Anda di halaman 1dari 4

Judul penelitian :

analisis unsur intristik cerpen Perpisahan


penulis : Muhammad Rafly Satria

Perpisahan

Bagaimana?” tanyaku gemetar setelah mempertanyakan kesetujuannya.

Dia menundukkan kepala. Itu adalah reaksi pertama yang biasa dilakukannya setiap kali ada
teman-teman lelakiku yang menyatakan cinta padanya. Aku tahu seperti apa dia, juga
peraturan keluarganya. Tapi … tidak ada salahnya, bukan, jika aku berpacaran dengannya.

“Bukannya kamu sudah tahu?” ia balik bertanya padaku.

Aku mengangguk. Jelas sekali aku sudah tahu. Bukan hanya tahu tentang peraturan yang
melarang gadis berkerudung itu berpacaran, tapi juga tahu kalau pertanyaannya lebih
mengarah pada, aku tidak mencintaimu, begitulah kira-kira.

“Tidak apa-apa, kita bisa menjalaninya dulu. lagi pula kita tidak melakukan hal yang
aneh-aneh—maksudku bergandengan atau lebih dari itu.”

“Kalau begitu kenapa tidak bersahabat saja seperti biasa?”

Deg!

Mungkin jika aku memikirkan itu secara sekilas, aku akan setuju. Tidak ada yang salah
dengan berteman, kami sudah cukup akrab sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, pun
begitu tetap dekat setelah melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Kami bersahabat
sejak enam tahun lalu.

Aku menyadari kalau aku mulai terbiasa dengan semua itu. Menjadi sangat dekat
dengannya meski hanya sebatas sahabat bukanlah perkara yang sulit. Tapi tidak lagi sejak
setahun lalu, saat aku tahu dia menyukai seseorang yang baru dikenalnya setelah hari
ketiga MOS, pun sebaliknya, lelaki itu juga menyukainya. Pertanyaan demi pertanyaan mulai
bergentayangan, memaksa otakku untuk terus berpikir kenapa dia bisa begitu cepat jatuh
cinta pada seseorang yang baru dikenalnya. Sedangkan aku, kami sudah saling mengenal
hampir sebelas tahun lamanya, dia juga mengatakan aku lelaki yang baik. Tapi, kenapa?

“Kita sudah menjalani itu sangat lama, dan aku sudah sering mengatakan isi hatiku. Jadi …
aku pikir aku ingin sesuatu yang lain,” ucapku yang mengalir begitu saja tanpa bisa
kucegah.
Dia mengangguk. Berkata akan memikirkannya dahulu selama beberapa hari. Aku
menyetujuinya, menunggu dengan sabar. Melihatnya setiap hari di kelas. Tersenyum
padanya jika kami berpapasan. Pun begitu kami tetap bisu.

“Baiklah,” jawabnya singkat.

“Ma—makudnya?”

“Baiklah,” ulangnya.

“Jadi …?”

Dia mengangguk, lantas langsung keluar kelas dan pergi ke kantin. Meninggalkanku yang
tersenyum mengembang dan tangan terkepal kuat karena menahan tawa. Berlompat
satu-dua kali, kemudian duduk dengaan tingkah yang serba salah.

Setiap hari, setelah kejadian itu, berjalan dengan indah bagiku. Aku lebih sering tersenyum,
mengecek ponsel dan menghubunginya. Bertanya tentang apa yang dia rasakan sekarang.
Apakah ia sudah mencintaiku cukup banyak hari ini. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang
mungkin tidak pernah diajukan oleh seorang kekasih pada umumnya.

Aku sudah tahu, bahkan sangat tahu, kalau meskipun dia menerima hubungan ini, tapi
cintanya tidak demikian tumbuh begitu saja, merambat sangat cepat seperti yang aku
inginkan. Dia adalah gadis yang cukup tegas jika menyangkut perasaan. Maka sama seperti
setiap harinya, ia juga menjawab kalau cintanya belum ada separuh, bahkan seperempat
pun juga belum. Dan itulah yang membuatnya nampak berbeda dari semua gadis yang
pernah kukenal. Dia selalu tampil apa adanya.

***

Aku bangkit dan beranjak menuruni loteng, menuju kamarku. Dari jam digital yang ada di
meja samping ranjang bisa kulihat kalau jam sudah menunjukkan pukul 21:05, itu artinya
aku sudah berada di loteng dan hanyut dalam lamunanku kurang lebih satu jam. Sedangkan
di sampingku, istriku yang semula sudah memejamkan mata, langsung terbangun,
menatapku sambil tangannya menutup mulut saat menguap.

“Dari mana saja?” tanyanya.

Aku mengangkat sepatu roda yang kuletakkan di kaki ranjang, tersenyum sekilas dan
menyuruhnya untuk melanjutkan tidur. Ia mengangguk, membalikkan badannya agar nanti
bisa berbaring menghadapku. Membuatku langsung merebahkan diri dan berbaring
menghadapnya. Mengusap lembut rambut panjangnya yang tergerai. Ini adalah bagian yang
paling aku suka. Memandangi wajah lugunya kala tertidur nyenyak.

Aku membalikkan tubuhku sekilas. Melepaskan jam tangan yang masih melingkar, juga
merogoh kantong. Tadi, aku juga membawa serta kalung itu saat turun. Memerhatikan lagi
sekilas bagian belakangnya sebelum akhirnya menaruh benda tersebut ke laci meja, untuk
kemudian melirik istriku. Di sana, sebuah nama terukir indah.
“Maaf, tapi aku tidak bisa melanjutkannya lagi,” ucapnya suatu hari.

Aku yang sedang membawa seplastik es kelapa langsung diam mematung. Tadi, saat aku
keluar dan melihatnya hanya duduk di kelas selama jam istirahat, aku membelikan minuman
ini untuknya. Aku bahkan tidak membeli sesuatu apa pun untuk diriku karena sudah
beberapa hari ini aku memutuskan untuk berpuasa, menyisihkan uang sakuku demi
membelikannya sebuah hadiah. Hadiah itu, aku bahkan telah membelinya semalam.

“Kenapa?” tanyaku bingung. Bagaimana tidak, selama ini kami selalu akur, ia bahkan terus
saja tersenyum setiap kali aku meneleponnya dan berbincang selama beberapa jam. Kami
tidak memiliki masalah apa pun sehingga tidak perlu mengakhiri hubungan ini.

“Maaf,” jawabnya pelan.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

Dia menunduk dalam. Kedua tangannya saling menggenggam satu sama lain. bibirnya
terkatup. Pun begitu matanya yang agak sipit terus memerhatikan lantai kelas lamat-lamat.

“Apa aku telah melakukan sesuatu yang salah/”

“Tidak,” jawabnya cepat.

“Lalu?”

Dia melirikku. Menggigit ujung bibirnya. “Setiap kali kamu menanyakan isi hatiku, aku
mencoba untuk mengatakan pada diriku untuk mencintaimu. Hanya saja … setiap kali aku
mencobanya, maka aku hanya mendapati semua itu tidak pernah ada.” Dia memalingkan
wajahnya. “Maaf, aku tidak bisa,” lanjutnya.

“Tidak apa-apa, mungkin kamu bisa mencintaiku suatu hari nanti,” sanggahku yang terkesan
memaksa.

Dia menggeleng. Meyakinkan diriku bahwa sekarang atau nanti, semuanya sama saja.
Gadis berkulit putih itu bahkan tetap tidak mengubah keputusannya setelah aku meminta
padanya untuk bertahan sehari lagi. Ada yang ingin aku berikan padanya.

Dia mengangkat kepalanya. Matanya yang sipit seperti sengaja dilebarkan olehnya. “Aku
tidak menerimamu untuk meminta apa pun,” ucapnya. Pergi meninggalkanku yang hanya
berteman dengan suara embus angin juga deru kendaraan dari jalan raya di depan sekolah.

Aku hanya bisa mematung. Hingga malam hari aku menghubunginya, hendak meminta
maaf atas kata-kataku yang terdengar sedikit kelewatan. Tapi percuma, dia tidak
meresponsnya sama sekali. Mengabaikan panggilan teleponku yang mungkin sudah hampir
15 kali.
Di sana, di ruang yang aku tinggali sekitar delapan menit lalu, sebuah loteng yang gelap.
Aku merenggangkan jari-jariku, menatap kalung yang niatnya akan kuberikan padanya
besok. Lantas membuang benda itu sekuat tenaga, meninggalkannya dengan sebuah nama
yang sengaja aku minta tukang kalung untuk mengukirnya kemarin malam. Aku hampir lupa
nama itu hingga akhirnya aku membacanya lagi tadi.

Anda mungkin juga menyukai