanya itu ?
Memikir sampai disini, Yan-chiu bercekat sendiri. Untunglah semua orang tengah
memusatkan perhatian pada jalannya pertempuran itu.
Dalam pada itu, The Go sudah kembangkan permainan pedang Chit-sat-kiam-hwat.
Pedangnya tampak berkelebat kesana sini dengan gencarnya; makin lama makin rapat
mengepung lawan. Betapapun Kiau To hendak merebut inisiatip, tapi tetap gagal. Jalan
satu2nya, dia hanya dapat memainkan jwan-pian dengan lebih seru, agar yangan sampai
kena diberobosi senyata lawan. Sekalipun begitu, keadaan tetap genting. The Go
mempunyai pedang pusaka, dia tak jerikan jwan-pian, malah berulang kali sengaja
hendak adu senyata. Kiau To terdesak dalam dua kesukaran menyaga serangan,
menghindar bentrokan senyata. Dia selalu main mundur saja. Begitu seru pergumulan
itu berlangsung, hingga yang tertampak hanya sebuah lingkaran sinar hijau merangsang
sinar kuning. Dalam sekejab saja, mereka sudah bertempur lima enampuluh jurus.
The Go semakin garang, mulutnya tak putus2nya mengejek, sedang Kiau To hanya diam
saja. Sebenarnya saat itu sudah ketahuan kekuatan masing2. Tapi sebagai seorang
jantan, Kiau To pantang menyerah. Lebih2 dia penasaran sekali karena kekalahan itu tak
sewajarnya, hanyalah karena lawan memiliki senyata ampuh saja. Kembali 3 jurus sudah
berlangsung, Kiau To berlaku nekad. Maju selangkah, begitu mementang tangan kiri,
tangan kanannya menghantamkan jwan-pian. Dia tak menghiraukan lagi pertahanan-
nya bagian dadanya terbuka.
The Go bersorak dalam hati. Tak mau dia menusuk, melainkan membabat jwan-pian
orang. Disini dapat diketahui betapa kecerdikan orang she The itu. Dia cukup tahu Kiau
To itu bukan jago sembarangan, sedikitnya juga mempunyai nama besar didunia
persilatan. Kalau dada sengaja dibuka, tentu disitu ada apa2nya. Dia kendalikan diri,
sembari mundur sembari membabat dulu senyata lawan. Dan perhitungannya itu tern
jata tepat sekali. Siasat Kiau To telah kena disiasati. Dalam kedudukan kala itu, tak
mungkin Kiau To menarik lagi jwan-piannya dan terpapaslah oleh pedang si The Go
hingga kutung menyadi dua, Kiau To makin kalap. Kutungan tangkai jwan-pian yang
dipegangnya itu segera dilingkarkan kebawah untuk menutuk jalan darah peh-hui-hiat
dikepala orang. Tapi The Go lebih cepat lagi. Ujung pedangnya ditekuk kebawah dan
tahu2 Kiau To rasakan pahanya sakit, hingga buru2 dia surut kebelakang. Kiranya
pahanya telah ketusuk, sedang jwan-piannya belum sempat ditutukkan.

(Bersambung Ke Bagian 36.2)


TILISAN DI BATU HITAM

BAGIAN 36.2

„Kiau-heng, mundurlah!" Ceng Bo siangjin dengan gugup menereaki. Sedangkan Tio


Jiang dengan sebatnya sudah loncat kehadapan Kiau To sembari gerakkan tangannya.
The Go rasakan ada samberan angin yang berat menyerangnya, tapi dengan tertawa
dingin dia menyabet tangan orang. Tio Jiang cepat tarik tangannya, diganti dengan
sebuah tendangan kaki kanan kearah siku tangan orang.

GAMBAR 68
Dengan pedang pusaka lawan pedang wasiat, Tio Jiang menggantikan Kiau To menempur
The Go dengan senyatanya dalam pertandingan di Ang-hun-kiong itu.

The Go kaget dan ter-sipu2 mundur selangkah. Diam2 dia merasa heran, mengapa dalam
beberapa waktu yang begitu singkat, saingannya itu mencapai kemajuan yang begitu
pesat.
Juga Ceng Bo menyadi girang melihat kemajuan sang murid itu. Dalam dua jurus tadi,
walaupun hanya dengan tangan kosong tapi Tio Jiang dapat mendesak mundur
lawannya, pedang pusaka yap-kun-kiam dilolos dari sarungnya. „Jiang-ji, pedang ini
untukmu!" serunya sembari angsurkan pedang itu kepada Tio Jiang, siapa sangatlah
girangnya: „Terima kasih suhu!"
Pedang dibuat mainan sebentar, lalu berseru: „Cian-bin Long-kun, hati2lah !" Itulah
watak ksatrya muda dari Lo-hu-san. Dia sangat benci kepada The Go, namun tak mau
dia tinggalkan tata kesopanan pertempuran.
„Kita telah saling berjanyi, hanya akan adu kepandaian, bukan adu mulut. Kalau mau
menyerang, seranglah ! Apa itu 'hati2' sih ?" sebaliknya The Go malah mengejek kejujuran
orang.
Tio Jiang tak mau berbantah, begitu maju selangkah, ia rangkapkan kedua tangannya
kemuka dada macam seorang imam berdoa. Kemudian pedang diturunkan lalu secepat
kilat dikibaskan keatas diimbangi oleh gerak tangan kirinya.
Itulah salah satu jurus dari ilmupedang to-hay-kiam-hwat yang disebut boan-thian-kok-
hay. Sinar pedang yap-kun-kiam beda sedikit dari Kuan-wi-kiam, jalah sinar hijau itu
mengandung sedikit warna bianglala. Tusukan yang diarahkan ketenggorokan The Go itu
necis dan berwibawa sekali, karena kedudukan orangnya tegak kokoh. bagaikan gunung.
Sampaipun The Go sendiri, menyadi terkesiap. Sambil miringkan kepala, dia gerakkan
pedangnya untuk membacok bahu lawan.
Luput menusuk, segera Tio Jiang turunkan pedangnya, trang ..... sepasang pedang saling
beradu, deringnya sedemikian gemerencing bening. Keduanya loncat mundur, untuk
memeriksa senyata masing2. Ternyata sepasang pedang itu sama ampuh, sama
kokohnya. Kini keduanya saling berhadapan lagi. Anehnya, The Go tidak maju kemuka,
tapi malah mundur. Sedang Tio Jiang tetap tegak laksana sebuah gunung.
Sekalian yang hadir, sama menahan napas untuk menantikan pertempuran itu. Sedang
Ceng Bo diam2 puas akan kemajuan muridnya yang ternyata kini sudah dapat me
nyingkap intisari dari pelajaran ilmupedang to-hay-kiam-hwat. Tenang laksana gunung,
bergerak laksaria kelinci lincah. Demikian pokok2 dari ilmupedang itu.
Tak berapa saat kemudian, tiba2 The Go menyerang maju. Sampai ditengah jalan, pedang
baru dimainkan dengan gencar, sehingga tampaknya orangnya telah bersatu kedalam
lingkaran sinair pedangnya, Namun. Tio Jiang hanya mengawasi sembari palangkan
pedangnya kemuka, saja, simasih tegak-tenang. Kira2 beberapa depa jaraknya dengan
Tio Jiang, se-konyong2 The Go hentikan permaina pedangnya secara mengagumkan
sekali.
Tio Jiang terkesiap: Tapi dalam detik itu, The Go sudah lancarkan serangan Chit-sat-
kiam-hwat tiga kali ber-turut2, menyerang atas, tengah dan bagian bawah dari orang.
Adalah Yan-chiu sigenit itu yang lagi2 tersentak kaget.
Waktu dalam gebrak permulaan tadi, kedua seteru itu sudah beradu senyata, tahulah ia
bahwa mereka bertempur mati2an. Sudah tentu ia mend jadi kebat kebit juga hatin ja.
Kelima jari tangannya bergiliran digigiti, sedang matanya terpaku ketengah gelanggang.
Kala dilihatnya sdng suko se-olah2 tak menginsjafi akan maut yang dibawakan serangan
The Go itu, tanpa terasa ia telah menyerit.
Tio Jiang menangkis keatas, tapi secepat itu pedang The Go sudah beralih menyerang
kearah perut, hingga terpaksa Tio Jiang mundur selangkah. Berbicara tentang nilai
kedua ilmu pedang yang - dimiliki oleh kedua anak muda itu dapatlah secara ringkas
diterangkan begini:
Dalam hal kebagusannya, Chit-san-kiam-hwat tak dapat menandingi To-hay-kiam-hwat.
Tapi Chit-sat-kiam-hwat itu jauh Iebih mudah dipelajari. Apalagi otak The Go memang
cerdas. Dalam 7 atau 8-hari saja dia sudah hampir seluruhnya mengerti. To-hay-kiam-
hwat hanya terdiri dari 7 jurus. Sebenarnya baik dalam ilmu silat maupun ilmupedang,
makin sedikit jurusnya, makin banyaklah gerak perobahan didalamnya. Dan disitulah
letak intisari yang sukar dipelajari. To-hay-kiam-hwat dengan ke 7 jurusnya itu mudah
dipelajari, yang sukar adalah gerak perobahannya itu. Apakah serangannya itu kosong
atau sesungguhnya, harus disesuaikan dengan keadaan.
Sewaktu masih di Lo-hu-san, Tio Jiang belum pernah bertemu dengan musuh yang
tangguh. Setelah turun gunung, walaupun pernah mengalami berulang kali
pertempuran, tapi sebagian besar hanya berhadapan dengan kawanan tentara Ceng yang
tak mempunyai kepandaian berarti. Pertempuran dengan pedang satu lawan satu, baru
pertama kali dengan The Go itu. Sebaliknya The Go sejak kecil boleh dikata sudah
berkecimpung didunia persilatan, jadi dia sudah banyak pengalaman berkelahi.
Dengan mundurnya Tio Jiang kebelakang itu, The Go sudah dapat mengambil inisiatip
pertempuran. Kuan-wi-kiam dibolang-balingkan, tahu2 tham-tiong, ji-hiat, ki-kwat, siang
wan dan ki-bun, lima buah jalan darah didada Tio Jiang telah diancam akan ditutuk. Tio
Jiang baru saja dapat memperbaiki posisi kakinya, tapi sebelum sempat melancarkan
jurus cing-wi-tiam-hay, sudah dirangsang begitu rupa oleh ceceran senyata The Go tadi,
hingga terpaksa Tio Jiang putar pedang untuk melindungi dadanya.
The Go menggereng dengan geramnya. Rangsangannya yang selebat hujan dalam jurus
ngo-lo-jay-kiau tadi, hanya dengan perobahan secara mendadak saja Tio Jiang sudah
dapat menutup rapat2 dirinya, Dalam kemarahannya itu, tak urung dia kagumi jua
kepandaian lawan. Tapi dia tak mau berhenti sampai disitu saja. Begitu ber-gerak2, dia
sudah melejit kebelakang lawan, disitu tanpa berajal Iagi dia segera menusuk punggung
orang. Tio Jiang tak mau memutar tubuh, karena kalau berbuat begitu tentu kena
didahului musuh. Dia hanya menyerumus kemuka sedikit, sembari hantamkan
pedangnya kebelakang melalui sisi pinggangnya.
Kiranya serangan The Go itu walaupun tampaknya biasa saja, tapi sebenarnya
mempunyai gerak perobahanri yang sukar diduga. Jurus itu disebut „cong hong poan
sat" (berlaku gila pura2 tolol). Kala itu dia berada dibelakang lawan jadi kedudukannya
lebih menguntungkan. Untuk tabasan kebelakang dari Tio Jiang tadi, sengaja dia
menangkis.
Tio Jiang terperanyat dan buru2 kerahkan lwekang kearah pedangnya, sebaliknya
tangkisan, The Go tadi hanya suatu pancingan aaja, karena selekas itu juga dia tarik,
puIang pedangnya. Oleh karena tak menyangka musuh berbuat begitu, Tio Jiang tak
sempat menarik lwekangnya, hingga dia terjerembab kebelakang. Jadi keadaannya
adalah begini, bukan The Go yang perlu cape2 menusuk tapi Tio Jiang sendiri yang,
hendak menyatuhi pedang Iawan !
Menilai, kepandaian mereka berdua, sebenarnya kini Tio Jiang lebih unggul setingkat.
Hanya sayang sebelum dia dapat memperkembangkan permainan pedang To-hay-kiam-
hwat, telah didesak begitu rupa oleh lawan. Sekali ada bagian tubuh yang kena diancam
lawan, berarti seluruh tubuhnya kena dikuasai ancaman itu. Sekali sebuah serangan
kena ditindas, maka jurus2 selanyutnya pasti akan dikuasai lawan. Begitulah dalil2 yang
berlaku dalam ilmu silat.
Tahu bakal celaka, buru2 Tio Jiang tekankan ujung kakinya kemuka, lalu ajunkan
keras2 tubuhnya kemuka. Tapi The Go tak mau melepaskan sang korban. Pedangnya
dijujukan kemuka, terpisah hanya dua dim dari punggung orang.
Suatu jarak yang laksana seperti selembar rambut digantungi dengan ribuan kait
bahajanya. Sampai Yan-chiu yang melihatnya, kucurkan keririgat dingin.
Tio Jiang ajunkan tubuhnya sampai setombak kemuka, tapi belum sempat dia membalik
tubuh, The Go sudah mengikutinya seperti sesosok bayangan. Pedangnya tetap mengiring
kemana punggung Tio Jiang bergerak. Tio Jiang tak berdaja membalik badan, juga tak
dapat balas menyerang. Dia rasakan hawa dingin dari pedang kuan-wi-kiam itu ber-
putar2 dipunggung. Tak berani dia berajal, lalu enyot lagi tubuhnya loncat kemuka, tapi
The Go tetap membayanginya.
Begitulah dalam gelanggang itu segera terjadi permainan berloncatan saling mengudak.
Lima kali Tio Jiang memutari gelanggang itu, namun tetap tak berdaja untuk
menghindari ancaman musuh. Memang jurus cong-hong-poan-sat yang digunakan The
Go itu, lihaynya bukan kepalang.
Seluruh jalan darah berbahaya dipunggung Tio Jiang se-olah2 tercengkeram dalam
ancaman ujung pedangnya.
Asal sedikit berajal, habislah riwajat Tio Jiang.
Diantara orang2 yang menyaksikan pertempuran itu, Yan-chiulah yang paling gelisah
sendiri. Diam2 ia sudah siapkan bandringannya dan terus hendak loncat ketengah
gelanggang, tapi dicegah oleh suhunya. Walaupun menurut tapi bibir sigenit menyeringai
geram. Dalam anggapannya terhadap orang macam The Go, mengapa harus berlaku
sungkan menetapi tata-susila kaum persilatan. Dia sih belum cukup menyelami peribadi
suhunya. Ceng Bo siangjin memang senantiasa berpegang pada garis kelurusan. Yangan
sampai dia menyalahi orang, sebaliknya dia lebih suka memaafkan orang. Inipun berlaku
terhadap seorang yang tak kenal kesopanan persilatan macam The Go.
Ketiga orang yang berdiri disebelah sana itu, adalah murid" Ang Hwat cinyin jaitu ketiga
Ang-hun su-mo (4 Iblis dari Ang-hun-kiong), Toa-mo Ciang Tay-bing, Sam-mo Long Tek-
san dan Su-mo Im thian-kui. Melihat bagaimana keangkeran The Go sewaktu memainkan
ilmupedang Chit-sat-kiam-hwat itu, bukannya mereka bertiga menyaj girang tapi
sebaliknya malah mendongkol. Toa-mo Ciang Tay-bing paling kentara perasaannya,
karena mimik wajahnya mengunyuk kemarahan besar. Tapi oleh karena tak mengetahui
persoalannya, maka rombongan fihak Ceng Bo hanya menganggap mereka bertiga itu
separtai dengan The Go, jadi tentunya turut perihatin akan kemenangan The Go.
Beberapa kali, gagal untuk melepaskan diri itu, tiba2 Tio Jiang memaki dirinya sendiri
yang sudah berlaku begitu goblok itu. Mengapa dia hanya terus menerus loncat kemuka
saja...... ja...., mengapa tak mau loncat kesamping? Bukantah dia mengerti juga akan
ilmusilat hong-cu-may-ciu (sigila menyual arak), itu ilmu pusaaka dari kaum Ang-hun-
kiong ?
Mengapa dia tak menggunakannya ? Secepat mendapat keputusan, setelah loncat lagi
sekali kemuka, dia terus miringkan tubuhnya kesamping, dari situ lalu buang dirinya.
kemuka. Begitu tangannya kiri dibuat menekan tanah, sepasang kakinya bergerak dalam
ilmu tendangan wan-yang-lian-thui, menyejak kaki The Go. The Go kaget juga, lalu buru2
papaskan pedangnya kebawah untuk menyambut tendangan orang, tapi kali Ini dia
tertipu. Tendangan Tio Jiang tadi hanya ancaman kosong, begitu dilihatnya pedang
musuh menurun, dia tekankan tangannya kiri. keras2 pada tanah dan sepasang kakinya
segera melayang keatas lalu berjumpalitan kebelakang, terus berdiri tegak berhadapan
muka dengan lawan.
Disebelah sana terdengarlah siulan kagum dari ketiga sam-mo Ang-hun-kiong, disebelah
sini terdengar helaan napas longgar dari rombongan Ceng Bo, bahkan Yan-chiu malah
bertepuk tangan seraja berseru memuji kepandaian yang diunyuk oleh sukonya itu.
Tapi Tio Jiang tak sempat menghiraukan segala sorak pujian itu. Begitu terlepas dari
ancaman, begitu pedangnya sudah bergerak dalam jurus „Tio Ik cu hay", dan sebelum
lawan menangkis dia sudah robah gerakannya, dalam jurus boan-thian-kok-hay. Sekali
gerak, dua buah serangan susul menyusul, sehingga dari menyerang kini The Go ber-
balik diserang tanpa mempunyai kesempatan untuk balas menyerang lagi. Tio Jiang tak
mau memberi hati. Ceng-wi-tiam-hay dan Ho-pak-kuan-hay, susul menyusul
dirangsangkan pada musuh.
Keistimewaan daripada, ilmupedang To-hay-kiam-hwat jalah jurus yang menyusul selalu
lebih hebat dari, jurus yang dimukanya. Sempat memperkembangkan permainan
ilmupedang ajaran sang suhu, Tio Jiang susuli lagi dengan jurus hay-siang-tiau-go, ujung
pedang membacok kaki lawan tapi se-konyong2 dihentikan. The Go mengira terbuka
lubang kesempatan, kuan-wi-kiam hendak dijungkatkan ke-atas. Tapi ternyata
berhentinya gerak Tio Jiang tadi hanya dalam sekejapan mata saja. Belum The Go sempat
menggerakkah pedangnya, Tio Jiang sudah menusuk tenggorokannya. Dalam kagetnya,
dengan gugup The Go mendak kebawah, srat ......yap-kun-kiam Tio Jiang telah menusuk
kain kepala The Go hingga berlubang besar. Tio Jiang jungkatkan ujung pedangnya
keatas hingga kain kepala lawan terjumput lepas, lalu lanyutkan dengan jurus hay-li-
long-huan. Disinilah Tio Jiang membuat blunder (kesalahan besar). Dengan jurus hay-li-
long-huan yang sedianya hendak dipapaskan kerusuk lawan itu, terpaksa Tio Jiang
harus berhenti setengah jalan, karena pedangnya harus memakan sedikit waktu untuk
melingkar turun, The Go sudah loncat kebelakang untuk menghindar. Andaikata Tio
Jiang tadi gunakan jurus hay-lwe-sip-ciu untuk memotong turun, dapat dipastikan The
Go akan sudah terbelah kepalanya atau bahunya. Walaupun mengucurkan keringat
dingin, namun The Go dapat lolos dari maut.
Melihat musuh loncat kebelakang, Tio Jiang tak mau mengejar. Lagi2 jago muda dari Lo-
hu-san itu unyuk sifat ksatryaannya. Lupa sudah dia bahwa tadi musuh telah berlaku
begitu ganas, meng-ubar2 punggungnya. „Biarkan dia mengambil napas, merebut
kemenangan secara jujur adalah lebih ksatrya," demikian pikirnya.
Sebaliknya The Go girang karena musuh tak mengejar. Tangannya meraba kebelakang
lehernya dan mencabut sebatang bambu kira2 satu meter panjangnya. Kalau
Tio Jiang tak mengerti gerak gerik orang, adalah Yan-chiu dan Kui-ing-cu dengan segera
dapat mengetahuinya. „Ceng-ong-sin!" teriak sigenit. Tio Jiang terkesiap, heran dia
mengapa ceng-ong-sin sampai jatuh ketangan The Go.
„Siaoko, hebat nian ilmupedangmu itu, mari maju lagi lah!" seru The Go dengan mengejek
riang.
„Baik," sahut Tio Jiang. Tapi baru mulutnya mengucap begitu, tiba2 terdengar suara
angin men-deru2, menyusul ada 3 sosok tubuh lewat ditempat situ. terus masuk kedalam
gereja. Yang dimuka sendiri mengenakan pakaian jubah imam berwarna merah,
gerakannya pesat laksana sebuah bola api ditiup angin. Dua orang yang mengikuti,
walaupun tak selihay yang dimuka tadi, tapi juga tak lemah ilmunya. Mereka berdua
mengenakan pakaian yang aneh coraknya, bukan jenis paderi bukan macam imam.
Tio Jiang berpaling mengawasi kearah suhunya dan Kui-ing-cu. Tampak kedua tokoh itu
berkerut kening, se-olah2 ada peristiwa genting. Sebaliknya ketika mengawasi kemuka,
dilihatnya The Go tertawa ber-seri2. Tak berapa lama kemudian, kembali ada 3 orang
yang naik kepuncak situ. Tio Jiang kenal mereka sebagai sam-tianglo dari gereja Ci-hun-
si di Lam-kun-san, jalah To Ceng, To Kong dan To Bu hweshio. Ketiga hweshio itu deliki
mata kearah Ceng Bo dan Ko Thay. Rupanya mereka masih mendendam akan per istiwa
ditengah sungai itu. Kedatangan ketiga hweshio itu segera disambut oleh Ang-hun sam-
mo yang mengantar mereka masuk kedalam gereja. Tak berapa lama, tampak Toa-mo
Ciang Tay-bing keluar lagi dtLn berkata kepada The Go: „Go-tit, sucou titahkan supaja
pertempuian ini dihentikan dahulu, karena dia orang tua ada omongan penting padamu
!" The Go mengiakan, sembari masukkan bumbung bambu kedalam leher baju, dia
memberi hormat kepada rombongan tetamu seraja berkata: „Harap yangan pergi dulu,
sebentar lagi siaoya akan datang lagi untuk menyelesaikan pertempuran ini!"
Tio Jiang terlalu jujur untuk balas mengejek. Sedangkan Ceng Bo dan Ko Thay, tetap
mau pegang gengsinya, jadi mereka pun tak mau mengurusi soal kecil itu, dan melainkan
hanya tertawa dingin saja. Hanya si Bongkok Ih Liok dan Kui-ing-cu yang tak mau tinggal
diam untuk menyemprot The Go, serunya: „Kami tak pergi, tapi kaupun yangan ngacir!"
Dan tanpa ajak2an lebih dahulu, kedua tokoh kukway itu segera enyot tubuhnya loncat
kemuka. Yang satu dari sebelah kiri dan yang lain dari sebelah kanan, dan sama ulurkan
tangan untuk mencengkeram The Go. The Go pernah rasakan tangan si Bongkok, maka
dia sesali mulutnya tadi yang sudah begitu lancang, hingga sampai menimbulkan
kemarahan kedua tokoh lihay itu. Sekalipun Ang Hwat cinyin nanti keluar, dia tentu akan
sudah disiksa oleh kedua momok itu. Maka seperti diuber setan, dia bolang balingkan
pedangnya, lari tunggang langgang kedalam gereja. Tiba diambang pintu, didengarnya
dari arah belakang ada, suara orang ketawa ter-bahak2. Ketika dia beranikan diri
berpaling, mendongkolnya bukan alang kepalang. Kiranya cengkeram Kui-ing-cu dan si
Bongkok tadi, hanya ancaman kosong belaka. Nyatanya kini mereka masih berdiri tegak
ditempat masing2 sembari tekan perutnya karena geli melihat The Go lari ter-kencing2.
Lebih2 sigenit Yan-chiu. Saking gelinya tubuh nona itu sampai ter-hujung2 maju
mundur. Sembari menekan perut, ia berseru mengejek: „Cian-bin Long-kun, hebat sekali
ilmu mengentengi tubuhmu sekarang ini ja!"
The Go meringis geram. „Awas, nanti tentu kuhajar kau setengah mampus," pikirnya
sembari rnelangkah masuk kedalam. Sebaliknya dengan masih tertawa, Yan-chiu
kedengaran mengomeli sang suko: „Suko, mengapa terang2an tadi kau mempunyai
kesempatan untuk menghajarnya, tapi membiarkan dia lari begitu saja ?"
Belum Tio Jiang menyahut, Kui-ing-cu sudah mendahului: „Siaoko sih orangnya jujur,
tidak seperti kau budak perempuan yang segenit itu, segala apa tiada takut !"
Yan-chiu mengunyukkan „muka setan" kepada tokoh aneh itu, siapa hanya menyeringai
saja, karena merasa diapun serasi perangainya dengan anak perempuan itu.
„Persoalan hari ini, berkembang begini jauh, tidak melulu berkisar pada diri The Go
seorang. Bek-heng dan Kui-heng serta Ko enghiong karena menolong Sik Lo-sam, kini
masih belum pulih dari kehilangan tenaga. Tay Siang Siansu belum dapat diketemukan,
sedang kaki tangan pemerintah
Ceng sudah berkumpul disini. Rasanya kita bakal menghadapi kesukaran besar nanti!"
achirnya si Bongkok berkata.
Tio Jiang seperti digujur air dingin waktu, mendengar ucapan itu. Bukantah Li Seng Tong
sudah berpaling haluan melawan pemerintah Ceng, hingga didaerah Kwitang sini tiada
terdapat pengaruh Ceng, lagi, tapi mengapa masih ada kaki tangan mereka ? Sungguh
Tio Jiang tak habis mengerti persoalannya. Adalah Kiau To yang ternyata tak terluka
berat itu, segera menyatakan pendapatnya: „Bek-heng, turut pendapatku, lebih baik aku
turun gunung mencari suhuku. Kalau tak berhasil menyumpainya, aku hendak menuju
ke Kwiciu untuk meminta agar Li Seng Tong suka mengirimkan pasukan kemari!"

(Bersambung Ke Bagian 37)


BAGIAN 37
PERJAMUAN DARAH

„Ah, Kiau-heng," kedengaran Ceng Bo menghela napas, „sebenarnya Li Seng Tong


bersungguh hati tinggalkan Ceng untuk mengabdi pada Beng. Tapi kerajaan Beng sudah
tak mau mempercajainya dan siang2 telah mengirimnya kedaerah utara untuk
menghadapi pasukan Ceng. Percuma saja mencarinya di Kwiciu!"
Saking gusarnya, Kiau To sampai tak dapat ber-kata2. Sebaliknya si Bongkok nyatakan
keheranannya: „Ah, makanya pemerintah Ceng gerakkan kawanan kaki tangannya
secara besar2an untuk menumpas kita beberapa gelintir manusia ini. Kiranya mereka
tak memandang mata pada kaisar Ing-lek itu !"
„Sudah tentu tak terbatas pada kita beberapa orang ini saja. Para pahlawan dari segala
aliran didunia persilatan, sama menaruh sympati dan menunyang Ki dan Kiau-heng
untuk membentuk Thian-te-hui lagi: Maka dalam beberapa hari lagi, kawanan kaki
tangan Ceng itu tentu akan tiba kemari. Ah, sayang Ang Hwat cinyin itu. Disebabkan
karena turuti hawa nafsu ingin menang dalam urusan The Go ini, maka dia telah
diperalat oleh kaki tangan pemerintah Ceng itu!" kata Ceng Bo.
Ki Ce-tiong yang sedari tadi diam saja, kini turut mengeluarkan suara: „Bek-heng, turut
pendapatku yang cupat, kita lebih baik tinggalkan tempat ini saja dulu. Kelak kalau kita
sudah berhasil menghimpun kekuatan, kita datang kesini lagi !"
„Ki lotoa, dengan-ngacir secara begitu, entah dikemudian hari apa kita masih ada muka
bertemu orang lagi ?" si Bongkok menyanggah. Ki Ce-tiong menghela napas, tak mau
berbantah lagi. Kini baru tahulah Tio Jiang sebab2nya mengapa tadi wajah suhu dan
para cianpwe itu sama mengunyuk kegelisahan. Tapi dia masih tetap tak mengerti
mengapa harus jerikan kekuatan fihak Ang-hun-kiong yang masih mendapat tambahan
seorang dua tenaga bantuan itu ?
Maka dia beranikan diri bertanya: „Siapakah dua kaki tangan yang dikirim kemari oleh
pemerntah Ceng itu ?"
„Itulah yang tadi masuk kedalam gereja bersama Ang Hwat cinyin! Kabarnya mereka
berdua adalah benggolan besar dari daerah utara, sepasang suami isteri. Kalau
bertempur mereka merupakan pasangan tunggal, mahir dalam ilmu lwekang jit-gwat-im-
yang-kang, saktinya bukan main"
Baru Kui-ing-cu menerangkan sampai disitu, Ko Thay sudah menyela: „Apakah bukan
yang digelari „Swat Bwe Hwat Siau (hantu salju siluman api ) berdua itu ?"
„Benar, apakah Ko-heng" pernah juga mendengar nama mereka ?" tanya Kui-ing-cu. Ko
Thay mengertak gigi, ujarnya: „Susiok-ku ketika di Hopak telah binasa ditangan mereka.
Jadi aku mempunyai dendam kaum-perguruan pada mereka !"
Ketika rombongan orang gagah itu sedang berunding, Toa-mo Ciang Tay-bing kembali
keluar dan mempersilahkan tetamunya: „Suhu mengundang para tetamu sekalian supaja
masuk kedalam. Oleh karena kebetulan saat ini kami sedang kedatangan tetamu lainnya,
terpaksa pertandingan dipertangguhkan sampai besok. Apabila sekalian tak memandang
rendah, sudilah beristirahat kedalam."
„Yangan terkena tipu muslihat!" cepat Kui-ing-cu menukas. Sudah tentu sekalian orang
sama terkesiap dan menanyakan keterangan. Kui-ing-cu menerangkan lebih lanyut:
„Konon kabarnya didalam Ang-hun-kiong itu banyak sekali dipasangi alat2 jebakan.
Boleh dikata setiap ruangan, merupakan semacam barisan ‘seng si hui beng tin’ (barisan
mati hidup gelap-terang), yang lihaynya bukan kepalang. Sekali masuk kita tentu terlibat
dalam kesukaran !".
Yan-chiu ketarik, sedangkan Kiau To segera berkata:
„Kalau tak memasuki sarang harimau, bagaimana dapat memperolen anak harimau?"
„Kiau-loji, lakukanlah rencanamu,tadi. Kalau dapat menemukan Tay Siang Siansu itulah
paling baik. Kalau tidak, minta pada Li Seng Tong supaja mengirim tentara kemari, juga
baik!" kata Kui-ing cu.
Ceng Bo siangjinpun menyetujui, maka Kiau Topun mengiakan.
„Apakah kalian memang tak suka masuk kedalam ?" rupanya Toa-mo Ciang Tay-bing tak
sabar lagi. Kui-ing-cu mendongkol dan menyemprotnya: „Siaocu (anak kecil), kau mau
jual lagak ? Kami masih hendak tunggu beberapa sahabat yang belum datang!"
Ciang Ta-bing mendongok tertawa keras. Dia sudah berusia 50-an tahun. Wajahnya
keren, didalam Ang-hun-kiong selain Ang Hwat cinyin sendiri, dialah orang nomor dua.
Nada ketawanya tadi, mengunyuk bahwa ilmunya cukup tinggi. Habis ketawa, dia
berkata: „Oh, kiranya hanya-hohan palsu, enghiong gadungan. Sampai ditempat ini,
masuk saja tidak berani, ha...., ha...., ha...., orang bisa mati karena geli!"
Ejekan itu keliwat takeran. Sekalipun golongan pou-sat (dewa) tak nanti tahan
mendengar itu. Sekali enyot kakinya, Ko Thay melayang kemuka, berbareng itu Kui-ing-
cu dan si Bongkokpun dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh, tahu2 sudah meluncur
maju. Tio Jiang dan Yan-chiu juga tak mau ketinggalan menusul. Hanyalah Ceng Bo dan
Ki Ce Tiong yang melangkah masuk kedalam gereja dengan ajunan kakinya. Sementara
Mau To, begitu tadi telah mendapat persetujuan orang banyak, sudah turun gunung.
Berkat ejekan tawa Ciang Tay-bing, ketujuh orang gagah itu menobros masuk kedalam
halaman gereja. Tekad mereka, sekalipun memasuki sarang harimau, kubangan naga,
mereka tetap tak gentar. Setiba diambang pintu, mereka berhenti sejenak kemudian terus
hendak melangkah masuk.
Se-konyong2 dari arah belakang terdengar sebuah lengking makian yang nyaring sekali
:,„Minggir ! Mengapa berkerumun didepan pintu ?"
Ceng Bolah yang terlebih dahulu berpaling kebelakang dan :„Hong-moay, kau juga turut
kemari ?" katanya dengan kaget demi dilihatnya sang isterilah yang berseru itu. Tapi
rupanya Kang Siang Yan tak mau menghiraukannya. Selebar mukanya penuh dengan
hawa kemurkaan.
Semua orang gagah tahu betapa eksentrik adat wanita aneh itu. Mereka tak berani buka
suara menanyakan. Sepasang biji mata Kiang Siang Yan menyoroti ke-orang2 itu, lalu
tiba2 menuding kearah Ciang Tay-bing, serunya: „Apakah kau ini orang Ang-hun-kiong?
Dimana Ang Hwat loto dan The Go?"
Ciang Tay-bing tak kenal siapa Kiang Siang Yan itu.
Datang2 terus mendamprat begitu kasar menyebut Suhunya sebagai „Ang Hwat loto
(iman tua bangka)" sudah tentu dia sangat marah. Dia juga seorang yang mabuk
kehormatan, kecuali terhadap Ang Hwat cinyin, tiada lain orang yang diindahkan.
„Perempuan busuk, kau ngoceh......." belum ucapan itu diselesaikan dengan kata „apa",
Kiang Siang Yan sudah ajunkan tangannya, tar....... tahu2 Ciang Tay-bing rasakan
selebar wajahnya geriming2 panas sekali.
Itu saja Kiang Siang Yan hanya ringan2 saja menampar, tidak gunakan pukulan thay-
im-ciang. Sekalipun begitu, Ciang Tay-bing, sudah tak tahan, separoh mukanya degap,
mulutnya serasa mengunyah sesuatu benda dan ketika dimuntahkan, kiranya dua buah
gigi mukanya, telah copot !
Toa-mo atau Iblis kesatu dari Ang-hun-kiong itu ganas dan kejam. Menderita kesakitan
semacam itu, sudah tentu dia seperti kerangsokan setan. Tangan diangkat akan diajun,
tiba2 terdengar seruan The Go: „Supeh, tahan dulu, orang sendiri !" Sembari berseru, The
Go ber-lari2 menghampiri Kiang Siang Yan dan menyura dihadapannya secara chidmat
sekali seraja, berkata: „Gak-bo (merteua perempuan) yang mulia, siao-say (menantu
menghaturkan sembah !"
Sehabis melakukan „upacara itu, dengan serta The Go memegang tangan Bek Lian,
dengan ter-iba2 mencumbu raju, berkatalah dia : „Lian-moay, oh kau pun datang. Aku
tahu bahwa gakbo tentu dapat menolongmu dari sarang macan, sungguh hampir mati
aku memikirkan dirimu !"
Bagaikan tersapu angin, awan "kesangsian yang merundung hati Bek Lian, seketika
lenyap. Lupa sudah bagaimana ia mengalami pederitaan selama pergi dari Thiat nia
(tempat kediaman suku Thiat-theng-biau) itu, tanpa menghiraukan sekian banyak orang
yang hadir disitu, pecahlah tangisnya ketika ia lari jatuhkan diri kedalam pelukan The
Go.
„Lian-ji, bukankah kau mengatakan kalau dia itu kau curigai ?" tanya Kang Siang Yan.
Tapi bagaikan musafir di padang pasir yang dirangsang dahaga, ia telah dapat
menemukan „sumber air" didalam rajuan si Cian-bin Long-kun. Hilang lenyap semua
kesangsian terhadap sang kekasih yang „bergas" itu. „Ma, itulah karena aku dipengaruhi
oleh orang2 yang membencinya. Nyata2 engkoh Go bukan orang semacam begitu !" kata
Bek Lian.
Diam2 The Go bercekat dalam hati. Dia cukup tahu, kunci „kemenangannya", terletak
pada Bek Lian, maka dengan membawa sikap terkejut, dia bertanya: „Lian-moay, kau
sangsikan aku dalam soal apa ? Siapakah yang 'memancing di-air keruh' dalam peristiwa
yang kita, alami itu ?"
„Ada orang mengatakan, kau telah tukarkan Lian-ji dengan pedang kuan-wi-kiam pada
suku Thiat-theng-biau digunung Sip-ban-tay-ban, benarkah itu ?" tanya Kiang Siang
Yan. Jantung The Go bergoncang keras, tapi wajahnya tetap membawa ketenangan yang
mengagumkan. Dengan tertawa gelak2, dia menyawab lantang2: „Hatiku terhadap Lian-
ji, hanya Tuhan yang tahu. Kalau ada sedikit perasaanku yang nyeleweng, biarlah aku,
binasa hancur lebur didasar lembah yang dalam dengan tak menginyak bumi!"
Mendengar orang telah mengucapkan sumpah yang sedemikian beratnya, Kiang~ Siang
Yan percaja. Mana dia tahu akan kelicinan sang menantu yang manis itu ? Jatuh binasa
didasar lembah tanpa menginyak bumi, sungguh mustahil akan terjadi ! Tapi anehnya
semua orang yang hadir disitu, tiada yang dapat memikir dalam2 akan „sumpah
istimewa" dari The Go itu. Kui-ing-cu, Tio Jiang dan Yari-chiu saking gusarnya
menampak ketengikan The Go, sampai tak dapat mengucap apa2. Lebih2 Ceng Bo
siangjin, wajahnya berobah keren. Dengan menerima hormat-sembah dari The Go tadi
berarti secara de facto isterinya menerima The Go sebagai menantu, Ko Thaypun diam.
The Go cukup menginsjafi kalau Kiang Siang Yan terlalu lama dibiarkan berkumpul
dengan fihak lawan, tentu terjadi sesuatu yang tak menguntungkan dirinya. „Gak-bo,
siaosay telah menyimpan kuan-wi-kiam itu yang hendak kuserahkan pada gak-bo. Sucou
sedang menerima dua orang tetamu yang ternama, silahkan gak-bo beristirahat didalam,
biarlah siao-say mendapat kesempatan untuk melajani gak- bo !"
Sejak perangai Kiang Siang Yan berobah aneh, dia mudah diselomoti orang. Disuguhi
permainan dari seorang aktor besar macam The Go, dia menyadi terpikat. Ia masih
mendendam untuk hantaman sam-ciat-kun dari Sik Lo-sam yang mengenai kakinya itu,
hingga untuk luka tersebut ia harus beristirahat sampai beberapa hari. Tampak sang
suami berada dengan orang yang dibencinya itu (Kui-ing-cu), ia menyadi kurang senang.
Tanpa menghiraukan kecintaan suami isteri lagi, Kiang Siang Yan ikut mengikuti The Go
masuk kedalam. Dengan adanya peristiwa itu, fihak Ceng Bo siangjin dan kawan2
bertambah berat bebannya.
Sebenarnya Ciang Tay-bing mendongkol sekali terhadap The Go yang sudah tak
memandang mata terhadap dirinya itu. Tapi dia tak berani melanggar perentah Ang Hwat
cinyin, lalu ajak ketujuh tetamunya itu kedalam sebuah rumah yang terletak disamping.
„Disinilah tempat ruangan para tetamu yang terhormat, sebaiknya yangan melarikan
diri!"
„Lekas bikin rata mukamu yang benyal-benyul itu, yangan urusi yang tidak2!" sahut Kui-
ing-cu. Sudah tentu Ciang Tay-bing segera angkat kaki dengan ke-malu2an. Tadi Yan-
chiu mendengarkan keterangan Kui-ing-cu bahwa gereja Ang-hun-kiong itu diatur
menurut barisan seng-si hui-beng-tin yang lihay, maka sewaktu masuk, Yan-chiu telah
memperhatikan dengan seksama keadaan dalam gereja ini. la masih ingat akan
keterangan kedua to-thong Kuan hong dan Wan Gwat bahwa setelah tiba pada tiang
kuning dan membiluk tentu akan sampai keruangan besar.
Yan-chiu mendengarkan keterangan Kul-ing-cu bahwa gereja Ang-hun-kiong itu diatur
menurut barisan seng-si hui-beng-tin yang lihay, maka sewaktu masuk, Yan-chiu teIah
memperhatikan dengan seksama keadaan dalam gereja ltu. Ia masih ingat akan
keterangan kedua to-thong Kuan Hong dan Wan Gwat bahwa setelah tiba pada tiang
kuningan dan membiluk tentu akan sampai keruangan besar.
Tapi ia segera menyadi terkejut kerna diantara ke 10 tiang digereja situ, tidak ada
sebuahpun yang terbuat dari pada kuningan. Kesemuanya bercat merah. Diam2 ia
menarik kesimpulan, yangan2 fihak Ang-hun-kiong telah mengetahui perbuatan kedua
to-thong itu dan lalu mencat kedua tiang kuningan itu dengan warna merah juga. Jadi
percuma sajalah informasi (keterangan) yang diperolehnya dulu itu.
Rumah atau paviljun untuk tetamu itu, terdiri dart 3 ruangan, perabotannya serba bagus.
Meja dan kursi terbuat daripada kaju puhun li. Tak antara berapa lama, datanglah
seorang to-thong kecil untuk melajani tetamu2 itu. Yan-chiu buru2 mencekal to-thong
itu dan menanyainya: „Kuang Hong dan Wan Gwat berdua itu, sekarang berada dimana?"
Si to-thong tak menyahut. Orang2 sama heran dan menanyakan siapakah Kuan Hong
dan Wan Gwat itu: „Tempo aku masuk kegereja ini, aku telah berjumpa dengan kedua to
thong itu!" sahut Yan-chiu. Tio Jiang terkejut dan buru2 menepis: „Jadi kau pernah
datang kemari?"
„Ja," sahut Yan-chiu Ke-bangga2an, „seorang diri!" la lalu menceritakan pengalamannya
tempo hari. Dan sejak lobs dari gereja itu, ia tak berani bikin onar lagi. Tak berapa hari
kemudian, Ceng Bo dan Ko Thay tiba, kemudian tanggal 5 bulan 5 sore, baru Kisau To,
Thaysan sin-tho Ih Liok dan Ki Ce-tiong muncul. Kala itu Ki Ce-tiong bertanya pada Ceng
Bo apakah Siangjin itu mengetahui bahwa kawanan kaki tangan pemerintah Ceng telah
datang digereja Ang-hun-kiong untuk menggabungkan diri dengan Ang Hwat cinyin dan
sam-tianglo dari Ci-hun-si.
Ceng Bo yang kesamplokan dengan ketiga tianglo Cihun-si, disungai tempo hari, percajan
akan berita yang diba-
wa oleh Ki Ce-tiong itu. Mengingat bahwa didalam flhaknya, dia sendiri, Kui-ing-cu dan
Ko Thay, telah kehilangan banak tenaga lwekang karena menolong Sik Lo-sam, maka dia
kemukakan hendaknya dalam pertempuran besok harus berlaku hati2. Setelah hari
pertempuran Itu, akan ada lagi kaum hohan sahabat persilatan yang menggabungkan
diri. Mereka adalah pejuang2 yang anti penyajah Ceng. Karena inilah, maka fihak
pemerintah Ceng telah mengirim benggolan2 kaki tangan untuk menumpas kawanan
orang gagah anti penyajah itu.
Begitulah keesokan harinya, mereka bertujuh naik ke Ko-to-san. Tiba digereja Ang-hun-
kiong, matahari baru saja naik. Dimuka pintu gereja itu tampak ada 4 orang sudah
menunggu. Yang dimuka sendiri, ternyata adalah The Go. Mata sekalian orang menyadi
merah melihat penghianat licin itu. Sekali enyot, si Bongkok Thaysan sin-tho sudah
melesat maju seraja menghantam. The Go menghindar kesamping, sedang salah seorang
dari 3 kawannya yang berada dibelakangnya, jakni yang bertubuh gemuk pendek, terus
akanmaju:
„Ih-heng, tahan dulu!" Ceng Bo Siangjin yang tak ingin melihat kegaduhan buru2
mencegahnya. Mendengar Itu The Go tertawa dingin, serunya mengejek: „Ceng Bo
Siangjin ternyata masih menyunyung tatasusila persilatan, tak seperti itu bangsa
bebodoran dunia persilatan!"
Ucapan itu telah membuat si Bongkok mengeluarkan hawa uap di-umbun2 kepalanya,
tapi Kiau To sudah menghadang dimukanya. „Ih-heng, yangan turuti hawa amarah. Ang
Hwat cinyin masih belum keluar. Mereka diperkuat oleh kawanan kaki tangan
pemerintah Ceng. Kalau sekarang belum2 sudah kena dipropokasi, kita akan rugi!"
katanya. Si Bongkok terpaksa tahan hatinya dan melainkan deliki matanya kepada The
Go. Kemaren malam The Go telah diberitahukan oleh sucounya tentang kekuatan
masing2 pihak, jadi dia tahu kalau fihak Ang-hun-kiong akan mendapat tambahan dua
tenaga yang tangguh. Sekalipun dia belum mengetahui akan kelemahah Ceng Bo
Siangjin, Kui-ing-cu dan Ko Thay bertiga disebabkan menolong Sik Lo-sam itu, namun
dia sudah jakin kemenangan tentu berada difihaknya. Jadi dia kini umbar
kecongkakannya. „Kalau Thaysan sin-tho masih penasaran, baiklah kita berdua main2
beberapa juruse dulu!" dia tantang si Bongkok.
Sampat disini, seluruh anggauta rombongan Ceng Bo tak dapat meagendalikan
kesabarannya lagi. Walaupun dalam rombongannya, Ceng Bo bukan terhitung yang
paling lihay sendiri, namun dia adalah seorang lelaki jantan yang penuh dengan sifat2
kestryaan, jadi dengan sendirinya se-olah2 dia itu menyadi pemimpin rombongannya.
Maju selangkah dia membentak dengan bengis: „The Go, kau man berlagak ja?"
Nada seruan Siangjin itu sangat berwihawa. Tapi kali ini ibarat seekor ikan dalam air,
The Go tak jeri berulang kali dia menerlma pil pahit dan bahkan dua. kali hampir dibunuh
oleh siangjin itu, maka kali ini dia hendak tumpahkan dendamnya. Dengan mendongak
tertawa ter-bahak2 dia menuding kearah ketiga orang yang berada dibelakang seraja
berseru: „Ceng Bo Siangjin, sam-wi (bertiga orang) ini adalah Susiok dan supehku, orang
menggelari tiga serangkai dari Hong-hun su-mo. Sucou kebenaran masih mempunyai
urusan, jadi belum dapat keluar. Mau berkelahi sekarang apa masih tunggu bantuan
lagi, bilanglah yang tegas. Atau kalau mau adu suara besar pun boleh!"
Wajah Ceng Bo berobah keren, tapi dia tetap mempertahankan gengsitnya. Dihadapan
Hong-hun su-mo itu, tak mau dia adu lidah dengan The Go. Maka sembari memberi salam
kepada ketiga imam Ang-hun-kiong itu dia betrkata: „Lama sudah aku mendengar nama
besar dari su-mo. Leng-su (gurumu) sedang mempunyai urusan lain belum dapat keluar,
sehingga memberi kesempatan pada bangsa siaojin (orang rendah) untuk mengubar
kecangkakan, sungguh harus disayangkan karena hal itu merugikan kebesaran nama
Ang-hun-kiong!"
Dalam kebatinan mereka bertigapun tak puas dengan The Go. Tapi oleh karena sutit
(keponakan murid). itu telah dlmanyakan oleh Ang Hwat cinyin dengan pelajaran yang
sakti, jadi mereka tak betani berbuat apa2.
Mendengar itu japan Ceng Bo Siangjin itu, tanpa merasa mereka telah nyatakan suara
hatinya. „Ja, benar!" tapi baru saja mengucap begitu mereka sudah insjaf akan kesalahan
lidahnya dan buru2 menyusuli kata2: „suhu kami sedang turun gunung untuk
menyambut kedatangan dua orang sehabat, tapi hari ini akan sudah pulang!"
Mendengar jawaban pertama dari ketiga supehnya itu, The Go murka sekali. Namun
lahirnya, dia tak mengunyuk Perubahan air muka. Ceng Bo anggap pertandingan boleh
segera dilangsungkan, maka dia segera memberi isjarat kepada Kiau To, siapa tanpa
berajal lagi segera tampil kemuka dan berseru: „Pertempuran hari ini, kaulah yang
menantangnya. Hendaknya yangaen kau melarikan diri nanti"
Habis berkata Itu, Kiau To kibaskan jawan-pian lurus kemuka. Melangkah beberapa
tindak kesamping, dia berputar tubuh sembari ajunkan jwan-piannya keatas itulah jurus
pembukaan dari ilmu rujung Liok-kin-pian-hwat. Gajanya memang lain dari yang lain.
Sebaliknya The Go malah tertawa keras dan berseru: „Empat penyuru dari Anghun-kiong
sini tiada dapat menyembunyikan orang, berlainan dengan puncak Giok-li-nia di Lo-hu-
san. Hati2lah, Kiau-loji!"
Dengan ucapan itu The Go hendak menyindir Iawan, yang setengah tahun yang lalu telah
berhasil menyatuhkan dirinya (The Go) dl Lo-hu-san berkat adanya bantuan orang orang
lain (Tio Jiang). Meskipun Kiau To murka, tapi dia cukup tahu bahwa pertempuran hari
itu jiwa pertaruhannya. Siapa yang kena dibikin panas, tenaga murninya akan bujar,
akibatnya tentu akan kalah. Oleh karena itu, tak mau adu mulut lagi. Dengan kerahkan
seluruh tenaganya, dia beberapa kali mengibaskan jwan-piannya.
The Go tenang2 saja sikapnya. Maju selangkah, tangannya mencabut kearah punggung
dan sring .......... bagaikan ringkikan naga, sebuah pedang pusaka yang memaacarkan
sinar ke-hijauaan tampak berada didalam tangannya. Munculnya senyata itu, telah
membuat Ceng Bo siangjin terkeslap melongo. Juga Kian Topun bercekat. Rupanya The
Go tahu akan perasaan fihak lawan, maka dengan tertawa dingin dia segera ber-putar2
dua kali lingkaran. Sedang Kiau To memakukan pandangan matanya kearah gerak gerik
lawan.
Adalah pada saast itulah tadi, Tio Jiang tiba disitu. Ketiga sosok orang yang secepat angin
lewat digelanggeng situ terus masuk kedalam gereja adalah Ang Hwat dan sepasang
suami isteri Swat-bwe Hwat-Sisu. Menyusul dengan itu ketiga tianglo dari Ci-hun-si.
Demikianlah kejadian2 sebelum Tio Jiang datang kepuncak Ko-to-san situ. Bagaiamana
achirnya pertempuran itu, telah kami tuturkan disebelah atas tadi.
--oo0oo--
Sekarang marilah kita ikuti lagi perkembangan ketika Ceng Bo dan kawan2 beristirahat
dalam ruangan gereja Ang-hun-kiong yang chusus disediakan untuk para tetamu.
Disitu mereka sangat perihatin. Menilik perkembangannya, terang keadaan sudah tak
menguntungkan bagi fihaknya. Ketambahan lagi kini rupanya Kiang Slang Yan telah
terpikat dalam perangkap dan persentasinya tentu membantu fihak The Go. Jadi dalam
pertempuran nanti fihak Ceng Bo dan kawan2 itu tentu kalah. Kalau semua orang
berdiam diri karena perihatin, adalah Yan-chiu sendiri yang tetap dengan kelincahannya.
Ia selalu. menatapkan pandangan matanya kearah sang suko saja. Banyak nian kata2
yang hendak diucapkan kepada sukonya itu, tapi dihadapan sedan banyak orang, ia
merasa likat juga. Sampai sekian lama ias berhasil juga untuk menguasai perasaannya,
tapi achirnya lama2 tak kuat juga dan mulutnyapun segera berseru me-manggll: „Jiang
suko!"
Karena orang memanggil secara tiba2, Tio Jiang menyadi kaget. Oleh karena dihadapan
sang suhu, Tio Jiang ber-hati2 sekali membawa tingkah lakunya. „Ada apa?" sahutnya
dengan berbisik. Yan-chiu ter-sipu2 merah mukanya, tapi dengan tangkas ia sudah
mengalihkan pembicaraan: „Berdiam diri didalam ruangan sini, bukan suatu
penyelesaian yang baik. Hajo, kita keluar cari anginlah!" .
Tio Jiang tak berani segera menyahut tapi lebih dahulu melirik pada sang suhu, slapapun
menyetujui pendapat Yanchiu tadi. „Ja, kalian berdua boleh makan angin diluar sana.
Tapi Ingat, yangan terbitkan onar dan lekas kembali lagi," ujar Ceng Bo.
Dengan kegirangan sekali Yan-chiu segera tarik tangan sukonya terus diajak keluar.
Keadaan diluar situ sunyi2 saja. Setelah membiluk disebuah ujung tembok, Yan-chiu
hentikan langkahnya dan bertanya: „Suko, sewaktu kau sendirian tersesat dalam perut
gunung, apa saja yang kau pikirkan kala Itu?"
Tio Jiang tak mengerti kalau pertanyaan sumoaynya itu mengandung maksud tertentu,
maka dengan seenaknya saja ia menyawab: „Tidak memikirkan apa2, kecuali bagaimana
dapat keluar dari penyara alam itu untuk menghaturkan mustika itu pada suhu."
Yan-chiu menghela napas. „Ah, jadi dia tak mengimbangi perasaan hatiku yang selalu
memikirkan dirinya," pikirnya. Dengan berdiam diri ia ajunkan langkah kemuka. Hati Tio
Jiang kosong, dia tak memikirkan yang tidak2. Maka dia anggap sumoaynya itu tengah
perithatin keras menghadapi fihak Ang-hun-kiong yang tangguh.
Yan-chiu begitu terbenam dalam lamunan sang dara dihempas asmara. Ja, siapakah
yang tak lara kalau cintanya hanya dibalas dengan rasa kecintaan sebagai saudara
seperguruan saja? Dia berjalan sambil tundukkan kepala, sehingga tak tahu sama sekali
ketika ditikungan, tiba2 muncul sebatang pedang menghadang. Coba Tio Jiang tak segera
lekas2 menereaki pasti ia masih tak mengetahui akan adanya ujung pedang yang terpisah
hanya setengah setengah meteran dimukanya itu.
„Siapa? !" serunya dengan kaget. Seruan itu disambut dengan munculnya dua orang
imam yang beroman bengis. Yang satu membawa pedang dan seorang mencekal kapak
besar. „Sejak bilamana Ang-hun-kiong mengidinkan kalian berjalan seenaknya sendiri
itu? Apa masih tak lekas2 kembali?" seru mereka.
„Ang Hwat cinyin telah menerima kami sebagai tetamu, mengapa kau berani kurang
ajar?" balas Yan-chiu dengan gusarnya. Kedua imam itu tertawa keras, serunya: „Sebagai
tetamu? Ha......., ha........! Ibarat kura2 dalam jaring, masih menyual lagak!"
Tio Jiang terkesiap mendengar ucapan yang diserukan dalam lafal utara oleh kedua imam
itu. Terang mereka itu bukan orang daerah selatan sini. Dia ajak sumoaynya cepat
kembali melapor pada suhunya. Tapi baru saja mulutnya hendak menyatakan, atau Yan-
chiu sudah loncat kemuka dan menghantam dengan bandringan kearah kedua imam itu.
Yan-chiu mengira kalau kedua orang itu, hanyalah imam kecil dari gereja situ, sekali
hantam sedlkitnya tentu dapat merubuhkan mereka. Trang...... tiba2 Yan-chiu merasa
lengannya kesemutan ketika salah seorang imam itu menangkis dengan kapaknya.
Bandringanpun mencelat keatas. Buru2 ia tekan bandringannya itu kebawah.
„Hu, kembali tidak?" kata mereka dengan tertawa dingin. Mereka tak mau menyerang
pada Yan-chiu yang ter-longong2 kesima itu. Tio Jiang kenal gelagat. Dia tahu kedua
orang itu tentu bukan imam gereja situ. „Kembali ja kembali !" serunya keras sembari
memberi isjarat dengan ekor mata kepada sang sumoay, siapa terpaksa menurut.

GAMBAR 69
Karena kebebasannya dirintangi, dengan gusar Yan-chiu hantamkan banderingannya
kearah orang itu yang cepat ditangkis olehnya dengan senyata kapak yang besar.

Tiba dimuka pintu ruangan tetamu, Tio Jiang dan Yan-chiu tak mau masuk, tapi sengaja
terus berjalan kesebelah muka. Kembali dibagisa sana juga ada dua penghadang. Yang
satu mempunyai lafal suara orang Suchwan, yang lain me-maki2 dalam bahasa Boan-
ciu. Karena sudah banyak pengalamannya bertempur dengan serdadu Ceng, jadi Tio
Jiang dan sumoaynya segera mengetahui bahwa kedua pencegatnya Itu adalah kaki
tangan pemerintah Ceng yang menyaru sebagal imam.
Kini tanpa diberitahukan oleh sukonya, Yan-chiu sudah mengetahui sendiri dan
memutar tubuhnya kembali kedalam ruangan tetamu. Baru melangkah masuk, Yan-chiu
sudah berseru: „Suhu, Ang Hwat telah mempersiapkan entah berapa, banyak kaki tangan
pemerintah Ceng yang menyaru jadi imam gadungan, untuk menumpas kita!"
Tio Jiang tuturkan apa yang telah dijumpainya tadi. Ceng Bo dan Kui-ing-cu serta lain2
orang, saling mengawasi satu sama lain. „Oleh karena yang akan datang ini bukan
kebahagiaan melainkan kecelekaan, maka kita harus tenang2 mempersiapkan
kewaspadaan. Dalam hal tenaga, Siaoko dan Siao Chio tergolong, yang terlemah diantara
kita, maka sebaiknya mustika dalam batu itu berikan saja kepada mereka separoh2,
siapa tahu akan menambah kekuatan mereka!" Hui-ing-cu menyatakan pendapatnya.
Ternyata semua orang setuju. Bermula Tio Jiang menolak tapi diperingatkan oleh
suhunya. Malah Ceng Bo Siangjin segera mencabut pedang yap-kun-kiam yang terselip
dlpinggang Tio Jiang. Yan-chiu disuruh memegangi batu itu, lalu Ceng Bo pe-lahan2
membelahnya. Tak antara lama tampak sebuah lubang dan menghempuslah keluar
suatu hawa yang luar biasa wanginya. „Lekas tuangkanlah kedaIam mulutmu!" buru2
Ceng Bo menyuruh sigenit meminumnya.
Yan-chiu cepat tempelkan bagian lubang ltu kemulut dan sekali menyedot se-kuat2nya
berkerucukanlah tenggorokannya menelan suatu-benda cair. Seketika dirasakan tuIang
belulang seluruh tubuhnya menyadi sedemikian nyaman dan ringan sekali. Buru2 ia
kerahkan cin-wan (tenaga murni) dan cin-khi (hawa murni), setelah itu lalu berikan batu
kapada sang suko. Begitu Tio Jiang menyambutnya, terus ditempelkan kemulut dan
disedotnya. Tapi hanya angin saja yang didapatinya. Dengan keheranan, dia turunkan
batu itu. Kui-ing-cu dengan segera dapat mengetahui apa yang terjadi, 'katanya: „Siaoko,
mungkin sudah suratan nasib, bukankah air mustika itu sudah dihirup habis oleh kui-
ahthau (dara jelek) itu ? Kau tidak kecewa, bukan ?
Tlo Jiang tak pernah mempunyai perasaan iri. Dia adalah seorang suko dan sute yang
pengalah. Seharusnyalah diberikan pada sumoay, karena dia lebih lemah! sahutnya
dengan setulus hatitnya.
Mendengar itu, semua orang mengagumi ketulusan hati pemuda itu. Ketika sama
mengawasi Yan-chiu tampak selebar wajah nona itu ke-merah2an memancarkan cahaja
gemilang. Seperti keringat bukan keringat, sehabis menyalurkan perdarahannya, ia
rasakan seluruh tubuhnya mengalirkan hawa panas, hingga untuk setengah jam ia
tampak
seperti dalam keadaan samar2 ingat. Baru setelah perasaan menyalur rata keeseluruh
tubuh, ia tampak berloncat bangun seraja berseeru: „Amboi.......! nyaman sekali seperti
orang mati rasanya. Suko, kau. minum sedikit tadi, apa tak berasa apa2?"
Nona itu tak mengetahui kalau Tio Jiang tak kebagian setetespun jua. Air mustika yang
jarang terdapat didunia itu, telah habis dihirupnya semua. Baru setelah sang suko
menyelaskan, ia ke-merah2an mukanya dan menyatakan penyesalannya: „Maaf, aku tak
sengaja berbuat begitu!"
„Ho, sungkan juga sih? Asal kau berjanyi kelak tak menghiana sukomu seperti yang
dilakukan oleh sucimu, itu sudah cukup!" serua Kui-ing-cu. Kembali wajah Yan-chiu
merah padam ke-malu2an, diperolok Kui-ing-cu itu. Kini ia merasa tubuhnya sangat
enteng sekali. Apabfla menyalurkan darah atau pernapasan, juga sangat mudah dengan
leluasanya. Rupanya lwekangnya dalam sekejab waktu saja teIah maju pesat, suatu hal
yang membuatnya girang bukan kepalang. „Suko, kau sungguh baik sekali kepadaku!"
diam2 hatinya berterima kasih.
--oo0oo--
Kala itu sudah sore hari. Genta gereja kedengaran bertalu 3 kali. Anehnya keadaan disitu
tak nampak seperti sedang kumpulan-malam (sembahyang malam). Ketika semua
rombongan fihak tetamu keheranan, tiba2 dari arah luar ter-dengar ada orang berseru:
„Suhu mengundang tamu sekalian supaja datang kepaseban belakang!"
Kui-ing-cu tahan napas, dengan gunakan ilmu menyusupkan suara „thoan im jip bi" dia
berseru kepada kawan2nya: „Kartu segera akan terbuka, entah lo-tosu itu hendak main
apa?"
Sekalian orang mengerti maksud peringatan itu. Ceng Bo segera berseru keras: „Silahkan
saudara mengantar!" Walaupun lwekangnya berkurang banyak, namun suara yang
diserukan oleh hawa napas itu, cukup nyaring. Begitu pintu dibuka, ternyata disitu
sudah menunggu ketiga Ang-hun su-mo. Ji-mo atau iblis kedua (ajah The Go?) sudah
meninggal, namun gelaran mereka masih tetap menggunakan Ang-hun su-mo (4 iblis dari
Ang hun-kiong), walaupun seebenarnya mereka itu hanya berjumlah 3 orang.
Dengan Ceng Bo siangjin berjalan dimuka dan Kui-ing-cu, yang paling belakang sendiri,
ketujuh rombongan tetamu itu segera berjalan menurutkan Ang-hun su-mo. Sepanjang
lorong yang dilalui itu, mereka dapat memperhatikan. Tapi setelah dua kali membiluk,
hilanglah pengetahuan mereka akan arah mata angin. Semua yang tampak disitu, dari
ruangan, lorong serambi, tiang dan lankan, sama semuanya, sukar dibedakan.
Setelah setengah jam lama berbilak biluk, mereka melalui sebuah ruangan kecil dan se-
konyong2 terbentanglah sebuah lapangan luas yang berlantai batu marmar hijau. Luas
lapangan itu tak kurang 10-an tombak pesegi. Pada ujung lapangan itu tampak sebuah
meja pat-sian (8 segi), dengan dikitari oleh 8 orang, jakni Ang Hwat cinyin, Kiang Siang
Yan, Bek Lian, The Go, dan sam-tianglo dari Ci-hun-si. Mereka rupanya tengah
menghadapi hidangan. Tapi sekalipun melihat kedatangan rombongan Ceng Bo Siangjin,
mereka bersikap acuh tak acuh. Yang diherankan Ceng Bo bukan sikap mereka yang
mengejek secara begitu menyolok, tapi adalah Itu kedua benggolan kaki tangan
Pemerintah Ceng, jakni sepasang suami-isteri Swat Bwe dan Hwat Kuay, mengapa tak
hadir disitu.
Ketiga Ang-hun su-mo menghampiri Ang Hwat cinyin dan berbicara beberapa patah kata.
Mungkin orang mengira tadi Ang Hwat cinyin benar2 tak mengetahui kedatangan
rombongan Ceng Bo itu. Tapi kini setelah mendapat, laporan dari Ciang Tay-bing, dia
tentu sudah mengetahui. Namun dia masih enak2 duduk saja. Malah mengangkat cawan
arak dan berkata kepada Kiang Siang Yan: „In lihiap, untuk merajakan pertemuan yang
jarang terjadi ini, marilah kita keringkan cawan!"
Orang2 yang mengitari meja itu sama menyambut dengan gembira. Ciang Tay-bing masih
tegak terpaku disitu. Kui-ing-cu dan kawan2, adalah tokoh2 persilatan yang bernama,
sudah tentu mereka mendongkol sekali diperlakukan begitu. Sin-eng Ho Thay tertawa
dingin, tangannya mencekal pada lankan, krek ...... tahu2 saja sudah memutuskan patah
sebuah terali kaju lankan itu, lalu ditimpukkan kearah meja pat-kwa mereka. Juga Kui-
ing-cu dan si Bongkok tanpa ajak2an, membarengi dengan saebuah biat-gong-ciang
(pukulan lwekang) kearah kutungan kaju tadi. Dengan mendapat dorongan dari lwekang
ketiga tokoh Iihay itu, kutungan kaju meluncur dengan pesatnya. Kalau saja kaju itu
menimpa meja, hidangan disitu tkntu akan porak poranda. Tapi baik Ang Hwat cinyin
maupun Kiang Siang Yan rupanya tak mengacuhkan ancaman itu. Sambil meugangkat
cawan, mereka berdua aegera menyiramkan arak keudara yang tepat mengenai kutungan
kaju tadi.

(Bersambung Ke Bagian 38)


BAGIAN 38
SETERU LAMA

Ketiga Ang-hun su-mo menghampiri Ang Hwat cinyin dan berbicara beberapa patah kata.
Mungkin orang mengira tadi Ang Hwat cinyin benar2 tak mengetahui kedatangan
rombongan Ceng Bo itu. Tapi kini setelah mendapat, laporan dari Ciang Tay-bing, dia
tentu sudah mengetahui. Namun dia masih enak2 duduk saja. Malah mengangkat cawan
arak dan berkata kepada Kiang Siang Yan: „In lihiap, untuk merajakan pertemuan yang
jarang terjadi ini, marilah kita keringkan cawan!"
Orang2 yang mengitari meja itu sama menyambut dengan gembira. Ciang Tay-bing masih
tegak terpaku disitu. Kui-ing-cu dan kawan2, adalah tokoh2 persilatan yang bernama,
sudah tentu mereka mendongkol sekali diperlakukan begitu. Sin-eng Ho Thay tertawa
dingin, tangannya mencekal pada lankan, krek ...... tahu2 saja sudah memutuskan patah
sebuah terali kaju lankan itu, lalu ditimpukkan kearah meja pat-kwa mereka. Juga Kui-
ing-cu dan si Bongkok tanpa ajak2an, membarengi dengan sebuah biat-gong-ciang
(pukulan lwekang) kearah kutungan kaju tadi. Dengan mendapat dorongan dari lwekang
ketiga tokoh Iihay itu, kutungan kaju meluncur dengan pesatnya. Kalau saja kaju itu
menimpa meja, hidangan disitu tentu akan porak poranda. Tapi baik Ang Hwat cinyin
maupun Kiang Siang Yan rupanya tak mengacuhkan ancaman itu. Sambil meugangkat
cawan, mereka berdua aegera menyiramkan arak keudara yang tepat mengenai kutungan
kaju tadi.

GAMBAR 70
Karena tak disambut sewajarnya, dengan gusar Ko Thay menimpukan
sepotong kaju kearah meja perjamuan. Tapi dengan tenaga lwekang Ang
Hwat Cinyin dan Kiang Siang Yan muncratkan isi cawan mereka keudara.

Siraman arak dari Ang Hwat cinyin dan Kiang Siang Yan itu menggunakan lwekang.
Sebenarnya kalau meniIai soal kepandaian, Kui-ing-cu setanding dengan Kiang Siang
Yan, si Bongkok berdua dengan Ko Thay dapat menghadapi Ang Hwat cinyin. Sayang
lwekang dari Kui-ing-cu sebagian besar sudah habis karena menolong Sik Lo-sam itu.
Jadi dalam adu lwekang tadi, ketiga orang dari fihak tetamu, telah kalah. Begitu terciprat
arak, kutungan kaju tadi segera miring kesamping dan jatuh ketanah.
Dari gebrak itu saja, cukuplah sudah diketahui tentang kekuatan masing2. Dan yang
paling dibuat. sayang, kini nyata2 Kiang Siang Yan sudah kena, dibohongi The Go dan
berdiri difihak Ang Hwat, Ceng Bo siangjin pedih hatinya. „Hong-moay kau........", saking
terharunya dia tak dapat melanyutkan kata2nya apalagi kala itu Kiang Siang Yan
sedikitpun tak mau menghiraukan dan melainkan tertawa dingin.
Ceng Bo sadar bahwa pertempuran hari itu merupakan soal hidup atau mati. Ber-hari2
dia mondar mandir kesana Mini untuk menyumpai beberapa sahabat persilatan yang
mempunyai tujuan sama. Berhasil atau tidaknya usaha mereka untuk mengusir kaum
penyajah. Ceng dari bumi
Tiongkok, adalah mengandalkan tenaga persatuan dari para kaum pahlawan pencinta
negeri itu. Ah, mengapa dia masih berat dipengaruhi hubungan suami-isteri serta ajah-
anak lagi ? Demi sang hati terbuka, pikirannyapun longgar. Tak lagi dia merasa pedih.
„Ang Hwat cinyin, bukankah kau mengundang kami kemari, mengapa begitu macam cara
penyambutanmu ? Kau adalah seorang soko-guru dari dunia persilatan, mengapa masih
dilekati sifat2 tak kenal aturan begitu ?" serunya.
Setiap patah dari ucapan Ceng Bo itu, memang sukar dibantah. Memang rencana untuk
membuat panas hati para tetamu itu, adalah keluar dari pikiran The Go. Menurut
rencana, begitu musuh panas hati, dia terus jalankan program yang ditetapkan menurut
rencana The Go itu. Tapi ternyata Ang Hwat bukan The Go. Dia adalah seorang cianpwe
dari dunia persilatan yang mempunyai gengsi agung. Walaupun dia mau merendah
sedikit, turun gunung menyambut kedatangan sepasang suami-isteri Swat Bwe dan Hwat
Siau yang dikirim oleh pemerentah Ceng itu, namun dia tetap bukan golongan orang
rendah macam The Go. Maka demi mendengar cercaan Ceng Bo tadi, seketika dia
berbangkit dan berseru: „Siapkan sebuah meja perjamuan lagi!"
Dalam sebentar saqja perentah itu telah dilaksanakan. „Silahkan hadirin sekalian
duduk," katanya sambil memberi hormat kepada para tetamunya, kemudian duduk pula.
Menurut anggapannya, perbuatannya itu sudah cukup dari menghormat.
Ceng Bo tak mau banyak peradatan lagi, segera maju mengambil tempat duduk. Jarak
antara kedua meja mereka itu, hanya terpisah satu meteran. Kalau sewaktu2 Ang Hwat
menyerang, tentu sukarlah baginya untuk lolos. Namun sedikitpun siangjin itu tak
mengunyuk rasa jeri. Lain2 kawannyapun segera menaulad tindakannya itu. Kuiing-cu
menyentuh Yan-chiu, katanya: „Siao-ah-thau, hatimu mendongkol tidak ?"
„Sudah tentu, Ang Hwat siimam tua itu benar2 kutu besar!" sahut Yan-chiu.
„Kuajarkan kau cara untuk melampiaskan kemendongkolanmu itu. Kau adalah seorang
anak, mereka dibatasi dengan kedudukannya, tentu tak dapat meng-apa2kanmu. Kalau
nanti suhumu menggegeri kau, akulah yang menanggung!" kata Kui-ing-cu, seraja
membisiki beberapa patah, kata kedekat telinga sigenit.
Yan-chiu berseri girang. Sembari sebelah tangan mencekali bandringan yang tergantung
dipinggang, ia ikut Kui-ing-cu menghampiri ketempat meja Ceng Bo tadi. Setiba, ditepi
meja, tiba2 ia memutar tubuh dan berseru: „Ang Hwat locianpwe, subo dan Lian suci!"
Ketiga orang itu terkejut mendengar panggilan itu. Tanpa merasa mereka sama
mendongakkan kepala. Bek Lian agaknya malu sendiri, maka lalu tundukkan kepala.
Ang Hwat cinyin dan Kiang Siang Yan terpaksa mengulum suara tenggorokan „hem", jalah
dimaksud sebagai jawaban. Adalah selagi kedua tokoh ini lengah karena memberi
jawaban itu, tangan Yan-chiu sudah kibaskan bandringan melayang disisi punggung To
Ceng dan To Bu, lalu menyusup kebawah meja mereka. Sekali tangan menyentak, maka
buk ........ bola bandringan itu tepat menghantam bagian bawah permukaan meja.
Hantaman itu tak kurang dari berpuluh kati beratnya. Selagi Ang Hwat cinyin dan Kang
Siang Yan bersuara tenggorokan tadi, tahu2 cawan dan mangkok piring diatas mejanya
sama berhamburan keatas, Serambut dibelah tujuh, mereka tak mengira sama sekali
kalau Yan-chiu berani melakukan perbuatan ugal2an itu. Buru2 Ang Hwat meniup
keras2 dengan mulut untuk menghalau kuah panas yang hendak menyemprot mukanya,
namun tak urung rambut kepalanya juga kena tersiram. Adalah Kiang Siang Yan yang
paling tangkas. Begitu melihat ancaman datang, ia segera gunakan ilmu mengentengi
tubuh thay-im-i-seng yang sakti, menarik Bek Lian untuk menghindar kesamping. Jadi
hanya pakaiannya yang kena kesiraman sedikit.
Yang paling runyam, adalah ketiga tianglo dari Ci-hun-si itu dan The Go. Muka dan
rambut mereka basah kujup dikeramasi kuah (gulai). Oleh karena tak menyangka sama
sekali dan gerakan Yan-chiu tadi datangnya secara tiba2 dan cepat sekali, jadi walaupun
keramas dengan kuah panas namun keempat orang itu tetap ter-longong2 tak tahu apa
yang telah terjadi. Dan selagi mereka berempat terlongong2 keheranan itu, tepat tiupan
hawa mulut Ang Hwat cinyin tadi tiba. Oleh karena gusar, jadi cinyin itu meniup se-
kuat2nya. Menurut tingkat kepandaian Ang Hwat, sekali meniup, bulu ajam sisik Man
ataupun setitik air dapat berobah menyadi suatu senyata rahasia yang sangat hebat.
Sam-tianglo dari Ci-hun-si itu duduknya tepat berhadapan dengan Ang Hwat, jadi
keadaannya tepat seperti yang dikatakan orang 'sudah jatuh dihimpit tangga pula'. Sudan
tadi muka dan rambut mereka gebes2 dikeramasi kuah panas, kini dihujani semburan
air panas oleh Ang Hwat, aduh mak, kalau badan lagi sial ............. Mereka menyerit
rubuh ketanah, lalu bergelundungan kian kemari! Masih untung The Go berlaku sebat.
Begitu mendengar tiupan mulut Ang Hwat, dia terus loncat menghindar. Ini berarti dia
mendapat keringanan dari siksaan.
Tidak kecewa dara dari Lo-hu-san itu digelari nona genit tangkas dan lincah. Lincah
lidahnya, tangkas tangannya. Ia dapat membandring dengan cepat tanpa diketahui
orang, tapi iapun dapat menarik balik bandringannya itu dengan tak kurang cepatnya
juga. Seperti tak terjadi suatu apa, dengan lenggang ia mengambil tempat duduk. Olok2
sigenit itu, telah dimainkan dengan hebat dan luar biasa bagusnya. Si Bongkok, Kui-ing-
cu, dan lain2nya, sampai kaku perutnya karena ketawa. Sampaipun Ceng Bo siangjin
yang biasanya tak suka bergurau, kali ini seperti di-kitik2 dan tak tahan mengekang
tawanya. Dia melirik kearah muridnya yang nakal itu, siapa mengerti akan maksud sang
suhu. Oleh karena diantara sekian orang itu hanya ia sendiri yang tak tertawa, maka
untuk yangan sampai kentara, iapun turut tertawa cekikikan.
Didalam fihak tuan rumah, Ang Hwat dan Kiang Siang Yan adalah tokoh2 persilatan kelas
utama. Cepat2 keduanya dapat menguasai kejutnya tadi. Mendengar dimeja tetamu
orang sama tertawa lepas2, tahulah mereka berdua kalau tadi perbuatan ugal2an itu
adalah dari fihak tetamu yang melakukan. Tapi keduanya merasa malu dan heran
sendiri. Mereka jakin akan tingginya kepandaiannya, namun apa dan bagaimana
peristiwa tadi terjadi, benar2 keduanya tak mengetahui. Jadi terpaksa mereka diam
menahan kemurkaan.
Ang Hwat perentahkan The Go supaja menggotong sam-tianglo Ci-hun-si. Ketiga tianglo
itu benar memiliki lwekang yang tak lemah, namun karena Ang Hwat yang meniup, jadi
mereka bertigapun parah juga lukanya. Ada beberapa kerat tulang ajam yang menyusup
kedalam mukanya. Sewaktu satu per satu dicabuti, mereka sama mengerang2 kesakitan.
Karena keadaannya setengah mati, terpaksa mereka digotong orang masuk kedalam
kamar.
Dengan marahnya Ang Hwat titahkan lagi menyiapkan sebuah meja hidangan, kemudian
suruh Ang-hun su-mo bertiga duduk mengisi kursi sam-tianglo yang kosong itu. Selagi
keadaan menyadi tenang kembali, tiba2 Kui-ing-cu berseru keras: „Siao-ah-thau,
terhadap orang yang tak tahu adat, memang begitulah caranya memperlakukan. Hajo,
cucilah tanganmu dulu, nanti aku yang per-tama2 akan memberi selamat dengan
secawan arak!"
Gelarnya saja dia itu hendak memberi selamat dengan arak, tapi pada hakekatnya
sengaja dia suruh Ang Hwat dan Kiang Siang Yan mendengarkan jelas, bahwa yang
melakukan perbuatan ugal2an tadi bukanlah tokoh2 lihay dari golongan fihak tetamu,
melainkan hanya seorang anak perempuan dara yang tak ternama!
Mendengar itu benar juga wajah Ang Hwat berobah, mengangkat cawannya dia
kedengaran tertawa gelak2 Aan berseru : „Ceng Bo siangjin, lama nian orang
menyohorkan bahwa dua pedang pusaka suami-isteri kalian tiada tandingannya dikolong
jagad ini. Harini sebagai tuan rumah, pinto hendak lebih dulu menghaturkan selamat
secawan arak dadamu !"
Habis berkata begitu, dia taruhkan cawan keatas telapak tangan dan tiba2 telapak
tangannya itu dicekungkan kebawah. Cawan arak itu memangnya sudah kecil, maka
hampir separoh cawan itu seperti masuk kedalam telapak tangan Ang Hwat. Kemudian
entah bagaimana caranya, tahu2 begitu telapak tangan itu dijunkatkan lagi keatas,
wut........ cawan itu mumbul setengah meter tingginya. Setelah sejenak berhenti diatas,
cawan itu pe-lahan2 melayang kearah tempat duduk Ceng Bo. Namanya saja Ang Hwat
itu hendak memberi selamat dengan arak, tapi hal yang sebenarnya dia itu hendak
membuat malu pada Ceng Bo.
Cawan itu tampaknya melayang dengan pelahan, tapi Ceng Bo dan kawan2 cukup
mengetahui bahwa tadi Ang Hwat telah gunakan ilmu melempar senyata rahasia tingkat
tinggi. Sedikitnya dia telah gunakan 8 bagian dari tenaganya lwekang, untuk mengantar
cawan arak itu. Yangan lagi kini lwekang Ceng Bo siangjin sudah lumpuhdaja lebih dari
setengah bagian, sekalipun masih utuh, juga belum ketahuan apakah dia itu dapat
menyambuti 'persembahan arak' istimewa itu. Dia tahu kalau berani menyambuti dengan
lwekang, lengannya pasti akan putus. Baik disambuti atau tidakkah persembahan itu ?
Dia dirundung kesangsian. Kalau disambuti, resikonya lengan putus. Kalau tidak
menyambutnya, Ang Hwat tentu akan menyusuli lagi persembahan yang kedua. Jadi
tanpa adu kepandaian, berarti dia sudah kalah ini.
Jarak kedua meja itu hanya satu meteran. Tempat duduk Ceng Bo tepat berhadapan
dengan tuan rumah, jaraknya hanya kira2 satu tombak. Cawan arak itu walaupun
pelahan melayangnya, namun dalam beberapa detik saja pasti akan sudah tiba. Ceng Bo
mengambil putusan, lebih baik binasa daripada malu. Tapi ketika dia hendak, kerahkan
seluruh sisa lwekangnya untuk menyambuti, tiba2 kedengaran Kui-ing-cu tertawa dan
berseru lantang: „Aku yang rendah inipun hendak balas memberi hormat pada tuan
rumah Anghun-kiong sini dengan secawan arak."
Sekali kelima jarinya dibuka, maka cawan arak yang digenggamnya itupun meluncur
kemuka, tring....... tepat membentur cawan Ang Hwat. Kui-ing-cu tadi telah gunakan
seluruh lwekangnya. Begitu berbentur, kedua cawan itu
berhenti sebentar. Cawan Kui-ing-cu melayang kesamping, sementara cawan Ang Hwat
masih tetap melayang kearah tujuannya semula (kearah Ceng Bo), tapi daja kekuatan-
nya sudah berkurang separoh bagian. Sekalipun begitu, kala Ceng Bo menyambuti,
lengannya dirasakan kesemutan nyeri sekali. Buru2 dia meneguknya habis. Ketika
mengawasi kearah cawan Kui-ing-cu yang melayang kearah Ang Hwat cinyin, tampak
cinyin itu ulurkan tangan untuk menyambuti, pjah....... tahu2 cawan itu pecah
berantakan jatuh kebawah.
Kiranya sewaktu melayangkan cawan tadi, Kui-ing-cu telah gunakan akal. Tatkala saling
berbentur dengan cawan Ang Hwat, cawannya itu tak sampai pecah. Ini karena kedua
tokoh itu telah menggunakari ilmu lwekang sakti dengan perhitungan yang sangat tepat.
Waktu me-layang2, cawan itu biasa saja, tapi begitu saling berbentur kedua benda itu
keras bagai baja, maka tak sampai pecah. Kalau tak hujan tak angin begitu tiba
dihadapan Ang Hwat, cawan itu terus pecah sendiri, itu juga permainan yang lihay dari
Kui-ing-cu. Ini dimaksud untuk memper-olok2 Ang Hwat untuk yang kedua kalinya. Dari
kejadian itu, dapatlah ditarik kesimpulan sampai dimana tinggi rendahnya kepandaian
Kui-ing-cu. Dia adalah setingkat dengan Ang Hwat cinyin, Tay Siang Siansu dan Kang
Siang Yan.
Tapi dalam soal pejakinan, mungkin Ang Hwat lebih lama. Sudah 50-an tahun dia
berkecimpung dalam pejakinannya itu. Jauh2 ketika masih dalam jaman pemerentahan
Beng, namanya sudah berkumandang diseluruh negeri. Dia pernah menerima undangan
dari fihak pimpinan kim-i-wi (pasukan bayangkari istana) untuk datang kekota raja dan
mengunyukkan kegagahan yang mengagumkan. Kalau mau, dulu2 dia sudah diangkat
menyadi kepala kim-i-wi. Ini kejadian pada beberapa puluh tahun yang lampau. Kini
pejakinannya makin sempurna lagi. Tapi dengan begitu, belumlah menyadi jaminan
bahwa kebatinannya makin tinggi. Dalam beberapa tahun yang terachir ini, dia selalu
mengeluh dalam batin, mengapa sampai dihari tua masih jadi „orang hutan" atau orang
yang tinggal digunung saja. Maka ketika berkenalan dengan sam-tianglo Ci-hun-si yang
berhamba pada pemerentah Ceng, dia rupanya penuju juga. „Makin tua makin gila",
rupanya pembilangan orang begitu itu, memang beralasan.
Ang Hwat tak mau memegang buntut kucing (mendapat malu ) untuk yang kedua kalinya.
Cepat2 dia rangkumkan sepasang tangan kearah pecahan cawan dan arak yang
berhamburan kebawah itu, sekali menyedot, pecahan cawan. dan arak itu naik lagi
meluncur kedalam mulutnya, krucuk........., krucuk..........demikian bunyi
tenggorokannya. Se-konyong2 mulutnya menganga dan fui......... pecahan keramik putih
menyembur keluar, cret....., cret......, semua berhamburan menyusup pada sebuah tiang
besar yang jauhnya antara satu tombak. Itulah pecahan cawan arak tadi.
Walaupun Kui-ing-cu seorang tokoh yang paling suka berolok2, tapi dia itu juga seorang
lelaki jantan perwira. Melihat Ang Hwat mengunyuk demonstrasi kepandaian yang luar
biasa itu, serta merta dia berseru memuji. „Ilmu kepandaian yang hebat!" serunya. Tapi
pada lain saat dia kedengaran berkata pula: „Sayang sekali tak menyalankan didikan
keras, hingga anak muridnya telah menodai kebesaran nama Ang-hun-kiong!"
Memang lihay kepandaan Kui-ing-cu, selihay itu pula mulutnya. Sedang. Tio Jiang dan
Yan-chiu sama terlongong2 mengawasi pertunyukan istimewa itu. Kalau tak
menyaksikan sendiri, mungkin mereka tak mau percaja bahwa didunia ini ternyata
terdapat ilmu kepandaian macam begitu.
Memang apa yang dipertunyukkan Ang Hwat cinyin itu, luar biasa sekali. Kalau orang
meneguk arak itu sih biasa. Tapi Ang Hwat telah meneguk arak yang bercampur dengan
keping pecahan cawan. Kalau dia tak memiliki : lmu lwekang yang tinggi, tentu mulutnya
akan pecak rowak terkena tajamnya pecahan keramik. Tapi Ang Hwat telah
memperhitungkan lebih dahulu. Begitu keping pecahan itu masuk kemulut, dia tiup
dengan tekanan lwekang, hingga kepingan cawan itu menyadi hancur seperti bubuk.
Setelah arak ditelan, bubuk cawan itu disemburkan keluar. Dia hanya tertawa dingin
mendengar tetamu (Kui-ing-cu) memujinya. Berpaling kearah Kui-ing,cu, dia berseru:
„Cunke telah menghaturkan hormat dengan secawan arak, pinto haturkan terima kasih.
Murid Ang-hun-kiong dari tingkatan ke 3, juga akan mewakili pinto untuk membalas
hormat.
Habis berkata begitu, mulutnya berkicup kearah The Go. tahu kalau sucounya itu
menyuruhnya unyuk kepandaian. Heran juga dia dibuatnya, mengapa dalam waktu dan
tempat begitu, orang masih hendak main hormat2an dengan cawan arak ? Terlebih heran
pula mengapa sucounya menyuruh dia yang keluar ? Tapi walaupun heran, dia terpaksa
harus menurut perentah sucounya itu. Dituangnya arak penuh2 kedalam sebuah cawan,
tanpa mengeluarkan tenaga apa2, diapun lemparkan cawan itu kearah Kui-ing-cu. Tapi
membarengi dengan itu, Ang Hwat kedengaran batuk2 dan suatu tenaga dahsjat terasa
menyambar kearah cawan yang segera seperti berhenti sejenak diatas udara. Ah, kiranya
sang sucou diam2 memberi bantuan, agar Kui-ing-cu mendapat malu.
Kalau cawan arak itu dihaturkan pada Ceng Bo siangjin, mungkin rencana Ang Hwat itu
akan memberi hasil. Tapi yang diarah itu adalah Kui-ing-cu, si Setan Tanpa Bayangan
yang cerdik tangkas itu. Dalam gelanggang segenting itu Ang Hwat suruh The Go maju,
dia sudah menduga tentu ada udang dibalik batu. Setelah merenung sebentar dan
mendengar Ang Hwat batuk2, cepat dia sudah dapat mencium bau.
„Murid angkatan ketiga dari Ang-hun-kiong menghaturkan arak, murid angkatan kedua
dari Cin-wan-kuan yang hendak meminumnya!" serunya sembari memberi isjarat ekor
mata kearah Yan-chiu dan lalu menampar kearah cawan arak itu. Benar kala itu
lwekangnya tak sehebat Ang Hwat, tapi kalau Ang Hwat mengeluarkan lwekang dengan
berbatuk2, adalah dia dengan sebuah tamparan biat-gong-ciang. Deru samberan
anginnya telah membuat arah cawan itu miring kesamping jalannya.
Juga Yan-chiu tak mengerti apa kemauan Kui-ing-cu tadi. Tapi serta tampak cawan arak
itu melayang kearahnya, tahulah ia sudah. Sekali tangan menekan pada " sandaran
kursi, tubuhnya melayang keatas menyongsong datangnya cawan. Ia sudah mempunyai
dasar latihan ilmu mengentengi cukup baik dari Ceng Bo siangjin, kemudian dapat
mempelajari ilmu itu dari Tay Siang Siansu dan masih pula meminum mustika batu yang
menambah kekuatan dan memperkokoh lwekang, maka bagaikan seekor burung waled
ia melayang-layang. Dilihatnya gerak-layang dari cawan itu masih cukup keras jadi tentu
belum melayang kebawah.
Untuk mencoba bagaimana kwaliteit ilmu mengentengi tubuhnya, ia mau unyuk
demonstrasi. Selagi masih melayang, ia inyakkan kaki kanan keatas tapak kaki kiri dan
meminyam tenaga pijakan itu, tubuhnya segera lurus menyulang keatas sampai 2 meter
tingginya. Dari situ ia menekuk tubuh membujur kemuka, dengan gunakan jurus gan-
lok-ping-sah (burung meriwis jatuh dipasir datar), ia meluncur kemuka kesamping cawan
itu, ciup sekali hirup habis isi cawan itu 'diminumnya. Tangannya diulur menyambuti
cawan yang kosong itu, begitu sang kaki menginyak tanah, ia enyot tubuhiija melayang
kembali ketempat, duduknya semula.
Gerakan sinona tadi itu, sedikitpun tak mengeluarkan suara. Ia melayang maju mundur
bagaikan seorang bidadari turun dari kahyangan saja. Sungguh indah sedap dipandang
mata nian gerak layang dara dari Lo-hu-san itu. Sampaipun Kiang Siang Yan yang sejak
tadi diam saja, kinitanpa terasa mengeluarkan suara tertahan ditenggorokan, suatu
pujian secara diam2. Bek Lian segera membisiki beberapa patah kata kedekat telinga
ibunya. Melihat itu The Go menduga, nona itu tentu mengiri akan kepandaian Yan chiu
yang secara begitu tiba2 telah maju pesat sekali.
„Lian-moay, itu kan hanya permainan anak2 saja, apanya yang perlu dikagumi. Beberapa
tahun lagi, kita berdua tentu akan dapat melebihinya!" The Go menghibur. Bek Lian puas.
Tiba2 datanglah seorang tosu melapor: „Ma Cap-jit dari Hoasan, cong-piauthau
(pemimpin kantor pengantar barang) Liok Toa piaukiok dari Hui-ciu, Liat-hwat-cian Tiat
Leng-koan serta Empat persaudaraan Li dari Haylam, telah tiba kemari !"
Mendengar itu Ceng Bo ber-gegas bangun untuk menyambut sahabat2 yang memang
diundangnya itu. „Celaka.!" seru Kui-ing-cu, tapi dalam pada itu tampak Ma Capjit
situkang tebang puhun dengan pikulannya sudah melangkah masuk. Yang disebut Tiat
Leng-koan bergelar Liathwat-cian (panah api) itu adalah seorang yang bertubuh gemuk
pendek. Sedang keempat persaudaraan Li itu mengenakan pakaian yang serba aneh,
berasal dari kepulauan Haylam, paiidai menggunakan senyata, rahasia. Ceng Bo
mempersilahkan mereka duduk pada sebuah meja yang sudah disiapkan lagi dengan
hidangan lengkap.
Tak antara berapa lama, haripun malam. Karena Ang Hwat masih tetap duduk menikmati
arak, tahulah Ceng Bo bahwa semalam-malaman nanti tentu tiada orang yang tidur.
Benar juga, perjamuan itu diteruskan sampai keesokan hari malah tidak cukup hanya
sehari semalam saja, tapi berlangsung sampai 3 hari 3 malam tanpa mengaso. Bek Lian
dan Ang-hun su-mo tampaknya sudah tak tahan lagi. Tapi orang2 yang lihay
kepandaiannya, tetap menghadiri perjamuan itu dengan ber-cakap2 sembari ter-tawa2.
Pada hari ketiga, kembali datang lagi sepuluhan sahabat2 persilatan yang diundang Ceng
Bo. Kini ruangan luas itu sudah penuh diisi dengan meja2 perjamuan, dan hanya tinggal
tempat, kosong seluas dua tombak pesegi saja.
Pada hari keempat, tiba2 Ang Hwat cinyin tampak berbangkit. Setelah menyapukan
pandangan matanya kearah semua tetamunya, dia berkata kepada Ceng Bo siangjin:
„Siangjin, apakah sahabat2mu yang kau undang itu sudah lengkap hadir semuanya?"
Ceng Bo dapatkan bahwa sahabat2 yang diundang itu boleh dikata sebagian besar sudah
datang, maka menyahutlah dia: „Entah cinyin hendak memberi pesan apa, fihak kami
sudah hadir semua."
Ang Hwat mendengus. Ratusan mata ditujukan kearah kepala gereja Ang-hun-kiong itu
untuk mendengarkan apa pembicaraannya.
Dalam perjamuan itu ternyata Ceng Bo telah berhasil mengundang beberapa tokoh
persilatan dari berbagai daenzh. Jadi perjamuan itu merupakan suatu pertemuan tokoh
persilatan yang jarang terjadi. Maka berkatalah Ang Hwat Cinyin kemudian :
„Pertandingan silat pada, hari pehcun ini, sebenarnya adalah antara murid angkatan ke
3 dari gereja ini lawan ketua kedua Thian Te Hui dan murid dari Ceng Bo Siangjin
Menantang bertanding ilmusilat, sesungguhnya adalah suatu persoalan kecil. Tapi
mengapa Ceng Bo siangjin telah mengundang sekian banyak tokoh2 persilatan. datang
kemari ? Apakah maksudnya hendak merobohkan pendirian gereja kami yang sudah ber-
puluh2 tahun ini"
Ceng Bo dapat menduga kemana arah tujuan kata2 tuan rumah itu, jalah hendak
menimpahkan segala kesalahan pada fihak tetamu, agar dalam pandangan kaum
persilatan menuduh Ceng Bo mempunyai maksud tertentu 'untuk merebut gereja Ang-
hun-kiong. Se-kali2 bukan berjuang untuk kepentingan rakjat. Maka berdirilah Ceng Bo
dari kursinya dan berkata dengan nada berat: „Kedatangan kami kegereja Ang-hun-kiong
ini; pertama-tama hendak menyelesaikan dendam kesumat para pejoang rakjat terhadap
murid cinyin jalah The Go itu. Kedua, setelah urusan ttu selesai, dalam pertemuan ini
kami hendak membangun lagi Thian Te Hwe untuk melanyutkan perjuangan melawan
penyajah Ceng. Soal itu tak mempunyai hubungan dengan cinyin dan kini mari kita
kembali kepersoalan The Go. Biarlah para hadirin disini sama mendengar jelas tentang
kedosaannya. Diantara sekian kejahatan yang dilakukan dalam dunia persilatan, yang
paling besar jalah sebagai orang Han dia telah sudi ber-hamba menyadi budak penyajah
Ceng dengan menyediakan diri sebagai penyuluh membawa tentara Ceng masuk
kewilajah Kwiciu. Dunia persilatan tak dapat mengampuni adanya bebodoran macam
begitu!"
Ceng Bo hanya mendamprat The Go, tapi dalam pendengaran Ang Hwat, tiap patah kata
dari siangjin itu bagaikan duri tajam yang menusuk ulu hatinya. Sehabis mendengarkan
kata2 orang, mukanya yang sejelek itu telah berobah' makin menyeramkan. Dia tertawa
dingin: „Begitu gagah perwira siangjin ini menyual jiwa pada pemerintah Beng, tidakkah
itu juga berarti menyadi kaki tangan kerajaan tersebut ?"
Ceng Bo mendongak tertawa keras, serunya: „Menentang penyajah Ceng, setiap orang
Han mempunyai kewajiban. Kalau kerajaan Beng betul2 memperhatikan kepentingan
rakjat, kamipun tak segan2 untuk menggabungkan diri. Walaupun tidak demikian, asal
rakjat berdiri dipihak kita, dan bersatu melawan penyajah, maka kita takkan terpatahkan
se-lama-2nya !"
Kata2 ber-api2 dari Ceng Bo siangjin itu disambut dengan gelora tepukan sorak sorai dari
para orang gagah. Namun wajah Ceng Bo tetap tenang, tak mengunyuk kesombongan.
Kembali Ang Hwat menyambutnya dengan sebuah tertawa dingin, kemudian berkata:
„Kata'' yang tiada berguna, lebih baik yangan dikeluarkan. Silahkan siangjin mengatakan,
bagaimana urusan ini hendak diselesaikan!"
Habis berkata, Ang Hwat segera duduk kembali sebaliknya Ceng Bo merenung dalam2.
Pikirnya, tiada dengan kekerasan, persoalan ini takkan selesai. Namun kalau
menggunakan kekerasan, meskipun berjumlah banyak tapi hanya sedikit sekali orang2
difihaknya yang mempunyai kepandaian berarti. Sedangkan fihak tuan rumah telah
mendapat tambahan tenaga dua orang tokoh sepasang suami-isteri Swat Moay dan Hwat
Siau yang chusus dikirim oleh pemerintah Ceng sebagai perintis untuk masuk kewilajah
Kwiciu lagi. Disamping itu masih ada lagi kaki tangan pemerintah Ceng yang menurut
Yan-chiu sudah berkumpul digereja sau dengan menyaru sebagai tosu. Kalau kawanan
kaki tangan musuh itu mengunyukkan diri, itu sih mudah diselami kekuatan mereka.
Tapi yang mencemaskan, sampai pada saat ini mereka masih menyembunyikan diri, jadi
sukar diduga gerak geriknya.
Ratusan mata telah ditujukan kearah diri siangjin itu, siapa nampaknya belum dapat
mengambil suatu keputusan yang dirasa tepat. Dia cukup sadar, sekali salah jalan akan
hancur binasalah tiang sendi pejuang kemerdekaan itu dibasmi oleh musuh. Pecahnya
Thian Te Hwe, bobolnya ke 72 markas Hoasan, semua karena salah jalan. Kegagalan itu
harus merupakan pelajaran bagi perjuangan sekarang dan kemudian hari. Lewat sejenak
kemudian, achirnya barulah Ceng Bo siangjin berkata: „Dalam pertempuran pada 4 hari
yang lalu, muridku dengan The Go masih belum ada kesudahannya. Sebaiknya kedua
orang itu bertempur lagi sajalah!"
Mendengar kata2 suhunya itu, Tio Jiang serentak bangun, tapi Ang Hwat mencegahnya:
„Tunggu dulu!" Ketika semua hadirin tampak keheranan, barulah Ang Hwat kedengaran
berkata pula dengan pe-lahan2: „Bagaimana kalau menang dan bagaimana kalau kalah
?"
Kini Kui-ing-cu tak dapat bersabar lagi, serunya: „Kalau The Go kalah, yangan harap The
Go masih bernyawa lagi! Kami setiap orang akan mengunyah dagingnya!"
„Kalau dia menang? !" tanya Ang Hwat dengan tetap jumawa.
„Terserah padamu!" sahut Kui-ing-cu.
„Baik! Go-ji, keluarlah ketengah gelanggang!" seru Ang Hwat kepada The Go, siapa segera
berbangkit dari tempat duduknya. Itu waktu dia mengenakan pakaian mahasiswa yang
disulam indah sekali, ikat kepala yang bertaburkan permata dan sepasang sepatu yang
bagus. Wajahnya berseri gemilang, matanya bagai sebuah bintang kejora, sikapnya gagah
ke-agung2an. Benar2 dia itu seorang pemuda yang tampan dan gaja. Siapakah yang akan
mengira, kalau dia itu adalah seekor serigala yang berselimutkan kulit domba?
„Engkoh Go, hati2lah!" sepasang mata Bek Lian. berkicup mesra meraju pesan.
„Suko, yangan lepaskan dia lagi!" juga disebelah sana Yan-chiu menitipkan pesannya
kepada sang suko. Tio Jiang tahu bahwa pertempuran hari itu, beriklim genting penting.
Tujuh puluhan jiwa orang gagah dari dunia persilatan dipertaruhkan kebahunya.
Kini kedua seteru besar itu, saling berhadapan muka dengan muka. Mereka saling
bertukar pandangan mata yang tajam. Dalam pandangan seorang achli, walaupun
dandanan dan wajah The Go itu menyolok dan menarik perhatian orang, namun tak
dapat menandingi perbawa kegagahan anak Lo-hu-san yang serba sederhana itu.
The Go melolos kuan-wi-kiam dan Tio Jiang mencabut yap-kun-kiam. „Harap siap!" kata
Tio Jiang. Dia tak pandai bicara, apalagi memang tak ingin bicara banyak2. Begitu gitu
memperingatkan lawan, dia segera menusuk. Tring .......... The Go menangkis dengan
pedangnya yang ditujukan kebagian gigir pedang lawan. Agaknya dia tak memandang
mata pada Tio Jiang. Kalau lain orang, tentu akan sudah naik darah diperlakukan begitu.
Tapi tidak demikian dengan Tio Jiang. „Biar kau membawa tingkah bagaimana, juga,
harini aku harus mengalahkanmu!" pikirnya. Dia cepat tarik pulang yap-kun-kiam, lalu
diputar menyadi sebuah lingkaran sinar, dan tiba2 ujungnya menusuk ketenggorokan
The Go.

(Bersambung Ke Bagian 39)


BAGIAN 39
MAUT MULAI MENGINTAI

The Go bersiul nyaring, pundaknya bergerak dan tubuhnya berputar menghindar. Dia
tidak mengetahui kala itu Tio Jiang sudah memainkan To-hay-kiam-hwat, maka sengaja
dia masih main aksi. Tio Jiang telah mendapat kemajuan besar dalam pejakinannya
ilmupedang. Jurus pertama tadi adalah „Tio ik cu hay". Jurus itu mempunyai 7 gerak
serangan berisi dan 7 serangan kosong. Kesemuanya itu telah difahami olehnya.
Memang sepintas pandang, ketujuh jurus dari ilmupedang To-hay-kiam-hwat itu, yang
satu makin lihay dari yang lain, Tapi dalam soal gerak perobahannya, adalah
kebalikannya, jalah jurus pertama adalah yang paling lihay sendiri dari keenarn jurus
lainnya. To-hay-kiam-hwat, adanya dapat menyagoi dalam dunia perpedangan, adalah
disebabkan susunan runtutannya yang aneh dan dibalik itu. Kalau ketujuh jurus itu
dimainkan berulang kali, lawan akan sukar menangkap intisari keindahannya. '
Karena pernah bertempur dengan Tio Jiang, The Go menganggap dia cukup faham akan
ilmupedang lawan. Dia mengira kalau jurus pertama „Tio Ik cu hay" itu biasa saja, tiada
mempunyai keistimewaan apa2. Maka dalam menghindar tadi, dia sengaja tempatkan
dirinya hanya seperempat meter dari ujung pedang lawan. Maksudnya dia hendak unyuk
demonstrasi kelincahannya. Tapi begitu Tio Jiang balikkan tangan, dia segera dikaburkan
oleh sinar pedang Tio Jiang yang berkelebatan memenuhi segala jurusan. Baru kini dia
(The Go) gelagapan dan terus hendak loncat keluar dari kalangan, tapi ternyata sudah
terlambat. Terpaksa dia menangkis dengan pedangnya. Tio Jiang cepat robah gerakannya
dalam jurus Boan-thian-kok-hay. Begitu indah dan cepat pedang yap-kun-kiam itu
seperti muncul dari punggungnya, sehingga The Go tak menyangkanya sama sekali, sret
........ tahu2 pundak The Go telah kesabet sampai terluka satu senti dalamnya.
Baru 3 gebrak mereka bertempur dan The Go sudah menderita luka. Sekalian hadirin
sama bersorak girang, sedang Ceng Bo sendiripun tak menyangkanya sama sekali. Juga
Tio Jiang sendiripun girang, namun wajahnya tetap tenang. Begitu maju, dia kirim lagi
sebuah serangan dalam jurus „Cing Wi tiam hay". Tapi kini The Go tak mau menderita
lagi. Belum lawan menyerbu datang, dia sudah pendakkan tubuh dan memainkan
ilmupedang Chit-sat-kiam-hwat. Sebuah lingkaran sinar hijau, maju menyongsong. Dua2
sama merangsang hebat dan trang........ belasan kali kuan-wi-kiam dan yap-kun-kiam itu
harus saling menguji ketajamannya. Nyata dalam, sekejap waktu saja, keduanya telah
bertempur tak kurang dari 20-an jurus. Bagi orang yang masih dangkal ilmunya, tentu
mengira kalau kedua pemuda itu bertempur mati2an. Tetapi sebaliknya Kui-ing-cu, Sin-
eng Ko Thay timbul kecurigaannya. Juga Ceng Bo mendapat kesan bahwa ada sesuatu
yang tidak beres.
Diantara sekian banyak macam senyata, pedang adalah yang paling sukar sendiri
dijakinkan. Juga ilmu permainannya paling kaja dengan gerak perobahan. Pada
umumnya, ilmupedang itu tentu berpokok pada „kelincahan" dan „ketangkasan". Kedua
seteru itu bertempur secara mati2an, jadi tentu saling menggunakan seluruh kepandaian
masing2. Ditilik dari nilai kepandaian kedua anak muda itu, tak nanti mereka begitu
sering membenturkan pedang pada pedang musuh. Tapi oleh karena mereka bertempur
secara rapat, maka hanya sinar dan bunyi benturan kedua pedang itu saja yang
kelihatan, dan bagaimana cara mereka menggunakan jurus masing2, sukar dilihat.
Memang dalam pandangan, pertempuran itu amat seru sekali. Para hadirin sama
menahan napas menyaksikannya. Kira2 7 atau 8 puluh jurus kemudian, barulah
keduanya 'tampak berpencar. Tampak wajah Tio Jiang agak terkejut heran, sebaliknya
The Go kelihatan tertawa iblis. Luka dipundak kirinya sudah tak berdarah lagi, hanya
separoh dari leher bajunya berlumuran darah. Selang beberapa jenak kemudian, Ti Jiang
putar pedangnya lagi, maju menusuk. Anehnya The Go sudah bergerak tak menurut
permainan ilmupedang lagi. Dia angkat pedangnya, menabas kebawah. Tio Jiang tak
menduga dan tak keburu pula untuk merobah gerakannya, trang........... lagi2 kedua
pedang mereka saling beradu.
Tio Jiang turunkan pedang kebawah, untuk membabat paha lawan, tapi yang hendak
dibabat itu cepat hadangkan pedangnya kemudian mencongkel keatas, trang........
kembali sebuah benturan terjadi. Kini baru sekalian orang menyadi jelas. Terdengarnya
berulang kali adu benturan senyata ketika kedua lawan itu bertempur rapat2 tadi,
tentulah dari perbuatan The Go yang rupanya sengaja menyalankan : iasat i.tu.
Kejadian itu mengherankan sekalian orang. Kalau siasat The Go itu dimaksud untuk
melelahkan tenaga Tio Jiang, terang salah besar. Karena nyata2 kini lwekang Tio Jiang
setingkat lebih tinggi dari The Go. Tapi mengapa dia berbuat begitu ?
Dalam waktu orang2 sama mencari jawaban atas dugaannya itu, kembali didalam
gelanggang terdengar belasan kali gemerontang dari suara senyata saling beradu. Kini
mau tak mau, Tio Jiang bercuriga juga. Lewat 20 jurus kemudian, Tio Jiang mendapat
pikiran. Terang kenyataaan membuktikan bahwa kini dia menang kekuatan dari lawan,
mengapa tidak menurutkan saja siasat lawan. Adu ja adu, tentu dia dapat memukul jatuh
senyata lawan. Dengan keputusan itu, dia tak mau menghindar lagi, tapi malah
menghantam senyata lawan. Me-lengking2 dering benturan kedua pedang pusaka itu,
sehingga membuat hati para hadirin turut bergetar.
Kini Tio Jiang menusuk lagi dengan jurus Hay-li-long-huan dan kembali The Go
hadangkan pedangnya untuk menangkis. „Bagus!" seru Tio Jiang sembari kerahkan
lwekang kearah lengannya, lalu mengibas se-kuat2nya. Tapi diluar dugaan, begitu saling
melekat, secepat itu pula The Go tarik pedangnya kebawah, hingga membuat Tio. Jiang
terhujung. Sjukur kini kepandaiannya bertambah pesat, jadi walaupun dalam gugup
masih dapat dia mempertahankan kakinya lalu kejarkan pedangnya kebawah untuk
menindas pedang lawan. The Go yang cerdik tak mau sia2-kan kesempatan sebagus itu.
Tenaga lawan tadi telah terbuang percuma dan kini baru mulai menghimpun lagi, maka
sebelum sempat mengerahkannya, dia sudah mendahului menangkiskan pedang keatas
se-kuat2nya kemudian berbareng itu dia pakai dua buah jari tangan kirinya untuk
menutuk jalan darah ki-bun-hiat yang terletak disebelah tetek lawan.
Bukan main terkejutnya Tio Jiang. Hendak menghindari tutukan orang, terang tak
keburu. Untunglah pada saat itu pedang mereka sudah saling menempel, maka dia
segera kerahkan lwekangnya untuk menindas pedang lawan sehingga The Go seketika
itu rasakan lengannya kesemutan nyeri sekali. Sudah tentu dengan sendirinya jari
tangan kirinya yang hendak dibuat menutuk tadi batal, berkat tekanan yang diderita oleh
tangan kanannya tadi. Kini dia pentang kelima jari tangan kiri untuk mencengkeram siku
tangan Tio Jiang. Cengkeram itu luar biasa sekali gajanya. Telunyuk, jari tengah dan jari
manis tepat hendak mengarah jalan darah yang-ko, yang-hwat dan yang-ti.
Karena sedang kerahkan lwekang untuk menindih tangan orang, maka Tio Jiang tak
mengira kalau lawan akan berbuat begitu. Terpaksa dia gunakan tangan kiri untuk
menabas, tapi dengan sebatnya The Go tarik lengannya kiri kebelakang. Kini sepasang
tangan Tio Jiang telah digunakan semua, jadi perhatiannyapun terpecah. Lubang
kesempatan itu, dipergunakan se-baik2nya oleh The Go. Dia kerahkan seluruh Iwekang
kearah pedangnya, berbareng itu kakinya menendang.
Tio Jiang menghindar kesamping, sembari hantamkan tangan kiri kedada orang. Tapi
pada saat itu The Go perhebat gerakannya pedang, hingga Tio Jiang rasakan tangannya
kanan kesemutan. Ketika dia hendak perkeras lwekangnya untuk menindih lagi, tangan
kiri lawan menangkis tangan kirinya hendak dibuat menghantam dada tadi, kemudian
malah terus hendak menutuk jalan darah cun-kwanhiat disikunya. Tio Jiang kibaskan
sikunya, tapi The Go berlaku nekad. Tak peduli separoh tubuhnya dapat dihantam
musuh, dia terus menyodokkan jarinya kemuka dan berhasil juga achirnya untuk
menutuk siku lawan itu. Seketika itu juga siku tangan kanan Tio Jiang serasa lunglai,
tanganpun kendor dan sekali sentak dapatlah The Go membuat pedang lawan terpental
keudara.
Tio Jiang terkejut sekali, cepat dia miringkan tubuh, kelima jari tangan kanan
mencenkeram dada orang, sedang tangan kiripun menghantam tepat mengenai pundak
kanan The Go, aduh........ sekali The Go mengerang kesakitan, tahu2 pedangnya kuan-
wi-kiampun terpental jatuh. Tio Jiang membarengi gerakkan kakinya untuk menendang
keluar pedang lawan itu. Sesosok bayangan hitam melesat menyanggapi kuan-wi-kiam.
Kiranya itulah Kiang Siang Yan yang sudah tinggalkan tempat duduk menyanggapi
pedang kesayangannya. Sementara pedang yap-kun-kiam tadipun dapat disambut oleh
Sin-eng Ko Thay.
Kini kedua anak muda itu tak mencekal senyata lagi. Rupanya pundak kanan The Go
yang termakan hantaman Tio Jiang tadi sakit sekali, sehingga tak dapat digerakkan. Jadi
turut nilai, Tio Jiang sudah menang. Namun wajah The Go tak mengunyuk rasa jeri. Oleh
karena pertempuran itu besar sekali artinya, jadi kesudahan tadi belum berarti
berachirnya pertempuran.
Tiba2 Bek Lian mengambil pedang kuan-wi-kiam dari tangan Kiang Siang Yan dan
berseru kepada The Go: „Engkoh Go, maukah kau terima pedang ini lagi ?"
Mendengar itu Yan-chiupun tak mau kalah hawa. „Suko, ini pedangmu, guratkanlah dua
buah luka pada tubuh manusia itu!" serunya. Tapi belum Tio Jiang menyatakan apa2,
dengan garang The Go sudah menyahuti tawaran Bek Lian tadi: „Lian-moay, tak usah
pakai pedang lagi. Karena sudah terlepas, masa masih tak sungkan menggunakannya
lagi?"
Mendengar itu, tiba2 Kui-ing-cu berseru tertahan: „Celaka ! "
Yan-chiu cepat2 menanyakan dan Kui-ing-cupun segera menyahut: „Bangsat itu
mendesak dengan kata2, supaja kedua fihak tak menggunakan pedang lagi. Entah dia
mempunyai simpanan apa yang lihay, maka begitu garang sekali!"
Teringat akan sesuatu, jantung Yan-chiu berdetak keras. Serangkum hawa dingin
menyelubungi dada sampai keujung kakinya, wajahnyapun pucat lesi. Kui-ing-cu
menyadi heran. Siwsanya nona itu sangat lincah, tak kenal takut. Mengapa kini tiba2
menyadi ketakutan sedemikian rupa ? Berpaling kearah gelanggang, dia dapati Tio Jiang
dan The Go masih saling tukar pandangan mata. Rupanya mereka sedang menghembus
napas, mengerahkan lwekang masing2. The Go berusaha menyalurkan lwekang supaja
lengan kanannya dapat digerakkan lagi. Sedang Tio Jiang tak henti2nya meng-gerak2kan
siku tangannya untuk membuka jalan darahnya yang kena tertutuk tadi.
„Siao-ah-thau, kau kenapa ?" tanya Kui-ing-cu berpaling kearah Yan-chiu: " Kalau Kui-
ing-cu tak menanyakan, paling banyak Yan-chiu hanya berdiam diri saja. Tapi begitu
ditanya, tiba2 mata sigenit itu ber-kicup2 dan mengucurkan dua tetes air mata. „Suko,
aku telah mencelakai dirimu.!" katanya sembari ter-isak2.
„Apa itu, lekas katakan. Mumpung masih ada tempo, kita bisa cari daja!" desak Kui-ing-
cu.
„Ceng-ong-sin! Ceng-ong-sin!" Yan-chiu mengoceh seperti orang gila. Mendengar itu,
Ceng Bo siangjin dan lain2nya sama terkesiap kaget. Benar juga ketika mereka
memandang kearah gelanggang, dilihatnya The Go sudah mengeluarkan sepasang sarung
tangan hitam.
„Siaoko, lekas lepaskan bajumu!" seru Kui-ing-cu dengan gugup, Tio Jiang heran, tapi
demi didengarnya suara Kui-ing-cu tadi mengunyuk kecemasan, diapun menurut. Baru,
dia lepas baju, disana The Go sudah mengeluarkan sebuah bumbung bambu. Sekali
menyentil tutupnya, maka seekor ular tiok-yap-ceng (hijau daun) sebesar jari tangan,
segera menyulurkan kepalanya keluar. Secepat kilat The Go segera ulurkan tangan untuk
mencengkeram ekor ular itu. Ular itu menggeliat dan menyulurkan kepalan ja keatas
hendak merangsang muka The Go, tapi dengan sebat sekali The Go, kibaskan tangannya,
sembari maju kemuka. Kibasan itu tepat sekali, ular tak dapat menggigit mukanya
tapipun tak sampai remuk tulangnya (siular). Begitu terkibas kemuka dan melihat Tio
Jiang, ular itu segera hendak memagut Tio Jiang, siapa dengan gugup menghindar.
Kini tahulah Tio Jiang mengapa Kui-ing-cu tadi menyuruhnya membuka baju. Dalam
tangan Tio Jiang, baju lemas itu dapat merupakan suatu senyata lihny yang apabila
dikebutkan dapat rpengeluarkan samberan angin yang dahsjat. Kala itu suasana
diperjamuan situ menyadi hiruk pikuk. „Jahanam, sungguh keji sekali kau. Masakan
benda macam begitu hendak dijadikan alat membunuh orang!" salah seorang yang
berangasan kedengaran memaki. Namun The Go tulikan telinga. Serangan pertama tak
memberi hasil, dia maju beberapa langkah kemudian ter-hujung kesamping dan sekali
loncat dia sudah berada dibelakang Tio Jiang. Ceng-ong-sin dikibaskan supaja menggigit
tulang punggung orang, siapa karena tak keburu berputar tubuh segera gunakan jurus
hong-cu-may-ciu ter-hujung2 kesamping. Kemudian dari situ, dengan gerakan kaki soh-
tong-thui, dia menyapu kaki lawan.
The Go tertawa mengejek. Ceng-ong-sin ditarik kebawah. Sedikit saja Tio Jiang ajal,
pahanya tentu akan rowak. Ini disebabkan karena tubuh ular itu mempunyai sisik tajam
yang berbisa sekali. Kecuali diobati dengan empedu dari ular itu sendiri, walaupun tabib
semasjhur Hwa To dari jaman Sam Kok hidup lagi, pun tak nanti dapat menolong jiwa
orang yang terluka.
Ternyata maksud keji The Go itu tak sampai mengenai sasarannya. Tapi diapun tak mau
berhenti sampai disitu saja. Secepat kilat, dia kibaskan lagi ular itu kemuka. Rupanya
setelah di-obat-abitkan beberapa kali oleh The Go, ular itu menyadi buas. Tanpa tunggu
sampai tangan The Go mendorongkannya kemuka, otomatis ular itu sudah merangsang
kemuka. Sebelum Tio Jiang sempat mengebutkan baju, ular itu sudah menggigit pada
celananya.
Saking terkejutnya, Ceng Bo siangjin dan kawan2nya serentak sama berbangkit. Malah
Yan-chiu sudah menyerit keras: „Jiang suko!" Sekali tangannya menekan meja, ia segera
melesat maju.
„Manusia iblis macam begitu, mana boleh dibiarkan hidup didunia persilatan!" berbareng
itu terdengar suara makian dan se-konyong2 seorang gemuk pendek, loncat kemuka
dengan menghunus golok.
Kala itu Tio Jiang rasakan celana kakinya mengencang dan bulu kakinya berdiri. Tapi
dalam pada itu dia rasakan daging betisnya masih tak merasa sakit, maka secepat kilat
dia menarik kuat2 kebelakang, wekkk........ celana kakinya telah robek dowak2, namun
untung betisnya tak sampai termakan ular. Keringat dingin mengucur membasahi
tubuhnya.
The Go heran dibuatnya mengapa lawan masih bisa lolos. Tapi segera dia tahu sebabnya,
jakni gigitan mulut siular tadi tak sampai kebagian daging, hanya kurang beberapa dim
jaraknya. Sedang Yan-chiu serasa longgar sekali dadanya dari himpitan sebuah batu
besar, jantungnya berdebar2 seperti hendak loncat keluar. Ia terkesiap diam, termangu2
berdiri disitu. Tapi silelaki gemuk pendek tadi maju terus dan datang2 lalu membacok
The Go. Baru saja goloknya diangkat, se-konyong2 ada segumpal asap merah meluncur
pesat sekali kearahnya. The Go dan Yan-chiu yang kenal akan barang lihay, buru2 loncat
menghindar. Tidak demikian dengan sigemuk pendek tadi. Dia masih enak2 berdiri
ditempatnya, tapi pada lain saat, kedengaran suara jeritan seram dan tubuh sipendek itu
terhampar, bum.......hanya sekali dia menggerang, terus diam tak berkutik lagi.
Kini sekalian hadirin sama mengetahui, bahwa gumpalan asap, merah tadi, ternyata
adalah tubuh Ang Hwat cinyin yang melesat laksana sesosok bayangan. Setelah cepat
membanting sipendek, cinyin itu tegak dengan tenangnya. Saat itu, dari salah sebuah
kursi, tampak ada seorang loncat kemuka gelanggang, lalu menubruk ketubuh pendek
yang sudah tak bernyawa itu, menangis tersedu sedih. Kini baru tahulah Ceng Bo siangjin
bahwa sigemuk pendek itu adalah tokoh persilatan dari daerah Kwisay. Dia bernama Jo
Ngo-long yang bersama sutenya digelari orang sebagai Chiu san song-kiat (sepasang
orang gagah dari gunung Chiu san. Yang menangisi jenazahnya itu, jalah sang sute
bernama Lau Hong.
Melihat kini Ang Hwat cinyin sudah turun kegelangang, semua orang sama berdiri dari
tempat duduknya. Kedengaran cinyin itu tertawa dingin, katanya: „Satu lawan satu, tak
boleh ada lain orang yang membantu. Orang itu telah merusak tata cara persilatan,
apalagi hendak turun tangan secara kejam, maka mati itupun sudah selajaknya!"
Jo Ngo-long dengan sebatang golok, bukannya tokoh yang tak ternama. Dalam dunia
perusahaan antar barang (piau kiok), namanya sangat terkenal. Perbuatan Ang Hwat
yang sudah membunuhnya tadi, telah menerbitkan kemarahan orang banyak. Tapi
karena cinyin itu dapat menindas kemarahan orang banyak dengan kata2nya yang tajam,
terpaksa sekalian orang tak dapat berbuat apa2 kecuali menahan diri.
Namun Lou Hong tak dapat bersabar. Tak peduli Ang Hwat cinyin itu bagaimanapun
lihaynya, tapi karena suhengnya dibinasakan orang, dia kalap betul. „Ang Hwat loto,
orang she Lau hendak mengadu jiwa dengan kau !" serunya sembari maju menyerang
dengan sepasang poan-koan-pit.
Melihat itu sekalian orang gagah hendak mencegah tapi sudah tak keburu.
Ang Hwat tenang2 saja berdiri ditempatnya. Begitu sepasang pit Lau Hong tiba
didadanya, Ang Hwat gerakkan tangannya dan tahu2 sepasang pit kepunyaan lawan itu
sudah pindah ditangannya. Kalau Lou Hong mau sudah dengan begitu saja tentulah
takkan sampai mengalami hal2 yang mengenaskan. Tapi dia sudah terlanyur umbar
kemarahan, tekadnya sudah bulat untuk mengadu jiwa.

GAMBAR 71
Sungguh celaka bagi Lau Hong, bukannya Ang Hwat Cinyin
roboh kena pukulannya, sebaliknya ia sendiri yangi kena
disengkelit kelantai hingga terbanting mampus.

Dia ajunkan kepalan kanan untuk menyotos dada Ang Hwat, bluk............ suaranya
seperti memukul kaju lapuk, dan lengan Lau Hong itu terkulai kebawah. Masih dia tak
mau sudah, tangannya kiri menyusul menampar muka Ang Hwat. Kali ini Ang Hwat tak
mau memberi ampun lagi. Sekali sawut tangan orang, dia segera melontarkannya. Ada
beberapi orang gagah hendak maju menolongi, tapi sudah kasip karena cara Ang Hwat
menggerakkan tangannya tadi sungguh istimewa. Lau Hong tergelapar jatuh dilantai,
tiada bernyawa lagi. Tulang belulangnya remuk.
„Siapa yang berani hendak membantu kedua orang yang bertempur itu, akan mengalami
nasib serupa dengan kedua orang ini. Barangsiapa yang tidak terima, silahkan tampil
kemuka, pinto bersedia untuk menemani main2 beberapa jurus!" Ang Hwat cinyin
sumbar2 dengan suara nyaring.
Kumandang suara cinyin itu disambut dengan hening diseluruh medan perjamuan itu.
Setiap orang insjaf bukan tandingan Ang Hwat, jadi sama berdiam diri. Hanya Ceng Bo
siangjin seorang diri yang berpendapat lain. Kalau saat itu dia tak unyuk diri, kelak
bagaimana dia hendak berjumpa dengan orang2 persilatan? Terang dia bukan
tandingannya Ang Hwat, tapi dia tak boleh tinggal diam saja karena takut mati. „Yang
satu tadi karena salah hendak membantu orang bertempur, harus dibinasakan. Tapi
untuk orang yang kedua, mengapa juga diperlakukan sedemikian kejamnya ?" serentak
dia berseru lantang.
Ang Hwat tertawa ter-kekeh2, sahutnya: „Siapa yang suruh dia tak tahu diri, berani
kurang adat pada pinto. Apakah siangjin tidak puas ?"
Ang Hwat mempunyai perhitungan yang amat cermat. Dia tahu walaupun bukan yang
tergolong lihay sendiri, tapi peribadi Ceng Bo itu mempunyai wibawa besar yang secara
otomatis menempatkan dirinya sebagai pemimpin dari para orang gagah yang hadir
disitu.
Mereka adalah anasir2 penentang pemerintah Ceng. Kalau Ceng Bo dilenyapkan,
persekutuan mereka tentu goncang. Dan ini suatu pembuka jalan untuknya memperoleh
pahala dari pemerintah Ceng. Maka sengaja dia pancing siangjin itu dalam suatu
pertempuran.
Juga Ceng Bo tetap berpegang pada pendiriannya tadi. Sekali enyot, dia melesat maju.
Kui-ing-cu dan si Bongkok insjaf bagaimana pentingnya peran Ceng Bo dalam
membangun Thian Te Hwe nanti. Kala Ceng Bo menyatakan suaranya tadi, mereka sudah
amat gelisah. Mereka jakin, siangjin itu tentu berpantang mundur. Maka begitu
menampak Ceng Bo hendak bergerak maju, mereka berdua segera hadangkan tangan
hendak mencegah. Namun rupanya Ceng Bo sudah bulad tekad, yap-kun-kiam
dikibaskan kekanan kiri untuk memapas kedua lengan bajunya yang dipegangi oleh
kedua tokoh tadi, lalu terus loncat ketengah gelanggang.
Kui-ing-cu makin gugup. Dalam keadaan seperti saat itu, dia tak mau main pegang
aturan macam apa saja, lalu loncat mengikuti Ceng Bo. Tapi se-konyong2 Ceng Bo
lintangkan pedangnya sembari berseru: „Siapapun tak boleh ikut2an !"
Kui-ing-cu terkesiap, sedang Ceng Bo melanyutkan lagi kata2nya: „Walaupun
pertempuran saat ini bukan lagi bersifat adu kepandaian menurut kebiasaan orang
persilatan, namun peraturan tetap peraturan, tak boleh dilanggar. Harap sekalian
sahabat turut menyaksikan saja, yangan ikut camnur!"
Kui-ing-cu tak dapat berbuat apa2 lagi, melainkan terpaksa duduk. Dia dan si Bongkok
menganggap, siangjin itu terlalu memegang teguh sifat ksatryaannya. Semua mata dari
yang hadir, ditujukan kearah Ceng Bo dan Ang Hwat. Saat itu The Go sudah menyimpan
ceng-ong-sin, sedang Tio Jiangpun menyisih kepinggir. Sembari mencekal pedangnya,
Ceng Bo memberi hormat: „Cinyin, silahkanlah!"
„Harap siangjin mulai lebih dahulu," Ang Hwat pun membalas hormat seraja
menyilahkan. Suasana dalam medan perjamuan itu menyadi genting. Semua orang tahu
bahwa Ceng Bo tentu kalah. Tio Jiang gelisah bukan main.
Dia memandang kearah Bek Lian, hatinya makin pedih geram, karena suci itu hanya
selalu memperhatikan The Go saja, sedikitpun tak ambil mumet akan keselamatan
ajahnya. Malah ibunya (Kiang Siang Yan) yang walaupun sorot matanya dingin, tapi mau
juga mengawasi kearah Ceng Bo.
„Maaf!" seru Ceng Bo sembari maju menusuk. Ang Hwat rangkapkan kedua tangan, lalu
mendak kemuka hendak menutuk jalan darah than-tiong-hiat lawan. Dengan cepat Ceng
Bo tarik pulang pedang dan mundur setindak.
Pedang diputar dalam bentuk lingkaran sinar dan dengan jurus „Ceng Wi tiam hay", dia
lancarkan serangan yang kedua. Ang Hwat tetap tak mau menyingkir, sekali tangan
menghantam kemuka, serangkum angin menderu dahsjat hingga seketika itu Ceng Bo
rasakan tangannya kesemutan dan pedangnya hampir saja terlepas. Buru2 dia kerahkan
tenaga untuk mencekalnya erat2, tapi ujung pedang mencong arahnya.
Ang Hwat tak tahu kalau Ceng Bo baru saja hamburkan lwekang untuk menolong Sik
Lo-sam. Demi diketahui kepandaian Ceng Bo hanya begitu saja, dia tertawa gelak2,
serunya: „Kukira Hay-te-kau itu sungguh2 lihay, kiranya hanya sebuah kulit kosong
saja!"
Karena pedangnya miring, dada Ceng Bo terancam dengan tutukan jari lawan, maka
terpaksa dia mundur lagi beberapa tindak. „Hay-te-kau ternyata hanya bernama kosong
saja, tak lebih dari kekuatan sebuah jari tanganku saja!" kembali Ang Hwat menghina
lawan. Walaupun tahu Ceng Bo diperlakukan begitu, namun sekalian orang tak berani
turun tangan. Lebih2 Tio Jiang, dia seperti semut diatas kuali panas.
Mendapat angin, Ang Hwat tak mau sungkan lagi. Sekali melesat, dia meneryang lagi.
Tapi Ceng Bo segera menyambutnya dengan 3 buah jurus permainan pedang, Ang Hwat
tak berani gegabah hantam kromo. Dia berhenti sebentar untuk mengirim sebuah
pukulan lwekang. Tapi 'dengan se bat sekali Ceng Bo teruskan lagi dengan 3 buah
serangan berantai. Tio Jiang tak mengerti letak kelihayan dari ke 6 serangan berantai
sang suhu itu. Juga diseluruh medan perjamuan itu tak seorangpun yang tahu kecuali
Kiang Siang Yan seorang. Itulah salah suatu gerak perobahan yang paling sakti dari
ilmupedang To-hay-kiam-hwat. Dari 3 dan 3, menyadi 7 dan 7. Kalau bukan Ang Hwat
cinyin, lain orang pasti sukar untuk menghindar dari serangan itu.
Mata Ang Hwat yang tajam segera mengetahui bahwa lwekang lawan itu lemah sekali,
maka dia melesat kesamping orang dan menghantam. Tapi kali ini Ceng Bo sudah
bersiap. Begitu samberan pukulan lawan tiba, dia cepat turunkan pedang terus
menusuk. Ang Hwat perdengarkan ketawa dingin, dan membalas dengan dua buah
hantaman lwekang lagi. Kedahsjatan pukulan itu, ibarat dapat menghancurkan batu
gunung. Seketika Ceng Bo rasakan ada suatu tenaga gempuran maha dahsjat
menyerangnya. Gojah lah kuda2. kakinya kena tergempur, lalu melejit kesamping.
Ang Hwat tak mau memberi hati, dia memburu maju untuk menutuk dengan sebuah
jarinya lagi. Untuk kesekian kalinya, terpaksa Ceng Bo mundur pula.

(Bersambung Ke Bagian 40)


BERSATU KEMBALI

BAGIAN 40.1
Ang Hwat nekad tak mau tarik pulang jarinya. Kakinya bahkan mengisar maju dan
gerakkan tangan kiri menghantam. Diburu oleh jari dan kepelan itu, Tieng Bo terpaksa
main mundur sembari bolang balingkan pedang untuk melindungi diri. Ber-turut2 dia
mundur sampai belasan tindak, jadi hampir separoh dari gelanggang itu habis sudah
diputarinya.

GAMBAR 72
Sekali Ang Hwat Cinyin bergerak, cepat ia merangsang maju. Tapi Ceng Bo Siangjin
sempat putar pedangnya sambil melangkah mundur.

„Entah bagaimana Hay-te-kau dapat memperoleh kemasjhuran nama itu ja ?!" kembali
Ang Hwat mengejek dengan tertawa.
Sudah sejak bergebrak tadi, Kui-ing-cu mendongkol sekali atas sikap kepala gereja Ang
Hun Kiong yang sedemikian sombongnya itu. Kali ini, tiba2 pikirannya tergugah. Buru2
dia melirik kearah Kang Siang Yan dan dapatkan nyonyah itupun unyukkan wajah
kurang puas.
„Semalam menyadi suami isteri, akan terkenang sampai mati". Rupanya hal itupun
berlaku pada Kang Siang Yan. Walaupun ia dapat dikelabui The Go sehingga marah
terhadap suaminya (Ceng Bo) yang disangka memusuhi Bek Lian dan The Go itu, namun
kecintaan suami isteri tak mudah dihapus begitu saja. Ah, masih ada setitik harapan,
demikian Kuli-ing-cu mengasah otaknya.
Pada saat keadaan Ceng Bo makin pajah dan gerakan pedangnya makin lambat seperti
tertindih tenaga berat, Kuiing-cu segera bertindak.
„Ang Hwat cinyin, kata2mu itu benar, Hay-te-kau memang hanya sebuah 'kantong nasi'
saja!" serunya.
Mendengar itu, sekalian orang sama terbeliak kaget. Sebaliknya diam2 Ang Hwat
gembira. Dia mengira, belum lagi dia jatuhkan Hay-te-kau, kini pikiran orang sudah
banyak berpaling haluan.
„Sudah tentu benar!" sahutnya.
Kui-ing-cu girang, pancingn ja sudah mulai termakan.
„Tapi aku tak habis mengerti, mengapa dahulu Tay Sian Siansu pernah menderita
kekalahan dari dia?" serunya pula.
Ang Hwat berkeputusan untuk menyelaskan pertanyaan Kui-ing-cu pada saat dan
tempat seperti waktu itu. Kala tidak, orang2 tentu masih menyunyung Ceng Bo dan tak
mengindahkan dianya. Kubu kekuatan anti penyajah Ceng, bagaikan rumput liar yang
sukar dibasmi habis. Benar dengan terbasmi rombongan Ceng Bo, kekuatan gerakan itu
akan terpatahkan sebagian, tapi alangkah baiknya kalau tenaga2 itu dapat digunakan
lagi untuk kepentingan barisan kontra perlawanan itu. Dan inilah kesempatan yang
sebagus2nya untuk memikat mereka, demikian pikir Ang Hwat.
Sembari terus mendesak Ceng Bo, dia tertawa menyahut: „Itulah karena kelemahan Tay
Siang Siansu sendiri."
„Sepasang ilmu pedang hoan-kang-kiam-hwat dan to-haykiam-hwat, telah menggetarkan
dunia persilatan selama lebih 30 tahun lamanya, masakan hanya bernama kosong saja?
Ada sebuah pameo dalam dunia persilatan: Hay-te-kau - Kang Siang Yan, sepasang
pedang malang melintang didunia persilatan, hoan-kang (menyungkirkan sungai) to hay
(membalikkan laut) selama 30 tahun! Masakan kau tak tahu akan hal itu ?" Kui-ing-cu
tetap mengulur umpan.
Di-kili2 begitu, lupalah sesaat Ang Hwat bahwa Kang Siang Yan berada disitu, mulutnya
segera berlincah: „Apa itu sih, Hay-te-kau Kang Siang Yan! He, he, dalam pandangan
pinto (aku), mereka 'kantong nasi' semua!"
Kui-ing-cu hampir berjingkrak karena girangnya. Benar juga seketika itu bangkitlah Kang
Siang Yan dengan serentak. Wajahnya sudah menampil kemarahan hebat. Kui-ing-cu tak
mau sia2kan kesempatan itu. Dia siram lagi api kemarahan Kang Siang Yan itu dengan
minyak. Sembari tertawa ter-kekeh2 dia berseru nyaring2: „Amboi! Kiranya bukan hanya
Hay-te-kau seorang yang jadi 'kantong nasi', Ha......, haaa......, sungguh penipuan nama
besar2an! Ucapan cinyin sedikitpun tak salah, aku mengertilah sekarang!"
Hebat ilmu silatnya, aneh watak perangainya dan tajam juga lidahnya. Itulah tokoh Kui-
ing-cu. Tu lihat, Kang Siang Yan sudah „terbakar" olehnya.
„Ang Hwat cinyin, coba kau perdatakan siapa yang disini ini " seru Kang Siang Yan dengan
sinis.
„Mah, kau ini bagaimana ?" buru2 Bek Lian memperingatkan.
Juga The Go terkejut bukan alang kepalang dan cepat2 berseru : „Gak-bo !"
Kang Siang Yan anggap dirinya tak dibawah Ang Hwat. Dihina terang2an dihadapan
sekian banyak orang persilatan, mana ia mau tinggal diam saja.
„Diam!" bentaknya kepada Bek Lian dan The Go, sehingga kedua anak muda itu tak
berani bercuit lagi.
Saat itu Ang Hwat seperti digujur air dingin. Insjaflah kini dia kalau kena dipermainkan
oleh Kui-ing-cu hingga bikin marah pada Kang Siang Yan. Dengan gengsinya sebagai
datuk persilatan yang dimalui orang, masakan dia ada muka untuk menarik kembali
kata2nya yang sudah diucapkan dihadapan sekian banyak orang itu! Namun dengan
berbuat begitu, artinya dia membuka permusuhan dengan wanita yang lihay itu. Dalam
keadaan serba salah itu, sesaat tak dapat dia menyawab pertanyaan Kang Siang Yan tadi.
„Astagfirullah! Jadi Kang Siang. Yan dan Hay-te-kau itu 'kantong nasi' semua. Gila, baru
sekarang aku mengetahui!" Kui-ing-cu berseru tinggi-rendah dengan nada di buat2.
„Tutup mulutmu!" bentak Kang Siang Yan dengan murkanya.
Kui-ing-cu ber-kuik2 seperti babi hendak disembelih, serun ja: ',Oi...., oi....., mengapa.....,
kan bukan aku yang mengatakan tapi Ang Hwat cinyin! Semua orang sampaipun pintu
yang gagu itu menyadi saksinya. Kalau tak berani sama yang mengatakan, yangan
tumpahkan kemarahan padaku si 'kantong nasi' kecil lho!"
Pandai benar Kui-ing-cu ber-olok2, sehingga para hadirin sama menekan perut saking
gelinya. Api kemarahan Kang Siang Yan berkobar sungguh. Maju dua langkah kemuka,
ia berseru: „Ang Hwat imam tua, mengapa kau begitu tak memandang sebelah mata pada
orang ?"
Keadaan Ang Hwat seperti seorang gagu yang makan getah. Sakit, tapi sukar
mengatakan. Kalau dia diam tak menyahut, berarti akan kehilangan muka dan diam2
dianggap mengakui kesalahannya. Tapi pada lain saat, timbullah ke-angkuhannya.
„Ja, memang benar mengatakan, lalu bagaimana?" ujarnya dengan keras.
Sret......., tangan Kang Siang Yan sudah menyiapkan pedang, serunya: „Bagus! Imam tua,
biarlah kini kau ketahui bagaimana tempo dahulu Tay Siang Siansu menderita
kekalahannya.
---oo0oo---
(Bersambung Ke Bagian 41.2)
BERSATU KEMBALI

BAGIAN 40.2

Sebuah sinar bianglala ber-kilap2 dari atas kebawah melayang keulu punggung Ang
Hwat. Salah sebuah jurus dari ilmu pedang hoan-kang-kiam-hwat yang disebut pah-ong-
oh-kang sudah dilancarkan oleh Kang Siang Yan. Dan secara kebenaran sekali, ketika
perhatian Ang Hwat terpecah karena melajani percakapan tadi, Ceng Bo lancarkan
serangan pembalasan. Dan tepat dikala pedang Kang Siang Yan menari dalam gerak pah-
ong-oh-kang tadi, Ceng Bopun bergerak dengan salah satu jurus ilmu pedang to-hay-
kiamhwat yang disebut thio-ik-cut-hay.
Sudah 10-an tahun lamanya sapasang pedang pit-i-songhong-kiam itu tak muncul
didunia ramai. Kini" sekali muncul, mereka bahu membahu bersatu kembali. Kang Siang
Yang kini memiliki ilmu lwekang sakti thay-im-lian-seng. Sedang lwekang Ceng Bopun
sudah banyak kemajuannya, Maka gerak permainan sepasang pedang itu, jauh lebih
dahsjat dari 10 tahun yang lalu.
Ang Hwat hendak menghantam kemuka untuk menghalau pedang yap-kun-kiam, tapi
sesaat itu punggung terasa. disambar hawa dingin, kuan-wi-kiam hanya terpaut satu dim
dari kulit punggungnya. Sudah tentu dia tak jadi melancarkan hantamannya tadi itu.
Sjukurlah dia faham akan segala ilmu silat berbagai aliran, tambahan pula ilmunya
mengentengi tubuh sangat sempurna. Dengan gerak han-te-pat-jong, dia enyot kakinya
loncat lurus sampai setombak lebih tingginya. Kini dia tak berani bertempur dengan
tangan kosong lagi. Membarengi masih melayang diudara, cepat cabut sebuah benda dari
belakang punggungnya. Benda itu berwarna hitam legam, sebesar lengan orang, panjang
hanya setengah meteran. Entah benda apa itu. "
Melihat isterinya membantuinya, girang Ceng Bo sukar dilukis. Kala Ang Hwat masih
berada diudara, dia. segera berseru dengan pelahan: „Hong-moay!"
Dipanggil begitu, terkenanglah sesaat Kang Siang Yan akan kebahagiaan kehidupan
suami isteri mereka pada 10 tahun berselang. Tapi hanya untuk beberapa kejab saja
kenangan bahagia itu dirasainya, karena pada saat itu Ang Hwat sudah melayang turun
dan menutuk bahunya dengan benda hitamnya. Buru2 ia miring kesamping, lalu balas
menusuk.
Tapi ternyata tutukan Ang Hwat itu hanya gertakan saja. Begitu Kang Siang Yan
menusuk, buru2 dia putar tubuhnya untuk secepat kilat menutuk pada Ceng Bo.
Sebenarnya saat itu,demi dilihatnya sang isteri sudah bergerak dengan jurus kedua, Ceng
Bopun segera gerakkan pedangnya dalam jurus hoan-thian-kok-hay. Jadi sepasang
pedang itu, menyerang berbareng. Ang Hwat memusatkan, serangannya kepada Ceng Bo,
karena diketahuinya kepandaian siangjin itu lebih rendah dari Kang Siang Yan.
Membarengi dengan sebuah hantaman tangan kiri, benda hitam yang ternyata ber-buku2
(ros2an) se-konyong2 menyulur maju sendiri, hingga hampir saja Ceng Bo termakan,
kalau dia tak lekas2 menghindar. Tapi walaupun demikian, tak urung gerakan kakinya
menyadi kacau.
Sepasang ilmu pedang itu harus dimainkan dengan gerakan kaki yang tepat. Sedikitpun
tak boleh kacau atau selisih. Sayang kepandaian Ceng Bo tak menyamai Kang siang Yan
tadipun gagal tak menemui sasarannya.
Ang Hwat getarkan tangannya dan wut...... benda hitam berbuku itu lagi2 menyulur
setengah meter panjangnya menyerang Ceng Bo. Dalam keadaan terdesak itu, Ceng Bo
segera gunakan gerak thiat-pian-kio (jembatan gantung), tubuhnya telentang membalik
kebelakang. Hanya dua tiga dim saja senyata Ang Hwat itu lewat diatas dada Ceng Bo.
Setelah bangun, Ceng Bo segera lancarkan ceng-wi-tian-hay, jalah jurus ketiga dari to-
hay-kiam-hwat. Dan tepat pada waktunya; kebenaran juga Kang Siang Yanpun lancarkan
jurus yang ketiga pula. Ang Hwat terpaksa gunakan jurus Kwan Kong melolos jubahnya",
Ang Hwat ber-putar2 menghindar. Anehnya senyatanya benda hitam tadi, tahu2
menyurut sendiri pulang seperti sediakala panjangnya.
Oleh karena terpisah dekat sekali, jadi Kang Siang Yan dan Ceng Bo dapat melihat tegas
senyata aneh berbuku milik Ang Hwat itu. Oleh karena ujung senyata itu agak halus dari
bukunya, maka tahulah suami isteri itu kalau didalam senyata itu tentu dipasangi alat2
veer. Jadi sekali menekan, ujungnya dapat menyulur keluar sendiri, bukan han ja satu
dua buku, bahkan sampai tud juh delapan buku. Setiap buku panjangnya hampir
setengah meter. Jadi dapat dibayangkan betapa lihaynya senyata itu.
Kedua suami isteri itu saling mengicupkan ekor mata. Tigapuluh tahun berselang ketika
mereka baru turun gunung untuk masuk kedunia persilatan, senantiasa mereka
bertempur bahu membahu. Didorong oleh darah muda, mereka selalu bernapsu untuk
menang, dan untuk mencapai maksudnya itu mereka telah menetapkan kode dengan
kicupan ekor mata. Dalam setiap pertempuran, tak pernah mereka lupa akan kode itu.
Kini setelah 10 tahun berpisah, pertama kali bersatu kembali mereka sudah menghadapi
seorang musuh tangguh macam Ang Hwat. Teringat akan kode itu, mereka menyadi geli
sendiri.
Ang Hwat ter-longong2, dikiranya mereka itu terlalu keisengan saja bertingkah seperti
anak2. Disamping itu diapun menganggap orang terlalu memandang rendah padanya,
hingga kini dia berlaku sangat hati2 sekali. Dengan gerak jongliong-jut-chiu (naga hijau
menyulurkan cakar), dia loncat lagi sampai 2 meter tingginya, lalu memutar senyatanya
tadi. Dirinya se-olah2 terbungkus dalam lingkaran sinar, yang agak dekat tubuhnya
sinarnya hitam yang jauh dari dirinya, sinarnya ber-kilau2an. Panjang senyatanya itu tak
kurang dan 4 meteran. Yang per-tama2 terdesak mundur jalah Ceng Bo siangjin, sedang
Kang Siang Yanpun tak berdaja untuk maju mendesak.
Kini baru terbukalah mata sekalian orang, betapa lihaynya kepala gereja Ang Hun Kiong
itu. Kang Siang Yan - Ceng Bo siangjin, dua tokoh yang pernah menggemparkan dunia
persilatan, ternyata tak mudah untuk merebut kemenangan. Tanpa terasa mereka sama
leletkan lidah mengagumi.
Sedang diantara para peonton, adalah The Go yang paling bangga gembira.
„Lian-moay, kau ketahui tidak ? Senyata sucou itu disebut im-yang-pian (rujung im-
yang). Separoh bagian muka yang ber-kilau2an itu, terbuat dari besi murni, dapat
kencang dapat pula lemas. Dibawah kolong langit, tiada seorangpun yang dapat tahan
menghadapinya!"
Ucapan The Go itu tampaknya ditujukan pada Bek Lian, tapi pada hakekatnya, supaja
sekalian orang sama mengetahui hal itu. Mulut Bek Lian hanya mengiakan saja, namun
hatinya terjadi pertentangan hebat. Ia b---rlainan hal dengan sekalian orang itu.
Sebenarnya ia tak mempunyai hati sama sekali untuk berhamba pada pemerintah Ceng,
maupun untuk melawannya. la berharap ibunya menang, tapi demikian tentu akan
bermusuhan dengan gereja Ang Hun Kiong yang berarti pula menyulitkan hubungannya
dengan The Go. Namun kalau mengharap kemenangan difihak Ang Hwat, kecintaannya
terhadap sang ibu masih melekat dalam. Inilah faktor yang menyadi pertentangan hati
Bek Lian. Berat nian ia menimbangnya.
Sedang digelanggang sana, tampak Ang Hwat sudah. mempunyai gambaran jelas akan
kekuatan kedua lawann ja itu. Ceng Bo terang tak selihay Kang Siang Yan. Yang lemah
harus digempur dulu, demikian dia tetapkan rencana-nya. Tiba2 im-yang-pian berhenti
berputar sejenak, tapi siku kirinya menyodok Kang Siang Yan. "
„Bagus!" seru Kang Siang Yan, siapapun tak mau membabat dengan pedang tapi
melancarkan hantaman thay-imciang-nya yang hebat.
Tapi ternyata sodokan siku Ang Hwat tadi hanya gertak kosong. Begitu hantaman Kang
Siang Yan tiba, cepat2 dia tarik lengannya untuk menghadang, kemudian meminyam
tenaga dorongan Kang Siang Yang yang hebat itu, dia layangkan tubuhnya memburu
pada Ceng Bo, wut....., wut....., wut......, im-yang-pian menyulur, sampai lima enam meter
panjang. Ujungnya. yang melengkung runcing itu berhamburan memagut jalan darah i-
hu-hiat, tham-tiong-hiat, ki-kwat-hiat, ki-bun-hiat, hun-cui-hiat, khi-hay-hiat,
semuanya jalan darah besar dibagian dada dan perut orang. Antara i-hu-hiat dan khi-
hay-hiat jaraknya antara setengah meter, namun ujung pian itu dapat digerakkan sekali
gus untuk menutuknya. Dan yang lebih hebat lagi, tutukan itu bukan saja digerakkan
dengan tenaganya sendiri pun didorong juga oleh hantaman Kang Siang Yan tadi.
Ceng Bo gugup dan putar pedangnya dengan seru untuk melindungi dirinya. Tapi
ternyata Ang Hwat sudah memperhitungkan hal itu. Begitu lawan memutar pedang,
diapun segera melesat kesamping sembari gerakkan tangannya. Wut......, ujung pian itu
dapat melengkung untuk memagut punggung Ceng Bo. Maka betapa terperanyatnya
Ceng Bo ketika baru saja dia mainkan pedang atau pagutan ujung pian itu sudah
menghilang dengan tiba2. Pada lain saat dia rasakan punggungn ja ada angin
menyambar. Tahu bahwa musuh beralih menyerang dari belakang, namun dia tak
berdaja untuk secepat itu memutar tubuhnya. Diam2 dia mepgeluh.
Tapi sjukur disana masih ada Kang Siang Yan. Tahu sang suami terancam ba,haja, ia
segera bersuit nyaring, mat jam hantu meringkik. Dengan gunakan ilmu mengentengi t
ubuh untuk mengisar kaki dalam ilmu sakti thay-im-lianseng, tanpa menggerakkan kaki,
tahu2 tubuhnya sudah berkisar dibelakang Ceng Bo. Dengan Kut-cu-tho-kang, salah
sebuah jurus dari ilmu pedang hoan-kang-kiam-hwat, ia babat sepasang kaki Ang Hwat.
Dengan gemas Ang Hwat terpaksa batalkan tutukann ja kearah punggung Ceng Bo tadi,
karena harus loncat menghindar dari babatan pedang. Dalam pada itu, Ceng Bopun
sudah sempat memutar tubuh dan terus lancarkan serangan hay-li-long-hoan. Ini serasi
dengan sabetan Kang Siang Yan yang menggunakan jurus kut-cu-tho-kang tadi. Yang
satu membabat turun yang lain menyerang keatas.
Ang Hwat kebutkan lengan bajunya untuk menghalau serangan Ceng Bo, kemudian
lingkarkan im-yang-pian untuk membujarkan serangan Kang Siang Yan, sedang kakinya
segera dienyot loncat keluar dari kalangan pertempuran. Bahwa dia dapat berbareng
menangkis dua macam serangan, serta lolos dari kepungan yang sedemikian gencarnya,
menandakan bagaimana tinggi kepandaiannya itu. Para hadirin yang menyaksikannya,
sama mengucurkan keringat dingin.
Tio Jiang kepal2 tinyunya, sedang Yan-chiu membeliakkan matanya lebar2, mulutnya
komat kamit menggerutu sendirian. Tengah ia asjik memperhatikan jalannya
pertempuran itu, se-konyong2 bahunya terasa ditepuk orang. Kala itu Ceng Bo dan Kang
Siang Yan saling bertukar pandangan, kembali mereka berdua saling main mata. Yan-
chiu menduga bahwa suhu dan subonya itu tentu akan melancarkan serangan yang lebih
dahsjat lagi. Sudah tentu , ia curahkan seluruh pqrhatiannya untuk menyaksikan.
Mengira ada orang karena tak kelihatan lalu menepuk bahunya, Yan-chiu tanpa menoleh
kebelakang lagi, terus menyisih kesamping. Tapi kembali disitu, pahanya terasa dicubit
orang.
Cubitan itu sakit juga, hingga sebagai seorang gadis, gusarlah Yan-chiu karena malunya.
Cepat2 dia berpaling kebelakang dan hai, kiranya sikurang-ajar itu ternyata seorang to-
thong (imam anak2), sekira 12-an tahun umurnya. Demi melihat wajah to-thong itu
menyenangkan, Yan-chiu tak jadi marah tapi lalu memberi isjarat supaja anak itu yangan
mengganggunya lagi. Tapi to-thong itu segera menimpukkan segulung kertas kecil, terus
memutar tubuh berjalan pergi.
Yan-chiu yang cerdas segera mengerti bahwa anak itu tentu mempunyai urusan penting
tapi kuatir diketahui orang, jadi berbuat begitu. Buru2 dijemputnya gulungan kecil itu
lalu dibukanya. Kiranya disitu terdapat beberapa huruf yang berbunyi begini: „Cici, kami
mendapat kesulitan, lekas tolongi! - Hong."
Tiba2 teringat Yan-chiu bahwa sejak ia datang kegereja Ang Hun Kiong yang terachir ini,
ia tak berjumpa lagi , dengan Kuan Hong dan Wan Gwat, kedua imam anak2 yang
dikenalnya itu. Tanda tangan „Hong" itu, terang adalah Kuan Hong. Apa yang dinyatakan
„dalam kesulitan" itu, tentulah karena menunyuki ia (Yan-chiu) akan jalan dibawah
tanah dari gereja Ang Hun Kiong itu, maka sekarang mendapat hukuman berat.
Yan-chiu benar genit dan nakal, tapi ia, sudah mendapat gemblengan pendidikan budi
pekerti dari Ceng Bo siangjin, jadi terhadap budi dan dendam, dapatlah ia menarik garis
yang tajam. Memandang kesebelah sana, ternyata to-thong yang menimpukkan gulungan
surat tadi masih berada tak jauh dari, situ dan melambaikan tangan kepadanya. Serentak
berdirilah dia lalu menghampiri kesana.
Kala itu Ang Hwat cinyin sudah terlibat dalam pertempuran dengan Kang Siang Yan -
Ceng Bo lagi. Semua, orang sama menahan napas dan mencurahkan seluruh
perhatiannya, jadi mereka tak menghiraukan gerak gerik Yan-chiu lagi. To-thong itu
berjalan kesebelah barat dan. Yan-chiu tetap mengikutinya. Membiluk pada sebuah
ujung. dinding, barulah to-thong itu berhenti. Ternyata disitu keadaannya sunyi dengan
orang.
„Siao-totiang, apakah Kuan Hong dan Wan Gwat berdua menyuruhmu mencari aku?"
tegur Yan-chiu.
„Ja, yangan banyak bicara lagi, lekas ikut aku!" sahut to-thong itu dengan suara pelahan.
Demikianlah setelah. ber-biluk2 beberapa tikungan, tibalah Yan-chiu pada sebuah,
ruangan yang tak dikenalnya. To-thong itu masukk keda.lam: sebuah kamar, lalu
mengambil seprangkat pakaian tosu (imam) dan suruh Yan-chiu memakainya.
Dasar gadis nakal, Yan-t jhiu gembira sekali dengan permainan itu. Pakaian itu segera
dikenakan, rambutnya disingkap keatas, lalu memakai kopiah gereja. Ai, benar2 mirip
seorang tosu muda. To-thong itu cekikikan menahan gelinya. Begitulah to-thong itu
segera membawanya berjalan lagi. Membiluk ketimur menikung kebarat, beberapa orang
penghuni gereja itu dijumpainya, tapi tiada seorangpun yang curiga pada Yan-chiu.
Achirnya tibalah mereka pada sebuah thian-keng (halaman didalam rumah) yang tak
seberapa besar. Ditengah thian-keng itu terdapat sebuah perapian dupa terbuat dari
tembaga. Ditilik rupanya, alat itu sudah seribu tahun lebih umurnya. Disamping
perapian dupa itu tampak ada dua orang hweshio bertubuh tinggi besar tengah duduk
ber-cakap2 sambil menikmati arak.
To-thong itu segera menarik Yan-chiu kesamping.
„Cici, kau tadi melihat tidak ? Kuan Hong dan Wan Gwat berada dibawah perapian
pedupaan itu tadi!" katanya.
„Bagaimana dibawah situ bisa dibuat menutup orang?" tanya Yan-chiu.
„Karena disitu terdapat lubang terowongannya," sahut si to-thong.
Yan-chiu menyadi jelas. Ketika dilihatnya kedua penyaga imam itu masih enak2an saja
meneguk arak sehingga tak tahu akan kedatangan orang, Yan-chiu segera mendapat
akal. Dicabutnya tusuk kondenya, lalu dijentikkan dengan lwekang. Kedua imam itu
sedang sama mengangkat cawannya saling memberi toast (selamat), tahu2 jalan
darahnya suan-ki-kiat-telah kena ditutuk oleh tusuk konde. Bluk....., bluk....., tubuh
mereka sama menggelepar jatuh dan araknya bergelimpangan membasahi lantai.

GAMBAR 73
Sekali Yan Chiu yang sudah menyamar sebagai Tosu, mengajun tangannya, dua tusuk-
kondenya melayang dan robohlah kedua imam penyaga itu.

Sebat sekali Yan-chiu segera berlari menghampiri perapian tembaga itu, terus ditarik se-
kuat2nya. Tapi hai......, raganya seluruh tenaga telah dikeluarkan namun perapian itu
sedikitpun tak berkisar. Ia melampaui kearah to-thong tadi, siapa dengan memakai kain
penutup muka, ber-larian2 menuju kebelakang perapian itu, lalu menunyuk pada telinga
perapian yang sebelah kiri. Yan-chiu mengerti, lalu mendorongnya. Benar juga perapian
perdupaan itu segera berkisar kesamping dan terbukalah sebuah lubang, kira2 2 meter
besarnya.
Dengan diikuti oleh Yan-chiu masuklah to-thong itu kedalam. Ha, kiranya disitu
merupakan sebuah jalanan dibawah tanah, tingginya hampir setombak, dindingnya
terbuat daripada batu merah yang kokoh, penerangannya cukup. Ketika tiba diujung
jalan dan membiluk, tibalah mereka pada sebuah pintu besar yang memakai terali besi.
Didalam terali besi itu, tampak Kuan Hong dan Wan Gwat tengah digantung. Ketika
melihat kedatangan Yan-chiu, wajah kedua anak itu berseri girang lalu hendak berseru,
tapi ternyata tak dapat karena mulutnya tersumbat sebuah bola besi.
Melihat terali besi itu hanya sebesar jari tangan, Yan-chiu menaksir kekuatannya.
Dilekatkannya kedua tangannya pada dua buah terali. Lebih dahulu ia salurkan lwekang
ajaran suhunya (Ceng Bo), setelah tenaga dalam itu beredar, barulah ia kerahkan
lwekang ajaran Tay Siang Siansu dan mementangnya ....... amboi, terali itu melengkung
bengkok menurutkan pentangan tangan. Dengan kegirangan sekali, Yan-chiu segera
menyusup masuk, terus membuka tali borgolan kedua imam anak2 itu.
Serta merta Kuan Hong dan Wan Gwat jatuhkan diri ditanah berlutut, sembari
menghaturkan terima kasih kepada Yan-chiu.
„Ai...., sudahlah, yangan banyak beradatan, ajuh kalian lekas melarikan diri sana!" ujar
sito-thong kecil tadi. Tapi masih Kuan Hong dan Wan Gwat memandang kearah Yan-chiu
dengan sorot mata meminta pelindungan.
„Baiklah, kalian boleh lekas menuju ke Cin Wan Kuan di Lo-hu-san. Kalau urusan disini
sudah beres, aku tentu kesana juga!" kata Yan-chiu.
Kembali kedua anak itu menghaturkan terima kasih nan tak terhingga. Yan-chiu
sendiripun girang bukan kepalang karena telah berhasil menolongi orang. Begitulah
mereka berempat kembali menyusur lubang rahasia itu untuk muncul keatas. Perapian
dupa itu didorongnya menutup lagi dan tanpa menghiraukan apakah kedua, imam yang
tertutuk tadi mati atau hidup, mereka lalu tinggalkan tempat itu.
---oo0oo---
Bersambung Ke Bagian 41.3)
BERSATU KEMBALI

BAGIAN 40.3

Ketika tiba pada dua buah ruangan, tiba2 dari arah muka sana terdengar ada orang
berseru: „Chiu-yap, kau sembunyi dimana ? Tamu perlu pelajanan, yangan enak2
menghilang.
Kuan Hong dan Wan Gwat terkejut pucat wajahnya. Buru2 mereka menyelinap
bersembunyi kesamping. Yang dipanggil „Chiu-yap", adalah to-thong kecil yang menyadi
penunyuk jalan Yan-chiu itu. Juga to-tong kecil itu pucat lesi wajahnya dan hentikan
langkahnya. Karena tak kenal jalanan, Yan-chiupun ikut berhenti.
Pada lain saat muncullah seorang tosu, terus berseru dengan garangnya:
„Hai.....,kebetulan, ajuh lekas kalian berdua kesana. Yangan sembarangan jalan2 ke-
mana2, awas bisa dihukum dibawah penyara tanah ja!"
Ketika tosu itu muncul tadi, Yan-chiu buru2 tundukkan kepalanya. Sjukurlah tosu itu
tak mengamat-amatinya dengan perdata. Sedang Chiu-yap karena ketakutan tak dapat
ber-kata2. Adalah Yan-chiu yang cerdas tangkas itu, segera memberi penyahutan
mengiakan.
„Ajuh, ikut padaku!" seru tosu itu sembari berjalan. Jarak imam itu dengan Yan-chiu
hanya satu meter. Andai kata mau, mudahlah Yan-chiu untuk merobohkannya. Tapi
karena tadi imam itu mengatakan „sitetamu minta pelajan", timbullah pertanyaan dalam
hati Yan-chiu. Rombongan suhunya sudah berada diatas dan malah sudah bertempur
dengan tuan rumah. Pernah suhunya mengatakan bahwa pemerintah Ceng telah
mengirim beberapa orang jagoannya kelas satu ke Ang Hun Kiong. Ah, yang dimaksud
„tetamu" itu tentulah kawanan jagoan itu. Sampai saat suhunya bertempur dengan Ang
Hwat, jagoan2 itu masih belum menampakkan diri, mengapa ia tak mau gunakan
kesempatan eebagus itu untuk men jelidiki keadaan mereka ?
Cepat2 ia memberi isjarat lambaian tangan pada Chiu-yap supaja yangan takut, namun
anak itu tetap terkalang lidahnya tak dapat berbicara. Setelah melalui dua buah ruangan,
tibalah mereka pada sederet gedung yang indah buatannya, mirip dengan kediaman
kaum hartawan.
„Jiwi cianpwe, to-thong yang akan melajani cianpwe sudah datang!" seru sitosu itu
sembari membungkuk.
Dari dalam rumah mewah itu, terdengar sebuah suara melengking, menyahut: „Suruh
mereka masuk kemari!"
Tiba2 tosu itu menabok kepala Yan-chiu, lalu memesannya: „Baik2lah melajani, didalam
situ adalah Hwat Siau dan Swat Moay yang termasjhur. Sucou turun gunung untuk
menyambutnya sendiri!" .
Bukan kepalang mendongkolnya Yan-chiu ketika mendapat persen tabokan itu. Tapi
demi didengar nama Hwat Siau dan Swat Moay, kejutnya bukan olah2. Terpaksa dia
tahankan amarahnya dan hanya deliki mata kearah tosu itu.
Tapi delikan matanya itu hampir sad ja menggagalkan rencanan ja.
„Siapa namamu, mengapa aku belum pernah melihatmu ?" tanya tosu itu karena curiga.
Yan-chiu seperti disengat kala. Tapi belum lagi ia memperoleh kata2 untuk men jahut,
dari dalam rumah kembali terdengar suara lengkingan yang menusuk daun telinga:
„Lekas masuklah!"
Karena sang tetamu agung yang mendesaknya, barulah tosu itu tak mau banyak
bertanya lagi lalu menyuruh Yan-chiu dan Chiu-yap masuk dengan lantas. Dengan napas
longgar, Yan-chiu segera menolak daun pintu masuk. Tapi ketika mengawasi kedalam
ruangan, matanya kembali terbelalak.
Kiranya alat perabot dalam gedung yang begitu mewahnya itu, hanya sebuah balai2 saja.
Dua orang tengah duduk bersila diatas balai2 itu. Yang seorang kepalanya lancip
rambutnya keriwis2 (jarang). Kalau tiada memakai sanggul, sepintas pandang orang
tentu mengiranya seorang lelaki. Ia mengenakan jubah warna hijau. Wajahnya juga
sangat aneh, putih ke-hid jau2an warnan ja, mirip dengan sebush majat hidup. Sedang
yang satun ja seorang lelaki bertubuh kurus, ja sedemikian kurusnya hingga tinggal
tulang terbungkus kulit sad ja. Dia han ja memakai celana panjang sad ja, tubuhn ja
bagian atas tak memakal bad ju. Tulang rusuknya menonyol-masuk aneh bentuknya.
Dadanya melesek, masuk, warna kulitnya sok2an, sok merah sok kuning tak
berketentuan. . '
Ketika memasuki ruangan itu, Yan-chiu merasakan suatu hawa yang panas. Tapi ketika
dia berkisar kesamping ternyata disitu terasa dingin, hingga hampir membuatnya
menggigil. Buru2 ia salurkan Iwekang untuk melindungi diri: Chiu-yap yang berdiri diluar
pintu, tak henti2n ja menggigtl.
Ketika Yan-chiu masuk, bermula kedua orang . aneh itu diam tak menghiraukan. Tapi
kemudian tiba2 wajah siorang lelaki itu mengund juk keheranan.
„Murid Ang Hun Kiong angkatan keberapakah kau In!?" tegurnya.
Otak Yan-chiu bekerja keras. Kalau menyebut angkatannya keliwat tinggi, tentu akan
menimbulkan kecurigaan mereka. Maka dengan chidmatnya ia segera menyahut:
„Angkatan ketiga!"
Orang itu mendengus dan meng-amat2i Yan-chiu dengan seksama, kemudian
memandang kearah Ciu-yap. Tiba2 dia tertawa ter-loroh2, suaranya mirip dengan ajam
betina yang habis bertelur.
Yan-chiu tak tahu apa yang digelikan orang itu. Namun ia rasakan bulu romanya sama
berdiri. Seluruh ruangan disitu serasa diliputi dengan suasana yang aneh. Diam2 Yan-
chiu menduga yangan2 kedua orang inilah yang disebut Hwat Siau dan Swat Moay itu.
Tapi tak tahu ia, yang mana Hwat Siau, yang mana Swat Moay itu. Selagi dia tengah
menimang2, ruangan itu makin lama makin panas rasanya.
Kiranya sembari ketawa itu, wajah siorang laki2 itu makin merah warnanya. Hawa yang
disemburkan dari mulutnya itu menyerupai uap panas yang dimuntahkan lava gunung
berapi. Apa boleh buat Yan-chiu terpaksa kerahkan lwekangnya untuk bertahan. Tapi
dalam pada itu tahulah kini ia, bahwa siorang laki2 itu tentu Hwat Siau adanya. Pernah
suhunya mengatakan, bahwa sepasang suami isteri itu mejakinkan ilmu lwekang im-
yang-cui-hwat-kang, yang satu Iwekang cui (air) yang lain lwekang hwat (api). Lihaynya
tiada tertara.
Sjukurlah tiba2 Hwat Siau hentikan ketawanya, Ialu menatap kearah Yan-chiu, ujarnya:
„Usiamu masih begitu muda apalagi hanya murid angkatan ketiga dari gereja ini, tapi
kau memiliki lwekang yang begitu bagus. Apakah sebelum menyadi murid disini kau
sudah memiliki kepandaian lain?"
Kini baru Yan-chiu tersadar bahwa pertahanannya dengan lwekang tadi telah dapat
diketahui orang. Kalau dirinya sampai ketahuan, ah celaka. Dengan mengucurkan
keringat dingin, buru2 ia menyahut: „Ja, memang benar begitu!"
Sekalipun Hwat Siau bercuriga, namun mengingat bahwa penyagaan gereja Ang Hun
Kiong sedemikian kokohnya hingga tak perlu dikuatirkan akan adan ja musuh
menyelundup, maka diapun tak mau mengurus lebih panjang. „Ambilkan dua baskom
air!" serunya.

GAMBAR 74
Menyangka Yan Chiu sebagai imam pelajan, Hwat Siau dan Swal Moay memerlntahkan
dia mengambilkan baskom berisi air guna melatih Lwekang mereka.

Yan-chiu lekas2 berlalu menghampiri Chiu-yap. Tak berselang berapa lama anak itu
datang dengan membawa dua baskom air, terus disambuti Yan-chiu.
„Yang satu letakkan dihadapanku, yang lain dihadapannya!" kembali Hwat Siau
memerintahnya.
Dalam kesempatan itu, Yan-chiu melirik kepada Swat Moay, siapa tampak masih
meramkan mata tiada ber-kata2. tapi ketika baskom diletakkan dihadapannya, iapun
segera mengetahui lalu masukkan tangannya kanan kedalam air. Hwat Siaupun berbuat
serupa.
Tak berselang lama, kedengaran Hwat Siau menyuruh: „Ambil baskom itu kesana dan
baskom itu kemari!"
Yan-chiu tak mengerti apa makaudnya perpindahan tempat itu, tapi ia pun mengerjakan
juga. Tapi ketika tangannya menyentuh air baskom dihadapannya Hwat Siau, buru2 ia
menarik pulang tangannya dan hampir saja mulutnya menyerit kesakitan.
Kiranya air baskom Hwat Siau panasnya seperti air mendidih, sedang air dibaskom Swat
Moay tadi dinginnya melebihi es. Sepanjang hidupnya, belum pernah Yan-chiu
menyaksikan ilmu kepandaian yang sedemikian ganasnya itu. Tapi ia tetap belum jelas,
bagaimana ilmu itu dipergunakan untuk menyerang musuh.
Kedua suami isteri itu memasukkan tangannya masing2. Air yang mendidih menyadi
dingin dan yang dingin menyadi mendidih. Ber-turut2 lima enam kali mereka saling tukar
secara begitu. „Latihan" itu berlangsung kira2 hanya satengah jam saja.
„Bikin repot kau lagi ni. Coba panggilkan ke 18 orang itu kemari dan setelah itu kau boleh
beristirahat!" kembali Hwat Siau memberi perintah.
Sungguh mati, Yan-chiu tak tahu apa yang dimaksudkan dengan „ke 18 orang itu". Tapi
dikarenakan ilmu kepandaian sepasang suami isteri itu sedemikian saktinya, iapun tak
berani banyak cincong. Ketika menghampiri Chiu-yap dilihatnya tubuh anak itu basah
kujup bersimpah peluh (mandi keringat).
„Cici, ajuh kita lekas melarikan diri saja!" bisik anak itu dengan nada gemetar.
„Mereka suruh kita panggilkan ke 18 orang, apa sih itu ?" sahut Yan-chiu. Tapi serta
mulutnya mengucap begitu, pikirannya terkilas sesuatu. Yang dimaksud dengan „ke 18
orang" itu, apa bukan ke 18 jagoan yang dibawa oleh kedua suami isteri itu sendiri ?
Dengan memanggil kawanan jagoan itu, terang kedua kepala jagoan itu hendak
mengadakan rundingan penting, jalah rencana untuk membasmi para kaum gagah yang
tergabung dalam rombongan Ceng Bo siangjin. Ah...., kalau sedemikian halnya, sungguh
bukan suatu hal yang kecil artinya. Biarpun nanti andaikata dirinya sampai kepergok
mereka dan menyadi korban, tak apalah. Pokok asal dapat menyelamatkan bencana yang
akan menimpa para pejoang kemerdekaan itu. Juga dalam hal itu, rasanya lebih penting
daripada rencananya untuk menolong Koan Hong dan Wan Gwat. Ja betapapun halnya,
ia harus dapat „mencari" dengar, rencana, mereka itu.
„Usah kau gelisah, bantulah aku untuk memanggilkan ke 18 orang itu. Ah...., urusan itu
penting sekali, ajuh lekas kesana!" Yan-chiu tambahkan lagi keterangannya, lalu ajak
anak itu cepat2 berlalu.
(Bersambung Ke Bagian 41)
RENCANA KEJI

BAGIAN 41.1

Dengan setengah menyeret Chiu-yap yang masih dengkelen (gemetar kakinya) itu, Yan-
chiu sampai didepan gedung disebelah tempat ruangan Hwat Siau dan isterinya tadi.
Kiranya rumah itu kosong, maka Yan-chiu segera ajak anak itu masuk dari jendela.
Setelah menutup daun jendela, ia lalu tempelkan telinganya pada dinding tembok yang
memisahkan ruangan itu dengan ruangan sebelah tempat Hwat Siau - Swat Moay tadi.
Ai, kiranya kedengaran juga pada saat itu Hwat Siau tengah pasang omong dengan
isterinya.
„Niocu, kali ini kalau kita dapat berhasil dengan usaha yang luar biasa hebatnya ini,
kaum persilatan diseluruh jagad, tentu akan tunduk pada kita," kata Hwat Siau.
„Koanyin, kata2mu itu benar adanya. Tadi kudengar laporan bahwa Ang Hwat cinyin
sudah bertempur dengan Hay-te-kau dan Kang Siang Yan. Biarkan mereka berkelahi
mati2an sendiri, kita tinggal enak2an memetik buahnya!" sahut Swat Moay.
Niocu berarti nyonyah, digunakan oleh seorang lelaki untuk menyebut isterinya. Dan
„koajin" berarti suami, bahasa sebutan yang diucapkan oleh seorang wanita kepada
suaminya:
„Niocu, belum2 yangan banyak bicara dulu, kita harus menyaga telinga diruangan
sebelah ini!" kata Hwat Siau. Yan-chiu seperti dipagut ular, tapi pada lain saat ia dapat
berlaku tenang lagi. Diam2 ia menyeringai urung, masa manusia macam begitu masih
berbicara dalam bahasa halus. Se-konyong2 dari luar terdengar derap kaki orang
mendatangi menuju keruangan Hwat Siau. Dari suara derap. kaki, terang ada beberapa
orang jumlahnya.
Hening sejenak.
„Bagaimana keadaaan diluar ?" tiba2 Hwat Siau memecah kesunyian.
„Masih bertempur!" sahut suatu suara yang mengguntur laksana genta.
Hwat Siau mendengus, tanyanya pula: „Apakah segala sesuatu sudah disiapkan
diterowongan itu ?"
„Sudah beres semua. Tinggal sekali sulut, sumbunya akan menyalar tepat kebawah
ruangan yang dibuat bertempur itu!" kembali siorang yang lantang suaranya itu
menyahut.
Lagi Yan-chiu tersentak kaget, malah kali ini jawaban atas terkaannya itu, disana
kedengaran Hwat Siau tertawa terkekeh2 macam iblis menangis, ujarnya: „Apabila
pekerjaan besar itu berhasil, Sip-ceng-ong tentu akan memberi hadiah besar. Saudara2
sekalian boleh menikmati hari tua dengan kesenangan dunia, maka harap sukalah
bekerja dengan hati2. Apakah tak perlu memeriksa sekali lagi ?"
„Ah, tak usahlah. Apabila cayhe (aku) yang memasang obat peledak sampai setengah
jalan macet, yangan panggil aku si Hwat-yok-ong (raja dinamit) lagi!'' kata lain orang yang
rupanya penasaran karena Hwat Siau tak memandang mata pada pekerjaannya.
Hwat Siau mengekeh lagi, ujarnya: „Harap cunke (anda) yangan meradang dulu. Sebelum
dapat menduduki wilajah Kwiciu, hati Sip-ceng-ong tetap belum puas. Dia taruh harapan
besar pada Li Seng Tong, tapi tiada tahunya orang itu mendadak sontak berpaling haluan.
Sudah tentu kedudukan Lam Beng kini agak kuat. Manusia penghianat macam begitu
harus dilenyapkan. Ang Hwat cinyin itu pun yangan sampai tahu rencana kita ini. Nanti
apabila saudara melihat pertempuran keatas lagi, begitu mereka sudah ber-tele2, harap
saudara2 lekas tinggalkan tempat ini dan menunggu aku dikaki gunung. Biarlah kami
yang menyulut dinamit itu sendiri, biarkan mereka habis ludas semua tiada seorangpun
yang dapat lolos. Setelah itu, nanti kita lakukan penyelidikan tempat harta karun kim-
jiang-giok-toh itu!"
Keheranan Yan-chiu makin men-jadi2. la baru tahu betapa ganasnya kaki tangan kaum
penyajah Ceng itu. Sampai pun Ang Hwat cinyin yang sudah jual tenaga untuk mereka
pun akan dibinasakan. Tentang harta karun kim jiang-giok-toh itu, belum pernah la
mendengarnya dari siapapun juga. Ah, sjukurlah ia „mencuri" percakapan mereka, kalau
tidak ai........ yang dimaksudkan dengan terowongan dibawah tanah itu, tentulah lubang
gua yang berada dibawah perapian perdupaan itu. Ah, kalau ia tak lekas2 bertindak,
tentu hancur binasalah semua orang gagah dan seluruh cindil abang gereja Ang Hun
Kiong itu! Dan yang penting baginya, sukonyapun akan turut sirna.
Yan-chiu tak mau berajal lagi. Setelah orang2 disebelah kamar itu sama pergi, ia segera
loncat keluar dari jendela. Tapi sampai sekian lama mencari kesana-sini, tak dapat ia tiba
ditempat perapian tadi. Makin gugup ia, makin tak dapat menemukan arah yang benar.
Yan-chiu sudah mandi keringat. Achirnya diputuskan untuk mencari seseorang guna
menanyakan jalan.
Tengah ia men-cari2 orang, tiba2 disebelah muka sana ada 3 sosok tubuh kecil, aha,
kiranya mereka bertiga adalah Kuan Hong, Wan Gwat dan Chiu-yap. Wajah ketiga anak
itu cemas sekali tampaknya dan baru agak lega ketika melihat Yan-chiu.
„Cici, kita tak dapat lolos !" seru mereka.
„Set...., yangan kesusu pergi dulu," sahut Yan-chiu dengan berbisik, „kita masih
mempunyai suatu tugas yang maha penting. Dimanakah letak mulut jalanan dibawah
tanah itu ? Apakah jalanan itu dapat menembus sampai dibawah ruangan pertempuran
itu ?"
Diluar dugaan ketiga imam anak2 itu sama menggeleng, sahutnya: „Yang kami ketahui
Jalah jalanan dibawah tanah itu sepanjang 30-an meter, jalah yang kita masuki tadi.
Adakah d jalanan itu bisa tembus sampai dibawah ruangan pertempuran, kami tak
mengetahuinya!"
Tiada lain jalan kecuali Yan-chiu ajak ketiga anak itu untuk masuk kedalam jalanan
terowongan dibawah perapian perdupaan tadi. Kiranya disitu kedua imam tadi masih
mendelik tiada berkutik. Tapi ketika Yan-chiu hendak masuk kedalam lubang
terowongan, tiba2 dari balik hiolo (tempat perdupaan) itu berkelebat dua sosok bayangan.
Masing2 terus menyerang dengan golok.
„Kura2 yang bernyali besar, berani melepaskan tawanan penting!" mereka mendamprat.
Karena tak bersiaga hampir saja Yan-chiu termakan golok. Untung Kuan Hong dan Wan
Gwat cepat menarik kedua kaki Yan-chiu untuk ditariknya keluar. Kiranya kedua
penyerangnya itu adalah dua tosu penyaga. Ketika tiba gilirannya untuk menyaga,
dilihatnya kedua kawannya sudah tak berkutik lagi dan tempat perapian dupa itu
berkisar terbuka. Mereka menyusup masuk dan dapatkan kedua tawanan Kuan Hong
dan Wan Gwat sudah lenyap. Buru2 mereka naik keatas dan justeru berpapasan pada
Yan-chiu Yang tengah hendak menyusup turun.
Walaupun kakinya ditarik keatas, tapi kepalanya masih belum sempat keluar. Ketika
golok, kedua tosu Itu melayang Yan-chiu segera gunakan ilmu gong-chiu-toh-peh-jim
(dengan tangan kosong merampas senyata) ajaran Tay Siang Siansu. Tempo diadu dengan
The Go, ia berhasil merampas pedang kuan-wi-kiam dari tangan anak, muda itu, karena
mengandal ilmu tersebut. Itu saja si Cian-bin Long-kun The Go, apalagi hanya kedua
tosu saja. Sekali gerak, dapatlah ia menyambar golok mereka dan begitu menariknya,
golok sudah terpental jatuh. Ketika ia susuli mendorong, kedua tosu itu lantas
menggelepar jatuh mencium tanah. Kuan Hong dan Wan Gwat buru2 menubruknya dan
menutuk jalan darah pelemas mereka lalu diseretnya keluar.
„Bagus!" Yan-chiu tepuk2 memuji.
„Ah, cici sendiri yang lihay!" seru. kedua an Dinding dan atap terowongan situ terbuat
daripada bahan beton yang dikapur putih; tiada terdapat sela2 lubang sedikitpun jua.
Saking mendongkolnya, Yan-chiu cabut kopiah imam-nya dan tanggalkan jubah
pertapaan yang dipakainya itu.
„Huh, jubah ini tebal dan berat, dalam hawa sepanas ini, bagaimana kalian dapat tahan
memakainya ?"
Ketiga anak itu tak mengerti mengapa cicinya itu marah2 Tapi mereka tak berani
menanyakan. Ketika berempat hendak menyusur keluar, tiba2 diatas (luar) sana ada
orang berseru: „Keempat binatang kecil itu berada didalam. Salah seorang dari mereka
sangat lihay, yangan2 mata2 musuh yang menyelundup kemari. Lekas tutup mulut
pintunya dan lapor pada toa-supeh!"
„Ja, yangan kasih mereka lolos!" sahut dua orang kawannya lagi.
Tahulah Yan-chiu bahwa gerak geriknya telah kepergok musuh. Biar bagaimana ia harus
dapat menobros keluar dari terowongan itu. Bukan karena sayang akan jiwanya sendiri,
tapi kuatir kalau tak dapat menggagalkan rencana Hwat Shiu yang ganas itu. Ia segera
berjongkok, lalu dengan gerak han-te-pat-jong ia hendak loncat menobros keatas. Tapi
mendadak lubang terowongan itu tertutup. Masih untung ia cepat2 berdaja untuk
mencapai dasar bagian bawah perapian itu untuk kemudian loncat turun lagi kebawah.
Coba tidak, tentu kepalanya akan terbentur besi tempat perapian itu. Paling tidak ia tentu
akan pusing tujuh keliling.

GAMBAR 75
Karena tak menemukan jalan keluar dari terowongan dibawah tanah itu,
Yan Chiu dan ketiga iman kecil itu menyadi kelabakan kian kemari.

Setelah mengetahui tak dapat keluar dari mulut lubang itu. Yan-chiu menanyakan pada
ketiga anak itu adakah terowongan dibawah tanah itu dapat dibobol tembus keluar.
Ketiga to-thong itu menggeleng dengan wajah kecemasau dim mengatakan bahwa tempat
api perdupaan itu beratnya tak kurang 3 ribu kati. Yan-chiu gelisah seperti semut diatas
kuali panas. la berlari menghampiri kamar tutupan sana untuk mencabut sebatang terali
(jeruji) besi. Dengan benda itu ia me-nusuk2 seluruh dinding terowongan hingga guguran
temboknya sama bertebaran ke-mana2. Melihat kelakuan Yan-chiu sekalap itu, ketiga to-
thong itu menyadi ketakutan dan sembunyi lekas2 pada ujung dinding.
Setelah puas „mengamuk" itu, rupanya Yan-chiu menyadi tenang dan duduk ditanah.
Kini ia garuk2 kepalanya untuk mengasah otak. Diam2 ia memaki dirinya sendiri yang
sudah begitu gegabah masuk keterowongan situ. Seharusnya setelah tak dapat
menemukan jalanan dibawah tanah itu, ia pergi saja memberi tahukan pada suhunya.
Mungkin dalam sekian banyak, orang itu, tentu mempunyai bermacam pendaphat yang
bagus. Kini ia tersikap dalam terowongan itu seorang diri dengan ketiga anak yang tak
mempunyai kepandaian apa2. Saking geramnya, kembali ia hendak „mengamuk" lagi.
Tapi se-konyong2 mulut terowongan tadi terbuka dan disana terdengar orang berseru:
„Selain Kuan Hong Wan Gwat dan Chiu-yap, masih ada siapa lagikah yang berada dalam
terowongan itu ?"
Mendengar nada suara itu, wajah ketiga to-thong menyadi pucat lesi.
„Cici, itulah toa-supeh, habis sudah riwajat kita!" seru mereka bertiga dengan penuh
kecemasan.
Yang dimaksudkan dengan toa-supeh itu bukan lain adalah Ciang Tay-bing, itu toa-mo
(iblis pertama) dari kawanan su-mo (4 iblis) gereja Ang Hun Kiong. Tak jakin Yan-chiu,
adakah ia sanggup menghadapi Tay-bing itu. Hanya ia berharap agar Tay-bing itu masuk
seorang diri. Dengan tenaga 4 orang, mungkin juga ia dapat mengatasi toa-mo itu. Maka
ia memberi isjarat tangan agar ketiga to-thong itu yangan membuka suara.
„Yang satu itu merupakan wajah baru, yang asing, umurnya masih muda, mungkin dia
orang baru dari gereja ini !" kedengaran ada orang berkata, disebelah atas sana:
„Ngaco! Sudah lebih dari setahun ini kita tak mendatangkan orang baru, mana bisa
terdapat wajah asing disini ?" bentak Ciang Tay-bing.
„Yangan2 Hwat siau yang membawanya!" orang itu masih membantah.
„Dia hanya membawa 18 orang jagoan kelas satu dari pemerintah Ceng, jaitu pasukan
berani-mati-nya Tolkun sendiri. Mana bisa ada yang berumur muda? Sudah, yangan
banyak bicara lagi, biar aku turun kebawah untuk memeriksanya!" bentak Ciang Tay-
bing untuk yang kedua kalinya.

(Bersambung Ke Bagian 41.2)


RENCANA KEJI

BAGIAN 41.2

Yan-chiu siap sedia. Begitu Tay-bing loncat turun, ia segera enyot tubuhnya keatas atap
dinding terowongan. la jarinya pada sela2 kecil yang terdapat pada dinding atas dari
terowongan itu. Dengan berbuat begitu dapatlah ia rapatkan tubuhnya lekat2 pada
dinding atas itu.
Cara Itu tak ubah seperti ilmu bik-hou-yu-jiang (cicak merajap didinding) yang sakti.
Sebenarnya Yan-chiu tak mengerti akan ilmu mengentengi tubuh yang sakti itu, tapi
sejak ia makan biji kuning mustika dalam batu tempo hari, tubuhnya serasa enteng
lincah macam burung waled saja.
Cukup dengan gunakan sedikit tenaga, dapatlah ia merapat pada dinding atas tanpa
kesukaran sedikitpun juga.
Ketika yang didapati hanya Kuan Hong, Wan Gwat dan Chiu-yap bertiga siapa tengah
menggigil ketakutan, Tay-bing segera menghardiknya: „Hem...., sungguh berani mati
benar kalian ini, hendak coba2 melarikan diri ja ? Siapa kawanmu yang seorang lagi tadi,
ajuh lekas katakan!"
Chiu-yap adalah sahabat karibnya Kuan Hong dan Wan Gwat. Cepat2 dia jatuhkan diri
berlutut seraja menyahut dengan menangis: „Kesemuanya ini adalah kesalahan tecu,
tiada sangkut pautnya dengan mereka berdua!"
Kiranya Chiu-yap itu adalah murid Ciang Tay-bing, maka dia membahasakan dirinya
sebagai te-cu (murid). Mengingat hubungan antara guru dan murid, ia harap suhunya
itu akan menaruh belas kasihan. Tapi kali ini ternyata Ciang Tay-bing marah benar2. Ini
disebabkan dia menaruh dugaan bahwa „siwajah baru yang asing" itu, adalah mata2
musuh yang menyelundup kesitu.
„Lekas katakan, siapa dan dimana kawanmu yang seorang itu!" bentaknya seraja angkat
tangan hendak menempeleng kepala Chiu-yap.
Ketika tampak Ciang Tay-bing seorang diri saja masuk, Yan-chiu sudah lantas putar otak
cara bagaimana ia dapat sekali pukul bikin knock-out. Tiba2 ia teringat akan jubahnya
yang dibukanya itu tadi. Ja, dapatlah ia gunakan benda Itu untuk alat senyata.
Sepelahan mungkin ia segera lolos jubah itu, tapi walaupun demikian tak urung
terdengar berkeresekan juga dan itu cukup membuat Ciang Tay-bing dongakkan kepala
untuk memandang keatas. Melihat saatnya sudah tiba, Yan-chiu segera apungkan diri
melayang turun.
„Yang satu ada disinilah!" seru sigadis.
Cepat dan sebat Yan-chiu bertindak hingga Ciang Tay-bing tak keburu bersiap. Tahu2
kepalanya telah kena terkerudung jubah itu. Dalam kejutnya Tay-bing segera
menghantam kalang kabut dan kasihan Ciu-yap, oleh karena dia hendak maju menubruk
jadi kena hantaman yang dahsjat itu. Dengan mengeluarkan jeritan ngeri, rubuhlah,
anak itu tak bernyawa lagi........
Pilu hati Yan-chiu, tapi dalam keadaan segenting itu terpaksa ia kuatkan hatinya, terus
menyelinap kebelakang Taybing. Setelah menyemput terali besi, ia segera menyapu
sekuat2nya dengan jurus „menyapu seribu lasjkar". Mendengar sambaran angin, hendak
Tay-bing menghindar, tapi oleh karena kepalanya dikerukup jubah jadi dia gelagapan
sendiri, bluk tulang betisnya remuk dan jatuhlah dia terjerembab kemuka. Yan-chiu tak
mau kepalang tanggung. Dengan sebat ia menutuk jalan darah ci-tong-hiat dipunggung
orang itu. Huk......, hanya sekali iblis nomor satu Ang Hun Kiong itu berkuik akan
kemudian tak dapat berkutik lagi.

GAMBAR 76
Cepat sekali Yan Chiu kerudung jubahnya keatas kepalanya
Ciang Tay-bing hingga murid Ang Hwat Cinyin itu
kerupukan berusaha melepaskan diri.

Setelah dapat memberesi, kedengaran Yan-chiu mengambil napas, kemudian menarik


lepas jubah dikepala Taybing.
„Coba lihat sekarang, siapakah yang satu itu!"
Ciang Tay-bing hanya deliki matanya tapi tak dapat mengucap apa2.
,,Kau sayang jiwamu tidak ?" bentak Yan-chiu sembari lekatkan ujung jeruji besi kedada
orang, kalau sayang jiwa begitu kubuka jalan darahmu kau harus menyawab setiap
pertanyaanku dengan jujur. Kalau kau sudah bosan hidup, asal tanganku bergerak,
dadamu tentu akan berhias sebuah lubang!"
Yan-chiu percaja sebagai murid pertama dari Ang Hwat, orang she Ciang itu tentu tahu
akan rahasia jalanan dibawah itu. Tapi ia salah terka. Ciang Tay-bing itu ternyata juga
bukan bangsa yang takut mati. Tadi dia dapat dirobohkan itu karena diserang secara
begitu mendadak. Dia mengangguk dan Yan-chiupun segera pakai ujung terali besi untuk
menutuk buka jalan darahnya. Tay-bing segera salurkan lwekang, kecuali sakit nyeri
pada bagian betisnya dia rasakan tubuhnya tetap segar. Dengan lwekang dan
gwakangnya yang kokoh, lalu tulang patah itu tak menyadikan soal. Walaupun ujung
jeruji besi dilekatkan didadanya, dia tak ambil pusing. Sekalipun begitu, dia pura2
mengerang kesakitan, tapi dalam pada itu diam2 dia salurkan lwekang kearah lengannya
kiri, siap sedia digunakan setiap waktu.
„Jalanan dibawah tanah dari Ang Hun Kiong yang dapat tembus sampai dibawah
gelanggang pertempuran itu terletak dimana, ajuh lekas bilang!" Yan-chiu mulai ajukan
pertanyaan.
Ciang Tay-bing menggeliat, tapi tetap enggan menyahut.
„Yangan bergerak!" bentak Yan-chiu sembari ajukan iijung terali besi. Ciang Tay-bing
insjaf bahwa lwekang sinona itu cukup kuat, maka diapun tak mau sembarangan
bertindak. Kalau sekali pukul tak kena, tentu dia akan mendapat siksaan yang lebih
hebat lagi.
„Itu adalah rahasia gereja Ang Hun Kiong, sebenarnya tak boleh sembarang
memberitahukan orang. Tapi oleh karena aku sudah jatuh dalam kekuasaanmu,
bagaimana lagi ? Tapi siapakah nama nona ini ?" Ciang Tay-bing coba merigulur waktu.
„Aku bernama Liau Yan-chiu, lekas bilangkan pintu masuk jalanan itu!"
„Baiklah, kau dengarkan yang jelas. Keluar dari sini, langsung melewati 3 buah ruangan,
biluk kekiri, biluk kekanan lagi, dari situ memiluk kekanan lagi, lalu mundur kebelakang,
lalu berputar kebarat..........."
Sengaja dia mengatakan dengan cepat, tapi Yan-chiu mengira kalau karena ketakutan
dia sudah mengatakan dengan sebenarnya, maka didengarkannyalah dengan penuh
perhatian. Mulutnya tak henti2nya mengulang kata2 yang diucapkan Tay-bing itu. Makin
lama Tay-bing makin cepatkan keterangannya dan bujarlah perhatian Yan-chiu terpikat
kesitu. Merasa saatnya sudah tiba, Ciang Tay-bing segera bertindak. Se-konyong2
tangannya kiri mendorong terali besi lalu tangannya kanan membarengi dengan
hantaman kedada sinona.
Ciang Tay-bing telah gunakan seluruh sisa kekuatannya, cepat dan sebat. Ketika Yan-
chiu tersadar, ia sudah tak keburu lagi untuk menghindar. Dalam gugupnya, dia
gerakkan tangannya yang mencekal terali besi tadi untuk menghalau.
Benar separoh bagian dapat dibujarkan tapi yang separoh lagi tetap bersarang
kedadanya. Seketika itu dadanya terasa sesak dan mulutnya memancarkan rasa manis.
Dalam murkanya, ia teruskan terali besinya itu untuk menghantam rusuk (iga) Tay-bing
hingga tulangnya patah lagi beberapa biji, Tapi pada saat tangannya itu menurun ( karena
habis menghantam), Tay-bingpun berhasil menutuk jalan darahnya dibagian paha.
Seketika itu tak ampun lagi, mendeproklah Yan-chiu rubuh ketanah.
Sewaktu rubuh, mata dan kepala Yan-chiu ber-kunang2 tapi hatinya masih sadar dan
memaksa dirinya untuk berusaha membuka jalan darah yang tertutuk itu. Pikirannya
hanya satu harus lekas2 mendapatkan jalanan dibawah tanah itu, atau kalau terlambat,
habislah seluruh isi penghuni Ang Hun Kiong.
Ciang Tay-bing adalah murid kepala dari Ang Hwat cinyin, seorang achli tutuk besar
didunia persilatan. Tututkannya tadi menggunakan ciong-chiu-hwat (tutukan berat),
jaitu tutukan jalan darah melalui tulang. Lewat sekian saat, Yan-chiu baru dapat
tersadar, namun serongga dadanya terasa sesak sakit sekall. Ketika menoleh kearah Tay-
bing didapatinya orang itu lebih pajah lagi lukanya. Mukanya pucat seperti kertas,
napasnya memburu. Kuan Hong dan Wan Gwat menelungkupi, majat Chiu-yap dan
menangis tersedu sedan. Yan-chiu tak dapat berbuat apa2 karena tak berkutik. Marah
dan gelisah merangsang benaknya dan ketika hawa perasaannya itu naik keatas kepala,
matanya serasa gelap dan pingsanlah ia tak sadarkan diri.
---oo0oo---
(Bersambung Ke Bagian 41.3)
RENCANA KEJI

BAGIAN 41.3

Sekarang mari kita tengok keadaan diruang pertempuran itu. Pertempuran makin
menghebat dan ganas. Melihat, dengan ilmupedang han-kang-kiam-hwat tak memberi
hasil, Kang Siang Yan segera berganti dengan ilmu thay-im-lianseng. Begitu menyungkir-
putarkan tangkai pedang, tubuhnya segera merapat kedekat Ang Hwat, dari situ ia terus
lancarkan hantamannya yang tak bersuara itu.
Ang Hwat cukup kenal akan thay-im-ciang tersebut. Dia insjaf sampai dimana kelihayan
pukulan itu, maka cepat2 dia tekan im-yang-pian supaja menyulur panjang kemudian
dengan gerak po-gwat-siu-kwat (memeluk rembulan menyaga keraton), dia gerak2an im-
yang-pian untuk melindungi tubuhnya. Kalau Kang Siang Yan nekad teruskan
hantamannya, jalan darah pada telapak tangannya pasti akan tertutuk pian. Maka belum
sampai tangannya menghantam, tiba2 ia urungkan dan berganti dengan serangan Kok-
ho-jo-kiau (melintasi sungai menarik jembatan). Cepat dan hebatnya serangan itu telah
membuat Ang Hwat tak dapat menduganya lebih dahulu.
Tempo dahulu Lamhay Ho Liong-poh dengan mengandal ilmu thay-im-lian-seng tersebut
telah malang melintang merajai seluruh wilajah Kwisay dan Kwitang, sehingga suku
bangsa Li yang tinggal dikepulauan Lam-hay sama mengagungkannya sebagai dewi
malaekat. Keistimewaan dari ilmu lwekang itu, dapat digerakkan sekehendak hati pada
setiap saat dengan sedikitpun tak mengeluarkan suara apa2. Betapapun tajam alat
indera dari seorang persilatan yang berkepandaian tinggi, namun terhadap serangan yang
tak mengeluarkan suara itu, mati juga kutunya.
Bahwa Kang Siang Yan dapat dengan tiba2 merobah gerak serangannya, dari menyerang
dada berganti menyerang kaki, telah membuat datuk persilatan macam Ang Hwat cinyin
kesima juga. Dia segera miringkan kaki kirinya lalu gunakan tangkai pian untuk
membentur serangan orang.
Melihat serangan kedua tak berhasil, tangan kiri Kang Siang Yan yang masih mencekali
pedang tadi segera dibuat menusuk dengan gerak kang-sim-poh-lou (salah satu jurus
dari hoan-kang-kiam-hwat) Jurus2 yang berlangsung tadi, dilakukanya dengan
kesebatan yang luar biasa, sehingga sudah sejak tadi Ceng Bo ketinggalan spoor. Ketika
Kang Siang Yan lancarkan serangan pedang yang terachir Itu barulah Ceng Bo sempat
untuk gerakkan yap-kun-kiam menusuk punggung Ang Hwat. Hanya sayang dia bergerak
dengan jurus hay-lwe-sip-ciu sedang Kang Siang Yan tadi dengan kang-sim-poh-lou,
pasangan permainan yang tidak serasi.
Ang Hwat rasa sudah hampir sejam lamanya dia bertempur tanpa berkesudahan. Kalau
sampai tak dapat menundukkan kedua suami isteri itu, dimata pemerintah Ceng,
namanya tentu akan jatuh harga. Maka andaikata Ceng Bo tak menyerangnya, diapun
tetap akan mencarinya. Maka kebenaran sekali kini Ceng Bo maju menyerang lagi.
Merasa ada sambaran angin serangan senyata dari arah belakang, se-konyong2 dia tarik
sepasang lengannya kebelakang, lebih dahulu yang kiri kemudian yang kanan. Dua buah
sikunya dibenturkan kebelakang tubuhnya. Dalam pada itu lengan jubahnya mengibas
kemuka untuk menghalau pukulan thay-im-ciang dari Kang Siang Yan itu.
Dengan dua buah ciu-jui (benturan siku tangan) Itu walaupun dia cukup tahu takkan
mengenai tubuh Ceng Bo, tapi tenaga lwekang yang disalurkan disitu tentu akan memberi
hasil. Tepat juga perhitungan itu. Seketika itu Ceng Bo rasakan dadanya sesak terhimpit
tenaga dahsjat. Dalam keadaan seperti saat itu sudah tentu dia tak berani adu lwekang
dengan Ang Hwat, maka buru2 dia tarik pulang pedangnya.
Ang Hwat mundur selangkah, sebelum Kang Siang Yan mengejar dia sudah lancarkan 3
hantaman untuk menahannya. Membarengi Kang Siang Yan mundur, dia gerakkan
lengannya. Im-yang-pian menyulur sampai 4 kali panjangnya, tahu2 menutuk kearah
Ceng Bo yang berada disebelah belakang tadi. Kaget Ceng Bo bukan buatan, hendak dia
menghindar terang sudah tak keburu lagi. Jalan satu2nya dia segera meniarap telentang
kebawah dengan gerak tiat-pian-kio, wut.......hanya beberapa centi saja ujung pian itu
menyambar diatas dadanya. Walaupun berbahaya, namun Ceng Bo merasa longgar
napasnya karena mengira bahaja sudah lewat.
Tapi Ang Hwat bukan kepala gereja Ang Hun Kiong yang menduduki salah satu mahkota
cabang persilatan didunia persilatan, kalau hanya begitu saja kepandaiannya. Hampir 40
tahun lamanya dia benamkan diri dalam pejakinan im-yang-pian itu, sehingga rujung itu
se-olah2 sudah menyadi salah satu anggauta badannya yang dapat digerakkan menurut
sesuka hatinya. Sekalipun saat itu dia membelakangi Ceng Bo namun punggungnya
bagaikan mempunyai mata, dapat melihat tegas bagian2 jalan darah musuh. Baru saja
mulut Ceng Bo bernapas longgar, atau tiba2 im-yang-pian itu sudah menyulur lagi satu
buku (kira2 setengah meter) dan cukup dengan sedikit gerakan tangan, ujung rujung
lemas itu sudah melengkung kebawah dan menutuk jalan-darah hoa-kay-hiat didada
Ceng Bo.

GAMBAR 77
Dengan tangkasnya Ang Hwat Cinyin menyabet kedepan, menyusul menyikut kebelakang
hingga terpaksa Kang Slang Yan berkelit dan Ceng Bo Siangjin menyingkir mundur.
Hoa-kay-hiat, merupakan alat penutup bagi alat2 jeroan dalam dada. Yangan lagi terkena
tutukan seorang achli besar macam Ang Hwat, sedang ditutuk oleh seorang persilatan
biasa saja, tentu sudah akan membuat siorang itu kalau tidak binasa tentu terluka
parah. Ceng Bopun cukup menginsafi hal itu. Tapi apa daja, dia sudah tak kuasa untuk
menghindar lagi. Itulah disebabkan setelah bahaja ancaman pian sudah lewat diatas
dadanya, buru2 dia hendak terus angkat tubuhnya bangun. Siapa tahu, im-yang-pian
telah dapat dimainkan secara begitu luar biasa. Jadi ketika ujung rujung itu melengkung
hendak memagut, justeru dada Ceng Bopun terangkat naik, maka tampaknya seperti
menyongsong.
Semua orang yang menyaksikan sama menahan napas karena mengira Ceng Bo tentu
akan tamat riwajatnya. Tapi se-konyong2 dalam saat2 yang segenting itu terdengarlah
suara orang menggerung keras, lalu menyusul sebuah benda hitam yang bentuknya
panjang dan besar melayang kearah im-yang-pian, trang .....begitu ujung im-yang-pian
itu terpental, benda hitam itupun jatuh menggedebuk ketanah.
Kala semua mata mengawasi, kiranya benda hitam panjang itu adalah sebuah pikulan
kaju bakar, sedang siorang yang melontarkannya tadipun serentak juga sudah tegak
berdiri. Hai, kiranya si Ma Cap-jit yang bergelar Hoasan kiau-cu (pencari kaju dari
gunung Hoasan). Sewaktu ujung rujung terpental, dengan sebat Ceng Bopun segera
menggeliat loncat kesamping. Namun Ang Hwat cepat goyangkan tangann ja dan ujung
rujung itu bagaikan seekor ular, segera menerkam betis Ceng Bo. Sekali tarik, buk....
menggeleparlah Ceng Bo jatuh ketanah.
Ceng Bo lekas2 hendak gunakan gerak „ikan lele berjumpalitan" untuk loncat keudara.
Tapi baru tubuh melayang, Ang Hwat sudah mengirim sebuah hantaman. Jurus serangan
ber-tubi2 itu hanya berlangsung dalam sekejab mata saja, hingga Kang Siang Yan yang
menyurut kebelakang karena diburu oleh hantamannya tadi, belum sempat balas
menyerang. Walaupun hanya 3 bagian tenaga yang digunakan Ang Hwat dalam
hantamannya itu, tapi karena tubuh Ceng Bo sedang melayang diatas jadi dia tak berdaja
untuk menangkis, bluk .......... sekali ini benar2 dia jatuh knock-out.
Gempar suara jatuhnya itu, namun tak sampai membuat Ceng Bo luka dalam, kecuali
apabila Ang Hwat segera susuli lagi dengan sebuah hantaman fatal (mematikan) tentu
celakalah siangjin itu. Tapi mimpipun tidak, kalau begitu jatuh ditanah, Ceng Bo secepat
kilat sudah babatkan yap-kun-kiam bret ............ jubah bagian bawah dari Ang Hwat
telah terpapas robek. Sayang karena terlambat sedikit, ujung yap-kun-kiam itu tak
berhasil mengenai daging kaki lawan.
Sekalipun begitu, hal itu cukup membuat Ang Hwat gusar sekali. Dia anggap serangan
itu sebagai suatu hinaan besar. Dan pandangannya akan arti pertempuran itu makin
nyata kau atau aku yang binasa!
Sedang difihak Ceng Bo pun tak kurang beringasnya, Tahu dirinya terancam, setelah
membabat tadi terus susuli lagi dengan serangan kedua. Tepat sesaat itu, Kang Siang
Yan-pun sudah mengirim serangan membalas. Ang Hwat mengaum keras. Im-yang-pian
tiba2 menyurut lagi hingga tinggal setengah meter panjangnya, untuk menyongsong
pedang Kang Siang Yan itu. Bahwa pedang kuan-wi-kiam milik wanita gagah itu adalah
pedang pusaka yang dapat memapas segala macam logam, diketahui juga oleh Ang Hwat.
Tapi cara tangkisannya tadi, memang tepat sekali, tring..... ujung rujung itu persis
menutuk bilah pedang itu. Dan dalam pada itu, sempat pula dia melancarkan hantaman
kearah Ceng Bo.
Kala itu Ceng Bo tengah merangsang maju menyerang, jadi sukarlah kiranya untuk
Menghindar, krek......, lengan bahunya sebelah kanan terasa sakit sekali dan otomatis
terkulai kebawah sampaipun jarinya tak kuasa lagi untuk mencekal yap-kun-kiam,
tring....... jatuhlah pedang pusaka itu ketanah. Melihat itu Kui-ing-cu segera enyot
kakinya melayang kemuka. Sedang difihak sana Su-mo Im Thian-kui dan Sam-mo Long
Tek-san juga menobros maju, menyambut Kui-ing-cu. Dalam sekejab saja, ketiganya
sudah saling berhantam.
The Go yang sedari tadi mengawasi jalannya pertempuran itu dengan seksama, segera
tak mau men-sia2kan kesempatan sebagus itu. Sekali tangan menekan meja, tubuhnya
melayang kemuka dan tangannya segera hendak menyemput yap-kun-kiam. Tapi
berbareng pada saat itu, Ma Cap-jit pun tampil kegelanggang untuk menyemput
pikulannya. Sekali ajunkan pikulannya, bluk...... terpelantinglah The Go mencium tanah.
Memang lihay sekali ilmu permainan pikulan dari si Pencari Kaju Hoasan Ma Cap-jit itu.
Kalau si The Go meringis berkenalan dengan lantai, adalah yap-kun-kiam sudah berada
ditangan Ma Cap-jit.
The Go sapukan pandangan matanya keseluruh gelanggang. Disana Kui-ing-cu masih
bertempur rapat dengan Im Thian-kui dan Long Tek-san, tapi sebelah pipi dari orang she
Long itu sudah begap matang biru. Rupanya dia sudah terima „hadiah" dari Kui-ing-cu.
Kang Siang Yan dan Ang Hwat tertegun berhenti bertempur. Sedang rombongan. Ceng Bo
sudah sama serempak bangkit, trang...., tring......, disana sini terdengar suara
gemeroncang-gemerincing dari senyata dilolos." Untuk melawan Ma Cap-jit, terus terang
saja, dia sudah tobat tujuh turunan kalau disuruh mencium tanah lagi. Jalan satu2nya
ialah lekas2 mengundang supaja Hwat Siau dan Swat Moay serta ke 18 jagoan itu, keluar
membantu".
Baru dia hendak bertindak, atau dari tengah ruangan besar sana muncul beberapa belas
orang. Walaupun dandanan mereka seperti imam dari Ang Hun Kiong situ, tapi mata The
Go yang celi segera mengetahui bahwa mereka itu bukan lain adalah rombongan jagoan
yang dibawa Hwat Siau. Begitu muncul disitu, mereka lalu sama duduk dipinggir
gelanggang. Buru2 The Go menghampirinya.
„Ah....., liatwi sudah datang, tentu hendak membantu kami liwat dan Swat kedua cianpwe
itu dimana?" ujarnya.
Seorang bertubuh kurus yangkung yang rupanya menyadi kepala rombongan, segera
menyahut dengan garang: „Ai......., takut apa? Satu lawan satu atau secara kerojokan,
sama saja. Langit sudah akan roboh, siapa yang dapat menyelamatkan diri ? Mengapa
ter-buru2 begitu macam ?"
The Go mendapat hidung panjang. Kalau pada hari2 biasa, dia tentu sudah marah. Tapi
dikarenakan dia memerlukan tenaga mereka, jadi terpaksa ditelannya saja amarahnya
itu.
„Ah, memang, memang!" serunya ikut2an tertawa.
Hidung sikurus itu mendengus selaku jawaban, lalu alih pandangannya kearah
gelanggang.
Ja, memang ke 18 jagoan itu sedang melakukan perintah Hwat Siau untuk melihat
jalannya pertempuran. Apabila sudah tiba saatnya, mereka disuruh lekas2
memberitahukan kepada Hwat Siau agar dapat menyulut sumbu dinamit.
(Bersambung Ke Bagian 42)
PAHIT EMPEDU

BAGIAN 42.1

Pada saat itu Ceng Bo sudah dipapah Ko Thay untuk kembali ketempat duduknya.
Lengannya kanan telah dipatahkan oleh hantaman Ang Hwat. Betapapun lihaynya, tetap
dia tak kuat menahan rasa sakitnya. Kepalanya basah kujup dengan keringat. Tio Jiang
sibuk tak keruan tak tahu apa yang hendak diperbuat. Rasanya ia rela menggantikan
luka suhunya itu. Ko Thay memijat lengan itu dan dapatkan bahwa bagian tulang yang
remuk itu tak seberapa besar, jadi masih ada harapan untuk sembuh lagi. Dia suruh Tio
Jiang cabut dua batang terali (jeruji) lankan dan sepotong kaju papan. Lengan Ceng Bo
yang patah itu segera dipres dengan potongan papan itu, kemudian dibalut dengan kain.
Ceng Bo tahankan sakitnya, sepatahpun tak mengerang. matanya memandang kearah
18 orang yang baru datang itu. Diantara sekian banyak jagoan itu, hanya seorang Yang
dikenalnya sebagai orang kelahiran Kwitang yang pernah belajar silat digunung Ngo-tay-
san. Orang itu mahir sekali dalam ilmu senyata rahasia. Setelah habis pelajarannya, dia
segera menganas didaerah Kwiciu, tapi kena dikalahkannya. Sejak itu tak pernah dia
bersua dengan orang itu lagi. Ah, tak kira kalau kini dia sudah berhamba pada
pemerintah Ceng.
Orang yang dikenalnya, itu bernama Pui Hoan berjejuluk Boan-thian-ce (bintang
bertaburan dilangit). Saat itupun tengah memandang Ceng Bo dengan sorot mata
menggagah (menantang). Rupanya dia belum lupa akan periatiwa 10 tahun yang lampau
itu. Lain2 yang ke 17 orang itu sama bertubuh kekar garang. Lebih2 siorang yangkung
kurus yang duduk dimuka sendiri itu. Pelipisnya agak menonyol, air mukanya aneh
entah dari cabang persilatan mana " dia itu.
Se-konyong2 terdengarlah suara jeritan mengaduh dan sesosok tubuh gemuk terbang
melayang. Aha, kiranya itulah tubuh Long Tek-san yang kena disengkelit kemudian
ditendang oleh Kui-ing-cu. Dalam waktu dan tempat seperti itu, tetap Kui-ing-cu tak lupa
akan kenakalannya. Ketika tubuh Long Tek-san tadi melayang diatas ke 18 orang jagoan
itu, Kui-ing-cu segera gerakkan dua buah serangan kosong dan entah bagaimana caranya
tubuh Long Tek-san berhenti dengan tiba2, lalu jatuh menimpa kebawah.

GAMBAR 78
Tahu2 Su-mo Long Tek-san telah mencelat kena disengkelit Kui-ing-cu terus melayang
ketempat duduk ke-18 jagoan yang dibawa datang oleh Hwat Siau dan Swat Moay itu.

„Sahabat Long, berdirilah yang jejak!" serentak berbangkitlah sikurus yangkung tadi
seraja menyanggapi tubuh Long Tek-san.
Merah padam selebar muka Long Tek-san yang lalu mengambil tempat duduk. Melihat
sukonya tak berani maju lagi, Im Thian-kuipun lalu putar tubuhnya hendak angkat kaki
seribu. Tapi, Kui-ing-cu rupanyapun tak mau mengejarnya, Malah hanya ber-teriak2
menyuruhnya lekas lari.
„Lari kencang, ajuh lekas lari yang kencang!" serunya.
---oo0oo---
(Bersambung Ke Bagian 43.2)
PAHIT EMPEDU

BAGIAN 42.2

Im Thian-kui tak peduli setan belang apa lagi. Dia benar2 lari se-kencang2nya menurut
anyuran musuhnya tadi. Melihat adegan lucu itu, ke 18 jagoan tersebut sama ter-bahak2.
Menandakan bahwa mereka tak memandang mata, lagi pada orang2 Ang Hun Kiong.
Merahlah daun telinga The Go. Tapi ketika melirik kearah Ang Hwat didapatinya sang
sucou itu masih menyublek diam ditengah gelanggang, herhadapan pandang dengan
Kang Siang Yan.
Walaupun nampaknya kedua tokoh tersebut berdiam diri, tapi ternyata mereka itu
tengah mengadu lwekang dengan jalan saling lekatkan senyatanya masing2. Ketika im-
yang-pian membentur pedang kuan-wi-kiam tadi, cepat2 Ang Hwat salurkan lwekangnya
untuk men jampok d jatuh senyata lawan. Tapi baru saja lwekang Ang Hwat menyalar
kearah im-yang-pian, siang2 Kang Siang Yan mengerti maksud orang. Maka betapalah
kejut Ang Hwat ketika didapatinya saluran lwekangnya itu telah mendapat reaksi hebat
berupa sebuah dorongan lwekang yang kuat. Buru2 diapun segera „tancap gas penuh",
mengerahkan seluruh lwekangnya.
Sejak berhasil memahamkan ilmu lwekang thay-im-lian-seng, belum pernah Kang Sing
Yan berjumpa dengan musuh setangguh Ang Hwat ini. Memang karena urusan Yan-chiu,
ia telah „bentrok" dengan Tay Siang Siansu. Tapi karena paderi itu sudah tak memikirkan
akan gengsi dan nama kosong, begitu „kortsluiting" (benturan aliran lestrik) sebentar,
paderi itu segera angkat kaki. Kini berhadapan dengan Ang Hwat lainlah halnya. Seluruh
kebiasannya telah ditumplak habis, maka walaupun digelanggang situ terjadi hiruk pikuk
tak keruan, kedua seteru itu tetap tulikan telinga butakan mata, seluruh perhatian dan
semangatnya ditujukan pada pergulatan seru itu.
Gaja Kang Siang Yan gemulai nampaknya, namun mengandung kekuatan baja yang
kokoh. Beberapa kali Ang Hwat coba undang seluruh tenaganya untuk mendesaknya,
tapi selalu dibujarkan oleh lawan. Sebaliknya untuk melukai Ang Hwat pun sukar juga
bagi Kang Siang Yan. Hampir lebih dari setengah jam pergulatan itu berlangsung, namun
tetap sama kuatnya. Saking geramnya se-konyong2 Ang Hwat mengeluarkan suara
menggerung laksana singa mengaum, dahajatnya bukan buatan. Tapi berbareng pada
saat itu, Kang Siang Yan pun melengking nyaring macam yangkerik berbunyi. Suasana
dalam ruangan itu pekak dengan aum dan denging. Hanya saja jelas kedengaran bahwa
lengking suara Kang Siang Yan itu dapat menembus pecah suara aum Ang Hwat.
Se-konyong2 lengan mereka menurun kebawah dan pada lain saat tampak ada selingkar
api merah dan segumpal asap sama2 meluncur kebelakang. Tempat yang diinyak mereka
itu, tampak ada 4 buah telapak kaki sedalam 3 dim. Lantai ruangan itu terbuat dari batu
marmar hijau yang kokoh, kalau toh sampai „amblong" sedemikian dalamnya, mudahlah
dibayangkan sampai ditingkat mana kepandaian kedua tokoh besar itu. Sekalian orang
sama leletkan lidah, sedang ke 18 orang yang sikapnya amat congkak itu, diam2 juga
tergetar hatinya.
Kini kedua tokoh itu saling berpandangan. Saking cemas akan keselamatan isterinya,
lupalah Ceng Bo akan sakitnya tadi. Bek Lianpun sudah berulang kali hendak berdiri
tapi selalu dicegah The Go. Kini tak dapat lagi ia menahan perasaan hatinya dan menyerit:
„Mah !"
Adalah karena teriakan Bek Lian itu maka perhatian Kang Siang Yan agak terganggu dan
adalah karena sedikit lubang itu, maka Ang Hwat sudah segera loncat meneryangnya lagi.
Tak peduli. bagaimana hebatnya bahaja yang mengancam dihadapannya itu, namun
Kang Siang Yan masih perlukan „mencuri" kesempatan untuk berpaling menengok
puterinya. Serta dilihatnya Bek Lian tak kurang suatu apa, barulah ia turunkan
tubuhnya kebawah lalu melejit kesamping untuk menghindar. Memang sedemikian
besarlah kasih seorang ibu terhadap anaknya.
Sekalipun ia dapat menghindar dari teryangan lawan, namun karena tak dapat balas
menyerang, berarti ia kalah satu set. Tanpa memberi kesempatan lagi, Ang Hwat sudah
ajunkan im-yang-pian-nya untuk menutuk jalan darah si-peh-hiat. Jalan darah itu
terletak dibawah mata. Dalam gugupnya Kang Siang Yan segera menghantam pian itu.
Separoh bagian atas dari plan itu sebenarnya sangat lemas, hanya karena kepandaian
Ang Hwat maka ujung itu dapat kencang lurus macam sebuah alat pit. Ujungnya dapat
ditolak kesamping oleh hantaman Kang Siang Yan tadi, tapi pangkalnya cepat digerakkan
Ang Hwat untuk menusuk dada lawan. Jalan satu2nya bagi Kang Siang Yan jalah
menyelinap kebelakang musuh. la segera bergerak dengan cepat sekali, tapi Ang Hwatpun
tak kalah sebatnya. Baru Kang Siang Yan lewat disisinya, kepala Ang Hun Kiong itupun
sudah memutar tubuhnya kebelakang. Disitulah dia ,,cegat" lawan. Belum lagi Kang
Siang Yan dapat mengambil posisi kaki, atau dia sudah mencambuk dengan im-yang-
pian.

GAMBAR 79
Dengan gaja yang chas, Kang Siang Yan putar pedangnya sedemikian dahsjatnya hingga
Ang Hwat Cinyin dipaksa bertahan melulu tak sempat menyerang lagi

Kang Siang Yan bukan jago sembarang jago. Untuk menyambut hajaran pian musuh, ia
gerakkan pedangnya untuk membabat. Sekali ini Ang Hwat salah terka akan kelihayan
ilmu thay-im-lian-seng. Dalam kesempurnaannya, ilmu itu dapat dikuasai penuh
menurut sekehendak hatinya. Biar Ang Hwat lihay, tapi tetap dia tak dapat
menyelamatkan im-yang-piannya lagi. Tring.........kutunglah buku yang teratas dari pian
itu terbabat kuan-wi-kiam. Begitu ujungnya terpapas, maka berhamburanlah ber-puluh2
jarum halus men jambar keluar. Entah berapa banyakkah batang2 jarum itu, tapi yang
nyata saja sesaat itu terdengarlah bunyi macam nyamuk men-denging2.
Teranglah jarum2 itu keluar dari lubang pangkal imyang-pian tadi. Dan memangnya im-
yang-pian itu diperlengkapi dengan senyata rahasia jarum halus untuk menggempur
para achli lwekang yang menyjadi lawannya. Jarum2 yang halus itu akan menyusup
melalui jalan darah terus masuk kejantung, Betapa lihaynya seorang achli Iwekang,
namun menghadapi senyata yang sedemikian ganasnya itu, tak urung akan binasa juga
jiwanya.
Insjaf akan keganasan senyata itu, Kang Siang Yan sampai kucurkan keringat dingin.
Cepat2 la putar pedangnya dengan gencar sembari berteriak dengan murkanya: „Hai,
imam siluman tua, tebal sekall kulit mukamu"
Dalam kedudukan sebagai ketua sebuah cabang persilatan, memang tak selajaknya Ang
Hwat gunakan senyata rahasia macam begitu. Ja, walaupun hal itu terjadi diluar
kemauannya, tapi dengan memiliki senyata macam begitu saja itu sudah berarti
mengunyuk mentalitiet peribadinya yang ganas. Maka merah padamlah selebar muka
kepala gereja Ang Hun Kiong seketika itu. Dari malu, dia menyadi marah. Tanpa
menyahut sepatah pun, dia segera-putar pian untuk menghajar. Demikianlah kedua
tokoh itu kembali terlibat dalam pergumulan yang seru.
Mendengar ibunya memaki „imam siluman tua", Bek Lian mengeluh dalam hati.
Kedepannya, hubungannya dengan The Go pastilah akan menemui kesukaran besar. Bek
Lian yang dibutakan oleh api asmara itu hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.
„Engkoh Go, mamah dan sucou, telah bertempur sedemikian serunya, rasanya urusan
kita tentu kapiran, maka lebih baik sedangnya mereka tengah bertempur, kita tinggalkan
tempat ini menuju kesalah sebuah pulau di Lam-hay. Disana kita, dapat menuntut
penghidupan yang aman dan tenteram, ah......, betapakah bahagianya!" bisiknya kepada
sang kekasih yang ,mania' itu.
(Bersambung Ke Bagian 42.3)
BAGIAN 42
PAHIT EMPEDU

BAGIAN 42.3

Sewaktu melihat sucounya terlibat dalam pertempuran yang sangat lama, hati The Go
dicengkeram oleh kegelisahan. Atas pernyataan Bek Lian, tadi, dia hanya mendengus
„hem......" selaku jawaban. Tapi tiba2 terkilas dalam benaknya suatu rencana yang jahat.
Tadi sewaktu Bek, Lian meneriaki ibunya, Kang Siang Yan segera terdesak dibawah angin
oleh sucounya. Ah, mengapa dia tak suruh Bek Lian mencobanya lagi? Tapi kali ini
yangan sampai keblinger gagal lagi.
Otaknya bekerja. Dibayangkannya, kalau Kang Siang Yan kalah, rombongan Ceng Bo
tentu dapat diatasi. Dengan begitu terbukalah kesempatan baginya menggabungkan diri
pada rombongan Hwat Siau, untuk menghadap Sip-ceng-ong Tolkun. Dengan memiliki
kepandaian bun dan bu (sastera dan ilmu silat), masakan Tolkun takkan memandang
mata kepadanya? Misalnya saja, kalau dia tuturkan bagaimana dahulu dengan menuruti
usul rencananya (The Go) dapatlah Li Seng Tong menduduki daerah, Kwiciu, tentu dia
akan mendapat pujian tinggi dari menteri Ceng itu.
Soal berpaling haluan, itu tiada sangkut pautnya dengan dia. Coba jenderal itu tak
berlaku begitu, pastilah saat ini dia sudah mengenakan pakaian pembesar tinggi dari
kerajaan Ceng! Ah......., kalau mengingat itu, terkutuklah jenderal she Li Itu!
Terkilas pula dalam lubuk kenangannya, bagaimana dengan tindakannya secara radikal,
ganas dan setempo melewati garis2 perikemanusiaan dahulu itu, telah dapat
mengangkatnya ketempat kedudukan yang tinggi (dekat dengan orang besar), maka
mengapa sekarang tidak? Bukantah ujar2 kuno mengatakan „kalau tidak ganas itu
bukan seorang lelaki?" Jika dia tak berlaku begitu, bagaimana dia dapat melaksanakan
pekerjaan besar dan mencapal kedudukan tinggi ?
Sampai pada puncak pertentangan batinnya, wajahnya menampilkan hawa pembunuhan
dan berserulah dia menegas: „Apa katamu tadi?"
Mendengar penyahutan sedemikian kerasnya itu, Bek Lian terkesiap. Tapi api asmara
yang telah membakar seluruh hati sanubarinya itu telah membuatnya buta..., buta
hati..., buta mata...., buta malu...., ja pendek kata lupa se-gala2nya. Tanpa malu didengar
orang lagi, is segera mengulangi kata2nya tadi.
Wajah The Go mengerut kening dan mulutnya mendengus deham „hem......" Diiringkan
dengan seringai-tawa kejam, melengkinglah mulutnya: „Perempuan hina, siapa yang
kesudian ber-senang2 hidup bersama kau?!"
Bek Lian tak percaja akan alat pendengarannya. Wajahnya berobah seketika.
„Engkoh Go, apa katamu itu?" ia menegas.
Kembali The Go tertawa iblis, serunya: „Belum pernah ada seorang gadis me-ngejar2
seorang lelaki macam kau ini !"
Suaranya sengaja diucapkan dengan keras hingga sekalian orang diruangan situ sama
mendengarnya. Kini semua mata ditujukan kepada kedua orang muda itu.
„Engkoh Go, kau ini bagaimana? ....... Apakah kau tidak cinta padaku?" seru Bek Lian
dengan ter-bata2.
The Go tertawa gelak2, sahutnya: „Apakah kau tetap bertebal kulit ?"
Saat itu Tio Jiang sudah dapat meraba apa yang telah dipertengkarkan sang suci dengan
kekasihnya itu. Darahnya serasa berhenti berdenyut ketika hawa kemarahannya
menguap naik.

GAMBAR 80
Apa katamu, engkoh Go?" Bek Lian menegas karena nista The Go itu.
Mendadak gumpulan darah menyembur keiuar dari mulutnya.

„The Go, kau ini bangsat!" teriaknya memaki. Dia tak pandai bermain lidah, jadi hanya
begitu saja caranya memaki. Makian pertama meluncur, diapun sudah tak dapat
melanyutkan lagi makian berikutnya.
„Siaoko, apakah kau tahu artinya kata „bangsat" itu? Bukalah telingamu lebar?. Seorang
lelaki yang galang galung dengan wanita2 yang tak tahu malu itu pasti akan ternoda
namanya. Itulah dia yang pantas disebut 'bangsat'!"
Saking berkobarnya api kemarahan dalam hatinya, dengan ter-hujung2 bangkitlah Bek
Lian dari kursinya. Dengan jari yang menggigil gemetaran, ia menuding The. Go,
mulutnya komat kamit tapi sampai sekian lama tak dapat melancarkan kata2. Setelah
sekian saat bibirnya bergemeretukan, achirnya dapatlah ia mengucap dengan nada ter-
putus2: ,,Kau ..... kau ...... sampaipun anak yang kukandung ini ...... juga tak mau tahu
lagi?"
Bek Lian telah dijelmakan sebagai seorang gadis jelita yang dapat membuat sirik hati
para bidadari. Sejak kecil ia, dimanyakan dengan kasih sayang sang ajah. Adalah karena
sekali salah pilih menyintai seorang manusia berhati serigala macam pemuda tampan
The Go, achirnya ia harus mengalami derita siksaan bathin yang sedemikian
mengenaskan itu. Sampai2 "rahasia" yang sebenarnya tak pantas dikeluarkan itu,
terdengar juga oleh sekian banyak orang. Ia telah memetik buah yang ditanamnya
sendiri..........
Wajah Ceng Bo pucat lesi, sedang tangan Tio Jiang menggigil gemetar. The Go tak
kepalang tanggung. Kembali 'dia tertawa sinis' serunya: „Nona Bek, kau dan aku baru
saja setengah tahunan berjumpa, tapi perutmu sudah sedemikian besarnya, anak itu
......ha,..... ha!"
Dari ucapan itu jelaslah kiranya bahwa The Go tak mengakui kandungan Bek Lian
sebagai anaknya. Atau lebih tegas lagi, dia menganggap Bek Lian itu serupa dengan
wanita lacur. Kalau achli pemikir menelurkan teori bahwa dunia ini berputar, mungkin
orang masih belum 100 persen mempercajainya karena orang tak merasakan perputaran
bumi itu. Tapi bagi Bek Lian hal itu memang suatu kenyataan. Bumi yang dipijaknya
serasa ber-putari, alam diaekelilingnya gelap gelita dan huak ........ segumpal darah
menyembur dari mulutnya dan orangnyapun lalu terhujung jatuh menelungkupi meja,
wur...., wur..... tak henti2nya mulutnya menyembur darah segar...............
Apa yang dipercakapkan oleh Bek Lian dan The Go tadi, terdengar juga oleh Kang Slang
Yan. Tapi karena dia tengah bertempur mati2an dengan Ang Hwat, ia tak dapat berbuat
apa2. hanya dalam batinnya ia menetapkan keputusan, bahwa setelah selesai
pertempuran itu ia tentu akan me-robek2 tulang belulang pemuda itu. Tapi Bek Lian
terus menerus muntah darah, ia tak dapat berdiam diri saja. Setelah melancarkan
sebuah gerak serangan kosong, segera ia loncat menghampiri Bek Lian. Pikirnya kalau
tak lekas2 ditolong, Bek Lian tentu putus jiwanya!
Tapi ternyata Ang Hwat tak mau kasih hati. Begitu Kang Siang Yan hendak loncat
menyingkir, dia segera gerakkan piannya untuk menyabat punggungnya. Betapapun
keinginan, Kang Siang Yan untuk lekas2 menolong Bek Lian, namun terpaksa ia harus
menghalau serangan maut itu dulu. Secepat kilat ia berputar tubuh saegera ia lancarkan
3 buah serangan pedang ber-turut2, sehingga Ang Hwat terpaksa mundur beberapa
tindak. Tapi tatkala ia hendak berputar, lagi untuk menghampiri Bek Lian, pian Ang Hwat
cinyin sudah merangsangnya lagi. Pada saat itu hati dan pikiran Kang Slang Yan hanya
pada Bek Lian seorang. Sedikitpun ia tak mempunyai semangat untuk bertempur lagi.
Adalah karena lawan tetap melibatnya, terpaksa ia melajaninya dengan seru. Sekalipun
begitu kedahsjatan pedang dan pukulannya sudah tak sehebat tadi.
Melihat siasatnya berhasil, puaslah The Go. Tampak Bek Lian muntah2 darah sedemikian
rupa, dia tetap tertawa dingin tak menghiraukan sama sekali. Oleh karena sekalian orang
tak mengerti duduk perkaranya, apalagi sedari permulaan muncul digelangang situ
mereka berdua (Bek Lian dan The Go) tampaknya rukun ber-kasih2an, jadi mereka hanya
keheranan melihati saja. Berbeda dengan Kui-ing-cu, Ih Liok dan lain2. Wajah mereka
menampilkan kemarahan dan bersikap hendak menghajar pemuda bangsat itu. Tapi
Ceng Bo yang berhati baja itu segera memberi isjarat tangan mencegahnya disertai
dengan makian terhadap puterinya itu: „Biar ia, merasakan buah perbuatannya sendiri!"
Hanya Tio Jiang yang tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Sembari loncat
ketengah gelanggang, dia meneriaki sumoaynya: „Siao Chiu, yangan lepaskan bajingan
Itu!"
Tadi para kawan2nya Ceng Bo sibuk menolongi siangjin itu dan nengikuti jalannya
pertempuran Kang Siang Yan dengan Ang Hwat. Mereka tak tahu sama sekall kemana
gerangan lenyapnya sigenit Yan-chiu tadi. Kui-ing-cu dan Ih Liok menyapukan matanya
untuk mencari sigenit kesekeliling gelanggang situ, tapi tiada ada. Dipanggilnya ber-
ulang2pun, tidak menyahut. Ai, kemana ia? Para tokoh2 itu mulai gelisah.
Mungkin kegelisahan para cianpwe itu akan lebih besar lagi kalau mengetahui bahwa
pada saat dan detik itu Yan-chiu menggelepar dibawah tanah tak ingat diri lagi!
Kala Tio Jiang memburu kearah The Go tadi, belum lagi dia sampai kesana tiba2
tubuhnya tampak meregang kaku lalu rubuh ketanah. Mulutnya ber-buih2
mengeluarkan busa.
„Arak yang dihidangkan kawanan anying itu ada racunnya!" se-konyong2 ada orang
berteriak dengan nyaring cemas.
Oleh karena penulis hanya mempunyai sebuah Mata pena, pada hal banyakn ja ked
jadian2 yang berlangsung pada waktu yang bersamaan itu, jadi' terpaksa sekaligus tak
dapat memaparkan. Maka baiknya kita tinggalkan dulu suasana hiruk pikuk yang terjadi
digelanggang pertempuran akibat rubuhnya Tio Jiang itu, Kini mari kami ajak pembaca
mengikuti keadaan Yan-chiu yang pingsan tak sadarkan-diri itu dulu.
---oo0oo---
Pada waktu ia tersadar, didapatinya kaki dan tangannya sudah dapat digerakkan. Sudah
tentu ia heran dibuatnya. Rupanya Kuan Hong dan Wan Gwat tahu apa yang diherankan
cicinya itu, maka buru2 mereka berebut memberi keterangan: „Cici, ilmu penutuk jalan
darah dengan melalui tulang, karena kami berkelakuan baik, sucou telah menurunkan
barang dua buah kepada kami. Ternyata ada gunanya juga ilmu itu!"
Kini baru jelaslah Yan-chiu mengapa kaki dan tangannya saat itu dipat digerakkan.
Buru2 ia menanyakan berapa lamanya ia pingsan tadi. Kedua anak itu mengatakan
hanya sebentar saja. Yan-chiu duduk mengambil napas, Walaupun dadanya agak terasa
sakit, tapi tiada mengakibatkan suatu apa. Itulah disebabkan karena ia dulu memakan
biji kuning mustika batu itu.
„Ajuh, kita lekas2 mencari mulut jalanan dibawah tanah itu!" serunya seraja loncat
bangun. Tapi berbareng pada, saat itu, mulut pintu lubang disebelah atas sana menyadi
gelap pula dan padsa lain- saat kedengaran orang berseru memanggil: „Toa-supeh!"
Yan-chiu cepat menyemput terali besi serta memberi isjarat mata, pada Kuan Hong dan
Wan Gwat. Walaupun masih kecil rupanya kedua imam anak2 itu cerdas juga. Mereka
menangkap maksud Yan-chiu.
„Toa-supeh berada disinilah!" serunya menyahuti.
Beberapa tosu yang berada diatas itu segerera turun kebawah. Jelas diketahui Yan-chiu
bahwa mereka berjumlah 6 orang. la taksir dapat mengatasi mereka. Maka belum lagi
mereka menghampiri dekat, ia sudah meneryangnya. Terowongan situ walaupun diberi
lampu penerangan, tapi tetap gelap remang2. Ketika tosu yang berjalan dimuka sendiri
melihat ada, angin menyambar, dia kira kalau Ciang Tay-bing atau toa-supehnya, maka
buru2lah dia berseru: „Toa-supeh, ampun ......."
Belum sempat dia melanyutkan kata2nya minta ampun, atau ujung terali besi Yan-chiu
sudah menusuk dadanya. Sekali dorong tubuhnya terjerembab kebelakang menyatuhi
ketiga kawannya yang berada dibelakangnya. Begitu ketiga orang itu jatuh tumpang
tindih, Kuan Hong dan Wan Gwat segera menubruk untuk menutuk jalan darah mereka.
Sedang Yan-chiupun secepat kilat sudah meneryang lagi kemuka dan mencekik leher
kedua imam yang berjalan paling belakang sendiri.
„Awas, kalau berani bercuit, nyawamu kucabut!"
Melihat bahwa toa-supehnya (Ciang Tay-bing) menggeletak ditanah dalam keadaan tiga
perempat mati, kedua orang itu copot nyalinya. Takut kalau dipergoki orang lagi, Yanchiu
seret kedua imam itu keujung dinding sana lalu mulai mengorek keterangan: „Kalian ini
siapakah yang mengetahui adanya jalanan dibawah tanah yang menembus ruangan
pertempuran sana? Ajuh, katakan yang benar, supaja badanmu tetap bernyawa!"
Salah seorang dari kedua imam itu yang yanggutnya sudah mulai putih, segera menyahut
dengan ter-bata2:" Sejak 10 tahun lamanya siao-to (aku) menyadi tosu di Ang Hun Kiong
sini, belum pernah mendengar akan hal itu!"
Sedang kawannya yang seorang menyatakan bahwa kecuall terowongan disitu itu, tiada
lain jalanan dibawah tanah lagi. Saking gelisahnya, Yan-chiu banting2 kaki lalu
benturkan kepala kedua imam itu kedinding, hingga pingsanlah mereka.
„Kalau benar jalanan itu tidak ada, dimanakah mereka memasang dinamit itu ?" Yan-
chiu ber-sungut seorang diri seraja menghela napas.
Tapi baru ia mengut japkan kata2 itu, atau Kuan Hong dan Wan Gwat segera berebut
menanyakan: „Cici, apa yang kau katakan tadi?"
„Ah, kau anak kecil tahu apa!" seru Yan-chiu dengan uring2an.
„Memang lain2 hal aku tak tahu, tapi apa itu yang kau sebut 'dinamit' pernah aku
mendengarnya," bantah Kuan Hong dengan jebikan bibirnya.
Girang Yan-chiu tak terkata. Semangatnya segar lagi. Ia menduga tentulah kedua to-
thong itu menyadi murid kesayangan Ang Hwat. siapa tahu mungkin mereka mengetahui
rahasia itu. Tapi pada lain saat, ia geleng2kan kepala. Bukankah, kedua anak itu
beberapa hari lamanya di „gantung" dibawah tanah, bagaimana mereka tahu akan hal
Itu? Maka Yan-chiupun tak mau bertanya lagi.
„Cici, mengapa kau tak menanyakan lagi?" Kuan Hong menegurnya dengan sibuk.
Dengan menghela napas, terpakaa Yan-chiu ceritakan juga tentang bencana yang hendak
dibawakan rombongan jagoan itu dengan rencananya memasang dinamit dibawah tanah.
Mendengar itu kedua anak itu saling berpandangan.
„Cici, bukankah orang yang memasang dinamit itu seorang yang bertubuh gemuk kate?"
„Entahlah!" sahut Yan-chiu. Tapi pads. lain saat ia memperoleh pikiran baru dan
menyusuli pertanyaan: „Apakah kalian mengetahuinya?"
,,Kemaren ada dua orang, satu pendek gemuk dan yang lain bertubuh tinggi besar, lewat
dimuka kamar tutupan kami dengan membawa sebuah bungkusan besar. Entah apa
yang dipercakapkan waktu itu, hanya antara lain mereka mengatakan sekali meledak
pasti akan habis seluruhnya. Kami berduapun tak menaruh perhatian. Lewat sekian lama
baru kelihatan mereka lalu lagi dikamar situ, tapi sudah tak membawa bungkusan lagi!"
„Hai, kiranya terowongan itu masih ada tembusannya lagi? Ajuh kita lekas2 mencarinya!"
seru Yan-chiu kegirangan.
Tapi sampai sekian saat, merabah kesini mengorek kesana, tetap tak memperoleh apa2.
Terowongan dibawah tanah itu tetap merupakan sebuah lorong sepanjang 8 tombak.
Kalau menurut keterangan Kuan Hong, kedua orang itu kemaren lalu dimuka kamar
tahanan, jadi nyata kalau mulut jalanan rahasia tentu berada diujung lorong terowongan
Itu. Yan-t jhiu gunakan terali besi untuk me-nutuk2 dinding terowongan tapi tetap nihil
hasilnya. Saking gemasnya Yant jhiu banting terali besi itu kebawah; tring.........
,,Hai, kiranya mulut jalanan rahasia itu berada dibawah lantai. Celaka, tadi aku hanya
mencarinya diatas dinding saja!" serunya berjingkrak kegirangan.
Lantai itu tiada tampak ciri2 yang luar biasa. Yan-chiu gunakan ujung terali untuk
mengoreknya dan berhasil menyungkit dua ubin warna hijau. Begitu ubin terangkat,
disitu terdapat sebuah tutupan besi dan dua buah kunci. Yanchiu me-mutar2 kunci itu
kekanan kiri lalu menarik dan mendorongnya. Krek....., krek......, tiba2 terbukalah
sebuah lubang berbentuk pesegi, besarnya menyerupai mulut terowongan dibawah
perapian dupa itu.
Yan-chiu menghembuskan napas lega, lalu melambai pada kedua anak itu diajak masuk.
Didalam jalanan rahasia dibawah tanah itu, gelapnnya bukan main. Lewat beberapa saat
kemudian, barulah mata, Yan-chiu agak biasa dengan keadaan disitu. Ternyata lorong
jalanan rahasia itu panjang sekali. Mereka bertiga terus menyusur kemuka, namun
belum berhasil menemukan sumbu dinamit pun tak mengetahui batas manakah yang
tembus pada ruangan pertempuran itu.

(Bersambung Ke Bagian 43)


BAGIAN 43
BERGENIT DENGAN MAUT

BAGIAN 43.1

Tiba2 didengar diatas dinding jalanan rahasia ada suara hiruk pikuk. Bermula Yan-chiu
tertegun, tapi pada lain saat berbalik menyadi girang, serunya: „Disinilah. Suara hiruk
pikuk itu tentu menandakan adanya orang2 yang berada diruang pertempuran. Kita
harus lekas2 berpencar untuk mencari tempat dinamit itu!"
Baru saja ia mengucap begitu, tiba2 disebelah atas terdengar suara orang tertawa
mengekeh.
„Ai, keliru! Yang ketawa mengekeh itu tentulah Hwat Siau dan isterinya. Kemungkinan
besar mereka sudah akan turun kebawah untuk menyulut dinamit. Kalau masih belum
berhasil menemukan, celaka sudah!" Yan-chiu mengeluh sendirian.
Ia menyusur kemuka lagi. Belum beberapa jauh, diatas langit jalanan itu kembali
terdengar ada suara „duk..., duk..... Lagi2pun Yan-chiu tertegun berhenti. Tiba2 terasa
ada getaran keras dan dari atas langit jalanan situ, dindingnya sama berguguran. Yan-
chiu makin sibuk tak keruan. Sebaliknya dengan penuh kejakinan kedua to-thong itu
menyatakan bahwa diatasnya situlah ruangan pertempuran itu.
„Itu tentulah sucou tengah unyuk kelihayannya, menginyak hancur marmar lantai. Kalau
tidak masakan bisa kejadian begini!" kata mereka berdua.
Yan-chiu sependapat dengan dugaan kedua to-thong itu. Baru ia hendak suruh mereka
berpencar mencari, tiba2 terdengarlah kumandang orang ber-cakap2. Astaga, itulah
suara Hwat Siau dan Swat Moay yang mendatang.
„Koanyin, terang kalau kedua mulut jalanan dibawah tanah ini dibuka orang. Bahkan
disana tadi terdapat majat2 bergelimpangan. Yangan2 rencana kita bocor ini!" seru yang
perempuan.
,,Niocu, ayangan kuatir. Siapa yang berani mencabut kumis harimau, biarlah dia
bertamasja keacherat sana!" kata sileiaki.
Dari kumandang suaranya, nyata mereka masih terpisah jauh dari tempat Yan-chiu
bertiga. Pada lain saat tampak api dinyalakan. Rupanya kedua suami iateri itu sudah
mulai akan menyulut sumbu. Yan-chiu makin cemas seperti dikejar setan. la mendongak
dan hai, benda apakah yang menonyol dilangitan dinding itu? Tanpa buang tempo lagi,
la segera loncat keatas dan menarik benda itu kebawah. Ketika di-amat2inya, itulah salah
seutas sumbu yang menyambung keluar tempat Hwat Siau sana. Cepat ia memijat
sekuat2nya dan putuslah kabel sumbu itu.
„Hwat Siau Swat Moay, silahkan menyulut. Habis menyulut kau tentu lari ter-birit2.
Siapa tahu sampai ditempat ini sumbunya sudah putus, jadi dinamit itu takkan meledak,
ha, ha!" Yan-chiu berkata seorang diri dengan gea dan puas.
Entah bagaimana, api yang menerangi tempat iiwat Siau Itu tiba2 padam.
„Hai, mengapa kau padamkan api itu?" Hwat Siau menegur isterinya.
„Kalau ada orang mengetahui rencana kita, dan siang2 memutuskan kabel dinamit itu,
bukantah sia2 saja jerlh pajah kita ini? Rasanya kalau tak memeriksa tempat dinamit
itu, tak lega, hatiku. Diatas masih bertempur seru, kalau menyenguk kesana, rasanya
takkan terlambat!" sahut Swat Moay.
Hwat Siau puji ketelitian isterinya, serunya: „Benar, benar! Kalau sampai terjadi begitu
memang sia2 sajalah segala jerih pajah kita ini!"
Pada waktu kata2nya yang terachir itu diucapkan, suaranya sudah dekat sekali dengan
tempat Yan-chiu yang kelabakan setengah mati. Untuk melawan kedua iblis itu, terang
ia tak mampu ia ambil putusan nekad. Dijemputnya dinamit itu, terus dibawanya lari
kemuka. Kira2 empat lima tombak jauhnya mereka bertiga berhenti sejenak. Tapi pada,
saat itu kumandang suitan Hwat Siau melengking ditelinga mereka. Suitan itu aneh dan
seram kedengarannya, hingga membuat bulu roma berdiri. Menyusul dengan itu Hwat
Siau segera menghamburkan kata2nya yang mengguruh laksana guntur berbunyi:
„Entah ko-chiu (jago silat) manakah yang mengganggu-usik pekerjaan kami berdua
suami isteri ini?. Seorang jantan tak nanti berbuat secara menggelap, silahkan keluar!"
Saking gelinya diaebut seorang ko-chiu, pecah mulut Yan-chiu bercekikikan. Memang
genit betul dara Lo-hu-san Itu. Masa dalam keadaan sedemikian genting berbahaya itu
ia masih berani main2! Dan karena ketawa Itu, kini ketahuanlah sudah tempat
persembunyiannya. Tapi diluar dugaan, kedua suami isteri itu tak berani gegabah
menyerbunya.
Memang adat sepasang suami isteri itu berlainan. Silelaki berangasan, tapi isterinya lebih
cermat dan teliti. Kala mereka tiba ditempat dinamit situ, Yan-chiu sudah menyingkir
kira2 5 tombak jauhnya dan bersembunyi ditempat gelap. Demi melihat kabel (sumbu)
putus dan dinamitnya lenyap, Swat Moay mereka dugaan, bahwa rencana pendinamitan
itu dirahaslakan sekali, terbukti dari kenyataan bahwa sekalipun Ang Hwat cinyin tak
diberitahukan hal itu. Kecuali ke 18 jagoan sebawahannya itu, tiada setan lagi yang tahu.
Katau toh ternyata ada orang yang tahu, dia tentunya seorang ko-chiu yang dapat
mencuri dengar rencana persiapannya. Menilik kepandaian mereka (Hwat Siau - Swat
Moay), orang yang dapat mencuri dengar pembicaraan itu, tentulah seorang jago yang
berkepandaian tinggi.
Dengan purbasangka itulah maka lebih dulu Hwat Siau telah mengajukan pertanyaannya
tadi. Dengari terdengarnya suara ketawa Yan-chiu tadi, makin cenderunglah mereka
akan dugaannya tadi. Setelah berhasil menggondol dinamit dia memutuskan kabel, orang
itu tetap berada disitu tak mau melarikan diri, terang kalau bukan seorang yang memiliki
kepandaian ber-lebih2an, tentu tak Bernyali sebesar itu. Saking gusarnya, Hwat Siau
terus hendak turun tangan tapi cepat dicegah sang isteri.
„Koanyin, yanganlah kite sampai berkubur bangkai disini. Ke 18 orang kita itu sudah
turun gunung, kita terpencil sendirian. Kalau ribut2, Ang Hwat tentu akan mengetahui
peristiwa dinamit ini. Kalau sampai demikian, kita pasti tergencet hebat. Kasih aku yang
memberesinyalah!"
Hwat Siau dapat dibikin mengerti. Dan dengan suara nyaring melengking Swat Moay
sudah kedengaran berseru: „Kesaktian cunke (anda) itu, kami suami isteri berdua sangat
mengagumi sekali. Diempat penyuru lautan ini, semuanya adalah saudara. Kalau cunke
sudi membantu urusan kami kali ini, budi ini tentu akan kami ukir sampai mati !"
Yan-chiupun tahu mengapa mereka tak menyerbunya itu, sinakal dengan lega hati ia
terus mundur lagi kesebelah dalam. Dari Ceng Bo den Tay Siang Siansu, ia sudah
mewarisi ilmu mengentengi tubuh yang sempurna, ketambahan setelah minum mustika
batu itu, gerakannya makin enteng dan lincah. Pengundurannya itu tadi, sedikitpun tak
menerbitkan soara apa2. Tapi iapun ternyata hanya dapat beringsut sejauh 2 tombak
saja, karena ketika berpaling kesebelah dalam hatinya segera mengeluh cemas.
Kiranya sampal ditempat itu, jalanan dibawah tanah situ sudah buntu. Disekeliling situ
tiada jalan tembusan lagi. la, andaikata ada, pada saat itu terang ia tak sempat
menyelidikinya. Kegelisahan Yan-chiu, sukar dilukiskan,
„Niocu, rupanya sahabat Itu tak mempedulikan kita!" tiba2 kedengaran Hwat Siau
berkata dengan iringan tertawa sinis.
Tapi rupanya sang isteri masih berputus asa, serunya: „Kami berdua suami isteri yang
bodoh ini, adalah Hwat Siau dan Swat Moay dari Tiang-peksan. Oleh karena baru pertama
kali berkunyung kedaerah selatan, jadi tak faham akan golongan orang gagah didaerah
ini, sehingga dalam perjalanan itu kita lalai untuk membuat kunyungan kehormatan.
Apabila bersalah terhadap saudara, mohon saudara sudi memberi maaf se-besar2nya.
Dengan tak memberi jawaban suatu apa, apakah saudara benar2 tak suka berkenalan
dengan kami?"
Tu lihatlah! Bagaimana merendah Swat Moay dalam kata2nya itu. Ia tetap jerikan Yan-
chiu yang dikiranya seorang jago sakti itu. Jadi kecemasannya tak lebih kurang darl Yan-
tihiu sendiri.
Memang dalam keputusan asa, Yan-chiu audah membulatkan tekadnya. Kalau saja
kedua orang itu berani meneryang, ia sudahh siap untuk menyambutnya dengan
melemparkan dinamit itu. Sekalipun tidak meledak, tapi sekurang2nya dinamit itu pasti
akan pecah berantakan. Biarkan ia seorang diri binasa, asal sekian banyak orang gagah
pejoang kemerdekaan itu tak sampai lebur. Semangatnya me-nyala2 dan nyalinyapun
besar. Mati untuk perjoangan kemerdekaan negara, adalah mati sahid. Walaupun
jasadnya hancur lebur, tapi namanya tetap bersemarak diagungkan sepanjang masa!.
Dan kalau dipikir lebih jauh, lambat atau laun, manusia itu tentu akan mati, pendirian
Yan-chiu makin teguh. Orang menyohorkan suami isteri Hwat Siau-Swat Moay itu
sebagai jagoan silat yang sakti. Tapi apa yang dapat dibanggakan oleh mereka berdua
itu? Andaikata Yan-chiu nanti binasa, bukantah ia akan lebih disanyung dan diabadikan
sebagai seorang Srikandi, jauh lebih terhormat daripada Hwat Siau dan Swat Moay itu?
Pandangan terhadap nilai kedua suami isteri jagoan itu menurun beberapa derajat. Maka
atas ulangan pertanyaan Swat Moay tadi, ia hanya menyambutnya dengan sebuah
tertawa dingin menghina.
Mendengar itu Hwat Siau dan Swat Moay terkesiap. „Kalau benar2 cunke tak mau keluar,
cayhe (aku) hendak mohon pengajaran barang sejurus!"
Dalam istilah2 yang maksudnya menyelomoti orang (menipu), ada salah satu yang
berbunyi demikian „mengobati kuda mati se-olah2 binatang itu seperti hidup". Dan Yan-
chiu yang teringat akan peribahasa itu, segera mempraktekkannya. Dengan
melengkingkan nada suaranya setajam mungkin, berserulah ia „Hem......, siapa kalian
karena takut lalu menakuti" orang itu, akupun sudah mengetahuinya. Ah......., heran,
mengapa Tolkun mengutus sebangsa kantong nasi macam kalian berdua itu untuk
melakukan tugas sebesar ini!"
Keheranan kedua suarni isteri makin men-jadi2. Dari nada suaranya teranglah itu
seorang wanita, tapi mengapa sedemikian beraninya? Sewaktu berkunyung kedaerah
selatan situ, pernah dari salah seorang ke 18 jagoan itu mereka mencari keterangan
tentang tokoh2 dunia persilatan didaerah selatan. Kesemuanya mengemukakan Kui-ing-
cu, Ang Hwat cinyin, Tay Siang Siansu dan Kang Siang Yan, adalah empat datuk besar
dari daerah situ. Lain2nya seperti Ceng Bo siangjin, Sin-eng Ko Thay, Nyo Kong-lim dan
lain2, walaupun cukup kosen, tapi tak ber-lebih2an. Tapi terhadap „tokoh" yang
melengking nada suaranya dan yang begitu bernyali besar untuk memanggil nama
Tolkun tanpa sebutan gelarnya, belum pernah mereka mendengarnya! Dan ternyata
mereka merasa jeri juga, tak berani gegabah menyerbu.
Sebelum mati berpantang ajal. Yan-chiu gunakan tepat sekali ajaran pepatah itu. Ini
disebabkan ia berada didalam lorong jalanan rahasia, sehingga musuh dapat
dikelabuinya. Coba ditempat yang lebar, tak nanti ia dapat mempermainkan Hwat Siau
dan Swat Moay yang memiliki panca indera tajam itu.

Memang tempat itu membantu banyak kepada Yan-t jhiu. Kumandang suara Hwat Sisu
Swat Moay, telah bergulung campur dengan kumandang nada suaranya (Yan-chiu),
apalagi sengaja ia buat nadanya itu sedemikian rupa.
„Kang Siang Yankah?" kedua suami isteri itu bertukar pandang seraja men-duga2 dalam
hati. Tapi mengingat bahwa tokoh itu masih berada diatas dan sedang terlibat dalam
pertempuran dengan Ang Hwat, tentu bukan dianya.
„Sukakah kiranya cunke memberitahukan nama dan gelaran cunke yang muHa itu?
Walaupun kepandaian kami berdua memang cetek, tapi kalau benar2 cunke hendak
menghalangi pekerjaan ini, rasan ja tak mudah jugalah!" kembali Swat Moay berseru.
Yan-chiu mengambil keputusan, sedapat mungkin ia hendak ulur waktu hingga
mudah2an nanti terjadi suatu perobahan yang tak terduga.
„Bangsa 'kantong nasi' macam kalian itu, hendak melawan aku? Nyalimu sih besar juga
berani datang kedaerah Selatan sini, tapi ternyata hanya begitu macam kepandaianmu,
masakan Lamhay Hu Liong-poh saja kalian sudah tak mengenalnya!"
Untuk mengaku seorang lelaki terang akan. ketahuan karena ia bernada perempuan,
maka cepat2 ia sembarangan mengaku sebagai Hu Liong-poh, Itu tokoh wanita yang
menduduki mahkota tertinggi dalam dunia persilatan daerah selatan. Benar juga, kedua
suami isteri itu segera tersentak kaget mendengarnya. Memang nama tokoh wanita itu
sangat berkumandang dikolong jagad, tapi menurut kabar sudah lama meninggal.
Apakah desas desus itu bohong belaka? Tanpa terasa kedua suami isteri itu berjajar bahu
membahu, jalah sikap yang dilakukan apabila mereka berhadapan dengan musuh yang
tangguh.
Andaikata Yan-chiu tak ngoceh lagi, se-kurang2nya pastl dalam sejam lamanya Hwat
Siau dan Swat Moay tak berani berkutik. Tapi entah bagaimana ia merasa kuatir sendiri
yangan2 lawan tak mempercajai keterangannya tadi, maka pada lain saat ia segera
beraeru. lagi: „Huh, sampaipun anak murid dari beliau siorang tua itu saja kalian tak
mengetahui, masih mau mengagulkan diri begitu macam!"
„Melukis ular tapi diberi kaki", kata2 ini menyatakan bahwa karena bermaksud hendak
menyempurnakan pekerjaannya, kalau tak dipikir masak2, sebaliknya bisa malah
merusak pekerjaan itu seluruhnya. Memang pengetahuannya tentang tokoh2 persilatan,
Yan-chiu masih kurang. Sebaliknya walaupun Hwat Siau dan Swat Moay itu selalu
berdiam didaerah utara dan hanya sekali itu datang kedaerah selatan, tapi mereka cukup
faham bahwa Hu Liong-poh itu tidak mempunyai barang seorang muridpun juga.
Pengakuan Yan-chiu segera terbuka kedoknya.
„Koanyin, dia bohong, Hu Liong-poh tak pernah menerima murid!" bisik Swat Moay
kepada auaminya.
„Benar, kita harus lekas2 turun tangan, kalau terlambat tentu akan gagal!" sahut Hwat
Siau.
Walaupun jaraknya dengan Yan-chiu hanya terpisah 3 tombak, tapi dengan kepandaian
sakti yang dimilikinya itu, mereka dapat bergerak tanpa dapat diketahui. Tahu2 Hwat
Siau sudah maju kemuka dan jelas kelihatan dimuka sana tampak ada sesosok tubuh
kecil langsing. Kini tahulah mereka kalau diselomoti orang. Masih Yan-chiu tak merasa
akan perobahan posisi itu, maka masih juga ia enak2an mengancam: „Mengapa kalian
tak lekas2 tinggalkan tempat ini? Menilik sesama kaum persilatan, yanganlah hendaknya
sampai meretakkan perhubungan..........."
Belum sampai ia menyelesaikan kata2nya itu atau Hwat Siau yang sudah jelas akan
sandiwara itu, segerad berkisar maju dan mengirim hantaman.

GAMBAR 81
dan baru Yan Chiu hendak meneruskan sandiwaranya atau mendadak Hwat Siau sudah
menubruk maju terns melontarkan serangan ganas

Terik panas membara laksana hawa ditengah muaim kemarau, adalah perasaan Yan-
chiu kala dia menerima hantaman itu. Memang ilmu lwekang yang dijakinkan Hwat Siau
itu adalah lwekang yan-hwat (api positip). Lwekang itu dapat menyalurkan hawa sepanas
api. Ilmu itu adalah warisan dari seorang persilatan aneh dari jaman Song, bernama Hwat
Bu-hay (api tak mempan) yang tinggal dipulau Bu-ti-to dilaut Pak-hay. Lwekang yang di
jakinkan itu berlawanan sifatnya dengan yang difahamkan oleh Swat Moay. Apabila
menghadapi musuh tangguh, selalu kedua suami isteri itu bahu membahu
Saking tak tahannya dibakar lwekang itu, Yan-chiu loncat mundur. Hwat Siau murka
karena dipermainkan tadi. Kini dengan beringas, dia loncat menerkam tangan sinona.
Karena tak dapat mundur lagi, Yan-chiu menghindar kesamping. Tapi diaini ia segera
rasakan hawa dingin merangsang tubuhnya, hingga sampai menggigil gemetar. Dalam
sibuknya, segera ia loncat keatas untuk menggelantung, kemudian loncat kebawah lagi.
Dengan jalan begitu, barulah ia dapat terlolos dari hantaman maut. Dalam pada itu iapun
segera siap untuk melemparkan dinamit itu. Tapi saat itu Hwat Siau dan Swat Moay
sudah maju berbareng hingga ia, tak mempunyai kesempatan sama sekali.
Hanya pada lain kejab saja, atau Yan-chiu segera rasakan lengannya seperti terjepit besi,
sakitnya bukan olah2. „Aii........." mulutnya melengking keluh, dan dinamit yang dipegang
itupun jatuh ketanah, dan cepat2 dipungut oleh swat Moay.
„Koanyin, putusan sumbunya, masih dapat disambung. Kau jaga dia, biar aku yang
memasangnya lagi!" seru Swat Moay.
Hwat Siau mengiakan dan lalu menepuk bahu Yan-chiu siapa terus saja mendeprok
ketanah tak dapat berkutik. Tapi dalam keadaan itu, masih jelas ia, melihat kedua suami
isteri itu sibuk memasang dinamit dan menyambung kabelnya lalu menyulutnya. Suara
sumbu menyala men-desis2 dan mereka lalu mundur, terus lenyap dari situ. Penderitaan
Yan-chiu kala itu sukar dilukiskan. Matanya melihat bahaja, namun badan tak berdaja.
Seingatnya saejak sebesar itu, baru pertama kali itu ia, mengalami siksaan yang
sedemikian hebatnya. Sis...., sis......, sis....., demikianlah sumbu itu terus merajap.
---oo0oo---
(Bersambung Ke Bagian 43.2)
BERGENIT DENGAN MAUT

BAGIAN 43.2

Baik kita tinggalkan dulu Yan-chiu yang tengah menantikan maut itu dan mari kita
tengok kembali keruangan pertempuran sana. Seperti diketahui kala Tio Jiang rubuh
dengan mulut berbuih busa, sekalian orang gagah sama menuduh bahwa arak yang
dihidangkan orang Ang Hun Kiong itu tentu ditaruhi racun. Saat itu suasana hiruk pikuk
bukan buatan.
„Manusia yang tak tahu malu, mengagungkan diri sebagal datuk cabang persilatan, tapi
tak tahunya sedemikian licik dan keji perbuatannya, menaruh racun dalam arak.
Sungguh biadab!" sekalian orang2 gagah dalam rombongan Ceng Bo ber-teriak2 dengan
marah.

GAMBAR 82
Heran sekali Ceng Bo Siangjin ketika mendadak melihat Tio Jiang menggeletak dengan
mulut mengeluarkan busa dan kemudian telah sadar sendiri, ia menyadi ragu2 apakah
sang murid itu mempunyai penyakit ajan ?

Ang Hwat marah besar, tapi ketika melirik kearah Tio Jiang dilihatnya memang pemuda
itu dalam keadaan pingsan tak ingat dan mulutnya mengeluarkan busa. Diapun
terperanyat, dan karena sedikit meleng itu, hampir2 ia kena digenyot Hang Siang Yan,
cepat ia pusatkan perhatiannya kembali menghadapi lawannya itu.
Dalam pada itu, karena sama mengira sudah keracunan, beberapa orang diantaranya
yang aseran terus ikut mengerubut kearah Ang Hwat Cinyin dan The Go. Melihat gelagat
jelek, lekas2 The Go keluarkan Ceng-ong-sin dan diabat-abitkan, hingga para pengerojok
itu terpaksa mundur.
„Berhenti semua!" se-konyong2 Ang Hwat Cinyin membentak sambil melompat mundur.
Karena suara gertakan keras itu, semua orang menyadi terpengaruh dan berhenti
bertempur. Begitu pula Hang Siang Yan ikut tertegun. Dan selagi Ang Hwat Cinyin
hendak menyangkal tak menaruh racun didalam arak, tiba2 terdengar seorang berkata
dengan dingin: Bocah itu tentu terkena racun obat 'Sip-jit-tui-hun-tan' milik kepala suku
Biau, Kiat-bong-to, tiada sangkut-pautnya dengan siapapun."
Waktu semua orang berpaling, kiranya yang bicara adalah satu diantara 18 jago dimeja
sana, yang berperawakan liecil, orang kenal dia bernama Can Bik San, berjuluk „Ngo-tok-
lian-cu-piau" atau piau berantai panca bisa, jaitu karena lima macam racun yang dibuat
merendam senyata rahasianya, saking jahat racun yang dipakainya itu, asal lecet saja
sasarannya, pasti jiwa akan melayang. Sebab itu, nama Can Bik San dengan cepat
terkenal. Tapi karena kelakuannya yang tidak pandang kawan atau lawan, maka ia
terdesak dikediamannya dan terpaksa menggabungkan diri pada pemerintah Ceng.
Kini melihat suasana kacau-balau, boleh jadi akan merusak rencananya, maka cepat ia
bersuara untuk menghilangkan curiga semua orang.
Ketika semua orang memandang Tio Jiang, pemuda itu ternyata sudah baikan, busanya
sudah sedikit, wajahnya mulai memerah. Dengan menahan sakit dilengannya, Ceng Bo
Siangjin mendekati muridnya itu dan memeriksa pernapasannya, tapi urat nadi Tio Jiang
berjalan biasa, tampaknya bukan terkena racun. Karuan Ceng Bo sangat heran, kalau
pemuda ini tidak keracunan, lalu kenapa mendadak roboh dengan mulut berbusa?
Yangan2 punya penyakit ajan!
Selagi Ceng Bo ragu2, terdengar Tio Jiang sudah bisa bersuara seperti orang baru bangun
tidur. Ceng Bo pikir dalam keadaan demikian, kalau pertarungan dilakukan secara
kerubutan, tentu takkan menguntungkan pihaknya, apalagi pihak musuh masih ada dua
jago yang belum turun kalangan. Maka serunya: „Harap semua orang kembali tempat
duduknya masing2!"
Tapi baru selesai perkataannya, mendadak-terdengar suara jeritan ngeri.
(Bersambung Ke Bagian 44)
ANYING GILA

BAGIAN 44.1

Kiranya ketika mendengar bentakan keras dart Ang Hwat Cinyin tadi, Kang Siang Yan
agak tertegun. Tapi ternyata Ang Hwat tak menyerang, maka Kang Siang Yan buru2
menghampiri Bek Lian. Tapi pada saat itu keadaan Bek Lian sudah keliwat pajah.
Keguncangan yang, dideritanya adalah sedemikian hebat, hingga kandungannya turut
bergerak keras. Sekali mulut menguap, segumpal darah segar muntah keluar dan
limbunglah ia antara sadar tak sadar.......... Masih ia dapat mengenali wajah ibunya, tapi
karena tenaganya sudah habis, sepasang bibirnya yang pucat seperti tak berdarah itu
ber-gerak2, namun tak dapat mengeluarkan sepatah katapun jua!
Melihat puteri biji matanya mengalami penderitaan yang sedemikian sengsaranya,
kemurkaan Kang Siang Yan meluap. Ia deliki mata kearah The Go, dimana saat itu
justeru sedang memandang kearah Bek Lian dan Kang Siang Yan. Pancaran mata Kang
Siang Yan ternyata sedemikian ber-api2, hingga jantung The Go serasa berdebar keras.
„Bangsat, tak nanti kau terlepas dari tanganku!" pikir Kang Siang Yan. la anggap jiwa
Bek. Lian lebih utama dahulu, maka segera ia salurkan lwekang untuk menyalankan
perdarahan tubuh Bek Lian. Lewat beberapa jurus kemudian, barulah Bek Lian
kedengaran menangis.
„Sudah, nak, yangan menangis. Biar ibumu yang membalaskan!" hibur Kang Siang Yan
dengan rawan.
Mendengar itu The Go takut setengah mati. Kalau Kang Siang Yan sampai turun tangan,
habislah riwajatnya. Dari segala macam siasat membela diri, angkat kaki adalah yang
paling selamat. Sebat sekali dia lalu hendak ngacir, tapi ternyata Kang Siang Yan lebih
sebat darinya. Hanya tampak tubuhnya berguncang sedikit, atau tahu2 wanita gagah itu
sudah berada disampingnya dan terus ulurkan tangannya hendak mencengkeram. Cian-
bin Long-kun The Go coba hendak menangkis dengan ular ceng-ong-sin, tapi cukup
dengan dua buah jari saja Kang Siang Yan telah dapat menyepit erat2 angsang ular itu,
hingga tak dapat berkutik lagi. Malah berbareng itu, lima buah jari tangan kirinya
mencengkeram bahu The Go, menekan bagian tulang pi-peh-kun. Maka seketika itu The
Go rasakan kesakitan hebat dan mengeranglah dia dengan jeritan seram.
„Hem, kukira kau seorang jantan, berani berbuat berani tanggung resiko, tak tahunya
hanya bangsa 'kantong nasi', belum mati sudah men-jerit2 ketakutan!" Kang Siang Yan
me jeringai.
Wajah The Go berobah pucat lesi, butiran keringat sebesar kacang hijau ber-ketesa turun
dari dahinya. Mukanya seperti orang dicekik setan tampaknya. Kang Siang Yan
sentuhkan lengannya ketangan The Go dan kelima jari sianak muda yang mencekali ular
itu segera kendor. Tahu2 ceng-ong-sin sudah pindah ketangan Kang Siang Yan.
Karena angsangnya dipijat, ular itu tak dapat berkutik, hanya lidahnya saja yang
menyulur surut. Demi dirangsang oleh kebenciannya terhadap „mantu"nya yang mania
itu,
Kang Siang Yan acungkan ular ceng-ong-sin kemuka The Go. Bau amis segera
menyampok hidung The Go ketika lidah ceng-ong-sin itu terpisah hanya setengah dim
dari kulit mukanya. Hilang semangat The Go dibuatnya dan serentak merintih dia dengan
ter-iba2: „Gakbo, ampun! Siausay mengaku salah!"

GAMBAR 83
„Ampun, Gakbo (ibu mertua) :" teriak The Go
ketika kena dicengkeram Kang Siang Yan.

Terjentik sanubari Kang Siang Yan mendengar rintihan sang „menantu" itu. Puterinya
sudah terlanyur memilihnya dan sudah pula mengandung, kalau dia dibunuh, berarti
juga Bek Lian nanti akan menyadi janda sebelum kawin. Suatu hal yang memalukan
sekali. Tanpa terasa tangan wanita gagah itu disurutkan kebelakang untuk menarik ular
ceng-ong-ain.
„Hong-moay, yangan kena diakali bangsat itu! Dia tak boleh diberi hidup lagi!"
kedengaran Ceng Bo siangjin berseru demi dilihatnya sang iateri hendak membatalkan
rencana. Juga Thaysan-sim-tho Ih Liok berteriak keras2 untuk menganyuri, hingga
membuat Kang Siang Yan menyadi serba salah.
Dilain fihak, Ang Hwat cinyin gelisah sekali. Dia sangat sayang anak muda itu melebihi
dari semua murid2nya. Namun hendak dia menolong, berarti akan mempercepat
kematian The Go, karena terang nanti Kang Siang Yan tentu akan turun tangan lebih
lekas. Jadi keadaan cinyin itupun seperti 'sibisu makan getah' atau menderita tapi tak
dapat menyatakan. Maka sekalipun dia seorang jago lihay, namun tak dapat berbuat
apa2 untuk menolong muridnya. Tiba2 terkilas dalam pikirannya sebuah siasat.
Digenggamnya dua buah thi-lian-cu (senyata rahasia berbentuk biji terate) dan wut....,
wut....... melayanglah dua buah thi-lian-cu, satu kearah kepala ular ceng-ong-sin dan
satu kelengan Kang Siang Yan!
Tokoh macam Ang Hwat sebenarnya tak perlu menggunakan senyata rahasia lagi. Tapi
karena keadaan memaksa, terpaksa dia gunakan thi-lian-cu, suatu senyata rahasia yang
dikuasainya sejak dia masih muda. Dan kuatir kalau dua buah thi-lian-cu tadi akan
gagal, dia merogoh kedalam saku dan menyusuli lagi dengan ber-puluh2 buah. Tak
kurang dari 30-an buah thi-lian-cu menabur kearah Kang Siang Yan, laksana hujan
tercurah dari langit, suaranya meng-aum2 memecah angkasa.
Jaraknya dengan Kang Siang Yan hanya terpisah setombak lebih, jadi persentasinya
tentu mengenai. Kang Siang Yan sedikitpun tak sayang akan ular ceng-ong-sin, tapi ia
tak sudi lengannya sampai terkena senyata rahasia yang lihay itu. Ia cukup sadar thi-
lian-cu merupakan suatu senyata rahasia yang berbahaya, sekalipun orang memiliki ilmu
thiat-po-san (tak mempan senyata) namun sukarlah rasanya untuk menahan serangan
senyata tersebut yang dilepas oleh seorang tokoh macam Ang Hwat cinyin. Namun kalau
hendak menghindar berarti memberi kesempatan The Go lari, suatu hal yang tak
dikehendaki Kang Siang Yan. Tiba2 dalam keadaan yang serba sulit itu, terdengarlah
suara bergemerincing. Ah, kiranya Kui-ing-cu telah bertindak dengan sebat.
Tokoh aneh itu tahu bahwa Ang Hwat hendak membinasakan ceng-ong-sin agar The Go
terhindar dari pagutan maut. Tahu juga dia bahwa Kang Siang Yan tak ambil mumet
dengan ular sakti yang diperoleh susah pajah oleh oleh Sik Lo-sam, maka cepat dia ambil
sebuah sendok perak yang sekali dipijat menyadi patah macam sebuah senyata rahasia,
lalu ditimpukkan. Oleh karena dia lebih dekat dengan Kang Siang Yan, maka sekalipun
tak dapat membikin jatuh tapi se-kurang2nya dapatlah kepingan sendok itu membuat
thi-lian-cu itu miring arah layangnya dan jatuh kesamping!
Kalau tadi Kiang Siang Yan masih ragu2, kini dengan adanya tindakan Ang Hwat itu, ia
menyadi beringas. Sekali mendorong, The Go segera terjerembab kedalam taburan hujan
thi-lian-cu. Ber-puluh2 thi-lian-cu menghujani tubuh pemuda culas itu. Ceng Bo lega,
tapi sebaliknya Bek Lian masih merasa iba melihatnya. Ting..., ting...., ting...., ber-puluh2
thi-lian-cu telah menghantam tubuh The Go, tapi begitu kena semua senyata rahasia itu
pada jatuh ketanah. Sedikitpun anak muda itu tak kena apa2, malah terus gunakan
gerak hong-cu-may-cin, berosot kesamping terus lari sipat kuping!

(Bersambung Ke Bagian 44.2)


ANYING GILA

BAGIAN 44.2

Kang Siang Yan terlongong karena kekebalan sang „mantu" yang manis itu, hingga tak
keburu menangkapnya. Dan ketika ia tersadar hendak mengejar, Ang Hwat telah
menyambutnya dengan hantaman yang dahsjat. Dalam beberapa kejab saja, keduanya
telah saling berhantam sampai 10 jurus, kemudian baru saling surut kebelakang. Ang
Hwat tertawa ter-kekeh2.
„Kang Siang Yan, kau juga seorang cianpwe, mengapa memusuhi seorang anak? Kalau
pinto tak keburu unyukkan sedikit permainan, namamu tentu tercemar!"
Saking gusarnya Kang Siang Yan buang ceng-ong-sin, serunya: „Imam tua Ang Hwat, kau
ngoceh spa itu? Kalau harini belum kucincang tulang belulang anak itu, yangan harap
aku tinggalkan tempat ini!"
Ang Hwat jebirkan bibirnya, menyeringai: „Kau hendak tinggalkan tempat ini? Hem,
rasanya harus memerlukan idinku dahulu!"
Keduanya siap hendak bertempur lagi, rupanya kedua fihak makin lebih ngotot dari tadi.

GAMBAR 84
Meski dibanting kelantai oleh Kang Siang Yan, tapi Ceng-ong-sin bukan sembarangan
ular, begitu menyentuh tanah, segera badannya meringkuk
sambil menyulurkan kepalanya keatas. Melihat kesempatan itu, cepat
Can Bik San melompat maju hendak menangkapnya, tapi Kui-ing-cu
tak mau ketinggalan, segera iapun melayang maju terus menghantam.

Dilempar oleh orang macam Kang Siang Yan, apapun tentu hancur. Tapi ceng-ong-sin
bukan ular sembarang ular. Binatang itu merupakan suatu benda ajaib yang jarang
terdapat didunia. Begitu jatuh ditanah terus melingkar dan angkat kepalanya sembari
menyulur2kan lidahnya, siap menyerang orang yang hendak mengganggunya. Meiihat
kesempatan sebagus itu, Ngo-tok-lian-cu-piau Can Biksan segera tampil hendak
menangkap. Tapi Kui-ing-cu dengan sebatnya segera apungkan tubuhnya keatas. Belum
orangnya tiba ditanah, pukulannya sudah menderu datang.
Can Bik-san merasa ada suatu tenaga dahsjat menekannya. Hendak dia menghindar tapi
sudah tak keburu. Tiga batang piauw kecil yang bergemerlapan cepat dia timpukkan
kelawan. Orang she Can itu biasa saja ilmunya silat. Kepandaian yang diandalkan,
hanyalah ilmunya menyabit piau dengan kedua tangannya maju berbareng. Piaunya itu
berbentuk bulat panjang, mempunyai tiga buah ujung yang sangat tajam. Tapi karena
puncak ujungnya itu semuanya bundar, jadi sewaktu melayang tak menerbitkan suara
apa2.
Perhatian Kui-ing-cu dicurahkan untuk, mencegah orang merampas ceng-ong-sin, maka
sedikitpun dia tak mengira kalau orang she Can itu sedemikian ganasnya. Dalam
gugupnya dia segera gunakan tenaga dalam untuk menghindar kesamping, tapi hasilnya
ternyata runyam. Sebagaimana telah diketahui, karena menolong Sik Lo-sam yang
terkena hantaman Kang Siang Yan tempo hari, dia telah kekurangan lwekang dan tenaga
murni. Maka bukan kepalang kagetnya demi diketahui bahwa gerakannya kini tak segesit
dahulu. Dua buah piau hanya terpisah beberapa dim disisi tubuhnya, tapi nomor tiga
yang terachir tepat sekali menyusup kepahanya. Seketika dia rasakan bagian anggauta
tubuhnya mati-rasa. Cepat2 dia cabut piau beracun itu, begitu tubuh menurun dia
sapukan kaki dan berbareng menangkap ceng-ong-sin. Menurunkan tubuh, mengaitkan
kaki, mencabut piau dan menangkap ular, 4 macam gerakan dia lakukan berbareng
sekaligus.
Can Bik-san yang biasa saja ilmunya silat, mana dapat bertahan diri atas kemarahan
Kui-ing-cu itu. Krek......, krek....... kedua kakinya patah tersapu gerakan Kui-ing-cu.
Sjukur kawan2nya lekas maju menolong. Kedelapan belas orang itu saling memberi
isjarat mata. Yang tujuhbelas segera keluar dari gereja Ang Hun Kiong itu, sementara
yang satu lalu memberitahu pada Hwat Siau dan Swat Moay supaja lekas2 bertindak.
Pada saat itu perhatian Ang Hwat tengah dicurahkan untuk menghadapi Kang Siang Yan,
jadi dia tak mempunyai keluangan untuk mengurusi orang2nya itu. Sedang difihak Ceng
Bo dan kawan2 sedikitpun tak mengetahui akan adanya suatu rencana yang ganas itu.
Mereka mengira, orang2 itu membawa Can Bik-san keluar untuk diobatinya. Ada
beberapa orang yang mengetahui kedahsjatan piau buatan orang2 suku Thiat-theng-
biauw itu segera menganyurkan supaja Kui-ing-cu potong saja bagian daging yang
terkena piau itu. Tapi piau buatan suku Biauw itu sangatlah hebatnya.
Tadipun adanya Tio Jiang tak hujan tak angin sekonyong2 menyadi seperti orang kalap
tak sadarkan diri, adalah terkena pengaruh racun dari pil cap-jit-tui-hun-tan (merampas
jiwa dalam 10 hari) buatan suku Thiat-thengbiauw, ketika Tio Jiang minum teh yang
dihidangkan Kitbong-to digunungnya. Walaupun dengan gunakan lwekang dia
muntahkan lagi teh beracun itu, namun sisa sedikit yang masuk kedalam perut cukup
membuatn ja tak sadar, begitu waktunya tiba. Tapi karena lwekangnya kini maju pesat,
maka dapatlah pengaruh obat racun yang hanya sedikit itu, dipunahkan dan diapun
segera ingat diri pula.
Sebaliknya racun piau Can Bik-san itu disebut „hong-sinsan" (obat membikin gila).
Walaupun dengan sebat sekali Kui-ing-cu segera mencabutnya, namun racun tersebut
sudah keburu masuk kedalam pembuluh darah dan naik keatas. Amputasi atau
pemotongan sebagian anggauta badan, hanya berguna terhadap racun biasa. Namun
racun buatan Kit-bong-to itu lain sifatnya. Sekalipun andaikata paha Kui-ing-cu itu
dipotong semua, akan sia2 jua.
Dan begitu racun merangsang, pikiran Kui-ing-cu sudah limbang, jadi begitu ada orang
mengajak bicara, biji matanya membalik, sikapnya beringas. menakutkan, sehingga
kawan2nya sama terkesiap jeri. Sebaliknya The Go bergendang paha, serunya: „Ho, orang
itu terkena ngo-tok-lian-hoan-piau. Dia bakal seperti anying gila, mana mau dengar
kata2mu ? !"
Ceng Bo terperanyat dan deliki mata, sgedang Thaysan sin-tho Ih Liok segera memaki
habis2an. Mengapa si Cianbin long-kun tetap sehat wal'fiat? Marilah kami mundur
dahulu.
Kiranya Ang Hwat telah memperhitungkan bahwa Kang Siang Yan tentu akan membuat
The Go sebagai umpan, maka taburan thi-lian-cu tadi dia gunakan trick (permainan).
Dalam jarak yang sudah diukurnya begitu mengenai tubuh, puluhan thi-lian-cu itu
hilang daja kekuatannya dan jatuh berhamburan ketanah. Sedemikian indah permainan
kepala gereja Ang Hun Kiong itu, hingga Kang Slang Yan sampai kena dikelabuhi dan
lepaskan The Go. Bermula The Go sudah paserah nasib, tapi serentak terasa taburan thi-
lian-cu itu sudah punah dajanya, tahulah dia maksud sucounya itu. Dan sebagai orang
yang cerdas, dapatlah dia menggunakan kesempatan itu, se-bagus2nya. Demikianlah
rahasia kekebalan The Go.
Sekarang mari kita ikuti keadaan Kui-ing-cu lagi. Begitu terkena penyakit anying gila,
Kui-ing-cu lupa daratan tak kenal mana lawan maupun kawan. Sampaipun Kang Siang
Yan dan Ang Hwat sama alihkan pandangannya kepada tokoh itu, siapa tampak matanya
menyadi merah membara.
„Kui-heng, kau bagaimana?" seru Ceng Bo, Ko Thay dan si Bongkok dengan serempak.
Namun Kui-ing-cu kembali menggerung keras.
„Ang Hwat cinyin, mengapa sampai seorang buaja darat macam Can Bik-san, kau ajak
berserekat?" teriak Ceng Bo Siangjin.
Sekalipun Ang Hwat membantu pemerintah Ceng, tapi dia seorang ketua dari sebuah
aliran cabang persilatan, jadi se-kurang2nya dia masih memegang kehormatan.
persilatan. Tahu Kui-ing-cu belum apa2 sudah kena piau beracun, diapun agak kurang
enak. Berpaling kebelakang, didapatinya hanya ada dua orang muridnya saja.
„Tek-san undanglah Ngo-tok-lian-cu-piau Can Bik-san kemari!" katanya kepada Ji-mo
Long Tek-san, siapa mengiakan dan terus berlalu.
Pada saat Itu, se-konyong2 Kui-ing-cu loncat setombak lebih tingginya. Diatas udara dia
berjumpalitan dan begitu menginyak tanah, kembali dia perdengarkan teriakan aneh
sampai dua kali. Sepasang matanya makin beringas merah. Oleh karena tahu bagaimana
kelihayan tokoh itu, kawan2nya tak berani menghampiri, malah sama menyingkir.
Juga Ceng Bo cemas akan perobahan sahabatnya itu. Oleh karena Can Bik-san belum
muncul maka Ceng Bo segera perintah kawan2n ja menyingkir saja. Begitulah ketika dia
memberi aba2, kawan2nya sama bubar dan tinggalkan ruangan itu. Pun seorang tokoh2
macam Ang Hwat dan Kang Siang Yan tak urung cemas juga. Kang Siang Yan segera
menggendong Bek Lian sedang Ang Hwat pun lalu menarik tangan The Go untuk diajak
berlalu.
Menurut anggapan orang banyak, hanya Tio Jiang seorang yang paling akrab sekali
hubungannya dengan Kuiing-cu. Tapi keadaan anak itu baru saja sembuh terkena racun,
jadi kasihan kalau sampai kena apa2. Dalam pada itu, Kui-ing-cu makin men-jadi2
keadaannya. Sepasang matanya ber-api2 dan se-konyong2 dia pentang kedua lengannya.
Lengan kanan masih tetap mencekali ceng-ong-sin, sedang tangannya kiri menghantam
dua kali pada sebuah tiang sepemeluk lengan besarn ja, Tiang besar itu rompal
bertebaran ke-mana2. Kui-ing-cu rupanya masih penasaran dan digeragotinyalah tiang
itu.
„Kui locianpwe, kau ini kena apa?" Tio Jiang yang merasa kasihan segera bertanya.
Kui-ing-cu angkat kepalanya dan deliki mata pada Tio Jiang sembari tertawa meringkik,
sehingga Tio Jiang berdiri bulu romanya. Kui-ing-cu undur selangkah. Kembali dia
tertawa meringkik dan tiba2..... bang....., bang....., bang....., tahu2 tiang itu didorongnya
rubuh sehingga ujung rumah itu ambruk sebagian. Orang2 yang sama menyingkir
disebelah luar ruangan itu, makin cemas.
„Coba tengok lag!, mengapa sdr. Can itu belum kemari!" Ang Hwat banting2 kakinya
seraja men juruh Im Thian-kui, siapa lalu pergi dengan lekas.
Sementara itu Ceng Bo yang terus menerus mengikuti keadaan Kui-ing-cu, dapatkan
bahwa tokoh itu kini melekatkan pandangannya kepada Tio Jiang.
„Jiang-ji, kembalilah lekas, yangan cari bahaja!" serunya memanggil sang murid. Tapi
sudah terlambat. Membarengi seruan Ceng Bo, Kui-ing-cu yang sudah lupa orang itu
segera menghantam dada sianak muda.
Tio Jiang tak berani menangkis, maka cepat dia menghindar saja. Tapi walaupun gila,
ternyata kepandaian Kuiing-cu masih utuh. Secepat kilat diaa berputar, terus
mencengkeram dada Tio Jiang. Dalam gugupnya Tio Jiang surutkan dadanya kebelakang.
Benar badannya terhindar, tapi bajunya kena tersambar robek. Robekan baju itu digigit2
Kui-ing-cu, dikunyah lalu dimakannya dengan lahap.
Tio Jiang kucurkan keringat dingin. Kalau tadi dia sampai kena tercengkeram, mungkin
dia akan mengalami nasib serupa seperti bajunya itu. Saking getar perasaannya, cepat2
dia loncat dua tiga tombak keluar. Tapi Kui-ing-cu sudah terlanyur mengawasinya.
Melihat orang bergerak, diapun segera membayangi, sehingga kini mereka saling
kejar2an. Selagi mengejar itu, Kui-ing-cu kerjakan kaki tangannya. Tiang, meja, kursi, ja
pendekn ja 10-an meja perjamuan berikut semua kursinya, telah sungsang sumbal habis
diamuknya.
Sebenarnya Tio Jiang kalah cepat larinya dengan Kuiing-cu, tapi karena Kui-ing-cu
menghajar meja kursi, jadi sampai sekian lama dapatlah dia terhindar. Sebuah meja dari
kaju mahoni yang keras dan kokoh, sekali hantam dapat dipecah menyadi dua belah oleh
Kui-ing-cu. Sudah tentu hati Tio Jiang kebat kebit dibuatnya. Puncak kecemasannya
memuncak, ketika Kui-ing-cu lepaskan 'kepala ceng-ong-sin, hingga ular itu kini me-
lingkar2. Tapi rupanya Kui-ing-cu tak menghiraukan. Tio Jiang makin gelisah, tapi pada
saat itu Yan-chiu yang telah ditutuk jalan darahnya dalam jalanan rahasia dibawah
tanah, lebih2 cemas lagi perasaannya.
Kiranya begitu ketujuh belas orang2 pemerintah Ceng itu mengundurkan diri mereka lalu
melapor pada sepasang suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay. Kedua orang ini segera
turun masuk diterowongan bawah tanah untuk menyulut sumbu bahan peledak
(dinamit). Karena kena tertutuk jalan darahnya, Yan-chiu tak dapat menghalangi. Pada
saat Ceng Bo perintahkan kawan2nya keluar dari ruangan itu, sumbu obat peledak
tengah disulut Hwat Siau.
Benar tak berdaja, tapi pikiran Yan-chiu masih terang dan dapat membayangkan
bagaimana ngerinya nanti apabila dinamit itu meledak. Hatinya berdoa agar sumbu itu
pelahan saja nyalanya, namun matanya melihat jelas bagaimana api sumbu itu menyalar
dengan cepat makin lama makin dekat. Saking diterkam, ketakutan, ia sudah lajap2
antara sadar tak sadar.
Tiba2 ia mendengar suara „bang.............." yang keras sekali, sehingga ia tersentak kaget.
Suara atap dan tiang gempar menggelegar, malah ada beberapa pecahan genting yang
jatuh menimpa badannya, sehingga buru2 ia menutup mata menanti ajal. Tapi heran,
setelah tebaran debu dan pecahan atap itu sirap, suasananya masih tetap hening saja.
la rasakan dirinyapun tiada kurang suatu. apa. Lekas2 ia membuka mata dan hai,
kiranya sisa sumbu itu masih antara 4 meter panjangnya.
Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa suara gelegar yang gempar itu berasal dari tiang
yang dihantam rubuh oleh Kui-ing-cu tadi. Guncangan itu membikin sumbu ikut
terpental, kini kira2 dua meter saja dari tempatnya. Sumbu itu tetap menyala dengan
cepatnya, sesenti demi sesenti terus menyalar hingga kini hanya tinggal 2 meter. Pada
lain saat, tinggal 1½ meter, satu meter, setengah meter......... duk, duk, duk, demikian
jantung Yan-chiu berdetak keras. Suatu siksaan urat sjaraf hebat yang belum pernah
dialaminya selama ini!
Tiba2 terdengar derap kaki orang mendatangi. Dua sosok tubuh kecil ber-lari2an masuk,
terus menghampiri Yan-chiu. Yang satu mengangkat kepala dan yang satu menggotong
kaki, kedua anak itu membawa Yan-chiu menyusur terowongan. Yan-chiu cepat
mengenali mereka sebagai Kwan Hong dan Wan Gwat, itu kedua to-thong (murid imam)
dart Ang Hun Kiong. Sudah tentu girangnya bukan kepalang. Sewaktu masih sempat
mengerlingkan mata, dilihatnya sumbu itu sudah menyala sampai dipangkal
penghabisan. Asap ber-kepul2 mengiring suara desisan.
Kiranya kedua to-thong itu membawa Yan-chiu kemulut jalanan keluar dari terowongan
itu. Dalam kegirangannya, Yan-chiu diam2 sesali kebodohan kedua anak itu. Bukantah
tak perlu jerih pajah menggotong dan cukup menginyak saja toh sumbu itu tentu padam.
Sayang ia tak dapat berkutik dan berbicara. Adalah ketika sudah berhasil dibawa keluar
dart terowongan rahasia itu, barulah kedengaran suara ledakan yang maha dahsjat.
Kedahsjatannya melebihi letusan meriam tentara Ceng tempo hari. Sampaipun Yan-chiu
yang berbaring ditanah pada jarak yang cukup jauh, ikut merasa berguncang keras.
Sirapnya ledakan dahsjat itu diausul dengan gulungan asap yang memenuhi udara,
kemudian gelegaran atap dan dinding beserta alat2 perabotnya, muncrat hancur
beterbangan keempat penyuru. Saking takutnya, Kuan Hong dan Wan Gwat sampai
pucat lesi serta ter-longong2 sampai sekian lama.
„Oh, sedikit saja kami terlambat datang, cici ini tentu takkan ketolongan," achirnya
setelah suasana hening lagi, Kuan Hong baru kedengaran buka suara.
„Sekarang kita hendak kemana nih ? Rasanya nasib kami tergantung pada cici!" sahut
Wan Gwat.
Disamping berterima kasih pada kedua anak itu, hati Yan-chiu terasa sunyi rawan sekali.
Bukantah satu2nya orang yang dikasihi (Tio Jiang) ikut binasa bersama seluruh
rombongannya? Ditempat sebesar gereja Ang Hun Kiong itu, hanya tinggal dirinya bertiga
yang masih hidup. Adakah hidup itu mash berarti baginya lagi? Air mata bercucuran
mengalir pada kedua belah pipinya ...............
Melihat keadaan Yan-chiu yang sedemikian itu, kedua tothong itu segera menutuki tubuh
Yan-chiu, pikirnya coba2 hendak membuka jalan darahnya yang tertutuk itu. Sebagai
anak murid seorang achli tutuk, kedua anak itupun sedikit2 mengerti juga ilmu tutuk.
Tapi habis sekujur badan Yan-chiu ditutukinya, tetap mereka tak mengerti macam ilmu
apa yang digunakan untuk menutuk Yan-chiu itu.
Kiranya sepasang suami isteri Hwat Siau - Swat Moay itu memiliki suatu ilmu tutukan
yang luar basa. Bukan saja tutukan itu menggunakan tenaga dalam yang dapat
menembus urat2 dibawah tulang pun selain 36 urat nadi besar dan 72 urat kecil, masih
memahami pula 13 buah jalan darah yang sukar dan aneh letaknya. Segala macam ilmu
tutukan Iainnya, tak dapat menolong. Sekalipun Ang Hwat sendiri yang datang, rasanya
tak mudah untuk memberi pertolongan cepat2, apalagi kedua anak itu.
Urat Yan-chiu yang terkena tutukan itu jalah yang disebut urat goh-si-hiat. Letaknya
ditengah sela2 tulang pundak. Sekali Hwat Siau menyentuh bahu Yan-chiu, maka
mengalirlah lwekangnya untuk menutup jalan darah yang sukar letaknya itu. Jadi taruh
kata orang mengerti adanya ke 13 buah jalan darah istimewa itu, kalau Iwekangnya
kurang sempurna juga percuma sajalah. Itu saja tadi karena buru2 hendak menyulut
sumbu, Hwat Siau hanya menekan pe-lahan2, coba tidak siang2 Yan-chiu pasti sudah
melayang jiwanya dengan seketika.
Dan karena kurang keras tekanannya itu, maka secara kebetulan, saja dapatlah Kwan
Hong dan Wan Gwat menutuk lepas jalan darah pembisu, hingga seketika berkaoklah
Yan-chiu „ah.......", serunya dengan lega, karena kini ia sudah dapat bicara lagi sekalipun
kaki tangannya masih belum dapat bergerak.
„Cici, bagaimana kami berdua ini?" kedua anak itu buru2 membungkuk kebawah dan
bertanya.
Sebenarnya Yan-chiu kepingin menangisa untuk melonggarkan kesesakan hatinya,
karena ia sendiri tak tahu apa yang harus dikerjakan. Tapi demi melihat wajah kedua
anak yang mohon perlindungan itu, seketika timbullah semangatnya pula.
„Lebih dahulu angkutlah aku keruangan yang hancur itu!" sahut Yan-chiu. Perintah
mana, segera dikerjakan dengan segera. Tapi baru masuk beberapa tindak diterowongan
itu tadi, ternyata hampir seluruh lorong disitu terhalang oleh puing atap dan lantai.
Sjukurlah kedua anak itu mengerti ilmu silat, jadi walaupun dengan susah pajah
achirnya berhasillah mereka menyusuri lorong terowongan yang berliku2 itu dan kini tiba
disebuah jalan lurus datar. Keadaan tempat itu hancur tak keruan, kutungan kaju bekas
kaki meja dan kursi berserakan disana sini.
„Cici, ini ruangan pertempuran tadi!" kata kedua anak itu. Yan-chiu mengawasi
keseluruh ruang situ, tapi untuk keheranannya tiada terdapat barang sesosok majat pun
juga. Yang tampak, kecuali puing dan kutungan kaju, ada lagi sebuah lubang besar pada
lantai. Hati Yan-chiu seperti disajat melihat pemandangan yang merawankan itu. Dalam
anggapannya, dinamit itu maha dahajatnya, sehingga majat2 orang2 yang berada
diruangan pertempuran itu sama hancur sirna menyadi abu semua.
„Adakah kalian tahu akan jalan, singkat turun kegunung. Kita harus lekas2 turun dan
atur rencana membalas dendam sedalam lautan ini!" tanya Yan-chiu pada lain saat
setelah ia teringat kemungkinan kedua benggol kaki tangan pemerintah Ceng itu
melakukan pengejaran:
„Ja, ada. Baik kita ambil jalan itu saja!" sahut Kuan Hong dan Wan Gwat. Mereka lalu
memanggul Yan-chiu terus keluar dari pintu belakang gereja itu.
Pagar tembok gereja Ang Hun Kiong itu masih utuh lierdiri dengan kokohnya. Bentuk
pemandangan gereja itu memang indah sekali. Tapi ah......, hanya beberapa hari saja
gereja itu telah meminta korban puluhan jiwa kaum gagah persilatan. Malah suhu dan
suhengnya sudah binasa. Memikir sampai disini kembali Yan-t jhiu berduka sekali.
Jalan singkat itu ternyata naik turun tak rata, hingga dengan susah pajah kedua to-thong
itu memanggul Yan-chiu. Tiba dikaki gunung mataharipun sudah terbenam. Kedua anak
gereja itu segera lepas pakaian imam dan berganti dengan pakaian biasa.
Menyelang tengah malam, lagi2 mereka harus memutari sebuah gunung, hingga saking
lelahnya napas kedua anak itu memburu keras. Rasanya untuk keluar dari gunung Ko-
to-san dan mencari penginapan dikota, sukarlah. Yang nyata saja samar2 dari kejauhan
sana ada sebidang tanah pekuburan yang luas.
„Ajuh, kita beristirahat dikuburan sana! Ah, kalau aku dapat bergerak tentu tak sampai
membuat kalian begini lelahnya!" kata Yan-chiu.
„Ai, yanganlah cici mengatakan begitu. Kalau cici tak menolong kami, siang2 kami tentu
sudah mati!" sahut Kwan Hong dan Wan Gwat sambil mengusap keringatnya.
Tiba dipekuburan luas itu, tampak ada sebuah kuburan besar yang dikelilingi dengan
puhun jati tua yang batangnya hampir sepemeluk lengan besarnya. Dimuka kuburan itu
ada dua buah orang2an batu dan dua kuda batu. Tulisan pada batu nisan itu sudah tak
jelas karena dihapus hujan clan angin berpuluh tahun. Hanya menilik bentuknya,
kuburan itu tentu kepunyaan bangsa pembesar tinggi atau orang hartawan. Lantai
dimuka dan dibelakang kuburan itu sudah sama rusak, penuh ditumbuhi rumput alang2
setinggi orang. Suasana disitu cukup menyeramkan, lebih2 kalau puhun jati ber-derak2
ditiup angin malam dan burung hantu menyanyi lagu kematian.
Karena masih kanak2, walaupun mengerti ilmu silat namun Kuan Hong dan Wan Gwat
tak terlepas dart rasa takut. Melihat itu Yan-chiu mendampratnya: „Huh, kalian kan
sudah belajar ilmu silat mengapa masih bernyali sepcrti tikus begitu? Ketika dahulu aku
mulai naik Lo-hu-san, usiaku masih lebih kecil dari kalian sekarang ini. Ja, marilah kita
berstirahat dahulu disini. Ja, bagaimana kalian mengetahui kalau aku berada didalam
terowongan dibawah tanah !tu?"'
„Ada seorang engkoh menyuruh kami mencarimu disitu. Karena tak kenal dia, aku tak
mengatakan apa2 padanya dan hanya mencarinya sendiri. Begitu masuk kedalam
terowongan, kami membaui asap mesiu maka buru2 kami menyelamatkanmu lebih
dadulu!" sahut Kuan Hong yang rupanya lebih cekat bicara dari Wan Gwat.
„Siapakah orang itu?"
„Alisnya tebal, orangnya baik, dia menyebutmu sumoay!"
Kalau tubuh Yan-chiu dapat bergerak, mungkin saat itu ia tentu akan lompat me-nari2,
„Itulah suko Tio Jiang!" serunya kegirangan.
„Kami tak kenal padanya, harap cici yangan sesalkan kami!"
Melihat sikap ke-kanak2an yang wajar dari kedua anak itu, Yan-chiu tak tega
mendamprat dan hanya menanyakan dimana mereka menyumpai orang muda itu. Kuan
Hong dan Wan Gwat memberitahukan, bahwa pemuda Itu berada diruang samping
sebelah ruangan pertempuran itu. „Mengapa dia berada disitu, apa dia tak turut
berkelahi?" Yan-t jhiu menegas dengan keheranan.
„Dia dan seluruh rombongannya semua tak berkelahi, digelanggang pertempuran situ
hanya terdapat seorang gila karena terkena racun piau, tengah mengamuk sendirian.
Engkoh itu dan orang2 sama menyingkir disana dan kebenaran telah berpapasan dengan
kami, lalu menyuruh kami mencarimu!" menerangkan Wan Gwat.
„Siapakah yang terkena piau beracun itu dan bagaimana kejadiannya?" tanya Yan-chiu.
„Kami sendiri tak begitu jelas. Hanya kami mengetahui sucou memanggil orang she Can,
karena ada seorang jago lihay terkena senyata piau. Selebihnya karena kami perlu
menolongmu lebih dahulu, maka kami tak mendengar apa2 lagi. Hanya sepatah kata dari
sucou yang termakan dalam hati kami yang peringatannya tentang 'obat peledak', dan
inilah yang mendorong kami lekas2 mencarimu"

(Bersambung Ke Bagian 45)

Catatan penyaji :
Sampai dengan akhir BAGIAN 44.2 ini, Cersil “NAGA DARI SELATAN – LAMBENG CIAM
LIONG” ini berarti sudah masuk ke Jilid 12 halaman 06.
Artinya pada upload-berikut adalah tersisa Jilid 12 halaman 07 sd selesai (72 halaman)
dan Jilid 13 (124 halaman) Tamat, mudah2-an bisa saya selesaikan masih dalam bulan
puasa ini.
Yang saya ingin tahu adalah kondisi sebenarnya dari para pembaca Indozone ini, apakah
cersil ini berkenan di hati anda atau tidak?
Seandainya para rekan di Indozone tidak tertarik, artinya Kisah lanyutannya “HENG
THIAN SIAU TO” tidak saya teruskan ........ tetapi kalau cersil ini memang rekan2
Indozone menyukainya, Insya Allah .... selesai Jilid 13 ...... lanyutannya saya teruskan.
Silahkan, bagaimana komentar dari rekan2 semua .... saya tunggu jawabannya, sambil
saya menyelesaikan sisanya
Yup!
Wass
TAH
BAGIAN 45
DI CENGKERAMAN IBLIS
BAGIAN 45.1

Yan-chiu meminta keterangan yang lebih jelas lagi, tapi ternyata kedua anak itu tak
mengetahui apa2 pula. Hanya satu hal yang mereka tahu pasti, bahwa dalam ruangan
pertempuran itu sudah bersih dengan orang2. Yan-chiu menghela napas panjang,
ujarnya: „Sudahlah, kalau capai kalian boleh tidur. Aku sendirti tak dapat tidur!"
„Aaauh......... kami tak tidur, hendak menyaga cici!" kedua anak itu menguap lebih
dahulu sebelum berkata.
„Tolol, mengapa tak tidur? Apakah kita tak dapat naik keatas pohon?" seru Kuan Hong
kemudian.
Kedua anak itu segera memanyat sebatang pohon siong dan mempersiapkan tempat
pembaringan pada salah satu dahannya. Kemudian mereka menaikkan Yan-chiu. Tempat
itu ditutupinya dengan daun2, lalu mereka sendiri juga berbaring. Oleh karena capai dan
kantuk, mereka bertiga terus hendak tidur. Tapi tiba2 terdengar suara seseorang
memaki: „Keparat, siang2 aku sudah tahu kalau orang she Can itu bukan barang baik.
Lihat gerak geriknya, 'ekor ajam' (dinamit) itu tentu akan rusak ditangannya! Kalau para
saudara ini tidak dibekali kaki panjang oleh orang tua, tentu siang2 akan ikut serta
dengan kawanan anying itu menghadap Giam-ong!"
Nada suaranya berlogat utara, kasar dan memakai bahasa daerah.
„Lo Lou, yangan kau menggerutu panjang pendek begitu, ja? Kukira dalam urusan itu
tentu terselip sesuatu rahasia, jadi tidak se-mata2 karena urusan itu saja!" sahut yang
seorang.
Sikasar tadi tertawa dingin, serunya: „Kau adalah gudang pikiran lautan akal, sedang
aku adalah seorang telur tolol. Segala macam akal ini itu aku tak dapat mengerti!"
Hening beberapa jurus, lalu kedengaran lagi suara orang berkata: „Lo Lou, kau yangan
memotong ucapan orang dulu. Aku yang tanya kau yang menyawab, mau tidak?"
„Baik, tanyalah!"
„Lo Lou, sebelum menakluk pada pemerintah Ceng, kita adalah persaudaraan sehidup
semati. Kalau ada apa2, sisute tentu akan membantumu, kau percaja tidak ?"
„Sudah tentu percaja!"
„Sekalipun'dunia persilatan memberi julukan pada siaote sebagai Siau-bin-hou (si Rase
bermuka tertawa), tapi hanya terhadap orang lain. Kau harus mempercajai kata2ku ini,
itulah yang terutama!"
Yan-chiu sepertinya sudah pernah kenal akan suara sikasar yang dipanggil Lo Lou atau
Lou situa itu. Kalau tak salah dialah orang yang menghadang ketika ia bersama Tio Jiang
pergi jalan2 hendak menyelidiki keadaan dalam Ang Hun Kiong tempo hari. Ah, sayang
kini badannya belum dapat bergerak, jadi tak dapatlah ia menengok orang itu. Kalau
benar dianya, orang itu tentulah adalah dua dari 18 jago pemerintah Ceng yang dikirim
kegereja Ang Hun Kiong untuk membasmi para orang gagah itu. Tapi mengapa begini
malam mereka berada ditempat situ?
Sebelum Yan-chiu dapat memecahkan pertanyaannya itu, kedengaran si Siau-bin-hou
berkata pula: „Lo Lou, kedua orang Itu aneh bentuknya, manusia bukan iblispun tidak.
Tentang ilmu kepandaiannya, entahlah. Tapi yang terang saja sedangnya kita berdua
belum pernah bertemu muka dengannya, dia sudah tak mempercajai kita. Nah, sudah
jelas kau sekarang?"
„Hem, jadi mereka berani berbuat begitu?" sikasar Lo Lou menegas.
„Huh, bukan saja mereka hendak mengangkangi pahala, pun berniat hendak mengambil
sendiri kim-jong-giok-toh !" Siau-bin-hou menambahi minyak kedalam api. Dan benar
juga terdengarlah suara hantaman yang dahsjat dan menyusul ada sebatang pohon
tumbang bergemuruh.
„Cici, sikasar itu sungguh bertenaga besar. Sekali hantam dia dapat merobohkan
sebatang pohon sebesar mulut piring!" bisik Kuan Hong. Tapi cepat2 Yan-chiu
melarangnya mengeiuarkan suara.
Pernah Yan-chiu mendengar mulut Hwat Siau mengatakan 'kim-jong-giok-toh' atau usus
emas perut kumala.
Kini tanpa sengaja mendengar Siau-bin-hou mengucapkan kata2 itu juga, teranglah dia
itu komplotan yang tergabung dalam 18 jago pemerintah Ceng. Si Lo Lou itu mungkin
adalah yang bernama Swe-pay-lat-au Lou Ting. Hantamannya tadi adalah ilmu warisan
keturunan keluarga Lou yang disebut toa-swe-pay-chiu. Sedang si Siau-bin-hou itu
tentulah si Kui-ce-to-toan (setan licin kaja muslihat) Song Hu-liau.

GAMBAR 85
Diam2 Yan-chiu dan kedua imam kecil itu mendengarkan
pembicaraan kedua orang dibawah pohon itu.

„Kedua yau-kuay (siluman) itu bernyali besar sekali. Terus terang saja, kali ini turun
kedaerah selatan kalau tidak diperingatkan oleh pemerintah, tiada orang yang tunduk
kepada kedua manusia itu! Hem....., ketika nama kita berdua saudara ini menggetarkan
daerah Kwan-gua, kita tak mendengarkan dulu siapa mereka itu. Untuk melaksanakan
urusan ini, mereka masih hijau!"
„Ah, sudah tentu mereka belum cukup bijak!" si Siau-bin-hou tertawa menyeringai,
„kalau tiada alasan kuat, diapun tak berani mencari perkara pada kita. Sedari kita turun
gunung, entah lewat berapa lama baru terdengar ledakan dahsjat itu ? Dalam pada waktu
itu, apa saja yang dikerjakan oleh kedua orang itu? Mengapa setelah ledakan meletus,
mereka tak kelihatan turun gunung? Malah sebaliknya Ang Hwat siimam tua itu tampak
ber-Iarl2an turun dan mengamuk siapa yang dijumpainya?"
Mendengar itu Yan-chiu girang sekali. Kalau Ang Hwat cinyin belum binasa, suhu dan
rombongannya terang juga tidak.
„Ja...., ja....., benar!" kedengaran Lou Ting buka suara lagi.
„Mengapa siimam Ang Hwat mengamuk seperti kerbau gila? Orang kita sudah terluka 7
atau 8 orang, tapi tetap kedua manusia iblis itu belum muncul, melainkan gunakan tanda
rahasia menyuruh kita orang melarikan diri saja? Bukantah ini menandakan bahwa
mereka hendak meminyam tangan Ang Hwat untuk membasmi kita orang ini, lalu
mengangkangi sendirl semua pahala itu?" tanya Siau-bin-hou panjang lebar. Tapi baru
keduanya sedang bertanya jawab itu, tiba2 terdengar seseorang berseru: „Saudara Lou
dan Song, kalian berada dimana?"
„Huh, sijahanam itu datang!" damprat Lou Ting dengan murkanya. Tapi Siau-bin-hou
lekas2 mencegahnya, kemudian berseru keras2: „Kami disini!"
Dari derap kaki yang mendatangi, teranglah bukan melainkan dua orang saja. Sedang
yang bertanya tadi tak salah lagi adalah Hwat Siau.
(Bersambung Ke Bagian 45.2)
DI CENGKERAMAN IBLIS

BAGIAN 45.2

„Selain kami sepasang suami isteri, masih ada 8 saudara lain yang berada disini Ang
Hwat cinyin belum binasa, entah bagaimana yang lain2nya. Kalau mereka sampai
terhindar dari maut, wah kita tentu turun harga. Bila kembali kekota raja, kemungkinan
besar kekuasaan yang diberikan pada kita itu tentu akan dicabut kembali. Kerajaan Lam
Beng meskipun tergolong kecil, tapi mereka menguasai kedua wilajah Kwiciu (Kwiesy,
Kwitang). Bagaimana kedudukan mereka, kita belum jelas. Sekali keluar kita sudah
menderita kerugian besar begini, sungguh sukar dipertanggung jawabkan. Ngo-tok-lian-
cu-piau Can-heng sudah dibunuh Ang Hwat cinyin. Sebelumnya kami sepasang suami
isteri sudah memesannya supaja ber-hati2, tapi ternyata dia gegabah melukai orang, jadi
sudah selajaknya menerima bagian macam itu!" kata Hwat Siau dengan nada macam
seorang pembesar memberi koreksi.
Ketika ke 18 jago lihay bersama sepasang suami isteri Hwat Siau - Swat Moay hendak
menuju kedaerah selatan, mereka telah dipanggil oleh menteri besar raja muda Sip-ceng-
ong Tolkun. Pangeran bangsa Boan yang memegang kekuasaan besar dalam
pemerintahan Ceng itu, sejak mengetahui bahaja yang ditimbulkan oleh pembalikan diri
dari Li Seng-tong yang. menyebabkan kembalinya kedaulatan Lam Beng diwilajah Kwiciu,
dia buru2 kembali kekota raja dan memanggil sepasang suami isteri Hwat Siau Swat
Moay untuk diserahi memimpin ke 18 jagoan. Tugasnya, mengadakan gerakan subversif
di Kwiciu dan kedua kalinya untuk mencari harta karum 'kim-jong-giok-toh' (usus emas
perut permata atau dalam arti kiasannya sebuah harta karun besar).
Dihadapan Tolkun, ke 18 jagoan itu tak berani bercuit. Tapi dalam perjalanan demi
tampak tokoh Hwat Siau dan Swat Moay Itu tiada memiliki sesuatu perbawa yang
mengesankan bahkan bentuk wajah tak sedap dipandang, mereka sama kurang puas. Ke
18 jagoan itu, adalah orang2 liar, dari kalangan hek-to (aliran hitam), jadi gerak geriknya
kasar.
Kedua suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay itu, sejak mendapat warisan pelajaran ilmu
sakti yang-hwat-kang (api positip) dan im-cui-kang (air negatip) dari dua orang kuayhiap,
(pendekar aneh) kerajaan Song yang bernama Hwat-bu-hay dan Cui-bu-hoa, mereka
berdua lalu memendam diri digunung Tiang-pek-san untuk mejakinlsan ilmu Itu.
Walaupun dalam tahun2 terachir Itu nama kedua suami isteri itu makin menyulang, tapi
bagaimana kepandaian mereka yang sesungguhnya, tiada seorangpun yang pernah
mengetahuinya. Apalagi dasarnya mereka tak tahu akan tata kesopanan, dunia
persilatan, maka dengan memiliki ilmu kepandaian yang sakti itu, sudah tentu mereka
tak memandang mata pada ke 18 jagoan itu. Dan inilah yang manimbulkan reaksi ketidak
puasan dari ke 18 orang itu.
Dalam peristiwa menghancurkan gereja Ang Hun Kiong Itu, kalau rencana tersebut
berhasil, sudah terang tak ada urusan apa2. Tapi keadaan berjalan tak sebagaimana yang
direncanakan. Begitu ledakan dinamit mengguntur, ke 18 jagoan itu menunggu kabar
baik dari Hwat Siau dan Swat Moay dibawah gunung. Tapi ternyata yang muncul adalah
Ang Hwat cinyin. Ke 18 jagoan itu telah dihamuk porak poranda oleh ketua dari gereja
Ang Hun Kiong itu, hingga hampir separoh jumlahnya yang terluka dan binasa. Dan
ketika Hwat Siau - Swat Moay tiba, mereka tak ulur tangan memberi bantuan, sebaliknya
menyuruh mundur saja. Suatu hal yang menimbulkan kemarahan pada jagoan2 itu. Lou
Ting yang paling berangasan adatnya, segera serentak berbangkit dan tertawa mengejek.
Melihat bakal ada 'pertunyukan' hebat, Yan-chiu segera suruh Kwan Hong dan Wan Gwat
mengangkatkan kepalanya agar ia dapat mengintip dari sela2 daun. Pada saat itu tampak
Lou Ting melolos sebatang tiok-ciat-kong-pian (rujung baja yang ber-buku2). Sedang
Hwat Siau dan Swat Moay masih tetap duduk bersila saling membelakangi punggung.
„Lou-heng mau apa itu?" tanya Hwat siau.
„Manusia Yang tak punya muka, siapa, yang sudi kau panggil heng (engkoh) atau te
(adik)? Segala apa hanya mendengarkan ocehan setan bantal (perempuan) saja, sungguh
celaka!" damprat Lou Ting.
„Orang she Lou, bersihkanlah mulutmu itu!" seru Hwat Siau dengan sindiran tajam.
Lou Ting maju selangkah seraja menantang: „Kalau tidak bersih, kau mau apa? Biar
kulabrak kakek moyangmu 18 turunan!"
Ucapan itu ditutup dengan hantaman pian kearah kepala Hwat Siau. Tegas dilihat Yan-
chiu, walaupun Lou Ting itu seorang kasar berangasan, tapi ilmunya silat tidak lemah.
Hantamannya itu keras dan cepat sekali. Senyatanya itu terbuat dari bahan baja murni
dan hantamannya itu sekaligus diserangkan pada kedua suami isteri itu.
Hwat Siau dan isterinya rupanya sudah merasa kalau ke 18 jagoan anak buahnya itu tak
menyukai mereka. Tapi kedua suami isteri itu cukup mengetahui bahwa ke 18 jagoan itu
hanya pandai dalam ilmu silat saja, tapi buta ilmu surat jadi tak punya siasat apa2. Beda
dengan Hwat Siau dan Swat Moay, kedua macam ilmu silat dan sastera, semua dikuasal.
Hal ini menambah besar rasa meremehkan mereka kepada jagoan2 itu. Sip-ceng-ong
Tolkun sangat mengindahkan sekali kepada suami isteri itu, maka selain ditugaskan
memegang pimpinan atas diri ke 18 jagoan itu, juga diserahi tugas menyiarkan berita
tentang adanya harta karun kim-jong-giok-toh itu.
Sepasang suami isteri itu cukup menyadari bahwa ke 18 jagoan itu sebenarnya tak ber-
sungguh2 setia menghamba pada pemerintah Ceng. Begitu harta karun itu dapat
diketemukan, tipis kemungkinan mereka mau berhamba lagi. Oleh karena itu, kedua
suami isteri Hwat Siau - Swat Moay yudah ber-siap2 membuat rencana. Begitu dilihatnya
Lou Ting berdiri dengan beringas, diam2 kedua suami isteri itu sudah kerahkan
lwekangnya. Kala rujung Lou Ting melayang kearah kepala Hwat Siau - Swat Moay, diam2
Siau-bin-hou bersorak dalam hati, namun mulutnya tetap ber-pura2 mencegah: „Apa2an
itu Lo Lou? Ada apa2 kan dapat dirunding?"
Demi melihat kedahsjatan rujung Lou Ting yang sedemikian mengejutkan, tahulah kedua
suami isteri itu bahwa permainan pian itu adalah warisan ilmu dari keluarga Lou di
Soasay. Buru2 keduanya menekan tanah untuk beralih kesamping.
Lou Ting sudah terlanyur mengumbar amarah. Sekalipun hantamannya pian Itu tak
menemui sasarannya, namun dia tak kuasa menahan gerak serangannya tadi. Pian itu
terdiri dari 9 buku (ruas), setiap buku 9 kati beratnya jadi semuanya ada 81 kati beratnya.
Bluk......., begitu rujung menghantam tanah, letikan api dari batu yang hancur sama
bertebaran keempat penyuru. Ketujuh orang kawannya, begitu melihat Lou Ting kalap,
ada beberapa kawannya yang bersikap bendak ikut tampil membantu.
„Bagus, anying bergigitan dengan anying, biar mampus semua!" Yan-chiu bersorak dalam
hati. Tapi ketika dia mengawasi kearah sana, ternyata pertempuran sudah mulai.
Kiranya sebelum para jagoan itu bergerak, sikasar Lou Ting sudah mengamuk. Tadi
serangan pertamanya dapat dihindari dengan mudah oleh kedua suami iateri itu sambil
masih tetap duduk bersila. Dan kini karena tahu akan kedahsjatan ilmu pian si Lou Ting
yang tak boleh dibuat main2 itu, sepasang suami Isteri itu segera memutar tubuh masing.
Yang satu dari sebelah kirl, yang lain dari sebelah kanan, sama berbareng mengulurkan
tangan untuk menerkam tumit Lou Ting. Begitu sebat gerakan Hwat Siau dan Swat Moay
itu, hingga Lou Ting tak keburu berkelit lagi. Yang dirasakan, seketika itu separoh
tubuhnya terasa dingin tapi yang separoh terasa panas. Dinginnya seperti es, panasnya
macam air mendidih. Benar lwekang Lou Ting kurang sempurna, tapi gway-kang (tenaga
luar) dimilikinya dengan sempurna. Sekalipun demikian, tak urung dia harus menyerit
keras saking kesakitan. Jeritannya Itu makin lama makin lemah sampai pada achirnya
tiba2 dia berteriak: „Siau-bin-hou, kedua iblis ini benar2 mempunyai ilmu siluman!"
Sedikitpun sikasar itu tak mengetahui bahwa Hwat Siau dan Swat Moay telah
melancarkan serangan lwekang istimewa. Maka dalam sekejab saja, putuslah sudah ke
13 urat iatimewa dalam tubuhnya. Habis mengucap, kepalanya segera terkulai
kesamping dan ketika Hwat Siau Swat Moay lepaskan tangannya, sikasar Lou Ting sudah
tak bernyawa lagi

GAMBAR 86
Dengan gusar Lou Ting ajun rujungnya keatas kepala Hwat Siau, tapi
sedikit mengegos Hwat Siau dapat menghindarkan serangan itu.

Kejadian itu telah menyirapkan darah ketujuh kawan2 jagoan lainnya. Bukan setahun
dua, tapi sudah hampir lebih dari 20 tahun lamanya nama Lou Ting menyagoi daerah
perairan sungai Hongho. Ilmu swe-pay-chiu warisan keluarga Lou sangat ,dimalui orang.
Diantara ke 8 jagoan yang masih hidup Itu, Lou Ting tergolong salah seorang yang
terlihay, tapi ah, dalam hanya sejurus saja dia sudah binasa ditangan suami isteri Hwat
Siau Swat Moay. Terpesona akan kejadian yang tak di-duga2 itu, kawanan jagoan itu
sama ter-longong2. Lewat beberapa jurus kemudian baru terdengar siiblis Wanita Swat
Moay tertawa meringkik, lalu berkata dengan pe-lahan2: „Tujuan kita datang kedaerah
selatan ini, jalah untuk melaksanakan perintah pemerintah Ceng. Barang siapa yang
berhianat, Lou Ting itu adalah contohnya. Sip-ceng-ong pernah mengatakan, bila kim-
jong-giok-toh sudah diketemukan, kita semua akan turut merasakan kenikmatan.
Walaupun begitu gempar orang mengagungkan harta karun kim-jong-giok-toh itu, tapi
kami berdua suami iateri tak kepingin atau mempunyai maksud untuk menemaninya
sendiri!"
Para jagoan itu hanya mengiakan saja. Sedang sirase Song Hu-liu segera mengunyukkan
kepandaiannya: „Huh, itu sih salah Lo Lou sendiri yang mau cari sakit. Dia tak
menghiraukan nasehat kawan2. Harap, jiwi memaafkan!"
Mendengar itu Hwat Siau dan Swat Moay tampak lega, serunya: „Adakah orang2 itu
binasa semua, masih belum diketahui jelas. Konon kabarnya mereka hendak
membangun Thian Te Hwe lagi. Ini merupakan suatu hal yang berbahaya, karena mereka
sudah cukup mempunyai pengalanqan dalam peperangan tempo hari. Rasanya
merekapun pasti sudah mendengar tentang kim-jong-giok-toh itu, jadi untuk
membangun tentara yang kuat, mereka tentu lebih dahulu mengalihkan perhatian untuk
mencari harta karun itu. Sebaliknya apabila tentara Ceng berhasil masuk kedaerah
Kwiciu lagi tentu akan mengalami kesukaran besar dalam keuangan. Maka kalau sampai
tak dapat menemukan harta karun itu, pasti akan mengalami kegagalan pula.
„Kita kini hanya berjumlah 9 orang. Tugas kita sekarang jalah berpencar untuk
menyelidiki harta karun itu sampal dapat. Sip-t jeng-ong pernah berkata, harta karun itu
tak ternilai jumlahnya, berupa zamrud pusaka permata, upeti Jung dibawa oleh menteri
Thio Wan pada jaman dahulu tentu saja diantara kalian yang berhasil menemukannya,
kalian bertujuh akan mendapat seperseribu bagian dari harta karun itu. Itu saja akan
dapat kalian nikmati sampal tujuh turunan, mengerti?"
Ketujuh jagoan itu kembali mengiakan. Yan-chiu mengira kalau kim-jong-giok-toh itu
tentu sebuah harta pusaka, tapi mengapa sedangkan pemerintah Ceng mengetahui tetapi
ia sendiri tak pernah mendengarnya? Juga Ceng Bo Siangjin tak pernah menceritakan
hal itu. Teringat ia akan kata2 Ki Cee-tiong tempo hari, bahwa kesulitan utama untuk
membangun Thian Te Hui jalah soal keuangan. Kerajaan Lam Beng sudah sedemikian
ciut wilajahnya, rakjatnya miskin jadi sukar untuk diorganisir suatu pertahanan yang
kuat. Kalau benar ada harta karun itu, ah bereslah persoalan itu. la, hanya berharap,
mudah2an suhu suko dan sekalian orang gagah pada selamat, agar ia dapat
menyampaikan berita yang menggirangkan itu.
Pada lain saat ke 7 jagoan itu sudah sama minta diri. Yang disitu hanya Hwat Siau dan
Swat Moay. Kedengaran Hwat Siau memangil „niocu" (isteriku), tapi, tiba2 dia segera
membentak kerasa: „Siapa Itu yang belum mau angkat kaki? Kepingin meniru Lou Ting,
ja?"
Kiranya oleh karena lwekang Yan-chiu lebih dalam, jadi ia dapat menguasai
pernapasannya. Tapi Kuan Hong dan Wan Gwat tidak demikian. Napasnya berat, hingga
dengan cepatnya dapat ditangkap pendengaran Hwat Siau dan Swat Moay yang tajam.
Tadi karena banyak orang, masih belum kentara. Tapi begitu keadaan sepi, segera dapat
diketahul. Hwat Siau mengira kalau diantara ke 7 jagoan itu ada yang masih hendak
main gila bersembunyi diatas pohon, sudah tentu dia membentaknya dengan marah.
Tangan Kuan Hong dan Wan Gwat gemetar dan terlepaslah tubuh Yan-chiu jatuh
kebawah, bluk........ Disana Hwat Siaupun tak kurang herannya dan diapun segera
menghampiri lalu mencengkeram punggung sinona. Yangan lagi kini Yan-chiu sudah tak
dapat bergerak, andaikata ia masih segar bugar, tetap tak nanti ia dapat meronta dari
cengkeraman besi dari manusia iblis itu. Jari tengahnya telah menekan jalan darah leng-
thay-hiat, cukup dengan gunakan lwekang sedikit saja, habislah sudah riwajat nona genit
dart Lo-hu-san itu. Begitu cepat dan cepat gerakan tokoh aneh itu. Suatu ilmu
kepandaian yang jarang dimiliki oleh kaum persilatan umumnya.
„Ah-thau, jadi kau masih hidup?" seru Hwat Siau dengan keheranan demi dilihatnya
siapakah nona itu. Yan-chiu tahu bahwa kali ini ia tak nanti dapat lolos dari cengkeraman
maut. Namun sebelum ajal, biarlah ia puas-kan dulu hatinya. „Dan kau sendiri mengapa
tidak mampus ?!" serunya balas memperolok.
Saking gusarnya Hwat Siau terus hendak turunkan tangan ganas, tapi buru2 dicegah
isterinya: „Koajin, tahan dulu. Jalan darah goh-ai-hiat budak perempuan ini masih
tertutuk, jadi terang diatas pohon tentu masih ada lain orang yang menyatuhkannya!"
„Siapa yang diatas pohon ?" seru Hwat Siau sembari mendongak. Kuan Hong dan Wan
Gwat terbeliak kaget dan berjatuhan kebawah. Tapi rupanya Hwat Sisu masih belum
puas melihat yang turun itu hanya dua orang anak. Dia kira tentu masih ada orang lagi.
„Kalau tak mau turun, aku tentu gunakan kekerasan!" serunya dengan murka.
„Huh, sudah tiada orang lagi, yangan ketakutan seperti melihat setan!" Yan-chiu
memperolok dengan sebuah tertawa dingin. Suatu hal yang sudah tentu tak dapat
diterima Hwat Siau dan wut....., wut....., daun pohon siong yang runcing2 macam pohon
cemara sama rontok berhamburan ketanah. Wut....., wut...., wut...., wut...., kembali Hwat
Siau susuli lagi dengan 4 buah hantaman dan dahan serta ranting pohon itu gugur
semua, hingga pohon itu berobah menyadi gundul. Kini baru Hwat Siau percaja akan
keterangan Yan-chiu.
„Hem, kau kerja apa disitu tadi ?" kini Hwat Siau alihkan perhatiannya kepada Kuan
Hong dan Wan Gwat, kemudian bertanya kepada Yan-chiu. Tapi sebaliknya kini Yan-chiu
malah menyadi tenang.
„Bukalah dahulu jalan darahku ini!" kata sigadis.
Tiara bagaimana kau dapat terhindar dari ledakan dinamit itu?" tanya Swat Moay.
„Ja......!, bukalah dahulu jalan darahku ini, atau biar matipun aku tak mau mengatakan!"
sahut Yan-chiu dengan tegusnya. Oleh karena ingin lekas2 mengetahui kejadian yang
aneh itu, maka kedua suami isteri itu berbareng sama Iekatkan jarinya kebahu Yan-chiu.
Yan-chiu rasakan sakit sekali, tapi sekarang ia dapat bergerak. Tapi oleh karena lama
menyadi kaku, maka agak lama baru ia dapat pulih lagi.
„Nah, katakanlah sekarang!" perintah Swat Moay.
Mata Yan-chiu tertumbuk akan kedua anak yang saling berdampingan merapat dengan
wajah ketakutan. Diam2 timbullaih rasa kasihannya, biarlah ia mati asal kedua anak
kecil itu hidup. „Luluskan dahulu sebuah permintaanku dan nanti segera kuterangkan
se-jelas2-nya!" katanya.
„Soul apa?!" bentak Hwat Siau dengan gusar.
„Lepaskan kedua anak ini!"
„Ja..!, pergi...., hajo pergi dari sini!" Hwat Siau mengenyahkan Kuan Hong dan Wan Gwat.
Bermula kedua anak itu tak mau, tapi segera Yan-chiu mendesaknya seraja berbisik:
„Tunggulah aku ditempat yang kukatakan itu. Kalau aku tak mati, aku tentu akan
mencarimu disana!"
Dengan mengusap air matanya, kedua anak itu ajunkan
ajunkan langkahnya yang berat. Berulang kali mereka berpaling kebelakang untuk
melihat kearah Yan-chiu. Setelah mereka lenyap dari pemandangan, barulah Yan-chiu
mulai membuka suara: „Kalian tanyakan aku mengapa tak binasa karena ledakan itu
bukan? Nah, dengarlah: „tiada seorangpun yang binasa karena ledakan itu !!!"
Sebenarnya ia sendiri tak mengetahul bagaimana kejadiannya, tapi ia tahu kalau kedua
suami isteri itu senang mendengar mereka binasa semua. Maka untuk membikin panas
hati orang, sengaja dia tekankan keterangannya itu dengan tandas.
„Mengapa?" tanya Hwat Siau dengan keheranan. „Aku yang memberitahukan mereka!"
sahut Yan-chiu. Swat Moay terkekeh. „Kau benar2 seorang budak yang tangkas bicara.
Kalau kau bisa bergerak, mengapa tak menginyak padam sumbu itu saja?!"
Yan-chiu kalah alasan (logika), tapi ia pantang mundur, sanggahnya: „Itu supaja kalian
bergirang hati dahulu!"
Swat Moay mengkal tapi juga seperti di-kili2 hatinya. „Habis siapa yang membuka jalan
darahmu?"
Tanpa dipikir panjang lagi, ia segera menyahut; „Aku sendiri yang membukanya", tiba2
ia tersadar akan kekliruannya. Bukantah tadi ia jatuh dari pohon dalam keadaan masih
tertutuk? Maka buru2 ia susuli kata2: „Tapi kemudian kututuk lagi!"
Hwat Siau tak mengerti kalau Yan-chiu memang sengaja omong merambang (ngawur)
oleh karena mengerti toh bakal mati. Dia kira Yan-chiu itu seorang nona yang gila dan
suka ugal2an. Tapi Swat Moay yang ternyata lebih cermat, dapat mengetahul maksud
tujuan Yan-chiu, katanya: „Ahthau, bagaimana kepandaian kami berdua, rasanya kau
sudah menyaksikan sendiri. Kalau kau tak omong sejujurnya biar kau rasakan
penderitaan, mati tidak hidup tidak!"
Memang Yan-chiu pernah mendengar orang berkata 'lebih menderita daripada mati', tapi
bagaimana rasanya kesusahan derita itu, belum pernah ia mengalami, maka dengan
sekenanya saja ia menyahut: „Lekas bunuh saja aku ini! Ah, entah bagaimana nasib suhu
dan suko. Kalau mereka sudah binasa, perlu apa aku hidup sendirian?"
Mendengar itu, barulah Swat Moay mengetahui bahwa sebenarnya nona itu tak
mengetahui tentang kejadian itu. „Koanyin, budak ini tangkas sekali, ia faham daerah
Kwiciu, rasanya sangat leluasa untuk membawanya sebagai pengunyuk jalan!"
„Niocu, kalau ia minggat, kan malah runyam!" sahut Hwat Siau. Swat Moay meringkik,
serunya: „Tutuk saja jalan darahnya chit-jit-hiat, masa ia bisa lari?"
Hwat Siau juga terkekeh, sembari mengenakan jubah merah. Hendak Yan-chiu
menanyakan apa yang disebut chit-jit-hiat. (jalan darah 7 hari) itu, tapi secepat kilat
tangan Swat Moay sudah mencengkeram dadanya hingga ia tak sempat menghindar.
Seketika itu ketiaknya terasa kesemutan, tapi tak lama terus hilang.
„Ah-thau, ingat didalam perjalanan kita tentu bertemu dengan macam2 keadaan, kalau
kau tak dengar kata, silahkan kau pergi sesuka hatimu. Chit-jit-hiat-mu sudah kena
kututuk, jika bukan aku yang membukanya, dalam 7 hari kemudian, sekujur tubuhmu
pasti tegang regang, urat nadi dan jalan darahmu putus semua, tapi kau tak sampai
binasa. Cukup ditempeli secarik kertas saja, tubuhnya serasa lebih sakit dari diiris pisau.
Kalau kau sanggup menerima penderitaan itu, silahkan kau lari. Kalau tidak, kau harus
ikut pada kami barang kemanapun jua!" kata Swat Moay dengan tawar.
Tercekat hati Yan-chiu mendengar siksaan yang ngeri itu. Ah...., inilah mungkin yang
dinamakan „lebih sakit daripada mati". Tapi masakan aku tak dapat mencari orang yang
sanggup menolong diriku itu? Yan-chiu berpikir keras untuk menggali lubuk
peringatannya.
„Ah-thau, dengarkanlah! Chit-jit-hiat itu tiada terdapat daiam kitab pelajaran ilmu tutuk
yang manapun juga. DiseIuruh kolong dunia ini, hanya kami berdua yang dapat menutuk
dan membukanya. Kalau kau pikir yang tidak2, itu berati mencari kematian sendlri.!"
kata Swat Moay yang rupanya tahu apa yang dipikirkan Yan-chiu itu.
Terjadi perbantahan dalam pikiran Yan-chiu sendiri. KaIau ia merat paling banyak ia
bermaksud hendak menemul suhu dan sukonya untuk mengucapkan selamat tinggal.
Dan bukantah sampai saat itu sukonya Itu tetap belum mengetahui isi hatinya, jadi suatu
pengorbanan yang sia2 saja namanya. Ah....., lebih baik ia mengikuti saja barang kemana
perginya kedua suami isteri itu, karena bukantah mereka juga bermaksud akan
menyelidiki tempat harta karun itu?
Setelah menetapkan rencananya, lebih dahulu ia tertawa keras, baru kemudian
mengejek: „Siapa yang bermaksud akan lari? Bukantah hal itu berarti aku jeri padamu?"
Hwait Siau dan Swat Moay kalah bicara. Tapi oleh karenm perlu memakai tenaganya,
apalagi jakin nona itu tentutuk dapat melarikan diri, maka mereka lalu ajak Yan-chiu
berjalan.
„Kemana?" tanya Yan-chiu. Kedua suami isteri itupun tertegun. Mereka sendiripun tak
tahu hendak ajunkan langkahnya kemana. Harta karun kim-jong-giok-toh itu hanya
didengarnya dari mulut Ngo-tok-lian-cu-piau Can Bik-san dan dari kabar yang tersiar
dikalangan kaum persilatan hekto daerah Kwitang. Jadi mereka berdua sendiripun tak
tahu jelas.
Kiranya ketika dahulu timbul kekacauan, maka Thio Hian Tiong segera mamancing diair
keruh. Pemimpin ini segera kerahkan anak buahnya untuk mengganas dan merampok.
Dia sadar, bahwa seorang tokoh macam dia itu andaikata sampai tergencet, rahajat pasti
takkan mengampuninya. Maka siang2 dia sudah mempersiapkan rencana. Diangkutinya
semua barang2 berharga hasil rampokannya selama bertahun2 itu ke Kwitang. Harta
karun itu disembunyikan secara rahasia sekali. Kalau gerakannya itu sampai gagal, dia
mundur ke Kwitang dan dari situ dengan mengangkut seluruh harta kekajaannya,
hendak dia berlajar keluar negeri.
Walaupun betapa cermatnya Thio Hian Tiong menyembunyikan harta karun itu, namun
tak urung bocor juga hingga menimbulkan desas-desus tentang adanya kim-jong-giok-
toh itu dikalangan persilatan.
Pemerintah Ceng belum berapa lama menduduki Tiongkok, jadi segala tata negara belum
dapat berjalan dengan lancar. Oleh karena achir tahun pemerintah Beng itu terbit
bencana alam dan paceklik, maka negara menghadapi kesulitan besar dalam hal
keuangan. Rakjat sudah sedemikian miskinnya, jadi sukar untuk diperas dengan pajak
yang lebih berat lagi. Maka bertindaklah Sip ceng-ong Tolkun, mengutus Hwat Siau dan
Swat Moay beserta ke 18 jagoan untuk menyeiidiki harta karun itu.
Memang, kalau benar desas-desus itu sungguh ada, siapa saja yang menemukan baik
pemerintah Ceng, atau Lam Beng maupun Thian Te Hui, pasti akan merupakan
sumbangan yang tak kecil artinya. Maka tanpa menunggu bagaimana hasil ledakan
dinamit digereja Ang Hun Kiong itu, Hwat Siau dan Swat Moay segera ber-gegas2 mulai
melakukan penyelidikan tempat harta itu.
„Budak perempuan, yangan usil. Kau tinggal tunggu perintah saja, sekalipun mendaki
gunung golok, kau harus mengikuti. Masuk kedalam laut, kaupun harus ikut masuk.
Sudah, sejak ini kau tak boleh lancang bertanya lagi!" Hwat'Siau membentaknya.
Tiba2 terdengar suara orang bersenanyung menghampiri datang. Dari nada
senanyungnya itu, terang ia itu seorang perempuan.

(Bersambung Ke Bagian 46)


BAGIAN 46
DUKA MERANA

Tersirap darah Yan-chiu mendengar nada itu. Mengapa orang itu bisa datang kemari ?
Kalau ia, tak kena apa2, terang suhu dan sukonya tentu juga selamat. Hati Yan-chiu
serasa terang gembira. Benar juga ketika dekat, orang yang bersenandung (nyanyi2 kecil)
itu ternyata seorang perempuan muda. Walaupun mengunyuk rasa kedukaan sehingga
pucat lesi wajahnya, namun tak mengurangkan kecantikannya yang luar biasa itu.
Nada senanyung itu, sukar ditebak, entah melukiskan kegirangan atau kesedihan. Begitu
melihat ketiga orang tersebut (Hwat Siau, Swat Moay, Yan-chiu) ia hanya mengangkat
kepala sambil mengerlingkan ekor mata, sebentar, lalu bersenandung pula: „Daun
kuning tiada angin rontok sendiri, awan dimusim rontok tiada hujan tapi mendung terus.
Kalau dunia ini memang ada percintaan sampai kaki nini, suka benci kasih hanya tinggal
kenangan, kemanakah hendak kucarinya!"
Hati Yan-chiu serasa tertikam. Ia memangnya seorang nona yang berhati welas asih.
Begitu dihidungnya berkembang kempis, air matanya mengalir deras dan mulutnya
segera berseru dengan suara terharu: „Lian suci!" .
Kiranya wanita muda itu bukan lain adalah Say-hong-hong Bek Lian. Sekalipun tak
menyetujui akan keperibadian sucinya itu, namun dalam keadaan begitu, tak tega ia
untuk tak menegurnya. Yan-chiu tak mengetahui bahwa sucinya itu telah dihianati
cintanya oleh The Go. Tapi yang nyata saja, sucinya itu kini begitu kurus kering ibarat
tulang terbungkus kulit. Sengaja ia, berseru keras2, namun agaknya Bek Lian se-olah2
tak menghiraukan.
„Suka duka benci kasih hanya tinggal kenangan, kemanakah hendak kucarinya? Suka
duka benci kasih hanya tinggal kenangan, kemanakah hendak kucarinya?" demikian
mulutnya berulang kali bersenanyung sembari sang kaki melangkah kemuka.
Mendengar, Yan-chiu memanggil „suci" kepada gadis itu, Hwat Siau dan Swat Maoy
timbul kecurigaannya. Ja, tak salah lagi kiranya, gadis itu adalah anak perempuan dari
Kang Siang Yan yang dijumpainya didalam gereja Ang Hun Kiong kemaren dulu. Mengapa
ia sekarang pura2 menyadi orang gila ? Adakah hendak menarik perhatian Kang Siang
Yan supaja datang kesitu? Ah, rasanya nona itu (Bek. Lian) tentu mengetahui apa yang
terjadi dalam gereja Ang Hun Kiong ketika dinamit meledak. Setelah saling memberi
isjarat mata, kedua suami isteri itu segera lompat majau menghadang dimuka Bek Lian,
serunya: „Hai, berhenti dahulu !"
Bek Lian tertegun, lalu menghindar kesamping tanpa menghiraukan Swat Moay, yang
berdiri tepat dihadapannya. Swat Moay ulurkan tangannya untuk menepuk pelahan2 dan
itu saja sudah cukup untuk membuat Bek Lian menggigil kedinginan.
„Aduh, dinginnya! Engkoh Go, nyalakan api untuk memanasi pakaian. Nanti kita tinyau
lagi tempat apakah disini ini!" Bek Lian mengoceh sendiri.
Swat Moay makin heran. Pada hal saat itu Bek Lian terkenang akan kejadian kala ia,
bersama The Go terombang-ambing ditengah lautan, kemudian terdampar dipulau
kosong. Disitu The Go segera nyalakan api dan malam itu adalah untuk pertama kali ia
serahkan diri pada The Go. Sudah tentu kenangan itu tergurat dalam2 pada lubuk
ingatannya.
„Hai, kau pura2 gila ja?" kembali Swat Moay membentaknya. Karena kerasnya bentakan
itu, Bek Lian terkesiap sampai beberapa saat. Pada lain saat tiba2 ia menangis tersedu
sedan.
„Ma, anakmu ini sungguh bernasib malang! Ajah hendak membunuh aku!" serunya
meratap tangis. Hwat Siau menghampiri datang. Setelah memperhatikan keadaan nona
itu sesaat, dia berkata kepada isterinya: „Niocu, nona ini gila karena patah asmara,
sudahlah yangan mempedulikannya!"
Yan-chiu mencekal lengan Bek Lian yang beberapa kall di-guncang2kan seraja bertanya:
„Lian suci, dimana suhu dan Jiang suko ? Ja, dimana sekarang mereka itu ?"
Namun Bek Lian se-olah2 tak mendengarnya, hanya terus menangis saja. Achirnya
setelah sekian lama menangis, se-konyong2 Bek Lian tertawa: „Ah, sudah tentu aku ini
menyadi milikmu sampai diachir jaman!"
Yan-chiu kewalahan benar2. Tiba2 terdengarlah suatu suara orang memanggil2.
Walaupun agak lemah karena jaraknya yang jauh, namun apa yang diteriakkannya itu
jelaslah sudah: „Lian-ji, kau berada dimana?"
Suara itu makin mendekati dan berobahlah wajah Swat Moay seketika. „Koanyin, ajuh
lekas pergi, itulah Kang Siang Yan!" serunya kepada sang suami. Tapi rupanya Hwat Siau
tak memandang mata pada Kang Siang Yan, sahutnya: „Takut apa sih?" .
„Bukannya takut, tapi pada saat ini lebih baik kita, yangan cari perkara dengan orang itu
dulu!" menerangkan Swat Moay. Dan dalam beberapa detik pembicaraan itu saja, suara
Kang Siang Yan sudah makin mendekat. Buru2 Swat Moay tarik Yan-chiu untuk diajak
sembunyi ditempat yang gelap. Yang didengar hanya ucapan Kang Siang Yan ketika
menyumpai Bek Lian jakni „Ah Lian", karena pada waktu itu Yan-chiu dapatkan dirinya
sudah diseret jauh dari tempat Bek Lian tadi.
Dalam cengkeraman sepasang suami isteri iblis itu, Yan-chiu tak dapat lobs lagi. Setiap
6 hari, urat nadi Yan-chiu yang tertutuk itu dibuka sekali, tapi hanya untuk beberapa
waktu saja, kemudian ditutuk lagi. Dengan begitu Yan-chiu tetap berada dalam
genggaman kedua iblis itu.
---oo0oo---
Demikianlah dengan singkat saja, musim rontok telah berganti dengan musim semi atau
berarti sudah berganti tahun. Tahun itu merupakan tahun ke 5 dari pemerintahan kaisar
Sun Ti dari kerajaan Ceng, dan tahun ke 2 dari kerajaan Lam Beng, yang dirajai oleh
baginda Ing Lek. Kala itu sudah menginyak bulan dua, sudah hampir 10 bulan lamanya
Yan-chiu berada ber-sama2 kedua suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay. Selama dalam
10 bulan itu, Yan-chiu sudah makin dewasa, perangai ke-kanak2an makin berkurang. Ia
tak suka banyak bicara lagi, satu2nya harapan jalah supaja dapat berjumpa dengan suhu
atau orang2 gagah yang dikenalnya.
Baginda Ing Lek bersemajam dikota raja Siau Ging.
Hwat Siau dan isterinya sudah menyelajahi seluruh pelosok propinsi Kwitang dan
sebagian dari Kwisay, tapi selama itu mereka tak berani datang ke Siau Ging, karena
kuatir kebentrok dengan para wi-su (bayangkari) istana dan ketahuan kedoknya. Sebab
hampir semua pelosok Kwiciu sudah dikunyungi, achirnya diputuskan untuk menyusup
kekota Ko-yau-koan yang termasuk dalam lingkungan Siau Ging.
Sedari Li Seng Tong berbalik haluan menakluk pada kerajaan Beng, maka perlawanan
terhadap pemerintah Ceng timbul dari daerah timur dan utara. Dan untuk sementara
waktu, kerajaan Lam Beng agak aman. Maka kota Ko-yau-koanpun ramai sekali. Begitu
masuk kekota itu, disitu terdapat dua buah jalan besar. Mereka bertiga memilih salah
sebuah. Tapi baru berjalan tak berapa lama, tiba2 terdengar suara teriakan orang: „kereta
pesakitan datang, ajuh minggir...., minggir.....!" Menyusul dengan itu gerobak2 dari 3
buah kereta beroda tiga yang didorong oleh beberapa serdadu tampak mendatangi.
Kepala dari pesakitan2 itu menonyol keluar diatas lantai atap kereta.

Bermula Yan-chiu tak menghiraukan, karena mengira pesakitan itu tentulah bangsa
penyahat. Tapi ketika tanpa disengaja matanya tertumbuk pada kepala salah seorang
pesakitan, seketika pucatlah wajahnya. Hendak ia berteriak, tapi tenggorokannya serasa
tersumbat suatu arang hingga tak dapat mengeluarkan suara. Ia memburu maju, tapi
baru saja melangkah beberapa tindak, punggungnya sudah dicengkeram kencang2 oleh
Swat Moay (lihat gambar diatas).

„Hm, ah-thau, kau heridak melarikan diri?"


Dalam pada Yan-chiu me-ronta2 itu, kereta pesakitan sudah berjalan jauh, hingga saking
marahnya Yan-chiu banting2 kaki berseru: „Kau bilang tidak takut aku melarikan diri
bukan ? Tapi mengapa baru aku bergerak sedikit saja kau sudah begitu ketakutan?"
Kata2 itu sengaja ia, ucapkan keras2, sehingga banyak orang yang sama berhenti
mengawasi. Hal mana membuat kedua suami isteri itu gugup dan membentaknya: „Awas,
kui-ah-thau, kalau berani membangkang tentu akan segera kubunuh!"
Berlainan dengan sikapnya dahulu, kini Yan-chiu tak mau sungkan lagi, dengan separoh
meratap ia, meminta kelonggaran: „Jiwi cianpwe, idinkanlah aku mengejar kereta
pesakitan itu tadi untuk berbicara beberapa patah pada sipesakitan. Bukantah jalan
darah ki-hiat-ku telah kalian tutuk ? Kalau dalam 5 hari tak kembali, aku pasti
mengalami siksaan hebat, masakan aku tak sayang akan jiwaku?"
„Apamu sipesakitan itu ?" tanya Swat Moay.
„Yang dua aku tak kenal, tapi yang satunya itu adalah sukoku!"
„Hem, kami ber-sama2 kesana!" Swat Moay mengerang.
Yan-chiu jakin bahwa kepala yang menonyol diatas kereta pesakitan itu, adalah Tio Jiang.
Dalam tahun yang terachir ini, bayangan Tio Jiang makin melekat dalam sanubarinya,
maka walaupun dalam keadaan rambut kusut masai muka kotor, namun Yan-chiu masih
tetap dapat mengenalnya. Begitu permintaannya disetujui, ia lupa segala apa. Ditengah
hari bolong, diantara sekian banyak orang, ia segera gunakan ilmu berjalan cepat. Sekali
berloncatan macam burung walet (seriti), ia sudah melampaui dua buah jalanan dan
tampaklah kini ketiga kereta pesakitan itu disebelah muka sana.
„Jiang suko, Jiang suko!" serunya sambil memburu kemuka seraja terus menarik baju
kedua serdadu yang mendorong kereta itu. Seketika kedua serdadu itu mendeprok
ketanah seperti kehilangan tenaga.
„Jiang suko!" seru Yan-chiu seraja mendekap terali kereta. Dari sepasang matanya, butir2
air menetes bercucuran.
Tio Jiangpun terkesiap mendengar seruan Yan-chiu itu, hingga sampai beberapa saat dia
ter-longong2. „Siao Chiu dimanakah sekarang kita ini ?"
„Jiang suko, kenapa kau sampai begini? Bukantah ini kota. Ko-yau-koan?" kata Yan-chiu
dengan terharu dan girang. Tio Jiang menghela napas. Baru dia hendak menyahut, ketiga
perwira yang mengiring kereta pesakitan itu sudah menghampiri datang dengan beringas.
Salah seorang cepat melolos goloknya dan membentak: „Perempuan liar dari mana ini,
yang berani bicara dengan pesakitan ? Kalau dituduh hendak merampok pesakitan, kau
tentu dihukum tabas kepala!"
Mendengar. kini Tio Jiang disebut pesakitan negeri, marah Yan-chiu bukan kepalang.
Tanpa tunggu siperwira habis bicara, ia sudah mendampratnya: „Fui, kentut busuk, ajuh
lekas enyah!" .
Siperwira terkesiap kaget. Mimpipun tidak dia kalau sinona begitu katak (garang). Setelah
tersadar, segera dia julurkan goloknya kemuka dada Yan-chiu, seraja mengancam:
„Kalau kau berkeras kepala, tentu ku ........"
Belum lagi siperwira menyelesaikan kata2nya, Yan-chiu sudah menyepit ujung golok
dengan dua buah jari, lalu disentakkan kebelakang. Perwira itu hanya seorang militer
yang bertubuh kokoh kekar, dalam hal ilmu silat sudah tentu dia tak sepersepuluhnya
kepandaian Yan-chiu. Bluk...... bukan saja goloknya terlepas, orangnya pun turut tertarik
dan jatuh kemuka.
„Aku tak mau pergi. Ajuh, beri hormat padaku dengan 3 kali anggukan kepala?" seru
Yan-chiu sembari tancapkan batang golok ketengkuk siperwira. Serasa terbang semangat
siperwira dibuatnya, hingga tak dapat berkata apa2.
Dalam pada itu, kedua kawan perwira yang melihat kejadian itu, segera ber-teriak2:
„Pemberontak mengacau, pemberontak mengacau!"
Dengan memutar golok, mereka maju menyerang, tring....., tring....., Yan-chiu menangkis
dengan goloknya dan tangan kedua perwira itu merasa kesemutan. Sekali dua Yan-chiu
menggerakkan goloknya lagi, kedua golok lawan sudah terlepas dan kedua perwira itupun
terhujung mundur beberapa tindak.
„Kereta pesakitan dirampok......! Kereta pesakitan dirampok......!" entah bagaimana
serdadu2 pendorong kereta itu sama2 berlarian seraja berteriak2. Dalam sekejab saja,
terjadilah kekacauan. Orang2 sama2 berserabutan lari, toko2 sama2 menutup pintu
hingga dalam waktu yang singkat saja, jalanan yang semula hiruk pikuk itu kini menyadi
sunyi senyap. Yang masih tertampak hanya beberapa gelintir orang yang bernyali besar
serta Hwat Siau dan Swat Moay yang berdiri dikejauhan.
Ko-yau-koan meskipun dekat dengan kediaman raja, tapi tak lebih tak kurang dari
sebuah kota kecil saja. Dalam sekejab waktu saja, peristiwa Yan-chiu itu sudah tersiar
diseluruh kota.
„Siao, Chiu, yangan bikin onar!" Tio Jiang memberi peringatan. Sedang kedua pesakitan
yang lain itu, tinggal diam saja.
Yan-chiu tak habis mengerti, mengapa Tio Jiang tak dapat keluar dari sebuah kereta yang
terbuat dari pada kaju. Maka segera ia tabaskan goloknya untuk menghancurkan terali
kaju itu, tapi hai, goloknya telah membentur besi logam. Kiranya terali (ruji) kereta itu
terbuat daripada besi baja dan ketika diperiksanya, terali itu hanya satu dim besarnya.
Tiba2 terkilas dalam pikiran Yan-chiu, bahwa pada 10 bulan yang lalu ketika menolong
Kuan Hong dan Wan Gwat didalam gereja Ang Hun Kiong, ia telah dapat mendorong
terbuka terali besi. Cepat golok dibuangnya, kemudian dicekalnya dua buah terali terus
dingangakannya, krek, krek, putuslah terali itu. Dengan ber-nyala2 segera ia
mematahkan terali2 besi kereta itu semua. Didapatinya tangan dan kaki Tio Jiang diikat
dengan rantai besi sebesar jari. Siku dan pergelangan tangannya tampak bekas noda2
lecetan berdarah. Melihat itu hati Yan-chiu makin meluap.
„Jiang suko, siapa yang menyiksamu sedemikian rupa? Bilanglah, tentu akan kucincang
lebur orang itu!" Yan-chiu menyerit seperti orang kalap.
Bahwa Tio Jiang itu seorang pesakitan penting, seluruh kota situ sudah lama
mengetahuinya. Jadi orang yang hendak dicincang oleh Yan-chiu itu bukan lain adalah
baginda sendiri. Orang2 yang tadinya masih bernyali untuk melihat ramai2 disitu, kini
sudah sama ngacir bubar. Hwat Siau dan Swat Moaypun segera mengumpat diujung
jalan, menantikan perkembangan selanyutnya.
Walaupun Yan-chiu sangat bernapsu menghujani pertanyaan, namun Tio Jiang hanya
menghela napas saja tak menyahut. „Akupun tak tahu!" achirnya dia memberi
keterangan.
„Tio-heng, yangan takut mengatakan! Terhadap orang2 macam begitu, memang pantas
dicincang seperti yang dikatakan nona ini tadi!" tiba2 kedua pesakitan itu turut bicara.
Yan-chiu segera menghampiri kereta mereka untuk membuka terali besi, begitu juga
borgolan yang mengikat kaki tangan mereka. Tapi ketika ia, hendak membuka borgolan
rantai Tio Jiang, anak muda itu sudah mendahului gerakkan tangannya sendiri untuk
mematahkan rantai borgolannya.
Tanpa menghiraukan rasa sungkan apa2 lagi, Yan-chiu segera rubuhkan kepalanya
kedada sang suko untuk menangis ter-isak2. Biar bagaimana ia adalah seorang gadis
remaja. Tadi memang ia sangat garang sekali melabrak serdadu dan perwira pengawal
kereta pesakitan itu. Tapi kini ia laksana seekor anak kambing yang jinak. Terkenang
akan penderitaannya selama 10 bulan ini, apalagi chit-jit-hiatnya masih tertutuk dan Tio
Jiang menyadi pesakitan negara. Nasib sial yang ber-turut2 menimpah pada diri mereka
itu, telah membuat Yan-chiu menangis tersedu sedan.
„Sudahlah, Siao Chiu, yangan menangis!" Tio Jiang menghibur.
„Bagaimana kau dapat lolos dari Ang Hun Kiong?"
Yan-chiu menyapu air matanya dan hendak memberi penyahutan, tapi tiba2 terdengar
derap kaki kuda mendatangi. Pada lain saat, jalanan itu telah dikepung dengan pasukan
berkuda yang tak terhitung jumlahnya. Empat orang buciang (panglima) dengan garang
menobros kemuka. Demi melihat ketiga pesakitan itu sudah terlepas, mereka terbeliak
kaget. Salah seorang dari mereka menusuk Tio Jiang dengan tombak, tapi anak muda itu
cepat menghindar kesamping. Dalam murkanya, Yan-chiu hendak menangkap tombak
orang, tapi ternyata buciang itu bukan seorang jago lemah. Tombak diputar laksana
kitiran, begitu diturunkan kebawah, lalu ditusukkan kepada sinona. Yan-chiu tak mau
unyuk kelemahan. Ia membungkuk kebawah sambil merapat. maju. Disambarnya
goloknya yang terletak ditanah tadi, tangkai golok itu disodokkan keperut kuda sibuciang
tadi. Sudah tentu kuda itu meringkik tersentak keatas dan membarengi dengan itu, Yan-
chiu segera memapas tombak sibuciang hingga kutung menyadi dua. Kebenaran pula
kutungan tombak itu tepat melayang mengenai punggung sibuciang, aduh ......... ia
mengerang dan jatuh kebawah, lalu diinyak oleh Yan-chiu.
„Ajuh, siapa yang berani maju lagi?"
Ketiga huciang (bawahannya buciang) melihat pemimpinnya tertangkap, tak berani ambil
tindakan keras. Mereka hanya perintahkan anak buahnya untuk mengepung rapat2
tempat itu sambil ber-teriak2.
Entah sudah berapa kali Tio Jiang dan Yan-chiu bertempur melawan kawanan tentara
Ceng. Tapi kejadian itu mengambil tempat dihutan, tidak seperti. saat itu ditengah
jalanan ramai apalagi pasukan Beng itu semua berkuda. Kalau mereka sama menyerang
rapat, kemungkinan besar bisa keinyak mati. Maka Yan-chiu segera gunakan akal. Begitu
ada seorang serdadu mau menghampiri dekat, cepat2 ia jiwir telinga panglima tadi,
serunya: „Lekas suruh mereka mundur!"
Tapi ternyata panglima itu juga seorang jantan. Dalam kota raja orang berani main
rampas pesakitan ditengah hari bolong, berani pula melawan tentara pemerintah,
andaikata pemberontak2 itu bisa melarikan diri, dia (buciang) pun akan mendapat
hukuman mati. Maka dengan kertek gigi, dia tahan kesakitan tak mau menyahut.
Melihat itu Yan-chiu gelisah sendiri. „Jiang suko, ajuh kita serbu!" achirnya ia berseru.
Tio Jiang ragu2 tampaknya, tapi Yan-chiu secepat kilat sudah mengambil keputusan.
„Terimalah panglima ini!" serunya seraja melempar tubuh sibuciang kearah kawanan
tentara Beng, Yan-chiu, menyambar sebuah rantai besi, tangannya kiri mencekal
sebatang golok, serunya; „Tolol, kalau tak menyerbu, apa mau tunggu kematian ?"
Tio Jiang tersadar, lalu menyemput sebatang rantai untuk di-putar2. Tapi begitu
mengetahui pemimpinnya tak kurang apa2, ketiga huciang itu segera maju merapat. Pada
jarak dua tombak, mereka kedengaran berteriak keras2: „Serbu!"
Dari empat jurusan, kuda mendesak maju. Hiruk pikuk kud2, meringkik, se-olah2
memecah bumi. Yan-chiu sibuk sekali. Untung pada saat2 yang berbahaya itu, se-
konyong', terdengar dua buah suitan aneh. Menyusul dengan itu, dua sosok bayangan,
satu merah satu hitam, meluncur turun dari atas wuwungan sebuah rumah. Bayangan
merah menghamperi Tio Jjiang, bayangan hitam mendekati Yan-chiu. Mereka ternyata
adalah suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay. Tanpa berkata ba atau bu, Swat Moay
segera mengepit Yan-chiu dibawah ketiak, kemudian sekali enyot kakinya, Swat Moay
bawa Yan-chiu melayang keatas wuwungan. Gerakannya bagai seekor burung waled.
Sebaliknya Hwat Siau yang hendak meniru perbuatan isterinya, telah mengalami
kesukaran terhadap Tio Jiang. Begitu tangan Hwat Siau mengulur, Tio Jiang turunkan
bahunya lalu mengirim sebuah hantaman kemuka. Hwat Siau tersentak kaget.
Cengkeramannya luput, malah berbalik didorong oleh tenaga dahsjat. Cepat dia robah
gerakannya, memutar tangan untuk merangsang bahu sianak muda. Tapi dia tetap tak
mau menghindar dari sodokan Tio Jiang tadi, maka tangan Tio Jiangpun tepat dapat
mengenai sasarannya dan uh tangannya itu serasa memegang api membara. Dalam
pada dia terkejut, tahu2 bahunya sudah tercengkeram tangan Hwat Siau. Hendak dia
meronta, tapi sekali diputar tahu2 tubuhnya sudah pindah diatas pundak Hwat Siau.
Tepat pada saat itu pasukan berkuda lawan sudah merapat dekat. Hwat Siau
perdengarkan suara ketawa mengejek, sekali enyot sang kaki, dia melayang keatas
wuwungan rumah. Saking herannya, pasukan berkuda itu ter-longong2 kesima. Untuk
melampiaskan kemengkalannya, mereka segera menghujani kedua pesakitan dengan
tombak dan golok, hingga tubuh mereka tercincang hancur.
Sampai kerajaan Beng berhijrah kedaerah selatan dan berganti dengan nama Lam Beng
(Beng Selatan), namun adat kebiasaan buruk dari para pembesar sipil dan militer masih
melekat dalam2. Hanya membunuh dua orang pesakitan yang tak berdaja, mereka
menghaturkan laporan keatas kalau pemberontak yang hendak merampas pesakitan itu
dapat dibunuh semua. Hal ini untuk menutupi kelemahan mereka dan mengidamkan
pahala dan hadiah.
(Bersambung Ke Bagian 47)
MENGUNDANG HARIMAU BUAS

BAGIAN 47.1

Sekarang marilah kita, ikuti perjalanan Hwat Siau dan Swat Moay. Dengan mengepit
kedua anak muda itu mereka menuju keluar kota. Tiba ditepi sungai, karena sudah tiada
tentara yang, mengejar, mereka lepaskan Tio Jiang dan Yan-chiu.
Diam2 Yan-chiu merasa berterima kasih atas tindakan suami isteri itu. Hal ini
disebabkan kerinduannya pada sang suko. Hampir setahun berpisah masa baru bertemu
saja sudah menghadapi bahaja maut. Sebaliknya Tio Jiang yang jujur, menganggap
bahwa kedua orang yang menolonginya itu tentulah kaum cianpwe persilatan, maka
tanpa ragu2 dia segera haturkan terima kasih.
„Ah, sama2 kaum persilatan, mana tega berpeluk tangan mengawasi hengtay (saudara)
dicelakai kawanan serdadu? Usah banyak peradatanlah!" sahut kedua suami isteri itu.
Jawaban itu, merupakan jawaban yang lazim diucapkan oleh para orang gagah budiman.
Tanpa menyelidiki dulu siapakah kedua suami isteri itu, kembali Tio Jiang haturkan
terima kasih, serunya: „Bagaimana tak harus menghaturkan terima kasih? Dari mana
jiwi mengetahui berita penangkapanku itu? Adakah jiwi ini datang dari Lo-husan ?"
Menduga ada sesuatu, buru2 Swat Moay gunakan ilmu thoan-im-jip-bi (menyusupkan
suara) untuk bertanya kepada Yan-chiu: „Siau-ah-thau, adalah dia itu kekasihmu? Kami
telah menolongmu tadi, sekarang harap kau yangan buka suara apa2, nanti tentu
kubuka jalan darahmu itu agar kau dapat pergi dengan bebas, mau tidak?"
Oleh karena hati Yan-chiu hanya tertumpah pada diri sang suko, iapun mengiakan
dengan serta merta. Melihat isjarat itu, baru Swat Moay memberi penyahutan pada Tio
Jiang: „Benar, kami baru saja datang dari Lo-hu-san. Eh, mengapa siaoko dapat
mengetahuinya?"
Yan-chiu terkesiap. Terang dia bersama kedua suami isteri itu baru datang dari Lok-jiang
keselatan sini (Kauyau-koan), tapi mengapa Swat Moay memberi keterangan begitu? Ia
taruh kecurigaan, tapi belum mengetahui sebab2nya.
„Ah, sungguh tak nyana kalian begitu lekas mengetahui berita itu. Dengan dua orang
saudara aku menuju ke Kau-yau-koan, tapi belum sampai menghadap raja, sudah
ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan, dianggap sebagai pesakitan jahat. Turut
keterangan sipir penyara, raja telah mempersalahkan kami berserekat pada sisa anak
buah Thio Hian Tiong. Jadi kami digolongkan dengan kawanan pemberontak. Ah, mereka
tak mengetahui bagaimana semangat perjoangan dan jiwa patriot dari saudara2 kita itu!"
Tio Jiang menghabisi keterangannya dengan menghela napas panjang pendek.
Sebagai seorang benggolan dinas intelligence (rahasia) pemerintah Ceng, walaupun
keterangan itu tiada awal mula, tapi Swat Moay segera dapat menarik kesimpulan bahwa
kini digunung Lo-hu-san sana telah siap berkumpul para orang gagah yang bersedia
untuk membantu pada kerajaan Lam Beng. Tapi raja Ing Lek yang tidak mempunyai
kebijaksanaan itu, malah menganggap mereka itu hendak memberontak, maka Tio Jiang
yang ditugaskan oleh kawan2nya menyadi utusan, telah dijebloskan dalam penyara.
Diam2 Swat Moay bersorak dalam hati. Kawanan orang gagah yang hendak dibunuh
dengan dinamit digereja Ang Hun Kiong tetapi gagal itu, kini ternyata ditolak mentah2
oleh pemerintah Lam Beng. Ah, ini merupakan kesempatan yang bagus untuk
mengembangkan aksi subversifnya (gerakan dibawah tanah). Apabila Tio Jiang pulang
dan mereka (Hwat Siau dan Swat Moay) menambahkan api, sudah tentu para orang gagah
itu akan ber-jingkrak2 marah. Dan inilah suatu landasan yang subur-untuk mengadu
domba dan menghancurkan mereka.
„Ah, sungguh kurang ajar betul, sekarang saudara2 kita itu tentu putus asa!" achirnya
Swat Moay berkata dengan menghela napas, pura2 ikut bersedih.
„Ah, tidak! Ketika aku datang suhu pernah mengatakan, bahwa sekalipun pemerintah
Beng mengadakan aksi perobahan haluan, kita tak boleh gugup dan cemas. Masakan
sebelum diadakan pemilihan untuk jabatan Toa-ah-ko (pemimpin pertama) dan ji-ah-ko
(pemimpin kedua), kita terus akan turun gunung begitu saja?" tanya Tio Jiang.
Kaget dan girang Swat Moay mendengarnya. Kaget, karena dalam 10 bulan saja, kawanan
orang gagah itu sudah berhasil membangun lagi organisasi Thian Te Hui. Dugaan ini
didasarkan atas ucapan Tio Jiang tentang pemilihan toa-ah-ko dan ji-ah-ko itu. Girang,
karena kebenaran sekali ia (Swat Moay) dapat mengetahui hal itu. Dengan begitu sebelum
organisasi itu berhasil dibentuk, dapatlah mereka berdua (Hwat Siau dan Swat Moay)
menyusup kedalam untuk memecah belah.
„Oh, begitu. Kami berdua sebenarnya siap hendak menuju ke Lo-hu-san. Ketika tiba
disini dan mendengar berita tentang pemerintah Beng menangkap 3 pemberontak, yang
kami duga salah seorang tentu -Tio-heng aendiri, maka kami ber-gegas2 datang kemari
untuk memberi pertolongan," buru2 Swat Moay menyahut dengan mengikuti perobahan
angin.
Sebagai seorang yang jujur, Tio Jiang tak menyangka sesuatu dalam ucapan Swat Moay
itu. Tidak demikian dengan Yan-chiu yang saking herannya terus hendak bertanya, tapi
selalu dicegah dengan isjarat mata oleh Swat Moay hingga terpaksa tak jadi. Biasanya
otak sinona itu cerdas, tapi pada saat itu ternyata belum dapat menginsjafi betapa
gawatnya urusan itu. Malah dia hanya buru2 menanyakan pada sukonya: „Suko turut
katamu itu suhu, Thaysan Sintho dan kawan2 semua tak ada yang binasa bukan ? Ai,
aku telah tersiksa pikiran karena mengira kamu sama binasa!"
„Kami semuapun mengira kalau kau yang sudah binasa!" jawab Tio Jiang. Dengan
ucapan itu, masing2 ternyata saling perhatikan nasibnya satu sama lain. Tio Jiang minta
Yan-chiu menuturkan pengalamannya ketika berada digereja Ang Hun Kiong itu. Tapi
sebaliknya sinona, meminta sukonya yang menceritakan pengalamannya lebih dahulu.
„Ajuh, kita teruskan perjalanan dulu!" sahut Tio Jiang, siapa lalu memanggil sebuah
perahu untuk menuju ke Kwichiu terus kembali ke Lo-hu-san. Hwat Siau dan Swat
Moaypun tanpa ragu2 lagi ikut naik kedalam perahu itu. Didalam perjalanan itu, barulah
Tio Jiang tuturkan apa yang telah dialaminya selama itu.
Kiranya dalam pertemuan dalam gereja Ang Hun Kioii pada 10 bulan yang lampau itu,
jalah pada saat Kui-ing-cu berobah menyadi gila dan sekalian orang gagah rombongan
Ceng Bo sama menyingkir, jarak waktunya hanya terpaut sedikit dengan ledakan dinamit
itu. Itu waktu karena tak tega melihat keadaan Kui-ing-cu, Tio Jiang segera menghampiri
dan hendak mengucap beberapa patah kata pada tokoh itu. Tapi karena sudah kalap dan
lupa se-gala2nya. Kui-ing-cu lalu mengejar anak muda itu, siapa karena ketakutannya
segera lari menuju keruangan samping. Kui-ing-cu tetap mengudaknya, hingga sekalian
orang gagah yang menguatirkan keselamatan Tio Jiang ikut memburu kesana. Dalam
sekejap saja, berpuluh-puluh orang gagah dalam rombongan Ceng Bo itu sama
meninggalkan ruangan pertempuran dan menuju kesamping. Kang Siang Yan dengan
memimpin Bek Lian pun ikut kesana. Tapi dalam pada itu, tak lepas2nya ia memandang
The Go dengan sorot mata beringas, hingga membuat nyali pemuda culas itu serasa copot
dan tak berani berpisah dengan Ang Hwat cinyin.
Juga Ang Hwat yang melihat Can Bik-san tak kunyung datang itu, merasa curiga dan
ikut tinggalkan ruangan itu. Tapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba2 terdengarlah
ledakan yang dahsjat dari arah belakangnya. Berbareng lengan itu, atap wuwungan
ruangan situ ambruk, lantainya muncrat. Ledakan itu sedahsjat gunung meletus.
Sjukurlah, mereka sudah terpisah jauh, jadi meskipun ketimpah pet:jahan atap dan
dinding, namun tak sampai membahajakan jiwanya.
Ang Hwat terbeliak kesima dan ter-longong2 sampai beberapa jenak. Tapi Thaysan sin-
tho Ih Liok sudah segera berseru keras: „Ang Hwat cinyin, kau telah ditipu oleh siasat
yang keji dari pemerintah Ceng!"
Ang Hwat seperti disadarkan. Sekilas merenung, segera dia menggerung keras. Dengan
memimpin tangan The Go, dia menobros keluar. Kang Siang Yan mengikutinya dari
belakang. Tapi oleh karena tak faham akan seluk beluk jalanan dalam gereja itu, maka
begitu tiba diluar, ia sudah tak menampak lagi bayangan Ang Hwat dan The Go.
Ternyata Ang Hwat lari kebawah gunung Ko-to-san. Disitu dia berjumpa dengan ke 18
jagoan yang tengah menunggu kabar dari Hwat Siau dan isterinya. Melihat mereka,
murka Ang Hwat tak dapat ditahan lagi. Sekali bergerak, dia lancarkan dua buah
serangan sekali gus dan hasilnya, seketika itu juga ada 4 orang jagoan lihay, telah
diterkamnya binasa. Rupanya kepala gereja Ang Hun Kiong itu telah umbar
kemarahannya benar?. Dalam beberapa kejab saja, dia sudah dapat melukai separoh
lebih dari ke 18 jagoan itu. Tujuh orang dari rombongan jagoan itu yang ilmu
kepandaiannya agak mendingan, walaupun dengan ter-birit2 tapi dapat juga lari
menyelamatkan jiwanya.
Habis mengamuk, Ang Hwat ter-mangu2 sampai beberapa lama. Kini dia merasa
rencananya itu, malah mencelakai dirinya, seperti apa yang pepatah katakan „barang
siapa menggali lubang, dia pasti akan terperosok sendiri". Bukan melainkan kehilangan
pamor nama, pun gereja yang berpuluh tahun dibangun itu, hanya dalam sehari saja
sudah rusak hancur. Kesedihan hatinya, sukar dilukiskan. Dengan menghela napas
dalam, dia ajak The Go tinggalkan tempat itu.
Tak antara berapa lama ketua gereja Ang Hun Kiong itu berlalu, dengan berserekat
beberapa kawan achirnya Ceng Bo berhasil dapat menguasai Kui-ing-cu, siapa setelah
dapat ditutuk jalan darahnya lalu digotong turun gunung. Untunglah karena tenaganya
sudah banyak berkurang, maka Kui-ing-cu tanpa banyak susah dapat ditundukkan.
Coba dia masih seperti dahulu, siapakah yang sanggup melajaninya? Tiba dikaki gunung,
dilihatnya disitu berserakan beberapa majat. Mereka mulai men-cari2, tapi Can Bik-san
tak dapat diketemukannya.
Rombongan orang gagah itu mulai gelisah. Ah, mengapa tak menyelidiki majat2 yang
bergelimpangan itu? Majat2 itu sama putus kaki tangannya dan hancur tulang
belulangnya. Terang mereka dibunuh oleh Ang Hwat cinyin. Begitulah rombongan orang
gagah itu mulai menyelidiki majat2 itu satu demi satu dan achirnya berhasillah mereka
mendapat majat Can Bik-san terserak dalam sebuah semak belukar. Dari kantong baju
orang she Can itu diketemukan sebuah bungkusan hong-sin-san (obat pemunah sakit
gila), lalu diminumkan kedalam( mulut Kui-ing-cu. Setelah minum obat itu, mata Kui-
ing-cu yang dulunya mendelik dapat merapat kembali dan tidur dengan pulasnya.
Sejak peristiwa digereja Ang Hun Kiong itu, para orang gagah sama menginsjafi
bagaimana ganasnya tindakan pemerintah Ceng itu untuk membasmi mereka. Achirnya
diputuskan untuk membangunkan lagi perkumpulan Thian Te Hui. Mereka berpencar
untuk menghubungi sekalian orang gagah dari pelbagai daerah dan menetapkan suatu
waktu pertemuan dipuncak Giok-li-nia gunung Lo-hu-san.
Sebelum Tio Jiang berangkat ke Siau Ging, digunung Lo-hu-san sudah berkumpul ribuan
orang gagah dari empat penyuru. Disamping itu sejumlah besar para petani dan rakjat
dari wilajah Hokkian, Kwiciu dan lain2 tempat. Mereka yang pernah mengalami siksaan
dari keganasan tentara Ceng, mereka yang lolos dari kepungan digunung Hoasan, sama
berdujun2 datang kegunung Lo-hu-san. Jumlahnya tak kurang dari 7 sampai 8 ribu
orang. Juga Ceng Bo siangjin mengirim orang untuk berhubungan dengan anak buah
Thio Hian serta anak buah Giam-ong. Dari koordinasi itu, dapatlah diterima lagi seribuan
orang lebih. Dengan mempunyai lasjkar rakjat dan petani itu, selain dapat menyaga
perbatasan sebelah timur dari propinsi Kwitang, dapat digunakan untuk pertahanan
didaerah Kangsay untuk bergabung dengan pasukan Li Seng Tong, pun dapat digunakan
untuk menghalau tentara Ceng yang menduduki Hokkian. Sungguh suatu angkatan
perang yang cukup mempunyai dajaguna, karena semangat bertempur mereka ber-
nyala2.
Tapi satu hal yang menyadi kesulitan besar, jakni soal ransum makanan bagi sekian
banyak orang. Ada beberapa saudara, misalnya Sin-eng Ko Thay dan beberapa orang
yang kaja, telah menyadi habis seluruh harta kekajaannya untuk beli kuda dan alat2
pelengkapan perang, jadi soal ransum itu tetap merupakan problim beban yang maha
berat. Oleh karena mereka hendak berjoang guna kepentingan rakjat, jadi tak maulah
mereka menyalankan cara yang lazim digunakan oleh kaum perampok dan begal
dikalangan lioklim (kaum begal). Soal sulit itu telah diperundingkan dan achirnya
diputuskan, mengirimkan seorang utusan untuk menghadap pada kaisar Ing Lek dikota
raja Siau Ging. Mohon supaja pemerentah Beng memberi bantuan ransum seperlunya,
dan menyerahkan tampuk pimpinan gerakan para patriot itu pada kerajaan Beng. Asal
dipergunakan untuk menghalau penyajah Ceng, relalah sudah setiap orang gagah itu
mengorbankan jiwa raganya.
Tio Jiang telah dipilih untuk melakukan tugas perutusan itu. Selama setengah tahun ini
bukan saja ilmu kepandaian anak muda itu bertambah maju dengan pesatnya, tapi
semua orang sama mengindahkan akan watak perangainya yang jujur luhur itu. Maka
pilihan untuk menyalankan tugas yang berat itu, jatuh kepadanya.
Namun mimpipun tidak, kalau pemerintah Beng telah mencap „pemberontak" pada
gerakan kaum patriot di Lo-husan itu. Jumlahnya hampir 10 ribu orang, ah......,
bukantah gerakan macam Thio Hian Tiong akan timbul lagi ini? Bukan ransum yang
diterima tapi sebaliknya Tio Jiang telah dijebluskan dalam penyara. Tio Jiang yang
keliwat jujur itu, pun tak mengerti apa sebabnya pemerintah Beng menangkapnya itu.
Coba tiada Yan-chiu yang menolonginya, dia pasti akan mati dengan penasaran!
Begitulah setelah habis mendengari kisah yang dibawakan Tio Jiang itu, Yan-chiu dan
kedua suami isteri itu mempunyai kesan lain. Yan-chiu tak puas2nya memandang gerak
gerik sukonya kala menceritakan kisahnya itu. Dahaga kerinduannya selama hampir
setahun itu, rasanya masih belum terlepas puas. Sehingga lupalah ia akan diri kedua
suami isteri itu. Bukantah mereka berdua itu merupakan benggolan kaki tangan
pemerintah Ceng? Urusan mendirikan lagi Thian Te Hui digunung Lo-hu-san itu,
seharusnya tak boleh dikatakan kepada orang lain lebih2 pada kaki tangan musuh. Itu
suatu rahasia besar yang pantang diketahui oleh sembarang orang.
Hwat Siau dan Swat Moay telah menetapkan suatu rencana untuk menghadapi kawanan
orang gagah di Lo-hu-san itu. Apabila hal itu berhasil, pahala besar terbayang dimatanya.
Tio Jiang tak mengetahui siapakah sebenarnya kedua suami isteri itu. Karena
melepaskan kangennya kepada Yan-chiu, tak putus2lah dia bercerita ini itu. Malam itu
Hwat Siau berunding dengan isterinya cara bagaimana mereka dapat menyusup kedalam
Lo-hu-san.
„Kecuali budak perempuan itu, lain orang tak kenal kita, jadi tak sukarlah rasanya untuk
menyusup kesana!" kata Swat Moay.
„Kalau begitu, lebih baik kita habisi jiwa budak itu saja."
„Lebih baik dua2nya sama sekali, karena kalau yang satu masih hidup, mungkin
membahajakan. Tapi yangan malam ini, nanti setelah melalui Kwiciu, kita turun tangan,
masa mereka dapat lari kemana," ujar Swat Moay. Hwat Siau menyetujui pikiran isterinya
itu.
Keesokan harinya, perahu tiba disekitar perairan Sam-cui. Tukang perahu berlabuh
untuk membeli ikan dan beras. Melihat keindahan alam diperairan situ, Tio Jiang dan
Yan-chiu kepingin ber-jalan2. Tio Jiang loncat kedaratan dan Yan-chiupun hendak
mengikutinya tapi Swat Moay segera berseru bengis: „Siao-ah-thau, yangan pergi ke-
mana2!"
Yan-chiu tertegun dan tak berani membangkang. la cukup menginsjafi, bahwa dengan
jalan darahnya chit-jit-hiat masih ditutuk, apabila ia sampai membangkang, pasti celaka
akibatnya. la hanya berdiri pada buritan perahu seraja memberi isjarat tangan supaja Tio
Jiang kembali.
„Siao Chiu, mengapa kau tak naik kedaratan melihat-lihat pemandangan sebentar?" seru
Tio Jiang dengan keheranan.
„Aku tak kepingin pesiar Suko, kaupun yangan pergi, temanilah aku disini saja!" sahut
Yan-chiu dengan hati yang getir.
Tio Jiang cukup kenal bahwa sumoaynya itu seorang nona yang dojan pesiar, tapi
mengapa harini ia tak mau naik kedaratan? Ah, yangan2 karena sudah makin dewasa,
kini perangainya agak berobah. Walaupun menaruh kecurigaan, tapi mau juga dia
kembali naik kedalam perahu dan duduk disamping Yan-chiu. Banyak nian isi kalbu
Yan-chiu yang hendak dicurahkan, tapi entah bagaimana, mulutnya serasa berat
mengatakannya. Tio Jiangpun tak dapat mencari bahan2 untuk pembicaraan, jadi
keduanya se-olah2 diam membisu saja.
Se-konyong2 terdengar ribut2 didaratan sana.
„Kau, kau mengapa begitu kurang ajar?" seru seorang tua dengan suara ter-bata2. Pada
lain saat, terdengar suara orang ketawa lepas dan nyaring.
„Apanya yang kurang ajar? Pak tua, yangan ribut2 ja?"
Menyusul dengan itu, terdengar suara tubuh jatuh ketanah. Rupanya itulah siorang tua
tadi. Sementara itu, dari semak pohon muncul keluar seorang pemuda sembari
tangannya menyinying dua ekor ikan yang masih hidup. Orang itu mengenakan pakaian
warna biru dan ikat kepala dari seorang mahasiswa. Melihat dia, hati Tio Jiang dan Yan-
chiu berdebur keras. Selama berjalan itu, orang muda tersebut tak henti2-nya berpaling
kebelakang. Benar juga, ada seorang tua ter-hujung2 lari mengejarnya.

GAMBAR 87
Selagi Yan-chiu dan Tiu Jiang duduk termenung diburitan perahu,
tiba2 dari balik pohon sana muncul satu pemuda sastrawan dengan menyinying
dua ekor ikan disebelah tangannya. Ternyata pemuda itu bukan lain adalah The Go.

„Apakah tiada undang2 lagi, maka siang hari bolong berani merampas milik orang?!"
teriak orang tua itu. Namun pemuda itu hanya ganda tertawa saja sembari angkat
sebelah kakinya siap untuk menendang pak tua itu. Pada saat itu Tio Jiang sudah tak
dapat mengendalikan dirinya lagi. „The Go, kau berbuat apa disitu?!" bentaknya dengan
lantang.
Saking kagetnya, dua ekor ikan yang dipegangi orang muda yang ternyata si The Go itu,
terlepas jatuh. la buru2 berpaling kebelakang dan dapatkan Tio Jiang beserta Yanchiu
tengah berdiri diburitan perahu seraja memandangnya dengan sorot mata yang gusar.
Celaka, satu saja dia tak sanggup menghadapi apalagi kini dua orang sekaligus hendak
melabraknya. Secepat kilat dia mendapat akal. Dirakupnya kedua ekor ikan tadi, lalu
ditimpukkan kearah Yan-chiu dan Tio Jiang, dan berbareng itu dia loncat kebelakang
hendak angkat kaki seribu.

(Bersambung Ke Bagian 47.2)


MENGUNDANG HARIMAU BUAS

BAGIAN 47.2

Sudah tentu kalini Tio Jiang tak mau melepaskan musuhnya itu. Setelah menangkis ikan
yang melayang kearahnya itu, dia segera enyot kakinya melayang kedaratan seraja
berseru: „Yangan lari!"
The Go berpaling kebelakang dan mengeluh. Mengapa gerakan anak muda musuhnya
(Tio Jiang) itu sedemikian pesatnya? Teranglah itulah gerakan ilmu mengentengi tubuh
„i-seng-hoan-wi" yang lihay. Mana dia dapat menandinginya? Hari itu sucounya (Ang
Hwat cinyin) pergi, mungkin dua tiga hari lagi baru kembali, jadi terang dia harus
menghadapi sendiri.
Kiranya sejak meninggalkan Ko-to-san, Ang Hwat menyembunyikan diri ditempat situ.
Benar ilmu kepandaian The Go juga makin bertambah maju, tapi biar bagaimana tetap
masih kalah dengan Tio Jiang yang giat belajar itu. Kemaren begitu Ang Hwat pergi,
penyakit The Go segera angot kembali, dia berkeliaran keluar dan terbitkan onar.
Celakanya, kali ini dia ketemu Tio Jiang, saingan lamanya.
Jalan satu2nya, jalah melarikan diri se-kuat2nya. Tapi ketika dia menoleh kebelakang
dan dapatkan Yan-chiu tak turut mengejar masih tetap berdiri diburitan perahu, dia
menyadi keheranan dan tertegun berhenti. Dalam pada itu, Tio Jiang sudah hampir
mendatangi. The Go gelagapan dan teruskan larinya lagi. Namun Tio Jiang ternyata jauh
lebih cepat dari dia, malah kini sudah ulurkan tangan untuk menerkam. Tanpa menoleh
lagi The Go kibaskan tangannya kebelakang. Dengan jurus pia-yu-tong-thian (masih ada
dunia lain), dia tutuk jalan darah lo-kiong-hiat ditelapak tangan Tio Jiang. Yang
digunakan untuk menutuk, jalah sebuah benda yang hitam warnanya.

GAMBAR 88
Ketika merasa Tio Jiang hendak mencengkeram dari belakang, tanpa
menoleh cepat The Go keluarkan rujung nya terus menyabet kebelakang.

Tio Jiang cepat mengenali benda hitam itu sebagai im-yang-pian (pian-im-yang)
kepunyaan Ang Hwat cinyin. Sewaktu digereja Ang Hun Kiong pernah Tio Jiang melihat
pian istimewa Itu dapat didulur-surutkan sekehendak sipemakai. Buru2 dia tarik pulang
cengkeramannya tadi. Benar juga, berbareng pada saat itu, plan itu se-konyong"
menyulur sampai setengah meter panjang keudara. Kalau saja Tio Jiang tadi tak keburu
menarik tangannya, betapapun lihaynya tetap dia pasti akan menderita kerugian.
The Go cukup jakin bahwa jurusnya pia-yu-tong-thian tadi, kaja dengan gerak
perobahan. Sekalipun tak dapat melukai Tio Jiang, tapi se-kurang2nya dapat juga untuk,
menghadang lawan. Dan setelah melancarkan serangan itu, The Go segera lanyutkan
berlari kemuka masuk kedalam sebuah hutan. Ketika Tio Jiang mengejar, disitu ternyata
terdapat beberapa petak rumah yang sekelilingnya dipagari dengan pohon bambu.
„Cian-bin Long-kun, main sembunyi macam tikus begitu, bukan laku seorang jantan!
Ajuh, keluar dan ikut aku ke Lo-hu-san. Seorang laki2, berani berbuat tentu berani
menanggung resikonya, mengapa bersembunyi'?"
Tapi terhadap seorang macam The Go, sia2 sajalah segala macam ucapan ksatrya yang
kosong itu. Tahu kalau Tio Jiang tentu mengejar, dia tak mau masuk kedalam rumah
sebaliknya lalu menyusup kesamping dan terus loncat bersembunyi diatas sebatang
pohon. Oleh karena mengira dia bersembunyi dalam rumah, Tio Jiang meneriakinya
sampai berulang kali, namun tetap tiada berjawab. Achirnya Tio Jiang bermaksud hendak
menobros masuk kedalam rumah itu. Tapi tiba2 dari arah belakang terdengar seseorang
berseru dengan nada dingin: „Tio-heng, perahu sudah akan berangkat, mengapa tak
lekas2 kembali?"
Tio Jiang terperanyat, Itulah suatu ilmu mengentengi tubuh yang sakti hingga sama
sekali dia tak mengetahui kalau orang, itu sudah berada dibelakangnya. Ketika berpaling
kebelakang, ternyata Hwat Siau sudah berada disitu.
„Harap tunggu dahulu setelah kutangkap orang itu, baru nanti naik keperahu!" kata Tio
Jiang. Tapi ternyata Hwat Siau bercuriga, yangan2 anak muda itu sudah mengetahui
rahasia mereka berdua, sehingga hendak meloloskan diri. Maka dia segera mencari ke-
mana'' dan achirnya sampai ditempat situ.
Diatas pohon, The Go dapat melihat jelas kedatangan Hwat Siau itu. Rasanya dia pernah
melihat tokoh itu bersama isterinya. Tapi waktu mendengar Hwat Siau memanggil „Tio-
heng" pada Tio Jiang, herannya tak habis2. Namun sebagai seorang durjana yang cerdas
otaknya, dalam waktu singkat saja dia dapat merabah persoalan itu.
„Tentu ada sebabnya, sampai tokoh pemerintah Ceng itu berbuat begitu. Kemungkinan
besar mereka telah dapat mengetahui dari mulut Tio Jiang dan Yan-chiu bahwa
rombongan orang gagah dibawah pimpinan Ceng Bo siangjin telah membentuk organisasi
besar di Lo-hu-san. Sucou (Ang Hwat) karena merasa dihianati itu, tak sudi lagi
berhubungan dengan pemerintah Ceng, tapi aku masih bebas! Kedua suami isteri itu
tentu memerlukan bantuan, kalau aku dapat mengulurkan tanganku ......" berpikir
sampai disini dia menyadi kegirangan.
Dua kali sudah The Go menghambakan tenaganya kepada pemerintah Ceng, tapi dua
kali itu pula dia gagal melaksanakan rencananya. Semestinya dia harus sudah insjaf.
Tapi sebaliknya begitu membaui jejak Hwat Siau dan Swat Moay untuk menggempur
rombongan orang gagah, kembali dia meluap lagi nafsunya. Dari sini dapat ditilik sampai
dimana martabat orang muda yang gila pangkat dan harta itu, hingga tak segan menyadi
penghianat, rela pula mengorbankan seorang isteri.
Setelah menetapkan rencananya, dia segera melorot turun seraja berseru: „Orang she Tio,
yangan bermulut besar! The toaya ada disini!"
Melihat The Go muncul, Tio Jiang menduga keras kalau pemuda saingannya itu
bermaksud hendak mengikutinya naik ke Lo-hu-san. Maka dengan gemas dia menyahut:
„Cianbin-long-kun, itu barulah laku seorang jantan!"
The Go memandangnya dengan menghina, kemudian memberi hormat kepada Hwat Siau,
ujarnya: „Cianpwe, sudah lama kita tak berjumpa!"
Melihat munculnya sianak muda itu secara mendadak, wajah Hwat Siau berobah
seketika. Tapi The Go yang licin segera dapat menebak pikiran orang, maka buru2 dia
berkata: „Sucouku sedang bepergian, disini hanya tinggal aku seorang diri!"
Ucapan itu dimaksudkan untuk menenangkan kegelisahan Hwat Siau yang merasa telah
kesalahan terhadap fihak Ang Hun Kiong. Tapi Hwat Siau belum dapat pulih
ketenangannya. Sjukurlah pada saat itu Swat Moay dengan memimpin Yan-chiu tampak
mendatangi. Wanita itupun terbeliak, namun setelah mendengar kata2 The Go tadi, ia
menyadi tenang kembali.
Baik Cian-bin Long-kun maupun kedua suami isteri Hwat Siau Swat Moay itu adalah
orang julik yang cerdas, jadi cukup dengan bertukar sepatah dua patah perkataan saja,
masing2 sudah dapat menyelami maksudnya. Swat Moay cukup mengetahui bahwa The
Go benci tujuh turunan pada rombongan Ceng Bo, maka kalau mereka (Hwat Siau dan
Swat Moay) bisa dapatkan bantuan dari pemuda itu pastilah akan besar faedahnya. Cepat
Swat Moay memberi isjarat mata pada The Go, kemudian mulutn ja pura2 mendamprat:
„Orang she The, kali ini kau takkan lolos. Ajuh, ikut pada kita tidak?!"
The Go mengerti apa yang disandiwarakan oleh Swat Moay, diapun tahu bahwa kedua
suami fateri itu adalah orang kepercajaan Sip-ceng-ong Tolkun yang memegang
kekuasaan besar dalam pemerintahan Ceng. Maka tanpa banyak pikir lagi, dia segera
tundukkan kepala pura2 menyesal dan patuh. Yan-chiu heran mengapa Swat Moay
membantu sukonya untuk menangkapkan The Go, namun kenyataan memang begitu.
Malah ketika sudah dibawa kedalam perahu, The Go segera ulurkan kedua tangannya,
bertanya: „Tio-heng, apakah tanganku ini tak diikat?"
„Kita sekalian adalah orang2 persilatan, jadi tak usahlah!" sahut Tio Jiang, pemuda yang
jujur itu.
Yan-chiu pernah mengalami pil pahit dari The Go, ja walaupun tak sebanyak dan sehebat
seperti Tio Jiang, namun ditinjau dari kelakuan anak muda itu (The Go) yang begitu
kejam membuang cinta kasih Bek Lian, ia percaja penyerahan dirinya kali ini tentu tak
sewajarnya. Disitu tentu terselip sesuatu, tapi apa dan bagaimana Yan-chiu belum dapat
menyingkap. Maka iapun tinggal diam saja dan hanya mengerahkan seluruh
perhatiannya pada perkembangan yang akan terjadi nanti.

(Bersambung Ke Bagian 48)


BAGIAN 48
PEMILIHAN UMUM

Mereka berlajar kearah barat dan menyelang tengah hari, tibalah di Kwiciu. Kala itu,
didalam kota Kwiciu sudah sangat ramainya. Kuatir terbitkan hal2 yang tak diinginkan,
Swat Moay usul supaja mengambil jalan mengitari saja dan tak usah masuk kota. Oleh
karena kepingin buru2 tiba di Lo-hu-san, Tio Jiangpun menyetujui. Begitu malamnya
setelah melintasi kota Keng-seng, mereka segera lanyutkan perjalanan ke Lo-hu-san.
Malam itu rembulan remang, hawanya dingin dan angin malam tak henti2nya mengantar
bunyi burung kukukbeluk. suatu suasana yang memberikan alamat kurang balk. Tio
Jiang dan Yan-chiu berjalan dimuka sedang kedua suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay
mengikutinya dari belakang. Diam2 Yan-chiu mencatat dalam hati bahwa The Go
sebenarnya mempunyai banyak sekali kesempatan untuk melarikan diri, tapi nyatanya
tidak mau, bahkan senantiasa berada dekat Hwat Siau dan Swat Moay kasak kusuk
entah apa yang dirundingkannya,
Kini Yan-chiu sudah memastikan bahwa kepergian ketiga orang ke Lo-hu-san itu, tentu
tak bermaksud baik. Tapi sayangnya, selama ini ia tak mempunyai kesempatan untuk
memberitahukan hal itu kepada sukonya. Dalam kesempatan yang sebaik seperti pada
saat Itu, ia harus bertindak. Namun ia agak meragu, mengingat Swat Moay tempo hari
telah menolong jiwanya dari kepungan tentara Lam Beng. Lama setelah merenung
achirnya ia ambil ketetapan untuk mengatakan juga.
„Suko, kalau misalnya kau hanya hidup untuk 3 hari saja, apa yang kau lakukan?"
tanyanya.
Tio Jiang menghela napas. Setelah beberapa saat berpikir, menyahutlah dia: „Apa yang
hendak dikerjakan itu, banyaklah kiranya! Ai......, Siao Chiu, perlu apa kau tanyakan hal
itu ? "
Kini giliran Yan-chiu yang menghela napas, lalu berkata: „Suko, andai kata ada seseorang
yang menolong jiwamu, bagaimana tindakanmu?"
„Tentu saja, kubalas budinya!"
„Tapi kalau penolongmu itu ternyata seorang jahat............ taruh kata saja semisal Cin-
bin Long-kun, lalu kau bagaimana ?"
„Kalau itu, lain haln ja. Sudah beberapa kali dia berhamba pada penyajah Ceng,
merugikan kepentingan rahajat. Soal budi perseorangan, itulah nomor dua. Jadi tak
dapat kita iepaskan orang Itu!"
Mendengar jawaban itu, Yan-t jhiu terperanyat. la mengagumi sukonya itu. Diam2 ia
membatin, yangan2 tindakannya terhadap kedua suami isteri selama ini, kurang benar.
Segera ia membuat suaranya serendah mungkin, membisikinya: „Suko, jadi kalau
menurut anggapanmu, Hwat Siau dan Swat Moay kedua orang itu, walaupun telah
menolong jiwa kita namun juga tak boleh dibantu?"
„Siao Chiu, kau bicara apa itu?" menegas Tio Jiang seraja tertawa karena rupanya dia
tak mendengar jelas, „lebih baik kita mati daripada mengatakan kalau kedua orang itu
menoiong kita!"
Yan-chiu dongakkan kepala memandang lekat2 kearah sukonya. Tio Jiang dapatkan
dalam sorot mata sumoaynya itu tiada lagi dari seorang anak perempuan kecil, tapi
pandangan mata seorang gadis dewasa. Tio Jlang ke-malu2an dibuatnya.
„Suko, kau ini bagaimana? Kalau tempo terkepung tentara. Beng di Siau Ging, kita tak
dapat lolos, apa kau lebih suka binasa daripada suruh kedua suami isteri itu
menolongmu?" tanya Yan-chiu pula.
„Binasa ditangan bangsa sendiri adalah jauh lebih utama dari pada ditolongi oleh kaki
tangan pemerintah Ceng!" sahut Tio Jiang dengan tegas ringkas.
Tubuh Yan-chiu menggigil bergemetaran.
„Suko, ah, repotlah ini! Yang menolongi kita, memang Hwat Siau dan Swat Moay!"
Hampir Tio Jiang tak mempercajai pendengarannya. Serentak dia berdiri bertanya keras:
„Siao Chiu, apa katamu tadi ?"
„Benar, yang menolongmu itu adalah Hwat Siau dan Swat Moay!" tiba2 Hwat Siau
mendahului menyahut. Dan berbareng pada saat itu, Tio Jiang rasakan ada angin panas
menyambar disisinya dan tahu2 orang lelaki kurus yang bermula dikiranya seorang
cianpwe itu, kini sudah menghadang disebelah muka. Dengan bercekak pinggang,
sikurus Itu menatap mereka (Tio Jlang dan Yan-chiu) dengan tajam sekali.
Dalam gugupnya Tio Jiang berpaling kebelakang dan disana siwanita kuruspun
menyeringai iblis memandangnya. Jadi kini Tio Jiang dipegat dari muka belakang oleh
kedua suami isteri itu. Ah, jadi mereka itulah Hwat Siau dan Swat Moay, itu sepasang
suami isteri yang menyadi orang kepercajaan pemerintah Ceng! Celaka, tadi dia telah
memberitahukan semua apa yang terjadi di Lo-hu-san. Keringat dingin membasahi tubuh
Tio Jiang. Sedang pada saat itu, terdengar The Go tertawa panjang. Darah Tio Jiang
serasa mendidih.
„Siao Chiu, tak nyana kau kau juga ikut pada mereka!" dia damprat sang sumoay.
Yan-chiu tak dapat menyatakan kesukaran yang dideritanya, maka dengan ter-isak2 ia
menyahut: „Suko, aku hanya belum mengatakan saja........... mereka melarang aku
berkata apa2. Setelah berjumpa denganmu, kegirangan telah membuat aku lupa segala
apa. Suko, dalam pandanganmu hanya terdapat Lian suci seorang. Kau tak memikirkan
bagaimana aku......... memikirkan dirimu. Ah........, toh aku hanya mempunyai waktu 3
hari untuk hidup.
Mati ber-sama2 kau, adalah suatu kebahagian!"
Walaupun tak mengerti persoalannya, namun kini barulah Tio Jiang terbuka hatinya
bahwa sumoaynya itu telah menaruh hati padanya. Bukan sehari dua, melainkan sudah
lama sekali. Tapi oleh karena keadaan pada saat itu sangat genting, burul dia berkata:
„Siao Chiu, yang kita hadapi ini bukan terbatas persoalan kita berdua. Kalau ketiga orang
Itu sampai ikut naik ke Giok-li-nia, entah akan mendatangkan bahaja apa saja. Jerih
susah setengah tahun, tak boleh rusak dalam sehari saja. Ajuh, lekas kita berjalan!"
Dengan menarik lengan Yan-chiu, dia menobros kesebelah kiri. Tapi disitu Hwat Siau
sudah menghadang. Tio Jiang sudah menduga akan hal itu, maka dia surutkan tubuhnya
mendongak, lalu melayang datar keluar. Gerak itu mengunyukkan suatu penguasaan
ilmu lwekang yang sempurna. Tapi Hwat Siau dan Swat Moay menyerang berbareng. Swat
Moay sudah siang2 menunggu dibelakang, belum kaki Tio Jiang menginyak tanah, wanita
jahat itu sudah lepaskan hantaman.
Tio Jiang rasakan punggungnya terasa dingin, sebenarnya dapat dia menghindar
kesamping, tapi sesaat terkilas pada pikirannya untuk lolos dua orang terang tak
mungkin, maka lebih baik dia bertahan sendiri, tapi dapat lemparkan sumoaynya keluar.
Menilik kepandalan mengentengi tubuh dari sumoay itu, tentu akan dapat melompat lima
enam tombak jauhnya dan bisa melarikan diri.
Begitu mengambil keputusan, begitu dia hanya miringkan tubuhnya sedikit untuk
menyambut serangan Swat Moay. Dan berbareng pada saat itu, dengan tangan kanan dia
samber tubuh Yan-chiu terus dilemparkan keatas sampai setombak tingginya. Dan untuk
menghadang kemungkinan Swat Moay mengejar sang sumoay, dia segera gunakan jurus
tong-cu-pay-hud (anak memuja Buddha), menghantam kedada siwanita seraja berseru
nyaring: „Siao Chiu, lekas naik keatas gunung memberitahukan suhu, yangan bikin
kapiran urusan besar!"
Sewaktu melayang diatas, Yan-chiu masih belum mengerti maksud sukonya. Tapi serta
Tio Jiang meneriakinya begitu, baru jelaslah ia. Tapi bagaimana ia tega biarkan sukonya
bertempur seorang diri melawan Hwat Siau dan Swat Moay ? Bukankah itu berarti
membiarkan dia mati? Dalam detik2 yang genting, pilihannya jatuh pada diri Tio Jiang
daripada rombongan orang gagah yang berada di Lo-hu-san itu. Ah, memang begitulah
kalau hati sedang dicengkeram asmara. Ia melirik kebawah dan dapatkan sukonya
sedang menyerang Swat Moay.
„Tidak, kalau binasa biarlah ber-sama!" serunya.
Mulut mengucap, tubuh sudah berjumpalitan diudara. Dengan gerak gan-lok-ping-sat
(burung meliwis mendatar turun dipasir, ia meluncur ketanah terus lancarkan
permainan ugo-hok-kun (ilmu silat 5 kelelawar). Dua buah jurus yang istimewa dart
permainan ilmu silat itu, jani jurus song-hok-seng-hang (sepasang kelelawar berbaris
sejajar) dan ngo-hok-lim-bun (5 kelelawar tiba dipintu), ia serangkan sekali gus.
Ngo-hok kun itu, kecuali harus disertai ilmu lwekang pun yang penting harus dimainkan
dengan ilmu kepandaian mengentengi tubuh yang tinggi. Sedari makan mustika batu,
tubuh Yan-chiu selincah burung walet, jadi serangannya tadipun laksana angin
pesatnya.
Merasa hantaman Tio Jiang itu cukup kuat untuk menghancurkan batu, Swat Moay
menyurut kebelakang, tapi tak disangkanya sama sekali kalau Yan-chiu meluncur balik
dan melancarkan dua buah serangan. Serangan pertama song-hok-seng-hang dapat
dihindari, tapi untuk serangan yang kedua jani ngo-hok-lin-bun, tak dapat wanita itu
menyingkir lagi. Blak...., blak...., blak...., blak...., blak...., 5 buah hantaman tepat jatuh
diperut Swat Moay.
Benar lwekang Yan-chiu tak sehebat Swat Moay, namun karena nona itu kalap hendak
mengadu jiwa, jadi pukulannya tadipun keras juga hingga membuat Swat Moay meringis.
Namun ia tak dapat memutar diri karena tengah tumpahkan perhatiannya kepada Tio
Jiang. Kini ia rangkapkan sepasang tangan lalu mendorong kemuka sianak muda. Jurus
ini disebut thian-it-seng-cui (Alam pertama kali mengadakan air), salah sebuah jurus
yang paling lihay dari ilmu im-cui-kang.
Mengetahui sumoaynya tak mau mendengarkan perintahnya dan berkeras untuk ber-
sama2 mengadu jiwa, bukannya terima kasih tapi sebaliknya Tio Jiang marah sekali.
„Siao Chiu, kalau kau tak lekas pergi, aku tak mau mengaku sumoay lagi padamu!"
Tapi baru saja dia berteriak begitu, serangan thian-it-seng-cui sudah tiba. Karena tak
tahu akan kelihayan serangan itu, dia buru2 surutkan kembali tangannya untuk dibuat
menangkis. Tapi begitu berbentur, segera tubuhnya merasa kedinginan, celaka.......
demikian dia mengeluh terus dengan ter-sipu2 miringkan tubuhnya untuk gunakan
jurus hong-cu-may-ciu meloloskan diri. Tapi secepat kilat Swat Moay susuli lagi dengan
sebuah dorongan, hingga Tio Jiang yang belum sempat menginyak bumi itu, merasti
punggungnya sangat dingin sekali. Masih dia berusaha untuk menghujung kemuka, tapi
kepalanya serasa pening mata ber-kunang2.
„Tio-heng, berdirilah yang jejak!" seru Hwat Siau sembari tertawa keras.
Masih telinga Tio Jiang mendengar seruan itu, tapi tubuh2nya ter-putar2 dan matanya
berpudaran dan bluk........ jatuhlah dia tak kabarkan diri lagi.
Yan-chiu terperanyat melihat sukonya dirubuhkan oleh kedua suami isteri itu.
„Siao-ah-thau, berdamping dengan kekasih, kau puas tidak?" Swat Moay tertawa
menyeringai. Tapi Yan-chiu tak menghiraukan hanya terus menubruk tubuh sukonya. la
menangis keras, tapi air matanya tak keluar, karena sudah habis.
Hwat Siau tak mau buang banyak waktu. Begitu tangan diangkat, segera dia hendak
menghantam kepala sinona. Tapi tiba2 dia tersentak kaget, karena mendengar suara
tangisan baji. Dan pada lain saat terdengar seorang wanita membujuknya: „Yangan
menangis, bujung! Biar nenek mencarinya siapa yang mengganggu tidurmu ini, nanti
nenek usir mereka, sudah yangan menangis!"
Bujuk rajuan itu bernada kesayangan seorang nenek terhadap cucu yang dikasihinya.
Tapi Hwat Siau dan Swat Moay sudah ketakutan setengah mati, „Ajuh, lekas pergi!" Swat
Moay bisiki suaminya. Sekali gerak, Hwat Siau sudah meluncur setombak jauhnya. Tapi
disitu ia berhenti sejenak untuk kibaskan tangannya kearah Yan-chiu. Yan-chiu tak
bersiaga sama sekali, sesaat dia merasa seperti disamber hawa panas hingga seketika ia
tak dapat bernapas!
Swat Moay, Hwat Siau dan The Go bertiga secepat kilat sudah lari menuju sebuah jalanan
kecil. Dengan kepandaian mengentengi tubuh yang sempurna, menyelang terang tanah,
mereka sudah masuk ke Lo-hu-san. Oleh karena pernah mengunyungi Giok-li-nia, jadi
The Go faham akan jalanan disitu. Dia terkenang akan kunyungannya pertama digunung
situ bersama 4 orang kawannya serta pertemuannya yang pertama kali dengan Bek Lian.
Ketika matahari menyulang diufuk timur, mereka sudah tak seberapa jalih dari Giok-li-
nia. Dari kejauhan tampak dipuncak itu terdapat barisan kemah ber-jajar2, dan hixuk
pikuk suara orang. The Go berhenti, katanya: „Kita haruas bekerja menurut rencana kita
itu"
„Cian-bin Long-kun, kalau kali ini berhasil, nanti dihadapan Sip-ceng-ong kami berdua
tentu akan mengusulkan dirimu!" kata Swat Moay.
The Go pura2 merendah. Makin mendekati ketempat itu, tampak the-Go makin beraksi
seperti orang yang bersedih, hingga membuat Hwat Siau geli.
„Niocu, kalau ada salah seorang dari mereka yang mengenali kita, bukankah urusan akan
menyadi runiam ?" tanya Hwat Siau pada sang isteri.
„Hem, hal itu siang2 sudah kupikirkan," ujar Swat Moay sembari mengeluarkan dua stel
pakaian dari buntelannya. ternyata pakaian itu pakaian biasa (orang preman). „Sejak kita
datang keselatan sini, belum pernah menampakkan muka. Dengan berganti pakaian tak
nanti ada orang yang mengenali kita lagi!"
Benar juga setelah bersalin pakaian, keduanya menyadi orang baru. Sekalipun orang
yang pernah berjumpa, namun dalam sesingkat waktu, sukarlah untuk mengenalinya.
Apalagi selama itu mereka telah bekerja dengan cermat sekali. Ketika digereja Ang Hun
Kiong, selain Ang Hwat cinyin, keempat muridnya dan The Go serta Kang Siang Yan dan
Bek Lian, tiada seorang lain lagi yang pernah melihatnya. Orang hanya mendengar
namanya tapi belum pernah melihat wajahnya.
Mereka segera membawa The Go lanyutkan perjalanan. Terdengar suara petasan
dipasang dengan gempar, pertanda bahwa hari itu Thian Te Hui akan mengadakan
pemilihan pemimpin. Memang sebagian besar dari orang2 itu berasal dari daerah Kwiciu.
Turut naluri kebiasaan rakjat daerah itu, setiap ada peristiwa besar, tentu membakar
mercon untuk meramaikan. Begitu tiba, dilihatnya banyak sekali jumlahnya orang2 yang
berkumpul disitu. Barisan kemah walaupun kasar pembuatannya, namun ber-jajar2
secara teratur sekali.
Sepasang suami isteri itu sudah menyelajahi kedua propinsi Kwitang dan Kwisay. Tak
sedikit jumlahnya kemah tentara Beng yang dilihatnya. Kecuali orang sebawahan Li Seng
Tong yang agak lumajan, lain2nya itu tak ubahnya seperti macam sarang burung saja.
Tapi apa yang dilihatnya dipuncak Giok-li-nia situ, sungguh membuatnya kagum. Kalau
mereka dibiarkan saja, kelak pasti akan menyadi suatu bahaja besar bagi kedudukan
pemerintah Ceng. Sembari berjalan mereka bertiga tak henti2nya memeriksa keadaan
disekelilingnya. Tiba dikaki gunung, segera mereka dihadang oleh para penyaga yang
menanyai maksud kedatangannya.
„Harap saudara melapor ke Giok-li-nia sana bahwa persaudaraan Song dari Liau-tang,
Song Hou dan Song Pa datang mengunyuk hormat kemari beserta orang tawanan Cian-
bin Long-kun The Go!" seru Swat Moay dengan sengaja membesarkan nada suaranya.
Nama Song Hou dan Song Pa, cukup termasjhur. Walaupun mereka tinggal didaerah
Liau-tang, namun setiap kaum persilatan kenal akan namanya. Penyaga itu juga bukan
sembarang orang persilatan, jadi merekapun menyadi girang atas kedatangan kedua
tokoh lihay itu. Buru2 disuruh seorang bawahannya untuk melapor keatas gunung.
Kala itu para tokoh2 terkemuka sedang bermusjawarah. Antaranya terdapat Ceng Bo
siangjin, Ki Ce-tiong, Kiau To, Kui-ing-cu, Thaysan sin-tho Ih Liok, Sin-eng Ko Thay dan
lain2nya. Mendengar laporan tentang kedatangan kedua saudara she Song itu, mereka
sama bergirang. Kegirangan mereka makin besar demi mendapat laporan bahwa Cian-
bin Long-kun The Go telah ditangkap oleh kedua saudara Song Itu serta dibawanya kesitu
juga.
Hanya sibongkok Ih Liok yang berpendapat lain, katanya : „Kedua saudara Song itu
tinggal diwilajah Liau-tang yang jauh sekali. Daerah itu masih merupakan kantong kaki
tangan pemerintah Ceng. Untuk apa mereka datang kemari?"
„Mungkin karena mendengar induk gerakan kami ini makin besar, mereka datang untuk
membantu. Biar bagaimana karena toh mereka jauh2 sudah perlukan datang,
sungkanlah kita untuk menolaknya!" kata Ceng Bo siangjin.
Dipikir sanggahan siangjin itu beralasan, Ih Liokpun ikut turun gunung menyambutnya.
Apa yang mereka jumpai adalah dua orang lelaki kurus (Swat Moay juga menyamar jadi
orang lelaki), semangatnya ber-api2, pelipisnya agak menonyol, pertanda lwekangnya
mendalam. Dengan mereka ikut seorang pemuda yang lemah berantai tak bersemangat,
bukan lain jalah Cian-bin Long-kun The Go !
Maju menghampiri kemuka, Ceng Bo ulurkan tangan menyabat seraja memberi salam:
„Cayhe adalah Ceng Bo, apakah tuan2 berdua ini persaudaraan Song? Ah, sudah lama
cayhe sangat mengagumi nama jiwi!"
Hwat Siau menyabat tangan Ceng Bo dengan hangat mesra, sahutnya: „Cayhe adalah
Song Hou dan ini adikku Song Pah. Mendengar siangjin dan lain2 saudara
membangunkan organisasi melawan Ceng membantu Beng, kamti berdua sengaja jauh2
dari Liau-tang datang kemari untuk menggabungkan diri. Disamping itu kami hendak
menyampaikan berita duka pada, siangjin serta menyerahkan orang ini untuk sesaji
upacara penaikan bendera!"
Lebih dahulu Ceng Bo perkenalkan kedua saudara Song itu kepada saudara2 lainnya.
Tiba giliran Kui-ing-cu, sejak tenaganya sudah pulih kembali dia pun kumat lagi
penyakitnya suka ugal2an, dia segera mengetahui bahwa lwekang dari kedua
persaudaraan Song itu luar biasa coraknya serta teramat sempurnanya. Mungkin tidak
dibawah Ih Liok, Ko Thay dan Ceng Bo siangjin. Menilik dalam pembicaraan kedua
saudara Song itu selalu membawa diri merendah, Kui-ing-cu tak menyangka jelek.
Namun sekalipun begitu, tetap ia ingin mencoba sampai dimana tinggi rendahnya
lwekang mereka itu.
Begitu berjabat tangan, dia segera meng-guncang2kannya sampai 3 kali. Dalam
pengguncangannya itu diam2 dia salurkan lwekang, apabila lwekang lawan kurang
dalam, pasti akan tak tahan. Menyaga agar sang tetamu yangan sampai mendapat malu,
Kui-ing-cu hanya gunakan 3 bagian dari tenaganya..
Hwat Siau bukan anak kemaren sore. Tahu sudah dia akan maksud orang hendak
mengujinya itu. Diam2 diapun kerahkan lwekang, dengan tertawa tawar dia halau
lwekang Kui-ing-cu via guncangan tangan tadi. Kemudian seolah2 tak terjadi suatu apa,
berkatalah dia dengan tertawa: „Heng-tay (saudara) terlalu sungkan sekalilah!"
Sekalian orangpun tahu kalau Kui-ing-cu tengah menguji kepandaian orang, maka
mereka buru2 alihkan pembicaraan untuk melerainya. Perangai Hwat Siau bengis, tapi
dalam menghadapi urusan sepenting itu, dia terpaksa mengendalikan diri. Ah, memang
urusan didunia ini seringkali terjadi karena kebetulan saja. Coba tadi Kui-ing-cu
salurkan lwekang ketelapak tangan untuk memijat, sudah tentu Hwat Siau akan
salurkan lwekang untuk melawannya juga, dan ilmunya yang-hwat (api positip) tentu
akan ketahuan. Telapak tangannya pasti akan berobah merah membara, dan walaupun
Kui-ing-cu tak dapat „menelanyangi" penyaruannya dengan seketika, namun se-
kurang2nya dapatlah dia menaruh curiga.
Kini bukan saja Kui-ing-cu tak dapat mengetahui peribadi aseli dari Hwat Siau, pun
sebaliknya dia malah merasa dirinya agak „keterlaluan" memperlakukan tetamu. Diam2
dia menyesal dan terkikislah kecurigaannya. Bagi kaum persilatan, tidaklah banyak
berlaku sungkan. Hanya dengan beberapa patah kata perkenalan, mereka sudah seperti
sahabat lama. Ceng Bopun segera menanyakan berita yang hepdak dibawakan Hwat Siau
tadi. Kedua suami isteri itu main aksi, katanya: „Urusan ini sungguh lain dari yang lain,
setelah bertemu dengan para thaubak (kepala regu anak buah), baru dapat kami
haturkan."
Ceng Bo tak mau mendesak, lalu ajak mereka berdua. naik gunung. Tak antara berapa
lama, kembali ada 3 atau 4 puluh orang be-ramai2 datang kegunung situ. Mereka ter-
diri dari para orang gagah yang baik nama maupun kepandaiannya sudah terkenal
didunia persilatan. Mereka datang kesitu untuk menggabungkan diri. Diantara sekian
banyak orang baru, ada dua orang yang membuat Hwat Siau dan Swat Moay terbeliak
kaget. Juga kedua oorang itupun tak. kurang kejutnya. Namun dalam beberapa detik
saja, mereka segera dapat menguasai diri dan berlaku se-olah2 tidak terjadi suatu apa.
Ceng Bo perkenalkan mereka sama lain. Kiranya salah satu dari kedua orang tadi yang
bertubuh kate bernama Ciu Sim-ih, bergelar sam-chun-ting (si Paku 3 dim). Sedang yang
satunya, pada mukanya terdapat sebuah tanda hitam (tembong), bernama Hek-bin-sin
Ho Gak atau si Malaekat berwajah hitam. Hwat Siau dan Swat Moay tahu jelas bahwa
kedua orang itu adalah benggolan dinas rahasia dari pemerintah Ceng. Mungkin karena
mereka (Hwat Siau dan Swat Moay) lama belum berhasil, maka Tolkun telah mengirim
kedua jagoan itu, dan dengan licinnya mereka dapat menyelundup masuk ke Giok-li-nia.
Dihadapan sekian banyak orang, Hwat Siau dan isterinya hanya mengucapkan tegur
salam seperlunya saja.
Memang dalam phase pembentukan sebuah organisasi yang beranggautakan sekian
banyak orang itu, sukarlah untuk menyaga kemungkinan perembesan pijat2 dalam
selimut (musuh dalam selimut). Maka yang perlu diselesaikan lebih dahulu, ialah
mengangkat seorang pemimpin. Pada pemimpin itulah ditaruh seluruh kekuasaan untuk
memegang tampuk pimpinan, demi kelancaran gerakan besar itu.
Pada lain saat, barulah Hwat Siau menyelaskan apa berita yang dibawanya itu: „Ada
seorang saudara, bernama Tio Jiang, adakah dia itu anggauta perserekatan kita ini?"
„Itulah muridku. Bagaimana dia?" buru2 Ceng Bo menyahut.
„Ai, sayang, sayang!" seru Hwat Siau sembari geleng2 kepala.
„Dia menuju ke Siau Ging, apakah ditengah jalan mendapat bahaja?" tanya sibongkok Ih
Liok. Lagi2 Hwat Siau menggeleng kepala sebelum mend jawab.
„Dia tak mendapat bahaja suatu apa ditengah jalan. Hanya setibanya dikota Siau Ging,
terus ditangkap oleh kaisar Ing Lek sebagai pemberontak, kemudian dihukum penggal
kepala! !
„Adakah hal itu benar?!" seru Ceng Bo dengan terbeliak.
„Mengapa kami berdua saudara harus berbohong :" Kaisar Ing Lek menuduh kita ini tak
ubahnya seperti macam Thio Hian Tiong dan Li Seng Tong. Mengumpulkan anak buah
dan kuda karena hendak memberontak. Inilah 'keistimewaan' dari pemerintahan Siau
Ging, semua orang sudah maklum, jadi tak perlu disangsikan lagi!"
Ucapan Hwat Siau itu termakan betul2 dalam hati sekalian orang gagah. Memang dengan
mengutus Tio Jiang menghadap kaisar Ing Lek, mereka sudah menduga belum tentu
pemerintah Siau Ging menyetujuinya. Namun tidak menduga, kalau sedemikian hebat
kesudahannya. Suasana menyadi panas dengan luapan kemarahan.
„Jahanam, ajuh kita serbu Siau Ging dan usir kaisar gila itu. Apa sih kaisar itu, toa-ah-
ko dari Thian Te Hui, itulah yang pantas menyadi kaisar!" seru salah seorang.
„Keparat, kita ini dianggap sebagai Thio Hian Tiong? Basmi saja raja begitu!" seru lagi
yang lain. Juga Hekbin-sin Ho Gak turut memaki dengan suara lantang: „Setan lanat,
apakah dunia ini sudah tiada ada kebenaran lagi?!"
Hati Ceng Bopun dirangsang kemurkaan hebat. Namun dia cukup sadar, bahwa kalau
dia umbar kemarahan menurut kemauan mereka, paling banyak hanya dapat
memuaskan hati orang2 itu sad ja. Diantara sekian ban jak orang, hanya Kui-ing-cu-lah
yang dianggapnya paling lihay sendiri kepandaiannya. Maka buru2 dia melirik kearah
tokoh itu, siapa ternyata tahu juga akan maksud imam gagah itu. Segera tokoh yang aneh
itu bersuit keras bagaikan ringkikan naga. Seketika itu siraplah hiruk pikuk suara dalam
ruangan situ. Kini semua mata ditujukan kearah Ceng Bo siangjin untuk menantikan
apa yang hendak diutarakannya itu.
Wajah Ceng Bo menampilkan kedudukan dan kemarahan, jadi untuk beberapa saat tak
dapat dia mengucap apa2. Tak tahu dia bagaimana hendak memulaikan kata2-nya. Dia
seorang yang berperibadi lurus perwira. Tio Jiang adalah muridnya yang paling dikasihi.
Hubungan antara guru dan murid itu bagaikan ajah dengan puteranya. Dibawah
asuhannya. Tio Jiang telah menyadi seorang patriot yang menyerahkan segenap jiwa
raganya untuk kepentingan negara dan rakjat bangsanya. Jadi dalam perjoangan, boleh
dianggap Tio Jiang itu sebagai seorang kawan seperjoangan yang setia.
Berita kematian dari murid kesayangannya itu, telah membuat hati Ceng Bo seperti
disajat sembilu pedihnya. Kalau menuruti kemauan sekalian kawan itu untuk menyerbu
Siau Ging, tentulah kaisar Ing Lek akan memanggil Li Seng Tong untuk menghadapinya.
Dengan begitu, perbatasan daerah akan menyadi kosong. ini berarti mengundang
penyajah Ceng untuk menyerbunya. Setelah merenung beberapa jurus, achirnya imam
itu berpendapat bahwa sakit hati adalah urusan kecil, yang utama penting adalah urusan
negara.
„Harap saudara2 sekalian tenang. Dengan tindakan itu terhadap kita, paling2 fihak
kerajaan hanya bersalah karena kurang bijaksana. Tapi demi untuk kepentingan negara,
se-kali2 tak boleh kita tinggalkan gi (kebenaran), Kesampingkan saja soal itu dan yangan
diungkat lagi!" kata Ceng Bo dengan tegas, walaupun hatinya hancur mengenang nasib
muridnya.
Pernyataan perwira itu mendapat sambutan baik dari Thaysan sin-tho Ih Liok, Sin-eng
Ko Thay dan lain" orang gagah yang menyunyung keluhuran semangat cinta negeri. Tapi
reaksi lain timbul dari kawanan pijat's dalam selimut itu jakni Hek-bin-sin Ho Gak dan
Sam-chun-ting Ciu Sim-i. Mereka salah terka siapakah Ceng Bo siangjin, imam perwira
yang berbudi luhur itu, yang mendahulukan kepentingan nekara dari kepentingan
peribadi. Menyelami bahwa ada sementara orang gagah lainnya yang dapat di-ombang-
ambingkan pendiriannya, majulah Hok Gok kemuka dengan berseru keras: „Keliru! Kita
kaum gagah persilatan, selamanya tak mau mandah diperbuat se-wenang2 oleh fihak
pemerintah. Seorang pemuda ksatrya macam saudara Tio Jiang itu telah dibinasakan
secara penasaran sekali oleh fihak kerajaan. Kalau suhu dari saudara Tio Jiang itu tak
mau membalaskan sakit hatinya, kita kaum persilatan yang menyunyung semangat
setiakawan, tak mau berpeluk tangan mengawasi saja!"

GAMBAR 89
Dengan licin Hek-bin-tui Ho Gak terus berseru
menghasut: „Tidak, kita sebagai orang persilatan tidak bisa
antapkan seorang pemuda perwira seperti saudara Tio Jiang dibinasakan
begitu saja oleh raja yang tak kenal gelagat itu, kita segera harus bertindak !"

Siapakah tokoh Hek-bin-sin Ho Gak dan Sam-chun-ting Ciu Sam-i itu, sebenarnya
sekalian orang2 gagah itu tak mengetahui jelas. Tapi seruannya tadi, telah membangkit
rasa symphati dari sementara orang. Sikate Ciu sim-i ternyata seorang yang lincah sekali.
Diantara sekian ribu orang, dia menyusup kesana sini untuk melakukan provokasi.
Suasana kembali menyadi gaduh. Berulang kali Ceng Bo berseru menenangkan, tapi tak
dapat menguasai suasana riuh itu.
Memang perwatakan dari para orang gagah yang hampir semuanya terdiri dari kaum
persilatan itu. paling menguta:nakan budi dan dendam. Setiap budi tentu dibalas,
dendam harus dihimpas. Segala apa didasarkan atas suara hati, tak mau berfikir panjang
tentang akibat dikemudian harinya. Pemuda Tio Jiang memiliki kepandaian tinggi, tapi
rendah hati jadi dapat menawan simphati orang. Berita kematiannya, telah
membangkitkan kemarahan umum dan ketekadan untuk menuntutkan balas.
Pernyataan Ceng Bo tadi terlalu kabur pada anggapan mereka. Ditambah minyak oleh Ho
Gak dan Ciu Sim-i, maka menyalalah semangat dendam mereka.
Untuk mengatasi keadaan, terpaksa Ceng Bo siangjin bersuit keras. Tapi belum lagi dia
sempat membuka suara, Hwat Siau telah mendahului berseru nyaring: „Sukakah
sekalian saudara mendengar sedikit omonganku?"
Lwekang Hwat Siu sangat tinggi, jadi seruannya tadi menggema laksana guntur. Dengan
suitan Kui-ing-cu tadi, walaupun berbeda nadanya, tapi setingkat hebatnya. Tapi kalau
dibanding dengan suitan Ceng Bo, terang lebih tinggi. Sekalian orang sama terkesiap.
„Cayhe berdua saudara baru saja datang, seharusnya tak boleh banyak bicara. Tapi
mengingat ujar2 orang kuno 'kalau dua hati bersatu, emaspun dapat dibelah', kupikir
kedatangan kita semua kemari ini jalah untuk satu tujuan. Tak boleh membawa mau
sendiri. Kudengar hari ini perserekatan kita Thian Te Hui hendak memilih pimpinan.
Turut pendapatku yang cupat, biarlah kita yangan bertengkar dulu. Setelah terpilih
ketua, segala sesuatu harus menurut perintah pimpinan. Barang siapa yang
membangkang, akan berlaku undang2 militer. Kalau kita belum2 sudah berselisih
pendapat, itu berarti mem-buang2 waktu saja. Nah, bagaimana pendapat saudara2
aekalian?"
Lihatlah betapa lihaynya Hwat Siau. Tak kecewalah dia itu menyadi orang pilihan
pemerintah Ceng, karena dia itu memang seorang bun-bu-song-jwan (achli silat dan
sastera). Ucapannya itu kena benar, tiada seorangpun yang membantah. Malah Kui-ing-
cu dan Thaysan sin-tho Ih Liok serempak berseru: „Benar, tepat sekali! Apabila Thian Te
Hui yang beranggauta puluhan ribu itu tiada pimpinan yang tegas, bukankah akan
menyadi semacam sarang tawon saja? Oleh karena baru, orang gagah dari empat penyuru
sudah berkumpul semua digunung ini, sebaiknya Ki-heng dan Kiau-heng lekas
memulaikan upacara untuk memilih ketua!"
Dari tengah2 orang banyak, tampillah Ki Ce-tiong dan Kiau To, itu toa-ah-ko dan ji-ah-
ko dari Thian Te Hui dahulu. Kepergian Kiau To dari gereja Ang Hun Kiong untuk mencari
suhunya (Tay Siang Siansu) ternyata tak berhasil. Ketika mendengar kabar gereja itu
dimusnakan dinamit, dia ber-gegas2 menuju kesana. Tapi ditengah jalan telah
berpapasan dengan Ko Thay yang memberitahukan tentang persiapan yang diadakan
digunung Lo-hu-san. Dia segera mengikut Ko Thay pergi kegunung tersebut.
Ki Ce-tiong dan Kiau To adalah pimpinan lama dari Thian Te Hui, maka Kui-ing-t ju
menereaki mereka supa ja keluar. Dan ini tidak mendapat tentangan dari orang banyak.
Keduanya sama berbaju hitam, bercelana putih, mengenakan ikat kepala sebagai seorang
militer. Juga sepatu mereka separoh hitam separoh putih. Itulah pakaian seragam
(uniform) dari Thian Te Hui.
Dari saku bajunya Ki Ce-tiong mengeluarkan 4 buah thong-pay (piagam atau plaket dari
tembaga) panjang 1 dim, lebar 2 dim. Tangan kanan kiri masing2 memegang 2 thong-
pay, dan orangnya tegak berdiri dengan chidmat. Kiau To menghamperi kearah seonggok
tumpukan kaju bakar yang sudah disiapkan disitu lebih dahulu. Setelah nyalakan api,
terus dilempar ketengah onggok kaju itu. Terkena tiupan angin, kaju bakar itu segera
berkobar. Habis membakar, Kiau To lalu mundur kebelakang berdiri disamping Ki Ce-
tiong.
Suasana pada saat itu tampak chidmat sekali. Semua orang sama menahan napas, tiada
yang bicara sendiri.
(Bersambung Ke Bagian 49)
LELATU YANG BERBAHAYA
BAGIAN 49.1

Setengah jam kemudian api yang marong itu, menyadi reda, dan kini tinggal setumpuk
lelatu setinggi satu meter, tapi masih mengeluarkan bunyi letikan. KI Ce-tiong maju
selangkah, berseru lantang: „Dengan gagalnya Thian Te Hui yang lama, tampuk pimpinan
ketua yang dijabat olehku, orang she Ki ini, turut berachir. Bahwasanya kini atas
dukungan para enghiong hohan dari seluruh penyuru Thian Te Hui akan dibangun lagi,
aku aiorang she Ki tak mau terus mengangkangi kurai ketua Itu. Ho-pay (tanda
kekuasaan) dari keempat tampuk pimpinan pada saat ini berada disini. Enghiong siapa
sajapun yang nanti dipilih menyadi ketua, silahkan mengambil ho-pay ini dari unggun
lelatu. Sejak itu, saudara2 anggauta Thian Te Hui, harus taat dan tunduk pada perintah
pimpinan, seperti kebaktian seorang putera terhadap orang tuanya!"
Habis berkata itu, keempat thong-pay tadi terus dilemparkan kedalam unggun lelatu.
Walaupun api unggun sudah reda, namun cukup panas untuk membakar thong-pay
tersebut. Ini bukan dimaksud untuk menyukarkan ketua baru nanti, tapi sekedar
upacara simbolis yang berfatwa (bermakna): hendaknya tampuk pimpinan yangan jeri
menghadapi kesukaran. Tradisi lni dimulaikan sejak pendirian Thian Te Hui pada masa
kerajaan Beng sebelum hijrah keselatan.
Dan menurut tradisi itu pula, begitu thong-pay dilempar kedalam unggun lelatu,
pemilihan ketua akan dapat berjalan dengan cepat dan lancar. Oleh karena sebelumnya,
orang sudah mempunyai calon yang pantas diangkat. Tapi dengan menyelundupnya
Hwat Siau Swat Moay kedua kepala jagoan pemerintah Ceng disitu, pemilihan berjalan
dengan seret kalau tak mau dikatakan agak kacau.
„Hay-te-kau Bek Ing seorang tokoh yang berkepandaian tinggi dan berbudi luhur,
selajaknya dia diangkat menyadi toa-ah-ko Thian Te Hui!" tiba2 kedengaran Kisu To
berseru nyaring.
Gemuruh riuh orang menyambut usul itu dengan gembira. Melihat gelagat jelek, Swat
Moay segera memberi isjarat mata kepada Hek-bin-sin Ho Gak, siapa rupanya mengerti.
Tampil kemuka, Ho Gak segera berseru dengan nyaring juga: „Rasanya ucapan Kiau-heng
itu kurang tepat! Bangunnya Thian Te Hui lagi kali ini, menghadapi tugas yang maha
berat. Sekalipun Ceng Bo siangjin namanya cukup termasjhur dan budinya sangat luhur,
tapi ada beberapa hal yang masih kurang. Pertama, kepandaiannya silat tidak cukup
untuk menundukkan orang banyak. Kedua, tidak berhasrat menuntut balas atas
kematian sdr. Tio Jiang. Adalah kita semua yang menganggap diri sebagai orang gagah
persilatan ini rela diperbuat se-mau2nya oleh fihak pemerintah ? Ketiga, dia masih
termasuk seorang pertapaan yang menurut keagamaan. Dengan dia menyadi ketua,
bukan kita sekalian ini akan menyadi imam nantinya? Kukatakan, hal ini tidak tepat!"
Merah padam muka Kiau To karena gusarnya ada orang menentang usulnya.
„Turut katamu, siapakah yang pantas menyadi toa-ahko?" tanyanya dengan marah.
Menuding kearah Hwat Siau, Ho Gak serentak berseru: „Kedua persaudaraan Song,
namanya menggetarkan daerah selatan sampai utara. Ilmunya silat menyagoi seluruh
gelanggang. Meskipun aku belum kenal, tapi telah lama kudengar Song lotoa (Song Hou)
itu seorang bun-bu-songcwan. Orang tawanan yang dibawanya itu. Cian-bin Longkun
The Go sibebodoran dunia persilatan, kalau dibuat sesaji bendera, tentu akan lebih
membangkitkan semangat para saudara sekalian. Terhadap orang itu, Ceng Bo siangjin
sudah lama memaukannya, tapi sampai sekian waktu masih belum dapat membekuknya.
Pertanda bahwa kepandaian kedua saudara Song itu jauh melebihi dari dia. Jabatan toa-
ah-ko, sudah pada tempatnya kalau diserahkan pada Song lotoa!"
Diam2 Hwat Siau bergirang didalam hati, namun terpaksa dia harus menyalakan
kesungkanannya. „Cayhe orang baru, mana boleh merebut kedudukan setinggi itu?
Kuharap sahabat itu suka menimbang lagi yang lebih panjang!"
Bluk......., serentak bangunlah Sam-chun-ting Ciu Sim-i, terus berseru keras2: „Demi
kepentingan negara dan rahajat, mengapa main merendah diri? Dengan Song lotoa
menyadi toa-ah-ko, pasti akan memimpin kita sekalian untuk menuntut balas pada raja
Lam Beng, kemudian melawan tentara Ceng, melaksanakan tugas bersama yang mulia
ini!"
Seketika itu, tidak sedikit jumlahnya orang yang memberi persetujuan. Fihak Ko Thay,
Ih Liok, Kui-ing-cu dan kawan2 sedikitpun tak menyangka kalau bakal menghadapi
kejadian seperti hal itu. Untuk lain2 jabatan, aih..... tak mengapa. Tapi kedudukan toa-
ah-ko itu, merupakan motor yang utama dan teramat gawat penting. Karena ketika
dipertengahan pemerintahan kaisar Ceng Tik dari ahala Tay Beng, Thian Te Hui pernah
mengalami penghlanatan dari dalam. Sjukurlah waktu itu sam-ah-ko dapat bertindak
dengan tegas, membunuh biangkeladi penghianatan itu serta menghukum berat
gerombolannya. Kedudukan toa-ah-ko, mempunyai kekuasaan yang mutlak. Jadi apabila
sampai jatuh ketangan orang yang-tak bertanggung jawab, tentu akan rusak binasa
akibatnya.
Sampaipun seorang tokoh macam Kui-ing-cu yang tinggi ilmu kepandaiannya, tak berani
memegang jabatan itu. Hanya seorang tokoh macam Ceng Bo siangjin yang mempunyai
peribadi kuat. Dengan dia sebagai toa-ah-ko, barulah Thian Te Hui mempunyai dajaguna
(potensi) untuk melawan penyajah Ceng. Penentangan dari fihak Ho Gak dan Ciu Sim-i
itu, harus ditindas.
Maka melantanglah suara sibongkok Ih Liok di-tengah2 permusjawaratan: „Berbicara
tentang kepandaian silat, sekalipun saudara Bek Ing tak sangat melebihi orang, tapi
kebesaran nama Hay-te-kau, cukup mengesankan. Tentang dirinya itu seorang imam,
apanya yang perlu dikuatirkan. Andaikata yang jadi toa-ah-ko itu seorang piau-thau
(kepala perusahaan mengantar barang), adakah kita semua ini lantas menyadi pegawai
kantor piauhang? Pencalonan Hayte-kau sebagai toa-ah-ko, rasanya tak perlu
diperdebatkan lagi!"
„Dan barang siapa yang menentang, silahkan berhadapan dengan aku orang she Kiau
ini!" Kiau To turut menambahkan.
„Hm, permainan anak2!" Hek-bin-sin Ho Gak menyahut dengan sinis, „kalau toh tak
boleh lain orang lagi selain Hay-te-kau, perlu apa diadakan pemilihan? Kalau siang2 tahu
begini, apa gunanya kita ribut2 naik kemari. Ajuh, kita sama bubaran sendiri untuk
ngeluruk ke Siau Ging memoereskan raja buta itu!"
Sesaat itu tidak sedikit jumlahnya orang yang serentak mengiakan.
Ceng Bo merasa tak enak, karena tersebab dirinya lalu timbul pertengkaran. Memang
sama sekali dia tak mengetahui kalau Thian Te Hui sudah kemasukan pijat2 dalam
selimut. Dia hanya mengira, kejadian itu timbul karena perselisihan pendapat mengenai
tokoh yang dicalonkan. Memang kejadian itu sering terdapat dikalangan persilatan.
Baginya yang penting adalah usaha melawan penyajah Ceng. Soal dirinya duduk atau
tidak menyadi pemimpin, itu tak dipusingkan. Ini memang tegas menyadi pendiriannya.
„Harap saudara2 yangan pergi dahulu! Nah, siapa lagi yang hendak mengemukakan
calonnya?" katanya dengan ter-sipu2.
Seketika itu juga lantas terdengar ada orang berseru: „Kui-ing-cu! Kui-ingcu!"
Ceng Bo ulangi penawarannya kepada orang banyak kalau masih ada lain calon lagi. Tapi
setelah sampai dua kali, tiada orang menyahut, barulah dia berkata: „Persoalan ini
mudah diputuskan. Baik diadakan pertandingan silat untuk menentukannya, jadi perlu
apa mesti ramai2?"
Kejut Kui-ing-cu bukan terhingga mendengar pernyataan Ceng Bo itu.
„Bek-heng, kau..........."
„Ing-cu-heng, kita harus bertindak menurut jalan yang benar, atau kedudukan tanpa
kewibawaan diindahkan orang, apa gunanya!" tukas Ceng Bo akan pernyataan heran Kui-
ing-cu itu.
Kui-ing-cu terdiam diri. Pikirnya, kalau persoalan itu terjadi antara dia dengan siangjin
itu, ah mudahlah. Asal dia pura2 mengalah sedikit, tentu beres. Tapi kini soalnya
menyadi gawat dengan munculnya „Song lotoa" itu. Dilihat naga2nya, orang itu
mempunyai lwekang yang lebih tinggi dari Ceng Bo. Kalau benar Ceng Bo tak dapat
menandinginya, urusan pasti akan ber-larut2. Taruh kata dia keluarkan seluruh
kepandaiannya untuk memenangkan kedua orang itu (Ceng Bo dan Hwat Siau,
bagaimana kalau dia nanti dipilih menyadi toa-ah-ko? Pertama, dia tak inginkan jabatan
itu dan kedua kali karena memang dia merasa kurang cakap untuk kedudukan itu.
Sebaliknya dilain fihak, Hwat Siau menyambut dengan girang atas usul Ceng Bo itu.
Diam2 dia telah siapkan rencana. Se-kurang2nya, dalam pertandingan itu Ceng Bo pasti
takkan keluar sebagai pemenang. Tapi biar bagaimana, diam2 dia taruh perindahan atas
kejujuran imam itu. „Cayhe tiada mempunyai pendapat apa2, tersilah kepada saudara2
sekalian!" buru2 dia berkata.
Pikir punya pikir, orang2 itu tiada mendapat jalan lain kecuali menyetujui usul Ceng Bo
tadi. Mereka menyatakan persetujuannya. Dalam pada itu, setelah memeras otak, Kui-
ing-cupun telah dapatkan suatu siasat. Ja, hanya dengan begitulah nantinya Ceng Bo
akan dapat diangkat menyadi toa-ah-ko. Sekalipun rencana itu mengandung resiko, tapi
apa boleh buat. Rencananya itu adalah begin! lebih dahulu dialah yang akan bertanding
melawan Song lotoa. Dia nanti pura2 kalah, tapi dalam pada itu hendak dia „peras"
tenaga orang she Song itu sampai habis, agar apabila berhadapan dengan Ceng Bo,
mudahlah imam itu mengatasinya.
Rencana itu memang cukup baik, tapi dia tak memperhitungkan akan „pion kecil" yang
dimainkan oleh fihak lawan. Dan justeru pion atau hal kecil yang tak berart: itulah yang
akan merusakkan rencananya tadi. Memang segala apa itu sering2 mengalami kegagalan
dikarenakan satu dua faktor kecil yang tak berarti. Dan kesalahan Kui-ing-cupun terletak
pada hal itu.
Setelah tetap dengan rencananya, berserulah Kui-ing-cu: „Sahabat Song, ajuh kita main2
dulu barang beberapa jurus, bertanding secara bun atau secara bu!"
Pertandingan „bun" jakni masing2 mengunyuk demonstrasi kepandaian sendiri, mana,
yang lebih hebat, dialah yang menang. Sementara secara „bu" jalah secara bertempur
satu sama lain. Thaysan sin-tho Ih Liok bermula heran mengapa Kui-ing-cu hendak
turun kegelanggang dahulu, tapi setelah direnungkan sejenak, tahulah dia apa maksud
tujuan tokoh itu. Juga dia anggap siasat Kui-ing-cu itu cukup sempurna."
„Kita kan orang sendiri. Pertandingan bu, tentu merenggangkan persahabatan jadi lebih
baik secara bun saja!" Ih Liok buru2 menyusuli.
Diam2 Kui-ing-cu girang mendengar usul Ih Liok itu. Karena dalam pertandingan adu
lwekang secara bun, paling menghabiskan tenaga lwekang. Dan ini akan memberi
kesempatan baik untuk Ceng Bo mengambil kemenangan nanti. Maka buru2 dia
mengiakan.
Hwat Siau tak tahu kemana arah tujuan usul itu, tapi isterinya yang ternyata lebih cerdik
segera dapat mencium bau. Buru2 ia berkata, kepada sang suami: „Koanyin, Kuiing-cu
itu tentu akan mengalah terhadapmu. Pertandingan bu itu lazimnya terdiri dari 3 babak:
ilmu mengentengi tubuh, ilmu main senyata dan ilmu lwekang. Yang dua dimuka dia
tentu mengalah, tapi untuk yang penghabisan jalah mengadu lwekang, dia tentu akan
berjoang mati2an untuk mengalahkan kau. Sebaiknya dalam bagian itu, kau mengalah
saja. Dua kali menang, sekali kalah, masih menang artinya. Kepandaian dari Ceng Bo
siangjin itu hanya biasa saja, jadi yangan sampai dia mendapat kemenangan secara
begitu murahnya!"
Kini baru terbukalah mata, Hwat Siau. Maju kemuka dia memberi hormat kepada Kui-
ing-cu, serunya: „Lama sudah kudengar kebesaran nama cunke sebagai pendekar
terkemuka dari kedua propinsi Kwi. Sebenarnya aku tak berani lancang mengunyukkan
permainan jelek, tapi karena sekalian saudara menghendakinya, apa boleh buat terpaksa
aku memberanikan diri. Dalam hal ini harap cunke suka memberi pengunyukan!"
Begitu merendah ucapan itu dirangkai Hwat Siau, namun Kui-ing-cu telah mengambil
putusan untuk memenangkan babak pertama Itu.
„Bagaimana kalau kita adu kepandaian mengentengi tubuh dahulu?" tanyanya. Hwat
Siau setuju.
Ditepi tanah datar Giok-li-nia situ terdapat sebuah bukit setinggi 5 tombak. Bentuknya
mirip dengan bung (bibit bambu), dari bawah sampai atas merupakan karang yang hanya
ditumbuhi rotan, jadi tiada dapat dipijak kaki.
„Kita berlomba naik keatas puncak sana, coba saja siapa yang akan mencapainya lebih
dahulu!" kata Kui-ingcu.
Hwat Siau melirik keatas puncak dan mengiakan. Diapun hendak memenangkan
pertandingan babak pertama itu.
Mereka berdua sama mundur dan sekalian orang banyakpun menyingkir kesamping.
Sedang Kiau To segera melolos jwan-pian, katanya: „Apabila kukebutkan jwan-pian ini,
jiwi boleh segera mulai!"
Setelah masing2 siap, Kiau To segera kebutkan jwanpian, dan meluncurlah dua sosok
tubuh keatas. Kui-ing-cu jejakkan kaki dan tubuhnya lurus melambung keatas. Pada
lain saat dia julurkan tangan untuk menekan karang dan dengan meminyam tenaga
tekanan itu, lagi2 dia melayang setombak tingginya.
GAMBAR 90
Sekali Kiau To memberi tanda maka meloncatlah Kui-ing-cu
melambung tinggi keatas. Hwat Siau pun tidak mau ketinggalan,
cepat iapun merajapi bukit karang itu dengan ilmu „bik-hou-yu-jiang"
atau cecak merajap dinding, segera ia menyusul lawannya dalam perlombaan itu.

Sebaliknya Hwat Siau menggunakan cara lain. Menghamperi karang, dia gunakan kaki
dan tangan untuk merajap, dengan jurus bik-hou-yu-jiang (cicak merajap dinding).
Namun yangan dikira merajap asal merajap, karena rajapan itu menggunakan ilmu yang
sakti, hingga dapatlah dia menyamai loncatan Kui-ing-cu tadi. Keduanya berada setinggi
dua tombak, dan nyata2 mereka sama lihaynya.
Kui-ing-cu empos semangat, kedua tangannya ditebaskan kekarang, hingga
menimbulkan tenaga-balik yang kuat. Dibarengi dengan gerak peh-ho-jong-thian (burung
ho menobros langit), dia melayang lagi sampai hampir dua tombak. Dengan menancap
gas itu, dapatlah dia melampaui lawan sampai setengah meter jauhnya. Dan gemuruh
riuhlah sorak sorai orang2 yang menontonnya.
Tapi Hwat Siau tak mau kehilangan muka. Selagi Kuiing-cu menebaskan tangan tadi, dia
sudah merajap dengan pesatnya, hingga hampir menyamai lawan. Puncak sudah tinggal
berapa meter saja. Dan Kui-ing-cupun segera melakukan „pukulan" yang penghabisan.
Dengan gerak yancu-bwan-sim (burung waled membalik diri), dia menyejakkan kaki dan
tubuhnya seperti rocket meluncur keatas.
Ketika kakinya menginyak puncak yang runcing itu, Hwat Siaupun sudah tengel2 naik,
tapi sudah tak dapat menempatkan lagi kakinya karena sudah diduduki oleh lawan. Kui-
ing-cu gerakkan kakinya untuk meluncur kebawah, sembari tertawa: „Maaf"
Hwat Siau meringis tak dapat berbuat apa2 kecuali pura2 berlaku ksatrya, sahutnya:
„Ah, ilmu mengentengi tubuh cunke, benar2 sakti. Kalau terus melambung, tentu akan
mencapai angkasa. Aku merasa tunduk!"
Dalam pada mengucap kata2 itu, mata Hwat Siau melirik kearali isterinya, seraja
menggerutu dalam hati: „Ah; niocu, niocu, kau suka memintari. hingga salah menaksir
orang!"
Babak pertama telah memberi kesudahan yang menguntungkan pada Kui-ing-cu. Ber-
gegas2 si Bongkok menyambut kedatangan Kui-ing-cu, seraja ber-bisik2: „Ing-heng, ilmu
kepandaian orang itu aneh benar, dikuatirkan Bek-heng sukar untuk memenangkannya.
Apakah tidak lebih baik kau menangkan saja pertandingan ini, kemudian nanti kau
mengalah pada Bek-heng?"
„Akupun berpendapat begitu, „Kui-ing-cu menghela napas," tapi peribadi Bek-heng
rasanya kau sudah cukup mengenal. Sekali dia sudah mengatakan mengadakan pilihan
dengan bertanding, tak nanti dia mau menerima maksud orang untuk mengalah! Dan
lagi orang2pun tentu mengetahui, nantinya tetap mereka tak mau tunduk pada Bek-
heng. Ketaatan inilah yang justeru dibutuhkan untuk mengendalikan sebuah
perserekatan besar macam Thian Te Hui lni!"
Ih Liok dapat memahami. Babak kedua, jalah adu kelihayan memainkan senyata. Setelah
berunding dengan isterinya, Hwat Siau dianyurkan harus memenangkannya. Oleh
karena kalau sampai kalah, Ceng Bo sianyin pasti terpilih menyadi toa-ah-ko.
(Bersambung Ke Bagian 49.2)
LELATU YANG BERBAHAYA

BAGIAN 49.2

Hwat Siau segera pasang kuda2. Tangannya kiri sedikit diangkat keatas. Sekalian
mengira, orang itu tentu hendak memainkan ilmu silat tangan kosong. Tapi diluar
dugaan, setelah beberapi kali membolak-balikkan tangan, tahu2 tangannya sudah
mencekal sebuah gulungan benda merah. Dan sekali lengannya digoyangkan, gulungan
merah itu segera bertebar menyadi selembar angkin (selendang) panjang, lebarnya antara
setengah dim.
Bermula orang2 sama mengira, angkin sutera merah itu tentulah senyata istimewa dari
tokoh itu. Tapi setelah diawasinya dengan perdata, ternyata salah. Angkin itu adalah
angkin biasa yang mudah didapat dipasar atau toko. Panjangnya ada 4 tombak. Tertiup
angin, angkin itupun berkibaran. Melihat keheranan orang, berkatalah Hwat Siau:
„Benda biasa, kepandaian biasa. Angkin ini tiada sesuatu yang luar biasa, tapi biarlah
kumainkan untuk penambah kegembiraan saudara2 sekalian!"
Habis mengucap, lengannya bergoyang. Setelah bergoyang gantai laksana ombak
mendampar, angkin itu lalu lurus terkulai ketanah. Kemudian sekali berputar tubuh,
angkin itu menebar keatas dengan mengeluarkan auara men-deru2. Itulah gerak ilmu
pedang dan semua orangpun sudah sama mengetahuinya. Tapi yang membuat orang
sama terperanyat, jalah dengan benda yang lemas sepanjang 4 tombak itu, dapatlah Hwat
Siau menggunakannya menyadi semacam senyata yang keras. Riuh rendah orang2
bertampik sorak.
Masih Hwat Siau hendak unyuk demonstrasi yang mengherankan. Dia putar angin itu
seru sekali hingga merupakan sebuah lingkaran api, kemudian membungkus dirinya
didalam lingkaran itu. Saking serunya, tubuhnya se-akan2 lenyap dibungkus lingkaran
merah. Setelah beberapa kali orang gempar memuji, barulah dia bersuit pelahan dan
tiba2 hilanglah lingkaran itu, sebagai gantinya tampak dia berdiri tegak ditempat.
Lingkaran angkin merah itu telah ditarik dan disimpannya lagi dengan cepat sekali.
Sampaipun dalam mata seorang tokoh macam Kui-ingcu, tetap tak dapat membayangkan
cara bagaimana tadi orang itu menyimpan angkinnya. Kini giliran Kui-ing-cu. Dia
mempertunyukkan ilmu pedang. Walaupun cukup mempesonakan, namun tak sehebat
dan seluar biasa permainan Hwat Siau tadi. Secara sportif, dia mengaku kalah. Menang
satu, kalah satu, jadi serie. Babak ketiga atau yang penghabisan jalah adu lwekang.
Teringat akan pasan sibongkok Ih Liok tadi, Kui-ing-cu agak meragu. Kalau dia harus
memenangkan, terang dia bakal menyadi toa-ah-ko, suatu kedudukan yang tak diingini
apalagi memang tak cakap untuk menyabatnya. Namun kalau mengalah, yangan2 lawan
mengetahui dan tak mau keluarkan tenaganya sungguhan. Ah....., baik dia gunakan
taktik begini, pada permulaan dia akan mengunyuk kepandaian betul2 hingga lawan
terpancing mengeluarkan seluruh kebisaannya. Setelah itu pada detik2 terachir, barulah
dia nanti mengalah.
Siasat ini lebih sempurna dan lebih maju dari rencananya semula tadi. Tapi biar
bagaimana, tetap dia tak mengira kalau nanti masih terdapat kekurangan yang mutlak.
Dia usulkan suatu cara dan Hwat Siaupun menyetujui. Segera dia suruh orang untuk
menebang sebatang puhun setinggi dua orang dan besarnya sepemeluk lengan orang.
Cara bertanding, setiap orang harus memelintir batang puhun itu sampai patah. Barang
siapa yang lebih dulu dapat 'memelintir sampai patah, dialah yang menang.
Ternyata puhun yang disiapkan itu lebih dari sepeluk orang besarnya. Sekalipun
digergaji, juga makan waktu yang lama. Tadi belasan orang dengan gunakan kapak dan
beliung menabas puhun itu, namun tetap menggunakan waktu lebih sejam lamanya baru
dapat memenggalnya putus. Sekalipun kedua tokoh itu nanti dapat memelintir putus,
namun tenaga lwekang mereka pasti habis dibuatnya. Dan ini memang yang dikehendaki
Kui-ing-cu untuk memeras tenaga lawan.
Begitulah keduanya segera mulai bertanding. Yang satu memelintir ujung sini, yang lain
mengerjakan ujung sana.
Dalam pelintiran pertama, Kui-ing-cu telah dapat merontokkan kulitnya. Dalam tiga kali
memelintir, batang puhun sudah memperlihatkan bekas telapak tangannya, kira2
setengah dim dalamnya.
Sebaliknya Hwat Siau yang percaja akan omongan isterinya bahwa lawan tentu
mengalah, tetap enak2an saja merabah2 batang itu. Tapi ketika melihat Kui-ing-cu sudah
sedemikian cepatnya, dia segera deliki mata kearah sang isteri. Pesan isterinya dibuang
dan dikerahkannya tenaga yang-hwat-kang. Sepasang tangannya me-melintir2 dengan
cepatnya hingga dalam waktu singkat kemudian, barulah dia dapat menyamai lawan.
Tampak gerakan lawan itu, Kui-ing-cu teramat girangnya. Kini sengaja dia perlambat
pelintirannya, sekalipun begitu bubuk kaju atau rontokan kepingan kecil2 (tatal) tak
hentitnya berguguran ketanah. Hwat Siau sebaliknya ngotot benar. Sampaipun tubuhnya
ikut berputar-putar mengelilingi batang kaju itu.

GAMBAR 91
Dengan lwekang yang sama-sama hebatnya, Kui-ing-cu berusaha
menghabiskan tenaga Hwat Siau dalam perlombaan memelintir batang
pohon, sebelum cecunguk itu bertanding melawan Ceng Bo Siangjin

Demikian kedua saingan itu, masing2 unyukkan kepandaiannya yang mengagumkan.


Tahu2 dua jam telah berlalu. Karena keliwat gunakan tenaga, Hwat Siau sudah keletihan.
Gerakannya kinipun makin lambat, dahinya ber-ketes2 mengucurkan peluh. Kui-ing-cu
dapat mengetahui hal itu. Tapi gerakannya malah lebih cepat. Jadi gambaran itu telah
mengunyuk tegas, bahwa lwekang Kui-ing-cu lebih unggul.
Memang Hwat Siau mempunyai kesulitan sendiri. Dia tak berani keluarkan ilmunya
lwekang yang terlihay jakni sam-cay-liat-hwat-ciang. Dengan ilmu lwekang sakti itu,
begitu tangan bersentuhan dengan batang kaju, kaju itu pasti akan terbakar menyadi
arang, jadi mudah untuk dipatahkan. Tapi kalau dia sampai mengeluarkan ilmu itu,
terang peribadinya akan diketahui lawan. Jadi hatinya mulai resah. Demi tampak Kui-
ing-cu makin cepat, dia segera empos seluruh semangat, lalu mati2an mengitari batang
kaju itu seraja kerjakan tangannya dengan kuat2. Lewat beberapa jurus kemudian
terdengarlah suara „bluk", putuslah ujung dari batang puhun itu. Sampai disini barulah
Hwat Siau berhenti untuk melihati lawannya. Kiranya lewat beberapa detik kemudian
barulah Kui-ing-cu dapat mematahkan ujung yang satunya.
Hwat Siau seperti mendapat lotre girangnya. Tapi mendadak tubuhnya serasa kosong
lunglai, matania berkunang kabur. Buru2 dia salurkan semangatnya untuk
menenangkan diri. Betul perasaannya agak nyaman, tapi kaki tangannya serasa lemah
lunglai tak bertenaga. Keadaan itu tak luput dari pandangan mata Kui-ing-cu yang tajam.
„Sahabat Song sungguh memiliki lwekang yang luar biasa. Silahkan kini bertanding
dengan Bek-heng untuk memperebutkan kedudukan toa-ah-ko!" serunya dengan
gembira.
Kini semua orang alihkan perhatiannya untuk menyaksikan pertandingan Ceng Bo
siangjin lawan Hwat Siau. Bahkan Ceng Bo sudah tampil kemuka seraja menawarkan
bertanding secara bun atau bu. Tapi secepat kilat, Swat Moay segera menyela ditengah
seraja berseru: „Tahan dulu!"
„Mengapa?" tanya Ceng Bo.
„Kita harus berpegang pada keadilan bukan ? Toa-ah-ko atau siao-ah-ko itu bukan
mutlak. Tapi kalau kalah bertanding, nama persaudaraan Song pasti akan tercemar. Tadi
kakakku habis bertanding dengan Kui-ing-cu dalam suatu cara, yang menghabiskan
tenaga. Siapapun tentu mengetahui akan hal itu. Kalau Ceng Bo Siangjin hendak
bertanding dengan orang yang sudah lelah, adakah itu pantas? Kuusulkan supaja
pertandingan ini dipertangguhkan sampai besok pagi saja!"
Mendengar itu Kui-ing-cu dan Ih Liok mengeluh dalam hati „percuma, percuma". Mereka
mulai menginsjafi faktor kekurangan-sempurna rencana mereka. Kalau orang lain tentu
menolaknya, tapi tokoh macam Ceng Bo tentu lain halnya. Dan dugaan kedua orang itu
memang beralasan.
„Ucapan Song-heng itu memang beralasan. Tadi aku agak chilaf, harap dimaafkan!" sahut
Ceng Bo dengan serentak. Dia terus mundur dari gelanggang dan minta agar Kiau To
simpan lagi thong-pay kekuasaan dari Thian Te Hui itu.

(Bersambung Ke Bagian 49.3)


LELATU YANG BERBAHAYA

BAGIAN 49.3

Malamnya Kui-ing-cu berunding dengan kawan2. Dengan sudah beristirahat satu malam,
tenaga Hwat Siau tentu akan pulih segar dan Ceng Bo sudah tentu bukan tandingannya.
Rupanya siangjin itu tak menghiraukan harapan orang banyak, karena berduka
memikirkan kebinasaan Tio Jiang.
Juga Hwat Siau mengadakan pembicaraan dengan isterinya, Hek-bin-sin Ho Gak, Sam-
chun-ting Ciu Sim-i dan lainnya. Mereka bersuka ria menyambut hasll rencananya.
Berkata Swat Moay: „Besok begitu menerima thong-pay kekuasaan toa-ah-ko, pertama
yang harus dikerjakan jalah menutuk jalan darah pembisu dari The Go dan menyajjkan
anak muda itu untuk sesaji sembahyangan bendera. Setelah itu, kalian harus menuntut
supaja toa-ah-ko menggerakkan anak buah Thian Te Hui menyerang Siau Ging guna
membalaskan sakit hati Tio Jiang. Ha...., ha..., serbuan besar itu tentu akan merepotkan
fihak Siau Ging. Dua2nya akan mengalami keruntuhan, sungguh sedap menikmati
pemandangan itu!"
Keesokan harinya, kembali api unggun dinyalakan dan Ki The-tiong lemparkan thong-
pay kedalam unggun lelatu. Ceng Bo dan Hwat Siau tampil kemuka. Si bongkok ih Liok
cukup jakin bahwa ilmu pedang to-hay-kiam-hwat Ceng Bo, tiada lawannya didunia.
Apalagi siangjin itu memakai pedang Pusaka yap-kun-kiam yang lihay. Maka dia memberi
kisikan agar Ceng Bo mengusulkan 3 macam pertandingan. Pertama, adu ilmu
mengentengi tubuh. Kedua, bertempur dengan pedang dan Ketiga, adu ilmu lwekang.
SiBongkok memperhitungkan, babak pertama siangjin itu tentu kalah. Tapi dalam babak
kedua yang bertempur dengan senyata, siangjin itu tentu dapat merebut kemenangan
malah sedapat mungkin harus dapat melukai lawan. Dan untuk babak terachir,
kemenangan tentu difihak Ceng Bo.
Rupanya usul itu disetujui Ceng Bo dan mendapat persetujuan juga dari Hwat Siau.
Begitulah babak pertama segera dimulai, adu ilmu mengentengi tubuh mendaki puncak
bukit yang runcing tadi. Tapi ketika Ceng Bo baru mendaki separoh lebih, Hwat Siau
sudah berada diatas puncak sembari tertawa keras. Jadi babak pertama itu, Hwat Siau
menang.
Hal itu memang sudah diperhitungkan. Maka ketika Ceng Bo meluncur turun, si Bongkok
segera mendekatinya dan berkata: „Bek-heng, sepuluh tahun yang lalu karena tak
percaja kabar2 yang disiarkan orang bahwa karena jeri akan ancaman kau telah
serahkan pedangmu pada musuh, aku telah menyadi orang gagu dan merobah diriku
menyadi imam Hwat Kong dibiara Cin Wan Kuan. Maksudku tak lain bukan jalah hendak
membuktikan kebenaran berita itu. Sebenarnya tak ada rencanaku untuk menetap di
Giok-li-nia sampai 6 tahun, tapi oleh karena tertarik akan peribadimu maka aku tak mau
meninggalkan tempat itu. Apabila Sik Lo-sam tak memecahkan rahasia diriku, akupun
tentu tetap tak mau pergi."
„Bek-heng, dalam pandanganku aibongkok ini, kau adalah orang gagah nomor satu
dikolong langit. Kedudukan toa-ah-ko, kupercaja bagimu bukan soal yang mutlak. Tapi
terhadap kepentingan sekian 'puluh ribu saudara2' yang bernaung dibawah panyi Thian
Te Hui, dirimu itu merupakan faktor yang teramat penting. Dalaih pertandingan babak
kedua nanti, apabila ada kesempatan menang, yanganlah men-sia2kannya.
Menangkanlah, ingat bahwa kau sedang bertempur guna kepentingan belasan ribu
saudara!"
Pesan itu diucapkan dengan sungguh dan termakan betul dalam hati Ceng Bo hingga
untuk beberapa saat aiangjin Itu termenung.
„Baiklah, akan kuturut pesan Ih-heng itu!" sahutnya kemudian, lalu melolos yap-kun-
kiam. Ditimpa oleh cahaja matahari, pedang itu ber-kilau?an cahajanya. Setelah pasang
kuda2, segera dia mempersilahkan Hwat Siau.
Sebaliknya ketika memandang kearah Hwat Siau, sekalian orang sama terkesiap heran.
Ditangan „Song lotoa" itu tiada lain senyata kecuali gulungan angkin merah kemaren itu
lagi. Ceng Bo siangjin sendiripun heran. Untuk dibuat demonstrasi, angkin Itu sih boleh
juga. Tapi kalau untuk bertempur melawan musuh, masa dapat digunakan? Ditilik
tingkat lwekangnya, orang itu belum mencapai tingkat kesempurnaan seperti yang
dilukiskan sebsgai „mematah daun dapat melukal orang, menghambur bunga dapat
mematikan lawan". Tapi mengapa dia berbuat begitu naif?
Tapi selagi Ceng Bo me-nimang2 pikirannya, Hwat Siau sudah rangkapkan kedua tangan
memberi hormat seraja berseru: „Siangjin, maafkanlah!"

GAMBAR 92
Dengan ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hoat Ceng
Bo Siangjin terlibat dalam pertandingan memperebutkan
Toa-ah-ko dengan Hwat Siau yang menyamar sebagai Song Hou

Sekali tangan melambai, bertebaranlah angkin sepanjang 4 tombak itu bergerak


melayang kearah Ceng Bo. Melihat gerakan yang aneh dari angkin yang lemah gemulai
itu. Ceng Bo memperhitungkan andaikata muka sampai kena kesabet angkinpun tak
nanti merasa kesakitan. Maka begitu dia bergerak dengan jurus Tio-ik-cut-hay memapas
keatas, kutunglah ujung angkin itu sepanjang 1 meter.
Dengan dibawa tiupan angin, kutungan angkin itu ber-kibar2 melayang keudara.
Kecuali Swat Moay seorang, Ceng Bo siangdiin maupun sekalian orang sama heran
memikirkan kediadian itu. Terang dalam beberapa tabasan angkin itu akan habis, dan
bagaimana nanti Hwat Siau hendak menghadapi pedang pusaka macam yap-kun-kiam
itu ? Dengan tangan kosongkah ?
Adalah dalam saat orang2 sedang men-duga2 itu, Ceng Bo siangjin sudah melancarkan
jurus kedua jakni boa-thian-kok-hay. Pagutan ujung pedang laksana hujan mencurah.
Tujuh macam serangan isi dan serangan kosong dari ilmu pedang itu telah dimainkan
secara mengagumkan sekali. Hwat Siau tampak kerepotan menghindar kekanan kiri.
Ketujuh serangan itu sama, menghasilkan 7 buah kuntungan angkin masing2 sepanjang
setengah meter. Andaikata angkin itu merupakan tubuh orang, itu berarti 7 buah luka.
Dari gambaran ini, nyatalah sudah bahwa ilmu pedang to-hay-kiam-hwat Ceng Bo
siangdiln Itu, merupakan ilmu pedang yang menyagoi seluruh gelanggang perpedangan.
Melihat „Song lotoa" tak mau membalas serangan, timbul kicurigaan Ceng Bo. Adakah
dia, sengaja hendak mengalah? Kalau benar demikian, tak selajaknya dia melukai orang
itu. Tapi pada lain kilas, teringatlah dia akan pesan Ih Liok tadi. Tanpa berajal lagi, dia
segera lancarkan jurus cing-wi-thian-hay untuk menusuk tenggorokan Hwat Siau.
Tapi kali ini, Hwat Siau mengambil lain haluan, begitu pedang berkelebat, dia sudah
mendahului menyelinap kebelakang Ceng Bo. Ceng Bo tak memandang mata, karena
mengira angkin itu hanya sutera merah biasa. Maka secepat membalik diri, dia segera
menusuk lagi. Se-konyong2 Hwat Siau lemparkan gulungan angkin itu sama sekali
keudara sembari me-mutar2kannya. Anehnya walau tadi sudah terpapas beberapa
meter, angkin merah itu masih tetap panjang, tak kurang dari 3 tombak panjangnya. Kini
angkin itu menyadi 7 atau 8 buah lingkaran diudara.
Ketika tusukan Ceng Bo tiba, Hwat Siau menghindar kesamping sembari tarik turun
lingkaran angkin tadi kebawah. Karena merupakan benda yang ringan, ketika bertebaran
turun, angkin itu sedikitpun tak mengeluar suara apa2. Hanya tahu2 tubuh Ceng Bo
telah tergubat. Hendak Ceng Bo mencongkel dengan pedang, tapi sudah tak keburu.
Melihat jaringannya sudah mengenai, secepat kilat Hwat Siau loncat mundur dan
mengikatlah angkin itu erat2 kepada tubuh Ceng Bo.
Bermula Ceng Bo mengira, bahwa asal dia kerahkan lwekangn,ja, tentu putuslah angkin
sutera itu. Tapi hai....!, ketika dia hendak gerakkan lengannya kiri, ternyata tak mampu
bergerak. Sedang dalam saat itu, Hwat Siau kedengaran tertawa lebar sembari berseru:
„Siangjin, maafkanlah!
Menilik hasil pertandingan itu dimana Ceng Bo kena kejirat basah tanpa dapat berkutik,
rasanya sudah cukup berbicara jelas. Jadi pertandingan ketiga tak usah dilanyutkan lagi,
karena dua kali sudah kalah.
Sehabis Hwat Siau mengucap tadi, barulah Ceng Bo dapat keluar dari jaring angkin itu.
Ketika di-amat2i dengan perdata, kiranya angkin itu berlainan dengan angkin yang
kemaren. Pada kedua tepiannya, ternyata terbuat dari anyaman kawat logam yang halus.
Ah, makanya tadi dia tak mampu meronta! Sebagai seorang ksatrya, serentak berka-talah
Ceng Bo: „Kedudukan toa-ah-ko 'Thian Te Hui, harap song-heng suka menerimanya!"
Tanpa banyak bicara lagi, Hwat Siau segera menghampiri unggun lelatu dan manyemput
salah satu thong-pay jung terbesar. Thong-pay itu sudah membara panas, tapi oIeh
karena dia jago ilmu lwekang yang-hwat-kang (api positip), jadi sedikitpun tak jeri. Thong-
pasy itu dipegangnya, lalu berserulah dia kepada sekalian orang: „Aku yang rendah kini
menyadt toa-ah-ko, harap sekalian saudara suka membantu!"
Thaysan sin-tho Ih Iiok lemas tak bersemangat, tapl sebaliknya Ceng Bo diam saja
sikapnya. Saat itu lalu dilakukan lain2 pilihan dengan kesudahan Ceng Bo siangjin
menyadi ji-ah-ko, Ki Ce-tiong menyadi sam-ah-ko dan Ko Thay menyadi su-ah-ko.
Setelah susunan pimpinan Thian Te Hui terpilih lengkap, berserulah Hwat Siau dengan
lantang: „Kini bawalah bebodoran dunia persilatan d Cian-bin Long-kun The Go keluar,
terserah bagaimana saudara2 hendak menghukumnya!"
Sehabis mengucapkan perintah pertama itu, dia memberi isjarat ekor mata kepada sang
isteri.
Dalam hati kecil Hui-ing-cu dan lain orang yang menunyang pencalonan Ceng Bo sebegai
toa-ah-ko tadi, tetap tidak puas akan hasil pemilihan itu. Bahwa seorang baru terus saja
berhasil merebut kedudukan toa-ah-ko, mereka tetap tidak dapat menerima. Maka
dengan waspada, diikutilah tindakan yang dilakukan oleh toa-ah-ko itu. Asal nyeleweng,
mereka segera akan bertindak. Maka demi nampak tindakan pertama untuk membunuh
The Go sebagai sesaji sembahyang bendera itu, telah disambut dengan lega oleh
kelompok Kui-ing-cu dan kawan-kawan. Diam2 mereka menganggap kedua besaudara
Song itu juga bangsa orang gagah kesatrya sejati. Rasa antipahti (tidak senang) pun
menurun beberapa derajat.
Tak berapa lama, The Go dibawa keluar. Sejak datang ke Giok-li-nia situ, dia disekap
dalam tahanan, jadi tak tahu sama sekali apa yang terjadi diluaran selama itu. Pada
pikirnya, begitu Hwat Siau sumi isteri sudah menyelesaikan pekerjaan besar itu. Dia
tentu akan dibawa kekota raja menghadap Sip-ceng-ong Tolkun untuk menerima pangkat
sebagai budak bangsa Ceng.
Demi dengan tangan terikat dia keluar, segera dilihatnya berpuluh orang gagah deliki
mata kepadanya dengan sorot gusar. Malah jelas kelihatan ada beberapa yang
memancarkan sorot mata ber-api2. Hatinya berdebar keras. Ketika mengalihkan
pandangan kesebelah muka, disana terdapat Hwat Siau tengah memegang thong-pay toa-
ah-ko berdiri dibawah sebuah bendera putih hitam. Bendera itu terpancang ditengah
lapangan, ber-kibar2 ditiup angin.
Sebagai seorang durjana yang cerdas, dia tersirap kaget menghadapi kenyataaan itu.
Terang Hwat Siau telah menggunakan siasat „habis melintasi jembatan, lalu mengangkat
jembatan itu", atau artinya setelah berhasil Hwat Siau hendak membasmi mulutnya
(membunuhnya). Tak peduli bagaimana, dia hendak nekad memanggil Hwat Siau. Biar
kalau toh mati, sama2 dalam satu liang. Baru dia ngangakan mulut hendak berseru, atau
Swat Moay tampak mengangkat tangan dan sebuah batu kecil melayang......... hek!,
lambungnya terasa kesemutan dan mulutnya tak dapat bersuara lagi. Jalan darah
pembisu, telah kena tertutuk.
Sedemikian cepat gerakan Swat Moay tadi, apalagi gerakan itu tanpa bersuara sama
aekali. Maka kecuali The Go yang merasa, tiada seorang lainpun yang mengetahui
kejadian itu. Sekalian orang itu tahunya hanya puas dan geram melihat The Go. Seluruh
perhatian ditumpahkan kearah anak muda yang pintar keblinger itu.
The Go coba kerahkan semangatnya untuk melepaskan jalan darahnya itu, tapi sia2 saja.
Membayangkan bahwa dalam beberapa detik nanti, dia bakal menerima kematian secara
ngeri sekali, tanpa terasa ber-butir keringat sebesar biji kedele menetes turun dari selebar
mukanya.

(Bersambung Ke Bagian 50)


BAGIAN 50
HALILINTAR DI SIANG HARI

BAGIAN 50.1

Hwat Siau sedikitpun tak merasa sayang akan nasib orang muda itu. Itulah upahnya
orang yang suka berhamba pada kaum penyajah, pikirnya.
„Benar dengan penghianat ini aku belum pernah bercidera, tapi karena dia telah
melakukan perbuatan merugikan rakjat, memimpin tentara Ceng masuk kewilajah
Swiciu, mencelakai tiga laksa saudara2 Thian Te Hui digunung Gwat-siu-san, melakukan
penggeropjokan pada ke 72 markas Hoasan dan lain2 kejahatan, maka kalau manusia
macam begitu tak disirnakan, kita bangsa Han tentu tiada punya muka lagi. Nah,
silahkan siapa saja saudara yang hendak mulai turun tangan!" seru Hwat Siau dengan
tertawa dingin.
Gegap gempita sekalian orang menyambut pernyataan Hwat Siau yang „ksatrya" itu. Dan
sekali melesat, tampillah Thaysan sin-tho Ih Liok, Dia menyiakkan orang2 itu kesisi
untuk memberi jalan. Sebagaimana telah kita ketahui, ketika di Hoasan dia diselomoti
mentah2 oleh The Go, dia telah memapas kuntung jari kirinya selaku sumpah: „Kalau
tak dapat mencincang lebur tubuh The Go, biarlah luka jarinya itu busuk rusak!"
Bahwa kini kesempatan untuk melaksanakan sumpahnya itu terbentang di depan mata,
telah membuatnya beringas seperti harimau lapar melihat kambing. Dengan meringis
berikerijutan macam srigala mengunyukkan taring, setindak, demi setindak dia maju
menghampiri kearah The Go. Sepasang matanya ber-api2.
Dalam keadaan begitu, segala kecerdaaan dan akal siasat yang dimiliki Cian-bin Long-
kun, sia2 semua. Kedua tangannya diikat, jalan darah pembisu ditutuk. Masih dia
kerahkan seluruh lwekangnya untuk berseru keras menelanyangi keadaan diri Hwat Siau
yang aseli, namun tak berdaja. Suaranya tak mau keluar. Dan yang nyata, disebelah
muka sana tampak si Bongkok, dengan sorotan mata buas, jari tangan kiri yang kuntung,
ber-indap2 mendatangi seperti hendak menelannya hidup2.
Sesal kemudian tak berguna. Rupanya pepatah ini diakui kebenarannya oleh The Go.
Pada detik2 kematian meregut itu ter-bayang2 perbuatannya dimasa lampau yang penuh
berlumuran dosa itu. Taruh kata saat itu dia kuasa berseru unttk membuka kedok Hwat
Siau, rasanya tiada seorangpun jung mau mempercajainya. Memang setiap kejahatan itu
tentu menimbulkan penyesalan dikemudian hari, tapi sesal kemudian tak berguna,
demikian bunyi pepatah diatas.
Yang lebih mengesan dalam lubuk kenangannya pada detik2 terachir itu, jalah diri Bek
Lian. Bagaimana bahagia hari2 berdampingan dengan sijelita itu, dan bagaimana tulua
ichlas nona itu mempersembahkan kasihnya, tapi ah, bagaimana pula kejamnya dia
menghancurkan hati nona itu hingga kandungann ja sampai hampir gugur. Dan ai....,
Ciok Siao-lan, sihitam manis yang ter-gila2 padanya itu, telah dia persakiti tubuh dan
hatinya, „Chuh"........... tahu2 segumpal ludah menampar kemukanya. Itulah semburan
Ih Liok yang walaupun hanya dengan air ludah tapi cukup membuat The Go nyeri
kesakitan hebat, seperti dikebut dengan sapu kawat. Seketika mukanya ber-gurat2
mengeluarkan darah. Dia cukup sadar bahwa dengan jatuh ditangan musuh macam si
Bongkok, dia tentu mengalami siksaan yang maha hebat. Tapi dalam keadaan seperti
saat itu, apa daja? Dia meramkan kedua mata paserah nasib.
Si bongkok deliki mata memandang sejenak padanya dan timbullah keheranannya.
Biasanya The Go itu seorang seorang pemuda yang tangkas bicara, mengapa saat itu
membisu saja? Adakah dia sudah bertobat? Tapi apa peduli. Berpaling kebelakang,dia
berseru: „Saudara yang manakah suka meminyami aku sebilah pisau untuk membelek
hati bangsat ini. Coba kita lihat bagaimana warnanya!"

GAMBAR 93
„Chuh" tiba2 The Go dipersen ludah oleh si Bongkok Ih Liok, berbareng
baju si pemuda dirobek dan belati siap mencingcang tubuh The Go yang culas itu.

Serentak Ceng Bo mencabut yap-kun-kiam untuk diserahkan, tapi Ih Liok menolaknya:


„Pedang ini terlampau tajam, sekali dodet sudah selesai. Itu terlalu enak baginya. Aku
maukan sebilah yang tumpul, supaja dapat men-dobet2nya sampai lama!"
Ceng Bo sebenarnya kasihan juga, tapi karena sekalian orang mengunyuk kemurkaan,
jadi diapun tak berani melarangnya. Pada lain saat ada seorang yang mengantari Ih Liok
sebatang pedang pendek, terbuat daripada besi biasa.
„Bagus, inilah yang cocok!" seru si Bongkok. Berputar kearah The Go dia berkata: „Orang
she The, tahukah kau entah berapa banyak jiwa yang melayang ditanganmu? Kalau
hanya mengganti selembar jiwa, apakah kau masih tidak terima?"
Dari kerut wajahnya yang gelisah ketakutan, dapat diketahui bagaimana perasaan hati
The Go saat itu. Namun tetap dia tak dapat berkata apa2. Tadi semprotan ludah si
Bongkok, telah membuat mukanya berlumuran darah, hingga dari seorang pemuda
tampan kini dia berobah menyadi simuka merah. Namun mencari jalan hidup adalah
pembawaan setiap insan. Dalam kebingungannya itu, dia telah memperoleh selarik sinar
harapan. Atas pertanyaan si Bongkok „apa kau masih tidak terima" tadi, dia mengangguk
dua kali, sembari mengawasi kebawah.
Ih Liok heran, lalu melihat kebawah kearah yang diawasi The Go. Ternyata kaki kanan
The Go tengah ber-gerak2 seperti menulis sesuatu. Tapi karena tanah disitu merupakan
batu padas, jadi apa yang dituliskan itu tak dapatlah si Bongkok mengetahuinya.
Memang bermula si Bongkok agak tertegun memikirkan, tapi demi teringat sudah berapa
kali dia makan getah dari siasat orang muda yang selicin belut Itu, tak mau dia
menghiraukannya lagi.
Cret............, ujung pedang pendek itu menikam bahu The Go. Begitu dicabut, darah
menyembur keluar. Saking sakitnya, hampir pingsan The Go dibuatnya.
,,Tikaman kesatu!" seru si Bongkok.
Karena si Bongkok tak menghiraukan tulisan kakinya tadi, habislah sudah harapan The
Go. Dengan mata melotot dia deliki suami isteri Hwat Siau Swat Moay, tapi kedua orang
itu tetap tenang2 saja se-olah2 seperti tak kejadian suatu apa. Ea Liok angkat tangann
ja hendak "melancarkan tikaman yang kedua, saking tak tega berserulah Ceng Bo: „Ih-
heng, lekaslah habisi saja nyawanya!"
Belum si Bongkok menyahut atau dari lamping gunung sana terdengar hiruk pikuk suara
orang ber-teriak2. Lama2 dengan cepatnya suara gaduh itu menyalar kepuncak dan
berbareng itu laksana kilat sesosok bayangan hitam meluncur datang. Belum sempat
sekalian orang melihat siapakah orang itu, siorang sudah mendahului berteriak dengan
nyaring: „Tahan!", kemudian terus memburu kearah si Bongkok untuk merebut
pedangnya tadi.
Si Bongkok melawan dan barulah mengetahui kalau lawannya itu bukan lain adalah
Kang Siang Yan. Dia turunkan pedang kebawah terus dibabatkan. Tapi tanpa berkisar
kaki, Kang Siang Yan miringkan tubuhnya sedikit, lalu julurkan tangan untuk menerkam
siku si Bongkok. Keduanya bertempur rapat.

(Bersambung Ke Bagian 50.2)


HALILINTAR DI SIANG HARI

BAGIAN 50.2
Disana, Ceng Bopun cepat dapat mengenal bahwa yang datang itu adalah isterinya. Dia
terperanyat disamping mengeluh atas seruan isterinya tadi, yang terang hendak
memenolongi The Go lagi. Beberapa kali dia gagal membunuh pemuda penghianat itu
karena pada. detika terachir, isterinya selalu datang mencegah. Ah......, biar bagaimana
kali ini harus diselesaikan, yangan sempat gagal lagi. Dikala sang isteri masih sibuk
melajani si Bongkok, cepat dia memburu kearah The Go dan menabas ......................
Walaupun kepandaian Kang Siang Yan lebih unggul dari si bongkok, namun dalam tiga
empat gebrak sukarlah untuknya mengalahkan. Waktu melihat suaminya lari
menghampiri The Go, ia sudah was-was. Begitu tangan Ceng Bo diangkat, ia pun segera
lontarkan gumpalan benda yang semula sudah dikepitnya tadi.
Bermula Ceng Bo tak menghiraukannya benda apa yang diIontarkan isterinya itu, pokok
asal yap-kun-kiam melayang tiba, kepala The Go tentu menggelinding. Maka diapun tak
mau kurangi gerak tabasannya tadi. Tapi demi benda, itu hampir tiba dihadapannya,
bukan kepalang kejutnya! Itulah seorang orok baji yang bagus wajahnya. Buru2 dia
hendak tarik pulang tabasannya, agar yangan sampai mengenai orok itu. Tapi sukarnya
bukan kepalang. Tadi karena kuatir membikin kapiran urusan, dia sudah menabas se-
kuat2-nya, jadi untuk menariknya secara mendadak, tak seemudah kemauan sang hati.
Namun bila diteruskan tabasanaja itu, The Go dan orok itu pasti akan terbelah kutung.
Dalam gugupnya, dia kerahkan tenaganya untuk menurunkan tangannya, cret ........
popok (pakaian) orok itu terpapas rowuk dan kedua belah kaki The Go pun terpisah dari
pahanya. Darah segar memuncrat laksana air pancuran dan rubuhlah The Go tak ingat
diri..........

GAMBAR 94
Disamping Kang-siang-yan merintangi niat si Bongkok yang hendak
menghabiskan jiwa The Go, disebelah sana Ceng Bo Siangjin cepat
bertindak, sekali pedangnya menyabet, terkuntunglah kedua kaki The Go.

Ceng Bo tak mau hiraukan adakah The Go itu mati atau belum. Yang dipikirkan hanya
siorok tadi. Begitu menabas, dia segera membungkuk kebawah untuk menyanggapi orok
itu. Diam2 dia kucurkan keringat dingin, karena ngeri memikir nasib siorok yang hampir
saja menyadi korban pedangnya. Mengawasi kearah Kang Siang Yan, dilihatnya sang
isteri Itu sudah berhasil merebut senyata si Bongkok dan dengan 3 buah hantaman
berhasillah ia mengundurkan lawan.
Ceng Bo geram sekali terhadap isterinya itu. Betapapun kecintaannya terhadap sang
isteri namun urusan negara adalah diatas segala. Dia anggap sang isteri itu membawa
kemauan sendiri, datang2 membikin ribut.
„Hong-moay, hari ini adalah upacara persembahyangan bendera Thian Te Hui, mengapa
kau mengadu biru bikin onar?" serunya dengan gusar. Sepanjang ingatnya, belum pernah
dia sedemikian marahnya terhadap isteri yang dikasihinya itu.
Kang Siang Yan buru2 menghampiri The Go, lalu menutuk ke 12 jalan darah besar
pemuda itu, untuk memberhentikan pendarahan. Setelah itu baru dia mendongak
menatap Ceng Bo siangjin, sahutnya: „Aku mengadu biru? Kalau terlambat sedikit aku
datang kemari, orang2 Thian Te Hui akan menyadi tumpukan bangkai semua!"
„Hong-moay, apa maksudmu?" menegas Ceng Bo dengan terperanyat.
Tidak menyahut pertanyaan sang suami, sebaliknya Kang Siang Yan memandang kearah
orang banyak. Satu demi satu, diawasinya dengan perdata, kemudian berseru nyaring :
„Swat Moay dan Hwat Siau, dimana kedua orang Itu? Ajuh, mengapa tak berani unyuk
diri bertempur secara ksatrya?"
Mendengar wanita gagah itu menantang tokoh Swat Moay dan Hwat Siau, bukan olah2
terkejutnya orang2 sekalian.
„Apa katamu?" serempak Kui-ing-cu, Ceng Bo siangjin, Ko Thay dan si Bongkok berseru.
Namun Kang Siang Yan tak mau menyawab. Ia mondar mandir menyusup keluar masuk
dalam kelompok orang yang ber-jubal2 itu. Dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh
sakti thay-yang-lian-seng, ia menyusup keluar masuk. Yang dirasakan oleh ribuan orang
disitu, hanyalah semacam deru angin menyambar saja. Hal mana membuat orang2 sama
kagum dibuatnya. Setelah tak berhasil menemukan yang dicari, barulah kedengaran ia
berkata keheranan: „Ai......, kemana lenyapnya kedua bangsat itu?"
„Hong-moay, apakah sesungguhnya yang kau ucapkan itu?" tanya Ceng Bo.
„Apa......? Apa kalian tak mengetahui bahwa Swat Moay dan Hwat Siau men jelundup
kemari ?" Kang Siang Yan balas bertanya.
Kini baru semua orang sama termadar, mereka saling celingukan kesana sini. Semua
anggauta masih lengkap, kecuali kedua saudara Song, Hek-bin-sin Ho Gak dan Sam-
chun-ting Ciu Sim-i yang tak kelihatan batang hidungnya. Saat itu barulah semua orang
mengetahui duduk perkaranya.
Kang Siang Yan, gerak gerikmu selama ini menimbulkan anti pathi orang. Tapi kali ini
kami semua berhutang budi seru Kui-ing-cu seraja tunyukkan jempol jarinya selaku
memuji.
Fui ....., siapa sudi mendengar ocehanmu itu. Kalau bukan Thio Jiang yang
memberitahukan padaku, aku juga tak tahu!" sahut Kang Slang Yan.
„Apa .... ? Tio Jiang belum binasa" seru Ceng Bo dengan terperanyat.
„Mati sih belum, tapi tengah meregang jiwa (sekarat).
Yan-chiu berada disampingnya!"
„Hai......., ternyata Yan-chiu juga masih hidup!" seru sekalian orang dengan girangnya.
Ceng Bo yang sedari tadi masih mengempo siorok, segera bertanya :
„Hong-moay, dari manakah orok ini?"
„Itulah cucu-luar-mu sendiri! Masa kau tak mengenalnya, bukankah wajahnya mirip
dengan kau!"
Ceng Bo meng-amat2i dengan tajam dan benar dapatkan wajah orok itu agak mirip
dengan dirinya. Tapi demi teringat bahwa orok itu adalah anak Bek Lian dan The Go,
meluapIah kemarahannya.
„Mari ambillah, aku lebih suka tak mengakuinya sebagai cucu!" serunya seraja
angsurkan orok itu kepada sang isteri.
„Orang tuanya yang salah, mengapa anaknya di-ikut2kan?" Kang Siang Yan menghela
napas sambil menyambuti orok itu, lalu di-tepuk2nya pe-lahan2: „Nenekmu ini tetap
menyayangimu nak, yangan takut!"
Melihat tingkah laku seorang wanita gagah macam Hang Siang Yan tetap tak
meninggalkan sifat2 kasih sayang seorang nenek terhadap cucunya, Kui-ing-cu dan
semua orang sama tertawa geli.
Kang Siang Yan tampak menciumi orok itu, lalu ujarnya: „Orok ini tak boleh dilahirkan
tanpa melihat ajahnya!"
Habis berkata begitu, Hang Siang Yan melirik kearah The Go. Kini kedua kaki The Go
sudah kutung dan setelah ke 12 urat besarnya ditutuk Kang Siang Yan, timbullah
perobahan dalam dirinya. Jalan darah pembisu yang tertutuk tadi, sudah terbuka
sendiri. Keadaannya seperti orang limbung, sadar2 tidak. Tapi serta merasa dapat ber-
kata2, segera dia paksakan bicara dengan ter-putus2: „Kedua saudara Song
sebenarnya......Hwat Siau .......... dan Swat Moay"
Habis ber-kata2, kembali dia pingsan.
„Kakinya sudah buntung, orangnya pun telah kalian siksa sedemikian rupa. Pandanglah
mukaku dan lepaskanlah dia!" se-konyong2 meluncur kata2 perikemanusiaan dari bibir
Kang Siang Yan.
Bahwasanya seorang wanita keras macam Kang Siang Yan, dapat mengucap kata2 yang
sedemikian halus merawankan, telah membuat orang2 ter-heran2, Memang kedatangan
Kang Siang Yan kepuncak Giok-li-nia situ, pertama untuk memberitahukan suaminya
bahwa Hwat Siau dan Swat Moay menyelundup kesitu dan kedua kalinya juga untuk
urusan The Go.
Kiranya setelah peristiwa digereja Ang Hun Kiong selesai dan masing2 orang sama
berpencar, keadaan Bek Lian sangat mereras sekali. Bek Lian telah kehilangan
peribadinya. Ia berkeliaran ke-mana2 seperti orang gila. Setelah dua hari mencarinya,
barulah Kang Siang Yan mendapatkan puterinya yang bernasib malang itu.
Bahwa anaknya sampai menemui nasib yang sedemikian mengenaskan, kemarahan Kang
Siang Yan sudah memuncak. Tapi dikarenakan keadaan Bek Lian sedemikian rupa,
terpaksa ia, tak dapat meninggalkannya. Maka, dicarinya sebuah tempat per-istirahatan
yang sunyi disekitar sungai situ untuk tempat menetap sementara, perlu merawat
penyakit Bek Lian.
Tiga bulan kemudian, barulah kesehatan Bek Lian ber-angsur2 pulih. Tapi pada saat itu,
ia melahirkan seorang orok. Melihat orok itu sangat mungil, Kang Siang Yan merasa
gembira. Tapi sebaliknya, Bek Lian sendiri tetap berduka. Ia tak senang kepada anak
kandungnya itu, sehingga menyusuipun tak mau. Apa boleh buat, Kang Siang Yan
terpaksa menggendong orok itu keatas gunung, untuk mencari binatang alas. Baik
serigala, harimau, rusa, dan lain2 binatang berkaki empat, diburunya kemudian diperas
air susunya untuk orok itu. Pada kebalikannya, pertumbuhan badan orok itu luar biasa
sehatnya. Belum lagi setengah tahun umurnya, orok itu sudah hampir menyamai seperti
seorang berusia satu tahun.
Pada hari itu, rupanya Kang Siang Yan membawa cucunya ketempat jung agak jauh,
hingga dua hari baru pulang. Tapi tiba dirumah, ternyata Bek Lian sudah menghilang. Ia
hanya meninggalkan secarik tulisan yang menyatakan sebagai berikut:
Bunda,
Anak telah merasa sesat jalan dan terjerumus dalam lumpur duka nestapa. Berdasarkan
ajaran2 luhur dari ajah, seharusnya anak tak lajak hidup didunia lagi. Tapi mengingat
anak belum dapat membalas budi ajah bunda selama ini, kalau harus bunuh diri tentu
akan lebith put-hau (tak berbakti) lagi. Oleh karena itu, hendak anak tinggalkan nyawa
dalam hajat untuk mengabdikan diri menyadi nikoh (paderi perempuan) selaku penebus
dosa. Selama hajat masih dikandung badan, tentu akan dapat berjumpa pula. Harap
yangan mencari lagi, karena niat anak sudah tetap.
Bek Lian

Kang Siang Yan termangu. Betapapun halnya, tetap ia hendak mencari puterinya itu.
Tapi rupanya niat Bek Lian itu tetap. Dua hari yang lalu, ketika Kang Siang Yan keluar
pintu, iapun segera terus berkemas tinggalkan pondok itu. Dua hari Kang Siang Yan baru
pulang dan selama itu entah sampai kemana Bek Lian mengajun langkahnya. Lebih dari
sebulan Kang Siang Yan mencari jejak puterinya itu, tapi tetap hilang tak ketahuan
rimbanya. Achirnya terpaksa ia lepaskan penyelidikannya, kembali pulang kepondoknya
tadi. Sjukurlah, ada sang cucu sebagai kawan.
Pada waktu Tio Jiang dan Yan-chiu bertempur melawan suami isteri Hwat Siau dan Swat
Moay, hiruk kegaduhannya telah membuat orok itu terbangun kaget dan menangis.
Telinga Kang Siang Yan yang tajam, segera dapat mengetahui bahwa suara ribut2 itu
terjadi karena ada perkelahian kaum persilatan. Orang persilatan saling membalas
dendam itu sudah jamak, iapun tak ambil pusing. Tapi yang menyengkelkan hatinya,
ribut2 itu sudah membikin kaget cucunya. Maka sembari menghibur bujuk, dibawanya
orok itu keluar untuk melihat ribut2 itu. Tapi begitu ia muncul, Hwat Siau dan isterinya
sudah buru2 ngacir, tertinggal Tio Jiang dan Yan-chiu menggeletak ditanah luka parah.
Bermula Kang Siang Yan kira mereka sudah binasa, tapi serta diperiksa ternyata
jantungnya masih berdetak. Dan untuk kekagetannya, kedua orang itu ternyata Tio Jiang
dan Yan-chiu adanya. Sejak pertemuannya dengan Ceng Bo di Hoasan tempo hari,
sebenarnya ia sudah berbaik lagi dengan sang suami itu. la berjanyi setelah mendapatkan
pedang kuan-wi-kiam, ia akan memulai penghidupan baru ber-sama2 suaminya. Tapi
adalah belakangan karena urusan Bek Lian dan The Go, kembali ia bentrok dengan Ceng
Bo.
Perangai Kang Siang Yan memang aneh. Ia selalu membawa kemauannya sendiri. Tempo
digereja Ang Hun Kiong, ia berdiri difihak Ang Hwat cinyin dan Hwat Siau dan Swat Moay.
Kemudian baru setelah mengetahui kebinatangan hati The Go, ia tersadar dan
menggabungkan diri pada Pihak suaminya. Dan waktu gereja tersebut dihancurkan
dengan dinamit, makin tegas keiakinannya terhadap Ceng Bo. Kedua anak muda itu
adalah murid suaminya, jadi tak beda dengan muridnya juga. Benar pernah, Yan-chiu
menipu mengeruk kepandaiannya„ tapi itu karena gara2 Kui-ing-cu apalagi hal itu tak
menyadi soal baginya.
Kedua anak muda itu segera diangkut kedalam pondok dan diupajakan supaia tersadar.
Hampir setengah harian Tio Diiang tak ingat diri. Begitu membuka mata, tanpa
menghiraukan siapa, yang berada dibadapannya, dia segera berseru: „Lekas..., lekas...!
Hwat Siau dan Thian-bin Long-kun semua pergi ke Gwat-li-nia!"
Setelah berulang kali mendengar seruan itu, barulah Kang Siang Yan menangkap
maksudnia. Tay-hiat atau urat nadi besar kedua anak itu dltutuknya, supaja mereka
dapat mengaso tenang. Yan-chiu tak menghiraukan suatu apa. Ia merasa dalam beberapa
hari ajalnya sudah akan tiba. Biarkan Kang Siang Yan berbuat apa saja ia tak peduli. Ia
hanya baringkan diri disamping sukonia dan ber-bisik2 apa sajaa yang sang mulut Ingin
meugatakan.
Luka Tio Jiang tidak ringan, dengan sadar tak sadar dia hanya mendangari saja dan
mengiakan. Kang Siang Yan menggendong cucunya, tarus berangkat menuju ke Giok-li-
nia. Kedatangannya itu tepat sekali, dimana si bongkok tengah menggorok The Go.
Kemudian Kang Siang Yan mengachiri penuturaannya, lalu memintakan keringanan
untuk The Go. Sekalian orang berpendapat bahwa dengan kedua kakinya buntung, The
Go sudah menyadi orang tanpadaksa (invalid), rasanya cukup untuk menghukumnya.
„Kang Siang Yan, aku pernah bersumpah kalau tak mencingcangnya sampai hancur
lebur, lukaku ini akan busuk !" Thatsan sin-tho Ih Liok menyanggah.
„Ih Liok", sahut Kang Siang Yan, „Segala apa jngan main mutlak2an. Tadi sewaktu
tersadar, dia tak mengucapkan apa2 tapi lantas mengatakan soal Hwat Siau dan Swat
Moay. Apakahitu tak kau anggap dia masih mempunyai liang-sim (hati baik) ?"
Si Bongkok tertawa: . „Kang Slang Yan, bilakah kau belajar falsafat macam Tay Siang
Siansu itu ?"
Kang Siang Yan deliki mata kepadanya.
„Ja, sudahlah," Ih Liok mengalah, „dengan memandang muka kalian Kang Siang Yan dan
Hay-te-kau berdua, aku sibongkok suka mengampuninya, Tapi awas, kalau kelak dia
berbuat jahat lagi, aku tentu akan meminta pertanggungan jawabmu berdua!"
„Hai, Ih-heng, mengapa aku di-bawa2?" Ceng Bo tertawa getir.
Si Bongkok tertawa: „Huh, siapa yang tak mengetahui hubungan suami-isteri kalian kini
saling berebut mengempo cucu! Bagaimana hendak meniadakan dirimu?"
Ceng Bo dan Kang Siang Yan saling berpandangan sembari ketawa. Mengingat bahwa
betapa jahat si Cian-bin Long-kun itu dahulunya, tapi dengan kedua kakinya sudah
buntung dia sudah tak berdaja lagi, maka sekalian orangpun menyetujui keputusan
untuk memberi keringanan. Ceng Bo segera suruh gotong orang muda itu kedalam biara,
kemudian dia segera mengajukan pertanyaan kepada sekalian orang: „Toa-ah-ko sudah
melarikan diri, habis bagaimana urusan ini?"
„Sudah tentu Hay-te-kaulah yang menyadi toa-ah-ko!" serempak sekalian orang berseru.
Disamping itu, mereka menyerukan supaja Kiau To menyadi siao-ah-ko.
Ceng Bo tak mau banyak bicara lagi. Segera dia pegang pucuk pimpinan. Tindakan
pertama jalah mengatur susunan organisasi. Thian Te Hui yang beranggautakan lebih
dari 10 ribu orang Itu, dibagi menyadi 10 tay-tong (bataljon). Setiap taytong dipimpin oleh
tongcu dan wakil tongcu. Dibawah taytongcu (pemimpin taytong) diangkat lagi 20 orang
siao-tongcu yang masing2 menguasai 100 anak buah. Dengan penyusunan itu,
terdapatlah suatu organisasi yang rapi. Melihat itu diam2 Kang Siang Yan mengagumi
kecakapan suaminya.
Selesai menetapkan susunan Thian Te Hui, berkatalah Ceng Bo kepada sang isteri:
„Hong-moay, mari kita turun untuk menyenguk bagaimana keadaan Siao Ciu dan Jiang-
ji itu!"
„Astaga!" tiba2 Kang Siang Yan seperti orang dlsadarkan, mereka luka parah tiada orang
yang merawati, aku seharusnya lekas2 kembaili. Kau mempunyai tugas berat, tak perlu
pergi. Kalau dapat menemukan Tay Siang Siansu untuk meminta beberapa butir pil sam-
kong-tan, lebih baik lagi. Tapi kalau tidak, biarlah aku sendiri saja yang merawat.
Girang hati Ceng Bo mendengar kesanggupan sang isteri itu. Dan tanpa berajal lagi, Kang
Siang Yan terus minta diri. Setelah itu Ceng Bo segera mengadakan rundingan dengan
para tay-tongcu dan hu-tongcu (wakil tongcu) untuk rencana penyerangan selanyutnya.
Tapi dalam rundingan itu, mereka terbentur pada kenyataan pahit tiada ransum, tiada
uang!
Tanpa ransum, tentara tak dapat bergerak. Jadi sekalipun lasjkar sudah terkumpul
sampai ribuan jumlahnya, tapi tiada gunanya bshkan menimbulkan kesulitan besar
mengenai jaminan makanan mereka. Perang tanpa makan bagaimana jadinya?
Tadi menurut penuturan Kang Siang Yan, sekalipun Tio Jiang tak sampai terbunuh, tapi
dia sudah dianggap sebagai pemberontak. Jadi hubungan dengan flhak kerajaan Lam
Beng, sudah putus. Hal ini diinsjafi benar oleh para perunding, hingga sampai sekian
saat mereka tak dapat menyatakan apa2.
„Apakah sekalian saudara pernah mendengar tentang cerita kim-jong-giok-toh yang
tersiar dikalangan persilatan?" tiba2 ada seorang tongcu memecah kesunyian.
Sudah sejak beberapa tahun ini, Ceng Bo selalu mondar mandir sibuk dengan usaha
pergerakan Thian Te Hui Tambahan pula dia orangnya jujur bersih, jadi walaupun pernah
juga dia mendengar desas desus harta karun itu, namun tak dihiraukannya.
„Belum pernah mendengar!" sahutnya.
„Benar, sejak dari Ang Hun Kiong mencari suhu, akupun pernah, mendengar hal itu.
Katanya harta karun Itu simpanan dari Thio hian Tiong. Tapi tiada seorangpun yang tahu
akan hal itu dengan jelas. Ada sementara orang persilatan yang melakukan penyelidikan,
ada juga orang2 yang tak ketahuan asal usulnya turut memancing diair keruh," ujar Kiau
To.
Ceng Bo merenung sejenak, lalu berkata: „Ja, biarpun harta karun itu ada, tapi apa
gunanya? Apakah orang dapat memakan emas berlian?"
„Ah, bukan begitu!" sahut lh Liok, „dengan harta dapat kita memperolch ransum. Kwisay
berbatasan dengan Siam dan Annam (Vietnam), kedua negeri itu merupakan gudang
beras. Yangan lagi hanya belasan ribu sedang ratusan ribu orang pun tiada menyadi
soal!"
Semangat sekalian hadirin tergugah. Tapi kim-jong-giok-toh itu se-olah2 merupakan
mythos (dongeng) saja, ada desas desusnya tapi tiada kenyataannya. Menilik namanya,
harta karun itu mempunyai hubungan dengan susunan tubuh orang, tapi masakan perut
(toh) terdapat hartanya? Tapi ah....., kemungkinan besar hal itu terdapat pada bangsa
patung.
Karena belum mendapat pegangan yang pasti, terpaksa untuk sementara itu Ceng Bo
belum mau menggerakkan tentaranya. Satu2nya usaha jalah mengadakan hubungan
dengan Li Seng Tong. Dan ini baik kita tinggalkan dulu untuk mengikuti perjalanan Kang
Slang Yan turun dari Lo-hu-san tadi.
---oo0oo---
Dengan ber-gegas2 wanita gagah itu kembali kepondoknya, tapi tiba disitu ternyata Tio
Jiang dan Yan-chiu, sudab tak kelihatan batang hidungnya, keadaan tempat itu kalang
kabut seperti bekas digarong orang.
Hanya dua hari ia berlalu dan keadaan mereka begitu pajah, andai kata naik ke Giok-li-
nia tentu juga berpapasan, tapi nyatanya kedua anak itu sudah lenyap. Kemanakah
gerangan mereka itu ? demikian Kang Siang Yan bertanya sendiri. Tiba2 terkilas pada
pikirannya, bahwa ketika dia tiba di Giok-li-nia tadi, Hwat Siau dan isterinya sudah
cepat2 menghilang. Ah....., apa tak mungkin mereka lolos dan mencari kedua anak muda
itu. Kalau demikian halnya, ia sangat malu. Bukantah tadi ia sudah menyatakan hendak
menyaga Tio Jiang dan Yan-chiu? Jika mereka jatuh ketangan suami isteri ganas itu,
terang akan celaka. Ah....., ia bertanggung jawab atas kejadian itu!
Cepat2 ia kemasi pakaian sang cucu, lalu titipkan orok itu kepada keluarga petani yang
tinggal didekat situ. Kemudian seorang diri ia berangkat mencari jejak kedua anak muda
itu. Tapi dunia begini luas, kemanakah ia hendak mencarinya.
Memang dugaan Kang Siang Yan itu salah. Pada waktu ia tiba dan merampas senyata si
Bongkok, Hwat Siau dan Swat Moay yang melihat gelagat jelek, terus memberi isjarat
mata kepada Ho Gak dan Ciu Sim-i. Membarengi kesempatan keadaan kacau balau,
mereka berempat segera menyelinap angkat kaki langkah seribu. Oleh karena keadaan
hiruk pikuk, jadi tiada seorangpun yang mengetahui akan tindakan mereka itu. Baru
ketika Kang Siang Yan mencari gerombolan Hwat Siau Itu, orang2 sama mengetahul
kalau mereka sudah lari ngacir.
Demi melihat usahanya gagal, Hwat Siau dan Swat Moay marah.
„Aneh, mengapa Kang Siang Yan tahu kalau kita berada di Giok-li-nia?" tanya Hwat Siau.
„Huh....., masih bertanya! Siapa lagi kalau bukan anak haram yang kau hajar tapi belum
mampus itu. Begitu Kang Siang Yan datang, dia tentu menceritakan semuanya!"
Hwat Siau banting2 kaki, serunya: „Jahanam! Budak Iaki dan perempuan itu tentu masih
berada dihutan sana. Ajuh, kita hajar mereka se-puas2nya!"
Begitulah setelah berunding, keempat orang itu segera menyerbu ketempat Tio Jlang dan
Yan-chiu di sana.
(Bersambung Ke Bagian 51)
BAGIAN 51
DITOLONG LINTAH

Kini kita tengok keadaan Tio Jiang den Yan-chiu ketika masih berada dipondok. Setelah
beristirahat sekian lama. Tio Jiang coba mengambil napas salurkan jalan darahnya.
Peredaran darahnya dapat berjalan baik, tapi tenaganya tetap masih letih sekali. Bagian
yang tertutuk oleh Hwat Siau tadi, rasanya sakit membara. Dalam rambangannya
(ocehan) itu, sebentar Yan-chiu menangis, sebentar tertawa, Sebalik dari dihibur, Tio
Jiang malah terpaksa menghibur.
Menyelang tengah malam, tetap keduanya masih belum dapat tidur. Dalam kebatinan,
Yan-chiu merasa puas kalau mati didamping sukonya. Dan ah...., mengapa tak ia
tuturkan sejujurnya tentang peristiwa „pertunangan" sukonya dengan sucinya itu. Tapi
ai....., bagaimana ia hendak memulainya? Kedengaran ia menghela napas.
„Ah, Lian-suci ternyata juga seorang yang setia akan kekasihnya!" coba2 ia mencari jalan
dalam pembicaraan. Tapi ternyata Tio Jiang hanya mendengus saja, tanpa. menyahut
apa2.
„Suko, dalam hatimu, kau tentu mempersalahkan suci yang kau anggap melanggar janyi
pertunangan, bukan?" Tetap Tio Jiang tak menyahut.
„Ai....., sungguh cepat nian jalannya waktu. Kini sudah hampir 2 tahun lamanya. Malam
itu bukankah kau tengah terluka berat terkena hantaman thiat-sat-ciang sikepala gundul
dari Ci Hun Si?"
Terkenang akan periatiwa yang getir itu, hati Tio Jiang merasa pilu. „Siao Chiu, yangan
ungkat perkara it* lagi!"
Yan-chiu tertawa menyeringai. Se-konyong2 ia kencangkan tenggorokannya lalu
menirukan nada suara „Bek Lian" ketika berjanyi pada malam pertunangan itu: „Aku
berjanyi suka menyadi isterimu, tenang2lah beristirahat supaja lekas sembuh! Kata Kiau-
susiok, kau telah makan 4 butir pil sam-kong-tan......." Tapi baru ia menirukan sampai
disitu, serentak bergeliatlah Tio Jiang untuk duduk dan membentaknya: „Siao Chiu !"
„Mengapa?" bantah Yan-chiu. Kata2 yang diucapkan tadi memang persis seperti yang
dikatakan „Bek Lian" pada malam itu, suatu detik yang berkesan lekat dalam lubuk
kenangan Tio Jiang. Sudah tentu dia tak mau mengingat hal2 yang menyakiti hati itu.
Dan saking marahnya karena perbuatan sumoaynya itu, dia tak dapat menyahut
pertanyaan Yan-chiu itu.
„Ah...., suko...., suko....!" Yan-chiu menghela napas, „kau tentu masih menganggap
bahwa yang berjanyi sanggup menyadi isterimu itu Lian suci, bukan? Malam itu, ia tak
berada disitu tapi mengikut suhu ke Kwiciu untuk mencari berita. Yang merawat lukamu,
yang kau tanyai apakah suka menyadi isterimu tidak itu, bukan lain jalah aku!"
Tio Jiang seperti dipagut ular kejutnya. „Siao Chiu, apakah kau bicara benar? Atau
karena kuatir hatiku terluka, kau lantas mengatakan begitu?" tanyanya.
„Aku seorang yang dalam sebentar lagi akan meninggal, perlu apa harus
membohongimu?" kata Yan-chiu terus mengeluarkan sepotong ko-giok (batu kumala)
dari bajunya. Seperti diketahui, kumala itu waktu ia kalah judi dirumah perjudian si Oey
Bi-long dikota Bo-bing-hian pernah diambil oleh pemilik rumah perjudian itu. Tapi ketika
terjadi ribut2 ia berhasil mengambilnya kembali.
„Coba lihatlah, benda apa ini?". tanyanya sembari serahkan kumala itu pada sukonya.
Kini barulah Tio Jiang sadar mengapa Bek Lian dan Kang Siang Yan menyangkal
terjadinya pertunangan itu. Serasa hatinya menyadi rawan: „Ah, kiranya Lian suci tak
pernah menyukai aku! Aku sendirilah yang gila basah!"
„Dari awal sampai achir, ia hanya mencintai The Go seorang," Yan-chiu menambahi,
„sejak The Go digebah pergi oleh Kiau-susiok, suci seperti kehilangan semangat. Kau
sendirilah yang tolol!"
Kini Tio Jiang berbalik dapat tertawa, ujarnya: „Siao chiu, bicara terus terang, sudah
sejak tahun yang lalu demi mengetahui sepak teryang Lian-suci yang sedemikian itu,
hatikupun sudah tawar kepadanya!"
Masih Yan-chiu tak mengetahui perasaan Tio Jiang yang sebenarnya. Ia tetap mengira,
sukonya itu tak tahu akan perasaannya (Yan-chiu) dan tetap menyintai sucinya. Memang
ia lupa akan sifat2 Tio Jiang yang serba jujur itu, tak seperti Cian-bin Long-kun yang
achli mencumbu raju. Beberapa kali Yan-chiu secara halus menyatakan perasaan
hatinya, tapi selama itu tampaknya Tio Jiang tetap tak mengerti. Dan inilah yang
membuat Yan-chiu kepada kesimpulan bahwa sukonya itu masih tetap terkenang akan
Bek Lian.
Maka demi mendengar pernyataan Tio Jiang tadi, ia setengah kurang percaja. „Benarkah
itu? Mengapa?" ia menegas.
Tio Jiang berpikir sejurus, menyahut: „Kuanggap ..... kuanggap sejak turun dari gunung,
sepak teryang Lian suci itu, tak memenuhi angan2ku. Ia bertindak bertentangan dengan
ajaran2 petuah orang hidup yang diweyangkan."
Dengan susahnya barulah Tio Jiang dapat menguraikan apa yang terkandung dalam
hatinya. Hati Yan-chiu serasa girang mendengarnya. Tapi demi teringat bahwa hidupnya
hanya tinggal beberapa hari 1agi, ia merasa resah juga. Ingin benar ia, mencurahkan isi
hatinya seketika itu, karena pikirnya, itulah kesempatan terachir yang se-bagus2nya.
Tapi mengingat sukonya itu buta cinta, ia kuatir yangan2 malah menerbitkan salah
faham nanti. Maka dengan mengigit gigi, ia tahankan lidahnya.
Sebaliknya karena melihat ia diam saja, Tio Jiang tampak merenung. Diam2 dia meneliti
bahwa dalam ucapan sumoaynya itu terselip sesuatu yang aneh. „Astaga, kiranya ia
diam2 mencintai aku?" katanya dalam hati.
Tapi sekalipun kini dapat dia merabah hati sang sumoay, namun tetap mulutnya tak mau
menanyakannya. Dia hanya berdiam diri saja. Kala itu malam sudah jauh larut. Suasana
disekeliling situ ditelan oleh kesunyian lelap. Kedua anak muda itu masih berkelap kelip
matanya, memandangi sumbu lampu yang memancarkan cahaja. Yan-chiu menghela
napas, tapi tiba2 terdengar ada orang berkata2 diluar rumah: „Mengapa tengah malam
buta begini, rumah ini masih ada penerangannya2 Ajuh, kita periksa!"
Menyusul ada beberapa suara orang mengiakan. Tio Jiang dan Yan-chiu kaget dibuatnya.
Malah serentak Yan-chiu sudah loncat bangun, melihat kesana sini. Demi dilihatnya
dibagian belakang pondok itu terdapat sebuah jendela, buru2 ia berseru: „Suko, ajuh kita
merajap keluar jendela itu!"
Tio Jiang juga menginsjafi bahaja yang bakal dihadapinya itu. Dengan sekuat usaha dia
merajap jendela itu. Baru saja dia jatuh keluear jendela, atau disebelah luar mana sudah
terdengar orang mengetuk pintu.
Mengapa kedua suko sumoay begitu ketakutan? Kiranya suara orang yang didengarnya
itu adalah suara Hwat Siau. Cukup mereka sadari, sekalipun tidak dalam keadaan
terluka, masih mereka tak mampu melawan momok itu. Maka jalan satu2nya, jalah
melarikan diri. Untunglah disebelah luar jendela itu merupakan semak rumput, jadi
waktu Tio Jiang jatuh tadi tak sampai mengeluarkan suara apa2. Mereka lalu merajap
disepanjang halaman rumput. Bang....., bang...., terdengar pintu dihantam orang.
Oleh karena lukanya ringan, jadi Yan-chiu dapat merajap lebih cepat. Sedang baru
merajap 3 tombak jauhnya, napas Tlo Jiang sudah ter-sengal2. Yan-chiu makin gelisah
dan kembali didengarnya Hwat Siau berseru keras: „Tempat pembaringan ini masih
terasa hangat, terang orangnya masih belum jauh. Entah siapa mereka itu, tapi yang
paling perlu kita ringkus dulu!"
Mendengar itu Tio Jjiang segera suruh sumoaynya lari iebih dahulu: „Siao Chiu, lekas
lari dahulu. Aku terluka parah......tak dapat bergerak lagi!"
„Suko, mengapa kau selalu berpikir demikian. Selalu tak mengerti bagaimana orang
orang ichlas untuk mati disampingmu!"
Sampai sekian besarnya, belum pernah Tio Jiang mendengar ada seorang wanita begitu
mesra terhadap dirinya. Lelaki manakah yang takkan besar hatinya, kalau mendengar
ada seorang gadis mengucap kata2 begitu terhadapnya? Sesaat hati Tio Jiang serasa
bahagla dan kekuatannyapun bertambah. „Tidak, Siao Chiu! Kita akan hidup ber-sama2.
Belumlagi jatuh ketangan musuh, mengapa kau ucapkan kata2 'mati?" serunya
kemudian.
Tukar menukar pernyataan itu, melebihi seribu kata yang manis. Memang kebahagiaan
yang murni itu terletak pada kesederhanaan. Segala yang berkilau itu belum tentu emas
adanya. Memang kena betullah ujar yang mengatakan begitu itu. Gaja lahirijah yang ber-
lebih2an itu, kebanyakan kosong melompong.
Yang satu mengatakan 'mati ber-sama2' dan yang lain menyatakan 'hidup ber-sama2'.
Adakah lain kata2 lagi dalam kamus-asmara yang lebih sederhana tapi lebih murni
daripada bahasa yang diucapkan oleh Tio Jiang - Yan-chiu itu tadi ?
Tanpa disadari, Yan-chiu tarik tangan sukonya untuk diajak merajap pe-lahan2. Kira2
setombak jauhnya, tiba2 disebelah muka tampak ada cahaja kilauan air. Berpaling
kearah rumah, Yan-chiu dapatkan keempat musuh itu sudah pencarkan diri untuk
mencarinya. Sedang disebelah muka situ ternyata ada sebuah pajau (kolam) besar.
Satu2nya jalan bersembunyi didalam pajau situ. la memberitahukan maksudnya itu
kepada sang suko.
Begitulah keduanya segera benamkan diri kedasar pajau. Tapi sebelumnya, mereka
mencari 2 batang pelepah alang2. Pelepah alang2 yang tengahnya merupakan pipa
berlubang itu, dimasukkan kedalam mulut sedang ujung lainnya dijulangkan keatas
permukaan air. Ini untuk menyalurkan napas dikala mereka terbenam dalam dasar air.
Tak berapa lama berada dalam air, Tio Jiang rasakan pundaknya gatal2 enak. Dan itu
tepat pada bagian lukanya. Tapi dia tak berani bergerak merabahnya karena kuatir
menerbitkan goncangan air.
Kira2 setengah jam lamanya, barulah Yan-chiu berani munculkan kepala dipermukaan
air. Dilihatnya keadaan disekeliling situ sudah sunyi senyap. la duga Hwat Siau berempat
sudah pergl. Tapi baru saja ia hendak berbangkit keatas, tiba2 didengarnya dalam rumah
itu ada semacam suara lagi. Terpaksa ia batalkan niatnya.
Sebenarnya kalau itu waktu Yan-chiu terus lanyutkan niatnya tadi, ia akan selamat tak
kurang suatu apa, karena yang berada dalam rumah itu bukan lain adalah Kang Siang
Yan. Tapi bagaimana Yan-chiu dapat mengetahui hal Itu? Jadi ia tak dapat
dipersalahkan. Baru sejam kemudian, ia berani muncul lagi. Kini Tio Jiangpun ikut
merajap keatas daratan. Tapi demi melihat bahu Tio Jiang, 'berdirilah bulu roma Yan-
chiu. „Suko, lihatlah pundakmu itu!" serunya menyerit.
Pada waktu naik kedarat, tenaga Tio Jiang sudah bertambah, luka yang mengontar-
ngontar dibahunya itupun sudah tak terasa sakit lagi. Maka heran dia dibuatnya
mendengar jeritan sumoaynya tadi. Ketika memeriksa bahunya, diapun bergidik. Kiranya
pada bagian luka dibahunya itu penuh dikerumuni lintah. Bukan seekor dua ekor, tapi
berpuluh2 ekor jumlahnya! Dirangkumnya beberapa ekor, dan nyatalah binatang2 Itu
gemuk2 semua berisi darah. Tio Jiang teringat, bahwa lintah itu dapat mengisap darah,
baik yang beracun maupun tidak. Adakah peracunan darah dari luka yang diberikan
Hwat Siau itu, sudah dihisap habis oleh hinatang2 itu? Dengan kedua tangan, dia
mencabuti habis lintah2 itu Benar lukanya masih bernoda, tapi kini sudah tak sakit lagi
rasanya. Hal itu sangat menggirangkan Tio Jiang, karena tanpa sengaja dia telah sembuh
dari lukanya. Kini dia nyatakan hendak pergi ke Lo-hu-san.
„Suko, yangan ter-buru2 kesana dulu. Temanilah aku pesiar ke-mana2 barang sebari
dua hari saja" buru2 Yanchiu mencegahnya.
„Kenapa?" tanya sang suko.
Tetap Yan-chiu tak mau mengatakan yang sebenarnya, sahutnya: „Aku ingin jalan2
bersamamu. Kalau sudah berada di Lo-hu-san, banyak pekerjaan dan banyak orang jadi
kurang menggembirakan!"
„Siao Chiu, suhu dan lain2 saudara pasti me-nunggu2 kita, mengapa kita seenaknya
pesiar sendiri ?"
Yan-chiu tak dapat mengatakan penderitaannya, jani mengenai jalan darah chit-jit-hiat
yang tertutuk itu. Menurut perhitungannya, kini sudah berjalan 5 hari, jadi jiwanya
tinggal 2 hari lagi. Biarlah dalam hari2 yang terachir Itu, ia puaskan hatinya berada
didamping sang suko. Maka demi mendengar Tio Jiang menolak itu, ia marah2 sembari
banting2 kaki: „Aku belum pernah minta apa2 padamu. Sekarang aku hanya minta kau
mengawani aku barang dua hari saja dan kau sudah menolak!" Sampai disitu hatinya
pilu sekall, katanya pula dengan suara tak lampias: „Mungkin hanya hidup dua hari saja,
apa kau tetap tak mau mengawani aku?" '
Tio Jiang terkesiap, tegasnya: „Siao Chiu, kau mengatakan apa itu?"
Tahu kelepasan omong, buru2 Yan-chiu menutupi, dengan tertawa: „Nasib orang tak
dapat ditentukan. Apa yang terjadi besok hari, kita tak tahu. Ajuh, temanilah aku barang
dua hari saja!"
„Ja, baiklah. Tapi kemana kita hendak pesiar?" achirnya Tio Jiang mengalah.
Yan-chiu berpikir sejenak lalu menyahut: „Ke Kwiciu dulu!"
Hanya ketika Thian Te Hui mengadakan tantangan luitay dengan sam-tianglo gereja Ci
Hun Si tempo hari, Tio Jiang pernah tinggal beberapa hari di Kwiciu. Tapi dalam waktu
itu, dia tak mempunyai kesempatan untuk menikmati tempat2 pemandangan yang indah
dari daerah itu. Subonya (ibu guru) Kang Siang Yan sudah menuju ke Lo-hu-san, jadi
rasanya disana tentu takkan terjadi apa2. Kini Yan chiu berkeras mengajaknya pesiar,
apalagi kini dia tahu sudah bagaimana perasaan hati sumoaynya itu terhadap dirinya,
jadi tak enaklah rasanya untuk menolak. Memang dalam hati kecilnya, diapun
mempunyal suatu 'perasaan' ter-. hadap sumoaynya itu. Hanya saja perasaan itu secara
sadar, tak segelap ketika tempo hari dia membabi buta terhadap Bek Lian.
Kala dia mencintai sucinya, dia hanya dirangsang oleh impian yang muluk2, impian yang
menyadikan dia seperti orang kalap, buta kenyataan, Tapi kini terhadap Yan-chiu, dia
merasakan suatu kebahagiaan hidup yang indah murni. Memang dicinta dan menyinta,
adalah suatu berkah kebahagiaan hidup insani.
Begitulah keduanya segera ajunkan langkahnya menuju ke Kwiciu. Belum lama berjalan,
tibalah mereka digereja Kong Hau Si. Yan-chiu lebih luas pengetahuannya ilmu surat
daripada sukonya. Demi melihat gereja itu, ia segera hentikan langkahnya.
„Suko, gereja Kong Hau Si ini merupakan sumber leluhur dari para siansu dan cousu
yang menyadi soko guru dari dunia persilatan. Ketika Tat Mo Cuncia menginyak daerah
Tiongkok, beliau telah menetap disini. Ilmu pelajaran yang dipancarkan gereja itu,
berkembang sampai 6 jaman, puncak kejajaannya terjadi ketika pada jaman ahala Tong.
Disitu terdapat pula masoleum jenazah Liok-cou (soko guru ke 6) Hui Leng. Berulang kali'
Tay Siang Siansu mengatakan padaku, bahwa sumber ilmu lwekang sakti dari partai
gereja itu, berpokok pada ajaran Liok-cou tersebut. Ajuh, kita masuk me-lihat2!"
Tio Jiang menurut saja. Gereja Kong Hau Si merupakan salah sebuah yang terbesar dari
4 gereja di Kwiciu. Sudah tentu segala apa, baik alat? dan upacara persembahyangan
maupun perhiasan2nya, serba meriah agung. Asap pendupaan selalu ber-kepul2 dari
para pengunyungnya yang tak berkeputusan jumlahnya itu.
Setelah me-lihat2 arca2 dan patung2 dewa yang terdapat diruangan besar, mereka
berdua lalu menuju keruangan sembahyangan yang berada disebelah barat. Tapi baru
berjalan beberapa tindak, tampak para paderi disitu sama ber-lari2 keluar. Berbareng
dengan saat itu terdengarlah seruan berisik dari luar pintu. Para pengunyung yang
tengah bersembahyang, sama menyingkir semua..
„Sicu, harap menyingkir dahulu!" tiba2 ada seorang paderi meminta pada Tio Jiang dan
Yan-chiu.
Yan-chiu kurang senang tampaknya. Ia pura2 tak mendengar dan malah deliki mata
kepada hweshio itu: „Mengapa harus menyingkir?"
„Nona, harap yangan marah. Keluarga Hui-kok-kong hendak bersembahyang kemari!"
sahut hweahio itu dengan mengisak napas.
Mendengar nama • „Hui-kok-kong" (gelar bangsawan) itu, kedua anak muda itu sama
terkesiap heran. „Suko, bukankah Hui-kok-kong itu gelar dari Li Seng Tong?" tanya
sigadis.
Tio Jiang mengiakan.
Ketika Li Seng Tong menakluk pada Lam Beng, kerajaan Lam Beng telah
menganugerahkan pangkat Tong-an-peh (panglima wilajah timur), tapi Li Seng Tong
menolak. Lain Beng menaikkan lagi dengan pangkat raja muda, tapi tetap dia tak mau.
Kerajaan Lam Beng bohwat (tobat) benar terhadap jenderal itu. Ini disebabkan karena
sewaktu menakluk, kekuatan tentara yang dibawa Li Seng Tong itu
jauh lebih kuat dari kerajaan Lam Beng sendiri. Achirnya terpaksalah Lam Beng memberi
gelar Hui-kok-kong (kakek raja yang berjasa besar). Dengan seluruh anak buahnya dia
menyaga wilajah Kwiclu sebelah utara, aehingga dengan demikian untuk sementara
waktu aman tenteramlah kedudukari baginda Eag Lek dikota raja Siau Ging. Oleh karena
mati hidupn ja kerad jaan Lam Beng boleh dibilang tergantung padanya, maka seluruh
menteri kerajaan, rakjat jelata sampaipun kaum gereja sama mengindahkan sekali
kepadanya.
Bahwa seorang pemuda dan pemudi macam Tio Jiang dan Yan-chiu berani memanggll
nama Li Seng Tong, telah membuat hweahio itu ketakutan setengah mati lalu buru2
ngaclr.
Pada saat itu tampak ada sebuah tandu besar berhenti dimuka pintu gereja. Dibelakang
masih ada rerotan tandu2 kecil. Lima orang hamba perempuan ter-sipu2 membukakan
pintu tandu dan memimpin keluar seorang wanita. Melihat siapa adanya wanita agung
itu, tak dapat Yan-chiu mengendalikan tertawanya.
„Kukira siapa, tak tahunya dia! Apakah sekarang dia sudab menyadi nyonya Li Seng
Tong?" tanya Yan-chiu kepada sukonya. „Siapa tahu!" juga Tio Jiang merasa heran.
Siapakah gerangan nyonya bangsawan itu? Ia tak-lain tak-bukan adalah si Lamhay-hi-li
Ciok Siao-Ian. Walaupun pada saat itu ia ditabur dengan pakaian kebangsawanan yang
bertaburkan ratna mutu manikam, tapi dari kerut dahinya, tampak tegas sinar
kedukaan. Setelah masuk kedalam ruangan besar, ia menerima dupa dari seorang
hweshio, lalu komat-kamit entah apa yang didoakan itu,
„Suko, coba terka, ia mendoa apa itu?" tanya Yan-chiu.
„Ah, apa lagi kalau bukan mohon pada Po-sat (dewa) aupaja memberkahi Li Seng Tong
dengan kemenangan!"
Yan-chiu menggeleng, ujarnya: „Kukira tidak begitulah. la mendoa pada Po-sat supaja
membantunya mencarikan Cian-bln Long-kun!"
Ketika mengucapkan kata2 „Cian-bin Long-kun" itu, nada
Yan-chiu agak tinggi. Oleh karena pada saat itu orang2 sama bersembahyang jadi
suasana hening sekali, maka Ciok Siao-lanpun dapat mendengarnya dan terus berpaling
kebelakang. Demi melihat siapa yang berada dibelakangnya sana, tanpa terasa
berserulah ia dengan terkejut girang: „Hai ........" Mulut berteriak, tangan menekan meja
dan tubuhnya terus loncat melayang kearah Tio Jiang dan Yan-chiu.
Sewaktu para dayang sahaja sama terbeliak kaget, ia sudah menghampiri kedua anak
muda tadi seraja mengucapkan tegur salam yang hangat: „Ah, Po-sat sungguh maha
pengasih. Selama setahun ini, aku jarang bersua dengan kaum persilatan. Tak kusangka
hari ini dapat berjumpa dengan kalian disini. Adakah kalian mengetahui dimana .Cian-
bin Long-kun sekarang ini?"
Yan-chiu memandang sukonya, se-olah2 hendak dia katakan „tu lihat, benar tidak
dugaanku tadi."
„Dia berada di Giok-li-nia gunung Lo-hu-san!" sahut Tio Jiang.
Girang Siao-lan bukan kepalang, ujarnya: „Tuhan maha kuasa, tak men-sia2kan harapan
orang!"
„Ciok Siao-lan, The Go itu seorang manusia, yang berhati binatang, bukan orang"
„Ah, kalian benci padanya!" buru2 Siao-lan menukas kata2 Tio Jiang itu „tapi apa yang
kulakukan selama ini rasanya masih ada kelebihannya untuk menebus kedosaannya!"
„Apa yang kau lakukan.?" tanya Yan-chiu.
„Apa kau tak tahu bahwa karena akulah maka Li Seng Tong membalik diri terhadap
kerajaan Ceng? Dia cinta padaku, ini cukup kuketahui. Tapi hatiku hanya pada engkoh
Go seorang. Oleh karena kini sudah kuketahui dimana tempat beradanya, aku tentu akan
mencarinya!" kata Siao-lan dengan bersemangat. Tio JIang dan Yan-ciiiu terkesiap.
Tempo mereka berjumpa dengau Siao-lan digedung Li Seng Tong tahun yang lalu, itu
waktu tentara Ceng tengah dikerahkan untuk mengepung Hoasan. Setelah Hoasan
selesai, Li Seng Tong ditugaskan untuk membasmi kawanan bajak Lamhay (laut selatan)
yang menentang pemerintah Ceng. Ah, disitulah dia berjumpa dengan asigadis hitam
manis itu. Tentu Lamhay hi-li atau gadis nelajan dari Lamhay Ciok Siao-lan Itulah yang
menganyurkan agar jenderal itu dengan seluruh anak tentaranya di Kwiciu, menakluk
pada kerajaan Lam Beng. Apabila Li Seng Tong mau menuruti usulnya itu, Siao-lan rela
menyerahkan diri pada jenderal itu. Sebagaimana telah diketahui, Li Seng Tong yang.
sudah tergila-gila akan sigadis hitam manis itu, telah berpaling haluan terhadap kerajaan
Ceng dan dengan seluruh anak buahnya menakluk pada Lam Beng. Dan kini menyadilah
Ciok Siao-lan nyonya, bangsawan agung Hui-kok-kong Li Seng Tong.
Mimpipun tidak kedua anak muda itu bahwa Siao-lan telah memainkan peranan besar
dalam menentukan nasib kerajaan Lam Beng yang pada hakekatnya sudah senin kamis
menunggu keruntuhannya. Sebagai seorang pejoang kemerdekaan, tergerak hati Tio
Jiang. Dia tahu bahwa nona itu masih tetap mencintai The Go. Bahwa dengan
keberangkatan Kang Siang Yan ke Giok-li-nia, The Go pasti akan mengalami malapetaka
hebat telah membuat Tio Jiang buru2 menganyurkannya: „Kalau pergi lekaslah pergi,
terlambat sedikit saja dia pasti sudah binasa!"
Siao-lan tak mau banyak bertanya lagi. Ia melangkah kemuka tandu untuk mengambil
senyata sam-ko-hi-jat (garu penusuk ikan), kemudian serunya kepada pengawalnya:
„Pulang beritahukan kepada ciangkun (jenderal), bahwa aku pergi!"
Serentak ada dua pengawal menghadangnya. „Nyonya, yanganlah!" serunya mencegah.
Sekali tarik, ia lepaskan baju kebesarannya itu. Kini ia kembali mengenakan pakaian
yang terbuat dari bahan kulit ikan, jalah macam dandanan yang dikenakan seperti tempo
ia masih berada dilautan. Kiranya niat untuk mencari The Go itu sudah lama
direncanakan. Se-waktu2 diketahui tempat tinggal pemuda tambatan hatinya itu, ia
segera akan bertolak kesana.
Sring...., sring...., sring, ia bolang balingkan hi-jatnya. Begitu kedua pengawalnya tadi
menyingkir, ia segera melesat keluar pintu gereja: Gegap gempita keadaan saat itu.
Barisan pengawal segera coba menghadangnya, tapi karena nona hitam manis itu bukan
seorang yang lemah ilmu silatnya, jadi merekapun tak kuasa mencegahnya. Sekejab saja,
siao-Ian sudah lari jauh2.
Melihat kejadian itu, Tio Jiang dan Yan-chiu tak henti2-nya menggeleng kepala.
„Ah......, diluaran sini terlalu berisik, marl kita masuk saja!" ajak Yan-chiu.
Baru membiluk pada sebuah ruangan, ternyata keadaan disitu jauh bedanya dengan
diluar tadi. Suasana disitu hening tenteram sekali. Demikian kedua muda mudi itu
melihat2 keadaan tempat itu untuk beberapa lama. Kalau hati Yan-chiu resah tak
keruan, adalah Tio Jiang tak putusnya menghela napas mengagumi keindahan gereja
agung itu.
Bukan saja pagodanya yang disebut Cian-hud-tha (pagoda seribu arca) serta Lo-han-tong
(ruangan yang penuh dengan arca lukisan para orang gagah), sampaipun barisan pohon
bodi raksasa yang menyulang tinggi mengatapi halaman gereja itu dari sinar mataharl
yang terik, telah membuatnya kagum tak terhingga. Dihala menikmati pemandangan
segala seuatu yang terdapat dalam gereja besar itu, timbullah suatu perasaan lain dalam
lubuk hati Tio Jiang. Serasa dia berada dalam dunia lain yang dilingkupi oleh ketenangan
dan ketenteraman abadi. Jalan punya jalan, tibalah mereka pada eebuah pagoda 7
tingkat yang tinggin ja hampir 2 tombak. Dimuka pagoda itu terdapat plakat yang
bertullskan „Liok-cou gi hwat thak" (menara tempat rambut Liok-cou). Dari situ
membiluk, sampailah pada sebuah dinding tembok. Pemandangan yang terdapat disitu
hanyalah semak belukar rumput yang menyalar liar, merupakan sebuah tempat yang tak
terurus Iagi. Tanpa sengaja Tio Jiang melihat kearah dinding itu dan se-konyong2 dia
tertegun kesima.
„Siao Chiu!" dia meneriaki sumoaynya:
„Ah, disini tak ada apa2nya, ajuh kita pergi saja!" sahut Yan-t jhiu.
„Tunggu sebentar!" seru Tio Jiang sembari melangkah maju kearah dinding. Tiba2 dia
menghantam tepian dinding sebelah atas yang segera gugur sebigian besar.
„Siao Chiu, lihatlah kemari!" seru Tio Jiang sembari menunyuk pada sebuah bagian
dinding. -
Ketika. Yan-chiu menghampiri, dilihatnya pada batu merah dinding itu terdapat ukiran
beberapa huruf kecil dan disebelahnya terdapat lukisan sebatang golok bulan sabit.
„Apa2an ini, ajuh pergi saja!" seru Yan-chiu.
Melihat lukisan golok bulan sabit itu, teringatlah Tio Jiang akan ilmu golok yang
dilihatnya dibatu besar tempat kediaman suku Thi-thing biau digunung Sip-ban-tay-san
tempo hari. Tapi oleh karena tangannya sudah keburu ditarik Yan-chiu, jadi dia tak dapat
menegasi lagi dengan seksama.
Begitu setelah tinggalkan pagoda Gi-hwat-thak situ, kembali mereka, menuju keruangan
Liok-cou-tian. Tiba2 dari arah muka tampak ada lima enam orang berjalan mendatangi,
Hendak Yan-chiu menyingkir, tapi telah keburu dipergoki mereka salah seorang dari
mereka itu segera ajunkan tubuhnya menghadang didepan kedua anak muda itu.
Melihat penghadangannya itu, Tio Jiang menyurut setindak kebelakang sembari
turunkan tubuhnya kebawah. Wut........., dia kirim sebuah hantaman. Tapi orang itupun
gerakan tangannya untuk menangkis. Tio Jiang tak mau adu kekerasan, cepat2 dia tarik
pulang tangannya. Tapi justeru sebelumnya orang itu maju setindak untuk memburunya.
Terpaksa Tio Jiang tarik tangan sumoaynya untuk diajak loncat beberapa tindak
kesamping. Namun lagi2 kawanan orang itu maju mengepung.
„Hwat Siau dan Swat Moay, mengapa kalian selalu hendak mencelakai kami berdua?"
seru Tio Jiang dengan murka.
Memang tak salah kiranya. Orang2 itu adalah Hwat Siau dan Swat Moay, Hek-bin-sin Ho
Gak, Sam-chun-ting Ciu Sim-i dan rombongannya.
„Apa kerja kalian disini?" Swat Moay tertawa sinis.
Oleh karena tak tahu isi yang sebenarnya dari teguran orang itu, menyahutlah Tio Jiang
secara jujur, bahwa dia hanya pesiar me-lihat2 keadaan gereja aging Itu.
„Hem, dikolong langit yang. sedemikian luas kalian tak melulu pesiar, tapi sebaiknya
perlu mengunyungi tempat ini ja?" kembali Swat Moay menyeringai,
„Ada apanya yang dibuat heran?" tanya Tio Jiang.
Swat Moay perdengarkan suara dingin. Ekor matanya melirik kearah Yan-chiu, lalu
mengancam halus: „siao-ah-thau, kalau benar2 kau tak takut mati, yangan bicara
sejujurnya. Apakah benar2 kalian hanya datang pesiar saja?"
Heran Yan-chiu dibuatnya mengapa orang bertanya dan me-negas2 begitu. la pun
menggagah (memandang dengan menantang) pada wanita iblis itu dan balas bertanya:
„Kalau ja bagaimana, jika tidakpun bagaimana?"
Belum isterlnya menyahut, Hwat Siau sudah naik darah. Maju selangkah dia lancarkan
sebuah tamparan. Tio Jiang buru2 menghindar kesamping. Dengan tubuh miring
menurut gerak gaja hong-cu-may-ciu (sigila menyual arak), dia tusuk lambung orang
pada jalan darah te-ing-hiat,
„Ha, mau mengajak berkelahi?" seru Hwat Siau sembari menghindar.
Tio Jiang seorang jujur polos. Terang bahwa dia bukan lawan orang itu, namun tak dapat
dia berbohong main siasat,
„Terserah, berkelahipun boleh!" seru Tlo Jiang sembari tegakkan tubuh. Begitu tangan
kanan dipalangkan kemuka dada, tangan kiri maju mendorong.
Dia jujur, tapi orang menyadi curiga. Memang Swat Moay tak percaja kalau kedua anak
muda itu hanya pesiar saja digereja situ. Maka begitu melihat sikap Tio Jiang keras,
sudah tentu ia makin curiga. Ini memang sudah lazim terhadap orang yang berniat
busuk, Karena takut dicurigai, dia tentu banyak curiga terhadap lain orang. Justeru dia
berjumpa dengan seorang jujur macam Tio Jiang.
Atas dorongan tenaga Tio Jiang yang maha dahsjat itu, Hwat Siau segera menangkis lalu
hendak balas menyerang. Tapi tiba2 dicegah oleh isterinya. Setelah mengetahui
disekeliling tempat situ tiada lain orang lagi, berkatalah Swat Moay kepada Yan-chiu:
„Apakah kalian sudah „menemukan dan apakah rombonganmu segera menyusul
datang?"
Bermula tak tahu Yan-chiu apa yang dikatakan oleh Swat Moay itu. Tapi setelah
direnungkan sejenak, ia mendapat juga sedikit penerangan. Bukan sebulan dua bulan
tapi hampir satu tahun lamanya kedua suami isteri itu membawanya (Yan-chiu)
mengidari seluruh tempat diwilajah Kwiciu. Maksud mereka jalah untuk menyelidiki
adanya harta karun kim-jiang-giok-toh itu. Jadi teranglah sudah kini, kalau mereka tentu
hendak mencari harta karun itu. Dilihat naga2nya, apakah mereka sudah mengetahui
tempat beradanya harta besar itu? Apakah digereja Kong Hau Si sini tempatnya? Ah,
biarlah ia 'bergerak turut tiupan angin' saja.
„Benar, rombonganku sudah datang secara besar2an!" sahutnya.
„Siao Chiu ........!" seru Tio Jiang dengan heran, tapi cepat diberi isjarat mata, oleh
sumoaynya.
Makin keras dugaan Swat Moay. Teriakan Tio Jiang itu diartikan supaja sumoaynya
yangan memberitahukan. Pada hal tidak demikian, karena Tio Jiang sendiripun merasa
heran: „Oo, mereka belum datang bukan?" tanya Swat Moay.
Yan-chiu mendongak tertawa keras, ujarnya: „Benar, tapi kalianpun bakal takkan
mendapatnya!"
„Siao-ah-thau, kalau kubuka jalanu darahmu chit-jit-hiat itu, lalu kau bagaimana?"
tanya Swat Moay, Tio Jiang terbeliak kaget.
„Chit-jit-hiat apa? Siao-chiu, apa jalan darahmu ditutuknya ?"
„Engkoh kecil, benar begitu. Orang yang kau kasihi itu, hanya tinggal 2 hari hidupnya!
Ha....., ha......, kau gelisah tidak ?!"
Teringat Tio Jiang bahwa sejak pertemuannya Yan-chiu paling belakang ini, memang
sang sumoay itu berlaku aneh sikapnya. Ah, jadi demikian halnya. Tak terasa, tubuhnya
mengeluarkan keringat dingin.
„Siao Chiu, ajuh kita lekas menobros keluar minta pertolongan pada suhu!"
Swat, Moay tertawa iblis : „ilmu tutuk pada jalan darah istimewa itu, dikolong jagad ini
hanya kami berdua saja yang kuasa membukanya!"
„Kalau begitu, ajuh bukakanlah!" seru Tio Jiahg dengan serentak.

(Bersambung Ke Bagian 52)


PERANG TANDING

BAGIAN 52.1

Hwat Siau dan Swat Moay tertawa- ter-kekeh2, ujarnya: „Wahai, apakah didunia ini
terdapat hal yang begitu murahnya?"
„Habis, apa maksud kalian?" bentak Tio Jiang dengan gusar.
„Selekas kau katakan dimana letak 'kim-jiang-giok-toh' itu, selekas itu pula akan kubuka
jalan darah siao-ah-thau itu!" Swat Moay menyahut dengan berbisik.
Ucus emas perut permata atau kim-jiang-giok-toh yang dimaksudkan itu, serambut
dibelah tujuhpun Tio Jiang tak tahu sama sekali. Maka terbeliaklah dia. Kala dia belum
dapat menyahut, Yan-chiu sudah menyanggapinya: „Yangan mimpi kejatuhan rembulan!
Yangan lagi tidak tahu, sekalipun tahu, tak nanti kami memberitahukan kepada kalian
bangsa budak Ceng !"
Merah darah muka Swat Moay seperti kepiting direbus. „Kau tidak takut mati, ha?!"
bentaknya.
Yan-chiu tertawa sinis, sahutnya: „Kaulah yang takut mati!!! Kalau tak menemukan 'kim-
jiang-giok-toh' tuanmu pasti takkan memberi ampun padamu !"
Kata2 yang terachir itu, tepat sekali mengenai kandungan hati Swat Moay. Karena lama
sekali Hwat Siau dan Swat Moay bersama ke 18 jagoan didaerah selatan tiada kabar
beritanya, maka Sip-ceng-ong Tolkun segera mengutus Hek-bin-sin Ho Gak dan kawan2
menyusul dengan pesan: lain2 persoalan misalnya gerakan Thian Te Hui dan sebagainya
tidaklah begitu penting. Tapi yang mutlak adalah soal harta karun peninggalan Thio Hian
Tiong itu, harus didapatkan.
Maka dapat dibayangkan betapa gelisah hati kedua suami isteri itu karena Yan-chiu
menolak keras untuk memberitahukan letak harta karun itu. Tapi sebagal kepala jagoan
yang kenyang pengalaman, mereka tetap mengqasai perasaahnya.
„Ratakan Kong Hau Si, pasti akan ketemu. Apanya yang susah sih?" Swat Moay tertawa
dingin.
Tapi mulut Yan-chiu yang tajam itu segera menusukkan lagi kata2 yang pahit: „Disini
adalah daerah kekuasaan kerajaan Tay Beng, mana dapat kalian ber-suka2 sendiri !
Ajuh, kalau benar2 mempunyai kepandaian, mari unyukkanlah !"
Walaupun mulutnya menggarang, namun hatinya tak lepas dari kegoncangan. Tanpa
disangka-sangkanya, perpesiarannya ke gereja Kong Hau Si itu telah mempunyai arti
yang penting. Kiranya gereja agung itu menyadi simpanan dari harta karun yang menyadi
buah bibir setiap orang. Mengingat betapa pentingnya hal itu terhadap kelangsungan
gerakan Thian Te Hui menentang penyajah, Yan-chiu membuladkan tekadnya dan
memperkecil harga jiwanya sendiri.
Swat Moay adalah kepala jagoan yang mempunyai kepandaian tinggi. Tapi dalam
menghadapi keadaan yang sepenting itu, mereka tak berani sembarangan turun tangan.
Jadi kedua fihak sama2 gelisah, yang satu kuatirkan kepandaian fihak lawan, yang
lainpun takut2 kalau rahasia harta karun itu tetap tak diketahuinya.
Pada saat2 kedua fihak berdiam diri, tiba2 dari ujung ruangan sana tampak muncul
seseorang. Mata Yan-chiu yang tajam segera dapat menangkapnya. „Kiau-jisiok!" serunya
dengan girang.
Orang itu mengenakan ikat kepala warna putih hitam, sikapnya gagah dan memang tak
lain adalah Kiau To.
„Siao Chiu, kaupun disini!" iapun segera menyahut dengan gembira. Tapi begitu tampak
Hwat Siau dan Swat Moay berada disini, segera dia kerutkan alisnya.
„Hai, kiranya kedua saudara Song yang 'mulia' juga berada disini!" serunya sembari
mencabut jwan-pian. Tanpa banyak ini-itu lagi, dengan jurus ceng-coa-jut-cui (ular hijau
keluar keair) dan kuay-bong-jan-mo (ular melibat batu), dia segera menghantam kearah
salah seorang dari rombongan Hwat Siau yang berada disamping situ. Orang itu tak
keburu berkelit hingga kakinya kiri kena tergubat. Sekali Kiau To menyentakkan
tangannya, orang itu segera terlempar keatas atap rumah, geluduk....., geluduk......
Berdasarkan dengan suara keras itu, muncullah sekawan hweshio. Demi menampak
Kiau To, mereka segera menegur dengan serempak: „Kiau sicu, ada urusan apa?"
Kiau To dahulu adalah seorang murid hweshio dari gereja Liok Yong Si, jadi banyaklah
para hweshio Kong Hau Si situ yang mengenalnya. Sebaliknya Kiau To pun cukup tahu
bahwa walaupun gereja Kong Hau Si situ menyadi tempat pangkalan menetap Tat Mo
Cuncia, tapi para hweshio gereja situ tiada seorangpun yang mengerti ilmu silat.
„Harap kalian menyingkir saja. Orang2 itu adalah kawanan budak bangsa Ceng, satupun
tak boleh diberi ampun !" sahut Kiau To.
Orang yang dilontarkan keatas atap rumah tadi, memang salah satu dari sisa ke 18
jagoan yang dipimpin oleh Hwat Siau. Dengan munculnya Kiau To, Hwat Siau dan
rombongannya segera menduga bahwa rombongan Thian Te Hui dengan tokoh2nya
seperti Kui-ing-cu, Ceng Bo siangjin, Kang Siang Yan dan lain-lain sudah tiba disitu.
Cepat Hwat Siau bersuit keras selaku tanda, kemudian dengan dipeloporinya dia segera
meneryang kemuka.
Sesaat tangan Hwat Siau menghantam kemuka, Kiau To segera rasakan dadanya sesak
untuk bernapas. Tapi dengan empos semangatnya, Kiau To segera gunakan pangkal
jwanpian (rujung lemas) untuk menutuk jalan darah ki-bun-hiat didada lawan. Hwat Siau
kisarkan tangannya kesamping untuk merebut rujung.
Duapuluh tahun lamanya Kiau To melatih diri dalam permainan ilmu rujung. Jadi rujung
itu se-olah2 menyadi bagian dari tubuhnya yang dapat digerak-goyangkan menurut sang
kemauan. Disempurnakan lagi dengan ilmu rujung Liok-kin-pian-hwat yang kaja dengan
gerak perobahan sukar diduga itu, Kiau To laksana seekor harimau yang mempunyai
sajap.
Gerakan Hwat Siau tadi memang sebat sekali, tapi mana dapat semudah itu dia hendak
merebut rujung Kiau To? Sekali tangan Kiau To menurun, tiba2 rujung yang tegak lurus
itu berobah mendatar untuk menyapunya. Maka betapapun lihaynya kepala jagoan
pemerintah Ceng itu, namun dalam sesingkat waktu tak dapatlah dia lolos darl libatan -
Kiau To.
„Berpencar lolos!" kedengaran dia menyerukan kawannya.
Mendengar seruan itu swat Moay segera mendahului tampil kemuka, tapi Tio Jiang tak
mau membiarkan begitu saja, lalu menghadangnya. Tahu bahwa dirinya bukan lawan
wanita iblis itu, namun Tio Jiang tetap memburunya dengan mati2-an. Yan-chiupun tak
mau berpeluk tangan. Begitu dia, merampas sebatang pentung dari salah seorang
hweshio, ia segera main menyapu,
Ruangan disitu amat sempit. Tatkala Yan-chiu „menari" dengan pentungnya, rombongan
Hwat Siau tak dapat pencarkan diri dan terpaksa terdesak diujung sudut. Dari kawanan
kaki tangan pemerintah Ceng itu, rupanya sam-chun-ting Ciu Sim-i yang paling lincah,
ketambahan pula tubuhnya kate kecil. Seperti kelinci menyusup, dia segera menobros
di-sela2 kawannya dan serta sudah tiba dimuka terus menempur Yan-chiu dengan tan-
to (golok).
Melihat ada lubang kesempatan, Hek-bin-sin Ho Gak enyot tubuhnya keatas. Pada saat2
dia merasa akan dapat mencapai wuwungan atap, se-konyong2 ada deru senyata
mengaum diudara dibarengi dengan kilauan cahaja berkilat. Saking kagetnya buru2 dia
surutkan kepalanya kebelakang, tapi tak urung segumpal rambut kepalanya telah
terpapas. Mendongak keatas dilihatnya ada seorang wanita mencekal sepasang gelang
kim-kong-lun. Gelang itu besar dan kecil, pada kedua lingkarannya, dalam dan luar
terdapat gigi2 yang tajam.
„Siao-ko-ji (engkoh kecil), kemana perginya adikku?" serunya meneriaki Tio Jiang.
Ja, memang wanita itu bukan lain adalah Kim-kong-lun Ciok ji-soh, itu kakak ipar dari
Lamhay hi-li Ciok siao-lan. Melihat itu, Swat Moay makin sibuk. Hantamannya
dilancarkan ber-tubi2, hingga tubuh Tio Jiang menggigil dan saking tak tahannya segera
menyingkir kesamping. Kesempatan itu tak di-sia2-kan Swat Moay. Sesosok bayangan
hitam, berkilap loncat keluar.
Melihat isterinya sudah lolos, Hwat Siaupun segera bernapsu. Tiga-buah serangan dia
lancarkan ber-turut2, Begitu Kiau To terdesak kesamping dia lalu menobros keluar.
Sam-chun-ting Ciu Sim-i mau tiru2. Kuatir dia kalau terpencil sendirian. Tapi ssat itu
Yan-chiu sudah kedengaran menyahut pertanyaan Ciok ji-soh tadi, serunya: „Ciok ji-soh,
lebih dahulu bantuilah kami menghajar kawanan bangsat ini, nanti kukaeih tahu pad-
u!"
Perangai Ciok ji-soh juga keras. Semua 'bajak dari lautan Lamhay sama memakluminya.
Kalau tidak demikian, masakan seorang wanita macam ia, dapat mengepalai keluarga
Ciok untuk merajai lautan situ? Dengan berseru keras, ia loncat turun....... wut.......... ia,
hantam perut dan dada Ho Gak dengan gerak giok-tho-se-seng (kelinci kumala loncat
kebarat).
Orang she Ho yang bermuka tembong itu, pun juga bukan orang lemah. Menyingkir
kesamping, dia sudah siapkan sepasang poan-koan-pit (senyata macam alat pena pit).
Tring......, dideringkannya sepasang pit itu satu sama lain, yang satu keatas yang lain
menurun, masing2 menutuk jalan darah ing-hiang-hiat dan cui-hun-hiat si nyonya.
„Bagus!" seru Ciok ji-soh sembari tangkiskan kim-konglunnya. Tring......, kedua senyata
itu saling berbentur. Seperti diketahui, lingkaran dalam dan luar dari gelang Itu
mempunyai gigi tajam, gunanya untuk mengait senyata lawan. Begitu saling berbentur,
ia segera putar tangannya lalu menarik se-kuat2nya seraja membentak keras2 : „Lepas!"
Tangan Ho Gak serasa kesemutan dan hampir dia lepaskan cekalannya. Tapi sebagai jago
kawakan, dia tak mau menyerah begitu mudah. Dibiarkan saja pitnya itu ditarik, tapi
disamping itu dia gerakkan pit eatun ja untuk menutuk ajalan darah cui-hun-hiat lawan.
Menghadapi gerakan orang yang begitu. lihay, terpaksa Ciok ji-soh tak jadi mengait pit.
Begitu empos semangat, ia mengiear kakinya dalam gerak chit-che-poh (langkah 7
bintang) menghindar. Kemudian ia kembangkan sepasang kim-kong-lunnya untuk
berserabutan menghantang sepasang pit dari Hek-bin-sin Ho Gak yang hendak mengarah
jalan darahnya itu. Begitulah kedua seteru itu terlibat dalam pertempuran seru.
Difihak sana, Kiau To masih heran memikirkan mengapa suami isteri Hwat Siau Swat
Moay itu lari tunggang langgang untuk lolos. Diukur kepandaiannya, terang dia bukan
lawan dari sepasang suami isteri itu. Sesaat dia ter-longong2 dan ketika tersadar dia
segera tumpahkan kemarahannya kepada dua orang dari rombongan Hwat Siau yang
masih berada disitu. Salah seorang dari mereka yang juga bersenyata jwan-pian, coba
berusaha untuk menobros lolos. Tapi sekali membentak Kiau To telah membikin
terkesiap orang itu. Membarengi itu, tahu2 jwan-pian Kiau To menyambar. Orang itu
menyadi gelagapan, lalu gerakkan jwan-piannya untuk menangkis.
Kiau To tertawa dingin. Sekali membalik tangan, dia libatkan jwan-pan ke jwan-pian
musuh. Begitu saling menggubat, Kiau To lalu menariknya kuat2. Orang itu terhujung2
terjerumus kemuka. Sekali Kiau To menghantam kebatok kepala, tanpa bersuara lagi
orang itu sudah tamat riwajatnya. Tapi walaupun mati, orang itu tetap mencekal jwan-
piannya. Dan karena tadi sengaja Kiau To lepaskan jwan-pian untuk menghantam
dengan pukulan tangan, maka jwan-piannya pun masih terlibat pada jwan-pian korban
itu.
Kiau To mengawasi keaekeliling gelanggang. Dilihatnya disana Yan-chiu masih bertempur
seru dengan Ciu Sim-i, sedang Tio Jiang tengah „bergumul" rapat dengan salah seorang
yang bergegaman ho-chin-kao (gaetan tangan). Kiau To keisengan. Tubuh majat orang
yang bersenyata jwan-pian tadi diangkatnya, terus di-putar2 macam senyata untuk
menyerang Ciu Sim-i.
Oleh karena menghadapi Yan-chiu yang hanya bersenyatakan pentung kaju, Ciu Sim-i
berada diatas angin. Tapi baru saja dia hendak laksanakan niatnya untuk menobros
keluar, tiba2 ada angin menyambar dari belakang. Dalam gugupnya dia berpaling
kebelakang, hai, kiranya ada segumpal benda hitam besar melayang kearah dirinya.
Dalam kegugupannya, tak dapat dia meneliti benda apakah itu, karena dia buru2 terus
loncat kesamping. Tapi tepat pada saat itu, pentung Yan-chiu menyapu,
auk......lambungnya kena, sakitnya bukan kepalang, tapi terpaksa dia tahankan dan
terus hendak lari. Tapi pada detik itu, Kiau To menyongsongnya dengan sebuah
hantaman.
Ciu Sim-i gregetan (marah). Dia babat tangan Kiau To dengan goloknya, sehingga Kiau
To terpaksa tarik pulang tangannya. Membarengi itu Ciu Sim-i loncat menobros keluar.
Tapi belum lagi kakinya menginyak tegak diatas Iantai, Yan-chiu sudah memburu tiba.
Sekali sodok, ujung pentungnya tepat mengenai jalan darah tay-meh-hiat dilambung
orang, gedebuk ........ jatuhlah Ciu Sim-i mencium tanah.
„Wah, beglni lho!" berseru Kiau To memuji seraja tunyukkan jempol tangannya.
Yan-tihiu hanya tersenyum pahit, terus menghampiri kearah Tio Jiang untuk mengepung
orang yang bersenyata ho-chiu-kau tadi. Sedang Kiau Topun segera mendekati Ciok-ji-
soh dan serunya: „Tiiok-ji-soh, kau mundurlah!"
„Ngaco!" bentak Ciok-ji-soh seraja deliki mata kepada Klau To. Bukannya terima kasih,
ia masih merasa terhina oleh Kiau To. Sepaeang gelang kim-kong-lun diputar makin seru.
Setiap gerakannya merupakan gerak serangan yang hebat. Oleh karena Ho Gak tiada hati
untuk melawan sungguh2 hingga terlibat lama disitu, maka sibuk juga dia kini
dibuatnya.
„Ai....., terhadap bangsa budak macam begini, tak usah pakai rasa sungkan memegang
teguh kesopanan persilatan lagi. Dapat satu kita bunuh satu!" seru Kiao To melihat
kesempatan sebagus itu. Dan tanpa menghiraukan perasaan Ciok ji-soh lagi, dia segera
julurkan jwan-piannya macam eeperti pit untuk menutuk jalan darah jip-tong-hiat
dipunggung Ho Gak.
Jip-tong-hiat, merupakan jalan darah berbahaya dari tubuh orang. Ho Gakpun cukup
mengetahuinya. Tapi celakanya, dia sedang diburu oleh Ciok ji-soh. Dengan sepasang
gelang roda yang bergigi tajam, nyonya itu seperti orang kerangsokan setan, hingga dia
tak dapat menghindar dari tutukan Kiau To tadi. Huk....., jantungnya serasa berhenti
berdetak ketika ujung rujung Kiau To tepat mengenai jalan darah berbahaya itu. Tanpa
kuasa lagi, tubuhnya terjerembab jatuh kemuka. Justeru pada saat itu Ciok ji-soh tengah
lancarkan serangan thui-jong-ong-gwat (mentiorong jendela melihat rembulan). Separoh
bagian lebih dari kum-kong-lun telah bersarang didada Hek-bin-sin Ho Gak. Darah
menyembur keluar dan jiwanyapun melayang keacherat.............
Waktu membantu sukonya tadi, Yan-chiu sudah lantas gunakan ilmu gong-chiu toh-peh-
jim (dengan tangan kosong merampas senyata musuh). Ilmu itu ajaran dari Tay Siang
Siansu, terdiri dari 6 jurus. Orang itu kesima heran melihat Yan-chiu „menari", tapi pada
lain saat dia segera menyadi gelagapan ketika tahu2 senyatanya ho-chiu-kau pindah
ketangan sinona.
Sebenarnya tak tahu Yan-chiu akan ilmu permainan senyata ho-chiu-kau itu. Tapi demi
melihat bentuk senyata gaetan itu, kecuali ujung melengkung dan berbentuk seperti
bulan sabit, hampir menyerupai dengan pedang biasa, maka begitu merampas segera
pindahkan ho-chiu-kau itu ketangan kiri (ilmu pedang boan-kang-to-hwat ajaran Kang
Siang Yan dimainkan dengan tangan kiri). Sekali ia lancarkan gerak kut-cu-tho-kang,
ujung ho-chiu-kau itu sudah menowel betis orang itu. Berbareng pada waktu itu, Tio
Jiang telah merangsang dengan salah satu jurus hong-cu-may-ciu yang disebut
„keringkan lagi 3 cawan". Jalan darah tay-kay-hiat orang itu terkena tutukan Tio Jiang.
Sedang membarengi dengan itu Yan-chiu susuli dengan sebuah hantaman. Tak ampun
lagi dada orang itu menyadi „amblong"
Jadi hanya dalam waktu setengah jam, 4 orang jagoan rombongan Hwat Siau telah ber-
turut2 dikirim keachirat. Teringat bahwa dirinya telah menyadi korban dari siksaan Hwat
Siau dan Swat Moay, Yan-chiu tumpahkan kebenciannya kepada Ciu Sim-i. Dengan
mencekal ho-chiu-kau ia berlari2an menghampiri Sam-chun-ting Ciu Sim-i, lalu hendak
mengeraplang batok kepalanya. Tapi buru2 dicegah Kiau To: „Siao Chiu, yangan!"
„Kenapa?!" tanya Yan-chiu...... Tinggalkan sebuah mulut yang dapat kita tanyai
keterangan!" sahut Kiau To.
Yan-chiu mengiakan. Setelah mengambil napas sejenak, baru dia bertanya pula: „Kiau-
jisiok, bagaimana kau bisa tiba kemari?"
„Ah, panjang nian ceritanya!" sahut Kiau To. Dia pesan para hweshio disitu supaja
mengurusi korban2 tadi, kemudian dengan sebelah tangan dijinyingnya tubuh Ciu Sim-
i kekamar hweshio. Disitu barulah dia menuturkan apa yang terjadi di Giok-li-nia.
Mendengar bahwa kedua kaki The Go sudah dikutungi, Tio Jiang dan Yan-chiu menghela
napas. Bukan karena kasihan pada si Cian-bin Long-kun tapi karena turut memikirkan
perasaan Ciok Siao-lan apabila tiba di Giok-li-nia dan menampak keadaan sang kekasih.
Ah, betapa pilu hati nona hitam manis itu !
„Ah, biarlah budak itu hatinya tergujur air dingin!" ujar Ciok-ji-soh.
Kiau To buru2 menanyakan halnya dan diapun turut menghela napas setelah tahu
peraoalan Ciok Siao-lan itu. Yan-chiu dan Tio Jiang masing2pun menceritakan
pengalamannya selama itu. Teringat akan kejadian yang menimpa diri Yan-chiu, dengan
air mata ber-linang2 berkatalah Tio Jiang: „Siao Chiu, apakah kau benar2 hanya tinggal
3 hari saja hidup? Ah, kukira kau hanya bergurau saja !"
Yan-chiu tertawa getir. „Tiga hari terus menerus selalu didampingmu, cukuplah sudah
rasanya. Apa yang patut disedihkan?" Mulutnya mengucap begitu, tapi hati Yan-chiu
hancur di-remas2.
,,Kalau demikian halnya, 'kim-jiang-giok-toh' itu tentu berada dalam Kong Hau Si sini!
Belasan ribu saudara di Lohu-san telah minta tolong pada kerajaan Lam Beng, tapi raja
rupanya tak menghiraukan. Sebenarnya kita masih ada setitik harapan untuk minta
bantuan Li Seng Tong. Namun disebabkan soal Ciok Siao-lan, dia tentu timpahkan
kemarahannya kepada kita. Kini masih pentinglah artinya harta karun itu bagi gerakan
kita!" Kiau To alihkan pembicaraan. „Walaupun lolos, tapi dipercaja Hwat Siau dan Swat
Moay itu tentu kembali kesini lagi. Entah apakah mereka juga sudah mencium bau
tentang tempat harta karun itu?" ujar Tio Jiang.
-82
„Ah, mudahlah!" sahut Kiau To terus memijat lambung Ciu Sim-i hingga yang tersebut
belakang itu mengerang kesakitan. Tapi setelah Kiau To menampar mulutnya, orang itu
tak berani berteriak lagi.
„Sebenarnya dimanakah letak kim-jiang-giok-toh itu, ajuh lekas bilang!" bentak Kiau To.
„Di Kong Hau Si sini, tapi entah terletak dibagian mana!" sahut Ciu Sim-i. "
„Huh, masih berani membangkang!" kembali Kiau To membentaknya dengan bengis.
„Kau tentu menyikaa aku, kalau benar tahu sungguh2 mengapa aku tak mau
mengatakan?" sahut orang she Ciu itu dengan wajah minta dikasihani.
Melihat itu, Tio Jiang segera menyela: „Tadi Hwat Siau dan Swat Moay mau membajar
jiwa Yan-chiu asal ditunyuki tempat harta itu. Jadi terang mereka belum tahu juga.
Ah......., alangkah baiknya kalau kita mengetahui tempat tempat itu! Sungguh kurela
menukarkan rahasia tempat itu dengan jiwa Yan-chiu, asal ia bisa hidup terus!" Kiau To
juga merasa sayang tak tahu tempat itu. Sebaliknya Yan-chiu tak setuju.
„Kiau-jisiok, suko, kalian ini bagaimana? Dengan mendapatkan harta karun itu, belasan
saudara Thian Te Hui akan mendapat ransum cukup dan dapat menahan serbuan
tentara Ceng ke Kwiciu. Bukantah jutaan rahajat akan tertolong? Pantaskah selembar
jiwaku ini berharga lebih dari sekian banyak orang?"
Kiau To dan Tio Jiang pilu mendengarnya. Memandang kewajah sinona itu, sifat ke-
kanak2-annya masih jelas kelihatan. Tapi bahwasanya ia dapat mengucap kata2
sedemikian luhurnya itu, tentulah buah gemblengan Ceng Bo siangjin.
Su Go-hwat, Bun Thian-siang dan lain-lain pahlawan, dijunyung dan diagungkan karena
memiliki sifat2 ksatryaan yang luhur. Namun kalau teringat akan diri sinona yang masih
begitu muda-belia, kedua orang itu tak tega melihati ia sampai binasa.
Tanpa terasa butiran air mata ber-ketes2 turun dari pelapuk mata Tio Jiang. Lama
kelamaan, Yan-chiupun tak kuasa lagi menahan kesedihannya. Ia segera jatuhkan
kepalanya kedada sang suko dan pecahlah sedu sedannya mengiring hamburan air
matanya ..........
Hai, sudahlah yangan menangis. Aku tak percaja kalau dikolong dunia ini tiada orang
yang dapat membuka jalan darahmu itu. Lebih perlu berusaha menolong jiwanya
daripada mati2an mencari harta itu!" seru Ciok ji-soh. Ia seorang wanita keras, tapi
menghadapi suasana yang sedemikian merawankan, iapun tak tega.
„Andaikata kita berhasil menemukan harta itu, kita rela membagi separoh bagian asal
Hwat Siau mau menolongi jiwa Yan-chiu. Rasanya kalau Bek-heng berada disini, diapun
tentu akan memutuskan begitu!" kata Kiau To. Dia hanya turuti perasasn hatinya
terhadap Yan-chiu. Seorang macam Hwat Siau dan Swat Moay, mana mau diberi separoh
bagian saja? Bukantah dengan begitu Thian Te Hui akan tetap berdirl?.
Achirnya karena tak dapat memikir lain daja, Tio Jiang menanyakan tokoh2 achli tutuk
yang termasjhur didunia persilatan.
„Sudah tentu Ang Hwat cinyin dari Ang Hun Kiong. Tapi tempat itu sedemikian jauhnya,
kira2 perjalanan 3 hari baru sampai kesana!" sahut Cio ji-soh.
Kiau To menghela napas, ujarnya: „Ang Hun Kiong sudah diledakkan oleh kaki tangan
pemerintah Ceng. Ang Hwat cinyin entah menghilang kemana. Sedang suhuku juga tak
ketahuan beradanya. Kedatanganku ke Kong Hau Si ini, juga mencarinya. Ah....., hanya
3 hari waktunya!"
„Habis, bagaimana nih!" dalam kecemaean Tio Jiang sampai tak lampias suaranya.
„Ai, sudahlah, usah ribut2! Mati hidupku ini tak penting, yang terutama kita harus
berusaha mencari tempat harta itu!" ujar Yan-chiu dengan tenang. Ketenangan itu
diperoleh selama hampir satu tahun ia dicengkeram oleh Hwat Siau dan Swat Moay itu.
Rupanya peringatan itu menyadarkan Kiau To dan Tio Jiang. Memang adakah nantinya
harta itu diangkut semua ke Lo-hu-san atau untuk barter dengan nyawa Yan-chiu, tapi
yang perlu harta itu harus diketemukan dulu! Lebih dulu Kiau To menutuk jalan darah
si Ciu Sim-i, kemudian dia menanyai keterangan pada hweshio yang sudah puluhan
tahun tinggal di Kong Hau Si situ. Tapi mereka semuanya sama menggeleng tak tahu.
Hanya Ti-khek-ceng (hweshio penyambut tetamu) mengatakan bahwa ada belasan orang
datang menginap digereja situ sampai hampir 3 bulan lamanya. Bertalian dengan harta
karun itu, kini hweshio itu baru timbul kecurigaannya terhadap orang2 itu. Tapi pada
hakekatnya, Kiau To tak dapat pengunyukan apa2 dari keterangan itu. Dia pesan pada
hweshio bagian pengurus gereja, bahwa kalau terjadi apa2 yang mencurigakan, supaja
lekas2 memberitahukan padanya. Setelah itu Kiau To lalu ajak kedua anak muda itu
kembali kedalam kamar. Begitupun Ciok ji-soh.
„Rombongan orang yang disebut oleh Ti-khek-ceng itu, tentulah membawa barang2
berharga. Karena simpanan harta itu disebut kim-jiang-giok-toh, maka tentu berada
didalam patung. Setiap patung arca besar kecil harus kita periksa. Ajuh, kita berpencar
mencarinya, masakan tak dapat?" Yan-chiu mengobarkan semangat yang disambut,
dengan baik oleh ketiga kawannya.
Tapi baru mereka hendak bergerak, tiba2 terdengar orang hiruk pikuk berteriak2: „Ada
pencuri! Ada pencuri!"
Ketika keempat orang itu keluar menanyakan, ternyata diloteng tempat penyimpan kitab2
(perpustakaan) telah terjadi pencurian sejumlah besar kitab2 gereja. Dugaan bahwa Hwat
Siau dan kawan2 tentu tak mau sudah dan kini coba2 men-cari2 diruang perpustakaan
itu, diakui kebenarannya oleh keempat orang itu.
Sedemikian besarnya gereja Kong Hau Si itu tapi sedemikian kecil jumlah mereka
berempat. Walaupun Hwat Siau dan Swat Moay, hanya dua orang, tapi mereka berempat
terang bukan tandingannya. Namun kalau melapor ke Lo-hu-san, berarti akan kurang
seorang tenaga lagi. Karena keadaan sangat mendesak, achirnya diputuskan mereka
akan berjoang mati2an untuk berebut dengan lawan. Sudah tentu dalam perebutan itu
tak terbatas pada ilmu silat saja, tapi pun harus mengandalkan kecerdasan otak. Artinya
siapa yang lebih dahulu menemukan tempat harta itu, dialah yang menang.
Begitulah tanpa terasa tahu2 hari sudah malam. Setelah mengisi perut, mereka lalu
mulai berpencar mencari. Nanti tengah malam akan balik berkumpul lagi diruangan situ.
Kiau To lebih faham akan keadaan gereja situ, maka dia segera membentangkan peta
letak seluruh tempat gereja itu kepada Tio Jiang bertiga. Dia sendiri lalu berniat hendak
menyelidiki ruang Tay-hiong-po-tian, Ciok ji-soh ke ruang Ka-lan-tian yang terletak
disebelah jendela timur dari Tay-hiong-po-tian, Yan-chiu keruang Lo-han-tong sedang Tio
Jiang menyelidiki Swi-hud-kek, Hong-boan-tong. dan lain-lain. Apabila berpapasan
dengan musuh dan perlu bantuan supaja bersuit. Habis mengatur pembagian tugas,
mereka berempat mulai bekerja.
---oo0oo---
Pertama, marilah kita ikuti Kiau To.
Tiba diruang Tayhiong-po-tian, didapatinya penerangan disitu masih terang benderang,
asap dupa ber-kepul2. Para hweshio tengah melakukan latihan sembahyang dan
membaca kitab. Dikedua sisi arca Hud (Buddha) yang besar, ber-jajar2 para hweshio.
Suara bok hi (dua potong kaju alat sembahyang), kedengaran berbunyi terus menerus.
Dengan ber-indap2 Kiau To segera enyot tubuhnya keatas altar (persada) kaju yang
berada dikedua samping dari 5 paturig malaekat. Patung malaekat itu menurut cerita
Hong Sin, adalah keempat saudara jakni Mo Le-hong, Mo Le-ceng, Mo Le-hay dan Mo Le-
siu. Setelah meninggal, mereka dijadikan malaekat oleh Kiang Cu Ge, masing2 ada yang
membawa pedang, pipeh (harp), pajung dan ular yang melambangkan kegarangan
senyata, kehalusan musik, kebesaran alam (hujan) dan ketaatan. Pada setiap gereja
besar, tentu terdapat keempat malaekat penyaga itu. Sebelum gereja Kong Hau Si
menderita kerusakan akibat pendudukan serdadu2 yang berperang, keempat patung
malaekat kim-kong Itu tak kurang dari 2 tombak tingginya.

GAMBAR 95
Dengan ber-indap2 segera Kiau To melompat kepanggung arca itu buat
memeriksa patung2 yang disangka tempat penyimpanan harta karun itu.

Ketika tangan Kiau To agak keras menekan, maka terasalah patung itu berguguran. Dia
mengira kalau patung2 itu terbuat dari tanah, tapi ketika diketuknya dengan jari ternyata
suaranya seperti kaju. Terang kalau disitu tiada terdapat sesuatu apa. Begitulah dalam
sekejab saja, keempat patung telah diperiksanya dengan teliti. Perbuatan itu dilihat juga
oleh beberapa hweshio, tapi mereka tak berani mencegahnya karena diperingatkan oleh
Kiau To.
Patung besar kecil seisi ruangan situ itu habis diperiksa, seluruhnya, tapi tiada terdapat
sesuatu apa. Ketika dia hendak berlalu, tiba2 terlihat ada salah seorang hweshio
tundukkan kepala hingga sampai mengenai dada. Oleh karena yang lain2 tak begitu,
maka timbullah kecurigaan Kiau To. Tapi dalam suasana seperti itu, tak dapatlah dia
bertindak secara gegabah, memeriksa muka orang selagi para hweshio tengah
bersembahyang. Maka lebih baik dia dekati saja. Tapi baru saja berjalan beberapa tindak,
hweshio tadi sudah melenyapkan diri. Kejut Kiau To tak terhingga. Hwat Siau dan Swat
Moay masih belum tinggalkan tempat itu, kalau saja hweshio itu tadi penyaruan salah
satu dari mereka, wah tentu repot juga.
Cepat Kiau To melangkah keluar untuk menuju keruang Ka-lan-tian. Disitu tampak Ciok
ji-soh tengah berdiri dibahu sebuah arca Buddha. Kiau To memberi peringatan dengan
bisik2 bahwa Hwat Siau dan Swat Moay menyaru jadi hweshio. Setelah itu dia ber-gegas2
menuju keruang Lo-hantong untuk memberitahukan juga pada Yan-chiu.
Ruang Lo-han-tong itu terletak di-tengah2 gereja situ. Begitu masuk, Kiau To dapatkan
suasana disitu agak luar biasa. Penerangannya suram, sedang patung Kim-lo-han yang
terdapat disitupun aneh tampaknya. Tapi Yan-chiu tak kelihatan bayangannya. „Siao
Chiu, Siao Chiu!" bisiknya memanggil nona genit itu sembari mengelilingi ruangan
tersebut. Tapi tiada penyahutan sama sekali.
„Huh, kemana perginya budak perempuan itu?" Kisu To ber-sungut2. Baru dia hendak
tinggalkan ruang itu, tiba2 serasa ada angin dingin menyambar. Dan berbareng itu,
terdengar suara „bluk......" dan padamlah ruangan Lo-han-tong itu menyadi gelap gelita.
Sudah tentu Kiau To gelagapan. Terang kalau perbuatan itu bukan Yan-chiu yang
melakukan tapi kemungkinan besar tentu Swat Moay atau Hwat Siau. Lekas2 dia
menyelinap kesamping, bersembunyi dibelakang patung Lo-han. Sekejab saja matanya
sudah menguasai keadaan disitu dan samar2 tampak ada sesosok bayangan hitam loncat
kian kemari ber-putar2. Gerakannya sebat sekali. Entah 2pa yang dilakukan-nya itu.
Kiau To biarkan saja kejadian itu berlangsung sampa3 sekian saat. Se-konyong2 diluar
ruangan sana terdengar derap kaki. Tiba diambang pintu, terdengarlah suara seruan
„......hi" Dari nada suaranya, itulah Yan-chiu. Mendengar itu bayangan tadi buru2
melesat bersembunyi dibalik salah sebuah patung lainnya. Tersirap darah Kiau To
menyaksikan hal itu. Kalau saja Yan-chiu masuk, terang ia bakal celaka. Baru dia (Kiau
To) mengambil keputusan hendak nyalakan api lampu tiba2 terdengar orang berseru:
„Yangan lari!"
Yan-chiu tak jadi masuk, tapi dalam pada itu diatas genteng terdengar suara inyakan
kaki orang. Kiau To kuatir kalau2 terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan. Sesaat dia
sudah terus hendak menyusul keluar tapi pada lain saat ter-kilaslah dalam pikirannya
yangan2 didalam ruangan situ benar2 terdapat sesuatu rahasia, maka dia urungkan
niatnya dan menantikan perkembangan selanyutnya. Tapi hampir setengah jam lamanya,
tetap keadaan masih sunyi2 saja. Kalau tak mengingat betapa gawatnya urusan itu, turut
perangainya, tadi2 dia tentu sudah memberosot keluar.
---oo0oo---

(Bersambung Ke Bagian 52.2)


PERANG TANDING

BAGIAN 52.2

Kita, tinggalkan dulu Kiau To dan marilah kita ikuti Ciok ji-soh. Setelah mendapat kisikan
dari Kiau To, Ciok ji-soh lalu tinggalkan ruangan situ menuju keruang Liok-cou-tian.
Begitu masuk, ia terpesona melihat patting Liok-cou yang terdapat diruangan situ.
Arca Hui Leng, Liok-cou (soko guru angkatan ke-6) dari agama Buddha yang terbuat
daripada bahan tanah liat, sudah banyak kali Ciok ji-soh melihatnya diberbagai gereja.
Tapi yang mirip seperti „hidup", baru sekali ini ia menyaksikannya. Tulang belulang dari
tubuhnya yang sedemikian kurus, sebuah demi sebuah tampak dengan nyatanya.
Sedang matanyapun tampak ber-kilau2an memandang kearahnya: Walaupun sudah
banyak pengalamannya sebagai kelana dunia persilatan, namun Ciok ji-soh tetap seorang
wanita yang percaja akan agama. Melihat keangkeran Liok-cou tersebut, iapun
merasakan kerendahan hati. Maka serta merta ia membungkuk memberi hormat dengan
chidmat, serunya: „Siao-li-cu Ciok ji-soh, apabila terdapat kesalahan2 terhadap Posat,
sudilah memberi ampun !" "
Habis berdoa, baru ia berani mendekati untuk menusuk dengan jari. Astaga, benar2 ia
terkejut bukan kepalang. Tusukan jarinya tadi mengeluarkan bunyi seperti menusuk
kaju lapuk. Ai, tentulah Liok-cou murka ni, demikian pikirnya lalu buru2 keluar. Tiba
diambang pintu, hatinya kepingin sekali lagi melihat patung itu dan menoleh ia, hai .......
tring, ....... tring, sebat sekali ia siapkan sepasang gelang kim-kong-lunnya !
Kiranya patung Liok-cou Hui Leng itu sudah berobah keadaannya. Jelas tadi dilihatnya
bahwa patung itu mengenakan pakaian warna kelabu (dari tanah), tapi mengapa kini
berobah menyadi jubah warna putih. Benar tulang2 dadanya masih nampak dengan
jelas, tapi pancaran sinar matanya sudah lain.
„Siapa yang main gila itu ?!" seru Ciok ji-soh dengan setengah berbisik. Oleh karena
sampai sekian saat tiada penyahutan, iapun segera masuk kembali untuk menutuk
patung itu lagi. Dan ternyata bunyinyapun tak sama lagi.
Sayang ia terlalu dipengaruhi oleh rasa kesujutan. Diam2 ia mengira perbuatannya tadi
telah membuat amarah Liokcou, sehingga menimbulkan kejadian luar biasa seperti itu.
Maka buru2 ia tinggalkan tempat itu untuk mendapatkan Kiau To. Tapi baru melalui dua
buah ruangan samping, didengarnya suara orang bertempur diatas genteng. Ketika
mengawasi keatas, dilihatnya Yan-chiu tengah bertempur dengan seseorang yang
bertangan kosong.
Tanpa berajal lagi, Ciok ji-soh terus loncat keatas genteng. Dan tanpa menanyakan apa2
lagi, ia terus menyerang dari belakang. Orang itu terjepit, antara pedang dan kim-kong-
lun. Tapi ternyata dia bukan makanan empuk. Dengan tangkasnya dia menurunkan
tubuh dan menyelinap kesamping. Kalau Ciok ji-soh tak lekas2 menahan kimkong-
lunnya, pasti akan berbenturan sendiri dengan pedang Yan-chiu. Kala menginyak tepian
pajon, tampak pajon itu cekung kebawah tapi tak sampai roboh. Dan membarengi dengan
tenaga inyakannya itu, orang tadi laksana burung waled sudah loncat turun dan
menghilang dalam kegelapan.

GAMBAR 96
Baru saja Ciok ji-soh keluar, segera dilihatnya Yan-chiu sedang bertempur dengan
seorang diatas genteng, cepat iapun melompat Keatas untuk membantunya.

„Nona Yan, siapakah orang itu?" tanya Ciok ji-soh.


„Aku sendiripun tak melihatnya jelas, tapi dia memakai dandanan seperti seorang
hweshio dan mukanya memakai kerudung. Apakah kau mendapat hasil?" sahut Yan-chiu
balas bertanya.
„Ai, sial benar. Tidak berhasil menemukan suatu apa bahkan telah membuat Liok-cou
gusar!" kata Ciok ji-soh lalu menuturkan kejadian yang dialamin ja tadi.
„Akupun nihil. Baru hendak masuk keruang Lo-han-tong, lampunya sama padam. Diluar
pintu seperti ada orang mengejar, lalu aku menyongsongnya, tapi tiada tampak
seorangpun jua. Ketika aku hendak balik masuk kedalam ruangan itu lagi, tahu2 ada
angin pukulan menyambar dari belakang. Aku dipikatnya keatas genteng. Rupanya
kepandaiannya lebih unggul dari aku. Sewaktu kau datang, dia segera ngacir tadi itu!"
Keduanya sama heran, tapi tak dapat memecahkan rahasia kejadian tadi. Kala itu sudah
tengah malam dan Ciok ji-soh segera ajak Yan-chiu pulang lagi kekamarnya saja.
„Dengan menyelidiki cara begini, susahlah kita mendapat hasil. Tadi Kiau loji
mengatakan Hwat Siau dan Swat Moay menyamar jadi hweshio, disamping itu ada lain
orang lagi yang mengacau dibelakang lajar. Baik kita rundingkan lagi siasat untuk
menghadapi mereka!" kata Ciok ji-soh.
Tak lama setelah mereka berdua tiba dikamar, Kiau To pun datang.
„Aneh....., aneh......! Terang dalam ruang Lo-han-tong terdapat seorang yang
bersembunyi, tapi berulang kali kuhardiknya dan 3 buah batu kulemparkan ternyata
tiada barang seorang manusia pun disitu!" Kiao To menerangkan dengan menggerutu.
„Ah, kalau bukan si Hwat Siau dan Swat Moay siapa lagi. Baik kita tunggu kedatangan
suko saja!"
Tapi hampir lewat tengah malam, tetap Tio Jiang belum muncul.

(Bersambung Ke Bagian 53)


BAGIAN 53
PATUNG HIDUP

„Bukan melainkan mempunyai kepandaian yang tinggi, pun dia seorang yang cermat,
seharusnya tak nanti dia sampai lalai. Kalau menilik kejadian2 aneh yang kita, alami
tadi, yangan2 dia mendapat kesulitan!" kata Kiau To.
Juga Yan-chiu cemas, katanya: „Kedua suami isteri itu, terutama yang perempuan (Swat
Moay) kecerdasannya tidak dibawah Cian-bin Long-kun. Bukan mustahil kalau suko
mengalami kesukaran dari mereka!"
Ciok ji-soh pun sibuk. Pada lain saat ia berbangkit. „Biar kususulnya!" serunya.
„Aku ikut. Siao Chiu, kau tunggu dulu disini yangan pergi ke-mana2!" serentak Kiau To
menunyangnya.
Sebenarnya Yan-chiu tak suka ditinggal, tapi mengingat kalau2 nanti Tio Jiang kembali
kesitu dan tiada mendapatkan seorangpun, tentu akan bingung, maka terpaksa ia
mengiakan. Tak lama sepeninggal Kiau To dan Ciok ji-soh, Yan-chiu segera merasa
kesepian. Dan kesepian itu menimbulkan kerawanan hati yang bukan2. Setiap insan
tentu takkan terluput dari kematian. Mereka tiada gelisah karena tak mengetahui apabila
saat kematiannya itu tiba. Bahwa mengetahui hari kematian itu adalah suatu siksaan
batin yang maha hebat, dirasakan sendiri oleh Yan-chiu.
Terkenang. akan nasibnya yang menyedihkan itu, tanpa terasa air matanya bercucuran.
Ketika ia hendak mengusapnya, se-konyong2 matanya tertumbuk akan seorang hweshio
yang entah bilamana tahu2 sudah berada dikamar situ.
Mukanya memakai kain kerudung, tak lain jalah hweshio yang memikatnya dari ruang
Lo-han-tong tadi. Siang tadi Yan-chiu titip pada salah seorang hweshio supaja
membelikan sebatang pedang. Pedang itu secepat kilat dilolos dan diserangkannya
dengan jurus it-wi-tok-kang. Walaupun pedang itu benda „pasaran", tapi jurus.yang
digunakan itu bukan olah2 hebatnya hingga seketika itu ratusan sinar pagutan pedang
memburu ketenggorokan hweshio gadungan itu.
Tapi orang itu hanya ganda tertawa saja. Secepat dia menyambar sebuah ciok-tay (tempat
lilin) tring, ditangkisnya pedang Yan-chiu. Sebenarnya jurus it-wi-tok-kang itu dapat
diperkembangkan lagi dalam 7 perobahan. Tapi. tekanan ciok-tay itu rasanya ber-puluh2
kati beratnya. Hendak Yan-chiu menggerakkan pedangnya, tapi tak dapat.
„Kau siapa?" bentaknya dengan kaget.
Tangan kiri orang itu pe-lahan2 menyingkap kerudung mukanya dan dengan tertawa
menyahutlah dia: „Hampir setahun suntuk berkumpul, masa cepat lupa?"
Ai....., kiranya si Swat Moay. Setan benar wanita itu, untuk mencapai tujuannya, ia rela
menggunduli rambut.
„Mengapa kau masih berada disini? Apa mau menunggu mati?!" seru Yan-chiu dengan
murka.
Swat Moay tertawa mengejek. „Entahlah, siapa yang menunggu kematiannya disini
nanti!" sahutnya.
Terpegang kandungan hatinya, Yan-chiu bungkam.
„Siao-ah-thau, sebaiknya kau omong terus terang saja, bukankah rombonganmu belum
mengetahui tempatnya juga?"
Mendengar bahwa fihak Hwat Siau dan Swat Moay belum berhasil menemukan tempat
simpanan harta karun itu, diam2 Yan-chiu girang. Benar ia tinggal dua hari satu malam
nyawanya, tapi seketika itu ia tak merasa cemas lagi.
„Bagus, coba saja siapa nanti yang lebih dahulu menemukannya!" sahutnya.
Tiba2 Swat Moay gontaikan tangannya. Entah senyata rahasia macam apa yang
dilepaskan itu, tapi tahu2 Ciu Sim-i yang tengah menggeletak dilantai situ sudah terbuka
jalan darahnya dan terus bangkit berdiri. Yan-chiu tak membiarkan Swat Moay
menolongi orang itu. Secepat kilat berputar kebelakang, tangkai pedangnya disodokkan
kejalan darah orang she Ciu Itu. Cepat dan tepat gerakannya kali ini, hingga Ciu Sim-i
yang tak mengira sama sekali akan serangan kilat itu, segera mendeprok Iagi kelantai.
Yan-chiu sudah memperhitungkan, begitu ia menutuk jaIan darah Ciu Sim-i, Swat Moay
pasti akan menolonginya. Maka secepat habis memberesi Ciu Sim-i, secepat Itu pula ia
sudah berputar kebelakang lagi untuk songsongkan ujung pedangnya kearah Swat Moay.
Melihat gerakan yang lihay dari sinona itu, bukannya turun tangan tapi sebaliknya Swat
Moay malah menghamburkan pujian: „Ilmu pedang yang lihay, gerakan yang bagus !
Hanya sayang sekali, walaupun sebelah kakinya melangkah ketingkat kepandaian yang
sempurna, sebelah kakinya yang satu lagi sudah masuk kepintu achirat !"
Lagi2 hati Yan-chiu tersajat dengan ucapan Swat Moay ftu. Tubuhnya serasa lemas tak
bertenaga. Swat Moay bersorak dalam hati. „Siao-ah-thau, kau tak ingin mati bukan?"
bujuknya dengan nada meraju.
Sedemikian halus merawan rajuan itu hingga timbullah pertentarigan dalam batin Yan-
chiu. Mati melawan penyajah matt sahib namanya. Kematian yang berharga sekali. Ini ia
tiada menyesalkan sedikitpun juga. Tapi dalam hati kecilnya, sesungguhnya ia tak ingin
mati. Ja, dara yang menginyak masa sweet seventeen (17 tahun) adalah ibarat sekuntum
bunga yang tengah memperkembang biakkan keharumannya, jadi siapakah yang suka
disuruh mati? Dalam dua hari ini, Yan-chiu pun mempunyal perasaan begitu: „Tak rela
mati tak suka mati."
Bahwa bujuk rajuan yang sedemikian merawankan Itu telah mencengkeram kalbunya
itulah sudah jamak. Maka tanpa diinsjafinya Iagi, menyahutlah ia dengan serta merta :
,,Ah, sudah barang tentu tak suka mati !"
Itu hanya menurutkan suara hatinya. Maka dikala sang pikiran sadar, buru2 ia
menyusuli dengan kata2 bengis: „Apa pedulimu?"
Tapi Swat Moay menertawakan, ujarnya: „Kalau tak suka mati, itulah mudah. Tetap kau
ikut mereka untuk mencarl tempat harta itu, begitu berhasil kau harus membakar
tumpukan kaju bakar yang kusediakan ditempat pagoda itu. Dan kala itu, jalan darahmu
tentu akan kubuka. Ingat, waktunya hanya tinggal 2 hari satu malam saja, kalau tak
berhasil menemukan, kau boleh terima nasib saja. Kalau kau menurut perintahku ini,
tentu bakal selamat. Untuk kepercajaan itu, Hwat Siau dan Swat Moay masih suka
memberikan !"
Selama mendengari kata2 Swat Moay itu, Yan-chiu termangu2 saja. Habis memberi
„tekanan" itu, tanpa menunggu jawaban orang Swat Moay segera sudah melesat keluar.
Lewat beberapa saat kemudian, barulah Yan-chiu tersadar:
„Yangan kau ........ ngaco belo!" serunya. Dua perkataan yang terdahulu, diucapkan
dengan keras, karena mengira Swat Moay masih berada disitu. Tapi dua patah yang
dibelakang nadanya sudah lemah, karena sudah diketahui kalau Swat Moay ternyata
sudah menghilang. Saking tergetar perasaannya, sampaipun telapak tangan Yan-chiu
basah dengan keringat dingin.
Kembali Yan-chiu merasa kesepian. Karena sukonya tetap belum datang, ia segera
berjalan keluar dan berhenti dibawah lonceng besar dari gereja itu. Hatinya makin sunyi
rawan. Tanpa terasa kakinya mengajun langkah. Tiba2 dilihatnya disebelah muka ada
sebuah bayangan hitam. Ketika mendongak mengawasi, kiranya itulah bayangan dari
pagoda Hwat-tha (tempat menyimpan rambut Liok-cou). Jakni pagoda yang dijanyikan
oleh Swat Moay tadi.
„Ai....., mengapa aku datang kemari?" keluhnya dengan suara tak lampias. Tapi pada lain
saat hatinya serasa berbicara sendiri: „Bukantah kau sendiri yang datang kemari?"
Kesedihan dan kecemasan berkecamuk menyadi satu dalam rongga hati Yan-chiu. Begitu
hebat rasa itu mencengkeramnya, hingga sesaat kepalanya terasa pening dan matanya
ber-kunang2. Karena gemetar tak dapat berdiri dengan jejak, iapun duduklah ditanah.
Dalam kesesakan napas, matanya tertumbuk akan seonggok kaju bakar yang tertumpuk
dimuka pagoda itu. Melihat itu, telinganya serasa me-ngiang2
lagi dengan nada ucapan Swat Moay tadi ....... „begitu berhasil, kau harus lekas2
membakar tumpukan kaju yang kusediakan ditempat pagoda itu ....... untuk kepercajaan
itu, Hwat Siau dan Swat Moay masih tetap suka memberikan" ................
Yan-chiu dekap telinganya, supaja menghilangkan suara itu. Tapi rasanya suara itu tetap
mengiang-ngiang dianak telinganya. Saking gusarnya, serentak ia berbangkit dan lari
membabi buta menuju kearah timur. Karena tak menghiraukan suatu apa, se-konyong2
kakinya tersandung pada suatu benda dan terpelantinglah ia sampai tiga empat meter
jauhnya. Kalau saja ilmunya mengentengi tubuh tak lihay dan tempo hari tak minum
mustika batu, tentu jatuhnya itu akan tele2 dan babak belur.
Cepat2 ia bangun dan ketika mengawasi kepada benda yang membentur kakinya tadi,
kiranya itulah sebuah benda bulat yang menonyol keatas kira2 seperempat meter
tingginya. Ia meringis, tapi dalam kesialannya itu ia mendapatkan kesadarannya lagi.
Itulah disebabkan karena rasa kaget, sehingga pikirannya terang kembali. Serta sadar,
didapatinya dirinya berada diluar gereja, hal mana membuatnya terperanyat sekali.
Bukantah kalau nanti sukonya kembali dan tak merdapatkan dirinya (Yan-chiu), dia pasti
akan mencarinya? Dengan begitu, tentu akan saling cari mencari nanti.
Tapi dimanakah kini is berada itu? Tadi karena lari membabi buta, hingga sampai
tersesat. Kini setelah mencari arah dengan seksama, is mengambil putusan menuju
keruang Tay-hiong-tian lebh dahulu. Begitulah segera ia ajunkan langkah kesana. Tapi
ketika melalui benda hitam yang membentur kakinya tadi, se-konyong2 is dapatkan
benda itu seperti memancarkan sinar cahaja berkilau. Buru2 is berhenti untuk
memeriksa. Astaga, kiranya itulah sebuah mulut perigi (sumur)!
Perigi itu memang aneh, tingginya dipermukaan tanah hanya kurang lebih seperempat
meter saja. Tapi ketika ia menyenguk kedalamnya, ternyata lubangnya sangat dalam
sekali, airnya berkilauan memantulkan hawa dingin. Yan-chiu lalu tinggalkan tempat itu
tapi baru saja sang kaki melangkah, tiba2 ia merasa dalam pantulan cahaja perigi itu
amatlah anehnya. Permukaan air yang ditimpah oleh cahaja bintang telah menimbulkan
pancaran-balik (refleksi) mengkilap bagaikan perak, tercampur biru gelap dan sedikit ke-
hijau2an. Yan-chiu coba mengisar kesamping sedikit dan cahaja itupun tak kelihatan
lagi. Mengawasi ke cakrawala, tampak rembulan masih dalam bentuknya sisir (tanggal
muda).
„Mungkinkah harta karun itu berada disini?" tiba2 ter-kilas suatu pikiran olehnya. Tapi
pada lain saat ia menertawai pikirannya itu sendiri. Desas desus tentang kim-jianggiok-
toh yang sudah ber-tahun2 tersiar itu, tentunya berada didalam patung sehingga sukar
diketemukan. Kalau berada, didalam sumur, cukup dengan menguras (mengambil)
airnya, sumur itu pasti kering dan harta karunpun mudah diketemukan.
Memikirkan soal harta karun teringatlah ia akan ancaman Swat Moay tadi. Seketika
timbullah chajalanna: apabila benar2 ia nanti dapat menemukan harta itu, adakah ia
hendak menyulut kaju bakar Itu? Ah, pening kepalanya memikirkan hal itu. Tadi karena
ia bingung memecahkan persoalan Itu, ia sampai lari tak karuan dan tersesat disitu.
Memang soal „kebenaran" itu tak semudah seperti yang diucapkan oleh mulut anak kecil.
Kalau nanti dirinya dihadapkan dengan kenyataan, belum tentu dia akan dapat
mengambil keputusan yang tepat!
Sampai sekian saat Yan-chiu ter-mangu2 disisi perigi itu. Setelah itu ia menuju
keruangan besar. Ditengah jalan dilihatnya diatas atap ada orang ber-lari2an. Mata Yan-
chiu yang tajam segera dapat mengenalinya itu sebagai Hwat Siau dan iapun tak
menghiraukan lagi terus kembali kekamarnya. Disitu Kiau To dan Ciok ji-soh sudah
menunggu, tapi Tio Jiang tetap belum kelihatan.
,,Kemana Tio Jiang? Kau tadi kemana saja? Yangan2 dia tadi sudah datang dan pergi
lagi! Dan Ciu Sim-i ini mengapa sudah mampus ?" ber-tubi2 Kiau To menyambutnya
dengan pertanyaan.
Yan-chiu menelan ludahnya dan menyahut dengan ter-bata2 „Aku ...... akupun bingung
juga, baru aku hendak keluar dia (Ciu Sim-i) telah berhasil membuka jalan darahnya dan
hendak melarikan diri, maka terus kubunuhnya!"
Entah apa sebabnya ia sendiri tak tahu, mengapa ia tak mau menceritakan kedatangan
Swat Moay tadi. Turut adat perangainya, mulut amat tangkas bicara, lebih2 terhadap
orang sendiri tak pernah ia menyimpan rahasia. Heran, mengapa kali ini ia sampai ter-
putus2 bicaranya apalagi mau berbohong.
Kiau To tak memperhatikan ciri2 itu dan hanya menuturkan rencananya: „Siao Chiu,
untuk mencari Ang Hwat cin jin, sukarlah rasanya. Tapi menurut pendapatku, apabila
bisa mendapatkan suhuku, itu sudah cukup, Kuingat dahulu Thian Te Hui memelihara
berpuluh ekor merpati pos untuk mengirim berita. Burung itu luar biasa pintarnya.
Kupikir untuk melepaskan mereka lagi keempat penyuru. Siapa tahu, suhu tentu akan
dapat menerima berita, itu!"
Girang Yan-chiu mendengar itu, tapi pada lain saat tawar pula hatinya karena walaupun
harapan itu ada namun tipis sekali kemungkinannya.
„Kalau memangnya sudah suratan nasibku, biarlah aku binasa. Usah membuat sibuk
Tay Siang Siansu dan lain2 orang," ujarnya dengan tersenyum pahit.
Brak......, tiba2 Kiau To meninyu meja hingga hancur, „Kau tak nanti kami biarkan mati,
apakah kau tak mengerti akan perasaan orang?"
Yan-chiu terbeliak kaget dan menatap Kiau To.
„Ai....., Siao Chiu," Kiau To menghela napas, „bagaimana sampai hati kami membiarkan
kau meninggal ? Ai..... , memang perangaiku ini berangasan harap kau yangan marah!"
„Bagus, itulah sifat ksatrya namanya! Barang siapa yang marah, aku tentu
menentangnya!" seru Ciok ji-soh sambil tunyukkan jempolnya.
Berhadapan dengan dua tokoh yang berwatak lurus terus terang, hati Yan-chiu terhibur
juga. Kiau To segera menuju kedusun Cek-wi-hong untuk mengambil merpati2 pos itu.
Setelah diikat dengan surat untuk Tay Siang siansu, maka ber-puluh2 burung itu
dilepaskannya. Ketika burung2 itu meluncur keangkasa, mendoalah Kiau To: „Merpati,
merpati! Jiwa Yan-chiu, tergantung padamu!"
Pada masa Thian Te Hui masih jaja, merpati2 itu dilatih untuk mengirim surat keberbagai
penyuru. Jadi apabila Tay Siang siansu masih berada diwilajah Kwicu, tentulah akan
diketemukan.
Sepeninggal Kiau To, tiba2 pintu kamar digereja itu didebur keras dan masuklah Tio
Jiang dengan wajah pucat. Serta masuk, mulutnya segera berhamburan dengan kata2
aneh: „Huh, aneh, aneh sekali! Masakan didunia ini terdapat peristiwa segaib itu, kalau
tak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, biar dibunuh mati tak nanti aku mau
mempercajai !"
„Keanehan apa, lekas katakan!" seru Ciok ji-soh. Tapi sebaliknya melihat sukonya ter-
sengal2, Yan-chiu menyuruhnya beristirahat dulu sebentar. Setelah memulangkan
napas, barulah Tio Jiang mulai menutur: „Posat dari Kong Hau Si ini dapat mengeluarkan
kesaktian. Percaja atau tidak itu terserah padamu !" .
Ciok ji-soh tertawa geli, ujarnya: „Siao-ko-ji (engkoh kecil), seperti aku, kau tentu
berpapasan dengan Hwat Siau!"
Ciok ji-soh lalu tuturkan pengalamannya sendiri diruang Liok-cou-tian. Tapi untuk
keherannya, Tio Jiang menggeleng, sahutnya: „Bukan, bukan begitu. Hwat Siau seorang
yang bertubuh kurus kering. Tapi yang kulihat diruang Sui-hud-kek itu, adalah sebuah
patung Bi-lek-hud yang perutnya gendut dan tubuhnya pendek. Masakan aku tak dapat
membedakannya?"
Ciok ji-soh cepat2 mendesaknya supaja menceritakan kejadian itu.
,,Sekeluarnya dari sini, asal ketemu patung atau arca, baik kecil maupun besar, tentu
kuamat-amati dengan perdata. Tapi kesemuanya itu tak mengunyukkan tanda apa2," Tio
Jiang mulai menutur, „tiba diruang Sui-hud-kek, disitu penerangannya terang
benderang. Kukira hal Itu adalah perintah dari pengurus gereja, tapi anehnya disitu tiada
terdapat barang seorang hweshiopun yang tengah membaca kitab.
Dengan loncat dari jendela kumasuk dari belakang ruangan itu. Disitu aku sudah
dikejutkan oleh sebuah patung setinggi orang, yang tampaknya tengah deliki mata
kepadaku. Kemudian setelah masuk kedalam ruangan, kembali semangatku terbang
demi melihat patung Bi-lek-hud yang berada disitu, nampaknya sedang menyeringai
tertawa kepadaku !"
„Ai, mungkin pandanganmu kabur!" tukas Ciok-ji-soh.
„Memang orang tentu menganggap mataku kabur. Tapi demi kumendekati untuk
memeriksanya, tiba2 dari arah belakang terdengar suatu suara dan cepat2 kuberputar
si, celaka.......... kiranya hanya seekor kucing loncat dari jendela. Baru kuhendak
berpaling kemuka lagi, punggungku terasa ditiup oleh hawa panas! Saat itu aku sudah
berdiri didekat. patung Bi-lek-hud dan disitu tiada barang seorangpun kecuali patung
itu. Saking kaget ketakutan, aku segera loncat keluar dari jendela lagi dan sekali enyot
kaki aku melayang keatas wuwungan. Dari situ dengan mengaitkan kaki pada tepian
wuwungan, kuajunkan tubuhku untuk melongok kebawah. Ah, benar juga diruangan
situ tiada barang seorang manusiapun kecuali patung Bi-lek-hud yang masih tetap
tertawa berseri itu !

GAMBAR 97
„...... saking kagetnya cepat aku melompat keluar dan
mengaitkan kakiku keatas emperan dan tubuhku menggantung
kebawah untuk melongok kedalam .......... " demikian Tio Jiang bercerita.

Kuberanikan diri lagi untuk masuk dan menghampiri patung hud itu.
Kumengangguk kepada Bi-lek-hud itu dan astaga, Bi-lek-hud yang hanya sebuah patung
ternyata dapat mengeluarkan suara seperti kaju berkerejotan !"
„Hai, sudahlah! Teranglah patung itu penyaruan dari manusia!" tukas Ciok ji-soh dengan
serentak.
„Benar, memang lwekang Hwat Siau itu bukan olah2 saktinya. Kalau dia mengempos
dada, tubuhnya dapat berobah menyadi gemuk. Ja, aku sudah pernah menyaksikannya
sendiri!" Yan-chiu turut menimbrung.
Tio Jiang lanyutkan pula ceritanya dengan kurang bernapsu: „Ah, dia telah menghambat
pekerjaan kita. Memang kala itu siapa yang tak ketakutan menampak ada patung dapat
tertawa, dapat meniup hawa? Begitulah aku segera tinggalkan ruangan itu dan menuju
keruang Lo-han-tong. Tapi begitu masuk, disitu gelap sekali hi, aneh, kalau benar Hwat
Siau adanya, mengapa dia tak mencelakai aku?"
„Perlu apa mereka hendak mencelakaimu sekarang? Bukantah lebih banyak orang yang
mencari harta itu, lebih baik baginya. Nanti apabila sudah diketemukan rasanya belum
terlambat untuk membunuhmu!" kata Yan-chiu.
„Ah, masa ada orang sekejam itu hatinya! Siao Chiu, kau tentu mengalami penderitaan
selama setahun ikut mereka."
Yan-chiu berpaling ketempat yang agak gelap untuk menghapus air matanya. Sedang
Ciok ji-soh lalu memberitahukan Tio Jiang tentang kepergian Kiau To tadi. Oleh karena
mereka bertiga tak mempunyai lain rencana yang bagus, terpaksa mereka hanya duduk
diam disitu menunggu kedatangan Kiau To, siapa sjukurlah tak lama sudah muncul.
„Usaha kita pada malam ini, rasanya sudah cukup sampai disini dulu. Mengingat
hubungan antara suhu dengan Yan-chiu, rasanya beliau tentu takkan membiarkan
begitu saja!" kata Kiau To.
Begitulah mereka lalu beristirahat dan malam itupun tiada kejadian apa2 yang penting.
---oo0oo---
(Bersambung Ke Bagian 54)
ASMARA MURNI

BAGIAN 54.1

Sekarang mari kita ikuti perjalanan Ciok Siao-lan sigadis hitam manis yang hendak
menyusul The Go ke Lo-hu-san.
Ditengah jalan ia menghajar dua orang kongcu (anak orang hartawan atau pembesar).
Tanpa hiraukan mereka ber-kaok2, nona itu segera cemplak kuda mereka terus
dicongklangkan se-kencang2nya. Antara Kwiciu ke Lo-husan hanya seperjalanan
seratusan li jauhnya. Dua ekor kuda kedua kongcu tadi, dengan bergiliran dinaikinya.
Oleh karena kedua ekor kuda itu termasuk kuda2 pilihan maka belum setengah malam
saja, dapatlah ia tiba digunung itu. Tapi begitu ia kendorkan kendali, kedua ekor kuda
Itu segera mendeprok ketanah. Kiranya kedua bintang itu sudah putus jiwanya saking
kelelahan.
„Siapa?!" tegur seorang peronda malam demi Siao-lan menginyak puncak Giok-li-nia.
„Aku, perlu apa banyak bertanya ini itu? Aku hendak mencari Cian-bin Long-kun The
Go!"
Kala itu The Go sudah diseret kelapangan untuk sesaji sembahyangan bendera. Sudah
tentu para penyaga malam menduga kalau nona itu hendak menolongi The Go. Seketika
itu tampillah lima orang penyaga dan memakinya: „Budak hina, serahkan tanganmu
untuk diringkus!"
Trang...., trang...... dalam gusarnya Siao-lan sudah menyengkelit rubuh salah seorang
dari penyaga malam itu, lalu menobros masuk.
„Yangan lepaskan budak hina itu!" riuh rendahlah kawanan penyaga itu ber-teriak2
untuk memberi peringatan kepada kawan2nya.
Siao-lan gugup dan mainkan garu penusuk ikan dengan gencar. Walaupun la berhasil
merubuhkan beberapa orang, tapi kawanan penyaga itu makin lama makin banyak
jumlahnya. Suara hiruk pikuk mereka telah membikin kaget Ki Ce-tiong siapa terus
loncat menyongsongnya dengan tongkatnya.
Siao-lan makin kalap. Tanpa menghiraukan setan belang lagi, begitu ada sesosok tubuh
melayang datang, ia segera menusuknya. Tapi melihat pengacau itu hanya seorang
wanita, Ki Ce-tiong buang senyatanya lalu julurkan jarinya untuk menyambar senyata
lawan.
„Lepas!" serunya sembari menyentak se-kuat2nya.
Siao-lan rasakan tangannya kesemutan dan tahu2 senyatanya berpindah ketangan lawan
(Kiau To) yang segera menimpukkannya kearah sebatang puhun yang berada didekat
situ. Garu penusuk ikan itu menyusup masuk sampai beberapa centi dalamnya,
tangkainya ber-goyang2. Gegap gempitas, para anak buah Thian Te Hui menyaksikan
kelihayan pemimpinnya.
„Hai, kiranya kaukah?" tegur Ki Ce-tiong demi mengetahui siapa lawannya tadi.
„Yangan banyak bicarakan yang tidak2, mana Cian-bin Long-kun!" sahut Siao-lan dengan
dada berombak.
Ki Ce-tiong pernah melihat sekembalinya dari kepulauan Lam-hay, Li Seng Tong
membawa nona itu ber-sama2 ke Kwiciu. Maka diapun lalu menanyakan mengapa nona
itu tidak berada pada Li Seng Tong tapi datang ke Lo-hu-san.
„Mencari The Go!" sahut Siao-lan dengan tegas.
Sebagai seorang gadis, sebenarnya tak pantas ia berkata begitu. Tapi tersurung oleh
panggilan hati, ia buang rasa malu dan menyatakannya dengan terus terang.
„Mengapa mencarinya?" tanya Ki Ce-tiong terkesiap.
Tengah mereka bertanya jawab, muncullah Ceng Bo siangjin kesitu dan bertanya:
„Baiklah Ki-heng bawa ia naik keatas gunung dulu, nanti ditanyai lagi!"
Ditengah perjalanan Siao-lan menuturkan maksud kedatangannya. Baik Ki Ce-tiong
maupun Ceng Bo adalah orang2 yang mempunyai hati welas asih. Mereka kasihan pada
Siao-lan, tapi teringat bahwa The Go sudah buntung kakinya, mereka saling
berpandangan. Setiba di Giok-li-nia, berkatalah Ceng Bo: „Nona Ciok, boleh dikata setiap
orang persilatan tentu menghendaki jiwa Cian-bin Longkun. Adakah kau mengetahui hal
itu ?"
„Sudah tentu aku tahu, kalau tidak masakan aku korbankan diri untuk menebus
dosanya?" sahut Siao-lan.
Ceng Bo terdiam sejenak, lalu berkata pula: „Kali ini dalam pembentukannya yang kedua
kali, Thian Te Hui telah memutuskan untuk membuatnya sesaji sembahyangan
bendera........."
„Jadi engkoh Go sudah men'nggal?!" tukas Siao-lan dengan serempak.
Ceng Bo menghela napas, ujarnya: „Mati sih belum........"
Baru mendengar sampai disini, kedengaran Siao-lan~ menghembuskan napas longgar.
Dapat dibayangkan betapa kasih sayang nona hitam manis itu kepada The Go.
„Nona Ciok, baiklah kuberitahukan padamu tapi harap kau yangan berduka. Kedua kaki
The Go kini sudah buntung!"
Siao-lan terbeliak kaget, tapi pada lain saat wajahnya mengunyuk pendirian yang teguh,
serunya: „Asal dia itu tetap engkoh Go, sekalipun hanya mempunyai sebuah jari, tetap
tiada bedanya!"
Ceng Bo dan Ki Ce-tiong tak dapat berbuat apa2. Dalam kebatinan mereka hanya
mengharap, setelah mendapat pelajaran yang pahit itu, mudah2an anak muda itu
kembali kejalan yang benar, sehingga dapat ber-sama2 Siao-lan melewati sisa
penghidupannya dengan bahagia.
Tapi dalam pada itu, Ceng Bopun teringat akan nasib puterinya sendiri Bek Lian, bidadari
yang menyelma didunia ini rela mencukur rambut menyadi rahib (nikoh) dikarenakan
perbuatan yang tak bertanggung jawab dari The Go.
Siangjin itu memanyatkan doa mudah2an puterinya diberi keteguhan imam dalam
usahanya menebus dosa itu. Diam2 dia mengakui, bahwa hanya dalam waktu dua tahun,
saja, didalam penghidupannya telah terjadi perobahan yang besar.
Sembari ber-cakap2 itu, tibalah mereka dimuka sebuah pondok. „Nona Ciok, silahkan
kau masuk sendiri!" ujar Ceng bo.
Membayangkan bahwa dalam beberapa kejab lagi la bakal berjumpa dengan pemuda
tambatan jiwanya, tanpa terasa hatinya berdeburan keras. Mendorong pintu didapatinya
dalam pondok itu remang2 penerangannya, karena disitu hanya terdapat sebuah pelita
dengan sumbunya sebesar biji kedele. Sesosok tubuh membujur diatas pembaringan. Air
mata kegirangan dan kesedihan, ber-ketes2 membasahi kedua belah pipinya.
Dengan ber-indap2 ia mendekati pembaringan itri. Disitu dihapusnya air matanya,
kemudian setelah tertegun beberapa jurus, barulah mulutnya kedengaran memanggll
dengan berbisik: „Engkoh Go...., engkoh Go.....!"
Tapi baru dua kali ia memanggil, pecahlah tangisnya tersedu sedan ............
---oo0oo---
Telah diterangkan dimuka bahwa sepasang kaki The Go telah dipapas kutung oleh Ceng
Bo siangjin. Sjukur Kang Siang Yan keburu datang menolongi dan memberi obat
penghenti darah. Ceng Bopun berpendapat bahwa dengan sudah menyadi invalid begitu,
The Go tentu akan sudah insjaf, maka diapun malah memberikan obat juga.
The Go dibawa kesebuah pondok. Ketika tersadar, dia tak berkata apa2. Hanya dalam
hatinya ter-bayang2 akan tingkah laku Ceng Bo siangjin dan orang2 Thian Te Hui
terhadap dirinya. Betapapun jahatnya seseorang, tapi dalam nuraninya dia tentu masih
mempunyai setitik hati yang baik. Demikianlah The Go yang pada saat itu mendapat
penerangan bathin, menyesal atas perbuatan2nya yang lalu. Dalam keadaan limbung
antara sadar tak sadar karena lukanya itu, hatinya selalu mengacai (bercermin muka)
kehidupan yang dituntutnya selama ini. Matanya meram tapi hatinya melek. Ketika ada
suara berisik orang ber-cakap2 diluar, dia kira kalau orang2 Thian Te Hui. Sebagai orang
yang masih mempunyai rasa malu, dia lalu pura2 tidur tak mau menemui mereka.
Bahkan ketika ada orang berseru „engkoh Go", dia tetap tak percaja pendengarannya.
Dia serasa mengalami „impian ditengah hari" (sesuatu yang mustahil).
Namun dia paksakan diri untuk menggeliat, demi tampak Ciok Siao-lan berdiri
dihadapannya, dia tetap belum percaja. Dia meramkan pelapuk matanya dan
mengenangkan kejadian pada 2 tahun berselang. Ditempat itu (Lo-hu-san) jugalah Ciok
Siao-lan telah mengusapkan keringat dimukanya (The Go), tapi dia malah menyadi gusar
dan melukainya. Dia merasa, dalam kehidupannya itu, banyak nian menyakiti hati dan
mencelakai orang. Tapi yang paling hebat sendiri, jalah menyakiti hati dua orang gadis.
Yang satu Bek Lian dan yang lain Ciok Siao-lan.
Melihat wajah Cian-bin Long-kun pucat lesi bagai kertas, hati Siao-lan serasa disajat
dengan sembilu. Seketika pecahlah tangisnya mengiring air mata. Lari menubruk
kemuka, berserulah ia: „Engkoh Go, kau bagaimana? Aku ini Siao-lan, Siao-lan yang
selalu setia menyintai kau!"
Kini barulah The Go tahu bahwa dirinya masih sadar dan bahwa yang dilihatnya itu benar
Siao-lan. Dirangsang oleh rasa kemenyesalan, air matanya berhamburan keluar.
„Engkoh Go, bagaimanapun juga Po-sat masih melindungi. Kalau aku tak mengunyungi
gereja Kong Hau Si dan berjumpa dengan Tio Jiang dan Liau Yan-chiu, tentu aku tak
tahu kau berada disini. Kini sjukurlah aku telah dapat menyumpaimu, aku ..............
takkan meninggalkan kau lagi. Engkoh Go, ajuh kita cari tempat yang sunyi untuk
beristirahat dengan tenang," sebentar menangis sebentar tertawa Siao-lan membawakan
kata2-nya.
The Go mencekal erat2 tangan nona itu tanpa mengucap sepatah katapun. Tak berapa
lama haripun sudah terang tanah. Dengan selimut Siao-lan menggendong The Go keluar
dari pondok itu. Ketika berpapasan dengan Ceng Bo, The Go tundukkan kepala tak berani
memandangnya. Ceng Bo nasehati Siao-lan yangan buru2 membawa pergi The Go,
karena lukanya masih belum sembuh betul. Tapi Siao-lan tak kena dicegah.

GAMBAR 98
Siao-lan membungkus The Go dengan
sehelai selimut, lalu memondongnya meninggalkan
Ceng Bo Siangjin dan kawan2 nya di Lo-hu-san...........

Begitulah singkatnya saja, besok tengah malam, mereka sudah tiba digereja Kong Hau
Si.
„Kita menghaturkan terima kasih dahulu kepada Po-sat, setelah itu kita tinggalkan dunia
ramai ini untuk mencari ketenangan hidup!" kata Siao-lan. Dia berteriak minta pintu,
tapi belum ia melangkah keruang Tay-hiong-po-tian, tiba2 muncullah sesosok tubuh
yang bukan lain adalah Tio Jiang.
„Hai, kiranya kau, Ciok Ji-soh telah lama menunggumu!" ujar Tio Jiang.
Dengan girang sekali Siao-lan minta Tio Jiang membawanya kepada kakak iparnya itu.
Tiba dikamar mereka, disana sudah kelihatan Kiau To, Ciok Ji-soh dan Yan-chiu tengah
berpikir keras. Kiranya tempat penyimpan harta karun itu masih belum dapat
diketemukan. Dalam pada itu, nyawa Yanchiu hanya tinggal sehari dua malam saja.
Sebagai seorang wanita yang beradat lurus, Ciok Ji-soh tuturkan semua kejadian pada
Siao-lan, termasuk diri Yanchiu. Tiba2 berkatalah The Go: „Aku yang rendah hendak
menghaturkan suatu pendapat, entah saudara2 disini suka mendengarkan tidak."
Walaupun tahu kalau tadi Siao-lan membawa masuk The Go, tapi selama itu Kiau To dan
Tio Jiang tak menghiraukannya. Mendengar orang yang dicap sebagai penghianat itu
hendak menyatakan sesuatu, diam2 Kiau To dan Tio Jiang memakinya. Tapi kata2
makian itu ditelannya kembali karena teringat bahwa si Cian-bin Long-kun itu seorang
pemuda yang cerdik cendekia. Dalam hal kecerdasan, jarang terdapat ta.ndingannya
didunia persilatan. Bahwa hanya karena salah asuhan sajalah, maka orang muda itu
telah tersesat menyadi seorang penghianat. Rasanya tiada ada jeleknya untuk
mendengarkan buah pikiran orang muda itu. Begitulah tanpa berjanyi sebelumnya, Kiau
To dan Tio Jiang saling menukar isjarat mata, masing2 setuju untuk mendengarkan apa
yang hendak dikatakan orang itu. Kiau To yang perangainya kaku, tak mau bicara apa2.
Tapi Tio Jiang yang jujur, segera membuka mulut: „Entah Cian-bin Long-kun mempunyai
buah pikiran apa?"
„Huh, apa2an dia!" Yan-chiu ber-sungut2.
The Go tak mau menghiraukan, setelah mengatur napas, berkatalah dia: „Kurasa tempat
harta karun itu, sangat pelik sekali. Yang disuruh menyembunyikan harta itu oleh Thio
Hian-tiong, tentulah orang2 kepercajaannya. Bahwa orang persilatan sampai dapat
mendengar soal harta karun itu, tentulah siasat anak buah Thio Hian-tiong itu sendiri
untuk membuang bekas. Entah bagaimana pendapat saudara2 tentang penilaianku itu!"
Kiau To berempat seperti disadarkan.
„Wahai, mengapa kita tak dapat memikir sampai disitu? Hal itu sesungguhnya amat
sederhana sekali!" seru mereka. Didalam hati mereka mengagumi kecerdasan The Go.
Setelah mengambil napas, The Go melanyutkan pula kata2nya: „tapi Thio Hian-tiong
bukannya tak mengetahui bahwa betapapun rahasianya tempat harta itu, namun pasti
bakal diketahui orang. Tapi dia sudah memperhitugkan, dikala orang2 sama mencari
kim-jiang-giok-toh ........ Hai, bukantah, saudara2 mengatakan bahwa Hwat Siau dan
Swat Moay berada didalam gereja ini? Kata2ku tadi tentu dapat dicuri dengarnya!"
Oleh karena pada saat itu Kiau To dan Tio Jiang sudah menaruh kepercajaan pada The
Go, maka mereka berdua segera memburu keluar untuk memeriksanya. Benar juga,
tampak ada dua sosok bayangan hitam lari kearah utara. Ditilik dari arah berangkatnya,
mereka tentu habis berada disitu,
„Mereka benar mendengari diluar. Tapi kini mereka sudah lari jauh, The-heng tak usah
kuatir apa2 lagi!" kata Kiau To dengan geramnya.
Bahwa mulut seorang berangasan macam Kiau To meluncurkan kata2 „The-heng"
(saudara The), telah membuat semangat The Go timbul lagi. Setelah merenung sejenak,
tangannya menuding kearah luar jendela dan mulutnya segera berkata : „Tapi akupun
hanya men-duga2 saja. Kata orang 'yang kosong itu berisi, yang isi itu kosong'. Harta
karun disembunyikan didalam perut arca. Hanya karena sangat dirahasiakan sekali, jadi
orang tak dapat menemukannya dan lalu mengambil kesimpulan harta karun itu
sebenarnya tak ada. Dan anggapan itu, dapat menyelamatkan harta karun itu!"
Diantara keempat orang itu, Ciok Ji-sohlah yang paling lamban ( tumpul ) otaknya. Diam2
ia memaki pada anak muda itu yang dikatakan jual petai kosong (membual atau omong
kosong) saja.
Sebaliknya Yan-chiu cukup cerdas untuk menangkap maksud si Cian-bin Long-kun.
Melongok keluar jendela didapatinya suami isteri Hwat Siau - Swat Moay itu baru saja
loncat kearah wuwungan rumah disebelah muka untuk lari pergi. Berputar kedalam
ruangan, memujilah Yanchiu: „Cian-bin Long-kun, aku tunduk padamu!"
„Kalini mereka benar2 pergi. Dengan Ilmunya mengentengi tubuh, bukan mustahil kalau
mereka dapat pergi datang secepat kilat!" kata The Go.
Kini barulah Ciok Ji-soh tahu mengapa The Go ber-kata2 begitu tadi. Kiranya memang
sengaja diperdengarkan kepada Hwat Siau - Swat Moay yang mendekam diluar jendela.
Juga Kiau To dan Tio Jiang merasa kagum atas kecerdikan The Go. Dalam soal
kecerdasan, mereka berdua mengaku kalah jauh dengan Cian-bin Long-kun. Kini mereka
mencurahkan perhatian untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan The Go lebih
lanyut.
Dengan membawa lukanya Itu, sebenarnya semangat The Go lemah sekali. Digendong
Siao-lan menempuh perjalanan yang sedemikian jauhnya itu, luka2 dipahanya kambuh
lagi dan mengucurkan darah pula. Tapi demi dilihatnya orang2 yang dahulu
membencinya tujuh turunan kini mengunyuk sikap mengindahkan kepadanya, hatinya
menyadi besar.
Bukan karena gila hormat, tapi karena insjaf bagaimana bedanya semangat perjoangan
ber-api2 yang diunyuk oleh Tio Jiang dan kawan2 dalam membela negara dan bangsa,
dengan kelakuannya (The Go) yang selama itu hanya memikirkan kepentingan diri sendiri
serta mencelakai saudara2 sebangsa.
„Tegasnya, kalau hanya men-cari2 pada semua arca digereja itu, tentu akan sia2.
Walaupun bangunan gereja Kong Hau Si ini sedemikian besarnya, tapi rasanya dapat
juga diselidiki sampai habis!" habis berkata itu napas The Go tampak ter-sengal"
kepajahan. Buru2 Siao-lan menasehatinya supaja yangan berbanyak bicara dulu.
Tapi The Go tak menghiraukan, ujarnya: „Sudah beberapa hari kalian berada digereja ini,
masakan dikompleks (lingkungan) gereja ini tiada terdapat tempat yang agak
mencurigakan?"
Mendengar itu Yan-chiu seperti disadarkan. Teringat ia sumur kecil yang membentur
kakinya itu, seperti memancarkan cahaja yang aneh. Tapi di-pikir2 rasanya mustahil
harta karun itu berada didalam sumur yang sedemikian ke-cilnya. la menarik lengan Tio
Jiang untuk diajak keluar. Ciok ji-soh dan Kiau Topun ber-turut2 meninggalkan kamar
itu. Jadi yang berada disitu hanyalah Ciok Siaolan dan The Go berduaan.
Dapat menyumbangkan pikiran untuk membantu, The Go serasa terhibur hatinya.
„Siao-lan, apa kau tak mau bantu mereka mencarinya?" tanyanya kepada Siao-lan.
„Tidak, aku tak mempedulikan segala apa kecuali hendak mendampingimu!" sahut
sinona hitam manis,
The Go menghela napas, ujarnya ter-iba2: „Siao-lan, aku selalu menyakiti hatimu
Buru2 Siao-lan dekap mulut The Go, serunya dengan mesra: „Engkoh Go, aku tak pernah
sesalkan kau. Bagaimanapun kau memperlakukan diriku, aku tetap setia cinta padamu!"
Habis berkata, Siao-lan menangis. Sesal The Go tak kunyung habis. Dahulu ketika dia
masih utuh cakap, dia tak menghiraukan nona itu. Sebaliknya biarpun kini dia sudah
menyadi aeorang invalid, nona itu tetap setia.
„Siao-lan, dalam kehidupan sekarang ini, aku telah men-sia2-kan kau. Mudah2an dalam
penitisan besok, kita dapat bersatu se-lama2nya," katanya sembari menghela napas.
„Mengapa? Apakah karena nona Bek?" tanya Siao-lan.
„Ah, nona Bek konon kabarnya sudah mencukur rambut menyadi rahib (nikoh) sudah
tentu ia tak mau campur dengan keduniawian lagi. Pun aku juga yang mencelakainya.
Kini kedua kakiku sudah buntung, menyadi seorang Invalid
„Sudahlah! Sekalipun kau meninggal, aku tetap menyintaimu!"
Terharu The Go mendengar pra-setya dari nona itu. Digenggamnya tangan nona itu erat2
tanpa mengucap sepatah katapun, hanya dua pasang mata saling berpandangan,
merangkai seribu kata bahasa asmara.

(Bersambung Ke Bagian 54.2)


ASMARA MURNI

BAGIAN 54.2

Adalah pada saat mereka diajun dalam buaian kebahagiaan, tiba2 dart mulut jendela
terdengar suara ketawa. Menyusul dengan bunyi „brak" dari daun jendela terpentang,
muncullah seorang hweshio.
„Cian-bin Long-kun seharusnya mengganti nama dengan Hong-liu Long-kun (pemuda
achli meraju) barulah tepat. Ho....., suatu adegan yang romantis benar2 ini!" seru hweshio
itu.
The Go terperanyat mendengar nada suara itu. Ketika mendongak kemuka, benarlah apa
yang diduganya itu. Hweshio gadungan itu ternyata Swat Moay adanya. Diam2 The Go
mengeluh dalam hati. Swat Moay seorang yang ganas, dalam keadaan seperti sekarang
dia bukan tandingann ja. Siao-lanpun Idem, tak nanti dapat menandingi wanita lihay itu.
Namun sebagai seorang yang cerdik, dia berusaha untuk mengekang kegelisahannya.
Dengan memain senyum, berkatalah dia: „Ah....., cianpwe menggoda saja!"
Sebaliknya Siao-lan yang belum kenal siapa hweshio itu segera menanyakan kepada The
Go. Mencuri suatu kesempatan, The Go memberi isjarat dengan kerlingan mata agar Siao-
lan lekas keluar memanggil Kiau To dan Tio Jiang.
Tapi sayang Siao-lan tak mengerti dan malah bertanya lagi: „Dia hendak apa kemari ini?"
Swat Moay sebal mendengar itu, lalu loncat masuk. Dalam kegugupannya The Go
paksakan tertawa dan menyahut kepada Siao-lan: „Cianpwe ini adalah seorang pendekar
dari Tiang-pek-san yang menyadi orang kepercajaan Sip-ceng-ong dari kerajaan Ceng.
Orang menggelarinya sebagai Swat Moay!"
Dengan keterangan itu, The Go percaja, sekalipun Siao-lan itu sangatlah bodohnya
namun dengan mengetahui adanya seorang jagoan Ceng yang menyadi musuh Thian Te
Hui, ia tentu sadar dan tentu akan lekas2 lari keluar untuk memanggil bantuan. Tapi
kode The Go itu tetap macet lagi. Walaupun tahu bahwa kehadirannya seorang kepala
jagoan Ceng itu tentu merugikan The Go dan dirinya sendiri, namun Siao Lan tak memikir
untuk memanggil Kiau To dan kawan2. Bahkan ia malah mencekal senyatanya hi-jat
untuk di-goyang2-kan hingga thiat-hoan (gelang besi) yang tersalut pada ujung hi-jat itu
berkerontangan bunyinya. Dan begitu tampak Swat Moay menghampiri dekat, ia segera
membentaknya: „Karena kau orangnya pemerintah Ceng, sanalah yangan dekat2 pada
engkoh Go!"
The Go mengeluh gelisah. Sebaliknya Swat Moay perdengarkan suara ketawa iblis.
,,Harap cianpwe yangan mencelakai dia, silahkan tanya padaku saja. Siao-lan, lekas cari
Kisu To dan engsomu sana!" kata The Go. Oleh karena otak Siao-lan begitu buntu, maka
dia terpaksa menyatakan maksudn ja itu dengan terang2an.
Sebenarn ja bukan tak tahu Siao-lan bahwa keadaan saat Itu amat berbahaya sekali.
Tapi dipengaruhi oleh rasa kasihnya kepada The Go, ia tak tegah biarkan pemuda itu
seorang diri menghadapi musuri. Jadi sebaliknya dari pergi, ia malah berseru: „Yangan
takut, engkoh Go! Biar kugebah hweshio ini!"
Siao-lan tak mengetahui kalau hweshio itu sebenarnya seorang wanita. la tetap mengira
kalau hweshio itu seorang hweshio tulen. Begitu gerakkan hijat, dengan jurus hun-cui-
hwat-boh (pecah air menda jung ombak), ia tusuk perut orang. Hi-jat atau senyata garu
ikan itu, panjangnya hampir 2 meter. Sedang ruangan situ amatlah sempitnya. Tapi
dengan dapat memainkan senyata itu sedemikian rupa, dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa Siao-lan telah mempunyai latihan yang mahir dalam permainan senyata itu. Tapi
sayang lawannya adalah Swat Moay, yang jauh berlipat ganda dari ia. Belum hi-jat
menusuk kemuka, tangan Swat Moay sudah dijulurkan menerkam. Ciok Siao-lan
mengisar kesamping lalu menusuk ulu hati. Tapi lagi2 hal Itu sudah diperhitungkan Swat
Moay. Ini bukan dikarenakan ia mahir akan permainan hi-jat Lam-hay-cak-jat, tapi oleh
sebab gerak permainan ilmu sllat itu pokoknya hampir serupa. Setelah gagal menyerang
perut, hi-jat tentu akan ditusukkan kedada. Ini adalah dalil. Dan menunggulah tangan
kanan Swat Moay didadanya. Begitu hi-jat menusuk, cukup dengan dua buah jarinya, ia
sudah dapat menyepitnya erat2.
Bahwa hi-jatnya serasa menusuk kaget, kemudian seperti ditarik keras, telah membuat
Siao-lan terperanyat sekali. Ketika diawasinya, ternyata ujung senyatanya telah dijepit
jari lawan. Hendak ia menariknya kuat2, tapi sedikitpun ternyata tak dapat bergerak.
„Capung membentur tiang batu!" tertawa Swat Moay dengan sinis. Begitu ketiga jarinya
dikatupkan melingkar, ujung hi-jat yang besarnya sama dengan jempol tangan itu, segera
melengkung bengkok. Kini baru Siao-lan tahu lihay hingga mulutnya menganga. Maka
cukup dengan menyentak sedikit saja, hi-jat Itu sudah pindah ketangan Swat Moay, siapa
lalu sodokkan tangkai hi-jat kemuka. Seketika terkulailah Siao-lan rubuh ketanah
karena jalan darahnya kian-ceng-hiat tertusuk.
The Go tersentak kaget. Dengan tahankan sakit, dia paksakan diri untuk mengangkat
tubuhnya. Dilihatnya Siao-lan sudah tak berkutik lagi ditanah. Dengan menghela napas
panjang, dia terlentang lagi dipembaringan.
Swat Moay masih sengaja hendak unyuk kegarangan. Sekali ia banting hijat itu kelantai,
maka menyusuplah ujung senyata itu sampai setengah meter dalamnya. „Cian-bin
Long-kun, apakah selama ini kau baik2 saja?" tanyanya.
Satu2nya jalan bagi The Go jalah mengulur waktu, mudah2an Kiau To dan kawan2 segera
kembali. Oleh karena tak dapat mencari lain alasan, maka disingkapnyalah selimut yang
menutup kakinya itu. Melihat kedua kaki pemuda itu sudah buntung, berserulah Swat
Moay: „Ah, siasat orang Thian Te Hui itu, keliwat ganas!"
„Siasat cianpwe, juga tak kurang ganas dari itu. Sucouku menyatakan: 'rekening itu
harua dibajar oleh cianpwe berdua'!" sahut The Go tak kalah sinisnya,
„Apakah Ang Hwat cinyin juga datang kemari?" tanya Swat Moay dengan kejutnya.
The Go ganda tertawa tak mau menyahut. Tapi Swat Moay seorang cerdas. Dalam lain
kejab saja, ia sudah dapat menduga bahwa kata The Go itu hanya gertakan saja.
„Cian-bin Long-kun, kalau kalini kau mau bekerja sama dengan kami, tanggung takkan
mengalami kerugian lagi! Jika berhasil mendapatkan harta karun itu, cukup dengan 1%
saja bagianmu, kau pasti akan dapat menikmati penghidupan yang senang sampai achir
hidupmu!"
Swat Moay salah rabah siapakah Cian-bin Long-kun yang baru itu. Dengan ucapan itu,
terbangkitlah penyesalan The Go. Dia menyorot perjalanan hidupnya yang lalu, Adalah
karena „temaha akan keuntungan" itu, sehingga kini namanya ternoda dan badannya
cacad. Telah menyadi tekadnya, dengan sisa hidupnya sebagai orang cacad itu hendak
dia menebus kedosaannya. Dan tadi diapun sudah memulaikannya dengan membantu
pikiran pada Kiau To dan Tio Jiang.
Seketika merah padamlah selebar muka Cian-bin Longkun. Tiba's dia menghantam
papan pembaringan dan berseru: „Kata2-mu itu salah. The Go yang sekarang ini,
bukanlah The Go yang dahulu. Sekalipun seluruh harta karun itu diberikan padaku, tak
nanti aku sudi galang gulung dengan kamu lagi!"
Swat Moay tersentak kaget, tapi ia segera tertawa mengejek, serunya: „Bagus, seorang
Cian-bin Long-kun yang patriot dan luhur. Siapakah yang membawa tentara Ceng masuk
ke Kwiciu? Siapakah yang menyadi perencana hancur leburnya ke 72 markas Hoa-san
itu ? Apakah kau kira mereka mau mengampuni kau sungguh" ? Apakah mereka tidak
menggunakan kau sebagai alat sementara, lalu kelak menghukummu lagi!!"
Kening The Go mengucurkan keringat sebesar butir kedele. Diam2 terbit pertentangan
dalam batinnya. Memang kedosaannya itu sukar mendapat keampunan. Kalau dia
bekerja sama dengan pemerintah Ceng lagi, mungkin din akan mendapat kenikmatan
hidup. Tapi terkilas pula dalam pikirannya, bahwa orang2 macam Ceng Bo siangjin dan
kawan2 itu, adalah orang2 gagah yang jujur perwira. Bagi mereka merah tetap merah,
putih tetap putih. Dalam beberapa jam saja berkumpul dengan mereka, dia mendapat
kesan akan kejujuran dan keluhuran budi mereka. Terang mereka takkan seperti yang
dituduhkan Swat Moay tadi, jakni kelak akan menghukumnya lagi. Malah bukti
menyatakan kalau bercampur gaul dengan orang2 macam Hwat Siau dan Swat Moay itu,
besar bahajanya.
Diam2 dia mengutuk wanita ganas yang berlidah racun itu, sehingga hampir saja
menggojahkan pikirannya menyurus kejalan yang celaka,
„Kalau mengharapkan The Go masuk dalam perserekatan kawanan tikus lagi, mungkin
seperti menantikan halilintar berbunyi ditengah hari!" ujarnya dengan tegas.
Wajah Swat Moay berobah, sembari menyambar hijat. dia mengancam: „Baik, kau boleh
puaskan hatimu memain lidah. Tapi akupun tak mau membiarkan kau menyadi
penasehat dari Thian Te Hui. Biar kucabut nyawamu dululah!"
„Kalau mau bunuh lekaslah bunuh, yangan buang tempo mengomong yang tak berguna!"
sahut The Go dengan tak gentar.
Sebaliknya Swat Moay menyadi terkesiap. Seorang pemuda yang kemaruk pangkat dan
harta, kini dalam beberapa hari saja sudah berobah menyadi seorang jantan yang
perwira. Tapi tiba2 ia mendapat siasat bagus.
„Kau jatuh giliran yang kedua, lebih dahulu anak perempuan inilah!" aerunya. Berputar
kebelakang ia aegera angkat hi-jat menusuk dada Siao-lan.
„Tahan!" se-konyong2 The Go berseru kaget, „Bagaimana, apa sudah berobah haluan?"
tanya Swat Way.
Dalam beberapa kejab itu, pikiran The Go, sudah berobah. Dahulu dia men-sia2kan nona
itu sedemikian rupa, sebaliknya kini ternyata nona Itu tetap setia. Untuk kesetiaan itu,
dia berjanyi pada diri sendiri hendak membalas budi. Sudah tentu dia tak tegah biarkan
nona itu binasa. Namun untuk menolong sinona, berarti dia harus meluluskan
permintaan Swat Moay, suatu hal yang bertentangan dengan prinsip hidupnya yang baru.
Ber-ketes2 butir keringat mengucur dari dahinya, karena, sang pikiran pepat
memecahkan kesukaran itu.
Tampak Swat Moay mengangkat hijat, kini ujung senyata itu terpisah satu meter dart
dada 8iao-lan.
„Cian-bin Long-kun, pikirlah masak2. Akan kuhitung satu sampai 10, dan ujung hi-jat
ini akan menurun sampai aetengah meter!" serunya.
Menurut perhitungan waktu, menghitung 1 sampai 10 itu hanya memakan waktu, 10-an
detik saja. Belum lagi The Go mendengar jelas apa yang dikatakan Swat Moay itu, atau
wanita ganas itu sudah mulal menghitung dan tahu2 sudah sampai hitungan yang ke
10. Tanpa pedulikan suatu apa lagi, ujung hi-jat itu meluncur turun dengan pesatnya.
Dalam kejutnya The Go menyerit, tapi ternyata lwekang Swat Moay sudah mencapai
tingkat kesempurnaan, dapat menguasai gerak tenaga menurut sekehendak hatinya.
Walaupun turunnya hi-jat itu sedemikian pesat, tapi tepat pada setengah meter kebawah,
senyata itu dapat berhenti. Melirik kepada The Go, kembali mulut wanita itu mulai
menghitung dari 1 lagi.
Saking menahan kesesakan napas, dada The Go serasa panas. Napasnya memburu keras
dan matanya ber-kunang2. Dia paksakan untuk mengangkat kepalanya yang berat itu.

GAMBAR 99
Waktu The Go menoleh, tahu2 dilihatnya
senyata garu itu sudah dekat di dada Ciok Siok-lan

Mengawasi kemuka. Samar2 tampak olehnya, ujung hijat itu sudah menurun setengah
meter. Dan sebelum dia sadar, didengarnya Swat Moay sudah menghitung sampai
bilangan ke 6. Dan pada saat itu, The Go sudah pingsan tak Ingat orang lagi.
(Bersambung Ke Bagian 54.3)
ASMARA MURNI

BAGIAN 54.3
Tapi karena Swat Moay membelakangi The Go, jadi ia tak tahu akan keadaan anak muda
itu. Malah ia sudah mereka (merencanakan) rencana, kalau nona itu tak dibunuhnya,
The Go pasti akan mengira kalau ia (Swat Moay) hanya main gertak saja. Jadi untuk
menundukkan kekerasan hati anak muda itu, jiwa nona itu harus dikorbankan. Dan
seperti bunyi mitralijur, mulutnya berhamburan menghitung 7, 8, 9. Begitu mengucap
10, ujung hi-jatpun meluncur turun
„Omitohut, siancay....., siancay.......!" se-konyong2 pada saat2 yang genting meruncing
itu, terdengar suara seorang hweshio mengucapkan tegur keagamaan.
Nada seruan itu luar biasa sekali kedengarannya. Seluruh ruangan situ se-olah2
dicangkum oleh gema suara atau kalau dalam kiasan bahasa daerah (Jawa) orang
mengatakan ,,turut ngusuk" (menyalur diantara tiang bandar dan penglari atap). Begitu
ulem (kumandang) namun begitu ramah wajar bagai melukiskan suatu suasana
kehampaan yang agung. Sampaipun seorang tokoh macam Swat Moay mau tak mau
menyadi tersentak kaget juga. Dan ujung hi-jat yang hanya terpisah satu dim dari dada
Siao-lan itu tertahan oleh getaran suara tadi, hingga tak dapat langsung mengenai badan.
Dalam tersadarnya, secepat kilat Swat Moay berpaling kearah pintu. Hai, kiranya
diambang pintu tampak ada aeorang hweshio tinggi besar, berwajah merah berseri seperti
baji. Hweshio tua itu mengenakan jubah warna putih dan mencekal sebatang sik-sian-
ciang (tongkat pertapaan terbuat dari timah), sedang mengawasi kearahnya.
Berdebar hati Swat Moay menampak hweshio yang berwajah sedemikian ramahnya itu.
Cahaja wajah yang bebas dari segala dendam permusuhan terhadap siapapun juga. Api
kemarahan yang bagaimana hebatnyapun rasanya seperti sirna daja ditatap oleh cahaja
muka yang seagung itu. Sekalipun begitu jelas tampak oleh Swat Moay bagaimana sikap
hweshio itu sedemikian tenang laksana laut, kokoh laksana gunung. Sebagai seorang
tokoh persilatan tahulah sudah Swat Moay bahwa kini ia berhadapan dengan seorang
achli lwekang dan gwakang (tenaga luar) yang istimewa.
Adalah pada saat ia terpesona itu, sihweahio sudah ajunkan langkahnya pe-lahan2
menuju ketempat pembaringan The Go. Sewaktu lewat disisi Siao-lan, dia pun
mengerlingkan pandangannya sebentar, menengok nona itu.
„Siancay...., siancay.....! Mengapa sicu (anda) menahan kesakitan begitu rupa?" bisiknya
dengan halus. Dan cukup dengan menyentuhkan ujung tongkatnya kebahu Siao-lan
dengan pelahan, terbukalah sudah jalan darah sinona yang tertutuk tadi. Tapi tetap
sinona tak berani bergerak, karena ujung hi-jat ditangan Swat Moay itu masih tetap
berada satu dim diatas dadanya. Rupanya hal itu diketahui juga oleh sihweshio.
„Harap sicu hematkan tangan, agar nona ini dapat berbangkit," katanya kepada Swat
Moay.
Kata2 itu bukan merupakan suatu perintah, karena nadanya begitu ramah halus. Tapi
seperti terkena daja penarik kuat, tanpa merasa Swat Moay mengangkat pula hi-jat
keatas. Barulah ketika didapatinya Siao-lan loncat bangun, Swat Moay menyadl tersadar
dari kehilangan peribadinya tadi. Ja, mengapa ia begitu serta merta mendengar kata2
sihweahio? Bukantah tadi ia sudah menetapkan rencana bagus? Mengapa hanya dengan
sepatah dua kata2 hweshio itu saja, ia sudah kehilangan faham?
Begitu kesadarannya pulih, la segera berseru keras terus menyerang hweshio pengacau
itu. Swat Moay cukup insjaf bahwa hweshio itu tak boleh dibuat main2. Maka sebelum
orang berjaga, ia sudah mendahului dengan sebuah serangan mendadak yang
dilancarkan dengan sepenuh tenaga, bahkan sekaligus ia salurkan juga lwekang im-cui.
Sedemikian dingin hawa lwekang Itu menabur, hingga Siao-lan menggigil bergemetaran.
Saat itu The Gopun sudah tersadar. Begitu didapatinya Siao-lan berada disisinya, dia
lekass menggenggam tangan sinona.

GAMBAR 100
Begitu tersadar dari kesimanya, dengan sengit Swat Moay
terus ajunkan garu ikannya untuk menyerang Tay Yang Siansu.

Sebaliknya hweahio itu enak2 saja tampaknya. Dia masih diam saja ketika ud jung hi-jat
yang mengeluarkan hawa sedingin es itu hampir mengenal tubuhnya. Hanya tampak
tangannya bergerak sedikit untuk melintangkan tongkat pertapaannya. Trang......
bergerontanganlah bunyi hijat dan tongkat timah berbenturan. Untuk kekagetan Swat
Moay, didapatinya lwekang im-cui itu menyadi sirna daja, lenyap bagai sebentuk jarum
jatuh didalam samudera. Hendak la menarik pulang senyatanya, tapi tak mampu.

(Bersambung Ke Bagian 55)


BAGIAN 55
BERPANTANG AJAL

Baru kini Swat Moay terperanyat bukan buatan. Takut kalau lawan keburu menyalurkan
lwekang balasan yang terang tak dapat ia tahan, buru2 ia lepaskan cekalannya ....
trang........ , jatuhlah hi-jat Itu berkerontangan ketanah. Sedang iapun sudah loncat
mundur beberapa tindak.
„Sicu, lepaskan golok pembantai (jagal), kembalilah kejalan yang terang. Dengan
mengenakan jubah pertapaan itu, masakan kau tak mengerti akan ajaran gereja!"
kedengaran hweshio itu berkata.
Belum lagi Swat Moay menyahut, The Go sudah terbuka hatinya. Serentak dia seperti
mendapat penerangan batin, serunya bertanya: „Yang tak mengenakan pakaian
pertapaan, apakah dapat menerima penerangan dari mahkota gereja ?"
„Pintu kerajaan gereja itu selalu terbuka lebar!" sahut sihweshio dengan tersenyum.
The Go yang berotak cerdas segera dapat menangkap kata2 sihweshio itu. Dia ter-
mangu2 diam merenung. Sebaliknya Swat Moay yang loncat mundur tadi, tetap
penasaran, serunya: „Hweshio, adakah kau ini Tay Siang siansu dari Liok-yong-si ?"
„Benar2 itulah gelaran lo-ceng!" sahut sihweshio tua.
Swat Moay seperti terpagut ular, serempak ia loncat keluar dari jendela. Nama Tay Siang
siansu sejajar dengan nama Ang Hwat cinyin dan Kang Siang Yan. Tapi ilmu
kepandaiannya ternyata sukar dijajaki lwekang im-cui yang dimiliki itu, sekalipun air
panas yang tengah mendidih begitu terbentur tentu akan segera berobah menyadi air es.
Namun dengan mudahnya, lwekang im-cui tadi telah dihapus sirna daja oleh sihweshio.
Ilmu lwekang yang dipunyai sihweshio itu, benar2 telah mencapai tingkat kesempurnaan
total. Demikianlah sembari lari melintasi beberapa ruangan, ia masih merenungkan
kejadian tadi. Tiba2 tampak sesosok bayangan hitam menghadang sembari berseru:
„Niocu, hasilkah?"
„Sudahlah, yangan tanya hal itu. Tay Siang siansu tiba kemari!" sahut Swat Moay kepada
orang itu yang bukan lain adalah suaminya, si Hwat Siau adanya.
Juga Hwat Siau tak kurang terperanyatnya.
„Habis bagaimana baiknya?!" tanyanya.
Swat Moay merenung sampai sekian jenak, baru kedengaran ia berkata: „Tak perlu
kuatir, kita masih mempunyai sehelai kartu terachir. Budak perempuan she Liau itu,
masakan mau mandah mati begitu saja!" Begitulah sepasang suami isteri itu lalu
merundingkan siasat lebih lanyut.
---oo0oo---
Dan kita, kembali tengok keadaan ruangan tadi. Setetelah Swat Moay ngacir pergi, Tay
Siang siansu menghampiri pembaringan dan meng-elus2 kepala The Go. Seketika The Go
rasakan dirinya nyaman sekali.
„Mohon taysu mencukur rambutku!" tibal The Go berseru.
„Jodohmu belum sampai, mengapa hendak menyadi orang pertapaan ?" sahut Tay Siang
Siansu dengan tertawa, „ingatlah hati nurani itu adalah Hud, dan Hud tentu akan
bersemajam didalam hati sanubari. Itu sudah cukup."
The Go mengangguk. Tiba2 pintu terpentang dan masuklah seseorang seraja berseru:
„Suhu!". Kemudian terus berlutut memberi hormat. Dia adalah Kiau To. Dibelakang
mengikuti dua orang wanita, Ciok ji-soh dan Yan-chiu, Melihat Kiau To, tertawalah Tay
Siang siansu, ujarnya: „Ilmu silat bertambah maju, kecerdasan sebaliknya mundur!"
„Mohon suhu sudi menerangkan kesesatan murid itu," kata Kiau To sembari
menundukkan kepala.
„Apa yang dirasa baik, lakukanlah. Tiada kesesatan mengapa harus dibenarkan ?" sahut
Tay Siang sembari kebutkan lengan bajunya. Tanpa dikehendaki, Kiau To tersentak
bangun.
Sedang Yan-chiu ketika menampak Tay Siang siansu, begitu kegirangan sekali hingga
sampai mengucurkan air mata. „Lo-hwsahio!" serunya dengan ter-iba2.
Tenang2 saja Tay Siang siansu mengangkat kepala mengawasi Yan-chiu sembari
menyungging senyuman. Tapi begitu menatap dirl Yan-chiu, seri wajahnya segera
berobah menyadi keren (ber-sungguh2), sehingga sekalian orang yang berada disitu sama
tersentak kaget.
„Lo-hweahio, bagaimana?" tanya Yan-chiu.
Tay Siang tak menyahut hanya ulurkan tangannya. Dengan 3 buah jari dia memeriksa
polo (pergelangan) tangan Yan-chiu. „Siancay.......! Nona kecil ini akan menuju kealam
baka!" katanya kemudian.
„Suhu, bukantah karena menerima surat dari merpati pos itu, suhu lalu datang kemari?"
buru2 Kiau To berseru dengan kaget, „adalah karena jiwanya terancam maut, maka aku
mohon suhu menaburkan kemurahan hati untuk menolongnya !"
Tay Siang siansu hanya mendehem didalam tenggorokan, lalu menatap Yan-chiu dan
berseru: „Aneh...., aneh...., sungguh aneh !"
Adalah Ciok ji-soh yang berwatak berangasan, karena tak mengerti apa yang diucapkan
siansu itu, segera berseru: ,,Lo-hweshio, apakah kau mempunyai daja untuk
menolongnya? Lekaslah memberi pertolongan !"
Tay Siang menggeleng, sahutnya: „Jalan darah ki-hiat (istimewa) diluar pembuluhnya
telah ditutuk lwekang oleh orang. Kepandaian lo-ceng terbatas, hanya tahu sampai dlsitu
saja. Untuk menolongnya, dikuatirkari akan membikin kapiran !"
Ucapan itu membuat sekalian orang serasa digujur air dingin. Tadi Kiau To tengah
melanyutkan usaha mencari tempat harta. karun itu disekeliling gereja Kong Hau Si situ.
Sedang Yan-chiu dan Tio Jiang tengah memeriksa mulut sumur yang memancarkan sinar
aneh itu. Mendengar para hweshio mengatakan bahwa Tay Siang siansu datang, mereka
ber-gegas2 menemuinya. Mereka menyongsong dengan penuh harapan. Dikiranya begitu
Tay Siang siansu datang, Yan-chiu tentu akan tertolong. Tapi nyatanya, apa yang
disumbarkan oleh Swat Moay itu benar adanya. Tay Siang siansu pun tak berdaja
menolongnya !
Tay Siang siansu adalah paderi agung yang tinggi martabatnya, sudah tentu dia tak mau
berbohong. Mendengar keterangannya tadi, serentak Yan-chiu terus lari keluar. Tio Jiang
buru2 memburunya, tapi nona itu sudah lenyap tak ketahuan kemana. Dengan gelisah
Tio Jiang kembali kedalam ruangan dan segera jatuhkan diri berlutut dihadapan Tay
Siang.
„Biar bagaimana kumohon siansu sudi menolong jiwa Siao Chiu itu!" serunya ter-iba2
dengan suara tak lampias.
Tay Siang menggeleng, ujarnya: „Harap siaoko bangun. Banyak nian urusan didunia ini
yang tak dapat dicegah usaha manusia, mengapa harus disedihkan?"
Kembali hati Tio Jiang seperti digujur es.
„Siansu, apakah benar2 tiada daja lagi ?" tanyanya. Belum Tay Siang menyahut, Kiau To
tiba2 sudah membuka mulut: „Suhu, tadi berulang kali suhu menyatakan aneh, apakah
artinya itu?"
„Bukantah nona itu pernah memakan mustika yang bermanfaat sekali terhadap
badannya?" tanya Tay Siang.
Mendengar itu timbul lagi harapan Tio Jiang, serunya : „Ia memang pernah memakan
mustika batu peninggalan dari Tat Mo Cuncia."
„Ai......., makanya wajah nona itu memancarkan sinar kehijau2-an, jauh berbeda dengan
kebanyakan orang."
„Adakah hal itu akan menolongnya?" tanya Tio Jiang pula.
Sampai sekian jurus Tay Siang tak menyahut. Siiasana diruangan situ menyadi
sedemikian heningnya, sehingga seumpama ada sebatang jarum jatuh kelantai, tentu
akan kedengaran juga. Hati sekalian orang ber-debar2. Achirnya berkatalah Tay Siang:
„Sukar...., sukar....! Harus dilihat apakah ia sanggup menderita siksaan itu tidak ? Kini
belum waktunya mengatakan, nanti saja apabila sudah saatnya baru kuterangkan !"
Oleh karena masih ada setitik sinar harapan, Tio Jiang serta merta haturkan terima kasih
kepada Tay Siang.
„Siaoko, sedemikian murah kasih Hud, harus kau menyaga dirimu baik2 yangan gelisah!"
ujar Tay Siang.
Tio Jiang tak mengerti apa yang dimaksudkan ucapan siansu itu. Yang dipikirkan jalah
keselamatan Yan-chiu. Kegelisahan apapun juga, dia tak takut asal sumoaynya selamat.
Sehabis mengucap kata2 yang sukar ditebak itu, Tay Siang lalu menuju kesudut ruangan
untuk duduk bersemadhi. Ciok Siao-lan menceritakan apa yang telah terjadi diruangan
tadi, dan kini makin teballah kepercajaan sekalian orang kepada The Go.
Ketika Tio Jiang mengemukakan mulut perigi kecil itu, The Go yang penuh dengan
pengalaman segera berkata : „Mulut perigi itu disebut Tat Mo Keng (perigi Tat Mo). Ketika
Tat Mo cuncia dari India datang kemari, gereja Kong Hau Si ini masih bernama Hwat
Seng Si. Maka menunyuklah Tat Mo ketanah seraja berkata: 'Didalam tanah ini terdapat
emas.' Ber-dujun2lah rakjat menggali tanah itu. Sampai sekira 10-an tombak dalamnya,
penggalian sampai dibatu padas dan airpun kelhar, tapi emas tetap tak terdapat. Rakjat
menuduh Tat Mo membual, namun berkatalah guru besar itu: 'Tak dapat diketemukan
dengan penggalian biasa!'. Sejak itu perigi disebut perigi Tat Mo. Mulutnya meskipun
kecil, tapi dasarnya makin dalam dan lebar, dapat dibuat menyimpan harta karun !"
„Hai, kalau begitu ajuh kita pergi kesana!" seru Kiau To kegirangan.
„Baiklah cari dulu Yan-chiu untuk diajak pergi bersama2," kata Tio Jiang yang disetujui
juga oleh Kiau To. Begitulah keduanya segera tinggalkan ruangan itu.
Kemana gerangan perginya Yan-chiu? Kiranya dengan hati patah sigenit itu lari keluar
melalui dua buah tikungan, lalu berhenti diujung tembok, menangis tersedu sedan. Ia
kuras air matanya, menangis dan menangis saja. Tiba2 terasa bahunya ditepuk orang. la
kira kalau itu tentulah sukonya yang hendak menghibur.
„Suko, Tay Siang siansupun tak berdaja lagi. Adakah dengan begini saja kita akan
berpisah se-lama2nya?"
Orang yang menepuk itu tertawa, serunya: „Nona kecil, kalau tak mau berpisah, itulah
mudah! Apakah kau sudah mengetahui tempat simpanan harta karun Itu?"
Yan-chiu seperti tersengat kala. Ketika secepatnya ia berpaling kebelakang ternyata yang
menepuk bahunya itu adalah Swat Moay. Sedang disebelah belakangnya lagi, terdapat
Hwat Siau. Buru2 Yan-chiu geliatkan bahu untuk tnenghindari Langan wanita !tu,
„Yangan pedulikan aku!" serunya.
,,Siao Chiu, orang macam Tay Siang siansupun tak berdaja! Kau tak menghendaki
tenagaku? Apakah kau benar2 hendak tinggalkan dunia yang indah ini, rela menyadi
setan gentayangan?" Swat Moay tertawa iblis.
Yan-chiu teramat gusarnya. Dengan se-kuat2nya ia menghantam, tapi Swat Moay
menyongsongnya menangkap tangan Yan-chiu, serunya: „Siao Chiu, ini adalah
kesempatan yang terachir. Coba kau hitung, berapa lama lagikah kau dapat bernapas?"
Yan-chiu tak berdaja. Memang dalam hati kecilnya ia tak kepingin mati. Tapi biar
bagaimana tak sudi ia menyerah pada Swat Moay.
„Usah kau pedulikan tentang jiwaku lagi, akan kutanggung sendiri!" sahutnya dengan
tawar.
Swat Moay tak marah, ujarnya: „Baiklah! Kalau kau ingat pesanku, asal kau sulut
tumpukan kaju bakar itu, aku tentu segera datang!"
Tanpa tunggu jawaban orang, wanita itu segera melenyapkan diri. Seketika timbullah
sesal Yan-chiu. Benar2 ia ingin mengejar wanita itu untuk memberitahukan tentang
sumur kecil itu. Tapi baru saja kakinya melangkah setindak, terkilas pada pikirannya:
„Tidak, tidak! Mati biarlah mati, apa peduli!"
Sang mulut berkeras, namun hatinya mengeluh. „Ah, lebih baik suruh Swat Moay
membuka jalan darah, biar bagaimana, asal aku dapat hidup bahagia didamping suko."
Kembali sang kaki melangkah, tapi lagi2 berhenti. Sampal sekian saat ia tertegun, tak
dapat mengambil keputusan. Achirnya keperwiraan hati telah menang. „Ah, biarlah!
Suhu mengatakan kalau aku sudah tak berajah-bunda. Kalau tiada ditolong suhu, tentu
aku sudah dibinasakan orang jahat. Kalau memang sudah suratan takdir tahun ini aku
harus mati, mengapa aku harus mohon belas kasihan? Daripada mati sia2, lebih baik
kuturun kedalam sumur untuk menyelidikinya. Sekalipun aku tak dapat berenang, tapi
aku dapat menutup jalan hawa!"
Setelah membulatkan tekad, ia lalu menuju kesumur Tat Mo. Setiba disitu tanpa banyak
pikir lagi, ia terus terjun kebawah, blung.......... Bagi orang yang tak dapat berenang,
begitu terjun ke air, tentu akan gelagapan. Juga Yan-chiupun demikian. la terus silam
sampai satu tombak lebih dalam, baru teringat untuk menutup lubang hawa. Sekali
mengerahkan semangat, tubuhnya segera melayang naik. Kecuali gelap remang2 dari
cahaja air, ia tak melihat sesuatu apa lagi. Ia mulai hembuskan napas dan tubuhnyapun
tenggelam lagi kebawah. Tak berselang berapa jurus, kakinya telah menginyak dasar
perigi. la pentang matanya sembari meng-geliat2kan kaki tangan. Tapi selain air, tiada
tampak apa2 lagi. Dalam keputusan asa, tubuhnya serasa hendak mengapung keatas
lagi. Buru2 ia gunakan ilmu cian-kin-tui, untuk menyaga keseimbangan tubuh, lalu
berjaIan kemuka.
Ilmu cian-kin-tui (tindihan seribu kati) yang digunakan itu, se-kurang2nya mempunyai
kekuatan beberapa ratus kati beratnya. Tadi pertama kali menginyak dasar perigi,
rasanya dasar itu lunak karena terdiri dari lempung dan lumpur. Tapi waktu dia gunakan
ilmu membikin berat badan itu, kakinya melesak masuk lagi dan menginyak dasaran
yang keras datar. Buru2 ia membungkuk untuk merabahnya. Ai....., kiranya dasar itu
terbuat daripada papan batu. Girangnya Yan-chiu bukan kepalang. Dengan kedua
tangan, ia menyingkap lumpur yang membenam dasar itu. Air menyadi keruh dengan
hamburan lumpur, tapi ia tak ambil peduli.
Tangannya merabah-rabah terus dan untuk kegirangannya achirnya ia telah dapat
merabah dua buah rantai besi!
„Kalau dibawah papan besi ini terdapat simpanan harta karun, sekalipun nyawa menyadi
korban, rasanya masih berharga juga. Demikian ia merenung dan dengan mengundang
seluruh kekuatannya, ia menarik rantai besi itu, dan .......... terangkatlah papan batu itu
keatas. Tapi berbareng dengan itu, Yan-chiupun hampir terhujung jatuh. Lumpur makin
mengeruhkan air disekitarnya.
Setelah papan batu terangkat, tampaklah suatu cahaja mengilau memancar dari dasar
air. Saking girangnya, lupalah Yan-chiu kalau ia berada didalam air. Menyeritlah ia
karena dimabuk kegirangan itu dan masuklah seteguk air lumpur kedalam mulutnya.
Buru2 ia menutup mulut, tapi berbareng itu, tangannya serasa ditarik keatas oleh riak
air. Sekalipun ia coba kerahkan cian-kin-tui, namun tetap sempojongan. Dan berbareng
itu hidung seperti tertampar keras, kepala pening mata berkunang. Hendak ia menutup
hidung, tapi sudah tak keburu, kelutuk, kelutuk, kembali mulutnya terminum beberapa
teguk air lumpur. Sedang riak-putaran airpun terasa makin kuat. Perut Yan-chiu sudah
kembung minum air lumpur, dan keadaannyapun sudah limbung, kakinya tak dapat
berdiri kokoh lagi. Bluk........, ia membentur dinding perigi dan rubuhlah ia tak sadarkan
diri
Diceritakan, sewaktu Tio Jiang memburu mencari Yan-chiu tadi, sigenit itu sudah loncat
masuk kedalam perigi, jadi sudah tentu Tio Jiang tak dapat menemukannya. Kembali
kedalam kamar, dia berkata kepada Kiau To: „Ajuh, kita pergi saja, tak usah tunggu ia
lagi!"
Begitulah Kiau To beserta Ciok ji-soh dan Tio Jiang menuju kesumur Tat-mo-keng. Belum
lagi mendekati tempat itu, dari kejauhan sudah tampak ada dua sosok bayangan sedang
membungkukkan badan memandang kedalam perigi itu. Mereka bukan lain adalah Hwat
Sisu dan Swat Way.
Kiranya setelah pergi tadi, Swat Moay bersembunyi disuatu tempat untuk menunggu apa
yang hendak dilakukan Yan-chiu. Dilihatnya nona itu lari menuju ke sumur dan loncat
masuk ,kedalamnya. Timbullah kecurigaan Swat Moay, yangan2 nona itu telah
mengambil putusan pendek untuk bunuh diri. Celaka, serunya seorang diri. Kartu atau
pion satu2nya yang diharapkan telah gagal lag!. Terang tempat harta karun itu makin
jauh dari harapannya.
Dengan berputus asa, mereka berdua sudah mengambil putusan untuk kembali keutara
saja melapor pada Sip-ceng-ong. Tapi baru kakinya hendak diajun, tiba2 Yan-chiu
berhasil membuka papan batu, hingga permukaan sumur itu memancarkan cahaja yang
gilang kemilau. Kegirangan kedua suami isteri itu sukar dilukiskan.
Niocu, benda itu berada disini!" seru Hwat Siau.
„Benar, kiranya budak perempuan mengetahui tapi ia berkeras kepala lebih suka mati
daripada menyerah pada kita. Ho, tak mudahlah!" sahut isterinya.
Seketika Hwat Siau lantas hendak turun kedalam perigi, tapi dicegah isterinya yang
mengatakan lebih balk tunggu kalau Yan-chiu sudah naik keatas lagi. Adalah karena
keajalan itu, datanglah Tio Jiang dan Kiau To. Kalau musuh lama saling berjumpa,
bagaikan banteng yang merah matanya.
Kiau To lari mendahului dan belum orangnya tiba, jwanpiannya yang terbuat dari otot
kerbau itu sudah melayang menyapu. Bahwa Tay Siang siansu tak ikut serta, telah
membuat Hwat Siau berbesar hati. Dia cukup jakin tentu dapat membereskan ketiga
lawannya itu. Sekali merabah pinggang, pek-kim-tiu-tay atau sabuk sutera emas putih,
sudah berada ditangannya. Ketika tangannya menyongsong kemuka, selendang yang
panjangnya hampir 10 meter itu tanpa bersuara apa2 sudah menyulur kemuka.
Kiau To bernapsu sekali untuk mengalahkan lawan. Apalagi karena hari sudah
menyelang gelap, jadi dia tak dapat melihat jelas akan adanya selendang emas putih itu
lagi. Dia meneryang maju, kira2 5 meter jauhnya dari Hwat Siau, barulah kepala jagoan
Ceng itu menyentakkan selendangnia keatas.
Selendang itu penuh disaluri dengan lwekang, sehingga merupakan seekor ular hidup.
Tempo bertanding dengan Ceng Bo di Lo-hu-san beberapa hari yang lalu, dia telah
berhasil melibat imam gagah itu hingga tak berdaja. Tertampar oleh kibasan selendang
itu, seketika itu rubuhlah Kiau To. Hanya karena dia cukup kuatf kepandaiannya, begitu
rubuh buru2 dia sodokkan pian ketanah untuk menahan tubuh. Mengandal rujungnya
itu sebagai tongkat, dia berjumpalitan. Ketika berdiri jejak, dia menundukkan kepala
untuk mengawasi, hai....kiranya selembar selendang. Bluk....., saking gusarnya dia
menghantam ketanah hingga tanah itu sampai berlubang. Tapi Hwat Siau siang2 sudah
menyentakkan selendangnya keatas lagi. Hanya deru anginnya yang gemuruh
menclesing-desing, namun dari arah mana benda itu me-nyambar2 sukar diduganya.
Kejut Kiau To bukan kepalang. Dia buru2 mundur. Tapi Hwat Siau meluncur maju
memburunya. Tangannya bergerak dan me-legut2lah selendang itu bagaikan ratusan
ekor ular berbisa hendak memagut Kiau To. Sebenarnya Kiau To cukup tahu akan
kelihayan musuh dan diapun sudah berlaku sangat hati2 sekali. Namun menghadapi
senyata musuh yang sedemikian luar biasanya itu, bingung juga dia dibuatnya. Satu2-
nya jalan, terpaksa dia putar jwan-pian begitu rupa, sehingga merupakan lingkaran sinar
yang tak dapat ditembus oleh hujan, guna melindungi diri. Dan ternyata siasat itu
berhasil. Untuk beberapa saat, memang Hwat Siau tak berdaja untuk menggempurnya.
Sedang disebelah sana. Ciok ji-soh dan Tio Jiang sudah bertempur melawan Swat Moay.
Boan-thian-kok-hay, mengarungi langit melintasi laut, salah satu jurus dari to-hay-kiam-
hwat telah dilancarkan Tio Jiang, namun Swat Moay tetap tegak tak mau menyingkir.
Tahu-'2 dia gerakkan lengannya melintang, dan tangan itu sudah mencekal senyata.
Trang......, ketika kedua senyata itu berbenturan, Tio Jiang segera rasakan ada suatu
tenaga dingin menyalur kearahnya. Buru2 dia gunakan jurus ceng-wi-tian-hay untuk
diteruskan menusuk tenggorokan orang.

GAMBAR 101
Disebelah sini Kiau To terus tempur dengan Hwat Siau dengan serunya,
disisi sanaTio Jiang dan Ciok ji-soh pun ikut mengerojok Swat Moay.

Adalah tepat pada saat itu, Ciok ji-sohpun sudah tiba dan serangkan kim-kong-lun pada
Swat Moay, menuju bawah dan atas.
Tapi gerakan Swat Moay itu luar biasa gesitnya. Dengan menggeliat kesamping ia sudah
dapat menghindari serangan Ciok ji-soh dan Tio Jiang. Bahkan berbareng dengan itu, ia
sudah dapat mengirim sebuah serangan balasan kepada Ciok ji-soh.
Ciok ji-soh terkesiap kaget. Bukan saja karena menampak kegesitan lawan pun juga
dengan senyatanya yang luar biasa anehnya itu. Bentuknya macam sebuah lingkaran
besar berwarna hitam. Tapi anehnya senyata itu ada kalanya tampak berbentuk pesegi,
tapi ada kalanya berbentuk bulat. Entah senyata apa itu namanya, hanya yang jelas,
senyata itu tak mengeluarkan sedikit suara apapun. Tahu2 kalau melayang dekat, lantas
menerbitkan putaran tenaga yang hebat. Baru Ciok ji-soh hendak mengangkat kim-kong-
lnn menangkisnya, atau ia sudah tersentak kemuka dan gentayangan rubuh. Dalam
gugupnya, bttrtt2..... ia kerahkan tenaga untuk menarik kim-kong-lun kebelakang
sembari ajunkan tuhuhnya untuk menahan tenaga sedotan Swat Way. Tapi Swat Moay
hanya mengekeh tertawa, tahu2 ia berkisar menyerang Tio Jiang.
Kini barulah Ciok ji-soh dapat melihat jelas bahwa senyata yang dimainkan oleh Swat
Moay itu tak lain tak bukan hanyalah sebuah mantel angin. Mantel dipakai untuk
menahan serangan angin, tapi ditangan Swat Moay, benda itu telah berobah menyadi
suatu senyata yang hebat, hingga hampir2 Ciok ji-soh celaka dibuatnya. Diam2 Ciok ji-
soh mengagumi kepandaian lawan yang memiliki ilwekang sedemikian tingginya. Tapi
dalam pada itu, ia terkejut sekali demi mendapatkan bahwa tenaga sedotan Swat Moay
yang sedemikian kuatnya tadi, dalam sekejab mata saja sudah hilang musna.
„Gila!" diam2 Ciok ji-soh mengeluh.
Tadi sewaktu disedot, Ciok ji-soh menarik kebelakang kim-kong-lun untuk melindungi
jalan2 darah berbahaya pada tubuhnya. Dan dalam pada waktu itu, ia kerahkan
tenaganya untuk menyentakkan tubuhnya menahan sedotan lawan. Bahwasanya tenaga
sedotan Itu dapat lenyap dengan seketika, menandakan sampai dimana penguasaan Swat
Moay akan ilmu lwekangnya. Jelas diketahui, betapa jauh terpaut kepandaiannya (Ciok
ji-soh) dibanding dengan lawan. Bukan saja Swat Moay dapat menyerang dengan lwekang
yang maha dahsjat, pun dapat menariknya pulang sembarang waktu.
Karena dilepaskan, Ciok ji-soh yang tak keburu menguasai tenaganya itu telah
terjerembab jatuh kebelakang, bum....., bagian belakang batok kepalanya terbentur pagar
persegi. Dengan menyerit keras, ia loncat bangun lagi. Ketika tangan merabah kebelakang
batok kepalanya, ternyata bagfian kepala itu beloboran darah.
Perangai Ciok ji-soh sangatlah kerasnya. Bahkan melebihi kerasnya dari orang lelaki
kebanyakan. Tapi bahwa kali itu ila jatuh knock-out sampai beloboran darah kepalanya,
telah membuat matanya ber-kunang2 kepalanya pusing tujuh keliling. Buru2 ia loncat
kesamping, lalu ngelumpruk duduk ditanah, tak dapat berdiri lagi. Tapi sebagai seorang
jago betina yang tak mau kalah dengan orang lelaki, ia tetap keraskan hati.
„Siao-ko-ji, aku knock-out. Kau seorang diri saja lajani wanita iblis itu!" serunya kepada
Tio Jiang. Rupanya is paksakan diri untuk berseru, ini ternyata dari napasnya tampak
memburu ter-sengal2 habis mengeluarkan kata2 itu.
Terpaksa Tio Jiang bermain single dengan Swat Moay. Memang pada waktu achir2-ini
kepandaian Tio Jiang makin bertambah maju dengan pesatnya. Tapi berhadapan dengan
Swat Moay, tetap dia tak berdaja. Apalagi menghadapi senyata luar biasa dari lawan itu,
Tio Jiang hanya dapat bertahan saja. Satu2-nya keuntungan Tio Jiang jalah dia
menggunakan pedang pusaka yang dapat menabas kutung segala macam logam.
Memang Tio Jiang hendak menarik keuntungan dari senyatanya itu. Begitu senyata
musuh melayang layang, dia barengi untuk menabasnya, tapi selincah burung, mantel
Swat Moay itu terbang keatas. Begitulah dalam 3 jurus, pedang Tio Jiang telah kena
dirangkum dalam libatan lingkaran angin mantel. Tio Jiang sempat memperhatikan juga
akan Ciok ji-soh yang ternyata masih mendeprok ditanah belum dapat bangun itu. Sudah
tentu hal itu membuatnya bingung. Dan kebingungan inilah yang menyebabkan
gerakannya agak lambat. Sedikit lubang itu saja telah dapat diketahui oleh Swat Moay.
Mengalihkan kakinya kesamping, wanita itu kebutkan mantelnya keatas dan ujung baju
mantel itu tepat hendak menampar jalan darah Tio Jiang.,
Sjukur Tio Jiang cukup tangguh dengan serangan itu. Dengan gunakan permainan
pedang to-hay-kiam-hwat sembari dicampur dengan gerak tubuh hong-cu-may-ciu (sigila
menyual arak), tubuhnya ber-geliat2 menghindar. Benar dia berada dibawah angin,
namun dalam 10 jurus saja rasanya tak nanti Swat Moay dapat merebut kemenangan.
---oo0oo---

(Bersambung Ke Bagian 56)


HABIS GELAP TERBITLAH TERANG
BAGIAN 56.1

Kembali pada partai Kiau To lawan Hwat Siau, rupanya jalannya pertandingan makin
berat sebelah. Kiau To hanya dapat membungkus dirinya dengan lingkaran sinar
jwanpian sembari loncat kesana menghindar kemari. Benar2 dia hanya dapat bertahan
tak mampu balas menyerang lagi. Selendang sutera Hwat Siau makin bergelora hidup,
dan makin gencar serangannya. Selendang itu se-olah2 membungkus lingkaran sinar
jwan-pian.
Kedua seteru itu sama mainkan senyata yang bersifat lemas. Jwan-pian atau rujung
lemas Kiau To itu ada kira2 tiga meter panjangnya. Sewaktu diputar, dapat menyadi
sebuah lingkaran yang membungkus dirinya. Tapi oleh karena selendang si Hwat Siau
lebih panjang lagi, jadi dapatlah dibuat melingkungi lingkaran jwan-pian itu.
Pemandangan yang disuguhkan dari kedua permainan itu, memang sangat menarik
sekali.
Tenaga himpitan yang dibawa oleh gelombang selendang Hwat Siau itu makin lama makin
terasa hebat. Malah tidak cukup disitu saja kehebatan itu. Sambaran selendang yang
mengeluarkan bunyi men-deru2 itu, disertai pula dengan hawa panas yang merangsang
tubuh Kiau To. Diserang secara begitu luar biasa, betul2 telah membuat Kiau To mati
kutu didalam terperanyatnya. Melirik kesebelah sana didapatinya Tio Jiangpun pontang-
panting tak keruan keadaannya. Sedang Ciok ji-soh mendumprah ditanah tak dapat
berdaja suatu apa.
„Ciok ji-soh, apakah kau terluka berat?" tiba2 dia tergerak pikirannya untuk menegur
wanita keras hati itu.
Dalam sepeminum teh lamanya itu, setelah beristirahat dan menyalurkan hawa dalam,
Ciok ji-soh merasa agak baikan. Maka serunya menyahut: „Tak jadi halangan apa2!"
„Mengapa tak memanggil bantuan?" seru Kiau To.
Seruan itu telah menyadarkan Ciok ji-soh. Bukantah tokoh silat gereja yang sukar dicari
tandingannya, Tay Siang siansu, itu berada disini? Ai, mengapa ia setolol Itu tak mau
mengundangnya kemari, tapi berkeras mau melawan sendiri musuh yang terang bukan
lawannya itu?
Plak, ia menampar mukanya sendiri selaku menghukum diri atas ketololannya itu.
Serentak loncat bangun, ia terus hendak lari, tapi bluk....., tahu2 ia terjatuh lagi.
Mengapa? Kiranya Hwat Siau dan Swat Moay cukup tahu apa artinya kalau Ciok ji-soh
berhasil mengundang Tay Siang siansu kesitu. Sudah tentu mereka tak mau membiarkan
nyonya gagah itu untuk masuk kedalam gereja. Begitu nyonya itu mengajun tubuh, Hwat
Siau segera sentakkan selendang yang dengan cepatnya segera melegat-legut menyerang.
Karena Ciok ji-soh tak bersiaga, maka ia dipaksa mencium tanah lagi.
Tapi wanita yang keras kepala itu, dengan cepatnya merangkak bangun lagi, lalu
memberosot lari kemuka. Hwat Siau menggerung. Selendangnya berobah menyadi
sebuah lingkaran yang meluncur keatas kepala Ciok ji-soh.
Kiau To mengeluh kaget. Ketika Ceng Bo bertanding dengan kepala, jagoan Ceng itu,
diapun menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kehebatannya selendang
itu. Dia insjaf, sekali Ciok ji-soh sampai kena terlibat selendang itu, jiwa nyonya itu tentu
terancam dan dia sendiripun pasti tak mampu menolonginya.
Bagi seorang ksatrya macam Kiau To, menolong kawan adalah suatu kewajiban mulia
sekalipun andai kata jiwanya sendiri sampai berkorban untuk itu. Loncat keatas, dia
balingkan jwan-pian untuk menghantam selendang. Hantamannya itu dilancarkan
dengan seluruh tenaganya. Oleh karena Hwat Siau tak mengira kalau Kiau To berani
berbuat senekad itu, maka selendangnyapun kena kehantam dengan tepatnya. Ujung
selendang yang selingkar tadi, telah terpental keatas dan Ciok ji-sohpun dapat
menggunakan kesempatan itu untuk menyelinap 3 tombak jauhnya.
Diganggu secara begitu, Hwat Siau timpahkan kemarahannya kepada Kiau To. Lingkaran
ujung selendangnya tadi kini berbalik melibat jwan-pian Wau To. Dan sekali menyentak,
berserulah Hwat Siau dengan bengianya: „Lepas!"
Watak Kiau Topun keras seperti baja. Dia bertekad tak mau lepaskan jwan-piannya.
Bahkan senyata itu dicekalnya erat2. Tapi sesaat itu dia rasakan tangannya sakit bukan
alang kepalang. Kulit telapak tangannya sampai terbeset, namun dia berkeras hendak
mempertahankan. Tapi bagaimanapun juga, toch achirnya jwan-pian itu kena terkait oleh
tarikan selendang Hwat Siau.
Kesemuanya itu hanya berlangsung dalam waktu beberapa kejab saja. Dengan tertawa
menghina, Hwat Siau alihkan selendangnya mengejar Ciok ji-soh lagi. Ciok jisoh berputar
kebelakang untuk menangkis dengan sepasang kim-kong-lunnya. Tapi tangkisannya itu
bukan saja menghantam angin, bahkan sebaliknya malah kena terlibat lingkaran
selendang. Hendak ia mencoba melepaskan diri, namun sia2 jua. Adalah pada saat yang
genting meruncing itu, se-konyong2 dari atas tembok sana terdengar orang berseru
dengan menggeledek: „Keparat, macam berkelahi apa itu? Hai, mana si kui-ah-thau
(budak perempuan nakal) ?"
Dalam suasana sehening malam itu, auara seruan itu se-olah2 memecah bumi
kedengarannya. Memang diluar dugaan Hwat Siau dan Swat Moay bahwa pertempuran
itu akan berjalan sampai sekian lama. Perhitungannya, dalam dua tiga gebrak saja
mereka tentu dapat membereskan Kiau To bertiga. Dan ini memang harus begitu, karena
mereka harus lekas2 masuk kedalam perigi agar yangan sampai kedahuluan orang. Dua
puluh jurus lebih telah berlangsung, tapi berkat perlawanan yang nekad dari ketiga orang
itu, Hwat Sisu dan Swat Moay terpaksa menggigit jari.
Seruan yang mengguntur tadi, telah membuat Hwat Siau terperanyat. Namun sebagal
jago kawakan, dia tak menyadi gugup dengan gangguan itu. Selanyutnya tetap
dilingkarkan kearah kim-kong-lun. Dengan gunakan tenaga lemas dia menarik dan itu
saja sudah cukup menyeret Ciok ji-soh sampai setombak jauhnya. Setelah itu barulah
dia mendongak keatas. Sesosok tubuh macam sebuah menara tampak berdiri diatas
wuwungan rumah. Tinggi orang itu tak kurang dari 2 meter lebih dan perawakannya
begitu gagah perkasanya. Pada lain saat, tampak ada dua sosok bayangan lagi, tiba
disamping orang tinggl besar tadi. Hanya cara kedua orang itu naik keatas wuwungan,
adalah aneh juga. Kedua sosok bayangan hitam itu naik dengan menggunakan tangan,
kemudian baru tegak berdiri.
Astagafirullah! .......... Begitu berdiri kedua sosok tubuh itu kira2 hampir 3 meter
tingginya. Orang pertama yang boleh dikatakan sudah yangkung tadi, begitu berjajar
dengan kedua bayangan hitam itu telah berobah menyadi semacam anak kecil saja.
Betapa kejutnya Hwat Siau dapat dibayangkan.
„Niocu, dari 36 jalan!" tiba2 dia menyerukan isterinya. Seruan itu rupanya sebuah tanda
rahasia yang lengkapnya adalah begini: 'dari 36 jalan, lari adalah yang paling selamat'.
Jadi maksudnya dia hendak mengajak sang isteri kabur saja.
Tapi baru saja ucapannya itu diserukan, atau dari kejauhan sudah tampak mendatangi
ber-puluh2 batang obor. Kiranya sewaktu mendengar seruan mengguntur dari
siyangkung tadi, para hweshio gereja situ sama terperanyat. Dengan membawa obor,
mereka ber-bondong2 menghampiri keluar. Dalam sekejab saja suasana disitu menyadi
terang benderang laksana siang hari.
Dari cahaja obor, dapat Swat Moay melihat jelas siapa2 yang berdiri diatas wuwungan
itu. Siyangkung pertama tadi, adalah seorang laki2 yang gagah perawakannya.
Sedangkan kedua sosok tubuh yang hampir 3 meter tingginya itu, kiranya bukan
manusia melainkan dua ekor orang-utan!
Juga Kiau To, Tio Jiang dan Ciok ji-soh sudah dapat mengetahui siapa2 yang datang itu.
„Nyo cecu, kiranya kaulah!" serempak Kiau To dan Tio Jiang berseru dengan berbareng.
Benar, memang siyangkung itu bukan lain adalah Nyo Kong-lim itu toa-cecu (pemimpin
pertama) dari ke 72 markas Hoasan.
„Memang akulah!" Nyo Kong-lim menyeringai tertawa. Dan bluk....., loncatlah dia turun.
Kedua orang-utan itupun ikut turun. Taringnya yang menonyol dimulut, menampilkan
kebuasan yang mengerikan orang.
Sebagai orang persilatan yang banyak makan asam garam, Hwat Siau dan isterinya
cukup menginsjafi sampai dimana kelihayan bangsa binatang begitu itu. Setelah saling
bertukar isjarat mata, mereka berdua loncat keatas rumah.
„Keparat, belum apa2 sudah mau ngacir!" seru Nyo Kong-lim nikasar au.
Memang sekalipun memiliki kepandaian yang hebat, kedua suami Isteri itu adalah
bangsa manusia licik. Bukannya berhenti menyambuti tantangan Nyo Kong-lim
sebaliknya mereka malah enyot pula kakinya untuk loncat keatas wuwungan rumah yang
kedua. Tapi adalah pada saat itu, dari sebelah luar tembok gereja, loncat masuk beberapa
orang. Dua dari mereka tampak menghunus dua batang pedang yang bergemerlapan
cahajanya. Melihat jalanan dipegat, Hwat Siau dan Swat Moay loncat balik lalu tegak
saling membelakangi bahu.
Wut, Nyo Kong-lim mencabut sam-cat-kun (toya yang mempunyai 3 buku), terus loncat
keatas. Kiau To, Tio Jiang dan Ciok ji-soh pun mengikuti dari belakang. Kedua binatang
itupun tak mau ketinggalan, turut melompat keatas. Sewaktu melihat Tio Jiang agaknya
kedua orang utan itu seperti bertemu dengan sahabat lama. Mereka menyeringai tertawa,
tapi sebaliknya Tio Jiang malah ber-jingkrak kaget dibuatnya.
Saat Itu ada ratusan hweshio dengan mencekal obor, menyuluhi wuwungan. Tampak
diantara rombongan orang2 yang datang itu tadi, yang berada disebelah depan
dandanannya seperti seorang pertapaan (imam), berwajah agung dan mencekal sebatang
pedang pusaka. Memang dia bukan lain Ceng Bo siangjin adanya. Yang berada disisinya
adalah Kang Siang Yan In Hong. Sebelah kanan dan kiri di-apit2 Kui-ing-cu dan Thaysan
sin-tho Ih Liok. Dibelakangnya terdapat Ki Ce-tiong yang menghunus sepasang song-
kian, serta Sin-eng Ko Thay. Kini belasan orang itu sama mengepung Hwat Siau dan Swat
Moay.
Setelah jakin bahwa kedua kepala benggolan kaki tangan pemerintah Ceng itu tak dapat
lolos, bertanyalah Ceng Bo kepada Kiau To: „Kiau-heng, bagaimana Yan-chiu? Dan lain2
saudara?"
Kiau To sebenarnya masih belum hilang keheranannya mengapa sekalian tokoh2 kawan
seperjoangannya itu dapat tiba digereja Kong Hau Si pada saat yang begitu tepat. Setelah
merenung sejenak barulah dia sadar, bahwa kedatangan kawan2 itu adalah hasil dari
undangan yang disebarkan dengan merpati posnya. .
„Ah, terlalu panjang untuk diceritakan. Lebih baik bereskan dahulu kedua manusia
busuk itu!" sahutnya dengan girang.
Kulit tangannya yang terbeset karena ditarik Hwat Siau tadi masih berlumuran darah.
Sewaktu dia menuding kepada Hwat Siau dan Swat Moay, tangannya yang merah
berdarah itu tampak memberi pemandangan yang mengerikan sekali sewaktu ditimpa
cahaja penerangan obor.
Hwat Siau dan isterinya tampak gelisah sekali. Rombongan Ceng Bo adalah jago2 keras
semua. Apalagi masih ada Tay Siang siansu. Jadi dapatkah mereka menyelamatkan jiwa
kali ini, adalah suatu pertanyaan besar. Maka betapapun lihaynya kepandaian kedua
suami isteri itu, tak urung tercekat juga hatinya.
„Apakah saudara baik2 saja?" tanya Ceng Bo kepada sepasang suami isteri itu. Demikian
toleransi (kesabaran) siangjin itu, sampaipun kepada musuh besar, dia tetap memberi
tegur salam pergerejaan yang ramah.
„Bek-heng mengapa suka membuang waktu saja, labrak sajalah........." seru si kasar Nyo
Kong-lim sembari kibar2kan sam-ciat-kunnya. Tertumbuk akan hadirnya Kang Siang
Yan, berserulah dia sembari menuding: „Hai, kiranya kaupun berada disini."
Kang Siang Yan tak mau hiraukan sikasar itu. Melangkah maju bersama suaminya,
mereka berhadapan dengan Hwat Siau Swat Moay. Melihat itu tertawalah Swat Moay
dengan sinisnya: „Mengapa kamu sekalian perlu turun tangan lagi? Kami berdua suami
isteri akan serahkan tangan ditangkap!"
Tahu kalau kedua kepala jagoan Itu bukan bangsa yang tak berguna, berserulah
sibongkok Ih Liok: „Mengapa?!"
„Hehehe ! ..:" Swat Moay mengekeh, „Kami berdua suami isteri tak memiliki 3 kepala 6
tangan, bagaimana dapat melajani kamu sekalian?"
Kini tahulah sekalian orang kemana jatuhnya kata2 Swat Moay itu. Jadi suami isteri
durjana itu kuatir kalau dikerojok. Sudah tentu bangkitlah kemarahan orang binyak.
Lebih2 Kang Siang Yan yang terus menyatakan kepada suaminya: „Ing-ko, cukup kami
berdua yang majulah!"
„Ing-ko" (kanda Ing), tanpa terasa mulut si Bongkok mengulangi kata2 yang merdu dari
Kang Siang Yan ketika membahasakan Bek Ing atau Ceng Bo siangjin.
„Heh, Kang Siang Yan, betapa merdu ucapan Ing-ko itu. Rasanya sudah 10 tahun lebih
saudara Bek Ing rindu dengan ucapan itu!" si Bongkok menggoda.
„Huh......., lagi2 mulutmu yang lancip itu cengar-cengir ja!" Kang Siang Yan menyeringai.
Bahwa setelah 10 tahun berpisah karena salah faham kini kedua suami iateri gagah itu
sudah berbaik kembali, telah disambut dengan perasaan girang oleh sekalian orang
gagah. Tapi diantara sekian banyak yang merasa gembira itu, hanya Tio Jiang yang
tampak gelisah. Dia tetap kuatir akan keselamatan Yan-chiu yang tetap tak muncul
hingga saat itu: Dia seperti mendapat firasat kalau sumoaynya itu dalam keadaan
berbahaya.
„Suhu, Siao Chiu entah pergi kemana!" katanya melapor kepada sang suhu dengan nada
merengek. Kemudian dengan ter-bata2 dia menuturkan apa yang telah terjadi dengan
sumoaynya Itu.
„Ajuh, lekas cari dianya!" seru sekalian orang sebelum Ceng Bo menyatakan apa2.
Hwat Siau dan isterinya yang mengetahui beradanya sigenit itu, dengan tertawa getir
segera mengejek: „Ja, carilah! Toh nantinya kamu hanya mendapat sesosok bangkai saja!"
Saking gusarnya Tio Jiang segera menyerang kedua suami isteri jahat itu dengan sebuah
jurus hay-lwe-sip-ciu. Tapi siang2 kedua suami isteri itu sudah angkat tangannya
masing2 dan tahu2 pedang Tio Jiang telah terdorong oleh suatu tenaga yang kuat.
Bahkan orangnyapun terhujung mundur sampai beberapa tindak.
„Setengah jam yang lalu, budak perempuan itu menceburkan diri kedalam sumur. Jadi
kalau nanti diketemukan, bukantah bakal merupakan majat belaka?" kembali kedua
suami isteri itu mengejek.
Sudah tentu sekalian orang gusar sekali, tapi dalam pada itu tak tahu, mereka sebabnya
mengapa Yan-chiu sampat mengambil keputusan yang pendek itu. Berisik sekalian orang
sama memperbincangkan soal itu.
Sebenarnya dengan mengemukakan persoalan Yan-chiu itu, hendak kedua suami isteri
Hwat Siau dan Swat Moay itu mengalihkan perhatian orang. Dan ketika siasatnya itu
berhasil dimana semua orang sama asjik membicarakan sigenit, mereka bersorak
didalam hati. Mencuri kesempatan itu Hwat Siau dan isterinya segera kisarkan kakinya
mundur, lalu se-konyong2 memburu kebelakang.
Yang berada dibelakang mereka adalah Tio Jiang dan Kiau To. Dasarnya Tio Jiang sudah
kacau balau pikirannya memikirkan keadaan sang sumoay, maka dia tak bersiaga sama
aekali. Apalagi kedua suami isteri itu telah gunakan seluruh tenaganya untuk
meneryang, maka Tio Jiangpun serasa sesak napasnya karena di-himpit oleh dua buah
tenaga dahsjat. Buru2 Tio Jiang angkat pedangnya untuk menangkis, tapi dalam pada
itu, Swat Moay dan Hwat Siau sudah dapat membuka sebuah lubang lolos.
Kini tersadarlah semua orang bahwa mereka telah kena dipedajai. Serempak mereka
maju mengejar. Tapi dalam sekejab itu saja, Hwat Siau dan Swat Moay sudah berada
beberapa meter disebelah muka, suatu jarak yang membuat kedua suami isteri
kegirangan sekali karena jakin tentu dapat lolos. Tapi se-konyong2 dari arah belakang
terasa ada sambaran angin yang berbau amis. Dalam kesibukannya, kedua suami isteri
itu tak sempat untuk menoleh kebelakang lagi dan hanya gerakkan tangannya
menghantam kebelakang. Blak....., blak...., kiranya tepat sekali hantaman itu mengenai
sasarannya, tapi bukan suara menyerit kesakitan yang terdengar melainkan gerungan
yang dahsjat. Dan berbareng dengan itu, sebuah tangan raksasa berkilat dihadapannya.
Ketika mereka mendongak mengawasi, hai kiranya kedua orang utan itu tengah
merangsangnya!
Kiranya walaupun sekalian orang itu dapat diselomoti, tapi kedua binatang itu tetap
waspada. Ini disebabkan karena tak mengerti apa yang tengah dikatakan oleh orang2 itu
dengan Hwat Siau dan Swat Moay. Yang diketahui oleh kedua binatang itu, jalah Hwat
Siau dan Swat Moay dikepung oleh orang banyak. Maka begitu kedua suami isteri itu
hendak lolos, dengan sigapnya kedua binatang itu maju menghadang.
Seperti diketahui, bangsa orang utan yang tinggal di pegunungan Sip-ban-tay-san itu
gemar berloncatan dan berlari2an. Jadi dalam soal kegesitan, mereka tak dibawah jago
silat kelas utama. Dengan memiliki kulit yang tebal keras, benar2 mereka merupakan
machluk yang lihay. Dua buah hantaman kedua suami isteri tadi, cukup mereka kuat
menahannya.
Adalah karena kelambatan beberapa detik itu saja, cukuplah sudah bagi Kang Siang Yan,
Kui-ing-cu dan rombongannya untuk mengejar tiba. Mereka menyusul turun darl atas
wuwungan. Kembali mereka mengepung kedua suami isteri jagoan Itu.
Nyo Kong-lim menghalau kedua orang utan itu, kemudian menerangkan asal usul
mereka: „Ketika dua hari aku tersesat dalam bi-kiong (istana sesat) gunung Sip-ban-tay-
san (sebagaimana halnya dengan Tio Jiang tempo hari), bersua dengan kedua binatang
itu yang berada disitu. Pada lain tempat, kujumpai simpanan ransum makanan, entah
siapa yang telah menaruhkan disitu. Setelah men-cari2 selama setengah tahun, barulah
aku dapat keluar dari tempat itu. Kalau tadi tak ada kedua orang utan itu yang
menghadang, tentulah kedua bangsat itu dapat lolos!"
Seenaknya saja sikasar itu bercerita, se-olah2 bukan sedang menghadapi pertempuran,
sehingga membuat sekalian orang geli dibuatnya. Adalah tak jauh dari situ, tampak
sumur Tat-mo-keng.
„Biarlah aku yang turun memeriksanya!" seru Tio Jiang. Tanpa menunggu idin sang suhu
lagi, dia terus loncat turun kedalam sumur.
Air sumur itu sudah hening kembali. Lapisan lumpur yang ber-golak2 tadi pun sudah
tenang menutup dasar sumur lagi. Ilmu berenang Tio Jiang sangat bagus. Begitu tiba
didalam air, dia segera membuka mata untuk mengawasi kesekeliling situ. Dalam
kepekatan air sumur yang kehitam2an itu, samar2 tampak ada 3 larik cahaja berkilau.
Tio Jiang meluncur kebawah dasar dan tangannyapun menyentuh tubuh Yan-chiu.
Dilihatnya badan nona itu sudah seperti „terbungkus" lumpur. Dengan terharu duka,
dibawanya sang sumoay timbul kepermukaan air. Dari mulut sumur yang hanya tiba
dimasuki tubuh seseorang, disorongkannya tubuh Yan-chiu keatas. Sjukur disebelah
atas sudah ada orang yang cepat2 menyambuti untuk menarik Yan-chiu kedaratan.
Mulut, telinga dan hidung nona itu terbungkus lumpur semua, entah masih hidupkah
dia itu ? Buru2 diambil air untuk menggujur mukanya sampai bersih. Hai, kiranya cahaja
muka sigenit itu masih tetap seperti orang hidup.
Tio Jiang menelungkupi tubuh sang sumoay, menangis tersedu sedan. Kemarahan
sekalian orang ditimpahkan kepada Hwat Siau dan Swat Moay. Benar Yan-chiu itu
seorang nona genit yang nakal, tapi ia sangat tangkas lincah dan mempunyai bakat
bagus. Sifatnya yang ramah riang terhadap orang, telah meninggalkan kesan yang
mendalam kepada sekalian orang. Jadi kalau mereka penasaran atas meninggalnya nona
itu, itulah sudah pada tempatnya.
---oo0oo---
(Bersambung Ke Bagian 56.2)
BAGIAN 56
HABIS GELAP TERBITLAH TERANG
BAGIAN 56.2

„Hong-moay, ajuh kita lebih dahulu membalaskan sakit hati Siao Chiu!" seru Ceng Bo
kepada Kang Siang Yan sembari aiapltan pedang.
„Baiklah!" sahut sang isteri sembari kontan menyerang tenggorokan Swat Moay dengan
jurus pah-ong-oh-kang. Melihat isterinya sudah mendahului, Ceng Bopun segera
menyusuli dengan sebuah jurus Tio-ik-cut-hay.
Suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay itu insjaf, bahwa kali ini mereka bakal menghadapi
suatu pertempuran hebat. Jadi mereka sangat ber-hati2 sekali. Mereka berdiri saling
merapat punggung, supaja dapat bahu membahu bertempur Begitu tusukan pedang
memburu, Hwat Siau mundur selangkah sembari gontaikan selendang sutera untuk
melibat kedua pedang lawan. Sedang Swat Moaypun dorongkan sepasang tangannya
kemuka untuk menghantam kaki Kang Siang Yan dan Ceng Bo.
Selendang sutera anyaman benang emas putih itu, me-lingkar2 bagaikan seekor naga
menari. Tapi pedang Kang Siang Yan dan Ceng Bo itu adalah pedang pusaka songhong-
kiam (sepasang burung cenderawasih) yang dapat dibuat membelah segala macam logam.
Karena gugupnya lupalah sejenak Hwat Siau akan hal itu. Maksudnya dia hendak melibat
kedua pedang itu, tapi tak tahunya ujung selendang telah kutung menyadi 3 potong. Kini
selendang itu hanya tinggal 2 tombak panjangnya.
Sedang untuk serangan Swat Moay tadi, Kang Siang Yan dan Ceng Bo ber-sama2 loncat
keudara untuk menghindarinya. Selagi masih diatas, pedang berganti gaja dalam jurus
Kut-ji-thou-kang dan Boan-thian-kok-hay. Dua batang pedang yang memancarkan sinar
ke-hijau2an memburu dari 4 jurusan, laksana sebuah jaring pedang yang hendak
memperangkap Hwat Siau dan Swat Moay. Yangankan Hwat Siau dan Swat Moay yang
merasakan sendiri, sedang sekalian orang yang melihat saja, sudah sama kabur
pandangannya dan ter-longong2 mengawasi pemandangan yang menakjubkan itu.

GAMBAR 102
Sambil merapatkan punggung mereka,
Hwat Siau dan Swat Moay keluarkan lwekang mereka
yang hebat untuk menepur Ceng Bo dan Kang Siang Yan.

Dengan ditabasnya kutung selendangnya itu, Hwat Siau terdesak dibawah angin. Dan
serta menampak rangsangan jaring pedang yang begitu rapat, dengan gugupnya Hwat
Siau segera gentakkan selendangnya menyadi lurus kaku, lalu menyodok kaki Ceng Bo.
Berbareng dengan itu, tangannya kiri menyusuli sebuah hantaman. Dua buah serangan
itu, dia tujukan kearah Ceng Bo siangjin semua. Ini disebabkan karena dia cukup tahu
bahwa siangjin Itu lebih lemah dari isterinya (Kang Siang Yan).
Se-lemah2nya, Ceng Bo juga bukan jago sembarangan. Sudah tentu dia tak begitu mudah
dirubuhkan dengan serangan itu. Setelah loncat keatas sedikit, mulutnya bersuit keras
dan pedangnyapun berganti jurus dengan ceng-wi-tian-hay. Seperti berulang kali kami
lukiskan, ilmu pedang to-hay-kiam-hwat itu, jurus berikutnya lebih hebat dari jurus yang
terdahulu. Ceng-wi-tian-hay merupakan jurus kedua, baik gaja dan perbawanya jauh
lebih hebat dari jurus pertama tadi.
Tapi hantaman yang dilancarkan Hwat Siau tadi mengandung tenaga kuat yang panas
sekali rasanya, sehingga Ceng Bo serasa terhimpit napasnya. Buru2 dia kerahkan hawa
dalam untuk bertahan.
Telah diterangkan diatas tadi bahwa suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay itu bertempur
dengan saling tempelkan punggung masing2. Kala itu se-konyong2 kaki mereka berkisar
dan berobahlah kini posisi mereka. Hwat Siau menghadapi Kang Siang Yan sedang Swat
Moay melajani Ceng Bo. Kiranya kedua suami isteri jagoan itu, sudah mempunyai latihan
bersama yang sempurna sekali. Begitu berkisar, Swat Moay sudah lantas lancarkan dua
buah hantaman. Belum lagi hawa panas tadi dirasakan hilang oleh Ceng Bo, atau kini
ada lagi rangsangan hawa dingin datang. Begitu cepat dan sebat perobahan itu
berlangsung, hingga Ceng Bo yang tak keburu bersiap, seketika menggigil kedinginan.
Begitu pula Hwat Siau yang menghadapi Kang Siang Yan, sudah segera melancarkan
serangan lwekang panas, jadi keadaan Kang Siang Yanpun serupa dengan Ceng Bo. Tapi
disebabkan lwekang nyonya gagah itu jauh melebihi sang suami, jadi serangan lwekang
panas dingin yang ber-tubi2 dilancarkan itu, dapat juga ditahannya. Pedangnya tetap
memain dengan lincahnya.
Walaupun gerakan Ceng Bo agak lambat karena menghadapi tekanan lwekang yang aneh
itu, namun dengan paksakan diri dapat juga dia langsungkan jurus ke 4, 5 dan 6. Maju
merapat dengan Kang Siang Yan, dia selalu membura kearah bagian jalan darah yang
berbahaya dari musuh. Hwat Siau dan isterinya tetap gunakan siasat ber-putar''. Dan
perputaran itu makin lama makin pesat. Walaupun hanya dengan sepasang tangan
kosong, namun pukulau Iwekang yang sebentar memancarkan hawa panas dan sebentar
hawa dingin lama kelamaan telah membuat Ceng Bo kepajahan juga. Karena terlalu lama
menahan napas untuk menolak serangan lwekang musuh, hawa dalamnya merangsang
naik sehingga mukanya menampilkan cahaja merah membara. Melihat keadaan sang
suami, Kang Siang Yan kaget sekali. Mengisar kaki mendekati, bertanyalah ia: „Kau
bagaimana?"
Ceng Bo seperti sigagu yang makan getah. Menderita siksaan tapi sukar mengatakan.
Jadi dia tak menyahut pertanyaan isterinya itu. Sebaliknya Kang Siang Yan segera
mengetahui bahwa Iwekang suaminya itu kurang kuat, tak boleh lama2 menghadapi
lwekang istimewa dari lawan. „Mundurlah, biar aku sendiri yang melajani!" buru2 ia
menyuruh Ceng Bo tinggalkan gelanggang. Tepat pada saat itu Swat Moay melancarkan
sebuah hantaman, Kang Siang Yan simpan pedangnya, lalu menyambut serangan lawan
itu dengan tangan kosong juga. Blak......, kini tangannya kanan berbentur dengan tangan
Swat Moay. Kalau tadi Hwat Siau dan Swat Moay ber-putar2 tak henti2nya, kini serta
Kang Siang Yan melekatkan tangan mengadu lwekang, berhentilah gerakan putar
mereka. Kini mereka tegak berdiri laksana dua buah patung. Ceng Bo menghela napas
untuk memulangkan tenaganya. Diam2 dia cemas akan diri sang isteri, Benar Kang Siang
Yan telah mejakinkan ilmu lwekang thay-im-kang selama 10-an tahun.
Tapi entahlah apa Iwekang itu dapat mengatasl lwekang musuh yang aneh itu.
Benar Hang Siang Yan hanya adu lwekang dengan Swat Moay seorang. Tapi oleh karena
kedua suami isteri jahat itu berapatan punggung, jadi dapatlah Hwat Siau menyalurkan
lwekangnya membantu sang isteri. Tegasnya, Kang Siang Yan dikerubut dua. Pada saat
itu, kalau saja Ceng Bo mau menusuk kedua lawannya itu, adalah semudah orang
membalikkan telapak tangan. Tapi sebagai seorang jago yang menyunyung azas2
keksatryaan, tak mau dia lakukan perbuatan serendah itu.
Adu lwekang adalah pertandingan yang paling berbahaya sendiri, karena barang siapa
yang kalah, tentu akan menderita kehancuran urat2 nadi. Kalau tak cacad punah
seluruh kepandaiannya, tentu akan binasa jiwanya. Juga untuk melerai (memisah)
pertandingan macam itu, sukarnya bukan alang kepalang. Kalau yang melerai itu
lwekangnya tak diatas yang bertempur, dia sendiri bakal celaka.
Telah dikatakan tadi, bahwa Ceng Bo tak mau mengambil keuntungan secara rendah.
Diapun masukkan pedangnya kedalam sarungnya, lalu maju kemuka kehadapan dan
menghantamnya. Plak ........, Hwat Siau menyambutnya dan kini kedua tangan mereka
saling berlekatan.
Pertama kali bersentuhan dengan tangan Swat Moay, Kang Siang Yan rasakan lwekang
dingin lawan tak dibawah thay-im-lian-seng. Buru2 ia (Kang Siang Yan) kerahkan seluruh
lwekang untuk menggempur, tapi karena kedua suami isteri jagoan itu berapatan
punggung, jadi dapatlah mereka ganti berganti menyalurkan lwekang. Kalau lwekang
dingin Swat Moay berhenti, maka lwekang panas Hwat Siau memancar. Begitulah ketika
lwekang dingin Swat Moay terdesak, tiba2 Kang Siang Yan terkejut ketika ada hawa panas
merangsang. Buru2 ia kerahkan thayim-kang untuk menahan.
Bagaikan sungai yang tak pernah kering airnya, lwekang thay-im-lian-seng dari Kang
Siang Yan selalu mengalir kerae. Sekalipun begitu karena Hwat Siau dan Swat Moay
gunakan siasat secara bergilir untuk mengasoh, maka lama kelamaan Kang Siang Yan
berada dibawah angin juga. Sjukurlah Ceng Bo tadi keburu datang menggempur Hwat
Siau, sehlngga kini ia mendapat kesempatan. Dengan kerahkan tenaga ia desak Swat
Moay sampai kepajahan.
Untuk melajani Ceng Bo, Hwat Siau masih mempunyai kelebihan lwekang. Dia cemas
melihat isterinya terdesak, maka dengan aecara istimewa sekali dia pindahkan
lwekangnya kepada Kang Siang Yang, Rupanya Swat Moay tahu akan maksud suaminya
itu, karena iapun cepat tank pulang lwekangnya untuk dialihkan kearah Ceng Bo.
Dengan adanya pergeseran itu, kini kekuatan mereka menyadi berimbang.
Sepeminum teh lamanya, keempat tokoh itu maeih tegak berdiri laksana patung2 yang
berhadapan satu sama lain. Kalau saja mau, Kui-ing-cu dan kawan2nya dapat
mengachirl pertempuran itu dengan menghajar Hwat Siau dan Swat Moay. Tapi mereka
juga jantan2 yang menyunyung, keperwiraan, jadi menonton saja dipinggir dengan hati
yang gundah gelisah.
Lewat setengah jam kemudian, se-konyong2 dari arah keempat orang yang bertempur itu
terdengar suara berkeretekan. Sekalipun amat pelahan, namun kedengaran jelas sekali.
Kini tahulah sekalian orang bahwa keempat tokoh itu telah mencapai tingkat yang
menestukan. Ini terbukti dahi keempat orang itu mengucurkan butir2 keringat. Muka
Ceng Bo merah membara, roman Kang Siang Yan muram keren, Hwat Siau merah padam
dan Swat Moay lesi kehijau2-an.
Keadaan pada saat itu genting meruncing sekali. Kecuali letikan lidah api obor yang
mengeluarkan bunyi letak-letik, suasana disitu sangatlah heningnya. Se-konyong2
keheningan itu dipecah oleh suara ujung tongkat mengetuk-ngetuk lantai, tok..., tok....
Suara itu makin lama makin dekat, menyusup diantara sekian banyak hweshio2 yang
memegang obor, lalu muncul ditengah gelanggang. Astaga, kiranya Tay Siang siansu yang
datang itu dengan me-mukul2kan tongkat timahnya kelantai. Begitu tenangnya siansu
itu menuju kegelanggang pertempuran, se-olah2 pertempuran mati hidup yang
berlangsung disitu, tak dihiraulian sama-sekali.
Munculnya siansou itu telah disambut dengan perasaan girang oleh sekalian orang
gagah. Tapi merekapun hanya melihatnya sebentar, lalu memandang lagi kepada 4 tokoh
yang tengah bertempur itu. Kini Tay Siang siansu hanya empat lima tindak jaraknya dari
keempat orang itu. Tiba2 tampak dia rangkapkan kedua tangannya lalu melafalkan
petuah ajaran agama: „Lam-bu-o-mi-to-hud, siancay.....! Penasaran mudah didendam tak
mudah dihimpas. Biarlah untuk sicu berempat, kuwakilkan menghimpasnya!"
Habis memantra doa, guru agung itu lalu mengangkat tongkatnya per-lahan2 Kang Siang
Yan dan Ceng Bo siangjin adalah bangsa kun-cu (ksatrya). Tahulah mereka berdua bahwa
siansu itu kini telah mencapai tingkat kesempurnaan bathin, dimana hatinya sun ji akan
rasa budi dan dendam. Maksud siansu Itu jalah hendak melerai agar mereka berempat
tak sampai mengalami kecelakaan apa2. Dengan ilmu kepandaian yang sukar dijajaki
itu, Tay Slang hendak menyadi pendamai. Benar dalam hati Kang Siang Yang dan Ceng
Bo tak menginginkan hal itu, namun merekapun tak marah karenanya.
Beda dengan jalan pikiran Hwat Siau dan Swat Moay. Tindakan Tay Siang siansu itu
lepas dari rasa ewang2an (berfihak), tapi eeperti pepatah mengatakan „pikiran siaojin
(orang rendah) tak dapat mengukur hati kun-cu", demikianlah terjadi dengan Hwat Siau
dan Isterinya. Mereka salah duga kalau Tay Siang siansu itu tentu hendak membantu
pada Kang Siang Yang berdua. Sampai dimana kelihayan siansu itu, Swat Moay pernah
merasakan sendiri. Kalau sampai siansu tersebut memberi bantuan dengan tongkatnya,
wah tentu celakalah mereka dibuatnya. Urat hancur nadi luluh, bukanlah suatu hal yang
tak mungkin.
Dalam kegugupannya Hwat $iau dan Swat Moay segera kerahkan tenaganya untuk
mendorong se-kuatanya pada Kang Siang Yang dan Ceng Bo. Habie itu hendak mereka
menarik pulang lwekangn ja untuk lont jat lolos. Mereka tak mau menerima goodwill Tay
Siang. Kang Siang Yan dan Ceng Bo tahu akan maksud lawan, dan sudah tentu mereka
tak mau melepaskan mereka, Ketika Hwat Siau dan isterinya menarik pulang
lwekangnya, Kang Siang Yan dan Ceng Bo cepat lancarkan lwekangnya untuk mendesak
dan hasilnya baru saja kaki kedua suami isteri durjana itu dapat mengisar kesamping
setengah tindak atau mereka sudah ngelumpruk jatuh ditanah tanpa bersuara lagi
Dengan kesudahan itu tahulah Kang Siang Yan dan Ceng Bo bahwa kedua lawannya itu
kalau tidak binasa tentu lumpuh punah ilmu kepandaiannya. Mereka tak mau mendesak
lagi melainkan terus loncat menyingkir dibawah hujan tampik sorak sekalian orang
gagah.
„Siancay.....! Sekalipun aku tak menumpas kebajikan, tapi karena akulah maka
kebajikan telah tertumpas. Sicu berdua, walaupun telah punah kepandaian, tapi jiwa
tetap terpelihara. Pulanglah untuk beristirahat!" kedengaran Tay Siang sianau menghela
napas dan berbangkitlah Hwat Siau serta iaterinya. Hanya saja kini gaja perbawanya
sebagai seorang tokoh silat yang sudah sirna kepandaiannya.
Oleh karena kedua benggolan itu sudah menyadi orang „biasa", sekalian orang gagahpun
tak tegah untuk menganiaja lebih jauh dan biarkan mereka berlalu. Sebelum mengangkat
kaki, Hwat Siau dan Swat Moay yang menderita 'kekalahan secara begitu penasaran,
menumpahkan isi hati secara ironis: „Kami telah menyadi orang lumpuh tanpa guna dan
jalan darah budak perempuan itupun tak dapat kami buka lagi Jadi se-kurang2n ja kami
masih mempunyai seorang kawan sekubur!"
Habias mengucap, kedua suami isteri itu perdengarkan suara ketawa yang sinis sekali.
Tanpa menoleh lagi, Hwat Siau segera gandeng tangan isterinya untuk diajak berlalu.
Sebaliknya sekalian orang ketika mendengar ejekan itu, malah seperti orang disadarkan.
Apakah Yan-chiu masih hidup? Demikian timbul keraguan mereka. Dan berpuluh
matapun segera memandang kearah tubuh sigenit yang masih menggeletak ditanah. Hai,
mengapa wajah nona itu kini memancarkan cahaja segar?
„Ajaib sekali!" tiba2 kedengaranTay Siang siansu membuka mulut, „siapakah yang
mengajarkannya supaja mengerahkan daja guna dari mustika batu itu?"
Sudah tentu semua orang tak mengerti apa yang dikatakan oleh guru besar itu dan buru2
menanyakannya. Maka berkatalah guru besar itu: „Endapan lumpur didasar sumur itu
telah mengalami proses menggerakkan daja-guna mustika batu. Nona kecil itu tidak saja
meminum lumpur, tapi seluruh pancainderanya pun telah kemasukan air lumpur itu.
Suatu siksaan yang sukar diderita. Bahwa tanpa disengaja ia telah mengalami
penderitaan itu, adalah suatu hal yang sukar dipercaja! Oleh karena daja guna mustika
batu itu sudah mulai berkembang, maka kesaktiannya dapat menghidupkan kembali
orang yang sudah meninggal. Kini budak perempuan Itu sudah tak kena apa2, lo-ceng
hendak pergilah!"
Hanya beberapa saat terdengar tok...., tok...., ujung tongkat mengetuk tanah, karena
pada lain saat guru besar itu sudah lenyap dari pemandangan. Benar juga sepeminum
teh lamanya, tiba2 mulut Yan-chiu menguak. Saking girangnya Tio Jiang sampai
menangis!
Setelah membuka mata dan dapatkan, dirinya dikerumuni oleh sekian banyak orang,
Yan-chiu terbeliak kaget, serunya: „Suko, harta karun Thio Hian-tiong itu berada didasar
sumur. Tapi dibawah papan batu, ada pekakasnya, hati2lah!"
Begitulah besarnya tanggung jawab nona itu terhadap kepentingan perjoangan.
Memang walaupun ia seorang nona yang genit, namun hatinya berd jiwa patriot.
Cepat2 Tio Jiang tuturkan secara singkat apa yang dikatakan Tay Siang siansu tadi. Saat
itu Yan-chiu rasakan semangatnya berlipat ganda segar, lalu menggeliat duduk.
„Lekas ambil harta karun itu, basmi kawanan penyajah!" serunya serentak.
Terpaksa geli juga sekalian orang dibuatnya melihat kelakuan sigenit itu. Diantara sekian
banyak orang, tiada seorangpun yang sanggup menandingi Kang Siang Yan dalam hal
ilmu kepandaian didalam air. Sewaktu mejakinkan ilmu lwekang thay-im-kang, nyonya
gagah itu dapat membenam diri didasar laut selama 7 hari 7 malam.
„Pekakas apa yang terdapat didasar sumur Itu?" tanya Kang Siang Yang serempak.
„Entahlah, tak jelas. Hanya yang terasa dapat memancarkan tenaga putaran yang kuat
sekali," jawab Yan-chiu.
„Ah, mudahlah!" seru Kang Siang Yang sembari terus loncat masuk kedalam sumur.
Begitu indah gerakan nyonya itu dan yang istimewa sedikitpun tak mengeluarkan suara
apa2.
Tak berselang berapa lama, kedengaran air beriak dan muncullah nyonya gagah itu dari
dalam sumur. „Hai....., apakah gerangan yang dibawanya itu ? Sepasang tangannya
merakup segenggam benda yang ber-kilau2an cahajanya, intan berlian, ratna mutu
manikam se-besar2 mata kucing, Kesemuanya merupakan benda pusaka yang jarang
terdapat didunia. Dengan dua genggam ratna mustika itu saja, cukuplah sudah untuk
pembeli rangsum selama satu bulan untuk belasan ribu anak buah Thian Te Hui. Sudah
tentu kegirangan sekalian orang sukar dilukskan.
Tanpa diminta lagi menuturlah Kang Siang Yan: „Pekakas itu kiranya sebuah roda besar
dan telah kupapas putus. Siapa saja yang pandai berenang, supaja turun mengambil
harta Itul"
Mulut sumur itu walaupun atasnya tidak cukup untuk dimasuki satu orang, tapi bagian
bawahnya lebar. Begltulah dalam waktu yang singkat saja, turunlah 5 orang untuk secara
berholopis kuntul baris(ber-gotong rojong), mengambili harta karun itu. Menyelang terang
tanah, seluruh harta karun itu. telah diangkut keluar, semua berjumlah dua peti besar.
Ketika sekalian orang masuk kembali kedalam ruangan, ternyata The Go dan Ciok Slao-
lan sudah tak berada disitu. Ketika ditanyakan kepada hweshio disitu, ternyata setelah
mendengar bahwa harta karun itu sudah dapat diketemukan, The Go lalu ajak Siao-lan
tinggalkan gereja itu entah pergi kemana. Kelak dikemudian hari kedua orang itu telah
mendapat penemuan yang luar biasa dan berhasil mejakinkan suatu ilmu kepandaian
yang sakti. Cian-bin Longkun The Go yang berlumuran dosa itu, achirnya telah insjaf
kembali kejalan yang terang.
Oleh karena dalam buku ini tak dituturkan bagaimana lelakon The Go dan Ciok Siao-lan
lebih jauh, maka baiklah kita tinggalkan dulu dan mengikuti saja keadaan sekalian orang
gagah rombongan Ceng Bo siangjin itu.
---oo0oo---
Setelah mendapatkan harta karun, hasil dari permusjawarahan diputuskan menunyuk
Kang Siang Yan, Kui-ing-cu, Thaysan sin-tho Ih Liok dan Sin-eng Ko Thay untuk menuju
ke Siam (Muang Thai) dan Burma (Vietnam), menukarkan harta itu dengan beras.
Perjalanan itu harus melalui daerah Kwisay dan Hunlam yang kurang aman, tapi rasanya
dengan keempat pengawal yang sedemikian lihaynya itu, pasti akan dapat mencapai
tempat tujuan dengan selamat.
Setelah itu Ceng Bo lalu ajak rombongannya berikut Tay Wi dan Siau Wi kedua orang
utan itu, kembali ke Giok-li-nia. Berita tentang berhasil diketemukannya harta karun
Thio Hian-tiong yang selama ini hanya merupakan mythos (dongeng) dalam dunia
persilatan, telah disambut dengan gegap gempita oleh anak buah Thian Te Hui,
Tapi disamping itu ada juga kejadian yang menyedihkan. Utusan yang dikirim Thian Te
Hui untuk bersaerekat dengan jenderal Li Seng Tong yang bermarkas di Kwiciu utara,
sebenarnya telah mencapai penyelesaian yang memuaskan. Tapi tiba2 jenderal itu
mendapat laporan tentang apa yang telah terjadi di Kwiciu, jalah bahwasanya nona
kesayangannya, Ciok Siao-lan, telah lolos ke Lo-hu-san. Saking murkanya, jenderal itu
segera perintahkan membunuh utusan Lo-hu-san. Kalau saja tak menguatirkan adanya
serangan fihak Ceng yang setiap saat dapat terjadi, siang2 Li Seng Tong pasti sudah
memimpin tentaranya untuk menggempur Lo-hu-san.
Sejak itu perangi Li Seng Tong tampak berobah. Dari seorang jenderal brilliant
(cemerlang), dia berobah menyadi seorang yang limbung, gemar membunuh anak
buahnya dengan se-wenang2 dan beberapa kali menderita kekalahan. Kecuali beberapa
orang kepercajaannya, boleh dikata seluruh anak buahnya telah hilang keaetiaannya
kepada jenderal itu.
Tahun kedua bulan dua, tiba2 ditengah malam keadaan markasnya meajadi panik. Hiruk
pikuk orang datang melapor tentang pemberontakan yang timbul dikalangan anak buah
atau tentang tentara Ceng menyerang. Kebetulan pada saat itu, Li Seng Tong tengah
mabuk. Tanpa sadar lagi dia segera cemplak seekor kuda terus dilarikan se-kencang2nya
tanpa arah tujuan yang tertentu. Oleh karena para anak buahnya sudah jemu dengan
jenderal itu, maka tiada seorangpun yang mengikutinya. Kuda itu mencongklang seperti
layang2 putus menuju ketengah sebuah sungai, dan binasalah jenderal itu ditelan arus.
Demikian achir kisah seorang jenderal perang yang pandai dan cemerlang tapi tak
mempunyal pendirian yang teguh.
Tepat pada waktu ransum markas di Lo-hu-san habis, maka datanglah rombongan Kang
Siang Yan berempat dengan membawa ransum dalam jumlah yang besar sekali. Ransum
makanan itu diangkut dengan perahu dan berlabuh dilaut selatan. Setelah selesaikan
tugasnya, Kang Siang Yan lalu kembali kegunung untuk menyemput cucunya (putera
Bek Lian) yang dititipkan pada, seorang keluarga petani disitu. Tapi untuk kekagetannya,
ternyata keluarga Itu sudah pindah entah kemana.
Sejak memperoleh peraediaan ransum itu, kekuatan Thian Te Hui makin kuat.
Perserekatan itu mempunyai pengaruh besar sekali didaerah Kwiciu timur. Pada waktu
itu, gerakan pembebasan yang dipimpin oleh The Seng Kong (Coxinga) tetap melakukan
operasinya didaerah Amoy. Pemimpin Itu tak mau mengindahkan perintah kerajaan Ceng
untuk menaluk. Dengan The Seng Kong didaerah Amoy dan Thian Te Hui di Lo-hu-san,
kekuatan tentara Ceng didaerah selatan menyadi terjepit. Terpaksa fihak tentara Ceng
menarik diri untuk ambil jalan memutar dari Kangse, melintasi Bwe-ling lalu masuk ke
Kwitang. Tapi terhadap benteng pertahanan patriot2 Lo-hu-san, mereka tak dapat
berbuat apa2. Pemerintah Ceng berganti gunakan siasat menunggu waktu. Benar juga 3
tahun kemudian, habislah sudah persediaan ransum para pejoang kemerdekaan itu dan
sejak Itu morat maritlah organisasi perlawanan mereka. Pemimpina mereka yang gagah
perkasa terpaksa cerai berai.
Sewaktu Tio Jiang dan Yan-chiu masih bertugas menyaga Kwiciu timur, karena hari itu
agak senggang, mereka lalu ber-sama2 mencuri kesempatan untuk menyenguk
kekampung halaman Giok-li-nia. Setelah pamit kepada Ceng Bo, mereka lalu berangkat.
Cuaca pada bulan 11 amatlah cerahnya. Biara Cin Wan Kuan tempat keduanya
digembleng dahulu manila tetap tegak berdiri dengan megahnya, hanya saja keadaan
biasa itu sudah tak terurus lagi. Disana-sini penuh ditumbuhi rumput dan alang2.
Tegak ter-longong2 kedua muda-mudi itu memijakkan kakinya diatas puncak Giok-li-nia
atau Kepundan Bidadari sampai sekian saat. Lautan awan putih bertebaran berlapis2,
menutupi suatu rahasia hidup dari jaman ke jaman.
Se-konyong2 tampak ada dua buah titik putih menyusup diantara lapisan awan itu, me-
layang2 bagaikan carik kertas ditlup angin. Ketika melayang dekat, kiranya benda2 itu
adalah dua ekor kupu2 rama (kupu2 besar, berwarna dasar coklat muda sampai tua).
„Suko, apakah kau masih ingat ketika menangkap kupu2 sian-tiap untuk mengambil hati
Lian suci dahulu?" tiba2 Yan-chiu berseru sembari menunyuk kearah kupu2 itu.
Teringat akan suci mereka yang kini kabarnya telah ment rambut menyadi nikoh (rahib)
tak ketahuan rlmbanya (tempat tinggalnya), hati mereka terasa rawan pilu. Diganggu
dengan kenangan yang memilukan ttu, mereka buru2a tinggalkan puncak gunung itu.
TAMAT
Sumber : Buku Cersil “HENG THIAN SIAU TO”
Sambungan “NAGA DARI SELATAN – Lam Beng Tjiam Liong”
Penerbit : PUSTAKA SILAT - Semarang, 1962
Karya : Liang Ie Shen
Diceritakan Oleh : S.D. LIONG

BAGIAN 01
PENDAHULUAN

Bagaikan anak panah lepas dari busurnja, 4 ekor kuda mentjongklang pesat memetjah
kesunjian sendja diperdesaan. Anak gembala jang naik diatas punggung kerbau dan
petani2 jang memanggul patjul pulang dari medan kewadjibannja, sama terkesiap kaget
memandangnja. Penunggang jang berada paling depan sendiri, adalah seorang anak
muda sekira 20-an tahun usianja, berparas tjakap seperti seorang nona tjantik.
Dibelakangnja mengikuti dua orang, jang satu berumur 30 tahun jang lain antara 17
tahun. Dari wadjahnja jang seperti pinang dibelah dua, terang mereka itu adalah dua
orang bersaudura Hanja sadja sianak muda itu mempunjai tjiri jang istimewa jani bidji
matanja bersinar violet (ungu), beda dengan kebanjakan orang.
Lebih aneh sendiri adalah jang paling belakang. Wadjah orang itu putjat lesi seperti majat,
tapi kuntjirnja jang mendjulai dibelakang batok kepala hitam mulus gilap. Dia hanja
berkaki satu dan kaki itupun tak dimasukkan kedalam besi pidjakkan kuda. Sekalipun
begitu, dapatlah dia duduk tegak diatas pelana kuda jang mentjongklang dengan
pesatnja. Tak berapa lama kemudian, keempat penunggang kuda itu sudah tiba dimulut
desa. Tiba2 sikaki satu tadi bergeliat dan menjentak kendalinja, maka melajanglah
tubuhnja tepat djatuh dibelakang salah seorang kedua saudara, jakni jang kakaknja.
Sudah tentu kedjutnja bukan kepalang. Tapi ketika dia menoleh dan dapatkan jang
bontjeng dibelakangnja adalah sikaki satu, legahlah hatinja.
„Sin-heng, ada apa?" tanjanja.
„Ssst....., pe-lahan2 sadja, Sin-heng sahut sikaki satu, „tempat tudjuan sudah dekat,
ingat, semua2nja harus ditimpahkan pada anak she Tong itu, biar mereka kelabakan.
Kita harus pandai mainkan rol itul"
Adalah ketika dia mengatakan „anak she Tong itu", tangan-nja menundjuk kearah anak
muda jang berada paling depan sendiri. Sehabis menjampaikan pesan, tangannja
menekan pe-lahan2 pada pelana dan tubuhnja melajang pula kebelakang tepat djatuh
diatas pelana kudanja sendiri tadi pula. Pesat dan lintjah sekali gerakan sikaki satu itu
hingga pemuda jang menunggang kuda paling depan sendiri tak mengetahui sama sekali.
Bahkan anak muda itu sedang membenam diri dalam suatu lamunan indah:
„Kali ini tentu akan memperoleh pahala besar. Karena kepandaian dangkal, selama ini
aku tak dapat menampilkan diri dikalangan mereka (perserekatan anti pendjadjah Tjeng).
Ah....., rupanja Tuhan itu maha murah, sehingga aku dapat berkenalan dengan ketiga
orang itu. Dengan kepandaian jang dimilik oleh ketiga sahabat itu, tentulah akan
disambut dengan girang utk mendjadi anggauta perserekatan. Djuga Siau-beng-siang Tio
Djiang, tak nanti memandang remeh lagi padaku, dengan begitu dapatlah aku bergaul
rapat dengan nona Tio. Ah...., ia tentu takkan memandang rendah lagi padakul"
Kini keempat penunggang kuda itu memasuki desa. Sebuah djalan besar terbentang di-
tengah2 desa itu. Disana sini banjak sekali rumah2 dan gedung2. Sikaki satu keprak
kudanja menghampiri anak She Tong itu seraja bertanja: „Sdr. Tong, apakah benar
Siaubeng-siang Tio Djiang tak berada dikampungnja?"
„Ja, dia pergi dengan isterinja, tapi lain2 saudara berada dalam desa semua. Oleh karena
pemerintah Tjeng melakukan tindakan keras, djadi segala sesuatu disini serba rahasia.
Begitu nanti sam-wi (kalian bertiga) tiba, tentulah ada orang jang menjampaikan laporan
pada Siau-beng-siang Tio Djiangl"
Sikaki satu berpaling kebelakang sembari memberi isjarat ekor mata pada kedua
kawannja agar memperlambat djalannja kuda. Kala itu adalah tahun ke 12 dari kaisar
Kong Hi memegang tampuk pimpinan keradjaan Tjeng-tiau. Keradjaan Lam Beng (Beng
pelarian didaerah selatan) sudah hantjur dan pemerintah Tjeng telah berhasil menguasai
seluruh Tiongkok. Tapi sebagian patriot2 negara tetap mengadakan gerakan subversif
untuk melakukan perlawanan. Usaha2 untuk mengkoordineer (melakukan kerdja sama)
antara djaringan2 perlawanan rakjat, tetap dilakukan dengan giat. Anti pendjadjah Tjeng
tetap dikobarkan diantara rakjat, agar semangat mereka djangan sampai lumpuh.

GAMBAR 01
Empat penunggang kuda setjepat anak panah terlepas dari busurnja
sedang dilarikan kearah pedesaan sana. Se-konjong2 sikaki satu jang paling
belakang endjot tubuhnja dari pelana kuda dan hinggap membontjeng diatas kuda
kawannja jang berada dimukanja tanpa diketahui sipemuda tjakap jang paling depan.

Tapi fihak Tjengpun tetap bersiaga. Penjebaran mata2 dan djagoan2 digiatkan se-
luas2nja. Pembunuhan, razzia, pengedjaran dan penjelidikan, ja pendek sedikit sadja ada
tanda2 adanja anasir perlawanan, tentu akan ditumpas sampai habis. Bahwasanja dalam
suasana negara jang aman, tak djarang terbit pertempuran ketjil atau penumpahan
darah karena terdjadinja clash antara rombongan anasir2 penjinta negeri dengan kaki
tangan pemerintah Tjeng, adalah djamak terdjadi.
Pemuda she Tong itu sebenarnja anak seorang petani jang tinggal disekitar sungai See-
kang. Dia berotak tjerdas. Ketika berumur 15 tahun, pernah ikut beladjar silat pada
seorang guru silat dan dapat mempeladjari beberapa matjam permainan silat pasaran. Se
kalipun begitu, dia mempunjai angan2 jang tinggi. Begitulah dia tinggalkan kampung
halaman berkelana dan berhasil menggabung kan diri dalam perserekatan anti Tjeng jang
dipimpin oleh Siau-beng-siang Tio Djiang. Gerakan jang dipimpin oleh Tio Djiang itu,
adalah merupakan kelandjutan dari perserekatan Thian Te Hui jang dipimpin oleh
Suhunja, Tjeng Bo siandjin. Thian Te Hui mengalami kegagalan total, organisasinja porak
poranda, tokoh2nja banjak jang bubar menjembunjikan diri dari kedjaran pemerintah
Tjeng. Sjukur tokoh2 inti gerakan itu seperti Kui-ing-tju, Thaysan sin-tho Ih Liok, Nyo
Kong-lim, Tjeng Bo, Kang Siang Yan, Tio Djiang, Yan-tjhiu dkk masih tetap bersatu.
Walaupun setjara ber-sembunji2, mereka dapat menghimpun kekuatan dan ternjata
pengaruh mereka terasa sekali didaerah Kwitang.
---oo0oo---

(Bersambung Ke Bagian 02)

Anda mungkin juga menyukai