Anda di halaman 1dari 3

Sejuta Tanya Mengapa Tentang Hidupku

Sheryl Evelyn Laionel X9/34

Tentang aksa rindu,


yang hanya ingin dibalas dengan titik temu,
tapi layaknya bianglala,
yang hadir anantara rinai,
namun aksa untuk dirangkuh.

MALAM yang sirna.


Kala itu terasa seperti tidak nyata adanya. Aku dan seorang laki-laki kebanggaan
ibuku, kita, hilang begitu saja. “Entah apa maksud dunia tentang ujung cerita jika kita
berakhir tidak bersama?” logikaku. Hari terpanjang yang pernah aku rasakan selama ini,
dipatahkannya kepercayaan dan harapanku, begitu saja. Tidak ada satu kata pun yang
mampu menjelaskan betapa emosionalnya atmosphere saat itu.

Aku, seorang anak yang baru saja beranjak remaja saat umurku menginjak 12
tahun. Tentu, tidak mengerti apa itu cinta, apalagi konsep menjalin hubungan dengan
lawan jenis. Momentum berharga dalam hidupku ketika aku mengganti baju
putih-merahku dengan baju putih-biru yang dilengkapi dengan rok bermodel span.
“AKHIRNYA !”, kataku pada waktu itu. Menjalani masa putih biru secara daring tidak
menghalangiku untuk berprestasi, dan cinta monyet tentunya~
Satu bulan ku lalui dengan biasa saja, tibalah dipengumuman Ketua & Wakil Ketua
OSIS Periode 2020/2021. Penuh syukur rasanya aku mendapat kepercayaan untuk
menjabat sebagai Wakil Ketua OSIS. Tiba-tiba, ada seorang laki-laki mengirimkanku
pesan waktu itu. “Selamat ya Sher” katanya, siapakah dia? Tentu aku tidak
menghiraukannya, cukup dengan terima kasih jawabku.

Iya, mungkin sesuai tebakan. Aku dan dia mulai melanjutkan percakapan
melalui Whatsapp. Pasti, jatuh hati, namanya juga anak muda. Tetapi sayangnya dia
adalah tipikal laki-laki yang susah untuk berkomitmen, “buaya” sebutannya. 3 bulan
melakukan percakapan dan tidak menbuahkan hasil yang konkrit. Berakhirlah
komunikasi antara aku dan dia. Tak ada yang ku sesali, sadar bahwa itu adalah fase
cinta monyet pertamaku di SMP. Pikir tak terpikir, aku tetap melanjutkan hari-hariku
bersama orang-orang disekitarku yang sangat mendukung hal-hal kecilnya. Bahagianya
hidupku kala itu, hanya belajar dan bersosialisasi, tidak merasakan “Aku kesepian, tapi
kepalaku berisik”, hal yang terus menerus aku sesali sampai detik ini.
Dua tahun telah berlalu, ku lewati masa pubertas tersebut tanpa sentuhan
percintaan lagi sedikit pun. Senang, bebas, dan bahagia yang selalu aku rasakan setiap
harinya. Apa itu mengeluh? prinsipku kala itu. Dan ya, 2022 adalah awal gelap bagi
hidupku, terang sebenarnya, awalnya begitu. Tepat ditanggal 1 Agustus 2022, pertama
kali kita berkomunikasi setelah 2 tahun, kabar saja tidak tahu. Diawali dengan main
game online waktu itu, bersama-sama dengan teman yang lain. Tidak ada angin tidak
ada hujan, dia mengirimku pesan, yang isinya seperti laki-laki penuh kesombongan dan
gengsi. Geram sekali rasanya dengan dia. Tapi anak remaja ini memang sudah
kehabisan akal untuk tidak jatuh hati dengan laki-laki itu, terdengar bodoh, ah, tapi tak
apa, nikmati masa muda ini.

Berjalannya komunikasi antara aku dan dia dengan sangat baik, bahkan satu
bulan setelah komunikasi pertama kita, kita memutuskan untuk menjalin komunikasi
melalui telepon. Indah rasanya dunia saat itu, perutku rasanya dipenuhi dengan
kupu-kupu. Ketika akan tidur dan bangun tidur selalu disambut dengan kata-kata
manisnya. Siapa yang tidak luluh?. Hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan,
hubungan kita semakin erat, tapi apa? ya, tidak ada status diantaranya. Aku memang
tidak ingin pacaran waktu itu, tetapi hubungan kita sudah tidak bisa digolongkan
sebagai “teman” ataupun “teman dekat”. Lebih dari itu, mengapa? dalam satu bulan,
kita bisa menghabiskan 3 sampai 4 kali untuk nongkrong berdua, entah menonton
bioskop, melukis, minum kopi atau bahkan sekadar berkeliling. Lantas, sebenarnya kita
itu apa? Pertanyaan yang selalu berputar diotakku tiada hentinya, siapapun tidak bisa
menjawab pertanyaan ini, selain dia. Tibalah dibulan Juni, tanggal 14 tepatnya, 4 hari
setelah acara kelulusan SMP. Di malam itu kamu mengirimkan sebuah pesan yang
sangat panjang, isinya tentang aku, kamu, dan atmosphere yang tegang waktu itu. Kamu
menyatakan perasaan kepadaku dan tidak bertanya apakah aku mau menjadi pacar
kamu. Karena kamu sudah tahu jawabannya adalah “MAUUUUUUU”. Yang aku
rasakan itu adalah akhir bahagia dari cerita kita. Lebih dari teman.

Dua bulan terlewati dengan penuh kasih sayang dan kebahagiaan yang tiada
tandingnya dihidupku. Kita saling mengasihi dan melengkapi dengan segala kotor
masing-masing. Siapa sangka, laki-laki yang sudah memiliki label baik dan kebanggaan
ibuku, mengecewakanku sedalam-dalamnya. Rasanya ingin tidak sadarkan diri saat itu,
melihat seluruh bukti pesan dan riwayat sosial media hubungan dia dan mantan
kekasihnya 1 tahun yang lalu. Selama ini, mereka memiliki hubungan sembari menutup
mataku dengan caranya memperlakukanku. Yang mengalir pada saat itu rasanya sudah
seperti bukan air mata, melainkan darah sakit yang tiada bandingnya. Seketika hilang
seluruh kepercayaan, kasih sayang, dan hormatku untuknya. Apa yang bisa
diselamatkan selain diriku sendiri? Siapa yang bisa menyelamatkanku selain diriku
sendiri? Kaku sekujur tubuhku, tidak ada yang bisa ku lakukan selain berpikir di mana
letak kesalahanku. Yang dia lakukan? meminta maaf dan mulutnya mengatakan
sesalnya untukku. Terlambat, luruh sudah seluruhnya dariku untukmu. Malam itu
benar-benar merusak segalanya milikku, aku hanya bertanya “kenapa, kenapa, dan
kenapa”, tidak ada yang bisa ku katakan selain itu. Sedih yang tak kunjung hentinya
membuatkan sudah mati rasa, tidak bisa menangis dan berteriak. Seperti layaknya Dilan
tanpa Milea, begitu juga Aku yang tidak bisa tanpa Dia. Akan ku jalani hari-hari
selanjutnya tanpa sosok pendukung di belakang. Tak apa, pikirku, ternyata tidak
semudah membalikan kedua telapak tangan. Tangisanlah yang terdengar dari balik
kamarku setiap malamnya. Satu bulan yang ku jalani dengan penuh isak dan sesak
penyesalan. Dan, begitulah seterusnya, hanya rasa trauma dan rasa tidak percaya yang
menyertaiku, tidak lebih. Hari ini, kau berdamai dengan dirimu sendiri, kau maafkan
semua salahmu ampuni dirimu, hari ini, ajak lagi dirimu bicara mesra, berjujurlan, pada
dirimu kau bisa percaya. Maafkan semua yang lalu, ampuni hati kecilmu, Sheryl
Evelyn. Kita, abadi, Jeremy Nicholson.

Nayanika itu kini telah


aksa menyisikan
mangata bersama
renjana yang amerta.

Anda mungkin juga menyukai