Anda di halaman 1dari 5

Cinta Sebatas Patok Tenda

Judul Cerpen Cinta Sebatas Patok Tenda


Cerpen Karangan: Edwina Chindrasari
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Kisah Nyata, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 22 August 2014

Cinta.
Baca cinta dengan titik. Cinta itu sebenarnya tidak bermakna, cinta itu berarti. Betul bukan?
Cinta itu sungguh berarti. Sebelumnya aku berpikir bahwa cinta itu hanya fantasi. Setelah
menulis kata cinta maka berilah tanda titik di depannya, karena tanpa tanda titik orang akan
membacanya dengan nada panjang, cintaaa, atau bahkan dengan nada tanya, cinta? Jadi cinta itu
tidak untuk diresapi tapi diperjuangkan hingga mendapat tanda titik, karena setelah mendapat
tanda titik kamu akan yakin bahwa itu adalah cinta.

Rapat pengarahan kegiatan Persami. Sebelumnya, beribu-ribu maaf aku haturkan kepada Kak
Sigit yang sedang mengoceh dengan nada yang membuatku merasa sangat ngantuk sore itu. Aku
sangat bersyukur rapat pengarahan diadakan di aula bawah sekolah. Ya, namanya juga aula
tempat pertemuan, akan tetapi tempat itu lebih cocok apabila disebut dengan ruang kosong,
karena tidak ada satu pun meja atau kursi layaknya tempat pertemuan. Ruangan itu kira-kira
berukuran 10 X 5 m, yang beralaskan keramik putih polos yang menambah kepolosan ruang itu.
Aku bersyukur dengan tidak adanya meja atau kursi di ruang itu sehingga aku dan senior-senior
pramuka yang lain bisa duduk lesehan sambil mendekap kedua kaki dan menyandarkan kepala di
atas tempurung lutut sambil memjamkan mata hingga tertidur.

Wassalammualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh. Salam pramuka!


Jawaban salam dari anak-anak senior mengagetkanku. Aku langsung mengangkat kepala dan
melihat di sekelilingku. Anak-anak senior masih duduk manis, Kak Sigit dan Kak Arik sudah ke
luar ruangan. Ari, ketua pramuka sibuk membagi-bagikan kertas yang entahlah untuk apa.
Ini, nanti kamu tulis nama junior kelas 7G yang ikut persami. Tapi inget junior cowok, oke?
kata Ari
Oh, sip deh, jawabku dengan santai
Mereka tanggung jawabmu, lanjutnya sambil berlalu

Huh! Ini repotnya jadi sekretariat persami, disuruh-suruh. Masih mending kalo disuruh terima
tamu. nah, aku malah disuruh jagain 12 anak orang, cowok lagi. gerutuku dalam hati.

Bulan kelihatannya masih enggan menunjukkan dirinya malam itu. Hanya ada bintang-bintang
yang menghiasi karpet hitam Sang Pencipta. Malam itu setelah sholat maghrib berjamaah di
lapangan basket aku duduk di pojok lapangan dekat pohon mangga. Tempat itu lebih terang dari
dari tempat-tempat lainnya, karena di dahan pohon ada lampu yang menggantung, lampu itu
sengaja dipasang di dahan untuk mengurangi jumlah tongkat pramuka yang dipakai sebagai tiang
lampu. Inilah pramuka, kreatif!
Aku duduk di pojok lapangan untuk melanjutkan tidurku sore tadi. Anak-anak senior yang lain
masih sibuk membereskan terpal yang dipakai untuk sholat maghrib barusan. Tiba-tiba terdengar
bunyi peluit Kak Sigit yang sungguh memekikkan telinga. Aku langsung bangkit dari tempat
dudukku, anak-anak senior langsung berbaris di depan Kak Sigit. Kak Sigit meminta sekretariat
persami untuk menjaga junior-juniornya, dan memberi pengarahan tentang kegiatan-kegiatan
persami selama 2 hari 1 malam ini.

Ternyata mengatur selusin anak orang sungguh membuat mood-ku berantakan. Terpaksa aku
membentak-bentak mereka untuk berbaris. Setelah semuanya sudah siap, upacara pembukaan
persami pun dimulai. Sebetulnya aku sangat malas mengikuti upacara, apalagi di malam hari.
Kulihat senior-senior lainnya sedang meng-absen junior-juniornya. Ya, daripada aku
mendengarkan pidato dari Kak Sigit mending aku meng-absen junior-juniorku. Aku mengambil
kertas yang diberikan Ari kepadaku waktu rapat sore tadi dari dalam sakuku. Aku mulai meng-
absen dari barisan paling belakang. Karena mood-ku yang berantakan aku tidak mengajak bicara
junior-juniorku untuk bertanya nama mereka, aku cukup melihat namanya dari tulisan di kertas
kecil yang di tempel di dada mereka. Ya, setidaknya ini lebih membantuku untuk menghemat
energi yang terbuang sia-sia hanya untuk bertanya, Siapa namamu?.

Sampai di barisan paling depan jantungku seolah berhenti berdetak melihat sebuah nama yang
tertulis di kertas milik anak itu. Nama itu, sepertinya aku pernah mendengarnya. Tapi dimana?.
Aku melihat wajahnya dengan sorotan mata heran. Nama itu? Benarkah Kamu? Kelas tujuh?
Bukannya kita seumuran?. Pertanyaan-pertanyaan tolol itu terus berputar-putar di otakku. Aku
tidak percaya dengan itu semua, termasuk orang di depanku. Ah, waktu seakan berhenti terlalu
lama, sampai-sampai aku lupa untuk menuliskan namanya.

Setelah selesai menulis namanya dengan tangan yang bergetar hingga membuat tulisanku
semrawut aku menuju ke belakang barisan. Ku hembuskan nafas yang sempat terhenti tadi
dengan berat. Aku tak percaya dengan peristiwa yang terjadi beberapa detik lalu. Aku
memandang langit yang hanya dihiasi oleh bintang-bintang itu, rasanya aku ingin bertanya
kepada mereka, apa betul itu Raka yang ku kenal saat kegiatan Dian Pinru dulu? Apa betul itu
Raka yang cinta mati kepada pramuka? Dan apa betul dia masih kelas tujuh? Tapi wajahnya
sangat berbeda, apa betul dia Raka?. Ku lihat namanya di kertas yang sejak tadi kugenggam
hingga terlihat lusuh. Ku eja namanya baik-baik layaknya anak TK yang baru belajar membaca:
A..wang Satria Eru caRAKA! Benar dia memang Raka, kenalanku sewaktu
ikut kegiatan Dian Pinru tahunan waktu aku kelas 6 SD dulu.

Priiitt Priitt Priitt! Anak-anak junior langsung membentuk barisan melingkar setelah
mendengar bunyi peluit Kak Sigit.
Wina sini! terdengar suara Ari memanggilku. Dengan langkah gontai aku menghampirinya
Apaan sih? tanyaku keheranan
Ya elah, itu.. bantuin anak-anak mindahin kayu bakar ke tengan lapangan, jawab Ari dengan
nada seperti Mandor beneran
I..iya deh, sahutku dengan malas.

Huh! Akhirnya kayu bakar sudah dipindahkan semua. Kakiku mengajakku untuk kembali ke
barisan junior-juniorku. Sambil terus mengusap tanganku yang kotor karena mengangkat kayu
bakar aku bingung mencari-cari barisan juniorku. Nah, ternyata ada di situ, aku menghampiri
mereka dan duduk di belakang mereka. Api unggun pun menyala, beruntung junior-juniorku
memilih tempat yang tepat. Oleh karenanya aku bisa menikmati hangatnya api unggun. Aku
sangat menantikan suasanya seperti ini, menyaksikan api perlahan-lahan memakan kayu,
menikmati indahnya cahaya yang dihasilkannya, menghirup segarnya udara malam bercampur
dengan bau kayu yang dibakar, sempurna! suasana seperti ini tak akan aku jumpai dimana pun,
kecuali di pramuka.

Ehemm.., deheman orang di sampingku menghancurkan lamunanku. Aku menoleh ke arahnya.


Deg! Jantungku seakan-akan lari, darahku membeku, keringat dingin keluar dari seluruh
permukaan kulit, otot mataku seakan mati hingga tak dapat menggerakkan mataku. Ah! Aku
beradu mata dengannya, tapi mata itu sungguh indah, binarnya menyejukkan jiwa, ah sejak
kapan aku jadi lebay begini.
Heii.., dia menyapaku
Oh, h..hei, jawabku salah tingkah
Wina, kan? lanjutnya
Mmh, i..iya, aku semakin salah tingkah
Nggak usah salting gitu kali,
Enggak kok, jiwa pramuka ku keluar
Apa kabar?
Seperti yang kamu lihat, baik kok, jawabku dengan nada datar, yang sebenarnya untuk
menyembunyikan rasa deg-degan ku
Kenapa tadi kayak kaget gitu liat namaku? tanyanya memulai pembicaraan
Ku biarkan pertanyaan itu menggantung di udara, aku berpikir keras untuk menemukan alasan
yang tepat untuk menjawab pertanyaan dia. Karena aku tidak menemukan alasan yang logis, aku
hanya bisa menggelengkan kepala dan menatap ke atas melihat langit. Lagi-lagi nafasku terasa
berat untuk dikeluarkan.
Oiya, coba kamu lihat bintang yang yang paling redup di antara semua bintang, pintanya.
Aku heran mengapa dia menyuruhku melihat bintang yang redup itu, bukannya bintang yang
terang. Sudah jelas dia pasti mau meng-gombali-ku.
Memangnya, kenapa? aku mulai bisa mengendalikan rasa deg-deg-anku
Itu sebagai lambang redupnya rasa cintaku ke orang lain selain dirimu, aku menyayangimu apa
kamu juga sama? ungkapnya tanpa basa-basi sedikit pun
Aku hanya bisa membuang nafas dan mengacuhkan pernyataannya, di dalam hatiku aku merasa
heran mengapa tiba-tiba dia mengungkapkan isi hatinya, padahal kami baru beberapa menit
bertemu setelah perpisahanku dengannya yang sudah hampir 2 tahun lebih semenjak kegiatan
Dian Pinru Pramuka waktu SD dulu, lagi pula mengapa dia sungguh berani sekali menyatakan
rasa sayangnya kepadaku di kegiatan kepramukaan ini, kak Sigit melarang anak-anak pramuka
untuk berpacaran di waktu kegiatan pramuka dan juga melarang berpacaran dengan memakai
baju pramuka, menurut kak Sigit perbuatan itu sungguh menginjak-injak nama pramuka.

Aku memandangnya dengan perasaan heran sekaligus marah dengan kelakuannya tadi yang
menurutku itu tidak sopan. Kulihat binar matanya, aku merasakan bahwa dia berkata begitu
memang dari hatinya bukan sekedar ucapan belaka. Entah mengapa rasanya aku seperti terbang
di atas awan, ya maklum baru pertama kali ada cowok yang mengungkapkan perasaannya
kepadaku di suasanya yang sungguh dramatis ini, ini bukan pertama kalinya ada cowok yang
mengungkapkan perasaan sayangnya kepadaku, sebelumnya aku pernah akan tetapi tidak
seromantis ini. Tuhan, aku harus bagaimana tidak mungkin aku membiarkan pernyataannya tadi
menggantung di udara seolah-olah aku tidak mendengarnya. Apa aku harus menolaknya atau
menerimanya? Jujur sejak pertemuan pertamaku dengan dia 2 tahun lalu ada sebuah rasa yang
tidak biasa dari hatiku terhadap dirinya, mungkin dulu aku masih SD masih suka bermain-main
dan belum mengenal cinta. Dulu kegiatan Dian Pinru yang diadakan selama 1 hari itu terasa
menyenangkan, tadinya aku kurang suka mengikuti kegiatan itu karena aku berpikir pasti disana
banyak anak-anak yang sombong dan centil, aku jijik sama anak-anak yang seperti itu. Akan
tetapi dengan mengikuti kegiatan itu aku jadi mengenal dia bukan hanya mengenal mungkin juga
mencintainya, tidak saat itu saja sampai sekarang, sampai kegiatan Dian Pinru itu sudah
menginjak ke generasi ketiga setelah generasi pertama yang aku ikuti perasaanku terhadap Raka
tetap sama.

Aku tidak boleh ceroboh dengan keputusanku kali ini, aku harus bijaksana terhadap perasaanku,
terhadap pramuka, dan terhadap perasaan Raka.
Jujur aku tidak tahu mengapa rasa cinta itu hadir begitu saja dan membuatku mengatakan
bahwa aku juga menyayangimu,
Itu artinya kita berpacaran? ujarnya
Mungkin? Tapi kurasa ini mengingkari janji seorang pramuka kalau kita berpacaran di kegiatan
kepramukaan, terangku
Lalu? Bukankah kita saling menyayangi? Mengapa kita tidak berpacaran? tanyanya
Aku mau berpacaran denganmu asalkan setelah kegiatan persami ini selesai kita tidak lagi
menjalin hubungan itu, dan kita bersikap seolah-olah aku dan kamu tidak saling mengenal
sebelumnya, bagaimana? jelasku
Baik, aku setuju,

Walaupun aku dan dia sudah berpacaran saat itu, akan tetapi hubungan kami masih dingin.
Setelah percakapan itu aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun, begitu juga dengan dia. Aku
rasa bagi seorang remaja awal seperti kami, menjalin hubungan spesial itu sangat sulit untuk
tidak gugup di awal pacaran.

Api unggun semakin redup, keadaan di sekeliling sudah mulai gelap, aku dan dia masih duduk
terpaku di tempat itu. 2 menit 3 menit 4 menit, 10 menit barulah dia memulai pembicaraan dan
membuat suasana menjadi mencair kembali setelah beberapa menit membeku. Dia bercerita
kepadaku pengalaman-pengalamannya sewaktu mengikuti kegiatan Dian Pinru untuk yang ke
dua kalinya sewaktu dia kelas 6 SD. Aku dan dia sebelumnya tidak tahu bahwa kami tidak
seumuran walaupun hanya berbeda 10 bulan saja, usiaku lebih tua darinya.

Di sela-sela perbincanganku dengannya aku mengungkapkan bahwa aku sangat kaget ketika
mengetahui dia yang ternyata bersekolah di sini yang juga sekolah tempatku menimba ilmu,
selain itu aku juga berkata kepada dirinya bahwa aku sempat tidak percaya kalau dia adalah adik
kelasku, karena sewaktu kegiatan dian pinru 2 tahun lalu, aku rasa dia seumuran denganku dan
kami sama-sama duduk di kelas 6 waktu itu.

Paginya kegiatan persami sudah usai, semalam aku menghabiskan waktu tidur malamku untuk
chatting dengan Raka. Kegiatan persami sudah bubar anak-anak yang lain sudah pulang, akan
tetapi tidak ada niatan sama sekali dariku untuk menghampiri dia dan mengucapkan selamat
tinggal, kurasa tanpa aku harus mengucapkan selamat tinggal dia sudah tahu bahwa hubungan
kita sudah cukup sampai disini.

Dengan langkah berat aku melangkahkan kaki menuju tempat parkir sepeda dan bergegas
pulang. Di tengah perjalanan handphone-ku berdering, rupanya ada sms dari Raka:
Haiii!!! Thx udah ngasih sdikit rasa syngmu dan mau menerima perasaanku. Ya wlaupun kta
skrg tdk berpacrn lgi tpi ku hrp kmu tdk mnghapus nmaku di htimu.
Aku merasa lega, ternyata keputusanku tadi malam untuk menjadi pacarnya untuk beberapa jam
saja tidak membuatnya galau seperti ABG lainnya yang baru diputusin pacarnya langsung galau
dan mungkin mau bunuh diri. Walaupun setelah ini aku harus rela melepasmu dengan orang lain,
tapi aku yakin itu sudah jalannya. Lagi pula kami berpacaran pada saat kegiatan pramuka,
jadinya kita harus rela menyebut bahwa cintaku dengan Raka hanya sebatas patok tenda, dan
setelah tenda terbongkar SAYONARA CINTA.

Cerpen Karangan: Edwina Chindrasari


Blog: edwinachindrasari.blogspot.com
Edwina Chindrasari Koesoema. Biasa dipanggil Wina atau Ed. Lahir di Jombang, 29 Maret
1999. Usia 14 tahun. bersekolah di SMPN 1 Mojoagung.

Anda mungkin juga menyukai