Disusun oleh :
HERI ZULKIFLI
SUMARDIANSYAH
L.MUH.ZUM ARIFE
DEDI HERDIANSYAH
Jln Datuk Dibantak 155 A Kelurahan Jatiwang Kecematan Asaskota Kota Bima
Kode Pos 61254 Telp.(0374) 43583 Email : smkppnegeribima@yahoo.co.id
LEMBAGA PENGESAHAN
LAPORAN HASIL PRAKTEK KERJA LAPANGAN
Disetujui oleh :
Penguji. Pembimbing.
Mengetahui,
Kepala SMKPP Negeri Bima
Praktek kerja lapangan (PKL) dilaksanakan mulai tanggal 10 Januari 2022 sampai tanggal 31
Maret 2022 di UPTD Peternakan dan Kesehatan Hewan Manggelewa Kabupaten
Dompu.
Dalam melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Langan (PKL) hasil kegiatan yang dilakukan
meliputi :
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa.yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya dan memberi kami kesempatan dalam menyelesaikan
laporan Praktek Kerja lapangan (PKL) di UPTD manggelewa. Laporan ini di susun untuk
memehi salah satu persaratan dalam menyelesaikan Praktek kerja lapangan (PKL).
Laporan ini dapat diselesaikan atas bantuan dan bimbingn dari semua pihak. Untuk
penulis mengucapkan terimah kasih kepada semua pihak yang ikut membantu dalam
penyelesaian laporan ini, terutama kepada :
1. Kedua orang tua yang telah mendukung kami selama melaksanakan Praktek kerja
lapangan (PKL)
2. Bapak Abdul Hamid, s.Pt M.Pd selaku kepala SMKPP Negeri Bim
3. Bapak Hasan S.Pt selaku kepala UPTD manggelewa
4. Bapak Hidayatullah S.Pt selaku ketua program keahlian
5. Guru pembimbimbing Exstren Jakaria
6. Guru pembimbing Internal Drh.Sahri ramadhan
7. Guru-guru SMKPP Negeri Bima
8. Karyawan dan staf UPTD maggelewa
9. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
Membantu dalam proses penyusunan laporan ini.
10. Penyusunan laporan ini sebagai salah satu syarat untuk mengikuti. ujian akhir
nasional (UAN) dan ujian akhir sekolah (UAS) tahun pelajaran 2022/2023 serta
sebagai bukti bahwa telah melaksanakan Praktek kerja lapangan (PKL).
HALAMAN JUDUL..................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................
KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
6.1 Kesimpulan.......................................................................................
6.2 saran..................................................................................................
DAFTAR TABEL......................................................................................................
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
PARAMEDIK VETERINER
STAF ADMINISTRASI
Drh. SAHRUL QOMAR
TITI YANTI S.Pt
TINJAUAN PUSTAKA
3.3 Malnutrisi
Malnutrisi merupakan kondisi dimana hewan mengalami kekurangan nutrisi
yang parah. Kondisi malnutris akan ditunjukkan oleh adanya kekurusan, alopecia,
rambut yang rontok dan kulit yang kering. Malnutrisi dapat disebabkan oleh
kurangnya asupan pakan, buruknya absorpsi (malabsorbsi), atau ketidak mampuan
untuk mencerna makanan (maldigesti).
Maldigesti merupakan gangguan patologis pada prosespencernaan (enzimatik),
sedangkan malabsorbsi ialah gangguan pada proses penyerapan dan transportasi
nutrisi. Kondisi maldigesti dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pankreas
(exocrine pancreatic insufiensy), sedangkan malabsorbsi dapat disebabkan oleh
kerusakan mukosa, penurunan luas permukaan usus, infeksi parasit dalam usus
(kecacingan) dan gangguansirkulasi enterohepatik(Khan 2011).
Pada kondisi maldigesti yang disebabkan exocrine pancreatic insufiensy hewan
tidak mampu mencerna makanan dengan benar karena kurangnyaenzim
pencernaanyang dibuat olehpankreas. Exocrine pancreatic insufiensy (EPI) banyak
ditemukan pada hewan khususnya pada anjing. Pada kondisi EPI sel-sel asinar
pancreas mengalami kerusakan sehingga menjadi tidak progresif untuk menghasilkan
enzim pencernaan (Ettinger & Feldman 1995). Selain menunjukkan adanya tanda-
tanda kekurangan nutrisi, pada kondisi EPI juga biasanya ditandai dengan kondisi
feses yang berlemak. Identifikasi kondisi EPI dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu dengan melakukan pengujian serumtrypsin-like immunoreactivity(TLI) atau
dengan uji fecalelastaselevels (melihat kadarchymotrypsinpada feses). Pada anjing uji
yang umum digunakan untuk identifikasi kondisi EPI ialah dengan uji
fecalelastaselevels (Rallis & Adamama 2004).
3.4 Heminthiasis
Ternak sapi, mempunyai peran yang sangat besar dalam penyediaan daging dan
merupakan salah satu sumber protein hewani dan banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut maka diperlukan usaha
pengembangan ternak dan pencegahan penyakit pada ternak khususnya penyakit pada
ternak ruminansia. Salah satu penyakit yang merugikan peternak adalah Fasciolosis.
Fasciolosis pada ruminansia merupakan penyakit parasiter yang di sebabkan
oleh infeksi cacing hati (Fasciola sp.). Penyakit ini biasanya menyerang ternak
ruminansia, pada daerah tropis disebabkan oleh infeksi Fasciola gigantica, sedangkan
di daerah subtropis disebabkan oleh infeksi Fasciola hepatica (Boray, 1985). Infeksi
cacing hati menyebabkan terjadinya penurunan laju pertumbuhan dan berat badan
ternak, penurunan efesiensi pakan, kematian pada derajat infeksi yang parah terutama
pada pedet maupun sapi muda, penurunan produksi, dan penurunan daya tahan tubuh
akibat anemia yang ditimbulkan, serta kerusakan jaringan terutama hati dan saluran
empedu (Kusumamihardja 1992).
Diagnosa penyakit fasciolosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan tinja, biopsi
hati, USG, PCR, dan ELISA. Pemeriksaan tinja merupakan cara yang paling umum
dan sederhana, dengan maksud untuk menemukan adanya telur cacing, dengan
menggunakan uji sedimentasi. Diagnosa penyakit cacing hati melalui tinja pada
umumnya dilakukan berdasarkan pada penemuan telur cacing pada tinja hewan
terinfeksi atau penemuan cacing dalam hati pada saat ternak mati yang di potong
(Boray, 1985).
Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang
sifatnya merugikan. Manusia merupakan hospes definitif daribeberapa nematoda
usus.Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia. Diantara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan
melalui tanah dan disebut “Soil Transmitted Helminths“ seperti Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura (Sutanto, 2008).
Infeksi Soil Transmitted Helminths ini merupakan infeksi paling umum di daerah
tropis terutama pada masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di daerah kumuh.
Infeksi ini dapat terjadi bila manusia tertelan telur/larva infeksius (A.lumbricoides dan
T.trichiura) atau dengan penetrasi bentuk larva filariform (larva hookworm) yang
berada di tanah (WHO, 2008).
Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium dewasa hidup di
rongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000– 200.000
butir sehari; terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan
yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu
kurang lebih 3 minggu.
Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya
menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke
jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke
trakea melaluigbronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga
menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut
dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus
larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing
dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan (Sutanto, 2008).
Menurut Effendi yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006) di
samping itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga
dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma
Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-
kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan
berkurang, diare. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan
penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bilacacing menggumpal
dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Illeus obstructive).
Helminthiasis merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis yang
seringkali kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan penyakit strategis
lainnya, sehingga penanganan penyakit ini juga kurang maksimal. Helminthiasis
merupakan penyakit pada hewan yang disebabkan oleh berbagai jenis cacing, baik
dari klas trematoda, nematoda maupun cestoda yang sangat merugikan karena dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan, penurunan berat badan,
mengganggu status kesehatan secara umum sehingga mudah terinfeksi penyakit lain,
dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Gangguan pada pertumbuhan yang
berlangsung cukup lama akan menyebabkan penurunan produktivitas. (Arsani, 2015)
3.5 Vulnus
Vulnus atau luka adalah suatu diskontinuitas jaringan yang abnormal, baik
didalam maupun pada permukaan tubuh. Luka dapat terjadi karena trauma yang
berasaldari luar, atau berasal dari dalam karena gesekan fragmen tulang yang
patah,rusaknya kulit dari infeksi atau tumor ganas (Ridhwan Ibrahim,
2002).MenurutSuriadi (2007), Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan,
dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.
Secara umum luka dikategorikan menjadi dua yaitu luka simplek dimana luka
hanya melibatkan kulit (epidermis saja) contohnya vulnus abrasi ; lalu luka komplek
dimana luka yang terjadi disamping kulit juga melibatkan jaringan di dalamnya (otot,
pembuluh darah,saraf). Penyebab luka ada berbagai macam sebab yaitu Trauma
mekanis (tergesek, terpotong, terpukul, tertusuk, terbentur, terjepit); Trauma elektrik
(sengatan listrik, sambaran petir); Trauma termis oleh karna suhu terlalu panas
(vulnus lombustum), suhu dingin (vulnus longolationum).
1. Luka memar (vulnus contussum)
Kontusi atau memar jaringan (disebut juga sebagai luka “tertutup”)
dengankulit bengkak dan berwarna biru, terbagi atas tiga derajat. Derajat
pertama disebabkan oleh robekan kapiler jaringan bawah kulit yang di
sertaipembentukan ekhiminisis. Kontusi derajat kedua di sebabkan oleh
pecahnyapembulu darah yang lebih besar dengan pembetukan matom.
Kontusi derajatketiga ditandai dengan kerusakan jaringan, misalnya patah
tulang, sampaidengan timbulnya shock dan gangren.
2. Luka lecet (vulnus abrasi)
Adalah luka yang hanya mengenai lapisan paling luar dari kulit dan sangat
dangkal.
3. Luka sayat (vulnus incisi)
Adalah luka yang diperoleh karena trauma benda tajam. Pinggir luka atau
licin. Jaringan yang hilang boleh dikatakan tidak ada.
3.5.2 Diagnosi
Diagnosis pada kasus vulnus morsum bisa dilakukan dengan anamnesa
kepada si pemilik hewan, melihat gejala dan tanda klinis dari luka tersebut. Pada
vulnus morsumyaitu terdapat lubang bekas penetrasi gigi ke jaringan yang
tergigit (terkoyak). Pemeriksaan darah juga perlu dilakukan untuk mengetahui
apakah hewan tersebut sehat atau tidak, anemia atau tidak dan apakah ada
infeksi virus, bakteri dan parasit yang menyerang atau tidak.
Pemeriksaan diagnostik pada Gigitan ular selain dari jejas penetrasi gigi
pada jaringan yang ditinggalkan juga dapat diperkuat dari hasil pemeriksaan
darah biasanya dijumpai hipoprototrombinemia, trombositopenia,
hipofibrinogenemia dan anemia; pada foto rontgen thoraks dapat dijumpai
emboli paru dan atau edema paru karena toksin yang menjalar.
3.5.3 Prognosis
Pada kasus vulnus morsum prognosis ditentukan dari tingkat keparahan
yang ditimbulkan dari gigitan hewan tersebut (dalam dan lebar dari jaringan
yang terkoyak), jenis hewan yang menggigit (mempunyai bisa atau tidak), status
kesehatan hewan korban (dilihat dari pemeriksaan darah lengkap) dan umur
luka jika luka dibiarkan lama biasanya akan menyebabkan infeksi sekunder
(bakteri atau parasit). Hal ini dipertegas dengan anamnesa dari pemilik hewan,
pemeriksaan darah lengka dan pemeriksaan langsung terhadap keparahan luka
Anamnesa dari pemilik kucing menyatakan bahwa kucing berkelahi
dengan kucing liar lain sehingga menyebabkan pangkal ekor robek karena
gigitan kucing liar tersebut. Luka yang ditimbulkan dalam namun tidak terlalu
lebar dengan tepian yang tidak beraturan. Hasil pemeriksaan darah
menunjukkan kucing mengalami anemia mikrositik hiperkromik, namun kucing
telah diterapi dengan injeksi neurobion B12. Keadaan luka yang terbuka dan
sudah berumur ± 6 hari menyebabkan luka mengeluarkan cairan kekuningan
namun tidak ditemukan infeksi sekunder dari parasit. Sehingga prognosis dari
kasusVulnus Morsum pada Kucing Lokal ini adalah “fausta”.
3.5.4 Terapi
Penangan kasus vulnus morsumjika luka dangkal tidak memerlukan
penjahitan, tetapi pada luka yang menganga, usahakan merapatkannya agar
kedua belahan luka menyatu, sehingga memudahkan penyembuhan. Luka yang
masih basah dan tampak cairan kuning, kemungkinan luka terinfeksi. Kalau
sudah seperti ini, tidak cukup membubuhinya dengan antiseptis, perlu
ditambahkan salep atau antibiotika. Jika tidak dilakukan, luka akan berubah
menjadi borok, ini akan menambah lama penyembuhan, dan menyisakan bekas
atau jaringan parut pada kulit (Karakata dan Bachsinar, 1992). Penanganan
pertama yang harus dilakukan adalah pembersihan luka, lalu pembuatan luka
baru pada tepian luka yang mengalami pengerasan atau nekrosis, setelah itu
penutupan luka dengan tehnik suture. Usahakan penanganan se-aseptis mungkin
supaya tidak ada kontaminasi bakteri dari luar dan jaga agar bekas jahitan tetap
kering sehingga proses kesembuhan luka tidak memakan waktu lama.
1. Menentukan apakah ternak bunting atau tidak tanpa adanya positif dan
negatif semua
2. Menentukan umur kebuntingan
3. Menentukan hidup atau mati dari fetus
4. Untuk menentukan jenis kelamin.
5. Untuk mengetahui adanya penyakit Reproduksi
3.6.2 Umur Kebuntingan
1. Umur 3 Bulan
a. Asimetri kornu uteri
b. Kantong amnion, sebesar telur angsa (diameter 15 cm).
c. Masih bisa diretraksi, dalam ruang pelvis.
d. Serviks mulai tertarik ke depan bawah.
e. Mulai teraba kotiledon.
3. Umur 5 Bulan
a. Uterus makin masuk ke depan, bawah, pada sapi besar (> 500 kg)
tangan tidak sampai keseluruhan uterus, hanya punggung uterus
saja.
b. Servik tertarik, bentuk memipih.
c. Plasentoma semakin jelas teraba
d. Fremitus jelas teraba Uterina media (kanan dan kiri)