Anda di halaman 1dari 7

“SALIKA”

"Bian bangun!" teriak wanita itu sembari menarik selimutku.

"Ma, Bian ngantuk," aku berusaha merebut kembali selimut bermotif kotak-kotak itu, namun
gagal.

"Ini udah jam 7 lewat ya bian,” kata mama.

“Emang kamu nggak malu sama Salika!" lanjutnya.

Ternyata yang orang katakan itu benar bahwa akan sangat tidak beruntung jika mempunyai
tetangga seumuran yang lebih rajin ataupun lebih pintar. Kita harus memiliki mental baja
karena akan menjadi bahan bandingan mama.

Mama membuka jendela kamarku. Terlihat di kamar rumah sebelah sana seorang gadis
dengan seragamnya yang rapi. Matanya fokus menghadap laptop, dihadapannya sudah
tersedia peralatan menulis, ia mulai mencatat sesuatu dibukunya.

"Tuh Salika aja pagi-pagi gini semangat belajar, lah kamu masih molor gini. Bangun,
bangun!" omel mama.

Aku berusaha bangkit dan merenggangkan otot-otot tubuhku. Tidak menghiraukan ocehan
mama dan bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka.

"Bian, Bian," mama menghela nafas kemudian keluar dari kamarku.

Setelah selesai mencuci muka, aku bersiap memakai seragam sekolah lalu membuka laptop
ku. Ternyata pelajaran sudah berlangsung 30 menit yang lalu melalui classroom. Semenjak
menyebarnya virus covid-19 di Indonesia. Pemerintah menetapkan sistem belajar mengajar
secara during (online). Awal mulanya sekolah hanya dirumahkan 2 minggu, tentu sebagai
pelajar aku merasa sangat senang. Namun sayangnya virus covid-19 ini tak kunjung usai
hingga sekarang. Aku mulai lelah dengan keadaan. Aku merindukan sekolah tatap muka.
Jangan salah paham. Maksudku, aku merindukan suasana kelas yang bising. Entah itu karena
ulangan harian mendadak ataupun salah satu teman cewek di kelasku kehilangan pulpen.
Bukan merindukan pelajaran matematika dari Bu Yani, ataupun rumus-rumus fisika yang
memecahkan kepala.
Sudah 1 tahun lebih keadaan seperti ini dan tidak terasa aku sudah hampir menyelesaikan
masa SMA ku. Sungguh sangat membosankan ketika kita tidak bisa berkumpul dengan orang
yang kita sayang. Aku rasa kalian juga merasakan hal yang sama denganku. Pandemi covid-
19 membatasi interaksi sosial kita. Mulai dari sekolah online, beberapa pekerja di PHK dan
sebagian lainnya menerapkan sistem kerja WFH (work from home) hingga kita dilarang untuk
keluar rumah alias stay at home. Sekarang apa-apa serba online.

Disaat aku tidak memiliki semangat belajar. Disisi lain aku heran dengan gadis yang disebut
oleh mamaku tadi. Salika, katanya. Dia gadis yang baru aku lihat seminggu belakangan ini.
Dia menghuni kamar yang telah lama kosong itu. Aku heran rasanya setiap hari dia selalu
menulis sesuatu, entah itu sore ataupun pagi seperti ini. Apa aku harus mengatakan bahwa dia
seorang pelajar yang rajin?

"Bian, kamu dengar apa yang saya jelaskan tidak?" suara bu Yani memecahkan lamunanku.

"Iya bu," ucapku sembari mengumpulkan fokus.

"Kalau begitu kamu hitung berapa mean dari data kelompok ini!" ucap bu Yani sembari
menunjukkan share screen soal matematika.

Mampus. Itulah kata-kata yang keluar dibenakku pertama kali.

*****

"Sialan lusa ulangan harian fisika cuy,” ucap Chiko dengan raut wajah masam.

"Ya Allah Chik, pake diingetin segala lagi. Besok weekend bro!" jawab Jay dengan santai.

"Auk ni si Chiko,” Sahut Mark

"Gue malah kepikiran sama tugas bu Yani,” lanjutnya sembari menyeruput cappuccino.

Mendengar nama bu Yani. Aku jadi ingat kejadian tadi pagi dimana aku tidak bisa menjawab
soal yang diberikan oleh beliau. Alhasil aku mendapatkan ceramah panjang darinya.

"Eh Bi, lo tadi gila banget orang bu Yani lagi ngomel, lo malah ketiduran,” ungkap Jay.

Sekarang kami sedang berkumpul di cafe yang biasa kami kunjungi setiap weekend.
Sebenarnya hal semacam ini jika diketahui mamaku ia tidak akan mengizinkanku keluar
apalagi di saat yang seperti ini. Tapi aku merasa bosan, berhubung temanku mengajak keluar.
Aku dengan cepat meluncur ke sini tanpa memberitahu mama.

"Mana sampe pelajaran kelar nggak bangun-bangun lagi," lanjutnya.

"Itu simulasi meninggoy namanya." Sahut Chiko.

Mark dan Jay tertawa terbahak-bahak, sementara aku sudah siap memukul kepala Chiko
dengan kunci motorku. Chiko kalau bicara memang tidak pernah difilter. Tapi serius ocehan
bu Yani adalah pengantar tidur yang ampuh.

"Bian doang emang yang kaya gitu,” balas Mark sembari menggelengkan kepalanya.

Jam sudah menunjukkan pukul 21.34. Aku harus pulang cepat agar tidak ketahuan mama.
Aku segera membereskan barang-barangku kemudian tidak lupa memasang masker.

"Cuy gue duluan ya!" ucapku sembari mengepalkan tangan untuk tos ala anak muda.

"Buru-buru amat Bi,” ucap Chiko.

"Biasalah," mereka tertawa mendengar jawabanku.

"Good luck,” balas mereka secara bersamaan.

*****

Aku berjalan dengan pelan agar tidak menimbulkan suara. Saat telah sampai di depan
kamarku, aku merasa sedikit lega. Setidaknya aku tidak ketahuan, namun ternyata aku salah
besar.

Ketika aku menghidupkan lampu kamar tampak seorang wanita paruh baya tengah
menatapku tajam. Aku merasa akan dimakan saat itu juga. Mama dan roll rambutnya
menambah kesan sempurna seperti peran emak-emak garang di dalam sinetron.

"Dari mana kamu?" tanya mama datar.

"Aa, anu ma,” aku bingung ingin menjawab apa.

Mama menghela nafas kemudia bersuara. "Mama harus berapa kali si Bi, bilang sama kamu,
jangan keluar, bahaya!" ucapnya dengan penuh penekanan.

Aku berjalan mendekat ke arah mama yang duduk diatas kasurku.


"Kamu tau diluar sana sudah banyak yang terkena covid, gausah jauh-jauh deh si Salika aja
positif covid seminggu yang lalu. Makanya sekarang dia lagi isolasi mandiri,” ucap mama
penuh penekan. Aku sedikit terkejut mendengar fakta itu.

"Kamu mau kaya Salika? Iya?" Emosi mama tak tertahan lagi. Air matanya tiba-tiba keluar
dengan sendirinya.

"Mama tu khawatir Bian sama kamu, cuma kamu yang mama punya. Mama nggak mau
kehilangan kamu," lanjutnya.

Aku sangat merasa bersalah karena telah membuat mama menangis. Mama melarang ku
karena dia mengkhawatirkan ku, bukan dengan maksud ingin mengekang. Tapi ini ia lakukan
demi kebaikan ku. Sementara aku berleha-leha keluar tanpa rasa khawatir sedikitpun.

Segera aku mendekat ke arah mama dan mengusap air matanya.

"Maapin Bian ma," ucapku sembari menundukkan kepala.

Mama menghentikan tangisnya, ia mengusap pucuk kepala ku.

"Sana bersih-bersih terus tidur. Jangan main game!" Ingat mama.

Aku berjalan ke arah balkon kamar untuk menghirup udara segar. Namun pandanganku
teralihkan oleh lampu kamar sebelah yang masih menyala. Bukan apa-apa, biasanya lampu
ini sudah dimatikan di atas jam 21.00 tapi hari ini berbeda. Aku penasaran.

Aku mendapati Salika yang tengah menulis di meja belajarnya, matanya terlihat sangat fokus.
Mengingat tentangnya aku menjadi kasian. Wajar saja selama ini aku tidak pernah melihat
satu orang pun yang memasuki kamarnya. Pasti ia merasa kesepian, disaat-saat seperti ini
tidak ada orang disampingnya. Bahkan untuk menyemangatinya. Dia sekarang lagi berjuang,
tetapi dari raut wajahnya seolah baik-baik saja. Aku juga kaget saat mama bilang dia positif
covid-19. Aku tidak tahu dari mana dia berasal yang pasti selama seminggu ini dia yang
menghuni kamar itu.

Dengan tidak sengaja mataku dan matanya bertemu tatap. Aku tersenyum dan melambaikan
tangan, Namun ia tak menghiraukanku. Ia kembali menulis.

Sombong amat, umpatku dalam hati.


Demi apapun aku paling kesal saat aku mencoba untuk menyapa tetapi yang ku sapa tidak
menyapa ku balik. Sungguh rasanya igin ku maki dia.

Ia kembali menoleh kepadaku dan menunjukkan sesuatu dikertasnya "Hi! Aku Salika," ia
tersenyum. Aku berbalik dan masuk ke dalam kamar dengan cepat. Sekilas aku melihat
wajahnya berubah menjadi murung. Aku mengambil pena dan kertas lalu menulis sesuatu
dan kembali ke balkon. "Gue bian, wanna be my friend," tulisku di kertas itu. Ia tersenyum
dan menganggukkan kepalanya.

Aku menulis lagi "Maaf kalo ini menyinggung, Lo bisu?" tulisku lagi. Dia membacanya
dengan ekspresi kaget, lalu ia tertawa. Aku pun semakin merasa bingung.

Gue bikin kesalahan kali ya, pikirku.

Ia menulis di lembar kertas baru "Ini udah malam, nggak mungkin kan kita teriak-teriak,"
tulisnya.

Iya juga ya, batinku.

Sebuah pertanyaan terlintas dibenakku "Lo suka nulis ya? Tulisan lo rapi,” aku menunjukkan
tulisan ini padanya.

Dia mulai menulis balasannya kembali "Iya, aku pengen jadi penulis terkenal, kayak
tereliye.” Aku memberinya tepuk tangan tanpa suara.

"Kalo kamu?" tanyanya lewat kertas itu.

"Gatau, hidup gue gini-gini aja" tulisku. Ia tampak memikirkan sesuatu. Aku terus melihat ke
arahnya. Kemudian ia menulis dengan cukup lama.

“Its okay, pelan-pelan aja. Aku yakin nanti kamu bakal nemuin impian kamu,” tulisnya di
kertas itu dan diakhiri dengan emoticon senyum.

“Tapi gue rasa gue nggak bisa apa-apa,” tulisku padanya. Ia mengadahkan kedua tangannya
dan mengusapkan ke wajahnya, bibirnya berkata “Aamiin,” tanpa suara. Aku tertawa
melihatnya tingkahnya.

“Kamu masih punya banyak waktu, Bian,” tulisnya.


Aku merespon dengan menunjuk dirinya. “Kamu juga” ia membaca itu dan tersenyum
singkat kemudian berkata “Aku harap juga begitu.”

“Kata mama lo positif covid ya?” aku menunjukkan tulisan ini padanya. Ku lihat ia
menganggukkan kepala dan mulai menulis di kertasnya.

“Iya, saat hari pertama datang ke sini. Aku ke sini buat nemenin bibi, eh malah jadi nyusahin
bibi,” tulisnya dengan raut wajah bersalah.

“Lo kan lagi sakit tapi gue liat-liat lo belajar mulu,” tulisku. Ia mulai menulis, kali ini sedikit
lebih lama dari sebelumnya.

“Meskipun aku sakit, itu bukan berarti aku harus melupakan mimpi-mimpiku. Aku masih
ingin mengejarnya, aku nggak boleh nyerah sebelum tuhan maksa aku buat nyerah.” Aku jadi
merasa malu padanya. Tuhan memberikanku nikmat sehat, tapi aku tidak memanfaatkannya
dengan baik.

Ia menunjukkan kertas selanjutnya “Bian aku mau kamu tahu satu hal, di luar sana banyak
orang yang nggak punya gadget buat belajar online, tapi beruntungnya kita punya. Jadi
jangan sia-siakan kesempatan yang udah tuhan berikan.” Kali ini aku benar-benar tertampar
dengan kata-katanya. Aku meninjau balik kehidupanku selama ini, dari aku yang malas
belajar dan lebih senang main game sampai pagi, kemudian seringnya menunda-nunda tugas
dan menganggapnya sepeleh. Tetapi saat membaca tulisan Salika aku ingin menjadi Bian
yang lebih baik kedepannya.

“Gue yakin lo bakal jadi penulis terkenal nantinya. Kata-kata lo bikin gue termotivasi untuk
jadi Bian versi terbaik. Thanks ya, Salika,” aku menunjukkan tulisan ini padanya dengan
senyum mengembang. Dia mengangguk kecil dan membalas senyumku.

“FIGHTING BIAN,” tulisnya pada kertas itu dan menggepalkan kedua tangannya seolah
memberi energi kepadaku.

Aku janji Salika, saat aku menemukan apa yang menjadi impianku, kamulah orang pertama
yang akan ku beri tahu.

Hari ini tidak seperti kemarin. Hari ini aku bangun lebih awal, aku tidak sabar ingin menyapa
Salika di pagi yang cerah ini. Tetapi jendela kamarnya masih tertutup rapat.

Mungkin dia masih tidur, pikirku.


Hari semakin siang, tapi jendelanya tetap tertutup dan sang empu nya tak kunjung
menampakkan dirinya. Hatiku terasa gelisah seperti ada yang mengganjal. Pikiran-pikiran
negatif tentangnya.seketika muncul di kepalaku. Dengan cepat aku menyingkirkannya.

Lima hari telah berlalu, tapi aku tak kunjung mendengar kabar Salika. Bahkan mama tidak
pernah menyebut namanya lagi walau hanya sekedar untuk membandingkanku dengannya.
Aku duduk di meja belajar sembari mengerjakan tugasku yang menumpuk. Sejak malam itu
aku telah menemukan semangat untuk terus belajar. Empat hari belakangan ini aku berkutat
dengan berbagai macam buku, melakukan apa yang aku suka. Sekarang aku sangat ingin
bertemu dengan Salika, karena aku telah menemukan impianku. Aku ingin menjadi dokter
seperti ayahku Salika.

"Ada surat ni," mama menyodorkan selembar amplop berwarna pink itu kepadaku.

Aku mengernyitkan dahi seolah bertanya dari siapa. Namun hanya dibalas gelengan kepala
dari mama.

Hi Bian!
Apa kabar?
Aku di sini baik-baik aja. Aku ingin memberitahumu satu hal, kamu ingat kamu pernah
bilang bahwa aku akan jadi penulis terkenal. Aku rasa aku akan menaiki tangga awal
menuju impianku. Hari ini aku mendapatkan email dari penerbit bahwa naskah novelku akan
dibukukan. Aku sangat senang! Makasih ya Bian.
Terima kasih karena mau menyapaku disaat aku kesepian.
Terima kasih karena telah berbagi cerita denganku.
Terima kasih karena kamu mau menjadi temanku.
Tetapi kamu salah Bian, aku tidak akan bisa menjadi penulis terkenal. Aku tidak diberikan
kesempatan untuk mewujudkan itu. Tuhan sepertinya tidak mengizinkanku hidup lebih lama
lagi. Tuhan memaksaku untuk berhenti mengejar mimpi. I’m done.

Bahkan belum sempat aku memberitahumu apa impianku, kamu telah pergi terlebih dahulu.
Selamat jalan gadis kuat.
--END--

Anda mungkin juga menyukai