Anda di halaman 1dari 3

Nama : I WAYAN AGUS JUNIARTA

No :8

Kelas : IA2

CINTA TERHALANG KASTA

Namaku Agus Juni, pemuda 20 tahun asli Gianyar yang merantau ke kota Pendidikan
yaitu Singaraja. Merantau bukan merupakan kehendakku, namun sebuah perintah dari
pekerjaanku yang menempatkan aku di kota pendidikan. Disana aku bekerja di sebuah bank
swasta. Aku mempunyai paman yang tinggal di Singaraja, namun aku memilih ngekost supaya
terbiasa akan hidup mandiri dan tidak merepotkan pamanku yang sudah berkeluarga.

Hidup dirantauan kadang-kadang membuatku rindu akan keluarga dan sahabat-


sahabatku di kampung halaman. Perkerjaan yang padat membuatku jarang pulang kampung
halaman untuk bertemu dengan mereka. Aku rindu dengan mereka yang setiap hari ku jumpai
mengobrol bersama, bermain dan ketawa bebas bersama. Kini berbeda dengan kehidupanku di
rantauan. Pulang kerja hanya sebuah gitar yang menemaniku di kost untuk melepas
kerinduanku dengan kampung halaman.

Kehidupanku yang sepi dirantauan tidak bertahan lama. Semua itu berubah saat aku
kali pertama olahraga joging di Taman Kota Singaraja. Aku bertemu dengan seorang gadis
manis yang menarik perhatianku. Pandanganku tak pernah lengah untuk selalu meneropong
wajah cantiknya. Niat joggingku terkubur dalam oleh niat berkenalan dengannya. Kulihat pada
saat itu dia juga memperhatikanku, lalu kuberanikan diri mendekati dan mengobrol dengannya.

“Hai, mau jogging ya?” Kutanya basa basi dengan nada halus, meskipun ku melihat dia
berpakaian jogging seperti orang pada umumnya.

“iyaa kenapa?” Jawabnya sambil menatapku.

“Boleh gabung? Ya biar ada temen ngobrol saat jogging kan gak kerasa capekya.”
Kataku sambil tersenyum padanya

Sejenak dia berfikir sambil menatapku, lalu kulihat bibir indahnya bergerak tersenyum
manis dan berkata “Yaa boleh.”
Betapa bahagianya aku saat mendengar jawaban dari mulut manisnya. Akupun mulai
jogging bersamanya mengelilingi taman kota tanpa rasa lelah yang ku rasakan. Pada saat itulah
aku mengetahuinya. Namanya Putri, gadis asli Singaraja yang masih menuntut ilmu di
Undiksa. Dia mengambil jurusan Bhs. Indonesia yang sekarang masih semester 3.
Ketanggapannya setelah mengetahui perbedaan umur diantara kita, diapun memanggil ku
“Kakak”.

Kita banyak berbincang sepanjang mengelilingi taman kota. Sempat juga aku membuat
suasana bercanda sehingga diapun tertawa dan tersenyum. Pertemuan yang singkat itu ternyata
membuat kita akrab akan ngobrol dan bercanda. Namun tak terasa mulainya terbenam matahari
mengusik kebersamaan kita. Kuiringi dia keluar taman mendekati sepeda motornya.

“Ohh iia putri, boleh kakak tau kontak kamu gak?” Tanyaku sambil berjalan di
sebelahnya.

“Boleh kak.”

“Catat disini aja put!” Lanjutku dengan memberikan ponselku kepadanya.

“Nih kak udah.” Katanya sambil mengembalikan ponselku.

“Makasi ya put, hati-hati dijalan.”

“Iaa kak makasi.” Ujarnya sambil mngendarai sepeda motornya dan melaju pulang.

Bahagia jogging bersamanya masih kurasa saat bulan mulai menunjukan sinarnya di
kota Singaraja. Pada malam itulah komunikasiku lancar dan nyambung dengan Putri. Kita
hampir telponan setiap malam. Malam-malamku yang terasa sepi menjadi suatu kebahagiaan
saat mendengar suaranya di telpon. Entah apa yang aku rasakan, dan bagaimana rasa ini begitu
cepat tumbuh dibenaku. Kuakui aku mulai suka dan nyaman dengannya.

Rasa bahagia yang manis itu terasa sedikit pahit saat aku melihat nama akunnya di
Facebook. Tak kusangka dia seorang gadis berdarah biru. Akupun bertanya padanya, dan dia
membenarkan hal itu. Namanya Ida Ayu Putri, kaum Brahmana yang jauh sekali perbedaannya
denganku. Ku merasa ada diposisi Pungguk Yang Merindukan Bulan. Namun itu tidak
membuatku gentar, ku percaya semasih aku berusaha akan ada hasil yang memuaskan.

Seiring berjalannya waktu rasa suka ke Putri mengalahkan pandanganku akan derajat
kita. Kedekatan kita tak hanya lewat ponsel, seringnya bertemu dan keluar bareng membuat
kita semakin cocok. Tibalah saatnya aku ingin mengungkapkan perasaanku pada Putri. Aku
mengajaknya ketemu dan duduk di taman kota, tempat dimana kali pertama kita bertemu.
Disanalah kita duduk berdua ditemani sinar bulan dan percikan bintang yang indah.

“Put, kakak mau ngomong sesuatu sama kamu.”

“Ngomong apa kak? Serius amat.” Tanyanya dengan wajah bercanda.

Kupegang tangannya dan dia mulai menatapku dengan wajah serius.

“Sebenarnya sejak pertama disni ketemu, kakak suka melihat kamu. Kakak beraniin
diri agar bisa kenalan denganmu. Dan setelah kita dekat, kakak nyaman sama kamu dan ngerasa
cocok. Kakak sayang sama kamu Put. Kamu mau gak jadi pacar kakak? kakak tau ke depan
hubungan ini bakal susah dijalanin, tapi ijinin kakak membahagiakan kamu walau hanya
sesaat.” Begitulah kata yang keluar dari mulutku sambil menatapnya dengan muka serius.

“Kak, Putri juga demikian. Putri juga nyaman sama kakak, dan ingin punya pacar
seperti kakak. Namun kak, kita tidak bisa lebih dari kata sahabat, karena orang tua Putri
menuntut Putri supaya dapat yang sederajat sama Putri. Putri gak mau kakak jauhin Putri gara-
gara hal ini. Putri mohon kakak jangan berubah ya? Tetap anggap Putri seperti kemarin-
kemarin.” Jawabnya sedih dengan air mata yang bergelinang dimatanya.

Itulah pertama kali aku melihat Putri menjatuhkan air matanya. Kuusap air mata yang
menempel di pipinya dengan tanganku. Dengan rasa malu karena membuatnya menangis,
kupeluk dia seakan aku meminta maaf padanya.

“Putri, jangan menangis. Kakak ngerti kok. Kakak gak akan berubah Put. Kakak akan
tetap sayang sama kamu dan buat kamu bahagia. Kakak tau cinta yang tulus hanya memberi
tanpa mengharapkan kembali. Kan kakak beri semua rasa kakak ke kamu Put, itu semata-mata
karena kakak ingin melihat kamu bahagia.” Kataku sambil memeluknya dengan erat.

Diapun terdiam setelah mendengar perkataanku. Dilepaskannya pelukanku, lalu dengan


sengaja dia mencium bibirku dan berkata “Terima kasih ya kak, Putri sayang kakak.”

Aku tak tau sedih atau bahagia yang harus aku rasakan. Yang pasti aku mengerti akan
keadaannya saat ini. Memang cinta tak harus memiliki, begitu pula membahagiakan seseorang
tak harus memilikinya terlebih dahulu. Akupun menerima keputusannya dengan lapang dada.
Setelah kejadian itu kitapun kembali dekat seperti biasanya dan jadi sahahat yang saling
mengisi layaknya pacar.

Anda mungkin juga menyukai