Anda di halaman 1dari 6

Babak-1

Nama Yang Ditukar

1357
Perempuan itu masih berlari, melewati semak belukar yang melukai
kakinya. Berkali-kali memandang ke belakang, memastikan tidak ada yang
mengejarnya. Setelah memastikan bahwa suasananya sepi, ia bersandar ke salah
satu pohon. Mengatur napasnya yang berantakan. Ia membuka selendang yang
membelit pingangnya, menyobeknya lalu mengikat sobekan pada lengan
kanannya yang berdarah.
Teriakan dari segala arah membuatnya panik, dengan tertatih ia bangkit.
Sayangnya, beberapa orang yang sejak tadi mengejarnya kini telah
mengepungnya. Panik melihat banyaknya orang yang kini berkerumun,
menodongkan senjata mereka pada dirinya. Dikeluarkan belati dari balik
selendangnya.

***
2019

Yudhis menaruh susu kotak yang baru saja aku minta belikan di kantin.
Aku berterima kasih sambil mengusap mataku yang masih merah, akibat
menangis terlalu lama. Yudhis menatapku dengan alisnya yang berkerut, ujung
bibirnya naik sedikit dan bergetar. Dia masih menertawakan raut wajahku yang
masih memerah.
“Jadi, kenapa kamu nangis tadi?”
“Engga tau, tiba-tiba aja nangis.”
“Njir, cengeng banget”
Aku mengedikkan bahu, membalas kata-kata Yudhis dengan jari tengah.
Yudhis hanya tertawa, lalu menatap orang-orang yang sedang berjalan dari lantai
dua, tempat kelas kami berada. Aku masih duduk di kursi besi panjang yang
sengaja ditaruh oleh penghuni kelas kami untuk duduk santai.
“Eh, habis ini kamu pelajaran apa?”
“Apa ya tadi, sejarah kayaknya.”
“Katanya diganti gurunya,” Ujarku sambil menatap salah satu guru yang
memarahi beberapa siswa. Yudhis yang ada di sebelahku berteriak memanggil
salah satu temannya yang berada di bawah. Aku melambaikan tangan, ketika
bertatapan dengan salah satu temanku.
“Pulang nanti mau naik angkot atau sama aku?”
“Engga dah, mau naik angkot aja.”
“Kenapa?”
“Ya, pengen aja.”
Suara bel yang menandakan waktu istirahat selesai, membuatku berpisah
dengan Yudhis. Aku kembali memasuki kelas, berpura-pura mencari buku
catatanku sambil menghindari tatapan yang diarahkan oleh teman-temanku
sekitar.
“Zar, kamu udah gak apa-apa?”
Sebuah senyum kupasang di wajahku, berkata tidak apa-apa. Yayak yang
berada di sebelahku mengerti kalau aku sedang tidak ingin bicara, hanya
menganggukkan kepala. Selama sisa pelajaran, Yayak masih melirikku dari raut
wajahnya ia ingin mengatakan sesuatu.
Aku menghela napas, sembari menutup buku catatan matematikaku
dengan kasar. Limit fungsi aljabar benar-benar membuat kepalaku berdenyut.
Ketiga teman dekatku, mendengar helaan napas kasarku segera menatapku. Tasya
dan Devi spontan memutar tubuh mereka menghadap ke belakang, ke arahku.
“Jadi, what happer with you, girl?”
Kali ini aku menunjukkan senyum yang lebih tulus dari tadi. Aku kembali
menghela napas. Pandanganku kuarahkan pada lampu kelas yang terus menyala
dan hanya dimatikan ketika pulang sekolah. Devi yang melihatku menatap lampu
kelas, ikut menatap ke atas.
“Pernah gak kalian itu pengen nangis karena sesuatu yang kita sendiri gak
paham?”
“Pernah.”
“Yaudah, gitu aja,” Tawaku keluar begitu saja, melihat raut muka ketiga
temanku yang serus mendengarkan.
“Zahra, nyebelin banget sih.”
Aku menjulurkan lidah, mengejeknya hingga membuat Tasya mengangkat
ponselnya. Berpura-pura akan melemparkannya padaku. Devi yang melihat
kelakuanku hanya bisa terdiam. Yayak segera mencubit pipiku, yang ditertawakan
oleh mereka.
Pintu kelas terbuka, laki-laki dengan kumis tebal yang sudah sangat
dihafal oleh anak satu sekolah. Wali kelas kami ikut masuk ke dalam kelas disusul
oleh pria lain dengan beberapa map yang menarik perhatianku sejak awal.
“Selamat pagi semua!”
Kepala sekolah mulai menyapa kami dengan sangat ceria, seolah-olah
suasana kelas akan ikut menyenangkan mendengar suaranya. Bejo, sebagai ketua
kelas membalas sapaannya dengan semangat.
“Pencitraan,” Bisikku kepada Yayak. Mataku menatap pria asing yang ikut
masuk ke dalam kelas. Senyumnya terpasang dengan sempurna, alis tebalnya
begitu menambah kesan ‘killer’ dari tubuhnya yang kekar dan tinggi. Aku
mengerjapkan mata dengan cepat lalu segera menatap ke punggung Devi yang ada
di hadapanku. Ketika aku melirik ke arahnya, matanya ternyata masih menatapku.
Kali ini dengan alis berkerut, hampir menyatu di keningnya.
“Jadi, ini adalah Pak Mada. Beliau masih muda namun sudah mengajar
sebagai sebuah dosen di Universitas Negeri yang terkemuka. Nah, Pak Mada ini
akan menggantikan wali kelas kalian saat ini. Karena, seperti kabar yang sudah
kalian dengan kalau wali kelas kalian akan pindah mengajar ke sekolah lain. Saya
harap kalian bisa menerima juga menghormati Pak Mada, sama seperti wali kelas
kalian yang dulu.”
Semuanya bertepuk tangan ketika ketika kepala sekolah menyelesaikan
pidatonya. Wali kelas juga ikut menyampaikan beberapa kalimat yang sebagian
besar isinya tentang kebohongan bagaimana hubungan anak kelas dengan wali
kelas, yang katanya dekat.
“Idih,” Yayak menepuk pahaku dengan pelan, menegur responku yang
cukup kasar. Aku menatapnya dengan cemberut, mengajukan protes lewat sorot
mataku yang dibalas Yayak dengan pelototan.
“Ehem...”
Aku segera memutuskan kontak mata dengan Yayak, begitupun
sebaliknya karena teguran oleh pria dengan kemeja putih itu. Mataku kembali
fokus pada wali kelas kami yang baru.
“..Semoga saya bisa membimbing kalian dengan baik ke depannya.”
***
“Zar, besok kamu ada acara?”
Aku menganggukkan kepala menjawab pertanyaan dari Devi, sambil sibuk
membereskan barang-barangku yang berserakan di atas meja. Bel pulang baru saja
berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu. Tasya yang tengah menaikkan kursinya
ke meja, agar memudahkan menyapu bagian bawa mejanya itu berteriak.
Memanggil nama-nama yang harusnya hari ini mendapat jadwal membersihkan
kelas.
“Permisi, Kak Zahranya ada?”
“ZAR, DICARIIN ANAKMU!”
Naufal yang berniat kabur dari piketnya, meneriakkan namaku. Aku
mencibir kelakuannya yang seolah-olah dekat denganku. Kutatap perempuan
dengan rambut dikepang dua, menambah sisi imut nya.
“Pergi dulu ya semua,” Tanganku melambai pada Devi dan Yayak. Berniat
pamit juga kepada Tasya, namun sepertinya Tasya tengah sibuk bertengkar
dengan salah satu anak laki-laki karena merebutkan sapu yang dipegangnya.
“Jangan lupa kamu piket,” Ujarku sambil melewati Naufal yang masih
menggoda adik kelas yang mencariku.
“Ayo ke ruangan.”
“Semua sudah kumpulkan?”
“Sudah Kak, makanya saya disuruh paggil Kak Zahra.”
Pintu ruang jurnal sudah terbuka dari dalam ketika aku baru berniat
mendorongnya. Arvin hanya menampilkan senyumnya saat bertatapan denganku.
Dibukanya pintu semakin lebar, sambil berbisik di telingaku untuk memintaku
duduk di sampingnya yang kubalas dengan gelengan.
Aku berjalan duduk di sebelah April yang kini bertanya alasanku datang
terlambat. Karena biasanya aku termasuk yang rajin datang awal. Adiz sebagai
Ketua pada rapat kali ini, mewakilkan Ketua Ekstra yang berhalangan hadir. Aku
memandang ponselku yang kini menampilkan grup chat keluarga yang tengah
heboh menyiapkan pernikahan sepupuku tersebut. Awalnya tidak terlalu heboh,
tapi karena calon besannya masih memiliki hubungan erat dengan keraton Jogja.
“Baiklah, untuk Ketua Divisi Tulis akan menjelaskan prosedur untuk
wawancaranya.”
“Oke, seperti yang kita tahu. Ulang tahun sekolah tinggal beberapa hari
lagi. Jadi, seperti yang sudah kita diskusikan di rapat minggu lalu. Aku ingin
setiap tim tetap fokus ke tugasnya. Untuk tim cadangan, jangan lupa tetap lakukan
wawancara juga. Target utama kita, mempertahankan majalah sekolah sebagai
juara bertahan di schoolfest tahun ini. Jangan lupa untuk admin instagram,
youtube, twitter sama blogger update informasi terus ya. Itu aja yang
kusampaikan, jangan sampai telat deadlinenya.”
April menatapku dengan tatapan puas. Aku mengangguk pada Adiz, lalu
segera kembali ke sebelah temanku itu. Arvin berdiri melewatiku sembari
memberikan senyum tengilnya. Kepalaku hanya menggeleng melihat tingkahnya.
Ponselku bergetar menampilkan pesan dari ibuku. Memberitahu agar pulang
dengan cepat untuk bersiap-siap pergi ke Mojokerto, kampung halaman ibuku.
***
“Dek, ayo segera berangkat.”
“Bentar, kalungku ketinggalan.”
Aku berlari kembali masuk ke rumah, dengan terburu-buru membuka laci
meja belajarku. Tanganku mencari kalung yang selalu kupakai, namun karena tadi
pagi kalungnya tersangkut di handuk dan lepas.
“Dek!”
“Iya, bentar.”
Setelah menemukannya, aku segera memakainya sambil berlari. Ibu
berdiri di depan pintu mobil yang terbuka sambil matanya melotot memarahiku.
Aku menggigit lidah, menahan kata-kata pembelaan yang sudah kususun.
“Makanya, ibu bilang buat di pakai terus kalungnya ya di pakai.”
“Gak dengerin ya?!”
“Denger,” Ujarku dengan malas. Mataku menatap pedagang kaki lima
yang masih buka walaupun sudah pukul sepuluh malam. Mataku berkedip pelan,
tanpa sadar menguap begitu lebar.
“Iya, besannya Dyah itu masih abdi dalem keraton.”
“Beruntung banget.”
“Makanya, kenapa harus tukar nama..”
Aku tidak bisa mendengar kalimat selanjutnya, mataku mulai terpejam
begitu saja. Setiap kali, ibu membahas tentang sepupu yang satu ini. Pasti, ibu
akan menyinggung soal namaku dan berakhir dengan menatapku dengan tatapan
kasihan.
Perjalanan hanya memakan waktu kurang lebih satu jam, aku memilih
untuk tidur dari pada mendengar pembicarakan kedua orang tuaku. Sayangnya,
jiwa lambe turahku muncul begitu saja. Membuatku berpura-pura tidur, sembari
mendengarkan orang-orang yang muncul di pembicaraan mereka.
“WOY, TUKANG MOLOR!”
Teriakanku mengundang perhatian beberapa orang yang sibuk menata
teras rumah kakekku. Aku memandang sinis kepada salah satu sepupuku yang
masih tertawa. Salah satu bude datang menghampiri kami, menanyakan
keadaanku yang masih berdiri kaku di pinggir mobil.
“Wulan?”
Mataku menatap perempuan cantik yang tengah memakai kaos bertuliskan
‘Joger Jelek’ khas Bali. Aku menatapnya dengan senyum lebar sembari
mengulurkan tangan untuk memeluknya. Aroma mawar tercium ketika kami
berpelukan dengan erat.
“Walah nduk, kok yo metu teko kamar seh?!”
Perempuan yang memelukku tertawa dengan lembut, menampilkan kesan
dewasanya yang anggun. Kepalaku menengadah, menatapnya yang kini balas
menatapku.

Anda mungkin juga menyukai