Anda di halaman 1dari 4

"Adu Rayu"

Dalam hidupku, aku memiliki satu orang asing yang rela melakukan apa saja selama aku
menginginkannya. Satu orang asing yang siap mendengar keluh kesahku saat aku terpuruk.
Satu orang asing yang sejak dulu selalu ingin berada di sisiku. Mencoba meyakinkan bahwa
dirinyalah yang pantas bersanding denganku.

Tapi aku, seorang gadis tanggung ini justru menginginkan orang lain yang sudah jelas tak
mau dan tak ingin terlibat dalam kisah-kisah roman yang sudah kurancang sedemikian
indahnya.

"Aku mau kita putus," ucapnya datar saat itu.


"Kenapa Keenan? Apa yang salah sama aku? Aku akan berubah, kita perbaiki dari awal,
ya?" ucapku menggenggam kedua tangannya. Memohon agar dia tetap tinggal.
"Maaf." Keenan menjawab singkat. Kemudian seorang gadis yang tak pernah kukenal datang
menghampiri kami. Lebih tepatnya, gadis itu hendak menghampiri Keenan, kekasihku.
“Sayang, kok lama banget sih?” ujarnya setengah merajuk yang seketika membuat kepalaku
berdenyut sakit. Bilang apa dia barusan? „sayang?‟
“Maaf,” sekali lagi Keenan meminta maaf.
"AKU GA BUTUH MAAF KAMU! AKU GA BUTUH!" Balasku teriak dan melepaskan
genggaman tangan kami.
"Aku cuma mau kamu. Terus temenin aku disini." Kataku lirih.
"Aku pergi. Jaga diri kamu baik-baik ya?"
Aku tertawa sinis. Mau tidak mau menghentikan langkah Keenan yang hendak pergi.
"Susah banget, ya? Untuk buat kamu bertahan sama aku. Susah banget, ya? Untuk buat
kamu punya perasaan yang sama kaya aku?"
"Kalo ada yang kurang dari aku kamu bilang! Bukan malah pergi ninggalin aku. Hahaha,
Kenapa cuma aku yang takut kehilangan kamu? Tapi kamu enggak pernah takut pergi dari
aku? KENAPA?" Ucapku terisak. Muak dengan keadaan yang terus menerus menyulitkanku.

Aku bergeming. Menatap sendu secarik gambar yang tersimpan rapi di balik ponselku.
Ah, menjadi dewasa memang menyulitkan.
Mengapa manusia seringkali berharap kepada hal yang tak pasti?
Mengapa aku, menggantungkan harapan pada sosok yang tak ingin mewujudkan harapannya
bersamaku?
Mengapa dia, tidak menyerah saja saat aku dengan tegasnya menolak hati itu.

"Mengapa kamu tidak menyerah saja? Bukankah dia juga menolak hatimu?" Ucapmu tenang
saat itu.
Aku terdiam lama. Benar. Kenapa aku tidak menyerah saja?
"Kamu tidak mau menyerah begitu saja, bukan? Begitu juga aku." Lanjutmu tegas.
Lalu aku terpaku memandang sosoknya yang terlihat menghayati setiap bait lagu yang sedang
ia nyanyikan. Seolah ingin memberi tahu seluruh isi kepala nya saat ini.

Aku menghela napas dengan berat, lihat betapa mirisnya kehidupan menguji kami.
Bukankah aku sudah merayu sang pencipta untuk mendatangkan hari yang indah?
Bukankah ia juga sudah mencoba merayu dengan sejuta kalimat meyakinkan ku?
Lantas kenapa hari indah tak juga datang?
Mengapa bait rayu yang terlontar sama sekali tak membekas di ingatan?

"Kamu benar, sudah seharusnya aku mengikhlaskan sesuatu yang bukan takdirku. Saatnya
menyerah, bukan?" Hadi hanya menghela napas berat, yang hanya kutanggapi dengan
mengernyitkan dahi. Seolah bertanya, 'ada apa?'
"Aku emang benci lihat kamu murung sepanjang hari, tapi aku lebih benci karena kamu
berbohong," ucapnya pelan. Tanpa sedikitpun melihat kearahku.
"Maksudnya? Aku ga pernah--"
"Kamu itu jelas lagi bohong. Kamu mungkin bisa menipu orang lain, tapi jangan tipu diri
kamu sendiri!" potongnya, seolah tahu apa yang sebenarnya kupikirkan sejak tadi.
"Ga masalah, jangan memaksakan diri terlalu keras. Kamu boleh sedih, kamu boleh nangis,
itu normal. Mulai hargai diri kamu sendiri dari sekarang, ya? Pelan-pelan tata kembali hidup
kamu. Kehilangan dia bukan akhir segalanya, bukan?"
Aku termangu, mencoba mencerna setiap kalimat yang dilontarkannya barusan. Dengan
sekuat tenaga menahan buliran air mata yang hendak jatuh.
"Nangis aja, ga usah ditahan! Jangan lupa, yang sayang kamu itu banyak! Ada Mama, Papa,
temen-temen kamu, ada- aku juga." aku tergugu bersama Hadi yang setia memelukku dengan
erat.
Bulan demi bulan berlalu, aku kembali sibuk dengan dunia ku yang baru. berkutat dengan
ratusan anak-anak kecil dan menggemaskan sedikit mengalihkan rasa sedihku yang berlarut.
"CARISSA!" aku menoleh, mencari sumber suara yang memanggilku. Tepat diseberang sana,
Hadi berjalan menghampiri aku yang kesulitan membawa banyaknya barang bawaan anak-
anak perkemahan.
"Sini biar kubantu," ucapnya sembari membawa sebagian barang dari lenganku yang
langsung kusambut dengan sukacita.
"Untung kamu dateng, Bisa kewalahan aku kalau ga ada kamu." Hadi tersenyum sebagai
balasannya.
“Jadi gimana? Kamu suka kerja disini?” Tanya nya saat kami sedang duduk di samping
tenda, beristirahat sejenak setelah drama panjang di lokasi perkemahan.
“Iya, anak-anak disini aktif semua ya, Di? Aku sampe kewalahan, tapi mereka semua lucu
banget! Jadi gapapa deh capek, toh dibayar kontan sama keimutan mereka” ujarku senang
yang kemudian hanya dibalas dengan anggukan oleh Hadi. Ah, lelaki satu ini masih saja irit
bicara.

Kami terdiam sembari menikmati pemandangan yang indah disertai hembusan angin.
Aku kembali mengingat bagaimana jatuh dan terpuruknya hidupku hanya karena lelaki yang
kucinta sedemikian dalamnya pergi dengan wanita lain diluar sana. Menyalahkan takdir yang
dengan mudah mempermainkan jalan cerita yang sudah kubangun dengan susah payah.
Sampai akhirnya, aku disadarkan bahwa dia yang pergi tak akan pernah kembali.
Bahwa hidupku masih sangat panjang, ada banyak orang yang menunggu ku bangkit kembali.
Ada orang tua yang selalu memberikan kasih sayang tanpa pamrih, selalu mengalir dan
takkan ada habisnya untukku.

Apalagi yang lebih baik dari ini? Aku bersyukur atas banyak hal.
Terutama dengan lelaki yang berada disampingku saat ini.
“Hadi, terimakasih, ya?”
“Terimakasih untuk apa?” Tanya nya bingung
“Untuk semua yang sudah kamu lakukan selama ini, terimakasih” aku tersenyum, melihatnya
terpaku dengan wajah merah seperti saat ini juga salah satu hal yang harus kusyukuri.
Bayangkan, Seorang Hadi. lelaki yang irit bicara ini sedang malu.
Kini lengkap sudah cerita ku yang baru bersamanya.

Anda mungkin juga menyukai