Anda di halaman 1dari 4

Judul : Perkenalan Gaib

Penulis : Fildza Malahati

Genre : Horor

Siapa la ?
Hai, namaku Mala. Santri dari salah satu pesantren putri di Yogyakarta. Aku punya
kemampuan melihat makhluk gaib. Mendengar nama itu, diri ini benci ketika mereka mulai
mengusik dengan desisan dan suara-suara aneh lainnya. Aku terus diganggu dan itu dialami
hampir setiap malam.
Kisah ini bermula saat menyantri di pesantren sekitar tahun 2019 lalu. Setiap mati lampu
atau pada tengah malam, aku selalu diganggu oleh makhluk gaib. Ya, setiap malam aku
selalu terbangun entah ingin minum atau sekadar duduk di tempat tidur kamar yang berada di
lantai paling atas. Aku yang sedari tadi duduk di tempat tidur merasa haus dan ingin minum
walau seteguk saja. Belum juga sampai di tempat mengambil minum, bulu kuduk ini sudah
berdiri.
‘Ah, kok merinding, ya?’ gumamku. Seusai minum, aku duduk sebentar, lalu melihat di
kamar sebelah ternyata ada gadis yang juga duduk sambil membaca buku. Aku tersenyum
karena ada yang bangun juga selain diri ini. Akan tetapi, belum sampai lima langkah
memasuki kamar, gadis itu menatap dengan sorotan tajam. Melihat kanan-kiri tak ada orang,
berarti tatapan gadis itu tertuju padaku.
“Maaf, Mbak Nina kenapa liatnya gitu?” tanyaku penasaran. Khawatir aku ada salah pada
Mbak Nina penghuni kamar sebelah.
Gadis itu langsung tertunduk dan tidur kembali. Aku tercengang melihatnya, bulu kuduk
kembali berdiri. Aku bergegas masuk dan tidur karena takut.
Keesokan harinya.
“Badanku, kok lemes, ya? Tadi pagi sudah sarapan, tapi kenapa perutku nyeri dan badanku
meriang, ya, Lid” keluhku pada salah satu teman kamar, Lidya.
“Sakit, ya, Mbak Mala?” tanyanya sambil memegangi keningku.
“Badan Mbak Mala panas, lho, tidak usah masuk sekolah, ya, Mbak?”
“Aku mau masuk saja, Lid, soalnya takut ketinggalan pelajaran,” jawabku sambil
memegangi perut. “Kayaknya aku nyeri datang bulan, Lid.”
Aku pun berangkat sekolah.
“Eh, Mbak Nina tadi malam bangun?” tanyaku saat ketemu Mbak Nina.
“Tidak, Mal, kenapa?” Mbak Nina kembali bertanya.
“Anu, Mbak, tadi malam aku bangun terus liat Mbak belajar, tapi pas Mbak liatin aku,
maaf, nih, ya, mata Mbak melotot kayak tidak suka gitu,” jawabku sambil tertawa.
“Astagfirullah, tidak, Mal, aku tidak bangun tadi malam. Jangankan belajar, Mal, bangun
tengah malam saja aku susah,” jawabnya serius.
“Benar, Mbak?” tanyaku lebih serius.
“Iya, benar, Mal. Eh, iya kenapa wajahmu pucat?”
Belum sempat menjawab pertanyaannya, aku bergegas karena sebentar lagi waktunya
sekolah masuk. Tiba di kelas, aku masih diam memikirkan gadis kamar sebelah itu. ‘Kalau
bukan Mbak Nina, lalu siapa?’
“Mala! Mala! Astagfirullah, Mal kesambet apa kamu?” Suara keras khas Isna –sahabat
karib—sontak membangunkan dari lamunan.
“Maaf, ya, Is. Aku Cuma lagi gak enak badan dan banyak pikiran,” jawabku datar.
Ini bukan pertama kalinya sosok itu terlihat. Kupikir Cuma di rumah saja ada makhluk
gaib. Ternyata prasangka ini salah, malah di pesantren seperti nyata. Di sini aku diganggu
hampir tiap malam. Semacam mereka mau berkenalan denganku. ‘Ish, miris. Masa makhluk
gaib mau berkenalan dengan manusia? Kenapa hanya aku yang diganggu. Biasanya mereka
merasuki jiwa manusia.
“Alhamdulillah.” Aku mulai bersuara.
“Kok, alhamdulillah, Mal?” tanya Diana heran, ia juga salah satu sahabat karibku.
“Oh. Tidak apa-apa, Diana. Maklum lagi bersyukur saja sama Allah karena aku tidak
sampai kerasukan kayak yang lain.”
“Kamu diganggu lagi, Mal?” tanya Isna dengan kerasnya sampai teman-teman sekelas
melihatku heran.
“Jangan kenceng-kenceng, Is, malu,” sahutku pelan. Saat yang lain menatapku penasaran.
“Iya, tapi yang tadi malam beda dari biasanya. Semalam, sosok itu berwujud manusia dan
wajahnya mirip dengan kamar sebelah.” Ceritaku pada Isna dan Diana.
Aku bersyukur punya sahabat seperti mereka, semoga menjadi sahabat fillah yang
mengantarkan ke surga kelak di akhirat. Aamiin.
Sepulang sekolah badan ini gemetar, kepala juga pusing.
Bruk!
Aku terjatuh di tangga, buku dan sandal yang dibawa terjatuh semua. Tiba-tiba, teman-
teman pondok banyak yang menghampiri, membopongku ke atas, dan membawa ke kamar.
“Tuh, kan, Mbak Mala. Sudah kubilang jangan sekolah masih saja sekolah.” Nasihat Lidya
saat berada di kamar.
“Iya, Lid, maaf tadi tidak mendengarkan,” sahutku lemas.
Sampai azan Magrib pun badanku masih lemas. Hari ini adalah hari Kamis malam Jumat
Kliwon. Malam Jumat ini ada kumpulan rutin seluruh santri di pesantren, kecuali yang sakit.
Aku tidak bisa berkumpul karena keadaan yang belum stabil. Saat semua sibuk, tiba-tiba
seluruh lampu di pondok ini padam.
Awalnya aku baik-baik saja, tetapi pada akhirnya sesakku kambuh. Semua penghuni kamar
serta komplek panik dan khawatir. Tiba-tiba aku tersenyum sendiri, melihat wanita cantik
yang ada di belakang Mbak Dwi –salah satu teman sekamar—yang memijatku sejak tadi.
Wanita itu selalu menunduk dengan membawa boneka di tangannya. Aku yakin wanita itu
cantik dengan rambut pirangnya yang dibiarkan terurai begitu saja.
Aku yang penasaran dengan wajah itu, tetapi tidak bisa melihatnya karena tertutup oleh
teman yang berkerumun. Mungkin mereka heran melihatku tersenyum sendiri. Meski gelap,
aku melihatnya dengan jelas. Akhirnya dia menatapku dengan sorotan tajam, matanya
melotot membuat diri ini takut dan gemetaran. Bagaimana tidak, semua wajah itu berlumuran
darah. Sesak ini kembali kambuh saat melihat sosok itu, lalu menangis seraya menjerit
ketakutan. Akhirnya aku memegang erat tangan teman yang ada di sebelah.
“Aku takut. Aku kedinginan, Mbak.” Tangis ini tumpah pada teman yang berada di
sampingku. Semua badanku terasa membeku seperti es.
“Jangan nangis, Dik Mala, jangan takut ada kami semua.” Mbak Dwi menenangkan.
Semuanya heboh, ramai dengan bacaan shalawat. Aku tambah merinding, aku yang terus
membaca shalawat tidak fokus karena salah satu teman menutup mataku dengan kerudung,
khawatir melihat sosok itu lagi. Kening ini juga di kompres karena seluruh badan panas
seperti kobaran api yang menyala. Aku merasa kedinginan, badan menggigil, padahal selimut
tebal sudah menyelimuti seluruh badanku.
Selang beberapa menit aku tenang. Kaki ini tiba-tiba terasa di injak oleh anak-anak kecil.
Aku kesakitan, merasa berat, dan badanku kembali menggigil kedinginan. Kupegang erat
tangan salah satu teman, yang membuat mereka khawatir lagi.
“Ka-ki-ku ... ada yang menduduki, Mbak,” ucapku dengan terbata-bata dan menunjuk ke arah
kaki. Sontak mereka kaget dan kembali ramai membacakan shalawat, begitupun aku yang tak
berhenti bershalawat. Akhirnya, aku tenang kembali.
Akhirnya bel berbunyi, tanda sudah waktunya berkumpul.
Sebelum mereka ke bawah untuk kegiatan kumpulan, sebagian dari mereka membopongku
ke teras luar ruangan kamar. Di sana juga ada teman yang sakit. Aku dijaga oleh dua orang
teman karena sakit ini termasuk parah. Belum sampai dua menit rebahan di teras aku kembali
merasakan kejanggalan terdengar anak-anak main di tangga, berlarian. Ada yang menangis
dan tertawa. Aku merasakan kebisingan itu lagi.
“Kenapa, Mal?” tanya mereka bersamaan. Mereka terlihat panik, saat aku terus
menggeleng sampai tanganku keram.
Tanganku langsung diolesi minyak kayu putih, lalu sembuh bersamaan hilangnya suara-
suara aneh dan lampu yang menyala. Mata ini masih tertutup hingga akhirnya aku mencoba
membuka mata. Aku melihat sekeliling sudah tidak ada apa-apa, hanya tampak dinding dan
hujan deras di luar sana.
Sejak kejadian itu, aku izin pulang dan berobat untuk menutupi kelebihan ini dan aku
sembuh hanya beberapa tahun saja karena setelah itu azimat perantara menutupi kelebihanku
hilang.
Sampai saat ini pun aku tidak berobat lagi. Aku bisa melihat lagi makhluk gaib, bahkan
setiap malam aku tertindih oleh makhluk itu. Warga di desaku menyebutnya ‘ap sa’ap’
tertindih hantu.

Selesai.

Anda mungkin juga menyukai