Anda di halaman 1dari 8

Evan dan Pertemuan yang Tak Terduga

Namaku Andrea Athenia dan kini aku genap berusia 17 tahun. Aku kerap kali disapa

sebagai Andrea, Drea, atau bahkan Ea yang biasa dipanggil oleh orang-orang terdekatku. Aku

lahir di Jakarta pada tanggal 28 Februari 2005. Aku terlahir sebagai anak ke 2 dari 3

bersaudara. Akan tetapi, kini telah berbeda. Orang tuaku bercerai sejak aku duduk di bangku

Sekolah Dasar. Saat ini, aku memiliki 1 saudara tiri dari ibu kandungku. Sejak saat itu, aku

pun menjadi anak ke 2 dari 4 bersaudara. Walaupun begitu, aku memiliki hubungan yang

baik dengan kedua orang tuaku biarpun mereka sudah tidak lagi bersama. Selain itu, aku juga

memiliki hubungan yang baik dengan adik tiriku. Aku tidak menciptakan pembatas pada

anggota keluarga baruku. Aku menganggapnya sudah bak adik kandungku sendiri. Adik

tiriku adalah pribadi yang sangat hangat dan tulus. Sejak bayi, aku sudah mencapnya sebagai

‘Bunga Matahari’ karena ia begitu menggemaskan dan ramah. Akan tetapi, bagaimanapun

juga aku hanya seorang anak di bawah umur yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar

pada saat itu. Ada kalanya sifat iri ini muncul saat melihat keharmonisan keluarga baru ibu

dan adik tiriku, sehingga sering kali aku merasa marah dan kesal kepada ibu dan semua

orang. Sampai pada suatu masanya aku berada di titik terendah yang selalu menyalahkan ibu

dan ayah kandungku karena mereka harus bercerai dengan masalah sepele. Pada saat itu

emosiku belum cukup stabil, aku suka melempar barang di rumah saat merasa marah untuk

mencari perhatian orang tuaku maupun kakakku. Berbicara tentang kakak, ia adalah seorang

gadis cantik yang bersifat dewasa padahal di saat itu usianya masih remaja. Ia berusaha

menyikapi permasalahan di rumah sebagai angin lalu. Ya benar, dia seorang yang cuek

namun di satu sisi ia juga sosok yang hangat yang dapat memenangkan dan mengayomi

semua adiknya. Aku dapat memaklumi sifatnya yang seperti itu karena bagaimanapun dia

telah ditakdirkan lahir sebagai anak pertama, yang harus menjadi titik tumpuan terkuat untuk

adik-adiknya. Dahulu, aku sering kali marah padanya karena sikapnya yang begitu dingin,

hingga suatu saat aku mencoba mencari-cari masalah untuk mendapatkan perhatiannya. Aku

bermain petak umpet di malam hari bersama teman-teman rumahku hingga larut malam. Saat

itu jam menunjukkan pukul 9 malam namun aku tak kunjung kembali ke rumah. Seharusnya

aku tidak boleh bermain di malam hari, namun ya seperti biasa aku nekat bermain dan orang

rumah meng-iya-kan karena mereka takut aku akan marah. Malam itu kakakku mencariku di
sekitar rumah hingga ke rumah para tetangga namun ia tak kunjung menemuiku. Aku

mengendap-endap memasuki kamarku tanpa sepengetahuan kakakku yang masih mencariku

saat itu. Kemudian aku pun tertidur lalu terbangun di pagi hari seperti tidak ada apapun yang

terjadi. Pagi itu kakakku marah padaku, ia tak mau menyapaku selama 3 hari. Aku sangat

sedih namun merasa puas karena setidaknya aku merasa bahwa masih ada yang

memperdulikan keberadaanku dikala sudah tidak ada rumah untuk mengadu. Esok harinya

aku seakan merasa dejavu. Aku merasa sebuah peristiwa yang malam itu aku rasakan kembali

terjadi lagi. Beginilah ceritaku bermula saat aku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar

mendapati kenyataan pahit bahwa orang tuaku bercerai. Keluarga yang ku kira selama ini

sebagai rumah dengan keharmonisannya yang membuat keluarga lain iri, ternyata cukup

memberikan luka yang dalam. Bahkan hingga saat ini aku masih menginginkan keluarga

yang utuh dan kembalinya rasa harmonis itu. Walaupun begitu, di balik kisah pahit saat

mendapati berita perceraian kedua orang tuaku, aku memiliki cerita manis yang bahkan untuk

disebut sebagai ‘manis’ pun rasanya kurang tepat. Lebih kepada perasaan campur aduk antara

sedih, menyesal, senang dan rasa ingin tahu.

Saat itu adalah hari Minggu yang sangat cerah. Satu-satunya hari yang aku sukai

karena hari itu merupakan hari libur sekolah. Sebagai anak kecil yang gemar bermain dan

mengumpulkan banyak mainan, aku sering kali keluar rumah untuk membeli sesuatu. Siang

itu aku ijin kepada kakakku untuk pergi ke supermarket terdekat membeli beberapa cemilan

dan minuman. Oh ya, aku memiliki makanan dan minuman favoritku sendiri yakni ayam

goreng dan es kelapa muda. Aku melewati gang kecil yang biasa dilewati masyarakat sekitar

untuk menuju ke supermarket terdekat. Tak lupa aku bersenandung mengenai lagu favoritku

dikala itu walaupun suaraku tidak terdengar cukup merdu. Aku mengenakan celana panjang

biasa berwarna hitam dan baju polos dengan lengan pendek berwarna biru. Tak lupa

rambutku yang selalu diikat seperti poni kuda, ini menjadi ciri khasku yang sudah diterapkan

oleh ibu sejak aku duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Setelah mendapatkan beberapa

cemilan dan minuman kelapa muda yang aku beli, aku kembali menyusuri gang yang lengang

tersebut. Begitu hendak keluar dari gang dan berbelok ke kiri, tiba-tiba saja seorang anak

lelaki -yang mungkin terlihat lebih tua setahun atau 2 tahun dariku- hampir saja menabrakku

dengan sepeda yang dikayuhnya. Sontak aku sangat terkejut dengan kedatangan anak lelaki

itu dengan sangat tiba-tiba, sehingga aku pun menjatuhkan seluruh camilan dan minumanku.
Aku melihat ke arah anak lelaki itu dan menemuinya terjatuh beberapa meter di depanku.

Dengan sifatku yang mudah marah tersebut, dapat dilihat bahwa wajahku sudah memerah

seakan bersiap mengeluarkan seluruh cacian kepadanya. Anak lelaki itu menggosokgosokkan badan
dan bajunya yang kotor akibat terjatuh dan hendak mengayuh sepedanya

kembali. Begitu melihat gerak-geriknya yang terlihat sangat buru-buru, akupun menarik

kerah bajunya dan menyuruhnya untuk diam di tempat. Ia pun kaget dan terjatuh lagi, ia

menatapku dengan tatapan yang seakan bertanya ‘kenapa?’ dan akupun menjawab dengan

memintanya untuk menggantikan seluruh camilan beserta minumanku yang jatuh. Dengan

wajah yang was-was ia berkata bahwa dirinya tak bisa mengganti seluruh camilan dan

minumanku sekarang karena ia harus segera pergi. Aku melihat wajahnya yang memang

tampaknya tak berbohong, aku bahkan mendengar deruan napasnya yang menandakan bahwa

ia mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi atau diatas rata-rata. Walaupun begitu, aku

tetap menolak. Kemudian ia tertunduk lesu dan mengatakan bahwa adik perempuannya yang

berumur 4 tahun telah hilang. Akupun terkejut, aku menanyakan kembali hal itu untuk

memastikan kebenarannya. Ia menangguk dan meyakinkanku hingga akupun percaya atas

alasannya tersebut. Saat itu, aku teringat akan adik tiriku yang juga masih berumur 4 tahun.

Aku membayangkan bagaimana jika aku suatu saat hal ini menimpa diriku? Pikiran kalut

menyeruak begitu saja ke dalam otakku. Lantas saat itu juga aku meminta pada anak lelaki itu

untuk mengajakku mencari adiknya bersama-sama. Tanpa pikir panjang, ia menyetujui

permintaanku.

Aku duduk di kursi belakang sepeda kayuh tersebut. Memegang erat pinggang anak

lelaki itu yang mengayuh sepedanya dengan cepat. Aku hendak ingin bertanya mengenai

bagaimana bisa ia kehilangan adiknya di siang bolong seperti ini? Namun aku mengurungkan

niatku untuk bertanya karena ternyata aku memiliki rasa sedikit tak tega untuk bertanya

padanya. Lebih-lebih ia mengayuh sepedanya dengan sangat berkonsentrasi –mungkin

supaya tidak bertabrakan lagi- sehingga aku takut menganggunya. Siang itu, kami menyusuri

dan mengelilingi kota berpanas-panasan. Sesekali ia berhenti sejenak untuk mengecek

handphonenya. Aku mengajaknya untuk mencari makan sebentar atau hanya sekedar minum

untuk istirahat namun ia menolak. Suasana perkotaan pada siang itu cukup ramai karena saat

itu adalah waktu istirahat para pekerja. Aku dibuat heran oleh anak lelaki itu karena ia sama

sekali tidak istirahat dan terus mengayuh. Selang beberapa lama, aku pun mulai merasa
sedikit lesu dan ia menyadari itu karena beberapa kali aku menyederkan kepalaku di

punggungnya. Setelahnya, ia pun mengajakku beristirahat di warung kecil sambil membeli es

dan camilan. Ia berkata bahwa inilah hutang yang ia bayar saat tadi ia menabrakku dan

menjatuhkan semua camilan dan es kelapa mudaku. Walau sudah melepas sedikit dahaga, aku

merasa masih ada yang kurang. Ternyata aku sedikit sedih karena aku tidak bisa menikmati es

kelapa mudaku. Ia pun bertanya padaku akan raut wajahku yang terlihat sedikit sedih.

Akupun menjawab jujur bahwa aku sangat menginginkan es kelapa muda. Lebih lagi di siang

bolong begini ditemani es kelapa muda sangat menggambarkan suasana surga duniawi

bagiku. Es kelapa muda menjadi favoritku sejak aku kecil walau aku tidak begitu ingat

diumur berapa aku mulai menyukainya dan menjadikannya sebagai minuman favoritku

hingga saat ini. Lagi-lagi ibuku yang berperan mengenalkan es kelapa muda ini padaku

karena beliau juga sama-sama menyukainya. Begitu aku mengatakan bahwa aku sangat ingin

es kelapa muda pada anak lelaki itu, ia tiba-tiba saja menghilang. Dia berjalan menuju

warung kecil lain yang tak jauh dari warung yang kini kami tempati. Tak butuh hitungan

berpuluh menit, ia kembali dengan membawa es kelapa muda untukku. Lipatan senyum di

bibirku terlihat jelas, aku sangat senang dan mengucapkan terima kasih padanya namun ia

hanya merespon dengan mengangguk. Ia bukanlah tipikal anak yang banyak bicara seperti

anak kecil pada umumnya dan lagi-lagi aku teringat akan kakakku yang memiliki sifat yang

sama dengannya. Apa menduga-duga apa mungkin ia juga anak pertama di keluarganya

seperti kakakku? Tanpa basa-basi aku bertanya padanya tentang hal ini. Dia menjawab

pertanyaanku bahwa benar ia merupakan anak pertama di keluarganya. Kemudian ia kembali

menambahkan bahwa ia sebenarnya merupakan anak tunggal. Aku pun memasang raut wajah

yang bingung dan kemudian kembali bertanya. Ia menjelaskan bahwa orang tuanya bercerai

saat ia masih berumur 7 tahun dan ayahnya menikah lagi dengan perempuan lain yang kini

menjadi ibu tirinya. Mereka di karuniai seorang anak perempuan yang kini menjadi adik

tirinya. Lagi-lagi aku terkejut bukan main, mengapa bisa aku dan dia memiliki cerita yang

mirip? Aku bahkan belum mengetahui namanya, astaga. Aku pun berkenalan dengannya,

sebatas menanyakan nama satu sama lain saja. Aku memperkenalkan diriku sebagai Drea dan

ia memperkenalkan namanya sebagai Evan. Aku tak banyak bertanya mengenai identitas

lainnya karena aku sangat tidak sabar ingin mengetahui mengapa bisa adik perempuannya itu

hilang. Saat hendak bertanya mengenai kejadian hilangnya sang adik, Evan sudah bergegas
berjalan menuju ke sepeda kayuhnya. Dengan cepat aku menghabiskan es kelapa mudaku dan

membawa sedikit camilan yang tersisa kemudian menyimpannya di kedua saku celanaku.

Kami melanjutkan perjalan mengelilingi kota sekitar untuk mencari adik perempuan

Evan yang bernama Jeni. Oh ya, setelah aku berkenalan dengan Evan walau sekedar tahu

namanya saja, ia juga memberi tahu bahwa adiknya bernama Jeni. Jeni memiliki rambuh

panjang lurus dan hitam namun tipis, kulit berwarna kuning langsat dengan perawakan yang

sedikit berisi. Sambil mengayuh spedanya, Evan memberitahuku mengenai baju terakhir yang

Jeni pakai hari ini yakni adiknya memakai celana pendek selutut dan baju tanpa lengan

berwarna kuning. Selain itu, Evan juga memberi tahuku bahwa rambut adiknya tersebut

dikuncir sama persis denganku yakni kuncir poni kuda. Refleks pun aku tertawa kecil,

mengapa bisa banyak kesamaan yang terjadi antara aku dan Evan?

Hari semakin sore, namun kami tak kunjung menemukan Jeni. Begitupun dengan

Evan yang kerap kali membuka dan menutup handphonenya hanya untuk mengecek apakah

ada kabar terbaru dari kedua orang tuanya tentang keberadaan Jeni. Suasana sore kali ini

sangat berbeda dengan biasanya, matahari tidak seredup biasanya namun temperatur udara

terasa sangat ramah, tak panas dan sangat sejuk. Sejak kedua orang tuaku bercerai, sudah

lama sekali aku tidak mengelilingi kota seperti ini. Aku rindu melihat dan menikmati

keramaian pusat kota dan menyicipi satu persatu makanannya disana. Riuhnya hamparan

manusia pada saat itu terasa begitu hangan dan ramai karena di jaman itu sangat berbeda

dengan sekarang. Sekarang mungkin sudah banyak orang yang tidak lagi pergi ke alun-alun

kota hanya untuk menikmati keramaian dan hiruk pikuk yang ada, banyak dari mereka lebih

memilih untuk bersantai di rumah dengan handphonenya yang kini perkembangan handphone

sudah sangat jauh lebih baik dari jaman dulu. Tanpa sadar, air liurku hampir saja terjatuh saat

melihat jejeran pedagang kaki lima dengan berbagai jajan yang dijualnya. Ingin sekali

rasanya membeli jajanan dan menghabiskan waktu sore hingga maghrib hari disana.

Kemudian, Evan menyadarkanku untuk turun dari sepeda karena kami kini berada di taman

bermain anak kecil. Di taman bermain, aku tak melihat satupun anak kecil yang sedang

bermain. Taman bermain ini sama sekali tidak menggambarkan suatu tempat yang layak

untuk dijadikan tempat bermain oleh anak-anak. Hal ini dikarenakan banyaknya ayunan yang

rusak dan jungka-jungkit yang tidak beroperasi dengan baik serta permainan lainnya yang

terlihat sama mirisnya dengan ayunan dan jungkat-jungkit. Bagaimana bisa hal seperti ini
tidak ditangani oleh pemerintah setempat? Padahalkan ini merupakan tempat bermain anakanak di
pusat kota. Aku mengedarkan seluruh pandanganku ke setiap pojok tempat bermain

ini lalu menemukan masih ada dua ayunan yang tersisa dan dapat kami duduki. Aku

mengajak Evan untuk duduk di ayunan tersebut dan kini jam telah menunjukkan pukul 3

sore. Tidak ada yang memulai pembicaraan disana, Evan sibuk mengecek handphonenya

yang bahkan sedari tadi tidak ada telepon atau sms masuk dari kedua orang tuanya sedangkan

aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku ingin mengajak Evan mengobrol lebih namun aku

tak enak hati kalau-kalau pikirannya masih kalut dan khawatir akan keberadaan adiknya yang

hilang. Dengan sabar aku berdiam tanpa sepatah kata sambil mengayunkan sedikit ayunan

aku duduki. Aku mendongakkan kepala mencari arah matahari yang sudah bersiap hendak

menuju pergi ke arah barat. Kemudian aku memejamkan mata menikmati suasana sore yang

sangat sejuk ini. Dengan hembusan napas yang panjang, aku menyelipkan sedikit doa agar

Jeni –adik Evan- segera ditemukan. Beberapa menit setelahnya Evan akhirnya melepas

keheningan dan bertanya sesuatu padaku. Ia menanyakan apakah es kelapa muda merupakan

minuman favoritku, dan ya akupun menjawabnya. Aku juga memberi tahunya bahwa semua

camilan yang terjatuh di gang tadi siang adalah favoritku semua. Mendengar itu Evan pun

meminta maaf padaku. Aku tertawa kecil dan menepuk pelan pundak evan seraya berkata

‘tidak apa-apa’. Evan pun kembali tertunduk lesu dan memainkan sendal yang dipakainya itu

untuk digosokkan ke tanah. Sejujurnya aku sangat ingin bertanya mengenai kronologi

hilangnya Jeni, namun aku selalu mengurungkan niatku. Lagi, aku bersenandung tentang

sebuah lagu yang aku sukai untuk memecahkan keheningan. Tak lama setelah itu, Evan

mengatakan sesuatu yang lumayan membuatku terkejut. Ia mulai menceritakan kronologi

bagaimana Jeni bisa hilang.

Pagi itu, seperti biasa ayah Evan pergi ke kantor untuk bekerja. Jadi, di rumah hanya

ada dia bersama ibu tiri dan adiknya yang bernama Jeni itu. Saat itu, ibunya menitipkan Jeni

pada Evan karena ia hendak pergi ke acara tetangga di komplek sebelah. Evan sama sekali

tak menyetujui permintaan ibunya, ia bahkan tak menjawab sepatah katapun untuk menjawab

permintaan ibunya tersebut. Sang ibu sudah terbiasa dengan sikap Evan yang seperti itu

karena sejak sang ibunya datang memperkenalkan diri sebagai calon istri dari ayahnya, Evan

memang sudah tak ada minat sama sekali untuk bahkan mengetahui nama sang ibu.

Walaupun begitu, pernikahan sang ibu dan ayahnya tetap digelar walau tanpa persetujuan
Evan. Dengan sabar sang ibu selalu memberi perhatian lebih kepada Evan seakan seperti ibu

kandungnya sendiri. Namun, Evan tetap seperti itu bahkan hingga Jeni lahir di dunia ini dan

tumbuh menjadi gadis cilik yang cantik dan menggemaskan. Hal ini sama sekali tidak

mengubah sikap dan perilaku Evan terhadap keluarganya itu. Walaupun begitu, Evan tetap

menjaga amanah dari ayah dan ibunya apabila mereka menitipkan Jeni padanya. Ya, ia

menjaganya, ia menjaga Jeni dengan membiarkan gadis cilik itu untuk bermain sesukanya.

Biasanya Evan akan membawakan seluruh mainan milik adiknya tersebut dan membiarkan

Jeni bermain dengan mainannya sendiri. Evan sama sekali tidak tertarik untuk berkomunikasi

dengan Jeni layakya hubungan saudara kakak beradik. Mendengar cerita Evan, aku sedikit

bersyukur karena walau setidaknya kakakku bersifat dingin dan cuek, ia masih

memperdulikan keberadaanku dan sering kali membelikanku sebuah mainan. Begitupun

hubunganku dengan adik tiriku yang terjalin sangat hangat bahkan rasanya tak bisa aku

melewatkan satu hari saja untuk melihat kegemasannya tersebut. Inilah yang dapat kita

pelajari karena seringnya kita kurang mensyukuri atas apa yang telah kita miliki. Kembali ke

cerita Evan, ia pun akhirnya lengah dan tidak lupa tidak menutup pintu depan dan samping

rumah sehingga Jeni lolos. Evan menelpon sang ibu dan ayah untuk memberi tahu mereka

bahwa Evan telah kehilangan Jeni. Dirinya tak begitu yakin sudah berapa lama ia kiranya

Jeni pergi dari rumah. Ia meninggalkan Jeni di ruang tv bersama mainannya sedangkan

dirinya memilih berada di ruang kamarnya. Evan berkata padaku bahwa ia menyadari Jeni

yang sudah tidak ada lagi di ruang tv saat dirinya hendak mengambil minum ke dapur. Begitu

memberi tahu kedua orang tuanya tentang Jeni yang pergi dari rumah, bahkan mereka sama

sekali tidak marah pada Evan. Mereka terlihat tenang begitupun dengan Evan walau

sejujurnya ia mengakui dirinya sama sekali tidak merasa tenang. Sekelebat pikiran buruk

menghantui diri Evan.

Aku melihat kedua mata Evan yang sedikit berkaca-kaca saat menceritakan kronologi

hilangnya adiknya, Jeni. Aku mengatakan padanya walaupun kalau kami baru bertemu

selama hampir 3 jam saja tapi aku yakin bahwa Evan bukan pribadi yang seburuk itu. Aku

mengatakan pada Evan untuk berhenti menyalahkan dirinya sendiri atas hilangnya Jeni. Aku

juga sangat yakin dibalik sifat Evan yang seperti itu, jauh dilubuk hatinya dia sangat perduli

pada adiknya dan tidak ingin adiknya pergi. Kedua orang tua Evan dan aku bisa memaafkan

Evan atas kejadian tak enak yang ia sebabkan hari ini. Tetapi hal yang paling utama adalah
bahwa Evan perlu memaafkan dirinya sendiri. Tidak segalanya yang ada di kehidupan ini

Evan jalani dengan keburukan, pasti ada sesuatu yang baik terjadi karena keberadaannya.

Sejenak Evan terkejut akan beberapa patah kata yang aku sampaikan padanya dia pun

menatapku dan terlihat seperto ingin mengatakan sesuatu padaku. Tetapi sebelum ia

mengatakan sesuatu itu tiba-tiba saja handphonenya berdering. Evan mengangkat telepon

tersebut yang ternyata dari sang ibu. Ibunya berkata bahwa Jeni telah berada di rumahnya.

Seseorang yang tak dikenal namun sangat baik membawa Jeni pulang ke rumah, orang asing

tersebut mengatakan bahwa Jeni hendak mencari ibunya dan kemudian tersasar.

Kini, matahari sudah mulai bersembunyi sedikit demi sedikit. Merasa bersalah dan

bertanggung jawab, Evan mengantarkanku kembali ke rumah. Aku mengatakan bahwa aku

bisa pulang sendiri dengan angkot tetapi Evan tak memperbolehkanku. Di sepanjang jalan

menuju rumahku, antara aku dan Evan tak banyak bicara. Hanya beberapa panduan jalan

yang aku katakan mengenai arah menuju rumahku. Sesampainya di gang dimana aku dan

Evan hampir saja bertabrakan, aku menyuruhnya untuk berbelok ke kiri. Namun sebaliknya,

ia malah berbelok ke kanan dan kemudia berhenti di depan supermarket. Evan mengajakku

masuk dan membeli beberapa camilan yang tadi sempat terjatuh. Setelahnya, aku dan Evan

berpisah di Supermarket karena rumahku tak jauh dari sini. Sebelum berlalu pergi, Evan

mengucapkan banyak terima kasih atas semua bantuanku. Begitupun denganku, aku

berterima kasih kepada Evan atas camilan pengganti yang ia berikan kepadaku.

Setelahnya, aku tidak pernah melihat lagi sosok Evan setelah hari itu hingga saat ini

diusiaku yang ke 17 tahun. Aku sempat mendengar beberapa informasi dari masyarakat

sekitar bahwa ada keluarga baru yang pindah di komplek deket rumahku. Sedikit rasa

penasaran timbul kalau-kalau keluarga tersebut adalah keluarga baru yang menempati rumah

lama Evan. Aku tidak begitu tahu tentang itu karena aku sama sekali tidak tahu dimana rumah

Evan. Hingga saat ini aku masih bertanya-tanya tentang sesuatu yang mungkin saja hendak

Evan katakan saat kami berada di taman bermain saat itu. Terkadang, aku suka berandai

bahwa saat itu Evan akan berkata bahwa ia ingin menjadi temanku.

Anda mungkin juga menyukai