Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nabilla Try Febriani

Kelas : XII MIPA 7


No. Absen : 28

Perkenalan atau Perpisahan


Butiran air yang turun tak terhitung perlahan pergi meninggalkan jejaknya, sudah selesai
tugasnya hari ini tuk menemani insan yang tak dapat meluapkan rasa sedihnya. Kepergiannya
itu meninggalkan bekas yang nyata dan seakan memberikan pesan yang tak terucap kepada
sang mentari tuk menggantikan hadirnya. Hadirnya sang mentari seakan berteriak
mengingatkan kepada setiap insan jikalau pasti setelah hujan badai ia akan selalu datang
untuk memberikan kehangatan, memberikan cahaya tuk menyinari perjalanan.
Teriknya sang mentari saat itu tak meluputkan semangat puluhan insan yang berjuang tuk
menggapai mimpi mereka. Tangan-tangan yang bergerak menorehkan tinta di selembar
kertas, menyusun berbagai kata yang harus dirangkai semenarik mungkin. Wajah lelah yang
tampak, tak jua menyurutkan tekad mereka. Udara hangat yang disertai terangnya cahaya
perlahan mengisi ruangan yang mereka tinggali. Lirihan suara canda tawa mulai menghiasi
tuk menyairkan suasana dan merehatkan pikiran sejenak, beberapa insan yang berdiri berjalan
menghampiri seorang wanita di pojok depan ruangan itu, menyerahkan buku mereka tuk
mendengarkan saran seraya memancing ide-ide tuk kembali muncul mengisi pikiran mereka.
Setelah mendapatkan saran, mereka akan kembali duduk dibangku mereka semula sembari
melanjutkan rangkaian kata yang akan merekah torehkan ditumpukkan kertas itu.
Semua bangku dan meja yang mereka duduki diruangan itu tersusun rapi bagaikan
barisan insan yang sedang mengikuti upacara bendera. Barisan kedua, tepatnya pada meja
ketiga menjadi singgasanaku di ruangan itu. Kata demi kata berusaha ku susun tuk menjadi
untaian kata yang penuh dengan kiasan. Aku berusaha tuk kembali mengingat kata-kata kias
yang pernah kubaca di beberapa buku tebal yang penuh dengan cerita fantastis. Setiap
detiknya selalu kupikirkan sebilah kayu tuk menulis ini harus ku gunakan tuk merangkai kata
apa. Isi otakku seakan dihuni puluhan orang yang sedang berdebat meneriakkan kata-kata
yang harus kutulis di kertas. Rasa panas dikepalaku yang mulai kurasakan membuatku
menumpukan kepala keatas lenganku yang kuletakkan diatas meja seraya menoleh kepintu
tuk melihat suasana diluar ruangan itu.
Saat bosanku mulai menyelimuti, kembali kutegakkan kepalaku kemudian meregangkan
tulang-tulangku yang mulai terasa kaku dan pegal. Ketika ku melihat ke arah kiriku, kulihat
teman disebelahku yang sedang menumpukan kepalanya dimeja seraya memegang pensil
ditangan kanannya, dengan memasang mimik wajah bingungnya. Kulirik sedikit tulisan yang
ada dibukunya, kertas yang bersih itu masih terisi sedikit coretan kata. Penasaranku mulai
mendorongku tuk bertanya kepadanya.
“Sudah sampai mana kamu menulis cerita?” tanyaku sembari kembali mengintip buku
tulisnya.
“Aku baru mengerjakan sedikit, tidak tahu harus bagaimana aku melanjutkan cerita ini.
Bagaimana denganmu?” Ucapnya sembari membenarkan posisi duduknya menjadi tegak.
“Huh, aku juga tidak tahu. Saat ini kepalaku seperti tidak mau diajak bekerja sama.” Ku
berucap sembari menghela nafas, tuk mengurangi rasa bingung walau pada akhirnya hal itu
tidak memberikan pengaruh.
“Ya, susah sekali memikirkan kata-kata kias yang harus kurangkai, sekarang lebih baik
kita fokus melanjutkan tugas ini, agar dapat segera menyelesaikannya.” Ucapnya untuk
terakhir kalinya sebelum ia kembali merebahkan kepalanya dimeja dan kembali fokus
menulis.
Setelah percakapan itu, seperskian detik kemudian bel tanda berakhirnya pelajaran
berbunyi. Hal itu juga menandakan bahwa waktu istirahat telah tiba. Guru yang mengajar
memberikan salam terakhirnya sebelum keluar dari ruangan kelas itu. Serempak semua orang
dikelas itu menghembuskan nafas lega karena dapat beristirahat setelah menguras otak. Aku
segera membereskan mejaku dan menoleh ke arah teman yang duduk disebelahku.
“Kamu masih datang bulan?” Tanyaku sembari memasukkan pena dan peralatan tulisku
yang lain kedalam tempatnya.
“Iya, aku masih belum bisa sholat.” Ucapnya sembari matanya mengikuti gerakkan
tanganku yang sedang membereskan peralatan tulisku.
“Baiklah. Kalau kalian gimana? Sholatkan?” Aku menoleh kebelakang tuk bertanya
kepada dua temanku yang duduk dibelakangku.
“Iya, mau sholat sekarang? atau nanti saat sudah mau masuk?” Tanya temanku yang
duduk tepat dibelakangku.
“Sekarang sajalah, sepertinya masih belum terlalu ramai juga kan.” Ungkap temanku yang
mengenakan kacamata, Dara namanya.
“Kamu sar? Sholat juga kan?” tanyaku kepada temanku yang berada di barisan seberang.
“Iya, ayooo” ucap sarah sembari berdiri dari duduknya.
Suasana diluar kelas saat itu belum terlau ramai, bahkan masih banyak murid yang berada
di kelas. Gelak tawa kami menggelegar dan menggema di lorong yang sepi itu. Lelucon yang
saling kami lempar menumbuhkan rasa nyaman membuat hubungan kami semakin dekat.
Dara, Sarah, dan Ayra memang bukan teman yang sempurna, tetapi berkat kehadiran mereka,
masa putih abu-abuku terasa penuh warna, dunia hitam putihku yang lalu perlahan terisi
coretan demi coretan warna yang merubah duniaku.
Koridor kelas terakhir yang akan kami lewati menampakkan sosok pria yang belakangan
ini mengganggu pikiranku. Pria yang sudah kuperhatikan selama satu tahun terakhir.
Misterius, kata itu yang dapat mendeskripsikannya. Dia tidak banyak bergaul seperti
kebanyakan pria lain, tetapi dia juga bukan seseorang yang pendiam, dia akan menjadi orang
yang asik dan ceria dengan orang terdekatnya. Ya, itu hasil pengamatanku selama setahun
terakhir. Tidak, salah besar jika ada yang menganggap aku dekat dengannya, meskipun aku
berharap demikian, tetapi nyatanya sampai sekarang keberanianku masih belum sebesar itu
tuk mengajaknya berkomunikasi.
“Alice! Kamu mendengarkan ceritaku kan?” pertanyaan Ayra membuyarkan lamunanku
tentangnya.
“Huh? Maaf aku tadi sedang tidak fokus, kenapa?” tanyaku sembari menggandeng lengan
Ayra, merayunya tuk menceritakan ulang apa yang ia bicarakan saat aku asik dengan
pikiranku tadi.
“Ah sudahlah, tidak akan lucu lagi jika aku mengulang ceritanya.” Rengeknya sembari
melepaskan tanganku, dan berakhir ia berjalan di depanku.
“Memangnya apa yang sedang kamu pikirkan? Pria yang misterius itu lagi? Aku juga
melihatnya didepan kelas Ipa 1 yang kita lewati tadi.” Dara bertanya sembari
menyeimbangkan langkahnya denganku.
“Apa sih, tidak ada. Tadi aku cuma sedikit tidak fokus.” Ucapku sekuat mungkin menahan
ekspresi wajah terkejutku mendengar pertanyaan Dara yang tepat sasaran.
“Iya, tidak fokus karena melihatnya kan?” Sarah berkata sembari memutar badannya
menghadapku.
“Hahahaha, sudahlah tidak perlu mengelak lagi, itu sudah terlukis jelas diwajahmu.” Ucap
Dara diikuti dengan gelak tawa mereka bertiga.
“Ih, tidak ada. Kalian jangan mengada-ada yaa.” Ucapku dengan nada kesal yang kubuat-
buat sembari berjalan mendahului mereka bertiga.
Langkah terakhirku berhenti didepan pintu masuk mushola, kembali menunggu ketiga
temanku yang kutinggalkan tadi. Saat sudah berkumpul, aku dan ketiga temanku segera
memasuki mushola dan menyimpan mukena yang dibawa. Kemudian berjalan menuju tempat
wudhu, tuk menyucikan diri. Selama menuju tempat wudhu topik pria misterius tadi masih
menjadi topik utama percakapan, menggodaku hingga merah kedua pipiku. Setelah wudhu,
aku dan temanku segera menjalankan ibadah tuk mendapatkan ketenangan jiwa.
Tangan yang mengadah perlahan mendekati wajah menjadi tanda agar harapan yang
terucap dapat terkabul. Mukena yang kami kenakan kembali kami lipat serapi mungkin,
segera kami berdiri dari tempat duduk dan kembali berjalan menuju kelas.
Dari ujung koridor terlihat sekumpulan pria yang bukan merupakan penghuni kelasku
berdiri di depan pintu kelas. Tapi bukan itu yang membuatku heran. Keherananku muncul
saat kulihat ia yang menjadi topik utama candaan kami ikut berdiri di sekumpulan pria itu.
Darahku berdesir mengirimkan isyarat agar jantung lebih cepat memompa. Temanku yang
mulai menyadari hal itu berusaha tuk memberi isyarat kepadaku dengan menyenggol
lenganku. Padahal tanpa perlu isyarat dari mereka aku sudah menyadari kehadirannya.
Sekarang yang perlu kulakukan hanya pura-pura tidak mengenalnya dan masuk ke kelas.
Ketiga temanku sudah masuk kelas mendahuluiku, tapi saat langkahku akan memasuki pintu
kelas, tiba-tiba ada yang berbicara denganku.
“Alice kan? Boleh bicara sebentar?” Suara itu, suara yang sering ku dengar dari jauh kini
berbicara denganku.
Ya tuhan, apa yang harus aku lakukan. Seketika tubuhku kaku, memikirkan harus
menjawab dan bertingkah seperti apa didepannya. Karena kejadian ini tak pernah
kubayangkan sebelumnya akan menjadi nyata. Aku berusaha dengan keras tuk meyakinkan
diriku dan berbalik menghadapnya.
“Iya... bener, boleh kok.” Jawabku dengan tenang berusaha untuk tidak berteriak.
“Kalian duluan aja, ketemuan di kelas yah.” Ia berbicara dengan teman-temannya,
meminta mereka untuk meninggalkannya.
“Duduk disitu aja yuk.” Ucapnya sembari menunjuk kursi yang terletak didepan kelas.
Aku mengangguk dan berjalan mendahuluinya untuk duduk dikursi panjang itu. Kepalaku
terasa seperti kaset rusak yang sedang berputar, memikirkan apa yang selanjutnya akan
terjadi. Kejadian yang aku alami sekarang sangat membingungkan, ribuan pertanyaan
hinggap dikepalaku.
“Hai, kenalin aku Darrel.” Senyumnya turut menghiasi perkenalan singkat itu.
“Aa, halo juga? Aku Alice.” Jawabku dengan nada yang ragu sembari melihatnya yang
sedang menatapku.
“Hahaha, tidak usah canggung seperti itu, anggap saja kita sudah berteman lama.” Ia
membenarkan posisi duduknya untuk menyender kedinding yang ada dibelakangnya.
“Kamu pasti bertanya, kenapa aku mengajakmu berbicara tiba-tiba kan?” Arah mata yang
awalnya memandang ke depan, Ia alihkan kearahku.
Aku hanya mengangguk untuk menanggapi pertanyaan yang Ia berikan, karena nyatanya
aku memang sangat penasaran mengenai alasannya duduk dan berbicara denganku di kursi
panjang ini.
“Aku sebenarnya sudah tahu kamu menaruh perasaan kepadaku sejak 2 bulan yang lalu.”
Ungkapannya tersebut hampir membuat jantungku pindah dari tempatnya.
“Santai saja, jangan terlalu kaget seperti itu.” Tangannya meninju kecil lenganku, kembali
ia melihat kearah depan.
“Bagaimana kamu mengetahuinya? Aku tidak pernah menceritakan hal ini selain dengan
teman-temanku.” Kecemasanku membuatku memikirkan hal yang paling buruk terjadi, tapi
semoga saja apa yang kupikirkan tidak menjadi nyata.
“Aku seringkali menyadari kamu yang diam-diam melirikku, dan beberapa kali juga aku
tidak sengaja mendengarkan percakapanmu dengan temanmu mengenai aku.” Ku mendengar
kekehan kecil keluar dari mulutnya
“Aku tidak keberatan dan tidak mempersalahkan perasaanmu kepadaku, tapi aku tidak
ingin memberimu harapan yang tidak tahu kapan akan terjadi. Maaf bukan maksudku untuk
menyakitimu. Tapi aku tidak mau mmbuatmu semakin jatuh kepadaku, karena aku takut tidak
dapat membalasnya.” Ia mengambil jeda sebentar sebelum melanjutkan perkataannya.
“Terima kasih sudah menyukaiku. Untuk sekarang aku belum bisa membalas perasaanmu,
mungkin suatu saat nanti dan di waktu yang tepat bisa jadi aku yang mengejarmu, dan kita
dapat saling jatuh cinta.” Ia mengucapkan itu sembari tersenyum manis seraya menatap
mataku.
“Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak meminta kamu untuk membalas perasaanku,
menyukaimu dalam diam sudah cukup membuatku bahagia. Aku masih tidak mengerti apa
yang kamu katakan. Jadi, ini perkenalan kita atau perpisahan kita?” Kutatap matanya ragu
menunggu jawaban selanjutnya yang akan Ia keluarkan.
“Perpisahan? Aku tidak memintamu untuk menjauh. Anggap ini perkenalan kita, dengan
kita yang sama-sama tidak memiliki perasaan satu sama lain.” Ia berdiri dari duduknya
bersiap diri untuk kembali ke kelasnya.
“Senang dapat berkenalan dengamu, Alice.” Ia mengakhiri percakapan dengan senyuman
manis diwajahnya.
Aku melihat punggungnya yang semakin jauh dan kemudian hilang di tangga menuju
lantai dua. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang ini. Perasaanku campur aduk,
aku senang dapat berkenalan dengannya tapi itu tidak menutupi kesedihanku mengenai
ucapannya tadi yang memintaku untuk berhenti menyukainya. Aku ingin menangis,
menumpahkan semua kesedihanku. Tapi aku tidak mau orang lain mengetahui perasaanku.
Aku melihat kearah langit, langit mulai menggelap, seakan langit berkata kepadaku bahwa
ia turut merasakan kesedihanku dan ingin menemaniku. Aku harap perkenalan pada hari ini
tidak akan menjadi perpisahan bagi kami, seperti yang ia katakan tadi, diwaktu yang tepat
kita dapat bertemu lagi menjadi dua orang yang saling mencintai. Semoga.

Anda mungkin juga menyukai