Anda di halaman 1dari 4

Reboisasi Hati

Cerpen Karangan: Sugeng Dwi


Kategori: Cerpen Cinta Romantis,
Cerpen Lingkungan
Sumber: cerpenmu.com

Namaku Kevin, aku lahir dari keluarga yang sangat kaya. Sejak kecil aku
dimanjakan dengan berbagai kemewahan. Bahkan terlalu dimanjakan di rumah,
aku tak pernah ingin tahu dunia luar. Yang ada dipikiranku hanyalah belajar dan
bermain dengan fasilitas yang telah diberikan oleh kedua orang tuaku. Aku sangat
jarang pergi keluar rumah, bahkan nyaris tidak pernah. Memang mulai kecil aku
sangat di jaga dan disayangi oleh orang tuaku. Mungkin karena aku anak tunggal
aku diperlakukan seperti itu.

Tahun ini adalah tahun dimana aku mulai belajar di sekolah baru. Aku baru masuk
salah satu sekolah SMA favorit di Jakarta. Itu memang tidak terlalu mengejutkan
jika di lihat dari nilaiku saat SMP yang bisa di bilang cukup sempurna. Tidak
berbeda jauh dengan keadaanku saat SMP, aku hanya menyendiri membaca buku
di perpustakaan atau asyik bermain game di sudut kelas saat jam istirahat. Sikapku
yang satu itu bukannya tanpa alasan. Tapi karena aku dulu pernah berkelahi
dengan temanku semasa SD. Jadi hingga kini aku lebih memilih untuk sendiri.

Hari-hariku memang sangat membosankan. Hingga suatu hari salah satu anak
mendekatiku.
“Hey!, gak bosen apa setiap hari cuman bermain seperti anak kecil!” seorang gadis
berperawakan indah dan rambut pendek ikal mengagetkanku. Aku sempat
terpesona dengan kecantikannya.
“Hey!, kenapa bengong?” tanyanya seketika membuyarkan lamunanku.
“Siapa kamu?” tanyaku sinis.
“Kamu anak baru kan? Perkenalkan namaku Intan. Kamu?” tanyanya.
“Aku Kevin” jawabku.
“Mau apa kamu kesini?” tanyaku mulai akrab.
“Aku hanya penasaran dengan anak orang kaya, penyendiri dan cerdas seperti
kamu” dengan gaya tomboy.
Pipiku seketika memerah ketika mengetahui bahwa seseorang gadis cantik tertarik
akan kepribadianku. Memang selama ini aku belum pernah dekat dengan cewek.
Apalagi merasakan pacaran. Aku merasa bahwa dia adalah cinta pertamaku.
Semenjak saat itu kami mulai dekat dan semakin dekat.

Seperti biasanya, sejak saat itu ia selalu menggodaku yang bermain game di sudut
kelas dengan gaya tomboy. Aku pun entah kenapa lama kelamaan mulai
kehilangan sifat cuekku. Aku mulai merasa nyaman dengan Intan. Sosoknya begitu
membekas dipikiranku. Badannya yang indah, wajahnya yang cerah serta
ketomboiannya membuat aku semakin tertarik kepadanya.
“Kamu masih memainkan PSP lagi?” tanyanya penasaran.
“Terkadang” jawabku singkat.
“Ternyata kamu masih seperti anak kecil” ejeknya.
“Aku bisa bersikap dewasa!” Aku membantah dengan agak kesal.
“Masa?” tanyanya menggoda.
“Oke, aku tunjukkan bahwa mulai besok dan seterusnya aku bisa berhenti untuk
bermain game!” tantangku.
“Oke, deal” dia setuju dengan penuh keyakinan.
“Lalu apa hadiahnya jika aku berhasil?” tanyaku.
“Akan ku ajak kamu jalan-jalan.” Katanya meyakinkan.
“Oke” kataku dengan senang.

Sebenarnya, berhenti untuk bermain game bukan hal yang sulit untukku. Aku
sendiri juga bosan memainkan game yang tidak jauh berbeda setiap hari. Tapi itu
kulakukan hanya untuk mengisi waktu luangku. Aku membuatnya nampak sulit
agar Intan juga mau berkorban untukku. Dan hari yang telah dijanjikannya pun
datang. Aku tidak bermain game lagi. Bahkan aku tidak membawa PSPku ke
sekolah. Dan akhirnya Intan pun mengakui kemenanganku. Dan sepulang sekolah
ia bilang ingin menemuiku di gerbang sekolah. Dari kejauhan pun wajahnya sudah
sangat mencolok bagiku. Wajahnya memang selalu membuatku tak henti-hentinya
memandanginya meskipun bercucuran keringat karena cuaca yang panas.
“Mau jalan-jalan kemana hari ini?” tanyaku.
“Sudah ikut saja, pasti kamu suka.” Jawabnya membuatku penasaran.

Akhirnya kami pun berangkat menggunakan sepeda motor. Ia yang menyetir dan
aku yang duduk di belakang. Sungguh lucu memang seorang anak laki-laki di
bonceng oleh wanita yang seumurannya. Wataknya yang memang tomboy juga
mendukung itu. Motorpun dipacunya dengan cepat ke arah puncak. Awalnya ku kira
kami akan jalan-jalan ke puncak. Kami akhirnya tiba di puncak. Dengan senang aku
pun turun dari kendaraan. Karena baru kali ini aku merasakan sejuknya alam yang
jauh dari kawasan perkotaan.
“Ini, untukmu!” serunya sambil menyodorkan bibit tanaman. Aku hanya terpaku
tidak mengerti.
“Untuk apa bibit pohon itu?” pikirku.
“Wah, keburu mati nih bibit kalau di tinggal bengong terus” katanya menyindirku.
“Ah, kamu bisa aja” kataku sambil sedikit nyengir. “Lalu untuk apa bibit ini?”
lanjutku.
“Ya untuk di tanam lah, memang buat apa lagi?” katanya dengan agak keheranan.
“Jadi kita kesini untuk menanam ini? Kupikir kita ke sini untuk bersenang-senang”
kataku dengan agak kecewa.
“Hey, hey.. Kamu sudah janji akan jadi orang dewasa” Ia mengingatkanku.
Aku hanya mengangguk dengan muka murung.
“Jadi orang dewasa itu harus memiliki kepedulian kepada lingkungan, Rasakan
udara disekelilingmu. Sejuk bukan? Itu karena pohon ini. Ayo kita tanam pohon ini
agar udara disini tetap sejuk.” Lanjutnya sambil berjalan menuju tanah kosong.
Akupun mengikutinya dengan muka murungku. Ia mulai menanamkan benihnya.
“Ayo, tanam bibitmu.. tunggu apa lagi?” tanyanya.

Dengan rasa jijik aku mulai menggali tanah dengan tanganku. Lalu dengan sekejap
mata, tiba-tiba ia memegang tanganku. “Masak cowok takut kotor?” melihatku
disertai senyumnya yang mengembang. Seketika aku berasa di surga. Melihat
senyumnya yang manis, bagaikan melihat bintang yang jatuh tepat di hadapanku.
Senyum itu pula yang membuatku berani melawan rasa jijikku.
“Aku gak jijik kok, asalkan kamu disampingku” kataku menggoda
“Tukang gombal!… tukang gombal!…” jawabnya dengan penuh tawa.

Hari pun beranjak sore. Matahari mulai tenggelam. Kami masih tetap
bergandengan tangan menghadap ke arah matahari. Aku merasa berat jika hari ini
berakhir terlalu cepat. Tapi waktulah yang memaksa kami berdua untuk bergegas
pulang. Perjalanan yang cukup panjang memakan banyak waktu. Belum lagi
kemacetan yang berada di beberapa titik. Alhasil kami sampai di rumah setelah
maghrib.

Ketakutanku akan kemarahan papa dan mama terjadi. Aku dimarahi habis-habisan.
Rupanya mereka sangat menghawatirkanku. Ternyata orang tua yang selama ini ku
anggap tidak terlalu memperhatikanku. Yang selama ini kukira mereka hanya
memberikan uang, uang dan uang ternyata juga peduli kepadaku. Aku merasa
bodoh, tak tahu apa yang mereka pikirkan tentangku. Dan akupun hanya bisa
menyesalinya di dalam kamarku.

Keesokan harinya aku berangkat sekolah di antar oleh supir pribadiku sendiri.
Orang tuaku melarangku untuk pergi sendiri apalagi jika aku pergi dengan Intan.
Begitu pula pulang sekolah. Aku di jemput supirku. Dan akan terus begitu. Namun,
itu bukanlah masalah bagiku, asalkan masih bisa bertemu dengan Intan di sekolah.
Meskipun hanya bisa mengobrol dengannya saat istirahat saja. Namun aku sudah
cukup senang dapat memandangi wajahnya setiap saat. 1 semester pun kulewati
tanpa berarti. Tiba saatnya waktu liburan. Aku berfikir bahwa itu akan menjadi saat
yang membosankan, karena aku tidak dapat lagi memandangi wajahnya dan
mendengarkan suaranya yang membuat aku semakin rindu padanya.

Aku mencoba membayangkan wajahnya untuk mengusir kerinduanku. Di tengah


lamunanku, aku dikejutkan oleh dering handphone ku yang kukira sudah
membusuk tak terpakai. Ternyata ada panggilan dari nomor yang tidak dikenal.
“Hallo” tanyaku dengan agak lesu.
“Hey, vin! Mana semangatmu sebagai seorang pria?” tanya seseorang yang
terdengar tak asing bagiku.
“Memangnya siapa ini?” tanyaku masih lesu.
“Apa kamu benar anak terpintar di kelas? Orang bodoh pun tau kalau aku ini teman
dekatmu!” serunya lewat handphone.
“Ha? Ini Intan? Benar ini Intan?” responku dengan semangat.
“Iya, eh mau gak reboisasi di puncak lagi?” ajaknya.
“Tapi aku kan tidak boleh keluar denganmu” kataku menolak.
“Tapi ini kan liburan, liburan saatnya kita bebas kawan!” dia berusaha
meyakinkanku.
“Hmmm…!!” aku berpikir sejenak. “Baiklah” kataku setuju.

Kami berdua langsung tancap gas menuju ke puncak. Tentunya tanpa


sepengetahuan orang tuaku. Aku pun menikmati saat-saat bersamanya. Begitu
pula sebaliknya. Terpancar dengan jelas pada raut wajahnya bahwa ia sangat
bahagia. Kami berdua juga tak mau melewatkan untuk melihat matahari terbenam
sambil bergandengan tangan seperti dulu. Akupun kembali merasakan rasa yang
sama. Rasa tak mau berpisah dengannya. Tapi waktulah yang berkuasa. Hari
semakin gelap dan kami bergegas pulang.

Sesampainya di rumah papa dan mama dengan wajah yang garang sudah
menungguku di ruang tamu.
“Aku pulang..” seruku lirih.
“Kevin! Sini kamu!!” bentak papa.
“Ada apa pa?” tanyaku polos.
“Papa kan sudah bilang, jangan keluar rumah sembarangan! Apalagi dengan cewek
itu!” kata papa dengan sedikit marah dan wajah garang.
“Tapi pa!” aku coba menjelaskan.
“Tak ada tapi-tapian! Sekarang kemasi barangmu besok kita berangkat ko Jogja!”
papa memotong perkataanku.

Keesokan harinya aku pun terbang ke Yogyakarta bersama keluarga. Disana aku
sekolah di sekolahku yang baru. Namun rupanya tak ada teman yang cocok
denganku. Aku pun kembali menjadi anak pendiam. Hari demi hari kuhabiskan
untuk merawat tanaman di kebun belakang rumah. Tiap kali aku menanam bibit
baru aku teringat ketika dia memegang tanganku dan berharap agar dia ada
disampingku saat ini. Meskipun itu takkan terwujud.

Anda mungkin juga menyukai