Anda di halaman 1dari 6

Nama : Setia Dewi Anggun

NIM : 06151282025035
Instansi : Universitas Sriwijaya

ASPIRASI HATI

Ada beberapa hal yang memang tidak bisa kita paksakan untuk sesuai dengan keinginan
kita. Seperti Aku, Senja Prameswari. Anak tunggal dari sepasang suami istri yang dulunya
sangat harmonis, namun hancur dalam sekejap mata karena adanya sang pengganggu rumah
tangga. Keinginanku adalah memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia, seperti keinginan
banyak orang. Namun, ternyata realita memiliki keputusannya sendiri.
***
Tahun 2020
“Papa?” gumamku ketika melihat ayahku tengah berangkulan mesra dengan seorang
wanita yang jelas bukan Ibuku. Aku segera menghampiri keduanya dengan tangan gemetar
dan jantung yang berdegup kencang.
Mereka berdua belum menyadari jika aku sudah berdiri di belakang mereka karena terlalu
asyik dengan kemesraan yang mereka buat. Mataku mulai berkaca-kaca dan dengan suara
gemetar aku memanggil ayahku, “Papa!” panggilku.
Pria paruh baya itu menoleh ke belakang dengan cepat. Dengan mata membola ia berkata
lirih, ”Senja.”
Aku mundur perlahan, air mataku mulai menetes. Tak peduli lagi dengan suasana yang
ramai karena panggilanku barusan. “Papa jahat!“pekikku lalu berlari menuju mobil yang aku
bawa. Aku lihat sang ayah yang mengejarku, tetapi secepat mungkin aku masuk ke mobil dan
menginjak pedal gas kuat. Dengan tangan gemetar aku menangis, masih tak percaya akan
apa yang barusan aku lihat.
Cinta pertamaku yang tega mengkhianati istri dan anaknya, seseorang yang aku percaya
sepenuh hati ternyata melakukan hal yang tak di sangka di depan mataku sendiri, dan mulai
saat itu kehidupanku berubah.
***
Sudah dua tahun berlalu sejak kejadian yang mengubah hidupku menjadi sosok yang
pendiam, tidak mau bergaul, dan sering menyendiri. Karena kejadian dua tahun lalu benar-
benar mengubah hidupku, setelah memergoki sang ayah yang tengah berselingkuh aku
langsung pulang ke rumah dan mengadu, bersedih kepada ibuku yang ternyata sudah lebih
dulu mengetahui jika ayahku memiliki wanita lain selain dirinya.
Sejak saat itu ibu mulai sakit-sakitan, sering keluar masuk rumah sakit karena kelelahan
serta stress yang berkepanjangan. Padahal saat itu aku tengah menjadi mahasiswa baru di
salah satu perguruan tinggi yang ada di Bali. Seharusnya saat itu aku sedang mengalami masa
bahagia karena diterima di universitas yang orang-orang impikan. Namun, apa sekarang?
Malah masa bahagia itu tergantikan oleh rasa dikhianati yang tak terkira.
Fokusku pun pecah karena masalah percintaan orang-orang berengsek tersebut, ayahku
bukannya berhenti, malah bertambah kegilaannya karena menikah dengan wanita penggoda
itu. Ingin rasanya aku bersumpah serapah dan berteriak di depan mereka dengan perkataan
yang menyakitkan. Namun, keinginan itu tak dicapai jua sebab harus dipaksakan oleh kondisi
mental serta fisik ibuku.
Ibu yang sudah susah payah menemani sang ayah hingga melahirkan dan membesarkanku,
mengalami syok berat dan serangan jantung karena mengetahui sang suami yang menikahi
wanita lain ... tanpa sepertujuan dirinya.
Luka yang harusnya hanya ditimbulkan oleh ayah malah kini bertambah karena
kehilangan ibu. Bagai menaruh garam di atas luka, aku stress dan hampir gila karena tidak
ada lagi orang yang harus aku banggakan, yang harus aku pertahankan senyumannya.
Aku terpuruk selama beberapa bulan yang membuatku akhirnya memutuskan untuk
berhenti kuliah dan melanjutkan untuk membuka usaha saja. Walaupun butuh waktu yang
cukup lama untuk kembali mengumpulkan, motivasi apa yang harus dibangun saat ini?
Dan saat ini hidupku sudah lebih baik meskipun masih berhubungan dengan sang ayah
walau jarang. Kadang ia menelpon saat aku bekerja, lalu saat ditanya ada apa, ia beralasan,
“Apakah uang yang ayah kirimkan sudah kau pakai?” Lucu sekali.
Teleponku berdering di saat sedang mengajari karyawan baruku yang sedang belajar
merangkai buket bunga. Benar, aku memutuskan untuk menjadi seorang florist setelah
menyadari bahwa ibuku ternyata dulu juga mengemban pekerjaan ini. Dengan toko yang
sederhana namun nyaman, aku sudah memiliki tiga karyawan yang membantuku untuk
membuat pesanan.
Aku berjalan keluar untuk mengangkat telpon yang sedari tadi terus berbunyi, menunggu
sampai suara di ujung telepon berbunyi, “Kapan kamu pulang, Nak? Papa kangen
sekali,”tutur ayah lembut.
“Nanti hari minggu Senja pulang kok, sabar dong makanya, “balasku sembari
mengajaknya bercanda.
“Papa ini sudah sakit-sakitan, tidak ada yang menemani selain kamu Senja. “Helaan nafas
berat terdengar. “Andaikan mamamu masih ada, andaikan Papa tidak bodoh saat itu, Papa
kangen sekali dengan Mama,”ujarnya dengan nada penyesalan.
Aku tersenyum sedih. Kemana perasaan itu, saat aku, apalagi Mama memergoki Papa?
Begitulah batinku.
“Sudahlah, Pa. Jangan menyesali keadaan yang sudah terjadi. Senja pun sudah ikhlas,
yang penting Papa jaga kesehatan dan jangan terlalu banyak pikiran, ya, “Nasehatku padanya
yang dibalas dengan helaan nafas berat lagi. Aku tebak Papa sedang menatap kosong plafon
di sana.
“Sudah dulu ya, Pa. Senja lagi ngerjain orderan buat hari ini. Assalamualaikum, “ujarku
lalu mematikan telepon saat sudah mendengar balasan salam dari Papa.
Aku menatap langit yang cerah tanpa awan, lalu tersenyum sendu dan memejamkan mata.
“Senja juga kangen Mama, Pa.” gumamku kecil.
Lalu, tak lama ada suara yang menyahut, “Hei” Seseorang menepuk pundakku pelan
membuatku berjengit kaget dan menatap orang yang sudah membuatku kaget dengan kesal.
“Ih, Fajar kaget tahu, “ujarku pada Fajar, kekasihku sejak satu tahun yang lalu. Dialah
yang membantu dan mengajarkanku untuk menerima dengan ikhlas akan semua hal buruk
yang terjadi padaku saat itu. Dan dia juga merupakan salah satu dari sekian banyak
motivasiku untuk sampai ke titik ini.
“Nanti sore ke pantai yuk, “ajaknya. Tak lupa dengan kebiasaannya yang selalu mengusap
tanganku.
“Tumben ngajak ke pantai, mau ngomongin apa?”tanyaku penasaran sambil tersenyum
usil. Biasanya jika Fajar tiba-tiba mengajak ke tempat yang jarang kami datangi, pasti selalu
saja ada yang ingin dibicarakan.
Fajar hanya tersenyum kecil. “Tentang kepergianku,”jawabnya yang mampu membuat
senyumanku langsung luntur seketika. Apalagi ini?
***
Aku menatap laki-laki di sampingku yang tengah fokus memandang matahari terbenam di
depannya. Laki-laki yang sudah menemaniku selama satu tahun ini, aku pertama kali
bertemu dengannya ketika ia membeli bunga di tokoku yang katanya untuk hadiah ulang
tahun ibu tercintanya. Sejak saat itu ia mulai sering berkunjung ke toko bungaku dengan
alasan yang makin lama makin lucu dan kami pun mulai dekat lalu memutuskan untuk
menjalin hubungan, setelah aku benar-benar sudah yakin terhadap diriku sendiri.
Sebenarnya, Fajar adalah pria yang kaku dan irit bicara, ia tak akan menceritakan apapun
padaku sebelum aku bertanya. Fajar juga adalah orang yang mengetahui dengan jelas
masalah yang menimpaku dua tahun yang lalu dan dengan bantuan uluran tangannya, aku
bisa bangkit kembali menjadi diriku yang ceria seperti dulu.
Fajar adalah lelaki yang misterius. Ia selalu tahu apa yang aku inginkan padahal aku tidak
pernah memberitahu keinginanku padanya. Saat aku bertanya, “Darimana kamu tahu kalau
aku sedang menginginkan ini?”
Lelaki itu dengan santai menjawab, “Karena aku tahu.” Sejak saat itu aku tidak pernah
lagi bertanya saat ia memberikan sesuatu yang memang sedang aku inginkan, aku hanya akan
melompat kegirangan dan memeluknya erat seraya mengucapkan terima kasih.
Sesuatu yang begitu indah, tetapi aku menghentikan lamunan tentangnya dan mulai
mengajaknya bicara, “Kamu suka senja?”tanyaku yang masih menatapnya. Ia menoleh
padaku dan tersenyum hangat.
“Iya, suka,” jawabnya sambil menatapku dalam, aku pun refleks berhenti menatapnya dan
memutuskan untuk kembali memandangi matahari yang perlahan turun itu.
“Kukira kamu suka fajar, seperti namamu hehe,” ujarku cengengesan padanya. Berusaha
menahan diri sebab dipandang sebegitu cinta olehnya.
“Aku juga suka fajar, tapi aku lebih suka senja,” jawabnya yang masih menatapku dalam.
Aku sedikit kaget sambil menatap dirinya lagi, tetapi segera aku palingkan kembali dengan
tangan menangkup pipi. Ah, pasti pipiku sudah memerah. Aku tahu maksudnya, senja yang ia
suka itu pastilah aku.
Lama kami terdiam dalam keheningan sembari menikmati pemandangan langit sore
bersama deburan ombak pantai dan juga suara orang-orang yang berlalu lalang di sekitar
pantai cantik tersebut. Aku pun mengatakan sesuatu yang membuatnya terkaget, karena aku
tahu itu adalah jawaban yang ia inginkan dariku.
“Aku akan tunggu kamu, Fajar,” ucapku padanya dengan lembut. Ia langsung menatapku
sembari memegang kedua bahuku, yang membuat aku menatap mata favorit yang berwarna
hitam kelam yang selalu berbinar saat aku bersamanya itu.
“Senja, kamu serius?” tanyanya untuk memastikan.
“Iya, aku serius,” jawabku sambil tersenyum tulus. Aku mengulurkan tanganku untuk
memegang tangannya, mencoba meyakinkan bahwa aku benar-benar berpegang pada
kalimatku sendiri.
“Terima kasih, Senja. Aku akan cepat pulang demi kamu,” janjinya padaku yang
membuatku tersenyum lebih lebar, lalu Fajar memelukku erat yang kubalas dengan sama
eratnya.
Aku akan menunggu si Fajarku, aku percaya padanya dan karena aku juga sangat
mencintainya.
***
“Aku tidak akan lama, Senja. Jangan menangis,” ucapnya menenangkanku lalu mencium
keningku dengan sayang. Aku melonggarkan pelukanku dan mendongak untuk menatap mata
yang masih menjadi favoritku itu.
“Kamu janji untuk setia sama aku?” tanyaku padanya dan ia tersenyum lembut.
“Aku janji, sayang. Hati ini cuma untuk kamu,” jawabnya yang membuatku memeluknya
kembali. Fajar berkali-kali mencium keningku dan mengatakan bahwa ia sangat
menyayangiku.
“Jangan lama-lama,” rengekku padanya yang hanya dibalas kekehan renyah olehnya.
“Tidak akan. Kamu hanya perlu menungguku dan tentunya menjaga hatimu untukku,
Senja.” Pintanya padaku.
Aku mengangguk mantap. Aku tentu pasti akan menjaga hatiku untuknya, karena hati ini
memang sudah terisi oleh si Fajarku. Aku hanya takut dan khawatir ia akan tergoda oleh
perempuan lain di sana, tetapi aku percaya padanya bahwa Fajarku bukan laki-laki seperti itu.
Suara operator bandara membuat kami berdua yang sedang berpelukan ria tersadar.
Pesawat yang akan ditumpangi oleh Fajar yang menuju ke Berlin akan segera take off. Iya,
Fajar akan ke Berlin, menyelesaikan semua urusannya di sana.
Aku tidak tahu urusan apa yang akan diselesaikannya, karena setiap kali aku bertanya ia
hanya akan menjawab, “Urusan kecil, Sayang, kamu tak perlu tahu. Kamu hanya perlu
percaya padaku, karena apa yang aku lakukan adalah untuk kebaikan kita, Senja, ”jawabnya
selalu begitu.
Aku melepaskan pelukanku dengan tidak rela dengan air mata yang terus turun
membasahi pipiku. Fajar kembali menghapusnya. “Aku tidak akan lama, Senja. Tunggu
Aku”.
Aku mengangguk, melepaskan pelukan kemudian berujar tegas, “Hati-hati, jangan lupa
kabari aku”.
“Iya, Sayang,” ucapnya sambil terkekeh. Fajar lalu mengambil kopernya, lalu kembali
menatapku dengan dalam, matanya terlihat berkaca-kaca.
“Sampai jumpa dua tahun lagi, Sayang,” pamitnya tersenyum, lalu berlalu pergi.
Fajar melambaikan tangannya dan aku membalas lambaian tangannya sambil tersenyum
sendu. Saat ia sudah menghilang dari pandanganku, aku berbalik kemudian berjalan
meninggalkan bandara.
“Iya, sampai jumpa dua tahun lagi, Fajarku”, ucapku dalam hati.
***
Ada banyak pelajaran yang aku ambil dari perjalanan hidupku, bahwa apa yang kita
inginkan tidak akan selalu terwujud persis dengan apa yang kita mau. Ketika aku meminta
dan mengharapkan keluarga yang harmonis dan bahagia, tetapi kenyataannya yang aku
dapatkan tidak. Namun, ketika aku tidak mengharapkan dan menginginkan seseorang datang
dalam hidupku untuk menyembuhkan lukaku, Fajar datang dengan dirinya yang kaku, irit
bicara, namun ialah yang selalu mengulurkan tangannya untuk membantuku bangkit dari
keterpurukan.
Semuanya penuh teka-teki, namun kita hanya bisa menyampaikan keinginan dan harapan
dalam hati kita kepada sang pencipta. Karena cobaan hadir adalah untuk membuat kita
menjadi manusia yang kuat.
***
Dengan suara pelanggan yang hilir mudik, suara sepatu yang menghentak lantai, aku
segera tersadar dari lamunanku karena dering telepon yang berbunyi di atas meja kerja florist
tuaku. Aku meraih telepon tersebut lalu menggeser tombol hijau dengan cepat.
“Hai, bagaimana? Besok jadi pulang ke Indonesia, kan?” tanyaku pada orang di sebrang
telpon sana dengan girang.
***
Tamat.

Anda mungkin juga menyukai