Anda di halaman 1dari 91

Daftar Isi

Daftar Isi……………………………………………1
Kata Pengantar……………………………………2
Biodata Penulis……………………………………3
Prolog………………………………………………5
Kelas 25……………………………………………6
Gadis dan boneka……………………………..…19
Mata dari kaca……………………………….……45
Murid tambahan…………………….…….………66

1
Kata Pengantar

Puji dan Syukur selalu kami panjatkan kepada


Allah SWT karena limpahan rahmat dan karunia-Nya
kami mampu menyelesaikan novel dengan judul ‘When
They Cry’. Novel ini berkisah tentang Gala, murid yang
pindah ke SMA Ganra 01 yang terkenal dengan cerita
horrornya. Kelas 2-C menjadi pusat perhatian karena
memiliki banyak kejadian menyeramkan dan
menakutkan dialami oleh siswanya.
Sebagai menusia kami sadar bahwa novel yang
kami buat masih belum pantas jika disebut sebagai
sebuah karya yang sempurna. Kami sadar tulisan kami
masih banyak memiliki kesalahan, baik dari tata bahasa
maupun teknik penulisan itu sendiri. Maka kami
meminta adanya masukan yang membangun agar kami
semakin termovitasi untuk menjadi lebih baik dan lebih
memperbaiki kualitas novel kami selanjutnya.

Pontianak, 27 November 2022


Tim Penulis

2
Biodata Penulis

Reimon Azwar
lahir di Pontianak ,Kalimantan Barat pada
14 Agustus 2004 dan terlahir 3 bersaudara.
Ia adalah siswa dari MAN 2 Pontianak.
Masuk pada tahun 2020 dan tergabung
dalam kelas IPS 2.
Ia memiliki hoki Bermain Game dan juga
menonton anime. Pada penulisan Novel ini, dibimbing oleh Ibu
Dra. Ida Novianti M. ed. Novel ini merupakan karya pertamanya
selama hidup didunia ini. Novel ini juga merupakan tugas akhir di
semester pertama saat kelas 3.

3
Biodata Penulis

Raihan Razakiano
Siswa MAN 2 Pontianak yang lahir pada 19
April 2005. Ia masuk pada tahun 2020 dan
tergabung dalam kelas IPS 2. Memiliki hobi
bermain dan membaca komik.
Pada dasarnya ia memiliki imajinasi yang
luas, sehingga banyak menuangkannya
dalam
bentuk kata-kata. Ia banyak membuat cerpen di sela-sela
waktu luangnya. Novel ini merupakan hasil karya dari tugas
yang diberikan oleh Dra. Ida Novianti M. ed. Selaku guru
Bahasa Indonesia.

4
When
_ They _
Cry

“Apa kau pernah dengar cerita tentang anak yang


bunuh diri 20 tahun yang lalu?”
“Itu lagi? Kurasa itu hanya mitos. Kau tau kan di
setiap sekolah selalu ada….”
“Tapi kali ini benar terjadi. Katanya setiap tahun
di sekolah ini ada kejadian yang merenggut nyawa.”

5
“Beneran? Aku jadi penasa-”

Kelas 25

P ada suatu hari mendung di Rumah Sakit Umum


Ganra, Kabupaten Soppeng, Kecamatan Ganra,
Sulawesi Selatan. Terbaring seorang anak SMA di atas
kasur rumah sakit.
Seharusnya bukan begini. Aku yang terbaring
lemah di rumah sakit menandakan sebuah penyakit yang
aku derita. Itu pula alasanku kembali ke desa kecil ini
setelah sekian lama. Untuk menenangkan diriku dan
mengingatkanku pada almarhumah nenek.
“Tidak ada yang berubah dari tempat ini.
Semuanya masih sama seperti yang kuingat.” Gumamku
melihat pemandangan desa melalui jendela.
Saat ini aku tinggal bersama kakakku yang
seorang guru. Aku juga pindah kesekolah dimana
kakakku mengajar, SMA Ganra 01. Itu satu-satunya
sekolah yang ada di desa ini. Cukup dekat dari rumah
dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

6
Hari pertama tahun ajaran baru seharusnya
dimulai hari ini. Karena aku tiba-tiba pingsan tadi pagi,
aku jadi masuk rumah sakit. Cukup buruk untuk memulai
hari pertama sekolah. Aku jadi melewatkan perkenalan
teman-teman di kelas.
Tok…tok…tok…
“Permisi, kamu Gala Wiryansyah ya?” Seorang
gadis membuka pintu ruanganku diikuti oleh beberapa
orang lainnya yang membawa keranjang berisi buah.
“Iya, kalian siapa?” Aku bertanya sambil berusaha
bangkit untuk duduk di kasur.
“Ah, kamu ga perlu gerak kok, istirahat aja.
Namaku Ira, disampingku Silvi, yang gendut Bara dan
yang pakai kacamata Angga. Kami teman sekelasmu di
kelas 2-C. Kami dengar kamu sakit jadi kami datang
menjenguk. Ada buah juga loh….” Gadis yang
memperkenalkan dirinya itu mengenalkan satu-persatu
orang yang datang.
“Salam kenal, aku Gala Wiryansyah. Maaf sudah
merepotkan sampai susah-susah menjenguk.”
Aku tidak tahu akan masuk kelas mana, jadi
dengan adanya teman sekelasku yang datang itu cukup
membantu. Melihat teman sekelasku peduli juga
membuatku senang.

7
“Kelas 2-C kah... bukannya itu kelas 25?”
***
“Makasih ya udah jenguk, sampai repot-repot
bawa buah lagi….”
“Santai aja, sebagai ketua kelas dan temanmu
kami akan selalu membantu. Teman-teman yang lain juga
menunggu kehadiranmu di kelas, jadi cepet sembuh biar
bisa belajar sama-sama.”
Setelah perbincangan yang cukup lama, Ira dan
yang lainnya berdiri mengucapkan salam lalu pergi
meninggalkan ruangan.
Syukurlah teman sekelasku orang yang baik.” Aku
menarik nafas lega setelah mengetahuinya.
Awalnya aku sedikit khawatir akan suasana kelas,
terlebih pandangan mereka tentangku yang tidak masuk
di hari pertama. “Hari juga sudah sore, aku sebaiknya
istirahat.”
Malam hari di tengah kesunyian rumah sakit, aku
terbangun karena merasakan sesuatu.
“Hmm, pengen pipis…,” Aku terbangun dari
tidurku. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk keluar
melihat jam menunjukkan pukul 2 malam. Bagaimanapun
perasaan ini tidak dapat ditahan. Kubuka pintu dan
keluar memegang tiang infus yang kubawa berjalan.

8
“Eh, itu… seorang gadis?” Saat berjalan di lorong
aku melihat seseorang membawa sebuah boneka di
tangannya. Meski tak terlalu jelas boneka apa yang
dibawanya. Aku memperhatikannya berjalan menuju
suatu ruangan.
“Hei! Apa yang kamu lakukan? Apa kamu
tersesat?” Aku berusaha memanggilnya dari kejauhan,
meski aku seharusnya tidak berteriak di rumah sakit. Ia
menoleh sebentar dan melanjutkan langkahnya tanpa
menanggapiku. Saat dia sudah masuk kedalam ruangan,
aku membaca tanda yang ada di atas ruangan itu.
“Kamar mayat?”
***
SMA Ganra 01, di lorong kelas.
Setelah seminggu terbaring dirumah sakit,
akhirnya aku diperbolehkan pulang dan bersekolah.
Kejadian waktu itu cukup membuatku kepikiran sampai
aku sulit tidur. Meski begitu aku berusaha melupakannya
sebisa mungkin. “Mungkin cuma imajinasiku saja.”
Kelas 2-C
Kryiiittt~
Suara pintu kelas terbuka sangat nyaring sampai-
sampai seluruh isi kelas menoleh ke arahku.

9
“Ah, Gala! Jadi kamu sudah sembuh, selamat datang di
Kelas 2-C!” Ira menyambut dengan langsung
menghampiriku. Diikuti anak-anak lainnya yang mulai
menepukku sebagai salam selamat datang. Kesan mereka
kepadaku cukup baik. Walaupun anak pindahan, aku
merasa diterima di kelas ini.
“Sudah teman-teman, Gala kan baru sembuh. Kamu
sebaiknya segera duduk, sebentar lagi ibu guru akan
datang. Kamu bisa duduk dibelakang, disamping Ori.”
Aku berjalan menuju kursi yang ditunjuk Ira dan segera
menaruh tasku, anehnya seluruh kelas seketika diam
melihatku.
Di Sebelahku duduk seorang perempuan mengenakan
penutup mata yang sedang membaca buku. Meski dilihat
cukup aneh karena penutup mata yang digunakannya.
Namun, Ia cukup cantik dengan rambut hitam pendek
yang dimilikinya.
Kurasa tadi namanya 'Ori', sebaiknya aku menyapanya.
“Halo, salam kenal namaku Gala Wiryansyah. Aku sakit
seminggu ini jadi baru bisa masuk hari ini. Semoga kita
bisa akrab.” Aku menyapanya dengan senyuman.
“...” Ia tidak menanggapiku beberapa saat. Saat
aku ingin membalikkan pandanganku, barulah ia mulai
bicara.

10
“Ori, salam kenal.”
Dia membalasku dengan cukup dingin, mungkin
memang kepribadiannya begitu. Aku melirik buku yang
dibacanya. Meski aku kira dia tipe si serius belajar, tapi
ternyata dia membaca sebuah novel sastra.
Selain buku yang dibacanya, aku juga tertarik
pada satu hal di atas mejanya. Sebuah boneka beruang
yang sudah usang dan sobek terlihat di sudut mejanya.
Rasanya aku pernah melihat boneka itu tapi saat ku ingin
mengingatnya bu guru segera masuk kedalam kelas.
***
“Itu saja untuk pelajaraan hari ini, jangan lupa
untuk mengerjakan PR minggu lalu.” Bu guru segera
meninggalkan kelas sesaat setelah bel pulang berbunyi.
Meski begitu aku sedikit kaget saat melihat wali kelasku
adalah kakakku sendiri.
Saat dirumah ia langsung mengunci dirinya
dikamar, jadi kami jarang bicara. Entah dia lupa
memberi tahu atau memang tidak peduli. Memang kakak
yang rumit.
“Hoi Gala, habis ini kami mau ke kafe, kamu mau
ikut?” Beberapa teman kelasku datang menghampiri
untuk mengajak pergi. Senang rasanya dapat bergaul

11
jadi aku menyetujui ajakan mereka. “Boleh tuh, aku
ikut.”
“Hei-hei! Jangan nongkrong mulu, PR jangan lupa
dikerjain!” Celetuk Ira mengingatkan teman-temannya
itu. Ira memang sosok ketua kelas yang baik bagi teman
sekelasnya.
“Ori, kamu mau ikut juga?” Aku mengajak Ori
yang sedang merapikan bukunya kedalam tas. Aku
memperhatikannya. Sedari tadi ia hanya diam di kelas
jadi kupikir ini waktu yang baik untuknya bergaul. Aku
tau ini bukan urusanku, aku hanya ingin memberinya
kesempatan.
Meski begitu reaksi yang diberikan teman-teman
lainnya cukup aneh. Kelas tiba-tiba hening dan mereka
semua menatapku dengan tatapan ketakutan. Ini jelas
aneh. “K-kenapa kalian menatapku begitu?”
“Tidak perlu, aku akan pulang.” Ori segera
merangkul tasnya dan pergi keluar.
“Y-ya sudah, yuk Gala kita segera pergi….”
***
Saat perjalanan pulang dari kafe, aku memikirkan
beberapa hal. Yang pertama aku mengingat bahwa
boneka yang ada diatas meja Ori, itu sama dengan

12
boneka yang dibawa oleh gadis yang kulihat di rumah
sakit.
“Jadi yang kulihat waktu itu adalah Ori ya… dia
masuk ke ruang mayat, apa ada keluarganya yang
meninggal?”
Hal kedua yang kupikirkan adalah tentang reaksi
teman sekelasku pada Ori, atau mungkin pada namanya.
Meski aku lebih yakin opsi pertama yang membuat
mereka memasang wajah aneh saat aku menyebut
namanya.
Apa Ori seorang berandalan dan suka berbuat
onar sampai-sampai semua orang ketakutan? Tapi
rasanya aneh melihat kepribadiannya yang seperti itu.
Walau aneh, kurasa aku harus memperhatikannya sedikit
lebih lama terlebih ini baru hari pertamaku masuk.
Yang terakhir adalah tentang kelas 2-C. Saat aku
pergi berbelanja waktu baru pindah, aku mendengar 2
orang siswi yang sedang mengobrol. Mereka
membicarakan tentang mitos-mitos yang ada di sekolah
SMA Ganra 01 dan di desa ini.
Aku memang tidak mempercayai hal begituan, tapi
mendengar hal-hal seputar desa ini juga bagus agar
mengetahui suasana di desa ini. Salah satu yang menarik
adalah pembicaraan tentang kelas 2-C.

13
Mereka mengatakan bahwa di desa ini ada
seorang siswi dari kelas 2-C, SMA Ganra yang bunuh diri
20 tahun yang lalu. Sejak saat itu seluruh kelas
mengalami kejadian-kejadian aneh. Seperti penampakan
sampai paling parahnya kematian beberapa siswa di kelas
itu.
Hal ini menjadi lebih buruk ketika tahun
berikutnya. Disaat semua orang mengira teror telah
usai, kejadian tersebut terus berlanjut. Hingga ada satu
orang di kelas yang mengatakan hal aneh. “Dia ingin
diingat.”
Selanjutnya seluruh kelas setuju untuk tetap
mengingat siswi yang meninggal itu sebagai absen ke-25.
Sewajarnya di SMA Ganra satu kelas terdiri dari 24
siswa. Seluruh kelas sepakat untuk mengosongkan
sebuah kursi sebagai tempat duduk siswi yang meninggal
itu. Selanjutnya mereka tidak pernah mengalami
kejadian aneh lagi. Mereka menganggap bahwa siswi itu
masih hidup sebagai absen ke-25 meski mereka tidak
pernah memanggil namanya. Itulah kenapa kelas 2-C
disebut kelas 25.
Cerita itu memang dianggap mitos semenjak tidak
ada yang tau kisah aslinya lagi. Tapi kali ini aku tertarik
dengan ceritanya. Saat aku hendak menanyakan cerita

14
rincinya pada kedua siswi yang membicarakan itu,
mereka sudah pergi. Atau tepatnya mereka seperti
menghilang karena aku merasa keberadaan mereka
seakan lenyap seketika.
***
“Aku pulang...”
Aku segera melepas sepatuku sesaat sebelum
masuk kedalam rumah. Terdengar suara tv yang menyala
dari ruang tengah. Saat aku masuk, aku melihat tv yang
menyala. Kakakku tertidur di atas sofa didepan tv yang
sedang menyala.
“Kak Nina, jangan tidur di sini. Terlebih lagi kakak
membiarkan tv menyala, itu pemborosan.” Aku segera
mematikan tv dan menggoyang-goyangkan badannya agar
bangun.
“Hmm? Oh Gala, selamat datang. Ada makanan
diatas meja, kamu bisa memakannya. Kakak mau tidur
dulu...,” Ia mengusap kedua matanya setengah sadar
bangkit dari sofa.
“Iya-iya, tapi sebaiknya kak Nina tidur di kasur.”
Kataku sambil menarik lengannya.
Setelah sedikit mendorongnya, akhirnya dia bangun dan
pergi ke kamarnya. Aku menaruh tasku dan duduk
didepan meja untuk makan. Selama di kafe tadi aku

15
hanya minum dan makan beberapa kue. Aku masih lapar
dan ingin makan nasi.
Tapi setelah kubuka tudung yang ada di atas
meja, di dalamnya kosong. Tidak ada satupun makanan,
bahkan piring pun tidak ada. “Dasar kak Nina, pasti dia
mengigau.” Karena kecewa, Aku pun memutuskan masuk
ke kamarku untuk tidur.
“Eh, rumah sakit? Kenapa aku disini? Gadis itu... Ori?
Bukan, dia yang asli...”
***
Tadi malam aku baru saja bermimpi, sesuatu yang
sangat aneh. Aku kembali berdiri di lorong rumah sakit
melihat seorang gadis sedang berjalan. Saat pertama,
aku kira dia adalah Ori yang kulihat waktu itu. Akan
tetapi, sepertinya wajahnya berbeda. Gara-gara mimpi
aneh itu aku jadi bangun kesiangan.
Lorong kelas SMA Ganra  01.
“Selamat pagi Ira, kamu baru datang juga ya?
Kukira ketua kelas datang nya pagi, hehe…,” Sapaku saat
berpapasan dengan Ira dalam perjalanan menuju ruang
kelas. Anehnya wajah Ira terlihat pucat dan ia sama
sekali tidak menjawab sapaanku.

16
Aku membiarkannya dan pergi duluan masuk kedalam
kelas. Kurasa dia lelah karena kurang tidur atau
semacamnya.
“Pagi Gala! Hampir aja kamu telat datangnya, udah
mau bel masuk nih.” Sesaat membuka pintu, Ira
menyapaku yang terkejut.
“Eh Ira? Kok kamu ada di dalam? Bukannya kamu
baru datang?” Aku bertanya dengan wajah sangat
kebingungan.
Tetapi Ira malah balas menatapku dengan wajah
heran. “Apa yang kamu katakan? Sebagai ketua kelas
sudah sewajarnya aku datang awal. Aku juga yang
pertama datang tadi pagi.” Tukas Ira.
Mendengar perkataannya aku bergegas keluar
kelas untuk melihat lorong apakah ada seseorang. Tetapi
sepanjang koridor kosong tanpa kehadiran siapapun.
Diikuti bel masuk semua siswa duduk dibangkunya
masing-masing. Begitu juga denganku.
Saat aku menaruh tasku di atas kursi, aku
memperhatikan bahwa meja di sebelahku kosong. Itu
meja Ori. Dia tidak ada di dalam kelas, baik tasnya
maupun kehadirannya.

17
Saat kukira ia hanya terlambat, tapi hingga sore
hari dan jam belajar usai pun ia tak kunjung hadir. “Apa
dia sakit ya? Atau sedang menghadiri suatu acara?”
Aku yang sedikit penasaran mencoba bertanya
kepada teman lainnya. “Silvi, kamu tau Ori kemana?”
Tetapi hal yang sama kembali terjadi. Seluruh
kelas hening, terutama Silvi. Ia memasang wajah
ketakutan setengah mati sambil sedikit meneteskan air
mata. Silvi seketika berdiri memegang tasnya dan
menahan mulut dengan tangannya seperti ingin muntah
dan berlari keluar kelas.
Jelas sekali sesuatu yang aneh sedang terjadi dan
aku belum mengetahuinya. Ira segera menghampiriku
dengan senyum yang terasa dipaksakan.
“Kalau Ori katanya dia harus menghadiri suatu
acara. Jadi dia tidak masuk hari ini.”
“O-ohh... begitu, btw Silvi tadi kenapa? Kok
kayaknya aku ngelakuin sesuatu yang salah? Memangnya
Ori ke-“
“Nggak! Gak apa-apa kok... mungkin silvi lagi
kurang enak badan. Mending kamu pulang lalu kerjain PR,
nanti kena marah bu guru loh...”

18
Melihat suasana yang mulai canggung aku memutuskan
untuk pulang kerumah. Pada saat perjalanan pulang, aku
melihat sosok yang familiar. “Bukannya itu Ori?”

Gadis dan Boneka

I tu jelas Ori, satu-satunya yang memakai penutup


mata di seluruh desa ini hanya dia. Di Tangannya
juga menggenggam boneka seperti yang kulihat kemarin.
Yang membedakan ia dari kemarin adalah pakaiannya
yang serba hitam, dan sepertinya ia sedikit menangis.
“Ori! Kamu ngapain disitu?!” Aku sedikit berteriak
memanggilnya sembari berlari menghampiri. Ia menoleh
ke arahku dan dengan cepat mengusap matanya dengan
bajunya.

19
“Kamu ngapain? Kok nangis di pinggir jalan? Kamu
juga ga masuk sekolah hari ini, katanya kamu lagi pergi
acara.” Aku bertanya padanya sambil memperhatikan
wajahnya.
Usai mengelap air matanya, ia melirik ke arahku
lalu dengan cepat memalingkan wajahnya. Ia pun
berjalan pergi tanpa menghiraukan pertanyaanku.
“Hei! Kenapa sih dengan semua orang? Kesannya
semua menghindar darimu, dan dariku. Memangnya apa
yang salah?” Aku kembali bertanya dengan kesal sembari
mengikuti langkah kaki Ori berjalan.
Ia masih tak menghiraukan diriku yang berada
disampingnya sebanyak apapun aku berkata.
“Apa yang salah dengan desa ini?! Kelas 2-C?! Dan
Ori?!” Aku bertanya dengan mengeraskan suaraku. Tidak
biasanya aku marah, hanya saja seluruh kejadian dan
suasana di desa ini sangat aneh. Aku perlu mengetahui
penyebabnya jika ingin hidup disini dengan tenang.
Ori yang sedari tadi bungkam akhirnya
menghentikan langkahnya. Ia melihat ke arahku dengan
wajah yang datar tetapi memiliki arti yang lebih dalam.
“Bukannya lebih baik untuk tidak berurusan
denganku? Atau kita semua akan mendapat nasib sial.”

20
Ia berkata secara jelas dengan mata kami yang saling
bertatapan. Dari cara bicaranya itu seperti peringatan.
Ori kemudian melanjutkan langkahnya, kali ini aku
tidak berusaha berteriak atau mengejarnya lagi. Aku
semakin tidak paham. Yang aku tau Ori, atau tepatnya
desa ini, memiliki suatu misteri. Dan aku perlu
mengetahuinya.
***
“Lagi, gadis itu masih terus berjalan menuju suatu
ruangan. Apa dia tersesat? Apa dia menunggu
seseorang…?”
Seminggu berlalu semenjak percakapanku dengan
Ori, yah walaupun dia hanya bicara sekali tapi
setidaknya ada kemajuan. Selama seminggu ini Ori masih
belum masuk sekolah, aku juga tidak bertemu dengannya
dan tidak dapat menghubunginya karena aku belum
bertukar kontak dengannya. Aku sempat berpikir untuk
bertanya alamatnya untuk memastikan tetapi aku
mengingat kembali kejadian Silvi waktu itu.
Semua ini membuatku semakin kepikiran, sampai-
sampai aku tidak bisa fokus pada pelajaran.
“Gal-“
“Gala!”

21
“Eh, iya kak Nina!” Aku seketika berdiri dari
kursiku ketika dipanggil.
“Panggil bu guru kalau di sekolah! Kamu dari tadi
bengong terus. Nanti ikut ibu ke kantor!” Kak Nina atau
tepatnya bu guru di sekolah berteriak kepadaku yang
sedari tadi sibuk dengan duniaku sendiri.
Ruang Guru SMA Ganra 01
“Gala, kamu lagi mikirin apa? Ga biasanya kamu
ngelamun.” Tanya kak Nina kepadaku di depan mejanya.
“Gapapa kok kak, cuma kurang tidur aja kemarin.”
Jawabku.
“Ya sudahlah, oh iya tadi malam ayah nelpon
pengen ngomong sama kamu. Coba kamu telpon nanti
dirumah. Kakak kayaknya bakal lembur soalnya mau
mengoreksi ulangan beberapa kelas.” Balas kak Nina.
“Oke kak, pulangnya jangan kemalaman.” Aku
berkata sembari keluar dari ruang guru untuk kembali
kerumah.
Tapi tidak biasanya ayahku ingin bicara. Ayahku
itu seorang arkeolog, jadi dia sering keluar negeri untuk
meneliti dan hanya beberapa kali pulang kerumah.
Setelah ibu meninggal setahun lalu ayah semakin jarang
pulang kerumah.
“Halo ayah, ini Gala.”

22
“Ah Gala! Kebetulan banget, kok tau sih kalau
ayah pengen ngomong? Kemarin ayah nelpon tapi ga ada
yang angkat.”
“Eh iya, tapi bukannya kemarin kakak yang angkat
telponnya? Emang mau ngomongin apa?”
“Ah, tentang itu ya... yang penting kamu
bersekolah dengan rajin. Ayah sebenarnya agak berat
memindahkan kamu ke Ganra, tapi karena kamu lahir
disana kayaknya nostalgia juga ga buruk. Cuma jangan
terlalu dipikirin. Nikmati saja kehidupan yang tenang.”
“Iya aku tau, kan ada kakak juga jadi Gala ga
kesepian. Teman sekelas Gala juga ramah. Cuman
kayaknya ada yang aneh dengan suasana disini.”
“Haha, kamu benar-benar rindu dengan kakakmu
ya. Ayah tau, kalau ada nenek dan ibumu mereka juga
pasti senang. Ayah juga pengen denger ceritamu di sana
lebih banyak, tapi fosil dimetrodon berusia 280 juta
tahun sudah menunggu. Jadi sampai nanti lagi, dan
jangan terlalu memikirkan banyak hal.”
Ayahku memutus sambungan teleponnya. Yah aku
juga tidak berharap banyak dari perbincangan kami. Dia
masih saja maniak purba seperti dulu.
“Dia bahkan lebih memilih kerangka mati daripada
anaknya.” Gumamku sambil mengganti baju

23
Kebetulan besok merupakan hari libur, sehingga
aku bisa pergi untuk berkeliling. Rencananya aku ingin
mencari Ori dengan berjalan-jalan di desa. Lagipula ini
desa yang kecil, masih ada kemungkinan aku dapat
bertemu dengannya atau mengetahui tempat tinggalnya.
Pagi hari disaat matahari mulai menampakkan
dirinya, aku segera mandi dan berpakaian. Seperti
rencanaku kemarin aku akan berkeliling desa untuk
melihat keadaan suasana desa. Sekalian mencari
keberadaan Ori.
Kak Nina sepertinya pulang larut malam sekali
kemarin. Aku memang tidak mendengar suara pintu
terbuka, mungkin karena aku sudah tidur terlalu lelap.
Pagi ini juga dia belum keluar dari kamarnya, aku tidak
mau mengganggu istirahatnya jadi kubiarkan saja.
Sambil jogging pagi aku menyapa beberapa orang
yang kulewati dan bertanya berbagai hal. Dimulai dari
kehidupan didesa dan bagaimana suasananya belakangan
ini. Tidak ada yang istimewa, semua berjalan seperti
desa pada umumnya.
Saat aku bertanya pada seseorang tentang siswi
bernama Ori dengan penutup mata di wajahnya, ia
langsung mengenali ciri itu.

24
“Ah, dek Ori ya. Dia biasa membantu paman
menyiram tanaman dan menyapu halaman. Ia juga
terkadang membantu warga lain.”
Itu mengejutkanku, tidak kusangka Ori yang
seperti itu memiliki sisi lain yang suka menolong. Lalu ku
tanya apakah dia mengetahui tempat tinggal Ori, dia pun
menunjukkan arahnya padaku.
“Rumah dek Ori kalau tidak salah di ujung gang
kedua di jalan seberang, kurasa rumahnya itu toko.”
Aku segera berterimakasih dan berlari menuju
arah yang ditunjukkan. Sesampainya di tempat tersebut
aku melihat toko dengan kaca di didepannya. Saat
mengintip kedalam toko terlihat beberapa boneka yang
sedang dipajang.
“Toko boneka? Tulisannya sih udah buka...” Kataku
membaca sebuah tulisan yang ditempel didepan pintu
masuknya.
Aku mencoba masuk dan melihat ke dalamnya.
Sangat gelap, aku hampir tidak bisa melihat karenanya.
Setelah diperhatikan lebih dekat, boneka yang dipajang
di dalam adalah sejenis puppet atau boneka kayu.
Awalnya aku mengira boneka yang dipajang adalah
boneka berisi busa seperti biasa. Ini sedikit tidak biasa.
“Apakah boneka-boneka ini dijual?”

25
Sepertinya ada sebuah tanda di dindingnya tapi
karena terlalu gelap jadi aku tak dapat membacanya.
Aku mengeluarkan ponsel dan menyalakan senter.
“Turun kebawah untuk melihat koleksi
selanjutnya.” Aku membaca tulisan tersebut dengan
tanda panah mengarah ke bawah.
Tampak tangga yang menuju kearah bawah.
Diujung tangga tersebut terlihat ruangan dengan cahaya
redup dari dalamnya. Dengan keraguan dan gemetar di
seluruh tubuhku, kuberanikan diri untuk menuruni anak
tangga demi anak tangga.
Saat sampai di bawah, terdapat banyak sekali
boneka kayu. Tapi tidak seperti yang dipajang diatas,
ukuran boneka disini seukuran manusia dan anak kecil.
Sampai miripnya itu membuatku takut. Sesaat mataku
teralihkan pada sebuah boneka. Boneka itu memiliki
wajah yang sangat mirip dengan Ori.
“Apa tidak ada yang mengajarkanmu untuk
mengetuk sebelum masuk?”
“Wahhh!!!”
Sebuah suara seketika berbicara kepadaku dari
arah belakang. Sangking terkejutnya aku sampai
terjungkal jatuh. Setelah berusaha berdiri, aku
mengarahkan senter ponselku kepada sumber suara tadi.

26
“O-Ori?”
***
“Bukankah sudah kubilang berhubungan denganku
hanya akan membawa kesialan. Lagipula apa yang kau
perbuat di rumahku?” Ori melanjutkan dengan
pertanyaan.
Jadi benar ini rumah Ori. Meskipun masih dengan
perasaan terkejut dan sedikit takut, aku berusaha
berdiri. Setelah pikiranku lebih tenang, aku akhirnya
dapat mengendalikan diriku. Aku mulai berbicara
padanya, seperti tujuan awalku datang kesini.
“Aku ingin menanyakan sesuatu, hal yang sangat
menggangguku semenjak aku ada di desa ini.”
“Aku tau, tapi aku tidak bisa bilang. Aku hanya
bisa bilang lebih baik kau tidak berurusan dengan orang
yang ‘tidak ada’. Kitalah yang paling dekat dengan
kematian.”
Aku terdiam sejenak mendengar kata-kata yang
keluar dari mulutnya. Aku mencoba memahami maksud
dari perkataannya tersebut.
“T-tidak ada? Paling dekat dengan… kematian?
Apa maksudnya itu? Apa mungkin…,” Aku kembali
bertanya.

27
Kali ini perasaan takut mulai menyelimutiku. Aku
menatapnya, tapi ia segera mengalihkan pandangannya
dan mulai berbalik. Ini keadaan yang putus asa. Semua
orang diam ketika aku menanyakan pertanyaan. Tapi
memaksanya disini pun akan menghasilkan hal yang sama.
“Sebaiknya kau segera pulang sekarang, sebelum
sesuatu yang buruk terjadi.” Kata Ori sembari
melangkah menjauh.
“Baiklah, aku akan pulang. Tapi aku tidak
menyerah, ini semua demi diriku.” Kataku sembari
menaiki anak tangga menuju pintu keluar.
“Aku sudah memperingatkanmu.” Balas Ori dengan
suara kecil.
Setelahnya aku kembali ke rumahku. Meski
perkataannya tadi menggangguku tapi semakin
kupikirkan, semakin banyak pertanyaan yang muncul.
Saat sampai di rumah, aku segera masuk. Tetapi di
dalam aku mendapati seluruh ruangan gelap gulita.
Setelah kuperhatikan seluruh lampu yang ada
mati dan gorden yang ada di jendela masih tertutup
sehingga mencegah sinar matahari masuk. Meski begitu
ini cukup aneh, biasanya pada jam segini Kak Nina sudah
bangun dan merapikan seluruh ruangan. Tanpa pikir

28
panjang, aku bergegas menuju pintu kamarnya untuk
memastikan.
“Kak! Kak Nina didalam? Jawab kalau ada didalam,
kalau tidak aku akan masuk.” Kataku dengan terus
mengetuk-ngetuk pintunya.
Berapa Kalipun aku mengetuk masih tidak ada
jawaban. Aku merasa khawatir, bisa saja dia pingsan
atau semacamnya karena terlalu banyak bekerja. Disaat
itu aku malah teringat akan perkataan Ori tentang hal
buruk yang akan terjadi. Aku segera membuka paksa
pintunya dan berusaha masuk. “Kubuka ya!”
Kosong… Di dalam kamarnya gelap dan sunyi tanpa
kehadiran siapapun. Aku menekan saklar lampu dan
melihat suasana kamar yang berantakan. Mulai dari
kasur, baju, bahkan lantainya penuh dengan kertas yang
berhamburan. Perasaan Déjà vu itu muncul, perasaan
terulang akan sebuah kehilangan dan ketakutan
ditinggalkan. Aku segera berlari menuju pintu untuk
mencarinya di luar. Akan tetapi, belum sempat aku
keluar rumah tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka.
“Hm? Gala, Selamat datang!”
“Kamu belum sarapan kan? Tunggu sebentar,
kakak akan memasakkanmu sesuatu.” Lanjut Kak Nina

29
dengan santainya keluar dari kamar mandi sambil
menyapaku seperti tidak terjadi apa-apa.
“Kak Nina…? Beneran ini Kak Nina kan?!” Aku
segera berlari menghampiri dan memeluknya.
“Eh? Kamu kenapa? Gak kayak biasanya.” Kata Kak
Nina kaget dan terheran-heran akan tingkahku.
Saat aku menyentuh tangannya, terasa sangat
dingin tapi nyata. Sekali lagi aku memastikan
keberadaannya. Berkali-kali kuperhatikan, ternyata
benar ini Kak Nina. Meski begitu ini sangat aneh. Aku
bersumpah bahwa saat masuk ke rumah semua lampu
dalam keadaan mati, jadi aku tidak memikirkan bahwa
ada seseorang di dalamnya.
“Tapi tadi semua lampu mati! bagaimana mungkin
Kak Nina ada di dalam kamar mandi?” Tanyaku padanya
untuk memastikan.
“Apa yang kau maksud? Dari tadi aku memang di
kamar mandi. Kamu kenapa?” Balas Kak Nina.
Mungkin ini akibat pertemuanku dengan Ori tadi
sehingga pikiranku jadi kacau. Aku pun menghembuskan
nafas lega ternyata semua baik-baik saja. Aku
melepaskan pelukanku dan mengusap air mataku yang
tanpa sengaja keluar.

30
“Sebaiknya kamar Kak Nina yang seperti kapal
pecah itu dibereskan dulu.”
“Akh! Kalau itu sih bisa nanti saja, hehe….”
“Dasar pemalas….”
***
Hari senin ini adalah jadwalku untuk check up di
rumah sakit. Dokter bilang kalau aku boleh pulang
dengan syarat harus menjalani check up seminggu sekali.
Obat yang diberikannya juga sudah habis. Kuharap
penyakitku cepat sembuh sehingga aku tak harus
meminum obat lagi.
Kak Nina sudah pergi ke sekolah duluan sedari
pagi untuk mengajar, sedangkan aku sendiri melakukan
tugas bersih-bersih rumah dulu sebelum ke rumah sakit.
Saat waktu menunjukkan pukul 10.00, barulah aku
bersiap untuk berangkat.
Setelah sampai, aku mengkonfirmasi nama pasien
terlebih dahulu. Kemudian aku disuruh menunggu di
ruang tunggu. Saat dipanggil aku bergegas menuju
ruangan dokter untuk diperiksa.
“Fisikmu sudah membaik. Istirahat yang cukup
bisa memulihkan kondisimu. Karena obat yang kemarin
sudah habis, saya akan memberikan resep vitamin dan
antibiotik saja.”

31
“Saran dariku. Meski kamu sudah mulai sekolah,
kamu tetap harus menjaga pikiranmu, jangan terlalu
banyak mikir. Kelelahan otak dapat mempengaruhi
fisikmu. Jadi, berhati-hatilah.” Jelas dokter.
Setelah selesai melakukan pemeriksaan, aku pergi
menuju ruangan lain untuk mengambil obat sembari
ditemani oleh seorang perawat.
“Syukurlah Gala sudah membaik. Ingat yang
dikatakan dokter tadi, jangan terlalu banyak berpikir
atau kamu akan pingsan lagi loh….” Kata perawat yang
menemaniku.
Nama perawat ini adalah Maria, meski aku sering
memanggilnya Kak Ria. Ialah yang bertugas merawatku
selama dirumah sakit. Hal itu yang membuatku dekat
dengannya. Saat aku bosan, Kak Ria lah yang menemaniku
sepanjang hari sambil ngobrol banyak hal. Aku bahkan
memiliki kontaknya kalau terjadi sesuatu.
Aku teringat kejadian saat diriku dirawat, waktu
dimana aku melihat Ori berjalan di lorong rumah sakit
saat malam hari. Aku sempat menceritakannya kepada
Kak Ria. Responnya malah tertawa karena mendengar
cerita itu. Meski begitu ia berkata memang banyak
sekali legenda di desa ini, ditambah Kak Ria secara
pribadi kurang mempercayai mitos.

32
Pembicaraan kami setelahnya meluas hingga aku
bertanya tentang mitos kelas 25. Tapi wajah Kak Ria
seketika membeku, waktu seperti berhenti baginya saat
itu. Ketika aku mulai berbicara barulah ia tersenyum dan
berkata kalau legenda semacam itu mungkin ada, dan
mungkin tidak.
Setidaknya itu mengkonfirmasi bahwa ia tahu
akan cerita itu, tetapi enggan memberitahunya. Mungkin
saja, cerita itu semacam hal tabu untuk dibicarakan
kepada orang luar.
Setelah mengingatnya aku jadi penasaran,
tentang Ori yang menuju kamar mayat malam itu dan
kebenaran dirinya. Selama ini, aku menganggapnya
sebagai hantu, meski aku sendiri tak ingin mempercayai
hal tersebut.
“Kak Ria, apa minggu lalu ada seorang anak SMA
yang meninggal?”
“Anak SMA yang meninggal?”
“Iya, perempuan.”
“Tiba-tiba saja kau bertanya hal yang aneh ya.
Hmm…, kalau tidak salah minggu lalu memang ada anak
yang meninggal, anak itu juga memakai penutup mata.
Kalau soal namanya aku kurang yakin, tapi kalau kau ingin
tau akan kucari di daftar pasien.”

33
Mendengar perkataan Kak Ria langkahku seketika
terhenti. Jadi Ori itu benar-benar telah mati?! Kalau hal
itu benar, maka itu menjelaskan dirinya. Kenapa semua
teman-teman di kelas memasang reaksi yang sama ketika
ada dirinya, dan kenapa dia memberitahuku agar
menjauhinya.
Tapi satu bagian masih hilang. Kalau Ori benar-
benar sudah meninggal dan yang kutemui sebelumnya
adalah hantu, itu tidak menjelaskan Ira yang dapat
menyebut nama 'Ori' dan dia pula yang menyadari
keberadaannya. Apa karena dia ketua kelas? Memangnya
ketua kelas kebal hantu?
Ini semua belum lengkap. Masih ada sebuah
lubang besar dari semua cerita ini, dan aku yakin ini
berhubungan dengan mitos kelas 25. Mitos yang
dianggap tabu oleh seluruh desa dan aku ingin tahu
mengapa hal ini bisa terjadi. Ini desa tempatku dan
ibuku lahir, jadi aku berhak tau apa yang terjadi.
“Iya Kak, aku ingin tau namanya.” Balasku
kemudian pada Kak Ria.
“Baiklah nanti kalau ketemu namanya Kak Ria
bakal telpon Gala. Yang terpenting Gala banyak istirahat
aja.” Sahut Kak Ria tepat saat kami sampai di tempat
pengambilan obat.

34
***
Pulang dari rumah sakit aku sempat singgah di
warung untuk membeli minuman. Saat hendak membayar
aku melihat wajah-wajah yang tak asing di kejauhan.
Saat kuperhatikan itu Ira, Silvi, Bara dan Angga yang
sedang berjalan bersama. Mungkin mereka baru pulang
sekolah. Tanpa pikir panjang aku segera menghampiri
mereka.
“Teman-teman! Kalian baru pulang sekolah?”
Tanyaku saat menghampiri mereka sambil membawa
kantong berisi minuman.
“Eh Gala, bukannya kamu hari ini ke rumah sakit?”
Tanya Ira yang pertama kali membalas.
“Ah iya aku baru aja selesai check up di rumah
sakit, ini mau pulang.” Sahutku.
“Sebenarnya kamu sakit apa sih Gal?” Kali ini
giliran Bara bertanya.
“Katanya sih sakit tipes, tapi dokter bilang
istirahat juga sembuh kok.” Balasku.
“Oh iya Gal, tadi ada PR matematika loh, halaman
57 nomor 1 sampai 10.” Tukas Ira.
“Iya Gal, susah juga loh materinya…, karena kau
gak masuk tadi pasti ga bakal paham cara kerjainnya.
Tapi tenang, karena si Angga yang baik hati ini bersedia

35
mengajarimu.” Lanjut Angga sembari membenarkan
posisi kacamatanya.
“Eh beneran? Kalau gitu makasih banget. Gimana
kalau kita belajar kelompok?” Sahutku.
“Boleh juga tuh, kapan-kapan kita bisa belajar
kelompok sama-sama.” Balas Ira.
Kami melanjutkan percakapan kami sembari
berjalan bersama menuju rumah. Semua berbicara
layaknya biasa kecuali satu orang. Silvi kelihatannya
sedikit takut saat aku datang.
Sepanjang jalan ia hanya menundukkan kepalanya
sambil berjalan dibelakang Ira. Aku berpikir apa
mungkin ini salahku yang tempo hari? Aku tidak ingin
hubungan kami terasa canggung jadi aku mengambil
tindakan.
“Silvi, kayaknya kamu sedikit menghindar dariku.
Kalau kamu marah sama aku karena kata-kataku
beberapa hari yang lalu aku pengen minta maaf.
Sejujurnya aku juga kurang paham tapi kalau ada hal
yang tidak seharusnya kukatakan mohon maafkan aku.
Aku juga sebenarnya ingin tahu tapi sepertinya itu hal
yang tabu disini….” Kataku ketika kami hendak berpisah
menuju jalan rumah kami masing-masing.

36
Mereka bertiga serentak memandangiku setelah
langkah mereka terhenti. Silvi awalnya juga cuma diam
tapi setelah beberapa saat dia seakan ingin bicara.
“A-aku, sebenarnya Or-”
“Sudah kubilang itu cuma salah paham, waktu itu
Silvi lagi sakit jadi dia tiba-tiba lari. Jangan
menyalahkan dirimu. Kamu ga salah apa-apa kok, Gal.”
Ira seketika melangkah ke depan Silvi menghentikan
kata-kata yang akan keluar dari mulutnya.
“B-baguslah kalau itu semua cuma salah paham.”
Balasku.
Percakapan selesai, pertemuan tak sengaja
dengan teman kelasku telah berakhir. Mereka
memisahkan diri dan melanjutkan perjalanan kerumah
masing-masing, begitupula denganku. Tapi belum jauh
kaki melangkah aku teringat suatu hal yang teramat
penting.
“Eh, aku kan belum bayar minuman ini…,” Kataku
yang dengan secepat kilat kembali berlari menuju
warung tadi.
Sungguh melelahkan, baru saja aku pulang dari
rumah sakit dan disuruh berlari bolak-balik. Tapi untung
saja pemilik toko tidak menganggapku pencuri karena

37
pergi membawa dagangannya tanpa membayar. Hampir
saja aku dipanggil maling di desa ini.
Saat aku sampai dirumah, aku segera mandi dan
berganti pakaian. Hal yang kulakukan setelahnya adalah
tidur. Kelelahan ini sudah mencapai batas, baik otakku
dan juga fisikku. Tidurku pulas bahkan bisa dibilang
tidur mati.
Didalam tidurku aku berada di sebuah mimpi yang sama
seperti dulu, mimpi yang beberapa hari ini kukira sudah
menghilang dari ingatanku. Saat terbangun tau-tau
sudah keesokan harinya, terlebih jam dindingku
menunjukkan pukul 08.00 pagi.
“Aku telat!” Teriakku yang segera bangun dari
kasur untuk bergegas kesekolah.
***
Sesampainya di sekolah itu sudah pukul 8:30 pagi.
Aku pun dihukum untuk membersihkan halaman sebelum
diperbolehkan masuk ke kelas. Saat masuk kedalam
kelas, seluruh orang sedang makan karena jam istirahat
sudah tiba.
Aku menaruh tas yang kubawa di kursiku dan
duduk sambil mengeluarkan buku pelajaran. Bara dan
Angga menghampiriku dengan membawa bekal mereka
masing-masing dan mulai berbicara.

38
“Ciee telat, kok malah keluarin buku pelajarin sih?
Bukannya makan, jam istirahat juga.” Bara datang seolah
mengejekku dengan sesekali menyodorkan makanannya.
“Gimana mau makan, orang kesiangan jadi ga
sempat nyiapin bekal.” Balasku.
“Bara emang gitu, cuekin aja. Nih tugas
matematika yang kemarin ku bilang, habis istirahat
bakal dikumpulin jadi cepet salin.” Sahut Angga sembari
menyodorkan sebuah buku padaku.
“Makasih Ngga, gini dong punya temen, ga kaya lu
Bar. Bagi makanan kaga, dateng-dateng malah ngejek.”
Sahutku.
“Yee… ini juga baru mau bagi, suudzon aja lu.”
Balas Bara yang kali ini menyodorkan makanannya padaku
dengan benar.
Baru setengah jalan tanganku menulis salinan
tugas matematika, Ira datang menyapaku diikuti dengan
Silvi dibelakangnya.
“Wah, Gala udah datang. Pagi Gala!”
“Pagi juga Ra, kalian darimana aja?”
“Aku sama Silvi habis dari ruang guru. Bu Nina
minta bantuan kami recap nilai.”
“Ohh….”

39
Ira kemudian mengambil sebuah kursi untuk
didekatkan dengan mejaku lalu duduk. Sedangkan Silvi
sepertinya masih menjaga jarak dan tetap berdiri.
Berselang beberapa saat Silvi mencoba mengatakan
sesuatu, tetapi seperti kemarin, Ira seperti mencoba
menghalanginya.
“G-Gala, sebenarnya-”
“Hei Bara! Kamu jangan ajak Gala ngobrol terus,
nanti PRnya ga selesai-selesai.”
“Eh, iya maap deh maap.” Sahut Bara.
Aku melirik Silvi sesaat tapi kulanjutkan dengan
berbicara pada Ira.
“Emang gapapa gitu kalau ketua kelas jelas-jelas
liat temen kelasnya nyalin?” Tanyaku pada Ira.
“Aman aja sih, aku ga marah itu artinya kamu
spesial. Nyalin itu juga usaha kan….” Balasnya.
“Gasalah sih.” Lanjutku.
Saat bel tanda berakhirnya istirahat berbunyi,
semua orang bergegas merapikan meja dan kursinya
untuk kembali belajar. Tugasku menyalin PR matematika
juga sudah selesai sehingga membuatku lega. Sebelum
meninggalkan mejaku, sekali lagi Silvi mencoba
mengatakan sesuatu tapi hal yang sama terulang.
“Gala, aku mau ngomong…,” Kata Silvi.

40
“Udah yuk Sil, kita balik ke tempat duduk kita.”
Potong Ira sembari memegang tangan Silvi.
“T-tapi, ini ga adil. Kita harus kasih tau Gala
juga!” Balas Silvi sambil menghentak tangan Ira yang
meraihnya.
Seketika kelas menjadi senyap dan seluruh
pandangan terarah kepada kedua gadis itu.
“Ya udah kapan-kapan aja, ini juga demi kebaikan
kita.” Balas Ira sembari menenangkan Silvi.
“Kapan lagi?! Gala, kamu pasti tau kan cerita
tentang kelas 25, itu beneran terjadi. Ori itu ada….”
Kata Silvi yang seakan setelah berbicara badannya
terkulai lemas dan jatuh tak sadarkan diri.
“Sil! Silvi! Cepat bawa dia ke UKS!” Teriak Ira
diikuti tatapan panik semua orang di dalam kelas.
***
Silvi dibawa ke ruang UKS untuk diperiksa guru
disana. Sedangkan aku menunggu di luar pintu ruang UKS
sembari menantikan kabar, dilihat-lihat aku sudah
seperti keluarga yang menunggu kabar dari dokter saat
operasi. Disaat itu juga sebuah suara datang dari
belakangku.
“Aku dengar dia pingsan. Apa dia mengatakan
sesuatu?”

41
Aku segera berpaling menuju ke arah sumber
suara itu. Saat aku melihatnya, itu suara Ori yang tiba-
tiba saja muncul.
“Ori?! Kamu dari mana? Kenapa kamu bisa disini?”
Tanyaku keheranan akan kehadirannya.
“Memangnya aneh? Aku sekolah disini, bukannya
wajar kalau aku ada di sekolah?” Balas Ori.
“T-tapi bukannya kamu…,”
“Hantu? Itu yang dia katakan?”
Aku terdiam ketika Ori melanjutkan perkataanku.
Apa dia sadar kalau dia hantu? Tapi tadi Silvi sempat
berkata sebaliknya. Sedari awal itulah pertanyaan yang
ada dipikiranku. Ori itu eksistensi yang misterius.
“Tidak, dia berkata kalau kamu itu ada.”
“..., begitu. Orang bodoh.”
Setelahnya terjadi keheningan diantara kami
beberapa saat, sebelum sebuah teriakan dan jeritan
keras datang dari dalam ruang UKS.
“TIDAKKK!!!”
Aku bergegas masuk kedalam UKS melihat situasi
yang tak terbayangkan. Silvi sedang memegang 2 buah
jarum suntik di tangannya yang tepat ia arahkan ke
kedua bola matanya. Yang lebih mengejutkanku adalah

42
guru UKS yang terbaring di lantai dengan bersimbah
darah akibat luka tusukan dimana mana.
“A-apa ini…? I-ini tidak nyata….” Kataku yang
tidak percaya akan apa yang dilihat mataku.
“Tidak! Tidak-Tidak-Tidak-Tidak-Tidak! Dia
ada! Dia ada! Dia ada! Ori ada! Ori itu ada!” Teriakan
berulang Silvi yang terdengar hingga keluar ruangan.
Ira terlihat berusaha menenangkannya sambil
mencoba meraih kedua suntikan yang dipegang Silvi.
Tapi tak lama setelah Silvi menggila dengan kata-kata
yang diucapkannya, ia segera menusukkan kedua jarum
suntik itu tepat di bola matanya. Kedua matanya
mengeluarkan darah, tapi Silvi tersenyum dan
mematahkan suntikan tersebut hingga menyisakan jarum
yang masih menancap di bola mata Silvi dengan daging
bola mata yang mencuat keluar.
Wajah Ira seketika pucat dan terkejut setengah
mati, siapapun pasti begitu melihat hal yang
semengerikan ini. Aku memegangi dadaku yang serasa
sesak sembari tertunduk di lantai dan sempat melihat
kearah luar ruangan. Ori masih berdiri memperhatikan
dengan wajah yang datar. Itu membuatku tak tau harus
berkata atau melakukan apa.

43
Teror belum berakhir. Silvi yang buta dan masih
terus mengucurkan darah dari matanya berlari
mengobrak-abrik seisi ruangan. Pada akhirnya ia
memegang sebuah gunting yang diarahkannya pada
lehernya sendiri.
“Ori… tid… ada.” Setelah mengatakannya, Silvi
segera menusukkan gunting di tangannya tepat
menembus lehernya. Ia menekan dalam-dalam gunting
itu hingga seluruh bilahnya tertancap masuk. Itu
mengeluarkan darah, banyak sekali hingga dapat
membuat seseorang kehilangan nyawanya.
Menyaksikan semua ini membuat tubuhku lemas
tak berdaya. Beberapa saat kemudian beberapa guru
yang mendengar jeritan dan teriakan masuk kedalam
ruang UKS. Semua yang melihat terkejut akan apa yang
ada didalamnya. Aku berusaha berjalan keluar dengan
terengah-engah menuju kearah Ori yang sedari tadi
berdiri menyaksikan seluruh kejadian brutal itu.
“Sudah dimulai.” Kata Ori dengan suara pelan
sebelum aku sepenuhnya kehilangan kesadaran.

44
Mata dari Kaca

Seorang gadis terjatuh dari sebuah tangga.


Tangga itu sangat dalam, aku tidak bisa melihat
ujungnya. Dasarnya sangat gelap, seperti menuju inti
bumi. Disana terasa panas, neraka? Aku tidak tahu

45
pasti. Entah dia terpeleset atau bahkan sengaja
meloncat. Yang pasti ia akan mati kalau jatuh kesana.

M ataku perlahan terbuka melihat sebuah cahaya


lampu yang menempel di langit-langit ruangan. Aku
yang terbaring memiringkan kepalaku memperhatikan
keadaan melirik sekelilingku. Tempatku berada saat ini
sangat putih dan familiar.
“Rumah sakit?”
Suasana rumah sakit yang pernah kurasakan
kembali hadir. Bahkan aku berada di kamar yang sama
seperti aku pertama kali dirawat disini. Kepalaku terasa
pusing. Saat mencoba mengingat apa yang terjadi,
perutku terasa sangat mual dan mengeluarkan isinya.
Aku kembali memejamkan mata, berharap semua
ini hanyalah mimpi. Beberapa saat kemudian suara pintu
kamar terbuka diikuti seseorang yang masuk. Aku
melirik ke arahnya melihat bahwa itu Kak Nina yang
datang.
“Gala!” Teriak Kak Nina yang segera berlari
memelukku.
“Syukurlah kamu sudah bangun. Kamu sudah
seharian penuh pingsan, sampai-sampai kakak kira kamu
ga bakal bangun lagi.”

46
Aku sendiri bersyukur masih dapat membuka
mataku setelah melihat kejadian kemarin. Tapi sekarang
perasaanku lebih lega melihat kehadiran Kak Nina
disisiku. Ia terus menangis sembari duduk di sisi kasur.
Sedangkan aku kembali kedalam tidur setelah menarik
napas panjang.
Setelah berada di rumah sakit selama 3 hari, aku
akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Sebelum pulang,
aku disuruh untuk mengambil obat. Akupun segera
menuju kasir. Disaat sedang menunggu giliran, Kak Ria
menyapaku, lalu kami pun berbincang-bincang tentang
kondisiku.
Aku teringat tentang daftar orang yang
meninggal tempo hari lalu. Aku pun mencoba untuk
menyanyakan hal itu ke Kak Ria.
“Oiya kak bagaimana dengan daftar nama pasien
tempo hari?”
“Ah itu ya, aku sudah cek tentang hal itu. Nama
pasien yang memakai penutup mata itu namanya Ori.”
Deg… jantungku berdegup kencang. Jadi, selama
ini yang kutemui itu arwahnya Ori?...
Aku sempat terdiam mendengarnya. Tak lama
berselang, namaku dipanggil. Aku pun berpamitan dan
mengucapkan terimakasih ke Kak Ria lalu mengambil

47
obat di kasir. Setelah selesai, aku segera menghampiri
Kak Nina untuk pulang kerumah.
Duar… Terdengar suara ledakan dari arah lift.
Akupun segera membalikkan badan dan melihat Kak Ria
tidak ada ditempat awal. Jangan-jangan…Kak Ria di
dalam lift itu…. Aku segera mendekat ke sisi lift yang
hancur. Disaat itu juga aku mencium bau daging yang
terbakar cukup kuat. Bercak darah juga terlihat di
seluruh dinding sekitar ledakan.
“Suster Nina!!!!!”
Tiba-tiba terdengar teriakan dari suster lain, hal
itu membuatku shock dan kembali menghampiri Kak nina
lalu memeluknya. Disaat aku memeluknya, Kak Nina
mencoba menenangkanku.
“Sudah jangan terlalu dipikirkan. Kamu baru saja
keluar dari rumah sakit. Ayo kita pulang.”
Setelah kejadian itu, aku dan Kak Nina kembali
melanjutkan perjalanan kembali ke rumah.
“Ingat kata dokter tadi, minum obat yang teratur
dan banyak istirahat.” Kata Kak Nina.
“Iya-iya.” Balasku.
Saat tengah berjalan, aku melihat Ori di ujung
jalan. Tanpa pikir panjang aku segera menghampirinya.
Aku berpikir inilah waktu yang tepat, tidak perlu

48
membuang-buang waktu lagi. Aku berlari meninggalkan
Kak Nina dibelakangku.
“Kak Nina pulang duluan aja, aku ada urusan
sebentar!” Kataku sembari berlari, meski saat aku
melirik ke belakang kehadiran Kak Nina lenyap.
Aku mengikuti Ori yang sedang berjalan menuju
suatu tempat. Hingga dia berhenti di rumahnya yang
tempo hari aku datangi. Sesaat sebelum Ori masuk ke
dalam, aku segera berteriak menghentikannya.
“Ori! Tunggu…,”
Ori menoleh ke arahku, beberapa saat sebelum ia
melanjutkan langkah masuk kedalam rumahnya. Aku yang
tak membiarkan dia lolos segera menggenggam
lengannya agar tidak pergi. Ori melirik kearah tanganku
yang menggenggamnya lalu menaikkan pandangannya
sehingga mata kami bertemu.
“Kenapa kau selalu menggangguku? Apa kau tak
punya kerjaan lain?” Ori membuka suaranya yang diikuti
nafas panjangnya sambil mengalihkan tatapannya.
“Aku harus tau! Bagaimana aku bisa tenang
setelah semua yang kusaksikan.” Tegasku semakin erat
menggenggam lengannya.

49
“Terserahlah, semuanya sudah dimulai jadi tidak
masalah juga memberitahumu. Lepaskan dulu tanganmu
dariku dan masuklah kedalam.” Jawab Ori.
Kami berdua pun masuk kedalam rumah Ori.
Suasana di dalam tetap saja membuatku merinding.
Dengan tatapan boneka-boneka disekelilingku, aku
merasa seperti selalu diawasi. Ori membawaku turun
kebawah dimana tempat kami pertama bertemu di sini
dulu.
“Jadi bisa kau jelaskan apa yang sebenarnya
terjadi?” Tanyaku ketika kami berada didalam ruangan
yang dipenuhi oleh boneka-boneka.
Yang menambah suasana menyeramkan di ruangan
itu adalah semua boneka yang dipajang tidak memiliki
bola mata sama sekali. Beberapa boneka memiliki kain
penutup di matanya sedangkan yang lain tidak. Ini
mengingatkanku dengan kejadian yang terjadi pada Silvi,
tentang ia yang menusuk matanya sendiri.
“Sebelum itu apa kau ingin tau apa yang ada
dibalik penutup mata ini?” Tanya Ori sembari sedikit
tersenyum.
Aku tertegun mendengar pertanyaannya itu.
Semua hal mengenai mata sekarang membuatku trauma.
Tanpa jawaban dariku ia segera membuka penutup mata

50
kirinya. Dengan perlahan ia membuka kelopak matanya
menunjukkan apa yang ada didalamnya.
“Biru?” Aku melihat pupil mata kirinya yang
berwarna biru. Tapi semakin lama kulihat aku menyadari
bahwa mata itu tidak asli, mata itu terbuat dari kaca.
“Mata palsu?”
“Ya, ini mata yang terbuat dari kaca akrilik.”
Itu membuatku sedikit terkejut, aku
membayangkan sesuatu yang menyeramkan ketika ia
membuka matanya. Tapi yang kulihat adalah sebuah mata
akrilik dengan pupil berwarna biru.
“Mata ini bisa melihat yang tidak bisa dilihat mata
biasa, jadi aku menutupnya.” Lanjut Ori menjelaskan.
“Maksudnya?” Tanyaku.
“Seperti hantu mungkin, atau hal-hal supranatural
lainnya.” Jelas Ori.
Setelahnya keheningan membuat keadaan terasa
sangat canggung. Ori memecah suasana ini dengan mulai
berbicara dan menyuruhku duduk.
“Duduklah, akan kubuatkan sesuatu.”
***

51
Aku duduk di sebuah sofa, tak lama Ori datang
membawakan secangkir teh. Kemudian duduk tepat di
sampingku sambil menyodorkan secangkir teh.
“Kau ingin tau semuanya kan? Mari kumulai dari
legenda kelas 25.” Tukas Ori sembari perlahan
menyeruput teh di tangannya.
Aku menatapnya dengan seksama, mendengarkan
setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Selagi
mencoba memahami segala perkataannya aku meneguk
secangkir teh yang tadi ia suguhkan.
“20 tahun yang lalu, seorang anak ditemukan mati
bunuh diri di sungai oleh teman sekelasnya. Ia terkenal
karena kecantikan dan kepintarannya sehingga kabar
kematiannya membuat seisi kelas syok.”
“Sebagai bentuk penghormatan terakhir, kursi
miliknya dibiarkan berada di kelas dan dia tetap
dianggap masih ada dan hadir disitu. Hari demi hari
berlangsung, hingga semester baru berganti dan
kejadian aneh mulai terjadi.”
“Beberapa siswa mulai bertingkah aneh seperti
kerasukan. Parahnya beberapa sampai bunuh diri atau
mengalami kecelakaan yang tragis. Hingga seorang siswa
menyadari kalau jumlah siswa yang ada di kelas bertotal
25 apabila siswi yang telah mati itu ikut dihitung.”

52
Aku hanya bisa tertegun mendengar
penjelasannya. Ori pun sesekali berhenti dan kembali
menyeruput tehnya. Beberapa Kali aku mengajukan
pertanyaan sebelum Ori melanjutkan ceritanya.
“Jadi mereka terus dihantui oleh arwah siswi yang
meninggal itu? Apa ada alasan khusus?”
“Seperti yang kubilang sebelumnya, mereka
menyadari ada 25 siswa dalam satu kelas. Seharusnya
dalam satu kelas hanya ada 24 murid. Akan tetapi,
dengan dianggapnya siswi yang meninggal itu jumlah
seluruhnya menjadi lebih satu. Kejadian ini terus
berlanjut bertahun-tahun tanpa seorang pun tahu cara
mencegahnya.”
“Hingga 10 tahun yang lalu, mereka menemukan
suatu cara yang dapat menangkalnya.” Jelas Ori.
“Yaitu…?” Tanyaku.
“Dengan menganggap 1 orang tidak ada agar
menjaga jumlah satu kelas tetap 24.”
“Kemungkinan berhasilnya?” Aku kembali
bertanya.
“50-50, tapi masih lebih baik daripada
menggunakan cara satu lagi.” Jawab Ori
“Cara satu lagi? Memangnya ada cara lain?”

53
“..., lupakan saja.”
Setelah mendengar hal itu. Aku mengerti. Semua
pertanyaan yang selama ini ku cari kini sudah terjawab,
namun timbul masalah baru. Cara yang dimaksud Ori itu
apa. Yah mungkin nanti bisa kutanyakan lagi.
Setelah mendengar semua hal tersebut, sekarang
aku mengerti. Semua pertanyaan yang selama ini ku cari
kini sudah terjawab.
“Apa setelah mengetahuinya kau masih
menganggapku hantu?”
“... Tidak, kau manusia. Hangat tanganmu saat ku
pegang tadi juga sudah menjadi bukti.”
Ya, Ori itu manusia. Ia dianggap tidak ada sebagai
tumbal akibat kutukan yang ada di kelas itu.
“Tapi kenapa harus kau yang dijadikan tumbal
untuk dianggap tak ada?”
“Itu cuma kebetulan. Aku dianggap ‘tak ada’ juga
karena cabut undi yang dilakukan sebulan lalu.”
“Bukankah terlalu sederhana untuk
menentukannya…?”
“Aku hanya ikut saja.”

54
Ori kemudian berdiri mengangkat cangkir yang
sudah kosong. Ia berpaling hendak beranjak pergi.
Setelah berjalan ia mengajukan pertanyaan.
“Apa kau sudah puas sekarang?”
“Belum, masih ada yang tidak kumengerti. Kenapa
dari awal mereka tidak memberitahuku? Bahkan Ira
bersikap baik kepadaku.”
Ori menghentikan langkah kakinya. Ia kemudian
berbalik dan kembali duduk di sofa.
“Bukankah kau sudah melihat apa yang tejadi pada
Silvi? Itu yang terjadi bila seseorang
memberitahukannya.” Jelas Ori.
Aku terdiam mendengarnya. Kembali kubayangkan
kejadian yang sangat ingin kulupakan itu. Kalau semua
yang dikatakan Ori adalah kebenaran, maka yang
merasuki Silvi waktu itu adalah hantunya.
“Jadi setelah 20 tahun pun arwah siswi itu masih
mengutuk kelas itu ya…?” Tanyaku sembari mengarahkan
pandanganku ke bawah.
“Tidak, arwah siswi itu sudah menghilang. Katanya
arwah yang ada di kelas 2-C itu hantu dari kerabat atau
siswa di kelas itu sendiri."
"Maksudmu ada yang meninggal di kelas?"

55
"Ya, seseorang di kelas sudah mati. Dia berbaur
dengan kita tanpa kita sadari. Bahkan katanya ingatan
kita diubah agar menganggapnya masih hidup."
"Apa hal seperti itu benar-benar bisa dilakukan?"
"Dia bisa merasuki kita… jadi kenapa tidak?"
aku tertegun mendengarnya. Keheningan kembali
sebelum aku memecahkannya dengan pertanyaan.
"Apa ada cara mengetahui murid tambahannya?"
Ori hanya terdiam dan melanjutkan menjawab
pertanyaanku.
“Tidak, kita tidak bisa membedakan mereka.
Karena mereka punya ingatan dan merasa kalau mereka
itu masih hidup. Tadi aku sempat bilang bukan, kalau
mereka bisa memanipulasi ingatan. Sehingga orang yang
melihatnya beranggapan kalau arwah itu masih hidup.”
Sekarang aku mengerti, kenapa mereka semua
menghalangiku untuk berurusan dengan Ori. Tapi
bukankah kejam, menumbalkan seseorang dibanding
mencari solusi untuk menyelesaikan masalah.
“Ada lagi yang mau kau tanyakan?” Tanya Ori
kembali ingin beranjak pergi.
“Ah itu…”

56
Aku teringat tentang kejadian dirumah sakit.
Belum sempat aku bertanya tentang hal itu, teleponku
berdering. Yang menelponku Kak Nina. Aku segera
menjawab panggilan tersebut.
“Hei, kamu kemana? kakak cari dirumah sakit
katanya kamu sudah keluar dan banyak polisi disini. Ada
apa sebenarnya??” Kak Nina kebingungan karena
kejadian tadi.
“Eh bukannya tadi kita sama-sama dari rumah
sakit?.” Ucapku sambil mengingat kejadian tadi.
“Lah, kakak baru datang. Sudah kamu cepat
pulang. Nanti kamu sakit lagi.”
“Iya iya…”
Aku pun menutup telepon barusan. Tiba-Tiba Ori
berdiri sambil merapihkan beberapa barang diruangan
tersebut.
“Sudah saatnya tutup. Kumohon pulanglah.”
“...,Yaudah aku akan pulang. Terima kasih atas
penjelasannya.”
***
Sesampainya dirumah aku segera masuk. Karena
aku tidak melihat keberadaan Kak Nina, akupun

57
bergegas mandi. Saat aku tengah mandi, Kak Nina
memanggilku.
“Gala…Kamu lagi mandi kah?” Tanya Kak Nina
memastikan
“Ah, iya kak. Ada apa emangnya kak…?”
“Ngga, cuma memastikan saja kamu udah pulang
apa belum. Oiya habis mandi langsung ke meja makan
yah. Kamu pasti belum makan, kan? Sekalian kakak mau
nanya yang tadi.”
“Oke kak.”
Aku tersadar. Tadi Kak Nina bilang kalau dia baru
sampai di rumah sakit saat aku dirumah Ori. Lalu siapa
yang menemaniku dirumah sakit tadi?? Ah sudahlah
mending aku selesaikan mandi lalu makan. Perutku sudah
bergemuruh, mungkin cacing di dalamnya sedang demo…
Setelah selesai mandi, aku segera keluar dari
kamar mandi dan bergegas berpakaian. Mungkin karena
menunggu lama, Kak Nina memanggilku kembali
“Gal, ayo cepat! Nanti makanannya keburu dingin.”
“Iya kak, sudah kok.”
Aku pun langsung menuju ruang makan. Di Ruang
makan Kak Nina sudah menungguku sambil terus

58
memakan nasi goreng buatannya. Melihatku datang, ia
menyuruhku untuk duduk.
“Ayo Gala cepat makan Nasinya setelah itu makan
obatmu.”
“Oke kak.”
Ugh, hambar. Aku kembali menyuap nasi di
tanganku meskipun hambar. Suasana hening tanpa suara
dan tampaknya Kak Nina cukup menikmati makanannya.
Aku pun bertanya tentang Kak Nina yang terlambat
menjemputku.
“Oiya kak, bukannya kita barengan yah waktu
pulang?”
“Nggak Gala. Tadi kakak ada kelas, kakak kira
kamu belum keluar jadi kakak berniat jemput kamu
setelah kelas selesai.”
"Lah… kalau begitu, siapa yang menemaniku tadi?"
Aku pun terdiam, seketika tubuhku merinding. Melihat
aku yang tiba-tiba terdiam. Kak Nina pun memanggilku.
“Gal?? Kamu kenapa? Kok kamu diam?”
“Ah ngga kak, mungkin aku salah orang. Mungkin
karena melihat ledakan lift tadi aku jadi ngga fokus.”

59
“Oh… pantes tadi ada polisi dan disekitar lift ada
garis polisi. Kamu gapapa kan?” Tanya Kak Nina sambil
melanjutkan makannya
“Aku gapapa cuma…”
“Cuma apa?” Wajah Kak Nina terlihat kebingungan
“K-kak… Kak Ria… yang pernah merawatku, dia ada
di dalam lift itu.” Ucapku seketika menangis tak kuasa
menahan air mata.
Melihat hal itu, Kak Nina segera memelukku.
Setelah agak tenang, Kami pun melanjutkan makan. Kak
Nina membahas apa saja yang terjadi selama aku
dirawat. Termasuk kabar orang tua Silvi yang ikut
meninggal.
Ahh jadi teringat, sebelum aku pingsan, sempat
terjadi kejadian dimana Silvi menusuk matanya dengan
jarum. Akupun bertanya tentang kondisi Silvi dan orang
tuanya.
“Kak, jadi nasib Silvi gimana? Dan maksud
orangtuanya meninggal itu…?”
Kak Nina terdiam sejenak lalu menjawab
pertanyaanku.
“..., Silvi meninggal setelah kejadian itu. Dia
kehabisan darah. Sedangkan orang tuanya kecelakaan
saat dalam perjalanan menuju sekolah.”

60
“Ah, kapan kejadian ini akan berakhir. Padahal 10
tahun yang lalu sempat terhenti.” Hela Kak Nina.
“Terhenti?” Tanyaku kebingungan.
“Iya. waktu kakak dikelas 2-C sepertimu. Kami
mencoba menganggap 1 orang tidak ada agar kelas
menjadi 24. Hasilnya sampai kami lulus, kejadian itu
berhenti."
Ah, sama seperti yang Ori katakan….
“Oleh Karena itu, cara ini diterapkan sampai
sekarang. Meskipun begitu, setelah kami lulus. Kejadian
itu masih berlanjut dan saat cara itu dilakukan kembali,
terkadang masih terjadi kejadian-kejadian aneh.” Jelas
Kak Nina.
Setelah itu Kak Nina menyelesaikan makannya dan
langsung menyuruhku untuk mengemaskannya.
“Ah, Gala. Kan kamu belum selesai makan. Kamu
aja ya yang rapihin makanannya. Kakak mau masuk ke
kamar dulu.”
“Iya Kak….”
Kak Nina pun kembali ke kamarnya dan
meninggalkanku yang belum selesai makan. Meski sedikit
kesal karena kemalasan Kak Nina, akupun menghela
napas sembari melanjutkan makanku. Setelah semua
tugasku selesai, aku langsung istirahat.

61
***
Keesokan harinya aku kembali bersekolah seperti
biasa. Namun ada yang berbeda kali ini, saat aku
memasuki kelas tampak yang lain mengacuhkanku
padahal aku baru keluar dari rumah sakit.
"Pagi Bar-...”
Belum selesai aku menyapa Bara, ia segera pergi
menjauhiku. Teman-teman yang lain juga seperti tidak
melihatku. Pelajaran berakhir dengan penuh kebosanan
karna nasibku kini seperti Ori. Diacuhkan oleh seisi
kelas.
Setelah selesai merapihkan buku, aku pun segera
menuju rumah Ori untuk menceritakan hal ini. Ditengah
perjalanan aku memikirkan sesuatu, yakni tentang cara
mereka menangkal Kutukan tersebut.
Pada awalnya mereka melakukannya dengan
mengacuhkan Ori, menggapnya tidak ada. Sekarang
mereka melakukannya kepadaku. Hmm… mungkin mereka
berfikir akan berhasil jika 2 orang yang dikorbankan.
Tak lama berselang, Aku pun sampai dirumah Ori.
Nampaknya dirumahnya tidak ada orangnya. Sesaat aku
ingin kembali dan membalikkan badan.
“Astaga!!”
“...”

62
Aku terkejut melihat Ori yang berada
dibelakangku.
“Kamu ngapain kesini? masih ada yang ingin
ditanyakan? Kalau iya masuklah.” Ucap Ori sambil
membuka pintu rumahnya
Akupun segera masuk dan diajak menuju
kamarnya.
“Tunggu disitu, aku mau membuatkanmu minuman.”
“Ah iya…”
Hening, itulah yang kurasakan saat itu. Apa ini
yang dirasakan Ori setiap hari, Keheningan dan
kesendirian yang menyelimuti. Tak lama kemudian ia
datang sambil membawa dua cangkir teh. Lalu duduk di
kursi yang ada di depanku.
“Minumlah…”
“Ah iya…. Ori, kau memang tinggal sendirian kah?
Rumahmu terasa sangat hening.”
“Aku tinggal bersama ibuku, namun kami tidak
dekat jadi yah… aku gatau dia sekarang kemana.
“Ohh…”
“Oiya, hari ini aku diacuhkan sama semua orang.”
“Hmm… jadi gimana rasanya menjadi yang orang
yang tidak ada?”

63
“Cukup aneh hahaha…, tapi mau gimana lagi. Aku
bingung mereka kenapa.”
“Sekarang yang ditumbalkan sudah 2 orang. Apa
mungkin bakalan berhasil?” Tanyaku sambil memegang
secangkir teh.
“Hmmm, seperti yang kubilang sih 50-50 kalo 1
orang, tapi kalo kejadiannya kaya gini aku kurang yakin
bakal beda atau ngga.”
“Kalau kita menggunakan cara yang lainnya? Kamu
sempat menyebutkannya kemarin.”
Aku pun bertanya sekaligus memastikan omongan
Ori kemarin. Mendengar hal itu Ori menghela nafas dan
menjawab pertanyaanku.
“Iya, sebenarnya ada sebuah cara… kita cukup
mengembalikan arwah ketempatnya berada. Alam
kematian.”
“Bagaimana caranya?”
“Kita harus menemukan orang tambahan itu dan
membunuhnya.” Jawab Ori kembali
Aku terkejut mendengarkan penjelasan Ori. Itu
berarti kita harus membunuh orang tambahan yang ada
dikelas kita. Akan tetapi, kita bahkan tidak tau siapa
orang tambahan itu. Meski begitu aku yakin bahwa itu
adalah solusi terbaik untuk menyelesaikannya.

64
“Hmmm, kalau benar demikian. Ayo kita beritahu
yang lain dan kita cari bersama-sama.”
“Kau ini bodoh atau apa?? Kau ingin semua orang
saling bunuh seperti psikopat gila? Kita bahkan tidak tau
siapa yang harus kita bunuh….” Jawab Ori dengan wajah
heran terhadap saranku.
Ah… benar yang dikatakan Ori. Kalau aku
melakukan hal ini, bisa saja seluruh kelas 2-C akan saling
bunuh demi melepaskan kutukan ini. Aku ga ingin hal itu
terjadi.
“Btw, kamu tau hal ini darimana?” Tanyaku
memastikan
“Ayahku, saat itu dia menjadi kepala sekolah di
SMA Ganra 01. Dia pernah mendengar cerita dari
muridnya. Lalu saat aku berumur 5 tahun, dia
menceritakan hal itu.”
“Kalau bisa hal ini jangan sampai tersebar. Kalau
orang lain tau, mungkin bakal terjadi sesuatu.”
“Bara dan Angga, kalau mereka sepertinya bisa
dipercaya.”
“Yah terserah saja. Kau sendiri paham
konsekuensinya.”
Aku pun mengangguk lalu melihat ke sekitar
ruangan. Ah boneka itu lagi, boneka yang mempunyai

65
rupa seperti Ori. Terakhir kali aku melihat boneka itu
terpajang. Sekarang boneka itu tergeletak dilantai.
“Boneka itu mirip sepertimu.” Ucapku sambil terus
melihat wajah boneka itu.
“Memang, karena boneka itu dibuat untuk
mengenang saudariku yang meninggal.”
Saudari? ada yang aneh.
“Eh… Ori, kamu itu punya saudara?”
Mendengar pertanyaanku, Ori berdiri lalu
membelai pelan rambut boneka itu.
“Iya, aku punya seorang saudari kembar. Kita
sempat bertemu dirumah sakit bukan? Waktu itu aku
pergi mengantarnya untuk terakhir kali.”
Ahh… akhirnya aku mengerti kenapa Ori saat itu
pergi ke ruang mayat. Hal itu semakin menguatkan fakta
kalau Ori memang masih hidup.
Setelah merasa cukup, akupun berpamitan dengan
Ori lalu kembali ke rumah. Sesampainya dirumah, aku
segera berbaring dikasur untuk istirahat sejenak.
Sebelum akhirnya terbangun setelah mengingat suatu
hal yang teramat penting.
Eh… aku belum menyelesaikan tugasku…

66
Murid Tambahan

A ku teringat dengan tugas yang menumpuk karena


aku dirawat. Ditengah kesibukanku mengerjakan
tugas, Kak Nina mengetuk pintu kamarku dan bertanya
“Gal, kamu lagi ngapain?"
“Lagi ngerjain tugas kak.”
“Oh… oke tapi jangan terlalu capek. Lusa kan
kamu bakal karyawisata….”
Eh… Karyawisata? Mendengar hal itu, aku
menghentikan kegiatanku lalu segera keluar kamar untuk
menanyakan hal itu lebih lanjut.
“Karyawisata kemana kak?”
“Kegunung. Besok kakak jelasin lebih banyak di
kelas. Jadi kamu cukup selesaiin tugasmu itu. Biar nanti
bisa ikut pergi.
“Siap Bu Nina hehe..”
Aku pun kembali ke kamar dan melanjutkan
kembali tugas-tugasku yang sudah menggunung ini.
***

67
“Gala, ayo makan. Sudah malam ini….”
Eh… aku terbangun mendengar suara Kak Nina
memanggilku. Akupun mengecek kembali semua tugasku.
Fiuhh… untung aku sudah menyelesaikan semuanya.
Karena sudah merasa aman, aku bergegas turun untuk
menuju meja makan.
Setelah itu, aku segera duduk dan memakan
makanan yang sudah Kak Nina siapkan. Malam itu aku dan
Kak Nina memakan sup Konro khas daerah sini. Tawar…
lagi-lagi masakannya terasa tawar. Karena tidak ingin
membuat Kak Nina sedih, aku tetap makan masakannya
hingga selesai.
Aku pun membereskan meja dan Kak Nina mencuci
piring kami. Setelah tugasku selesai, aku kembali ke
kamar lalu tidur.
Pagi pun tiba. Kak Nina masuk ke kamarku dan
membangunkanku sambil menggoyangkan badanku.
“Gala ayo bangun, udah pagi. Kamu gamau
terlambat lagi kan?”
“Ukhh, iya iya kak.” Ucapku sambil meregangkan
badan lalu duduk sekitar 1 menit.
Setelah 1 menit, Aku pun turun dari kasur dan
melihat jam. Ah..masih jam 06.00. Masih belum
terlambat. Aku pun segera menuju kamar mandi. Setelah

68
selesai mandi, aku langsung mengenakan bajuku dan
segera turun untuk sarapan.
Saat tiba di ruang makan. Aku melihat secarik
kertas menempel di kulkas yang isinya Kak Nina duluan
yah, soalnya mau ngurus persiapan untuk karyawisata
besok.
Setelah itu, aku pun makan dan berangkat
sendirian ke sekolah. Saat sampai disekolah, aku
langsung masuk ke kelasku. Sama seperti kemarin, aku
masih diabaikan oleh semua orang. Termasuk Angga dan
Bara.
Meskipun diabaikan, aku terus berusaha untuk
membicarakan cara menghentikan kutukan ini kepada
mereka.
“Angga, Bara ayo ikut denganku.”
“...”
“Ayo, ini hal yang penting demi keselamatan kelas
kita!”
Mendengar itu mereka berdua tampak bingung
dan mengikutiku tanpa berkata. Aku mengajak mereka
ke atap sekolah.
“Jadi,apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Angga
“Aku tahu cara menghentikan kutukan ini.”

69
“Emangnya gimana?” Tanya Bara dengan wajah
yang kebingungan
“Kita harus membunuh arwah itu. Tapi…”
Aku terdiam sebentar, sambil mengumpulkan
keberanian, lalu melanjutkan ucapanku.
“Tapi, aku tidak tahu siapa atau diman-...”
Belum selesai aku berbicara, Angga tiba-tiba
bertingkah aneh. Ia terus berteriak tak karuan selagi
terus mencakar-cakar wajahnya.
“Tidak-Tidak-Tidak-Tidak Tidak ada cara
apapun!”
Setelah wajah Angga berlumur darah penuh
cakaran, ia pun berlari dan melompat melewati pagar
pembatas.
Bughh… Angga terjatuh dari atap gedung dan
menancap di pagar sekolah yang memiliki ujung tajam.
Kondisinya sangat kacau. Betisnya menancap ke ujung
pagar dengan kondisi kepala yang menghantam tanah
hingga pecah. Darah dan otaknya berceceran di tanah
serta betisnya robek menembus pagar. Bara yang
melihat kejadian itu langsung muntah dan terkulai lemas.
Tak lama berselang Ira datang dan melihat
kondisi Angga yang kacau. Tatapannya berpindah ke
arahku. Ia melihat ke arah atap dimana aku berdiri.

70
Tatapan yang penuh amarah ditunjukkan dari kedua
mata kami yang saling bertemu.
Aku melihat di bawah sudah ramai guru dan siswa
lainnya mengitari mayat Angga. Aku segera turun dan
menuju tempat Angga terjatuh. Tak lama berselang,
Ambulance datang dan membawa mayat Angga. Kami pun
diperintahkan untuk kembali ke kelas untuk melanjutkan
pelajaran.
Kelas hening, tak seorang pun berbicara. Aku rasa
mereka masih syok atas kejadian barusan. Kak Nina
masuk ke dalam kelas untuk menjelaskan tentang
karyawisata besok.
“Siang anak-anak. Meskipun barusan terjadi hal
yang tidak mengenakan, ibu berharap kita dapat
mengesampingkan hal itu. Kita hanya dapat berharap
yang terbaik untuknya….”
“Oke selanjutnya, Ibu ingin menyampaikan
sesuatu. Kelas kita akan mengadakan karya wisata,
setiap wali kelas disuruh untuk memilih tempat tujuan
kelasnya masing-masing. Ibu memilih Gunung Bulu Dua,
karena pemandangannya bagus.”
“Kalian cukup membawa perlengkapan seperti baju
ganti, alat mandi dan perlengkapan lainnya. Karena kita

71
bakalan menginap di penginapan. Jadi, apa ada yang ingin
ditanyakan?”
Setelah Kak Nina selesai menjelaskan dan
mempersilahkan yang lain untuk mengajukan pertanyaan.
Ira pun berdiri dan bertanya.
“Untuk besok, kita kumpul dan berangkat jam
berapa? dan masalah Angga…,” Ira pun menangis setelah
bertanya kepada Kak Nina.
Melihat itu, Kak Nina segera menghampiri Ira
memeluknya selagi menjawab pertanyaannya.
“Besok pagi kita kumpul jam 07.00 di sekolah dan
untuk masalah Angga, kita serahkan ke pihak berwajib.”
Ira yang mendengar jawaban Kak Nina pun
mengangguk dan duduk kembali ke kursinya. Saat tengah
memperhatikan Kak Nina dan Ira. Tiba-tiba seseorang
memanggilku. Ternyata Ori, kupikir dia tidak masuk
sekolah hari ini.
“Benarkan yang aku bilang.” Ucap Ori lalu ia
memalingkan wajahnya.
Ah… aku melakukan kesalahan lagi. Begitulah
pikirku saat itu. Lagi-lagi aku melakukan hal yang
membuat orang lain celaka.
Setelah itu, aku melanjutkan pembelajaran hingga
selesai, masih dengan kondisi yang sama. Namun kali ini

72
lebih parah, aku merasa seperti hantu yang tidak
terlihat oleh mereka.
Setelah selesai sekolah, aku langsung keluar dari
kelas dan berjalan menuju rumah. Saat sebelum
meninggalkan sekolah, Kak Nina memanggilku.
“Gala, sini…,”
“Iya kenapa kak?
“Kakak hari ini pulangnya bakal lama yah. Soalnya
masih mau ngurusin keberangkatan kita, ditambah kakak
harus mengurus Angga karena dia itu Anak Yatim Piatu.
Jadi kakak yang berperan jadi walinya.”
“Iya kak. Jangan terlalu malam pulangnya, nanti
kakak sakit.”
“Iya bawel, kamu juga. Persiapkan segala
peralatan buat besok. Jangan malam-malam tidurnya.”
Aku pun mengangguk menanggapi perkataan Kak
Nina lalu pergi kembali ke rumah. Sesampainya dirumah,
aku segera tidur tanpa makan dan mandi. Rasanya berat
sekali untuk melakukan apapun.
Tiba-tiba telepon berdering. Ah ada pesan dari
Kak Nina: Jangan lupa rapikan barangmu, makan juga
jangan lupa. Kak Nina kembali mengingatkanku untuk
merapikan perlengkapan besok. Mau tak mau aku harus
melakukannya karena berhubungan dengan sekolahku.

73
Akupun langsung menyiapkan segala hal yang akan
kubawa besok pagi. Tanpa mandi dan makan, aku kembali
tertidur setelah merapikan perlengkapanku.
Keesokan harinya aku kembali dibangunkan oleh
Kak Nina. Namun hari ini ada yang berbeda. Aku disuruh
untuk pergi kesekolah lebih awal. Saat kutanya
alasannya, Kak Nina hanya diam dan menyuruhku untuk
cepat.
Dengan wajah kebingungan, aku segera mandi dan
bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku membawa tas yang
berisi peralatan untuk karyawisata. Sambil ditemani Kak
Nina, aku berangkat ke sekolah. Sesampainya disekolah,
polisi sudah bersiap di depan gerbang. Ada Ira dan Bara
berdiri menunggu disekitar polisi.
Kak Nina menyuruhku untuk mendatangi polisi
tersebut. Akupun segera mendatangi polisi tersebut
untuk dimintai keterangan. Setelah satu setengah jam
kami bertiga diinterogasi, akhirnya kami diperbolehkan
untuk pergi karena keterangan kami sama dan polisi
percaya kalau kejadian Angga dianggap bunuh diri.
***
Saat kulihat handphoneku, waktu menunjukkan
pukul 08.00. Kami ditinggalkan oleh bis yang akan
membawa kami ke Gunung Bulu Dua. Karena ikut dimintai

74
keterangan, Kak Nina juga tidak ikut dalam bus
tersebut. Akhirnya Kak Nina mencari mobil untuk kami
pergi ke Gunung Bulu Dua. Kami pun berhasil meminjam
mobil salah satu guru di sekolah. Kami berempat pun
langsung menuju ke Gunung Bulu Dua.
Setelah melewati perjalanan selama 1 Jam 13
Menit, kami pun sampai di kaki gunung dan langsung
menuju penginapan tempat kami akan tinggal. Ternyata
bis yang mengantar murid lainnya sudah sampai terlebih
dahulu dan menunggu kami sampai.
Kak Nina turun dari mobil dan langsung menyuruh
Ira untuk mengatur teman-teman yang lainnya menuju
ke dalam penginapan, sedangkan dia mengurus reservasi
kamar kepada penjaga penginapan. Setelah selesai, Kak
Nina menghampiri aku dan Bara yang menunggu di dekat
mobil lalu menyuruh kami untuk ikut masuk kedalam.
“Ambil barang-barang kalian, ayo ikut ibu ke
dalam. Nanti Ibu tunjukkan kamar kalian.”
Aku berdua pun segera membawa barang kami dan
pergi ke arah penginapan. Namun, tiba-tiba ada
seseorang yang memanggil Kak Nina. Sontak Kak Nina
langsung membalikkan badan ke arah suara tersebut.
“Eh kamu siapa ya?” Tanya Kak Nina dengan wajah
keheranan.

75
“Ini aku Zafar. Zafar Putra Malik. 10 tahun yang
lalu kita sekelas di SMA Ganra 01” Ucap pria tadi
“Zafar? Zafar… Ohh! Zafar yang dulu sering
rangking 1 bukan??”
“Nah iya Nin, eh kamu ngapain disini?”
“Aku lagi menemani muridku karya wisata di
Gunung ini.”
“Hmmm… jangan bilang, kamu jadi guru di SMA
kita dulu?”
“Iya Zaf.”
Kak Nina dan pria yang bernama Zafar itu
berbincang tentang kesibukan mereka hingga kenangan
mereka di SMA Ganra 01. Perbincangan itu akhirnya
sampai kepada kutukan murid ke 25.
“Masih berlanjut yah Nin?”
“Iya Zaf, akhir-akhir ini aku sibuk mengurus
segala hal akibat kutukan itu.”
Aku menyadari teringat tentang kelas 2-C 10
tahun yang lalu, yang berhasil menghentikan kutukan itu
dan kembali bertanya sekaligus memastikan apa yang
dibilang Ori itu benar atau tidak.
“Maaf sebelumnya eum…,”
“Panggil saja saya Abang Zafar.”

76
“Iya bang. Bang Zafar, apa benar kelas abang
menghentikan kutukan dengan cara membunuh arwah?”
Bang Zafar dan Kak Nina tampak terkejut. Kak
Nina pun bertanya karena bingung maksud perkataanku
tadi, lalu disusul pertanyaan oleh Bang Zafar yang juga
terlihat kebingungan .
“Maksudmu gimana Gala? Membunuh arwah?”
“Darimana kamu tahu hal itu?”
“Dari teman kami, Ori. Ori salah satu murid di
kelas 2-C. Dia menjadi tumbal pengasingan di kelas.
“Darimana dia bisa tahu hal ini?”
“Ayahnya.”
“Ah aku mengerti, Ori itu pasti anak Pak
Samsudin. Kepala sekolah kita dulu. Aku pernah
bercerita sesuatu padanya.”
“Apa itu Zaf?” Tanya Kak Nina.
Akhirnya Bang Zafar menceritakan kisahnya dulu.
“Dulu, kami juga melakukan karya wisata. Pada
awalnya perjalanan kami lancar, tiba saat kami mulai
menaiki gunung. Hujan lebat mulai turun beserta angin
yang kuat. Kami terpisah dan tersesat. Saat itu abang
dan salah satu teman abang tergelincir dan jatuh ke
jurang yang tidak terlalu dalam.”

77
“Saat abang berusaha naik, teman abang ini
berusaha menarik kaki abang dan mencoba untuk
menyerang abang. Karena berusaha membela diri, kami
pun bertengkar yang pada akhirnya abang mendorong
teman abang hingga tersungkur ke pohon.”
“Ternyata di pohon itu ada dahan pohon yang
cukup runcing. Akhirnya teman abang itu mati karena
jantungnya tertusuk ujung pohon hingga rusuknya
mencuat keluar. Karena takut, abang langsung
membersihkan badan abang dan segera kembali ke
tempat berkumpul. Kami pun pulang dan saat abang
tanya tentang teman abang itu, mereka semua
keheranan karena tidak ada satupun dari mereka yang
mengenal siswa itu.”
“Akhirnya kutukan itu mereda dan kami pun lulus
tanpa terjadi kejadian aneh lagi. Tapi abang merasa
berdosa dan mencoba menceritakan ini kepada Kepala
sekolah pada waktu itu. Namun ia menyuruh abang untuk
memendam cerita itu.”
“Ia bilang, cukup kami berdua yang tahu. Agar
sekolah tidak ditutup. Pada akhirnya, semua orang
mengartikan kalau cara menghentikan kutukan itu
dengan cara mengasingkan 1 orang.”

78
Setelah penjelasan yang cukup panjang, aku
melihat mata Bang Zafar berkaca-kaca menahan tangis.
“Berarti, bisa disimpulkan kalau kita cukup
membunuh arwah itu yah bang?” Tanya Bara
“Iya.” Jawab Bang Zafar sambil menganggukkan
kepalanya.
Akhirnya Kak Nina mengajak kami masuk karena
sebentar lagi ada hal yang kami harus lakukan. Kami pun
berpamitan kepada Bang Zafar sekaligus mengucapkan
terima kasih atas informasi yang diberikannya. Aku dan
Bara langsung menuju kamar kami. Meskipun terasa
sangat canggung, aku berusaha untuk tidak mengganggu
Bara.
Setelah meletakkan barang bawaannya, Bara
langsung pergi keluar tanpa sepatah katapun. Aku yang
melihatnya membiarkan hal itu dan langsung keluar dari
kamar untuk mencari Ori.
Diluar, aku melihat Ori yang sedang duduk
memperhatikan bunga-bunga yang ada di dekat
penginapan. Aku pun menghampirinya dan mengajaknya
untuk berjalan-jalan sebelum kegiatan di siang hari.
Siang hari jadwal kami untuk menelusuri
lingkungan sekitar hingga sore hari. Setelah selesai,
pada pukul 16.00 Kak Nina mengumpulkan kami semua di

79
lapangan depan penginapan. Ia menjelaskan kegiatan
kami berikutnya.
“Oke… setelah selesai pengamatan, Ibu minta
laporannya ya, batasnya sampai besok. Setelah ini kalian
tidak ada kegiatan. Jadi bebas mau ngapain, cuma tidak
diperbolehkan meninggalkan penginapan ini. Mengerti?”
Semuanya serempak mengiyakan perkataan Kak
Nina.
“Baik, setelah selesai pada Jam 18.00 kita akan
berkumpul di ruang makan. Setelah itu, Ibu harap kalian
langsung istirahat. Jam 21.30 adalah batasnya. Ibu
bakalan berkeliling untuk memastikan. Karena kita besok
akan mendaki, jadi kalian harus banyak istirahat. Oke
bubar jalan!”
Akhirnya kami berpencar. Karena badanku penuh
keringat, aku pun segera menuju kamar mandi untuk
membersihkan diriku. Saat keluar dari kamar mandi,
Bara baru saja kembali ke kamar dan wajahnya cukup
ketakutan saat melihatku. Seperti ada yang
disembunyikan.
Tapi yah, aku gamau melakukan hal yang sama.
Yakni terlalu kepo dengan urusan orang lain. Akupun
segera mengenakan baju dan mengajak Bara untuk ke

80
ruang makan. Namun ia tidak menjawab ajakanku dan
langsung pergi mandi. Aku sendiri mewajari kelakuannya.
Aku pun keluar dari kamar dan saat sampai di
depan pintu ruang makan, aku melihat asap keluar dari
sela-sela pintu. Aku berlari dan segera membuka pintu
ruang makan. Api menjalar dimana-mana. Di dalam aku
melihat beberapa orang yang saling bunuh satu sama
lain.
Aku melihat Nadia, salah seorang siswi di kelas
kami tengah memegang gagang lilin yang menyala. Ia
segera menerjang tubuh temannya dan segera
menancapkan lilin yang dipegangnya ke arah wajah
temannya itu. Seluruh kulit wajah temannya yang malang
itu mengelupas. Diikuti lelehan lilin yang perlahan masuk
melalui kerongkongan mulutnya ia mati perlahan.
Melihat hal itu aku menjadi ragu, apakah harus
membantunya atau melarikan diri. Disaat aku berdiri
mematung, aku mengalihkan pandanganku dan melihat
Ori sedang berlari keluar penginapan. Aku pun
mengejarnya dan bertanya apa yang terjadi.
“Apa yang terjadi, Ori? Kenapa penginapan ini
bisa terbakar? Lalu kenapa kamu berlari seperti orang
ketakutan?” Tanyaku.

81
“Hosh… hosh… hosh… ta-tadi… penjaga
penginapannya kerasukan dan membakar seisi
penginapan. Ditambah, mereka semua saling bunuh satu
sama lain. Apa kamu menyebarkan ucapanku kemarin??”
“Aku cuma memberitahukan ini ke Angga dan
Bara. Ditambah tadi pagi aku dan Bara bertemu teman
Kak Nina, dia menceritakan cara menghentikan kutukan
yang kamu bilang kemarin.”
Tak lama berselang Bara keluar, sontak aku dan
Ori menghampirinya dan bertanya mengenai cerita tadi
“Bar, kau yang menyebarkan cerita ini kah?”
“Eh… aku ga menyebarkannya. Tadi aku cuma
menceritakannya ke Ira. Ga mungkin Ira
menyebarkannya, karena dia tahu akan resiko yang akan
terjadi.”
Bagaimana ini, situasi kacau penuh asap dimana-
mana. Kami bertiga pun bergegas mencari cara untuk
memadamkan api. Aku dan Ori mencoba ke ruang makan,
sedangkan Bara mencari sumber air di luar penginapan.
Saat aku dan Ori kembali ke Ruang makan. Tercium bau
daging terbakar yang sangat kuat. Darah dimana-mana.
Kami melihat teman sekelas kami sudah
tergeletak dengan kondisi anggota tubuh yang terpisah-
pisah. Di atas perapian juga terlihat penjaga penginapan

82
yang tampak tersalib dengan tangan dan kaki terpaku di
dinding. Semuanya terlihat kacau.
Disaat itu kami berusaha mencari sumber air
untuk memadamkan api. Karena aku sempat melihat
ledeng air di halaman, aku bergegas berlari untuk
mengambil air darinya.
Saat hendak mengambil ember. Tiba-tiba Ori
diserang oleh Candrika, salah satu teman kelas kami.
Ori terjatuh karena dorongan Candrika hingga
tersungkur. Candrika dengan wajah berlumur darah
segera menarik kaki Ori dan hendak memotongnya.
“Lepaskan aku…, Gala tolongg!”
“Hei, kau pasti Arwahnya kan?? Ayo aku
kembalikan kamu ke tempat asalmu. Alam kematian!!”
Saat Candrika ingin menebas kaki Ori dengan
parang, aku bergerak cepat menendangnya hingga
terpental beberapa meter. Beruntung Ori selamat dari
Candrika. Namun naas, candrika malah menghantam
dinding dan tertusuk oleh parangnya sendiri. Ditambah
sebuah patung kepala rusa yang menempel di dinding
seketika jatuh dan menghantam kepalanya hingga
tertusuk menancap lantai kayu penginapan.
Setelah membantu Ori berdiri, ia segera
mencabut parang yang menusuk perut Candrika untuk

83
dijadikannya senjata. Saat hendak mencabut parang,
datang Ira dari arah dapur dan melihat kejadian itu lalu
mengira kalau Ori yang membunuh Candrika.
Dengan tatapan marah, ia langsung mengambil
batang kayu disekitarnya dan langsung menyerang Ori
dengan sebilah pisau di tangannya. Ori berusaha
menghindar namun bilah pisau sempat menggores pelipis
matanya dan membuat tali penutup matanya terputus.
Saat ingin menghentikan kejadian itu, tiba-tiba saja
atap kayu penginapan itu roboh dan menimpa Ira.
Ira berada dalam kondisi yang sangat
mengenaskan. Kayu tajam menembus punggungnya hingga
menembus hingga kedada. Kepalanya juga terputus
akibat sebilah seng yang jatuh. Aku dan Ori yang
melihat kejadian itu hanya dapat tertegun diam.
Kami berdua akhirnya memutuskan untuk keluar
dan mencari pertolongan. Saat menuju keluar Ori
merasakan ada hal aneh di sekitarnya lalu berusaha
melihat sekeliling.
“Ikuti aku!” Teriak Ori yang tiba-tiba saja
berlari ke arah sesuatu.
Sontak aku mengejarnya. Ori terus berlari dan
berhenti di kamar Kak Nina. Ia segera membuka pintu
kamar dan kami terkejut melihat Kak Nina yang

84
tertimpa reruntuhan atap. Aku mencoba untuk
membantu Kak Nina namun tanganku ditahan oleh Ori.
“Berhenti Gala.”
“Kenapa Ori?! Kalau ga ditolong Kak Nina bisa
mati!”
“Kau bertanya siapa orang tambahan yang
mengutuk kita selama ini? Dia ada didepanmu. Kau ingat
aku pernah bilang kalau mataku ini bisa melihat sesuatu
yang tidak bisa dilihat mata biasa kan?”
“Barusan, saat penutup mataku terlepas. Mataku
melihat sebuah warna mera yang cerah. Saat ku
pertahikan, arahnya berasal dari kamar Bu Nina. Jumlah
siswa di kelas itu semuanya ada 24 jika dihitung dengan
makhluk itu. Kamu datang dan membuat kelas menjadi
25. Hal itu membuat arwah itu marah dan meneror kita
semua.”
“Bo-Bohong itu Ga-gala… Ayo cepat tolong kakak.”
“Gala, ambil ini.”
Ori memerintahkanku untuk mengambil parang
yang ada ditangannya dan membunuh Kak Nina atau
Arwah. Aku hanya terdiam. Setelah berfikir lebih
dalam, semua ini masuk akal. Berapa ingatan tentang Kak
Nina memang terasa hilang dari diriku. Setelah

85
membulatkan tekad, aku segera mengambil parang itu
dan kembali bertanya memastikannya kepada Ori.
“Be-benarkah semua ini Ori?? ”
“Gala, Bu Nina sudah meninggal setahun yang lalu.
Aku melihatnya sendiri, dia terjatuh ke sungai.
Ingatanku kembali setelah mataku melihat ke arah Bu
Nina.”
Akhirnya aku menelan ludah dan memendam
ketakutanku dalam-dalam. Aku pun menusuk parang itu
menembus jantung Kak Nina. Kepalaku seketika berat
diikuti aliran ingatan yang terus masuk. Ahh… aku ingat.
Ayah menyuruhku ke Desa Ganra karena Kak Nina
meninggal dan rumahnya tidak ada yang mengurusnya.
Ditambah, saat telepon beberapa waktu yang lalu. Ayah
menghindari pembahasan tentang Kak Nina.
Setelah kejadian itu, air mataku tak henti
mengalir. Aku meraung sejadi-jadinya diikuti pelukan Ori
yang menenangkanku dari belakang. Tak lama Bara serta
Bang Zafar datang bersama warga setempat. Kami
bertiga pun diajak untuk menuju ke Balai desa.
Disana kami diminta menghubungi keluarga
masing-masing. Aku pun menghubungi ayahku. Sambil
menangis, aku menceritakan semua kejadian yang ku
alami. Lalu ayah memintaku untuk menunggunya.

86
Akhirnya 2 hari kemudian, ayah menjemputku dan
mengajakku untuk tinggal di Mesir.
***
7 Tahun Kemudian… di TPU Soppeng.
“Aku kembali kak, ayah masih dalam perjalanan
kesini. Jadi sementara ini aku aja yang bersihin makam
kakak.” Ucapku sambil menangis memeluk makam Kak
Nina.
Setelah selesai membersihkan makam Kak Nina.
Terdengar suara perempuan memanggilku. Suara lembut
yang tidak asing ditelinga. Aku pun segera membalikkan
badanku.
“Gala, Kamu…Gala kan? aku Ori .”
Ah, ternyata perempuan yang sedang
menggendong bayi didepanku adalah Ori.
“Iya aku Gala.” Balasku.
Dengan senyum manis yang di buat Ori, ia
kemudian mengajakku untuk pergi. “Ayo temani aku
berjalan-jalan. Aku akan menceritakan padamu keadaan
saat kau pergi ke Mesir.”
Akhirnya aku dan Ori meninggalkan pemakaman
dan berjalan selagi membahas banyak hal.

87
“Setelah kamu pergi, sekolah kita ditutup. Aku
pun pindah ke tempat bibiku di kota Makassar dan
melanjutkan sekolah disana. Beberapa tahun yang lalu
aku kembali kesini karena ibuku meninggal.”
“Ahh… aku turut berduka cita, Ori.”
“Iya Gal, makasih.”
Saat kami terus berjalan. Pandanganku perlahan
tertuju pada bayi yang sedang Ori timang.
“Itu… anakmu?”
“..., Ya. 2 tahun yang lalu Bara melamarku dan kami
menikah. Kami pun dikaruniai satu anak perempuan.”
Jelas Ori.
“Cantik ya… seperti ibunya.” Ucap Gala.
Kami berdua tertawa setelah itu. Tak lama Ori
kembali bertanya hal yang ingin sekali kulupakan.
“Apa kamu masih mengingat kejadian itu?”
“Bagaimana aku bisa melupakannya, hal itu akan
terus membekas di ingatanku. Aku teringat sesuatu,
pada saat itu bagaimana bisa kau bisa terlepas dari
pengaruh arwah itu?”
“Mungkin karena mataku ini. Setelah penutup
mataku terbuka, semua kejadian yang terlupakan

88
menjadi teringat kembali olehku. Bisa dibilang, mata ini
penangkal dari manipulasi arwah itu.”
Setelah berbincang cukup lama. Aku pun pamit
dan kembali ke rumah.

TAMAT

89
Biodata Penulis

Reimon Azwar
lahir di Sungai Jawi,Pontianak
Kota,Kalimantan Barat pada 14 Agustus
2004 dan terlahir 3 bersaudara. Ia
adalah siswa dari MAN 2 Pontianak.
Masuk pada tahun 2020 dan tergabung
dalam kelas IPS 2.
Ia memiliki hoki Bermain Game dan juga
menonton anime. Pada penulisan Novel ini, dibimbing oleh Ibu
Dra. Ida Novianti M. ed. Novel ini merupakan karya
pertamanya selama hidup didunia ini. Novel ini juga merupakan
tugas akhir di semester pertama saat kelas 3.

Raihan Razakiano
Siswa MAN 2 Pontianak yang lahir pada 19 April
2005. Ia masuk pada tahun 2020 dan tergabung dalam
kelas IPS 2. Memiliki hobi bermain dan membaca komik.
Pada dasarnya ia memiliki imajinasi yang luas,
sehingga banyak menuangkannya dalam bentuk kata-
kata. Ia banyak membuat cerpen di sela-sela waktu
luangnya. Novel ini merupakan hasil karya dari tugas

90
yang diberikan oleh Dra. Ida Novianti M. ed. Selaku guru
Bahasa Indonesia.

91

Anda mungkin juga menyukai