Anda di halaman 1dari 6

Jatuh Bangun

Yosi Evelyn, XII F-5

Malam itu tepatnya suatu hari di bulan Mei tahun 2021 dikala bumi kita masih
diselimuti pandemi. Aku dengan smartphone ditanganku, mendengarkan lagu dengan
earphone dikamar saat hujan turun. Lagu yang ku dengar kala itu masih membekas sampai
sekarang. Alunan musik yang tenang, vokal yang merdu dan lirik yang menyayat hati. “I
know, you know, we know. We weren't meant for each other and it's fine” begitu sebait
lantunan dari lagu itu. Aneh, pikirku, kenapa masih mencoba bersama kalau sudah tahu tidak
ditakdirkan bersama? Orang bilang memang sudah biasa manusia begitu, menghalalkan
segala cara untuk mencapai sesuatu walau tahu akhirnya akan menyakitkan. Aduh, diriku ini
mengapa bertingkah seolah yang paling tahu ya?
Ketika kembali dari lamunan yang berkepanjangan itu, ternyata lagu tadi sudah
berhenti terputar dan berganti dengan lagu lain. Aku mematikan alunan lagu itu dan berpikir
apa yang harus aku lakukan ya untuk membunuh perasaan bosan ini? Aku melanjutkan
mengeksplor setiap sudut dari smartphone ku mencari sesuatu yang tak pasti. Karena tak
menemukan sesuatu itu, aku meletakkan smartphone ku di meja. Keluar kamar dan menuju
balkon untuk meromantisasi suasana ketika hujan turun. Hujannya deras, tiap rintik air itu
menjatuhkan dirinya dari langit dengan mudahnya. Sembari bergelut dengan pikiranku
sendiri tentang harus melakukan apa saat ini, aku menikmati dinginnya cuaca malam itu.
Berandai akan ada seseorang yang memelukmu saat kedinginan, asik juga ya. Bagaimana
mungkin aku yang seorang introvert ini bisa begitu? Angan semu.
Jadi, aku putuskan untuk mengakhiri sesi meromantisasi hujan ini. Mungkin lain kali
akan aku ulang ketika menemukan seseorang yang sesuai untuk sesi ini. Sambil berjalan
kembali ke tempat persembunyianku, aku mulai merencanakan sesuatu yang hebat. Aku
mengambil smartphone ku dan menutupi diri dengan selimut untuk mengantisipasi
kedinginan yang tak berkehabisan ini. Aku buka salah satu aplikasi yang bisa melancarkan
aksiku, Telegram. Disana ku temukan base untuk mencari pasangan berbicara dengan cara
mengirimkan teks yang terlihat seperti promosi diri. Aku mengirimkan milikku ke base itu
dan langsung dilihat oleh 156 akun. Tentu saja, aku tidak berharap semua viewers itu akan
tertarik dan mengirimkan kan pesan kepada ku. Aku hanya berharap semoga ada yang
mengirimkan pesannya padaku. 1 menit berlalu sejak aku mengirimkan pesan itu karena
gugup aku mematikan smartphone ku.
Setelah 3 menit berlalu, sungguh tidak ku sangka ada 5 notifikasi yang masuk dari aplikasi
tadi. Dengan lambat aku membuka notifikasi itu, ada dua orang perempuan dan tiga lainnya
laki-laki yang mengirimkan pesan kepadaku. Memangnya apa yang aku lakukan hingga
mereka memutuskan untuk mengirimkan pesan pada ku? Belum sempat aku membalas
pesan-pesan yang masuk, kini sudah bertambah lagi pengirim pesannya. Hal ini membuatku
bahagia bukan main, rasanya seperti menjadi artis dalam sekejap. Aku memilih pesan mana
yang harus kubalas lebih dulu. Seorang dengan profil yang sangat manis dan lembut atau
profil yang mendominasi?
Akhirnya aku memilih membalas ajakan pertemanan dari kedua perempuan tadi lebih
dahulu. Seorang dari mereka mengirimkan stiker melambaikan tangan bergerak yang sangat
lucu. Selanjutnya, aku memilih seseorang yang berada di urutan teratas roomchat ku. Avatar
yang digunakannya menggambarkan satu kata, keren. Di avatar nya ada seorang remaja laki-
laki yang badannya membelakangi kamera, hanya wajahnya saja yang menoleh sambil ia
merapikan rambutnya dengan tangan. Ditambah lagi foto itu menggunakan filter bnw yang
melengkapi keseluruhan foto itu. Nickname nya bertuliskan Reizo.
“Halo? Mau berteman atau lebih?” tulisnya.
Sombong sekali pikirku, walau memang dia terlihat sangat attractive sih.
Aku balas dengan “Haiii! Temenan dulu aja ya, belum kenalan juga ini.”
“Yaudah, langsung kenalan aja biar cepet. Saya Reizo, tampan dan pemberani.” lanjutnya.
“Wkwk, hai Reizo. Aku Rebecca, panggil aja eca atau eka yaa!”
Salah satu peraturan di base tadi adalah semua orang yang mencoba saling terhubung lewat
base tadi harus menggunakan nama karangan sendiri dan bukan nama asli. Kembali masuk
balasan yang dikirimnya. “Udah kenalan kan nih, sekarang bisa dong lebih dari temen?”
“Ya ngga secepat itu juga dong. Nanti kalo udah lebih deket” balasku.
“Yahh, padahal lebih cepat lebih baik.” tulisnya.
Sudah hampir 2 jam kami saling berbalas pesan hingga waktu menunjukkan pukul 22.47
WIB. Selama beberapa jam tadi kami membicarakan semua hal yang bisa dibahas. Mulai dari
film favorit, lagu favorit, makanan favorit, dan yang lainnya. Kami terus melanjutkan chat itu
seeakan-akan tidak ada yang ingin mengakhiri malam ini dengan cepat diantara kami.
Aku dibangunkan oleh sinar matahari yang masuk melewati celah celah jendela
kamar ku. Cahaya-cahaya itu menusuk tepat di mataku. Saat terbangun, seperti dikejar oleh
waktu aku langsung mengecek smartphone mengingat semalam aku tertidur saat pembicaraan
kami belum selesai. Oh Tuhan, bahkan aku belum berdoa dan cuci muka.
“Kalo Color Rush kemarin sempat rame, menurutmu ratingnya berapa?” Karena aku sudah
tertidur waktu itu, dia melanjutkan.
“Udah tidur ya? Good night eka, sweet dreams” tulisnya.
Euphoria yang kurasakan saat itu sangat sangat mengganggu pikiran ku. Rasanya kok bisa
semudah itu aku langsung melemah. Aku merasa seperti sedang dikirimi sebuah cek uang
bernilai 1 milyar, senang sekaaaliiii rasanya. Setelah menengkan sedikit rasa itu, aku pun
langsung membalas pesannya.
“Pagii, maaf ya semalem ketiduran. Color Rush itu 9/10, keren bangeet.” Balasku mencoba
tenang.
Setelah itu aku melakukan rutinitas ku seperti biasa, sambil menunggu balasannya pastinya.
Setiap aku melakukan sesuatu aku jadi teringat perkataannya dan mulai salah tingkah. Aku
mulai berpikir bahwa aku seorang yang munafik juga ya. Kalau tahu begini kenapa tidak
langsung terima saja ajakan berpacaran darinya. Dentingan smartphone menyadarkan diriku.
“Siang, maaf saya baru sempet buka hp, mau tau sesuatu ga?” tulisnya.
“Apa ituu?” Aku langsung menghentikan aktivitasku hanya agar terfokus pada isi chat-an
kami saat ini.
“Saya tadi hampir ketabrak orang pas dijalan, orangnya ga minta maaf lagi. Aneh, semua
manusia sama aja. Tapi kalo Rebecca sama saya aja.” Jantungku rasanya akan beranjak dari
tempatnya, mudah sekali ia berkata seperti itu. Sekarang harus bagaimana aku?
“Kok didiemin saya nya? Salting ya? Hahaha” tambahnya lagi. Sekarang aku harus
bagaimana lagi?
“Kalo iya emang kenapa? Mau tanggung jawab kaahh?” Walau sebenarnya aku setengah mati
untuk mencoba, tapi akhirnya keluar juga misuh ku.
“Iya nih, makanya kamu jadi pacar saya aja ya?” Memang ini yang aku harapkan, tapi
bodohnya diriku masih tetap menolak ajakan nya itu.
“Net not belum berhasil. Silahkan coba lagi besok.” kata ku mencoba agar tidak membuat
semuanya terlihat menyedihkan.
Sudah dua minggu berlalu sejak confession nya yang kedua itu. Selama dua minggu
penuh kami saling mendalami diri masing masing, saling menyelami persona satu sama lain.
Aku tidak pernah sebahagia ini mengetahui banyak hal tentang orang yang aku minati,
rasanya seperti diberi kepercayaan untuk tahu lebih banyak dibandingkan orang sekitarnya.
“Btw yang ini belum berhasil ya?” Yang dimaksudnya itu tentang ajakan berpacaran. Aku
kaget dia menyela pembicaraan kami dengan hal ini. Tapi aku rasa aku tak perlu lagi
menggantungkan apapun.
“Udah kok” balasku. Cukup lama sih di membalas chat ku ini.
“HAH. Eka kamu bercanda?” lucu HAH nya. Padahal aku sedang serius seriusnya.
“Hah apalagi siii, ini aku udah terima juga.” Saat itu juga ponsel ku berdering, dia
menelponku, Reizo maksudku. Aku gugup dan membiarkan telpon itu mati dengan
sendirinya. “Angkat.”
Lalu ia telpon lagi aku, mencoba tenang, aku akhirnya mengangkat telpon itu. “Halo.”
sapanya singkat. Sapaan itu hampir membuatku melepaskan genggaman teleponku, darahku
berdesir. Saat aku belum membalas sapaan nya dia langsung berbicara lagi “Kita jadinya
gimana ini?” tambahnya. Aku mencoba membalas dengan, “Menurut kamu?” sengaja.
“Barter aja gimana?” Di poin ini sudah pasti aku bingung.
“Maksudnyaa?” balasku.
“Kamu jadi milik saya, saya jadi milik kamu. Adil ga kalo gitu?”. Akupun beroh oh ria dalam
hati. Omongnya gampang sekali tidak tahu bahwa diriku ini sangat tidak tenang ketika
dihadapkan dengan hal seperti ini. Dengan cepat aku langsung mengatakan deal dan menutup
telepon itu.
Setelah hari itu, sepertinya hari hariku sudah berubah 180 derajat. Aku rasanya
langsung bersemangat melakukan apapun, apalagi kalau diri ku sudah berbicara dengannya.
Hari-hari ku yang berat, tugas sekolah yang menumpuk dan juga pikiran yang bercabang-
cabang bisa saja langsung sirna jika aku bersamanya. Walaupun terkadang sulit karena kami
hanya berkomunikasi lewat seluler tapi tetap saja aku memiliki seseorang untuk bercerita
tentang hari ini. Pernah satu kali dia mengatakan ingin mengelilingi kota bersamaku ketika
aku sedang bercerita tentang kegiatanku hari itu. Lalu ku tanya “Gimana caranya?” Aku juga
mau.
“Bayangin aja deh, aku sama kamu begitu.” Ada jeda yang cukup lama hingga “Di kehidupan
lain?” begitu katanya. Kalau saja memang bisa, aku juga berharap.
Kami cukup lama menjalankan hubungan ini. Bahkan sudah sampai ditahap dimana
saling tidak mengabari satu sama lain berhari-hari. Seperti saling tunggu untuk yang
berinisiatif lebih dulu. Hingga saat itu kami lost contact untuk 1 bulan lebih, karena
smartphone ku rusak. Aku bahkan tidak bisa mencarinya, aku tidak mengingat sesuatu
tentang dirinya yang penting. Pada akhirnya dia yang menemukan ku, tapi bukannya meminta
maaf. Aku malah bertingkah seolah-olah dia yang salah dan memutuskan hubungan kami.
Butuh waktu 2 minggu hingga akhirnya diriku menurunkan egoku. Dirinya kembali
mengatakan hal yang sama seperti pertama kali kami memulai, barter.
Diriku tak lagi sama di chapter kali ini. Walau aku memang masih menautkan perasaan
padanya tapi aku sebisa mungkin untuk melepaskan diri darinya perlahan lahan. Di saat dia
mencoba untuk lebih ekstra padaku, aku malah membalasnya dengan hal yang tidak bisa
diterima oleh siapapun. Semua orang pasti bilang aku jahat, ya, aku juga. Kalian pasti tidak
percaya jika kubilang ini sudah di tahun 2022, bulan Mei tanggal 13, hari jadi kami. Dia
mengucapkan selamat hari jadi kepadaku tapi aku menunda selama 3 hari hanya untuk
mengatakan bahwa aku lupa tentang hari itu, bohong.
Bahkan setelah itu dia masih memaklumi diriku. Kalau lelah dan sakit kenapa harus
memaksakan diri. Lepaskan saja aku biar kau tenang. Kami masih terus melanjutkan
hubungan yang sudah tidak jelas kemana arahnya ini. Setiap hari kami hanya memiliki 2
sampai 5 bubble chat saja. Bukan seperti orang yang berhubungan dekat, malah seperti
hubungan berdasarkan uang.
“Kalo kamu cape sama aku bilang aja ya, gapapa kok.” Padahal bisa saja aku mengatakan
bahwa aku lelah dan menyelesaikan semuanya. Tapi lagi lagi aku adalah seorang manusia.
“Aku gapapa kokk, ga capee juga, beneran.” Egois diri ku, bukan dirimu yang penting tapi
dia juga pasti lelah.
September. Dia meminta maaf karena tidak bisa membalas chat ku dengan tepat waktu.
“Aku minta maaf juga ya. Let’s break up” tulisku dengan mudahnya.
Tapi setelah itu pada tanggal 23 bulan itu aku mencoba mengucapkan selamat atas ulang
tahunnya untuk terakhir kali nya, tetapi ternyata aku salah. Kembali lagi aku menorehkan
segaris luka padanya. Setelah itu kami tidak berbicara satu sama lain. Sampai suatu sore dia
kembali mengirim pesan “Rebecca? Ga on ya?”. Aku membalas keesokan harinya.
“Kenapa?” tapi terlambat, pesan itu tak terkirim. Tertinggal di room chat itu sendirian, sang
pemilik akun sudah menghapus jejak akunnya.
Sekarang, September 2023, di bulan tepat dimana aku mengakhiri hubungan kami tapi
sampai sekarang aku masih berharap andai masih ada lagi kesempatan seperti dulu dia
mencari dan menemukanku. Kembali lagi aku mendengarkan “If The World Was Ending”
oleh JP Saxe.
Bahkan jika kau tidak menemukanku, aku selalu berterima kasih untuk dirimu yang sudah
hadir di dunia ku. Terimakasih karena sudah membangunkan ku dari mimpi buruk. Semoga
ada tempat untuk kita berdua di kehidupan lain yang kau sebutkan itu.

Anda mungkin juga menyukai