Anda di halaman 1dari 2

NAMA : ALIFIAH FARIZKY

KELAS : XI-A7

NO.ABS : 05

ANTARA CINTA DAN IDEALISME

Ini adalah sebuah era dimana tidak ada kesetaraan…


Sebuah era dimana tidak adanya kepusaan dan kepercayaan…
Sebuah era yang penuh penuh dengan diskriminasi…
Era dimana kita dilihat berdasarkan siapa dan seberapa banyak uang kita…
Ini zaman dimana kita sebagai orang miskin semakin terinjak-injak…
Zaman dimana kita lahir di negeri yang harga pasir lebih mahal dibanding harga nyawa.

Kuhembuskan napasku, lega rasanya aku bisa kembali ke tanah airku dan aku bisa
menginjakan kaki kembali di bumi pertiwi. setelah tujuh tahun aku tinggal di Belanda untuk
menuntut ilmu dan bekerja sebagai staff KBRI. Aku adalah Putri Athaya sasongko. Aku lahir
di keluarga yang sangat nasionalis, dulu eyang kakung adalah seorang abdi Negara beliau
bekerja sebagai staff istana negara. Eyangku adalah orang yang sangat nasionalis beliau
mengajarkanku apa itu nasionalisme dan idealisme. Sedangkan ayahku adalah prajurit TNI
yang gugur dalam tugas yaitu ketika meredam kerusuhan di Papua. Ibuku bekerja sebagai
aktivis Ham di Jakarta.

“Sayang apa kabar” sapa eyangku sambil memelukku “alhamdullilah baik eyang, eyang apa
kabar?” tanyaku pada eyang “kalo eyang yang begini-begini saja hanya saja eyang tambah
tua?” jawab eyang diakhiri dengan tawa yang khas. “Ha… ha… Ha… Eyang ada-ada aja,
kalo eyang nggak makin tua aku malah takut, nanti eyang dikira makan bayi” candaku pada
eyang. “ayo ndok, pulang eyang putri sama ibumu udah nunggu di rumah”

Sampai di rumah eyang putri dan ibuku langsung memelukku. “Atha sayang apa kabar eyang
uti kangen banget sama kamu” sapa eyang uti sambil menciumku. Aku hanya bisa tersenyum.
“Mama, aku kangen padamu” sapaku sambil memeluk mamaku.

Makan malam pun tiba aku, makan malam berjalan lancar hanya saja satu pertanyaan dari
eyang kakungku yang membahas tentang pernikahan. “Ndok, kamu kan udah 29 tahun
tunggu apalagi kapan kau nikah, apa kau menunggu eyangmu itu tiada dulu?” Tanya eyang
padaku. Serasa ceker ayam menyakar tenggorokanku. “Aduh eyang aku itu masih muda,
masih banyak yang harus aku lakukan” jawabku pada eyang. “Tapi ingat kau harus punya
pendamping yang satu ideologi sama kita, harus seiman juga” timpal eyang uti ku. Aku hanya
terdiam membisu terbesit dalam pikiranku, bagaimana kalau kelurgaku tahu aku punya
kekasih orang Belanda, yang notabene nggak satu ideologi, nggak seiman ditambah lagi
Belanda itu pernah menjajah INDONESIA pasti kalau mereka tahu mereka langsung
menolak kekasihku terang-terangan. Pasti eyang kakung yang paling nggak setuju karena
beliau mantan staff istana negara dan mantan pejuang di era Indonesia dijajah Belanda.

Malam kini semakin larut aku masih tidak bisa memejamkan mataku, masih terngiang di
pikiranku soal pertanyaanku. Tiba-tiba hp ku berdering kekasihku Jhosep menghubungi ku.
“Hai, sudah sampai di Indonesia kamu” sapa Jhopsep dalam bahasa Indonesia dia memang
mahasiswa jurusan bahasa Indonesia. “Ah ya aku sudah sampai tadi siang” jawabku pada
Jhosep “Syukurlah kalau begitu, bagaimana lamaranku kau terima tidak” “Maaf Jhosep aku
harus bicara dengan kelurgaku dulu sebelum memutuskan itu” jawabku tanpa aku sadari air
mataku mengalir dengan derasnya. “Baiklah akan kutunggu jawabanmu” balas Jhosep
“Terimakasih Jhosep, cepat istirahat dan cepatlah kau berbaur dengan buku dan penamu”.

Keesokan harinya aku berbicara pada eyang kakung “Pagi eyang” sapaku pada eyang yang
sibuk memberi makan ikan di kolam. “Pagi ndok, acara hari ini mau ke mana” Tanya balik
eyangku “Ehm, aku masih bingung mungkin hari ini aku hanya duduk manis di rumah”
gumamku pada eyang “oh ya eyang mama sama eyang uti ke mana?” tambahku pada eyang
“Ibumu lagi ke jawa timur katanya di sana ada orang dibunuh gara-gara menolak tambang
pasir terus eyang uti tadi ke pasar belanja” jawab eyangku yang masih sibuk dengan ikan-
ikannya.

“eyang aku boleh ngomong sesuatu sama eyang eyang, penting” kemudian eyang menoleh
dan metatap tajam “Apa ndok kamu mau bicara apa sama eyangmu ini?” “Tapi eyang janji
dulu sama aku eyang nggak bakalan marah” “ya tergantung, kamu mau bicara masalah apa”.
Dengan hati yang berdebar aku bicara pada eyangku “Ehm, begini eyang, ehm… Aku udah
punya kekasih dan itu orang Belanda” ucapku dengan cepat. “Apa kamu bikang sama orang
Belanda, kamu itu gimana si kan eyang udah bilang jangan sama orang Belanda, kamu kan
tahu kalau eyang paling nggak suka sama orang Belanda karena mereka dulu menjajah
Indonesia” Jawab eyangku dengan suara yang keras “Maaf eyang tapi kan itu dulu sekarang
Belanda sudah nggak jajah Indonesia kan eyang” jawabku pada eyang dengan air mata
metetes. “jujur atha eyang kecewa sama, kamu dari kecil udah janji sama eyang akan pernah
mengkhinati Negara walaupun kamu pergi di negeri yang pernah jajah Indonesia.” “tapi
eyang aku nggak mengkhinati negaraku eyang” Jawabku pada eyang yang diselingi dengan
tangisku “tapi kamu tau kan pasti dia itu nggak seideologi sama kita dan pastinya dia nggak
seiman sama kita kan, kamu mau jadi pacaran kok sama orang yang pernah ngejajah kita,
mau jadi apa kamu, mau dibawa kemana Negara kita kalau kamu nikah sama orang yang
pernah menjajah kita” Bentak eyangku padaku. Aku diam seribu bahasa. Aku putuskan
kembali ke kamarku setelah perdebatan panjang dengan eyangku.
Kini aku menghubungi Jhosep aku berbicara panjang lebar dan aku putuskan untuk menolak
lamaran Jhosep.

Beberapa bulan kemudian aku menyadari ini jalan yang terbaik yang diberiakan Tuhan
padaku. Kini aku bekerja seperti ibuku yaitu sebagai aktivis HAM. Saat ini aku sedang
mengangani kasus pembunuh seorang aktivis yang dibunuh gara-gara menolak tambang
pasir. Ternyata cinta pada seseorang masih kalah dengan rasa nasionalisme, idealisme dan
patriotisme.

Anda mungkin juga menyukai