Anda di halaman 1dari 8

Aku benci ibu.

Ibu menjadi egois, ibu menjadi orang yang pemarah. Ibu tidak mau untuk mendengarkanku lagi. Ibu
mengabaikan perkataanku. Ibu selalu berkata bahwa aku harus mendapatkan nilai yang terbaik di
sekolah. Ibu berkata, ia ingin aku tidak menjadi seperti dirinya.

Sejak aku menduduki bangku SMP, ibu menjadi sibuk. Ia tak banyak meluangkan waktunya untukku lagi.
Tidak seperti dulu.

Aku selalu melihat ia berbicara dengan seseorang, lewat telepon. Sering—Setiap hari. Ia terus menerus
berbicara dengan orang itu, dengan baju kantor yang selalu aku lihat tiap kali ia sedang menelpon,
setelah itu ia akan pergi, meninggalkanku sendiri di rumah. Di rumah yang tak seindah dulu.

Ibu berubah, semenjak pertengkaran hebat dengan Ayah. Ayah selalu mengatakan kata – kata cerai.
Sampai akhirnya, hari itu adalah puncaknya. Aku dapat mendengarnya dari kamarku. Suara teriakan yang
memekakan telinga, suara gelas yang pecah, suara pukulan. Ya, hari itu, ku lihat dari celah pintu kamar,
ibu menampar ayah. Aku menutup mata, tak tau apa yang harus ku lakukan. Yang ku tahu, hari itu adalah
hari terakhirku bertemu dengan ayah. Ayah pergi, dengan membawa tas kerjanya. Meninggalkan sejuta
tanda tanya, meninggalkanku sendiri disini, di tempat yang tak seindah dulu.

Ayah pergi, dan tak pernah kembali.

Tak pernah.

“Hari ini ibu lembur.” ucapan yang sering ku dengar tiap pagi—membuatku bosan. Aku memandangi
ibuku, yang sudah rapih dengan pakaian kantor dengan kacamata yang bertengger di hidungnya. Aku
bingung, mengapa pakaian ibu berubah? Dulu, ibu sangat cantik dengan pakaian rumahan dan rambut
yang di cepol asal – asalan. Apakah ibu tidak suka dengan pakainnya yang dulu? Ah, aku melupakan satu
hal. Ibuku telah berubah.

Kian hari ibu semakin berubah, aku hampir tak mengenalnya. Kupandangi wajahnya yang kian menua,
yang tidak setenang dulu. Ibu tampak sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya. Mengabaikanku yang
terus – terusan memandangi wajahnya itu.

“Lara izin pamit ke sekolah, bu.” ujarku pelan. Ku ulurkan tanganku ke depannya, berniat ingin salim.
Walaupun ibu sudah tidak seperti dulu, tetap aku ingin menjadi anak yang berbakti—setidaknya itu yang
ku pikirkan. Ibuku hanya memberi tangannya, tanpa berniat melihatku. Ku rasakan denyut nyeri di
hatiku. Sebegitukah tak berartinya aku di hadapannya? Apakah ibu sudah benar benar melupakanku?
Aku sama sekali seperti tidak mengenalinya. Mengenali sosok lembut yang pernah hadir dulu.

Jujur saja, aku merindukan sosok itu.

***
Suara riuh para siswa siswi dikelas saat terdengar bel pelajaran berakhir, menandakan waktu istirahat
telah tiba. Aku bangun dari tempat dudukku, berniat untuk pergi ke kantin. Namun, saat baru saja aku
keluar kelas. Anak-anak nakal itu! Mereka berjalan ke arahku. Kakiku sontak mundur beberapa Langkah,
sebisa mungkin menghindari mereka.

Anak-anak nakal itu—Mereka melontarkan kata – kata yang tak ingin kudengar. Membuatku merasa tak
nyaman. Seperti tak puas, mereka bersenang-senang dengan mengucapkan kata-kata itu dihadapanku
berulang kali. Selalu saja mereka mengatai ayahku. Mengatai ayahku dengan kata kata yang ku harap
tidak pernah ku dengar. Entah dosa apa yang ku lakukan terhadap mereka, sehingga mereka tega
berbuat hal sekeji ini.

Air mataku mengalir deras membasahi kedua pipiku. Aku berlari sekuat mungkin, mencari tempat untuk
mencurahkan isi hatiku. Dengan cepat aku memasuki kamar mandi khusus siswi, ku tumpahkan tangisan
yang tak dapat ku bending lagi. Berulang kali aku mempertanyakan apa yang terjadi denganku? Mengapa
semuanya tiba – tiba seperti ini? Mengapa semuanya tidak seindah dulu?

***

Setelah berbagai pertimbangan, aku membranikan tekadku. Perlahan tapi pasti, ku ketuk pintu kamar
ibukku.

Tok tok!

“Masuk!” kudengar suara ibu dari dalam kamar, memperbolehkanku masuk. Entah mengapa degupan di
dadaku bertambah cepat, sebisa mungkin ku netralkan perasaanku.

Kakiku melangkah memasuki kamar. Ku lihat, ibu sedang berkutat dengan laptopnya di atas meja kecil
khusus ia mengerjakan segala pekerjannya. Aku pun mengambil nafas dalam sebelum berkata.

“Ibu, ada yang Lara ingin bicarakan kepada ibu.” ucapku dengam hati-hati.

Jari jari ibu yang sedang mengetik laptop terhenti, ia membalikkan badannya menghadapku. Ia
memandangiku dalam, menungguku untuk melanjuti perkataanku.

“L–lara ingin pindah sekolah, Bu.” ucapku terbata.

“Pindah sekolah? Kamu sedang bicara apa Lara?” Sontak ibu memberikan tatapan tajam ke arah ku.
Sepertinya, ia tak suka dengan perkataan ku tadi
“Lara serius Bu, Lara diganggu oleh anak – anak nakal di sekolah Lara.” ujarku cepat. Menahan
kegugupan yang kian membesar dari dalam diriku.

“Temanmu itu pasti sedang bercanda denganmu! Jangan di ambil ke hati!” Ibuku mendesah kesal, ia
balik menatapi layar laptop untuk melanjutkan pekerjaannya. Menanggap apa yang ku ucap tadi adalah
angin lalu.

Hatiku terasa sakit. Aku benar – benar tidak mau kembali bertemu dengan anak – anak itu. Mengapa ibu
tidak mau mendengarkan ku sekali saja?

Tetesan air yang tak bisa ku tahan lagi lolos begitu saja dari pelupuk mataku. “Bu, pokoknya Lara besok
tidak mau sekolah!” tanpa sadar aku meninggikan intonasiku.

“Lara! Ibu sedang banyak pekerjaan. Lebih baik kamu hentikan omong kosongmu itu dan balik ke
kamar!” Ibu sedikit berteriak kesal. Ia masih enggan melihatku, tatapannya hanya fokus ke depan layar
laptopnya. Seakan akan aku ini hanyalah bualan di matanya.

“Bu, anak - anak itu mengatai ayah!” ucapku sedikit berteriak.

“Ini semua salah Ibu! Ibu yang membuat ayah pergi!” lanjutku frustasi. Aku sudah muak.

PLAK.

Ibu mentap tangannya yang begitu saja menamparku, tangannya bergetar. Bayangan saat ibu menampar
ayah muncul di benakku datang tiba – tiba.

“Lara, ibu minta maaf—”

Aku menepis tangan ibu yang ingin memelukku.

Menjauh beberapa langkah.

“Aku benci ibu.”

Kata – kata itu lolos begitu saja dari bibirku. Semuanya sudah terlambat, ibu tidak akan bisa memperbaiki
semuanya. Ibu tidak akan bisa memperbaiki hatiku yang retak karenanya. Aku pergi malam itu, tepat di
penghujung bulan Desember. Sehari sebelum hari ibu.

***
Kakiku terus melangkah tanpa arah. Aku hanya ingin pergi sejauh mungkin, menangkan kepalaku yang
terasa ingin pecah.

Aku berhenti saat melihat sebuah minimarket di pinggir jalan, berniat ingin membeli beberapa makanan
untuk menenangkan pikiranku. Tiba – tiba, aku mendengar suara anak kecil menangis. Dapat ku lihat,
seorang anak kecil sedang menangis didepan area minimarket, menginginkan roti.

“Mamaaa! Oti! Oti!” anak kecil itu mengatakan hal itu berulang kali. Ibunya dengan sabar mengangkat
tubuh anak itu dan memeluknya. Ia tampak kebingungan dan panik. Sepertinya, mereka dari kalangan
yang kurang mampu. Pakaian mereka tampak lusuh dengan sendal yang hampir rusak.

Kasihan sekali anak dan ibu ini. Tanpa pikir panjang akupun mendekati mereka, ingin memberikan
beberapa makanan yang ku beli tadi.

“Bu, ini ada sedikit rezeki dariku, mohon diterima ya Bu.” ucapku. Ku raih tangannya untuk menerima
bungkusan itu. Ia menangis terharu. Aku tersenyum melihatnya.

“Terimakasih banyak ya nak, anak ibu belum makan dari pagi tadi, sekali lagi terimakasih ya nak.”
ucapnya seraya menangis. Aku tersentak mendengarnya, kasihan sekali.

“Sama – sama Bu.”

Ku pandangi anak ini, terlihat tenang sekali saat memakan roti.

“Anak ibu lucu sekali ya, ibu pasti sangat menyanginya.” ujarku yang entah mengapa mengatakan hal itu.

“Tentu nak. Mana ada seorang ibu yang tidak menyangi anaknya? Semua ibu pasti menyayangi anaknya.”
jawabnya.

Deg.

Ingatan ku mengarah—mengenai ibu dirumah. Apakah dia mencari-cari ku sekarang? Apa yang ia
rasakan saat aku bilang aku membencinya?

Tunggu, aku bilang apa?

Aku, membencinya?
Sontak saja aku berlari, meninggalkan ibu dengan anaknya itu. Rasa bersalah tiba tiba hinggap di hatiku.
Aku hanya tersulut emosi tadi. Emosi yang selalu ku tahan tahan.

“Semua ibu pasti menyayangi anaknya”

Kata – kata itu terus berputar bak kaset rusak.

Kata – kata itu menghantui diriku.

Segera aku memasuki rumah, menuju kamar ibu.

Aku terdiam.

Ibu terbaring tak sadarkan diri di atas lantai dengan sebuah kertas di sebelah tangannya.

Tepat jam dua belas, tanggal 22 Desember. Aku menyadari suatu hal.

Aku sudah terlambat.

***

“Lara mau sarapan apa?”

“Lara, ibu beli baju baru untukmu, dipake ya!”

“Lara hebat sekali bisa dapat 100!”

♪♪Pikirku pun melayang

Dahulu penuh kasih

Teringat semua cerita orang

Tentang riwayatku♪♪

“Lara, mulai sekarang lara hanya punya ibu seorang ya”

♪♪Kata mereka diriku selalu dimanja

Kata mereka diriku selalu ditimang♪♪

“Lara harus bisa jadi anak yang mandiri”


“Lara harus belajar yang rajin, agar bisa sukses, tidak seperti ibu.”

♪♪Nada-nada yang indah

Selalu terurai darinya

Tangisan nakal dari bibirku

Takkan jadi deritanya♪♪

“Lara tahukan? Ibu sayaaang sekali sama Lara!”

♪♪Tangan halus dan suci

Telah mengangkat diri ini

Jiwa raga dan seluruh hidup

Rela dia berikan♪♪

****

Ku tatap sebuah surat ditanganku. Surat yang tergeletak di lantai disamping tangan ibu pada hari itu.

Untuk Malara Valen, anak ibu yang paling ibu sayang.

Ibu minta maaf, kalau ibu sudah sering mengabaikanmu dan membentakmu nak.
Semenjak ayahmu pergi, ibu harus berperan menjadi ibu sekaligus ayah nak. Pekerjaan
ibu yang sangat melelahkan membuat ibu melampiaskan semuanya kepadamu.
Sungguh, Ibu sangat menyesal.

Ayah sudah tidak bisa bersama kita lagi. Sekali lagi ibu minta maaf, Lara mau ‘kan
maafin ibu?

Satu hal yang perlu Lara tahu. Ibu sangat menyangi Lara. Ibu selalu berkunjung ke
kamar mu diam-diam, memperhatikanmu yang sudah sudah tertidur. Ibu selalu berpikir,
putri ibu sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Lara, anak kesayangan ibu.

Lara harus selalu bahagia, ya.


Tertanda, ibu.
***

Ku tatap wajah pucat ibu yang tak sadarkan diri terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

Selama ini, ibu mempunyai penyakit jantung.


Aku tidak pernah mengetahuinya, anak macam apa aku?

Aku menintikkan air mata. Air mata yang tak dapat merubah apapun.

Kenapa malam itu aku mengatakan “Aku benci ibu”?

Kenapa harus itu kalimat terakhir yang didengar ibunya?

***

Tepat pada hari ibu, aku tahu. Aku sudah benar – benar terlambat.

***

Kamu yang baca tulisan ini, belum terlambat kayak aku kan?

------------------------

Anda mungkin juga menyukai