Kebiasaanku akhir-akhir ini memang sedikit aneh, duduk sendiri di pojok sudut cafe baru milik pamannya
temanku, sambil menunggu teman-teman lain yang entah kapan datangnya. Empat bulan terakhir ini kuhabiskan dengan
nongkrong & jalan bersama mereka (mereka yang sudah ku anggap seperti abang & kakak ku di rantau ini). Memang
sedari dulu aku lebih banyak berteman dengan yang usianya lebih tua dariku, mungkin karena aku lebih nyaman ketika
di jaga & di lindungi layaknya "adik" oleh mereka.
Semua kebiasaan ini mulai jadi rutinitas semenjak kepercayaan & kesetiaanku di rusak oleh dia yang selama ini
menjadi tempatku mengadu, tempatku bergantung. Iya Dia, laki-laki pertama yg membuat ku jatuh hati & telah ku
habiskan 5 tahunku sia-sia bersamanya. Ah sudah lah, terlalu sakit rasanya jika mengingat hal itu. karena selain
kehilangan pasangan, aku lebih merasakan kehilangan sesosok figur kakak laki-laki, yang selama ini selalu hadir.
Lamunan ku buyar, aku sontak kaget mendengar sapaan dari sesosok yang sebenarnya sudah ku kenali wajahnya
(Dia Chef Kepala di cafe itu). Sambil memeluk gitar yang sedari tadi ku mainkan tanpa tau caranya, aku menjawab malu
karena dia terus menatapku dengan senyuman yang tidak akan pernah bisa kulupakan itu.
"Eh iya, gak bisa tapi pingin bisa" jawabku salah tingkah (masih memeluk gitar)
"Loh mau belajar ? Sini di ajarin kalau mau" tuturnya masih senyum-senyum melihat gemas ke arahku
"Emang boleh ? Gapapa ? Beneran mau ngajarin ?" Tanyaku antusias
"Iyah.. Tapi harus beneran mau belajar, biar di ajarin" jawabnya masih dengan senyum manis itu.
Sejujurnya meski awalnya ku tidak tertarik untuk mengenalnya tapi tatapan & senyuman itu membuat ku
penasaran & salah tingkah tak karuan. Tanpa ku sadari dia menjulurkan tangan nya.
"Sini.. " katanya
Reflek ku ikut menjulurkan tangan juga (dia ingin memperkenalkan diri pikirku). Tanganku sudah tepat di atas
tangan nya, lalu dia terkekeh menahan tawa.
"Gitar nya sini.." katanya sambil tertawa gemas menunjuk ke arah gitar yang sedari tadi ku peluk
“Duhhh tuhaan, malu nyaaaa..” (gumamku dalam hati)
Wajah ku merah padam layaknya kepiting rebus sudah, ku serahkan gitar yang ku peluk sedari tadi. Perasaanku
masih sulit ku gambarkan. Kaget, malu & bingung, semua terasa tiba-tiba tapi dia malah dengan santainya ingin
mengajariku. Padahal dari tadi dia belum memperkenalkan diri nya.
“Sudah pernah belajar gitar sebelumnya ?” Tanyanya
“Pernah dulu, SMA. Tapi gak bisa-bisa jadi gak belajar lagi haha" jawabku antusias
“Gapapa sekarang asal ada kemauan pasti bisa, nanti di dampingi sampai bisa " jawabnya santai
Sambil ku lihat dia menuliskannya kunci dasar gitar di stick note. Perlahan ku mulai menyadarkan diriku dan
berusaha bersikap senormal mungkin. Ku beranikan diri untuk menanyakan dia
"Eh, abang ini mau ngajarin aku, tapi belum kenal aku nya loh" kataku mencoba terlihat santai
"Udah kenal, tapi belum dekat aja" jawabnya tidak kalah santai
"Siapa coba kalau kenal ?" Tantangku.
"Manda kan ? Tiap kali kesini selalu mojok disini sambil nunggu kakak² & abang² lain datang, kadang suka nangis
sendiri sambil nyanyi2 liat hape" jawabnya masih fokus menulis kunci dasar gitar
"Eh ???" Aku kehabisan kata-kata mendengar ucapannya.
“Loh, dia merhatiin aku ? Sejak kapan ? Kok aku gak sadar ? Apa dia tertarik padaku ? Apa dia menyukaiku ?”
(Terus saja berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku tanpa bisa ku utarakan)
"Nah udah selesai, kita mulai dari kunci dasar aja kali ya" tuturnya memecahkan lamunanku.
"Engg.. iya, gimana? Ini apa? gimana metik senar gitar nya? Aku langsung yang mainkan? Atau abang duluan?
Gimana? Contoh nya gimana?” tanyaku bertubi-tubi.
"Santai buk, satu satu hahaha" jawabnya sambil tertawa gemas melihat tingkah polos yang lebih seperti kebodohan
yang terlihat jelas dari wajahku.
Duhhh... Malunya, kenapa sikapku yang biasanya sering di kira cuek, bahkan lebih sering di kira sombong oleh
banyak orang, hari ini malah berbanding terbalik. Siang menjelang sore itu terasa berlalu lebih cepat hingga tiba saatnya
cafe mulai didatangi pengunjung, dia pun pamit ke ruang dapur untuk mulai menyiapkan menu pesanan pengunjung hari
itu. Teman-temanku yang biasanya nongkrong disitu pun mulai berdatangan satu per satu menyapa. Sebelum dia
kembali ke ruang dapur sempat ku tanya namanya.
"Nama abang siapa ?" Tanyaku melihat dia bangkit dari duduknya
"Nanda" Jawabnya singkat
Lagi-lagi dengan senyum itu dia berlalu meninggalkan ku bersama teman-teman yang sudah selayaknya kakak
& abangku ini.
“Nanda ?” (batinku). Dengan mata yang masih basah aku mencoba mengingat siapa temanku yang bernama
Nanda. Kulihat profilnya, "Deg" jantungku tiba-tiba berdetak cepat bingung bagaimana menjelaskannya. Antara takut
jika dia berniat mendekatiku (aku belum siap) atau karena terlalu senang dia menyapaku. Seperti biasa aku menghujani
dia pertanyaan-pertanyaan yang padahal bisa ku tanya satu per satu.
(N) : “Ya ampun lucu banget sih kamu dek, tarik nafas dulu loh..
Tanya satu² pasti di jawab kok wkwk..”
Hihi,, iya sorry. Eh btw nama kita sama loh” : (M)
(N) : “Iya kah ? Memang nama lengkapnya siapa ?”
“Meyrissa Devi Ananda, sama² ada Nanda nya,: (M)
(N) : “Eh iya, aku Nanda Fhireyza. Wah fix jodoh sih ini wkwk”
Percakapan kami malam itu berlalu dengan penuh canda tawa, bahkan aku yang selama 5 tahun terakhir ini
terlalu kaku dengan orang baru tapi tidak berlaku dengan dia. Obrolan kami terlalu complicated, mulai dari perkenalan,
pembahasan gitar sampai menyinggung tentang karakter, sifat dan kebiasaan kami. Bahkan tanpa sengaja aku
menceritakan sedikit tentang penyebab aku selalu terlihat sedih menyendiri di cafe dan juga aku di buat malu ternyata
gitar yang selalu ku pegang juga ku peluk itu adalah milik nya.
Malam itu dia mengutarakan semua perasaannya atas hadirnya aku dalam hidupnya, dia tidak menyangka bahwa
dengan kepolosanku itu, aku juga bisa begitu peduli padanya, tak luput sampai kesehatannya juga selalu ku pantau.
Bahkan setelah dia memberitahukan semua kekurangannya & tentang masa lalunya pun aku masih bersikap yang sama.
Juga dia sampaikan tentang kekhawatirannya akan aku yang terluka di masa lalu, dia takut kalau aku jatuh ke tangan
yang salah lagi. Dia menjelaskan panjang lebar sambil sesekali bercanda.
“Kamu terlalu polos dek, abang merasa kedekatan kita akhir² ini buat abang ikut bertanggung jawab untuk ngejagain
kamu" ungkapnya mencoba menjelaskan
"Iya abang, makasi uda begitu peduli sma manda" jawabku lirih menahan airmata mendengar semua yg di utarakannya.
Ingatanku jauh menerawang berharap ini diucapkan oleh Dia (yang 5 tahun lalu bersamaku). Tapi bukan, ada
orang lain lagi yang jauh lebih peduli & dia lah orang yang baru saja ku kenal seminggu terakhir ini. Sebenarnya aku
paham maksud dari pembicaraan ini, tapi hatiku masih sangat berat untuk di dekati siapapun lagi, aku terlalu takut
kepercayaan ku dirusak lagi, sangat takut jika harus tersakiti lagi. Padahal sebenernya dukungan penuh juga sudah ku
dapatkan dari kakak & abangku yang sadar akan kedekatan kami, tapi pikiranku masih terlalu dipenuhi ketakutan.
Sehingga percakapan kami malam itu, ku tanggapi sebatas aku memahami bahwa dia takut kehilanganku sebagai
seorang yang peduli padanya saja. Mungkin karena responku terlalu positif, malam itu dia menahan diri untuk
memperjelas bahwa dia ingin mengajakku menjalin hubungan, mungkinpun dia bingung takut salah berucap padaku
yang terlalu kaku dalam merespon dari apa yang di utarakannya.
Dia menatap ku lama, diam tak menjawab. Lalu dia menarik nafas sebelum akhirnya dia bersuara.
"Temenan dek ? (dia tersenyum getir) Sepolos-polosnya kamu dek, kamu pasti tau abang itu uda mulai takut kehilangan
perhatian kamu, lebih tepatnya abang memang gak mau kehilangan kamu. Tapi seolah-olah semuanya hanya sebatas
pertemanan bagi adek" jawabannya tersenyum pelan tapi menusuk hati ku.
Mata ku berlinang-linang, ada perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Takut & menyesal campur aduk.
"Abang, kamu kan tau 5 bulan yang lalu manda baru putus dengan cara menyakitkan. Manda takut semuanya akan
terulang lagi. Bohong rasanya kalau manda bilang mau kehilangan kamu. Tapi rasa takut ini terlalu besar" Tangisku
tak terbendung, suaraku parau tak tertahankan lagi
Dia terlihat bingung juga penuh sayang menatapku menunduk menyapu airmata yang sedari tadi terus mengalir.
Ragu-ragu dia meraih tanganku.
"Dek,, jika memang perasaan takut itu masih sulit untuk kamu hindari, ada abang disini yang akan bantu. Tapi kamu
harus coba dulu untuk lepaskan diri kamu. Mau sampai kapan kamu terus mengingat dia, kamu harus keluar dari rasa
takut itu, kamu harus sembuh. Abang akan janjikan kebahagiaan yang gak akan pernah kamu dapat dari laki-laki
manapun. Tapi kamu juga jangan terus²an membatasi kedekatan kita hanya sebatas pertemanan. Kalau kamu terus²an
gini, abang harus menjauh bukan karna abang gak sayang & gak peduli lagi. Tapi abang juga harus tau diri &
menghilangkan perasaan ini" jelasnya lembut memberiku pengertian.
"Tapi September ini manda uda gak disini lagi bang, manda lanjut kuliah lagi ke luar kota. Apa abang bisa berjauhan?"
Tatapku mengiba, menahan takut jika dia akan semakin ingin menjauhiku.
"Kamu lanjut kuliah lagi dek ? Kenapa kamu gak pernah ngasi tau abang ?" Tanyanya baru tahu.
"Iya, mungkin ini salah satu alasan manda untuk membatasi hubungan kita. Manda belum sanggup dengan kenyataan
bahwa harus ninggalin abang kuliah ke luar kota jika kita bersama" tuturku menyeka airmata.
Dia diam, melepaskan genggaman tangannya. Sebenarnya sedari tadi dia di panggil untuk membuat pesanan
pelanggan, tapi sudah ada chef lain yang mem-backup karena pengunjung tidak terlalu ramai malam itu. Kami terdiam
lama, dia terus menatap ku, aku terus menunduk menghindari tatapannya.
"Kalau abang memang serius, manda mau hubungan ini gak hanya sebatas hubungan sementara, manda mau kita
punya tujuan bang. Manda mau hubungan ini yang terakhir, manda takut sakit lagi, bener² takut bang. Dan satu lagi,
apa abang sanggup kita LDRan dulu selama 2 tahun kedepan ?" Tanya ku mencoba memberi solusi, dengan mata
berlinang²
"Abang bingung, rasanya harapan abang seperti di tarik ulur. Baru kemarin abang bahagia mengenal kamu yang
begitu polos namun sangat perhatian, tapi semuanya terasa berat ketika abang harus memilih antara maunya hati atau
logika nya abang sekarang" jawabnya dengan kata-kata yang sebenarnya ambigu untukku.
Lagi, tangisku tak dapat ku bendung lagi. Entah apa yang membuatku terus saja tidak bisa menahan airmata
mendengar ucapannya itu.
"Hey jangan gini " seru nya panik (Sebelah tangannya meraih tanganku, sebelahnya lagi berusaha mengelus kepalaku
yang ku tundukkan di atas meja)
"Iya abang paham. Abang sanggup LDRan, abang bisa, abang juga gak mau kehilangan kamu, abang juga mau jadikan
kamu yg terakhir dek. Jangan nangis lagi, maafin abang. Kamu mau kan dek? Abg serius" sambungnya menenangkanku
(Hening) aku mencoba mencerna ucapannya & perlahan meredakan tangisku. Ku angkat wajahku menatapnya
"Tapi abang beneran yakin ? Manda rumit bang, manda takut kamu gak sanggup, manda takut ditinggal & kehilangan
lagi" kataku mengiba
"Enggak, gak akan pernah terjadi kita akan lewati semua nya sama². Kita jadian ya, o iya tanggal berapa ini ? 30 May
2017 21.54 WIB hari dimana adek jadi milik abang, akan abang perjuangankan & akan abang jaga sampai akhir"
ucapnya tersenyum masih mncoba menenangkan ku
"Hu umm,, iya abg" jawab ku terharu tak bisa berkata-kata, namun juga masih di hantui ketakutanku jika yang
sebelumnya akan terulang lagi. mata ku berkaca-kaca menahan tangis.
" Ya Allah sayang, bukan karir sayang, bukan karir. Adek harus menyelesaikan pendidikan ini demi bisa hidup bersama
kamu setelah menikah nanti, adek gak sanggup lagi LDRan sayang, cukup 4 Tahun adek terus berjuang menahan rindu,
adek gak sanggup lagi. Adek mau di samping kamu dan merawat kamu terus setelah kita menikah nanti" jelasku dengan
tangis sesegukan
"Terserah!! Cukup !! Hari ini kita pisah & jangan pernah muncul lagi di hadapan ku. Aku muak sama perempuan yang
lebih mementingkan karir nya di banding pasangan nya sendiri" Bentak nya lagi, sambil lalu mematikan telpon.
Seketika aku cek semua kontak & sosial mediaku di block. Dia benar-benar marah & meninggalkan ku.
Tangisku sudah sampai batasnya, tak bersuara lagi tapi sakit di dadaku kian menghujam bertubi-tubi. Aku sudah
mencoba berbagai cara menghubunginya untuk terus memohon agar dia tidak meninggalkan dan memutuskan hubungan
kami. Tak bisa ku utarakan bagaimana sakitnya ketika setelah semuanya yang kulakukan hanya untuk kebahagiaannya,
harus di salahkan & dianggap sebagai keegoisanku semata. Umur, waktu, perasaan dan penantianku selama 4 tahun ini
semua terasa sia-sia. Lagi
Aku menahan diri untuk menghubungi keluargaku juga keluarganya, aku tidak ingin mengadu. Harapanku
hanya ingin waktu cepat berlalu tanpa kedua keluarga ketahui. Biarlah mereka tahu nya bahwa pertunangan kami hanya
ditunda & akan dilanjutkan tahun depan langsung ke pernikahan. Aku hanya berpikir untuk segera menyelesaikan
pendidikan ku secepat mungkin & kembali untuk bang Nanda. Meski sejujurnya terlalu sakit & hampa rasanya jika
harus melalui hari-hari ku kedepan sendiri tanpa hadirnya bang Nanda.
“Bagaimana bisa secepat itu? Dengan perempuan yang pernah diceritakannya dulu padaku? Bagaimana dengan aku?
Bagaimana dengan kesetiaan dan penantianku? Bagaimana bisa mereka kembali dekat? Sejak kapan, Apa aku
terlupakan? Bagaimana dengan 4 tahun kebersamaan kami? Bagaimana dengan rencana pernikahan kami? Bagaimana
semudah itu?” Semua pertanyaan itu berkecamuk menusuk-nusuk kepala ku, terlalu banyak pertanyaan atas kenyataan
yang bahkan tak bisa ku mengerti.
Aku hanya bisa menangis semalaman, meredam semua rasa sakit dan kekecewaanku. Sangat ingin rasanya ku
datangi dia menanyakan tentang semua ini, tapi kekecewaanku terlalu besar dan membuatku tak berkutik menerima
kenyataan ini. Malam itu kuhabiskan dengan menangisi dia atas sajadah yang sedari tadi ku tiduri.
Apapun yang telah dilakukannya dengan semua rasa sakit ini, yang kutahu aku masih sangat mencintainya, tidak
akan pernah tergantikan. Tapi ku sudahi hari ini dan untuk selamanya. Aku menyerah, tidak mampu lagi ketika
kesetiaanku di duakan. Aku tidak mengharapkannya kembali lagi, aku memaafkan nya. Berbahagialah
•••
Biodata Penulis