Anda di halaman 1dari 3

Kembali dan Hilang

Cerpen Karangan: Aulia Fitri Khairina


Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Patah Hati, Cerpen Perpisahan
Lolos moderasi pada: 16 October 2018

Hampir seminggu sudah aku berada di pedesaan yang asri ini. Desa yang sudah
sepuluh tahun kutinggalkan demi mengejar impian di kota seberang itu, rupanya sudah
berubah banyak termasuk sungai tempatku dan kawan-kawan bermain dulu sudah dijadikan
tempat wisata yang indah. Di sinilah aku duduk sekarang di atas bangku yang berlapis
hamparan rumput hijau memandang permukaan danau buatan yang airnya tersapu angin
sedikit berombak di tempat.

Aku tersenyum menikmati suasana yang sejuk dan mendengarkan kicauan para anak
kecil yang tengah berwisata dengan keluarga. Jadi teringat masa lalu ketika kecil.
Teringat juga dengan seseorang yang kini sedang kutunggu kehadirannya. Teman masa kecil.
Entah bagaimana wujud rupanya sekarang. Aku tak sabar bertemu dengannya.

“Sepuluh tahun nggak ketemu, ternyata kamu nggak berubah. Suka senyum sendiri
menikmati hembusan angin.” kelopak mataku terbuka saat suara baritone terdengar kemudian
aku alihkan wajahku menatap sosok tegap di hadapku.
“Kamu juga nggak berubah. Selalu protes dengan apa yang saya lakukan.” sahutku sembari
menahan desir di dada. Dia tersenyum lalu terlihat lesung pipinya yang ada di sebelah kanan
sama seperti lesung pipiku.
“Kita sama-sama nggak berubah. Hanya fisik yang berubah, sikap jangan. Jangan ubah sikap
kamu yang dulu terhadap saya. Itu yang saya rindukan.” katanya, menatapku dengan
pancaran mata yang tak bisa kumengerti. Oh Tuhan, aku merindukan pria ini!

Hafiz tiba-tiba menarik tubuh ringkihku di masukkan ke dalam pelukan eratnya. Aku
tak bisa berkutik selain membalas dekapan tersebut. Mengikis kerinduan pada diri masing-
masing, menyatukan kembali keretakan hati yang telah lama terpisah.

“Saya rindu. Dulu, sekarang, hingga esok.” lirihnya di pundakku. Aku mengeryit
bingung hingga kulepas perlahan pelukannya.
“Esok?” kataku jenaka.
“Ya. Karena sampai kapanpun saya akan tetap rindu kamu. Selama rasa sayang itu ada, rindu
tidak akan pernah terobati, Kirana.”
“Kata Dilan, rindu itu berat Hafiz. Jangan membebani dirimu dengan rindu pada saya.”
“Rindu saya untuk kamu bukan sebuah beban, Kirana.” Hafiz dan segala keras kepalanya
membuatku tersenyum.
“Ah sudahlah, apa kabarmu?” ujarku.
“Sebelumnya tidak baik. Sekarang membaik setelah saya bertemu dengan Amoy saya.”
sahutnya sambil mencubit pipi kiriku dengan pelan. Aku tersipu mendengar panggilan Amoy
darinya. Aku keturunan China dan mataku yang sipitlah menjadi penyebab Hafiz
memanggilku Amoy saat kecil dulu.
“Gombalan yang receh.” ejekku.
“Dua ratus perak.” sahutnya membuatku tertawa.
“Sudah semakin siang, saya harus pulang. Kakek pasti nyari saya.” lirihku. Hafiz justru
tersenyum, kupikir dia akan kecewa karena hanya sebentar bertemu denganku.
“Saya antar.” katanya, menarik tanganku menuju area parkir.
Dua bulan. Tepat dua bulan aku berada di Desa. Hari-hariku semakin ceria karena
Hafiz selalu ada di sampingku menemani ke manapun aku ingin pergi. Aku bahagia. Jelas.
Karena sekarang aku dan Hafiz kembali bersama menyatukan rasa yang dulu sempat
tertunda. Saat ini aku sedang mengayuh sepeda tua kakek menuju rumah Hafiz mengantarkan
cemilan pagi untuk ibunya. Aku parkirkan sepeda di halaman rumahnya yang luas yang juga
terparkir mobil xenia berwarna silver. Mobil siapa, pikirku.

Aku melangkah masuk dengan girang senyum ceria berlesung pipi. Berniat mengetuk
pintu yang setengah tertutup. Namun, terhenti ketika kudengar suara tangis seorang
perempuan di dalam sana.

“Saya mohon bu.. nikahkan mas Hafiz dengan saya. Jadikan mas Hafiz sebagai ayah
dari anak yang saya kandung. Ibu sangat mengerti kondisi saya bu.. hiks.”
DUAR! Bagai petir yang menyambar tiang listrik, aku terkejut bukan main mendengar isakan
tangis perempuan itu. Kuberanikan diri mengintip siapa sosok itu yang tengah merayu ibu
Hafiz. Dari celah pintu yang terbuka aku melihat jelas siapa dia. Hatiku semakin remuk.
Senyum ceriaku berganti duka. “Sonia..” gumamku menyebut nama teman sekolahku dulu.
Meski tidak begitu dekat tetapi aku mengenalnya.

“Sudah Sonia, jangan memohon pada ibu.. nanti akan ibu bicarakan dengan Hafiz..
bagaimanapun juga ibu tidak bisa menyetujui kehendak kamu dengan sepihak. Apalagi, Hafiz
dan Kirana sudah kembali bersama..” kata ibu Hafiz merangkul Sonia dengan kasih sayang.
Aku jadi merasa tersisih karena rupanya Sonia lebih dekat dengan ibu kekasihku itu.
Aku berbalik badan, mengambil sepeda dan kembali ke rumah kakek dengan rasa yang tak
menentu. Aku harus bertemu Hafiz dan berbicara dengannya.

Kebetulan, saat aku melintasi sawah terlihat Hafiz sedang duduk di bawah pohon
selepas dia bekerja di sawah itu. Aku menghampirinya.
“Amoy! Awas jatuh, hati-hati.” teriaknya memperhatikanku jalan di tengah sawah. Aku tak
menyahut, hanya memasang wajah datar ke arahnya.
“Saya bilang jangan suka kelayapan pagi-pagi. Ini malah udah sampe di sawah aja kamu ini,
moy.” omelnya saat aku sudah sampai di dekatnya.
“Saya ke sini ada perlu. Urgent!” ketusku.
“Sini duduk dulu. Ada perlu apa? Kangen sama saya?” godanya.
“Besok saya kembali ke kota. Mungkin nggak akan menginjakkan kaki lagi di desa ini.
Kakek juga ikut dengan saya tinggal di sana.” ujarku mengutarakan keputusan yang kubuat
selepas pergi dari rumahnya tadi. Tidak ada pilihan lain. Aku yang harus mundur.
Wajahnya terlihat terkejut. Dia tidak lagi tersenyum manis, malah menatapku dengan dingin.

“Maksud kamu apa? Mau meninggalkan saya lagi? Apa yang ada di desa ini nggak
cukup buat kamu bahagia?”
“Kamu yang akan meninggalkan saya, Fiz. Sebelum itu terjadi, lebih baik saya pergi.”
sahutku memalingkah wajah dari tatapannya.
“Untuk apa saya meninggalkan kamu?!” suaranya meninggi.
“Untuk menjadi ayah dari anak Sonia!” aku kelepasan balik membentaknya.
“Saya nggak mengerti maksud kamu, Kirana. Lebih baik kamu pulang dan jernihkan
pikiranmu.”
“Kamu yang harus pulang dan lihat apa yang terjadi di sana. Saya permisi.” aku
meninggalkan Hafiz yang sedang kebingungan. Lalu dia juga beranjak pulang dengan arah
yang berbeda denganku. Oh Tuhan, secepat inikah aku kehilangannya?
Hari telah berganti. Hari dimana aku akan kembali ke kota seberang dengan
memboyong kakek untuk ikut denganku untung saja kakek mau ikut jadi aku tidak perlu lama
lagi di desa ini. Urusanku dengan Hafiz aku selesaikan dengan sepihak. Aku memutuskan
hubungan dengannya tanpa persetujuan Hafiz. Dia mengamuk saat aku memutuskan, tapi aku
tidak peduli. Ibunya sudah mempersiapkan pernikahan Hafiz dengan Sonia. Apalagi yang
lebih menyakitkan daripada itu? Meskipun Hafiz berkata mencintaiku, tetap saja Sonia yang
akan menjadi pendampingnya. Air mataku sudah kering menangisi yang terjadi semalaman.
Sudahlah. Sudah saatnya aku memulai mengisi yang baru di kehidupanku.

“Rana, ada surat dari Hafiz. Kakek baru ingat kalau dia subuh tadi memberi ini untuk kamu.”
tangan keriput kakek mengulur di hadapku memberi sebuah amplop biru.
“Harusnya jangan kakek terima.” kataku sambil mengambil amplopnya.
“Jangan begitu, bagaimanapun Hafiz pernah menjadi wadah untukmu berkeluh kesah, Nak.
Jangan marah padanya. Yang Maha cinta sudah menentukan ini semua.” nasihat kakek yang
aku jawab dengan anggukkan.

“Dear, Amoy.

Kamu adalah prioritas utama saya.


Raga saya pada orang lain, tetapi jiwa saya ada pada kamu. Kita adalah dua raga yang
jiwanya telah bersatu. Kamu untuk saya dan saya untuk kamu. Selamanya tetap begitu. Dunia
bukan tempat raga kita bersatu, rupanya. Tetapi saya yakin akhirat akan menjadi jiwa dan
raga kita bersama. Kehidupan cinta abadi bukan ada pada dunia tetapi pada surga.
Berbahagialah, sayangku. Jangan basahi pipimu dengan air mata karena perpisahan ini.
Biarkan yang Maha cinta menjalankan skenario-Nya. Ingin saya membuatmu tetap tinggal,
tetapi rupanya kamu memilih berlari bukan berjuang bersama saya mempertahankan
semuanya. Semoga akan ada sosok lain yang mencintaimu. Tetapi ingat, tidak ada cinta sosok
lain yang bisa mengalahkan kuatnya cintaku untuk Amoyku. Sampai kapanpun. Sampai
bertemu di lain waktu, Kirana?.

Hafiz Alkadri, kekasih surgamu.”

“Sampai bertemu di surga kalau begitu, kekasihku.” lirihku melipat surat Hafiz yang
kumasukkan selembar foto kami saat kecil di dalamnya. Ternyata, sekuat apapun cinta tetap
Tuhan yang menetapkan pada siapa raga berlabuh.

NAMA : ADAM RAMADHAN R


KELAS : XI – IPS 4
NO : 01

Anda mungkin juga menyukai