Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN

PRAKTEK KERJA LAPANGAN

PROGRAM KEAHLIAN KEPERAWATAN HEWAN


DI UPTD PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN MANGGELEWA

Disusun oleh :

HERI ZULKIFLI
SUMARDIANSYAH
L.MUH.ZUM ARIFE
DEDI HERDIANSYAH

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT


DINAS PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
SMKPP NEGERI BIMA
2022

Jln Datuk Dibantak 155 A Kelurahan Jatiwang Kecematan Asaskota Kota Bima
Kode Pos 61254 Telp.(0374) 43583 Email : smkppnegeribima@yahoo.co.id
LEMBAGA PENGESAHAN
LAPORAN HASIL PRAKTEK KERJA LAPANGAN

PROGRAM PERWAT KESEHATAN TERNAK


DI UPTD PETERNAKAN MANGGLEWA KABUPATEN BIMA

Disetujui oleh :

Penguji. Pembimbing.

Zulfa Hilmiati, STP Drh.sahri ramadhan


NIP.

Mengetahui,
Kepala SMKPP Negeri Bima

Abdul Hamid,S.Pt m.Pd


NIP.19770324 200801 1 010
RINGKASAN

SUMARDIANSYAH, HERIZULKIFLI, L.MUH.ZUM.ARIEF, DEDI HERDIANSYAH.


UPTD Peternakan dan Kesehatan Hewan manggelewa yang di bimbing oleh. HASAN S.PT.
Selaku guru pembimbing interen dan Bapak Drh. Sahri Ramadhan.

Praktek kerja lapangan (PKL) dilaksanakan mulai tanggal 10 Januari 2022 sampai tanggal 31
Maret 2022 di UPTD Peternakan dan Kesehatan Hewan Manggelewa Kabupaten
Dompu.

Kegiatan yang dilaksanakan selama prakeri adalah melakukan pemberian pelayanan


kesehatan terhadap ternak masrakat sehinga ternak di daerah itu tetap sehat.

Dalam melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Langan (PKL) hasil kegiatan yang dilakukan
meliputi :

1. Inseminsasi Buatan (IB) bertujuan untuk meningkatkan mutu genetik ternak


lokal,Mempercepat peningkatan dan populasi ternak,menghemat biaya penggunaan
penjantan,mencegah penularan penyakit kelamin,dan mencegah kawin sedarah atau
inbreeding.
2. Pemeriksaan ke buntingan (PKB) merupakan langka selanjutnya setelah melakukan
IB atau kawin suntik merupakan rangkaian tidak terpisah dari ilmu
Reproduksi.bertujuan untuk mengetahui ternak bunting atu tidak tanpa adanya
positif atu negatif semua,menentukan umur kebuntingan,dan menentukan hidup
atau mati dari fetus.di samping itu juga untuk mengetahui penyakit Reproduksi.
3. Distocia adalah suatu kondisi sapi yang tidak mampu melahirkan dengan sendirinya
dan membutuhkan bantuah petugas kesehatan hewan atau dokter hwean.
4. Pemberian vitamin dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ternak.
5. Helminthiasis atau dikenal sebagai infeksi cacing merupakan salah satu penyakit
macroparasitic atau penyakit hewan menular dimana bagin tubuh terinfeksi cacing
parasit, yang disebabkan oleh berbagai jenis cacing, baik dari kelas
trematoda,nematoda,maupun cetoda.
6. Vulnus disebabkan oleh trauma mekanis,termis atau kimiawi dengan tanpa disertai
pendarahan / luka-luka dan biasa disebabkan oleh trauma benda tajam.
7. Maglingnant chatarhal fefer (MCF) Agen penyebab penyakit ini digolongkan
menjadi dua macam yaitu
a. Herpes virus merupakan anggota dari sub famili Gamma Herpsvirnea famili
herpesviridea
b. Agen yang belum diketahu secara jelas klasifikasinya dan perkiraan ditularkan oleh
domba
8. Bovine Emphemeral fefer (BEF) adalah suatu penyakit Demam tiga hari penyakit ini
disebabkan oleh Virus BEF yang disebarkan oleh nyamuk cullicoides sp atau
seranga penghisap darah.
9. Malnutrisi merupakan kondisi dimana hewan mengalmi kekurangan nutrisiyang
parah.kondisi malnutrisi akan dutunjukan oleh adanya kekurusan,bulunya rontok dan
kulitnya yang kering malnutrisi dapat disebabkan Oleh kurangnya asupan pakan.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa.yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya dan memberi kami kesempatan dalam menyelesaikan
laporan Praktek Kerja lapangan (PKL) di UPTD manggelewa. Laporan ini di susun untuk
memehi salah satu persaratan dalam menyelesaikan Praktek kerja lapangan (PKL).

Laporan ini dapat diselesaikan atas bantuan dan bimbingn dari semua pihak. Untuk
penulis mengucapkan terimah kasih kepada semua pihak yang ikut membantu dalam
penyelesaian laporan ini, terutama kepada :

1. Kedua orang tua yang telah mendukung kami selama melaksanakan Praktek kerja
lapangan (PKL)
2. Bapak Abdul Hamid, s.Pt M.Pd selaku kepala SMKPP Negeri Bim
3. Bapak Hasan S.Pt selaku kepala UPTD manggelewa
4. Bapak Hidayatullah S.Pt selaku ketua program keahlian
5. Guru pembimbimbing Exstren Jakaria
6. Guru pembimbing Internal Drh.Sahri ramadhan
7. Guru-guru SMKPP Negeri Bima
8. Karyawan dan staf UPTD maggelewa
9. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
Membantu dalam proses penyusunan laporan ini.
10. Penyusunan laporan ini sebagai salah satu syarat untuk mengikuti. ujian akhir
nasional (UAN) dan ujian akhir sekolah (UAS) tahun pelajaran 2022/2023 serta
sebagai bukti bahwa telah melaksanakan Praktek kerja lapangan (PKL).

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih terdapat kekurangannya,oleh


karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan ini sangat
penulis harapkan. Mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca umumnya.

Kota Bima, Maret 2022


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................

1.1 Latar belakang.............................................................................


1.2 Tujuan manfaat............................................................................
1.2.1. Tujuan pelaksanaan PKL.................................................
1.2.2. Manfaat Pembuatan Laporan..........................................
BAB II TINJAUAN UMUM.........................................................................

2.1 Waktu dan tempat pelaksanaan....................................................


2.2 Profil Lembaga Tempat PKL.......................................................
2.3 Struktur Organisasi Lembaga.......................................................
2.4 Visi Dan Misi Lembaga...............................................................
2.5 Ruang Lingkup Kegiatan Instansi................................................
2.5.1 Unit Inseminasi Buatan.......................................................
2.5.2 Unit Pelayanan Kesehatan Hewan......................................
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................................

3.1 Inseminasi Buatan..........................................................................


3.2 Penyakit MCF................................................................................
3.3 Malnuttisi.......................................................................................
3.4 Penyakit Helminthiasis...................................................................
3.5 Penyakit Vulnus.............................................................................
3.6 Pemeriksaan KeBuntingan.............................................................
3.7 Penanganan Distocia......................................................................
3.8 Penyakit BEF.................................................................................
3.9 Pemberian Vitamin B komleks......................................................
BAB IV URAIAN KEGIATAN DAN PEMBAHASAAN...........................

4.1 Jenis Kegiatan Prakeri......................................................................


4.2 Uraian Kegiatan Prakeri...................................................................
4.2.1 Melakukan Inseminasi Buatan (IB)........................................
4.2.2 Penanganan Penyakit MCF.....................................................
4.2.3 Penangana Malnutrisi..............................................................
4.2.4 Penanganan Penyakit Helminthiasis.......................................
4.2.5 Penanganan Vulnus.................................................................
4.2.6 Melakukan Pemeriksaan Kebuntingan....................................
4.2.7 Penanganan Distocia...............................................................
4.2.8 Penangana Penyakit BEF........................................................
4.2.9 Pemberian Vitamin B Kompleks............................................
BAB V HSIL DAN PEMBAHASAN...........................................................

5.1 Pelaksanaan Inseminasi Buatan Pada Sapi.......................................


5.2 Pemerikasaan kebuntingan ...............................................................
5.3 Penangan Distocia Pada Sapi...................................................................
5.4 Penangan penyakit MCF
5.5 Penanganan Penyakit Helminthiasis
5.6 Penanganan Malnutrisi
5.7 Penanganan Vulnus Pada Sapi
5.8 Penangan Penyakit BEF
5.9 Pemberian Vitamin B kompleks
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................

6.1 Kesimpulan.......................................................................................
6.2 saran..................................................................................................

DAFTAR TABEL......................................................................................................

DAFTAR GAMBAR.................................................................................................
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis Kegiatam Prakerin

Table 2. Melakuan Inseminasi Buatan

Table 3. Melakukan Pemeriksaan Kebuntingan

Table 4. Penanganan Distocia

Table 5. Penanganan penyakit MCF

Tabel 6. Penanganan Penyakit Helminthiasis

Table 7. Penanganan Malnutris

Table 8. Penanganan Vulnus

Table 9. Penanganan Penyakit BEF


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Organisasi Lembaga..................................................................

Gambar 2. Kebuntingan 3 Bulan................................................................................

Gambar 3. Kebuntingan 4 Bulan................................................................................

Gambar 4. Kebuntingan 5 Bulan................................................................................

Gambar 5. Kebuntingan 6 Bulan................................................................................

Gambar 6. Melakukan Inseminasi Buatn...................................................................

Gambar 7. Tangani Penyakit MCF............................................................................

Gambar 8. Tangani Kasus Malnutrisi........................................................................

Gambar 9. Tangani Penyakit Helminthiasis..............................................................

Gambar 10. Tangani Vulnus......................................................................................

Gambar 11. Melakukan Pemeriksaan KeBuntingan..................................................

Gambar 12. Melakukan Pelayanan Distocia.............................................................

Gambar 13. Tangani Penyakit BEF...........................................................................

Gambar 14. Pemberian Vitamin B Kompeleks...........................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perternakan memegan perana pentinf dan strategis dalam pembangun skor
pertanian. NTB mempunyai keungulan sumber dya alam dan sumber daya manusia
yang cukup potensial. Perana kesehatan hewan dalam kehidupan sangat penting
karena komparatif dan kompetitif ynag sangat menguntungkan yang memiliki
potensi sumbaka mempengaruhi terhadal kesehatan manusia, bukan hanya
melimdungi terhadap resiko lesehatan manusia namun akan mempengaruhi pula
terhadap produktivitas hewan baik dari segi biologis maupun medis, melindungi
keseimbangan lingkungan serata mempertahankan kelestarian sumber daya genetik.
Prinsip penanganan kesehatan hewan yang menjadi tugas pemerintah dan masrakat
terutama di arahkan pada penyakit yang berdampak kerugian ekonomi yang akan
berdampak pada mortolitas yang tinggi.
Kekurangan berhasil atau kegagalan suatu program kesehatan, sering
disebabkan karena kurang atau tidak adanya dukungan dari para pembuat keputusan,
baik di tingkat nasional maupun lokal seperti provinsi, kabupaten atau kecematan.
Akibat kurang adanya dukungan itu, antara lain rendahnya lokasi anggaran untuk
program kesehatan, kurangnya sarana dan prasana tidak adanya kebijakan yang
menguntungkan begi kesehatan dan sebagiannya (Notoatmojo, 2005).
Ruang lingkuo kesehatan hewan di jabarkan melalui beberapa funsi antara lain
ponolaka, pencegahan, pemberantasan dan pengendalian serta pengobatan dan
pelayanan kesehatan hewan. Prinsip Pengendalian dan pemberantasan penyakit
hewan yang menjadi tugas pemerintah terutama di arahkan pada penyakit yang
berdampak kerugian ekonomi tinggi , oleh karena menular, penyebaran cepat serta
mengakibatkan angka kematian dan kesakitan yang tinggi berdasarkan surat
keputusan direktorat jendral peternakan, Nomor: 103/TH.501/KPTS/DJP/0398, ada
12 Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang mendapat prioritas
Pengendalian di indonesia.

Tindakan antisipasimelalui pengamatan dana penataan penyakit secara dini serta


pencegahandan pemberantasan penyakit sangat diperlukan secara teratur dan
berkesinambungan.
Pemerintah kesehatan hewan merupakan salah satu dasar kegiatan dinas
peternakan. UU No. 18 Tahun 2009 tentanng petwrnakan dan kesehatan hewan
mengamanatkan perlunya penyelengaraan kesehatan hewan di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Rebublik Indonesia melalui kelembagaan otoritas veteriner.
Otoritas veyeriner adalah kelembagaan pemerintah atau kelembagaan yang dibentuk
pemerintah dalam pengambilan keputusan tertingi yang bersifat teknis kesehatan
hewan dengan melibatkan keprofisionalan dokter jewan dan dengan mengerahkan
semua lini kemampuan profesi mulai dari mengidentifikasi masalah, menentukan
kebijakan, mengoordinasik pelaksana mebijakan, sampai dengan mengendalikan
teknis operasional di lapangan sejalan dengan itu praktek kerja lapangan ini
dilakukan di Dinas peternakan bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masrakat
Vertiner.

1.2 Tujuan dan manfaat


1.2.1 Tujuan Pelaksanaan PKL
a. Siawa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dunia kerja dan
industri yang sesunguhnya.
b. Siswa memiliki tingkat kopetensi standar sesuai yang dipersaratkan oleh
dunia kerja dan imdustri.
c. Siswa menjadi tenaga kerja yang berwaasan mutu, ekonomi, bisnis,
kewirausahaan dan produktif.
d. Siswa dapat menyerap perkembangan teknologi dan budaya kerja, untuk
kepentingan diri atau pribadi .
1.2.2 Manfaat Pembuatan Laporan
a. Sebagian salah satu bentuk latihan dalam menghadapi uji kopetensi pada
akhir proses pembelajaran.
b. Sebagian salah satu tugas yang disaratkan untuk menempuh ujian akhir
sekolah (UAS) dan ujian akhir Nasional (UAN).
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Wakatu dan tempat pelaksanaan

Waktu pelaksanaan PKL dilaksannakan dari tanggal 10 Ferbuari 2022 sampai


tanggal 30 Maret 2022 di UPTD Dinas Peternakan Dan keswan Manggelewa
Kabupaten Dompu.

2.2 Profil Lembaga Tempat PKL


UPTD Manggelewa adalah unit kerja dibawah naungan Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan kabupaten Dompu yang mempunyai tugas dan fungsi
melaksanakan pelayanan kesehatan hewan. UPTD Manggelewa di Pimpin oleh Hasan
S.Pt. Dalam melaksanakan tugas di UPTD Manggelewa mempunyai tiga sitem
pelayanan yaitu pelayanan aktif,semi aktif, dan pelayanan pasif.

Sistem aktif adalah melaksanakan pelayanan pengobatan hewan dengan cara


berkunjung kepada petani peternak meskipun tidak ada laporan dari petani peternak.
Sistem semi aktif adalah pelayanan pengobatan terhadap ternak sakit yang dilaporkan
oleh petani, sedangkan sistem pelayanan pasif adalah pelayanan pengobatan hewan
terhadap ternak sakit yang dibawa ke Pukeswan atau UPTD. (Anonim, 2015)

2.3 Struktur Organisasi Lembaga

UPTD Manggelewa memiliki sturktur Organisasi sebagai berikut :

KUPT DINAS PETERNAKAN PIMPINAN

HASAN. S.Pt NURHAK RAYES S.Pt

PARAMEDIK VETERINER
STAF ADMINISTRASI
Drh. SAHRUL QOMAR
TITI YANTI S.Pt

STAF TEKNIS TENAGA INSEMINATOR


M. AMIN JAKARIAH

Gambar 1. Struktur Organisasi Lembaga


2.4 VISI DAN MISI LEMBAGA
1. VISI
Terwujudnya masyarakat petetnak yang mandiri dan sejatra.
2. MISI
a. Peningkatan sumber daya manusia (Aparat peternakan dan petani Peternak).
b. Meningkatkan produktif dan produktifitas ternak.
c. Peningkatan pengawasan dan pengendalian terhadap mutu ternak.
d. Peningkatan saranan dan prasarana peternak.
2.5 Ruang Lingkup Kegiatan Instasi
1. Unit Inseminasi Buata
Inseminasi Buatan (IB) adalah proses memasukkan sperma ke dalam
saluran reproduksi ternak betina yang sedang birahi dengan tujuan untuk
membuat ternak betina menjadi bunting tanpa perlu terjadinya kawin alam.
Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor penjatan secara alamiah
memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (Spermatozoa) per hari,
sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan
hanya satu Spermatozoa. Potensi terpendam yang dimiliki seekor penjantan
sebagai sumber informasi genetik, apa lagi yang unggul dapat dimanfaatkan
secara efisien untuk membuahi banyak betina.
2. Unit Pelayanan Kesehata Hewan
Pelayanan Kesehatan Hewan adalah merupakan program pelayanan yang
disediakan UPTD Manggelewa untuk masyarakat. Kegiatan Pelayanan
Kesehatan Hewan di UPTD Manggelewa meliputi pengawasan, pengobatan,
vaksinasi, pencatatan Penyakit Hewan, kondultasi masalah gizi dan kesehatan
ternak/Hewan, penyuluhan serta pemeriksaan laboratorium meliouti (Feses,
darah, dan pangan asal Hewani). Pelayanan kesehatan ternak diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memelihara dan menghasilkan
ternak yang sehata dan berkualitas.
Kegitan pelayanan UPTD Manggelewa dilakukan baik pelayanan
antif ,semi aktif, dan pasif mengigat potensi petrnakan yang ada sangat
berfariasi. Pelayan aktif dilaksanakan sesuai dengan program kerja yang telah
disusun setiap tahun seperti pemeriksaan cacing, pemberian obat cacing,
vaksinasi dan pembina kelompok. Pelayanan semi aktif dilakukan apa bila ada
laporan dari peternak kemudian petugas mendatangi lokasi untuk melakukan
penanganan, hal ini dilakukam terhadap unggas dan ternak besar. Sedangkan
pelayanan pasif yaitu melakukan pelayanan pada pukeswan terutama
mengenai kasus penyakit hewan kesayangan dan di konsultasi masalah gizi,
pemeliharaan, pengobatan dan kesehatan hewan.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Inseminasi Buatan

Toelihere (1993) menyatakan bahwa IB berasal dari kata artificiainsemination


(Inggris), kunstmatiga inseminatie (Belanda), inseminationartificielle (Prancis), atau
kunstliche besamung (Jerman). Artificial artinya tiruan atau buatan, sedangkan
insemination berasal dari kata latin inseminates; ini artinya pemasukan, penyampaian
atau deposisi, sedangkan semen adalah cairanyang mengandung sel-sel kelamin jantan
yang diejakulasikan melalui penis padawaktu kopulasi atau penampungan. Jadi
menurut defenisi, IB adalah pemasukan atau penyampaian semen kedalam saluran
kelamin betina dengan menggunakan alat-alat buatan manusia, jadi bukan secara
alam, atau suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (sperma atau semen) yang
telah dicairkan dan telah diperoses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke
dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang
disebut insemination gun. Pelaksanaan IB pertama kali dilakukan tahun 1780 oleh
Spallanzani, seorang ahli dibidang fisiologi dan berkebangsaan Italia. Laporan lain
muncul pada abad ke-19 dimana dilakukan penelitian pada hewan ternak di Rusia dan
Jepang. Sedangkan Tolihere (2005) menyatakan bahwa IB pertama kali diperkenalkan
di Indonesia pada pertengahan tahun 50 an oleh Profesor B.Seitdari Denmark di
Fakultas Kedokteran Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Inseminasi
Buatan adalah salah Bioteknologi dalam bidang reproduksi ternak yang
memungkinkan manusia mengawinkan ternak betina tanpa perlu seekor pejantan.
Inseminasi Buatan merupakan suatu rangkaian proses terencana dan terpogram karena
menyangkut kualitas genetik ternak di masa yang akan datang. Pelaksanaan dan
penerapan teknologi Inseminasi Buatan di lapangan dimulai dengan langkah
pemilihan pejantan unggul sehingga akan lahir anak yang kualitasnya lebih baik dari
induknya selanjutnya dari pejantan tersebut  dilakukan penampungan semen,
penilaian kelayakan semen, pengelolahan dan pengawetan semen dalam bentuk cair
dan beku, serta teknik inseminasi ke dalam saluran reproduksi ternak betina
(Depdiknas, 2001).
3.1.1.Tujuan Inseminasi Buatan

a. Memperbaiki mutu genetika ternak


b. Tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ketempat yang dibutuhkan
sehingga mengurangi biaya
c. Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam
jangka waktu yang lebih lama
d. Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur
e. Mencegah penularan / penyebaran penyakit kelamin.

3.1.2.Keuntungan Inseminasi Buatan

1. Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan


2. Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik
3. Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding)
4. Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan dalam
jangka waktu yang lama
5. Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun
pejantan telah mati;
6. Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik
pejantan terlalu besar;
7. Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang
ditularkan dengan hubungan kelamin

3.1.3.Kerugian Imsemimasi Buatan

1. Apabila identifikasi birahi (estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat


maka tidak akan terjadi kebuntingan
2. Akan terjadi kesulitan kelahiran (distocia), apabila semen beku yang
digunakan berasal dari pejantan dengan breed / turunan yang besar dan
diinseminasikan pada sapi betina keturunan / breed kecil
3. Bisa terjadi kawin sedarah (inbreeding) apabila menggunakan semen beku
dari pejantan yang sama dalam jangka waktu yang lama
4. Dapat menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang jelek apabila
pejantan donor tidak dipantau sifat genetiknya dengan baik (tidak melalui
suatu progeny test).

3.2 Malingnant Catharrak Fefer (MCF) penyakit ingusam


MCF disebabkan oleh virus dari famili Herpesvirus. Penyebab utama penyakit
ini adalah dua bovid gammaherpesvirus yang terjadi subklinis di induk semang
alaminya. MCF pada banteng disebabkan oleh virus yang disebut ovine herpesvirus-2
(OvHV-2). Terkait erat dengan virus yang disebut Alcelaphine herpesvirus-1 (AlHV-
1) yang bertanggung jawab untuk kebanyakan kasus MCF di Afrika. Virus-virus ini
terkait satu sama lain dan juga terkait dengan gammaherpesvirus lain seperti
Kaposi’ssarcoma-associated herpesvirus (KSHV), Epstein–Barr virus(EBV) dan
murine gammaherpesvirus (MHV-68).
Wildebeest (Connochaetes taurinus) membawa AlHV-1 yang bertanggungjawab
terhadap wildebeest-derived form of MCF (WD-MCF). Di Sahara-Afrika, transmisi
silang antar spesies ke hewan lain yang rentan dapat terjadi ketika wildebeest sedang
merumput di suatu area. WD-MCF juga dilaporkan di seluruh dunia pada koleksi
kebun binatang dimana juga terdapat hewan-hewan artiodactyl termasuk didalamnya
adalah wildebeest. Secara eksperimental, WD-MCF dapat terjadi pada kelinci. Lesio-
lesio yang diamati sama dengan yang digambarkan pada induk semang alaminya
(Dewals et al., 2008)
Malignant Catarrhal Fever disebabkan oleh satu atau dua gamma herpesvirus.
Serotipe spesifik dapat berubah-ubah tergantung dari spesies dan distribusi
geografisnya. Wildebeest di Afrika merupakan induk semang alami yang membawa
Alcelaphine herpesvirus-1 (AlHV-1). Semua jenis domba domestik di Amerika Utara
dan dunia merupakan pembawa dari ovine herpesvirus-2 (OvHV-2). Alcelaphine
herpesvirus-2 (AlHV-2) adalah non-patogenik tapi bersifat laten pada wildebeest
(Connochaetes taurinus) dan hartebeest (Alcelaphus buselaphus). Baru-baru ini
diberitakan bahwa kambing terinfeksi secara endemik oleh caprine herpesvirus-2
(CpHV-2).
Herpesvirus ini terdiri dari nukleokapsid yang mempunyai selaput luar dan
berbentuk poligonal. Virus ini bersifat tahan pada suhu 50oC sampai -60oC kering
beku dapat bertahan 1 minggu. Dalam gliserin 50% tahan sampai 7 hari. Tetapi labil
pada proses beku cair. Virus ini tahan lama dalam sel dari pada di luar sel dan
penyakitnya bersifat sporadis (Anonimous, 2009).
Infeksi dimulai saat partikel virus kontak dengan sel yang mempunyai reseptor
tertentu di permukaan selnya, kemudian glikoprotein dari amplop virus berikatan
dengan reseptor tersebut dan DNA virus akan masuk. DNA virus bermigrasi ke
nukleus dan di dalam nukelus terjadi replikasi dan transkripsi DNA virus. Pada
infeksi yang menunjukkan gejala, sel-sel inang yang terinfeksi oleh virus
mentranskripsikan gen virus yang bersifat lisis tetapi ada juga beberapa sel inang yang
mentranskripsikan gen virus yang laten (virus dormant dalam sel). Virus laten, dalam
jangka panjang tidak menunjukkan gejala. Virus laten ini bisa direaktivasi. Jika virus
laten tersebut terbangun maka akan terjadi replikasi dan produksi virus. Dari virus
laten ini dapat menyebabkan sel lisis dan seringkali menyebabkan kematian sel (lytic)
dalam prosesnya. Aktivasi lytic umumnya ditandai dengan munculnya gejala penyakit
yang tidak spesifik seperti demam ringan, sakit kepala, sakit tenggorokan, lemah,
letih, lesu, gejala peradangan pada kelenjar limfe, bisa juga temuan imunologis seperti
berkurangnya jumlah natural killer cells (Wikipedia, 2009).
Domba dapat terinfeksi setelah lahir. Infeksi terjadi antara sejak kelahiran
sampai umur 4 bulan dan kebanyakan domba terinfeksi pada umur 4 bulan atau lebih
awal. Transmisi plasenta dapat terjadi namun jarang. Transmisi secara horizontal
melalui kontak fisik dengan hewan satu flock merupakan cara utama transmisi antar
domba. Virus DNA OvHV-2 dengan level tinggi secara konsisten ditemukan dalam
sekresi nasal pada domba, jadi dapat dikatakan hidung merupakan portal yang penting
terhadap pengeluaran OvHV-2. Virus tersebut tidak menyebabkan kesakitan pada
domba. Sapi, banteng dan rusa juga dapat terinfeksi melalui transmisi horisontal, yaitu
tranfer virus melalui sekresi nasal (O’Toole et al., 2000). Rumput kering, sumber air,
burung dan pekerja dapat memfasilitasi transmisi virus tersebut.
MCF belum terdokumentasi dapat ditransmisikan ke manusia. Virus ini sendiri
dapat dengan cepat diinaktivasi oleh sinar matahari dimana dapat menurunkan proses
penularan melalui fomite.

3.3 Malnutrisi
Malnutrisi merupakan kondisi dimana hewan mengalami kekurangan nutrisi
yang parah. Kondisi malnutris akan ditunjukkan oleh adanya kekurusan, alopecia,
rambut yang rontok dan kulit yang kering. Malnutrisi dapat disebabkan oleh
kurangnya asupan pakan, buruknya absorpsi (malabsorbsi), atau ketidak mampuan
untuk mencerna makanan (maldigesti).
Maldigesti merupakan gangguan patologis pada prosespencernaan (enzimatik),
sedangkan malabsorbsi ialah gangguan pada proses penyerapan dan transportasi
nutrisi. Kondisi maldigesti dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pankreas
(exocrine pancreatic insufiensy), sedangkan malabsorbsi dapat disebabkan oleh
kerusakan mukosa, penurunan luas permukaan usus, infeksi parasit dalam usus
(kecacingan) dan gangguansirkulasi enterohepatik(Khan 2011).
Pada kondisi maldigesti yang disebabkan exocrine pancreatic insufiensy hewan
tidak mampu mencerna makanan dengan benar karena kurangnyaenzim
pencernaanyang dibuat olehpankreas. Exocrine pancreatic insufiensy (EPI) banyak
ditemukan pada hewan khususnya pada anjing. Pada kondisi EPI sel-sel asinar
pancreas mengalami kerusakan sehingga menjadi tidak progresif untuk menghasilkan
enzim pencernaan (Ettinger & Feldman 1995). Selain menunjukkan adanya tanda-
tanda kekurangan nutrisi, pada kondisi EPI juga biasanya ditandai dengan kondisi
feses yang berlemak. Identifikasi kondisi EPI dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu dengan melakukan pengujian serumtrypsin-like immunoreactivity(TLI) atau
dengan uji fecalelastaselevels (melihat kadarchymotrypsinpada feses). Pada anjing uji
yang umum digunakan untuk identifikasi kondisi EPI ialah dengan uji
fecalelastaselevels (Rallis & Adamama 2004).

3.4 Heminthiasis
Ternak sapi, mempunyai peran yang sangat besar dalam penyediaan daging dan
merupakan salah satu sumber protein hewani dan banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut maka diperlukan usaha
pengembangan ternak dan pencegahan penyakit pada ternak khususnya penyakit pada
ternak ruminansia. Salah satu penyakit yang merugikan peternak adalah Fasciolosis.
Fasciolosis pada ruminansia merupakan penyakit parasiter yang di sebabkan
oleh infeksi cacing hati (Fasciola sp.). Penyakit ini biasanya menyerang ternak
ruminansia, pada daerah tropis disebabkan oleh infeksi Fasciola gigantica, sedangkan
di daerah subtropis disebabkan oleh infeksi Fasciola hepatica (Boray, 1985). Infeksi
cacing hati menyebabkan terjadinya penurunan laju pertumbuhan dan berat badan
ternak, penurunan efesiensi pakan, kematian pada derajat infeksi yang parah terutama
pada pedet maupun sapi muda, penurunan produksi, dan penurunan daya tahan tubuh
akibat anemia yang ditimbulkan, serta kerusakan jaringan terutama hati dan saluran
empedu (Kusumamihardja 1992).
Diagnosa penyakit fasciolosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan tinja, biopsi
hati, USG, PCR, dan ELISA. Pemeriksaan tinja merupakan cara yang paling umum
dan sederhana, dengan maksud untuk menemukan adanya telur cacing, dengan
menggunakan uji sedimentasi. Diagnosa penyakit cacing hati melalui tinja pada
umumnya dilakukan berdasarkan pada penemuan telur cacing pada tinja hewan
terinfeksi atau penemuan cacing dalam hati pada saat ternak mati yang di potong
(Boray, 1985).
Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang
sifatnya merugikan. Manusia merupakan hospes definitif daribeberapa nematoda
usus.Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia. Diantara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan
melalui tanah dan disebut “Soil Transmitted Helminths“ seperti Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura (Sutanto, 2008).
Infeksi Soil Transmitted Helminths ini merupakan infeksi paling umum di daerah
tropis terutama pada masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di daerah kumuh.
Infeksi ini dapat terjadi bila manusia tertelan telur/larva infeksius (A.lumbricoides dan
T.trichiura) atau dengan penetrasi bentuk larva filariform (larva hookworm) yang
berada di tanah (WHO, 2008).
Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium dewasa hidup di
rongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000– 200.000
butir sehari; terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan
yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu
kurang lebih 3 minggu.
Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya
menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke
jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke
trakea melaluigbronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga
menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut
dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus
larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing
dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan (Sutanto, 2008).
Menurut Effendi yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006) di
samping itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga
dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma
Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-
kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan
berkurang, diare. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan
penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bilacacing menggumpal
dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Illeus obstructive).
Helminthiasis merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis yang
seringkali kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan penyakit strategis
lainnya, sehingga penanganan penyakit ini juga kurang maksimal. Helminthiasis
merupakan penyakit pada hewan yang disebabkan oleh berbagai jenis cacing, baik
dari klas trematoda, nematoda maupun cestoda yang sangat merugikan karena dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan, penurunan berat badan,
mengganggu status kesehatan secara umum sehingga mudah terinfeksi penyakit lain,
dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Gangguan pada pertumbuhan yang
berlangsung cukup lama akan menyebabkan penurunan produktivitas. (Arsani, 2015)

3.5 Vulnus
Vulnus atau luka adalah suatu diskontinuitas jaringan yang abnormal, baik
didalam maupun pada permukaan tubuh. Luka dapat terjadi karena trauma yang
berasaldari luar, atau berasal dari dalam karena gesekan fragmen tulang yang
patah,rusaknya kulit dari infeksi atau tumor ganas (Ridhwan Ibrahim,
2002).MenurutSuriadi (2007), Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan,
dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.
Secara umum luka dikategorikan menjadi dua yaitu luka simplek dimana luka
hanya melibatkan kulit (epidermis saja) contohnya vulnus abrasi ; lalu luka komplek
dimana luka yang terjadi disamping kulit juga melibatkan jaringan di dalamnya (otot,
pembuluh darah,saraf). Penyebab luka ada berbagai macam sebab yaitu Trauma
mekanis (tergesek, terpotong, terpukul, tertusuk, terbentur, terjepit); Trauma elektrik
(sengatan listrik, sambaran petir); Trauma termis oleh karna suhu terlalu panas
(vulnus lombustum), suhu dingin (vulnus longolationum).
1. Luka memar (vulnus contussum)
Kontusi atau memar jaringan (disebut juga sebagai luka “tertutup”)
dengankulit bengkak dan berwarna biru, terbagi atas tiga derajat. Derajat
pertama disebabkan oleh robekan kapiler jaringan bawah kulit yang di
sertaipembentukan ekhiminisis. Kontusi derajat kedua di sebabkan oleh
pecahnyapembulu darah yang lebih besar dengan pembetukan matom.
Kontusi derajatketiga ditandai dengan kerusakan jaringan, misalnya patah
tulang, sampaidengan timbulnya shock dan gangren.
2. Luka lecet (vulnus abrasi)
Adalah luka yang hanya mengenai lapisan paling luar dari kulit dan sangat
dangkal.
3. Luka sayat (vulnus incisi)
Adalah luka yang diperoleh karena trauma benda tajam. Pinggir luka atau
licin. Jaringan yang hilang boleh dikatakan tidak ada.

4. Luka robek (vulnus laceratum)


Luka yang penggirnya tidak teratur atau compang-campaing sebagian dari
jaringan umumnya hilang. Desebabkan oleh trauma tumpul.
5. Luka tusukan duri (vulnus punctum)
Luka yang disebabkan tusukan benda berujung runcing seperti paku. Tapi
luka mungkin terdorong ke dalam luka kecil, tetapi dapat sangat dalam.
Apabila luka tusuk ini menembus suatu organ. Maka luka masuk selalu
lebih besar dari luka keluarnya. Kadang-kadang luka ini baru diketahui
setelah timbul abses di telapak kaki.
6. Luka tembak (vulnus sclopetum)
Apabila luka tembak ini menumbus suatu organ, maka luka keluarnya lebih
lebar dan lebih compang-camping. Apabila tembakan dilakukan dari jarak
dekat, maka apabila luka masuk dapat ditemui jelaga. Pada luka keluar tidak
jarang di temui pula bagian –bagian organ yang diterjang peluru.Keluar
tidaknya peluru atau sampai dimana kerusakan yang di timbulnya tergantung
dari jenis senjata, peluru jarak dan arah tembakkan.
7. Luka granulasi
Adalah luka yang diatasnya tumbuh jaringan granulasi. Luka granulasi Dapat
dimula oleh ulkus atau laku terinfeksi.
8. Vulnusulkus
Suatu luka yang dalam, karena infeksi,tumor ganas, atau kelainan pembulu
darah.
9. Luka gigitan ( vulnus morsum )
Adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk
permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit, terkadang
bekas gigitan tidak jelas karena sudah terkoyak. Kedalaman luka
menyesuaikan dengan gigitn hewan tersebut.
3.5.1 Vulnus morsum
Vulnus morsum merupakan luka yang tercabik-cabik yang dapat berupa
memar yang disebabkan oleh gigitan binatang atau manusia (Morison J, 2003).
Dapat ditemui pada bekas gigitan terasa nyeri, panas, dan udem. Dapat
menyebabkan shock anafilaktif dan membawa masuk bakteri atau parasit
kedalam tubuh hewan. Luka gigitan yang paling sering dijumpai diantaranya:
a. Ular (vulnus morsum serpentis)
b. Anjing (vulnus morsum canis)
c. Kucing (vulnus morsum felis )
d. Monyet (vulnus morsum macacus)
e. Manusia (vulnus morsum sapiens)
f. Kalajengking (vulnus morsum scorpion)

Jenis-jenis luka tersebut memiliki tindakan penanganan masing-masing.


Untuk luka gigitan akibat hewan yang memiliki bisa harus dengan tanggap
mengobatinya jika tidak maka racun bisa dapat menyebar keseluruh tubuh dan
jaringan syaraf dan dapat menyebabkan kematian.
Untuk vulnus morsum yang disebabkan oleh gigitan kucing atau anjing,
tindakan pertama yang harus dilakukan adalah pembersihan luka dari
debris/kotoran lalu pemberian antibiotik dapat mencegah infeksi sekunder
agen bakteri. Jika jejas luka besar dan dalam maka harus dilakukan penutupan
luka dengan tindakan pembedahan yaitu dengan tehnik suture (penjahitan)
Vulnus morsum masuk ke dalam kategori luka terbuka (vulnus apertum).
Penyebab utamaVulnus morsum adalah gigitan hewan seperti ular, anjing,
kucing, kalajengking dan lain – lain. Pada kasus ini luka gigitan disebabkan
oleh kucing yang dapat disebut juga Vulnus morsum felis. Luka gigitan hewan
memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit
dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut. Vulnus
morsum harus ditangani dengan cepat karena Gigitan hewan dapat menjadikan
sarana penularan virus (rabies), bakteri dan parasit apabila tidak segera
ditangani.
Hewan yang terkena gigitan hewan lain (anjing, kucing, dll) akan
mengalami beberapa manisfestasi klinis. Beberapa mengalami kerusakan
lapisan lendir dan reaksi alergi. Sedangkan pada luka gigitan yang terkoyak
menyebabkan diskontiunitis jaringan.Jika luka terbuka dan kotor, resiko
infeksi menjadi sangat memungkinkan. Untuk luka – luka tertentu biasanya
disertai nyeri dan rasa sakit atau sakit karena putusnya jaringan dan
kemungkinan timbulnya tanda - tanda infeksi. Gejala klinis vulnus morsum
felisyang ditunjukkan yaitu luka terkoyak dengan bekas penetrasi gigi pada
area yang tergigit, terasa sakit pada daerah sekitar luka, nafsu makan hewan
menurun, jika luka dibiarkan lama maka akan timbul nekrosa pada jaringan
sekitarnya dan kemungkinan infeksi sekunder dari bakteri (terdapat cairan atau
nanah) dan parasit (larva lalat) dapat terjadi.
Pada vulnus yang disebabkan oleh hewan berbisa seperti ular,
kalajengking dan lain-lain resiko infeksi gigitan lebih besar dari luka biasa
karena toksik/ racun mengakibatkan infeksi yang lebih parah.Luka akibat
gigitan ular maka akan tampak bengkak secara mendadak yang sangat sakit,
merah, ada luka kecil di beberapa lokasi tergantung gigitan ular, denyut nadi
menjadi sangat lemah dan dapat menimbulkan syock. Tanda-tanda dari gigitan
ular yang lain adalah menggigil, excitement, muntah, pingsan, mengeluarkan
air liur yang berlebihan, pupil yang membengkak (Dharmajono, 2002). Pada
luka gigitan hewan berbisa atau beracun,atau beberapa efek yang mungkin
terjadi, tergantung pada jenis hewan yang mengigit.Klasifikasi keracunan
akibat gigitan ular berbisa :
Derajat 0 : Dengan tanda-tanda tidak keracunan, hanya ada bekas taring
dan gigitan ular, nyeriminimal dan terdapat edema dan eritema
kurang dari 1 inci dalam 12 jam, padaumumnya gejala sistemik
yang lain tidak ada.
Derajat 1: terjadi keracunan minimal, terdapat bekas taring dan gigitan,
terasa sangat nyeri danedema serta eritema seluas 1-5 inci
dalam 12 jam, tidak ada gejala sistemik.
Derajat 2: terjadi keracunan tingkat sedang terdapat bekas taring dan
gigitan, terasa sangatnyeri dan edema serta eritemayang terjadi
meluas antara 6-12 inci dalam 12 jam.Kadang- kadang
dijumpai gejala sistemik seperti mual, gejala neurotoksin,
syok,pembesaran kelenjar getah bening regional.
Derajat 3: terdapat gejala keracunan yang hebat, bekas taring dan gigitan,
terasa sangat nyeri, Edema dan eritema yang terjadi luasnya
lebih dari 12 inci dalam 12 jam. Juga terdapatgejala sistemik
seperti hipotensi, petekhiae, dan ekimosis serta syok.
Derajat 4: gejala keracunan sangat berat, terdapat bekas taring dan
gigitan yang multiple,terdapat edema dan lokal pada bagian
distal ekstremitas dan gejala sistemik berupagagal ginjal, koma
sputum berdarah.

3.5.2 Diagnosi
Diagnosis pada kasus vulnus morsum bisa dilakukan dengan anamnesa
kepada si pemilik hewan, melihat gejala dan tanda klinis dari luka tersebut. Pada
vulnus morsumyaitu terdapat lubang bekas penetrasi gigi ke jaringan yang
tergigit (terkoyak). Pemeriksaan darah juga perlu dilakukan untuk mengetahui
apakah hewan tersebut sehat atau tidak, anemia atau tidak dan apakah ada
infeksi virus, bakteri dan parasit yang menyerang atau tidak.
Pemeriksaan diagnostik pada Gigitan ular selain dari jejas penetrasi gigi
pada jaringan yang ditinggalkan juga dapat diperkuat dari hasil pemeriksaan
darah biasanya dijumpai hipoprototrombinemia, trombositopenia,
hipofibrinogenemia dan anemia; pada foto rontgen thoraks dapat dijumpai
emboli paru dan atau edema paru karena toksin yang menjalar.
3.5.3 Prognosis
Pada kasus vulnus morsum prognosis ditentukan dari tingkat keparahan
yang ditimbulkan dari gigitan hewan tersebut (dalam dan lebar dari jaringan
yang terkoyak), jenis hewan yang menggigit (mempunyai bisa atau tidak), status
kesehatan hewan korban (dilihat dari pemeriksaan darah lengkap) dan umur
luka jika luka dibiarkan lama biasanya akan menyebabkan infeksi sekunder
(bakteri atau parasit). Hal ini dipertegas dengan anamnesa dari pemilik hewan,
pemeriksaan darah lengka dan pemeriksaan langsung terhadap keparahan luka
Anamnesa dari pemilik kucing menyatakan bahwa kucing berkelahi
dengan kucing liar lain sehingga menyebabkan pangkal ekor robek karena
gigitan kucing liar tersebut. Luka yang ditimbulkan dalam namun tidak terlalu
lebar dengan tepian yang tidak beraturan. Hasil pemeriksaan darah
menunjukkan kucing mengalami anemia mikrositik hiperkromik, namun kucing
telah diterapi dengan injeksi neurobion B12. Keadaan luka yang terbuka dan
sudah berumur ± 6 hari menyebabkan luka mengeluarkan cairan kekuningan
namun tidak ditemukan infeksi sekunder dari parasit. Sehingga prognosis dari
kasusVulnus Morsum pada Kucing Lokal ini adalah “fausta”.

3.5.4 Terapi
Penangan kasus vulnus morsumjika luka dangkal tidak memerlukan
penjahitan, tetapi pada luka yang menganga, usahakan merapatkannya agar
kedua belahan luka menyatu, sehingga memudahkan penyembuhan. Luka yang
masih basah dan tampak cairan kuning, kemungkinan luka terinfeksi. Kalau
sudah seperti ini, tidak cukup membubuhinya dengan antiseptis, perlu
ditambahkan salep atau antibiotika. Jika tidak dilakukan, luka akan berubah
menjadi borok, ini akan menambah lama penyembuhan, dan menyisakan bekas
atau jaringan parut pada kulit (Karakata dan Bachsinar, 1992). Penanganan
pertama yang harus dilakukan adalah pembersihan luka, lalu pembuatan luka
baru pada tepian luka yang mengalami pengerasan atau nekrosis, setelah itu
penutupan luka dengan tehnik suture. Usahakan penanganan se-aseptis mungkin
supaya tidak ada kontaminasi bakteri dari luar dan jaga agar bekas jahitan tetap
kering sehingga proses kesembuhan luka tidak memakan waktu lama.

3.6 Pemeriksaan Ke Buntingan

Pemeriksaan kebuntingan merupakan salah satu tindakan yang penting


dilakukan untuk mengetahui bunting atau tidaknya seekor ternak sapi/kerbau atau
untuk mengetahui normal atau tidaknya saluran reproduksi saluran reproduksi ternak
tersebut. Pemeriksaan kebuntingan ini juga merupakan slah satu cara untuk
memonitor dan membuktikan hasil Inseminasi Buatan secara cepat dan layak. Siklus
birahi yang dipergunakan sebagai dasar diagnosa hasil IB adalah berkisar antara 28
s.d 35 hari. Pemeriksaan kebuntingan sebaiknya dilakukan setelah 60 hari pasca
Inseminasi Buatan, dikhawatirkan terjadi keguguran. (Elzida,2013).
Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) disamping untuk menentukan bunting
tidaknya sapi/kerbau sedini mungkin juga untuk mengetahui adanya kelainan
disaluran reproduksi yang dapat menjadi penyebab sapi/kerbau sulit bunting;

Salah satu teknik mendiagnosa kebuntingan ternak sapi/kerbau adalah dengan


palpasi per-rektal. Palpasi per-rektal merupakan teknik yang paling sederhana, praktis,
selain mudah prosedurnya juga mempunyai akurasi yang tinggi. Palpasi per-rektal
didasarkan pada kondisi guterus, ovarium dan pembuluh darah uterus sapi/kerbau.

Dalam kegiatan pemeriksaan kebuntingan, petugas harus men. dapatkan


informasi tentang sejarah perkawinan (IB/KA) ternak, tanggal melahirkan terakhir,
tanggal IB/KA dan bila di IB dilakukan berapa kali serta informasi terhadap setiap
kondisi patologik dan penyakit yang pernah dialami atau terjadi pada saluran alat
kelamin ternak kerbau yang bersangkutan. Catatan IB/KA dan reproduksi yang
lengkap dari individu ternak sapi/kerbau sangat bermanfaat untuk penentuan
kebuntingan secara cepat dan tepat.

Ternak sapi/kerbau yang akan diperiksa kebuntingannya diamankan dengan


restrain di kandang jepit, menggunakan tali dan kayu/besi pada bagian belakang lutut
kerbau untuk membatasi gerakan demi keamanan petugas lapangan; petugas lapangan
memakai pelindung seperti sepatu bot; pakaian praktek lapangan berlengan pendek;
sarung tangan plastik panjang (glove), dilumasi secukupnya dengan menggunakan
sabun mandi atau pelumas lainnya (kuku harus potong pendek & tidak boleh memakai
cincin).

Melakukan pemeriksaan dengan tangan kiri atau kanan sesuai kebiasaan;


masukkan tangan yang sudah diberi pelumas dengan posisi jari tangan dalam bentuk
kerucut (dikuncupkan) saat dimasukkan kedalam rektum, digerakkan berputar ke kiri-
kanan pada saat melewati lubang anus (sphinkter ani); sampai di rectum tunggu
sampai tidak ada kontraksi, rektum dalam keadaan relaksasi, dikeluarkan faeses yang
ada secara pelan-pelan;bila ada kontraksi cukup kuat, sampai punggung kerbau
melengkung ke dorsal, upayakan untuk memijit tulang belakang kerbau untuk
mengurangi kontraksi rectum; pada saat mengeluarkan faeses sebaiknya tangan tidak
dikeluarkan dari dalam rektum agar rektum tidak mengembung. Kemudian jari tangan
dikembangkan dan diturunkan kebawah sampai mengenai kornu uteri.
3.6.1 Tujuan Pemeriksaan Kebuntingan

1. Menentukan apakah ternak bunting atau tidak tanpa adanya positif dan
negatif semua
2. Menentukan umur kebuntingan
3. Menentukan hidup atau mati dari fetus
4. Untuk menentukan jenis kelamin.
5. Untuk mengetahui adanya penyakit Reproduksi
3.6.2 Umur Kebuntingan
1. Umur 3 Bulan
a. Asimetri kornu uteri
b. Kantong amnion, sebesar telur angsa (diameter 15 cm).
c. Masih bisa diretraksi, dalam ruang pelvis.
d. Serviks mulai tertarik ke depan bawah.
e. Mulai teraba kotiledon.

Gamabar 2. Kebuntingan 3 Bulan


2. Umur 4 Bulan
a. Uterus makin tertarik ke depan, bawah.
b. Serviks terregang, bentuk memipih.
c. Kantong amnion sebesar bola sepak (diameter 30 cm).
d. Plasentoma semakin jelas teraba (sebesar kancing baju).
e. Fetus mulai dapat teraba (ballotement= bumping fetus).
f. Fremitus mulai teraba a. uterina media (kanan dan kiri)
Gamabar 3. Kebuntingan 4 Bulan

3. Umur 5 Bulan
a. Uterus makin masuk ke depan, bawah, pada sapi besar (> 500 kg)
tangan tidak sampai keseluruhan uterus, hanya punggung uterus
saja.
b. Servik tertarik, bentuk memipih.
c. Plasentoma semakin jelas teraba
d. Fremitus jelas teraba Uterina media (kanan dan kiri)

Gambar 4. Kebuntingan 5 Bulan


4. Umur 6 Bulan
a. Uterus membesar
b. Pungung uterus mudah di raba

Gamabar 5.Kebuntingan 6 Bulan

3.7 Distocia (Menolong kelahiran).


Kelahiran adalah suatu proses yang sangat rumit dan distokia dapat muncul
apabila beberapa bagian dari proses tersebut mengalami kegagalan atau menjadi
tidak terkoordinasi. Penyebab distokia dibedakan menjadi 2 yakni, penyebab dasar
dan penyebab langsung. Penyebab langsung distokia pun terbagi menjadi dua,
yakni : penyebab maternal dan fetus. Aspek maternal yang dapat mengakibatkan
distokia diantaranya kegagalan untuk mengeluarkan fetus akibat gangguan pada
rahim yaitu rahim sobek, luka atau terputar, gangguan pada abdomen (rongga perut)
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk merejan, tersumbatnya jalan kelahiran,
dan ukuran panggul yang tidak memadai. Aspek fetus yang dapat mengakibatkan
distokia diantaranya defisiensi hormon (ACTH/cortisol), ukuran fetus yang terlalu
besar, kelainan posisi fetus dalam rahim serta kematian fetus dalam rahim. Ukuran
fetus yang terlalu besar dipengaruhi oleh berbagai faktor yang yaitu keturunan,
faktor pejantan yang terlalu besar sedangkan induk kecil, lama kebuntingan, jenis
kelamin fetus yaitu fetus jantan cenderung lebih besar, kebuntingan kembar
(Jackson, 2007).
Distokia adalah suatu gangguan dari suatu proses kelahiran atau partus, yang
mana dalam stadium pertama dan stadium kedua dari partus itu keluarnya fetus
menjadi lebih lama dan sulit, sehingga menjadi tidak mungkin kembali bagi induk
untuk mengeluarkan fetus kecuali dengan pertolongan manusia. Umumnya kejadian
distokia lebih sering terjadi pada sapi perah dibanding sapi potong (Sunarko, 2009).
Riyanto (2006) menyatakan bahwa apabila terjadi kesulitan melahirkan untuk
menyelamatkan induk biasanya dilakukan fetotomi. Fetotomi (sering diistilahkan
“embriotomi”) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan metode
pemotongan fetus, yang tidak bisa dikeluarkan.
Distokia didefinisikan sebagai kesulitan melahirkan atau proses partus
berkepanjangan, kebalikan dari partus normal (Ball dan paters, 2004). Distokia juga
pada sebuah kelahiran dimana pertolongan atau bantuan dibutuhkan untuk
meyakinkan penyelesaian proses kelahiran (Hickson et al.,2006). Biologi distokia
dapat bersumber dari induk dan dari fetus (Noakes, 2009). Faktor fetus yang
meliputi fetus besar malpresentasi lamban, malposisi, cacat postural, dan kelainan
bawaan. Kedua, faktor maternal yang meliputi pemberian makan yang berlebihan
selama kebuntingan, inersia uterus, dan diameter kanal pelvis yang kecil (Abdullah
et al., 2015).
Penyebab paling umum distokia pada sapi adalah disproporsi veto-pelvis.
Situasi tersebut paling umum terjadi pada sapi darah dimana fetus memiliki ukuran
normal untuk berkembang biaknya namun pelvis indukmemiliki ukuran yang tidak
mencukupi (ukuran relatif lebih besar) atau fetus mungkin sangat besar dan tidak
dapat dilewatkan melalui kanal pelvis dengan ukuran normal (Abera, 2017).
Kelahiran fetus yang terdisposisi secara normal, kaki depan akan muncul
pertama kali, diikuti kepala kemudian bagian belakang tubuh dan terakhir kaki
belakang. Ini dikenal sebagai presentasi anterior pada posisi dorsal dan dalam
posture memanjang. Presentasi merujuk pada arah dimana sumbuh memanjang dari
fetus diorientasikan sedangkan posisi menunjukan apakah fetus tegak lurus, pada
sisinya (lateral) atau terbalik ke bawah (ventral). Postur, menunjukan konfigurasi
kaki dan kepala (fleksi atau terektensi). Abnormalitas presentasi paling umum pada
sapi adalah posterior atau presentasi bagian belakang (posterior dengan kaki
belakang ke depan). Sedang abnormalitas postur paling umum adalah fleksi dari kaki
depan dan penyimpangan lateral dari kepala (Ball dan Peters, 2004)
Berat lahir (birth weight) yang tinggi diketahui menjadi faktor resiko yang
penting untuk distokia demikian juga pemilihan jantan, ras, dan lama kebuntingan.
Anak sapi jantan sangat mungkin mengalami kelahiran distokia karena memiliki
berat lahir yang lebih tinggi. Ukuran pervis dipengaruhi oleh stadium kematangan
sapi sehingga ukuran pelvis yang kecil berkontribusi terhadap prepalensi tinggi
distokia pada sapi dara. Malpresentasi vetal, dilatasi tidak sempurna pada vulva dan
serviks, dan kehadiran anak kembar juga merupakan faktor resiko (Mee, 2004).

3.8 Bovine Emphemeral Fefer ( BEF)


Bovine Ephemeral Fever (BEF) disebabkan oleh virus Rhabdovirus, yang
termasuk dalam familia yang sama dengan virus Rabies dan Vesicular Stomatitis
(Wang, et al., 2001). Virus ditularkan oleh serangga. Galur virus yang telah diteliti,
memiliki kesamaan secara antigenik, dan berdasarkan pengamatan lapangan,
masing-masing virus mungkin berbeda dalam virulensinya (Lim, et al., 2007).
Dijelaskan oleh Lim, et al. (2007), virus dapat dibiakkan di dalam telur ayam
bertunas, dalam anak mencit setelah inokulasi intracerebral dan dalam biakan sel.
Efek sitopatogenik (Cytopathogenic Effect = CPE) dapat dilihat dalam biakkan sel
BHK 21, yang dapat digunakan sebagai dasar uji Neutralisasi Serum (Wang, et al.,
2001).
Meskipun telah diketahui bahwa Bovine Ephemeral Fever (BEF) disebabkan
oleh Arbovirus, namun vektor yang pasti belum dapat ditentukan. Nyamuk dan lalat
pasir dicurigai sebagai vektor, sedangkan Cullicoides dianggap sebagai vektor yang
paling mungkin. Secara percobaan, telah terbukti bahwa virus dapat memperbanyak
diri di dalam Culex, Aedes dan Culicoides (Sjafarjanto, 2010). Penyakit dapat
ditularkan secara kontak, dan inokulasi intravena dapat segera menimbulkan
penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) (Lim, et al., 2007). Secara klinis, viremia
hanya berlangsung dalam waktu pendek, kira-kira 1 – 3 hari, yang diikuti dengan
terbentuknya antibodi. Sapi maupun kerbau tidak pernah terbukti bertindak sebagai
hewan pembawa virus untuk jangka waktu yang panjang, hingga penyebaran
penyakit biasanya tidak dihubungkan dengan lalu lintas sapi maupun kerbau.
Penyebaran lebih ditekankan pada peranan vektor ataupun angin. Angin yang
lembab dan basah, dapat memindahkan serangga-serangga sejauh 100 km atau lebih
(Subronto, 1995).
Iklim di Indonesia menguntungkan untuk keberlangsungan hidup vektor
sepanjang tahun, sehingga penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) dapat
diperkirakan bersifat enzootik (Sjafarjanto, 2010).
Gejala klinis yang senantiasa ditemukan berupa demam, dengan kenaikan suhu
2° – 4°C dari suhu normal, dalam jangka waktu 1 – 4 hari. Penderita kelihatan
gemetar (tremor), anoreksia dan kehilangan nafsu minum, dengan frekuensi respirasi
dan jantung yang meningkat, dan sering kali disertai dengan konstipasi atau diare
(Subronto, 1995).
Selanjutnya menurut Subronto (1995), pada hewan yang sedang berproduksi,
terjadi penurunan produksi air susu yang sangat drastis. Exudat hidung dan mata,
hipersalivasi, atoni rumen. Kepincangan terlihat sehari sesudah demam.
Kepincangan dapat berpindah-pindah dari satu kaki ke kaki lainnya. Beberapa
penderita tetap sanggup berdiri. Bila penyakit berlangsung hingga 1 minggu, akan
berlanjut menjadi Paresis (Lim, et al., 2007).
Tanda-tanda kesembuhan mulai tampak pada hari ke-3, dan kesembuhan
sempurna terjadi 5 hari setelah munculnya gejala klinis (Sjafarjanto, 2010). Kasus
ringan dijumpai pada pedet-pedet umur kurang dari 6 bulan. Pejantan yang besar dan
sapi yang berat, paling menderita, apabila terserang oleh penyakit Bovine Ephemeral
Fever (BEF). Angka kematian (mortalitas) kurang dari 1%, penyebab umum
kematian dikarenakan oleh faktor-faktor sekunder.
Manakala banyak hewan terserang, yang disertai gejala klinis yang jelas dan
pathognomonis, maka kuat dugaan diagnose ke arah penyakit Bovine Ephemeral
Fever (BEF). Apabila hanya sedikit hewan yang terserang, karena sedikitnya vektor
yang mengandung virus, biasanya diperlukan peneguhan dari laboratorium.
Pemeriksaan haematologis, menunjukkan adanya Neutrofilia dan Limfopenia. Virus
dapat diisolasi dari darah segar pada awal fase demam, dalam biakan sel ataupun
pasasi berulang pada mencit yang menyusui (Astiti, 2010). Uji penularan penyakit
dilakukan dengan inokulasi intravena, menggunakan darah yang tertular ke dalam
tubuh sapi yang sehat. Diagnosa secara serologis, dilakukan pada 2 macam serum
yang pengambilannya berselang 3 minggu. Uji yang dilakukan adalah dengan
pengikatan komplemen atau sel yang dibiakkan dalam biakan sel (BHK 21 atau
Vero Cell Line), dengan Uji Neutralisasi Virus (Lim, et al., 2007). Pemeriksaan
dengan flouresen antibodi, hanya dilakukan pada leukosit yang diambil dalam fase
viremia, yang disertai demam.
Kejadian penyakit yang menyangkut satu atau beberapa penderita, mungkin
dapat dikacaukan dengan Klamidiosis, Laminitis atau Parturient Paresis. Pada
penyakit Parturient Paresis, dapat segera diatasikan dengan menyuntikan larutan
Calsium dengan cara infuse secara intravenous (Sjafarjanto, 2010).
Pada penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) tidak perlu dilakukan tindakan
pengobatan, yang dilakukan hanyalah berupa tindakan terapi symptomatis, untuk
menghilangkan rasa sakit dan demam yang timbul (Sjafarjanto, 2010). Hewan
penderita dengan kasus penyakit yang berat, harus diusahakan agar tidak terjadi
komplikasi infeksi sekunder. Lebih lanjut menurut Sjafarjanto (2010), pemberian
minum jangan menggunakan alat drencher atau dicontang, karena dalam fase
akut,beberapa penderita mengalami kesulitan menelan, sehingga dikhawatirkan akan
terjadi Slik Pneumonia = Aspirasi Pneumonia.
Belum ditemukan vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit ini. Pencegahan
terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga sanitasi dan hygiene kandang
dan ternak secara rutin, melakukan penyemprotan insektisida, serta menghindari
adanya genangan air di sekitar kandang, untuk mencegah berkembangbiaknya larva
Culicoides (Subronto, 1995 dan Astiti, 2010).
Virus yang dibiakkan dalam kultur, tidak digunakan sebagai vaksin. Di Jepang
dan Afrika Selatan, maupun Australia, vaksin telah diproduksi untuk kepentingan
percobaan saja. Penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) merupakan penyakit
musiman, yang timbul secara periodik, pada awal musim penghujan atau awal
musim panas (Astiti, 2010 dan Sjafarjanto, 2010).
3.9 Vitamin B Komleks
Vitamin adalah zat organik yang umumnya tidak dapat di bentuk dalam tubuh.
Vitamin berperan penting sebagai katalisator (pemercepat) organik, mengatur proses
metabolisme dan fungsi normal tubuh. Di dalam tubuh, vitamin mempunyai peran
utama sebagai zat pengatur dan pembangun bersama zat gizi lain melalui
pembentukan enzim, antibodi dan hormon. Masing-masing vitamin mempunyai
peranan khusus yang tidak dapat digantikan oleh vitamin atau zat gizi lain. Oleh
sebab itu, sekalipun dibutuhkan dalam jumlah sedikit dalam satuan mikrogram atau
miligram dan jumlah kecil itu sangat penting. Secara umum fungsi vitamin
berhubungan erat dengan fungsi enzim, khususnya kelompok vitamin B. Enzim
merupakan katalisator (pemercepat) organik yang berperan mengatur dan
menjalankan reaksi biokimia di dalam tubuh. Enzim terdiri dari komponen protein
disebut apoenzim yang dihasilkan oleh sel apoezim baru akan aktif ketika
berkonjugasi dengan senyawa nonprotein (koenzim). Koenzim di dalam tubuh dan
mengandung vitamin. Selain itu, vitamin juga berfungsi dalam pertumbuhan dan
pemeliharaan tubuh.Hampir seluruh vitamin kelompok B telah diketahui sebagai ko-
enzim, namun tidak dengan vitamin yang larut dalam lemak. salah satunya adalah
vitamin B-kompleks ini berfungsi menambah nafsu makan yg dapat memacu
pertumbuhan ternak. (Ahmad safiq 2012).
Vitamin B-kompleks salah satu vitamin yang sangat diperlukan dalam proses
metabolisme terutama ternak dalam kondisi bunting dan post partus. Pengkajian ini
menggunakan induk sapi Bali bunting .
Sebanyak 10 ekor dengan rata-rata kebuntingan berumur 5,5±1,65 bulan dan
sapi Bali post partus sebanyak 11 ekor dengan rata-rata umur anak 1,3±0,7 bulan.
Sapi-sapi perlakuan pertama (T0) adalah induk sapi Bali diambil darah sebelum
disuntik dengan B-kompleks dan perlakuan kedua (T1) induk sapi Bali diambil
darah 30 hari setelah disuntik vitamin B-kompleks. Penyuntikan vitamin B-
kompleks pada sapi-sapi perlakuan dilakukan secara intra muscular (IM) dengan
dosis 10 ml/ekor. Nilai seldarah merah (RBC), haemoglobin (HGB) dan hematokrit
sapi Bali bunting mengalami penurunan pada (T1) sebesar 13.12, 19.66 dan 18.76%
(P>0.05) sedangkan nilai WBC meningkat 14.5% pada (T0) dan (T1). Pada kondisi
sapi post partus nilai RBC, HGB dan Hematokrit pada perlakuan (T1) mengalami
kenaikan sebesar 15.54, 27.10 dan 23.03% (P>0.05) dengan nilai WBC perlakuan
(T0) menurun 28.57% (P>0.05). Penyuntikan vitamin B-kompleks dapat
memperbaiki status fisiologis pada sapi Bali post partus sedangkan pada sapi Bali
bunting harus disertai dengan manajemen pakan yang baik.
Pemberian vitamin yang tepat akan menghasilkan produktivitas ternak yang
lebih baik. Pemberian Vitamin B-kompleks pada ruminansia perlu dimasukkan
dalam program pemeliharaan kesehatan secara rutin. Vitamin B-kompleks dapat
diberikan minimal setiap 3-4 bulan sekali. Vitamin B-kompleks dapat juga diberikan
pada ternak yang sedang sakit untuk membantu kesembuhan dari infeksi. Misalnya
dengan Vita B-Plex Bolus atau Injeksi Vitamin B Kompleks. Untuk hasil yang
optimal tentu perlu memperhatikan juga manajemen pakan yang diberikan.
Kombinasi pemberian vitamin B yang terkandung dalam Vitamin B kompleks.
Berperan meningkatkan respon kekebalan tubuh ternak dengan meningkatkan
produksi sel darah putih sehingga dapat dapat membantu proses penyembuhan
penyakit.

Anda mungkin juga menyukai