“Oke, aku terima tantangannya,” ucapku penuh tekad.
Aku hanya berharap ini yng terbaik untuknya, bukan maksud ku ingin membuatnya sakit lebih dalam tapi, aku ingin dia sadar bahwa semua yang dia lakukan itu sia-sia. Meski itu menyakitkan. “Jef! Tungguin aku, dong!” terlihat dari kaca spion seorang gadis berlari sembari meneriakkan namaku berulang kali. “Lama sih, untung gak aku tinggal.” Pagi-pagi sudah ada aja kelakuan si gemini yang membuat ku kesal. “Iya, maaf, tadi kesiangan,” jelasnya. Kami tetangga jadi wajar saja sering berangkat bersama, lebih sering Lisa yang menumpang di jok belakang ku katanya biar tidak nganggur joknya, atau kadang jika aku malas membawa sepeda montor sudah pasti dia selalu mengekoriku berjalan menuju halte, kalau aku suruh berangkat duluan dia akan bilang, ‘Aku itu cantik, polos, nanti kalau dijalan di culik om-om gimana?’ aneh, ada-ada saja kelakuannya. Dia memang cantik dan polos, ya, setidaknya itu yang tergambar di wajahnya berbanding terbalik dengan tingkah ajaibnya yang selalu menjadikannya incaran para kaum adam jadi, tidak perlu ditanya dimana pacarnya karena jawabannya dimana-mana. Ya, katanya tidak ada pusat, tapi cabangnya menyebar di penjuru kota. “Oke, thanks, Jeffan,” ucapnya sembari turun dari montor lalu melangkah pergi sambil melambai kepadaku sampai pacar kesayangannya datang dan menculiknya. Bel sekolah pun berbunyi menandakan waktu belajar-mengajar akan segera dimulai, untung saja tadi aku sempat sarapan di kantin meski menunya selalu saja bubur ayam setiap pagi, tidak jauh beda dari sarapanku dirumah jika bukan bubur ayam pasti bundaku memberiku bubur beras halus dengan gula merah cair sebagai pelengkapnya. Kelasku itu sebelas IPS1 sedangkan Lisa itu sebelas IPA1, kadang aku heran dengannya yang mengaku punya otak pas-pasan, tapi tetap ngeyel agar menjadi yang utama di kelasnya, dan setahuku dari jaman sekolah menengah pertama dia lebih condong di pelajaran sejarah sepertiku namun ntah kenapa dia lebih memilih masuk jurusan IPA. “Yok, Jaff! Ke kantin, laper nih,” ajak Hega teman sebangkuku setelah ia selesai merapikan bukunya. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban dan segera ikut memberesi buku ku, dirasa beres kita pun langsung berjalan menuju kantin sebelum kantin sesak oleh orang-orang kelaparan. Sesampainya di kantin, Hega selaku cowok yang baik hati langsung memesan makanan sementara aku mencari tempat duduk. Tepat setelah Hega datang membawa pesanannya Lisa juga datang bersama dengan pacarnya dan memilih duduk di meja depanku, bisa kulihat jelas smirk yang ditunjukkan oleh pacarnya seperti sengaja mengejekku. Awalnya kami makan dengan tenang sampai lama-lama aku merasa mual nelihat dua manusia yang dimabuk cinta, saling menyuapi? Dih! Seperti tidak ada kerjaan lain saja. Baru saja aku hendak berdiri seseorang lebih dulu menepuk pundakku membuat niatku yang tadinya ingin pergi berhenti. “Waktu, Kamu, cuman sebulan, jangan lupa!” peringat orang tersebut yang tak lain adalah pacar Lisa, sepertinya dia menyempatkan memberikan sedikit perhatiannya pada ku sebelum pergi. Aku pun kembali duduk dan menikmati sisa es teh yang masih setengah sambil sesekali curi lirik pada sahabat sedari SMP. Tapi, betapa tidak beruntungnya aku, baru saja pacarnya pergi kini malah ada lelaki lain yang tak kalah tampan menghampirinya. “Gila juga, Lisa, punya banyak pacar di satu sekolah,” celetuk Hega sembari menggelengkan kepalanya tidak percaya. “Lebih gila lagi cowoknya, udah tahu di selingkuhi, masih aja mau,” timpalku santai. Tiba-tiba saja Hega melirikku tidak santai. “Kamu, suka Lisa, ya?!” “Ya enggak lah! Kenapa kamu nanya gitu?” jawabku sedikit berbisik, takut yang diomongin dengar secara kita cuma berjarak sekitar 2 meter. “Lagian kamu itu kenapa belain si Lisa mulu, heran, jelas-jelas dia salah pacaran dengan banyak cowok,” ucapnya. Aku hanya mendengus kesal menanggapi celotehan Hega yang gak ada gunanya. “Sorry ya, Jeff, aku tahu kalau Lisa itu temen deket kamu, tapi apa kamu gak ngerasa kalau cewek punya pacar dimana-mana itu malah dipandang lebih ke cewek gak bener?” lanjut Hega diakhiri tanya. Bagaimanapun yang sedang dihadapi itu teman satu bangkunya yang pasti tidak ingin dibuat sakit hati oleh perkataannya. Bukannya marah, aku justru menimang-nimang perkataan cowok disebelah ku, ada benarnya juga tapi, aku tahu betul maksud Lisa bukan seperti itu. Aku bilang gak bisa, ya berarti gak bisa, kamu ngerti gak, sih? Aku gak mau tahu, pokoknya nanati malam kamu harus ikut aku! Terdengar perdebatan yang cukup keras di meja depan, sepertinya Lisa menolak ajakan pacarnya yang lain itu, ntah ajakan kemana dan alasan apa, yang jelas aku mulai merasa emosi saat tangan kekar itu menjambak rambut panjang Lisa. “Bisa tidak usah bermain kasar pada perempuan?” tanyaku penuh penekanan sambil mencengkeram erat tangan kekar itu. Tatapan kami saling beradu dengan tajam, hingga sedetik kemudian aku menghempaskan tangannya disusul bogeman mentah yang mendarat tepat di pelipisnya. Masa bodoh jika orang-orang mengataiku Ketua OSIS yang buruk, tapi satu hal yang pasti jika aku tidak suka orang yang ku ratukan diperlakukan secara kasar. Dengan sisa tenaganya orang itu ingin menyerangku namun, sudah lebih dulu di lerai oleh orang-orang meski masih kudengar sumpah-serapah keluar dari mulutnya, tatapanku kini beralih pada Lisa yang menunduk ketakutan, ku tarik tangannya dan ku bawa dia pergi menjauh ke tempat yang lebih sepi. Di setiap jalan dia merintih kesakitan dan memohon dilepaskan tapi tak pernah kulakukan sampai di tempat tujuan, perasaan cara menarikku tidak terlalu keras. “Bisa berhenti gak?! Kamu mau kejadian kayak tadi keulang lagi?” tanyaku sedikit emosi. “Gak! Aku, gak bakal berhenti sebelum kamu terima aku, Jeffan!” balasnya dengan napas memburu yang juga sama emosinya. “Oke, jadi milikku! Dan jauhi pacar-pacarmu itu!” ucapku final. Lisa sempat kaget tapi setelahnya tubuhnya menghambur kedalam pelukanku disertai isakan kecil yang mulai terdengar. Sungguh, kalimat itu yang aku takutkan. Aku memang mencintainya, sangat, dan aku juga tahu bahwa Lisa juga mencintaiku sedari dulu bahkan telah menyatakan perasaannya setahun yang lalu, tapi apa boleh buat jika takdir tak berpihak, aku hanya takut orang yang kucinta itu terluka. “Tangan kamu, gak papa? Aku nariknya kekencengan, ya?” Aku bertanya sambil mencoba memeriksa tangannya. Tapi segera dia tepis. “Aku gak papa,” ucapnya disertai senyum menenangkan. Setelah kejadian itu kami menjalani hari-hari seperti seorang kekasih pada umumnya, perhatian-perhatian yang sudah kutahan sedari lama kini kuberikan semuanya tanpa sisa, aku mengangapnya ratu yang memiliki separuh jiwaku yang harus kujaga meski melawan rintangan termasuk beberapa pacar Lisa yang tak terima di putus secara sepihak. Hari ini aku pulang sekolah sendiri karena Lisa ijin sakit, tapi baru sampai di parkiran perutku terasa sangat sakit, dadaku juga ikut berdetak tak semestinya ditambah keringat dingin yang mulai membasahi tubuhku. Aku ingin minta tolong, namun naas tidak ada seorangpun disini selain diriku, mau tak mau aku harus menguatkan diri untuk menaiki montor hingga kerumah. Sayang, baru beberapa meter berkendara tubuhku sudah lemas membuat keseimbanganku ikut oleng dan akhirnya gelap. Kini yang kulihat hanyalah ruangan putih yang khas dengan aroma obat-obatan. Raksa: jangan lupa tantangannnya! Baru juga sadar dan ingin melihat bagaimana kabar kekasihku yang tengah sakit, tapi malah peringatan itu yang pertama muncul. Melihat aku yang sadar orang tuaku langsung menghampiriku disertai ucapan syukur dan tangisan bahagia, begitu juga sosok yang tak asing lagi bagiku, Lisa. “Kenapa kamu gak bilang? Kenapa kamu sembunyiin ini dari aku? Kamu gak percaya sama aku?” tanyanya lirih. “Aku mau kita putus!” kataku. Aku tidak terlalu tahu bagaimana ekspresinya karena aku sendiri juga tak sanggup melihat kearahnya barang sedetik saja, tidak cuma tubuhku yang sakit tapi hatiku juga ikut sakit saat mengatakannya. Dia meraung, menangis, meminta penjelasan dariku namun aku tetap geming hingga dia dipeluk oleh orang tuaku untuk ditenangkan. Sebut saja aku jahat, tapi ini untuk kebaikannya. Dan inilah tantangannya, membuat Lisa jatuh cinta padauk kemudian meninggalkannya setelah dia sudah sangat jatuh. Dia tetep kekeh tidak mau pergi sebelum aku menjelaskan alasannya. “Pergi, Lisa! Pergi dari hidupku! Aku gak mau lagi sama cewek yang suka mainin lelaki kayak kamu!” bentakku cukup keras. Aku lihat dia berjengit takut tapi setelahnya hal itu yang tidak ingin aku lihat, wajah kecewanya. “Oke kalau itu yang kamu mau tapi aku gak seperti apa yang kamu pikirin, aku gak nyangka, kamu jahat, Jeff,” ucapnya kemudian melangkah pergi tanpa menengok kebelakang lagi. Maaf, tapi dengan sisa hidupku yang diperkirakan tidak lagi lama karena penyakit lambungku yang sudah akut, aku rasa ini yang terbaik. Bunda langsung memelukku setelah kepergian Lisa, hanya dengan kedua orang tuaku aku bisa mencurahkan semuanya. “Jeffan jahat, Bun, Jeffan jahat! Iya, kan, Pa? Jeffan, jahat!” racauku disela-sela tangisanku. “Shhttt, Jeffan gak boleh ngomong gitu, katanya ini yang terbaik untuk lisa, iya, kan?” aku hanya bisa mengangguk pasrah atas pertanyaan Bunda. Hari demi hari, berkali-kali Lisa memohon untuk menjengukku, tapi aku tidak pernah mau bertemu dengannya lagi, aku takut menyakitinya lebih dalam, aku takut jika dia tidak bisa melupakan ku karena bagaimanapun juga dia harus mencari penggantiku. Aku juga memohon kepada orang tuaku untuk selalu menjaga orang yang ku cintai setelah Bunda, aku gak tahu Bunda sudah menjelaskan maksud dari sikapku atau belum, atau malah menjelaskan tentang penyakitku, tapi yang pasti seseorang yang kurindu akhir-akhir ini sering mengunjungiku ketika aku tidur. “Kenapa, Jef? Kenapa kamu putusin aku tanpa penjelasan? Kalau ini karena aku yang punya banyak cowok, itu udah gak kok, aku minta maaf ya, aku udah gak kayak gitu. Jeffan, aku sayang banget sama kamu, kalau ini karma untuk ku, aku mohon jangan lama-lama, ya? Kalau gak sama kamu terus aku sama siapa? Papaku? Dia bahkan mukulin aku kalau nilaiku jelek, kamu tahu kenapa aku milih IPA? Itu karena tuntutan dari papa, Jeffan, jangan pergi, aku mohon jangan tinggalin aku sendiri, kamu semestaku, Jeffan, cuman kamu.” Greppp! Ku rengkuh tubuhnya dengan erat, awalnya ingin berpura-pura tidur, tapi mengetahui fakta yang selama ini tidak aku tahu membuatku tidak tahan untuk tidak memeluknya. “Maaf, maaf kalau aku tidak peka terhadapmu, harusnya aku tahu dari dulu, harusnya aku tidak ikut melukai mu, maaf, Lisa, sungguh aku minta maaf,” ucapku lirih. Kami menangis bersama, mengeluarkan semua rasa sesak yang terus ditahan, mengapa takdir sebercanda ini? Jika aku masih boleh meminta, “aku mohon, biarkan aku memeluknya lebih lama lagi.” “Jeffan, jangan pergi, ya?” pintanya lembut. “Maafkan aku, kita memang saling mencinta, tapi kita tak bisa bersama, Lisa.” Tanganku mempererat rengkuhanku, mencengkeram erat bajunya kala rasa sakit kembali menguasai tubuhku. “Aku harus pergi, temui aku dikehidupan selanjutnya, Lisa, Lisa ku.” Semua orang yang ada disana menangis sejadi-jadinya, terlebih Lisa yang tak ingin melepaskan dekapannya pada tubuh sang terkasih. Dia terus memohon untuk jangan mengambil semestanya, dia rapuh, tidak ada lagi di dunia ini yang akan memeluknya ketika sakit, ketika dipukul oleh ayahnya, dan ketika semesta tidak berpihak kepadanya, sperti saat ini. “Aku mencintaimu, Jeffan, tapi ternyata cinta semesta lebih kuat dariku, tidurlah, aku akan menemuimu di kehidupan selajutnya, itu janjiku.” W.Semesta yang selalu ia sematkan disetiap karya tulisnya sebagai nama pena, ia adalah gadis 19 tahun yang lahir pada tanggal 24 september 2003 di perdesaan yang terletak di sebuah kota Purwodadi, Semarang. Ia memang gemar menulis sedari bangku SMP, namun baru akhir-akhir ini berani mempublikasikan karya-karyanya di platform online.