Anda di halaman 1dari 6

Hai.

Perkenalkan namaku Robert William. Biasa dipanggil Rob. Lahir di desa kecil
terpencil dengan suasana nyaman dan damai. Aku tumbuh seperti anak biasanya, bermain
sepak bola, lalu menerbangkan layang-layang, mandi di sungai dan sebagainya. Aku bisa
berhitung sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Lalu perjalanan pendidikanku berlanjut
di Sekolah Dasar. Saat masuk SMP, rumah kami pindah ke sebuah perkampungan di kota
yang cukup terkenal.
Dari kecil aku suka berimajinasi. Kata ibuku sewaktu kecil aku selalu berkata
bahwa aku pernah terbang ke Mars. Entah darimana mana nama planet itu terucap dari
mulutku. Aku merasa bahwa semua sudah ada di pikiranku. Aku merasa pikiranku penuh
dengan sihir, mantra, dan planet-planet yang ada di seluruh alam ini.
Aku juga suka membaca. Bacaan ringan tentang Si Kancil sampai bacaan berat
Andrea Hirata rasanya sudah menjadi makananku sehari-hari.
Yang menjadi kesukaanku adalah cerita manusia serigala. Apa-apa yang
menceritakan tentang makhluk khayalan itu selalu berhasil membuatku takjub. Sampai-
sampai aku pernah berpikir untuk menjadi manusia serigala. Rasanya akan sangat mudah jika
semua orang takut melihatku sebagai manusia serigala sedang berjalan mengelilingi kampung.
Semenjak aku menetap di rumah baru, sosok majinatifku semakin menjadi – jadi.
Sampai aku memiliki teman imajinasiku sendiri. Mereka entah datang dari mana, mengisi
hari – hariku. Sampai ada salah satu di antara mereka yang kujadikan teman curhat.
Seanna namanya, dia adalah gadis ramah dan baik hati, sampai – sampai dia diam
saja apabila seseorang mengejeknya. Hal baik lain darinya adalah apabila kalian berbicara
atau cerita dengannya rasanya akan sangat nyaman. Dia gadis yang pandai memilah kata
sehingga lawan bicaranya merasa nyaman saat melakukan percakapan.
Pernah waktu itu saat ayah dan ibuku bertengkar, tiba–tiba dia datang entah sejak
kapan. Dengan senyum kecilnya yang manis, disertai gerakan tangan yang
mengisyaratkanku untuk mengikutinya.
“Ikuti aku.” Ajaknya sembari membalikkan badan dan mulai melangkahkan kaki
untuk meninggalkanku.
“Kamu mau mengajakku kemana?” ucapku dengan mengikutinya secara spontan.
Aku sendiri juga bingung mengapa aku meladeni khayalanku sendiri. Seolah-olah dia teman
nyata, di kehidupanku ini.
Setelah beberapa saat aku mengikuti langkahnya, akhirnya dia berhenti di suatu
taman bermain kecil tak terlalu jauh dari rumahku. Dia mulai duduk di ayunan dengan
anggunnya. Menyingkap roknya yang panjang terlebih dahulu lalu mulai duduk diikuti
gerakan tangan yang menyisir sebelah kanan rambut yang menutupi telinganya.
“Duduklah disini.” pinta gadis itu sembari menunjuk ke arah ayunan lain di
sebelahnya.
Aku pun mengikuti perintahnya dengan segera duduk. Aku tak lupa memegang tali
ayunan yang terbuat dari rantai itu. Kakiku menopang tubuhku agar ayunan ini tidak patah
karena harus menopang beban yang tidak seharusnya.
“Mengapa kau membawaku ke sini?” tanyaku langsung karena rasa penasaranku
yang telahku pendam sejak beberapa saat tadi.
“Kalau kamu tidak bisa ikut berperan dalam masalah kedua orangtuamu, kamu
cukup menceritakannya saja kok.” Seanna berkata dengan menoleh menghadapku.
Jika kalian melihat pupil mataku, yang terjadi saat ini adalah membesar. Membesar
karena aku tidak meyangka kata-kata yang keluar dari seorang gadis imajinasiku sendiri
adalah hal yang selama ini kupendam. Merupakan suatu keinginan terbesar seorang anak
yang orang tuanya sering marah–marah untuk membuat mereka berdua rukun.
“Kalaupun kuceritakan pada mu , apa hasil yang akan ku dapat?” aku
mengatakannya dengan sedikit rasa kesal. Bukan karena Seanna hanyalah imajinasiku, tapi
karena kedua orang tuaku yang bertengkar taadi. Sedikit menyesal juga karena sudah
mengatakan hal yang mungkin membuat Seanna kesal, tetapi tadi itu terucap begitu saja.
“Terkadang kita hanya perlu menceritakan masalah kita kepada orang lain agar rasa
kesal yang ada di dalam hati kita tidak menumpuk dan membuat kita berakhir depresi.”
Ucapannya selalu dengan nada lembut disertai dengan senyuman. Hal seperti inilah yang
membuatku nyaman berbicara dengan Seanna.
Akhirnya, seperti biasa aku larut dalam hangatnya percakapan dalam rangka
mengunkapkan rasa kesalku. Detik demi detik kulalui dengan saling melempar argumen
antara aku dan Seanna. Hingga matahari mulai pergi menuju sisi lain bumi ini, membuat
taman bermain yang mulanya sedikit sepi menjadi ramai dengan lampu–lampu. Udara pun
semakin dingin. Sesi mengungkapan keluh kesahku kepada Seanna berakhir seperti saat aku
mengungkapan kesalku di waktu yang lalu.
Ketika hari mulai gelap, aku teringat akan marahnya ibu jika aku pulang terlalu
larut. Mungkin memang marahnya tidak dengan fisik, tapi yakinlah apabila kalian dimarahi
dengan begitu lamanya rasa muak akan terbesit di hati kalian.
Aku bergegas lari meninggalkan taman bermain itu menuju rumahku, berharap ibu
masih menolerir jam pulangku. Dan juga tentu saja berharap bahwa ayah dan ibuku sudah
tidak bertengakar. Bagaimana dengan Seanna? Tenanglah, walau setelah begitu banyak
kebaikan yang dia berikan padaku, meninggalkannya begitu saja bukanlah hal yang dapat
dibilang jahat. Bagaimanapun dia, dia tetaplah gadis yang tercipta dari hasil imajinasiku
sendiri. Setelah aku mulai fokus dengan hal lain, dia seperti hilang begitu saja dan akan
kembali di saat-saat tertentu. Apakah dia akan marah saat muncul nanti? Biasannya tidak. Hal
ini seperti pikiran kalian berusaha mengatasi depresi kalian dengan menampilkan sosok
imajinasi sebagai sarana pengalihan depresi.
Setelah sampai di depan rumah dengan pelan–pelan aku mulai membuka pintu
sembari berdoa semoga ayah dan ibu yang sudah selesai bertengkar. Saat pintu telah
kudorong sepenuhnya, aku mendapati ibu sedang menonton tv sedangkan ayah tidak ada.
“Rob, darimana saja kamu? Ibu tadi mencarimu di kamar tapi tidak ada.” tanya
wanita yang berumur 40 tahun dan berambut hitam bergelombang sepundak itu dengan
menoleh kearahku sembari mengangkat tangan yang sedang memegang remot bersiap untuk
mengganti saluran televisi.
”Aku hanya mencari angin di luar. Hanya sampai di taman bermain belakang rumah
kita saja kok.” jawabku dengan penuh hati–hati dan mulai melangkah ke arah kamarku.
Disela–sela langkah kakiku menuju kamar terbesit sebuah pertanyaan yang sering kutanyakan
saat salah satu anggota keluargaku tidak di rumah. Seharusnya aku tidak mengatakan hal ini.
”Ayah di mana?” tanyaku polos seperti tidak terjadi apa apa sebelumnya.
“Halah, mungkin dia sedang keluar dengan wanita lain.” Ibuku memiliki sifat
mudah cemburu atau mengaitkan hal – hal yang belum pasti kebenarannya. Yah, mungkin itu
pertanda baik kalau dia masih menyangi ayah.
Bodohnya aku menanyakan hal tadi. Dengan segera aku melempar tubuhku ke
kasur, rasa lelah akibat lari dari taman bermain sampai rumah tadi masih terasa rupanya.
Kebiasaan anak mudaku keluar disaat saat seprti ini. Aku mengambil handphone yang berada
di atas meja dekat kasurku dan mulai melihat apakah ada pesan yang masuk atau hanya
melihat facebook. Di sela–sela bermain handphone aku mendangar seperti ada suara
seseorang yang mengajakku berbicara. Setelah ku alihkan handphone dari pandangan, aku
menyadari bahwa aku tidak sendirian lagi di kamar ini. Tenang, dia masih sosok imajinasiku.
Romeo namanya, dia adalah pria dengan tinggi sekitar 165 cm memakai setelan
atasan jaket dan jeans sebagai bawahannya. Tubuhnya sangat bagus untuk ukuran anak
dengan usia 17 tahun sepertiku ini. Tapi ada hal lain yang disayangkan, tampangnya tidak
seganteng namanya. Sifatnya? Berbanding terbalik 180 derajat dengan Seanna. Jika Seanna
lemah lembut dan sangat penyabar saat menrima segala omelanku. Romeo selalu merespon
curhatku dengan tindakan semaunya. Terkadang dia ikut marah, mungkin karena tertular
emosiku. Dia bahkan tidak segan–segan melakukan hal – hal konyol dan mungkin ini sisi
baik darinya. Hal konyol tersebut terkadang membuatku tertawa.
Pernah suatu saat aku curhat dengan Romeo mengenai teman kelasku yang sangat
tidak kusukai perbuatannya. Bagaimana aku tidak kesal dengan perbuatan teman kelasku ini,
dia dengan sengaja mematikan laptop temanku yang lain dengan alasan yang sangat tidak
masuk akal. Dia hanya melakukan hanya karena dia bingung harus melakukan apa. Memang
saat itu sedang jam kosong sehingga guru hanya memberikan tugas dan setelah itu langsung
ditinggal pergi ke suatu pertemuan antarguru. Esok hari setelah aku curhat pada Romeo, aku
melihatnya di kelas sedang berusaha memukul wajah temanku yang kuceritakan kemarin
padanya. Yah, kalian tahu sendiri hasilnya, tidak terjadi apa apa.
Wahai imajinasiku, berhentilah membuatku menjerit dalam hati karena perbuatan
sia-siamu. Gumamku dalam hati saat melihat kejadian itu. Mungkin hal ini terjadi karena
keinginan terdalamku untuk memberikan pelajaran bagi orang aneh itu, tetapi tertahan karena
aku menyadari akan minimnya pengetahuanku dalam hal bela diri.
Lalu setelah itu, saat perjalanan pulang aku kembali diperlihatkan sosok Romeo.
Kali ini dia sedang mengelus-elus kucing yang ada dipinggir jalan tepat disebrang jalan yang
kulalui. Tiba – tiba ada mikrolet yang hendak parkir di tempat Romeo dan kucing tadi.
“AWAS ROM, ADA MIK....” kata–kataku terputus saat ingat bahwa itu hanya
imajinasiku saja. Sial, aku langsung mengganti langkah konstanku dengan lari secepat–
cepatnya karena telah dirundung malu yang teramat sangat. Aneh aku merasa kekuatan
imajinasiku bertambah kuat akhir – akhir ini. Ini gawat. Setelah itu, aku segera
menggelengkan kepalaku saat menyadari aku mengingat kejadian itu lagi.
Kembali ke dunia nyataku sekarang. Romeo tetap disana sedang duduk dan
memandangku lali berkata,
“Adudududu. Rob, bagaimana kabar mu? Lama tak mengunjungimu. Apakah kau
tetap cengeng seperti dulu? Apakah kau tetap manja kepada ibumu? Hahahaha dasar payah!”
cetus Romeo padaku.
“Kabarku baik, lalu kenapa?” cetusku.
“Tanganku gatal, ingin berbuat sesuatu, hihihi”
“Jangan hari ini Romeo. Aku lelah.” Ucapku dengan nada malas. Lalu segera aku
mematikan handphoneku dan berbaring di kasurku. Tanpa membutuhkan waktu yang lama,
aku sudah tertidur pulas. Pertanda bahwa aku sangat capai hari ini. Ternyata bersedih dan
memendam amarah sangat menguras energi.
Keesokan harinya saat aku berada di kamarku dengan Seanna pertengkaran kedua
orang tuaku kembali meletus. Sampai-sampai aku bisa mendengar percekcokan mereka
dengan jelas di dalam kamarku. Saat itu aku sangat penasaran dengan apa yang terjadi.
Karena beberapa kali mereka menyebut namaku. Hal yang membuatku sangat ingin keluar
dan melihat apa yang terjadi dengan mereka, tetapi si Seanna terus menahanku untuk tidak
keluar dari kamarku.
Lalu pada saat itu entah dari mana datangnya, tiba tiba aku melihat si Romeo
muncul. Tiba-tiba saja ia menarikku keluar dari kamar seolah dia ingin mengajakku bermain.
Tetapi kejanggalan mulai terjadi. Saat aku melihat wajah si Seanna raut wajahnya berubah,
dari senyum manis menjadi sedih seolah-olah akan ada hal yang sangat mengerikan terjadi.
Benar saja. Tiba-tiba saat aku berdiri disamping orang tuaku yang sedang bertengkar, aku
melihat si Romeo sedang merasuki ibuku yang ingin membunuh ayahku. Padahal
kenyataannya hal itu tidak terjadi akan tetapi seolah-olah di bayanganku itu benar-benar
terjadi. Spontan aku berusaha melindungi ayahku dari si Romeo. Aku lari ke dapur dan
langsung ingin menikam tubuh ibuku dengan pisau.
Lalu tiba-tiba semuanya terasa berat. Dunia seakan berputar. Aku memejamkan
mataku. Suara teriakan melengking memasuki pendengaranku. Ada apa ini?
“Rob!”, Seanna berteriak tepat di hadapanku. Dia berteriak sangat kencang. Apa
yang dia lakukan pikirku. Tanpa sengaja aku menatap wajahnya, wajah teman imajinasiku
yang sudah kukenal sejak lama. Lalu menyadari hal aneh. Selama ini aku tidak pernah
melihat wajahnya secara seksama. Setelah kuamati wajahnya seperti orang yang kukenal dari
dulu. Entah siapa.
Aneh.
Setelah itu sayup-sayup aku mendengar suara ibuku. Suaranya terdegar sangat jauh.
Dimana ibuku? Padahal aku tadi melihatnya sedang bertengkar dengan ayahku tepat beberapa
langkah di hadapanku. Kenapa terasa sangat jauh?
“Rob nak.. Rob. Anakku” suara berbisik ibuku terdengar.
“Rob..”, juga suara ayahku yang tiba-tiba masuk ke telinga pendengaranku. Ayah?
Kenapa?
Perlahan aku membuka mataku. Ayah dan ibuku ada dihadapanku.
“Ayah Ibu” suara serak keluar dari mulutku.
“Ya anakku. Maafkan ibumu.” Kata ibuku sambil terisak lalu memelukku. Begitu
juga ayahkku. Apa yang terjadi?
.
.
.
Keesokan harinya, aku duduk di tepi kasurku sambil memandang telapak tanganku.
“Apakah ini jalan hidupku.” Tanyaku pada diriku sendiri. Lalu aku meraih segelas
air putih yang ada di atas meja dekat kasurku. Merasakan air mineral itu melewati
kerongkonganku membuatku merasa sangat bersyukur setelah melalui hal yang berat kemarin
malam.
Kemarin malam setelah orangtuaku memelukku, aku tersadar dengan apa yang telah
aku lakukan. Tanganku terasa nyeri. Bagaimana tidak nyeri setelah sebuah pisau mengiris
beberapa mili dari telapak tangaku.
Pikiranku yang ingin menyelamatkan ayahku dari ibuku ternyata salah. Romeo
jahat. Dia mengelabuiku atau aku mengelabui diriku sendiri. Orantuaku sebenarnya tidak
berniat untuk saling membunuh.
Imajinasiku yang berbohong. Saat aku merasa aku sedang menyelamatkan mereka
ternyata aku malah sedang melukai diriku. Aku mengiris telapak tanganku sendiri. Lalu ibuku
berlari ke hadapanku dan berusaha untuk merebut pisau itu dariku. Tapi waktu itu aku tidak
mendengar kata apapun keluar dari mulut ibuku. Aku hanya melihat mata ibuku yang terlihat
seperti mata milik Seanna.
Sampai aku mendengar suara tertawa Romeo lalu aku pingsan.
Sebelum aku pingsan aku berkata pada orangtuaku, “Ayah ibu. Jangan bertengkar
lagi. Anakmu ini merasa sangat bersalah jika kalian bertengkar tiada henti. Rasanya sangat
sesak.”
.
.
.
Setelah kejadian itu. Orangtuaku mulai memahamiku. Aku yang punya teman
imajinasi ini merasa terjaga. Seanna dan Romeo mulai jarang mengunjungiku. Atau lebih
tepatnya, aku mulai menyingkirkan mereka dari imajinasiku. Bukan bermaksud jahat, tapi
aku takut jika aku melukai oranglain dan diriku sendiri.
Jujur saja, melihat orangtua bertengkar itu memang sangat menyiksa. Bagi diriku
seseorang yang sangat membuatuhkan tangan-tangan yang penuh kasih sayang.
Ayahku juga berkata setelah kejadian itu, “Nak, ini bukan salahmu jika ayah dan
ibu bertengkar. Kami saja yang tidak bisa menahan emosi. Maaf nak. Kami belum bisa
menjadi orangtua yang baik buatmu. Lalu jika kamu melihat kami sedang bertengkar,
langsung masuklah ke kamarmu. Lalu, pasang earphone di telingamu. Sekali lagi maaf nak,
ini semua bukan salahmu.
Unsur Instrinsik

1. Tema
 Depresi
2. Tokoh dan penokohan
 Robert william : imajinatif , mudah depresi
 Seanna : sabar
 Romeo : ceroboh
 Ayah dan Ibu : pemarah
3. Alur
 Alur maju
4. Latar (setting)
 Latar waktu : sore hari, sing ( saat pulang sekolah)
 Latar tempat : kamar , perjalanan pulang
 Latar suasana : sedih, bingung
5. Sudut Pandang
 Sudut pandang orang pertama
6. Gaya bahasa
 Gaya bahasa sehari – hari, tidak ada perumpamaan atau majas
7. Amanat
 Sebagai orang tua seharusnya bisa menjaga emosi di depan anaknya.

Unsur Ekstrinsik

Latar belakang pengarang : dikelilingi remaja yang depresi dengan keluarganya


Nilai – nilai : nilai sosial

Anda mungkin juga menyukai