Anda di halaman 1dari 6

“Selamat ulang tahun”

satu kata yang membuat aku tidak fokus seharian ini, iya dia yang menyapa ku lewat salah satu
akun sosial media ku dan sukses membawa ku kembali ke banyak kenangan masa lalu
bersamanya.
Enam tahun yang lalu saat dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, saat itu adalah
waktu dimana aku sangat membutuhkan dia, sebagai seorang kekasih, teman diskusi, dan
penyemangat. Tapi justru dia pergi dan memilih untuk bersama wanita yang sekota dengannya.
Long Distance Relationship menjadi alasannya menduakan ku dan memilih wanita lain.
menyakitkan bukan, kisah ku dengannya, lalu mengapa tiba – tiba kini dia datang lagi.
Aku berperang dengan logika dan hatiku, aku ingin membalas ucapannya, tapi aku takut akan
semakin larut ke dalam masa lalu.
“Ya, terimakasih” dua kata yang aku ketikan untuk membalasnya.
Aku berharap dia tidak berniat untuk kembali membalas pesan ku, tapi ternyata,
“boleh minta no handphone, sepertinya banyak yang harus kita bicarakan”
hingga pagi menjelang aku bahkan tidak dapat tertidur hanya karena balasan pesannya, “ah
betapa bodohnya aku, kenapa harus kembali terpengaruh, padahal selama enam tahun ini, aku
sudah sangat berhasil melupakannya” gumam ku frustasi karena saat jam menunjukan pukul
lima pagi, dan aku tetap tidak bisa tertidur.
“apa aku harus memberikan nomer ku kepadanya, toh aku juga merasa banyak hal yang harus
kita bicarakan sejak enam tahun lalu, tapi bagaimana jika aku terbawa perasaan hanya karena
kembali bertemu dengannya?”
Sejenak aku berfikir, menenagkan fikiran ku, mandi, sholat dan bersiap ke kantor. Di sepanjang
perjalanan aku tetap tidak dapat fokus dengan diriku sendiri, karena memikirkan pesan
terakhirnya. Seandainya saja aku bisa bercerita pada salah satu sahabat ku, sekedar meminta
saran, tapi sayangnya mereka semua sudah terlanjur membenci laki – laki itu.
Sore harinya sepulang kerja aku terduduk santai di tengah taman kota sambil menyaksikan sore
yang sedikit sendu, dan ditemanin satu cup ice Americano, maksudnya untuk sejenak
menenangkan hati dan fikiran ku.
“0856 XXX XXX, itu nomer handphone ku, hubungi kapan saja, selama aku tidak sibuk aku akan
membalasnya” jawab ku.
Selang beberapa menit setelah itu, aku dikagetkan dengan pesan dari nomer yang tidak aku
kenal menanyakan keberadaan ku.
“kamu dimana? Bisa kita ketemu hari ini?”
aku terkejut, tidak menyangka dia akan secepat ini menghubungi ku.
“aku sedang diperjalanan pulang dari kantor, maaf sepertinya tidak bisa, mungkin weekend”
“baik weekend, tentukan tempatnya, kita akan bertemu di tempat yang kau tentukan”
begitulah kira – kira isi percakapan kami, terlihat kaku dan sangat dingin, padahal dulu kami
pernah menjalin hubungan yang seperti punya masa depan selama tujuh tahun lamanya, dulu
enam tahun yang lalu, dan ternyata kini semuanya telah berubah, sangat berubah.
lima hari, waktu yang cukup bahkan ku rasa sangat cukup harusnya untuk menentukan tempat
pertemuan kami, tapi otak ku justru buntu, tidak tau harus bertemu dimana, maklum saja
semenjak pulang dari rantau, dan bekerja di Jakarta, aku tidak terlalu sering hang out di café,
jadi aku juga kurang paham dimana tempat yang kondusif untuk kami bicara.
“sajiva café, di daerah pinangsia, kalau kamu cari pakai maps pasti ketemu, aku tunggu besok
jam 11” isi pesan ku untuknya.
“baik, jam 11 di sajiva café, apa disana kondusif untuk kita mengobrol”
“sangat” singkat padat dan jelas, begitu saja jawaban ku, karena aku tidak ingin memberikan
jawaban yang membuatnya bisa membalas lagi, biar nanti saja saat bertemu kita berbincang
tentang apa yang masih mengganjal dari 6 tahun lalu.
Pukul 9 waktu yang ditunjukan oleh jam tangan yang aku pakai. “wah bersemangat sekali aku”
gumam ku lirih.
Memang begitulah adanya, aku sampai di tempat janjian kami dua jam lebih awal, ntah karena
aku ingin segera menyelesaika masalahku dengannya, atau karena aku rindu padanya. Pada
wajah yang sudah enam tahun tak ku lihat secara langsung, wajah yang dulu selalu menemani
hari – hari ku saat aku diperantauan.
“rintik gerimis mengundang kekasih di mala mini
kita menari dalam rindu yang indah, sepi ku rasa hatiku
saat ini oh sayangku jika kau disini aku tenang”
sepengal lirik lagu yang terputar di café itu menyadarkan aku dari lamunan ku, sejak tadi
bahkan ice Americano yang ku pesan belum sempat ku nikmati, dan waktu di jam tangan ku
sudah menunjukan pukul 14.00. Sepertinya sekali lagi aku hanya masuk ke dalam
perangkapnya, dia memang sangat mengenal diriku, bahkan setelah enam tahun kami tidak
bersama aku masih sangat mencintainya.

“bodoh, kok bisa sih aku tertipu lagi dengan ucapannya, dasar laki – laki brengsek” rasanya
semua kata- kata kasar yang ada dibenak ku ingin ku lontarkan saja dari mulut ku ini, sebagai
ungkapan amarah ku padanya.
marah, ingin menangis, ingin berteriak, ingin membanting setiap barang yang ada di sekitar ku,
beginilah isi otak ku saat ini.
Tapi tidak dengan hati ku, dia masih meyakinkan ku untuk menunggu pria brengsek ini.
aku ambil smartphone ku, dan ku coba mengirim pesan padanya, “sudah dimana?ini sudah
sangat terlambat, kalo gak jadi datang gak masalah, tapi paling tidak tolong beri aku kabar”.
satu menit, dua menit, hingga tidak terasa sudah hampi tiga puluh menit, tapi pesan ku masih
belum dibalas oleh lelaki payah itu. Selang beberapa menit kemudian, ponsel ku bordering dan
nama yang tertera adalah “voldemort” julukan ku untuknya.
“tunggu! Aku hampir sampai” aku mendengar dengan jelas setiap kata yang dia beri
penekanan, entah itu karena dia memang sangat ingin menemui ku, atau dia marah karena aku
terlalu bawel.
Sepuluh menit kemudian dia sampai, dan bodohnya hati ku, semua amarah yang tadi
berkecamuk untuknya seketika itu juga hilang hanya karena melihat wajahnya.
“huh masih sama saja” gumam ku.
Dingin dan canggung, begitulah suasana saat ini, belum ada salah satupun dari kami yang
mencoba membuka suara, Sampai tiba – tiba terdengar suara bass yang begitu aku rindukan
memyapa “sejak kapan kamu jadi penikmat kopi hitam pekat seperti ini?”
Aku hanya membalasnya dengan senyum kecut, basa – basi sekali fikir ku, bahkan sejak
pertama kali kita saling kenal, aku belum merubah minuman kesukaan ku ice Americano dan air
mineral.
“langsung saja! Apa yang ingin kamu bicarakan, sampai meminta untuk bertemu, bukankah
selama ini kita menyelesaikan semua hal tentang kita hanya melalui handphone” pungkas ku
yang geram dengan basa – basinya.
“tidak berubah, pemarah, dan selalu ingin mendominasi”
“bukan ingin mendominasi atau marah, tapi kau sudah sangat membuang – buang waktu ku
dengan tidak tepat waktu, kebiasaan mu yang tidak pernah bisa kau hilangkan”
“baiklah, apa kau tidak ingin mengungkapkan lebih dulu apa isi hati mu?”
“tidak ada, cepatlah!”
lalu tiba – tiba ditengah – tengah perbincangan serius itu, dia membuat lelucon dan kembali ke
cerita masa lalu saat kami masih bersama. Suasana canggung dan dingin yang tadi kami rasakan
mulai perlahan sirna, dan kami bisa berbincang layaknya teman atau seperti sepasang kekasih.
Iya, karena terkadang dia menggenggam tangan ku, lalu membelai sayang kepala ku, membuat
ku sangat terbang pada semua perlakuannya. Aku tidak tahu, apakah aku masih mencintainya
atau tidak, tapi yang pasti aku masih sangat nyaman saat bersamanya. Sampai tiba –tiba dia
kembali membuka pembicaraan yang serius.
“maaf ya, sudah menggantungkan mu selama enam tahun ini, aku mengakhiri hubungan kita
begitu saja melalui pesan singkat, lalu aku menghilang di saat kamu sedang sangat butuh aku”
“maaf loh, tapi selama enam tahun ini gue gak pernah ngerasa digantungin kok, gue udah
nganggep kita bener – bener selesai hari itu!” jawab ku dengan penuh penekanan dan emosi
pastinya. Aku sadar sampai hari ini aku memang belum punya pasangan lagi, tapi rasanya itu
bukan berarti aku masih mengharapkan dia.
“terimkasih ya, sudah kurang lebih tujuh tahun menemani perjalanan hidup ku” lalu sambil
menggenggam tanganku dia melanjutkan perkatannya .
“mari setelah ini kita berpisah baik – baik, kamu wanita hebat, hanya saja tidak untuk ku,
mungkin jika kita terus bersama, kita tidak akan pernah berhenti bertengkar, maaf karena
selama tujuh tahun ini aku tidak pernah berhenti menduakan mu, pasti kamu berfikir kalo aku
tidak menyayangi mu ya? Sejujurnya aku sangat menyayangi mu, tapi hidup bersama wanita
ambisius seperti mu, itu bukan yang aku harapkan, toh kamu juga lihat kan semua wanita ku
tidak ada yang melebihi ku, hanya kamu yang selalu berusaha bersaing dengan ku, dan itu
bukan yang aku harapkan.”
Hati ku luluh lantah rasanya langsung begitu mendengar semua penuturannya, apa ada yang
salah menjadi wanita yang ambisius, wanita yang ingin setaraf dengan prianya, toh aku
berusaha melakukan semua ini, agar dia bangga pada ku, ternyata justru itu menjadi penolakan
terbesar dalam dirinya, memiliki wanita yang ingin sama sukses dengannya.
Pikiranku berkecamuk, tidak ada satu kata pun yang mampu keluar dari bibir ku, yang ku rasa
saat itu hanya bulir air mata yang sudah mulai jatuh membasahi pipiku, tangan dan bibir ku
bergetar hebat, menahan tangis dan amarah.
Selang beberapa saat kemudian, dia mengeluarkan selembar kertas tebal bertuliskan
“undangan pernikahan”.
“aku harap kamu bisa datang ya, dia wanita yang tidak pernah berfikir untuk menjadi lebih
unggul dari ku, bahkan dia rela berhenti berkarir jika sudah menikah dengan ku, semua mimpi
mu itu hebat dan aku selalu bangga pada mu, tapi bukan wanita seperti itu yang aku harapkan
untuk aku nikahi” ucapnya sebelum akhirnya berlalu pergi begitu saja meninggalkan ku yang
masih terpaku dengan air mata yang tidak mau berhenti mengalir.
Setelahnya aku hanya bisa menangis dan terus merenungkan ucapannya “apa yang salah
menjadi wanita yang ambisius dan berorientasi pada kesuksesan dalam berkarir”
Untuk sesaat aku membenci dan memusuhi diriku sendiri atas segala ambisi, aku sempat
merasa bahwa itu menjadi kekecewaan terbesar ku, ya walaupun aku kecewa dengan apa yang
diutarakannya, tapi yang aku tau saat ini aku bisa melangkah dengan lebih bebas dan
menemukan seseorang yang akan berjuang menjadi sukses bersama ku.
“hai kamu yang pernah hidup di masa lalu ku, terimkasih atas semua kenangan dan kesedihan
serta kekecewaan yang pernah kamu titipkan, dan maaf tidak pernah bisa menjadi apa yang
kamu mau, semoga setelahnya kamu bahagia dengan apa yang sudah jadi pilihan mu”.
Biodata Penulis :

Nama : Yunita Sumarni


No. Handphone : 0813 1480 6882
Nama Instagram : ys_ismyname

Anda mungkin juga menyukai