Aku
tersenyum melihat keluargaku sibuk menata beberapa
perabotan. Ibuku dari tadi perkataan yang muncul darinya
hanyalah pertanyaan-pertanyaan, "Pak ini sebaiknya
ditaruh di mana ya, Pak?" Ibu, ibu engkau memang
begitu. Selalu ingin yang terbaik buat keluarga, meski
kadang caranya juga membuat jengkel bapak dan juga
diriku sendiri.
Aku bisa memahami mengapa kedua orangtuaku begitu
senang dan semangatnya akhir-akhir ini. Aku adalah anak
tunggal mereka. Tak lama lagi aku akan seperti mereka.
Ya, aku akan mengakhiri masa sendiriku dengan
meminang gadis pilihan ibuku.
Jika harus jujur, sebenarnya aku belum mau menikah
secepat ini. Aku masih ingin menjalani dan menikmati
masa-masa sendiriku bersama teman-temanku. Tapi ibu
selalu saja memaksaku untuk segera menikah. Katanya
beliau sudah ingin punya cucu seperti saudaranya yang
setiap hari rumahya ramai dengan canda dan tawa dari
anak-anak dan cucu-cucu mereka. Aku pun sadar dan
mengerti mengapa Ibu seperti itu, begitu getolnya
menyuruhku untuk menikah, usia ibu sudah melewati
kepala empat. Ibu yang dulu tampak muda dan cantik
harus aku akui seiring berjalannya waktu, kini wajahnya
sudah tampak lebih tua. Rambut beliau yang dulunya
hitam seluruhnya, kini ada dua warna yang
mendominasinya, ya hitam dan putih.
Di usiaku yang menginjak 26 tahun rasanya tidak ada
alasan lagi bagiku untuk tidak memenuhi permintaan dari
Ibu. Jika Rasulullah menikah dengan Khadijah pada usia
25 tahun. Maka usiaku sudah lewat satu tahun.
IbuIbu engkau yang sudah kepingin melihat putramu
menikah, tak juga memberi kesempatan bagiku untuk
memilih perempuan yang aku cinta.
San, Ibu punya calon untukmu, insya Allah anaknya
sholehah dan yang pasti kau kenal dia.
Peryataan ibu yang membuatku kaget bukan kepalang
ketika itu, ku jawab petanyaan yang sepertinya serius itu,
Siapa Bu? tanyaku sambil tersenyum.
Sudah pokoknya kamu manut ibu saja. Jawab ibu
sambil tersenyum pula.
Walah niki yang nikah kulo atau Ibu nggih, saya kok
ndak diberi tahu..heheh?
Ku jawab begitu, ibu bukannya marah, tambah tersenyum
dan menyindirku, sungguh aku merasa menjadi manusia
yang beruntung mempunyai ibu seperti beliau, tak pernah
ibu memarahiku, setiap mengingatkan diriku, beliau
selalu menggunakan kata-kata yang halus yang membuat
aku tak pernah sanggup untuk membantah ataupun
mendebatnya. Ibu, benarlah jika kedudukanmu ibarat
Tuhan di dunia, surga ada di telapak kakimu. Ridla Allah
tergantung ridlamu, dan murka Allah juga tergantung
murkamu. Ibu engkaulah cahaya kehidupan yang tak
pernah padam oleh pekatnya kegelapan.
Lha kamu sudah ada calon tah, San? lagi-lagi ibu
bertanya.
Kalau calon pasti belum bu, tapi kalau bayangan sorang
istri sudah..hehhe.
Kamu itu, nikah kok pakai bayangan-bayangan segala,
ya itu namanya ndak jelas, sudah pokoke nurut ibu San,
ibu sudah pengin melihat kamu berkeluarga dan punya
anak, nanti ibu bisa menggendong cucu.
Tak kuasa lagi aku membantah Ibu, dari sudut matannya
yang terdalam, rasanya ibu benar-benar menginginkanku
untuk segera menikah, ibu ingin segera punya cucu.
Inggih-inggih Bu, Ihsan nurut sama Ibu, tapi mboten
salah tah nek ihsan tahu siapa perempuan yang akan
menjadi isteri Ihsan kelak?
Ya, tentu San Besok lusa Ibu, Bapak dan kamu insya
Allah akan pergi ke rumah calon isterimu itu untuk
melamarnya.
***
Air mataku meleleh mengingat sepenggal kisah hidup
yang pernah aku alami itu. Angin yang berhembus pelan
seolah mendukungku untuk menangis. Kembali larut
dalam kenangan hidup itu.
Aku sadar bahwa perempuan yang akan menjadi isteriku
itu adalah Ummi Lathifah, tentu aku mengenalnya. Dia
adalah teman sekolahku sejak MI sampai MTs dulu,
setelah lulus MTs kabar yang aku terima Lathifah
melanjutkan pendidikannya di salah satu pesantren di