Anda di halaman 1dari 9

Orang Asing, Sebuah Naskah Teater

Naskah Teater
March 13, 2011 PuJa 0

Karya: Rodli TL

Tokoh

Lurah Guru Modin Orang asing Perempuan Warga

Sinopsis

Adalah konspirasi orang asing dengan lurah. Orang asing membantu lurah untuk
merealisasikan janji-janjinya dalam memimpin kampungnya untuk mensejahterakan
rakyatnya. Rencana itu disambut baik oleh kebanyakan warga. Terlebih untuk pendidikan
gratis, kesejahteraan guru dan modin.

Di tengah perencanaan tersebut, seringkali ibu-ibu merasa ketakutan. Mereka seringkali


memahami informasi sepotong-potong tentang nasib anak-anaknya, informasi itu seringkali
dikait-kaitkan dengan maraknya penculikan dan penjualan anak, tentang jual beli organ
tubuh, dan tentang penyalagunaan asuransi jiwa.

Semua warga dan guru setuju dengan rencana tersebut kecuali pak Modin. Ia satu-satunya
orang yang tidak setuju dengan tawaran orang asing itu, karena konpensasinya harus mau
menerapkan sistem pendidikan dengan maksud membunuh potensi dan kreatifitas anak-anak,
juga dianggap tidak menghargai pekerti yang luhur. Modin bersuara lantang walau
sebenarnya ia menjadi orang yang paling beruntung kalau ia setuju.

Orang asing menganggap suara Modin amat mengganggu. Ia meminta lurah untuk
menyingkirkannya dengan cara mengirim perempuan cantik.

Adegan 1

Lurah berdiri tegap di tengah panggung. Menatap para penonton. Lurah menganggap mereka
adalah warganya.

1. Lurah : (berteriak dengan wibawa) Para warga, aku suka kalian bergembira. Itu adalah
wujud terimakasih padaku. Kalian sungguh nampak kenyang. Aku tidak sia-sia memberi
kalian makanan tiap hari.

Berjalan mengitari semua area panggung

2. Lurah : Sudah kesekian hari aku memimpin kampung ini. Aku telah berjanji pada wargaku.
Mereka harus sejahtera. Semuanya. Petani, guru, modin, nelayan, kuli batu, pedagang dan
lain sebagainya. Namun, prioritas utama adalah anak-anak sekolah, guru dan modin. Anak-
anak sebagai penerus pembangunan, mereka harus mendapatkan pendidikan yang layak
secara gratis. Guru sebagai penerang kegelapan hidupnya harus lebih bermartabat. Begitu
pula pada modin. Ia adalah jembatan nilai-nilai ketuhanan. Ia harus aku kasih penghargaan.
Adegan 2

Modin memimpin ibadah dengan melantunkan kalimat-kalimat suci. “sumpahku untuk


Tuhan/ hidupku akan tenang”.

Adegan 3

3. Guru : Murid-muridku, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Hiasi pekerti dengan moral
yang mulya.
4. Murid-Murid : (menyanyikan hymne Guru)

Adegan 4

Di kantor kelurahan siang hari

5. Lurah : Yang terhormat, seluruh warga kampung. Terimakasih atas kedatangan kalian, dan
minta maaf bila ada yang tidak berkenan. Pertemuan ini bermaksud baik, terutama bagi
warga yang punya pengabdian tinggi terhadap kampungnya dengan tulus. Kabar gembira
buat bapak-bapak dan ibu-ibu yang yang memiliki anak usia sekolah. Kabar gembira buat
bapak ibu guru, juga buat bapak modin. Sesuai keputusan pemerintah nomor 1 2 3 4 5
ABCDE, menimbang dan memutuskan. 1. Pendidikan gratis. 2. Semua guru akan
mendapatkan tunjangan yang layak: Gaji 5 juta perbulan, Pulsa gratis selama menjadi guru,
rumah dinas dengan listrik gratis, mobil lengkap dengan sopirnya. 3. Untuk para modin,
honor bulanan dan fasilitas lain sama seperti guru, ditambah bonus 3 juta tiap urusi kematian.

Para penduduk bergembira lalu bernyanyi

6. Orang-orang : “Asyik, asyik guruku kaya raya. Modinku hidup mulya”

Adegan 6

7. Orang Asing : Bapak lurah yang terhormat, bantuan ini tentunnya harus ada
konpensasinya, harus ada jaminannya.
8. Lurah : Oh, itu bisa dibicarakan
9. Orang Asing : Begini bapak, untuk anak-anak haruslah cerdas dan terukur IQ-nya.
Makannya harus diuji sebagai ukuran standarisasi mutu. Bila tidak mencapai ketentuan yang
kami buat, anak itu dianggap gagal atau tidak lulus.
10. Lurah : Misalnya orang asing?
11. Orang Asing : Anak-anak harus bisa menjawab soal pelajaran paling sedikit 70 dari 100
soal yang diujikan.
12. Lurah : Oh, itu bisa dibicarakan
13. Orang Asing : Dan yang membuat soal itu adalah kami
14. Lurah : Gampang, itu semua bisa dibicarakan
15. Orang Asing : Mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa asing, matematika dan ilmu
pengetahuan umum.
16. Lurah : Itu juga bisa dibicarakan Tuan. Kerja dengan kami amat mudah Tuan, yang
penting ada uangnya. Tapi maaf Tuan, bukan untuk kepentingan kami pribadi, namun untuk
kepentingan warga kampong
17. Orang Asing : Ya ya ya…. Saya percaya pak, itu semua bisa dibicarakan
18. Lurah : Tuan, boleh saya mengajukan pertanyaan?
19. Orang Asing : Oh boleh, semuanya bisa ditanyakan dan bisa dibicarakan (teretawa)
20. Lurah : Materi yang akan diujikan dalam ilmu pengetahuan umum itu apa Tuan?
21. Orang Asing : Ya paling tidak, pengetahuan tentang nama-nama Negara kaya
22. Lurah : Oh begitu Tuan, bagus itu. Nama saya juga ditulis kan?
23. Orang Asing : Bisa bapak, semuanya bisa dibicarakan. Namun ada syaratnya, bapak.
24. Lurah : Syarat itu bisa dibicarakan kan, Tuan?
25. Orang Asing : Bisa, semuanya pasti bisa dibicarakan. Begini bapak, syarat tersebut adalah
bagi pemimpin yang punya uang dan tentara. Apa bapak Lurah punya tentara?
26. Lurah : bukan tentara tapi hansip Tuan.
27. Orang Asing : Punya senjata?
28. Lurah : Pentungan, Tuan
29. Orang Asing : Oh oh……………………
30. Lurah : Bisa dibicarakan kan, Tuan?
31. Orang asing : Bisa, bisa……. Atau bapak punya uang?
32. Lurah : Ya ada tapi dibawa istri
33. Orang Asing : Istri bapak berjumlah berapa?
34. Lurah : Masih satu, Tuan
35. Orang Asing : (tertawa) Satu istri itu indikator tidak punya banyak uang
36. Lurah : Berarti banyak uang itu harus banyak istri, Tuan?
37. Orang Asing : Bisa saja satu, tapi simpanannya yang harus banyak.
38. Lurah : Ah Tuan. Suka sekali bergurau. Kalau Tuan sendiri punya berapa istri?
39. Orang Asing : Tidak punya
40. Lurah : Tidak punya tiga atau lima?
41. Orang Asing : Sepertinya tidak punya sama sekali
42. Lurah : Wah, tuan ini ternyata masih perjaka. Terus untuk apa tuan bekerja?
43. Orang Asing : Untuk hidup bahagia dong bapak. Kebahagiaan kan bisa dibeli
44. Lurah : Maksud Tuan?
45. Orang Asing : Perempuan kan bisa dibeli. Banyak yang jualan bapak. Menikah itu
merepotkan, harus buat perjanjian, harus ngurusi anak. Istri suka melarang yang ini itu.
Hidup akan semaikin tidak bebas dengan ikatan pernikahan. Jadi kalau kita ingin bercinta,
akan lebih baik membeli, dan bisa gonta-ganti. Tapi maaf bapak, itu semua ukurannya adalah
uang. Bila tidak punya banyak uang, semuannya akan repot. Perempuan kampong sini ada
yang dijual bapak?
46. Lurah : Maksud, Tuan?
47. Orang Asing : Ah, kalau itu bisa kita bicarakan nanti saja.
48. Lurah : Maksud Tuan?
49. Orang Asing : Jelasnya begini bapak, anak-anak kampung bapak perlu dibentuk untuk
menjadi anak yang cerdas dan terukur. Bila ia bisa menjawab soal-soal yang kami ujikan
berarti mereka adalah anak yang hebat menurut ukuran kami. Bila tidak, ya gagal alias tidak
lulus. Kami tidak peduli apa mereka berbakat, apa mereka memiliki budi pekerti yang baik,
karena itu bukan ukuran kami. (tertawa) Ukuran kami adalah anak-anak itu harus tahu nama-
nama pemimpin hebat yang kaya dan yang punya tentara kuat.
50. Lurah : Tuan orang asing!
51. Orang asing : (tertawa semakin keras)
52. Lurah : Tuan orang asing yang terhormat!
53. Orang Asing : (tetap tertawa)
54. Lurah : Tuan orang asing, semua masih bisa dibicarakan kan?!

Adegan 7
Bayan berkeliling panggung. Ia beranggapan bahwa panggung itu adalah kampungnya, dan
warga adalah penontonnya.

55. Bayan : Pengumuman! Alias woro-woro. Ini penting bapak, ibu. Ini menyangkut nasib
anak bapak ibu.
56. Ibu 1 : Ada apa pak bayan?
57. Ibu 2 : Iya bapak bayan, ada apa? kok sepertinya gawat?!
58. Bayan : Ibu-ibu punya anak usia sekolah kan, nasib mereka….
59. Ibu-Ibu : Nasib mereka?!
60. Ibu 1 : gawaaaaaaaaaaaaat! Bapaaaaaaaaaaaaaaaak, anak kita diculik, bapak! Mamad,
anakku, dimana kamu?!
61. Ibu 2 : si Siti anakku, kamu juga dimana, nak?

Para warga berlarian. Mereka keluar membawa kentongan. Mereka mencari anak-anaknya.
62. Warga :
“setan gundul, temokno anakku. Sing gak koen temokno anakku tak uyoi ndasmu”
Mereka terus bergerak dan bernyanyi. Nyanyiannya semakin lama seperti mantra. Menjadi
sangat mistis.
63. Modin : (Mendatangani warga) Bapak ibu, ini sebenarnya ada apa?
64. Ibu 1 : Anak kita hilang pak modin
65. Modin : Hilang, hilang bagaimana bu?
66. Ibu 2 : Kok bagaimana sih, pak modin. Hilang ya hilang, pak!
67. Guru : Maksud ibu-ibu, anak anak sedang tidak ada di rumah?
68. Ibu 1 : Ah ibu guru ini, kalau hilang ya tentu tidak ada di rumah
69. Modin : Bapak ibu apa tidak salah. Sudah tidak jamannya wewe gombel nggondol anak-
anak. Wewe gombel kini sudah takut sama anak-anak. Terlebih pada anak-anak yang pandai
membaca kitab suci. Anak-anak ibu sudah bisa membeca dengan baik kan?
70. Ibu 1 : Bisa, pak modin!
71. Ibu 2 : Anak saya sudah khatam beberapa kali pak!
72. Ibu 1 : Anak saya juga hafal do’a-do’a. Coba Tanya pada ibu guru, yak an bu?
73. Modin : Kalau begitu tidak mungkin hilang digondol wewe gombel
74. Ibu 2 : Lho, siapa pak modin yang bilang anak-anak digondol wewe gombel!
75. Modin : Lha terus?
76. Ibu 1 : Anak kita diculik, bapak!
77. Modin : Diculik? Wah, gawat ini. Anak kita akan dijual
78. Ibu 2 : Dijual?
79. Ibu 1 : Duh gusti, si Mamad dijual, berarti daging-daging yang dijual di pasar itu bukan
daging sapi, akan tetapi daging manusia.
80. Ibu 2 : Jangan-jangan daging yang saya masak tadi adalah daging anak saya
81. Modin : Bukan dagingnya yang dijual ibu, tetapi jiwanya, jiwanya yangdiasuransikan.
82. Bayan : ya betul pak modin, saya juga pernah dengar. Banyak anak-anak dikota diculik
lalu diikutkan asuransi, lalu kemudian nyawanya dihilangkan. Dengan demikian penculik
tersebut mendapatkan uang asuransi.
83. Ibu 1 : tidaaaaaaaaaaaaak! Si Mamad tidak boleh meninggal. Ia harus pulang
84. Ibu Guru : Juga ada kabar baru. Nyawa mereka tidak dihilangkan
85. Ibu 1 : Berarti anak kita tidak dibunuh. Anak kita belum meninggal ya, bu?
86. Ibu guru : Tetapi mereka disekap, dikurung. Organ vitalnya yang akan dijual
87. Ibu 2 : Maksud ibu guru kelaminnya?
88. Ibu 1 : Kalau begitu juga tidak mungkin, si Mamad hidup tanpa kelamin. Tidak mungkin
si Mamad menjadi Mimi, alias menjadi anak perempuan.
89. Guru : Bukan kelaminnya yang akan dijual, namun organ vital seperti hati, ginjal. Organ
vital tersebut dijual pada orang-orang kaya yang membutuhkannya, lantaran milik orang kaya
tersebut tidak berfungsi dengan baik, alias mengidap penyakit.
90. Modin : kalau begitu ayo kita cari. Siapa tahu anak-anak kita masih hidup dan organ
tubuhnya belum laku dijual.
Para warga kembali mencari anak-anaknya
“setan gundul temukan anakku, kalau tidak kau temukan ku kencingi kepalamu”
91. Modin : Berhenti sebentar!
92. Ibu : Ada apa pak modin?
93. Modin : Yang menculik anak-anak kita kan bukan setan gundul!
94. Ibu 2 : Lalu kenapa, pak modin?
95. Modin : La, tidak ada gunanya kita meminta bantuan kepada mereka.
96. Ibu 1 : Lalu kepada siapa lagi? Kepada polisi. Ah terlalu rumit prosedurnya. Juga butuh
uang cukup banyak pak..
97. Modin : Kepada Tuhan yang tidak pernah tidur
98. Ibu 2 : Bagaimana carannya pak modin?
99. Modin : Kita berdo’a kepadanya untuk meminta pertolongan
100. Ibu 1 : Pak, modin. Apa masih percaya pada saya. Terlalu banyak dosa yang saya
perbuat. (menangis) aku jadi ingat pada si Mamad. Satu-satunnya harapanku. Si Mamad
adalah hasil hubungan gelap. Dan laki-laki itu, bapak si Mamad yang jahanam itu tidak
bertanggungjawab. Alasannya sederhana. Ia terikat dengan peraturan lantaran ia pegawai. Ya,
ini memang salahku aku serahkan kehormatanku hanya karena alasan cinta. Si Mamad jangan
tinggalkan ibu, nak. Pulanglah. (terus menangis) pak Modin, Tuhan pasti tidak mau
memaafkanku, apalagi mengabulkan do’aku.
101.Modin : Percayalah pada Tuhan. Ia pasti memaafkanmu. Pernah mendengar cerita
tentang seorang pelacur yang memberi air minum pada seekor anjing. Pelacur dan anjing,
sekotor apa dua makhluk itu. Spontan fikiran kita akan menimpulkan, mereka adalah dua
makhluk Tuhan yang paling najis. Namun apa kata Tuhan. Mereka adalah penghuni surga.
Hanya sebersit kebaiakan dalam hatinya. Pelacur itu dengan rasa kasihan pada anjing yang
kehausan, dengan sepatunya, ia mengambil air dari dalam sumur. Tuhan Maha Pemaaf,
Tuhan Maha Pengasih. Marilah meminta pada Tuhan. Syaratnya hanya satu, jangan berburuk
sangka pada Tuhan. Yakinlah ia pasti akan memberi setiap pertolongan yang kita minta.
102. Guru : Sebentar-sebentar. Apa benar . by the way, sebenarnya anak siapa yang hilang?
103. Ibu 2 : Astaga, ibu guru, ya anak kita semua
104. Guru : semua anak kampung ini hilang?! (tertawa)
105. Ibu 2 : Kenapa ibu guru tertawa?
106. Ibu 1 : Bu guru, kita ini sedang sedih. Kenapa ibu guru tertawa?
107. Guru : Kenapa harus sedih, ibu. Ini jam berapa? Hari ini juga bukan tanggal merah kan?
Ibu-ibu, kalau saat ini anak-anak ibu bisasanya sedang apa. Sedang belajar di sekolah kan?
Apa ibu-ibu sudah ke sekolah? Belum kan? Ibu-ibu masih percaya pada guru-guru kan?!
Anak-anak ibu aman. Tidak satupun yang diculik.
108. Ibu 1 : Pak Bayan, kamu bohong ya?!
109. Modin : Pak Bayan, kamu itu pamong warga. Seharusnya momong. Sungguh celakalah
sebuah kampung bila aparatnya suka berbohong.
110. Bayan : Siapa yang berbohong, pak Modin?
111. Ibu 2 : Jangan berkelit, pak Bayan
112. Ibu 1 : Ya pak Bayan, siapa yang bilang tentang nasib anak-anak kami tadi? Ayo, siapa,
pak?
113. Bayan : Saya, lalu kenapa?
114. Ibu 2 : Kok kenapa!
115. Modin : Lho pak bayan. Itu dosa besar pak. Salah satu tanda dekatnya hari kiamat
adalah banyaknya pejabat yang suka membohongi rakyatnya.
116. Bayan : Sungguh, kami tidak berbohong pak modin. Terkutuklah saya bila saya seorang
pejabat pemerintah suka membohongi warganya.
117. Modin : Terus apa yang sesungguhnya terjadi?
118. Bayan : Ibu ibu yang over acting!
119. Ibu 1 : Hai pak bayan. Apa bapak bilang. Kami over acting?!
120. Ibu 2 : Jangan lempar mulut sembunyi hidung pak bayan.
121. Modin : Pak bayan. Salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah banyaknya pejabat
yang tidak mau bertanggungjawab atas kebijakan yang dikeluarkannya.
122. Bayan : Pak Modin, apa yang harus saya pertanggungjawabkan.
123. Ibu 1 : Ya kebohongan pak bayan!
124. Modin : Pak Bayan, Lidah itu lebih tajam daripada pedang. Lidah itu milik kita sebelum
berkata-kata, namun setelahnya, kita menjadi miliknyan. Nasib kita tergantung apa yang kita
katakan
125. Guru : sudahlah. Apa yang sebenarnya terjadi. Ceritakan yang sesungguhnya pak bayan!
126. Bayan : bapak ibu semua. Saya ini Bayan. Tugas saya memberi kabar yang
sesungguhnya. Tidak kami kurangi dan tidak kami lebih-lebihkan.
127. Ibu 2 : Kenyataanya pak bayan!
128. Bayan : Tolong jangan dipotong apa yang sebenarnya mau saya sampaikan. Karena bila
informasi ini terpotong. Akan memunculkkan reaksi yang negative. Reaksi yang ibu lakukan
saat ini adalah lantaran ibu-ibu suka memotong pengumuman. Dan memahaminya sepotong-
potong.
129. Ibu 1 : Pak Bayan,
130. Guru : Tolong sabar ibu. Beri kesempatan pak Bayan menyampaikan informasi yang
sebenarnya.
131. Bayan : Dengar, dengar semua warga! Ini adalah pengumuman penting. Pengumuman
ini tentang nasib anak-anak bapak ibu. Atas instruksi pak lurah. Semua warga yang
mempunyai anak usia sekolah harus datang nanti malam di balai kelurahan!
Music penanda pergantian adegan. Lampu padam beberapa detik.

Adegan 8

Lampu kembali menyala. Suasana berganti dib alai kelurahan. Nampak lurahn memimpin
rapat.
132. Lurah : Bapak ibu yang terhormat. Dana bantuan itu semua akan cair dengan jaminan
yang telah saya sampaikan. Karena ini menyangkut kebaikan kita bersama untuk hidup layak.
Maka kita harus setuju,
133. Modin : Pak lurah dan para warga yang saya hormati, jangan pak lurah. Tolong jangan
kita jual kepribadian kita kepada orang asing.
134. Guru : Ini demi kebaikan bersama pak modin. Kapan lagi kita hidup sejahtera kalau
tidak mulai sekarang.
135. Modin : Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik bila kita berani menolak yang tidak
baik.
136. Guru : Salah satu jalan yang kini dikasih Tuhan adalah kita harus menerimah bantuan
tersebut pak Modin
137. Lurah : Pak Modin yang terhormat. Tolonglah pak modin, jangan bersikap terlalu kaku
memahami ajaran agama. Pak modin harus sedikit toleran untuk mempertimbangkannya. Pak
modin tahu sendiri kan? Bagaimana nasib kita dulu ketika kita sekolah. Kita masih untung
bisa bersekolah. Banyak teman-teman yang tidak bisa bersekolah karena miskin. Dan kita
tahu sendiri nasib para guru, hidupnya serba kekurangan. Termasuk nasib pak modin.
Saatnya pak modin hidup layak. Pak modin pun faham salah satu ajaran agama. Kemiskinan
itu mendekatkan seseorang dan masyarakat pada kekufuran. Dosa kekufuran itu lebih besar
kan pak Modin?!
138. Modin : Bapak lurah yang terhormat. Tolong jangan berfikir pragmatis, untung sesaat,
namun celaka selamanya.
139. Guru : Pak modin, benar apa kata pak lurah. Lebih celaka lagi kalau kita miskin dan
kembali menyembah berhala.
140. Modin : Yakinlah ibu. Kita akan lebih kaya bila kita berani menolak yang tidak baik
walaupun sedikit. Yakinlah, Tuhan akan memberi sepuluh kali lipat kebaikan dari jumlah
keburukan yang kita tolak
141. Guru : Kita menjadi kaya itu tidak cukup dengan keyakinan dan do’a, pak modin. Kita
harus berusaha.
142. Modin : Sungguh mulya apa yang ibu guru sampaikan. Namun haruslah dengan cara
yang terpuji. Bukan berbohong, juga bukan dengan menjual nasib mereka.
143. Guru : Maksud pak, modin?
144. Modin : Ibu guru yang terhormat, tidak kah kita berfikir tentang kejiwaan anak-anak.
Pendidikan akan menjadi tirani bagi mereka bila kita terus-menerus mengekploitasi
intelektualnya tanpa memperhatikan emosionalnya. Lihatlah realitas, puluhan teman kita
pandai yang punya nilai bagus diatas rata-rata pada ijazahnya, namun hidupnya cenderung
tidak bertanggungjawab, kalau jadi pejabat ya suka korupsi. Dan lihatlah teman-teman kita
yang ketika sekolah dasar sulit untuk membaca atau menerima materi pelajaran. Namun
mereka suka membantu membersikan papan tulis dan halaman, mereka suka berolaraga dan
menanam bunga. Kini hidupnya sukses lahir dan batin. Mereka sangat bahagia walau tidak
menjadi pejabat.
145. Lurah : Pak Modin mulai subyektif dalam penilaian, mulai berani menyindir saya.
146. Modin : Sungguh, kami tidak bermaksud menyindir siapapun. Kami hanya bermaksud
berargumen. Bahwa kecerdasan anak tidak hanya terukur dari intelektualnya saja, namun
emosionalnya lebih penting.
147. Lurah : Sudahlah pak Modin, jangan berkhutbah di sini. Waktuynya kita rapat dan
memutuskan sesuatu untuk kesejahteraan ummat.
148. Modin : Saling menasihati itu wajib hukumnya pak. Barang siapa yang melihat
kemungkaran ia harus merubahnya..
149. Lurah : Bapak modin memandang bahwa apa yang selama ini kita lakukan adalah
kemungkaran? Maksud kami ingin mensejahterakan warga ini termasuk kemungkaran?
150. Modin : Niat bapak mulya, namun caranya yang tidak baik. Bapak mulai menghalalkan
kebohongan dengan memanipulasi data untuk mendapatkan bantuan. Dan dampak negatifnya
bapak, anak-anak kita kan mudah frustasi dan tidak kreatif. Kelak anak-anak akan mudah
dijajah fikirannya. Mereka akan membiarkan orang lain merampasnya dengan perhitungan
jangka pendek. Seperti yang kita lakukan saat ini. Kita adalah korban dari system yang tidak
benar.
151. Guru : Saya fikir pak Modin mulai tidak berfikir dengan sehat. Gaya bicaranya pak
Modin tidak lagi seperti Modin yang sejuk dan menyenangkan. Saya merasakan ada sesuatu
yang aneh pada diri pak modin.
152. Lurah : Ya betul ibu guru
153. Guru : Saya pernah memiliki teman kuliya yang gaya bicaranya seperti dia.
154. Lurah : Jangan-jangan pak modin adalah……
155. Guru : Teman saya duluh sangat idealis
156. Lurah : Betul, dia cenderung anti kemapanan
157. Guru : Dia adalah seorang demonstran
158. Lurah : Bahkan teman saya ada yang menjadi teroris
159. Modin : Bapak lurah dan ibu guru yang terhormat. Sungguh fikirkan matang-matang
kalau mengambil kebijakan. Mintahlah pada Tuhan, pasti mereka merahmatinya. Dan
semoga keputusan bapak tidak mengorbankan nasib kita dan nasib anak-anak
160. Lurah : (semakin marah) Bapak modin, berhenti bicara! Saya berkesimpulan apapun
resikonya keputusannya rakyat ini harus sejahtera.
161. Modin : Tidak bisa pak lurah. Sesuatu yang beresiko itu akan mencelakakan.
162. Lurah : para warga sepakat anak-anak harus sekolah, ibu guru sepakat jadi orang kaya,
bapak modin bagaimana?!
163. Modin : (semakin melawan) Saya tidak sepakat. Anak-anak tidak boleh dipangkas masa
depannya. Anak-anak punya bakat dan hobi. Ityulah yang harus dikembangkannya untuk
hidup kreatif. Untuk survive. Standarisasi adalah pembunuhan karakter.
164. Guru : Tahu apa pak Modin perkembangan anak. Tahu apa pak modin tentang
pendidikan anak. Madrasah saja tidak lulus bicara macam-macam tentang masa depan anak.
165. Lurah : Sepakat!
166. Warga : Sepakat!
Mereka statis. Lampu lamat padam. Nyanyian hymne guru sayup-sayup menggemah.
Panggung gelap

Adegan 9

Musik berubah. Adegan berganti di sebuah tempat. Hanya ada pak lurah dan orang asing.
167. Orang Asing : Modin itu adalah tokoh masyarakat. Ia punya pengaruh, terlebih pada
orang-orang yang tidak mendukung bapak pada waktu pilihan. Ia sangat berbahaya
168. Lurah : Apa yang harus saya lakukan?
169. Orang Asing : Menyingkirkannya
170. Lurah : Bagaimana caranya?
171. Orang Asing : Bapak harus menjebaknya, cari perempuan yang menarik dan miskin,
biayanya kami yang menanggung

Adegan 10

Di rumah bapak modin


172. Perempuan : Assalamualaikum!
173. Modin : Waalaikum salam, silakan masuk!
174. Perempuan : Maaf, pak modin
175. Modin : ya, kenapa? Tidak bisaanya zuma datang ke rumah
176. Perempuan : minta nasihat pak modin.
177. Modin : Nasihat apa Zuma?
178. Perempuan : (mulai manja) saya ini kan lama ditinggal suami… (paus)
179. Modin : terus,
180. Perempuan : ada orang yang mengajak nikah sama saya
181. Modin : wah, baik itu
182. Perempuan : laki-laki itu sudah punya istri
183. Modin : ya kalau istrinya merestui ya tidak apa-apa. Tapi tolong usahakan jangan se
rumah dengan istri pertamannya
184. Perempuan : Pak Modin, apa pak modin tidak ingin menikah lagi. Ya siapa yang mau
sama saya. Saya tidak punya cukup uang.. usia saya juga mulai lanjut
185. Perempuan : siapa bilang pak modin, pak modin masih nampak kuat lho (duduk merapat
ke pak modin)
186. Modin : (gamang antara tergoda dan mempertahankan keimanannya) jangan lakukan ini
187. Perempuan : Maaf bapak, tidak sengaja. (mendekat lagi) bapak, saya lebih suka bapak
menikahiku daripada dinikahi orang itu
188. Modin : Saya tidak mau menghianati istriku
189. Perempuan : Dia sudah menjadi tanah, pak modin. Apakah pak modin relah saya nikah
dengan lelaki yang beristri. Dan istrinya pasti tidak akan mengijinkannya. Yang terjadi kami
akan nikah sembunyi-sembunyi pak modin. Pak modin tolonglah kami. (semakin menggoda)
nikahilah kami pak modin!
190. Modin : Jangan seperti ini. Ini tidak baik!
191. Tiba-tiba muncul suara gaduh dan teriakan dari luar
192. Orang-orang : Pak modin! ternyata pak modin lebih bejat. Pak modin melarang warga
untuk mendekati zinah, tapi pak modin malah melakukannya!
193. Modin : Ini fitnah, ini fitnah……………….
194. Orang-orang : Jangan berkelit Pak Modin.. jangan lempar sembunyi tangan
195. Modin : Sungguh kami tidak melakukan apa apa. Ini sungguh fitnah!

Musik terus mengeras, dan lampu lamat-lamat padam, music mengikutinya sebagai tanda
pertunjukan selesai.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai